Biarpun kini mereka tinggal berdua, namun tetap saja mereka berkepala besar dan dengan sendirinya mereka memandang rendah ketika melihat bahwa utusan Jenderal Wu Sam Kwi itu hanya seorang gadis cantik yang membawa payung merah! Memang Ang-mo Niocu sama sekali tidak tampak seperti seorang kang-ouw yang pandai ilmu silat. Ia cantik manis, pakaiannya berkembang dan sama sekali tidak tampak membawa senjata.
Begitu tiba di pintu gerbang gedung besar yang mempunyai halaman depan luas itu, Ang-mo Niocu dihadang dua orang jagoan ini yang sudah menunggu di gardu penjagaan sejak tadi. Belasan orang prajurit berada dalam gardu dan hanya menonton sambil tersenyum kagum melihat seorang gadis cantik memakai payung memasuki pintu gerbang. Mereka sudah dipesan oleh dua orang jagoan itu agar diam saja dan membiarkan mereka berdua yang menyambut tamu yang dinantikan oleh Sang Pangeran. Para prajurit itu mengharapkan memperoleh tontonan menarik karena mereka semua maklum bahwa dua orang jagoan itu pasti akan menggoda dan mengganggu seorang gadis cantik seperti itu.
Thio Kwan yang berusia sekitar lima puluh dua tahun, tinggi kurus dan mukanya pucat seperti mayat, berdiri bertolak pinggang menghadapi Ang-mo Niocu, sedangkan temannya, Yu Kok Lun yang berusia lima puluh tahun lebih dan bertubuh gemuk pendek bermuka hitam, hanya tersenyum-senyum di samping rekannya.
"Apakah Nona yang disebut Nona Payung Merah?" tanya Thio Kwan sambil tersenyum mengejek, memandang rendah.
Ang-mo Niocu mengenal laki-laki kurang ajar macam ini.
Akan tetapi ia bersabar mengingat bahwa orang-orang ini tentu anak buah Pangeran Cu Kiong yang tadi ia jumpai di jalan dan yang menarik hatinya karena pangeran yang masih muda itu memang tampan dan gagah sekali.
"Benar, aku Ang-mo Niocu hendak bertemu dengan Pangeran Cu Kiong."
"Nanti dulu, Nona. Logat bicara Nona terdengar asing.
Benarkah menurut keterangan Pangeran Cu bahwa Nona datang dari Yunnan-hu yang berada jauh di selatan?" Ang-mo Niocu mengerutkan alisnya. Pembantu pangeran ini cerewet benar. Ia merasa tidak perlu untuk memperkenalkan diri lebih banyak terhadap Si Muka Pucat ini, maka ia cepat menjawab.
"Benar aku dari selatan. Jauh-jauh aku datang untuk bertemu Pangeran Cu Kiong. Cepat kalian laporkan kepadanya."
"Aih, Nona. Kenapa Nona jauh-jauh datang dari selatan seorang diri saja? Nona seorang gadis yang cantik jelita begini melakukan perjalanan jauh seorang diri?" kata Yu Kok Lun yang tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk bicara dengan gadis yang amat menarik ini. Setelah bicara, memang Ang-mo Niocu tampak menggairahkan sekali. Sepasang bibirnya yang berbentuk indah dan kemerahan itu seolah dapat bergerak-gerak dengan manis dan menantang!
"Benar, Nona. Kalau kami tahu, tentu akan kami jemput Nona di selatan sehingga Nona dapat melakukan perjalanan bersama kami. Tentu lebih aman dan menyenangkan!" kata Thio Kwan.
Dua orang jagoan itu bersikap berani mengganggu karena mereka memang mendapat pesan dari Pangeran Cu Kiong untuk menguji kelihaian utusan Jenderal Wu Sam Kwi ini.
Ang-mo Niocu bukan seorang gadis yang tidak biasa bergaul dengan pria. Kalau yang menggodanya itu pemudapemuda tampan, pasti ia tidak akan marah malah menjadi gembira sekali. Akan tetapi digoda dua orang jagoan yang bertampang buruk, yang seorang bermuka pucat seperti mayat dan yang seorang lagi mukanya hitam seperti pantat kuali, ia menjadi marah. Akan tetapi mulutnya masih tersenyum ketika ia menjawab.
"Hemm, diantar dan ditemani dua orang kuli pelayan macam kalian hanya akan membikin aku malu karena muka kalian begitu buruk dan menjijikkan! Sudahlah, cepat laporkan kepada Pangeran Cu Kiong bahwa aku telah datang dan ingin berjumpa dengannya. Aku tidak ingin berurusan dengan kalian dua orang monyet jelek ini!" Belasan orang prajurit pengawal yang berada dalam gardu hampir tidak dapat menahan tawa mereka mendengar ucapan yang amat mengejek dan menghina kepada dua orang jagoan yang biasanya bersikap sombong itu. Mereka melihat betapa dua orang itu terbelalak mendengar ucapan gadis berpayung merah.
Thio Kwan marah sekali, akan tetapi tentu saja dia tidak berani menyerang tamu majikannya karena Pangeran Cu hanya berpesan agar dia menguji kelihaian tamu ini.
"Pangeran memang mengutus kami menjemputmu, akan tetapi tidak sopan kalau engkau memasuki gedung dengan memakai payung. Serahkan payungmu!" katanya.
Ang-mo Niocu menutup payungnya yang tadinya berkembang.
"Payung ini t idak boleh terlepas dari tanganku!"
"Hemm, terpaksa aku akan merampasnya!" Setelah berkata demikian, dengan cepat Thio Kwan menggerakkan tangan kanannya dan dia sudah menangkap payung yang berada di tangan kiri gadis itu.
Thio Kwan adalah seorang ahli lwee-keh (ahli tenaga dalam) yang memiliki tenaga kuat sekali. Dia merasa yakin bahwa sekali renggut saja dia akan mampu merampas payung itu dari tangan Ang-mo Niocu. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia merasa betapa payung itu sama sekali tidak dapat dia tarik karena seolah melekat dan berakar pada tangan kiri gadis itu. Dia mengangkat muka memandang wajah gadis itu dan dengan penasaran sekali dia melihat gadis itu tersenyumsenyum dan mengedipkan mata kepadanya! Jelas bahwa gadis itu menganggap dia ringan sekali. Maka Thio Kwan mengerahkan seluruh tenaganya untuk menarik. Namun tetap sia-sia. Karena marah, dia lalu menggerakkan tangan kirinya untuk mencengkeram pergelangan tangan kiri gadis itu. Akan tetapi cepat bagaikan kilat tangan kanan Ang-mo Niocu sudah mendahuluinya menotok ke arah tangan kanannya yang memegang payung. Seketika dia merasa lengan kanannya lemas dan pedangnya terlepas. Dengan marah dia melanjutkan cengkeraman tangan kirinya, kini tidak ke arah pergelangan tangan kiri lawan, melainkan ke arah pundaknya!
"Plakk!" Ang-mo Niocu menangkis dan tenaga saktinya demikian kuatnya sehingga Thio Kwan merasa lengan kirinya nyeri sampai menembus tulang.
"Pergilah!" Ang-mo Niocu berseru dengan bentakan nyaring, kakinya mencuat ke arah perut Si Muka Mayat.
"Bukkk...!" Tubuh tinggi kurus itu terlempar dan masih untung Thio Kwan mampu mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga jatuh berjongkok, tidak sampai terbanting!
"Wah, hebat juga engkau, Nona! Coba hadapi siang-kiam (sepasang pedang) ini!" Yu Kok Lan sudah mencabut siangkiam dari punggungnya karena dia hendak menguji kelihaian gadis itu dalam bertanding senjata. "Keluarkan senjatamu!" tantangnya, dan dia sudah memasang kuda-kuda dengan menyilangkan sepasang pedangnya di atas kepala sehingga tampak garang dan gagah sekali.
Ang-mo Niocu tersenyum. Kini ia dapat menduga bahwa dua orang ini agaknya memang disuruh oleh Pangeran Cu Kiong untuk mengujinya. Pangeran itu yang mengadakan kontak dengan Jenderal Wu Sam Kwi tentu ingin merasa yakin akan kelihaian utusan Jenderal Wu Sam Kwi. Maka ia pun tersenyum menghadapi Yu Kok Lun yang tampak gagah itu. Ia menudingkan payungnya yang sesungguhnya merupakan pedang ke arah lawan dan berkata.
"Majulah, aku akan melawan sepasang pedangmu dengan payungku ini." Tentu saja Yu Kok Lun merasa dihina dan dipandang rendah. Masa siang-kiamnya yang tersohor sehingga dia dijuluki Siang-kiam-sian (Dewa Sepasang Pedang) hanya akan dilawan dengan sebuah payung merah, oleh seorang gadis muda? Ini namanya keterlaluan!
"Nona, memalukan kalau aku dengan sepasang pedangku melawan engkau yang hanya memegang sebuah payung.
Biarlah aku menggunakan sebelah pedangku saja!" Setelah berkata demikian Yu Kok Lun menyimpan pedang kirinya dan hanya memegang pedang kanannya.
"Terserah, engkau mau menggunakan sebatang, dua batang, atau sepuluh batang pedang. Aku tetap cukup menggunakan payungku ini saja!" Yu Kok Lun mulai marah. "Sambutlah pedangku ini!" bentaknya, dan dia pun sudah menyerang dengan dahsyat karena dia sudah menggunakan jurus paling ampuh dan berbahaya karena dapat menduga bahwa lawannya bukan seorang lemah. Pedangnya berkelebat dengan jurus serangan Kilat Menyambar Atas Kepala. Pedang yang bergerak cepat sekali itu berubah menjadi sinar putih yang menyambar ke arah kepala Ang-mo Niocu dengan bacokan dari atas, seolah hendak membelah kepala itu menjadi dua!
"Wuuuss...!" Pedang itu hanya membelah udara kosong karena dengan gerakan yang ringan dan cepat sekali Ang-mo Niocu sudah mengelak ke samping. Yu Kok Lun menjadi penasaran melihat betapa serangannya yang dahsyat tadi dapat dielakkan dengan amat mudah oleh gadis itu.
Pedangnya sudah menyambar lagi, kini membabat dari samping ke arah pinggang lawan. Pinggang yang kecil ramping itu agaknya akan dapat terbabat putus oleh sambaran pedang yang dahsyat itu karena pedang itu digerakkan dengan jurus Giok-tai-wi-yiauw (Sabuk Kemala Melilit Pinggang)! Serangan ke dua ini cukup berbahaya, maka Ang-mo Niocu menggerakkan payungnya menangkis.
"Tranggg...!" Yu Kok Lun hampir berteriak saking kagetnya ketika pedangnya hampir terlepas dari tangannya karena terpental oleh tangkisan yang amat kuat, bahkan kini ada sinar merah menyambar pundaknya. Dia cepat mengelak dan "brett...!" baju di bagian pundaknya robek tertusuk ujung payung yang runcing! Maklum bahwa payung itu ternyata merupakan senjata yang ampuh, Yu Kong Lun yang masih merasa penasaran cepat mencabut pedang ke dua dan kini dia menyerang dengan menggerakkan siang-kiam itu secara cepat sekali.
Akan tetapi semua serangannya sia-sia karena begitu gadis itu menggerakkan payungnya, payung itu menjadi perisai yang kuat sekali. Ternyata bahwa payung itu terbuat dari semacam kulit yang sudah diolah sedemikian rupa sehingga menjadi lentur namun amat kuat, mampu menahan senjata tajam tanpa robek sedikit pun. Begitu sepasang pedang menyerang, payung berkembang dan begitu sepasang pedang lawan terpental, payung menutup dan ujung payung itu menyerang dengan tusukan seperti sebatang pedang! Sebentar saja Yu Kok Lun menjadi kewalahan dan terdesak, kebingungan. Maka Ang-mo Niocu tidak menyia-nyiakan kesempatan, selagi lawan bingung oleh serangan payung berpedang, ia mengayun kakinya dan seperti juga apa yang dirasakan Thio Kwan tadi, perut Yu Kok Lun terkena tendangan kaki Ang-mo Niocu sehingga tubuhnya terlempar dan dia jatuh berdebuk di atas tanah.
Dua orang jagoan itu kini harus mengakui kelihaian Ang-mo Niocu, maka mereka tidak berani main-main lagi. Thio Kwan lalu maju memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada, diikuti Yu Kok Lun dan dia berkata.
"Li-hiap (Pendekar Wanita), maafkan kami karena sesungguhnya kami diutus Pangeran Cu Kiong untuk menguji kelihaianmu. Sekarang mari kami antarkan Li-hiap menghadap Pangeran Cu Kiong yang sudah lama menunggu kedatanganmu." Ang-mo Niocu tersenyum mengejek. "Beginikah cara Pangeran Cu Kiong menyambut utusan sahabatnya? Aku mengerti akan maksudnya mengujiku, akan tetapi yang menyebalkan adalah kalian bukan hanya menguji, akan tetapi juga menghinaku dengan kekurangajaranmu. Maka kalian perlu mendapat hajaran agar lain kali tidak berani menggangguku! Sambut ini!" Tiba-tiba kini Ang-mo Niocu menyerang dengan tusukan payungnya yang tertutup. Ujung yang runcing itu meluncur dan menusuk ke arah pundak Thio Kwan. Orang itu terkejut dan cepat mengelak, tusukan itu luput akan tetapi tetap saja dia roboh dan mengeluh kesakitan. Kemudian ujung payung itu menyerang Yu Kok Lun.
Ahli siang-kiam yang masih memegang pedangnya ini cepat menangkis.
"Trangg...!" Payung itu tertangkis, akan tetapi anehnya, Yu Kok Lun juga terkulai roboh dan merintih sambil memegangi pundaknya. Ternyata pundak kedua orang ini terkena tusukan jarum yang terasa panas dan pundak mereka sampai lengan menjadi kaku dan lumpuh! Jarum beracun! Jarum-jarum itu keluar dari ujung payung dan merupakan senjata rahasia yang amat ampuh dari gadis suku Yao yang lihai ini. Hal ini tidak mengherankan karena Ang-mo Niocu adalah murid Lam-hai Cin-jin. Datuk Selatan yang sakti.
"Nah, mari antar aku menghadap Pangeran Cu Kiong!" kata Ang-mo Niocu. Dua orang itu bangkit dengan wajah pucat dan mereka menyeringai karena pundak mereka terasa nyeri bukan main, panas dan ngilu, juga kaku dan lumpuh sampai ke ujung jari tangan. Mereka tidak berani membantah dan mendahului menuju ke gedung besar yang megah itu. Ang-mo Niocu mengikuti mereka dari belakang dan tetap bersikap waspada. Siapa tahu Pangeran Cu Kiong yang tampan gagah itu masih akan mengujinya lagi! Akan tetapi tidak ada rintangan lagi dan setelah mereka memasuki ruangan tamu, Pangeran Cu Kiong bangkit dari kursinya, tersenyum ramah menyambut gadis cantik dari selatan itu. Akan tetapi dia mengerutkan alisnya ketika melihat dua orang jagoannya masuk dengan wajah pucat dan menyeringai kesakitan dengan sebelah tangan tergantung lumpuh.
"Ada apa dengan kalian? Apa yang telah terjadi?" tanyanya dan karena dua orang jagoannya menundukkan kepala tanpa menjawab, dia memandang wajah Ang-mo Niocu dengan sinar mata bertanya.
"Pangeran, Paduka tanyakan kepada mereka berdua saja apa yang menyebabkan mereka menderita luka." Pangeran Cu Kiong memandang dua orang jagoannya dan mereka berdua yang menjadi ketakutan mengingat betapa mereka telah menggoda gadis itu sehingga menjadi marah dan melukai mereka, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Cu Kiong.
"Pangeran, hamba berdua mengaku bersalah. Hamba kalah dan terluka oleh Li-hiap ini...," kata Thio Kwan.
Pangeran Cu Kiong merasa kagum akan tetapi juga tak senang kepada gadis itu. Memang ia lihai sekali mampu mengalahkan dua orang jagoannya, akan tetapi mengapa harus melukai mereka sedemikian beratnya.
"Ang-mo Niocu, mereka hanya kami suruh mengujimu, mengapa engkau melukai mereka?" Pangeran Cu Kiong menegur, biarpun ucapannya halus.
Ang-mo Niocu tersenyum. "Pangeran, mereka melanggar perintah Paduka, mereka bukan sekadar menguji akan tetapi juga bersikap tidak sopan kepada saya. Karena itu saya melukai mereka dengan Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah).
Kalau tidak saya beri obat pemunah, lengan mereka yang sebelah akan mati selamanya. Biar mereka tidak berani melanggar perintah Paduka lagi!" Gadis itu memang cerdik. Ia menghukum dua orang itu dengan alasan karena mereka melanggar perintah Pangeran Cu Kiong, bukan karena mereka mengganggunya. Hal ini berarti bahwa ia bertindak untuk membela pangeran itu! Mendengar ini, hati Pangeran Cu Kiong merasa senang dan kini dia membentak dua orang jagoannya itu.
"Hayo cepat kalian minta ampun kepada Ang-mo Niocu!" Dua orang itu tadi mendengar bahwa mereka terluka oleh jarum beracun, menjadi semakin panik dan mereka lalu berlutut di depan kaki Ang-mo Niocu.
"Mohon ampun, Li-hiap. Kasihanilah kami dan mohon diberi obat pemunahnya!" Mereka memohon bergantian.
Ang-mo Niocu memandang kepada Pangeran Cu Kiong.
"Bagaimana, Pangeran?" Pangeran itu mengangguk. "Berikanlah obatnya, Niocu.
Bagaimanapun juga, mereka adalah pembantu-pembantuku yang setia kepadaku." Ang-mo Niocu lalu menghampiri mereka, menggunakan sinkang (tenaga sakti) menyedot dua batang jarum itu dari pundak mereka menggunakan telapak tangannya, kemudian ia menyerahkan dua butir pel berwarna merah kepada mereka.
"Telan ini dan kalian akan sembuh." Thio Kwan dan Yu Kok Lun cepat menerima pel itu dan langsung menelannya. Benar saja, mereka merasa betapa kekakuan dan rasa nyeri panas di pundak mereka berkurang.
"Sekarang keluarlah dan pesan kepada semua prajurit jaga agar kunjungan Li-hiap ini tidak sampai diketahui orang luar.
Kalau sampai beritanya bocor, ini tanggung jawab kalian dan hukumannya akan berat sekali!" Dua orang itu membungkuk lalu keluar dari ruangan tamu.
Pangeran Cu Kiong lalu menutupkan daun pintu sehingga mereka dapat bicara berdua dengan aman, tanpa ada yang dapat melihat atau mendengar mereka.
"Silakan duduk, Niocu. Sekarang lebih dulu buktikanlah bahwa engkau memang benar utusan dari Jenderal Wu Sam Kwi," kata Pangeran Cu Kiong sambil menatap wajah cantik itu.
Ang-mo Niocu tersenyum manis sekali, tampak deretan giginya yang putih dan rapi, lalu ia duduk dan mengeluarkan sepucuk surat dari balik bajunya di bagian dada!
"Pangeran, saya sengaja minta surat dari Raja Muda Wu Sam Kwi agar Paduka tidak ragu lagi." Pangeran Cu Kiong menerima kertas yang masih hangat karena lama berada di dada gadis itu. Dia memang seorang laki-laki yang sudah biasa bergaul dan merayu wanita, maka sambil tersenyum dia mendekatkan kertas surat itu ke hidungnya, mengendusnya lalu berkata.
"Ahh... harumnya...!" Ang-mo Niocu juga bukan seorang gadis yang belum pernah dirayu orang, maka ia tidak menjadi malu, malah senyumnya melebar dan sinar matanya berkilau karena senangnya.
"Saya simpan surat itu baik-baik agar jangan sampai dilihat orang lain, Pangeran." Pangeran Cu Kiong membaca surat itu. Surat dari Wu Sam Kwi itu menyatakan bahwa pihaknya sudah siap untuk bekerja sama dengan Pangeran Cu Kiong dan untuk memperlancar hubungan, dia mengirim Ang-mo Niocu sebagai utusan dan gadis itu sudah diberi wewenang penuh untuk mengatur rencana bersama Sang Pangeran. Pangeran Cu Kiong merasa kagum dan juga heran bagaimana seorang gadis muda seperti ini sudah diberi kekuasaan penuh oleh Jenderal atau kini Raja Muda Wu Sam Kwi!
"Niocu (Nona), dalam surat ini Jenderal Wu Sam Kwi telah memberi kekuasaan sepenuhnya kepadamu untuk berunding dan mengatur rencana bersamaku. Niocu, apakah kedudukanmu di sana maka dia begitu percaya kepadamu?" Kembali gadis yang kedua pipinya merah tanpa yanci (bedak pemerah) tersenyum manis. Tentu saja ia tidak mau mengaku bahwa walaupun ia tidak mau dijadikan selir, namun ia adalah seorang kekasih dari Wu Kan, seorang dari para putera Raja Muda Wu Sam Kwi.
"Pangeran, saya adalah murid dari Lam-hai Cin-jin. Datuk Selatan yang menjabat sebagai Koksu (Guru Negara, Penasihat) Raja Muda Wu Sam Kwi. Karena Suhu sendiri mempunyai banyak kesibukan dan tidak mungkin terlalu lama meninggalkan jabatannya, maka Suhu minta kepada Raja Muda Wu untuk mengirim saya dan Raja Muda Wu menyetujuinya." Pangeran Cu Kiong mengangguk-angguk. Dia sudah mendengar tentang kesaktian Lam-hai Cin-jin. Tidak mengherankan kalau gadis ini demikian lihai, kiranya murid Lam-hai Cin-jin! Dia merasa girang sekali bahwa Jenderal Wu mengirim utusan yang merupakan seorang gadis cantik manis dan lihai ilmu silatnya.
"Baik, kami dapat menerimamu sebagai utusan Raja Muda Wu Sam Kwi. Nah, sekarang lebih dulu kauceritakan apa kesanggupan Raja Muda Wu untuk membantu kami dan apa pula syarat-syaratnya."
"Pangeran, Raja Muda kami telah menerima berita dari Pangeran dan beliau setuju untuk membantu Paduka agar dapat merebut tahta kerajaan. Beliau sudah mengambil keputusan untuk mengirim dua orang sakti yang dapat diandalkan, yaitu Guru saya sendiri Lam-hai Cin-jin dan Susiok-couw (Kakek Paman Guru) Ngo-beng Kui-ong (Raja Setan Lima Nyawa) yang memiliki kesaktian tinggi. Saya kira, dengan adanya mereka yang akan datang ke sini dalam bulan ini juga akan dapat mengalahkan semua musuh Pangeran.
Saya juga akan membantu Paduka sekuat tenaga."
"Hemm, Jenderal Wu Sam Kwi bersungguh-sungguh hendak membantu kami. Padahal dia membenci bangsa Mancu kami. Tentu bantuan itu diberikan bukan dengan percuma. Apa imbalan yang dimintanya?" tanya pangeran itu secara langsung dan terus terang.
"Aih, senang bicara dengan Paduka yang terbuka dan jujur.
Menurut Raja Muda kami, beliau hanya menghendaki agar kekuasaan beliau diakui oleh Kerajaan Ceng dan daerah kekuasaan beliau diperluas sampai ke daerah selatan Sungai Yang-ce." Pangeran Cu Kiong terdiam. Permintaan yang terlalu berlebihan, pikirnya. Masa minta perluasan daerah yang lebih besar daripada yang telah dikuasai Jenderal Wu Sam Kwi sekarang? Akan tetapi dia membutuhkan bantuan yang amat kuat. Mudah saja nanti menghadapi Wu Sam Kwi kalau sudah tercapai ambisinya, menjadi Kaisar Kerajaan Ceng! Pula, kalau dia menolak, otomatis gadis itu tentu akan pergi, bahkan akan memusuhinya. Padahal ia demikian cantik jelita dan sikapnya begitu menantang! Dia merasa yakin benar bahwa tidak akan sukar untuk menikmati kesenangan bersama gadis ini! Baru pandang mata dan senyum bibirnya itu saja sudah mengandung tantangan yang menggairahkan.
"Baiklah, kami menerima permintaan imbalan itu. Kalau kami sudah berhasil menjadi Kaisar sebagai pengganti mendiang Ayahanda Kaisar, pasti permintaan itu kami penuhi!"
"Nah, sekarang sebaiknya Paduka menceritakan segala keadaan di kota raja, siapa musuh-musuh Paduka, apa yang telah terjadi, agar kita dapat merundingkannya dan mencari jalan terbaik, mengatur rencana yang tepat untuk mencapai kemenangan." Pangeran Cu Kiong tentu saja t idak tahu apa yang terdapat dalam benak Ang-mo Niocu pada masa itu. Dia tidak tahu bahwa gadis itu adalah pengikut Wu Sam Kwi yang setia dan diam-diam membenci Pemerintah Ceng, yaitu Pemerintah Mancu yang menjajah hampir seluruh daratan Cina. Ia tentu saja mendukung Wu Sam Kwi yang tidak pernah mau takluk kepada Pemerintah Ceng, bahkan selalu bercita-cita untuk mengusir penjajah Mancu dari tanah air. Akan tetapi yang dibencinya adalah Pemerintah Ceng, kalau pribadi Pangeran Cu Kiong yang begitu gagah dan tampan, tentu saja membuat ia tertarik dan ia tidak akan melewatkan kesempatan baik untuk bersenang-senang dengan pria muda setampan dan segagah itu begitu saja. Seorang pangeran lagi! Dan dari sikap dan sinar mata pangeran itu, Ang-mo Niocu yang sudah berpengalaman itu maklum benar bahwa ia tidak bertepuk sebelah tangan! Pangeran Cu Kiong membutuhkan waktu untuk yakin benar bahwa tidak ada bahayanya dia menceritakan segala yang terjadi dan semua keadaannya kepada gadis yang baru dijumpainya itu, walaupun ia membawa surat dari Jenderal Wu Sam Kwi. Maka ia lalu tersenyum dan berkata.
"Niocu, sebaiknya engkau mengaso dulu, mandi dan berganti pakaian, engkau tampak lusuh dan lelah, maklum baru saja berkelahi. Setelah engkau mandi dan berganti pakaian, kita makan. Nah, setelah itu, kita bersantai dan nanti akan kuceritakan semuanya sehingga kita berdua dapat membuat rencana dengan lebih nyaman." Pangeran Cu Kiong bertepuk tangan sebagai isyarat memanggil pelayan. Dua orang pelayan wanita memasuki ruangan tamu itu dengan cepat. Mereka masih muda-muda dengan wajah dan bentuk tubuh cukup menarik.
"Persiapkan sebuah kamar tamu yang terbaik untuk Nona ini. Dan layani kalau ia ingin mandi dan berganti pakaian.
Setelah selesai, antarkan ia ke kamar makan dan suruh para pekerja di dapur menyiapkan pesta kecil untuk menghormati Nona ini. Nah, sekarang antarkan ia ke kamar tamu." Dia bangkit dan berkata kepada Ang-mo Niocu. "Silakan, Niocu.
Sampai jumpa nanti di kamar makan." Gadis itu tersenyum, membungkuk sebagai penghormatan lalu mengikuti dua orang pelayan itu dengan langkah berlenggang-lenggok lemah gemulai. Pangeran Cu Kiong mengikuti dari belakang dengan pandang matanya dan dia tersenyum senang.
Setelah mandi, berganti pakaian dan bersolek sehingga ia tampak semakin cantik, Ang-mo Niocu diantar seorang pelayan memasuki ruangan makan yang luas. Di situ telah menanti Pangeran Cu Kiong yang juga sudah mandi dan berganti pakaian sehingga tampak tampan sekali. Mereka lalu duduk berhadapan terhalang meja yang sudah penuh dengan hidangan masakan bermacam-macam, semua masih mengepulkan uap sehingga baunya yang sedap membuat perut menjadi semakin lapar.
Mereka semakin akrab dan makan minum dengan gembira.
Pangeran Cu Kiong senang sekali mendapat kenyataan bahwa gadis itu pun kuat sekali minum arak. Mereka saling menyulangi sampai menghabiskan beberapa cawan arak dan setelah hawa arak memasuki kepala mereka, keduanya semakin akrab, makan minum sambil tertawa-tawa gembira.
Setelah selesai makan, Pangeran Cu Kiong mengajak gadis itu bicara di dalam ruangan tertutup. Dia lalu mulai menceritakan semua yang telah terjadi di kota raja, tentang gerakan Pangeran Leng Kok Cun yang menjadi saingannya paling berat. Kemudian tentang kematian Kaisar Shun Chi yang terbunuh oleh Thaikam Boan Kit, akan tetapi Thaikam itu sempat melarikan diri dan tidak tertangkap.
"Hemm, mengapa Thaikam Boan membunuh Kaisar?"
"Dia juga kaki tangan Pangeran Leng Kok Cun!" kata Pangeran Cu gemas. "Pembunuhan sia-sia, karena sebelum mati, Ayahanda Kaisar telah meninggalkan surat wasiat kepada puteri Pamanda Pangeran Ciu Wan Kong yang bernama Ciu Thian Hwa. Bahkan Thian Hwa telah menerima Tek-pai dari Ka isar karena ia telah menyelamatkan Kaisar dari serangan lima orang pembunuh yang juga tentu dikirim oleh Pangeran Leng. Maka, setelah Kaisar wafat, Thian Hwa yang memegang Tek-pai dapat mempengaruhi semua orang yang terpaksa harus tunduk. Lalu menurut surat wasiat itu, Pangeran Mahkota Kang Shi yang akan diangkat menjadi kaisar baru. Pengangkatannya akan dilakukan setelah lewat masa perkabungan seratus hari. Sungguh keadaan ini tidak menguntungkan sama sekali!"
"Hemm, gadis bernama Ciu Thian Hwa itu lihai juga.
Padahal ia adalah puteri seorang pangeran."
"Ya, ia puteri Pamanda Pangeran Ciu Wan Kong, jadi masih terhitung saudara sepupu dengan aku. Ia sebelumnya memang terpisah dari ayahnya dan hidup di dunia kang-ouw sebagai seorang pendekar berjuluk Huang-ho Sian-li."
"Apa...?!" gadis itu terkejut sekali.
"Eh? Engkau mengenalnya, Niocu?" Ang-mo Niocu mengangguk, "Saya pernah bertemu dengannya, Pangeran, bahkan pernah bertanding dengannya."
"Engkau kalah...?"
"Ah, tidak mungkin saya kalah oleh Huang-ho Sian-li, Pangeran!" kata Ang-mo Niocu bangga. "Akan tetapi sebelum kami berkelahi lebih lanjut, ada yang melerai. Dia itu murid Siauw-lim-pai bernama Bu Kong Liang."
"Bu Kong Liang? Hemm, dia termasuk orang yang membantu Pamanda Pangeran Bouw Hun Ki yang melindungi Adinda Pangeran Kang Shi." Dia lalu menceritakan tentang hasil sidang yang diadakan setelah kaisar wafat.
"Selain Kaisar Kang Shi yang masih anak-anak itu ditetapkan menjadi kaisar menurut surat wasiat, juga pendamping atau penasihatnya ditentukan nanti setelah Pangeran Kang Shi menjadi kaisar. Aku berani memastikan bahwa dia akan memilih Pamanda Pangeran Bouw yang telah melindungi dan mendidiknya sejak kecil. Menggemaskan sekali!"
"Tenanglah, Pangeran. Mari kita melihat posisi Paduka.
Jelas sekarang bahwa di sini ada tiga pihak yang bertentangan. Pertama tentu saja pihak Pangeran Bouw yang melindungi Pangeran Mahkota, calon kaisar baru. Pihak ke dua adalah Pangeran Leng, dan pihak ke tiga adalah Paduka sendiri. Benarkah gambaran saya itu?"
"Benar."
"Nah, sekarang mari kita melihat kekuatan semua pihak.
Pertama kekuatan Pangeran Bouw. Harap Paduka gambarkan kekuatan pihak ini."
"Pangeran Mahkota sendiri baru berusia sekitar sebelas tahun dan dia tidak ada artinya. Pangeran Bouw Hun Ki juga seorang yang lemah, seorang sastrawan. Mereka didukung beberapa orang panglima dengan pasukannya, akan tetapi tidak semua. Akan tetapi Pangeran Kang Shi berada dalam lindungan yang amat kuat. Isteri Paman Pangeran Bouw adalah seorang wanita sakti, kabarnya dahulu ketika muda ia juga seorang pendekar berjuluk Sin-hong-cu. Mereka mempunyai dua orang anak, yang pertama bernama Bouw Kun Liong dan yang ke dua bernama Bouw Hwi Siang.
Pemuda dan gadis saudara-saudara sepupuku ini pun amat lihai karena digembleng oleh ibu mereka sendiri. Selain mereka, ada pula Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa itu, dan dibantu pula oleh dua orang murid Siauw-lim-pai, yaitu Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin. Sudah terbukti bahwa kedudukan mereka amat kuat dan tempat perlindungan Pangeran Mahkota Kang Shi sulit ditembus."
"Lalu bagaimana dengan kekuatan pihak Pangeran Leng Kok Cun?"
"Menurut para penyelidikku, sebetulnya kekuatan Kakanda Pangeran Leng Kok Cun tidak berapa hebat lagi. Dia memang telah mempunyai dukungan berupa beberapa orang pejabat tinggi dan panglima, akan tetapi kekuatannya itu rontok setelah Thaikam Bong melarikan diri karena membunuh Ayahanda Kaisar sehingga dia tidak lagi memiliki sekutu yang berpengaruh di dalam istana. Aku juga heran mengapa dia begitu gegabah menyuruh Boan Thaikam membunuh Kaisar.
Setahuku, kini orang-orang sakti yang mendukungnya tidaklah begitu mengkhawatirkan. Mereka hanyalah Pat-chiu Lo-mo, Hui-eng-to Phang Houw, dan Liong-bu-pangcu Louw Cin dengan anak buahnya, para anggota Liong-bu-pang."
"Hemm, kalau begitu, dia bukan merupakan saingan berat, Pangeran." Pangeran Cu Kiong menghela napas panjang. "Bagi kami dia tetap berbahaya karena sekarang kami tidak lagi mempunyai pendukung yang kuat. Dahulu kami mempunyai Kam-keng Chit-sian, akan tetapi kini tinggal dua orang saja, yaitu Thio Kwan dan Yu Kok Lun yang telah kaurobohkan tadi.
Juga para pejabat tinggi yang mendukungku tidak sebanyak mereka yang mendukung Pangeran Leng. Karena itulah maka kami menghubungi Jenderal Wu Sam Kwi dan mengajak bekerja sama." Melihat wajah pangeran itu tampak muram, Ang-mo Niocu berkata ramah dan menghibur. "Jangan putus asa, Pangeran.
Tidak percuma Paduka mengajak kami bekerja sama. Saya kira, hal yang terpenting bagi Paduka sekarang adalah menyingkirkan Pangeran Leng. Kalau dia sudah tidak menjadi penghalang lagi, maka kita dapat mencurahkan semua tenaga dan perhatian untuk menghadapi Pangeran Mahkota yang dilindungi Pangeran Bouw. Kita tunggu saja kedatangan Suhu dan Susiok-couw. Percayalah, semua pasti beres dan akhirnya Paduka pasti akan menang dan dapat menguasai tahta Kerajaan Ceng." Hati Pangeran Cu menjadi lega dan girang sekali. "Ah, Niocu, kalau benar kata-katamu dan aku dapat mencapai citacitaku menjadi Kaisar menggantikan Ayahanda, aku tidak akan melupakan jasamu yang besar dan apa pun yang kau minta, pasti akan kupenuhi!" Mendengar ini, tentu saja Ang-mo Niocu menjadi girang sekali. Pangeran ini lebih gagah dan lebih tampan dibanding Wu Kongcu atau Wu Kan putera Raja Muda Wu Sam Kwi, apalagi kalau Pangeran Cu dapat menjadi kaisar, tentu kedudukannya menjadi yang paling t inggi.
"Benarkah janji itu, Pangeran?"
"Tentu saja benar, dan janji seorang calon kaisar pasti tidak akan dilanggar. Katakan, apa yang kauminta kalau kelak perjuangan kita berhasil?"
"Maaf, Pangeran, tentu Paduka sudah mempunyai isteri, seorang calon permaisuri, bukan?" tanya gadis itu sambil mengerling tajam penuh arti dan tersenyum manis.
Pangeran Cu Kiong tertawa. "Ha-ha, aku belum mempunyai isteri, hanya ada beberapa orang selir, Niocu. Apa maksudmu menanyakan hal itu?" Wajah yang manis itu berubah kemerahan. "Aih, tidak apaapa, Pangeran, saya hanya... eh, saya juga belum menikah...."
"Ha-ha-ha! Benarkah itu yang kelak kauminta itu? Engkau ingin menjadi isteriku, menjadi calon permaisuri?"
"Seorang manusia harus memiliki cita-cita yang tinggi, Pangeran. Kalau Paduka bercita-cita menjadi kaisar, apa salahnya kalau saya juga bercita-cita menjadi permaisuri?" Pangeran Cu Kiong gembira sekali. Dia bangkit dan maju merangkul gadis itu dan menciumnya. Ang-mo Niocu tidak menolak bahkan membalas dengan mesra.
"Jangan khawatir, Niocu... eh, siapakah namamu, manis?"
"Nama saya Yi Hong, Pangeran."
"Yi Hong, aku berjanji bahwa kalau kelak engkau berhasil membantu aku menjadi kaisar, engkau akan kuangkat menjadi permaisuriku. Mari kuperkenalkan dengan para selir dan pelayan di istanaku ini, Hong-moi (Dinda Hong)!" Cu Kiong menggandeng tangan gadis itu dengan mesra dan diajaknya masuk ke bagian dalam gedung itu. Dia memperkenalkan Yi Hong atau Ang-mo Niocu kepada lima orang selirnya yang kesemuanya masih muda dan cantik, dan memperkenalkan pula kepada para pelayan dan pengawal sebagai tunangannya! Dia memerintahkan kepada mereka semua agar menghormati dan menaati semua perintah gadis itu.
"Semua perintah Niocu harus ditaati seperti perintahku sendiri," katanya. "Siapa melanggar akan dihukum berat." Diam-diam Thio Kwan dan Yu Kok Lun menjadi terkejut sekali. Tadi mereka bersikap kurang hormat kepada gadis itu dan untung mereka tidak menerima hukuman berat.
Tentu saja Ang-mo Niocu Yi Hong sendiri tidak pernah menduga bahwa pangeran yang tampan dan cerdik itu hanya hendak memanfaatkan dirinya sebagai kekasih yang menggairahkan dan sebagai pembantu yang memiliki ilmu silat tinggi. Sedikit pun tidak ada niat di hati Pangeran Cu Kiong untuk mengambil seorang gadis kang-ouw yang liar dan kasar sepertinya, apalagi yang bersuku bangsa Yao, menjadi permaisuri kelak kalau dia berhasil menjadi kaisar! (Oo-dwkz-jTn-oO) Belasan hari kemudian. Suasana berkabung masih meliputi kota raja. Dalam masa perkabungan selama seratus hari itu tidak ada penduduk yang berani mengadakan pesta dan bersenang-senang. Bahkan mereka yang hendak mengadakan perayaan pernikahan anak mereka pun terpaksa diundur sampai lewatnya masa perkabungan kematian kaisar itu.
Pangeran Leng Kok Cun, seperti juga Pangeran Cu Kiong, merasa penasaran dan marah sekali. Semua usahanya telah gagal sama sekali. Memang, usahanya membunuh ayahnya sendiri yang dilakukan Thaikam Boan, berhasil. Kaisar terbunuh dan Thaikam Boan dapat melarikan diri sehingga tidak tertawan dan t idak membongkar rahasianya, akan tetapi hasilnya sama saja. Sama sekali tidak menguntungkan baginya. Malah lebih payah lagi. Ternyata ayahnya meninggalkan surat wasiat yang mengangkat Pangeran Kang Shi menjadi pengganti Kaisar! Dan lebih celaka lagi, dia tidak dapat memaksa agar dirinya dijadikan pelindung dan pendamping adiknya, Pangeran Kang Shi yang masih kecil itu.
Yang menjadi halangan adalah Pangeran Bouw Hun Ki, dan tentu saja Ciu Thian Hwa! Sialan, ayahnya sebelum mati memberi Tek-pai kepada Ciu Thian Hwa sehingga gadis itu dapat mempengaruhi semua orang yang takut kepada pemegang Tek-pai. Dan dia pun kembali tidak berdaya! Kini, harapan menjadi pengganti Kaisar lenyap, bahkan harapan menjadi pendamping adiknya pun sia-sia! Dia marah sekali dan memutar otak untuk mencari jalan yang baik agar ambisinya tercapai.
Malam itu gelap sekali. Tidak ada bulan, ditambah adanya awan mendung membuat malam itu gelap gulita karena tiada bintang yang tampak. Langit merupakan kehitaman pekat dan hanya sekali-kali saja tampak cahaya halilintar disusul suara guntur yang terdengar lapat-lapat saking jauhnya.
Pangeran Leng Kok Cun mengadakan rapat dengan para pembantunya di ruangan tertutup dalam gedungnya. Yang hadir adalah Pat-chiu Lo-mo, kakek berusia enam puluh tiga tahun yang tubuhnya kurus bongkok dan mukanya buruk. Patchiu Lo-mo ini bernama Cio Kiat, seorang tokoh sesat dunia kang-ouw di bagian Utara. Senjatanya adalah sebatang tongkat, sebuah Yang-liu-san (Kipas Cemara) dan beberapa buah hui-to (pisau terbang) terselip di pinggangnya. Tokoh ini memang merupakan pembantu setia sejak dulu dari Pangeran Leng dan dialah yang mencarikan jagoan-jagoan yang mau mendukung Pangeran Leng dengan janji yang muluk-muluk kalau usaha pangeran itu berhasil.
Orang kedua yang hadir adalah seorang pembantu baru.
Tokoh ini seorang datuk besar yang amat lihai, berjuluk Bu-lim Sai-kong (Kakek Singa Rimba Persilatan). Usianya sekitar enam puluh tahun, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, rambut kepalanya kemerahan terurai sebagian menutupi mukanya yang merah sehingga muka itu mirip muka seekor singa. Di pinggangnya tergantung sebatang golok gergaji besar dan Bu-lim Sai-kong ini selain memiliki tenaga besar dan ilmu goloknya berbahaya sekali, juga dia memiliki tenaga besar dan ilmu goloknya berbahaya sekali, juga dia memiliki sin-kang yang kuat dan mahir pula menggunakan ilmu sihir.
Dia amat dihormati Pat-chiu Lo-mo yang berhasil menariknya untuk membantu Pangeran Leng karena Pat-chiu Lo-mo yang lihai itu maklum bahwa tingkat kepandaian Si Muka Singa ini jauh lebih kuat dan lebih tangguh daripada tingkat kepandaiannya sendiri! Adapun dua orang lagi yang hadir adalah Phang Houw yang berjuluk Hui-eng-to (Golok Garuda Terbang) karena dia terkenal dengan ilmu goloknya Hui-engto-hoat yang cukup dahsyat. Tubuhnya gemuk pendek dengan wajah bundar kekanak-kanakan, akan tetapi gerak-geriknya sombong. Dan seorang bertubuh tinggi kurus, usianya sebaya dengan Phang Houw, sekitar empat puluh empat tahun. Si Tinggi Kurus ini bernama Louw Cin dan dia adalah ketua perkumpulan Liong-bu-pang dari kota Tui-lok. Dia pun sudah lama bergabung dengan Pat-chiu Lo-mo, bahkan mengerahkan anak buahnya para anggota Liong-bu-pang sebanyak kurang lebih lima puluh orang yang selalu bersiap membantu Pangeran Leng. Louw Cin ini terkenal dengan senjata ruyung besinya yang berduri dan tampak menyeramkan.
Mereka berlima duduk mengelilingi sebuah meja besar, berunding sambil minum-minum. Pangeran Leng sudah mengambil keputusan nekat. Malam itu dia akan mengerahkan para pembantunya untuk membunuh Pangeran Bouw Hun Ki dan Ciu Thian Hwa, karena dua orang inilah yang merupakan penghalang utama sehingga dia tidak dapat menguasai kerajaan dengan menjadi pendamping dan penasihat adiknya yang diangkat menjadi kaisar, yaitu Pangeran Kang Shi yang masih kecil. Kalau dia dapat menjadi pelindung atau pendamping calon kaisar yang masih kanak-kanak itu, sama saja dengan dia sendiri yang menjadi kaisar dan memimpin pemerintah. Kalau sudah begitu, segala hal dapat dia atur sesukanya, bahkan mudah saja untuk kemudian melenyapkan Kaisar Kang Shi yang masih kanak-kanak sehingga dia sebagai kakaknya tentu dapat menggantikannya menjadi kaisar, apalagi kalau dia sudah menjadi pendamping kaisar! Perebutan kekuasaan terjadi di mana-mana. Setiap orang memiliki keinginan untuk mendapat kekuasaan, baik hal itu terjadi di dalam keluarga, di dalam masyarakat, perkumpulan, perusahaan, di antara karyawan, sampai ke para pembesar dan pejabat. Untuk memperebutkan kekuasaan, manusia dapat bertindak apa saja. Tujuan menghalalkan segala cara! Untuk mencapai tujuan itu, segala cara licik dan kejam dilakukan orang. Bahkan terjadi saling bunuh antara saudara, antara bangsa, sampai menjalar kepada perang antar bangsa.
Semua demi memperoleh kekuasaan! Yang menang itu berkuasa, dan yang berkuasa itu pasti benar dan senang. Jadi, memperebutkan kekuasaan itu pada hakekatnya untuk mencari kesenangan dan kesenangan biasanya bisa diperoleh dengan uang. Dengan sendirinya, permusuhan, perang, perebutan kekuasaan itu tiada lain hanyalah memperebutkan harta karena harta mendatangkan kesenangan! Andaikata kekuasaan yang diperebutkan itu tidak mendatangkan uang, adakah kiranya orang yang memperebutkannya? Kedudukan atau kekuasaan sebagai pengurus perkumpulan sosial yang biasanya tidak mendatangkan keuntungan uang, tidak pernah diperebutkan, bahkan dia yang ditunjuk mencari berbagai alasan untuk menolaknya. Akan tetapi sebuah kedudukan atau kekuasaan yang akan mendatangkan banyak uang, pasti menjadi rebutan! Kekuasaan dapat membuat seseorang menjadi gila kekuasaan. Merasa dirinya paling atas dan biasanya hal ini mendatangkan ketinggian hati dan melahirkan tindakan sewenang-wenang. Terutama sekali, orang yang memegang kekuasaan selalu dirubung penjilat-penjilat yang ingin mendapatkan bagian dari keuntungannya berupa harta.
Kenyataan seperti ini terdapat di sepanjang jaman dan terjadi pada para penguasa, sejak jaman dahulu sampai sekarang.
jilid X
PANGERAN Leng Kok Cun sering membayangkan betapa senangnya kalau dia menjadi kaisar. Segala keinginannya pasti terkabul, segala perintahnya pasti ditaati orang. Kehormatan, kemuliaan, kemewahan, akan berlimpah memenuhi kehidupannya setiap hari. Ingin memuaskan mata menikmati pemandangan indah, tinggal perintah dan para pembantunya akan menyediakannya. Ingin memuaskan telinga menikmati pendengaran merdu, ingin memuaskan penciuman menikmati harum-haruman, ingin memuaskan mulut menikmati makanan apa saja, semua tinggal perintah dan pasti akan terlaksana.
Ingin wanita cantik yang mana pun, tinggal menggapai pasti akan dimilikinya. Membayangkan segala kesenangan ini membuat Pangeran Leng semakin bernafsu untuk meraihnya, kalau perlu dengan jalan apapun juga. Membunuh atau menyuruh bunuh ayah kandung sendiri pun sudah dia lakukan! Pangeran Leng lupa atau buta akan kenyataan, seperti semua orang yang sedang dilanda nafsu keinginan mendapatkan sesuatu, bahwa bayangan dan kenyataan itu berbeda jauh, seperti bumi dengan langit. Lupa bahwa segala macam bayangan kesenangan itu akan hilang tidak ada artinya kalau dia terserang penyakit yang paling sederhana sekalipun, seperti misalnya sakit gigi, kepala pening, sakit perut, sakit mata, dan sebagainya. Semua kesenangan itu tidak akan dapat dinikmati lagi, kalah oleh kesengsaraan sebuah penyakit yang paling sederhana! Juga lupa bahwa segala macam bentuk kesenangan, baik itu yang dinikmati melalui mata, telinga, hidung, mulut dan indera lainnya, akan mendatangkan kebosanan. Yang paling dapat menikmati sesuatu adalah dia yang belum memiliki sesuatu itu, dinikmati benar melalui pikiran yang membayangkannya. Akan tetapi kalau sesuatu itu telah dimilikinya, maka yang datang adalah kebosanan. Semua kesenangan duniawi, kesenangan badani pasti mendatangkan kebosanan karena nafsu keinginan itu menjangkau yang lain lagi, yang belum dimilikinya! Yang sudah terdapat menjadi bosan dan yang tampak nikmat dan indah adalah sesuatu yang belum didapat! Beginilah ulah nafsu keinginan! Berbahagialah orang yang dapat menikmati APA ADANYA, menikmati saat demi saat, apa pun yang terjadi padanya, apa pun yang diperolehnya, yang selalu bersukur dan memuji nama Yang Maha Kasih atas apa saja yang terjadi padanya dan menerimanya sebagai karunia yang dianugerahkan kepadanya, tanpa memperhitungkan untung rugi atau enak tidak enak! Seperti yang telah disepakati, menjelang tengah malam, Pat-chiu Lo-mo, Bu-lim Sai-kong, Hui-eng-to Phang Houw, Louw Cin dan sekitar lima puluh orang anggota Liong-bu-pang berangkat menuju gedung tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki. Tugas mereka adalah untuk membunuh Pangeran Bouw Hun Ki dan Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa! Semula Pangeran Leng Kok Cun memang merasa ragu. Dia maklum betapa kuatnya mereka yang berada di gedung Pangeran Bouw Hun Ki. Akan tetapi Pat-chiu Lo-mo menghiburnya.
"Jangan khawatir, Pangeran. Dengan adanya Bu-lim Saikong, yakinlah bahwa malam nanti Pangeran Bouw Hun Ki pasti akan mampus! Adapun tentang diri Huang-ho Sian-li, biarpun ia merupakan lawan yang cukup tangguh, namun saya yakin kami berdua pasti sanggup membunuhnya. Pula, siasat kita akan membuat mereka itu terpencar sehingga menjadi lemah."
"Hoa-ha-ha! Pangeran, percayalah kepada saya! Sekali Bulim Sai-kong bergerak, pasti musuh akan terpenggal lehernya oleh golok saya ini, ha-ha-ha!" Mereka berangkat dengan terpencar, kegelapan malam itu melindungi mereka sehingga mereka dengan mudah dapat tiba di luar tembok pagar gedung tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki. Sesuai dengan siasat yang sudah mereka atur dan rencanakan sebelumnya secara masak, Pang Houw dan Louw Cin memimpin kurang lebih lima puluh orang anak buah Liong-bu-pang. Sebagian, dipimpin oleh Pang Houw, melepas anak panah berapi ke arah belakang, kanan dan kiri gedung sehingga tak lama kemudian terjadi kebakaran di tiga tempat itu.
Setelah terjadi kebakaran dan terdengar kegemparan di sebelah dalam, Louw Cin memimpin anak buahnya untuk menyerbu ke pintu gerbang. Diserang secara serentak dalam kegelapan itu, para prajurit yang melakukan penjagaan di gedung itu menjadi panik juga. Jumlah para petugas yang bergilir hanya sekitar tiga puluh orang, ini pun dibagi. Ada yang bertugas di pintu gerbang, ada yang bertugas di sekeliling rumah dan ada yang meronda. Maka sekitar lima belas orang yang bertugas jaga di pintu gerbang, tentu saja terkejut ketika diserbu puluhan orang yang bersenjata ruyung semua. Memang semua anggota Liong-bu-pang bersenjata ruyung seperti ketua mereka.
Seluruh isi gedung Pangeran Bouw Hun Ki menjadi sibuk.
Sebagian prajurit memadamkan kebakaran di t iga bagian, dan sisanya menyambut serbuan musuh. Kini, anak buahnya yang dipimpin Phang Houw, sudah membantu kawan-kawan mereka pula, menyerbu di pintu gerbang sehingga terjadi pertempuran yang tidak seimbang. Lima puluh orang mendesak lima belas orang prajurit! Akan tetapi, tiba-tiba muncul empat orang muda yang amat dahsyat gerakan mereka. Mereka adalah Bu Kong Liang yang mengamuk dengan siang-kek (sepasang tombak pendek bercagak) didampingi Bouw Kun Liong yang bersenjata siangkiam (sepasang pedang), dan Bouw Hwi Siang yang bersenjata siang-kiam pula didampingi Gui Siang Lin yang juga bersenjata siang-kiam. Munculnya empat orang muda lihai ini membuat para penyerang menjadi kocar-kacir.
Dengan marah Pang Houw menerjang dengan goloknya.
Dia disambut Bu Kong Liang yang sudah menggerakkan sepasang tombak pendeknya. Tombak kiri menangkis bacokan golok, dan tombak kanan membalas dengan tusukan ke arah perut. Phang Houw terkejut ketika merasa betapa tangannya yang memegang golok tergetar hebat oleh tangkisan itu dan cepat dia melangkah mundur dan memutar tubuh untuk menghindarkan diri dari tusukan tombak pendek. Goloknya lalu berkelebat menyambar lagi namun selalu serangannya dapat ditangkis oleh Bu Kong Liang. Segera mereka berdua bertanding dengan mati-matian.
Liong-bu-pangcu Louw Cin juga penasaran. Bagaimanapun juga dia mengandalkan jumlah anak buahnya yang lebih banyak. Tadi dia mengamuk, akan tetapi melihat di pihak musuh muncul dua orang gadis dan dua orang pemuda yang lihai gerakannya, dia cepat maju untuk membantu Phang Houw. Akan tetapi ruyungnya bertemu dengan sebatang pedang di tangan kiri Bouw Kun Liong.
"Tranggg...!" Bunga api berpijar dan Louw Cin terdorong mundur dua langkah. Dia terkejut sekali karena dari tangkisan tadi dia maklum bahwa lawan ini seorang pemuda yang memiliki tenaga yang amat kuat. Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk berdiam diri karena sepasang pedang di tangan Bouw Kun Liong kini menyambar-nyambar bagaikan dua ekor naga mengamuk. Louw Cin melawan sekuat tenaga dan mereka berdua pun bertanding dengan seru dan matimatian.
Sementara itu, dua orang gadis cantik yang gagah perkasa itu, Bouw Hwi Siang dan Gui Siang Lin, mengamuk bagaikan dua ekor harimau betina yang dikeroyok banyak anjing srigala.
Mereka menubruk ke kanan kiri dan depan, terkadang memutar tubuh dan pedang mereka membentuk-sinar bergulung-gulung. Terkadang ada lawan terkena sambaran sinar itu dan dia roboh mandi darah. Pertempuran itu terjadi di pekarangan yang hanya diterangi lampu gantung di depan gardu sehingga cuacanya remang-remang. Hal ini malah menyukarkan bagi para pengeroyok karena gerakan dua orang gadis itu lincah dan cepat sekali.
Pada saat itu, di sebelah dalam gedung, di ruangan yang luas terjadi pula perkelahian yang tidak kalah hebatnya. Tadi, melihat anak buahnya sudah berhasil melakukan pembakaran dan menyerbu pintu gerbang, Pat-chiu Lo-mo dan Bu-lim Saikong segera melompati pagar tembok dan mereka berhasil memasuki gedung dari atas atap. Akan tetapi saat itu semua penghuni gedung sudah terbangun oleh keributan itu.
Pangeran Bouw Hun Ki yang maklum bahwa ada penjahat menyerbu dan mereka itu tentu bermaksud membunuh Pangeran Mahkota, cepat mengajak Pangeran Kang Shi memasuki sebuah ruangan rahasia yang sengaja dibangun untuk menyembunyikan Pangeran Mahkota dari ancaman bahaya. Pangeran Bouw Hun Ki tinggal di situ, bersembunyi bersama Pangeran Mahkota. Akan tetapi Bouw Hujin dan Ciu Thian Hwa menduga bahwa yang diincar para penyerbu itu sudah pasti Pangeran Mahkota Kang Shi, maka keduanya cukup membiarkan Bu Kong Liang, Bouw Kun Liong, Gui Siang Lin, dan Bouw Hwi Siang berempat membantu para prajurit pengawal menghadapi serbuan para penjahat, sedangkan mereka berdua siap dan waspada menjaga ruangan tengah yang luas di mana terdapat pintu tembusan rahasia ke tempat persembunyian Pangeran Kang Shi.
Dua orang wanita perkasa ini sama sekali tidak mengira bahwa dugaan mereka sekali ini keliru. Bukan Pangeran Kang Shi yang menjadi sasaran pembunuhan, melainkan Pangeran Bouw Hun Ki dan Ciu Thian Hwa yang dianggap sebagai penghalang tercapainya niat Pangeran Leng untuk menjadi pendamping adiknya, Pangeran Kang Shi kalau nanti dinobatkan sebagai kaisar! Ketika ada dua sosok bayangan melayang turun dari atas atap dan memasuki ruangan yang luas itu, Bouw Hujin dan Thian Hwa masih mengira bahwa dua orang itu tentu hendak mencari Pangeran Kang Shi. Thian Hwa segera mengenal seorang dari mereka yang bukan lain adalah Pat-chiu Lo-mo, musuh lama yang pernah ia lawan ketika ia dahulu membantu Pangeran Cu Kiong yang pada waktu itu disangkanya seorang yang baik budi. Bahkan dalam pertandingan yang seru, ia berhasil mengalahkan Pat-chiu Lo-mo walaupun tidak sampai membunuhnya. Adapun orang ke dua yang muncul bersama Pat-chiu Lo-mo sama sekali tidak dikenalnya. Laki-laki berusia enam puluh tahun itu tampak menyeramkan dengan mukanya yang seperti muka singa, rambut merah riap-riapan, tubuh tinggi dan kekar. Juga Bouw Hujin yang dahulu seorang pendekar wanita, belum pernah melihatnya.
"Pat-chiu Lo-mo jahanam busuk! Engkau tentu utusan Pangeran Leng untuk melakukan kejahatan, akan tetapi sekarang aku tidak akan mengampuni dan membiarkanmu hidup!" Thian Hwa membentak marah dan menudingkan pedangnya ke arah muka kakek kurus bongkok itu.
Pat-chiu Lo-mo merasa jerih terhadap Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa yang sudah dia kenal kelihaiannya. Dia lebih memandang rendah kepada Nyonya Bouw Hun Ki. Walaupun dia sudah mendengar bahwa isteri Pangeran Bouw ini juga seorang wanita yang memiliki kepandaian silat tinggi, namun dia menganggap mustahil kalau ia lebih lihai daripada Huangho Sian-li. Maka dia memberi isyarat kepada Bu-lim Sai-kong agar kawannya itu menghadapi Huang-ho Sian-li dan dia yang akan melawan Bouw Hujin.
Akan tetapi Bu-lim Sai-kong yang berwatak sombong sekali dan menganggap bahwa di dunia ini dialah yang paling hebat, memandang rendah dua orang wanita itu dan dia tertawa.
Suara tawanya juga aneh, mirip singa mengaum, kepalanya didongakkan, mulutnya dibuka lebar dan terdengar auman yang menggetarkan jantung. Karena auman itu merupakan pengerahan kekuatan sihir atau ilmu hitam yang menggunakan tenaga berasal dari roh jahat, dan sengaja dikerahkan dan ditujukan kepada Bouw Hujin dan Thian Hwa, maka dua orang wanita itu tiba-tiba merasa betapa isi dada mereka terguncang dan kepala mereka menjadi pening dan kacau! Hampir saja Thian Hwa terpengaruh dan terbawa ikut tertawa dan kalau hal ini terjadi, maka berarti ia akan tunduk di bawah pengaruh Sai-kong itu. Akan tetapi tiba-tiba Bouw Hujin berseru nyaring.
"Segala ilmu setan tidak akan dapat mengganggu batin yang bersih!" Mendengar ini, Thian Hwa sadar bahwa dirinya diserang melalui suara tawa itu dengan ilmu sihir, maka cepat ia mengerahkan tenaga saktinya, memusatkan perhatian menolak pengaruh itu dan seketika pengaruh itu pun menghilang.
Bu-lim Sai-kong merasa penasaran melihat dua orang wanita itu tidak dapat dia pengaruhi, maka dia cepat berkemak-kemik membaca mantera, lalu mengangkat kedua tangannya ke atas seperti kedua kaki depan biruang hendak menerkam. Matanya mencorong seperti mengeluarkan api dan dia berkata dengan suara yang menggelegar.
"Kalian dua orang wanita lemah, hayo berlututlah di depan Bu-lim Sai-kong!" Dari kedua tangannya itu seolah keluar hawa yang bergetar kuat.
Kembali Huang-ho Sian-li merasa seolah-olah kedua lututnya gemetar dan hampir saja ia benar-benar menjatuhkan diri berlutut. Kekuatan sihir Bu-lim Sai-kong memang hebat. Ia harus mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan pengaruh yang amat kuat itu. Untung baginya bahwa Bouw Hujin berada di situ. Nyonya Bouw ini jauh lebih berpengalaman dibandingkan Thian Hwa dalam menghadapi serangan sihir macam itu.
Ketika Bu-lim Sai-kong menyerang dengan sihir untuk kedua kalinya, Bouw Hujin tidak sabar lagi.
"Pergilah!" bentaknya, dan dari tangannya menyambar tiga sinar putih ke arah Sai-kong itu. Ternyata jalan pikiran Nyonya Bouw sama dengan Thian Hwa karena Huang-ho Sian-li ini juga sudah menyambitkan Pek-hwa-ciam ke arah Pat-chiu Lomo. Hampir berbareng, tiga buah Gin-seng-piauw (Piauw Bintang Perak) dan tiga batang Pek-hwa-ciam (Jarum Bunga Putih) meluncur ke arah Bu-lim Sai-kong dan Pat-chiu Lo-mo! Akan tetapi dua orang kakek itu juga bukan orang sembarangan. Pat-chiu Lo-mo sudah berhasil menyampok atau mengebut tiga batang jarum yang dilepas Thian Hwa dengan Yang-liu-san (Kipas Cemara) yang berada di tangan kirinya. Sedangkan Sai-kong itu pun sudah berhasil menangkis tiga buah Gin-seng-piauw dengan golok besar di tangan kanannya.
Melihat ilmu sihirnya tidak mampu menundukkan dua orang wanita itu, baru Bu-lim Sai-kong menyadari bahwa dia berhadapan dengan dua orang wanita yang lihai, terutama Nyonya Bouw. Maka setelah menangkis Gin-seng-piauw, dia langsung saja menyerang nyonya itu. Bouw Hujin juga sengaja menghadapi kakek muka singa ini karena dia dapat menduga bahwa Si Muka Singa inilah yang merupakan lawan berbahaya. Mungkin kalau bertanding ilmu silat, belum tentu Thian Hwa akan kalah karena tingkat kepandaian gadis Dewi Sungai Kuning itu tidak jauh selisihnya dengan tingkat kepandaiannya sendiri. Akan tetapi agaknya Thian Hwa belum begitu kuat menghadapi serangan ilmu sihir. Maka melihat Sai-kong itu menggerakkan goloknya yang menyeramkan, golok yang besar dan berat dengan punggung golok berbentuk gergaji, Bouw Hujin cepat memainkan sepasang pedangnya dengan Bu-tong Kiam-sut (Ilmu Pedang Bu-tongpai) yang terkenal indah dan juga lembut namun kuat sekali.
Menghadapi golok besar yang digerakkan tenaga raksasa itu, Bouw Hujin cepat memainkan kedua pedangnya dengan ilmu pedang Thai-kek-kiam dari Bu-tong-pai.
"Mampus kau!" Bu-lim Sai-kong membentak, bentakan yang tetap mengandung getaran hebat ilmu sihir yang sudah merupakan serangan pendamping, lalu goloknya menyambar dari kanan ke kiri mengarah ke leher Bouw Hujin.
Bouw Hujin bergerak cepat, menggunakan jurus Yancupok-cui (Burung Walet Menyambar Air), ia merendahkan tubuhnya, agak membungkuk, pedang kanan melintang depan kedua kakinya, pedang kiri diacungkan ke atas, lalu pedang kanan cepat menyambar ke atas membalas dengan tusukan dari bawah ke arah tenggorokan lawan sambil berdiri dengan kaki kanan, kaki kiri mengangkat lututnya.
Gerakannya lembut namun mengandung tenaga sin-kang dan tahu-tahu pedangnya sudah meluncur ke arah tenggorokan Bu-lim Sai-kong. Kakek muka singa ini cepat menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaga untuk membuat pedang itu terpental. Namun, seperti hidup pedang itu mengelak sehingga tidak sampai terpukul golok yang besar dan berat. Perkelahian berlangsung seru dan menegangkan.
Gerakan Bu-lim Sai-kong bagaikan seekor harimau yang kuat dan kasar, menubruk dan mencengkeram, akan tetapi Bouw Hujin bergerak perlahan, seolah tanpa tenaga, terkadang diam, bagaikan seekor ular yang menghadapi serangan harimau yang kasar. Biarpun gerakannya perlahan, namun waspada dan semua serangan dapat dihindarkan dengan baik, bahkan serangan balasannya terjadi cepat dan tidak terdugaduga sehingga sering kali Bu-lim Sai-kong berseru kaget.
Sementara itu, Thian Hwa yang marah sekali melihat musuh besarnya, sudah menerjang Pat-chiu Lo-mo dengan ilmu pedang Huang-ho Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sungai Kuning) yang khas. Ilmu pedang ini gubahan Thian Bong Sianjin, merupakan perkembangan dari Kwan-im Kiam-hoat (Ilmu Pedang Dewi Kwan Im). Pat-chiu Lo-mo yang memang sudah merasa jerih menghadapi Thian Hwa, segera terdesak hebat walaupun dia sudah melawan mati-matian dengan tongkatnya dan kipasnya. Kakek kurus bongkok ini bahkan merasa terkejut karena dibandingkan sekitar dua tahun yang lalu, gadis ini ternyata kini jauh lebih lihai lagi! Dia tentu saja tidak tahu bahwa gadis ini telah memperdalam lagi ilmu silatnya di bawah gemblengan gurunya yang juga menjadi kakek angkatnya! Lebih panik lagi hatinya ketika dia sempat melirik ke arah temannya, ternyata Bu-lim Sai-kong yang amat dia andalkan, yang sudah membuka mulut besar meyakinkan hati Pangeran Leng bahwa mereka berdua pasti dapat membunuh Pangeran Bouw Hun Ki dan Huang-ho Sian-li, sekarang juga terdesak hebat oleh Bouw Hujin yang agaknya tidak kalah lihai dibandingkan Huang-ho Sian-li! Setelah bertanding selama tiga puluh jurus lebih dan mereka berdua semakin terdesak, Pat-chiu Lo-mo maklum bahwa tugasnya telah gagal dan kalau mereka tidak cepat pergi, akan berbahaya sekali bagi mereka.
"Sai-kong, kita pergi!" katanya dan dia membanting sebuah benda seperti bola yang meledak dan mengeluarkan asap hitam bergumpal-gumpal!
"Tahan napas dan kejar!" Bouw Hujin berseru.
Thian Hwa maklum dan ia pun cepat menerjang asap dan melakukan pengejaran bersama Nyonya Bouw. Melihat dua bayangan kakek itu lari ke arah taman, mereka mengejar terus.
Tiba-tiba ada dua sinar menyambar ke arah Bouw Hujin dan Thian Hwa. Ternyata itu adalah hui-to (pisau terbang) beracun yang disambitkan Pat-chiu Lo-mo. Namun dengan mudah dua orang wanita perkasa itu menangkis dengan pedang mereka, lalu seperti diingatkan oleh serangan hui-to tadi, mereka menyerang sambil mengejar, menyambitkan senjata rahasia mereka dengan gencar. Pek-hwa-ciam yang disambitkan Thian Hwa menjadikan Pat-chiu Lo-mo sebagai sasaran, sedangkan Gin-seng-piauw dari Nyonya Bouw menyerang Bu-lim Sai-kong.
Tiba-tiba Pat-chiu Lo-mo berteriak dan tubuhnya terpelanting. Melihat kawannya roboh, Bu-lim Sai-kong cepat menyambar tubuh kawannya yang terluka dan melemparkan dengan tenaga yang kuat sekali ke arah kedua orang wanita yang mengejarnya! Bouw Hujin dan Thian Hwa terkejut. Cepat mereka mengelak dan pedang mereka berkelebat. Tubuh Pat-chiu Lomo roboh dan tewas karena terbabat pedang dua orang wanita perkasa itu. Akan tetapi bayangan Bu-lim Sai-kong sudah hilang dalam kegelapan malam. Mereka maklum bahwa tidak ada gunanya mengejar dalam gelap, maka mereka lalu cepat berlari ke arah dalam istana dan kemudian ke halaman.
Ternyata para penyerbu itu sudah roboh semua. Banyak yang tewas dan yang tertangkap mengaku bahwa mereka adalah anak buah Liong-bu-pang yang dipimpin oleh Phang Houw dan Louw Cin yang juga tewas di tangan Bouw Kun Liong dan Bu Kong Liang. Tadi, Bouw Hwi Siang dan Gui Siang Lin juga mengamuk bagaikan dua ekor naga betina, merobohkan banyak penyerbu. Di pihak Pangeran Bouw, terdapat beberapa orang prajurit yang tewas.
Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa memaksa mereka yang tertawan untuk mengaku, siapa yang mengirim mereka dan apa maksud serbuan itu. Mereka tidak berani menyangkal lagi dan mengatakan bahwa penyerbuan itu adalah siasat yang direncanakan Pangeran Leng Kok Cun bersama Pat-chiu Lomo, Bu-lim Sai-kong, Phang Houw dan Louw Cin dengan maksud membunuh Pangeran Bouw Hun Ki dan Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa!
"Hemm sekarang kesempatan bagiku untuk menangkap pengkhianat itu!" kata Thian Hwa marah di depan Pangeran Bouw yang sudah keluar dari persembunyiannya, dan yang lain-lain. Gadis ini marah sekali.
"Akan tetapi engkau harus membawa Tek-pai itu agar dia mau menyerahkan diri tanpa harus menggunakan kekerasan, Thian Hwa," kata Pangeran Bouw Hun Ki.
"Baik, Paman Pangeran," kata Thian Hwa lalu malam itu juga ia pergi seorang diri dengan cepat menuju ke gedung tempat tinggal Pangeran Leng Kok Cun. Bouw Hujin tidak melarang karena wanita ini percaya akan kemampuan Thian Hwa. Para prajurit lalu dikerahkan mengurus mayat-mayat dan membawa musuh yang masih hidup menjadi tawanan ke penjara.
(Oo-dwkz-jTn-oO) Pada malam hari itu, sebelum kaki tangan Pangeran Leng Kok Cun menyerbu gedung Pangeran Bouw, di gedung Pangeran Cu Kiong, pangeran itu bersama Ang-mo Niocu yang sudah menjadi kekasih barunya mengadakan pesta makan minum menyambut kedatangan dua orang penting utusan Jenderal Wu Sam Kwi. Mereka adalah Lam-hai Cin-jin, guru Ang-mo Niocu, dan seorang lagi yang bernama Ngo-heng Kuiong. Mereka sengaja datang sebagai utusan Jenderal Wu Sam Kwi, menyusul Ang-mo Niocu yang berangkat lebih dulu, dan mereka ditugaskan membantu Pangeran Cu Kiong yang kini menjadi sekutu Jenderal Wu Sam Kwi.
Lam-hai Cin-jin, Datuk Selatan ini adalah guru Ang-mo Niocu. Dia seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun dan dia menjadi orang kepercayaan Wu Sam Kwi, bahkan memiliki kedudukan sebagai Koksu (Guru Negara) dari pemerintahan Wu Sam Kwi yang berada di Yunnan-hu. Lamhai Cin-jin ini bertubuh pendek dengan perut gendut sekali, mukanya kekanak-kanakan. Akan tetapi sesungguhnya dia adalah seorang yang sakti dan lihai, memiliki ilmu pukulan beracun yang disebut Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam).
Selain ahli racun yang pandai, Lam-hai Cin-jin juga memiliki ilmu silat tinggi dan tenaga sin-kang yang kuat. Senjatanya berupa ruyung berduri amat berbahaya dan dahsyat.
Orang ke dua yang berjuluk Ngo-beng Kui-ong (Raja Setan Lima Nyawa) lebih menyeramkan lagi. Usianya sudah sekitar delapan puluh tahun dan dia adalah susiok (paman guru) dari Lam-hai Cin-jin. Wajahnya kurus dan pucat seperti mayat hidup, tubuhnya yang tinggi kurus itu dibungkus kain serba putih. Kakek tua renta ini tampaknya lemah, akan tetapi sesungguhnya dia memiliki ilmu yang tinggi. Ilmu silatnya aneh dan dahsyat karena mengandung tenaga sihir dan tenaga sakti, dan dalam hal racun, dia malah lebih lihai daripada Lam-hai Cin-jin.
Setelah mendengar semua penjelasan Ang-mo Niocu tentang keadaan di kota raja Kerajaan Ceng, dan tentang rencana yang telah diatur oleh gadis itu dan Pangeran Cu Kiong, dua orang kakek itu menjanjikan bahwa malam itu mereka pasti akan membunuh Pangeran Leng yang menjadi penghalang utama cita-cita Pangeran Cu Kiong. Pangeran Cu Kiong lalu menjamu dua orang itu dan mereka sedang makan minum dengan gembira ketika mereka mendengar bahwa para jagoan pembantu Pangeran Leng bersama anak buahnya malam itu menyerbu gedung Pangeran Bouw Hun Ki di mana terdapat Pangeran Mahkota Kang Shi.
"Aha, ini kesempatan yang amat baik!" Pangeran Cu Kiong berseru. "Pangeran Leng tentu mengerahkan seluruh jagoannya ke gedung Pangeran Bouw Hun Ki dan dia berada sendirian di gedungnya. Kesempatan baik sekali bagi kita untuk membunuhnya. Aku sendiri akan ikut ke sana!" Demikianlah, mereka semua pergi ke gedung Pangeran Leng. Pangeran Cu Kiong diikuti Lam-hai Cin-jin, Ngo-beng Kui-ong, Ang-mo Niocu, dan tidak ketinggalan Thio Kwan dan Yu Kok Lun.
Setelah tiba di pintu gerbang rumah gedung Pangeran Leng Kok Cun, mudah saja mereka masuk. Selain para prajurit penjaga mengenal dan takut kepada Pangeran Cu Kiong, juga mereka yang menentang dengan mudah dirobohkan oleh Thio Kwan dan Yu Kok Lun yang selalu memperlihatkan "kegagahan" dan kegarangannya kalau berhadapan dengan lawan yang lemah.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Pangeran Leng Kok Cun ketika dia melihat Pangeran Cu Kiong dan para pengikutnya memasuki ruangan di mana dia duduk dengan gelisah, menanti berita hasil penyerangan orang-orangnya ke gedung Pangeran Bouw Hun Ki. Dia melompat berdiri dan menyambar pedang yang berada di atas meja.
"Dinda Pangeran Cu Kiong! Apa maumu datang memasuki rumahku dengan rombongan seperti perampok ini?!" bentaknya marah.
Pangeran Cu tersenyum mengejek. "Pangeran Leng Kok Cun," katanya tanpa menyebut kakanda lagi. "Aku datang untuk menangkapmu. Engkau pengkhianat yang mengirim orang-orang untuk membunuh Adinda Pangeran Mahkota Kang Shi di rumah Paman Pangeran Bouw Hun Ki!" Wajah Pangeran Leng menjadi merah sekali saking marahnya. "Jahanam! Engkau sendiri bagaimana? Engkau juga ingin merebut tahta, engkau lebih pengkhianat, dan engkau hendak menangkap aku?" Setelah berkata demikian, dia menerjang maju hendak menyerang adik tirinya dengan pedangnya. Pangeran Cu Kiong cepat melompat ke belakang Lam-hai Cin-jin untuk berlindung karena dia maklum bahwa dalam hal ilmu silat, dia tidak akan menang melawan kakak tirinya ini yang jauh lebih lihai daripadanya.
Ketika Pangeran Leng hendak mengejar, tiba-tiba Ang-mo Niocu melompat ke depan dan cepat sekali tangannya digerakkan untuk memukul pundak Pangeran Leng. Pangeran ini marah dan cepat menggerakkan pedangnya untuk membabat putus lengan gadis itu. Akan tetapi, Ang-mo Niocu yang lihai malah menangkap pedang itu dengan tangannya dan pedang dalam genggamannya itu seperti melekat kuat pada telapak tangannya. Kemudian, selagi Pangeran Leng terkejut dan berusaha menarik lepas pedangnya, tangan kanan gadis itu bergerak menotok ke arah dada Pangeran Leng. Tanpa dapat mengeluarkan suara Pangeran Leng terkulai roboh dan tidak mampu bergerak lagi karena sudah tertotok jalan darahnya! Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar ruangan itu. Mendengar ini, cepat Pangeran Cu Kiong keluar untuk melihat apa yang terjadi. Dia merasa bahwa sebagai seorang pangeran dia akan dapat menguasai keluarga Pangeran Leng agar tidak melakukan perlawanan. Akan tetapi, setelah tiba di luar, dia melihat kejadian yang membuat wajahnya berubah pucat. Din melihat Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa sedang mengamuk, dikeroyok oleh belasan orang prajurit pengawal.
Dalam waktu sebentar saja semua pengeroyok itu roboh di tangan gadis yang gagah perkasa itu. Pangeran Cu cepat kembali ke ruangan tengah dan memberi-tahu para pembantunya akan kedatangan Huang-ho Sian-li.
"Kebetulan ia muncul, mungkin ingin menangkap Pangeran Leng. Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Tua Gagah), tolong tangkap hidup-hidup gadis itu!" Ang-mo Niocu menyentuh lengan pangeran itu. Dengan alis berkerut ia berbisik, "Pangeran, agaknya Paduka tertarik oleh kecantikan Huang-ho Sian-li?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar