"Seperti sudah kuceritakan tadi, aku sendiri tidak tahu mengapa aku diserang pasukan Mancu. Dengan tiba-tiba saja mereka menyerangku. Ini menguatkan dugaan para pimpinan Siauw-lim-pai bahwa Pemerintah Mancu diam-diam mencurigai para perkumpulan persilatan besar, terutama sekali Siauw-limpai. Karena ketika terjadi perlawanan terhadap balatentara Mancu, banyak terdapat ahli-ahli silat, pendekar-pendekar, di antaranya banyak pendekar Siauw-lim-pai berada di pihak Kerajaan Beng. Mungkin saja ada mata-mata mereka yang mengetahui bahwa aku seorang murid Siauw-lim-pai, maka mereka langsung mengeroyokku." Thian Hwa mulai percaya kepada pemuda itu, akan tetapi untuk mengaku sebenarnya tentang dirinya, bahwa ia adalah puteri seorang pangeran, ia masih belum mau. Maka untuk menjawab pertanyaan pemuda itu tadi, ia lalu memberitahu sebagian saja. "Bu-twako, engkau tadi menanyakan tujuan perjalananku. Aku juga hendak pergi ke kota raja, akan mencari kakekku yang dulu berada di kota raja, bekerja sebagai pelayan pada sebuah keluarga pangeran. Dan mengenai dua orang yang memimpin pasukan yang menyerangmu, memang aku mengenal mereka, bahkan aku pernah bentrok dengan mereka. Hui-eng-to Phang Houw dan Louw Cin Ketua Liong-bu-pang itu adalah kaki tangan seorang pangeran lain yang agaknya mempunyai ambisi hendak merampas kedudukan Kaisar yang sudah tua. Begitulah, Butwako, apa yang dapat kuterangkan kepadamu sementara ini dan harap engkau tidak bertanya lagi tentang itu." Bu Kong Liang mengangguk-angguk. Diam-diam pemuda itu merasa kagum kepada Thian Hwa dan dia menduga bahwa tentu ada sesuatu yang dirahasiakan oleh gadis itu. Gadis yang begini cantik jelita, sederhana, memiliki ilmu yang tinggi akan tetapi seperti ada rahasia yang menyelubungi dirinya.
Gadis ini agaknya mengenal keadaan para pangeran di kota raja sehingga mengetahui akan adanya pangeran yang hendak ingin merampas tahta kerajaan yang berarti pemberontakan dan pernah bentrok dengan kaki tangan pemberontak itu.
Gadis aneh yang agaknya menyembunyikan pula namanya, hanya memperkenalkan diri dengan julukannya, Huang-ho Sian-li! Akan tetapi dia menahan keinginan tahunya, khawatir kalau-kalau akan menyinggung gadis itu dan membuatnya marah. Dia ingin mengenal gadis itu lebih baik lagi yang dia percaya tentu seorang gadis pribumi Han mengingat akan keterangannya tadi bahwa ia cucu seorang yang bekerja sebagai pelayan di sebuah keluarga pangeran. Pada waktu itu, yang bekerja sebagai pelayan keluarga bangsawan Mancu pastilah seorang pribumi Han!
"Terima kasih, Sian-li. Keteranganmu itu sudah cukup dan terima kasih atas kepercayaanmu padaku. Aku senang sekali dapat melakukan perjalanan bersamamu ke kota raja karena engkau tentu sudah mengenal kota raja, sedangkan aku belum pernah melihatnya."
"Aku pun baru satu kali berkunjung ke sana, hampir dua tahun yang lalu," kata Thian Hwa, merasa lega bahwa pemuda itu tidak mendesak dan bertanya lebih jauh tentang riwayat dirinya. Ia merasa semakin suka kepada Bu Kong Liang yang agak pendiam, berwibawa, sopan dan bersikap hormat itu.
Mereka melanjutkan perjalanan ke utara, menuju kota Thian-cin.
0odw-jTno0 Dusun Kia-jung terletak di dekat Terusan, hanya sekitar dua puluh mil jauhnya dari kota Thian-cin. Karena letaknya di tepi Terusan dan dekat kota besar, maka dusun itu ramai dan menjadi pusat pengumpulan hasil bumi yang akan dikirim ke Thian-cin, bahkan ada yang dikirim ke Peking. Penduduknya memiliki kehidupan yang cukup makmur dan biarpun di dusun itu tidak terdapat pasukan keamanan yang besar, hanya terjaga keamanannya oleh belasan orang pemuda penduduk dusun itu sendiri, namun selama ini keamanannya cukup baik.
Tidak pernah terjadi gangguan keamanan yang besar. Yang pernah ada hanyalah pencurian kecil-kecilan.
Sore hari itu, keadaan dusun Kia-jung sudah mulai sepi.
Kesibukan perdagangan hasil bumi terjadi dari pagi sampai siang tadi, dan pada sore hari ini orang-orang sudah mengaso setelah lelah bekerja pada pagi dan siang harinya. Dua belas orang pemuda malas-malasan berada di gardu penjagaan yang berada di pintu gerbang dusun sebelah selatan. Mereka bercakap-cakap dengan seorang laki-laki tua. Laki-laki tua itu berusia sekitar enam puluh enam tahun, pakaiannya biarpun sederhana, namun lebih rapi dan bersih dibandingkan pakaian seorang kakek dusun. Juga ketika dia bicara, cara bicaranya juga menunjukkan bahwa dia sudah biasa bicara halus dan sopan. Akan tetapi dia ramah sekali dan agaknya disuka oleh para pemuda itu yang menghujani pertanyaan kepadanya tentang segala hal yang belum mereka ketahui. Ternyata kakek itu pandai sekali bercerita, terutama cerita mengenai kehidupan di kota raja. Agaknya dia tahu benar keadaan di kota raja, bahkan dia dapat menceritakan keadaan di istanaistana para pangeran. Ket ika dia bercerita betapa dia pernah mengiringkan seorang pangeran berkunjung ke istana kaisar, para pemuda itu mendengarkan dengan penuh kekaguman.
Kakek itu pandai sekali menggambarkan keadaan dan kemewahan istana kaisar yang belum pernah mereka bayangkan dalam mimpi sekalipun!
"Sam Lopek (Paman Tua Sam), benarkah para puteri istana itu memiliki kecantikan seperti bidadari dari langit?" seorang di antara mereka bertanya dan pertanyaan ini disambut tawa ria para pemuda itu.
"Tolong gambarkan kecantikan mereka, Lopek!" kata yang lain, dan riuh rendahlah para pemuda itu minta agar kakek itu suka menggambarkan kecantikan para puteri istana yang sudah mereka dengar namun belum pernah mereka saksikan.
Kakek yang dipanggil Sam Lopek itu tersenyum dan tampak deretan giginya yang tidak utuh lagi, sudah terdapat ompong di sana-sini sehingga wajahnya yang masih memiliki bekas ketampanan itu tampak lucu.
"Heh-heh, para pemuda itu di mana-mana sama saja. Di kota maupun desa, yang tinggal di istana maupun yang tinggal gubuk, semua sama. Selalu bersemangat kalau mendengar tentang wanita cantik!" katanya, dan ucapan ini disambut sorak dan tawa para pemuda itu.
Kembali kakek itu tersenyum. "Wah, puteri-puteri istana memang cantik jelita seperti bidadari, akan tetapi bagi aku, para dayang istana, gadis-gadis yang menjadi pelayan istana bahkan lebih cantik manis dibandingkan para puterinya."
"Eh, benarkah itu, Lopek? Masa pelayannya lebih cantik daripada majikannya?" seorang pemuda bertanya tak percaya.
"Sebetulnya mereka itu sama-sama cantiknya, hanya bedanya, kalau puteri-puteri istana yang menjadi majikan itu memakai bedak terlalu tebal, gincu terlalu merah dan celak terlalu hitam, sehingga kecantikan mereka seperti topeng, sebaliknya para gadis dayang atau pelayan itu, yang tidak diperbolehkan berias terlampau tebal, malah tampak kecantikan aselinya. Kalau boleh diumpamakan bunga, para puteri itu adalah bunga kertas, sedangkan para pelayan itu bunga murni!" Para pemuda itu kembali tertawa riuh. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh munculnya belasan orang yang bertubuh tinggi besar dan berwajah seram. Usia mereka antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, dan di pinggang mereka tergantung senjata tajam seperti pedang atau golok atau ruyung. Melihat ini, dua belas orang pemuda itu berlompatan dengan kaget, akan tetapi mereka siap, biarpun para pemuda yang melakukan penjagaan itu hanya mempunyai sebatang tongkat di tangan masing-masing. Akan tetapi kakek itu memberi isyarat kepada para pemuda untuk mundur. Dia melihat bahwa belasan orang bertampang seram itu berbahaya sekali kalau dihadapi dengan kekerasan, maka dia pun melangkah maju dan mengangkat tangan depan dada memberi hormat kepada seorang di antara mereka yang jelas menunjukkan diri sebagai pemimpin. Orang ini bermuka hitam, bertubuh tinggi besar dan pakaiannya berbeda dengan yang lain. Pakaiannya lebih mentereng dan di pinggangnya tergantung sepasang golok besar. Kumisnya panjang melingkar, tanpa jenggot dan sepasang matanya lebar, memandang bengis.
"Selamat datang di dusun Kia-jung kami! Apakah yang dapat kami bantu untuk Cu-wi (Anda Sekalian)?" Tiba-tiba Si Muka Hitam itu menggerakkan tangan kirinya dan tahu-tahu dia sudah mencengkeram baju kakek itu, dan sekali angkat, tubuh kakek itu pun terangkat ke atas!
"Kamu ini anjing tua antek para pangeran penjajah Mancu! Orang-orang di sini tentu sudah engkau pengaruhi!" Melihat kakek itu diangkat, beberapa orang pemuda maju hendak menolong. Akan tetapi kakek itu dibanting ke atas tanah sedemikian kerasnya sehingga seketika pingsan di depan kaki Si Muka Hitam yang galak itu. Si Muka Hitam lalu mencabut sebuah golok, menempelkan golok pada leher kakek yang pingsan itu sambil membentak.
"Kalian berani melawan kami? Kakek ini akan kubunuh dulu sebelum kami membunuh kalian dan seisi dusun kalau berani melawan kami!" Mendengar ini, belasan orang pemuda itu terkejut dan menjadi jerih. Mereka bukanlah jagoan-jagoan dan kini berhadapan dengan sekitar tujuh belas orang yang tinggi besar, berwajah bengis menyeramkan dan semua membawa senjata tajam, tentu saja mendengar gertakan itu, hilang keberanian mereka. Baru melihat mereka itu membawa senjata tajam dengan terang-terangan saja mereka sudah jerih. Pada waktu itu, Pemerintah Mancu melarang orang membawa senjata tajam di tempat umum, dan sekitar tujuh belas orang ini demikian terang-terangan membawa senjata tajam, padahal dusun Kia-jung letaknya dekat kota raja Thiancin dan tidak begitu jauh dari kota raja Peking. Ini saja menunjukkan bahwa mereka pasti bangsa perampok atau segerombolan penjahat.
Melihat para pemuda itu mundur-mundur ketakutan, kepala gerombolan itu lalu berseru kepada anak buahnya. "Hayo cepat kumpulkan sumbangan dari para penduduk dusun ini.
Kalau mereka tidak mau menyerahkan sumbangan yang cukup demi perjuangan kita, berarti mereka itu antek Mancu dan kalian bunuh saja!" Belasan orang itu mulai bergerak memasuki rumah-rumah penduduk. Akan tetapi mereka memilih dan hanya rumah yang kelihatan besar dan kelihatan sebagai tempat tinggal keluarga kaya saja yang mereka masuki. Segera terdengar jerit ketakutan dari rumah-rumah itu dan para anggota gerombolan itu keluar dari rumah sambil membawa kantungkantung yang sudah diduga tentu berisi uang atau benda berharga yang lain.
Akan tetapi baru enam rumah mereka jarah rayah, tiba-tiba pemimpin gerombolan bermuka hitam itu berteriak memanggil mereka. Enam belas orang anak buahnya sambil membawa kantung-kantung jarahan berlari-lari kembali ke pintu gerbang selatan itu.
Apa yang terjadi sehingga kepala gerombolan yang bermuka hitam itu memanggil anak buahnya? Kiranya ketika enam belas orang anak buah gerombolan itu sedang sibuk merampasi barang-barang berharga dari beberapa buah rumah besar di sepanjang jalan raya, dan kepala gerombolan bermuka hitam itu masih berdiri dengan sikap sombong di sana, tak jauh dari tubuh kakek yang masih pingsan, sedangkan belasan orang pemuda dusun itu berdiri agak jauh dengan penasaran akan tetapi juga ketakutan, datang ke tempat itu seorang pemuda dan seorang gadis yang bukan lain adalah Bu Kong Liang dan Thian Hwa! Begitu melihat beberapa orang pemuda dusun berdiri ketakutan dan melihat pula seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam dan bengis berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan lagaknya sombong, sedangkan seorang kakek rebah menelungkup pingsan tak jauh dari kaki laki-laki muka hitam itu, Bu Kong Liang segera bertanya kepada para pemuda itu.
"Apa yang terjadi?" Seorang di antara pemuda itu menggerakkan muka ke arah laki-laki muka hitam sambil berbisik, "Dia dan anak buahnya sedang merampok rumah-rumah penduduk kita." Mendengar ini, tanpa banyak cakap lagi Thian Hwa lalu menghampiri laki-laki muka hitam dan Bu Kong Liang cepat mengikutinya. Laki-laki muka hitam itu dengan alis berkerut dan sikap memandang rendah melotot kepada gadis dan pemuda yang berani menghampirinya itu.
"Kalian mau apa? Apakah kalian hendak membela para antek Mancu?" tanyanya dengan suara membentak galak.
Mendengar ini, Bu Kong Liang merasa heran. Sebelum Thian Hwa berkata atau berbuat sesuatu, dia cepat bertanya.
"Sobat, kami tidak ingin membela antek Mancu. Siapakah engkau?" Pertanyaan Bu Kong Liang dilakukan dengan sikap dan suara lembut, dan Si Muka Hitam itu membusungkan dadanya yang lebar dan tebal.
"Hemm, mau mengenal aku? Aku adalah Tiat-thou Hek-go (Buaya Hitam Kepala Besi) yang memimpin seregu pejuang yang gagah perkasa!"
"Hemm, apa yang terjadi dengan orang tua itu?" Thian Hwa menuding ke arah tubuh kakek yang telungkup di atas tanah.
"Huah-ha-ha, dia adalah antek Mancu. Ketika tadi kami datang, dia menceritakan kepada para pemuda itu tentang pangeran dan istana. Aku menamparnya!"
"Dan apa yang dilakukan anak buahmu itu?" tanya Bu Kong Liang, menahan kemarahannya.
"Kami minta sumbangan kepada penduduk. Yang tidak mau menyumbang berarti mereka itu antek Mancu dan akan kami basmi semua! Kami pejuang rakyat, patriot-patriot bangsa yang menentang penjajah Mancu dan semua anteknya!" Si Muka Hitam itu semakin berlagak, apalagi dihadapi Thian Hwa yang cantik jelita, aksinya makin hebat, mulutnya senyumsenyum, matanya melirik-lirik dan dadanya diangkat membusung. Thian Hwa merasa muak melihat betapa orang itu melirik-lirik sambil cengar-cengir kepadanya.
Bu Kong Liang tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia menudingkan telunjuk kirinya ke arah hidung Si Muka Hitam lalu berkata dengan nyaring.
"Beginikah macamnya pejuang rakyat? Kamu ini bukan lain hanyalah perampok yang bertopeng pejuang! Orang macam kamu ini yang mengotorkan dan menodai nama pejuang dan patriot! Manusia tak bermalu!" Si Muka Hitam terbelalak dan matanya yang melotot menjadi merah saking marahnya. Akan tetapi sebelum dia mampu membuka mulut atau bergerak, Thian Hwa sudah menyambung dengan ucapan yang lebih ketus lagi.
"Yang macam begini bukan manusia lagi, melainkan buaya yang kotor dan jahat, yang tidak patut dibiarkan hidup. Kamu buaya kepala besi? Aku berani bertaruh, kepalamu tidak sekeras besi melainkan selunak tahu, sekali pukul juga hancur!" Sepasang mata itu semakin melotot seperti mau melompat keluar dari kelopaknya, hidung dan mulutnya seolah mengeluarkan asap panas saking marahnya dan sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor biruang, raksasa muka hitam yang berjuluk Buaya Hitam Berkepala Besi itu menerkam ke arah Thian Hwa. Kedua lengannya yang panjang dan besar itu hendak merangkul dari kanan kiri dan agaknya gadis itu tidak akan dapat menghindarkan diri lagi.
Akan tetapi menghadapi serangan kasar yang hanya mengandalkan kekuatan otot itu tentu saja merupakan ancaman kecil sekali bagi Thian Hwa. Dengan kedua tangan terbuka, ia menyambut dua lengan itu dengan pukulan tangan miring untuk menangkis dan pada saat itu juga, kaki kirinya mencuat ke arah perut lawan.
"Plak-plak, bukk...!" Tubuh kepala rombongan itu terjengkang dan terbanting roboh. Rasa kepalanya seperti tujuh keliling karena kedua lengannya terasa nyeri seperti ditangkis besi, perutnya mulas dicium ujung sepatu kaki kiri Thian Hwa, ditambah lagi belakang kepalanya terbanting ke atas tanah. Akan tetapi saking marahnya, dia tidak mau merasakan semua kenyerian itu dan cepat bangkit berdiri lalu memanggil anak buahnya! Kini tujuh belas orang laki-laki tinggi besar itu mengepung Thian Hwa dan Bu Kong Liang dan mereka sudah mencabut senjata mereka, pedang, golok, atau ruyung. Kini yang menonton tak jauh dari situ bukan hanya dua belas orang pemuda dusun Kia-jung, akan tetapi bertambah menjadi dua puluh orang lebih, semuanya laki-laki tua muda yang tertarik dan berdatangan ke situ. Akan tetapi mereka semua tidak berani menentang tujuh belas orang yang tampak kuat dan bengis itu, dan kini mereka memandang dengan penuh kekhawatiran akan nasib gadis cantik dan pemuda tampan yang tidak mereka kenal itu. Kakek Sam telah mereka angkat dan kini direbahkan di tepi jalan, masih dalam keadaan pingsan.
Akan tetapi dua orang yang amat dikhawatirkan penduduk dusun itu, Thian Hwa dan Bu Kong Liang, tenang-tenang saja walaupun dikepung dan diancam tujuh belas orang yang tampaknya buas dan kejam itu.
"Bagaimana, Twako. Akan kita apakah para pejuang patriotik ini?" tanya Thian Hwa.
"Pejuang? Huh, gerombolan perampok mengaku patriot pejuang! Kita hajar mereka baru tahu rasa!" kata Bu Kong Liang.
Thian Hwa mengangguk setuju, dan tiba-tiba tujuh belas orang itu menerjang maju, menyerang dengan senjata mereka. Akan tetapi Thian Hwa dan Bu Kong Liang maklum dari gerakan mereka bahwa mereka itu hanya bertenaga kuat saja, sama sekali tidak memiliki ilmu silat yang berarti. Maka tubuh gadis dan pemuda ini berkelebatan cepat dan para pengeroyok menjadi kacau! Mereka merasa kehilangan dua orang yang mereka keroyok, yang tiba-tiba berubah menjadi bayangan yang berkelebatan dan semua serangan mereka tidak pernah mengenai sasaran. Bahkan kini terdengar teriakan-teriakan mereka, dan senjata di tangan mereka terlepas dari pegangan dan terlempar ke sana-sini.
Melihat ini, para penduduk, terutama pemudanya, tidak merasa takut lagi. Timbul semangat mereka dan mereka pun datang menyerbu. Celakalah tujuh belas orang perampok itu.
Setiap ada yang roboh oleh tendangan atau tamparan Thian Hwa atau Kong Liang, penduduk menyerbu, membawa pentungan atau senjata-senjata tajam memukul dan membacok para perampok yang berserakan dan habislah tubuh perampok yang roboh itu, hancur dihujani bacokan dan pukulan. Dalam waktu singkat saja tujuh belas orang perampok bertopeng pejuang itu pun mati semua dikeroyok penduduk! Ketika para penduduk mencari dua orang yang telah menyelamatkan mereka itu, mereka tidak menemukan gadis dan pemuda tadi! Juga Kakek Sam tidak tampak di situ. Kakek yang tadinya masih pingsan itu kini lenyap! Akan tetapi para penduduk tidak sempat memikirkan ke mana perginya gadis dan pemuda gagah perkasa itu, juga mengira bahwa Kakek Sam sudah siuman dan pulang ke rumahnya. Mereka kini sibuk menyambut sepasukan tentara Mancu yang kebetulan lewat di dusun Kia-jung, datang dari Thian-cin dan tadi dilapori seorang penduduk. Akan tetapi ketika pasukan yang terdiri dari dua losin prajurit itu tiba di tempat pertempuran, tujuh belas orang gerombolan perampok itu telah mati semua! Karena gerombolan perampok itu mengaku sebagai pejuang yang menentang Pemerintah Kerajaan Ceng, tentu saja penduduk Kia-jung mendapat pujian dari komandan pasukan.
Ke manakah perginya Thian Hwa dan Kong Liang? Dan ke mana pula menghilangnya Kakek Sam? Tadi, setelah merobohkan semua penjahat dan penduduk membantai para penjahat yang sudah roboh terluka oleh tamparan dan tendangan Thian Hwa dan Kong Liang, tiba-tiba Thian Hwa mendengar suara panggilan.
"Cucuku Thian Hwa...!" Thian Hwa terkejut dan cepat memandang. Kiranya Kakek Sam yang tadinya roboh pingsan terpukul kepala gerombolan, telah siuman dan ketika dia melihat Thian Hwa, dia segera mengenalnya sebagai cucunya! Kiranya kakek itu adalah Cui Sam yang ketika menjadi pengawal Pangeran Cu Kiong disebut Lo Sam. Thian Hwa juga segera mengenal kakeknya, maka ia cepat menghampiri dan karena ia tidak ingin dirinya dikenal banyak orang, ia lalu mengajak Cui Sam pergi dari situ. Bu Kong Liang mengikuti dari belakang. Thian Hwa menggandeng tangan kakeknya dan karena ia mempergunakan ilmu berlari cepat, kakek itu merasa dirinya seolah dibawa terbang! Setelah tiba jauh di luar dusun Kia-jung, Thian Hwa menghentikan larinya. Kong Liang juga berhenti dan dia memandang kepada gadis itu dengan heran, lalu menoleh kepada kakek itu. Kakek Cui Sam menghela napas panjang dan karena masih merasa pening setelah baru saja siuman dari pingsan diajak "terbang" oleh cucunya, dia lalu duduk di atas sebuah batu yang banyak terdapat di tepi jalan itu.
Thian Hwa melihat betapa Kong Liang memandangnya dengan mata mengandung pertanyaan dan keheranan, maka setelah tadi ia menyaksikan sepak terjang Kong Liang menghadapi para perampok yang mengaku pejuang, ia tidak ragu lagi untuk memperkenalkan diri sebenarnya. Selama beberapa hari melakukan perjalanan bersama pemuda itu, ia mendapat kenyataan bahwa Kong Liang seorang pemuda yang selain gagah perkasa dan ramah, juga jujur dan sopan.
"Perkenalkan, Twako, ini adalah kakekku, ayah dari ibuku, bernama Cui Sam." Lalu gadis itu berkata kepada kakeknya.
"Kong-kong (Kakek), ini adalah Twako (Kakak) Bu Kong Liang, seorang pendekar dari Siauw-lim-pai, sahabatku." Ciu Sam cepat membalas penghormatan Bu Kong Liang dan dia berkata, "Terima kasih kepada Bu Thaihiap (Pendekar Besar Bu) yang telah menolong penduduk Kia-jung membasmi para perampok tadi."
"Ah, Paman Cui Sam, yang banyak merobohkan para perampok adalah Sian-li ini."
"Sian-li? Ah, engkau maksudkan cucuku ini? Aih, kalau tidak melihat sendiri setelah saya siuman tadi, saya tidak dapat percaya bahwa cucu saya sekarang telah menjadi seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi!"
"Wah, bukan tinggi lagi, Paman. Ia malah terkenal sebagai Huang-ho Sian-li!" kata Kong Liang sambil tersenyum senang melihat kebanggaan kakek itu akan kehebatan cucunya.
"Sudahlah, Twako, jangan terlalu memuji. Sekarang hari sudah hampir gelap, kita harus mencari tempat penginapan.
Kong-kong kelelahan dan perlu berist irahat. Kota Thian-cin tidak jauh lagi, mari kita cepat melanjutkan perjalanan ke sana agar jangan terlalu malam tiba di Thian-cin."
"Biar Paman Cui Sam kugendong saja agar perjalanan dapat dilakukan lebih cepat," kata Kong Liang.
Thian Hwa menyetujui dan kini kakek itu digendong di punggung Kong Liang, dan mereka berdua menggunakan ilmu berlari cepat sehingga yang tampak hanya berkelebatnya dua bayangan. Apa lagi cuaca mulai remang, maka andaikata ada orang melihat mereka, tentu hanya mengira bayangan pohon atau burung yang lewat. Yang menjadi terkagum-kagum bercampur takut adalah Cui Sam. Biarpun dia mengetahui bahwa terdapat banyak ahli silat yang pandai dan memiliki ilmu kepandaian yang menakjubkan, namun baru tadi ketika digandeng Thian Hwa dia merasakan, apalagi sekarang dengan digendong, pemuda itu dapat berlari secepatnya sehingga dia merasa seolah-olah dibawa terbang ke angkasa! Setibanya di Thian-cin, mereka menyewa tiga buah kamar, dan melihat kakeknya kelelahan, Thian Hwa tidak mau mengganggunya. Setelah mereka makan malam, Kakek Cui Sam lalu memasuki kamarnya dan tidur.
"Besok saja kita bicara," kata Thian Hwa dan biarpun Kong Liang ingin benar mengetahui lebih banyak tentang kakek itu, dia maklum bahwa dia harus bersabar sampai besok.
0odw-jTno0 Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali setelah mandi, Thian Hwa memasuki kamar kakeknya. Cui Sam juga telah membersihkan diri dan setelah menutupkan daun pintu kamar itu, mereka lalu duduk bercakap-cakap.
"Kong-kong, aku ingin sekali mendengar ceritamu tentang ibu dan ayah kandungku." Kakek itu mengangguk-angguk. "Memang, Thian Hwa, ketika kita bicara dulu, baru sedikit kuceritakan kepadamu tentang mereka karena Pangeran Cu Kiong muncul."
"Sekarang lebih dulu beritahukan, mengapa Kong-kong berada di dusun itu? Bukankah engkau bekerja di gedung Pangeran Cu?"
"Aku dikeluarkan setelah terjadi keributan denganmu dahulu itu, Thian Hwa. Masih baik dia tidak menggangguku, hanya memecat dan mengusirku. Setelah pergi dari kota raja, aku kembali ke dusun Kia-jung yang menjadi kampung halamanku ketika aku masih muda."
"Nah, sekarang ceritakan dari permulaan sejak ibu kandungku menjadi isteri Pangeran Ciu Wan Kong. Aku ingin sekali mendengar semuanya tentang kehidupan ibu dan ayahku." Kakek Cui Sam lalu bercerita. Di waktu mudanya, Cui Sam adalah penduduk dusun Kia-jung. Dia hidup dengan isterinya dan mereka mempunyai seorang anak perempuan yang mereka namakan Cui Eng. Akan tetapi keluarga ini tertimpa malapetaka ketika terjadi perang yang berkecamuk di daerah Cina terutama di bagian utara pada waktu Kerajaan Ceng mulai berdiri sebagai kejayaan jaman Mancu yang semakin berkembang. Dalam keributan perang, isteri Cui Sam saking terkejut dan ketakutan karena harus berlari mengungsi dari satu ke lain tempat, jatuh sakit sampai meninggal dunia.
Tinggal Cui Sam seorang diri bersama puterinya, Cui Eng yang baru berusia sepuluh tahun.
Cui Sam lalu mengembara ke utara dan sampai ke Peking.
Dia lalu menghambakan diri, menjadi pelayan di gedung Pangeran Ciu Wan Kong dan keluarganya. Ketika dia diterima menjadi pelayan, Pangeran Ciu Wan Kong berusia dua puluh tahun. Pangeran tua Ciu, ayah Pangeran Ciu Wan Kong dan semua keluarga itu suka kepada Cui Sam yang rajin dan pandai membawa diri sehingga mereka memperkenankan Cui Sam membawa Cui Eng tinggal di kamar-kamar pelayan dari gedung itu.
Setelah Cui Eng menjadi dewasa, ia amat cantik jelita dan ia pun ikut bekerja sebagai pelayan bagian dalam, membersihkan kamar-kamar, melayani makan dan sebagainya. Akhirnya terjalin perasaan saling mencinta antara Pangeran Ciu Wan Kong yang tampan dengan Cui Eng. Niat Cui Sam untuk menjodohkan puterinya, selalu ditentang Pangeran Ciu Wan Kong. Bahkan diam-diam pangeran muda dan gadis pelayan itu mengadakan hubungan. Ketika Cui Eng berusia dua puluh satu tahun, Pangeran Ciu Wan Kong memberitahu ayah ibunya bahwa dia ingin mengangkat Cui Eng menjadi isterinya. Tentu saja Pangeran Tua Ciu dan isterinya tidak menyetujui niat putera mereka! Bahkan ketika Pangeran Ciu Wan Kong mohon agar diperbolehkan mengambil Cui Eng sebagai selirnya, orang tuanya, terutama ibunya menyatakan tidak setuju.
"Wan Kong, bagaimana engkau dapat melakukan hal yang memalukan itu? Seorang pangeran mengambil pelayan yang rendah derajatnya, pelayan keluarga sendiri lagi? Ah, nama kita akan tercemar dan menjadi bahan gunjingan para bangsawan. Tidak, aku tidak setuju! Banyak wanita yang dapat kauambil menjadi selirmu, akan tetapi jangan pelayan sendiri!" Akan tetapi, ketika Ciu Wan Kong memberitahu bahwa Cui Eng sedang mengandung hasil hubungannya dengan dia, orang tuanya terpaksa tidak dapat menolak lagi. Akan tetapi ibunya yang amat menjaga nama dan kehormatan kebangsawanan mereka, mengajukan sebuah syarat.
"Baik, engkau boleh mengambil Cui Eng sebagai selir, akan tetapi setelah ia melahirkan seorang anak laki-laki! Kalau nanti ia melahirkan seorang anak perempuan, engkau tidak boleh mengakuinya dan ia harus minggat dari sini!" Keputusan ibunya itu tidak dapat diganggu-gugat lagi.
Bahkan ayahnya juga tidak berdaya. Akhirnya Cui Eng melahirkan dan... yang terlahir adalah seorang anak perempuan! Tanpa ampun lagi, dan tanpa mempedulikan puteranya yang menangis, ibu Pangeran Ciu Wan Kong mengusir Cui Sam dan Cui Eng dari gedung itu dengan memberi uang pesangon sekadarnya. Diam-diam Pangeran Ciu Wan Kong yang tidak berdaya itu memberi bekal uang yang cukup banyak kepada Cui Sam.
Demikianlah, Cui Sam membawa anaknya, Cui Eng, dan cucunya, pergi dari kota raja. Akan tetapi ketika mereka menyeberangi Sungai Huang-ho, datang badai mengamuk dan perahu mereka terbalik.
"Aku tidak melihat lagi anakku Cui Eng dan bayinya.
Kuanggap mereka itu telah hanyut atau tenggelam dan tewas.
Sungguh tak kusangka, ketika engkau menjadi tamu Pangeran Cu Kiong, yang menjadi majikanku setelah aku hidup sendiri dan kembali ke kota raja, engkau menceritakan riwayatmu dan aku yakin bahwa engkau adalah cucuku, anak Cui Eng karena wajahmu persis wajah ibumu!"
"Kong-kong, kalau engkau dapat menyelamatkan diri dari Sungai Kuning (Huang-ho), dan aku yang masih bayi saja dapat ditolong orang yang kemudian menjadi guruku, juga kakek angkatku, apakah tidak mungkin ibuku itu dapat diselamatkan orang dan sekarang masih hidup?" Kakek itu menghela napas panjang. "Bertahun-tahun aku mengharapkan hal itu terjadi, akan tetapi setelah hampir dua puluh tahun ini tidak ada kabar darinya, aku sudah putus asa dan menganggap bahwa anakku Cui Eng sudah meninggal dunia. Kalau ia dapat terbebas dari kematian, tidak mungkin selama ini ia tidak memberi kabar kepadaku." Thian Hwa merasa kecewa, akan tetapi ia tidak putus asa tentang ibunya. Sebelum ia mendapat bukti atau mendengar saksi akan kematian ibunya, ia masih mempunyai harapan.
"Kong-kong, sebetulnya siapakah namaku? Nama yang diberi Ibu padaku?" Kakek itu menghela napas panjang. "Ketika itu, kami pergi meninggalkan kota raja dalam keadaan tenggelam ke dalam duka. Sampai beberapa kali aku menyinggung tentang pemberian nama padamu, namun ibumu hanya menangis dan mengatakan belum memikirkan hal itu. Maka, sampai terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan engkau hilang, engkau belum diberi nama oleh ibumu. Oleh karena itu, pakailah nama pemberian gurumu, Thian Hwa. Nama itu sudah bagus sekali."
"Akan tetapi aku adalah keturunan marga Ciu, sedangkan marga Thian adalah marga suhuku."
"Hemm, kalau begitu pakai saja keduanya dan namamu menjadi Ciu Thian Hwa. Bagus, bukan?"
"Baiklah, Kong-kong. Aku mulai sekarang bernama Ciu Thian Hwa. Kong-kong, benarkah wajah ibuku sama dengan aku?"
"Serupa benar, seperti kembar. Hanya bedanya, di atas bibir ujung kiri terdapat sebuah tahi lalat hitam." Thian Hwa tertegun. Dan gurunya dahulu bermimpi melihat wanita bertahi lalat seperti itu yang menitipkan anaknya kepadanya. Ia merasa khawatir sekali. Bukankah yang dapat menampakkan diri dalam mimpi itu arwah seorang yang sudah mati?
"Kong-kong, sekarang ceritakan tentang Ayah kandungku itu. Bagaimanakah watak Pangeran Ciu Wan Kong itu? Apakah dia jahat seperti para pangeran yang pernah kukenal?"
"Ah, sama sekali tidak, Cucuku! Pangeran Ciu Wan Kong sejak mudanya adalah seorang yang baik budi, hanya agak lemah terhadap orang tuanya, terutama terhadap ibunya yang keras. Dan dia amat mencinta ibumu, Thian Hwa. Setelah ibumu diusir ibunya, dia sering termenung dan berduka.
Bahkan sampai sekarang tidak mau menikah, tidak mempunyai isteri yang resmi, bahkan kabarnya dia memulangkan semua selirnya. Dia juga tidak mau memegang jabatan walaupun dia amat setia kepada Sribaginda Kaisar.
Hidupnya kesepian, seringkali melancong seorang diri, mabokmabokan dan yang paling akhir... aku mendengar bahwa dia terkadang kelihatan seperti orang... sinting...." Tak terasa lagi kedua mata Thian Hwa menjadi basah. Ia merasa terharu dan iba sekali kepada ayah kandungnya, juga senang mendengar bahwa ayah kandungnya tidak jahat seperti para pangeran lain.
"Setelah sekarang ayah ibunya meninggal dunia, Pangeran Ciu Wan Kong hidup seorang diri di gedungnya, hanya dikelilingi para pelayan. Bahkan dia t idak mempunyai pasukan pengawal seperti halnya para pangeran lain." Thian Hwa mengangguk-angguk. "Dan bagaimana dengan Pangeran Cu Kiong itu, Kong-kong?"
"Pangeran muda Cu Kiong? Hemm, dia juga termasuk seorang pangeran yang baik. Kalau dia jahat, mana mungkin aku menghambakan diri padanya? Pangeran Cu Kiong itu adalah putera Sribaginda dari selir ke tiga. Sesudah Putera Mahkota, Pangeran Kang Shi yang masih kecil, maka Pangeran Cu Kiong merupakan orang pertama yang berhak menggantikan kedudukan Kaisar."
"Hemm, kalau dia orang baik-baik, mengapa dia menghinaku, merendahkan aku yang hanya akan diambil sebagai selirnya?"
"Hal itu karena dia tidak tahu bahwa engkau keturunan Pangeran Ciu Wan Kong, Cucuku. Kalau dia tahu, aku yakin dia mau menjadikan engkau isterinya, bukan sekadar selirnya.
Akan tetapi sesungguhnya dia sendiri telah ditunangkan sejak kecil dengan seorang puteri dari keluarga Pangeran Bouw.
Itulah sebab-sebabnya mengapa dia tidak dapat mengangkatmu sebagai isterinya."
"Hemm, dia hendak memperalat aku untuk memusuhi Pangeran Leng Kok Cun, hendak menggunakan aku untuk dapat mencapai cita-citanya. Apakah dia bukan bermaksud merampas kekuasaan di istana Kaisar?"
"Kukira tidak, Thian Hwa. Dia memang mengharapkan kedudukan Kaisar, akan tetapi hanya sebagai wakil, atau sementara adiknya Pangeran Kang Shi yang putera mahkota itu masih kecil. Dia memang memusuhi Pangeran Leng Kok Cun, karena Pangeran Leng agaknya mengumpulkan banyak orang pandai dan dicurigai akan merebut tahta dengan kekerasan."
"Hemm, betapapun juga, aku benci Pangeran Cu Kiong. Dia bahkan hendak membunuhku dengan mengerahkan pengawal-pengawalnya, yaitu Kim-keng Chit-sian."
"Mungkin hal itu dia lakukan karena engkau memusuhinya dan karena dia khawatir engkau kelak akan menjadi pembantu Pangeran Leng."
"Apa pun alasannya, aku benci padanya, Kong-kong.
Sekarang setelah aku mendengar akan riwayat Ibu dan Ayah darimu, kuharap engkau pulang dulu ke Kia-jung. Aku hendak melanjutkan perjalananku ke kota raja. Akan kuselidiki keadaan ayah kandungku itu."
"Akan tetapi, Thian Hwa. Kapan engkau akan datang ke Kia-jung, menjenguk kakekmu yang kini hidup sebatang kara ini?"
"Jangan khawatir, Kong-kong. Kelak aku pasti akan datang menengokmu. Nah, berangkatlah, Kong-kong, selagi hari masih pagi. Ini sedikit uang boleh Kong-kong bawa untuk bekal." Thian Hwa menyerahkan beberapa potong uang, akan tetapi Cui Sam menolak dan berkata, "Aku tidak memerlukan uang, Thian Hwa. Ketahuilah bahwa ketika dulu, Pangeran Ciu memberi banyak emas kepada aku dan ibumu sehingga sampai sekarang aku tidak pernah kekurangan. O ya, aku ingat. Ibumu dulu, sebelum perahu kami terbalik, menyerahkan perhiasan-perhiasannya padaku. Ada sebuah perhiasan yang dulu amat disayang ibumu, dan barang itu pemberian ayah kandungmu sebagai tanda kasih. Barang itu tidak pernah berpisah dariku, sebagai kenangan akan ibumu, ke mana-mana kubawa. Mari, Thian Hwa, terimalah barang ini, barang peninggalan ibumu yang paling ia sayang." Kakek itu mengeluarkan sebuah hiasan rambut berbentuk burung Hong kecil dari emas dan bermata intan. Ukiran hiasan rambut itu halus dan indah bukan main. Thian Hwa menerima dengan terharu, lalu mencium benda itu.
"Terima kasih, Kong-kong." Cui Sam lalu meninggalkan rumah penginapan itu, langsung keluar dari kota Thian-cin menuju ke selatan, ke dusun Kia-jung. Hati kakek itu gembira bukan main. Dia merasa berbahagia sekali telah bertemu lagi dengan cucunya dan tentu saja dia merasa amat bangga melihat cucunya, puteri Cui Eng, kini menjadi seorang gadis pendekar yang sakti! Bahkan yang telah menolong penduduk Kia-jung kemarin! Sementara itu, Thian Hwa juga merasa lega. Ternyata ayah kandungnya bukan orang jahat, bukan seburuk yang tadinya ia duga. Yang jahat dan mengusir ibunya adalah orang tua Pangeran Ciu Wan Kong, terutama ibu pangeran itu. Akan tetapi kedua orang tua itu telah wafat dan kini ayah kandungnya hidup kesepian seorang diri, bahkan saking sedihnya kehilangan ibunya, sampai sekarang, walaupun telah lewat hampir dua puluh tahun, ayah kandungnya itu masih merasa berduka! Diam-diam ia merasa bangga akan kasih sayang yang sedemikian besar dari ayahnya terhadap ibunya dan ia merasa iba sekali kepada pangeran yang menjadi ayah kandungnya itu.
"Selamat pagi, Sian-li!" kata Kong Liang ketika dia melihat gadis itu duduk termenung di atas bangku yang berada di depan kamarnya.
Thian Hwa memandang. Pemuda itu sudah mandi dan berganti pakaian kuning yang baru. "Selamat pagi, Twako."
"Sian-li, mana Paman Cui Sam? Apakah dia belum bangun dari t idurnya?"
"Dia sudah pergi, Twako. Pagi sekali tadi Kong-kong telah berangkat, pulang ke dusun Kia-jung."
"Ah, mengapa begitu tergesa-gesa? Sebetulnya aku ingin berkenalan lebih baik dengan kakekmu, Sian-li."
"Dia ingin segera kembali ke Kia-jung untuk mengurus sawah ladangnya, Twako. Dan aku sendiri pagi ini hendak melanjutkan perjalananku ke kota raja."
"Ah, kalau begitu mari kita berangkat. Akan tetapi sebaiknya kita sarapan lebih dulu, Sian-li. Tadi aku sudah pesan kepada pelayan untuk menyediakan makan pagi untuk kita bertiga. Akan tetapi karena Paman Cui Sam sudah pergi, mari kita makan berdua saja." Thian Hwa t idak dapat menolak, maka mereka lalu pergi ke ruangan depan di mana memang dibuka sebuah rumah makan untuk melayani keperluan makan para tamu rumah penginapan itu. Setelah makan bersama, Thian Hwa dan Kong Liang segera meninggalkan rumah penginapan itu untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju Peking.
0odw-jTno0 Mereka berdua melakukan perjalanan dengan santai. Dua hari kemudian, pada suatu pagi mereka meninggalkan kota Gu-an yang terletak di sebelah selatan sungai.
"Bagaimana kalau kita melanjutkan perjalanan dengan menggunakan perahu?" Bu Kong Liang mengajukan usul. Usul ini bagaikan penawaran kepada seekor domba untuk mengambil jalan melalui padang rumput bagi Thian Hwa. Ia memang sudah rindu untuk melakukan perjalanan di atas air yang mudah, tidak melelahkan, lancar dan ia dapat menikmati suara gemerciknya air dan pemandangan yang amat dikenalnya di sepanjang tepi sungai.
Setelah tiba di tepi sungai mereka hendak mencari perahu.
Bu Kong Liang ingin menyewa perahu, akan tetapi Thian Hwa mencegahnya. "Twako, lebih baik membeli saja sebuah perahu. Tidak leluasa kalau mengajak tukang perahu, bahkan kalau ada apa-apa malah merepotkan."
"Wah, membeli sebuah perahu? Tentu mahal harganya, Sian-li!"
"Tidak mahal, Twako. Kita membeli perahu tua yang buruk dan sederhana saja. Itu di sana ada perahu tua, tentu tidak mahal kalau kita beli." Kong Liang memandang yang ditunjuk dan dia melihat seorang kakek sedang membetulkan perahunya yang tua dan agaknya bocor.
"Wah, perahu seperti ini jangan-jangan akan terbalik di sungai dan kita akan hanyut atau tenggelam! Aku sama sekali tidak pernah mendayung perahu, Sian-li, dan berenang pun aku hanya bisa sedikit sekali, sekedar tidak tenggelam!" Thian Hwa tersenyum. "Twako, agaknya engkau lupa bahwa aku dijuluki Huang-ho Sian-li. Aku dibesarkan di Sungai Kuning (Huang-ho) dan sejak kecil sudah biasa bermain-main di air yang dalam. Aku dapat mendayung dan jangan khawatir." Kong Liang diam saja dan menurut. Dia khawatir kalau dia membantah, mungkin Thian Hwa akan nekat melanjutkan perjalanan dengan perahu dan meninggalkannya! Setelah melakukan perjalanan bersama gadis itu, Bu Kong Liang merasa bahwa akan berat sekali baginya untuk berpisah dari gadis itu. Dia mengalami perasaan yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Benar saja, kakek pemilik perahu butut itu menyerahkan perahunya dengan harga murah. Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan dengan perahu. Perahu itu kecil dan begitu melangkah ke atas perahu, Kong Liang menjadi agak cemas karena perahu itu terayun-ayun ke kanan kiri. Perahu itu biasanya dipergunakan kakek pemiliknya untuk mencari ikan dengan jalan mengail. Keadaannya sederhana sekali dan butut. Ada dua buah dayung butut di situ. Ada pula batu besar yang diikat tali yang dipergunakan untuk menghentikan perahu, pengganti jangkar, kalau kakek itu ingin berhenti di suatu tempat di tengah sungai untuk memancing ikan. Tempat duduk di bagian depan dan belakang, untuk dua orang saja, hanya terbuat dari papan yang dipasang melintang di atas perahu. Masih baik bahwa perahu itu dilengkapi atap anyaman bambu di bagian tengahnya sehingga penumpangnya dapat berlindung di bawahnya kalau panas amat terik dan kalau turun hujan.
Dengan petunjuk Thian Hwa, Kong Liang membantu dengan sebatang dayung, mendayung di bagian belakang perahu. Thian Hwa mendayung di kepala perahu, sekalian mengemudikan perahu dengan dayungnya. Saking gembiranya bertemu perahu dan air sungai, Thian Hwa mendayung dengan kuat sehingga perahu meluncur cepat.
Biarpun dia seorang murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa, tidak pernah gentar menghadapi lawan yang kuat dan banyak, namun kali ini Kong Liang mengerutkan alisnya dan memandang ke air yang agak bergelombang dengan jantung berdebar. Kalau perahu butut ini terbalik, dia masih meragukan kemampuannya apakah dia akan dapat berenang ke tepi menyelamatkan diri dari ancaman maut di dalam air! Namun melihat betapa tangkasnya Thian Hwa menguasai perahu dengan dayungnya, lambat laun hati Kong Liang menjadi tenang. Bahkan dia mulai mempelajari dari gadis itu cara mendayung yang benar dan cara menguasai dan mengemudikan perahu itu.
Perahu kini meluncur dengan mulus dan hati Kong Liang mulai merasa tenang, bahkan mulai timbul kegembiraannya karena dia mulai merasakan betapa lancar, tidak melelahkan, dan amat menyenangkan melakukan perjalanan dengan perahu. Mereka meluncur terus sampai matahari naik tinggi dan perahu mereka tiba di daerah yang sunyi dan di kanan kirinya tumbuh hutan lebat.
Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan dari belakang mereka.
"Minggir! Minggir!"
"Hayo minggir! Apa kalian sudah bosan hidup?"
"Kena ditabrak perahu kami mampus kamu!" Mendengar bentakan-bentakan ini, Kong Liang dan Thian Hwa menoleh ke belakang. Kiranya dari belakang datang meluncur sebuah perahu besar yang dihias indah, diikuti oleh dua belas buah perahu kecil yang masing-masing ditumpangi dua orang prajurit Mancu! Di atas perahu besar itu berdiri pula enam prajurit, masing-masing memegang tombak dan mereka berdiri menjaga, tiga di kanan dan tiga di kiri perahu.
Thian Hwa tidak ingin mencari keributan. Pula, tidak ada alasannya untuk bermusuhan dengan para prajurit Mancu itu.
Maka, ia lalu cepat mendayung perahunya ke sisi agar tidak menghalangi perahu besar dan dua belas perahu kecil yang mengawalnya itu. Akan tetapi, ketika perahu besar mendekat, Thian Hwa mendengar tangis wanita. Ia bangkit berdiri untuk dapat menjenguk ke atas perahu besar yang mewah itu. Dan setelah ia berdiri, ia melihat ada suami isteri setengah tua duduk dengan kaki tangan terikat di atas dek, dan muka lakilaki setengah tua itu bengkak-bengkak. Tangis wanita itu terdengar dari balik perahu yang pintunya tertutup.
Melihat ini, bangkit jiwa kependekaran Si Dewi Huang-ho! Ia mengambil batu besar pengganti jangkar, lalu menurunkannya ke dalam air. Perahu segera berhenti, tidak hanyut terbawa air karena tertahan tali yang diikatkan pada batu besar yang kini sudah tiba di dasar sungai.
"Hai, mengapa berlabuh di sini, Sian-li?"
"Tenanglah, Twako. Engkau tunggu saja di sini, aku harus tolong mereka yang agaknya ditangkap di perahu itu," kata Thian Hwa sambil sibuk mematahkan papan tempat duduk perahu itu, lalu cepat mengikatkan dua batang papan itu di bawah telapak kakinya yang bersepatu kulit. Karena tidak tahu apa artinya semua itu, Kong Liang hanya memandang dengan heran.
Setelah papan yang dipergunakan sebagai terompah peluncur itu terikat kuat-kuat di bawah sepatunya, Thian Hwa mengambil pedang dari buntalan pakaian dan menyelipkannya di bawah jubahnya.
"Tunggu saja di sini, Bu Twako!" kata Thian Hwa dan ia langsung melompat keluar dari perahu.
Kong Liang terbelalak memandang tubuh gadis itu yang berdiri tegak di atas air, kemudian gadis itu menggerakkan dayung yang dibawanya dan tubuhnya meluncur ke permukaan air, mengejar perahu-perahu itu! Hampir dia tidak percaya kepada penglihatannya sendiri. Benarkah gadis itu meluncur di atas air seperti seekor angsa saja? Akan tetapi Kong Liang kini merasa khawatir akan keselamatan gadis itu.
Dia tadi melihat bahwa perahu besar itu terjaga enam orang prajurit sedangkan yang mengawalnya ada dua losin orang prajurit. Bagaimana mungkin Huang-ho Sian-li yang seorang diri, hanya menggunakan sepasang papan untuk dapat mengapung di atas air, akan mampu menandingi mereka yang berada di perahu-perahu itu? Tanpa ragu lagi, Bu Kong Liang menarik batu penahan perahu itu ke atas, kemudian dia mendayung perahu itu melakukan pengejaran.
Thian Hwa bersilancar dengan cepat sekali sehingga sebentar saja ia sudah dapat menyusul perahu-perahu itu.
Dua losin prajurit dalam selosin perahu yang mengawal di belakang perahu besar memandang heran melihat seorang gadis cantik seolah berdiri di atas air dan meluncur dengan cepatnya sambil mendorong air dengan sebatang dayung! Mereka belum pernah menyaksikan hal seperti itu, maka mereka terheran-heran dan menjadi kurang waspada sehingga mereka diam saja tidak mencoba menghalangi, mungkin karena selain kagum dan heran mereka juga sama sekali t idak menduga bahwa gadis itu akan menghampiri perahu besar.
Baru setelah tubuh Thian Hwa melompat ke atas perahu besar, dua losin prajurit pengawal itu menjadi gempar dan mereka mendekatkan perahu kecil mereka mengepung perahu besar.
Begitu melompat ke atas perahu dan tiba di dek, Thian Hwa cepat melepaskan kakinya dari ikatan pada dua buah papan. Enam orang pengawal yang tadi berdiri di atas kanan kiri perahu, kini lari menghampiri dan mengepung Thian Hwa.
Akan tetapi karena gadis itu tidak melakukan gerakan menyerang, maka mereka pun hanya mengepung saja. Tibatiba pintu bilik perahu besar itu terbuka dan muncul dua orang laki-laki. Dari pintu yang terbuka Thian Hwa dapat melihat seorang gadis berusia sekitar enam belas tahun sedang menangis di sudut ruangan itu. Ia lalu mencurahkan perhatiannya kepada dua orang yang muncul itu.
Yang seorang adalah seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun, mukanya gemuk perutnya besar sekali. Mukanya bulat kekanak-kanakan, hidung pesek mata sipit sehingga mukanya seperti muka babi. Akan tetapi pakaiannya mewah sekali, tanda bahwa dia adalah seorang pembesar. Yang muncul bersama dia adalah seorang laki-laki tinggi besar, mukanya brewok sehingga tampak bengis dan tangannya memegang senjata Long-ge-pang (Toya Bergigi Srigala). Begitu membuka pintu, pembesar gendut itu berseru, suaranya terdengar marah.
"Heii... ada apa ini ribut-ribut menggangguku saja...." Akan tetapi kata-katanya terhenti dan matanya yang sipit dilebarlebarkan agaknya agar dapat melihat lebih jelas gadis cantik jelita yang berdiri di perahunya, dikepung enam orang prajurit pengawal. "Ehh... Nona cantik seperti bidadari... siapakah engkau dan apa yang dapat kubantu untukmu, Nona manis?" Mendengar ucapan dan melihat sikap ceriwis ini sudah cukup membuat Thian Hwa marah dan ingin ia menampar Si Muka Babi itu. Akan tetap ia menahan sabar dan sambil memandang kepada laki-laki dan perempuan setengah tua yang terikat kaki tangannya, yang laki-laki bengkak-bengkak mukanya dan menunduk lemas sedangkan yang perempuan sesenggukan menangis tanpa berani mengeluarkan suara, lalu ia memandang ke dalam kamar di mana gadis remaja itu duduk menangis di sudut bilik, lalu ia bertanya.
"Tidak penting aku siapa, aku hanya ingin tahu mengapa dua orang ini diikat di sini, dan mengapa pula gadis itu menangis di dalam bilik?"
"Ha-ha-ha, jangan salah sangka, Nona manis. Mari kenallah dulu siapa aku. Aku adalah Jaksa Bong Sun Kok yang bertugas di Thian-cin. Suami isteri ini adalah pemberontak-pemberontak yang seharusnya kujatuhi hukuman mati. Akan tetapi karena aku seorang yang baik hati, aku hendak membawa mereka ke kota raja berikut anak perempuan mereka. Aku percaya Pangeran Leng Kok Cun akan suka memaafkan mereka dan mengambil mereka berikut anak perempuan mereka menjadi pelayannya." Thian Hwa mengerutkan alisnya dan kini ia pun mengenal laki-laki berpakaian sebagai perwira yang bertubuh tinggi besar dan memegang senjata Long-ge-pang itu. Ia tidak mengenal namanya, akan tetapi ia ingat bahwa orang itu adalah seorang di antara Kam-keng Chit-sian (Tujuh Dewa dari Kam-keng) yang dulu menjadi pengawal Pangeran Cu Kiong! Empat orang di antara mereka yang berjumlah tujuh itu dapat roboh tewas di tangan ia dan Ui Yan Bun, sedangkan yang tiga orang, termasuk orang ini, dapat melarikan diri.
jilid III
DENGAN sinar mata tajam menusuk, Thian Hwa berkata, suaranya lantang dan ketus. "Aku tahu sekarang, engkau adalah manusia rendah yang bertindak sewenang-wenang terhadap orang-orang sederhana ini dengan tuduhan memberontak karena engkau hendak menyenangkan hari Pangeran Leng dengan menyerahkan gadis itu kepadanya! Orang macam engkau yang menjilat kepada orang atasan patut untuk diberi hajaran!" Mendengar ini, Bong Su Kok terbelalak, marah bukan main.
Belum pernah sejak dia memegang . jabatannya ada orang, apalagi seorang wanita muda, berani mengeluarkan ucapan yang demikian menghina kepadanya.
"Tangkap perempuan kurang ajar ini!" bentaknya.
Begitu mendengar suara Thian Hwa dan melihat sikap yang galak, perwira tinggi besar bermuka brewok itu teringat bahwa gadis itu adalah gadis lihai yang pernah mengamuk di istana Pangeran Cu Kiong dan yang bersama seorang pemuda telah membunuh empat orang rekannya. Orang ini bernama Ciang Sun, orang pertama dari Kam-keng Chit-sian yang kini mengambil jalan sendiri-sendiri dengan dua orang rekannya yang masih hidup. Setelah melarikan diri dari istana Pangeran Cu Kiong karena gagal melawan Thian hwa dan UI Yan Bun, Clang Sun pergi ke Thian-cln dan dia kini menjadi pengawal pribadi dari jaksa Bong Sun Kok. Dia merasa lebih cocok bekerja pada. seorang pembesar yang berasal dari bangsa Pribumi Han, bukan bangsa Man-cu. Sungguh sama sekali tidak disangkanya bahya pada hari itu dia bertemu lagi dengan Thian Hwa. Tentu saja dia sudah merasa jerih karena maklum akan kelihaian gadis itu, maka dia segera berteriak memberi aba-aba kepada anak buahnya, baik enam orang perajurit pengawal yang berada di atas perahu maupun dua losin perajurit pengawal yang berada di perahu-perahu kecil untuk mengeroyok Thian Hwa. Ciang Sun ini setelah diterima menjadi pengawal pribadi Bong Taijin (Pembesar Bong), segera diberi pangkat perwira yang menjadi komandan dari pasukan pengawal pembesar itu. Setelah menjadi kaki tangan penjajah Mancu, Bong Sun Kok merasa bahwa para pendekar patriot pasti membenci dirinya, maka dia mempunyai pasukan pengawal yang t idak kurang dari lima puluh orang jumlahnya, mengalahkan jumlah, pengawai para pembesar atasannya! Begitu mendengar perintah Bong taijin tadi, para pengawal sudah siap siaga. Kini mendengar aba-aba dari komandan mereka Ciang Sun, enam orang pengawal yang berada di atas perahu segera menggerakkan tombak di tangan mereka untuk menyerang Thian Hwa. Akan tetapi Thian Hwa yang sudah siap sejak tadi, begitu menggeraikan tangan, tampak sinarsinar putih menyambar-nyambar dan enam orang perajurit pengawal itu berteriak dan terjengkang jatuh semua! Mereka telah menjadi korban senjata rahasia Pek-hwa-ciam (Jarum Bunga Putih) yang amat dahsyat dari gadis itu. Tentu saja Bong Taijin dan juga Perwira Ciang Sun terkejut bukan main.
Bong Taijin sudah cepat berlari memasuki pintu bilik yang segera ditutup dan dipalang dari dalam, lalu dia naik ke atas dipan rebah meringkuk dengan tubuh menggigil seperti orang terserang demam! Ciang Sun terkejut dan gentar menghadapi gadis yang sekali menggunakan senjata rahasia telah dapat merobohkan enam orang anak buahnya itu. Dia lalu nekat, menggerakkan senjata Long-ge-pang itu menyerang sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Toya Gigi Srigala itu menyeramkan, selain berat juga terbuat dari baja dan di ujungnya menyerupai gigi dan taring srigala. Ketika menyambar, terdengar bunyi mengiuk. Namun, kurang lebih dua tahun yang lalu saja Ciang Sun ini t idak mampu menandingi Thian Hwa. Apalagi sekarang setelah gadis itu memperdaiam ilmunya di bawah gemblengan Thian Bong Sianjin. Dengan mudah ia mengelak dari sambaran toya dan balas menyerang dengan tamparan dan tendangan. Karena yakin bahwa ia tidak perlu menggunakan pedang untuk mengalahkan musuh lama ini, Thian Hwa menghadapi senjata lawan itu dengan tangan kosong saja! Sementara itu, dua belas buah perahu kecil yang ditumpangi dua puluh empat orang perajurit pengawal itu kini menempel pada perahu besar dan perahu-perahu kecil yang masing-masing ditumpangi dua orang itu mulai sibuk. Dari setiap perahu kecil dilemparkan tali berujung kaitan ke pinggir perahu besar dan mereka sudah mulai merayap melalui tali untuk naik ke perahu besar mengeroyok Thian Hwa.
Akan tetapi t iba-tiba meluncur sebuah perahu kecil lain dan perahu ini ditumpangi Bu Kong Liang. Mulailah dia melompat dari perahunya ke atas perahu kecil terdekat dan begitu kaki tangannya bergerak, dua orang penumpang perahu itu terpelanting dan terlempar ke dalam air! Sebelas perahu lain segera mengalihkan perhatian mereka. Mereka mencoba untuk mengepung Bu Kong Liang yang berada di perahu kecil setelah dua orang perajurit penumpangnya terlempar ke dalam air.
Begitu dikepung sebelas buah perahu dengan dua puluh dua orang perajurit, Kong Liang menjadi repot juga. Dia bzrdiri di atas perahu, yang terayun-ayun ketika dia bergebrak menyambut pengeroyokan banyak perajurit itu. Dia mengeluarkan senjatanya sepasang tombak pendek bercabang dan berloncatan dari perahu ke perahu lain. Begitu tubuhnya melayang dan menerjang, dua orang perajurit di atas perahu mereka pasti terjungkal ke dalam air. Kalau saja pengeroyokan itu dilakukan di atas daratan, kiranya dua losin perajurit itu akan dapat dia robohkan dalam waktu yang t idak terlalu lama. Akan tetapi gerakan Kong Liang kurang mantap, bahkan terkadang dia harus mengatur keseimbangan tubuhnya agar tidak sampai terguling dan jatuh ke air! Sementara itu, Ciang Sun yang mengamuk dengan senjata Long-ge-pang dan menghujani Thian Hwa dengan serangan kilat, menjadi pening karena tiba-tiba gadis yang diserangnya itu berkelebatan seperti telah berubah menjadi bayangbayang. Ke mana pun senjatanya menyambar, selalu mengenai tempat kosong dan dia dapat menghindarkan serangan balasan berupa tamparan atau tendangan hanya mengandalkan perasaannya saja. Serangan gadis itu tentu mendatangkan hawa pukulan yang dahsyat sehingga dia dapat mengetahui dan cepat melompat menghindar atau menggerakkan senjatanya untuk melindungi dirinya.
Bagaimanapun juga, tingkat kepandaian Thian Hwa jauh lebih tinggi daripada tingkat Perwira Ciang itu, maka setelah lewat belasan jurus, sebuah tendangan gadis itu tak sempat dihindarkan Ciang Sun.
"Wuut... desss....!!" Tubuh Ciang Sun terlempar keluar perahu dan jatuh tercebur ke sungai. Air muncrat tinggi dan Thian hwa tidak mempedulikan lagi lawan yang sudah dikalahkannya. Ia cepat menghampiri pintu dan menendang daun pintu, "Braakkk....!" Daun pintu bilik perahu itu Jebol dan ketika ia melompatmasuk, ia melihat gadis tadi masih bersimpuh di sudut kamar sambil menutupi mukanya dengan kedua: tangan dan menangis. Adapun Jaksa Bong Sun Kok yang gendut itu meringkuk di atas dipan nenarik kedua lutut ke perut sehingga dia tampak seperti seekor babi kekenyangan mendekam bermalas-malasan! Thian Hwa melihat sebatang pedang tergantung di dinding. Tentu pedang tanda kebesaran atau pelengkap tanda pangkat Jaksa. Bong. Ia cepat mencabut pedang. Itu dan sekali tangan kirinya bergerak, sebatang Jarum bunga putih meluncur dan menancap di pinggul yang besar itu.
"Adauuww..!" Jaksa Bong menjerit dan tubuhnya terlompat ke atas lalu merosot keluar dari dipan, jatuh berdebuk di atas lantai bilik perahu, kedua tangan meraba pinggul yang terkena serangan Pek-hwa-ciam, akan tetapi melihat gadis itu sudah berdiri di situ, dia berlutut menangis sambil membenturbenturkan dahinya ke atas lantai seperti sedang memberi hormat kepada kaisar!
"Manusia hina yang rendah budi! Sepatutnya engkau mampu!" setelah membentak begitu, tangan kanan Thian Hwa bergerak, pedang itu berkelebat dan Jaksa Bong menjerit-jerit sambil kedua tangannya sibuk meraba ke hidung, kedua telinganya dan pinggulnya karena di empat tempat itu terasa nyeri bukan main. Hidungnya telah terbabat putus, demikian pula kedua daun telinganya.
Darah membasahi muka dan lehernya dan akhirnya dia bergulingan sambil menangis! Thian Hwa menghampiri gadis yang menangis itu.
"Adik, bangkitlah. Engkau dan Ayah Ibumu harus cepat pergi dari Sini!" Gadis itu melepaskan kedua tangan dari mukanya, terbelalak ngeri melihat Jaksa Gong mandi darah dan bergulingan menguik-nguik seperti babi, dan dengan kedua kaki gemetar ia bangkit dan mengikuti Thian Hwa keluar dari bilik perahu. Cepat Thian Hwa memutuskan tali pengikat kaki tangan suami isteri setengah tua itu. Gadis itu kini berangkulan dengan ibunya sambil menangis. Thian Hwa lalu melompat lagi ke dalam bilik dan setelah menggeledah sebentar, ia menemukan sebuah peti kecil berisi potongan emas yang tidak kurang dari lima tail beratnya. Ia lalu keluar lagi dan menyerahkan emas itu kepada ayah gadis itu.
"Paman, cepat engkau ajak isteri dan Anakmu pergi dari sini. Ini uang untuk bekal. Cari tempat lain, jangan tinggal, lagi di tempatmu yang lama. pergi jauh-jauh ke dusun. Akan kucarikan perahu untuk kalian!" Thian Hwa melihat betapa Bu Kong Liang masih dikeroyok pada perajurit. Ia melihat sebuah perahu kecil milik para perajurit yang telah kosong, tentu dua orang perajuritnya telah dirobohkan Kong Liang. Perahu itu masih terkait pada perahu besar.
"Mari kubawa kalian ke perahu!" kata Thian Hwa dan cepat ia menyambar tubuh tiga orang itu satu demi satu, dibawanya melompat ke perahu kecil. Setelah itu, ia melepaskan kaitannya dan menyuruh anak gadis itu mendayung perahu, pergi dari situ. Ayah, ibu dan. anak Itu terkait di atas perahu kecil menghadap ke arah Thian Hwa yang masih berada di perahu besar, mengucapkan terima kasih "Cepat pergi....!" Seru Thian Hwa dan ia melihat betapa sebuah perahu dengan dua orang perajurit meluncur menghampiri perahu yang ditumpangi tiga orang itu. Dengan cepat ia menyambiikan dua batang Pek-hwa-ciam dan dua orang perajurit. itu mengaduh, tubuh mereka terguling keluar dari dalam perahu Thian Hwa melihat betapa ayah gadis itu sudah mendayung perahunya menjauh. Maka ia segera memperhatikan keadaan Konjg Liang. Kini tinggal lima buah perahu yang mengepung Kong Liang. Sepuluh orang perajurit itu kini menggunakan anak panah untuk menyerang Kong Liang. Karena musuh menggunakan anak panah menyerang dari jarak jauh tentu saja Kong Liang tidak dapat menyerang mereka. Dia hanya dapat memutar senjatanya untuk menangkis semua anak panah. Akan tetapi tiba-tiba ada dua orang perajurit yang muncul dari dalam air dekat perahu di mana Kong Liang berdiri. Dua orang itu menyelam dan menggulingkan perahu dari bawah.
Menghadapi serangan licik ini, tentu saja Kong Liang tidak berdaya mempertahankan diri, dengan tergulingnya perahu, otomatis tubuh Kong Liang juga terpelanting dan dia jatuh ke dalam air sungai! Melihat pemuda itu terjatuh ke air, sepuluh orang prajurit dalam lima buah perahu itu lalu mendekatkan perahu mereka dan anak panah mereka kini diarahkan kepada pemuda yang bergerak-gerak dengan kaku dalam air agar tidak tenggelam! Melihat ini, Thian Hwa cepat melompat dari atas perahu besar dan bagaikan seekor ikan ia berenang ke arah tempat dikurungnya Kong Liang. Setelah ia tiba dekat, ia melihat Kong Liang dengan gerakan kaku karena harus menjaga agar tubuhnya tidak tenggelam, memutar siang-kek (sepasang tombak pendek bercabang) untuk melindungi tubuhnya dari sambaran anak panah. Akan tetapi karena gerakannya tidak leluasa, maka sebatang anak panah menancap di belakang pundak kirinya dan Kong Liang gelagapan! Thian Hwa yang sudah tiba di situ, menggerakkan kedua tangannya. Jarum-jarum bunga putih meluncur menjadi sinar putih dan dua orang prajurit yang berhasil memanah Kong Liang, berteriak dan terjungkal ke air. Thian Hwa yang dapat bergerak seperti ikan, melompat ke perahu kosong itu dan dari situ, ia menyebar jarum-jarumnya. Beberapa orang prajurit terkena sambaran jarum dan terpelanting ke air.
Tinggal empat orang lagi dalam dua buah perahu. Mereka agaknya gentar menghadapi kehebatan sepak terjang Thian Hwa, maka mereka berusaha untuk lari dengan mendayung perahu mereka. Akan tetapi, Thian Hwa mendayung perahu demikian cepatnya sehingga sebentar saja dara perkasa ini dapat menyusul mereka. Kini pedang Thian Hwa bergerak empat kali dan empat orang itu pun roboh keluar dari perahu, tubuh mereka terbawa hanyut arus air! Thian Hwa menoleh dan melihat Bu Kong Liang gelagapan, agaknya sukar baginya yang sudah terluka itu untuk mempertahankan diri agar tidak tenggelam. Thian Hwa melompat dan terjun ke air, lalu berenang secepatnya menghampiri Kong Liang. Ketika ia dapat memegang tangan pemuda itu, Kong Liang terkulai pingsan! Dengan mencengkeram leher baju pemuda itu dan menariknya ke atas dan menelentangkannya sehingga muka Kong Liang tidak terbenam air, Thian Hwa berenang dan menyeret tubuh pemuda itu menuju ke perahu mereka. Baiknya tadi sebelum melakukan serangan terhadap para prajurit di perahu-perahu kecil, Kong Liang sudah melepas jangkar batu sehingga perahu kecil mereka tidak hanyut terbawa air sungai.
Thian Hwa mengangkat tubuh Kong Liang dan merebahkannya dalam perahu, kemudian ia menarik jangkar batu dan cepat mendayung perahu pergi dari situ. Ada bahaya datangnya bala bantuan pasukan, maka Thian Hwa lalu cepat mendayung perahunya dan setelah melihat bagian yang sunyi dan di tepi sebelah selatan terdapat hutan yang lebat, ia lalu mendayung perahu ke tepi.
Setelah perahu menepi dan talinya ia ikatkan pada batang pohon, Thian Hwa lalu memondong tubuh Kong Liang, membawanya masuk hutan dan merebahkannya di atas rumput. Kemudian ia memeriksa tubuh pemuda itu. Anak panah itu menancap, untungnya tidak terlalu dalam di belakang pundak kiri. Ia harus berhati-hati mencabut anak panah agar ujung anak panah jangan sampai patah dan tertinggal dalam daging. Dengan pengerahan sin-kang, ia berhasil mencabut anak panah. Ia merasa lega melihat bahwa ujung anak panah itu tidak mengandung racun. Cepat ditotoknya jalan darah di sekitar luka agar jangan terlalu banyak darah keluar.
Kong Liang mengeluh lalu membuka matanya. Ia seperti bingung dan nanar, akan tetapi ketika mengenal muka Thian Hwa, dia bernapas lega dan menggerakkan tubuhnya untuk bangkit duduk.
"Jangan banyak bergerak dulu, Twako. Engkau terluka," kata Thian Hwa yang membantunya bangkit duduk.
Kong Liang mengumpulkan ingatannya. Dia memandang ke kanan kiri, lalu kepada pakaian dan rambut Thian Hwa yang basah, juga kepada celananya sendiri yang basah dan bajunya yang sudah ditanggalkan dari badannya, juga anak panah yang terletak di atas tanah.
"Ah, aku tadi terkena anak panah dan nyawaku terancam.
Hemm, pasti engkau yang telah menyelamatkan nyawaku, Sian-I i. Aku melihat engkau meluncur di atas permukaan air! Bukan main! Kiranya engkau memang pantas dijuluki Huangho Sian-li. Aku berhutang nyawa kepadamu, Sian-li!"
"Aih, sudahlah, jangan banyak bicara dulu, Twako. Aku harus mengobati lukamu." Gadis itu lalu mengambil bungkusan obat dari buntalan pakaiannya. Buntalan itu berisi bubuk putih. Dari gurunya, Thian Hwa memang dibekali beberapa macam obat untuk luka dan gadis ini sudah mempelajari bagaimana mengobati luka-luka, bahkan yang mengandung racun sekalipun! Sedikit bubuk putih ia taburkan ke dalam luka anak panah itu, lalu ia mengambilkan pengganti baju dan membantu pemuda itu mengenakan bajunya.
"Sekarang, paling penting adalah mengganti pakaian kita yang basah, Twako, agar kita tidak terserang penyakit." Gadis itu mengambilkan pakaian dalam dan celana untuk Kong Liang, kemudian ia sendiri mengambil seperangkat pakaian dan mengganti pakaiannya yang basah sambil bersembunyi di balik semak belukar.
Setelah selesai berpakaian dan Kong Liang merasa betapa luka di belakang pundaknya tidak nyeri lagi, mereka duduk bercakap-cakap di bawah pohon besar.
"Bu-twako, mengapa engkau tadi membantu aku sehingga membahayakan dirimu sendiri?"
"Aih, Sian-li. Melihat betapa jumlah prajurit demikian banyaknya, mana mungkin aku membiarkan engkau menghadapi mereka seorang diri? Bahaya yang menimpaku tadi adalah karena kesalahanku sendiri. Aku tidak mahir bermain di air, maka aku sampai terkena anak panah. Apakah yang terjadi di perahu besar itu, Sian-li?"
"Melihat suami isteri setengah tua yang terikat di perahu besar dan mendengar suara tangis wanita, aku menjadi curiga, dan setelah aku melompat ke perahu besar, ternyata suami isteri setengah tua itu dif itnah sebagai pemberontak dan anak gadis mereka ditawan. Kata Pembesar Bong itu, orang tua dan gadis itu akan diserahkan kepada Pangeran Leng di kota raja! Aku membebaskan mereka, menyuruh mereka naik perahu dan melarikan diri, dan aku memberi hajaran keras kepada Jaksa Bong itu. Seorang pribumi Han yang diangkat menjadi pembesar oleh Kerajaan Mancu malah bertindak jahat terhadap bangsa sendiri! Menyebalkan!"
"Memang demikianlah, Sian-li. Kedudukan mendatangkan kekuasaan yang membuat manusia menjadi lalim, suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan kekuasaannya."
"Akan tetapi tidak semuanya begitu, Twako!"
"Tentu saja, tentu ada pengecualian. Ada juga pembesar yang bijaksana, jujur, setia, tidak suka korupsi, tidak suka menindas bawahan menjilat atasan. Akan tetapi beberapa gelintir yang seperti itu? Sebagian besar ya seperti jaksa itulah, tidak peduli bangsa apa orangnya! Akan tetapi sekelebatan aku tadi melihat engkau melawan seorang yang bersenjata Long-ge-pang, dan agaknya dia lihai juga. Aku tadi khawatir melihat engkau dikeroyok dan melawan laki-laki tinggi besar bersenjata Long-ge-pang itu."
"Dia adalah seorang di antara Kam-keng Chit-sian yang dulu menjadi pengawal dari Pangeran Cu Kiong di kota raja."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar