09 Kemelut Kerajaan Mancu

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

"Ih, tidak begitu, Niocu. Ia mempunyai Tek-pai, ingat? Kita harus memanfaatkannya. Locianpwe Ngo-beng Kui-ong, tolong tangkaplah gadis itu hidup-hidup. Kami mempunyai rencana yang baik sekali untuk keuntungan kita!" Ngo-beng Kui-ong saling pandang dengan keponakan muridnya dan Lam-hai Cin-jin memandang muridnya. Ang-mo Niocu mengangguk sebagai isyarat bahwa ia setuju dengan permintaan Pangeran Cu.

"Mundurlah, Pangeran. Biar kami menangkapnya dan tunggu sampai ia masuk ke sini, dengan demikian ia tidak akan mampu meloloskan diri," kata Lam-hai Cin-jin.

Pangeran Cu lalu menyeret tubuh Pangeran Leng yang tidak mampu bergerak atau bersuara itu ke sudut ruangan, ditemani Ang-mo Niocu, Thio Kwan, dan Yu Kok Lun. Adapun Lam-hai Cin-jin dan Ngo-beng Kui-ong dengan tenangnya menanti dan bersembunyi di dekat pintu. Mereka tidak menanti lama. Setelah merobohkan semua pengeroyoknya, Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa berkelebat dan melompat masuk ke dalam ruangan besar itu, hendak mencari Pangeran Leng Kok Cun.

Begitu tiba dalam ruangan itu, pandang matanya tertarik ke arah Pangeran Cu Kiong yang berdiri di sudut bersama Angmo Niocu, gadis berpayung merah yang pernah dijumpainya, dan dua orang pengawalnya yang juga sudah dikenalnya, yaitu Thio Kwan dan Yu Kok Lun. Ia merasa heran sekali bagaimana bisa menemukan Pangeran Cu Kiong di gedung Pangeran Leng Kok Cun. Akan tetapi ia lalu melihat tubuh Pangeran Leng menggeletak di atas lantai, di belakang Pangeran Cu Kiong.

Ia tidak dapat terlalu lama berheran-heran, juga tidak sempat bicara karena pada saat itu angin yang kuat sekali menyambar dari belakangnya dan ternyata ia diserang oleh seorang kakek pendek gendut yang gerakannya kuat sekali.

Kakek itu mencengkeram ke arah pundaknya, agaknya hendak menangkapnya. Thian Hwa cepat mengelak dengan cepat maju ke depan, memutar tubuh dan pedangnya sudah menyambar dengan tusukan ke lambung lawan. Lam-hai Cinjin yang tadinya memandang ringan, terkejut sekali dan cepat dia pun melompat ke samping untuk menghindarkan diri. Akan tetapi dengan gerakan yang indah namun cepat Thian Hwa sudah menyerang lagi dengan sabetan pedangnya. Begitu dihindarkan dengan elakan, ia menyerang terus secara beruntun dan sambung menyambung!

"Ehhh...?" Lam-hai Cin-jin terhuyung dan terdesak. Dia lalu mencabut senjatanya tongkat atau ruyung berduri dan ketika sinar pedang kembali menyambar, dia menangkis dengan pengerahan tenaga saktinya untuk membuat pedang gadis itu terlepas dan terpental.

"Trangggg...!" Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika pedang bertemu ruyung. Akan tetapi pedang itu sama sekali tidak terlepas dari tangan Thian Hwa dan ketika terpental, malah membuat gerakan melengkung ke bawah dan kini membabat kaki Lam-hai Cin-jin! Kembali ruyung itu menangkis, akan tetapi pedang Thian Hwa terus membuat serangan bertubi-tubi. Betapa pun lihainya, Lam-hai Cin-jin memegang senjata yang berat sehingga gerakan ruyungnya tentu saja tidak dapat mengimbangi kecepatan gerakan pedang. Maka untuk menangkis terus, tentu saja dia tidak sempat dan dia harus berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang yang amat dahsyat itu! Lam-haiCin-jin sama sekali t idak mengira bahwa Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa sedemikian lihainya. Pangeran Cu Kiong memang sudah memberitahu bahwa gadis itu lihai sekali, akan tetapi melihat bahwa ia hanya seorang gadis muda yang sepatutnya menjadi cucunya, dia menganggap pujian Pangeran Cu Kiong itu terlalu dilebihkan. Kini dia mendapat kenyataan pahit bahwa gadis itu benar-benar mampu menandingi dan mengimbanginya, bahkan ketika bertanding senjata membuat dia kerepotan! Mulailah dia merasa penasaran dan malu terhadap Ngo-beng Kui-ong dan yang lain-lain, rasa malu yang berubah menjadi kemarahan. Dia lupa bahwa dia diminta untuk menangkap gadis ini hiduphidup.

"Huahhhh...!" Tiba-tiba dia membentak dan tangan kirinya memukul dari jarak jauh dengan dorongan telapak tangannya yang berubah hitam sekali! Thian Hwa maklum bahwa lawannya menyerang dengan tenaga sakti yang mengandung hawa beracun, maka cepat ia mengerahkan semua tenaga saktinya dan menyambut serangan itu dengan dorongan tangan kirinya pula. Hawa dingin yang menyambar keluar dari telapak tangannya menyambut hawa panas yang menyambar keluar dari tangan Lam-hai Cin-jin.

"Wyuuuuttt... blarrr...!" Tubuh Thian Hwa terhuyung ke belakang, akan tetapi tubuh Lam-hai Cin-jin juga mundur sampai lima langkah! Ternyata tenaga sakti mereka pun seimbang! Akan tetapi dalam keadaan terhuyung tadi, terdengar suara tawa meringkik seperti suara tawa seekor kuda dan Ngo-beng Kui-ong telah bergerak maju. Tangan kanannya bergerak dan Thian Hwa yang berada dalam keadaan terhuyung dan masih tergetar oleh pertemuan tenaga sakti yang dahsyat tadi, tidak mampu lagi menghindarkan diri karena gerakan tangan kakek yang seperti mayat hidup ini demikian ringan dan lembut seperti angin berhembus dan tahu-tahu pundaknya telah ditotok. Thian Hwa mengeluh dan roboh terkulai, lemas. Pedangnya segera dirampas oleh Lamhai Cin-jin dan diserahkan kepada Pangeran Cu Kiong.

"Bukan main... hebat juga gadis ini..." Lam-hai Cin-jin memuji.

"Sudah kami ceritakan bahwa ia amat lihai, Locianpwe," kata Pangeran Cu Kiong sambil menghampiri Thian Hwa dan mengambil kantung berisi Pek-hwa-ciam yang tergantung di pinggang gadis itu. Kemudian pangeran itu memerintahkan Thio Kwan dan Yu Kok Lun untuk membelenggu kedua pergelangan kaki dan tangan Thian Hwa karena dia khawatir kalau gadis yang amat lihai itu dapat meloloskan diri. Atas permintaannya, Ngo-beng Kui-ong menambahi totokan yang membuat Thian Hwa selain tidak mampu bergerak karena lemas, juga tidak mampu mengeluarkan suara!

"Niocu, geledah ia dan ambil Tek-pai yang pasti ada padanya," kata Pangeran Cu Kiong. Sebagai seorang pangeran, selain sudah biasa memerintah, juga dia tidak mau bertindak kasar dan tidak sopan untuk menggeledah dan meraba-raba sendiri tubuh seorang gadis. Ang-mo Niocu menghampiri Thian Hwa yang sudah terbelenggu dan rebah telentang. Melihat mata Thian Hwa memandang kepadanya dengan sinar mencorong, Ang-mo Niocu tersenyum. Gadis ini pernah menghinanya dan tidak mau bekerja sama kiranya sekarang bahwa Huang-ho Sian-li adalah puteri seorang pangeran Mancu! Ia cepat menggerayangi tubuh Thian Hwa dan akhirnya ia menemukan Tek-pai itu yang berada di dalam ikat pinggang. Thian Hwa memang membawa Tek-pai itu yang tadinya ia maksudkan untuk dipergunakan menangkap Pangeran Leng tanpa harus menggunakan kekerasan.

"Bagus sekali!" Pangeran Cu Kiong menerima Tek-pai itu dengan gembira. Kemudian ia mengambil tiga batang Pekhwa-ciam dari kantung senjata rahasia yang tadi dia ambil dari pinggang Thian Hwa, lalu dia menghampiri Pangeran Leng yang masih menggeletak telentang di atas lantai. Tiga kali tangan Pangeran Cu bergerak dan dia sudah menyambitkan jarum-jarum itu dari jarak dekat dan tepat mengenai ulu hati, tenggorokan, dan dahi Pangeran Leng Kok Cun. Tubuh pangeran itu berkelojotan sejenak lalu tewas!

"Mengapa engkau lakukan itu, Pangeran?" tanya Ang-mo Niocu dengan sikap manja kepada Pangeran Cu Kiong.

Melihat sikap gadis ini, tahulah Thian Hwa bahwa Ang-mo Niocu telah bergaul akrab dan bukan aneh kalau kini ia menjadi kekasih pangeran itu. Ada rasa panas di hatinya, tanda bahwa ia masih mempunyai rasa cemburu karena bagaimanapun juga, pangeran itu merupakan orang atau pria pertama yang menjatuhkan hati Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa. Akan tetapi kini perasaan cemburu itu bahkan memperbesar rasa bencinya terhadap Pangeran Cu Kiong.

"Mengapa aku melakukan ini? Ha-ha, kini Huang-ho Sian-li datang membunuh Pangeran Leng Kok Cun dan aku sebagai adiknya telah menangkap Si Pembunuh. Bagus, bukan?"

"Ha-ha-ha, siasat yang bagus sekali!" Lam-hai Cin-jin juga tertawa memuji kecerdikan pangeran itu.

Melihat ini semua, diam-diam Thian Hwa terkejut dan merasa ngeri menyaksikan kekejaman dan kejahatan yang terjadi di depan matanya tanpa ia mampu berbuat apa-apa.

Demi mencapai keinginannya yang sesat, yaitu menguasai tahta kerajaan, Pangeran Cu Kiong ini agaknya telah bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi, buktinya Nona Payung Merah itu bersamanya. Dan yang lebih keji lagi, dengan tangannya sendiri dia membunuh Pangeran Leng Kok Cun, kakaknya sendiri satu ayah berlainan ibu! Kini Pangeran Cu Kiong melanjutkan rencananya. Dia segera berteriak-teriak! "Pembunuhan! Pembunuhan...!" diikuti pula oleh Thio Kwan, Yu Kok Lun, dan juga Ang-mo Niocu.

Gegerlah para penghuni di gedung itu. Keluarga Pangeran Leng, para pelayan pembantu dan para pengawal berlari-lari ke ruangan itu. Para selir Pangeran Leng dan isterinya, juga beberapa orang anaknya, segera merubung jenazah itu dan mereka menangis hiruk pikuk. Ketika keluarga itu mendengar bahwa pembunuhnya adalah Ciu Thian Hwa yang sudah tertangkap oleh Pangeran Cu Kiong, mereka hendak menyerang gadis yang sudah terbelenggu kaki tangannya itu.

Akan tetapi Pangeran Cu Kiong mencegah mereka.

"Jangan diganggu. Ia sudah kami tangkap dan akan kami ajukan dalam persidangan! Ia harus dihukum berat sebagai pembunuh Kakanda Pangeran Leng Kok Cun dan diusut siapa yang menyuruh ia melakukan pembunuhan terkutuk ini!" Karena Pangeran Cu Kiong adalah adik Pangeran Leng Kok Cun, bahkan yang telah menangkap pembunuhnya, biarpun biasanya kedua orang kakak beradik ini tidak akrab hubungan mereka, maka para keluarga Pangeran Leng menurut saja ketika diatur oleh Pangeran Cu Kiong.

(Oo-dwkz-jTn-oO) Kota raja gempar! Ada dua berita yang menggemparkan para pejabat dan keluarga kerajaan, bahkan yang menggegerkan penduduk, yaitu pertama, berita tentang penyerbuan puluhan orang ke gedung Pangeran Bouw Hun Ki yang menjadi pelindung Pangeran Mahkota Kang Shi dan akhirnya semua penyerbu tewas atau tertawan. Adapun berita kedua adalah terbunuhnya Pangeran Leng Kok Cun dan pembunuhnya, yaitu Huang-ho Sian-li, telah tertangkap! Pada keesokan harinya, pagi-pagi semua pejabat tinggi dan keluarga kerajaan telah berkumpul di pendapa gedung Pangeran Leng Kok Cun yang luas. Jenazah Leng Kok Cun berada dalam sebuah peti mati yang belum tertutup. Di antara para anggota keluarga Pangeran Leng yang berkumpul di dekat peti, tampak juga Pangeran Cu Kiong yang bersikap keren. Pada pagi hari itu pendapa menjadi tempat pelayatan dan juga perundingan. Sidang darurat diadakan atas permintaan Pangeran Cu Kiong, dan Pangeran Bouw Hun Ki sebagai pejabat kaisar sementara terpaksa memenuhi permintaan itu karena perist iwa itu mendatangkan kegemparan dan amat gawat. Apalagi dengan tertangkapnya Thian Hwa yang dituduh sebagai pembunuh Pangeran Leng.

Persidangan diadakan di ruangan yang pintunya menembus ke pendapa. Yang menghadiri persidangan ini adalah semua pejabat tinggi dan para pangeran, seperti yang diadakan ketika mereka membicarakan tentang diangkatnya Pangeran Mahkota Kang Shi sebagai calon kaisar baru.

Setelah semua berkumpul dan suasana sunyi karena semua orang dengan tegang memandang kepada Pangeran Bouw Hun Ki yang duduk di kursi pimpinan sidang, Pangeran Bouw lalu menceritakan terjadinya perist iwa semalam.

"Serombongan orang melakukan pengacauan di tengah malam, mereka melakukan pembakaran di rumah kami dengan melepas anak panah berapi, kemudian menyerbu ke dalam. Kami melakukan perlawanan dan akhirnya semua penyerbu yang jumlahnya sekitar lima puluh orang itu dapat ditumpas, sebagian besar tewas dan ada pula yang tertawan.

Mereka dipimpin oleh empat orang tokoh sesat, dan tiga di antara mereka dapat terbunuh. Hanya seorang di antara semua penyerbu yang dapat meloloskan diri. Dari mereka yang tertangkap hidup kami mengetahui bahwa pimpinan mereka adalah Pat-chiu Lo-mo, Phang Houw, dan Louw Cin yang telah tewas. Seorang lagi berjuluk Bu-lim Sai-kong yang sempat melarikan diri. Dan mereka itu ternyata diperintahkan Pangeran Leng Kok Cun untuk mengacau melakukan pembunuhan terhadap kami, dan bukan tidak mungkin juga mereka bermaksud membunuh Pangeran Mahkota Kang Shi."

"Tidak mungkin!" tiba-tiba Pangeran Cu Kiong berdiri dan berseru nyaring. "Kakanda Pangeran Leng Kok Cun tidak memusuhi Adinda Pangeran Kang Shi. Kami adalah kakak beradik, tidak mungkin akan saling bermusuhan dan saling bunuh. Mungkin yang dimusuhi adalah Pamanda Pangeran Bouw Hun Ki dan wanita jahat Huang-ho Sian-li karena mereka telah menghalangi kami semua putera-putera mendiang Ayahanda Kaisar Shun Chi memegang tampuk pemerintahan membantu Adinda Kang Shi! Buktinya, malam tadi ketika kami berkunjung ke rumah Kakanda Pangeran Leng Kok Cun, kami melihat perempuan jahat Huang-ho Sian-li berada di sana. Kami terlambat karena ia telah berhasil membunuh Kakanda Pangeran Leng Kok Cun. Akan tetapi kami dapat menangkap penjahat keji itu!"

"Pangeran Cu Kiong!" Tiba-tiba Pangeran Ciu Wan Kong bangkit berdiri dan berseru marah kepada keponakannya itu.

"Engkau sebut-sebut Huang-ho Sian-li penjahat keji, padahal ia adalah saudara sepupumu sendiri, puteriku bernama Ciu Thian Hwa! Aku yakin semua ceritamu itu f itnah belaka! Aku menuntut agar puteriku dihadirkan dalam persidangan ini!"

"Tidak mungkin, Paman Pangeran Ciu! Biarpun saudara sepupuku, kalau ia demikian jahat dan kejam membunuh Kakanda Pangeran Leng, sudah seharusnya kami tangkap dan kami tahan. Berbahaya sekali, dan aku khawatir kalau dia dihadirkan di sini, akan membikin onar dan siapa tahu, temantemannya akan mencoba untuk membebaskannya! Ia harus diseret ke dalam pengadilan, atau kami sendiri yang akan menghukumnya! Kami berhak membalas atas kematian saudara tua kami!"

"Pangeran Cu Kiong, engkau tidak boleh bertindak sewenang-wenang menghukum puteriku!" teriak Pangeran Ciu Wan Kong marah. "Pengadilan harus melakukan dengan seadil-adilnya! Semua tuduhan yang tidak ada bukti-bukti dan saksi-saksinya, hanyalah fitnah belaka!"

"Fitnah? Siapa yang mengatakan fitnah? Bukti dan saksi sudah lebih dari cukup. Buktinya? Mari kita lihat bersama! Kakanda Pangeran Leng Kok Cun tewas karena diserang jarum oleh Huang-ho Sian-li. Apakah itu bukan bukti yang amat kuat? Siapa lagi yang memiliki senjata rahasia jarum bunga putih selain Huang-ho Sian-li?"

"Mari kita lihat bersama!" Pangeran Bouw Hun Ki yang merasa penasaran menyetujui.

Maka berbondong-bondong mereka yang bersidang itu keluar dari ruangan itu dan menghampiri peti jenazah yang masih terbuka. Tampak jelas bahwa ada tiga batang jarum bunga putih menancap di dahi antara kedua alis, tenggorokan, dan menembus baju tepat di ulu hati jenazah itu.

Mereka lalu kembali ke ruangan sidang. "Nah, bukankah sudah terbukti bahwa Kakanda Pangeran Leng Kok Cun tewas oleh tiga batang jarum Pek-hwa-ciam milik Huang-ho Sian-li? Dan tentang saksi, seluruh keluarga Kakanda Pangeran Leng menjadi saksi bahwa yang membunuhnya adalah Huang-ho Sian-li!"

"Bohong! Bukti itu dapat saja dibikin dan para saksi adalah keluarga Pangeran Leng yang memang memusuhi puteriku!" Pangeran Ciu Wan Kong membantah. Terjadi ketegangan dan Pangeran Bouw Hun Ki yang bijaksana cepat menengahi.

"Cukup! Kami sebagai pejabat kaisar sementara, memerintahkan kalian semua agar menghentikan perbantahan ini. Amat tidak bersusila untuk ribut-ribut membuat pertengkaran di rumah duka. Kita harus menghormati jenazah Pangeran Leng Kok Cun. Urusan ini, nanti kita putuskan dengan mengadakan persidangan yang dihadiri semua pejabat tinggi di dalam istana! Pangeran Cu Kiong, walaupun engkau sudah dapat memperlihatkan bukti kematian Pangeran Leng Kok Cun, akan tetapi engkau tidak berhak untuk menghakimi sendiri. Semua harus diserahkan kepada pengadilan untuk memutuskan salah atau tidak dan untuk menjatuhkan hukuman. Siapa pun yang bersalah pasti akan dihukum.

Sekarang, persidangan darurat ini dibubarkan."

"Nanti dulu!" teriak Pangeran Ciu Wan Kong. "Karena puteriku ditahan oleh Pangeran Cu Kiong, maka aku tekankan bahwa dia harus bertanggung jawab atas keselamatan puteriku Ciu Thian Hwa sampai ia dihadapkan di pengadilan!" Cu Kiong, pangeran muda yang merasa dirinya sudah memegang kunci kemenangan itu, tersenyum. "Jangan khawatir, Paman Pangeran Ciu Wan Kong. Aku bukan orang jahat, dan aku hanya hendak menuntut pembunuh Kakakku agar diadili. Huang-ho Sian-li tidak akan diganggu sebelum ia diadili di pengadilan!" Semua orang bubar dan setelah jenazah Pangeran Leng Kok Cun dimakamkan, Pangeran Bouw Hun Ki memanggil semua kerabat keluarga istana dan para pejabat tinggi untuk mengadakan persidangan di istana. Sebagai pejabat sementara persidangan itu pun dipimpin oleh Pangeran Bouw Hun Ki berunding dengan isterinya, kedua anaknya Bouw Kun Liong dan Bouw Hwi Siang, dan dua orang murid Siauw-limpai yang membantu mereka, yaitu Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin. Empat orang muda yang merasa kagum kepada Ciu Thian Hwa dengan penuh semangat mengusulkan untuk menyerbu rumah Pangeran Cu Kiong dan membebaskan Thian Hwa. Akan tetapi Pangeran Bouw Hun Ki melarang mereka.

"Amat tidak bijaksana kalau kita melakukan hal itu.

Kekerasan itu bahkan akan melemahkan pihak kita di sidang pengadilan, dan menguatkan kedudukan Pangeran Cu Kiong," katanya.

"Ayah kalian benar," kata Bouw Hujin kepada dua orang anaknya. "Kalau kita melakukan kekerasan membebaskan Thian Hwa, hal itu amat merugikan. Pertama, Thian Hwa tentu disembunyikan dan dijaga ketat sehingga tidak mudah untuk membebaskannya. Kedua, kalau Thian Hwa sampai tertawan, pasti ada orang sakti di pihak Pangeran Cu Kiong yang menjaganya sehingga pembebasan itu tidak akan mudah dilakukan. Ket iga, kalau kita berkeras membebaskannya, bisa saja Pangeran Cu Kiong yang kejam itu malah langsung membunuhnya. Masih ada lagi hal-hal penting lain, misalnya Tek-pai yang dibawa Thian Hwa. Maka sebaiknya kita menunggu sampai diadakannya persidangan di istana itu di mana kita dapat melihat apa yang sesungguhnya dikehendaki Pangeran Cu Kiong. Aku sendiri tetap tidak percaya bahwa Thian Hwa membunuh Pangeran Leng Kok Cun. Bagaimana mungkin demikian kebetulan, orang-orang Pangeran Leng menyerbu ke sini dan ketika Thian Hwa pergi hendak menangkap Pangeran Leng, di sana terdapat Pangeran Cu Kiong? Tentu benar seperti dikatakan Adinda Pangeran Ciu Wan Kong tadi. Puterinya itu tentu dif itnah, dan sudah jelas bahwa Thian Hwa tertawan dan dijadikan kambing hitam sebagai pembunuh Pangeran Leng."

"Akan tetapi, Ibu. Bagaimana mungkin Enci Thian Hwa yang demikian tinggi ilmu silatnya dapat ditawan Pangeran Cu Kiong?" tanya Bouw Hwi Siang penasaran.

"Seperti kukatakan tadi, Pangeran Cu Kiong agaknya mempunyai pembantu yang amat lihai. Aku teringat sekarang akan pemberitahuan dari Thian Bong Sianjin ketika dia berkunjung ke rumah kita. Dia menceritakan bahwa Pangeran Cu Kiong bersekutu dengan Wu Sam Kwi dan bahwa Raja Muda Wu Sam Kwi mengirim dua orang yang sakti ke kota raja."

"Hemm, aku juga teringat, ketika aku datang melayat di rumah Pangeran Leng, ada dua orang kakek yang aneh duduk tidak jauh dari Pangeran Cu. Yang seorang bertubuh pendek gendut berwajah kekanak-kanakan, berpakaian mewah, sedangkan orang ke dua yang tampak tua sekali berpakaian serba putih, tinggi kurus dan seperti mayat hidup. Agaknya mereka itulah orang-orang sakti yang kini membantu Pangeran Cu."

"Nah, kita perlu berhati-hati. Aku kira Pangeran Cu tidak akan berani mengganggu Thian Hwa sebelum diadakan persidangan di istana karena hal itu pasti membuat sebagian besar pejabat tinggi menjadi marah. Semua orang tahu bahwa Thian Hwa adalah pemegang Tek-pai, maka ia dihormati semua orang. Padahal melihat rencananya menguasai tahta kerajaan, Pangeran Cu Kiong membutuhkan simpati dan dukungan para pejabat tinggi," kata Pangeran Bouw dan mendengar ini, hati mereka yang muda seperti Bouw Kun Liong, Bouw Hwi Siang, Bu Kong Liang, dan Gui Siang Lin menjadi lebih tenang.

(Oo-dwkz-jTn-oO) "Hai, Paman Lu, sepagi ini engkau sudah bekerja di ladang sambil bersenandung! Paman, jawablah, apakah Paman merasa bahagia?" tanya seorang pemuda berpakaian serba putih, berwajah tampan gagah, menggendong buntalan pakaian yang memanjang, kepada seorang petani setengah tua yang mencangkul di ladang.

"Bahagia? Apa sih bahagia itu?" jawab Si Petani, menunda pekerjaannya dan memandang pemuda itu dengan heran.

"Semua orang mencari bahagia. Mengapa Paman malah tidak mengerti apa bahagia itu?" pemuda itu bertanya heran.

"Lho, aku memang tidak mengenal dan bahkan tidak butuh bahagia! Untuk apa sih? Apa kaumaksudkan bahagia itu senang? Rasa hati senang, tidak susah? Yang penting bukan mencari rasa senang, akan tetapi menyelidiki mengapa hati tidak senang. Kalau hati merasa tidak senang kita lalu mencari agar perasaan hati senang. Dalam keadaan hati tidak senang mana mungkin mengubahnya menjadi rasa senang?"

"Hem, kalau begitu, bagaimana agar hati bisa senang, Paman?"

"Kukira tidak ada caranya mencari rasa senang itu, karena perasaan itu muncul dengan sendirinya. Yang terpenting adalah menghilangkan perasaan tidak senang atau susah itu.

Seperti orang sakit mencari sehat, mana mungkin? Yang penting mencari tahu apa yang menyebabkan sakit itu dan menghilangkannya. Orang sakit memang ingin sekali sehat.

Akan tetapi kalau orang tidak sakit, apakah membutuhkan sehat? Kalau ada kelilip di mata, jangan mencari mata agar nyaman, tapi cari dan buang kelilip itu."

"Kalau begitu, engkau orang bahagia, Paman." Pemuda itu tertawa lalu pergi.

Dia itu Si Han Bu. Seperti kita ketahui, pemuda ini oleh gurunya, Im Yang Sian-kouw, disuruh turun gunung memanfaatkan semua ilmunya untuk berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan sebagai seorang pendekar silat. Selain itu, juga Han Bu dipesan oleh gurunya yang dia hormati dan sayangi seperti kepada ibunya sendiri, untuk mencari ayah gurunya yang bernama Cui Sam, dan mencari puteri ibunya yang belum sempat diberi nama karena ketika masih bayi lenyap terbawa arus air Sungai Huang-ho yang sedang banjir.

Dia pun sudah mendengar semua riwayat gurunya dan tahu bahwa gurunya dahulu menikah dengan seorang pangeran, yaitu Pangeran Ciu Wan Kong di kota raja. Karena dia tidak tahu di mana adanya Kakek Cui Sam yang menurut gurunya berasal dari dusun Kia-jung di sebelah selatan Thian-cin, juga sama sekali tidak tahu di mana adanya puteri gurunya yang tanpa nama itu, dia mengambil keputusan untuk pergi saja ke kota raja. Mencari Pangeran Ciu Wan Kong tentu jauh lebih mudah! Apalagi Pangeran Ciu Wan Kong dalam keadaan sehat ketika ditinggalkan oleh gurunya secara paksa, sedangkan Kakek Cui Sam dan bayi itu terpisah dari gurunya dalam keadaan terseret arus air dan sedikit sekali kemungkinan masih hidup. Maka berangkatlah dia ke kota raja. Bukan mustahil kalau Pangeran Ciu Wan Kong mengetahui di mana adanya ayah mertua dan puterinya itu.

Demikianlah, dengan menunggang kuda yang dibelinya di jalan dan selalu diganti dan ditukar-tambahkan dengan kuda baru kalau kudanya yang lama sudah terlalu letih, Si Han Bu dapat tiba di kota raja dengan cepat.

Karena sejak kecil tinggal di puncak Bukit Kera dan paling jauh dia pergi ke dusun-dusun di kaki pegunungan, maka selama dalam perjalanan, kalau melewati kota besar, Han Bu tiada hentinya mengagumi rumah-rumah tembok besar dan toko-toko yang penuh dengan barang beraneka macam. Akan tetapi begitu memasuki kota raja dia sering dibuat bengong melihat keindahan gedung-gedung istana para pangeran, bangsawan tinggi dan pejabat tinggi. Dia seperti seorang pemuda dusun masuk kota raja, berjalan perlahan-lahan menengok ke kanan kiri dengan bengong dan bingung.

Kudanya telah dia jual ketika memasuki pintu gerbang kota raja. Selain kuda itu sudah terlalu letih, juga dia tidak merasa perlu menunggang kuda dalam kota raja.

Orang-orang yang bertemu dengannya tidak menaruh perhatian. Dia adalah seorang pemuda tinggi besar gagah dan tampan. Pakaiannya serba putih dengan sedikit garis dan kembang biru, akan tetapi potongan baju itu biasa saja sehingga tidak mencolok. Dia menggendong buntalan pakaian yang agak memanjang karena dia menyembunyikan pedangnya dalam buntalan pakaian pula. Gurunya memberitahu bahwa kini pemerintah melarang orang membawa senjata, maka dia harus menyembunyikan pedangnya itu dalam buntalan.

Ketika matanya melihat papan nama dengan tulisan besar SIN AN LIKOAN (Penginapan Sin An), dia berhenti melangkah.

Sebuah rumah penginapan yang tampaknya tidak begitu besar namun cukup teratur rapi dan bersih. Tentu tidak terlalu mahal, pikirnya. Hari sudah sore dan lebih baik kalau lebih dulu mendapatkan sebuah kamar, pikirnya. Dia lalu memasuki rumah penginapan itu dan seorang pelayan berusia sekitar tiga puluh tahun menyambutnya.

"Kongcu (Tuan Muda) hendak menyewa kamar?" tegurnya dengan sikap kurang acuh.

"Benar, aku ingin menyewa sebuah kamar."

"Untuk Kongcu sendiri atau...?"

"Sendiri, tentu saja."

"Kongcu, malam ini dingin sekali. Apakah tidak sebaiknya kalau saya carikan teman?" Han Bu memandang heran. "Teman? Apa maksudmu? Aku tidak ingin sekamar dengan tamu laki-laki yang tidak kukenal."

"Aih, Kongcu. Tentu saja bukan laki-laki. Ada gadis-gadis manis, Kongcu boleh pilih...." Han Bu mengerutkan alisnya. Dia tidak mengerti akan tetapi merasa tak senang. Bagaimana mungkin ada orang menawarkan gadis untuk menemaninya dalam kamar?

"Eh, sobat, apakah engkau mabok? Atau agak begini, barangkali?" Han Bu menaruh jari telunjuknya melintang di depan dahi, yang biasanya digunakan orang untuk menandakan bahwa orang itu otaknya miring alias gila.

Pelayan itu melototkan matanya. Akan tetapi pada saat itu muncul seorang laki-laki berpakaian mewah seperti pakaian seorang hartawan. Usianya sekitar empat puluh tahun, mukanya hitam akan tetapi agaknya dia mencoba untuk mengurangi kehitamannya dengan bedak!

"Aih, selamat sore, Loya!" pelayan itu menyambut sambil membungkuk-bungkuk penuh hormat dan Han Bu hampir tertawa karena sikap pelayan itu seperti seekor anjing yang menyambut tuannya dengan mengibas-ngibaskan ekornya.

Tamu itu mengerling kepada Han Bu dengan sikap congkak, lalu berkata kepada pelayan itu dengan nada memerintah. "He, Lo Kaw, persiapkan untukku kamar besar, sediakan santapan malam yang paling mewah lalu panggil A Bwe dan A Mei untuk melayaniku semalam. Setelah itu jangan ada yang ganggu aku, aku hendak bersenang-senang malam ini!"

"Ah, baik... baik, Loya. Silakan, kamar besar sudah siap untuk Loya pakai sewaktu-waktu." Sambil berbongkokbongkok pelayan itu mengikuti tamu itu masuk. Setelah tiba di pintu dia agaknya teringat kepada Han Bu lalu menoleh dan berkata perlahan.

"Orang muda, kautunggu sebentar di sini, aku melayani dulu Loya ini." Han Bu merasa mendongkol sekali. Dia melihat hal-hal aneh yang membuatnya merasa heran akan tetapi juga penasaran dan dongkol. Sejak memasuki kota raja, dia menyaksikan hal-hal yang amat menyakitkan hati. Rumahrumah gedung bertingkat mewah dan dari gang-gang sempit dia dapat melihat rumah-rumah seperti gubuk kumuh di belakang gedung-gedung itu. Juga gubuk-gubuk kumuh di tepi sungai dan di bawah jembatan-jembatan, jelas merupakan tempat tinggal mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Dan di depan gubuk-gubuk itu menjulang tinggi dan besar gedung-gedung yang seperti istana yang hanya dapat dimiliki oleh mereka yang hidupnya berada di atas garis kaya, bahkan berlebihan. Gedung-gedung seperti itu adalah milik para bangsawan dan hartawan. Juga dia melihat orang-orang yang berkereta indah, berkuda besar, berpakaian mewah sekali, di samping orang-orang berpakaian lusuh dan bahkan terdapat pula para pengemis dengan pakaian butut penuh tambalan.

Dia merasa heran sekali. Di dusun-dusun daerah pegunungan tempat tinggal gurunya, orang-orang berpakaian sederhana, namun tidaklah butut penuh tambal-tambalan. Juga rumah- rumah di dusun, tidak ada yang demikian mewah, akan tetapi juga tidak ada yang demikian kumuh dari kotor. Perbedaan antara si kaya dan si miskin di kota raja ini demikian jauh seperti langit dengan bumi! Dan kini dia melihat keanehan lain lagi. Pelayan yang menjilat-jilat tamu kaya dan memandang rendah tamu miskin, bahkan gadis-gadis yang ditawarkan untuk melayani tamu laki-laki! Ah, agaknya segala sesuatu bisa didapatkan dengan uang di tempat ini! Dia bergidik lalu cepat meninggalkan rumah penginapan itu.

Akhirnya dia menemukan rumah penginapan merangkap rumah makan yang sederhana. Pelayannya juga sopan, seorang laki-laki setengah tua berusia lima puluhan yang mengantarnya ke sebuah kamar yang sederhana namun cukup bersih.

"Tuan Muda, engkau tentu datang dari tempat jauh.

Engkau membawa buntalan pakaian, kelihatan letih dan pakaianmu penuh debu," kata pelayan itu setelah membawa Han Bu memasuki sebuah kamar.

"Benar, Paman. Aku ingin mandi kemudian makan, bisakah aku memesan makan di kamar ini? Aku letih dan lapar sekali."

jilid XI

PELAYAN itu tersenyum mengangguk-angguk. "Tentu saja bisa, Kongcu. Makanan apa yang harus saya sediakan dan antarkan ke sini?"

"Nasi dengan masakan sayur dua macam saja untuk dua orang, Paman." Pelayan itu mengerutkan alisnya. "Untuk dua orang? Kongcu membawa teman?"

"Ah, tidak, Paman. Aku hanya seorang diri."

"Akan tetapi mengapa makanannya untuk dua orang? Ah, saya mengerti! Maafkan saya, Kongcu, tentu Kongcu letih dan lapar sekali sehingga perlu makan lebih banyak dari biasanya." Han Bu tertawa. Suara tawanya demikian riang gembira sehingga pelayan itu tak dapat menahan diri dan ikut pula tertawa. Mereka berdua tertawa akan tetapi dengan sebab yang berlainan. Kakek pelayan itu tertawa karena merasa lucu akan keadaan pemuda itu yang gembul dan karena dugaannya tepat. Akan tetapi Han Bu tertawa karena merasa lucu mendengar dugaan pelayan itu ngawur.

"Bukan begitu, Paman. Aku makan biasa saja, pesananku itu memang untuk dimakan dua orang."

"Tapi Kongcu tadi bilang t idak membawa teman?"

"Temannya adalah engkau, Paman. Aku mengundang Paman makan bersamaku karena aku ingin makan sambil bercakap-cakap. Maukah, engkau, Paman?" Belum pernah selama belasan tahun menjadi pelayan di situ dia mengalami hal seperti ini. Diajak makan oleh tamunya! Kembali pelayan itu mengangguk-angguk seperti ayam makan beras.

"Tentu saya merasa terhormat dan senang sekali, Kongcu.

Masakannya tadi dua macam sayuran? Apakah Kongcu sedang melaksanakan Ciak-jai (vegetarian)?"

"Tidak juga, Paman. Hanya aku sudah terbiasa makan sayur-sayuran, jarang makan daging sehingga aku tidak begitu suka. Kalau sedikit saja bolehlah."

"Bagus, bagus sekali! Pantas Kongcu bersikap begini lembut namun gembira, kiranya seorang yang hidupnya bersih. Tentu tidak minum arak pula, bukan?"

"Minum juga, akan tetapi tidak sampai mabok, Paman."

"Baik, Kongcu. Sekarang mandilah, saya akan mempersiapkan pesananmu." Setelah berkata demikian, dengan wajah berseri pelayan itu pergi meninggalkan kamar.

Baru sekarang dia merasa senang berhadapan dengan seorang tamu yang sikapnya demikian akrab dan baik.

Biasanya, para tamu bersikap angkuh dan memandang rendah para pelayan.

Setelah mandi dan bertukar pakaian, tak lama kemudian pelayan tadi datang membawakan makanan yang dipesan Han Bu. Mereka segera makan minum dengan gembira karena Han Bu bicara dengan jenaka dan lucu. Dia mau pula minum arak yang dituangkan pelayan itu ke dalam cawannya, akan tetapi hanya mau minum dua cawan saja. Setelah makan minum, Han Bu mengajak pelayan itu bercakap-cakap. Karena sesungguhnya itulah yang dikehendaki pemuda ini. Dia ingin mencari keterangan tentang Pangeran Ciu Wan Kong dari kakek pelayan ini.

"Paman, tadi Paman mengatakan bahwa sejak kecil tinggal di kota raja. Tentu Paman mengetahui segala yang terjadi di kota raja dan tahu pula akan para pangeran yang berada di sini. Nah, aku ingin tahu, apakah Paman mengetahui adanya seorang pangeran bernama Pangeran Ciu Wan Kong?"

"Wah, tentu saja, Kongcu. Dia itu orangnya begini!" Dia mengacungkan jempolnya. "Tidak seperti bangsawan lain.

Pangeran Ciu itu sikapnya halus, tidak suka menghina kaum kecil yang melarat, juga suka menolong mereka yang membutuhkan pertolongan dan berani minta kepadanya. Eh, Kongcu, mengapa Kongcu bertanya tentang beliau? Apa hubungan Kongcu dengan beliau?" Pelayan itu memandang dengan alis berkerut.

"Hei, Paman! Mengapa tiba-tiba Paman memandangku seperti itu? Aku tidak berniat jahat!"

"Maaf, Kongcu. Sekarang ini jaman gila, apalagi para pembesar dan bangsawan itu agaknya sedang dilanda wabah penyakit gila."

"Kenapa Paman berkata begitu?"

"Habis, banyak kejadian-kejadian aneh dan gila. Maka saya menjadi curiga ketika Kongcu menanyakan Pangeran Ciu Wan Kong, takut kalau-kalau Kongcu juga memusuhinya." Han Bu cukup cerdik. Melihat betapa pelayan ini memujimuji kebaikan hati Pangeran Ciu Wan Kong, tentu saja dia pun harus memperlihatkan sikap baik terhadap pangeran itu.

"Jangan curiga, Paman. Aku mempunyai seorang guru yang menjadi sahabat baik Pangeran Ciu Wan Kong dan sebelum aku menghadapnya untuk menyampaikan salam dari guruku, aku lebih dulu ingin mengetahui keadaannya."

"Hemm, bagus kalau begitu. Seperti saya katakan tadi, para bangsawan tinggi itu sedang dilanda penyakit gila.

Terjadi saling permusuhan di antara para pangeran. Apalagi setelah Sribaginda Kaisar tewas dibunuh orang jahat, keadaannya menjadi semakin kacau dan sungguh kasihan sekali nasib Pangeran Ciu Wan Kong yang baik hati...." Diam-diam Han Bu terkejut. Kaisar dibunuh orang? "Aih, aku baru datang di kota raja ini, Paman, dan tidak tahu sama sekali tentang semua itu. Maukah Paman menceritakan kepadaku?"

"Sribaginda Kaisar tewas dibunuh orang jahat. Beliau meninggalkan wasiat, mengangkat Putera Mahkota menjadi penggantinya. Dan terjadilah kekacauan itu. Mula-mula gedung tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki, oaman yang melindungi Putera Mahkota, diserbu penjahat akan tetapi semua penjahat dapat ditumpas. Pangeran Bouw Hun Ki memang mempunyai isteri dan putera-puteri yang amat lihai, apalagi mereka dibantu oleh Huang-ho Sian-li yang sakti!"

"Huang-ho Sian-li? Siapakah itu, Paman?"

"Aih, Kongcu belum mendengar namanya yang terkenal sebagai seorang pendekar yang amat hebat? Pendekar wanita itu berjasa kepada Sribaginda Kaisar, bahkan ia diberi Tek-pai dan ia yang ikut melindungi Pangeran Mahkota. Ia seorang gadis pendekar yang selain cantik jelita, juga amat gagah perkasa. Ia masih keponakan Sribaginda Kaisar sendiri karena ia adalah puteri tunggal dari Pangeran Ciu Wan Kong." Kalau saja pelayan itu memperhatikan, tentu dia akan melihat perubahan muka pemuda itu. Han Bu merasa betapa jantungnya berdebar dengan tegang. Dia mulai mendengar berita tentang Pangeran Ciu Wan Kong, suami gurunya dan sekarang malah berita tentang puteri tunggal Pangeran Ciu Wan Kong, berarti puteri gurunya! Ingin sekali dia bertanya lebih dan mendesak keterangan pelayan yang ramah itu, akan tetapi dia takut kalau desakan itu akan menimbulkan kecurigaan sehingga akibatnya malah pelayan itu tidak mau bercerita sama sekali. Maka dia bertanya dengan suara sambil lalu.

"Apa yang terjadi kemudian, Paman? Sebagai seorang yang baru datang, ceritamu sungguh menarik sekali."

"Ah, sungguh menyedihkan dan membingungkan, Kongcu.

Telah terjadi hal yang sama sekali tidak disangka orang dan yang amat membingungkan. Baru-baru ini, terdengar berita bahwa Huang-ho Sian-li kini ditangkap dan akan diajukan ke dalam sidang pengadilan kerajaan."

"Ah, kenapa, Paman? Bukankah ia dianugerahi Tek-pai dan berjasa besar kepada kerajaan seperti kauceritakan tadi?" Han Bu benar-benar merasa heran dan terkejut. "Mengapa ia ditangkap? Apa kesalahannya?"

"Kabarnya Huang-ho Sian-li telah membunuh Pangeran Leng, yaitu seorang putera kaisar yang paling tua."

"Hemm, aneh sekali. Mengapa ia malah membunuh seorang pangeran?" Pelayan itu menoleh ke kanan kiri, lalu berbisik lirih. "Kami tidak heran kalau Pangeran Leng Kok Cun dibunuh karena dia memang terkenal seorang pangeran yang jahat dan suka bergaul dengan orang-orang sesat. Kalau benar-benar Huangho Sian-li membunuhnya, saya yakin tentu pendekar wanita itu mempunyai alasan yang kuat!"

"Apakah ia benar-benar membunuhnya?" Pelayan itu menghela napas panjang. "Agaknya tidak bisa disangkal lagi karena setelah membunuh Pangeran Leng, Huang-ho Sian-li ditangkap oleh Pangeran Cu Kiong di tempat itu, dengan mengerahkan banyak anak buahnya yang terdiri dari orang-orang sesat yang kabarnya menjadi saksi. Akan tetapi rakyat juga tidak merasa heran seandainya Huang-ho Sian-li benar-benar membunuh Pangeran Leng Kok Cun, karena semua orang mengetahui bahwa yang menjadi sumber keributan adalah Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong. Kabar angin mengatakan bahwa dua orang pangeran itu diam-diam bersaing untuk menjadi kaisar menggantikan ayah mereka."

"Paman, lalu bagaimana dengan Pangeran Ciu Wan Kong? Guruku memesan agar aku menyampaikan salam kepadanya.

Akan tetapi kini ada urusan menyangkut puterinya. Siapa saja yang berada di istananya sekarang? Isterinya atau keluarga lain?" Han Bu memancing.

Pelayan itu menggelengkan kepalanya. "Saya hanya seorang kecil, Kongcu, tidak mengetahui akan keadaan para bangsawan besar seperti para pangeran itu. Hanya menurut kabar, Pangeran Ciu Wan Kong tidak pernah menikah, tidak mempunyai isteri. Kemudian, tahu-tahu orang mengabarkan bahwa dia mempunyai seorang puteri yang terkenal dengan julukan Huang-ho Sian-li."

"Paman, menurut keterangan guruku, katanya dahulu Pangeran Ciu Wan Kong mempunyai seorang pelayan bernama Cui Sam, benarkah itu?"

"Saya tidak tahu, Kongcu." Keterangan itu cukup bagi Han Bu. Malam itu dia pergi berjalan-jalan dan sengaja dia melewati depan gedung tempat tinggal Pangeran Ciu Wan Kong, juga dia melewati gedung tempat tinggal Pangeran Leng Kok Cun yang kelihatan sepi, lalu melewati gedung tempat tinggal Pangeran Cu Kiong yang terjaga ketat dan nampak menyeramkan.

(o-dwkz-jTn-o) Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, Han Bu berkunjung ke gedung Pangeran Ciu Wan Kong. Empat orang prajurit yang berjaga di depan pintu gerbang, bertanya siapa dia dan ada keperluan apa datang ke tempat itu. Melihat sikap empat orang prajurit itu sopan dan tegas namun tidak sombong, Han Bu merasa senang. Sikap anak buah itu dengan sendirinya mencerminkan watak atasannya. Pangeran Ciu Wan Kong sudah pasti seorang yang bijaksana maka para prajuritnya yang menjaga di luar gedungnya bersikap demikian sopan.

"Harap dilaporkan kepada Pangeran Ciu Wan Kong bahwa saya, Si Han Bu, mohon untuk menghadap beliau untuk menyampaikan salam dan pesan dari guru saya yang dahulu menjadi sahabat baik Pangeran Ciu Wan Kong," katanya.

Kepala jaga itu, seorang prajurit yang usianya sekitar empat puluh tahun, mengamati keadaan pemuda itu penuh perhatian. Dia melihat seorang pemuda yang berusia sekitar dua puluh dua tahun, tinggi besar, gagah dan tampan, berpakaian serba putih dan sikapnya sopan, wajahnya juga membayangkan kejujuran, kelembutan namun gagah.

"Orang muda, lebih dulu engkau harus memperkenalkan siapa gurumu yang menjadi sahabat Pangeran dan di mana tempat tinggalnya."

"Guruku adalah kenalan lama Pangeran Ciu, namanya adalah Im Yang Sian-kouw yang bertapa di Beng-san."

"Baiklah, harap tunggu sebentar akan kami laporkan ke dalam," kata kepala jaga yang lalu masuk ke dalam gedung.

Tak lama kemudian dia sudah kembali lagi dan berkata dengan suara dan sikap sungguh-sungguh.

"Pangeran Ciu mengatakan bahwa beliau tidak pernah mendengar namamu dan nama gurumu, akan tetapi beliau ingin mendengar apa yang hendak engkau sampaikan itu.

Engkau diperkenankan masuk, akan tetapi, orang muda, kami harap engkau suka meninggalkan pedangmu di sini. Ini sudah merupakan peraturan bagi tamu yang belum dikenal." Karena permintaan itu sopan dan masuk akal, Han Bu lalu melepaskan ikatan sarung pedangnya Im-yang-kiam dan menyerahkan pedang berikut sarungnya kepada para prajurit.

Kemudian dia mengikuti kepala jaga memasuki gedung, di mana dia diterima menghadap Pangeran Ciu Wan Kong di ruangan tamu.

Pada saat itu, Pangeran Ciu Wan Kong sedang berada dalam keadaan risau dan bingung karena puterinya, Ciu Thian Hwa, ditawan Pangeran Cu Kiong, dituduh membunuh Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong bersikeras menghadapkan Ciu Thian Hwa ke depan pengadilan agung di istana. Memang dia tidak merasa putus asa, karena masih banyak bangsawan tinggi dan berpengaruh yang berpihak kepada Thian Hwa dan siap menolong, seperti Pangeran Bouw Hun Ki dan lain-lain. Akan tetapi tetap saja dia merasa khawatir karena dia tahu benar bahwa Pangeran Cu Kiong mendendam dan membenci Thian Hwa yang selalu menentangnya. Tentu pangeran itu akan berusaha untuk mencelakai Thian Hwa. Dalam keadaan seperti itu, ketika penjaga melaporkan bahwa ada seorang tamu, murid Im Yang Sian-kouw yang katanya merupakan sahabat baiknya, hendak menghadap, dia segera mengabulkannya. Kunjungan teman mana pun, walau dia merasa tidak mengenal nama itu, merupakan hiburan baginya.

Setelah Han Bu memasuki ruangan dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada lalu membungkuk di depan Pangeran Ciu Wan Kong, pangeran itu memberi isyarat kepada pengawal untuk keluar dari ruangan itu. Para pengawal itu menanti dan menjaga di luar ruangan.

Gedung Pangeran Ciu Wan Kong sekarang mempunyai sepasukan pengawal yang tidak berapa banyak, dan hal ini adalah kehendak Thian Hwa yang ingin menjaga keamanan gedung ayahnya mengingat bahwa di luar terdapat banyak orang jahat yang diam-diam memusuhi ayahnya.

"Orang muda, silakan duduk," kata Pangeran Ciu Wan Kong.

Han Bu duduk di atas sebuah bangku di depan pangeran itu dan mereka saling pandang. Han Bu melihat bahwa pangeran itu adalah seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun lebih, bertubuh tinggi sedang, wajahnya masih tampak tampan walaupun pada saat itu sinar matanya redup dan wajahnya tampak muram. Pakaiannya tidak terlalu mewah seperti para pangeran lainnya, namun rapi dan bersih.

Sebaliknya, Pangeran Ciu Wan Kong merasa suka melihat pemuda yang berwajah lembut dan cerah ini.

"Orang muda, siapakah engkau dan siapa pula gurumu yang bernama Im Yang Sian-kouw yang mengaku mengenalku itu? Aku sungguh tidak ingat pernah mengenal nama itu." Han Bu merasa terharu. Jadi inikah suami gurunya yang sebetulnya amat mencinta gurunya namun yang terlalu lemah sehingga tidak mampu menolak kehendak orang tua agar dia berpisah dari Cui Eng yang sudah menjadi isterinya dan melahirkan seorang anak perempuan? Akan tetapi dia masih merasa penasaran karena hati pemuda ini merasa sakit kalau dia memikirkan betapa gurunya yang baru saja melahirkan diusir dari rumah ini. Biarpun hal itu dilakukan orang tua Pangeran Ciu Wan Kong, namun pangeran ini sama sekali tidak membela isterinya yang katanya dicintanya, juga tidak membela puteri kandungnya sendiri.

"Begini, Pangeran. Sesungguhnya, saya adalah murid Im Yang Sian-kouw dan Subo mengutus saya untuk menghadap Pangeran. Subo mengetahui akan seorang wanita she Cui yang pernah bekerja di gedung ini bersama ayahnya yang bernama Cui Sam." Pangeran Ciu Wan Kong melompat bangkit berdiri, matanya terbelalak. "Kaumaksudkan... Cui... Cui Eng...? Benarkah? Ia masih hidup? Ahh... di mana ia... di mana...?" Melihat ini, Han Bu semakin terharu. Tak dapat disangsikan lagi, pangeran ini mencinta subonya, masih mencinta isterinya yang diusir orang tuanya itu.

"Nanti dulu, Pangeran. Subo pesan kepada saya bahwa saya harus yakin dulu sebelum menceritakan tentang wanita she Cui yang dikenal Subo itu." Ciu Wan Kong lalu bertepuk tangan tiga kali. Dua orang pengawal muncul dari pintu dan pangeran itu berseru, "Cepat undang Cui Loya (Tuan Tua Cui) ke sini, cepat!" Dua orang pengawal itu berlari keluar dan tak lama kemudian seorang kakek berusia sekitar enam puluh tujuh tahun memasuki ruangan itu dengan tergesa-gesa.

"Engkau memanggilku, Pangeran? Ada urusan apakah? Bagaimana dengan Thian Hwa?"

"Duduklah, Gak-hu (Ayah Mertua). Perkenalkan, pemuda ini adalah... adalah... siapa namamu, orang muda?"

"Nama saya Si Han Bu."

"Si Han Bu ini mengaku murid seorang bernama Im Yang Sian-kouw dan katanya gurunya itu mengenal dan mengetahui di mana adanya Cui Eng...."

"Ahh...! Benarkah, orang muda? Di manakah adanya anakku Cui Eng...?" Cui Sam bertanya dengan suara menggetar penuh harapan dan keharuan.

"Ya, katakanlah, Si Han Bu. Di mana adanya Cui Eng sekarang?" tanya Pangeran Ciu Wan Kong.

"Nanti dulu, Pangeran. Subo memesan kepada saya agar lebih dulu yakin apakah saya berada di alamat yang benar.

Subo sudah mendengar apa yang diceritakan oleh wanita she Cui itu apa yang terjadi dengan dirinya di sini. Maka, harap Paduka menceritakan lebih dulu apa hubungan wanita she Cui itu dengan Paduka dan apakah benar bahwa Kakek ini adalah ayahnya." Pangeran Ciu Wan Kong menghela napas panjang. Dia lalu menceritakan tentang Cui Eng dan ayahnya, Cui Sam yang tadinya bekerja sebagai pelayan di rumah keluarga orang tuanya. Betapa kemudian terjalin hubungan cinta antara dia dan Cui Eng sampai Cui Eng mengandung dan melahirkan seorang anak perempuan. Akan tetapi orang tuanya tidak setuju bahkan mengusir Cui Eng tanpa dia dapat berbuat sesuatu. Cui Sam dan Cui Eng yang membawa bayinya yang belum diberi nama pergi meninggalkan gedung itu. Kemudian muncul Ciu Thian Hwa yang berjuluk Huang-ho Sian-li, yang ternyata adalah anaknya, bayi yang dulu dibawa pergi Cui Eng. Ketika menceritakan ini semua, kedua mata Pangeran Ciu Wan Kong menjadi basah air mata.

"Aku telah dapat berkumpul kembali dengan ayah mertuaku dan puteriku, akan tetapi... selama ini kukira bahwa Cui Eng, isteriku tercinta itu... telah tewas hanyut di air Sungai Kuning. Akan tetapi, kini engkau muncul, Si Han Bu, dan menceritakan bahwa gurumu mengetahui di mana Cui Eng berada. Aih, kalau saja hal ini sungguh benar... alangkah bahagia hatiku...." Pangeran itu menangis.

"Semua yang diceritakan Pangeran Ciu Wan Kong ini memang benar, orang muda. Aku sebagai ayah kandung Cui Eng menjadi saksinya. Kasihan mantuku ini, biarpun engkau membawa berita dan harapan yang membahagiakan, tetap saja dia berada dalam kedukaan dan kekhawatiran besar karena puterinya, cucuku Ciu Thian Hwa, Huang-ho Sian-li, kini menjadi tahanan Pangeran Cu Kiong yang jahat...." Pangeran Ciu Wan Kong dapat mengatasi kesedihannya dan dia menceritakan apa yang terjadi dengan diri Thian Hwa yang difitnah membunuh Pangeran Leng Kok Cun.

"Sekarang ceritakan, Si Han Bu, di mana adanya Cui Eng? Aku akan segera pergi menjemputnya bersama ayah mertuaku," kata Pangeran Ciu Wan Kong.

"Benar, orang muda. Di mana sekarang anakku Cui Eng tinggal? Kami ingin segera menemuinya!" kata pula Cui Sam.

Han Bu menghela napas panjang. "Pangeran, saya tidak diberi tahu di mana adanya wanita bernama Cui Eng itu.

Hanya Subo yang mengetahuinya. Karena itu, sebaiknya Pangeran bertanya sendiri kepadanya kelak kalau Subo datang ke kota raja seperti yang beliau janjikan. Sekarang, yang terpenting adalah urusan mengenai puterimu. Saya akan mencoba untuk menyelidiki, kalau mungkin saya akan membebaskannya."

"Akan tetapi hal itu tidaklah mudah, Han Bu. Pangeran Cu Kiong itu mempunyai banyak sekali pembantu yang amat lihai, kedudukannya kuat sekali karena dia adalah putera Kakanda Kaisar Shun Chi. Kiranya amat sukar untuk membebaskan Thian Hwa, kecuali melalui pengadilan di mana banyak pejabat tinggi tentu akan membela Thian Hwa."

"Jangan khawatir, Pangeran. Saya akan dapat menjaga diri." Pangeran Ciu Wan Kong mencoba untuk menahan Si Han Bu dan menganjurkan pemuda itu bermalam dan tinggal di gedungnya, akan tetapi Han Bu menolak dan akan merasa lebih bebas kalau tinggal di rumah penginapan. Dia lalu berpamit dan menjanjikan untuk memberitahu kepada gurunya tentang keadaan Pangeran Ciu Wan Kong dan Ciu Thian Hwa, juga tentang Kakek Cui Sam.

(o-dwkz-jTn-o) Para pejabat tinggi yang terpenting, para pangeran dan keluarga kerajaan hadir dalam ruangan persidangan istana yang amat luas itu. Mereka semua datang untuk menyaksikan persidangan yang akan mengadili Ciu Thian Hwa atau Huangho Sian-li yang dituduh telah membunuh Pangeran Leng Kok Cun.

Di antara sekian banyaknya pejabat tinggi dan para keluarga kerajaan, terbagi menjadi tiga bagian. Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang tidak memihak sana sini, hanya ingin melihat keadilan ditegakkan dalam persidangan itu. Ada pula sebagian dari mereka yang mendukung Pangeran Cu Kiong dan menyalahkan Huang-ho Sian-li yang membunuh Pangeran Leng Kok Cun. Selebihnya adalah mereka yang setia kepada Kaisar dan yang diam-diam tidak percaya bahwa Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa membunuh Pangeran Leng Kok Cun. Di antara mereka ini tentu saja terdapat Putera Mahkota Kang Shi sendiri, Pangeran Bouw Hun Ki dan para pendekar yang membela Pangeran Mahkota, juga para panglima dan pejabat tinggi yang setia kepada kaisar dan karena mereka semua menghargai Ciu Thian Hwa sebagai pemegang Tek-pai, maka tentu saja mereka berpihak kepada Huang-ho Sian-li.

Pangeran Bouw Hun Ki yang dalam sidang yang lalu telah diangkat dan ditetapkan menjadi pendamping dan wakil calon kaisar yang masih muda dan kini menjadi pemimpin sidang, datang lebih dulu dalam ruangan persidangan yang luas itu.

Akhirnya Pangeran Cu Kiong dan rombongannya yang telah ditunggu-tunggu datang ke rumah persidangan. Semua orang memperhatikan. Pangeran yang masih muda dan berpakaian mewah ini diiringkan para "pengawal" yaitu Si Tinggi Kurus Thio Kwan, Si Gemuk Pendek Yu Kok Lun, Ang-mo Niocu Yi Hong yang cantik dan genit, lalu ikut pula gurunya yaitu Lam Hai Cin-jin Datuk Selatan yang amat lihai itu.

Pangeran Bouw Hun Ki dan para pendukungnya mengerutkan alis karena mereka tidak melihat Pangeran Cu Kiong membawa tawanannya, yaitu Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa yang akan diadili dalam persidangan itu. Suasana menjadi ribut karena hampir semua orang bertanya-tanya mengapa gadis yang akan diadili itu tidak dihadirkan di situ.

Diam-diam muncul perasaan khawatir dalam hati Pangeran Bouw Hun Ki, terutama dalam hati Pangeran Ciu Wan Kong karena timbul dugaan jangan-jangan puterinya mengalami kecelakaan. Siapa tahu Pangeran Cu Kiong yang curang dan jahat itu diam-diam membunuhnya! Ketika dia membisikkan kekhawatirannya ini kepada Pangeran Bouw Hun Ki, pangeran itu menggelengkan kepala dan berkata lirih.

"Harap tenang, Adinda Pangeran Ciu. Kuyakin Pangeran Cu Kiong tidak akan begitu bodoh melakukan hal itu karena semua pejabat pasti akan menentang kebodohan itu." Setelah semua orang berkumpul, Pangeran Bouw Hun Ki sebagai pimpinan sidang dan sudah duduk di belakang meja pimpinan, bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangannya memberi isyarat kepada semua yang hadir agar berdiam diri.

Pangeran Kang Shi yang berusia sepuluh tahun itu duduk dengan tenangnya di sebelah kanan Pangeran Bouw Hun Ki.

Biarpun usianya baru sepuluh tahun lebih, namun calon kaisar ini tampak anggun dan berwibawa, wajahnya serius ketika dia memandang kepada semua orang yang hadir di situ.

Setelah semua orang berdiam diri dan suasana menjadi tenang Pangeran Bouw Hun Ki berkata dengan nyaring. "Cu-wi (Anda Sekalian) yang terhormat, atas nama Paduka Pangeran Mahkota, kami mengucapkan selamat datang dan menyatakan bahwa persidangan ini dibuka! Akan tetapi sebelum persidangan dimulai, kami minta kepada Pangeran Cu Kiong sebagai penuntut agar menghadirkan terdakwa Ciu Thian Hwa alias Huang-ho Sian-li di ruangan persidangan ini!" Pangeran Cu Kiong bangkit berdiri dan suasana menjadi sunyi karena mereka semua ingin sekali mendengarkan apa yang akan diucapkan pangeran muda itu.

"Kami sengaja menahan terdakwa dan tidak menghadirkannya di sini. Kami harap sidang pengadilan ini dapat dimulai tanpa hadirnya terdakwa. Cukup dibicarakan dan dihadirkan saksi-saksi untuk menentukan kesalahan dan dosa yang telah dilakukan terdakwa yang telah membunuh Kakanda Pangeran Leng Kok Cun secara kejam!" Kembali terdengar para hadirin bicara sendiri memberi tanggapan atas ucapan Pangeran Cu Kiong sehingga suasananya menjadi riuh kembali. Pangeran Bouw Hun Ki mendiamkannya keadaan itu sejenak, lalu dia bangkit lagi dan mengangkat kedua tangan ke atas.

"Harap Cu-wi tenang. Kami hendak bertanya kepada Pangeran Cu Kiong sebagai pendakwa, bagaimana mungkin mengadili seorang terdakwa tanpa menghadirkan terdakwa itu ke dalam sidang pengadilan?"

"Kenapa tidak bisa? Kesalahan terdakwa Huang-ho Sian-li sudah jelas, buktinya sudah ada yaitu kematian Kakanda Pangeran Leng Kok Cun dan saksinya juga banyak. Ada saya sendiri yang menyaksikan dan para pengawal saya, bahkan semua keluarga dan penghuni rumah Kakanda Leng Kok Cun juga menjadi saksi. Saya tidak merasa perlu menghadirkan terdakwa ke sini karena mengingat bahwa ia adalah seorang yang berbahaya sekali, liar dan ganas. Saya tidak ingin melihat ia memberontak dan dapat melepaskan diri di tempat ini.

Melihat cara ia membunuh Kakanda Pangeran Leng, kami bahkan berkesimpulan bahwa dahulu yang membunuh Ayahanda Kaisar juga wanita itu!"

"Bohong besar!" Pangeran Ciu Wan Kong berseru nyaring.

"Anakku Ciu Thian Hwa malah menyelamatkan Kakanda Kaisar dari serangan penjahat sehingga anakku diberi anugerah Tekpai oleh mendiang Kakanda Kaisar. Ia bukan pembunuh!"

"Hemm, mungkin saja Ayahanda Kaisar dikelabuhi olehnya.

Gadis itu licik sekali, licik dan kejam. Rasanya tidak mungkin Ayahanda memberi anugerah Tek-pai kepada seorang gadis yang tidak dikenal asal-usulnya sama sekali!"

"Pangeran Cu Kiong, jangan bicara sembarangan!" Pangeran Bouw Hun Ki membentak dengan teguran. "Sudah jelas bahwa Ciu Thian Hwa adalah puteri Adinda Pangeran Ciu Wan Kong, maka ia adalah anak keponakan mendiang Kakanda Kaisar sendiri dan engkau berani menghina dan mengatakan ia tidak dikenal asal-usulnya sama sekali?"

"Saya tidak bicara sembarangan, Paman Pangeran Bouw Hun Ki! Siapa yang tidak tahu bahwa Paman Pangeran Ciu Wan Kong tidak pernah beristeri dan tidak mempunyai anak? Semua orang tahu benar akan hal ini dan tiba-tiba saja ada seorang gadis liar dunia kang-ouw yang berjuluk Huang-ho Sian-li muncul mengaku sebagai puterinya! Nah, karena khawatir gadis liar itu meloloskan diri kalau dihadirkan di sini, maka sengaja saya menahannya dengan pengawalan ketat.

Kita sidangkan perbuatannya di sini dan kalau kita sudah memutuskan hukuman apa yang akan kita jatuhkan kepadanya, baru saya akan melaksanakan hukuman itu di depan umum." Pangeran Bouw Hun Ki menjadi marah, akan tetapi dia masih dapat mengendalikan diri dan dia berkata lantang. "Cuwi yang terhormat. Karena terdakwa tidak dapat dihadirkan dalam persidangan ini, maka persidangan ini ditunda sampai tiba saatnya yang tepat. Persidangan ditutup sampai di sini!" Orang-orang menjadi riuh bicara sendiri sehingga protes yang diteriakkan Pangeran Cu Kiong tenggelam ke dalam suara banyak orang itu. Apalagi Pangeran Bouw Hun Ki sudah mengawal Pangeran Mahkota Kang Shi bersama pasukan pengawal dengan ketatnya meninggalkan ruangan persidangan memasuki bagian dalam istana di mana kini Pangeran Mahkota tinggal dan selalu ditemani Pangeran Bouw Hun Ki yang diperkuat oleh Nyonya Bouw, Bouw Kun Liong, Bouw Hwi Siang, Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin. Selain mereka, Pangeran Bouw Hun Ki juga memerintah tiga orang panglima yang setia mengerahkan pasukannya untuk memperkuat penjagaan di istana.

Sementara itu, pagi tadi selagi para pejabat tinggi berbondong-bondong menuju ke ruangan persidangan di istana, Thian Hwa berada dalam sebuah kamar tahanan yang kokoh kuat. Bukan hanya pintu besi kamar itu yang amat kuat, juga di luar kamar tahanan yang dindingnya terbuat dari baja itu terdapat lima orang prajurit yang membawa gendewa dan anak panah. Mereka adalah ahli-ahli panah yang pandai dan di atas sebuah bangku tampak seorang kakek tua yang seperti mayat dengan pakaian serba putih rebah telentang dan mendengkur. Dia adalah Ngo-beng Kui-ong yang usianya sudah delapan puluh tahun, susiok dari Lam Hai Cin-jin.

Pangeran Cu Kiong yang menghadiri persidangan di istana sengaja meninggalkan pendukung paling kuat yang dikirimkan Jenderal Wu Sam Kwi itu agar menjaga tawanan karena dia tidak ingin Thian Hwa dapat lolos dari situ. Hanya Ngo-beng Kui-ong yang akan sanggup mengalahkan Huang-ho Sian-li.

Thian Hwa duduk bersila di atas dipan yang berada di dalam kamar tahanan itu. Ia tidak dibelenggu karena ketika dimasukkan ke dalam kamar tahanan, ia berada dalam keadaan tertotok sehingga tidak mampu bergerak. Ia tahu benar bahwa ia berada dalam bahaya, dituduh sebagai pembunuh Pangeran Leng Kok Cun! Andaikata ia dihadirkan dalam persidangan, tentu saja ia dapat membela diri dan menceritakan yang sebenarnya, yaitu bahwa Pangeran Leng dibunuh oleh Pangeran Cu Kiong sendiri. Akan tetapi apa buktinya dan mana saksinya? Buktinya, Pangeran terbunuh oleh tiga batang jarum senjata rahasianya Pek-hwa-ciam dan saksinya yang ketika itu berada di situ, bahkan semua keluarga Pangeran Leng tentu saja percaya bahwa ia yang telah menjadi pembunuhnya.

Thian Hwa tidak mau menggunakan kekerasan mencoba untuk meloloskan diri. Akan sia-sia belaka. Ia tahu betapa kuatnya kamar tahanan itu. Baru dihujani anak panah oleh lima orang itu dari luar kamar tahanan saja rasanya sukar baginya untuk meloloskan diri, apalagi di sana masih ada kakek yang tidur mendengkur itu. Kakek tua renta yang lihai bukan main dan yang ia tahu ia takkan mampu mengalahkannya.

Tiba-tiba lima orang prajurit yang duduk berjajar di atas bangku itu serentak bangkit berdiri dengan gendewa dan anak panah siap di tangan. Mereka memandang kepada seorang prajurit pengawal yang melangkah datang dengan gagah dari istana pangeran bagian dalam menuju ke tempat tahanan yang berada di belakang itu.

Prajurit yang masih muda dan tampan gagah ini memberi hormat atau salam secara militer kepada lima orang rekannya itu, lalu berkata dengan tegas.

"Saya menerima tugas dari Pangeran Cu Kiong untuk membawa tawanan ke istana. Perintah ini penting sekali dan harus segera dilaksanakan!" Lima orang prajurit pengawal itu saling pandang dan mengerutkan alisnya. "Ah, mana mungkin Yang Mulia Pangeran mengutus seorang prajurit pengawal semuda engkau ini untuk membawa tawanan yang amat penting ini ke sana? Bagaimana mungkin engkau akan mampu menguasainya?" kata seorang.

"Kami pun t idak bisa percaya begitu saja karena kami t idak mengenal siapa engkau," kata yang lain.

Prajurit muda itu memandang dengan mata mencorong.

"Tidak tahukah kalian bahwa saat ini Pangeran Cu Kiong mendatangkan banyak sekali jagoan lihai untuk mendukungnya? Aku baru kemarin tiba dan sudah mendapat kepercayaan untuk membawa tawanan penting, ini membuktikan bahwa Pangeran Cu percaya kepadaku! Dan kalian ini pengawal-pengawal biasa berani mencurigaiku?" Prajurit muda itu segera mengeluarkan sehelai surat perintah yang ada cap dari Pangeran Cu Kiong. Di situ tertulis bahwa dia harus mengambil tawanan bernama Huang-ho Sian-li dan membawanya ke persidangan di istana kaisar! Melihat ini, lima orang prajurit tentu saja percaya dan takut. Cap dari pangeran itu tidak meragukan lagi dan seorang dari mereka segera mengeluarkan kunci besar untuk membuka pintu kamar tahanan.

"Hati-hati, kawan. Ia lihai sekali, jangan-jangan ia akan mengamuk dan dapat meloloskan diri," kata lima orang itu sambil memasang anak panah pada gendewa mereka, bersiap-siap mencegah kalau Huang-ho Sian-li mengamuk.

Akan tetapi prajurit muda itu berkata, "Hemm, jangan khawatir, kawan-kawan. Aku sudah biasa menghadapi lawanlawan tangguh dan Pangeran Cu juga sudah percaya kepadaku. Aku akan menotoknya dan membuat tawanan ini tidak akan mampu mengamuk." Thian Hwa mendengarkan semua itu dan dengan heran ia memandang wajah prajurit muda yang tampan itu. Pada saat mereka bertemu pandang, Thian Hwa melihat prajurit muda itu mengedipkan sebelah mata kepadanya. Ia merasa heran dan jantungnya berdebar tegang. Prajurit muda ini pasti berniat menolongnya. Ia tidak boleh gegabah mengamuk karena di sana ada Ngo-beng Kui-ong yang amat lihai, dan mendengar ucapan pemuda itu serta isyarat kedip mata itu, Thian Hwa mengambil keputusan untuk menurut saja. Setelah daun pintu dibuka dan prajurit muda itu dengan lompatan yang amat ringan dan cepat mendekatinya lalu menotok kedua pundaknya, Thian Hwa merasa semakin heran. Ia sama sekali tidak merasakan apa-apa, tidak merasa lemas karena totokan itu.

"Nah, ia sudah kutotok dan kubuat tidak berdaya!" kata prajurit muda itu dan Thian Hwa segera membuat dirinya sendiri terkulai lemas!

"Nah, aku akan memondongnya dan membawanya ke istana di mana Pangeran Cu Kiong sudah menanti!" kata prajurit muda itu kepada lima orang rekannya.

Prajurit muda itu bukan lain adalah Si Han Bu. Setelah bertemu Pangeran Ciu Wan Kong dan Cui Sam, suami dan ayah kandung gurunya, dia merasa gembira sekali. Akan tetapi mendengar betapa Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa, puteri kandung gurunya, kini dif itnah membunuh seorang pangeran dan berada dalam tahanan Pangeran Cu Kiong, dia merasa khawatir sekali. Dia mengambil keputusan untuk menolong dan membebaskan gadis itu, demi gurunya! Puteri kandung gurunya itu hanya harus dia tolong dan dia bebaskan.

Demikianlah, pagi-pagi sekali hari itu dia menyelidiki gedung istana milik Pangeran Cu Kiong dan setelah melihat Pangeran Cu Kiong dan para pengikutnya meninggalkan gedung, dia melompat masuk melalui pagar tembok di belakang. Setelah mengintai cukup lama akhirnya dia melihat kesempatan baik. Dia dapat menyusup ke dalam dan dapat menemukan kamar tidur Pangeran Cu Kiong yang kebetulan kosong. Di atas meja dalam kamar itulah dia menemukan cap pangeran itu. Cepat dia membuat surat perintah dengan membubuhi cap itu untuk membawa pergi tahanan bernama Huang-ho Sian-li! Kemudian, dia dapat menangkap seorang prajurit yang bentuk tubuhnya sama dengannya, melucuti dan dia lalu mengenakan pakaian prajurit itu. Tubuh prajurit yang sudah ditotoknya lumpuh itu lalu disembunyikan di balik sebuah almari dan dia lalu cepat mencari tempat tahanan di bagian belakang kompleks gedung istana itu. Setelah dia menemukan tempat itu dia berlagak seperti seorang prajurit kepercayaan Pangeran Cu Kiong untuk mengambil tawanan, "menotok" Thian Hwa dan memanggul tubuh yang "lemas" itu keluar dari dalam kamar tahanan.

Akan tetapi ternyata seorang di antara lima prajurit penjaga itu merasa curiga dan dia membangunkan Ngo-beng Kui-ong.

Ketika kakek itu terbangun dan melihat tawanannya dipondong seorang prajurit, dia mengeluarkan suara bentakan marah.

"Tahan...!" Melihat kakek itu mengeluarkan sebatang tongkat ular yang tiba-tiba seperti hidup, Han Bu dapat menduga bahwa kakek itu tentulah seorang lawan yang sakti dan tangguh sekali.

Maka dia melepaskan Thian Hwa dari panggulannya dan berbisik.

"Nona, kita robohkan mereka!" Tanpa dikomando lagi, begitu mendengar bentakan Ngobeng Kui-ong, Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa sudah siap melawan. Ia melompat dari atas panggulan pundak Han Bu dan begitu ia menggerakkan kedua tangan kakinya, tiga orang prajurit yang belum siap menggunakan anak panah mereka telah roboh dan tidak dapat bangkit kembali. Han Bu juga menggunakan pedangnya dan dua orang prajurit lainnya roboh! Akan tetapi, terdengar suara orang-orang di luar tempat tahanan itu dan hal ini berarti bahwa para prajurit lain agaknya mendengar keributan itu dan sedang mendatangi tempat itu.

"Nona, cepat pergi lapor ayahmu, jangan sampai engkau tertawan lagi!" kata Han Bu sambil menghadapi kakek yang seperti mayat hidup itu.

Thian Hwa meragu. Biarpun ia tidak mengenal pemuda ini, akan tetapi pemuda ini telah menolongnya dan membebaskannya dari tahanan. Bagaimana mungkin kini harus meninggalkannya seorang diri menghadapi tengkorak hidup yang ia tahu amat lihai itu? Akan tetapi Han Bu yang lebih mengkhawatirkan gadis itu karena banyak prajurit mendatangi, segera berkata.

"Nona Huang-ho Sian-li, ayahmu menanti-nantimu. Cepat pergilah. Aku akan menahan mereka di sini. Ingat engkau harus selamatkan Pangeran Mahkota!"

"Dan engkau sendiri?" tanya Thian Hwa ragu.

"Ha-ha, jangan pikirkan aku!" Pada saat itu, Ngo-beng Kui-ong membentak nyaring dan dia sudah melemparkan tongkat ularnya ke udara dan tongkat itu kini berubah menjadi ular hidup yang meluncur ke arah tubuh pemuda itu.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar