Dengan mengeluarkan suara mendesis-desis dan menyemburkan uap hitam, ular itu meluncur dan menyerang ke arah kepala Han Bu. Akan tetapi dengan tenangnya Han Bu sudah mengelebatkan pedangnya, menyerang dan membacokbacok ke arah ular itu. Ular itu pun agaknya tidak mau terbabat pedang dan gerakannya cepat sekali, seolah menjadi seekor burung yang pandai terbang, dan tetap menyambarnyambar sambil menyemburkan uap hitamnya. Akan tetapi, biarpun Thian Hwa sudah menduga bahwa uap hitam itu tentu beracun, agaknya pemuda itu sama sekali tidak merasakannya. Ia tidak tahu bahwa pemuda itu adalah murid Im Yang Sian-kouw atau cucu murid Bu Beng Kiam-sian yang selain terkenal sebagai Dewa Pedang, juga merupakan seorang ahli pengobatan yang pandai. Sebagai cucu murid seorang ahli pengobatan tentu saja Han Bu juga mempelajari ilmu itu dan kini, berhadapan dengan Ngo-beng Kui-ong yang dia duga kemungkinan besar suka mempergunakan racun, dia sudah membekali dirinya dengan menelan sebutir pel kebal racun sehingga ketika tongkat ular itu mengeluarkan asap hitam beracun, dia sama sekali tidak terpengaruh.
Bahkan tongkat ular yang tidak berani bertemu sambaran pedang itu menjadi repot menghindarkan diri dari bacokan pedang dan akhirnya, ketika Ngo-beng Kui-ong berseru, tongkat itu terbang kembali ke tangannya. Melihat betapa pemuda itu cukup lihai menghadapi Ngo-beng Kui-ong dan melihat pula betapa belasan orang prajurit kini menyerbu dan memasuki tempat tahanan itu, Huang-ho Sian-li cepat memungut pedang milik prajurit yang sudah ia robohkan tadi lalu mengamuk dan menerjang keluar! Terjadilah pertempuran hebat di mana Huang-ho Sian-li mengamuk dikeroyok lima belas orang prajurit pengawal.
Thian Hwa teringat akan seruan pemuda yang menolongnya itu agar ia melapor kepada ayahnya. Hal ini berarti bahwa pemuda itu sudah bertemu ayahnya dan mungkin saja ayahnya yang menyuruhnya menolongnya, juga pemuda itu berseru agar ia menyelamatkan Pangeran Mahkota. Apa yang terjadi dengan Pangeran Mahkota? Apa yang terjadi dengan keluarga Bouw Hun Ki? Pemuda itu benar juga. Ia harus lebih dulu dapat meloloskan diri dan melihat keadaan di luar tempat tahanan ini, baru ia akan berunding dengan Pangeran Bouw Hun Ki dan yang lain-lain apa yang harus dilakukannya. Maka ia mempercepat gerakan pedang rampasannya dan empat orang pengeroyok roboh mandi darah. Yang lain terkejut dan mundur dengan jerih melihat kelihaian gadis itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Thian Hwa untuk melompat keluar dari tempat itu, dan terus lari ke tembok taman lalu melompat dan keluar dari lingkungan gedung tempat tinggal Pangeran Cu Kiong! Sementara itu, melihat Thian Hwa sudah lolos, Han Bu merasa lega. Kelegaan yang hanya sebentar karena dia segera diserang oleh Ngo-beng Kui-ong dan mendapat kenyataan bahwa kakek yang seperti mayat hidup ini ternyata lihai bukan main! Juga para prajurit yang ditinggalkan Thian Hwa dan tidak berhasil mengejarnya, kini mengepung pemuda yang memakai pakaian prajurit itu sehingga sama sekali tidak ada jalan bagi Han Bu untuk meloloskan diri. Kini setelah tongkat ular itu berada di tangan Ngo-beng Kui-ong, kakek itu berani mempergunakannya untuk diadu dengan pedang Im-yangkiam dan ternyata tongkat itu kuat sekali karena didukung tenaga sakti yang dahsyat dari Si Mayat Hidup. Maka Han Bu berada dalam keadaan gawat. Dia baru tahu bahwa lawannya yang tampaknya lemah ini ternyata memiliki tenaga sakti yang amat kuat dan ilmu silat yang amat aneh dan tinggi t ingkatnya sehingga agaknya gurunya sendiri pun belum tentu akan mampu menandingi kakek ini!
"Hei, kakek tua, tahan dulu!" Tiba-tiba Han Bu berseru dan melompat ke belakang. Akan tetapi para prajurit sudah menghadang di belakangnya.
"Hoa-ha-ha, kau mau lari ke mana?" Ngo-beng Kui-ong tertawa.
"Siapa mau lari? Aku hanya ingin tahu dulu siapa yang menjadi lawanku agar aku tidak sampai membunuh orang tanpa kukenal siapa yang menjadi korban pedangku ini!"
"Ha-ha, memang baik sekali agar engkau mati setelah mengenal namaku. Aku adalah Ngo-beng Kui-ong. Nah, engkau pun jangan mati tanpa nama. Siapa namamu sebelum aku membunuhmu!"
"Aku tidak akan mati, maka tidak perlu meninggalkan nama," kata Han Bu dan tiba-tiba saja dia menyerang dengan terjangan dahsyat. Pedangnya berputar dan menusuk ke arah muka lawan, lalu siap menoreh ke bawah ke arah ulu hati kalau tusukannya gagal.
"Tranggg...!" Tongkat ular itu menangkis pedang dan sejenak Han Bu tidak mampu menarik kembali pedangnya yang menempel pada tongkat. Kakek itu mengamati pedang yang berwarna separuh hitam separuh putih itu. Dia berseru kaget, mendorongnya sehingga tenaga yang amat kuat membuat Han Bu terpaksa mundur t iga langkah dan kakek itu berseru.
"Dari mana engkau mendapatkan Im-yang Po-kiam ini? Bukankah Im-yang Po-kiam ini pedang milik Im Yang Siankouw dari Beng-san?" Han Bu merasa heran dan juga bangga. Agaknya kakek lihai ini mengenal gurunya! Maka sambil membusungkan dadanya dia berkata lantang.
"Dengarlah baik-baik, wahai Ngo-beng Kui-ong! Aku bernama Si Han Bu dan Im-yang Sian-kouw adalah Guruku! Subo menghadiahkan pedang ini kepadaku!"
"Ha-ha-ha, bocah sombong! Murid Im-yang Sian-kouw, cucu murid mendiang Bu Beng Kiam-sian, berani melawan aku, Ngo-beng Kui-ong! Heh, bocah ingusan, tahukah engkau, Bu Beng Kiam-sian adalah teman seperjuanganku! Dan Imyang Sian-kouw, heh-heh, janda cantik itu, sombong sekali berani menolak aku. Sekarang, engkau berani menantangku? Ho-ho, sudah bosan hidupkah engkau?"
"Engkau yang sudah bosan hidup karena sudah tua renta, Ngo-beng Kui-ong. Hendak kulihat bagaimana daya tahan seorang yang sudah mendekati ajal sepertimu, tentu saja kalau engkau tidak begitu pengecut untuk mengeroyokku!"
"Huh, bocah sombong. Siapa yang akan mengeroyokmu? Sambut ini!" bentak Ngo-beng Kui-ong marah. Han Bu memang sengaja berlagak sombong untuk membuat penasaran hati kakek itu dan mengalihkan perhatian sehingga kakek tua renta itu lupa bahwa tawanan yang dijaganya telah lolos. Dan usaha Han Bu ini berhasil baik. Ngo-beng Kui-ong agaknya sudah lupa sama sekali akan tawanannya! Melihat serangan yang amat dahsyat itu, Han Bu tidak berani main-main. Dia cepat mengerahkan seluruh tenaganya dan memainkan ilmu pedang Im-yang Kiam-sian dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya memainkan Imyang Po-san, yaitu senjata kipasnya yang juga amat lihai.
Para prajurit hanya berani mengepung, tidak berani turun tangan karena mereka semua maklum bahwa kakek itu memiliki watak yang amat aneh dan keras. Mengeroyok tanpa diperintah bisa saja berakibat mereka dibunuh sendiri oleh kakek itu.
Pertempuran berjalan cukup ramai. Hal ini karena Ngobeng Kui-ong tidak ingin membunuh Han Bu, melainkan ingin menangkapnya hidup-hidup. Dia mempunyai sebuah rencana bagi pemuda itu. Dahulu, kakek ini memang seorang sahabat dari Bu Beng Kiam-sian. Mereka sama-sama mempelajari ilmu, saling menukar ilmu, hidup sebagai datuk-datuk yang gagah perkasa dan patriotik. Ket ika Im-yang Sian-kouw yang dulu bernama Cui Eng menjadi murid Bu-beng Kiam-sian, Ngo-beng Kui-ong sempat tergila-gila kepada janda muda itu dan beberapa kali dia membujuk rayu dan meminang agar Cui Eng menjadi isterinya dan dijanjikan akan diberi semua ilmu yang dikuasainya. Pada waktu itu Ngo-beng Kui-ong berusia hampir enam puluh tahun dan masih gagah, tidak seperti sekarang.
Akan tetapi Cui Eng menolak dan Ngo-beng Kui-ong tidak berani memaksa karena tentu saja dia merasa sungkan kepada Bu Beng Kiam-sian yang melindungi Cui Eng. Juga dia sendiri bukanlah orang yang suka memaksakan kehendak memenuhi nafsunya.
Kemudian, ketika pasukan Mancu menyerang dan menduduki Cina, Ngo-beng Kui-ong ikut melakukan perlawanan. Setelah Jenderal Wu Sam Kwi melarikan diri ke selatan dan membentuk pemerintahan sendiri lalu masih melakukan perlawanan mati-matian terhadap pemerintah penjajah Mancu, dengan sendirinya Ngo-beng Kui-ong condong membantunya, apalagi muridnya, Lam-hai Cin-jin, menjadi Koksu (Guru Negara), penasihat Jenderal Wu Sam Kwi. Walaupun dia sudah tua dan tidak secara langsung membantu Wu Sam Kwi, namun ketika muridnya, Lam-hai Cinjin minta bantuannya mewakili Wu Sam Kwi dalam persekutuannya dengan Pangeran Cu Kiong, dia tergerak dan berangkat juga.
Demikianlah, ketika kini t iba-tiba dia berhadapan lawannya, seorang pemuda yang mengaku sebagai murid Im-yang Siankouw, Ngo-beng Kui-ong memiliki rencana bagi pemuda itu.
Dia hendak menangkapnya hidup-hidup untuk kelak menyenangkan hati Im-yang Sian-kouw. Walaupun andaikata wanita yang membuatnya tergila-gila itu tetap tidak mau menjadi isterinya, setidaknya Im Yang Sian-kouw dapat diharapkan bantuannya mendukung pemerintah Jenderal Wu Sam Kwi! Ketika melihat betapa pemuda itu memang sudah mewarisi ilmu pedang dan ilmu kipas yang lihai dari Bu-beng Kiam-sian melalui gurunya, yaitu Im-yang Sian-kouw, maklumlah Kuibeng Kui-ong bahwa untuk merobohkan pemuda ini tanpa melukai tidaklah mudah dan jalan satu-satunya hanyalah menggunakan tenaga sakti dibantu kekuatan sihirnya.
Maka, setelah berkemak-kemik membaca mantera, dia mendorongkan tangan kirinya ke arah Han Bu sambil berseru.
"Robohlah engkau!" Hawa dorongan itu dahsyat bukan main. Angin yang menyambar bagaikan badai dan di dalamnya terkandung pula wibawa yang mempengaruhi diri Han Bu. Ada sesuatu yang seolah memaksa dirinya untuk kehilangan daya tahannya dan biarpun dia mencoba untuk bertahan, tetap saja dia terpelanting dan sebelum dia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya, kakek itu melompat dan menotoknya sehingga pemuda itu tidak mampu bergerak lagi.
Para prajurit kini berlompatan mendekat dan mereka sudah menggerakkan golok dan pedang untuk membunuh Han Bu.
Akan tetapi Han Bu berseru.
"Ngo-beng Kui-ong, apa engkau tidak berani membunuh aku sendiri dan menyuruh anjing-anjingmu ini mengeroyok aku yang sudah tidak mampu bergerak? Pengecut besar!" Mendengar ini, Ngo-beng Kui-ong menggerakkan tangannya dan angin menyambar amat kuatnya membuat beberapa orang prajurit yang menghampiri Han Bu berpelantingan!
"Tidak ada yang boleh membunuh pemuda ini! Mundur kalian semua!" Para prajurit ketakutan dan mundur, mengepung dari jarak jauh.
"Ngo-beng Kui-ong, sekarang engkau hendak membunuh aku yang kaubuat tidak berdaya dengan ilmu iblismu? Huh, tak tahu malu. Kalau memang kau gagah, hayo jangan pergunakan ilmu setan dan tewaskan aku dalam perkelahian adu ilmu silat yang jujur dan adil, kalau kau berani!"
"Ho-ho, jangan berlagak, bocah sombong! Engkau ketakutan maka engkau berlagak pemberani."
"Ha-ha-ha, kakek tua bangka! Siapa takut mati? Aku adalah murid Subo Im-yang Sian-kouw dan cucu murid Sukong Bu Beng Kiam-sian, mana mungkin takut mati? Berarti engkau bohong dan belum mengenal kegagahan mereka!"
"Huh, bagaimanapun juga, aku akan membunuhmu. Akan tetapi mengingat akan persahabatanku dengan Janda Im-yang Sian-kouw yang menjadi gurumu, biarlah aku memberi kelunakan padamu. Engkau boleh memilih sendiri cara kematianmu. Kalau pilihanmu benar, engkau akan mendapat kehormatan mati di tanganku. Kau tahu, mati di tangan Ngobeng Kui-ong merupakan kehormatan besar bagi seorang kang-ouw! Akan tetapi kalau pilihanmu tidak benar, engkau akan kuserahkan kepada para anjing ini biar mereka yang mengeroyokmu sampai engkau mampus dengan cara rendah dan hina! Nah, engkau boleh pilih!" Han Bu adalah seorang pemuda yang lincah jenaka, pemberani dan banyak akalnya. Mendengar ucapan itu, dia memutar otaknya, mencari akal. Kemudian, dengan wajah cerah, dalam keadaan rebah telentang dan tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, dia bertanya.
"Ngo-beng Kui-ong, apakah engkau ini benar-benar seorang datuk ilmu silat yang terkenal dan dapat dipercaya janjinya? Ataukah hanya seorang Siauw-jin (Manusia Rendah) yang suka menjilat ludah sendiri, mengingkari janjinya?"
"Bocah setan! Tentu saja aku selalu memegang teguh ucapan dan janjiku!"
"Hemm, kau tadi bilang bahwa aku boleh memilih dan kalau pilihanku tepat, maka aku akan mati terhormat di tanganmu, sebaliknya kalau pilihanku keliru, aku akan mati dikeroyok anjing-anjing ini. Benarkah demikian janjimu?"
"Benar sekali dan aku tidak akan mengingkarinya!"
"Berani engkau bersumpah bahwa engkau tidak akan melanggar janjimu sendiri? Ingat, janjimu disaksikan Bumi dan Langit, juga didengarkan oleh belasan anak buahmu ini.
Sebagai seorang datuk besar, tentu engkau tidak akan menjilat ludahmu sendiri!" Ngo-beng Kui-ong marah sekali. Dia merasa dipermainkan anak yang pantas menjadi cucunya, bahkan cucu buyutnya!
"Bocah setan! Siapa hendak mengingkari janji? Tidak sudi aku bersumpah, akan tetapi biar semua orang ini menjadi saksi bahwa kalau engkau memilih benar, engkau akan mati terhormat di tanganku, sebaliknya kalau engkau memilih keliru, engkau akan mati dikeroyok anak buah ini!" Han Bu mengerutkan alisnya. Wah, tidak enak semua! Akan tetapi, lebih baik, seratus kali lebih baik mati sebagai seekor harimau yang mati-matian membela diri daripada sebagai seekor babi yang hanya menguik-nguik menghadapi kematian tanpa melawan hanya berkaok-kaok ketakutan!
"Ngo-beng Kui-ong, satu hal lagi. Kalau aku memilih benar sehingga aku mati di tanganmu, aku minta agar aku dibebaskan dari totokan sehingga aku dapat melawanmu dan mati karena kalah dalam perkelahian. Bagaimana?"
"Tentu saja! Kalau pilihanmu benar, engkau akan melawanku sampai mati, akan tetapi kalau pilihanmu keliru, dalam keadaan tertotok engkau akan dihabisi mereka. Nah, jangan banyak cerewet lagi seperti seorang nenek bawel, cepat lakukan pilihanmu!" Setelah memutar otaknya dan menahan napas, dengan nekat Han Bu lalu berkata lantang sehingga terdengar oleh semua prajurit yang berada di situ.
"Aku, memilih mati di tangan prajurit ini!" Mendengar ini, para prajurit tertawa riuh, dan Ngo-beng Kui-ong juga tertawa. "Ha-ha-ha-ha, kiranya engkau hanya seorang pengecut dan takut melawan aku, maka memilih mati seperti seekor tikus! Baik, kalau itu pilihanmu, engkau akan mampus dicincang para prajurit ini dan arwahmu tidak boleh menyalahkan siapa pun karena ini merupakan pilihanmu sendiri!" Dia tertawa lagi terbahak. "Tidak kusangka murid Imyang Sian-kouw setolol ini!" Para prajurit sudah gatal tangan dan siap untuk mencincang tubuh pemuda pengacau itu dengan golok dan pedang mereka.
"Tahan!" Han Bu berseru. "Ngo-beng Kui-ong, bukan aku yang tolol, akan tetapi engkau yang hendak menjilat ludahmu sendiri. Datuk macam apa engkau hendak mengingkari janjimu, hah?" Kakek itu terkejut dan marah. "Bocah setan, siapa mengingkari janji?"
"Coba pergunakan otakmu yang tumpul karena sudah terlalu tua itu. Apa pilihanku tadi?"
"Engkau memilih mati di tangan para prajurit!"
"Benar, dan engkau sekarang hendak melaksanakan itu, menyuruh para prajurit membunuhku? Kalau begitu berarti pilihanku benar! Padahal kalau pilihanku benar, aku tidak harus dibunuh para prajurit, melainkan melawan sampai mati.
Nah, masih ingat, bukan? Ataukah engkau sudah pikun dan pura-pura lupa?" Ngo-beng Kui-ong tertegun dan bengong seperti orang bodoh, dan para prajurit saling pandang lalu menganggukangguk. Mereka dapat melihat kebenaran omongan pemuda itu. Pemuda itu memilih mati di tangan mereka, kalau hal ini dilaksanakan, berarti pilihannya benar dan kalau pilihannya benar, seperti dijanjikan kakek itu, dia tidak seharusnya mati di tangan para prajurit! Agaknya Ngo-beng Kui-ong akhirnya dapat menyadari kebenaran ini. Tidak, anak muda itu tidak boleh mati dikeroyok prajurit karena kalau hal itu terjadi, maka pilihannya benar dan kalau pilihannya benar, menurut janji dia akan mendapat kehormatan melawannya dan mati di tangannya.
"Ah, benar juga, aku keliru, Si Han Bu. Baiklah, sekarang aku akan membebaskan dan memberi kesempatan kepadamu untuk bertanding melawan aku sampai mati!" Kakek itu hendak melawan Han Bu dan sekali tangannya berkelebat, dia sudah membebaskan pemuda itu dari totokan yang ampuh.
Han Bu melompat berdiri dan segera berseru.
"Tahan dulu, Ngo-beng Kui-ong! Engkau tidak jadi menjilat ludah yang ini, akan tetapi siap untuk menjilat ludahmu yang lain. Sungguh tidak tahu malu. Aku tidak sudi bertanding melawanmu karena itu menyalahi apa yang telah kaujanjikan!"
"Lho! Apa lagi ini? Aku melanggar janji yang mana?"
"Dasar sudah pikun dan bodoh! Apa janjimu tadi? Kalau aku salah pilih aku akan mati di tangan para prajurit, bukan? Nah, apa yang kupilih? Aku memilih mati di tangan para prajurit, kalau sekarang aku harus mati di tanganmu, berarti pilihanku tadi salah dan kalau salah, tidak semestinya aku mati di tanganmu! Seharusnya mati di tangan para prajurit!" Kakek itu melongo dan menghitung-hitung. Kalau pemuda yang memilih mati di tangan para prajurit itu dibiarkan mati dikeroyok, berarti pilihannya benar dan tidak boleh mati dikeroyok. Sebaliknya kalau mati di tangannya, berarti pilihannya keliru dan seharusnya mati dikeroyok.
"Lho, bagaimana ini...?" Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya dengan bingung. "Menyuruh para prajurit membunuhmu salah, aku sendiri yang membunuhmu juga salah! Lalu bagaimana?" Para prajurit juga geleng-geleng kepala karena bingung dan mereka semua baru menyadari bahwa mereka telah diakali oleh pemuda itu! Akan tetapi Ngo-beng Kui-ong tidak berdaya karena tentu saja dia tidak mau melanggar janjinya sendiri yang disaksikan demikian banyaknya prajurit.
"Memang tidak semestinya engkau membunuhku, Ngobeng Kui-ong. Kalau betul engkau dahulu sahabat kakek guruku mendiang Bu Beng Kiam-sian dan juga sahabat ibu guruku Im-yang Sian-kouw, bagaimana engkau akan dapat bertemu mereka kalau engkau membunuh aku?" Selagi kakek itu kebingungan tak mampu menjawab, terdengar suara berisik di luar bangunan itu, Ngo-beng Kuiong cepat menotok Han Bu yang tidak siap sehingga pemuda itu terkulai lumpuh kembali. Kakek itu lalu mengangkat tubuh Han Bu dan dimasukkan ke dalam kamar tahanan yang tadi dipergunakan untuk menawan Huang-ho Sian-li. Setelah melemparkan pemuda itu ke dalam kamar tahanan, pintunya lalu ditutup dan digembok dari luar.
Han Bu merasa lega. Setidaknya dia gembira karena pertama, dia dapat meloloskan Huang-ho Sian-li, dan ke dua, dia dapat mengakali Ngo-beng Kui-ong sehingga kakek itu menjadi serba salah dan tidak dapat membunuhnya. Akan tetapi, dalam keadaan telentang dan tertotok, rebah di atas pembaringan kayu, kini dia melihat munculnya beberapa orang yang membuat dia dapat merasakan bahwa keadaan dirinya tetap saja gawat.
Yang muncul adalah Pangeran Cu Kiong sendiri bersama Lam-hai Cin-jin, Thio Kwan, Yu Kok Lun, dan Ang-mo Niocu yang cantik genit.
"Locianpwe Ngo-beng Kui-ong, apa yang kami dengar dari laporan para pengawal itu? Bagaimana Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa dapat lolos dari tahanan?" Pangeran Cu Kiong yang masih marah karena persidangan itu gagal dan ditunda, kini mendengar bahwa Huang-ho Sian-li musuh yang paling berbahaya baginya itu telah lolos dari tempat tahanan! Tentu saja dia menjadi marah sekali, matanya terbelalak merah dan kalau saja bukan Ngo-beng Kui-ong yang melakukan penjagaan dan bertanggung jawab atas lolosnya tawanan, tentu dia sudah turun tangan membunuhnya!
jilid XII
"AH, aku tertidur ketika Huang-ho Sian-li ditolong dan dikeluarkan oleh bocah ini. Sekarang dia yang meloloskan Huang-ho Sian-li telah kutangkap!" kata kakek itu, sama sekali tidak merasa menyesal karena dia yang sudah tua tidak begitu mementingkan tentang rencana Pangeran Cu Kiong. Dia datang ke kota raja hanya sebagai utusan Jenderal Wu Sam Kwi untuk membantu murid keponakannya, yaitu Lam-hai Cinjin.
Mendengar bahwa ada orang telah meloloskan Huang-ho Sian-li dari tawanan, dan orang itu kini sudah tertangkap, Pangeran Cu Kiong bertanya, marah.
"Mana Si Jahanam yang telah membikin lolosnya Huang-ho Sian-li?" Ngo-beng Kui-ong sambil menyeringai menuding ke arah dalam kamar tahanan. "Itu dia orangnya!"
"Keparat, biar kubunuh dia!" Pangeran Cu Kiong sudah mencabut pedangnya, hendak menyuruh buka pintu kamar penjara karena dia ingin melampiaskan kemarahannya kepada orang yang telah mengeluarkan Huang-ho Sian-li dari tahanan.
"Eitt, nanti dulu, Pangeran. Jangan bunuh dia!" Ngo-beng Kui-ong mencegah dan berdiri menghadang di depan pintu kamar penjara.
Pangeran Cu Kiong menjadi marah sekali dan Lam-hai Cinjin juga khawatir akan sikap susioknya (paman gurunya) yang sudah tua renta dan suka bersikap ugal-ugalan tanpa pandang bulu itu.
"Susiok, mengapa Susiok melarang Pangeran Cu untuk membunuh orang muda itu? Bukankah dia telah bersalah besar membebaskan Huang-ho Sian-li yang menjadi tawanan penting?" Lam-hai Cin-jin menegur paman gurunya.
"Ho-ho-ho, engkau tidak tahu, Cin-jin. Kau tahu siapa pemuda ini? Dia ini murid Im-yang Sian-kouw, cucu murid mendiang Bu Beng Kiam-sian. Kau ingat mereka itu dahulu adalah sahabat-sahabatku. Sekarang aku dapat menangkap murid Im-yang Sian-kouw, ini merupakan senjata baik sekali untuk memaksa ia suka membantu Raja Wu Sam Kwi! Nah, amat menguntungkan, bukan? Kalau dibunuh begitu saja, apa untungnya bagi kita? Pangeran Cu Kiong, hati boleh panas, akan tetapi kepala harus tetap dingin sehingga dapat berpikir dengan baik. Kita pertimbangkan untung ruginya! Aku tetap mempertahankan hidup pemuda ini karena aku mengharapkan gurunya akan mau mendukung Raja Wu Sam Kwi yang membutuhkan banyak bantuan tenaga orang sakti." Lam-hai Cin-jin tersenyum masam. Tentu saja dia maklum bahwa alasan yang dikemukakan paman gurunya itu walaupun ada benarnya namun sesungguhnya bukan itulah tujuannya.
Dia tahu bahwa dahulu paman gurunya itu pernah tergila-gila kepada Im-yang Sian-kouw dan pernah merayu dan berkalikali meminang janda muda cantik itu untuk menjadi isterinya.
Akan tetapi Im-yang Sian-kouw sudah mengambil keputusan untuk menjanda selama hidupnya, maka bujuk rayu dan pinangan itu ditolaknya. Kini agaknya Ngo-beng Kui-ong yang sudah berusia delapan puluh tahun lebih, makin tua semakin bergairah, dan agaknya hendak mempergunakan murid Imyang Sian-kouw yang ditawannya untuk memaksa janda itu mau menjadi isterinya! Pangeran Cu Kiong menjadi marah dan kecewa sekali.
Huang-ho Sian-li bebas dari tahanan dan tentu akan menimbulkan banyak kesulitan baginya. Biarpun dia merasa marah dan benci sekali kepada pemuda yang telah membebaskan Huang-ho Sian-li, namun melihat Ngo-beng Kui-ong berkeras tidak membiarkan pemuda itu dibunuh, dia pun tidak berani mendesak. Akan rugi sekali kalau dia bentrok dengan kakek tua renta yang sakti itu. Pula, tidak begitu penting artinya baginya kalau pemuda itu dibunuh ataukah tidak. Yang terpenting sekarang dia harus membuat rencana secepatnya untuk menguasai keadaan sebelum Huang-ho Sian-li membuat kesulitan baginya.
Maka dengan muka masih merah karena marah dan mulut bersungut-sungut, Pangeran Cu Kiong memberi isyarat kepada para pembantunya untuk mengadakan perundingan di dalam kamar rahasia. Sekali ini, dia membuat pertemuan terakhir, maka dia mengundang semua pendukungnya. Selain para pembantu tetapnya, yaitu Thio Kwan dan Yu Kok Lun, dan para pendukung tetap, yaitu para utusan Jenderal Wu Sam Kwi seperti Lam-hai Cin-jin, Ang-mo Niocu Yi Hong, Mong Lai orang Mongol yang membantu Wu Sam Kwi, dan Ngo-beng Kui-ong, juga hadir pula para panglima dan pejabat tinggi yang sudah dapat dipengaruhi Pangeran Cu Kiong yang kini menggunakan Tek-pai yang dirampasnya dari Huang-ho Sianli! Dengan Tek-pai itu, banyak panglima dan pejabat tinggi tertarik dan terbujuk olehnya.
Dalam ruangan rahasia yang tertutup itu kini dipenuhi mereka yang mengadakan perundingan dengan serius, dipimpin oleh Pangeran Cu Kiong yang penuh semangat dan berapi-api.
"Kita harus bertindak sekarang juga atau akan terlambat dan tidak akan ada kesempatan lagi! Tek-pai berada di tanganku dan dengan Tek-pai ini aku dapat bertindak atas nama Kaisar, Ayahku, sedangkan kaisar baru belum diangkat, berarti aku memiliki kekuasaan mutlak. Para pejabat tinggi tentu akan tunduk kepada pemegang Tek-pai. Sekarang aku hendak bertanya, bagaimana ketiga Ciangkun, apakah kalian bertiga sudah mempersiapkan pasukan kalian dan set iap saat sudah siap untuk mengepung istana dan menguasainya?" Berkata demikian, Pangeran Cu Kiong memandang kepada tiga orang panglima perang yang terbujuk olehnya dan menjadi pendukungnya, tentu saja dengan janji akan mendapatkan kedudukan yang jauh lebih tinggi kalau Pangeran Cu Kiong kelak menjadi kaisar.
"Kami sudah siap, Pangeran!" serentak mereka menjawab.
"Bagus! Gui-ciangkun, bagaimana hasil penyelidikanmu tadi? Apa yang dilakukan Pangeran Bouw Hun Ki dan di mana adanya Pangeran Kang Shi?" tanya Pangeran Cu Kiong kepada panglima yang ditugaskan sebagai kepala para penyelidik.
"Menurut hasil penyelidikan para anak buah yang kami sebar di mana-mana, tidak tampak banyak gerakan oleh Pangeran Bouw Hun Ki. Pangeran Mahkota Kang Shi masih berada di sana dan semua kegiatan juga dilakukan di sana.
Istana masih sepi dan kabarnya, sebelum terjadi pelantikan kaisar baru, maka Pangeran Kang Shi masih akan tinggal bersama Pangeran Bouw Hun Ki. Para panglima yang setia kepada Kaisar juga belum kelihatan mengadakan persiapan apa pun. Jadi menurut hamba, saat ini memang tepat dan baik sekali apabila Paduka membuat gerakan yang pasti akan berhasil baik selagi pihak musuh sedang lengah."
"Bagus! Sekarang, aku ingin mendengar pendapat Lam-hai Cin-jin, bagaimana langkah yang sebaiknya harus kita ambil."
"Hemm, Pangeran, pada saat ini, kerajaan sedang kosong, belum ada kaisar baru, maka memang saatnya paling tepat untuk bergerak. Satu-satunya yang menjadi penghalang bagi Pangeran untuk dapat naik tahta hanyalah Pangeran Kang Shi.
Akan tetapi Pangeran itu masih kecil, jadi bukan dialah yang menjadi penghalang terbesar, melainkan pelindungnya dan pendampingnya, yang bukan lain adalah Pangeran Bouw Hun Ki. Maka, sebaiknya Pangeran mengerahkan semua kekuatan untuk menyerbu ke gedung Pangeran Bouw Hun Ki dan membinasakan semua keluarga dan pengikutnya, termasuk Huang-ho Sian-li."
"Saya setuju sekali dengan pendapat Lam-hai Cin-jin," kata Thio Kwan si tinggi kurus muka pucat. "Terutama sekali Huang-ho Sian-li, kita harus sekali ini dapat membunuhnya.
Tidak ada gunanya menawannya hidup-hidup, lebih cepat ia tewas lebih baik."
"Memang tepat sekali," kata Yu Kok Lun yang pendek gemuk. "Gadis itu berbahaya sekali dan kiranya setelah ia pernah kita tawan, tidak akan mudah lagi menawannya karena ia tentu akan berhati-hati. Maka sebaiknya digunakan siasat yang cerdik. Bagaimana kalau kita tangkap ayahnya? Pangeran Ciu Wan Kong seorang lemah, kalau kita dapat menangkapnya, saya kira Huang-ho Sian-li dapat kita tundukkan."
"Bagus, bagus! Semua usul itu baik sekali dan harus segera dilaksanakan! Dan sekarang, apakah ketiga Ciangkun sudah membuat rencana apa yang akan dilakukan dan sudah membagi tugas kepada pasukan masing-masing?"
"Pangeran, kami bertiga telah membagi-bagi tugas. Tiga pasukan kami sudah kami rencanakan untuk bergerak sebagai berikut. Pasukan pertama akan menghadang di pintu gerbang dan mencegah masuknya pasukan dari luar kota raja yang hendak membela Pangeran Mahkota. Pasukan kedua kami perbantukan usaha penyerbuan ke gedung Pangeran Bouw Hun Ki dan menghancurkan semua kekuatannya, kemudian pasukan ke dua membantu pasukan ke tiga yang mengepung istana dan kemudian menyerbu setelah saatnya tiba, yaitu kami menunggu komando dari Pangeran." Pangeran Cu Kiong menggosok-gosok kedua tangannya dengan wajah girang. Dia seolah sudah yakin bahwa usahanya pasti berhasil!
"Bagus, sekarang kita tentukan rencana gerakan besok pagi-pagi sekali seperti berikut. Malam ini, Gui Ciangkun harap bekerja keras memata-matai semua gerakan di gedung Pangeran Bouw Hun Ki dan di istana sehingga kalau terjadi perubahan kita dapat mengetahui gerakan mereka. Juga malam ini, ketiga pasukan harus sudah dapat menyusup dan siap di tempat masing-masing, yaitu di pintu gerbang, di dekat gedung Pangeran Bouw, dan di dekat istana. Jangan membuat gerakan mengepung lebih dulu karena gerakan itu dapat menarik perhatian orang. Kemudian, begitu ada tanda ayam berkokok, pasukan kedua membantu kedua Locianpwe Lamhai Cin-jin dan Ngo-beng Kui-ong, Sobat Mong Lai, dan para perwira penyerbu istana Pangeran Bouw Hun Ki, membasmi semua yang melawan termasuk Pangeran Bouw Hun Ki dan Pangeran Kang Shi. Sementara itu, Thio Kwan dan Yu Kok Lun lebih dulu membawa dua losin prajurit pergi menangkap Pangeran Ciu Wan Kong sehingga kalau dalam pertempuran di istana Pangeran Bouw Hun Ki itu Huang-ho Sian-li mengamuk, kalian dapat memaksa ia menyerah dengan memperlihatkan ayahnya yang disandera. Kemudian, kalau pasukan pertama ternyata tidak menemui pasukan kerajaan yang akan masuk, mereka harus cepat pergi ke istana dan membantu pasukan ke tiga yang mengepung istana. Nah, kalau ada pertanyaan, silakan ajukan sekarang karena ini merupakan perundingan terakhir." Setelah merundingkan rencana pemberontakan mereka secara rinci, perundingan itu ditutup karena semua orang harus membuat persiapan malam itu juga. Setelah semua meninggalkan ruangan rahasia itu, sebagian para panglima dan pejabat tinggi, pulang ke tempat tinggal masing-masing, dan para pembantu atau pengawal kembali ke kamar masingmasing yang disediakan untuk mereka dalam istana itu, Pangeran Cu Kiong berjalan menuju kamarnya bersama Angmo Niocu Yi Hong. Akan tetapi ketika Y i Hong hendak menuju ke kamarnya sendiri, tangannya dipegang Pangeran Cu Kiong.
"Niocu, malam ini engkau harus menemani aku. Besok merupakan hari penentuan dan malam ini aku ingin menikmatinya, siapa tahu merupakan malam terakhir pula bagiku."
"Ih, mengapa bicara begitu, Pangeran? Aku ingin tidur, harus siap dan mengaso agar besok pagi dapat mengerahkan tenaga sepenuhnya."
"Marilah, Niocu, engkau tidur di kamarku saja."
"Pangeran, biarkan aku sendiri saja...." Ang-mo Niocu Yi Hong menarik tangannya yang dipegang, akan tetapi pangeran itu tidak mau melepaskannya.
"Niocu, apakah engkau tidak cinta lagi padaku? Bukankah kita saling mencinta? Ingat, kalau aku berhasil, engkau pun akan mendapat kedudukan tinggi di istanaku...." Di dalam hatinya Yi Hong tersenyum mengejek. Cinta? Tak pernah ada rasa cinta menyelinap dalam hatinya. Hatinya sejak kecil sudah dijejali dan dipenuhi bibit kebencian terhadap pria sehingga kini yang ada hanya perasaan benci.
Kalau ia mau berdekatan dengan pria yang muda dan tampan, ini sama sekali bukan cinta, melainkan hanya nafsu berahi belaka. Akan tetapi biarpun setelah beberapa lamanya menjadi kekasih Pangeran Cu Kiong dan ia mulai merasa bosan, ia menahan diri dan tidak mau memperlihatkannya.
Kini pun ia terpaksa mengalah, bukan karena ada rasa sayang terhadap pangeran yang ia tahu bukannya cinta kepadanya melainkan hendak memanfaatkannya, melainkan karena demi memenuhi tugasnya sebagai utusan Jenderal Wu Sam Kwi.
Tiada seorang pun laki-laki di dunia ini yang pernah dicintanya dengan kasih yang murni, bahkan Yi Hong tidak pernah merasakan kasih sayang antara dirinya dan ayah kandungnya yang telah tewas terbunuh oleh ibu kandungnya sendiri ketika ia berusia satu tahun! Gurunya sendiri, Lam-hai Cin-jin, yang telah mendidiknya sejak ia berusia sepuluh tahun, juga hanya ia taati dan ia hormati sebagai guru tanpa ada rasa sayang seorang murid kepada gurunya, dan hal ini hanya karena gurunya itu seorang laki-laki! Kalau ada laki-laki yang benarbenar ia bela, bukan lain adalah Jenderal Wu Sam Kwi. Sejak kecil telah tertanam dalam lubuk hatinya bahwa Jenderal Wu Sam Kwi adalah seorang pahlawan besar yang gagah perkasa, setia kepada tanah air dan bangsa, dan yang ia junjung t inggi.
Untuk tokoh yang sudah tua itu, Ang-mo Niocu siap untuk berkorban nyawa sekalipun! Justru karena rasa bakti dan sayangnya kepada Jenderal Wu Sam Kwi, maka Yi Hong membantu Pangeran Cu Kiong dengan sungguh hati, bukan demi keberhasilan pangeran itu, melainkan demi kemenangan dan keberhasilan Jenderal Wu Sam Kwi.
Melihat itu setelah melayani Pangeran Cu Kiong dengan hati muak karena memang sudah bosan dan terpaksa, Yi Hong dapat membujuk pangeran itu untuk menitipkan Tek-pai (Tanda Kekuasaan) dari mendiang Kaisar Shun Chi yang dirampas dari Huang-ho Sian-li itu kepadanya.
"Tek-pai itu merupakan bukti terpenting bagi Paduka," demikian Yi Hong membujuk. "Dengan Tek-pai di tangan, setidaknya Paduka memiliki kekuasaan yang disegani sebagian besar para pejabat kerajaan, apalagi sebelum ada kaisar baru.
Maka, amat berbahaya kalau Paduka pegang sendiri. Juga kalau Paduka sembunyikan, bisa saja diambil atau dicuri orang. Maka, kalau Paduka percaya kepada saya, bagaimana kalau diam-diam Paduka titipkan kepada saya? Tidak akan ada yang menyangka sehingga saya dapat menyelamatkan Tek-pai itu dan t idak sampai dirampas atau dicuri orang." Pangeran Cu Kiong menganggap usul itu baik sekali, maka pada keesokan harinya pagi-pagi sekali setelah mereka mandi dan berganti pakaian, Tek-pai itu sudah berada di balik ikat pinggang Ang-mo Niocu Yi Hong. Tentu saja tujuan Yi Hong menyimpan Tek-pai itu sama sekali bukan untuk kepentingan Cu Kiong, melainkan untuk kepentingan Jenderal Wu Sam Kwi.
Ia mengharapkan barang kali tanda kekuasaan dari kaisar itu akan dapat berarti penting sekali bagi junjungannya di Secuan, terutama sekali kalau rencana pemberontakan Pangeran Cu Kiong sampai menemui kegagalan.
(o-dwkz-jTn-o) Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa merasa menyesal sekali bahwa ia terpaksa harus pergi meninggalkan tempat tahanan di istana Pangeran Cu Kiong, meninggalkan pemuda tampan gagah yang telah membebaskannya dari tahanan tanpa dapat menolongnya. Di tempat tinggal Pangeran Cu Kiong terdapat banyak prajurit pengawal. Walaupun hal ini bukan merupakan bahaya bagi seorang yang memiliki kelihaian seperti pemuda yang membebaskannya itu, namun di situ ada pula Ngo-beng Kui-ong yang sakti. Mungkinkah pemuda itu mampu menyelamatkan diri dari mereka? Akan tetapi, ada dua hal yang memaksa Huang-ho Sian-li pergi meninggalkan pemuda itu, walaupun tindakannya ini mendatangkan penyesalan yang mendalam kepadanya. Pertama pemuda itu yang mendorong ia agar pergi melarikan diri dengan mengatakan bahwa ia harus cepat menemui ayahnya dan yang terpenting menyelamatkan Pangeran Mahkota. Ke dua, kalau ia nekat mengamuk untuk membantu pemuda itu meloloskan diri, kemudian ia tertangkap pula karena lihainya kakek yang seperti mayat hidup itu, lalu bagaimana dengan tugasnya melindungi Pangeran Mahkota? Demikianlah, dengan hati merasa menyesal sekali, terpaksa Thian Hwa meninggalkan istana Pangeran Cu Kiong dan cepat ia kembali ke gedung ayahnya Pangeran Ciu Wan Kong.
"Ayah...!" Ia melompat ke ruangan dalam di mana ayahnya sedang duduk termenung. Pangeran Ciu Wan Kong baru saja kembali dari menghadiri persidangan dalam istana di mana Pangeran Bouw Hun Ki memutuskan untuk menunda persidangan karena Huang-ho Sian-li yang menjadi terdakwa pembunuh Pangeran Leng tidak dihadirkan di situ. Pangeran Ciu termenung dan diam-diam dia merasa khawatir sekali akan nasib puterinya yang menjadi tawanan Pangeran Cu Kiong yang jahat dan kejam. Ketika mendengar panggilan itu dan melihat berkelebatnya bayangan Huang-ho Sian-li yang tiba-tiba sudah berada di ruangan itu, dia melompat berdiri.
"Thian Hwa...!" Saking girangnya, Pangeran Ciu Wan Kong merangkul puterinya. Thian Hwa juga merasa terharu karena ia dapat merasakan rangkulan ayahnya yang penuh kasih sayang itu.
"Ayah...!" Ia pun merangkul dengan hati terharu.
Pangeran Ciu Wan Kong melepaskan rangkulannya dan menyuruh puterinya duduk. "Terima kasih kepada Tuhan, engkau dapat pulang dengan selamat, Anakku. Nah, ceritakan, bagaimana engkau dapat meloloskan diri dari cengkeraman Pangeran Cu Kiong yang jahat itu dan apa yang telah terjadi?"
"Ayah, aku telah dif itnah oleh Pangeran Cu. Dia yang membunuh Pangeran Leng, menggunakan Pek-hwa-ciam milikku yang telah dirampasnya setelah mereka merobohkan dan menangkapku."
"Sudah kami duga hal itu, Thian Hwa. Akan tetapi bagaimana terjadinya? Ceritakan selengkapnya, aku ingin sekali mendengar apa yang terjadi." Thian Hwa lalu menceritakan apa yang ia alami ketika ia mengunjungi Pangeran Leng Kok Cun di mana telah terdapat Pangeran Cu Kiong dan para jagoannya yang lihai sehingga ia ditawan mereka dan difitnah sebagai pembunuh Pangeran Leng, padahal yang membunuhnya adalah Pangeran Cu Kiong sendiri!
"Pedang, Pek-hwa-ciam, dan Tek-pai pemberian Kaisar dirampas, lalu aku dimasukkan kamar tahanan, dijaga oleh Ngo-beng Kui-ong yang amat sakti dan para prajurit yang siap dengan panah mereka mencegah aku melepaskan diri dari tahanan."
"Ah, masih baik nasibmu engkau tidak dibunuh pangeran yang jahat itu, Anakku...."
"Mereka tentu masih menganggap aku berguna maka mereka tidak atau belum membunuhku, Ayah. Mereka merasa menang karena dapat memfitnahku dengan membunuh Pangeran Leng."
"Akan tetapi, bagaimana engkau dapat meloloskan diri, Thian Hwa?"
"Tadi muncul seorang pemuda yang merobohkan para prajurit dan dia membebaskan aku dari kamar tahanan dengan menyamar sebagai seorang prajurit...."
"Ah, pemuda yang tampan gagah itu? Dia Si Han Bu...!"
"Si Han Bu...?"
"Ya, dia sudah datang berkunjung ke sini. Dia mengaku bernama Si Han Bu, murid dari Im-yang Sian-kouw di Bengsan. Kemunculannya membawa banyak kabar yang demikian baiknya sehingga sulit dipercaya, Anakku!"
"Kabar apakah, Ayah?"
"Kebahagiaan pertama yang dibawanya tentu saja dengan tindakannya yang telah membebaskanmu dari tahanan Pangeran Cu Kiong. Dan kabar ke dua yang membuat kita patut bersyukur kepada Tuhan adalah bahwa... Cui Eng....
masih hidup dan gurunya, Im-yang Sian-kouw, mengetahui di mana adanya...." Suara Pangeran Ciu Wan Kong kini mengandung isak tangis!
"Cui Eng... Ibuku...?" Thian Hwa setengah menjerit. "Ibu...
Ibu... Ibuku masih hidup...?" Ia bangkit dan merangkul ayahnya. Ayah dan anak kembali berangkulan dan kini keduanya menangis!
"Benar, Anakku.... menurut Si Han Bu, gurunya yang bernama Im-yang Sian-kouw mengatakan bahwa Cui Eng ibumu masih hidup dan ia tahu di mana kini ibumu berada...." Tiba-tiba Thian Hwa melepaskan pelukan ayahnya. "Ayah, sekarang juga aku akan pergi ke Beng-san, mencari Im-yang Sian-kouw dan bertanya kepadanya di mana adanya ibuku!"
"Nanti dulu, Thian Hwa! Engkau tidak boleh pergi sekarang ini!"
"Kenapa, Ayah? Apakah Ayah sudah lupa kepada Ibu dan Ayah tidak lagi mencinta Ibu maka tidak ingin aku mencari Ibu?"
"Bukan begitu, Thian Hwa. Akan tetapi, engkau harus dapat menentukan mana yang paling penting untuk dilaksanakan paling dulu. Ibumu masih hidup, hal ini merupakan berkah Tuhan, merupakan kebahagiaan yang tiada bandingnya bagi kita berdua dan bagi kong-kongmu, akan tetapi saat ini ibumu berada dalam keadaan baik dan sehat. Sebaliknya, kerajaan terancam bahaya, Pangeran Mahkota terancam keselamatannya padahal engkau telah dipercaya oleh Kaisar untuk melindunginya. Juga kita tidak boleh melupakan Si Han Bu yang mungkin terancam keselamatan nyawanya di istana Pangeran Cu Kiong. Bagaimana mungkin engkau pergi meninggalkan mereka yang terancam bahaya begitu saja? Mari kita lakukan yang terpenting lebih dulu dan ini merupakan perintahku kepadamu sebagai ayah memerintahkan anaknya!" Betapapun keras hatinya, Thian Hwa dapat melihat kebenaran ucapan ayahnya setelah tadi dalam rangkulan ayahnya ia dapat merasakan kasih sayang orang tua itu, maka setelah menghela napas panjang meredakan guncangan dan ketegangan hatinya mendengar ibunya masih hidup, ia lalu berkata.
"Baiklah, Ayah. Aku akan menaati semua perintahmu."
"Sukurlah, Anakku yang baik. Mari kita cepat pergi menemui Kakanda Pangeran Bouw Hun Ki dan kauceritakan semua pengalamanmu di istana Pangeran Cu Kiong." Ayah dan anak itu pergi mengunjungi Pangeran Bouw Hun Ki. Ketika Pangeran Bouw Hun Ki, Bouw Hujin, Bouw Kun Liong, Bouw Hwi Siang, Bu Kong Liang, Gui Sian Lin, dan beberapa orang panglima dan pejabat tinggi yang setia kepada Pangeran Mahkota dan membantu usaha Pangeran Bouw melindungi dan membela calon kaisar menerima kedatangan Huang-ho Sian-li bersama Pangeran Ciu Wan Kong, mereka terkejut, heran dan juga girang melihat gadis itu selamat dan berhasil lolos dari penahanan Pangeran Cu Kiong.
Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa segera menceritakan pengalamannya secara lengkap kepada mereka sampai ia dapat terlepas karena pertolongan Si Han Bu yang kini entah bagaimana nasibnya.
"Aih, sungguh aku dan Dinda Pangeran Ciu Wan Kong merasa prihatin, sedih dan malu mempunyai seorang keponakan seperti Pangeran Cu Kiong yang jahat dan licik itu.
Kita harus siap siaga menghadapi niatnya yang jelas hendak memberontak dan merebut tahta kerajaan dari Pangeran Mahkota!" kata Pangeran Bouw Hun Ki.
"Memang secepatnya kita harus bertindak, malam ini juga kita membuat persiapan!" kata Bouw Hujin penuh semangat.
"Sekarang, bukan hanya kita melindungi Pangeran Mahkota dan menyelamatkan tahta kerajaan, akan tetapi juga harus menolong dan menyelamatkan pemuda yang telah membebaskan Thian Hwa itu! Aku sendiri yang akan menyelidiki ke istana Pangeran Cu Kiong untuk menolong pemuda bernama Si Han Bu itu!"
"Aku akan menemani Bibi!" kata Thian Hwa dengan gagah.
"Perlahan dulu, jangan terburu-buru dan gegabah," kata Pangeran Bouw Hun Ki. "Urusan ini sudah menjadi urusan negara, bukan urusan pribadi lagi. Istana Pangeran Cu Kiong sekarang tentu makin diperkuat penjagaannya setelah Thian Hwa lolos dari sana. Kita kumpulkan semua pasukan yang setia dan membuat pertahanan besar-besaran. Para ciangkun yang berada di sini harap cepat menghubungi teman-teman sependirian yang setia kepada pemerintah. Juga pasukan kita yang berada di luar kota raja, malam ini sudah harus memasuki kota raja. Semua ini perlu diatur sebaik mungkin dan secara rahasia. Ketahuilah, bahwa pihak musuh juga mempunyaibanyak pendukung dan mereka cerdik. Kita sudah berhati-hati, sudah menyembunyikan lagi Pangeran Mahkota ke rumah kami ini, di ruangan rahasia bawah tanah, t idak lagi di istana. Namun, mungkin mereka sudah mengetahui atau menduganya. Karena itu, yang terutama kita harus mengungsikan Pangeran Mahkota ke tempat yang benarbenar rahasia dan dijaga amat kuat, baru kita atur yang lain."
"Pangeran, sebaiknya Pangeran Mahkota disembunyikan di dalam benteng induk pasukan kerajaan yang mempunyai tempat persembunyian rahasia dan terjaga kuat oleh pasukan pilihan yang besar jumlahnya!" kata Panglima Ciang.
"Baik, usul itu diterima!" kata Pangeran Bouw Hun Ki yang percaya sepenuhnya kepada panglima ini.
Setelah itu, mereka lalu mengatur rencana untuk menjaga kalau sewaktu-waktu pihak lawan bergerak, dan mengubah posisi mereka yang mungkin sudah diketahui atau diduga musuh. Mereka semua dapat menduga bahwa titik-titik pusat yang akan diserang oleh kekuatan pemberontak tentu istana tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki dan istana kaisar yang tentu akan dikuasai pemberontak. Oleh karena itu, pertahanan pertama diutamakan istana, dan tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki sengaja dikosongkan untuk menjebak lawan! Keselamatan Pangeran Mahkota tidak perlu dikhawatirkan lagi karena selain pihak musuh tidak mungkin tahu atau menduga, juga perbentengan induk pasukan itu kuat bukan main.
Demikianlah, kalau pihak Pangeran Cu Kiong malam itu mengaso untuk persiapan gerakan esok hari, pihak Pangeran Bouw Hun Ki malam itu juga sibuk membuat persiapan untuk menghancurkan apabila pihak pemberontak mengadakan aksi penyerbuan! Pada keesokan harinya, penduduk kota raja sama sekali tidak menyangka akan terjadi perist iwa menggemparkan.
Mereka semua mengira bahwa perist iwa penyerbuan di istana Pangeran Bouw Hun Ki telah selesai dan para penjahat atau pemberontak yang didalangi Pangeran Leng Kok Cun sudah terbasmi, bahkan dalangnya, Pangeran Leng Kok Cun, sudah pula terbunuh. Mereka semua mengira bahwa tentu suasananya kini aman setelah tidak ada yang mendalangi pemberontakan.
Akan tetapi, suasana mulai gempar dan para penghuni banyak yang berlari-larian, mengungsi ketakutan ketika terjadi pertempuran hebat di beberapa tempat. Terutama sekali terjadi pertempuran besar-besaran antara dua pasukan pemerintah yang berbeda pimpinan. Hanya ragam pakaian, bentuk topi, dan bendera mereka saja berbeda, lambanglambang kesatuan mereka, akan tetapi di antara mereka tidak terdapat pasukan musuh dari luar. Semua adalah pasukan pemerintah. Berarti ini terjadi perang pemberontakan! Pertempuran berkobar mulai pagi-pagi sekali. Mula-mula, pasukan pemberontak yang menjaga di pintu gerbang selatan, berjumlah seribu orang, tiba-tiba menghadapi serbuan pasukan pemerintah dari luar pintu gerbang dalam jumlah yang seimbang. Akan tetapi baru saja pertempuran dimulai, dari dalam kota raja muncul sekitar seribu orang prajurit pemerintah yang menjepit pasukan pemberontak. Pasukan ke dua dari pemerintah ini ternyata masuk ke dalam kota raja melalui pintu gerbang utara semalam, hal yang sama sekali tidak disangka para pemimpin pemberontak.
Pertempuran ke dua terjadi di depan istana tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki. Akan tetapi pertempuran di sini tidak seimbang. Pertahanan yang dilakukan para prajurit pemerintah di sini lemah sekali sehingga mereka terus mundur, terdesak oleh pasukan pemberontak yang lebih besar jumlahnya.
Pertempuran ke tiga terjadi di depan istana kaisar! Di sini terjadi pertempuran yang sama hebatnya dengan yang terjadi di pintu gerbang kota raja. Pihak pasukan pemberontak mendapat sambutan hebat dari pasukan pemerintah yang tidak kalah banyaknya, bahkan pasukan pemberontak terjepit oleh pasukan yang membanjir keluar dari benteng induk pasukan yang semalam telah menampung bala bantuan dari luar yang masuk ke kota raja melalui pintu-pintu gerbang yang tidak terjaga pasukan pemberontak. Tentu saja pihak pasukan kerajaan dapat mendesak pasukan pemberontak yang menjadi panik menerima penyambutan itu.
Selain di tiga tempat itu, terdapat pula pertempuranpertempuran kelompok kecil dari para mata-mata dan penyelidik kedua pihak. Bahkan para jagoan pendukung pemberontak yang ikut menyerbu, ketika disambut para pendekar yang membela kerajaan segera memisahkan diri dari pasukan yang bertempur dan mereka memilih bertanding di tempat-tempat yang luas, tidak sempit oleh banyaknya prajurit yang bertempur.
Thio Kwan dan Yu Kok Lun yang memimpin dua losin prajurit menyerbu ke gedung tempat tinggal Pangeran Ciu Wan Kong dengan membawa tugas menangkap ayah Huangho Sian-li, akan tetapi setelah menyerbu, mereka kecelik karena di gedung itu tidak terdapat siapa pun. Bahkan tidak ada seorang pun pelayan. Yang ada hanya beberapa orang prajurit penjaga yang segera melarikan diri melihat ada prajurit pemberontak menyerbu. Thio Kwan dan Yu Kok Lun kecewa dan marah sekali. Untuk melampiaskan kemarahan mereka, mereka merusak perabot-perabot rumah, membiarkan dua losin anak buah mereka mengambil dan merampok barang berharga sesuka hati mereka dari rumah itu, kemudian mereka menyuruh anak buah mereka membakar gedung itu untuk melampiaskan kemarahan mereka! Setelah itu, dengan sorak sorai kemenangan menutupi kekecewaan dua orang pimpinan mereka dan juga gembira karena pasukan yang berubah menjadi gerombolan perampok itu telah memperoleh "hasil" lumayan dari gedung Pangeran Ciu Wan Kong, mereka menuju ke istana Pangeran Bouw Hun Ki untuk membantu pasukan besar yang menyerbu ke sana.
Ketika Thio Kwan dan Yu Kok Lun tiba di depan istana Pangeran Bouw Hun Ki, hati mereka gembira melihat betapa pasukan pendukung Pangeran Cu Kiong sedang mendesak pasukan pemerintah yang mempertahankan istana Pangeran Bouw. Akan tetapi mereka berdua juga melihat perkelahian mati-matian terjadi agak jauh dari pertempuran para prajurit, yaitu antara jagoan-jagoan pendukung Pangeran Cu Kiong melawan para pendekar yang membela kerajaan! Memang seru dan menarik sekali perkelahian antara para ahli silat tingkat tinggi itu, jauh lebih seru dan menegangkan dibandingkan dengan pertempuran antara para prajurit kedua pihak yang saling tumpas dengan ngawur itu.
Seperti telah direncanakan oleh para pemberontak, yang memimpin pasukan yang menyerbu istana Pangeran Bouw Hun Ki diperkuat dengan orang-orang sakti seperti Lam-hai Cin-jin, Ngo-beng Kui-ong, Mong Lai dan para perwira tinggi.
Akan tetapi setelah melihat para pendekar tidak ada yang menyambut mereka dan hanya pasukan kerajaan saja yang menyambut, maka Lam-hai Cin-jin mengajak para jagoan untuk membantu penyerbuan ke istana yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Cu Kiong yang dibantu oleh Ang-mo Niocu Yi Hong.
Setelah tiba di depan istana kaisar, barulah mereka mendapat sambutan dahsyat. Lam-hai Cin-jin segera diterjang Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa tanpa banyak cakap lagi dan mereka segera bertanding mati-matian. Nyonya Pangeran Bouw Hun Ki atau yang ketika masih gadis merupakan seorang pendekar wanita berjuluk Sin-hong-cu (Burung Hong Sakti) bernama Souw Lan Hui, begitu melihat Ngo-beng Kuiong segera menerjang kakek mayat hidup ini karena ia dapat menduga tentu kakek ini lihai bukan main seperti yang diceritakan Thian Hwa dan mereka pun segera terlibat perkelahian dahsyat. Ang-mo Niocu Yi Hong segera diserang oleh Bu Kong Liang yang kini membenci wanita yang ternyata berwatak jahat dan palsu itu. Mong Lai, tokoh Mongol yang ahli ilmu silat campur gulat, juga memiliki kekuatan ilmu sihir, diserang oleh Bouw Kun Liong, putera Pangeran Bouw. Thio Kwan dan Yu Kok Lun yang baru datang ke depan istana itu setelah membakar rumah Pangeran Ciu Wan Kong yang ternyata kosong, juga sudah diserbu dua orang gadis cantik, yaitu Bouw Hwi Siang dan Gui Siang Lin. Adapun Pangeran Cu Kiong yang tadinya hanya memberi semangat kepada para jagoannya, tiba-tiba harus menghadapi Pangeran Bouw Hun Ki!
"Cu Kiong, apakah engkau tidak malu berhadapan dengan nenek moyang kita setelah engkau mati nanti sebagai seorang pengkhianat dan pemberontak?"
"Bouw Hun Ki, engkau orang tua yang tidak tahu malu! Engkau sudah bekerja sama dengan penjahat wanita Huangho Sian-li untuk menguasai tahta kerajaan. Pada lahirnya saja engkau mengaku sebagai pelindung dan pendamping Pangeran Kang Shi, akan tetapi siapa tidak tahu akan isi perutmu? Engkau ingin menguasai Pangeran yang masih kanak-kanak itu sehingga engkaulah yang berkuasa atas pemerintahan!" Setelah berkata demikian, Pangeran Cu Kiong menerjang dan menyerang dengan pedangnya.
"Tranggg...!" Pangeran Bouw Hun Ki menangkis dengan pedangnya dan dua orang pangeran yang paman dan keponakan ini sudah saling serang dengan pedang mereka.
Biarpun Pangeran Bouw Hun Ki baru setelah menikah dengan Souw Lan Hui belajar ilmu silat dari isterinya itu, namun karena isterinya memiliki kepandaian silat yang hebat, maka pangeran ini pun memiliki pertahanan yang cukup kuat dan serangan balasannya juga cukup berbahaya bagi lawannya karena Pangeran Cu Kiong juga bukan seorang ahli silat yang terlalu pandai.
Setelah pertempuran berlangsung, barulah Pangeran Cu Kiong dan para pembantu dan pendukungnya, merasa terkejut dan kecelik. Mereka sama sekali t idak mengira bahwa rencana siasat mereka telah dihadapi dengan persiapan yang amat kuat oleh pihak lawan, bahkan pasukan yang mendukung pemberontak jumlahnya jauh kalah besar.
Yang menjadi puncak perkelahian antara para ahli silat itu adalah pertandingan antara Lam-hai Cin-jin melawan Huangho Sian-li Ciu Thian Hwa, dan antara Ngo-beng Kui-ong melawan Sin-hong-cu Souw Lan Hui atau Nyonya Bouw.
Mereka inilah yang memiliki tingkat ilmu silat paling tinggi di antara para tokoh kedua pihak.
Bouw Hujin menghadapi lawan yang amat tangguh. Nyonya yang berusia lima puluh satu tahun ini adalah murid Bu-tongpai yang lihai. Senjatanya siang-kiam (sepasang pedang) bergerak cepat sekali membentuk dua gulungan sinar pedang yang menyambar-nyambar bagaikan dua ekor naga sakti berlomba saling berebut mustika. Juga ia memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Akan tetapi sekali ini ia bertanding melawan Ngo-beng Kui-ong yang merupakan datuk tua paling dahsyat ilmunya di seluruh daerah selatan! Tadi sebelum Nyonya Bouw dan para pembantunya keluar menyambut lawan, Ngo-beng Kui-ong ini, di samping keponakan muridnya, yaitu Lam-hai Cin-jin, mengamuk dan telah membunuhi setiap orang perwira maupun prajurit yang berani dekat dengan mereka. Entah sudah berapa puluh orang tewas di tangan Ngo-beng Kui-ong.
Kini pun, Nyonya Bouw masih sering mendapat bantuan prajurit atau perwira yang merasa memiliki ilmu silat lumayan.
Namun, mereka itu bagaikan laron menyerang api, begitu tersentuh sinar tongkat ular di tangan Ngo-beng Kui-ong mereka sudah berpelantingan dan tewas! Melihat betapa banyaknya prajurit dan perwira yang menjadi korban kelihaian kakek yang seperti mayat hidup itu, Nyonya Bouw menjadi marah sekali. Ia mengeluarkan pekik melengking dan tangan kirinya bergerak. Tiga benda berkeredepan seperti kilat menyambar ke arah tenggorokan, ulu hati, dan pusar tubuh Ngo-beng Kui-ong! Itulah tiga batang Gin-seng-piauw (Senjata Rahasia Bintang Perak) yang dilepas secara dahsyat oleh tangan kiri Nyonya Bouw! Biarpun Ngo-beng Kui-ong merupakan seorang yang memiliki ilmu silat tingkat tinggi dan lihai sekali, walaupun dia mampu menghindarkan diri dari serangan maut ini, tidak urung dia terkejut bukan main. Dia melempar diri ke belakang dan bergulingan sehingga serangan tiga batang piauw itu luput.
Ketika dia bergulingan itu, dia melihat betapa pasukan pengikut Pangeran Cu Kiong sudah terdesak mundur dan banyak di antara mereka yang tewas. Kakek ini memang cerdik dan licik. Dia sudah memperhitungkan jauh-jauh bahwa kalau Pangeran Cu Kiong kalah, agaknya akan sukar baginya untuk menyelamatkan dirinya, sukar untuk keluar dari kota raja. Maka sekarang, selagi ada kesempatan, dia harus mempergunakannya untuk menyelamatkan diri. Keselamatan dirinya adalah yang paling utama baginya. Maka begitu dia melompat bangun, dia melemparkan tongkat ularnya ke atas dan senjata itu melayang seperti seekor ular hidup ke arah leher Nyonya Bouw! Nyonya Bouw maklum akan kelihaian tongkat ular yang kini bergerak seolah hidup itu, dapat menduga bahwa itu merupakan ilmu sihir yang jahat, maka ia pun cepat menggerakkan sepasang pedangnya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya. Terdengar suara nyaring berdentangan ketika tongkat ular itu mengamuk dan selalu bertemu dengan sepasang pedang yang dimainkan oleh Nyonya Bouw dengan cepat sehingga membentuk lingkaran sinar bergulung-gulung seperti payung besar yang dibuka dan menjadi perisai.
"Trang-trang-trak-trakk!" Ketika Nyonya Bouw membuat gerakan menggunting dengan kedua pedangnya dari kanan kiri, tiba-tiba tongkat itu seperti kehilangan kekuatannya dan dapat terpotong-potong oleh sepasang pedang Nyonya Bouw.
Ternyata Ngo-beng Kui-ong menghentikan kekuatan sihirnya yang tadi mengendalikan tongkat itu, karena dia menggunakan kesempatan itu untuk tidak mempedulikan tongkatnya lagi, melainkan melompat dengan cepatnya ke arah Pangeran Bouw Hun Ki yang masih berkelahi melawan Pangeran Cu Kiong dengan sengitnya.
Pada saat itu, perkelahian antara dua orang pangeran tua dan muda itu masih berlangsung seru. Agaknya para prajurit masih sungkan terhadap wibawa dua orang pangeran yang paman dan keponakan sendiri ini sehingga tidak ada prajurit yang mau melakukan pengeroyokan atau mencampuri perkelahian itu.
Karena tempat mereka berdua berkelahi menjadi terbuka tanpa adanya pengeroyokan, Ngo-beng Kui-ong sekali loncat dapat menyambar tubuh Pangeran Bouw Hun Ki. Begitu menotok punggung Pangeran Bouw Hun Ki sehingga pangeran itu terkulai lumpuh, dia terus mengempit dan membawanya melompat jauh. Melihat ini, para panglima pendukung kerajaan terkejut dan hendak menolong, akan tetapi mereka tidak berani bergerak ketika melihat Ngo-beng Kui-ong mendekatkan jari-jari tangan membentuk cakar kepada kepala Bouw Hun Ki sambil berseru.
"Siapa berani menghalangiku, kuhancurkan kepalanya!" Bahkan Nyonya Bouw yang melihat betapa suaminya ditangkap Ngo-beng Kui-ong yang secara licik meninggalkannya tadi, perbuatan yang sama sekali tidak ia sangka-sangka, menjadi pucat dan marah sekali. Akan tetapi wanita perkasa ini pun bukan seorang berbatin lemah yang tidak mampu mengendalikan perasaannya sendiri. Dia maklum bahwa Ngo-beng Kui-ong tidak mempunyai alasan lain dalam menculik suaminya kecuali untuk mempergunakannya sebagai sandera agar dia dapat meloloskan diri. Tidak ada alasan lain karena kakek yang seperti mayat hidup itu hanyalah merupakan orang kiriman Jenderal Wu Sam Kwi untuk membantu gerakan Pangeran Cu Kiong. Jadi, kurang kuat alasannya untuk membunuh Pangeran Bouw. Pasti hanya untuk sandera agar dia dapat meloloskan diri keluar kota raja.
Maka, ia pun cepat melakukan pengejaran, hanya membayangi saja, tidak berani terlalu dekat karena khawatir hal itu akan membahayakan nyawa suaminya.
Tidak ada yang tahu akan peristiwa terculiknya Pangeran Bouw Hun Ki oleh Ngo-beng Kui-ong lalu dikejar Nyonya Bouw keluar dari medan pertempuran karena semua orang sibuk sendiri bertempur menghadapi lawan masing-masing yang cukup tangguh. Pertempuran terus berlanjut dan sudah banyak korban dari kedua pihak berjatuhan.
Sementara itu, tiga puluh orang prajurit yang ditinggalkan di istana Pangeran Cu Kiong untuk menjaga agar tawanan Si Han Bu tidak sampai lolos, merasa gelisah. Mereka tahu bahwa Pangeran Cu Kiong dan semua anak buahnya sedang mencoba untuk merebut tahta kerajaan dan kini sedang bertempur melawan pasukan kerajaan. Dari tempat mereka berkumpul di rumah tahanan yang berada di belakang istana, mereka dapat mendengar suara orang bertempur yang bergemuruh. Mereka menjadi gelisah sekali. Bukan hanya mereka yang merasa gelisah, akan tetapi juga seluruh penghuni istana, yaitu para keluarga Pangeran Cu Kiong dan para pelayan dan pembantu rumah tangga. Mereka tinggal menanti berita. Kalau pihak Pangeran Cu menang mungkin kemuliaan menanti mereka, akan tetapi sebaliknya kalau usaha pemberontakan itu gagal, malapetaka menanti mereka! Si Han Bu yang duduk di atas pembaringan, bersila dan tampak tenang saja. Dia memang tidak merasa khawatir sama sekali, bukan hanya karena dia maklum bahwa Ngo-beng Kuiong yang menawannya hendak menggunakan dia untuk membujuk gurunya agar membantu Jenderal Wu Sam Kwi, akan tetapi terutama sekali karena pemuda ini tidak pernah merisaukan sesuatu. Dia menghadapi segala hal yang menimpa dirinya dengan tenang. Apa pun yang terjadi, terjadilah! Dia kini ditawan musuh, ini merupakan sebuah kenyataan. Perlu apa dirisaukan lagi? Yang penting tetap tenang dan waspada, tanpa mengkhawatirkan dan membayangkan hal-hal buruk yang mungkin akan datang. Dia ditawan, ini merupakan sebuah kenyataan yang tak dapat disangkal atau diubah lagi. Tidak perlu disusahkan, tiada gunanya dikhawatirkan. Dia ditawan musuh, titik. Dalam keadaan tenang, pikirannya menjadi jernih dan hatinya tenang menghadapi apa pun yang akan terjadi. Sekarang dia masih hidup dan selama masih hidup, dia tidak akan pernah putus asa. Tentu saja sudah menjadi kewajiban set iap orang manusia yang hidup di dunia ini mempertahankan keadaan dirinya, mempertahankan kehidupannya. Ikhtiar itu wajib.
Kalau lapar mencari makanan, kalau haus mencari minuman, kalau mengantuk tidur, kalau sakit mencari obatnya. Setiap orang harus menjaga kehidupan dirinya sendiri, bahkan setiap mahluk harus melakukannya, kalau ia masih ingin hidup.
Sekarang pun dia harus berupaya untuk dapat meloloskan dari tahanan. Tidak perlu mengotori otaknya dengan semua ketakutan, kesusahan, atau kekhawatiran dengan membayangkan masa depan yang belum tiba. Otak harus bersih untuk dapat berdaya upaya menolong dirinya sendiri.
Maka ia duduk bersamadhi, untuk menenangkan hati dan akal pikirannya, dan untuk menghimpun tenaganya yang mungkin kalau peluangnya ada, akan dia perlukan.
Kita kembali ke medan pertempuran yang kini semakin menjauhi istana kaisar karena pemberontak mulai terdesak mundur dan keluar dari daerah istana. Yang berkelahi dengan seru dan mati-matian terutama sekali adalah Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa melawan Lam-hai Cin-jin, jagoan paling lihai dari pihak pemberontak setelah Ngo-beng Kui-ong yang sudah melarikan diri menculik Pangeran Bouw Hun Ki dan dikejar Nyonya Bouw keluar kota raja.
Dengan pedangnya, Thian Hwa melawan mati-matian karena harus diakuinya bahwa Lam-hai Cin-jin merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Tingkat kepandaian Koksu (Guru Negara) dari Yunnan-hu ini hanya berada di bawah Ngo-beng Kui-ong, itu pun selisihnya tidak banyak walaupun kakek mayat hidup itu merupakan paman gurunya. Senjata di tangan Lam-hai Cin-jin amat menyeramkan. Sebuah tongkat ruyung berduri yang mengandung racun sehingga lawan dapat terbunuh hanya oleh luka yang tidak berbahaya karena racunnya akan menjalar ke dalam tubuh korban. Selain tongkat ruyung berduri yang ganas itu, juga tangan kiri Lamhai Cin-jin menyelingi serangan ruyungnya dengan pukulan jarak jauh Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam). Setiap tangan kirinya melancarkan serangan ini, telapak tangannya berubah hitam dan dari telapak tangan itu menyambar uap hitam beracun! Thian Hwa harus bekerja keras menghadapi pukulan Hektok-ciang dan sambaran ruyung berduri itu. Ia mula-mula mainkan Kwan-im Kiam-sut (Ilmu Pedang Kwan Im) yang lembut indah dan kokoh pertahanannya. Namun lama-lama ia maklum bahwa menghadapi lawan seperti Lam-hai Cin-jin yang demikian lihainya, kalau hanya bertahan saja akhirnya ia sendiri yang akan terancam bahaya. Melawan seorang yang demikian lihainya, menyerang merupakan pertahanan yang lebih menguntungkan. Maka ia lalu mengubah ilmu pedangnya. Kini ia mainkan Huang-ho Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sungai Kuning) yang tidak selembut Kwan-im Kiamsut namun Huang-ho Kiam-hoat ini memiliki gerakan yang dahsyat penuh dengan serangan yang bergelombang. seperti membanjirnya air Sungai Kuning yang terkenal itu.
"Cring-tranggg...!" Bunga api berpijar-pijar ketika pedang itu untuk ke sekian kalinya bertemu dengan ruyung.
"Wuuuuttt...!" tangan kiri Lam-hai Cin-jin menyambar dan uap hitam meluncur ke arah kepala Thian Hwa. Gadis perkasa itu miringkan tubuhnya dan cepat menggunakan tangan kiri untuk menangkis.
"Dukk...!" Lengan tangan kiri Thian Hwa yang berkulit putih halus dan mungil itu bertemu dengan lengan yang besar pendek dipenuhi bulu kasar. Biarpun Thian Hwa sudah dapat menduga akan kekuatan lawan dan dara ini tadi sudah mengerahkan sin-kang sekuatnya, tetap saja tubuhnya terpental dan terhuyung ke belakang saking kuatnya pertemuan tenaga sakti mereka. Thian Hwa terkejut karena dia tidak menduga bahwa pukulan tangan kiri Lam-hai Cin-jin sedahsyat itu. Pada saat itu, Lam-hai Cin-jin sudah melompat ke depan dan ruyungnya menyambar ke arah kepala Thian Hwa! Dalam keadaan yang amat gawat itu, berkelebat bayangan putih dan sebuah sinar pedang meluncur dan menangkis ruyung itu.
"Singg... trranggg...!" Lam-hai Cin-jin terkejut sekali ketika ruyungnya tertangkis sebatang pedang dan yang membuat tangannya tergetar hebat. Pada saat itu ada hembusan angin kuat menyambar.
Kiranya ada kipas yang menyerangnya. Dia tahu berhadapan dengan lawan kuat. Cepat dia melempar diri ke belakang dan berjungkir balik tiga kali. Ketika dia memandang, seorang wanita berpakaian putih, berusia empat puluh tahun lebih namun masih cantik, telah berdiri, pedang di tangan kanannya dan kipas di tangan kirinya.
"Im-yang Sian-kouw...!" katanya kaget dan maklum bahwa akan sulit menghadapi pengeroyokan dua orang wanita sakti itu dia lalu melompat jauh menghilang di antara para prajurit yang sedang bertempur.
Thian Hwa tidak mengejar karena mengejar pun percuma mencari seorang di antara demikian banyaknya prajurit yang bertempur. Pula ia amat tertarik mendengar disebutnya nama tadi. Ia menghampiri wanita itu dan bertanya.
"Apakah... Bibi ini Im-yang Sian-kouw...?" Im-yang Sian-kouw mengangguk dan sejak tadi pun ia sudah kagum melihat sepak terjang gadis muda yang berani melawan Lam-hai Cin-jin dengan demikian gigihnya. Ia mengangguk sambil tersenyum, akan tetapi sebelum ia sempat bertanya, Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa sudah berkata dengan hati tegang.
"Bibi, cepat, Bibi. Kita harus pergi menolong murid Bibi...."
"Muridku?"
"Ya, bukankah Si Han Bu itu murid Bibi?" Im-yang Sian-kouw terkejut. "Benar, di mana dia? Apa yang terjadi dengan dia?"
"Nanti saja kuceritakan, Bibi. Sekarang yang terpenting kita harus menolong dan membebaskannya. Mungkin dia tertawan di rumah Pangeran Cu Kiong, Si Pemberontak itu. Mari, Bibi!" Huang-ho Sian-li melompat dengan cepat sekali sehingga Im-yang Sian-kouw harus mengerahkan gin-kang untuk menyusul gadis itu. Hatinya tentu saja merasa gelisah mendengar murid yang disayang seperti anak sendiri itu tertawan musuh.
Setelah mereka berlari secepat terbang, Im-yang Siankouw mendapat kenyataan betapa gadis itu dapat berlari cepat sekali, tidak kalah olehnya!
"Apa... apa dia masih hidup?" tanyanya khawatir.
"Mudah-mudahan saja, Bibi!" Ketika mereka tiba di istana Pangeran Cu Kiong, keadaan di situ sunyi. Maklum, pasukan telah meninggalkan tempat itu untuk ikut menyerbu istana kaisar.
"Tempat tahanan berada di belakang, mari kita ke sana, Bibi!" kata Thian Hwa dan dua orang Wanita perkasa itu melayang ke atas wuwungan istana dan menyelidiki di bagian belakang. Ketika tiba di ruangan tahanan yang telah dikenal baik oleh Thian Hwa, mereka berdua melihat tiga puluh orang prajurit sibuk melepaskan anak panah ke dalam sebuah kamar tahanan melalui jeruji besi yang kokoh kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar