03 Kemelut Kerajaan Mancu

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

"Wah, Sian-li, sungguh engkau membuat aku semakin kagum dan heran. Sama sekali tidak kusangka, engkau ternyata memiliki kepandaian yang luar biasa di dalam air dan engkau mengenal pula, bahkan pernah bertanding melawan jagoan-jagoan yang menjadi pengawal para pangeran di kota raja! Sian-li, agaknya engkau tidak asing dengan keadaan di kota raja!" Thian Hwa memandang wajah pemuda itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, lalu ia bertanya, "Bu-twako, setelah beberapa kali engkau bentrok dengan pasukan Mancu, katakanlah terus terang, apakah engkau membenci orangorang Mancu seperti Ang-mo Niocu?" Pemuda itu menggelengkan kepala dengan pasti. "Tidak, Sian-li. Aku hanya membenci orang yang jahat dan akan membela yang benar tidak peduli bangsa apa dan apa pula kedudukannya." Thian Hwa senang mendengar ini, akan tetapi ia masih memancing, "Akan tetapi, bukankah engkau seorang pribumi Han dan menentang penjajahan Mancu?" Kong Liang menghela napas. "Perjuangan untuk itu sudah banyak dilakukan dan sia-sia saja hasilnya, bahkan mengorbankan banyak jiwa. Kalau kelak ada gerakan besarbesaran yang menggerakkan rakyat untuk menentang penjajah, aku pasti akan membantu mereka. Akan tetapi untuk saat ini, aku akan bertindak seperti para pendekar Siauw-lim-pai pada umumnya, yaitu membela kebenaran dan keadilan, demi melindungi rakyat kecil yang hidup sengsara dan tertindas. Biarpun dia seorang pembesar Mancu, kalau dia bijaksana dan baik terhadap rakyat, aku pasti akan membelanya." Thian Hwa merasa senang. Pemuda ini ketika menghadapi gerombolan yang mengaku sebagai pejuang yang menentang Pemerintah Penjajah Mancu, langsung membasminya. Kini, berhadapan dengan pasukan yang mengawal pembesar yang bertindak sewenang-wenang, juga membantunya untuk membasmi pasukan pengawal itu. Kong Liang telah membuktikan bahwa dia tidak menentang Pemerintah Mancu karena merasa belum saatnya, juga dia bukan seorang yang mengabdi kepada Kerajaan Goan lalu bertindak sewenangwenang terhadap bangsa sendiri seperti yang dilakukan oleh Jaksa Bong. Maka ia tahu bahwa Kong Liang dapat dipercaya dan sudah saatnya ia menceritakan dirinya. Ia perlu mendapatkan seorang sahabat yang dapat dipercaya untuk diajak bertukar pikiran.

"Twako Bu Kong Liang, aku memang pernah ke kota raja dan terlibat dalam urusan dengan beberapa pangeran dan sempat bertanding dengan para pengawal mereka, seperti Hui-eng-to Phang Houw dan Liong-bu-pangcu Louw Cin yang dulu memimpin pasukan menyerangmu, dan juga seorang dari Kam-keng Chit-sian pengawal yang bersenjata Long-ge-pang di atas perahu besar itu. Karena aku percaya padamu, akan kuceritakan riwayatku dengan syarat bahwa engkau tidak akan menceritakan kepada siapapun juga. Kepada orang lain aku hanya ingin dikenal dengan sebutan Huang-ho Sian-li saja. Maukah engkau berjanji, Twako?" Kong Liang memandang wajah gadis itu dengan sikap serius dan suaranya juga tegas. "Tentu saja, Sian-li. Aku berjanji tidak akan menceritakan tentang dirimu kepada siapapun juga!"

"Baiklah, Twako, dan terima kasih. Akan kuceritakan dengan singkat saja. Sesungguhnya, aku tidak pernah mengenal orang tuaku, karena ketika masih bayi aku ditemukan dan diselamatkan oleh Suhu Thian Bong Sianjin, hanyut dibawa arus air Huang-ho (Sungai Kuning). Aku diambil murid dan diaku sebagai cucu angkatnya. Setelah aku dewasa dan mendengar keterangan Suhu, aku lalu pergi mencari keterangan tentang orang tuaku. Suhu pernah bermimpi bertemu seorang wanita berpakaian bangsawan yang menitipkan anaknya kepadanya. Karena itu, aku pergi ke kota raja untuk mencari keterangan tentang ayah bundaku, karena kami menduga bahwa ibuku adalah seorang wanita bangsawan." Thian Hwa lalu menceritakan pengalamannya ketika ia terlibat dalam urusan Pangeran Leng Kok Cun yang mengumpulkan orang-orang sakti dengan maksud merampas tahta kerajaan. Ketika ia dikeroyok para jagoan pembantu Pangeran Leng, ia lari dan ditolong oleh Pangeran Cu Kiong, dan di gedung Pangeran Cu Kiong ini ia bertemu dengan kakeknya, yaitu ayah kandung ibunya.

"Ah, maksudmu Kakek Cui Sam dari dusun Kia-jung itu?"

"Benar, Twako. Ketika aku bercerita tentang keinginanku, mencari orang tuaku kepada Pangeran Cu Kiong yang menolongku, Kong-kong (Kakek) Cui Sam mendengarkan. Dia ketika itu bekerja sebagai pelayan kepada Pangeran Cu Kiong." Thian Hwa melanjutkan ceritanya. Ia tidak menceritakan hubungan batin yang t imbul antara ia dan Pangeran Cu Kiong.

Ia hanya menceritakan betapa Pangeran Cu Kiong hendak memperalatnya untuk membantunya dalam perebutan kekuasaan, maka ia lalu meninggalkannya. Pangeran Cu lalu mengerahkan tujuh orang pengawalnya, yaitu Kam-keng Chitsian untuk menangkapnya. Ia melawan mati-matian dan dalam keadaan terkepung dan terancam bahaya, muncul Ui Yan Bun membantunya.

"Siapakah Ui Yan Bun itu, Sian-li?"

"Dia adalah seorang sahabatku, boleh juga dianggap suhengku (Kakak Seperguruanku) karena dia pernah diberi pelajaran silat oleh Kong-kong atau Suhu Thian Bong Sianjin.

Nah, berdua kami dapat membunuh empat dari ketujuh orang jagoan itu. Orang bersenjata Long-ge-pang di perahu itu adalah seorang di antara mereka yang lolos, yaitu ada tiga orang." Thian Hwa lalu melanjutkan ceritanya betapa sebelum pertempurannya melawan para pengawal Pangeran Cu Kiong, ia dapat mendengar dari Kakek Cui Sam tentang ayah ibunya.

"Wah, beruntung sekali engkau, Sian-li. Jadi engkau dapat berjumpa dengan orang tuamu?" Thian Hwa menghela napas. "Dari Cui Kong-kong (Kakek Cui) aku mendengar akan riwayat yang menyedihkan dari ibu kandungku. Ketika dulu, Kakek Cui bekerja sebagai kepala pelayan pada keluarga Pangeran Tua Ciu di kota raja. Dia sudah menduda dan dia membawa anaknya perempuan yang belum dewasa. Kemudian anak perempuannya yang bernama Cui Eng juga bekerja di situ sebagai pelayan. Setelah Cui Eng dewasa, ia saling jatuh cinta dengan Pangeran Ciu Wan Kong, putera dari Pangeran Tua Ciu. Akan tetapi orang tua Pangeran Ciu Wan Kong, terutama ibunya, tidak menyetujui kalau puteranya mengambil seorang pelayan sebagai selir, apalagi sebagai isterinya. Akan tetapi... pada waktu itu, Cui Eng sudah mengandung sebagai hasil hubungannya dengan Pangeran Ciu Wan Kong." Thian Hwa berhenti dan menatap wajah pemuda itu. Akan tetapi Kong Liang tidak memperlihatkan perasaan apa pun pada wajahnya, dia tetap tenang mendengarkan.

"Ketika mendengar bahwa Cui Eng sudah mengandung, ibu dari Pangeran Ciu Wan Kong memutuskan bahwa kalau Cui Eng melahirkan seorang anak laki-laki, ia akan diterima menjadi selir Pangeran Ciu Wan Kong, akan tetapi kalau yang terlahir anak perempuan, ia akan diusir dari gedung Pangeran Ciu. Ternyata Cui Eng melahirkan seorang anak perempuan. Ia diusir dari gedung itu dan dibawa ayahnya keluar dari kota raja.Akan tetapi ketika mereka menggunakan perahu berlayar di Sungai Kuning, perahu itu diserang badai dan tenggelam!" Melihat Thian Hwa menghentikan ceritanya dan tampak terharu dan berduka, Kong Liang berkata. "Ah, kejadian seperti itu sudah sering kudengar, terjadi sejak jaman dahulu.

Kaum bangsawan suka sewenang-wenang menyia-nyiakan selirnya, dan mereka pada umumnya tidak suka kalau mempunyai keturunan wanita. Sungguh tidak adil! Sian-li, aku dapat menduga sekarang. Tentu engkaulah anak itu, dan ternyata engkau diselamatkan Locianpwe (Orang Tua Gagah) Thian Bong Sianjin. Juga Kakekmu, Cui Sam, ternyata juga telah dapat menyelamatkan diri dan masih hidup sampai sekarang. Akan tetapi, apa yang terjadi dengan ibumu yang bernama Cui Eng itu?" Thian Hwa menggelengkan kepalanya dan menarik napas panjang.

"Tidak ada kabar ceritanya lagi tentang ibuku. Cui Kongkong juga tidak tahu dan hanya mengira bahwa ibuku tentu telah tewas, tenggelam dalam Sungai Huang-ho. Ket ika Suhu Thian Bong Sianjin menemukan aku, dia memberi nama Thian Hwa kepadaku, menggunakan marga Thian, yaitu marga dari Suhu sendiri. Sebetulnya, ayah kandungku adalah Pangeran Ciu Wan Kong yang sekarang masih hidup, maka aku akan menggunakan nama Ciu Thian Hwa, dua marga itu kupakai dan namaku Hwa (Kembang) saja! Akan tetapi untuk umum, aku lebih suka dikenal sebagai Huang-ho Sian-li." Bu Kong Liang menghela napas panjang. "Aih, riwayatmu sungguh menyedihkan sekali, Sian-li. Terima kasih bahwa engkau sudah mempercayai aku dan menceritakan riwayatmu kepadaku."

"Bu-twako, setelah engkau mengetahui namaku, jangan engkau sebut aku Sian-li (Dewi) lagi. Panggil saja aku Hwa (Bunga)!" Kong Liang tersenyum. "Baiklah, Hwa-moi (Adik Hwa).

Sekarang, apa yang hendak kaulakukan? Apakah engkau hendak ke kota raja untuk menemui ayah kandungmu, Pangeran Ciu Wan Kong itu?"

"Dulu, sekitar dua tahun yang lalu, aku pernah mengunjunginya. Ingin aku membalas penghinaannya terhadap ibuku, betapa tega hatinya mengusir Ibu yang telah mengandung puteri keturunannya sendiri. Ingin aku membunuhnya. Akan tetapi ketika aku memasuki kamar Pangeran Ciu Wan Kong, aku melihat dia dengan sedih merenung dan memandang lukisan wajah ibu kandungku Cui Eng, dan dia memperlihatkan tanda-tanda seorang yang tidak waras pikirannya. Aku menjadi tidak tega dan meninggalkannya. Kemudian, malam tadi... aku mendengar keterangan yang rinci dari Kakek Cui Sam bahwa sebetulnya, ayah kandungku Pangeran Ciu Wan Kong amat mencinta ibu kandungku Cui Eng dan yang memaksa untuk mengusir ibuku adalah orang tuanya, terutama ibunya. Sayang kedua orang tua Ayah Ciu Wan Kong telah meninggal dunia sehingga aku tidak dapat membalas sakit hati ibuku. Menurut Kakek Cui Sam, bahkan sampai sekarang ayah kandungku itu tidak mau mempunyai seorang selir pun dan mengurung dalam kesedihan."

"Hemm, kalau begitu sungguh malang nasib ayah dan ibumu, Hwa-moi. Akan tetapi... maafkan pendapatku ini kalau tidak cocok dengan pendapatmu. Niatmu dulu untuk membalas sakit hati ibumu terhadap ayah ibu Pangeran Ciu Wan Kong itu sungguh tidak benar, Hwa-moi. Pangeran Tua Ciu itu adalah kakekmu sendiri yang menurunkan ayahmu, dan isterinya adalah nenekmu sendiri yang melahirkan ayah kandungmu. Memang kejam sekali mengusir ibumu dari gedung mereka, akan tetapi jangan lupa bahwa tidak menyukai anak perempuan merupakan penyakit yang turun menurun. Nah, sekarang apa yang hendak engkau lakukan, Hwa-moi?"

"Pendapatmu itu memang ada benarnya, Bu-twako. Akan tetapi bagaimanapun juga, Kakek dan Nenek Ciu telah meninggal dunia, maka urusannya dengan ibu kandungku itu pun tidak perlu dibicarakan lagi. Sekarang aku hendak menyelidiki apakah benar ibu kandungku telah meninggal dunia. Kalau sudah wafat mana kuburnya dan seandainya masih hidup di mana tempat tinggalnya. Aku akan mulai mencari keterangan itu dari rumah ayahku. Setelah mendengar keterangan Kakek Cui Sam, aku ingin dekat ayahku, ingin menghiburnya dan membantu padanya. Tentu saja kalau dia berada di pihak yang benar. Agaknya di antara kalangan pangeran di kota raja terdapat semacam persaingan dan perebutan pengaruh."

"Nah, keadaan itulah yang harus kuselidiki di kota raja, Hwa-moi. Para suhu menghendaki aku selain menyelidiki keadaan kehidupan rakyat, juga bagaimana keadaan pemerintahan penjajah di kota raja," kata Kong Liang.

"Akan tetapi berhati-hatilah, Bu-twako. Setelah bentrokan dengan Pembesar Bong yang jahat itu, tentu engkau akan dicari!"

"Hemm, engkau juga harus berhati-hati, Hwa-moi. Engkau seharusnya membunuh pembesar jahat macam Jaksa Bong agar dia tidak akan menyusahkan lagi. Dia tentu akan membalas dendam kepadamu."

"Hemm, aku masih mengampuninya dan hanya memotong kedua daun telinga dan hidungnya. Kalau dia masih berani membuat ulah, lehernya yang akan kubuntungi!" kata gadis itu gemas.

Mereka berhenti bicara dan melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja. Dalam perjalanan itu, Thian Hwa membandingkan Bu Kong Liang dengan Ui Yan Bun. Dua orang pemuda sama-sama gagah perkasa dan baik budi. Akan tetapi ia harus mengakui bahwa di dalam hatinya hanya ada rasa kagum dan suka terhadap dua orang pemuda ini, tidak ada perasaan mesra seperti yang pernah dirasakan hatinya terhadap Pangeran Cu Kiong! Dan naluri kewanitaannya membuat ia dapat merasakan bahwa Bu Kong Liang, seperti juga Ui Yan Bun, mencinta dirinya. Ada perasaan bangga dalam hatinya bahwa ia dicinta dua orang pendekar budiman seperti dua orang pemuda itu, akan tetapi juga ada rasa sedih karena ia tidak, atau belum dapat membalas cinta mereka.

*** Untuk menjaga keamanan, Thian Hwa dan Bu Kong Liang menanti sampai senja tiba dan cuaca sudah mulai gelap untuk memasuki pintu gerbang kota raja. Sebelum tiba di situ, mereka memang sudah bersepakat untuk berpisah mencari jalan masing-masing.

"Sekarang kita harus mengambil jalan masing-masing, Butwako. Terima kasih atas semua kebaikanmu," kata Thian Hwa.

"Hwa-moi, akulah yang berterima kasih kepadamu. Engkau telah menolongku. Kalau tidak ada engkau, mungkin aku sudah mati tenggelam ke dalam sungai. Jaga dirimu baik-baik, Hwa-moi. Dan semoga kita akan dapat bertemu kembali."

"Selamat berpisah, Twako." Thian Hwa langsung menuju ke gedung Pangeran Ciu Wan Kong, sedangkan Bu Kong Liang yang merasa berat harus berpisah dari gadis yang dikaguminya itu, pergi mencari Gui Tiong, murid Siauw-lim-pai yang membuka perguruan silat "Bangau Putih" di kota raja.

Gui Tiong adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang sejak muda tinggal di kota raja dan membuka perguruan silat "Bangau Putih". Dia menikah dengan seorang gadis puteri seorang pedagang di kota raja dan mempunyai seorang puteri bernama Gui Siang Lin. Gadis ini tentu saja mewarisi ilmu silat ayahnya sehingga ia dikenal sebagai seorang gadis cantik yang lihai. Sebagai seorang wanita gagah, ia tidak pemalu seperti gadis lain dan ia bahkan membantu ayahnya untuk melatih silat kepada para murid Pek-ho Bukoan (Perguruan Silat Bangau Putih). Sayang bahwa isteri Gui Tiong meninggal dunia sejak Siang Lin berusia sepuluh tahun. Nyonya Gui Tiong meninggal dunia karena wabah yang pernah mengamuk di kota raja yang menimbulkan banyak korban. Kini Gui Tiong yang berusia empat puluh lima tahun itu hidup sebagai seorang duda, bersama puterinya.

Gui Tiong yang kini berusia empat puluh lima tahun dan tetap menduda adalah seorang laki-laki yang perawakannya sedang namun tegap. Wajahnya cukup gagah dengan jenggot pendek dan sinar matanya tajam. Gui Tiong terkenal dengan Pek-ho-kun (Silat Bangau Putih) yang dia ajarkan dan dia pun seorang ahli memainkan senjatanya, yaitu siang-to (sepasang golok). Puterinya, Gui Siang Lin, yang berusia sembilan belas tahun, adalah seorang gadis yang berwajah bundar, berkulit putih mulus, matanya lebar, senyumnya manis dihias lesung di kedua pipinya. Rambutnya hitam panjang dikuncir dua dan sebagian digelung ke atas. Gadis yang cantik manis ini agak pendiam dan lembut, namun sikapnya tegas dan ia dapat memainkan siang-kiam (sepasang pedang) dengan indah dan kuatnya.

Sesuai dengan pendirian Siauw-lim-pai, Gui Tiong tidak pernah memperlihatkan sikap permusuhan terhadap Pemerintah Mancu, maka dia pun tidak pernah mendapat gangguan. Apalagi banyak pemuda putera para pembesar yang belajar di perguruan itu. Akan tetapi, biarpun dia tidak pernah memperlihatkan sikap menentang penjajah Mancu, dalam hatinya, Gui Tiong tetap tidak sudi diperalat oleh penjajah, bahkan pelajaran silat yang dia berikan kepada para pemuda Mancu hanya kulit dan kembangannya saja. Intinya hanya ia ajarkan kepada puterinya.

Bu Kong Liang tidak menemui kesukaran untuk mencari guru silat yang masih terhitung susiok-nya (Paman Gurunya) itu. Gui Tiong pernah belajar silat di Siauw-lim-pai walaupun tidak mencapai tingkat terakhir, dan Bu Kong Liang adalah murid Thian Beng Hwesio yang merupakan murid Siauw-limpai seangkatan dengan Gui Tiong. Hanya bedanya, Thian Beng Hwesio terus memperdalam ilmu silatnya sehingga kini menjadi pelatih ilmu silat di kuil Siauw-lim. Karena itu, biarpun Gui Tiong merupakan susiok dari Kong Liang, namun dalam hal t ingkat ilmu silat, sang murid keponakan ini lebih tinggi.

Setelah menemukan rumah susioknya, Bu Kong Liang pada suatu pagi berdiri di depan rumah yang cukup besar dan memandang ke arah papan nama perguruan silat "PEK-HO BUKOAN".

Dengan gembira akan tetapi juga tegang karena selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan Gui Tiong, hanya mendengar namanya saja dari Thian Beng Hwesio, Kong Liang menghampiri pintu depan rumah itu. Dia mengetuk pintu, akan tetapi agaknya tidak ada yang mendengarnya karena pada saat itu terdengar bentakan suara dan hentakan kaki orang-orang yang sedang berlatih silat, sehingga suara ketukannya tidak terdengar.

Kong Liang membuka daun pintu dan ternyata tidak terpalang dari dalam. Dia melihat belasan orang laki-laki, tua muda sedang berlatih silat dan dia mengenal gerakan kaki tangan mereka itu sebagai ilmu silat Siauw-lim-pai, walaupun gerakan mereka kaku karena tidak berbakat. Yang membuat dia merasa heran, di antara belasan orang murid yang tingkatnya masih rendah dan gerakannya hanya mengandalkan kekuatan otot itu adalah seorang gadis yang amat manis! Gadis itu adalah Gui Siang Lin. Seperti biasa, ia mewakili ayahnya memberi petunjuk kepada para murid itu dan ia pun mengerti bahwa ayahnya hanya mengajarkan dasar dan kembangan saja. Para murid itu mempelajari ilmu silat hanya untuk gagah-gagahan saja. Mereka cukup puas kalau sudah dapat melakukan gerakan yang tampak indah dan gagah dan sudah merasa dirinya hebat.

Melihat Kong Liang yang berdiri di ambang pintu yang sudah terbuka itu, Siang Lin memandang heran karena ia tidak mengenal pemuda itu. Ia lalu memesan para murid untuk melanjutkan latihan mereka, dan melangkah keluar menghampiri tamu itu.

Melihat gadis itu menghampirinya, Bu Kong Liang segera mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat yang dibalas oleh Siang Lin yang sudah biasa berhadapan dengan tamu laki-laki yang hendak belajar silat. Ia mengira bahwa pemuda ini tentu datang untuk belajar ilmu silat seperti yang lain.

"Maaf, Nona, kalau kunjunganku ini mengganggu kesibukanmu," kata Kong Liang.

Siang Lin tersenyum. Begitu bertemu, ia melihat bahwa pemuda ini berbeda dengan para murid ayahnya. Ia melihat sikap sopan pemuda ini wajar dan keluar dari dalam. Hal ini dapat ia ketahui dari pandang mata pemuda ini. Pemudapemuda lain kalau bicara dengannya, sikap sopannya hanya dibuat-buat akan tetapi ia dapat melihat pandang mata yang penuh berahi kepadanya. Pemuda ini memandangnya dengan jujur, bahkan sinar matanya demikian tajam berwibawa.

"Engkau tidak mengganggu. Siapakah engkau dan apakah engkau datang berkunjung untuk belajar ilmu silat?"

"Tidak, Nona. Aku datang bukan untuk belajar ilmu silat, melainkan untuk bertemu dengan pemimpin Pek-Ho Bu-koan.

Bukankah yang menjadi pemimpin perguruan ini bernama Gui Tiong?" Siang Lin memandang tajam penuh selidik dan mulai merasa curiga. Hal ini tidak aneh karena ia tahu bahwa sebagai seorang murid Siauw-lim-pai yang menentang kejahatan, ayahnya tentu saja dimusuhi oleh orang-orang golongan sesat dari dunia kang-ouw (sungai telaga / persilatan).

"Kalau tidak untuk belajar ilmu silat, lalu apa keperluanmu hendak menemui ayahku? Kauwsu (Guru Silat) perguruan ini memang Gui Tiong, ayahku."

"Ah, maafkan aku. Aku adalah Bu Kong Liang dan aku datang untuk bertemu dengan susiok (Paman Guru) Gui Tiong."

"Susiok...? Kalau begitu, engkau ini... murid Siauw-lim-pai?"

"Benar, Nona. Aku datang dari Siauw-lim-pai dan Suhu Thian Beng Hwesio yang memberitahu agar aku menemui Susiok Gui Tiong di sini."

"Ah, kalau begitu, kita masih seperguruan! Namaku Gui Siang Lin, Bu Suheng (Kakak Seperguruan Bu). Mari kuantar menemui Ayah di dalam!"

"Terima kasih, Sumoi (Adik Seperguruan)!" kata Kong Liang dengan girang. Dia lalu mengikuti Siang Lin memasuki rumah dan melewati para murid yang masih berlatih silat di halaman depan rumah itu.

"Kalian boleh ist irahat dulu, nanti latihannya kita lanjutkan lagi," kata Siang Lin kepada belasan orang yang belajar ilmu silat itu.

Para murid itu berhenti lalu mengaso di bawah pohon yang tumbuh di tepi halaman. Dua orang dari mereka berbisik-bisik membicarakan tamu yang baru datang.

"Kau dengar tadi? Pemuda itu murid Siauw-lim-pai, murid keponakan Suhu Gui Tiong. Hemm, mencurigakan sekali. Mau apa Siauw-lim-pai menghubungi Suhu Gui Tiong?" kata seorang dari mereka yang usianya sekitar empat puluh tahun dan bertubuh kurus kering seperti orang berpenyakitan.

"Hemm, perlu kita laporkan. Pergilah, aku akan memberitahu Nona Gui bahwa engkau merasa sakit perut dan pamit pulang lebih dulu," bisik orang ke dua yang bertubuh gemuk dan usianya sekitar tiga puluh tahun.

Si Kurus Kering mengangguk, lalu bangkit berdiri, menekan perut dan menyeringai, dipapah keluar oleh Si Gendut yang berkata kepada para murid lain bahwa Si Kurus itu sakit perut dan hendak pulang lebih dulu.

Sementara itu, Kong Liang bersama Siang Lin memasuki ruangan samping rumah itu dan Gui Tiong yang sedang duduk di situ, memandang heran melihat puterinya masuk bersama seorang pemuda.

"Ayah, ini adalah Suheng Bu Kong Liang, murid Supek (Uwa Guru) Thian Beng Hwesio datang hendak bertemu Ayah," kata Siang Lin. Kong Liang segera merangkap kedua tangan dan memberi hormat kepada laki-laki setengah tua itu.

Mendengar ucapan puterinya, Gui Tiong cepat bangkit dan membalas penghormatan Kong Liang. "Ah, kiranya murid Suheng Thian Beng Hwesio? Kalau begitu, engkau datang dari Siauw-lim-si (Kui Siauw-lim)?"

"Benar, Susiok. Suhu mengirim salam untuk Susiok."

"Ah, duduklah, Kong Liang! Gembira sekali aku mendapat kunjungan seorang keponakan murid yang datang dari Siauwlim-si! Siang Lin, cepat ambilkan minuman untuk suhengmu!"

"Tidak perlu repot, Sumoi!"

"Ah, minuman tinggal ambil saja, Suheng!" kata Siang Lin dan segera gadis ini keluar dari ruangan dan tak lama kembali lagi membawa minuman air teh.

"Suheng, silakan duduk dan bicara dengan Ayah. Aku harus mengurus latihan para murid tadi." Setelah berkata demikian Siang Lin keluar lagi.

"Nah, Kong Liang, coba ceritakan bagaimana keadaan Siauw-lim-pai sekarang. Sudah belasan tahun aku tidak pernah mendengar beritanya semenjak aku meninggalkan Kuil Siauw-lim." Dengan singkat Kong Liang menceritakan tentang kuil Siauw-lim, dan memberitahu bahwa kini yang bertugas melatih para murid tingkat akhir adalah gurunya, yaitu Thian Beng Hwesio.

Gui Tiong mengangguk-angguk. "Sudah kuduga, memang Suheng Thian Beng itu memiliki bakat yang jauh melampaui aku dan tentu dia telah memperoleh kemajuan pesat karena dia begitu tekun berlatih memperdalam ilmunya."

"Setelah saya tamat belajar, Suhu dan para pimpinan Siauw-lim-pai mengutus saya untuk pergi merantau sampai ke kota raja untuk melihat bagaimana keadaan rakyat setelah pemerintah dikuasai oleh bangsa Mancu. Suhu memesan agar kalau sampai di kota raja saya mencari Susiok dan minta keterangan kepada Susiok tentang keadaan di kota raja." Gui Tiong memberitahukan bahwa keadaan di kota raja baik saja dan bahwa pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu) menyesuaikan diri dengan kebudayaan bangsa pribumi Han, sehingga banyak orang Han diangkat menjadi pejabat pemerintah. Juga bahwa pemerintah Mancu bersikap baik terhadap perkumpulan-perkumpulan. Kerajaan Ceng hanya bersikap keras dan tegas terhadap mereka yang menunjukkan sikap memberontak.

"Karena itu, sikap yang diambil Siauw-lim-pai agar tidak memancing permusuhan dan tidak melawan pemerintah Ceng, cukup bijaksana. Buktinya, biarpun semua orang mengetahui bahwa aku adalah murid Siauw-lim-pai, namun aku tidak pernah diganggu, bahkan boleh membuka perguruan silat dan yang datang belajar silat bahkan banyak kaum bangsawan dan hartawan."

"Suhujuga memesan begitu, Susiok. Para murid Siauw-limpai diharuskan menjaga diri agar jangan menentang pemerintah, melainkan bersikap sebagai pendekar yang menentang kejahatan dan membela yang benar. Kalau ada yang ingin menentang Pemerintah Mancu, dipersilakan pergi ke Secuan dan membantu pemerintah Raja Muda Wu Sam Kwi. Akan tetapi, biarpun saya tidak pernah menentang, tanpa sebab saya dihadang dan dikeroyok seregu prajurit Mancu.

Beruntung saya dapat meloloskan diri, Susiok."

"Ah, mengapa tanpa sebab engkau dihadang dan dikeroyok pasukan kerajaan?" Gui Tiong bertanya heran dan khawatir.

"Mereka hanya mengatakan bahwa aku murid Siauw-limpai dan menjadi pemberontak."

"Hemm, aneh sekali ini. Padahal, mereka tahu aku murid Siauw-lim-pai, akan tetapi aku tidak pernah diganggu." Mereka lalu bercakap-cakap dengan asyik. Sementara itu Gui Siang Ling yang keluar lalu menemui para murid yang sedang berlatih. Mereka tampak sudah kelelahan karena memang sudah sejak pagi sekali mereka berlatih. Karena ia ingin sekali ikut bercakap-cakap dengan Bu Kong Liang, Siang Lin lalu menghentikan latihan itu dan menyuruh para murid pulang.

Akan tetapi, seorang murid, pribumi Han dan usianya sekitar tiga puluh tahun, sengaja membiarkan dirinya tertinggal dan setelah tidak ada murid lain, dia menghampiri Siang Lin dan berkata dengan suara berbisik.

"Siocia (Nona), aku tadi mendengar Ma Kui bicara dengan Lui Hok tentang Suheng Nona tadi dan Ma Kiu meninggalkan tempat latihan dengan alasan sakit perut, sebetulnya dia hendak melaporkan kedatangannya, dan agaknya mereka berdua mencurigai Suheng Nona." Tentu saja Siang Lin menjadi terkejut bukan main. "Ma Kiu? Orang setengah tua yang mengaku sebagai pembantu kantor Jaksa Ji, yang tubuhnya kurus kering itu?"

"Benar, Siocia."

"Dia hendak melaporkan tentang apa? Suhengku tidak melakukan suatu pelanggaran, dan kepada siapa dia hendak melaporkan?"

"Mereka tidak mengatakan kepada siapa, Siocia. Saya hanya ingin memberi-tahu agar Gui Kauwsu (Guru Silat Gui) dan Nona mengetahui dan berhati-hati."

"Terima kasih, dan sekarang pulanglah." Setelah murid itu keluar, Siang Lin lalu menutupkan pintu gerbang di depan halaman, memanggil seorang pelayan lakilaki setengah tua yang membersihkan halaman bekas tempat latihan itu dan memesan agar menjaga di situ dan melaporkan kalau ada yang datang bertamu. Setelah itu, Siang Lin bergegas memasuki rumah dan langsung menemui ayahnya yang sedang bercakap-cakap dengan Bu Kong Liang.

"Ayah, ada sesuatu yang mencurigakan dan agaknya gawat terjadi di luar," katanya melaporkan. "Menurut seorang murid, Ma Kui mencurigai Bu Suheng dan akan melaporkan kepada atasannya yang tidak diketahui entah siapa." Gui Tiong mengerutkan alisnya. "Ma Kiu? Pekerja di kantor Jaksa Ji itu? Hemm, sejak dia menjadi murid di sini, setahun yang lalu, aku sudah mencurigainya. Aku yakin dia itu hanya pura-pura saja belajar silat. Dari sinar matanya aku dapat menduga bahwa dia adalah seorang ahli silat yang memiliki tenaga dalam cukup kuat. Tentu dia menjadi murid di sini untuk memata-matai, akan tetapi karena perguruan ini memang tidak mempunyai niat menentang pemerintah, aku juga diam dan tenang saja."

"Ah, kalau begitu kedatangan saya ini hanya menimbulkan masalah dan kesulitan bagi Susiok!" kata Bu Kong Liang dengan suara menyesal. "Lebih baik saya pergi secepatnya agar jangan mendatangkan kesulitan bagi Susiok."

"Tidak, Kong Liang. Jangan khawatir, para pejabat tidak akan mengganggu kita. Aku mengenal banyak pejabat dan selama belasan tahun ini mereka tentu yakin bahwa aku sama sekali tidak pernah menentang pemerintah. Biar saja kita dicurigai dan kita pura-pura tidak tahu saja. Kalau engkau pergi dari sini lalu mereka datang bertanya, tentu kecurigaan mereka bertambah melihat engkau telah pergi tanpa aku dapat memberitahu ke mana pergimu. Tenang sajalah, kita hadapi bersama."

"Benar, Suheng. Kalau kita tidak bersalah apa pun, untuk apa melarikan diri seperti orang yang bersalah?"

"Susiok dan Sumoi memang benar, akan tetapi hendaknya Susiok ingat bahwa seperti yang saya ceritakan tadi, saya pernah dihadang dan dikeroyok oleh seregu prajurit yang dipimpin oleh Hui-eng-to Phang Houw dan Liong-bu-pangcu Louw Cin karena dituduh sebagai pemberontak. Pada waktu itu muncul Ang-mo Niocu, seorang penyelidik utusan Raja Muda Wu Sam Kwi di Secuan dan ia telah membunuh enam orang prajurit. Dengan adanya peristiwa itu, tentu saya dianggap sebagai pemberontak dan kalau saya tidak meninggalkan rumah ini, Susiok dan Sumoi pasti akan terbawa-bawa."

"Hal itu juga dapat kita jelaskan. Engkau tanpa sebab dihadang dan diserang, tentu saja engkau berhak membela diri. Kalau di antara para pengeroyok itu ada yang tewas, itu pun bukan kesalahanmu, apalagi seperti kauceritakan tadi, yang membunuh adalah Ang-mo Niocu, bukan engkau.

Tenanglah, di kota raja ini banyak pejabat yang adil, aku pasti akan membelamu."

"Hui-eng-to Phang Houw dan Liong-bu-pangcu Louw Cin, seperti pernah aku mendengar nama itu, Ayah!"

"Tentu saja. Mereka cukup terkenal di sini. Mereka adalah dua orang di antara para jagoan yang menjadi anak buah Pangeran Leng Kok Cun." Kong Liang mengangguk. "Saya pun sudah mendengar keterangan itu dari seorang pendekar wanita bernama Thian Hwa yang pernah bentrok dengan mereka."

"Wah, Bu Suheng mempunyai banyak teman pendekar wanita, ya? Tadi Ang-mo Niocu, sekarang Thian Hwa! Tentu mereka itu lihai dan cantik!" Wajah Kong Liang berubah merah. "Bukan teman, hanya kebetulan bertemu dan berkenalan saja, Sumoi."

"Sudahlah, Kong Liang. Menurut aku sebaiknya engkau diam saja di sini. Kalau engkau pergi malah mungkin akan menyusahkan kami. Kalau ada petugas pemerintah datang, kita hadapi berdua, akan tetapi kuperingatkan lebih dulu, jangan sekali-kali menggunakan kekerasan untuk melawan.

Hal itu bahkan akan memperuncing keadaan dan menambah kecurigaan mereka." Akhirnya Kong Liang terpaksa menyetujui walaupun dia merasa tidak enak kepada paman gurunya. Dia tidak menceritakan betapa dia dan Thian Hwa juga menghajar seorang jaksa berikut para prajurit pengawalnya. Dia merasa serba salah. Kalau dia pergi, akibatnya Gui Tiong dan Gui Siang Lin dicurigai dan ditekan pemerintah, hal itu akan tampak bahwa dia seorang pengecut yang tidak bertanggung jawab! Akan tetapi kalau dia tinggal di situ, susiok dan sumoinya itu akan terseret atau terlibat urusannya dengan pasukan kerajaan! Di antara dua pilihan itu, dia memilih yang pertama. Dia akan tinggal di situ dan menghadapi segala kemungkinan bersama Gui Tiong agar kalau sampai ada bahaya mengancam paman gurunya, dia dapat membantu.

Apa yang mereka khawatirkan itu ternyata terjadi pada siang hari itu juga. Seorang perwira dengan dua losin orang prajurit keamanan datang membawa surat perintah Jaksa Ji untuk memanggil Gui Tiong dan pemuda yang menjadi tamunya menghadap.

"Harap Gui Kauwsu dan tamunya suka ikut dengan baik dan tidak melakukan perlawanan agar kami tidak perlu menggunakan kekerasan," kata perwira itu yang sudah mengenal Gui Tiong.

Bu Kong Liang mengerutkan alisnya, akan tetapi Gui Tiong memberi isyarat dengan pandang matanya agar pemuda itu tidak mengeluarkan bantahan.

"Aih, Ciangkun (Perwira), mengapa harus melawan? Kami tidak merasa bersalah, maka tentu saja kami akan menaati panggilan Ji Thaijin." Ketika Gui Siang Lin keluar, ayahnya berkata kepadanya.

"Siang Lin, engkau menjaga rumah dan sebaiknya liburkan dulu para murid. Aku dan Kong Liang hendak pergi ke kantor Jaksa Ji memenuhi panggilannya."

"Kenapa Ayah dipanggil Jaksa Ji?" Siang Lin bertanya.

"Ah, mungkin ada urusan yang hendak beliau tanyakan.

Jangan khawatir, Siang Lin. Jaksa Ji orangnya baik, pasti t idak ada apa-apa."

"Baiklah, Ayah," kata gadis itu.

Diam-diam Bu Kong Liang kagum kepada ayah dan anak ini. Kalau mereka melakukan perlawanan tentu Siang Lin juga akan ditangkap. Akan tetapi karena Gui Tiong bersikap lunak, maka pasukan itu pun tidak bertindak kasar sehingga mereka berdua kini hanya dikawal saja tanpa dibelenggu menuju ke kantor Jaksa Ji.

Setelah tiba di kantor itu, Jaksa Ji sudah menunggu dengan mengenakan pakaian kebesarannya. Dengan sikap angkuh dia duduk di atas kursi dan belasan orang prajurit pengawal berjaga di situ dengan senjata pedang di tangan.

Gui Tiong dan Kong Liang dikawal masuk dan setelah tiba di ruangan itu dan berhadapan dengan Jaksa Ji, Gui Tiong memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada sambil membungkuk, ditiru oleh Kong Liang. Akan tetapi perwira pengawal di belakang mereka membentak.

"Hayo kalian berdua berlutut memberi hormat kepada Ji Thaijin!" Mendengar bentakan ini, Gui Tiong segera berlutut, dan biarpun hatinya mengkal, terpaksa Kong Liang juga berlutut.

Gui Tiong maklum bahwa dia diperlakukan sebagai seorang terdakwa, maka diharuskan berlutut. Padahal biasanya dia bersikap biasa saja terhadap jaksa yang sudah dikenalnya ini.

"Ji Thaijin, saya Gui Tiong dan ini keponakan murid saya bernama Bu Kong Liang, memberi hormat memenuhi panggilan Thaijin," kata Gui Tiong sambil berlutut.

"Gui Tiong!" kata Jaksa Ji dengan suara keren. "Sudah tahukah engkau akan dosamu?"

"Ji Thaijin, sesungguhnya saya masih merasa heran dan tidak tahu mengapa Thaijin memanggil kami, maka mohon Thaijin jelaskan apakah maksud Thaijin mengatakan bahwa saya berdosa? Dosa apakah yang telah saya lakukan?"

"Hemm, kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!" Jaksa Ji mengejek. "Kami mendapatkan kabar dari Pangeran Lu bahwa pemuda ini adalah murid Siauw-lim-pai yang memberontak. Karena dia berada di rumahmu, berarti engkau menyembunyikan seorang pemberontak! Oleh karena itu, sambil menanti keputusan pengadilan, kalian harus ditahan dalam penjara!"

"Maaf, Thaijin, saya memprotes! Saya murid Siauw-lim-pai dan tidak pernah memberontak. Andaikata saya yang dituduh memberontak mengapa Susiok Gui Tiong ikut ditahan? Dia dan puterinya sama sekali t idak mempunyai hubungan dengan saya. Bahkan baru pagi tadi saya mengunjungi paman guru saya ini. Maka, mohon Thaijin membebaskan Susiok Gui Tiong!" kata Bu Kong Liang dengan lantang.

"Ssstt, Kong Liang, jangan berkata begitu. Aku yakin penangkapan ini hanya akibat f itnah. Biarlah di pengadilan nanti kita bicara membela diri kita yang tidak bersalah."

"Diam kalian!" bentak jaksa itu memandang kepada para prajurit pengawal. "Masukkan mereka dalam penjara!" Andaikata Kong Liang seorang diri dan tidak melibatkan paman gurunya, tentu dia tidak sudi ditawan, mengamuk dan meloloskan diri. Akan tetapi dia maklum bahwa kalau dia berbuat demikian, dia malah membahayakan keselamatan guru dan adik seperguruannya. Tentu saja dia tidak mau hal ini terjadi dan dia pun menurut saja ketika dia dan Gui Tiong digiring belasan orang prajurit ke rumah penjara di mana mereka berdua dimasukkan sebuah kamar tahanan yang kokoh dan berterali besi amat kuatnya. Rumah tahanan itu dijaga banyak prajurit, bahkan di luar sel mereka tampak lima orang prajurit duduk berjaga.

Mereka tadi datang menghadap Jaksa Ji tanpa membawa senjata. Gui Tiong yang melarang keponakan muridnya membawa senjata. Guru silat ini mengetahui bahwa pada masa itu, sudah dikeluarkan pengumuman bahwa rakyat yang bukan petugas pemerintah, dilarang membawa senjata.

Setelah mereka berdua dimasukkan dalam sel, mereka duduk bersila di atas lantai batu yang keras dan dingin.

"Susiok, ini tidak adil!" Kong Liang berkata lirih penuh penyesalan. "Kalau saya yang dituduh sebagai pemberontak, mengapa Susiok ikut ditahan? Maka, dalam persidangan pengadilan, harap Susiok jangan membela saya. Katakan saja terus terang bahwa saya datang berkunjung sebagai sesama murid Siauw-lim-pai, dan Susiok tidak tahu menahu tentang semua perbuatan saya. Kalau hanya saya yang dihukum, saya akan mudah berusaha untuk meloloskan diri. Sebaliknya Susiok tidak mungkin melakukan perlawanan karena itu akan membahayakan diri Sumoi Siang Lin." Gui Tiong tersenyum, sikapnya tenang. "Jangan khawatir, Kong Liang. Aku percaya bahwa Jaksa Ji tidak berniat buruk.

Seperti katanya, dia hanya memenuhi perintah Pangeran Lu.

Kita akan bersikap dan bertindak bagaimana, kita tunggu saja sampai nanti di pengadilan. Jangan risau. Dalam keadaan begini kita harus tetap tenang dan mengumpulkan tenaga untuk menghadapi segala kemungkinan." Sore harinya, seorang penjaga mengantar makan dan minum untuk mereka, dimasukkan di sela-sela terali. Prajurit itu yang mengenal Gui Tiong berkata ramah. "Gui Kauwsu, kalau membutuhkan sesuatu, beritahu saja kepada kami."

"Terima kasih," kata Gui Tiong. Mereka lalu makan minum dan makanan yang diberikan ternyata cukup baik. Gui Tiong memberitahu Kong Liang bahwa makanan yang mereka terima itu saja sudah membedakan mereka dengan tahanan biasa.

Agaknya mereka diperlakukan dengan baik dan kenyataan ini menunjukkan bahwa pembesar yang menyuruh menangkap mereka tentu mempunyai maksud lain.

Malam itu, para penjaga penjara tampak sibuk. Bahkan prajurit yang berjaga di depan sel yang ditempati Gui Tiong dan Bu Kong Liang, kini dijaga belasan orang prajurit yang sudah siap dengan senjata di tangan. Akan tetapi mereka berdiri tegap dengan sikap hormat, tidak mengeluarkan suara.

Gui Tiong dan Kong Liang memandang kesibukan itu dari belakang terali. Tak lama kemudian tampak seorang kakek berusia sekitar enam puluh t iga tahun, tubuhnya bongkok dan mukanya buruk. Akan tetapi orang tua yang tampak ringkih (lemah) ini berpakaian mewah sekali dan tangan kirinya memegang sebuah tongkat hitam, tangan kanan memegang sebuah kipas dan di ikat pinggangnya terselip tujuh buah belati sehingga dia tampak aneh dan lucu sekali tidak tampak garang menakutkan. Akan tetapi kalau orang mendengar namanya, dia tentu akan terkejut dan juga takut.

jilid IV

KAKEK itu adalah Pat-chiu Lo-mo (Iblis Tua Tangan Delapan) yang namanya di dunia kang-ouw terkenal sebagal seorang yang sakti. Selain ilmu tongkatnya yang hebat, dia pandai memainkan kipas yang kini dia pakai mengebut! badannya, sebagai senjata yang ampuh. Kipasnya itu disebut Yangliu-san (Kipas Cemara) karena bentuknya seperti pohon cemara. Selain itu, juga ilmunya menyambit dengan hui-to (belati terbang) amat dahsyat. Dia selalu membekali dirinya dengan tujuh batang belati yang dapat dia terbangkan menyerang lawan. Pada waktu itu, Pat-chiu Lo-mo merupakan seorang di antara para pembantu utama Pangeran Leng Kok Cun! Di belakang kakek itu berjalan lima orang yang usianya antara tiga puluh lima sampai empat puluh lima tahun.

Lima orang ini bertubuh tinggi besar dan tegap, tampak gagah. Mereka adalah saudara seperguruan yang terkenal denganjulukan Twa-to Ngo-liong (Lima Naga Bergolok Besar).

Aneh kalau dilihat betapa kakek bongkok yang tampak berpenyakitan itu malah menjadi pimpinan lima orang yang tampak kokoh kuat itu! Setelah tiba di luar sel mereka berhenti dan kakek itu memandang ke arah Gui Tiong dan Bu Kong Liang.

"Kalian yang bernama Gui Tiong dan Bu Kong Liang*' "Betul." jawab Gui Tiong yang belum pernah bertemu dengan kakek itu karena memang Pat-chiu Lo-mo tidak pernah keluar dari istana Pangeran Leng Kok Cun.

"Nah, ketahuilah kalian berdua bahwa kami datang sebagai utusan Pangeran Leng Kok Cun untuk bertanya kepada kalian.

Kalian dipersilakan memilih satu di antara dua pilihan.

Pertama, kalian akan diadili sebagai pemberontakpemberontak dan pasti akan dihukum mati. Ada pun yang ke dua, kalian akan bebas dari tuduhan kalau kalian mau membantu Pangeran Leng dan melaksanakan segala perintahnya, dan kalian menerima imbalan yang amat berharga. Nah, kalian memilih yang mana? Menolak, berarti diadili dan dihukum mati, kalau menerima, mari menghadap Pangeran Leng malam ini juga!" Melihat sikap kakek, bongkok ini, Kong Liang sudah merasa tak senang. Dia bertanya dengan suara tegas. "Kalau kami mau, lalu disuruh melakukan apa?" "Hai itu akan ditentukan oleh Pangeran sendiri! Bagaimana jawabanmu Gui Tiong? Engkau menerima atau menolak tawaran Pangeran Leng?" tanya Pat-chiu Lo-mo.

"Kalau benar Pangeran Leng Kok Cun yang ingin agar kami menbantunya, mengapa beliau tidak langsung saja menemui kami? Mengapa kami harus ditangkap lebih dulu dengan tuduhan yang bohong? Pula, bagaimana kami tahu bahwa engkau diutus oleh Pangeran Leng? Kami tidak mengenalmu, sobat." kata Gui Tiong yang bersikap hati-hati.

"Hemm, bagaimana mungkin Pangeran Leng merendahkan diri berkunjung ke rumahmu, Gui Kauwsu? Tuduhan itu bukan fitnah. Engkau telah menyembunyikan pemuda ini yang memberontak dan membunuh banyak perajurit kerajaan. Dan engkau belum mengenai aku? Aku dikenal sebagai Pat-chiu Lo-mo, yang bekerja membantu Pangeran Leng. Cukuplah, cepat beri keputusan. Engkau menolak atau mau kubawa menghadap Pangeran Leng sekarang juga?" Kini Gui Tiong dapat menduga bahwa penangkapan ini.

tentu atas perintah Pangeran Leng yang besar kekuasaannya.

Teringatlah dia akan cerita Bu Kong Liang betapa pemuda itu pernah bentrok dengan dua orang jagoan kaki tangan Pangeran Leng, yaitu Hui-eng-to Phang Houw dan Liong-bupangcu Louw Cin. Tentu karena itulah Kong Liang dianggap sebagai pemberontak. Akan tetapi sesungguhnya pemuda itu bukan pemberontak, melainkan tanpa alasan dihadang dan diserang pasukan yang dipimpin dua orang jagoan itu. Dia mengerti bahwa kalau menolak, nyawa mereka pasti tidak akan tertolong lagi. Akan tetapi kalau menyerah, apakah dia dan keponakan muridnya harus membantu Pangeran Leng yang bersaing dengan para pangeran lain untuk menjadi pengganti Ka isar? Melihat Paman gurunya bimbang dan ragu, Kong Liang menyentuh pinggangnya sebagai isarat dan berkata, "Susiok, kita terima sajalah dan menghadap Pangeran Leng" Gui Tiong maklum bahwa penyerahan diri Kong Liang ini mungkin hanya siasat pemuda itu. Akan tetapi, kakek itu adalah seorang yang cerdik. Dia pun maklum dan dapat menduga bahwa mungkin setelah keluar dari situ dan dibawa ke istana Pangeran Leng, dua orang ini akan melawan dan melarikan diri. Dia sudah mendengar akan kelihaian para murid Siauw-lim-pai ini, maka kalau benar seperti yang dia duga, berarti dia membahayakan diri sendiri. Kalau mereka sampai lolos, tentu dia mendapat marah besar dari majikannya! Biarpun dia sudah mengajak Toa-to Ngo-liong dan di luar masih ada dua losin perajurit yang akan mengawal dua orang tawanan ini menuju istana Pangeran Leng, namun kalau dua orang ini mengamuk, tetap saja ada bahayanya mereka atau seorang dari mereka dapat lolos! Akan tetapi, kakek bongkok ini tidak merasa khawatir, malah tertawa terkekeh-kekeh.

"Heh-heh-heh, jangan kalian berniat yang bukan-bukan.

Cepatlah karena puterimu juga sudah menanti di sana, Gui Kauwsu!" Wajah Gui Tiong berubah pucat. "Apa? Anakku Siang Lin juga kalian tawan? Apa salahnya? Awas kalau ada yang berani mengganggu anakku!" teriaknya marah. Kong Liang juga terkejut mendengar ini dan dia mengepal tinju. Memang tadi dia memberi isarat kepada paman gurunya dengan maksud untuk mengajak paman gurunya memberontak dan melawan di tengah perjalanan menuju istana Pangeran Leng dan melarikan diri. Akan tetapi mendengar bahwa Siang Lin telah berada di tangan mereka, tentu saja dia pun merasa tidak berdaya!

"Heh-heh-heh, jangan marah dan jangan khawatir, Gui Kauwsu. Puterimu hanya diundang ke sana untuk meyakinkan kalian bahwa Pangeran Leng berniat baik. Kalau kalian bersedia menjadi pembantunya dan menaati semua perintahnya, pasti semua berjalan dengan baik. Mari kita berangkat karena beliau sudah menunggumu! Bagaimana, engkau bersedia, Gui Kauwsu?" Gui Tiong merasa tidak berdaya sama, sekali. Kini puterinya disandera, maka tidak ada pilihan lain kecuali menyerah.

"Baiklah, Lo-mo, aku siap menghadap Pangeran Leng. Akan tetapi pemuda ini tidak ada urusannya denganku, maka harap dia segera dibebaskan. Aku yang siap membantu Pangeran Leng!" "Tidak!" Bu Kong Liang berseru. "Aku yang menyebabkan semua ini maka aku harus ikut bertanggung jawab!" "Bagus!" kata Pat-chiu Lo-mo. "Memang Pangeran Leng menghendaki kalian berdua yang ikut menghadap beliau!" Kakek bongkok itu lalu memberi tanda kepada kepala penjara yang segera membuka pintu sel tahanan itu. Gui Tiong dan Bu Kong Liang keluar dan dibawa keluar. Di luar sudah menanti dua losiri perajurit dan kedua orang murid Siauw-lim-pai itu lalu dikawal menuju istana Pangeran Leng. Kalau saja Siang Lin tidak berada di tangan Pangeran Leng, sudah pasti dua orang murid Siauw-lim-pai itu akan memberontak dan melarikan diri. Mereka tidak gentar menghadapi enam orang jagoan dan dua losin perajurit itu. Akan tetapi ditawannya Siang Lin membuat mereka tidak berdaya, tidak dapat berbuat lain kecuali menyerah dan menurut.

Setelah tiba di gedung berupa istana megah itu, Gui Tiong dan Kong Liang dibawa masuk ke dalam sebuah ruangan yang diterangi banyak lampu besar dan ruangan itu luas dan terhias prabot rumah yang serba indah. Di situ telah duduk Pangeran Leng Kok Cun. Di luar ruangan itu berjaga banyak perajurit pengawal dan di belakang Sang Pangeran duduk pula berjajar belasan orang yang tampaknya gagah dan menyeramkan.

Gui Tiong sudah pernah melihat Pangeran Leng Kok Cun.

Akan tetapi Bu Kong Liang baru sekarang melihatnya dan dia memandang penuh perhatian. Pangeran itu mengenakan pakaian yang indah gemerlapan. Usianya sekitar empat puluh tiga tahun. Tubuhnya tinggi kurus dan tampaknya lemah, akan tetapi matanya yang lincah dan tajam itu membayangkan kecerdikan, wibawa, dan kekuatan. Tidak mungkin orang yang memiliki pandang mata seperti itu adalah seorang yang lemah, pikir Kong Liang.

"Kalian berdua duduklah!" kata Sang Pangeran mempersilakan dua orang itu duduk di atas kursi-kursi yang terdapat di situ.

"Terima kasih, Pangeran." Mereka berkata dan keduanya duduk berhadapan dengan Sang Pangeran. Melihat betapa pangeran itu mempersilakan mereka duduk di atas kursi berhadapan dengannya, tidak harus berlutut di atas lantai, Gui Tiong diam-diam memuji pangeran ini sebagai orang yang pandai mengambil hati orang. Dia menjadi semakin hati-hati karena sikap ini saja sudah membayangkan bahwa dia berhadapan dengan seorang yang cerdik sekali.

"Apakah kalian berdua sudah mendengar keterangan Locianpwe Pat-chiu Lo-mo tentang mengapa kalian kini dihadapkan kepadaku di sini?" tanya pangeran itu, suaranya lembut dan manis.

"Saya sudah mendengar dan mengerti, Pangeran. Akan tetapi sebelum kita bicara lebih lanjut, saya mohon dapat diperbolehkan melihat apakah benar anak perempuan saya berada di sini." "Hemm, ternyata engkau seorang yang cerdik dan tidak mudah dibohongi, Gui Kauwsu. Hal ini semakin memperkuat harga dirimu sebagai pembantu kami yang dapat dipercaya.

Ketahuilah bahwa kami bukan tukang berbohong. Tentu saja engkau boleh melihat puterimu agar yakin bahwa puterimu berada di tangan kami yang menanggung keselamatannya." Pangeran Leng memberi isarat kepada seorang pengawal yang duduk di belakang. Orang itu, yang bermuka hitam dan bertubuh tinggi besar, memberi hormat lalu keluar dari ruangan itu. Tak lama kemudian, daun pintu yang menembus ruangan itu terbuka dan di ambang pintu muncul Gui Siang Lin dengan kedua kakinya memakai gelang rantai baja yang panjang dan di belakang gadis itu terdapat lima orang menodongkan pedang mereka ke arah gadis itu!

"Siang Lin....!" Gui Tiong berseru, khawatir.

"Tenanglah, Ayah!" kata gadis itu dengan suara lantang dan berani. "Dan jangan Ayah menurut saja kalau disuruh melakukan hal yang berlawanan dengan suara hati Ayah.

Lebih baik aku mati daripada Ayah harus melakukan perbuatan yang jahat. Aku tidak takut mati, Ayah!" Mendengar ini, Pangeran Leng cepat memberi isarat dan daun pintu itu ditutup kembali. Gui Tiong hanya mendengar rantai yang tergantung di kaki puterinya itu diseret ketika gadis itu meninggalkan ruangan itu.

"Ha-ha-ha, ayahnya naga puterinya juga naga! Sungguh mengagumkan sekali! Akan tetapi kalau engkau tidak mau membantu kami, terpaksa dengan hati berat aku akan menyerahkan puterimu kepada puluhan orang perajurit yang boleh berbuat apa saja terhadap dirinya, bahkan sampai mati! Ia akan tersiksa lahir batin sampai mati, dan kalian berdua juga tidak akan terbebas dari hukuman mati!" Ancaman ini hebat sekali. Kong Liang sendiri biarpun tidak takut mati, menjadi ragu apakah dia akan melawan dengan kekerasan kalau keselamatan Gui Tiong dan Gui Siang Lin terancam. Terutama sekali ancaman terhadap Siang Lin membuat dia bergidik ngeri dan juga membuat mukanya menjadi merah saking marahnya.

"Baiklah, demi keselamatan anak saya, saya menyerah dan bersedia membantu Pangeran. Akan tetapi, pekerjaan apakah yang harus saya lakukan?" tanya Gui Tiong.

"Nanti dulu, yang kami kehendaki adalah agar kalian berdua yang menyerah dan membantu kami, taat akan perintah kami. Sekarang, engkau belum menyatakan kesediaanmu membantu kami, Bu Kong Liang. Ingatlah, engkau pernah membunuh perajurit kerajaan. Kalau engkau menolak untuk membantu kami, berarti engkau memang seorang pemberontak yang menentang kerajaan kami. Kalau engkau bukan pemberontak, tentu engkau akan dengan senang membantu kami!" Bu Kong Liang mengerutkan alisnya dan merasa tidak berdaya. Dia tahu sekarang bahwa tentu dua orang anak buah pangeran ini, Phang Houw dan Louw Cin yang pernah mengerahkan perajurit mengeroyoknya, tentu melaporkan kepada Pangeran Leng. Boleh saja dia menyangkal bahwa yang membunuh perajurit bukan dia melainkan Ang-mo Niocu, akan tetapi apa gunanya? Tetap saja dia harus menyerah dan menurut, kalau tidak, tentu Gui Tiong dan Gui Siang Lin akan celaka. Maka, dia pun diam saja dan menyerahkan percakapan itu kepada su-sioknya.

Setelah menghela napas panjang, Gui Tiong berkata.

"Baiklah, Pangeran, untuk membuktikan bahwa kami sama sekali bukan pemberontak, kami menyerah dan akan menaati perintah Paduka dan bersedia untuk membantu." "Ha-ha-ha, bagus! Kalau begitu, akulah yang akan melindungi kalian dan tidak ada yang berani menuduh kalian pemberontak. Kalian adalah pembantu-pembantuku, tidak mungkin memberontak!" "Terima kasih, Pangeran. Harap Paduka jelaskan, perintah apa yang harus kami lakukan?" tanya Gui Tiong dengan perasaan amat tidak enak.

"Jangan tergesa-gesa. Malam ini kalian berist irahatlah.

Besok baru akan kami beritahukan, apa yang harus kalian lakukan untuk kami." Pangeran Leng lalu berkata kepada Patchiu Lo-mo untuk membawa dua orang murid Siauw-lim-pai itu ke kamar mereka.

Gui Tiong dan Bu Kong Liang lalu dikawal Pat-chiu Lo-mo, Twa-to Ngo-liong dan ditambah empat orang pengawal lain dari mereka yang duduk di belakang Pangeran Leng, masuk ke dalam dan ternyata mereka mendapatkan kamar yang terpisah. Mereka terkejut dan kecewa akan tetapi tidak dapat menolak dan begitu memasuki kamar masing-masing, kamar yang tidak berapa besar namun cukup bersih dan prabotnya serba mewah, mereka berdua lalu duduk bersila di atas pembaringan untuk mengendalikan perasaan dan mengumpulkan tenaga. Dalam keadaan seperti itu, mereka harus selalu tenang dan sehat agar kalau sewaktu-waktu harus bertanding, mereka sudah siap.

Agak sukar bagi kedua orang itu untuk dapat tidur pulas.

Gui Tiong lalu membayangkan puterinya dan hatinya merasa khawatir bukan main. Sedangkan Bu Kong Liang memikirkan nasib ayah dan anak itu. Mereka tertimpa malapetaka karena kunjungannya ke rumah mereka. Andaikata dia tidak datang berkunjung, tentu Gui Tiong dan puterinya masih berada di rumah mereka dalam keadaan selamat. Dia merasa menyesal bukan main dan mengambil keputusan dalam hatinya untuk membela ayah dan anak itu sekuat tenaga.

Pada keesokan harinya juga mereka belum ditemui Pangeran Leng. Mereka diperlakukan dengan baik, bahkan diberi kesempatan bertemu dengan Gui Siang Lin. Gadis itu berada dalam sebuah kamar lain yang pintunya berterali kokoh kuat. Dari luar pintu, mereka dapat melihat keadaan dalam kamar itu yang indah dan bersih. Gui Tiong dapat bicara dengan puterinya melalui daun pintu itu dan diberi waktu beberapa lamanya oleh para perajurit yang mengawal mereka. Lega hatinya ketika Gui Tiong melihat betapa puterinya berada dalam keadaan sehat.

"Engkau baik-baik saja, Siang Lin?" tanya Gui Tiong.

Gadis itu mengangguk. "Mereka memperlakukan aku dengan baik dan sopan sebagai seorang tamu, Ayah.

Bagaimana dengan Ayah dan Bu Suheng?" "Kami pun baik-baik saja." kata Gui Tiong dan Kong Liang mengangguk kepada gadis itu ketika mereka saling berpandangan.

"Ayah, apakah artinya penangkapan ini? Apakah rencana Pangeran Leng terhadap kita bertiga?" Gui Tiong menghela napas panjang. "Kami diminta untuk menyerah dan mau menjadi pembantu Pangeran Leng dan menaati semua perintahnya." "Perintah apa yang diberikan kepada Ayah dan Suheng yang harus kalian lakukan?" "Kami belum tahu, belum menerima perintah melakukan sesuatu untuk Pangeran Leng." Pada saat itu, Gui Tiong merasa betapa lengannya disentuh Kong Liang. Dia menengok dan melihat pemuda itu menujukan pandang matanya ke arah kaki Siang Lin. Cepat Gui Tiong memandang dan melihat betapa kedua kaki puterinya tidak dibelenggu lagi, dia maklum isarat apa yang diberikan pemuda itu. Setelah Siang Lin bebas tidak terbelenggu, tentu Kong Liang berpikir bahwa kini mereka bertiga dapat melawan dan melarikan diri dari situ.

Akan tetapi sejak tadi Gui Tiong telah melihat sesuatu dan kini dia memberi isarat kepada Kong Liang dengan matanya mengerling ke atas» Pemuda itu memandang ke atas dan dia terkejut karena di atap kamar itu terdapat lubang-lubang dan t idak kurang dari enam batang anak panah tampak sudah siap diluncurkan ke bawah! Ini berarti bahwa di atas atap itu terdapat enam orang pemanah yang selalu siap menyerang Siang Lin. Dan agaknya, betapa pun lihainya gadis itu, kalau berada dalam kamar dan diserang enam batang anak panah dan tentu saja dapat disusul anak panah berikutnya, sukar baginya untuk dapat menyelamatkan diri.

Apalagi Kong Liang melihat betapa mata anak panah itu hijau kehitaman, tanda bahwa mata anak panah itu beracun! Maklumlah Kong Liang bahwa Pangeran Leng yang cerdik telah mempersiapkan segala-galanya. Tidak mungkin bagi dia dan Gui Tiong untuk melawan karena akibatnya yang pertama adalah matinya Siang Lin dihujani anak panah beracun! Agaknya tidak ada jalan lain kecuali untuk sementara ini menyerah dan melaksanakan perintah Pangeran Leng! Waktu yang diberikan kepala pengawal bagi mereka yang berbicara dengan Siang Lin habis dan mereka diminta untuk kembali ke kamar masing-masing. Sehari itu mereka mendapat makan minum yang cukup mewah, diantar ke kamar masing-masing. Bahkan mereka diberi kesempatan untuk mandi dan pakaian Gui Tiong dan puterinya telah diambil dari rumah mereka dan diberikan Kepada mereka.

Juga buntalan pakaian Kong Liang diambil dari rumah Gui Tiong dan diberikan pemuda itu. Uang yang terdapat di buntalan itu dan juga senjata mereka berdua diserahkan juga! Gui Tiong menerima sepasang goloknya dan Bu Kong Liang sepasang siang-kek (senjata tombak pendek bercabang) miliknya. Mereka berdua maklum bahwa Pangeran Leng yakin akan ketidak berdayaan mereka berdua dan memang perhitungan pangeran itu tepat. Selama Siang Lin disandera, tentu saja mereka tidak berani melawan karena hal itu berarti tewasnya Siang Lin! Malam itu mereka diundang makan malam oleh Pangeran Leng. Setelah mereka t iba di kamar makan yang luas, di sana telah duduk Pangeran Leng di kepala meja makan dan di situ hadir pula Pat-chiu Lo-mo yang bongkok, lima orang Twa-to Ngo-liong yang tinggi besar dan dua orang lain yang membuat Bu Kong Liang menjadi merah mukanya karena marah. Dua orang itu bukan lain adalah Hui-eng-to Phang Houw yang gemuk pendek dan Ketua Liong-bu-pang Louw Cin yang t inggi kurus! Mereka berdua itu hanya tersenyum ketika melihat Kong Liang memasuki ruangan bersama Gui Tiong.

"Ha, Gui Kauwsu (Guru Silat Gui) dan Bu Enghiong (Pendekar Bu), silakan duduk dan mari makan bersama kami! Oh ya, perkenalkan ini Hui-eng-to Phang Houw dan Ketua Liong-bu-pang Louw Cin." Gui Tiong dan Kong Liang mengangguk dan mereka lalu mengambil tempat duduk di atas dua buah kursi yang agaknya memang disediakan untuk mereka.

"Kita makan dulu baru nanti membicarakan hal penting!" kata Sang Pangeran dan dia lalu bertepuk tangan. Sepuluh orang gadis pelayan yang muda dan cantik datang bagaikan sepuluh ekor kupu-kupu terbang dan mereka agaknya sudah diatur karena tanpa ragu mereka lalu masing-masing menghampiri seorang dengan gaya yang manis dan lembut sopan mereka menuangkan arak ke dalam cawan sepuluh orang itu. Mereka lalu makan minum, dilayani masing-masing oleh seorang pelayan yang membuat Cu Kong Liang merasa tidak tenang. Dia merasa canggung dan malu dilayani seorang gadis, hai yang belum pernah dia alami sepanjang hidupnya! Setelah selesai makan minum, Pangeran Leng mengajak sepuluh orang itu ke sebuah kamar yang biasa dipergunakan untuk mengadakan rapat tertutup dan rahasia. Sekarang Gui Tiong dan Kong Liang melihat betapa ruangan-ruangan di mana mereka berdua berada tidak lagi terjaga pasukan pengawal dengan ketat. Mereka berdua maklum bahwa memang hal ini tidak perlu lagi. Pangeran Leng tentu yakin bahwa selama Siang Lin menjadi sandera, dua orang itu tidak akan berbuat sesuatu untuk menentangnya! Setelah semua orang duduk mengitari sebuah meja besar dan daun-daun pintu dan jendela tertutup rapat, Pangeran Leng lalu berkata kepada dua orang "pembantu" baru itu.

"Gui Kauwsu dan Bu Enghiong, malam inilah saatnya kalian berdua membuktikan bahwa kalian benar-benar menjadi pembantuku dan menaati semua perintahku. Kalian berdua akan dibantu oleh lima saudara Ngo-liong (Lima Naga) ini dan kalian kami serahi tugas untuk membunuh seseorang." Pangeran Leng menghentikan ucapannya dan sepasang matanya menatap wajah dua orang itu dengan penuh selidik, ingin melihat bagaimana tanggapan mereka. Akan tetapi baik Gui Tiong maupun Kong Liang tidak memperlihatkan perasaan apa pun pada wajah mereka, sungguhpun hati mereka terkejut mendapat tugas untuk membunuh orang! Mereka juga tidak bertanya siapa yang harus mereka bunuh itu.

"Yang kalian berdua harus bunuh adalah seorang anak lakilaki berusia sepuluh tahun yang kini berada di dalam gedung Pangeran Bouw Hun Ki." Bu Kong Liang tidak tahu siapa yang dimaksudkan Pangeran Leng, akan tetapi Gui Tiong terkejut dan cepat bertanya. "Siapa anak laki-laki itu, Pangeran?" "Dia adalah pangeran yang dititipkan kepada Pangeran Bouw Hun Ki untuk dididik, yaitu Pangeran Kang Shi...." "Ah! Dia... dia... Putera Mahkota....??" seru Gui Tiong kaget sekali.

"Benar, Putera Mahkota Kang Shi yang berusia sepuluh tahun. Tugas yang mudah sekali, bukan?" "Akan tetapi... mengapa harus membunuh Thai-cu (Pangeran Putera Mahkota)?" kata Gui Tiong dengan muka pucat. Tugas itu kalau dilaksanakan merupakan dosa yang teramat besar dan tidak dapat diampuni. Dia dan Bu Kong Liang akan diburu oleh seluruh pasukan Kerajaan Ceng (Mancu)! Pangeran Leng tersenyum. "Sekarang belum saatnya engkau mengetahui sebabnya. Gui Kauwsu. Kelak engkau akan kami beritahu dan akan mengerti. Sekarang yang penting laksanakan dulu perintahku dan jangan khawatir, akulah yang akan menanggung akibatnya. Aku akan melindungi dan membelamu. Nah, kalian berdua berangkatlah ditemani Twa-to Ngo-liong. Ingat bahwa puterimu berada di sini dalam keadaan sehat dan selamat. Kalau kalian berdua berhasil, bukan saja puterimu akan mendapat kebebasan, juga kalian berdua akan kami beri kedudukan tinggi. Kalau engkau gagal, puterimu juga akan kami bebaskan asalkan kalian tidak mengaku kepada siapapun juga bahwa kami yang mengutus kalian membunuh Pangeran Mahkota. Kalau kalian membocorkan rahasia ini, berarti puterimu juga tidak akan selamat." Twa-to Ngo-liong sudah bangkit dan yang tertua bermuka penuh brewok berkata kepada Gui Tiong. "Mari kita berangkat sekarang, Pangeran sudah memerintahkan." Ketika dua orang itu memandang. kepada Pangeran Leng, Sang Pangeran memberi isarat dengan pandang mata dan gerakan tangannya agar mereka segera berangkat.

"Jangan lupa bawa senjata kalian!" pesannya dan pangeran itu lalu bangkit berdiri dan masuk ke sebelah dalam istananya yang besar dan megah.

"Kami hendak mengambil senjata kami dulu!" kata Gui Tiong dan bersama Bu Kong Liang dia lalu pergi ke kamar mereka. Dalam perjalanan ini, sebelum mereka berpisah memasuki kamar masing-masing, Gui Tiong berkata lirih, "Kau perhatikan isaratku nanti kalau tiba di atas istana Pangeran Bouw Hun Ki." Setelah berkata demikian dengan suara berbisik, Gui Tiong dan Kong Liang memasuki kamar masingmasing, Twa-to Ngo-liong yang bertugas menemani dan juga diam-diam harus mengawasi mereka berdua, segera mengejar cepat, akan tetapi mereka masih kurang cepat sehingga tidak mendengar bisikan Gui Tiong kepada Kong Liang tadi. Melihat dua orang murid Siauw-lim-pai itu memasuki kamar masingmasing lima orang Twa-to Ngo-liong itu menanti di luar kamar. Tak lama kemudian Gui Tiong dan Kong Liang sudah mengenakan pakaian ringkas dan membawa senjata masingmasing. Kemudian Twa-to Ngo-liong mengajak keluar melalui pintu rahasia yang berada di taman bunga di belakang istana pangeran itu.

Setelah berada di luar pagar tembok yang mengelilingi istana Gui Tiong berkata kepada Twa-to Ngo-liong. "Sesuai dengan perintah Pangeran Leng Kok Cun tadi. yang diberi tugas membunuh adalah kami berdua dan kalian berlima hanya menemani dan membantu kami oleh karena itu. aku yang memimpin tugas ini dan kalian berlima harus menaati petunjukku karena aku yang bertanggung jawab." Twa-to Ngo-liong yang dikatakan menemani dan membantu mereka itu sesungguhnya ditugaskan mengawasi dua orang itu. maka mendengar ini mereka berlima hanya mengangguk. Tubuh tujuh orang ini berkelebat di dalam kegelapan bayang-bayang pohon yang disinari cahaya bulan yang hampir purnama.

0odwo0 Gedung Pangeran Bouw Hun Ki tidaklah semegah gedung tempat tinggal Pangeran Leng Kok Cun yang seperti istana.

Prabot rumahnya juga tidak terlalu mewah walaupun gedung itu tetap besar dan luas.

Pangeran Bouw Hun Ki adalah seorang sastrawan, usianya sekitar lima puluh tiga tahun, rambutnya sudah dihiasi uban namun wajahnya masih tampan dan sikapnya gagah sungguhpun pangeran ini tidak pernah mempelajari ilmu silat.

Dia adalah adik Kaisar Shun Chi yang juga seorang sastrawan dan amat tekun mempelajari Agama Buddha, filsafat Guru Besar Khong Cu dan Lo Cu. Akan tetapi dia termasuk pemeluk Agama Buddha yang amat tekun dan mempelajari ajarannya sampai mendalam. Kaisar Shun Chi amat percaya akan kebaikan budi dan kesetiaan adiknya itu, maka dia menyerahkan Pangeran Kang Shi, yang merupakan Thai-cu (Putera Mahkota) sejak berusia tujuh tahun kepada Pangeran Bouw untuk dididik dalam ilmu tatane-gara, sastra, agama dan bahkan di rumah itu pula pangeran kecil itu mendapat pendidikan dasar ilmu silat dari isteri Pangeran Bouw Hun Ki.

Kini Pangeran Kang Shi telah berusia sepuluh tahun dan pangeran kecil ini senang sekali tinggal di rumah pamannya.

Di istana dia harus menghadapi banyak peraturan dan peradatan yang membuat anak ini merasa terikat dan tidak bebas. Akan tetapi setelah dia berada di rumah pamannya, Pangeran Bouw Hun Ki, dia merasa bebas dan setelah tinggal selama tiga tahun di rumah itu, dia merasa akrab dan sayang kepada penghuni rumah itu.

Pangeran Bouw Hun Ki tidak mempunyai seorang pun selir.

Dia amat mencinta isterinya yang dinikahinya ketika dia berusia dua puluh tahun dan isterinya berusia delapan belas tahun. Kini isteri-nya yang dahulu ketika menikah bernama Souw Lan Hui telah berusia lima puluh satu tahun. Akan tetapi Souw Lan Hui atau Nyonya Pangeran Bouw ini masih tampak cantik, tubuhnya masih tampak seperti orang muda. Hal ini tidaklah aneh karena wanita itu sejak masa kanak-kanak telah mempelajari ilmu silat sehingga ketika masih gadis ia telah menjadi seorang pendekar wanita sakti yang dijuluki Sin-hongcu (Si Burung Hong Sakti)! Ia adalah seorang murid yang pandai dari Bu-tong-pai. Maka tidak mengherankan kalau Pangeran Mahkota Kang Shi dapat memperoleh pendidikan silat pula di keluarga Bouw.

Pangeran Bouw dan isterinya mempunyai dua orang anak.

Yang pertama adalah seorang anak laki-laki yang diberi nama Bouw Kun Liong, kini telah berusia dua puluh empat tahun, belum menikah dan Bouw Kun Liong ini tentu saja mendapat pendidikan sastra dari ayahnya dan ilmu silat tinggi dari ibunya. Wajahnya tampan seperti wajah ayahnya dan dia gagah perkasa seperti ibunya. Pakaiannya selalu rapi, bersih, dan indah sehingga pemuda bangsawan yang tidak mempunyai selir seperti para pemuda bangsawan lainnya, amat menarik hati banyak orang, terutama para gadis yang pernah melihatnya. Mungkin karena ayahnya adik kaisar dan ibunya seorang pendekar wanita sakti dan keduanya amat sayang kepadanya, Bouw Kun Liong agak tinggi hati dan angkuh walaupun belum sampai dapat disebut sombong.

Anak mereka yang ke dua adalah perempuan yang kini berusia sekitar delapan belas tahun. Anak ini bernama Bouw Hwi Siang, cantik jelita seperti ibunya dan walaupun ia juga mendapatkan pendidikan ilmu silat walaupun tidak set inggi tingkat kakaknya, namun sikapnya lembut halus seperti sikap ayahnya. Wajah Bouw Hwi Siang ini mirip ibunya. Kakak beradik ini belum memiliki tunangan karena keduanya selalu menolak kalau ayah ibunya bicara tentang perjodohan mereka.

Pangeran cilik Kang Shi disayang keluarga Bouw dan dia pun amat sayang kepada mereka, terutama sekali kepada Bouw Kun Liong dan Bouw Hwi Siang, kedua orang kakak misannya itu. Pemuda dan gadis itu pun merasa amat sayang kepada Kang Shi yang termasuk seorang anak yang cerdas.

Malam itu biarpun terang bulan, hampir bulan purnama, karena hawa udara amat dinginnya, maka sebelum tengah malam keadaan sudah mulai sunyi. Tidak ada orang berlaluloJang di jalan raya. Rumah-rumah sudah menutup pintu dan jendela. Bahkan di gedung-gedung para bangsawan juga sudah tampak sunyi. Hanya para penjaga malam, perajuritperajurit pengawal yang masih berada di luar. Akan tetapi mereka pun lebih suka tinggal di dalam gardu penjagaan di mana tidak begitu dingin seperti kalau berada di luar.

Bayangan tujuh orang yang berkelebat di antara pohonpohon itu sedemikian cepatnya sehingga para penjaga di luar gedung-gedung itu pun tidak ada yang melihatnya. Mereka adalah Gui Tiong, Bu Kong Liang, dan lima orang Twa-to Ngo-liong. Mereka menuju ke gedung keluarga Pangeran Bouw Hun Ki. Setelah berada di belakang bangunan besar itu, Gui Tiong memberi isarat kepada enam orang temannya untuk melompat ke atas pagar tembok. Akan tetapi dia sengaja melompat lebih dulu besama Bu Kong Liang dan sebelum lima orang Twa-to Ngoliong menyusul, Gui Tiong cepat berbisik kepada pemuda itu.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar