12 Asmara Si Pedang Tumpul

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

"Lalu apa yang paduka ingin kami perbuat sehubungan dengan dua hal itu, Yang Mulia?" kata Kui Siang yang merasa kasihan kepada raja muda itu.

"Aku ingin agar kalian dalam penyelidikan kalian di kota raja, menyelidiki pula apa hubungan perubahan pada ayahanda dan kakanda itu dengan kegiatan jaringan matamata Mongol. Kami khawatir kalau-kalau perubahan itu akibat ulah para mata-mata yang tentu ingin menghancurkan Kerajaan Beng."

Sin Wan dan Kui Siang mengerti dan setelah menyanggupi, mereka lalu berangkat meninggalkan tempat itu. Pada hari itu juga, Raja Muda Yung Lo kembali pula di Peking bersama pasukannya.

28. Ancaman Terhadap Bhok-Ciangkun

"Aku harus membuat perhitungan dengan Si Kedok Hitam si jahanam itu!" Tung-hai-liong Ouwyang Cin mengepal tinju.

"Tidak saja dia hendak memperalat aku dengan menawanmu, akan tetapi juga dia kurang ajar sekali, menguasai orangorang kangouw yang dahulu tunduk kepadaku. Kita harus menyelidiki dan menangkap dia!"

Datuk para bajak laut di timur ini marah bukan main karena hampir saja dia, muridnya, dan puterinya yang sudah tertawan Si Kedok Hitam, celaka di tangan pemimpin mata-mata Mongol itu.

"Akan tetapi, suhu. Bukankah mereka itu menjanjikan kedudukan raja muda kepada suhu kalau perjuangan mereka berhasil?" Maniyoko bertanya.

"Persetan! Belum apa-apa, dia hendak memaksa kita untuk melakukan pembunuhan terhadap dua orang pangeran, seolah kita ini anak buahnya saja. Lebih lagi, dia menawan Akim, itu bukan kerja-sama namanya. Siapa sih dia itu hendak memperalat aku?"

"Kita memang harus mencarinya dan menghajarnya, ayah,"

kata Akim marah. "Kalau saja tidak ada Sin Wan, tentu kita celaka."

"Hemm, pemuda itu? Akim, bagaimana engkau bisa mengenal pemuda itu dan siapa dia?"

"Namanya Sin Wan, ayah. Memang aku telah mengenal dia sebelumnya, dia murid Sam-sian dan menjadi wakil gurunya melaksanakan tugas dari Kaisar untuk memerangi jaringan mata-mata Mongol."

"Hemm, agaknya sumoi akrab sekali dengan pemuda itu!"

Maniyoko berkata dengan nada suara dingin.

Sepasang mata yang indah itu mencorong. "Aku mau akrab dengan dia ataupun dengan siapa juga, apa sangkut pautnya denganmu!" bentaknya.

Dibentak begitu, Maniyoko terdiam dan mukanya berubah merah. Diam-diam dia merasa marah dan cemburu sekali.

Teringat dia betapa dahulu pernah dia menawan Lili, akan tetapi pemuda itu pula yang menentangnya, merampas Lili yang telah ditawannya dan mengalahkan dia. Sekarang, pemuda itu agaknya akan merebut Akim darinya.

Mendengar ucapan puterinya itu, Tung-hai-liong bertanya, "Akim, apakah engkau dan pemuda murid Sam-sian itu saling mencinta?"

"Kalau aku dan dia saling mencinta, apakah ayah hendak melarang?" Akim balas bertanya, sikapnya menantang.

Tung-hai-liong tertawa. "Sebetulnya aku ingin melihat engkau menjadi isteri suhengmu, akan tetapi kalau engkau dan murid Sam-sian itu saling mencinta, akupun tidak keberatan engkau menjadi jodohnya asal Sam-sian sendiri yang mengajukan pinangan kepadaku."

"Tidak, ayah! Aku tidak mau menjadi isteri suheng, juga aku tidak sudi menjadi isteri laki-laki yang tidak mencintaku melainkan mencinta wanita lain seperti Sin Wan. Aku benci! Aku benci dia!" Gadis itu lalu lari meninggalkan ayahnya dan suhengnya.

Melihat muridnya seperti orang yang kecewa dan agaknya perasaannya terpukul oleh sikap Akim, Tung-hai-liong Ouwyang Cin menghiburnya. "Maniyoko, engkau beruntung bahwa Akim tidak sudi menjadi jodoh Sin Wan, berarti ia masih bebas dan kelak dapat kubujuk untuk mau menjadi jodohmu. Sekarang, biarkan ia bertualang. Kita harus pulang karena setelah anak itu pergi, di rumah tidak ada orang."

"Kalau suhu mengijinkan, teecu (murid) ingin mencari sumoi dan diam-diam membayangi dan melindunginya.

Jaringan mata-mata Mongol itu berbahaya, teecu khawatir sumoi akan terjebak dan tertawan lagi. Kalau suhu hendak pulang lebih dahulu, silakan."

Kakek itu mengangguk. "Begitupun baik. Aku tidak sudi menjadi hamba dari orang-orang Mongol."

Guru dan murid inipun berpisah. Tung-hai-liong Ouwyang Cin kembali ke timur, sedangkan Maniyoko mencari sumoinya yang tadi lari ke selatan, tentu menuju ke kota raja.

Biarpun dia berhasil menyusul sumoinya, Maniyoko tetap tidak mau memperlihatkan diri. Sumoinya sedang kesal hatinya dan dia mengenal benar watak sumoinya. Kalau sedang dalam keadaan seperti itu, sumoinya amat sukar didekati dan kalau dia memperlihatkan diri, besar kemungkinan sumoinya akan menjadi semakin kesal dan marah. Maka diapun membayangi saja darijauh sampai akhirnya mereka tiba di luar pintu gerbang kota raja Nan-king.

Di Jalan raya itu, dia melihat rombongan Pangeran Mahkota yang dikawal ketat memasuki kota raja, dan nampak jelas Jenderal Yauw Ti dalam sebuah kereta yang mengiringkan di belakang, dikawal oleh pasukan berkuda.

Tiba-tiba, seorang yang mengenakan kedok biru menghampirinya. Maniyoko sudah siap siaga untuk menyerang orang itu, akan tetapi si kedok biru memberi isyarat kepadanya, lalu berkata singkat, "Yang Mulia mengundang saudara Maniyoko untuk bertemu. Mari!"

Maniyoko tertarik. Dia teringat akan kunjungan utusan yang menyerahkan hadiah kepada gurunya dan utusan itupun mengatakan bahwa pimpinan mereka hanya dikenal dengan sebutan Yang Mulia. Dia masih kecewa akan penolakan gurunya bersekutu dengan orang-orang Mongol yang menjanjikan kedudukan mulia, maka kini dia ingin tahu apa yang akan dikatakan pimpinan mata-mata Mongol itu kepadanya. Dia mengikuti bayangan itu yang bergerak amat cepat memasuki hutan kecil di sebelah timur jalan.

Setelah tiba di tengah hutan, si kedok biru berhenti dan Maniyoko berhenti pula di belakangnya. Ternyata di situ telah berdiri dua orang yang aneh dan juga menyeramkan. Yang seorang adalah seorang pria yang usianya sudah enampuluh tahun akan tetapi masih nampak muda dan tampan, bertubuh tinggi tegap dengan muka yang merah sekali, seolah muka itu dilumuri darah.

Pakaiannya dari sutera putih yang halus mengkilap dan di punggungnya tergantung sebatang golok gergaji. Adapun orang ke dua, juga sedikit lebih muda namun masih ramping dan cantik, hanya warna kulit mukanya yang mengerikan karena pucat seperti muka mayat. Juga pakaian wanita ini terbuat dari sutera putih halus dan di pinggang yang ramping melingkar seekor ular yang sebetulnya senjata sabuk ular yang sudah mati.

Maniyoko tidak tahu bahwa dia berhadapan dengan dua orang datuk sakti yang lihai sekaii, yaitu Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, sepasang iblis yang amat lihai dan kejam, yang kini telah menjadi kaki tangan Si Kedok Hitam, membantu gerakan paramata-mata Mongol. Akan tetapi karena di situ dia tidak melihat adanya Si Kedok Hitam, dia menduga bahwa dua orang ini tentulah pembantu pimpinan mata-mata itu, maka dia tidak berani bersikap angkuh dan tetap waspada karena dia belum tahu apa maksud merekamengundangnya, padahal belum lama ini dia dan suhunya serta sumoinya menentang mereka dan bertempur dengan mereka di atas perahu.

"Apa maksudnya aku diundang ke sini?" tanya Maniyoko sambil menoleh kepada si kedok biru yang tadi mengajaknya ke tempat itu.

Ang-bin Moko tertawa. "Engkau murid Tung-hai-liong dan namamu Maniyoko? Ingin tahu mengapa kami mengundangmu atas nama Yang Mulia? Lihatlah di sana itu!"

Dia menuding ke arah belakangnya dan Maniyoko mengangkat muka memandang dan terkejutlah dia. Di sana, sekira seratus meter dari situ, nampak Ouwyang Kim berdiri terikat pada sebatang pohon dan melihat betapa kepala gadis itu terkulai, dia dapat menduga bahwa sumoinya tentu dalam keadaan pingsan atau tertotok lemas.

"Apa yang kalian lakukan kepada sumoi? Hayo cepat bebaskan sumoi!" katanya dan diapun sudah mencabut pedang samurainya dari punggung, siap untuk menerjang mereka.

"Tenanglah, orang muda dan simpan kembali pedangmu.

Sejak semula, Yang Mulia menawarkan kerja sama dengan Tung-hai-liong, namun karena dia keras kepala, maka kerja sama itu gagal." "Tapi kalian telah menawan sumoi di perahu itu, tentu saja kami menentang kalian! Dan sekarang, kalian kembali menawan sumoi!" kata Maniyoko marah.

Pria dan wanita yang aneh itu tertawa. "Hi..hik, orang muda yang tampan. Kalau kami menawan puteri Tung-hailiong, hal itu kami lakukan karena ia yang menyerang kami.

Akan tetapi kami masih ingat akan persahabatan, maka kami tidak membunuhnya. Lihat, kami sekarang menawannyapun dengan maksud baik, agar ia berhutang budi kepadamu, agar engkau meningkat dalam pandangan sumoimu. Bukankah engkau menghendaki agar sumoimu itu kelak dapat membalas cintamu dan menjadi isterimu?"

Maniyoko terkejut. Kiranya wanita yang mukanya seperti mayat itu telah mengetahui isi hatinya. Tentu mereka itu telah mengintai dan mendengar percakapan antara dia dan gurunya.

"Apa maksud kalian? Sebenarnya, mau apa kalian menawan sumoi?"

Pek-bin Moli mendekati pemuda itu dan berbisik-bisik.

Maniyoko mengangguk-angguk. Tak lama kemudian, sepasang iblis itu memberi isyarat dan muncullah enam orang laki-laki yang berpakaian seragam seperti perajurit kerajaan yang memang sudah menerima perintah dari sepasang iblis itu.

Enam orang itu lalu menghampiri Akim yang terbelenggu pada pohon, sedangkan sepasang iblis itu menghilang di balik pohon-pohon. Maniyoko juga menyelinap di balik semak belukar dan mengintai.

Enam orang itu mengambil air dan menyiram kepala dan muka Akim dengan air. Gadis itu akhirnya siuman dan melihat betapa ia terbelenggu pada pohon dan ada enam orang perajurit kerajaan berdiri di depannya, ia berusaha meronta untuk melepaskan diri. Akan tetapi, enam orang itu sudah mencabut pedang dan menodongkan senjata mereka kepadanya.

"Aihhh, jangan mencoba untuk melepaskan diri, nona, atau pedang kami akan melumatkan tubuhmu."

Akim berhenti dan memandang kepada mereka dengan mata mendelik penuh kemarahan. Tadi, ketika ia berjalan hendak menuju ke pintu gerbang kota raja, ia mendengar suara orang memanggilnya dari hutan itu. Ia memasuki hutan dan diserang dua orang kakek dan nenek yang amat lihai. Ia melakukan perlawanan namun akhirnya ia roboh tertotok dan tidak sadar lagi, pingsan.

"Siapa kalian dan mau apa kalian menangkapku? Lepaskan aku!"

Seorang di antara mereka yang berkumis tebal menjawab sembarí tertawa, "Ha..ha, engkau masih bertanya lagi? Lihat pakaian seragam kami. Kami adalah anak buah Panglima Bhok Cun Ki. Kami mendapat tugas menangkapmu dan menghukummu karena engkau telah berani menggoda calon mantu Bhok-ciangkun."

"Menggoda calon mantu Bhok-ciangkun? Kalian gila! Aku tidak mengenal calon mantu Bhok-ciangkun!" Akim membentak marah. Brarpun ia sudah terbelenggu dan ditodong pedang dalam keadaan tidak berdaya, namun sedikitpun ia tidak memperlihatkan rasa takut. "Lepaskan aku!"

"Ha..ha..ha, Bhok-ciangkun telah mengijinkan kami untuk berbuat apa saja terhadap dirimu dan kami tidak akan melepaskanmu begitu saja, manis! Jangan berpura-pura.

Calon mantu Bhok-ciangkun bernama Sin Wan, apakah engkau hendak menyangkal lagi?"

Sepasang mata itu terbelalak. Sin Wan? Dan dia calon mantu Bhok Cun Ki? Tentu saja ia tidak dapat menyangkal bahwa ia mencinta Sin Wan walau kini cintanya berubah menjadi perasaan sedih dan marah karena pemuda itu tidak membalas cintanya. Akan tetapi baru sekarang ia tahu bahwa Sin Wan adalah calon mantu Bhok Cun Ki. Ia teringat akan pembelaan pemuda itu terhadap keluarga Bhok.

"Nah, engkau tidak akan menyangkal, bukan? Itulah sebabnya maka kami disuruh menangkapmu dan membunuhmu. Akan tetapi kami akan mengajakmu bersenang-senang dulu sebelum membunuhmu. Ha..ha..ha!"

Enam pasang tangan itu bergerak, agaknya hendak meraba tubuh Akim yang terbelenggu.

"Jahanam, jangan ganggu sumoi!" terdengar bentakan nyaring dan Maniyoko datang menyerbu dengan pedang samurai di tangan. Enam orang itu terkejut, menggerakkan pedang untuk mengeroyok Maniyoko. Akan tetapi pemuda itu mengamuk dengan pedang samurainya sehingga para pengeroyoknya menjadi gentar, apalagi setelah tiga orang dirobohkan oleh tendangan-tendangan Maniyoko dan yang tiga orang lagi terpaksa melepaskan pedangnya yang patahpatah ketika bertemu pedang samurai. Mereka berenam lalu melarikan diri dan Maniyoko tidak mengejarnya, melainkan cepat menghampiri sumoinya dan melepaskan tali pengikatnya.

Tentu saja Akim girang bukan main. Baru saja ia terlepas dari pada ancaman bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut sendiri. "Terima kasih, suheng. Syukur engkau datang, kalau tidak …….." "Sudahlah, sumoi. Siapakah mereka itu dan bagaimana engkau sampai dapat tertawan oleh orang-orang itu?"

Akim memungut pedangnya yang oleh para penawannya dilempar ke atas tanah, lalu mengikatkan lagi pedangnya di punggung dan iapun mengepal tinju. "Kalau hanya mereka itu yang mengeroyokku, tak mungkin aku dapat mereka tawan.

Akan tetapi yang mengeroyokku adalah dua orang kakek dan nenek yang lihai bukan main. Dan yang lebih menggemaskan, mereka itu disuruh oleh Bhok Cun Ki untuk menangkap, menghina dan membunuhku. Keparat Bhok Cun Ki! Aku harus membuat perhitungan dengan dia!"

"Siapakah Bhok Cun Ki dan mengapa pula dia menyuruh anak buahnya menawanmu, sumoi?"

"Dia seorang panglima di kota raja. Sombongnya bukan main! Baru aku ketahui bahwa dia adalah calon mertua Sin Wan, dan dia menangkapku karena aku dianggap menggoda Sin Wan. Keparat!Siapa ingin merebut mantu orang? Aku harus membuat perhitungan, sekarang juga!"

"Tenanglah, sumoi. Memang penghinaan ini harus dibalas, akan tetapi mengingat dia seorang panglima, kita harus berhati-hati dan menyerbu ke sana dengan diam-diam, jangan sampai kita dikepung ratusan orang perajurit. Aku akan membantumu, Akim."

"Baik, terima kasih suheng. Dan bagaimana suheng dapat berada di sini? Di mana ayah?".

"Suhu telah pulang dan suhu yang mengutus aku untuk menyusulmu dan agar dapat membantu dan menemanimu! Dua orang kakak beradik seperguruan ini dengan hati penuh dendam lalu melanjutkan perjalanan memasuki kota raja.

Tentu saja Maniyoko tidak menceritakan kepada sumoinya tentang pertemuannya dengan Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, tidak menceritakan betapa dia kini telah bergabung dan bekerja sama dengan anak buah Yang Mulia dan bahwa tugasnya yang pertama adalah membantu Akim untuk membunuh Panglima Bhok Cun Ki yang dianggap berbahaya dan musuh besar Yang Mulia! JJJ Bhok Cun Ki pulang dengan wajah pucat dan tubuh lesu.

Baru saja dia dipanggil oleh Sribaginda Kaisar dan di persidangan itu, di mana hadir pula Jenderal Shu Ta dan para menteri, Kaisar marah-marah dan memaki-maki Bhok Cun Ki yang dianggap tidak mampu menjaga keamanan sehingga jaringan mata-mata semakin mengganas. Bahkan hampir saja Pangeran Yen atau Raja Muda Yung Lo dan Putera Mahkota terbunuh oleh penyerbuan anak buah jaringan mata-mata musuh. Berita yang sampai kepada Kaisar adalah berkat ketangkasan Jenderal Yauw Ti dan pasukannya, makausaha pembunuhan itu dapat digagalkan! "Bagaimana sih usahamu menghancurkan jaringan matamata di kota raja? Uhh, sampai kami tidak dapat tidur karena siapa lagi yang dapat kami percaya? Seolah-olah diri kami dikurung oleh mata-mata musuh, tidak tahu lagi kami siapa kawan siapa lawan!" demikian antara lain Sribaginda Kaisar Thai-cu yang kini selalu nampak gelisah itu memarahi Bhok Cun Ki. "Bhok-ciangkun, kalau dalam waktu sebulan engkau belum juga mampu menghancurkan jaringan mata-mata di sini, kami mulaicuriga jangan jangan engkau telah diperalat pula oleh mereka. Sebulan engkau harus mampu menghancurkan mereka, atau kau kami anggap pemberontak dan pengkhianat dan sekeluargamu akan kami suruh jatuhi hukuman mati!"

Ucapan Kaisar ini terasa bagaikan kilatmenyambar di hari panas, amat mengejutkan, akan tetapi juga bagaikan ujung pedang menusuk jantung. Selama puluhan tahun dia mengabdi dengan penuh kesetiaan dan kesungguhan, sudah tak terhitung banyaknya jasa yang disumbangkan untuk negara dan sekarang diamenerima hadiah ancaman seberat itu dari Kaisar! Memang dia tahu bahwa selama beberapa tahun ini terjadi perubahan hebat atas diri Kaisar, sikapnya dan perangainya berubah sama sekali. Pejuang besar Chu Goan Ciang yang kini menjadi Kaisar itu, yang padamulanya memerintah dengan bijaksana dan baik, akhir-akhir ini berubah menjadi pemarah, selalu curiga, tidak mempercayai lagi orang-orang yang tadinya setia kepadanya, dan juga kejam bukan main, mudah menjatuhkan hukuman mati kepada orang-orang yang tadinya amat dekat dengannya, yang tadinya amat setia kepadanya.

Setelah tiba di rumah, Bhok Cun Ki tidak menceritakan ancaman Kaisar itu kepada keluarganya. Dia tahu bahwa terutama, sekali Cu Sui In yang baru saja menjadi isterinya yang sah dan tinggal di rumahnya sebagai isteri terkasih, tentu akan penasaran dan marah sekali kalau mendengar akan peristiwa di istana tadi. Cu Sui In tentu akan marah dan mungkin melakukan hal-hal yang bahkan akan membuat Kaisar semakin curiga kepadanya. Oleh karena itu, dia hanya menceritakan tentang peristiwa di luar kota Cin-an ketika Raja Muda Yung Lo dan Pangeran Mahkota mengadakan pesta pertemuan, tentang penyerbuan mata-mata yang dapat digagalkan.

"Kita tinggal menunggu pulangnya Lili. Pasti ia akan membawa keterangan yang lebih lengkap mengenai peristiwa itu," kata Bhok Cun Ki. "Sebaiknya kalau mulai hari ini kalian berdua ikut waspada dan berjaga-jaga, karena agaknya gerombolan mata-mata semakin nekat dan mengganas,"

pesannya kepada Ci Han dan Ci Hwa.

Entah mengapa, setelah kembali dari istana, hati Bhok Cun Kl merasa tidak tenang dan tidak enak, seolah sikap Kaisar itu ada kaitannya dengan kegiatan jaringan mata-mata. Timbul kekhawatirannya bahwa mungkin saja semua ini sengaja diatur oleh musuh, dan bukan tidak mungkin musuh mengirim pembunuh ke rumahnya! Tentu saja dia tidak khawatir, karena selain dia sendiri dan dua orang anaknya yang memiliki kepandaian cukup untuk membela diri, di sampingnya kini terdapat pula isterinya, Cu Sui In yang boleh diandalkan, bahkan lebih lihai darinya.

Pada malam berikutnya, lewat tengah malam, Ci Han yang melakukan perondaan di sekitar rumah keluarganya, menggantikan adiknya, Ci Hwa yang bertugas jaga sejak sore sampai tengah malam. Mereka hanya berjaga-jaga dan kadang meronda, kalau-kalau ada musuh yang menyusup ke dalam karena di luar pekarangan rumah mereka sudah terdapat pasukan penjaga yang siang malam menjaga keamanan rumah keluarga panglima itu.

Ketika Ci Han berkeliling sampai di taman keluarga yang berada di belakang rumah, tiba-tiba dia berhenti melangkah karena dia melihat bayangan orang berkelebat. Akan tetapi tidak terdengar suara apapun, maka dia meragu, mengira bahwa mungkin itu permainan bayangan pohon yang digerakkan angin malam. Biarpun demikian, dia memasuki taman untukmemeriksa. Taman itu cukup terang karena di sana sini terdapat lampu gantung. Akan tetapi udaranya dingin bukan main.

Dengan tangan kanan di gagang pedang yang tergantung di pinggang kiri, Ci Han melangkah dengan hati-hati ke dalam taman bunga itu. Tiba-tiba dia terkejut karena dari balik rumpun bunga yang tebal muncul dua bayangan orang yang gerakannya gesit sekali. Di bawah sinar lampu dia sempat melihat bahwa dua orang itu adalah seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik.

Dia merasa pernah mengenal wajah gadis cantik itu, akan tetapi belum sempat dia menegur, dua orang itu telah menyerangnya dengan gerakan yang amat cepat. Ci Han mencabut pedangnya, akan tetapi baru saja pedangnya tercabut, gadis itu telah berhasil menotok pundaknya dan diapun terpelanting. Pemuda itu menyambar tubuhnya, lalu memanggul tubuhnya yang lemas tak berdaya.

"Kita bawa dia keluar. Cepat!" kata si gadis dan pemuda itu lalu meloncat, mengikuti gadis itu yang bergerak cepat dan ringan seperti burung terbang saja.

Mereka adalah Ouwyang Kim dan suhengnya, Maniyoko.

Seperti kita ketahui, Akim telah terkena siasat yang dilakukan secara cerdik oleh para pemberontak, yang menyamar perajurit anak buah Bhok Cun Ki yang menawannya dan mengancamnya hendak memperkosanya lalu membunuhnya.

Sudah diatur oleh mereka yang berhasil memperalat Maniyoko sehingga pemuda inilah yang menyelamatkan sumoinya.

Tentu saja Akim marah dan mendendam kepada Bhok Cun Ki dan Maniyoko beraksi membantunya, pada hal memang telah diatur agar Ouwyang Kim membunuh Bhok-ciangkun dibantu Maniyoko.

Kalau sampai usaha ini berhasil, tentu saja pihak musuh untung karena Bhok Cun Ki merupakan lawan dan penghalang yang berbahaya. Andaikata terbalik dan Ouwyang Kim dan Maniyoko yang tewas di tangan panglima yang lihai itu, pihak pemberontak juga untung karena tentu akan terjadi permusuhan antara Bhok-ciangkun dan Tung-hai-liong Ouwyang Cin! Ci Han yang tak mampu bergerak lagi itu dilarikan ke dalam sebuah pondok di dalam hutan, di luar kota raja. Agaknya memang telah diatur sehingga Akim dan suhengnya, dengan Maniyoko sebagai penunjuk jalan, dapat lolos keluar dari kota raja dengan mudahnya. Mereka meloncati pagar tembok dan seolah-olah sengaja dibiarkan saja oleh para penjaga, atau memang mereka itu tidak melihat gerakan dua orang yang amat cepat itu.

Maniyoko melemparkan tubuh Ci Han ke atas sebuah dipan dan sekali dia menotok, Ci Han dapat bergerak. Pemuda ini menggosok-gosok kedua lengannya yang terasa masih lemas, matanya mencorong memandang kepada kedua orang itu di bawah sinar lampu yang cukup terang.

"Siapakah kalian dan mengapa pula kalian menawanku?"

tanya Ci Han, sikapnya tenang dan gagah, sedikitpun tidak memperlihatkan perasaan takut.

"Keparat, sudah menjadi tawanan kami masih bersikap sombong? Engkau perludihajar sedikit agar tidak bersikap angkuh!" kata Maniyoko dan diapun menampar ke arah pipi Ci Han. Ci Han yang sudah terbebas dari totokan tentu saja tidak membiarkan dirinya di tampar begitu saja. Dia telah mempelajari ilmu dari ayahnya sejak kecil, maka cepat diapun menangkis dengan pengerahan tenaganya.

"Dukk!" Dua lengan bertemu dan akibatnya, Ci Han terjengkang saking kuatnya lengan lawannya sehingga dia terkejut bukan main. Kiranya kedua orang penawannya itu lihai bukan main. Tadipun demikian cepatnya gadis itu menotoknya roboh dan kini, sekali mengadu tenaga, diapun terjengkang oleh pemuda itu.

"Suheng, hentikan itu!" tiba-tiba gadis itu berseru dan Maniyoko yang sudah siap menghajar, menarik kembali tangannya dan hanya berdiri bersungut-sungut.

"Sumoi, menghadapi bocah bangsawan sombong ini tidak perlu memberi hati!" Maniyoko mengomel. Akan tetapi dia tidak bergerak lagi karena dia tidak berani menentang kehendak sumoinya.

Setelah Ci Han bangkit lagi dan berdiri tegak, biarpun terkejut namun diasama sekali tidak takut, Ouwyang Kim menghampirinya dan sejenak mereka saling pandang dengan sinar mata penuh perhatian. "Engkau tentu yang bernama.

Bhok Ci Han, bukan?" tanyanya dengan sikap angkuh dan dingin.

"Benar, dan siapa engkau, nona? Apa pula artinya semua ini?"

"Hemm, aku menawanmu sehubungan dengan maksudku untuk membunuh Bhok Cun Ki."

Ci Han tidak merasa heran kalau ada orang-orang memusuhi ayahnya. Ayahnya, sebagai seorang panglima petugas keamanan yang telah membasmi banyak sekali gerombolan penjahat, tentu saja dimusuhi banyak orang kangouw. Akan tetapi kalau yang memusuhi seorang gadis secantik ini dan suhengnya yang juga gagah dan tampan, dia sungguh merasa amat heran.

"Nona, ayahku adalah seorang panglima pembasmi kejahatan, dia bukan orang jahat ......" Dia memancing untuk mengetahui keadaan gadis itu.

"Tentu saja engkau sebagai anaknya tidak mengatakan dia jahat. Akan tetapi, baru kemarin dulu dia telah menghinaku, mengutus orang-orang untuk menangkapku dan membunuhku! Kau bilang perbuatan itu tidak jahat? Aku harus membalasnya, dan aku menangkapmu untuk memaksanya datang ke sini menyerahkan nyawanya kepadaku! Ayahmu seorang pengecut, mengirim orang-orang untuk mengeroyokku, menawanku, bahkan menyuruh orang-orang itu memperkosaku sebelum membunuhku!"

"Tidak mungkin! Tidak mungkin ayah berbuat seperti itu! Kalau dia menangkap gerombolan penjahat, tentu akan diadili dulu, dan tidak mungkin sama sama sekali dia menyuruh anak buahnya membunuh orang, apalagi memperkosa wanita, aku tidak percaya!" Ci Han membantah keras dan merasa penasaran sekali.

"Huh, ayahnya anjing, anaknya tentu anjing pula!"

Maniyoko membentak.

"Tutup mulutmu yang kotor!" Ci Han balas membentak.

"Kami adalah keluarga terhormat, orang-orang yang setia kepada pemerintah, juga selalu menentang kejahatan, tidak mungkin kami sudi berbuat jahat. Ini tentu fitnah!"

"Bhok Ci Han, bagaimanapun engkau menyangkal, aku sendiri yang mengalaminya. Engkau percaya atau tidak terserah. Sekarang, engkau harus menulis surat kepada ayahmu, minta agar dia datang ke sini seorang diri. Kalau dia tidak mau datang, engkau akan kubunuh!"

"Aku tidak sudi!" bentak Ci Han dengan berani. "Nona, pikir baik-baik. Apa yang kaulakukan ini adalah suatu kejahatan! Engkau telah ditipu orang, ayahku, kena difitnah. Aku berani bertaruh dengan nyawaku bahwa bukan ayah yang menyuruh orang-orang menawanmu."

"Mereka berpakaian seragam perajurit, mengaku disuruh ayahmu ……." "Bisa saja penjahat memalsukannya. Buktinya, di Cin-an, para penyerbu yang hendak membunuh Pangeran Mahkota dan Raja Muda Yung Lo juga menyamar sebagai perajurit! Ingatlah, nona, sekali ini mungkin nona ditipu orang. Seorang yang berilmu tinggi seperti nona, sebaiknya waspada dan jangan sampai melakukan perbuatan jahat yang kelak hanya akanmenimbulkan penyesalan dalam kehidupanmu."

"Sumoi, biar kuhajar mulut orang ini!" Maniyoko sudah bangkit berdiri dan menghampiri Ci Han yang masih berdiri tegak.

"Jangan, suheng!" Akim juga membentak suhengnya.

Diam-diam Akim mulai mempertimbangkan ucapan pemuda yang tampan dan gagah itu. Rasanya tidak mungkin seorang yang bersalah bersikap seberani itu. Dan kemungkinan pemalsuan dan fitnah itu memang ada. "Bhok Ci Han, katakan, bukankah Sin Wan merupakan calon mantu ayahmu?"

Mendengar pertanyaan ini, Ci Han tertegun dan tiba-tiba mendengar disebutnya nama Sin Wan, diapun teringat siapa gadis ini. "Ah, sekarang aku ingat. Engkau tentu nona Ouwyang Kim yang dulu pernah datang ke rumah kami bersama Sin Wan!"

Akim tersenyum mengejek, hatinya semakin panas diingatkan peristiwa itu karena pada waktu itu, ia masih mencinta Sin Wan dan mengharapkan pemuda itu membalas cintanya.

"Memang aku Ouwyang Kim. Nah, jawablah pertanyaanku tadi. Bukankah Sin Wan calon mantu ayahmu?"

"Ya, dulunya memang begitu, akan tetapi...." Ci Han merasa ragu-ragu karena tidak perlu dia menceritakan urusan keluarganya kepada orang luar.

"Sumoi, sudah jelas bahwa para perajurit itu adalah anak buah Bhok Cun Ki. Perlu apa lagi bertanya-tanya? Paksa dia menulis surat. Biar aku yang menyiksanya dan memaksanya!" Maniyoko berkata.

Mendengar jawaban sepotong tadi, Akim merasa yakin bahwa tentu Bhok Cun Ki yang menyuruh anak buahnya menangkapnya karena mengira ia hendak menggoda Sin Wan.

Hatinya menjadi panas sekali dan ia menatap wajah Ci Han dengan sinar mata mencorong. "Katakan kepada ayahmu, aku tidak sudi menggoda calon suami orang! Aku tidak serendah itu. Tunggu saja, kuberi waktu sampai besok pagi. Kalau engkau belum juga mau menulis surat kepada ayahmu, aku akan menyerahkan engkau kepada suhengku ini dan jangan katakan bahwa aku kejam!"

Setelah berkata demikian, ia menoleh kepada suhengnya.

"Suheng, aku pusing dan hendak beristirahat. Jaga dia baikbaik, akan tetapi jangan ganggu, tunggu sampai besok pagi."

Gadis itu lalu memasuki ruangan dalam pondok itu dan merebahkan diri di dipan yang sederhana.

Maniyoko memandang kepada Ci Han dan senyumnya membayangkan kekejaman. "Aku akan senang sekali kalau engkau mencoba untuk melarikan diri agar aku mendapat alasan untuk menyiksa dan membunuhmu sekarang juga."

Setelah berkata demikian, Maniyoko duduk bersila dan memejamkan mata, seolah memberi kesempatan kepada Ci Han untuk mencoba melarikan diri.

Ci Han bukan pemuda bodoh. Dari pertemuan tenaga tadi dia tahu bahwa pemuda ini kuat dan lihai sekali. Kalau dia nekat melarikan diri, berarti dia membunuh diri. Apalagi gadis yang lihai itupun berada dekat. Gadis itu adalah puteri Tunghai-liong Ouwyang Cin, demikian keterangan yang pernah dia dengar dari Sin Wan. Dan tentu pemuda pendek ini murid datuk itu. Sungguh berbahaya, dan diapun menjadi gelisah memikirkan ayahnya. Ayahnya difitnah, ataukah kedua orang ini sengaja berpura-pura agar dapat memancing ayahnya di situ untuk mereka bunuh? Sayang, dia menghela napas panjang. Gadis ini kelihatan demikian manis, bahkan dari sikapnya ketika melarang suhengnya bersikap kasar terhadap dirinya, dia tidak percaya bahwa gadis seperti itu berhati jahat. Dia maklum bahwa melarikan diri tidak ada gunanya, maka diapun duduk pula bersila untuk menghimpun tenaga yang mungkin dia perlukan pada hari esok.

Karena menderita tekanan batin, Akim gelisah di atas dipan. Diam-diam harus diakuinya bahwa pemuda tawanan itu amat menarik hatinya. Pemuda itu demikian tabah, pemberani dan gagah, terutama sekali pandang matanya yang demikian lembut namun mengandung keberanian luar biasa. Seorang yang jantan, pikirnya, dan hal ini membuat ia semakin gelisah.

Andaikata benar Bhok Cun Ki yang menyuruh anak buahnya menawannya karena panglima itu marah kepadanya, mengira ia menggoda Sin Wan, hal itu tidak ada sangkutpautnya dengan Bhok Ci Han. Akhirnya, ia dapat jatuh pulas pula dan diganggu mimpi tentang seorang pemuda yang wajahnya berubah-ubah, seperti wajah Maniyoko, kemudian Sin Wan, dan akhirnya wajah Bhok Ci Han.

Tiba-tiba ia dikejutkan dan dibangunkan oleh suara ributribut. Ketika ia membuka matanya, ia mendengar suara orang berkelahi di ruangan depan. Cepat ia meloncat turun dan keluar dari ruangan dalam. Dilihatnya Maniyoko sedang mendesak Bhok Ci Han dengan serangan-serangan maut yang membuat Ci Han repot sekali melindungi dirinya.

29. Penculik .. Ya Pelindung

"Dukk!" Akhirnya, sebuah pukulan mengenai dada kanan Ci Han, membuat pemuda itu terpelanting.

"Suheng, tahan!" Akim membentak dan meloncat ke depan, melerai.

"Sumoi, biar kubunuh jahanam ini! Dia tetap tidak mau menulis surat. Biar kusiksa dia sampai dia mau menulisnya!"

Maniyoko melompat ke depan lagi hendak menghajar Ci Han yang sudah bangkit duduk sambil menekan dada kanannya yang terasa nyeri. Tangan Maniyoko sudah menyambar hendak mencengkeram rambut Ci Han, akan tetapi Akim cepat bergerak ke depan.

"Plakk!" tangan Maniyoko terpental oleh tangkisan Akim.

"Suheng, engkau hendak melawanku?" bentak Akim marah sekali. Maniyoko mengendur.

"Aihh, sumoi, bagaimana engkau masih mau melindungi pemuda ini? Dia adalah putera Bhok Cun Ki yang telah menghinamu!"

"Cukup, suheng! Ini adalah urusanku, engkau tidak berhak mencampuri. Kalau engkau tidak suka, pergilah dan biar kuselesaikan sendiri urusan ini!" Akim menantang dan Maniyoko bersungut-sungut.

"Baiklah, baiklah ...... aku tidak akan mencampuri, sumoi ......" katanya dan diapun berdiri di sudut sambil memandang kepada Ci Han dengan sinar mata penuh kemarahan.

Melihat Ci Han menyeringai kesakitan, Akim segera menghampiri dan membantunya bangkit, lalu membawanya duduk ke atas bangku. "Parahkah lukamu?" tanyanya lembut sehingga membuat Ci Han merasa heran bukan main. Dia menggeleng kepalanya.

"Nah, Bhok Ci Han, engkau akan rugi sendiri kalau tidak mau memenuhi permintaanku. Aku tidak akan memusuhimu, aku hanya ingin berhadapan dengan Bhok Cun Ki untuk minta pertanggung jawabnya atas perbuatan anak buahnya kepadaku kemarin dulu. Tulislah surat itu, undang dia ke sini dan engkau tidak akan kuganggu lagi."

Melihat betapa kembali nona penawannya itu menyelamatkannya dari ancaman penyiksaan dan pembunuhan suheng nona itu, dan mendengar kata-katanya yang lembut, Ci Han menghela napas panjang. "Nona Ouwyang, kalau aku disuruh menulis surat kepada ayah untuk memancing dan menjebaknya ke sini, biar aku disiksa sampai matipun tidak akan kulakukan. Kalau aku diharuskan menulis surat kepada ayah, akan kuceritakan semua yang telah kualami, dan kuperingatkan agar dia berhati-hati. Jadi, percuma saja. Kalau memang engkau hendak membunuhku, silakan, akan tetapi aku tidak mau mencelakai ayah."

"Bhok Ci Han, jangan dikira bahwa aku seorang pengecut yang curang! Aku ingin berhadapan dengan ayahmu sendiri, bukan menjebaknya."

"Sumoi, kalau kaubiarkan dia menulis surat seperti itu, tentu ayahnya akan datang membawa pasukan besar dan kita akan celaka," kata Maniyoko.

"Bhok Ci Han, aku tidak menjebaknya, hanya ingin dia datang seorang diri agar aku dan dia membuat perhitungan atas perbuatan anak buahnya!" kata lagi Akim.

Pada saatitu terdengar suara dari luar rumah. "Nona, aku sudah datang seorang diri. Keluarlah kalau ingin bicara denganku!"

"Ayah ……! sudah datang!" kata Ci Han, gembira akan tetapi juga khawatir. Dia bangkit dan hendak keluar. Maniyoko bergerak hendak menangkapnya, akan tetapi dicegah Akim.

Gadis ini lalu memegang lengan Ci Han dan berkata, "Mari kita keluar, aku hanya tidak ingin ayahmu berbuat curang!"

Ketika mereka bertiga keluar, benar saja yang berdiri di situ adalah Bhok Cun Ki, seorang diri. Kiranya ketika Ci Han ditawan dan dilarikan Maniyoko dan Akim, ada seorang penjaga yang melihat bayangan mereka dan penjaga ini yang tidak sempat mengejar, segera melapor ke dalam. Mendengar ini, Bhok Cun Ki cepat melakukan pengejaran sendiri, demikian pula Cu Sui In. Ci Hwa dilarang melakukan pengejaran, disuruh menjaga dan melindungi ibunya di rumah. Bhok Cun Ki dan Cu Sui In melakukan pengejaran secara berpencar.

Setelah semalam itu berputar-putar mencari jejak orangorang yang menculik puteranya, akhirnya Bhok CunKi pada keesokan harinya, melihat pondok di dalam hutan itu dan dia merasa curiga. Ketika dia menghampiri dan mengintai, dia sempat mendengarkan percakapan antara seorang gadis dan puteranya yang menjadi tawanan, maka diapun segera berteriak memanggil.

Melihat Ci Han keluar digandeng seorang gadis cantik dan diiringkan seorang pemuda tampan yang pendek, Bhok¬ciangkun merasa lega melihat puteranya dalam keadaan selamat.

"Nona muda, aku Bhok Cun Ki telah datang dan berhadapan denganmu, kenapa engkau tidak segera melepaskan puteraku?" tanya Bhok Cun Ki, suaranya tenang dan berwibawa.

"Bhok Cun Ki, aku tidak akan melanggar janji. Setelah engkau berhadapan seorang diri denganku, tentu Bhok Ci Han ini akan kubebaskan. Akan tetapi aku belum yakin apakah orang seperti engkau ini dapat dipercaya. Siapa tahu engkau datang bersama pasukanmu dan begitu puteramu kubebaskan, pasukanmu akan datang menyerbu."

"Nona," Ci Han memprotes, "kenapa nona memandang rendah ayahku seperti ini? Ayahku adalah seorang panglima, seorang pendekar, seorang gagah yang tidak sudi melakukan kecurangan!"

"Hemm, kita lihat saja nanti," kata Akim tanpa melepaskan tangannya yang memegang lengan pemuda itu sehingga nampaknya mereka seperti bergandengan dengan mesra.

"Bhok Cun Ki, kenapa engkau kemarin dulu mengutus seorang kakek dan seorang nenek berpakaian putih, dan enam orang perajurit, menangkap aku dan menyuruh mereka membunuhku setelah menghina dan menyiksaku lebih dahulu? Kalau tidak ada suhengku ini yang datang menolong, tentu sekarang aku telah menjadi korban kekejianmu!"

Bhok Cun Ki mengerutkan alisnya dan matanya mencorong.

"Nona, omongan apa yang kaukeluarkan ini? Aku Bhok Cun Ki selamanya tidak pernah melakukan perbuatan sehina itu! Aku selamanya tidak mengenalmu, mengapa aku harus melakukan hal seperti itu?"

"Ayah, ia adalah nona Ouwyang Kim, puteri Tung-hai-liong Ouwyang Cin dan dia itu murid Tung-hai-liong," kata Ci Han.

Bhok Cun Ki tertegun. "Aih, kiranya puteri Ouwyang Cin.

Sudah lama aku mengenal nama besar Ouwyang Cin dan biarpun dia seorang datuk sesat, namun belum pernah aku mendengar dia melakukan hal-hal yang kurang patut, apalagi menentang pemerintah. Di antara kami tidak pernah bermusuhan, kenapa aku harus melakukan perbuatan hina seperti itu kepada puterinya? Nona Ouwyang, tuduhanmu itu tidak berdasar."

"Tapi .... orang-orang yang menawanku itu, mereka berpakaian perajurit dan mengaku anak buahmu, suruhanmu …...."

"Semua orang bisa saja mengaku demikian, nona."

"Sumoi, jangan percaya padanya! Mana ada maling teriak maling! Bhok Cun Ki, menyerahlah engkau kalau engkau tidak ingin melihat puteramu mati di ujung pedangku!" Maniyoko sudah mencabut samurainya dan menodongkan senjata itu di punggung Ci Han.

"Suheng, jangan ………!" "Sumoi, jangan lemah. Mereka adalah musuh-musuh kita.

Ingat betapa mereka telah menghinamu. Kalau tidak ada aku yang datang menolong, tentu engkau sudah diperkosa mereka beramai-ramai sebelum dibunuh!"

"Tapi.... tapi...." Akim menjadi bingung dan ragu. Kalau teringat akan apa yang dialaminya kemarin dulu, hatinya panas bukan main, akan tetapi melihat sikap Ci Han dan Bhok Cun Ki, timbul keraguan di dalam hatinya. Sikap ayah dan anak itu bukan sikap orang yang bersalah.

Maniyoko yang maklum sepenuhnya akan kelihaian Bhokciangkun, merasa khawatir sekali melihat keraguan sumoinya.

Kalau sampai sumoinya tidak berpihak kepadanya dan panglima itu turun tangan, dia akan celaka. Dia sudah mendengar betapa panglima Bhok ini memiliki tingkat kepandaian yang seimbang dengan gurunya! "Bhok Cun Ki, sekarang saatnya maut menjemputmu!"

bentaknya dan ini merupakan isyarat kepada sekutunya untuk turun tangan.

Terdengar suara tawa ha..ha..ha..hi..hi dan muncullah Angbin Moko dan Pek-bin Moli, juga enam orang yang pernah menyamar sebagai perajurit anak buah Bhok Cun Ki.

Melihat sepasang iblis itu, Bhok Cun Ki terkejut. Ang-bin Moko tertawa dan menudingkan golok gergajinya ke arah muka panglima itu.

"Bhok Cun Ki, saatnya tiba bagimu untuk membayar hutangmu kepada kami, ha..ha..ha!"

"Hem, kiranya Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli yang berdiri di belakang layar. Dua orang datuk besar, sepasang iblis yang pernah mengguncang dunia kang-ouw, kini agaknya telah menjadi anjing penjilat orang-orang Mongol! Betapa menjijikkan!"

Akim terbelalak memandang kepada delapan orang itu.

"Akan tetapi …… kalian.... kalian yang menawan aku dan mengaku disuruh Bhok Cun Ki …….." Pek-bin Moli, wanita bermuka pucat itu terkekeh genit.

"Maniyoko, pemuda ganteng, cepat kaubunuh dulu putera panglima itu!"

Maniyoko menggerakkan pedang samurainya, membacok tubuh Ci Han dari belakang. Pemuda ini menggeser kaki mengelak dan Akim menggerakkan pedangnya.

"Trang ……!!" Pedang itu menangkis pedang samurai suhengnya dan sepasang mata Akim mencorong penuh kemarahan.

"Suheng! Kau …. kau bersekongkoldengan mereka??"

"Sumoi, aku hanya melanjutkan usaha suhu untuk bekerja sama dengan mereka!" Maniyoko membantah. "Biarkan aku membunuh dia!" Maniyoko menyerang lagi ke arah Ci Han, akan tetapi pedang Akim menyambar dan terpaksa Maniyoko menyambut dan terjadilah perkelahian seru antara suheng dan sumoi ini.

"Bantu aku menangkapnya!" Maniyoko berteriak kepada sekutunya karena dia kewalahan menghadapi Goat-im-kiam yang mendatangkan hawa dingin itu. Enam orang anak buah sepasang iblis itu segera membantunya dan mengeroyok Akim "Jangan bunuh, tangkap ia hidup-hidup!" seru Maniyoko yang merasa sayang kalau gadis yang membuatnya selama ini tergila-gila itu sampai terbunuh. Melihat Akim dikeroyok, Ci Han lalu membantu Akim.

"Ci Han, kau pergunakan pedang ini!" kata ayahnya dan Ci Han meloncat ke dekat ayahnya, menerima sebatang pedang.

Kiranya Bhok Cun Ki telah dipancing oleh sepasang iblis yang telah menduga bahwa Ci Han tentu tidak dapat dipaksa menulis surat. Oleh karena itu, mereka membuat surat kepada Bhok Cun Ki dan minta agar panglima itu datang sendiri ke situ. Akan tetapi malam itu, mereka melihat Bhok Cun Ki berkeliaran di hutan, maka mereka hanya mengintai dan menanti, untuk membantu Akim dan Maniyoko.

Ketika melakukan pengejaran terhadap para penculik puteranya, Bhok Cun Ki sengaja membawa pedang cadangan.

Dia dapat menduga bahwa setelah dapat diculik, tentu puteranya itu tidak membawa senjata lagi, maka dia sengaja membawakan sebatang pedang untuk puteranya dan sekarang, benar saja puteranya membutuhkannya.

Dengan pedang di tangan, kini Ci Han membantu Akim mengamuk. Karena tingkat kepandaiannya masih jauh dibandingkan Maniyoko dan Akim, maka diapun hanya membendung pengeroyokan enam orang anak buah sepasang iblis sehingga Akim dapat mencurahkan tenaga untuk menghadapi suhengnya.

Sementara itu, melihat betapa Akim dan Ci Han sudah dikeroyok, sepasang iblis itu tertawa lagi. "Bhok Cun Ki, belasan tahun yang lalu, kami pernah kalah olehmu, akan tetapi sekarang tibalah saat pembalasan kami. Juga, engkau harus mati karena engkau merupakan gangguan bagi gerakan Yang Mulia," kata Ang-bin Moko.

"Anjing penjilat Mongol!" Bhok Cun Ki membentak dan diapun sudah mencabut Ceng-kong-kiam. Nampak sinar kehijauan menyilaukan mata ketika pedangnya tercabut. Bhok Cun Ki adalah seorang ahli pedang Butong-pai yang telah memiliki tingkat tinggi. Selain mahir pedang Butong-pai, juga dia merupakan seorang ahli yang telah memiliki banyak sekali pengalaman bertanding sehingga gerakannya telah matang dan tangguh. Akan tetapi, yang dihadapi sekarang adalah sepasang iblis yang amat berbahaya. Tingkat kepandaian seorang di antara dua iblis itu saja sudah setingkat dengan dia, maka kini dikeroyok dua, apalagi kini sepasang iblis telah melatih diri dengan ilmu-ilmu keji, maka dia tahu bahwa dia terancam bahaya dan harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk dapat mengimbangi mereka.

"Sing..sing..sing …..!" Golok gergaji di tangan Ang-bin Moko mulai menyerang bertubi-tubi, menyambar-nyambar bagaikan seekor burung elangmencari mangsa. Namun, Bhok Cun Ki pernah dijuluki Sin-kiam-eng (Pendekar Pedang Sakti), maka diapun mengelebatkan pedangnya, sambil mengelak pedangnya membabat ke arah pergelangan tangan yang memegang golok sehingga terpaksa lawannya menarik kembali serangannya dan mulai menyerang dengan jurus baru.

Sementara itu, bagaikan seekor ular yang hidup, sabuk ular di tangan Pek-bin Moli sudah menyambar-nyambar dan tercium bau amis ketika sabuk itu menyambar lewat dekat kepala Bhok Cun Ki. Seperti juga tadi, Bhok Cun Ki mengelak dan membalas dengan serangan ke arah lengan lawan.

"Syuuuuuuttt ……..!" Angin yang aneh menyambar dan cepat Bhok Cun Ki melempar tubuh ke samping, maklum bahwa yang menyambarnya adalah hawa pukulan beracun yang amat jahat. Itulah Toat-beng-tok-ciang, pukulan beracun jarak jauh yang amat berbahaya. Dan kini, sepasang iblis itu sambil menggerakkan senjata menyerang, juga menyelingi dengan pukulan tangan beracun jarak jauh, juga jari tangan kiri mereka kadang-kadang menyerang dengan totokan Touwkut-ci (Jari Penembus Tulang).

Diam-diam Bhok Cun Ki terkejut. Pukulan beracun dan totokan jari itu tidak kalah bahayanya dibanding golok gergaji dan sabuk ular. Diapun memutar pedangnya sehingga terbentuklah gulungan sinar yang melingkar-lingkar melindungi tubuhnya dan kadang-kadang saja dari gulungan sinar itu mencuat ujung pedangnya untuk membalas. Namun, dia hanya mendapatkan kesempatan sedikit saja untuk dapat membalas hujan serangan lawan.

Sementara itu, Akim dan Ci Han terdesak hebat oleh Maniyoko dan enam orang anak buah sepasang iblis yang juga memiliki ilmu kepandaian yang cukup kuat. Akim sebetulnya lebih lihai dibanding suhengnya dan andaikata Maniyoko maju seorang diri, dia pasti akan kalah oleh sumoinya itu. Akan tetapi, Maniyoko dibantudua orang yang cukup lihai, sedahgkan Ci Han dikeroyok empat orang yang membuat dia, terdesak pula.

Biarpun dirinya terdesak oleh suhengnya dan dua orang pengeroyok, namun Akim selalu memperhatikan keadaan Ci Han. Ketika ia melihat Ci Han terdesak hebat dan pemuda itu hanya dapat memutar pedang melindungi tubuhnya dari hujan senjata yang digerakkan empat orang pengeroyoknya, Akim merasa khawatir sekali dan beberapa kali ia menengok.

Perhatiannya terpecah sehingga ketika sebatang pedang pengeroyoknya menyambar leher, ia terlambat mengelak sehingga ujung pedang itu masih melukai pundak kirinya. Ia terkejut, akan tetapi bukan karena pundaknya terluka, melainkan melihat Ci Han terkena tendangan sehingga tubuh pemuda itu terpelanting. Tanpa memperdulikan keadaan diri sendiri, Akim meloncat dan pedangnya bergerak cepat menerjang empat orang yang sudah hendak mengirim serangan susulan yang akan mematikan Ci Han.

"Trang-trang ……!"" Seorang pengeroyok terjungkal dengan dada terluka pedang Gwat-im-kiam. Ci Han yang sudah mengeluarkan keringat dingin karena tadi nyawanya terancam, kini meloncat lagi.

"Terima kasih ……..!" Ci Han berkata dan Akim merasa terharu. Ia sekarang melihat bahwa ia telah tertipu oleh Maniyoko yang bersekongkol dengan mata-mata Mongol.

Tahulah ia bahwa ketika ia ditawan, lalu ditolong Maniyoko dan pengakuan para penculiknya bahwa mereka disuruh oleh Bhok Cun Ki, semua itu bohong belaka. Semua itu merupakan siasat yang sudah diatur Maniyoko dengan sekutunya sehingga ia kena dikelabui dan ia memusuhi keluarga Bhok. Ia bahkan telah bersama suhengnya itu menculik Ci Han! Dan pemuda itu agaknya sama sekali tidak, mendendam kepadanya! "Cepat ke sini, kita saling melindungi!" katanya kepada Ci Han. Pemuda itu mengerti dan dia khawatir melihat pundak kiri gadis itu terluka. Bajunya telah berlumuran darah! Cepat dia meloncat dan berdiri saling membelakangi dengan Akim, dengan demikian, mereka dapat saling melindungi dan tidak dapat dibokong dari belakang. Mereka berdiri sambil memasang kuda-kuda, sedangkan Maniyoko bersama sisa anak buah sepasang iblis, yaitu tinggal lima orang karena yang seorang telah roboh oleh Akim, mengepung sambil bergerak perlahan mengitari dua orang muda itu.

"Bunuh pemuda ini, tangkap gadisnya," kata pula Maniyoko yang membuat Akim marah bukan main. Sejak kecil suhengnya ini dipelihara ayahnya, dididik dan disayang.

Kiranya sekarang telah menjadi pengkhianat yang berniat buruk terhadap dirinya.

"Maniyoko, engkau manusia berhati binatang, tak mengenal budi!" bentak Akim akan tetapi segera ia bersama Ci Han harus memutar senjata untuk melindungi diri dan menangkis sambaran senjata enam orang pengeroyok itu.

Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring dan serangkum hawa menyambar ke arah enam orang pengeroyok. Lima orang anak buah itu terjengkang, sedangkan Maniyoko sendiri terhuyung kebelakang. Bukan main kagetnya ketika pemuda Jepang ini melihat bahwa yang muncul dan menyerang dengan dorongan jarak jauh itu bukan lain adalah gurunya sendiri, Tung-hai-liong Ouwyang Cin! Sebaliknya, Akim girang bukan main melihat ayahnya. Tak disangkanya bahwa ayahnya akan muncul, dan tahulah ia bahwa diam-diam ayahnya agaknya merasa tidak enak dan menyusulnya ke kota raja. Iapun teringat akan keadaan Bhok Cun Ki yang kini didesak hebat oleh kakek dannenek mengerikan itu.

"Ayah, Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli itu hampir saja berhasil menyiksa dan membunuhku. Ayah, aku telah dihina mereka, balaskan, ayah. Mereka bahkan menghina dan mencemooh ayah, menganggap ayah takut kepadanya. Dan Maniyoko binatang tak mengenal budi ini bersekongkol dengan mereka!"

Mendengar ucapan puterinya itu, merah wajah kakek gendut itu. Takut merupakan pantangan baginya dan dikatakan takut merupakan penghinaan yang paling besar.

Maka, mendengar ucapan Akim, mukanya merah dan seluruh tubuhnya gemetar, tanda bahwa ia sedang mengerahkan tenaga sin-kang, siap untuk bertempur. Kemudian, setelah mengeluarkan pekik seperti para pendekar samurai Jepang kalau berlagak, Tung-hai-liong Ouwyang Cin menyerbu ke dalam pertempuran antara BhokCun Ki yang dikeroyok dua.

"Ouwyang Cin, bajak Jepang rendah, jangan banyak lagak di sini!" bentak Ang-bin Moko yang cepat menyambut kakek gendut itu. Pada saat itu, Ouwyang Cin menyambar dengan pukulan tamparan yang amat kuat, dan Ang-bin Moko cepat mengerahkan Toat-beng-tok-ciang untuk menyambut.

"Dessss …….!!" Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya, tubuh Ang-bin Moko terdorong mundur sampai tujuh langkah.

Ouwyang Cin sendiri terkejut karena biarpun dia lebih kuat dan tubuhnya tetap tegak, namun telapak tangannya yang tadi bertemu dengan telapak tangan Ang-bin Moko terasa panas dan gatal! Tahulah dia bahwa lawan menggunakan pukulan beracun yang amat berbahaya sehingga telapak tangannya yang sudah kebal terhadap senjata tajam dan terhadap racun itu kini tetap saja tertembus.

Setelah mengerahkan sin-kang untuk menahan pengaruh hawa beracun yang menyusup ke telapak tangan kanannya itu. Tung-hai-liong Ouwyang Cin mencabut pedangnya dan nampak sinar yang menyilaukan mata. Pedang Jit-ong-kiam (Raja Matahari) telah tercabut dan pedang ini memang mengkilat dengan cahaya yang berkilauan. Akan tetapi Angbin Moko juga sudah memegang golok gergajinya, maka tanpa banyak cakap lagi, kedua orang datuk ini sudah saling terjang dengan ganasnya.

Karena kini Ang-bin Moko mendapat lawan tangguh, Bhok Cun Ki terbebas dari pengeroyokan dan pertandingan antara dia dan Pek-bin Moli berjalan dengan seru dan seimbang.

Sabuk ular di tangan Pek-bin Moli menyambar-nyambar, namun dapat diimbangi gulungan sinar pedang di tangan Bhok Cun Ki. Tingkat kepandaian mereka memang seimbang maka masing-masing harus mengerahkan seluruh tenaga dan menguras semua kepandaian untuk dapat mengalahkan lawan.

Yang paling hebat adalah perkelahian antara Tung-hai-liong Ouwyang Cin melawan Ang-bin Moko. Keduanya mengeluarkan jurus-jurus paling ampuh dan keduanya bernafsu besar untuk saling membunuh. Karena maklum bahwa lawan amat berbahaya, maka keduanya ingin saling mendahului.

Berkali-kali Jit-kong-kiam beradu dengan golok gergaji.

Demikian kerasnya pertemuan kedua senjata ini sehingga nampak bunga api berpijar dan berhamburan, disertai suara nyaring yang menusuk telinga. Namun, kedua senjata itu tidak menjadi rusak. Agaknya kedua senjata itu memang merupakan senjata ampuh yang kuat dan keras.

"Singgg ……..!" Kembali kedua senjata itu menyambar dengan gerakan amat kuat, didorong tenaga sin-kang yang memenuhi kedua tangan yang memegangnya. Di udara, kedua senjata itu bertemu lagi untuk ke sekian puluh kalinya.

"Trakkkk!!" Sekali ini, pertemuan keduasenjata itu sedemikian kuatnya seolah terjadi ledakan kilat dan keduanya terkejut karena melihat betapa senjata andalan masingmasing telah patah-patah! Dua buah senjata itu akhirnya tidak kuat menahan hantaman yang dilandasi tenaga sin-kang itu dan patah.

Keduanya terkejut dan marah bukan main. "Keparat!"

bentak Tung-hai Liong Ouwyang Cin.

"Jahanam!" Ang-bin Moko juga membentak dan keduanya lalu menggerakkan kaki maju dan saling terjang dengan nekat.

"Plakk ………!!" Kedua telapak tangan mereka saling bertemu dengan kuatnya dan seperti melekat! Kini mereka, dua orang datuk itu, mengadu tenaga dengan nekat, cara bertanding yang hanya diakhiri dengan salah seorang di antara mereka putus nyawa! Mereka saling serang melalui penyaluran tenaga lewat tangan mereka, saling dorong.

Keduanya saling tatap dengan mata mendelik, seluruh tenaga dari pusar mendorong lawan melalui kedua telapak tangan.

Demikian hebat mereka mengerahkan tenaga sampai uap perlahan mengepul keluar dari kepala mereka! Setelah kini mengadu sin-kang, Ouwyang Cin kembali merasa betapa hawa beracun yang amat kuat menyerangnya melalui telapak tangan. Dia tahu akan bahayanya hal ini, namun kini dia tidak dapat mundur lagi. Siapa mundur tentu akan binasa! Dalam keadaan seperti itu, tidak ada seorangpun yang akan mampu memisahkan mereka tanpa menghadapi bahaya maut bagi dirinya sendiri. Maka, tidak ada jalan lain kecuali mengerahkan lagi seluruh tenaganya untuk merobohkan lawan sebelum hawa beracun itu menyusup semakin dalam ke tubuhnya.

Dia melihat betapa kedua tangannya, sampai ke pergelangan, mulai berubah menghitam. Itu tandanya bahwa dia telah keracunan secara hebat! Dan hawa beracun yang menimbulkan panas dan gatal itu dengan kuatnya hendak menyusup terus ke dalam. Hanya dengan sinkangnya yang kuat saja maka hawa beracun itu dapat tertahan.

Sementara itu, Ang-bin Moko juga terkejut bukan main. Tak disangkanya ada orang di dunia ini yang sanggup menerima Toat-beng-tok-ciang, ilmunya yang mengandung racun mematikan itu. Bahkan dia mulai terdorong dan ketika dia mempertahankan, perlahan-lahan, senti demi senti, kedua kakinya amblas ke dalam tanah yang diinjaknya. Demikian kuatnya tenaga lawan mendorongnya! Dia mencoba untuk mempertahankan, namun dia kalah kuat.

Uap putih semakin tebal mengepul di atas kepalanya, napasnya mulai memburu dan matanya mendelik, mukanya yang biasanya berwarna merah itu kini mulai berkurang merahnya, berubah pucat. Dia berusaha mengerahkan lagi tenaganya, akan tetapi seperti bendungan pecah, dia muntahkan darah segar dan kedua kakinya kini amblas sampai sebatas lututnya. Akhirnya, dia mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya seperti terjengkang, roboh telentang di atas tanah dengan kedua kaki terjepit tanah sampai di lutut. Akan tetapi, ketika dua pasang telapak tangan itu terlepas, tubuh Ouwyang Cin juga terhuyung ke belakang dan hampir saja dia roboh.

Dia masih mampu bertahan, dan memandang kepada kedua lengannya yang sudah menghitam sampai ke atas siku! Sebagai seorang datuk yang berilmu tinggi, maklumlah Ouwyang Cin bahwa maut sudah berada di ambang pintu.

Maka, diapun menguatkan dirinya, lalu memandang ke arah puterinya yang bersama seorang pemuda yang gagah dikeroyok oleh Maniyoko dan lima orang lain. Pemuda yang saling melindungi dengan puterinya itu cukup indah gerakan pedangnya, ilmu pedang Butong-pai, akan tetapi masih kalah jauh dibandingkan Maniyoko sehingga keadaan puterinya terancam.

"Maniyoko, keparat engkau!" Ouwyang Cin melompat dan sekali menggerakkan kedua tangan yang menghitam itu, Maniyoko terhuyung dan dua orang pengeroyok roboh dan tewas! "Suhu, aku hanya melanjutkan cita-cita suhu! Aku ingin menjadi raja muda kelak!" Maniyoko membantah ketika melihat suhunya melangkah menghampirinya, sedangkan tiga orang sisa pembantunya masih mengeroyok Akimdan Ci Han.

"Setan kau! Kenapa engkau mengeroyok Akim?"

"Bukankah suhu sudah memberikan ia untukku? Bukankah suhu sudah setuju kalau ia menjadi jodohku?" kembali Ma¬niyoko membantah.

"Setuju berjodoh denganmu bukan berarti setuju engkau mempermainkannya! Apalagi engkau bersekongkol dengan iblis itu untuk mencelakainya. Engkau tidak berhak hidup lagi!"

Setelah berkata demikian, Ouwyang Cin yang sudah mulai lemah itu bergerak menyerang muridnya sendiri.

"Suhu! Suhu ingin membunuh murid sendiri, bangsa sendiri? Suhu tidak melihat senjata pusaka bangsa kita ini?"

Maniyoko memperlihatkan pedang samurai di tangannya dan sejenak Ouwyang Cin tertegun memandang kepada senjata yang merupakan senjata mustika yang dihormati dan dikeramatkan bangsa Jepang itu. Pada saat dia tertegun dan terpukau di depan muridnya memandang pedang samurai, tiba-tiba dengan kedua tangannya, Maniyoko menyerang dengan menusukkan pedang samurai itu sekuat tenaga ke perut gurunya.

Serangan itu terlalu cepat datangnya, terlalu dekat dan pada saat itu tubuh Ouwyang Cin memang sudah lemah oleh hawa beracun, maka tanpa dapat dihindarkan lagi, pedang samurai itu menusuk perut Tung-hai-liong Ouwyang Cin dan tembus sampai ke punggung! Ouwyang Cin terbelalak, kedua lengannya menyambar dari kanan kiri dan sepuluh buah jarinya mencengkeram kedua pundak Maniyoko dekat leher.

Pemuda Jepang itu terbelalak, tidak mampu bergerak karena seluruh tubuhnya terasa kaku dan nyeri seperti ditusuki seribu batang jarum. Lehernya berubah menghitam yang menjalar terus ke mukanya dan diapun terkulai, roboh bersama gurunya yang masih mencengkeram kedua pundaknya. Guru dan murid itu tewas dalam waktu yang bersamaan.

Karena kini hanya menghadapi tiga orang pengeroyok, dan melihat betapa ayahnya tadi terluka ketika melawan Ang-bin Moko, Akim menjadi khawatir sekali. Bersama Ci Han, ia mengamuk dan dalam waktu singkat saja ia merobohkan dua orang penyeroyok, sedangkan orang ke tiga roboh oleh tusukan pedang Ci Han.

Pada saat itu, perkelahian antara Bhok Cun Ki dan Pek-bin Moli masih berlangsung seru karena memang tingkat kedua orang ini seimbang. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Siluman betina, jangan menjual lagak di sini!"

Bentakan itu keluar dari mulut Bi-coa Sianli Cu Sui In! Wanita ini juga mencari jejak para penculik putera tirinya dan berpencar dari suaminya. Karena ia mencari ke lain jurusan, maka sampai semalam itu ia tidak dapat menemukan Ci Han, bahkan tidak bertemu dengan suaminya.

30. Perut Gendut Yang Mencurigai

Akhirnya, menjelang pagi ia mengubah arah pencariannya sambil menyusul suaminya dan pada pagi hari itu, ia melihat suaminya sedang bertanding mati-matian melawan seorang wanita tua yang masih cantik, yang berpakaian serba putih dan bermuka pucat seperti mayat. Sebagai bekas tokoh kangouw, tentu saja ia segera mengenal bahwa wanita itu adalah Pek-bin Moli (Iblis Betina Muka Putih) yang merupakan seorang datuk sesat, maka ia membentak dan segera terjun membantu suaminya.

Gulungan sinar hitam menyambar dan Pek-bin Moli terkejut bukan main. Iapun mengenal Si Dewi Ular Cantik dengan pedang yang bersinar hitam itu, dan mukanya yang sudah pucat menjadi semakin pucat. Melawan Bhok Cun Ki saja sudah amat sukar mencapai kemenangan, kini muncul tokoh wanita dari Bukit Ular yang lebih lihai lagi ini. Ia mencoba untuk melawan dengan sabuk ularnya, namun karena hatinya sudah gentar, dalam beberapa jurus saja sabuk ularnya putus menjadi tiga potong oleh Hek-coa-kiam (Pedang Ular Hitam) di tangan Cu Sui In.

Apalagi Bhok Cun Ki juga mengurung dengan sinar pedangnya yang indah dan ampuh, maka kini Pek-bin Moli terdesak hebat. Ia masih mencoba untuk menggunakan pukulan beracunnya, yaitu Toat-beng-tok-ciang dan juga totokan Touw-kut-ci, namun kedua orang lawannya terlalu kuat dan sudah menduga bahwa pukulannya itu mengandung racun yang berbahaya. Mereka menghindar sambil menghujankan serangan, dan akhirnya, pedang Hek-coa-kiam menyambar dahsyat dan membabat leher Pek-bin Moli sehingga iblis betina itu roboh dengan leher hampir putus, tewas seketika.

Suami isteri itu cepat menghampiri Ci Han yang berdiri seperti patung memandang Akim yang berlutut dan menangis di dekat mayat ayahnya dan suhengnya. Guru dan murid itu tewas dalam keadaan yang mengerikan. Kedua tangan Ouwyang Cin yang menghitam sampai ke pundak, masih mencengkeram kedua pundak Maniyoko yang tewas dengan mata mendelik dan dari pundak ke kepala berubah menghitam. Sebatang pedang samurai menembus perut Ouwyang Cin, seperti gambaran seorang pendekar samurai yang tewas membunuh diri.

Melihat wajah Tung-hai-liong Ouw yang Cin, berkerut sepasang alis Cu Sui In, ia segera mengenal datuk itu.

"Bukankah dia datuk bajak laut dari timur Ouwyang Cin?"

Bhok Cun Ki mengangguk sambil menghela napas.

Peristiwa yang baru terjadi terlalu hebat, dan dia merasa beruntung sekali bahwa puteranya tidak sampai tewas atau cedera dalam peristiwa itu.

"Dan siapa pemuda yang dicekiknya itu?" tanya pula Cu Sui In.

Kini Ci Han yang menjawab. "Dia bernama Maniyoko muridnya, ibu."

"Hemm, jadi yang menculikmu adalah keluarga bajak laut ini, Ci Han?" tanya pula Cu Sui In.

Akim yang masih bercucuran air mata itu tiba-tiba bangkit berdiri. Bajunya berdarah dari luka di pundak kirinya. "Akulah yang menculik Bhok Ci Han. Aku dan mendiang suheng Maniyoko. Aku siap menerima hukuman!"

Sikapnya tegas dan tabah, akan tetapi suaranya gemetar dan tubuhnya lemas karena ia memang telah banyak darah mengalir keluar dari lukanya dan iapun lelah sekali menghadapi pengeroyokan tadi.

"Siapa gadis ini?" tanya Cu Sui ln, suaranya dingin dan marah.

"Ia bernama Ouwyang Kim, puterinya, ibu."

"Bagus, kalau begitu memang sepantasnya dibunuh sekali agar tidak mengotori dunia!" Cu Sui In mengangkat pedangnya, akan tetapi sebelum pedang itu menyambar, Ci Han melompat ke depan Akim yang berdiri tegak dan tidak berkedip menanti datangnya serangan.

"Ibu, jangan ……!!" teriak Ci Han.

Cu Sui In mengerutkan lagi alisnya dan memandang heran.

Juga Bhok Cun Ki memandang puteranya, akan tetapi dia lalu berkata lirih kepada isterinya. "Sui In, tenang dulu,biar aku yang mengurusnya."

Sui In mengangguk, dan kini Bhok Cun Ki memandang kepada puteranya yang bersikap melindungi Akim, juga kepada gadis itu yang dengan gagahnya siap menerima hukuman! "Ci Han, kenapa engkau membela puteri Ouwyang Cin? Bukankah ia dan suhengnya yang menculikmu?"

"Ayah, nona Ouwyang Kim adalah seorang gadis yang baik, seorang gadis yang gagah perkasa dan kalau tidak ada ia yang melindungiku, tentu sudah lama aku tewas di tangan Maniyoko itu. Bagaimanapun juga, aku tidak membolehkan siapapun mengganggunya, apa lagi membunuhnya. Biarlah aku yang dibunuh dulu kalau ibu hendak membunuhnya!"

Melihat sikap ini, Bhok Cun Ki saling pandang penuh arti dengan isterinya. Diapun masih hendak menyelami perasaan puteranya, "Kami tidak akan membunuhnya. Akan tetapi, aku harus melaporkannya karena agaknya keluarganya bersekutu dengan gerombolan pemberontak dan mata-mata Mongol."

"Tidak, ayah! Harap ayah jangan tangkap Ouwyang Kim.

Aku yang menanggung bahwa ia tidak bersalah ......"

Tiba tiba terdengar rintihan Akim dan Ci Han cepat membalik dan merangkul gadis itu yang terkulai dan roboh.

"Nona.... engkau …… kenapakah? Engkau.... tidak apaapakah engkau …...?" tanyanya sambil mengguncang tubuh gadis yang telah memejamkan matanya dan nampak pucat itu.

"Aku ….. Ci Han.... biarkan ..... mereka menghukumku …..

biar aku menebus dosa ayah dan suheng …….." "Tidak, Akim. Tidak! Aku yang akan melindungimu!" teriak Ci Han dan gadis itu mengeluh lalu pingsan dalam rangkulan Ci Han.

"Jangan khawatir, Ci Han. Ia hanya pingsan karena kelelahan dan mungkin terlalu banyak darah keluar dari lukanya. Mari kita bawa ia pulang dan kita rawat di rumah."

Ci Han memandang ayahnya, lalu ibu tirinya. "Ayah dan ibu ….. tidak …… tidak akan membunuh atau menawannya …….? Tidak, bukan …….?" Bhok Cun Ki tersenyum. Kini dia merasa yakin bahwa puteranya telah jatuh cinta kepada penculiknya sendiri. Juga Cu Sui In tersenyum karena ia maklum bagaimana rasanya orang jatuh cinta dan tersiksa oleh perasaan cinta itu.

Pada saat itu, beberapa orang perajurit anak buah Bhok Cun Ki yang tadi ikut pula mencari, datang dan Bhok-ciangkun segera memberi pesan kepada mereka agar mereka mengurus semua jenazah baik-baik, bahkan memberi peti mati yang selayaknya kepada dua jenazah Ouwyang Cin dan Maniyoko dan menyediakan meja sembahyang untuk jenazah guru dan murid itu, di dalam pondok yang terdapat di situ.

Enam mayat yang lain dapat segera dikubur tanpa diadakan upacara sembahyang karena tidak diketahui siapa keluarga mereka. Kemudian, dia, Sui In dan Ci Han membawa Akim yang pingsan dan lemah itu masuk ke kota raja, ke rumah keluarga Bhok.

Bhok Cun Ki dan Cu Sui In memeriksa Akim dan mendapat kenyataan bahwa seperti yang mereka duga, gadis itu pingsan karena lemah, juga karena tekanan batin melihat kematian ayahnya. Setelah memberi obat dan gadis itu jatuh pulas, mereka tidak mengganggunya, membiarkannya tidur dan memulihkan tenaga, kemudian di kamar itu juga, mereka mendengarkan keterangan Ci Han. Ci Hwa juga berada di situ dan ikut mendengarkan, bersama ibunya.

Ci Han lalu menceritakan betapa dia diculik oleh Akim dan Maniyoko dan betapa Akim hendak membalas dendam karena gadis itu kemarin dulu ditawan oleh Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli bersama enam orang yang menyamar perajurit dan mengaku disuruh oleh Bhok-ciangkun. Baru kemudian Akim mengetahui bahwa yang melakukan sandiwara untuk melakukan fitnah terhadap Bhok-ciangkun itu bukan lain adalah Maniyoko sendiri yang telah bersekongkol dengan sepasang iblis bersama enam orang anak buahnya itu. Betapa Akim mati-matian membela dan melindunginya ketika dia akan dibunuh Maniyoko.

"Setelah tahu bahwa ia dikelabui suhengnya sendiri, Akim lalu memihak ayah dan aku, melawan Maniyoko dan orangorangnya, sedangkan ayah dikeroyok sepasang iblis itu. Lalu muncul ayah Akim yang segera membantu puterinya, kemudian bertanding melawan Ang-¬bin Moko yang dapat dibunuhnya, akan tetapi agaknya dia keracunan dan tewas ditusuk samurai oleh Maniyoko yang juga dapat dibunuhnya.

"Nah, bukankah Akim sama sekali tidak bersalah, ayah? Juga Tung-hai-liong Ouwyang Cin itu datang-datang memihak kita dan menyerang Ang-bin Moko. Tidak sepatutnya kalau kita sekarang membikin susah Akim yang sudah kehilangan ayah dan suheng. Yang bersalah adalah Maniyoko, akan tetapi suhengnya itu telah menebus dosa dan tewas di tangan gurunya sendiri."

Semua orang mengangguk-angguk dan bahkan Cu Sui In tidak lagi menyalahkan Akim yang tadinya menculik Ci Han.

"Tidak, kami memang bersalah .... keluarga kami memang tidak benar …….." Semua orang menengok dan yang bicara adalah Akim. Ci Han segera menghampiri dan duduk di tepi pembaringan. Dari sikapnya yang tidak sungkan lagi ini saja mudah diketahui bahwa pemuda ini memang jatuh cinta kepada Akim. Sikapnya yang lembut dan tidak sungkan sama dengan pengakuannya terhadap semua keluarganya bahwa dia telah menemukan pilihan hatinya.

"Akim, engkau masih lemah, tidak perlu banyak bicara.

Beristirahatlah dulu ……." Ci Han membujuk.

Akim tersenyum penuh keharuan. Ia sendiri dapat melihat dengan jelas sinar mata pemuda itu ketika memandang kepadanya, dapat merasakan getaran dalam suara itu dan ia terharu. Bagaimana mungkin seorang pemuda seperti ini dapat jatuh cinta kepada seorang gadis liar seperti dirinya? "Aku harus memperkenalkan diriku agar semua tahu siapa aku sebenarnya. Kalau tidak, aku akan selalu merasa sungkan dan tidak enak. Dan pengakuan ini akan saya berikan kepada Paman Bhok ….... eh, maksudku Panglima Bhok …...." "Engkau boleh menyebutku paman, Akim, aku lebih senang dengan sebutan itu," kata Bhok Cun Ki dengan lembut dan Akim mengangguk dengan pandang mata berterima kasih.

"Begini, Paman Bhok. Belum lama ini, ayah kedatangan Butek Kiam-ong, seorang di antara Bu-tek Cap-sha-kwi yang membawa barang-barang berharga hadiah dari yangdia sebut Yang Mulia, yaitu pimpinan orang-orang Mongol yang hendak memberontak dan membangun kembali Kerajaan Mongol.

Ayah diajak bekerja sama dan dijanjikan kelak kalau berhasil akan dijadikan raja muda. Ayah kena terbujuk dan bersedia memenuhi panggilan pimpinan mata-mata, berangkat bersama mendiang suheng, yaitu Maniyoko."

Ia berhenti sebentar, menghela napas. Mendengar ini, hati Ci Han merasa tidak enak sekali. Tidak senang dia mendengar gadis yang dicintanya menceritakan keburukan keluarganya sendiri. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak senang dalam hati orang tuanya! "Akim perlukah engkau ceritakan semua itu? Ayahmu dan suhengmu telah meninggal dunia, tidak perlu diceritakan lagi ….. " kata Ci Han.

"Biarlah, Ci Han. Biar semua orang mengetahui dan mengenal siapa diriku," kata Akim berkeras, lalu melanjutkan, "Ibu dan aku sendiri tidak senang mendengar ayah dapat terbujuk oleh orang-orang Mongol. lalu mengutus aku untuk menyusul ayah dan Maniyoko yang sudah berangkat ke kota raja, dan ibu minta agar aku berkeras membujuk ayah jangan sampai melibatkan diri dengan orang-orang Mongol. Maka berangkatlah aku. Aku selalu menentang para pemberontak yang dipimpin orang yang disebut Yang Mulia, yang selalu menge¬nakan kedok hitam."

Ia lalu menceritakan semua pengalamannya ketika ia menolong Sin Wan yang hampir terbunuh oleh Si Kedok Hitam, kemudian tentang penawanan atas dirinya yang dilakukan Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli yang ternyata bekerja sama dengan suhengnya sendiri, Maniyoko yang menggantikan gurunya bersekutu dengan orang-orang Mongol. Betapa ia pernah ditawan pula oleh gerombolan mata-mata itu dan dijadikan sandera untuk memaksa ayahnya dan suhengnya untuk membunuh Raja Muda Yung Lo dan Pangeran Mahkota yang sedang mengadakan pesta di perahu dekat Cin-an.

"Mulai saat itu juga, ayah sudah berbalik sikap, tidak sudi bekerja sama dengan orang-orang Mongol, bahkan menentang mereka. Biarpun demikian, terus terang kuakui bahwa tadinya ayahku memang terkena bujukan orang Mongol. Ayah bercita-cita besar dan akhirnya ……." Akim memejamkan kedua matanya dan beberapa titik air mata menetes turun ke atas kedua pipinya.

"Sudahlah, Akim. Semua itu sudah berlalu, kami sekeluarga tidak ada yang menyalahkanmu atau mendiang ayahmu," kata Ci Han menghibur. "Dan mulai sekarang, engkau dapat hidup tenang dan damai di sini, di sampingku …....."

Akim terbelalak, memandang pemuda itu, lalu menoleh dan memandang kepada Bhok-ciangkun dan kedua isterinya, juga kepada Ci Hwa yang sejak tadi hanya ikut mendengarkan saja.

Ia melihat betapa semua wajah itu tersenyum cerah, bahkan Sui In mengangguk kepadanya.

"Ci Han, apa .... apa artinya ucapanmu itu …….?" Ci Han yang sudah jatuh cinta itu, dengan jujur dan tanpa sungkan lagi mengaku, "Artinya, Akim, bahwa aku cinta padamudan aku akan minta kepada orang tuaku untuk meminangmu."

"Aihhh ……!" Akim benar-benar terkejut dan juga kagum melihat kejujuran pemuda bangsawan ini. Iapun harus bersikap jujur, kalau tidak, kelak hal yang disembunyikannya itu hanya akan menjadi gangguanbagi batinnya. "Bagaimana mungkin ……." "Kenapa tidak mungkin, Akim?" Sui In berkata dengan lembut. "Kalau kalian saling mencinta, dan pihak keluarga menyetujui, mengapa tidak mungkin? Ci Han mencintamu dan kami sekeluarga juga menyetujui, tinggal terserah apakah engkau juga mencintanya dan apakah ibumu akan menyetujuinya."

Mendengar ini, Bhok Cun Ki dan isterinya juga mengangguk. Seperti biasa, Cu Sui In memang lancang dan terus-terang, akan tetapi juga cerdik sehingga sebelum bicara, ia sudah merasa yakin bahwa suaminya dan madunya akan cukup bijaksana untuk menyetujui pilihan hati Ci Han.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar