07 Asmara Si Pedang Tumpul

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Sin Wan hendak melompat pergi, akan tetapi tiba-tiba saja terdengar suara keras, jendela itu pecah berantakan dan sesosok tubuh yang tinggi besar telah menyerangnya dengan dahsyat. Ternyata dia Si Kedok Hitam dan memang orang ini luar biasa sekali. Begitu tiba di luar jendela tangannya sudah meluncur hendak menangkap dan mencengkeram pundak Sin Wan. Dari sambaran anginnya saja tahulah Sin Wan bahwa ia berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh, yang memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat. Diapun cepat menggerakkan dan memutar lengan kanannya menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

"Dukk!" Sin Wan merasa tubuhnya tergetar dan kudakudanya goyah, akan tetapi Si Kedok Hitam itupun terkejut dan mengeluarkan suara kaget.

"Uhhh ......! Siapakah engkau?" bentaknya dan dalam suaranya yang parau aneh itu terkandung keheranan dan kekaguman. Tentu saja dia kagum karena selama ini jarang sekali atau bahkan hampir tidak ada orang yang dapat menangkis pukulannya tadi dan membuat dia hampir terdorong mundur! Sin Wan bersikap tenang. "Siapa adanya aku tidak menjadi masalah lagi karena semua orang dapat melihat diriku dengan baik. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa engkau yang memakai kedok dan berada di gedung milik Pangeran Mahkota?"

Akan tetapi, Kedok Hitam itu tidak menjawab dengan katakata, melainkan langsung saja menyerang dengan dahsyat, jauh lebih dahsyat dari pada tadi. Sin Wan mengenal serangan berbahaya, tubuhnya bagaikan sehelai bulu burung ringannya sudah mengelak. Akan tetapi lawannya menyerangnya lagi dan ketika dia mengelak. Si Kedok Hitam yang menjadi semakin penasaran menyerang lagi secara tertubi-tubi.

Nampaknya dia hendak, memukul roboh dan menewaskan Sin Wan yang dianggapnya berbahaya, namun pemuda ini tentu saja bukan merupakan lawan ringan baginya. Sin Wan selalu mengelak dan kadang kalau dia menangkis, mereka berdua terguncang hebat, Tiba-tiba terdengar orang itu mengeluarkan bentakan parau seperti suara seekor biruang marah dan tubuhnya sudah berpusing seperti gasing. Sin Wan terkejut karena dari pusingan tubuh itu mencuat jari tangan yang menotok secara bertubi-tubi. Berbahaya sekaliserangan ini, maka terpaksa dia meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri. Pada saat itu, suara keributan terdengar oleh orang-orang di luar gedung dan terdengar derap kaki orang berlari-larian menuju ke gedung itu.

Dan kesempatan selagi Sin Wan meloncat ke belakang, Si Kedok Hitam sudah meloncat jauh sekali meninggalkan tempat itu. Sin Wan berusaha mengejar, akan tetapi orang itu sudah menghilang seperti ditelan kegelapan malam. Diapun tidak memperdulikan orang-orang yang berdatangan, lalu meloncat dan menghilang pula.

Sin Wan teringat akan percakapan yang didengarnya tadi, maka diapun langsung berlari cepat menuju ke gedung pusaka, di mana tersimpan semua pusaka berharga milik kerajaan. Dari percakapan tadi dia menduga bahwa Si Kedok Hijau dan KedokBiru agaknya ditugaskan oleh atasannya tadi untuk mencuri pusaka dari dalam gedung pusaka. Di mana lagi pusaka-pusaka dicuri kalau bukan di gedung pusaka, demikian pikirnya dan cepat diapun pergi ke tempat itu.

Dugaannya memang tepat. Ketika dia meloncatnaik ke atas gedung pusaka, dia melihat bayangan dua orang baru saja melayang keluar dari dalam gedung itu, dan diapun melihat beberapa orang penjaga diam tak bergerak di tempatnya, ada yang sedang duduk dan ada yang rebah.

Mereka itu seperti patung saja dan diapun dapat menduga bahwa tentu orang-orang yang melakukan penjagaan di luar gedung pusaka itu telah dibuat tidak berdaya oleh totokan dua orang yang lihai itu.

Cepat dia melompat ke atas bagian yang paling tinggi di mana terdapat dua orang itu, akan tetapi si bayangan itu segera melarikan diri dengan berpencar. Tentu saja dia tidak mungkin dapat mengejar keduanya, maka secepat kilat dia meloncat ke arah bayangan terdekat dan begitu dekat dia langsung mengirim serangan dengan jurus paling ampuh dari ilmu Sam-sian Sin-ciang (Tangan Sakti Tiga Dewa). Andaikata orang itu memiliki ilmu kepandaian beberapa kali lipat dari pada tingkatnya yang sekarangpun belum tentu dia akan mampu menghindarkan diri dari serangan dahsyat ini. Orang itu hanya mengeluh dan roboh, pasti akan terguling kalau saja tidak cepat disambar oleh tangan Sin Wan. Orang itu tidak mampu bergerak, akan tetapi masih dapat bicara karena jari tangan Sin Wan tadi hanya menghentikan jalan darahnya saja, buat kaki tangannya lumpuh.

"Barang-barangnya...... dibawa ...... temanku ........" Sin Wan percaya karena dia melihat bahwa orang ini tidak membawa apa-apa. Dia membebaskan totokannya dan cepat berkelebat pergi untuk mengejar bayangan kedua yang katanya membawa barang-barang, tentu benda-bendapusaka yang dicuri dua orang maling itu. Yang penting adalah mendapatkan kembali benda-benda pusaka yang dicuri, dan dia tidak ingin membiarkan orang itu dalam keadaan tertotok di atas atap karena kalau sampai dia jatuh, tentu akan tewas.

Yang penting sekarang baginya adalah menangkap orang yang melarikan benda pusaka. Sin Wan mengerahkan seluruh tenaganya berlari cepat dan akhirnya dia dapat melihat bayangan itu berloncatan dari atas atap ke atas atap, rumah lain dan dia terus mengejar secepatnya.

Ternyata orang itu berlari ke rumah gedung milik Pangeran Mahkota yang tadi! Berdebar rasa jantung di dada Sin Wan.

Kalau Si Kedok Hitam tadi berada dirumah itu, dia akan menghadapi lawan berat. Si Kedok Hitam itu sudah berat, apalagi kalau dibantu orang-orang lain. Akan tetapi dia tidak merasa takut. Melihat orang itu menghilang ke dalam gedung, diapun cepat mengintai dari atas atap. Yang membuat dia heran adalah bahwa kini seluruh gedung dipasangi lampu penerangan, tidak seperti tadi. Dia mengintai ke ruangan tengah dan betapa kaget dan herannya melihat Pangeran Mahkota Chu Hui San berada di situ, duduk menghadapi meja panjang ditemani empat orang wanita muda yang cantikcantik. Dari pakaian mereka Sin Wan tahu bahwa empat orang wanita itu pasti bukan selir ataudayang dari istana. Agaknya sang pangeran mata keranjang itu sedang bersenang-senang ditemani empat orang wanita panggilan. Anehnya, kenapa baru sekarang pangeran itu berada di situ sedangkan tadi, hanya kurang lebih dua jam yang lalu, belum ada? Dan kinidi sekeiiling gedung itu terdapat pengawal, tidak seperti tadi.

Bagaimana si pencuri pusaka dapat masuk ke situ tanpa diketahui pengawal? Kalau bersembunyi, dapat bersembunyi di mana? Sin Wan meragu. Dia tidak berani lancang turun menemui sang pangeran, karena hal itu akan dianggap dosa besar, mengganggu kesenangan sang pangeran mahkota! Dia menanti sampai setengah jam lamanya, tanpa melihat apa yang dilakukan putera mahkota itu dengan empat orang wanitanya, hanya bersiap siaga kalau-kalau bayangan tadi muncul dan menyerang sang pangeran, atau kalau-kalau bayangan itu menyelinap keluar lagi. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu. Bayangan tadi, maling yang dikejarnya, seperti lenyap ditelan bumi.

Karena tidak berani mengganggu Putera Mahkota, terpaksa Sin Wanpulang dengan tangan kosong. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia membuat laporan kepada Bhokciangkun tentang semua yang dilihat dan dialaminya semalam.

Bhok Cun Ki tentu saja tertarik sekali, terutama tentang Si Kedok Hitam yang amat lihai. "Begitu lihainya dia sampai dapat menandingimu, Sin Wan? Hemm, tentu dia seorang tokoh besar dari Kerajaan Goan. Dia disebut Yang Mulia? ini menunjukkan bahwa dia seorang bangsawan tinggi, mungkin keluarga Kaisar Mongol yang telah kalah dan jatuh."

"Akan tetapi yang membuat saya tidak mengerti mengapa Pangeran Mahkota tiba-tiba berada di sana, dan mengapa pula Si Kedok Hitam dan dua orang anak buahnya yang mencuri dari gedung pusaka dapat berada di sana pula?"

"Hemm, hal ini memang tidak masuk di akaL Kalau benar Si Kedok Hitam itu seorang bangsawan Mongol, tidak mungkin dia dapat berada di rumah milik Putera Mahkota! Memang aneh sekali. Biarlah sekarang juga akan kuperiksa keadaan di gedung pusaka, apakah ada pusaka yang hilang. Kalau menurut ceritamu tadi, Si Kedok Hitam menyuruh anak buahnya mencuri pusaka milik Kerajaan Mongol, terutama cap-cap dan tanda-tanda kebesaran."

Sebentar saja Bhok Cun Ki memperoleh berita bahwa gedung pusaka memang kecurian barang yang bagi Kerajaan Beng tidak berharga, hanya disimpan di situ sebagai benda sejarah, yaitu tiga buah cap kebesaran kaisar dan sebuah pedang tanda kekuasaan kaisar Mongol.

"Jelas, pencurinya tentulah mata-mata Mongol!" seru Bhok Cun Ki. "Akan tetapi bagaimana mungkin jaringan mata-mata Mongol dapat bersembunyi di rumah Pangeran Mahkota? Hal ini perlu penyelidikan, akan tetapi harus hati-hati sekali agar jangan sampai Putera Mahkota merasa tersinggung. Beliau adalah seorang pangeran, bahkan putera mahkota, calon kaisar. Aku bagaimana juga tidak percaya kalau beliau mempunyai hubungan dengan bangsawan Mongol yang hendak mendirikan kembali Kerajaan Mongol. Mustahil ini!"

"Saya tahu akan kesulitan paman kalau harus menyelidiki urusan ini. Paman seorang panglima, tentu tidak akan berani kalau harus melakukan penyelidikan di rumah gedung milik Putera Mahkota. Akan tetapi saya seorang yang tidak terikat oleh disiplin ketentaraan sehingga saya tidak akan merasa canggung dan rikuh. Apalagi saya membawa tanda kekuasaan dari Sribaginda Kaisar yang saya terima dari suhu."

Bhok Cun Ki mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, bagaimana kalau Pangeran Mahkota marah? Sekali dia memberi isyarat, para jagoan istana akan mengeroyok dan membunuhmu dan kalau engkau melawan, berarti engkau telah menjadi pengkhianat dan pemberontak!"

Sin Wan menggeleng kepala dan tersenyum. "Saya kira tidak akan begitu, paman. Saya akan menggunakan cara yang halus dan seandainya dia bermain kasar, saya masih mempunyai pelindung, yaitu surat kekuasaan Kaisar dan juga kesaksian saya bahwa ada mata-mataMongol berlindung di rumah pangeran."

Panglima itu menghela napas panjang. Urusan ini memang penting sekali, dan akan dia bicarakan dengan atasannya, yaitu Jenderal Shu Ta. "Baiklah, Sin Wan. Akan tetapi berhatihatilah. Aku amat membutuhkan bantuanmu pada pemilihan bengcu kelak. Dan sebaiknya hal ini kusampaikan dulu kepada Jenderal Shu Ta."

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bhok-ciangkun berkunjung ke benteng. Akan tetapi, ternyata dia tidak bertemu dengan Jenderal Shu Ta yang belum datang, dan hanya bertemu dengan wakilnya, yaitu Jenderal Yauw Ti.

Jenderal Yauw Ti yang bertubuh tinggi besar dan gagah itu setelah menerima penghormatan Bhok Cun Ki, bertanya heran, "Ada kepentingan mendesak apakah yang membuatmu sepagi ini sudah mencari Jenderal Shu?"

Karena Jenderal Yauw Ti juga merupakan atasannya, maka Bhok Cun Ki segera menerangkan tentang pengalaman Sin Wan semalam. Mendengar ini, wajah Jenderal berubah merah dan alisnya berkerut.

"Hemm.... hemmm ...... engkau bermain dengan api, Bhokciangkun," katanya tak senang. "Betapa beraninya bocah Uighur itu bicara! Jangan-jangan dia malah mata-mata Mongol yang hendak mengacaukan keadaan. Bagaimana mungkin Pangeran Mahkota .... ah, mustahil. Biar aku sendiri yang akan bicara dengan beliau, dan jikalau ternyata anak Uighur itu membohong, terpaksa aku akan menangkapnya dengan tuduhan menghina Putera Mahkota!"

Bhok Cun Ki terkejut. Dia tahu betapa Jenderal ini membenci suku-suku bangsa lain. Saya harap Yauw-goanswe (Jenderal Yauw) tidak terburu nafsu. Saya akan mohon pertimbangan Jenderal Shu .........." "Heh, apa bedanya? Tidak urung diapun akan bertindak seperti yang kulakukan. Di antara kami tidak pernah ada ketidakcocokan. Kalau timbul masalah, harus kita tanggulangi dengan secepatnya. Pangeran Mahkota dicurigai, maka harus diselidiki sekarang juga untuk menentukan siapa yang bersalah! Sudahlah, serahkan urusan ini ditanganku dan kembalilah!"

Ucapan itu merupakan perintah dan Bhok Cun Ki cepat pulang dengan tubuh panas dingin. Celaka bagi Sin Wan pikirnya. Jenderal Yauw adalah seorang yang sepenuhnya setia kepada kaisar dan apalagi putera mahkota, dan seorang yang keras hati dan keras tangan. Kalau sampai Pangeran Mahkota menyangkal, dan keterangan Sin Wan tidak ada bukti, celakalah Sin Wan! Setelah tiba di rumah, Bhok Cun Ki cepat memberitahu Sin Wan tentang pertemuannya dengan Jenderal Yauw. "Wah, repot!" katanya cemas. "Jenderal Shu belum datang dan aku kepergok Jenderal Yauw. Sukar untuk tidak berterus terang, apa lagi diapun atasanku, wakil Jenderal Shu. Dan orang yang keras hati itu langsung saja menanggapi, hendak menyelidiki kepada Pangeran Mahkota. Dia berani bertindak keras terhadap siapa saja, dan kalau sampai engkau tidak dapat membuktikan keteranganmu, tentu engkau dapat dianggap sebagai orang yang melakukan fitnah terhadap Pangeran Mahkota. Jenderal Yauw dapat berbuat hal-hal yang mengejutkan, dan dia selalu keras, akan tetapi dia membela kebenaran, tidak ada yang dapat membantahnya."

"Jangan khawatir, paman. Saya berpegang kepada kebenaran dan saya yakin bahwa Tuhan Yang Maha Adil akan selalu melindungi orang yang berada di pihak benar."

Bhok Cun Ki menghela napas panjang. "Akan tetapi, semua orang akan mengaku benar, Sin Wan, untuk membela tindakannya."

"Saya mengerti, paman. Manusia dapat dibohongi, akan tetapi Tuhan tidak! Tuhan Maha Mengetahui sehingga akan mengetahui pula siapa benar siapa yang salah. Karena saya yakin bahwa saya benar, tidak melakukan fitnah dan tidak berbohong, maka saya berani menghadapi segala resikonya."

Bhok Cun Ki menghela napas panjang dan memandang pemuda itu dengan kagum. "Engkau seorang gagah sejati Sin Wan. Aih, kalau dahulu mudaku aku dapat bersikap sepertimu, tentu sekarang tidak akan menanggung akibatnya. Nah, kalau begitu terserah kepadamu, Sin Wan."

Pemuda itu maklum bahwa panglima ini tentu teringat akan permusuhannya dengan Bi-coa Sianli Cu Sui In, akan tetapi dia tidak menanggapi urusan yang amat pribadi itu. "Saya hanya minta agar paman suka mengusahakan saya dapat menghadap, Pangeran Mahkota sekarang juga."

"Baik, akan kutemui kepala pengawal istana yang kukenal baik. Apalagi engkau memegang tanda kekuasaan dari Sribaginda Kaisar, tentu tidak sukar bagimu untuk menghadap beliau."

Benar saja, dengan bantuan Bhok Cun Ki, tidak sukar bagi Sin Wan untuk memasuki istana dan diapun segera diantar pengawal menuju ke gedung tempat tinggal Pangeran Chu Hui San, putera Mahkota. Dan suatu kejutan yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh Sin Wan menyambutnya ketika dia memasuki kamar tamu dan duduk di ruangan luas itu setelah dipersilakan pengawal untuk menunggu di situ.

Kejutan itu muncul bersama Pangeran Chu Hui San.

Pangeran berusia empatpuluh tahun yang tinggi kurus, bermuka pucat dan bermata cekung, pesolek dan tubuhnya nampak lemah itu muncul bersama seorang pria tampan berusia tigapuluh lima tahun, berpakaian sebagai seorang sastrawan, lembut dan wajahnya cerah dihias senyum, tangan kirinya memegang sebuah kipas putih yang sesuai pula dengan pakaiannya yang serba putih indah, dan seorang gadis yang membuat Sin Wan terbelalak karena gadis cantik yang tersenyum simpul itu bukan lain adalah Tang Bwe Li atau Lili! Sebagai seorang yang tahu sopan santun, Sin Wan yang sudah mendapat gambaran tentang Pangeran Mahkota dan yakin bahwa dia berhadapan denganpangeran itu, segera bangkit dari tempat duduknya dan menjatuhkan diri berlutut dengan kaki kiri memberi hormat.

Pangeran Chu Hui San memandang kepada Sin Wan dengan alis berkerut. Jelas bahwa kunjungan seorang pemuda biasa di pagi hari itu, ketika tubuhnya masih terasa lelah dan malas bangun, mengganggunya. Akan tetapi kepala pengawal mengatakan bahwa pemuda yang mohon menghadap itu adalah seorang yang memegang tanda kekuasaan kaisar dan mohon menghadap untuk urusan yang teramat penting mengenai keselamatan sang pangeran, maka mau tidak mau dia terpaksa bangun dan menerima tamu itu.

"Sin Wan .......! Engkau yang datang ini?" Lili berseru, suaranya mengandung kejutan, keheranan dan juga kegembiraan.

"Ehh? Engkau sudah mengenal pemuda ini, nona Lili?"

Sang pangeran bertanya heran.

Lili tersenyum manis dan Sin Wan melihat betapa Lili nampak sudah akrab dengan pangeran itu, bahkan sikapnya tidak sangat merendah seperti sikap orang lain terhadap seorang pangeran mahkota. "Tentu saja, pangeran! Sejak berusia sepuluh tahun aku sudah mengenalnya!" Sin Wan yang masih terkejut dan heran, hanya dapat berkata dengan suara lirih, "Lili, tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini." Dia memandang kepada pria tampan yang berpakaian sastrawan, akan tetapi tidak mengenalnya.

"Aku belum lama berada di sini, Sin Wan, menjadi pengawal pribadi yang mulia pangeran mahkota!"

Melihat kedua orang muda itu saling tegur dan bicara seolah-olah dia sendiri tidak berarti dan sudah dilupakan orang, Pangeran Chu Hui San menjadi marah. Tidak marah kepada Lili yang diperkenalkan kepadanya oleh Yauw Siucai, dan diangkat menjadi pengawal pribadinya karena selain gadis itu amat lihai, juga cantik menarik sekali dan dia mengharapkan gadis itu sekali waktu akan menyerahkan diri kepadanya. Dia marah kepada Sin Wan yang dianggapnya telah mengganggu waktunya.

"Orang muda," teguran dengan suara berwibawa.

"Pengawal tadi mengatakan bahwa engkau adalah seorang yang memegang tanda kekuasaan Kaisar. Benarkah itu? Kalau benar, buktikan kepada kami."

16. Cucu See-thian Coa-ong

Mendengar perintah ini, Sin Wan yang tadinya berlutut dengan sebelah kaki, bangkit berdiri dan mengeluarkan sehelai bendera kecil, yaitu bendera tanda kekuasaan kaisar yang diberikan kepada seorang utusan yang dipercaya.

Melihat benda ini, sastrawan berpakaian serba putih itu cepat menjatuhkan diri berlutut, dan sang pangeran juga membungkuk dengan hormat. Sastrawan itu yang melihat Lili masih berdiri seperti biasa saja berbisik, "Nona Lili, berlututlah untuk memberi hormat!"

Lili memandang heran. "Apa-apaan ini? Mengapa aku disuruh berlutut? Kepada Sin Wan ini?"

"Bukan kepada orangnya, akan tetapi kepada bendera itu.

Leng-ki itu adalah bendera kekuasaan dari Sribaginda dan kita menghormatinya sebagai wakil kehadiran Sribaginda sendiri.

Berlututlah, nona......" kata pula sastrawan itu berbisik.

Mendengar ini, mau tidak mau Lili lalu berlutut, walaupun mulutnya cemberut. Kalau berlutut menghormati kaisar, tentu saja ia akan melakukannya dengan senang. Akan tetapi kepada sehelaibendera yang dipegang oleh Sin Wan? Lucu! Sementara itu, Pangeran Mahkota lalu berkata, "Orang muda, kami telah melihat bahwa engkau memang memegang sebuah leng-ki. Simpanlah pusaka itu dan silakan duduk."

Sikap pangeran itu kini menjadi hormat.

Sin Wanhanya ingin membuktikan bahwa dirinya memang menjadi wakil Ciu-sian yang mendapatkan leng-ki dari kaisar, bukan berniat mempergunakan kesempatan itu untuk menyombongkan diri. Dia cepat menggulung dan menyimpan kembali leng-ki, dan duduk di atas kursi, berhadapan dengan pangeran mahkota. Setelah sang pangeran duduk, Yauw Siucai dan Lili juga mengambil tempat duduk di belakang pangeran itu.

"Nah, sekarang katakan apa keperluan yang mengenai keselamatan kami itu, dan siapa namamu," kata sang pangeran.

Sin Wan memberi hormat sambil duduk dan berkata, "Sebelumnya harap paduka maafkan saya yang telah berani menghadap paduka tanpa dipanggil dan mengganggu waktu paduka. Nama saya Sin Wan dan saya mewakili suhu Ciu-sian yang menerima titah Sribaginda Kaisar untuk melakukan penyelidikan tentang gerakan jaringan mata-mata Mongol yang merupakan ancaman bagi pemerintah."

"Hemm, kalau engkau melaksanakan tugas seperti itu, kenapa pagi ini datang menghadap padaku? Kami tidak ingin memusingkan kepala dengan segala macam urusan penjagaan keamanan!" Sang pangeran mulai marah lagi karena merasa terganggu.

"Maafkan saya, Yang Mulia. Tidak sekali-sekali saya berani mengganggu waktu paduka kalau saja malam tadi tidak terjadi sesuatu yang amat aneh sehingga terpaksa saya memberanikan diri menghadap paduka untuk mohon keterangan."

Pangeran Chu Hui San mengerutkan kening dan memandang heran. "Terjadi apakah dan mengapa minta keterangan dari kami?" Dengan singkat namun jelas Sin Wan lalu menceritakan pengalamannya semalam, betapadia melihat tiga orang berkedok berada di rumah gedung peristirahatan milik pangeran mahkota diluar lingkungan istana, sebelum melihat sang pangeran berada di rumah itu.

"Demikianlah, Yang Mulia. Saya hanya ingin mohon keterangan, siapakah tiga orang berkedok itu."

Wajah Pangeran Mahkota menjadi merah. "Memang benar semalam kami pergi ke rumah peristirahatan kami di luar istana, dikawal oleh sepasukan pengawal. Akan tetapi di sana tidak ada siapa-siapa lagi. Kami tidak mengerti apa yang kau maksudkan dengan orang-orang berkedok itu!"

Tiba-tiba Lili yang berada di belakang pangeran itu menegur. "Sin Wan, semalam aku tidak disuruh mengawal yang mulia pangeran. Kalau engkau memang melihat tiga orang berkedok berada di rumah pangeran, kenapa engkau tidak menangkap mereka?"

"Benar sekali pertanyaan itu," kata sang pangeran. "Engkau bertugas sebagai penyelidik, kenapa engkau tidak menangkap mereka?"

"Mohon maaf, yang mulia. Orang berkedok itu lihai bukan main dan saya tidak berhasil menangkapnya. Adapun si kedok hijau dan kedok biru yang melakukan pencurian di gedung pusaka, setelah saya kejar, dia melarikan diri dan menghilang pula di gedung peristirahatan paduka itu dan lenyap. Karena semalam saya melihat paduka berada di sana maka saya tidak berani melakukan pengejaran ke dalam."

Kini sastrawan berpakaian putih yang nampak lembut itu, memberi hormat kepada pangeran dan berkata dengan halus.

"Maaf, pangeran. Urusan yang diceritakan pemuda ini menyangkut nama paduka, oleh karena itu, haruslah dibuktikan kebenarannya. Pemuda ini harus dapat memperlihatkan bukti dari apa yang dia ceritakan."

"Tepat sekali! Nah, Sin Wan, apa buktinya bahwa semua ceritamu itu benar-benar terjadi?" tanya sang pangeran.

Pada saat itu, kepala pengawal masuk dan menjatuhkan diri berlutut di ambang pintu ruangan, "Mohon ampun yang mulia. Jenderal Yauw Ti mohon menghadap paduka sekarang juga!"

Sebelum sang pangeran menjawab, jenderal yang tinggi besar itu sudah melangkah masuk dan dia menjatuhkan diri berlutut dengan sebelah kaki dan memberi hormat kepada pangeran mahkota. Kepala pengawal segera mengundurkan diri dengan hati lega karena kemunculan jenderal itu membebaskan dia dari kemarahan sang pangeran.

"Pangeran, hamba ingin bicara penting dengan paduka sekarang juga!" kata jenderal itu dengan sikap dan suara tegas. Pangeran mahkota mengerutkan alisnya dan memandang kepada jenderal itu. Biarpun sikapnya jelas menunjukkan bahwa hatinya tidak senang dengan semua gangguan ini, namun dia tahu bahwa jenderal yang datang ini adalah seorang kepercayaan ayahnya dan terkenal jujur dan keras, maka diapun mengangguk dan berkata.

"Hemm, kiranya engkau, Jenderal Yauw Ti. Ada urusan apakah pagi-pagi begini engkau sudah datang berkunjung?"

Jenderal itu tanpa dipersilakan lalu bangkit dan duduk, kemudian dia memandang kepada Sin Wan dan mukanya berubah kemerahan seperti orang marah. "Yang Mulia, kebetulan sekali urusan yang hendak hamba bicarakan mengenai diri pemuda itu. Hamba mendengar dari Bhokciangkun bahwa pemuda itu, eh, siapa namanya, Sin Wan? Ya, dia memberi keterangan bahwa dia melihat penjahat dan pencuri bersembunyi di dalam rumah peristirahatan paduka.

Urusan ini teramat penting, menyangkut nama baik paduka dan harus dibikin terang sekarang juga."

"Ahh, kamipun sedang membicarakan soalitu dengan Sin Wan ini dan kami sedang menuntut agar dia dapat membuktikan apa yang dia ceritakan itu," kata sang pangeran.

"Tepat sekali itu, Pangeran yang mulia!" seru Jenderal Yauw Ti. "Memang hamba sendiripun merasa penasaran mendengar cerita itu danhamba menuntut agar pemuda Uighur yang kebetulan menjadi murid Sam-sian ini membuktikan kebenaran ceritanya."

"Pangeran!" tiba-tiba Lili berseru dengan suara tegas.

"Urusan ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan suku bangsa atau keturunan! Sayamemprotes kalau orang menekankan kepada kesukuan Sin Wan!"

Sin Wan sendiri terkejut. Dia tahu benar bahwa gadis liar ini memang mencintanya, akan tetapi membelanya secara demikian kasar, di depan Pangeran Mahkota dan seperti menyerang Jenderal Yauw Ti, sungguh merupakan perbuatan yang terlalu berani dan lancang. Pangeran Chu Hui San hanya tersenyum, agaknya dia sudah mengenal watak pengawal pribadinya yang baru itu sehingga tidak merasa heran melihat peledakan ini. Akan tetapi, jenderal Yauw Ti mengerutkan alisnya yang tebal dan memandang kepada Lili dengan mata melotot marah. Akan tetapi, gadis itupun memandang kepadanya dengan balasan mata melotot yang tidak kalah sengitnya! "Yang Mulia, siapakah gadis yang kasar dan lancang ini?"

tanya sang jenderal, menahan kemarahannya karena di depan Pangeran Mahkota tentu saja dia tidak berani bersikap kasar.

Pangeran Mahkota segera menengahi dan menyabarkan Jenderal Yauw Ti.

"Jenderal Yauw Ti, harap jangan marah. Ia ini Lili, eh, nona Tang Bwe Li dan ia adalah pengawal pribadiku yang baru. Ia amat lihai dan boleh dipercaya, dan yang ini adalah Yauw Siucai. Eh, menarik sekali karena kebetulan nama keluarganya sama dengan margamu. Yauw Siucai ini adalah pengawal juga akan tetapi sekarang dia telah menjadi guru sastrauntuk puteraku."

Jenderal Yauw Ti mengangguk-angguk, kemudian dia kembali memandang kepada Sin Wan dan berkata, "Seperti hamba katakan tadi, pangeran. Tuntutan paduka memang tepat dan pemuda itu harus dapat membuktikan bahwa omongannya itu betul. Nah, Sin Wan, bagaimana jawabanmu?"

Sejak tadi Sin Wan hanya menjadi penonton saja. Dia tidak khawatir terhadap jenderal itu karena tahu bahwa jenderal itu adalah orang yang amat setia kepada Kerajaan Beng, seorang yang sudah berjasa besar. Adapun sastrawan itu,kalau dia itu pengawal dan juga guru sastra di istana, tentu merupakan orang yang boleh dipercaya. Hanya dia masih bingung dan harus heran melihat Lili secara tiba-tiba menjadi pengawal pribadi Pangeran Chu Hui San! Kini, menghadapi pertanyaan jenderal galak yang agaknya tidak suka kepada suku bangsa Uighur itu, dengan sikap tenang diapun menatap wajah jenderal itu.

"Kalau jenderal sekarang memeriksa ke gedung pusaka, tentu akan mendengar bahwa ada benda-benda yang hilang dan itu merupakan bukti kebenarancerita saya. Juga para penjaga yang tertotok semalam, akan dapat bercerita. Itulah bukti saksi kebenaran keterangan saya."

"Hemm, itu hanya saksi bahwa memang gedung pusaka pernah dimasuki pencuri. Itu tidak ada sangkut-pautnya dengan nama yang mulia Pangeran Mahkota. Yang kami tuntut pembuktiannya adalah keteranganmu bahwa para penjahat berkedok berada di rumah gedung milik beliau. Nah, engkau harus dapat membuktikan itu. Mari kita bersama menggeledah rumah itu untuk mencari orang-orang berkedok yang kauceritakan itu!"

"Sudah pasti kita tidak akan dapat menemukan seorangpun!" bantah Sin Wan sambil tersenyum. "Mereka adalah orang-orang lihai dan tidak mungkin mereka begitu bodoh untuk tinggal diam saja disana menunggu ditangkap."

"Orang muda, hati-hati dengan kata-katamu. Engkau telah melempar fitnah dengan mengatakan bahwa ada penjahat bersembunyi di rumah yang mulia Pangeran Mahkota. Apakah engkau hendak mengatakan bahwa beliau bersekongkol dengan penjahat berkedok?"

Sin Wan terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa urusan membelok sedemikian rupa sehingga dia yang kini terancam bahaya! "Ah, sama sekali tidak, Jenderal!" "Kaubilang sama sekali tidak? Akan tetapi bagaimana kalau orang-orang mendengar bahwa pencuri pusaka lari menghilang ke dalam rumahpangeran, dan mendengar bahwa engkau melihat tiga orang berkedok berada di rumah itu? Apakah tidak didesas-desuskan orang bahwa Pangeran Mahkota menyembunyikan penjahat-penjahat di rumah beliau? Hayo katakan, bagaimana engkau dapat membuktikan kehadiran para penjahat di rumah beliau. Kalau tidak, terpaksa aku akan menangkap dan menahanmu sebagai orang yang menghina dan melempar fitnah kepada Pangeran Mahkota!"

Sin Wan tak dapat menjawab dan dia semakin terkejut. Dia yang kini terancam bahaya, akan tetapi dia tidak menyalahkan kekerasan Jenderal Yauw Ti. Jenderal itu memang sudah sepantasnya kalau mencurigainya. Pria berpakaian sastrawan itu kini berkata dan suaranya tetap lembut.

"Saudara Sin Wan yang gagah, apa yang dikatakan tayciangkun (panglima besar) Yauw memang tidak keliru.

Sebaiknya kalau engkau dapat membuktikan kebenaran keteranganmu dengan menangkap semua atau seorang di antara para penjahat berkedok itu, baru engkau mendapatkan bukti."

Sin Wan menggeleng kepala. '"Bagaimana mungkin saya dapatmencari mereka? Selain lihai, merekapun berkedok sehingga saya tidak mengenal wajah mereka."

"Kalau begitu, kami harus menangkap dan memeriksamu, mengusut perkara ini, dengan tuduhan engkau sudah menghina Yang Mulia Pangeran!" Jenderal itu lalu menengok ke arah pintu untuk memanggil pasukan.

"Tunggu ........!!" Tiba-tiba Lili melangkah maju dan mengeluarkan suara bentakan yang mengejutkan semua orang. "Sin Wan, keluarkan, leng-kimu tadi, cepat!"

Sin Wan yang tadinya sudah merasa bingung, tiba-tiba teringat bahwa dia memiliki senjata yang ampuh, yaitu bendera tanda kekuasaan dari kaisar itu. Kini, mendengar seruan Lili, demi untuk menyelamatkan diri, diapun mengeluarkan bendera kecil itu dan mengangkatnya ke atas kepala.

Lili segera menjatuhkan diri berlutut menghadap Sin Wan dan berseru dengan suara lantang. "Banswe, ban-ban-swe (hidup Sribaginda Kaisar)!" Seruan ini biasa dilakukan orang apabila menghadap kaisar untuk memberi hormat dan memujikan kaisar panjang umur sampai selaksa tahun! Melihat ulah gadis ini, mau tidak mau semua orang menjatuhkan diri berlutut dengan satu kaki memberi hormat kepada bendera kekuasaan kaisar itu dengan seruan yang sama.

"Siapa yang menghina pemegang leng-ki, sama dengan menghina kaisar sendiri!" seru Lili.

Jenderal Yauw Ti menjadi penasaran. "Leng-ki berada di tangan orang yang salah! Aku harus menangkap Sin Wan ini!"

"Menangkap pemegang leng-ki sama dengan menangkap Sribaginda Kaisar! Apakah engkau hendak memberontak terhadap Sribaginda, Jenderal? Kalau begitu halnya, sebagai hamba yang setia aku akan menentangmu!" Lili juga berdiri dan sikapnya menantang.

Melihat ini, Pangeran Mahkota melerai. "Hentikanlah keributan ini dan kita bicara dengan kepala dingin."

"Pangeran," kata Lili cepat mendahului jenderal itu. "Aku mengenal benar siapa Sin Wan. Dia seorang pendekar yang gagah perkasa, dan aku yakin dia tidak akan melakukan hal yang salah, apalagi menghina dan menyebar fitnah kepada paduka! Dia pemegang leng-ki, kalau kita mengganggunya, tentu Sribaginda akan marah sekali." Saking emosinya, gadis itu sampai lupa diri dan menyebut diri sendiri aku begitu saja kepada Pangeran Mahkota! Pangeran Chu Hui San maklum akan kebenaran pendapat Lili, maka diapun menyabarkan hati Jenderal yang galak itu.

"Sudahlah, Jenderal YauwTi. Apa yang dikatakan Lili memang benar. Engkau, tidak boleh terburu nafsu. Mungkin saja rumahku itu dijadikan tempat persembunyian penjahat di waktu saya tidak berada di sana. Siapa tahu? Penjahat itu lihai dan tentu cerdik. Kalau mereka bersembunyi di sana, siapa yang akan menduga dan menangkap mereka?"

Jenderal itu mengangguk. "Baiklah, Yang Mulia. Akan tetapi hamba akan melapor dan memprotes kehadapan Yang Mulia Sribaginda Kaisar dan mohon agar leng-ki itu dicabut dari tangan bocah Uighur ini." Dia lalu berpaling kepada Lili dan melotot. "Dan kau ..... kau .... " Penuh kebencian sinar matanya seperti menyerang diri Lili.

Gadis itu membusungkan dadanya. "Aku mengapa? Engkau jenderal, aku pengawal pribadi pangeran, kita sama-sama mengabdi kepada kerajaan. Kalau aku benar, engkau mau apa? Jangan dikira aku takut padamu, jenderal galak!"

Jenderal Yauw Ti mengepal tinjunya. Rasanya ingin sekali dia menerjang dan sekali pukul menghancurkan kepala gadis yang begitu beraninya memaki dan menentangnya di depan pangeran. Akan tetapi, di situ ada pangeran mahkota dan gadis itu adalah pengawal pribadi yang agaknya amat disayangnya, maka tentu saja dia hanya menekan kemarahannya dan setelah memberi hormat kepada sang pangeran, diapun meninggalkan ruangan itu denganmuka merah padam.

"Sin Wan, cepat kau pergi. Selidiki dan sedapat mungkin tangkaplah orang-orang berkedok itu, jangan lagi datang ke sini karena yang mulia pangeran tidak tahu apa-apa tentang mereka," kata Lili. "Biar kuantar engkau keluar agar jangan diganggu jenderal galak itu!" Lili memberi hormat kepada Pangeran Mahkota. "Pangeran, perkenankan saya mengantar Sin Wan keluar dari istana."

Pangeran itu. menghela napas panjang dan menggerakkan tangan memberi isyarat agar mereka pergi. Sin Wan memberi hormat, lalu dia keluar dari ruangan itu bersama Lili.

Dengan mudah mereka melewati semua penjagaan, karena para penjaga sudah mengenal gadis cantik yang menjadi pengawal pribadi yang baru dari Pangeran Mahkota. Tak lama kemudian rnereka sudah tiba di luar pintu gerbang istana.

"Nah, selamat jalan, Sin Wan. Berhati-hatilah engkau, agaknya jenderal galak itu membencimu." "Terima kasih, Lili. Kenapa engkau melakukan, semua ini untukku? Kenapa engkau begini baik kepadaku dan berani menentang seorang jenderal berkuasa untuk membelaku?"

tanya Sin Wan sambil menatap wajah cantik itu. Sebetulnya tidak perlu lagi dia bertanya, karena dia sudah tahu. Akan tetapi karena dia sangat berterima kasih dan terharu, karena tanpa pembelaan Lili mungkin dia sudah menjadi tawanan, dia mengajukan pertanyaan itu.

"Kenapa, Sin Wan? Engkau masih bertanya lagi, kenapa? Lupakah engkau bahwa aku cinta padamu? Aku rela mengorbankan nyawa untuk membelamu karena aku cinta padamu, Sin Wan. Selamat jalan." Gadis itu membalikkan diri dengancepat dan memasuki lagi pintu gerbang daerah istana yang terlarang itu.

Sin Wan berdiri mematung, mengamati kepergian gadis itu sampai lenyap, di sebelah dalam pintu gerbang. Dia menghela napas dan membalikkan tubuh, pergi dari situ. Dia merasa iba kepada Lili dan merasa rmenyesal mengapa dia tidak dapat membalas cinta kasih yang demikian besarnya. Cintanya masih kepada Lim Kui Siang, namun gadis yang dicintanya dan yang tadinya juga mencintanya, sekarang berbalik membencinya karena dia dianggap musuh besarnya! Ayah tirinya, yang juga merupakan guru pertamanya, telah membunuh ayah gadis itu.

Sin Wan segera melupakan wajah kedua orang gadis itu dan menyadari kembali keadaannya. Penyelidikannya telah gagal, bahkan kini dia yang terancam oleh kecurigaan Jenderal Yauw Ti. Kalau jenderal itu melapor kepada kaisar, bukan tak mungkin dia akan ditangkap dan dituduh telah menghina pangeran mahkota.

Cepat dia melangkahkan kakinya menuju ke benteng, dan di sana dengan girang dia dapat menghadap Jenderal Shu Ta! Hanya jenderal inilah yang agaknya dapat menolongnya karena jenderal ini adalah atasan jenderal Yauw Ti. Setelah duduk berhadapan dengan Jenderal Shu Ta, Sin Wan melaporkan segala yang telah dialaminya semalam, kemudian betapa dia diancam oleh Jenderal Yauw Ti yang menganggap dia menghina pangeran mahkota.

Setelah mendengarkan semua laporan Sin Wan dengan penuh perhatian, Jenderal Shu Ta mengangguk-angguk, "Jenderal Yauw Ti memang berwatak keras, dan secara tidak kebetulan bagimu, dahulu dia pernah tertawan bangsa Uighur dan mengalami siksaan sebagai tawanan musuh sehingga setelah dia dapat dibebaskan, dia menaruh dendam kebencian kepada bangsa Uighur. Biarpun demikian, apa yang dia lakukan terhadap dirimu bukan semata karena dendam kepada bangsamu itu, melainkan berdasarkan perhitungan yang tidak dapat disalahkan. Memang, kalau tidak ada bukti, keteranganmu itu dapat dianggap sebagai penghinaan dan pencemaran nama baik pangeran mahkota. Kurasa, benar seperti pendapat pangeran mahkota, para penjahat itu sengajamempergunakan rumah peristirahatannya yang kosong untuk bersembunyi, dan aku sendiripun tidak akan menyangka bahwa rumah itu akan dijadikan tempat persembunyian penjahat. Sudahlah, aku akan menemui Jenderal Yauw Ti agar dia tidak menghadap Sribaginda Kaisar."

Lega rasa hati Sin Wan. Ketika dia meninggalkan benteng matahari telah naik tinggi dan dia merasa lapar. Sejak pagi dia belum makan. Sin Wan lalu pergi ke sebuah rumah makan besar di sudut kota yang tidak begitu ramai. Akan tetapi sebelum tiba di rumah makan itu, ketika melewati sebuah rumah penginapan, tiba-tiba dia melihat dua orang di pekarangan rumah penginapan yang membuat dia cepat menyelinap agar tidak kelihatan oleh mereka.

Jantungnya berdebar penuh ketegangan ketika dia mengenal seorang di antara mereka. Wanita cantik yang memasuki pekarangan, bersama seorang kakek tinggi kurus itu adalah Bi-coa Sianli Cu Sui In, bekas guru Lili yang kini menjadi sucinya! Dia tidak mengenal kakek itu, akan tetapi melihat Cu Sui In, diapun teringat kepada Lili dan timbul keinginan tahunya Lili sendiri sudah menjadi pengawal pribadi pangeran mahkota. Dia sendiri tidak menaruh curiga sedikitpun terhadap Lili, karena dia yakin bahwa Lili adalah seorang gadis yang pada dasarnya memiliki hati yang baik, walaupun iakasar dan liar. Akan tetapi, lain lagi dengan Bi-coa Sianli! Wanita iblis ini telah menewaskan dua orang di antara tiga gurunya, yaitu Kiam-sian (Dewa Pedang) dan Pek-mausian (Dewa Rambut Putih).

Seorang wanita yang lihai bukan main, juga amat kejam.

Kehadirannya di kota raja ini sungguh mencurigakan. Dan yang lebih menarik hatinya, kini dia tahu bahwa Cu Sui In yang masih tetap cantik dalam usia setengah tua itu dahulu adalah kekasih Bhok Cun Ki. Wanita inilah yang menyuruh Lili untuk membunuh Bhok CunKi. Dan kini ia datang sendiri ke kota raja. Siapa pula kakek yang tinggi kurus itu? Dia harus menyelidiki. Siapa tahu ada kaitannya antara mereka dengan orang-orang berkedok. Andaipun tidak ada kaitannya, dia harus menyelidiki demi Lili dan Bhok Cun Ki.

Setelah melihat kedua orang itu memasuki rumah penginapan, Sin Wan menggunakan kepandaiannya, memasuki rumah penginapan itu dengan mengambil jalan memutar dari kebun belakang. Ketika dia melewati sebuah kamar yang pintunya tertutup, dia mendengar suara CuSui In, atau yang diduganya suara iblis betina itu, suara wanita yang merdu dan dingin.

"Sungguh heran, di mana sumoi? Susah benar mencari jejaknya!"

Lalu terdengar suara parau dan dalam seorang pria, tentu pria yang sudah tua, didahului suara tawanya. "Ha..ha..ha, engkau memang aneh sekali, Sui In! Heran aku mengapa ada kebencian yang dapat kaupendam sedemikian lamanya? Kebencian yang aneh. Kalau menghendaki dia mampus, apa sukarnya? Engkau malah menyuruh anakmu yang membunuh ayah kandungnya, dan sekarang engkau gelisah sendiri.

Ha..ha..ha, sungguh mati, seorang wanita memang makhluk paling aneh di dunia ini."

"Ayah, lebih baik jangan bicara tentang itu!"

"Kenapa? Dia itu muridku, juga cucuku satu-satunya!"

"Sudahlah, ayah. Sudah kukatakan, jangan mencampuri urusan pribadiku yang satu ini!" Sunyi di kamar itu dan Sin Wan cepat menyelinap pergi.

Wajahnya berubah penuh ketegangan dan harus menenteramkan hatinya lebih dulu di jalan kecil, lorong di belakang rumah penginapan itu. Mereka bicara tentang Lili! Dan ternyata Lili adalah puteri Cu Sui In, dan pria tua yang disebut ayah oleh Bi-coa Sianli itu, yang mengakui Lili sebagai cucunya, siapa lagi lagi kalau bukan See-thian Coa-ong? Kenyataan ini terlalu hebat bagi Sin Wan, membuatnya terkesima dan seperti kehilangan akal.

Iblis betina itu mendendam secara aneh kepada Bhok Cun Ki! Dan Lili ternyata puterinya, puteri Cu Sui In dan puteri Bhok Cun Ki! Kini mengertilah Sin Wan. Ketika Bhok Cun Ki meninggalkan kekasihnya, Cu Sui In, wanita itu dalam keadaanmengandung. Hal ini agaknya tidak diketahui Bhok Cun Ki. Pantaslah, Cu Sui In demikian mendendam kepada kekasihnya atau ayah dari anaknya. Akan tetapi, betapa kejamnya iblis betina itu. Dendamnya hendak dibalasnya secara aneh, yaitu ia hendak mengadu anaknya agar bermusuhan dengan ayahnya sendiri. Ia hendak membuat ayah dan anak itu saling berbunuhan.

Hal ini harus dicegah! Sin Wan merasa amat iba kepada Lili, gadis yang malang itu, yang amat mencintanya, dan andaikata di sana tidak ada Kui Siang, betapa akan mudahnya membalas cinta kasih seorang gadis seperti Lili. Akan tetapi bagaimana cara mencegahnya? Menasehati mereka tidak akan ada gunanya, dan pula, diapun tidak berhak mencampuri urusan rumah tangga dan urusan pribadi mereka.

Akan tetapi satu hal sudah jelas, Bi-coa Sianli Cu Sui In dan ayahnya See-thian Coa-ong, tidak ada hubungannya dengan orang-orang berkedok yang bersembunyi di rumah peristirahatan pangeran mahkota. Agaknya ayah dan anak itu baru tiba sekarang dan mereka mencari-cari Lili yang oleh sucinya disuruh membunuh Bhok Cun Ki. Gadis yang malang itu sama sekali tidak menyadari bahwa yang disuruh bunuh adalah ayah kandungnya sendiri, dan yang menyuruhnya adalah ibunya sendiri! Sin Wan teringat. Hampir saja Lili tewas ketika bertanding melawan Bhok Cun Ki, diserang oleh orang lain secara menggelap, kemudian diselamatkan atau ditolong oleh Bhok Cun Ki. Sebaliknya kalau mereka itu saling dipertemukan agar Lili dapat bercerita kepada sucinya tentang sikap Bhok Cun Ki.

Mungkin saja kebaikan hati Bhok Cun Ki terhadap Lili akan mencairkan kebekuan hati mendendam dalam dada wanita itu.

Tidak terlalu lama dia menanti di depan rumah penginapan itu. Ketika dia melihat ayah dan anak itu keluar dari pintu depan rumah penginapan, cepat dia memasuki pekarangan dan menyongsong mereka. Cu Sui In masih tidak berubah, masih seperti dulu ketika dia melihatnya dalam pertemuan antara pimpinan kai-pang (perkumpulan pengemis) untuk merebutkan kedudukan pimpinan para kai-pang.

Peristlwa itu terjadi setahun lebihyang lalu ketika dia bersama Kui Siang mengikuti Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki yang akhirnya menjadi pemimpin besar para kai-pang kembali, kedudukan yang sebelum itu juga dipegangnya. Akan tetapi dipilihnya Pek-sim Lo-kai adalah karena keputusan atau perintah dari Raja Muda Yung Lo, sehingga para calon lainnya terpaksa mundur, di antara mereka terdapat pula Bi-coa Sianli Cu Sui In.

Ketika Sin Wan bertemu pandang dengan kakek yang berjalan di samping wanita cantik itu, diam-diam dia terkejut dan kagum. Sinar mata kakek ini mencorong seperti mata seekor naga. Biarpun tubuhnya tinggi kurus, namun kakek ini kelihatan gagah dan berwibawa, terutama sekali matanya.

"Harap ji-wi memaafkan saya ......" Sin Wan memberi hormat dan mengangkat kedua tangannya ketika dia berdiri di depan kedua orang itu, menghadang perjalanan mereka.

"Hemm, orang muda, siapa engkau dan mau apa?" Seethian Coa-ong bertanya, senyumnya yang selalu menghias mulut seperti orang mengejek itu tidak pernah meninggalkan bibir.

"Heii, bukankah engkau ...... murid Sam-sian yang bernama Sin Wan itu?" Cu Sui In berseru sambil menudingkan telunjuk kanannya ke arah muka Sin Wan. Ia teringat akan pengakuan sumoinya. Lili mencinta pemuda ini! "Mau apa engkau menghadangku? Apakah engkau hendak membalaskan kematian Kiam-sian dan Pek-mau-sian?"

"Tidak sama sekali. Saya hanya ingin memberitahu kepada ji-wi locianpwe bahwa saya pernah bertemu dengan Lili, dan ketika tadi melihat ji-wi, saya lalu bermaksud memberitahu."

Cu Sui In menatap tajam. "Engkau bertemu dengan Lili? Di mana ia?" Pertanyaannya dilakukan tergesa-gesa karena hatinya gembira mendengar itu.

"Di dalam istana kaisar!" Jawab Sin Wan.

"Ahhh??" See-thian Coa-ong sendiri dan puterinya mengeluarkan seruan kaget. Bagaimana mungkin Lili berada di istana kaisar? "Apa maksudmu, Sin Wan?" tanya Bi-coa Sianli Cu Sui In.

"Saya bertemu Lili di dalam istana. Ia tinggal di istana Pangeran Mahkota Chu Hui San sebagai pengawal pribadi beliau. Hanya itu yang ingin saya sampaikan kepada jiwi, selanjutnya terserah kepada ji-wi." Sin Wan membalikkan diri hendak meninggalkan tempat itu.

"Haii, tunggu!" terdengar kakek itu membentak dan Sin Wan terpaksa menghentikan langkahnya, membalik dan kembali berhadapan dengan mereka. "Sikapmu mencurigakan sekali. Hayo katakanterus terang apa maksudmu dengan pemberitahuan ini atau kau akan kubunuh sekarang juga!"

"Ayah, dia adalah pemuda yang dicinta Lili. Sin Wan, kenapa engkau memberitahukan tetang Lili kepadaku?"

"Lili telah menyelamatkan saya. Saya berhutang budi kepadanya, akan tetapi saya khawatir dengan kehadirannya di istana. Amat berbahaya bagi gadis seperti Lili, akan tetapi saya tidak berdaya, tidak dapat mencegahnya. Oleh karena itu ketika saya melihat ji-wi, saya memberitahu agar ji-wi dapat mengeluarkannya dari istana."

Sin Wan memberi hormat dan kini dia pergi tanpa dicegah oleh ayah dan anak itu. Setelah pemuda itu pergi, Cu Sui In berkata kepada ayahnya, "Ayah, sekarang juga kita ke istana, menemui Lili dan mengajaknya keluar. Apa-apaan ia menjadi pengawal pribadi pangeran mahkota segala!"

"Ha..ha, siapa tahu ia ingin menjadi isteri pangeran mahkota agar kelak menjadi pemaisuri kaisar? Ha..ha..ha..ha!"

Akan tetapi datuk ini menurut saja ketika puterinya menarik tangannya dan mengajaknya pergi menuju ke istana! Ketika Lili kembali ke istana pangeran setelah mengantar Sin Wan keluar istana, seorang pengawal menyambutnya dan memberitahu bahwa ia dipanggil oleh pangeran di dalam kamarnya. Lili tidak menyangka buruk dan iapun mengetuk daun pintu kamar yang tertutup itu.

"Yang Mulia, saya Lili siap menghadap paduka kalau diperlukan," katanya lirih.

"Masuklah, Lili, daun pintunya tidak dikunci," terdengar suara pangeran itu dari dalam.

Lili mendorong daun pintu, dibiarkan saja oleh empat orang pengawal yang berjaga di luar kamar, lalu ia melangkah masuk. Kamar pangeran itu luas dan terang, dengan perabot kamar yang serba mewah, dan tempat tidur yang luas pula.

Pangeran hanya seorang diri saja, rebah miring di pembaringan.

"Tutupkan kembali daun pintunya, Lili," katanya.

Biarpun alisnya berkerut karena belum pernah ia disuruh masuk kamar berdua saja dengan pangeran itu, apalagi daun pintu kamar ditutup, Lili tidak berani membantah dan menutupkan daun pintu kamar.

"Kesinilah, Lili!" kata pula pangeran itu dengansuara lembut.

Karena mengira bahwa pangeran akan membicarakan urusan penting, Lili melangkah maju ke dekat pembaringan dan berlutut dengan kaki kanan.

"Siap menanti perintah, pangeran," katanya.

17. Penyelamat Wanita Berkedok Hijau

"Jangan berlutut di situ, Lili. Duduklah di pembaringan sini ......" "Tidak, pangeran, Saya di sini saja! kata Lili, suaranya mulai mendingin. "Perintah apa yang harus saya laksanakan untuk paduka?"

"Lili, duduklah di sini dan kau pijitlah tubuhku, terasa lelah ......" Wajah Lili berubah merah dan iapun bangkit berdiri.

"Pangeran, memijit bukan pekerjaan saya. Saya bukan tukang pijit dan kalau paduka lelah dan minta dipijit, biar saya panggilkan selir atau dayang ..........." "Aku ingin engkau yang memijitiku, Lili." Pangeran itu bangkit duduk. "Ke sinilah, aku sayang padamu, Lili. Sejak kau berada di sini, aku merindukanmu. Rebahlah di sini, di sampingku, Lili ......." "Pangeran! Apa yang paduka katakan ini? Apakah paduka mabok? Saya tidak sudi!"

"Lili, aku cinta padamu, aku ingin mengangkatmu menjadi selirku terkasih."

"Tidak, aku tidak sudi!"

"Ingat, aku seorang pangeran mahkota, Lili."

Lili sudah marah sekali, kalau ia tidak ingat bahwa pria ini seorang pangeran, putera mahkota, tentu sudah dicekiknya kepala orangitu sampai lumat. "Tidak, aku tidak sudi, biar kau seorang pangeran mahkota, seorang dewa atau seorang iblis sekalipun! Sekarang juga aku akan pergi, aku tidak sudi menghambakan diri di sini lagi!" Gadis itu lalu meloncat keluar dan lari meninggalkan tempat itu.

"Pengawal .....!" Pangeran berteriak dan ketika para pengawal bermunculan, dengan geram dia memerintahkan untuk mengejar dan menangkap Lili.

Akan tetapi para pengawal itu jerih untuk mengejar bekas pengawal pribadi yang kabarnya amat lihai itu. Apalagi ketika muncul Yauw Siucai, juga pengawal pribadi pangeran dan guru sastra Pangeran kecil Chu Hong yang membujuk mereka agar bertindak lambat dan agar jangan bentrok dengan Lili karena hal itu akan membahayakan mereka sendiri.

Namun, bujukan ini hanya mempengaruhi beberapa orang pengawal saja. Mereka yang setia kepada pangeran bahkan melapor kepada kepala pengawal dan puluhan orang perajurit pengawal melakukan pengejaran kepada Lili yang berlari ke luar istana.

Bukan main marahnya hati Lili. Ia tidak tahu bahwa ketika Yauw Siucai memperkenalkan ia kepada Pangeran Chu Hui San, kemudian diterima sebagai pengawal pribadi, pangeran mata keranjang itu menerimanya bukan hanya karena Yauw Siucai memuji kelihaiannya, melainkan terutama sekali karena kecantikannya. Biarpun sudah ratusan mungkin ribuan orang wanita pernah melayaninya, namun pangeran ini belum pernah mempunyai seorang kekasih yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan juga memiliki watak yang keras dan berani seperti Lili.

Bagaimana mungkin ada seorang gadis yang sikapnya begitu berani terhadap seorang jenderal besar seperti Jenderal Yauw Ti? Semua itu membuat sang pangeran semakin tergilagila dan melihat sikap gadis itu terhadap sang jenderal tadi, diapun merasa khawatir kalau suatu saat dia akan kehilangan Lili, maka gairahnya semakin memuncak dan dia mengambil keputusan untuk memiliki Lili saat itu juga. Namun, baru sekali itu selama hidupnya, ada wanita yang menolak keras ketika dirayunya! Dalam keadaan marah Lili keluar dari istana. Ia bukan tidak tahu bahwa besar kemungkinan pangeran akan mengerahkan para pengawal untuk menangkapnya, namun ia tidak perduli dan siapa saja yang akan berani menghalanginya, akan dihajarnya.

"Lili ...........!!" Lili mengangkat muka dan melihat dua orang yang berada di luar pintu gerbang istana, iapun terbelalak dan segera lari menghampiri. "Suci .....! Suhu .....!!" serunya girang bukan main melihat kakak seperguruannya dan gurunya berada di situ. Akan tetapi pada saat itu, dari pintu gerbang muncul berbondong-bondong para pengawal yang melakukan pengejaran. Melihat Lili, mereka berteriak-teriak dan mengejar, dipimpin beberapa orang perwira pengawal yang berteriak.

"Tangkap pemberontak!"

"Apa yang terjadi?" tanya Cu Sui In.

"Pangeran hendak memaksaku menjadi selirnya, aku tidak sudi dan melarikan diri," kata Lili dan gadis inipun segera menyambut serbuan para pengawal, merobohkan dua orang dengan tamparannya.

Akan tetapi para pengawal sudah menyerangnya dengan senjata di tangan. Tombak dan pedang golok menyambarnyambar. Lili mencabut pedangnya Pek-coa-kiam (Pedang Ular Putih) mengamuk. Melihat betapa Lili dikepung banyak pengawal yang menyerang mati-matian, tanpa diminta Cu Sui In segera mencabut Hek-coa-kiam (Pedang Ular Hitam) dan terjun ke dalam pertempuran membantu gadis itu.

See-thian Coa-ong Cu Kiat memandahg dengan alis berkerut. Tentu saja dia tidak mengkhawatirkan dua orang wanita yang dikeroyok itu. Akan tetapi dia bukan seorang bodoh. Betapapun lihainya Lili dan Sui In, bahkan ditambah dia sendiri sekalipun, tidak mungkin dapat bertahan kalau datang pasukan besar mengeroyok mereka. Inilah yang merupakan ancaman karena mereka berada di kota raja, apalagi di depan pintu gerbang istana.

Mereka seperti berada di guha harimau dan selain itu, diapuntidak ingin menjadi pemberontak tanpa alasan yang kuat, hanya karena Lili akan diambil selir seorang pangeran.

Bahkan kalau gadis itu mau, dia malah akan merasa senang sekali. Mengapa menolak jadi selir seorang pangeran mahkota dan mempunyai kesempatan baik untuk menjadi permaisuri? Bodoh sekali! "Lili, Sui In, kita pergi dari sini!" serunya dan sekali dia menyerbu, kepungan itu terpecah dan dua orang wanita itu yang juga maklum akan bahaya, segera meloncat keluar dari kepungan yang pecah. Mereka bertiga berloncatan dengan cepat dan sebentar saja para pengawal itu sudah kehilangan bayangan mereka.

Para pengawal melakukan pengejaran dan kini pasukan pembantu sudah datang sehingga mereka menyebar ke seluruh kota untuk mencari tiga orang itu, terutama Lili.Di antara mereka yang melakukan pencarian, tentu saja nampak pula seorang pria berpakaian sastrawan serba putih, yaitu Yauw Siucai. yang berlagak marah-marah ketika mendengar akan peristiwa itu.

"Gadis tak mengenal budi!" Dia berseru di depan pangeran Chu Hui San. "Jangan khawatir, yang mulia. Saya akan berusaha mencari dan menemukannya!"

Ketika tiga orang pelarian itu sedang berlari dan berloncatan di sebuah lorong, tiba-tiba saja di depan mereka muncul Yauw Siucai. Tempat itu sunyi, dan Yauw Siucai berkata cepat.

"Ke sinilah! Cepat, sam-wi masuk ke sini!"

Tiga orang itu, dipimpin Lili yang sudah mengenal Yauw Siucai dan mempercayainya, mengikuti pemuda berpakaian putih itu memasuki sebuah pintu samping sebuah rumah dan segera daun pintu itu ditutup dari dalam. Mereka tiba di sebuah kebun dan tanpa bicara lagi Yauw Siucai mengajak mereka masuk rumah itu dari belakang. Di sebuah gudang barang, terdapat sebuah pintu rahasia dan diapun membawa tiga orang pelarian memasuki sebuah lorong rahasia dan turun ke dalam sebuah ruangan bawah tanah yang luas dan mewah dan lengkap. Tiga orang itu sampai terheran-heran dan kagum, tidak mengira bahwa di bawah gedung itu terdapat ruangan bawah tanah yang demikian mewahnya.

"Untuk sementara, harap sam-wi (anda bertiga) bersembunyi dulu di sini sampai pencarian mereda," kata Yauw Siucai kepada mereka.

"Terima kasih atas bantuanmu, Yauw kongcu," kata Lili, lalu ia memperkenalkan gurunya dan kakak seperguruannya. "Ini adalah suhu dan suciku........." Yauw Siucai tercengang dan tersenyum girang bukan main.

"Locianpwe See-thian Coa-ong dan Bi-coa Sianli? Ah, sudah lama sekali saya mendengar akan nama besar ji-wi (anda berdua)," katanya memberi hormat.

"Suhu dan suci, ini adalah Yauw Kongcu, namanya Yauw Lu Ta dan kami berkenalan dalam perjalanan. Dia yang memperkenalkan aku dengan Pangeran Mahkota dan memasukkan aku menjadi pengawal pribadi. Akan tetapi ternyata Pangeran Chu Hui San hendak kurang ajar kepadaku, maka aku melarikan diri!"

See-thian Coa-ong yang merasa bahwa dia telah terlepas dari bahaya karena pertolongan pemuda tampan berpakaian putih-putih itu berkata, "Hemm, hari ini Yauw Kongcu telah menyelamatkan kami. Aku tidak akan melupakan budi ini."

Cu Sui In tidak memperdulikan pria yang menolongnya itu, sebaliknya ia mengomel kepada Lili, "Sumoi, apa saja yang kaulakukan di kota raja? Bukankah aku memberimu tugas penting? Engkau sudah mengabaikan tugasmu?"

Lili memandang sucinya. "Sama sekali tidak, suci. Juga dengan bantuan Yauw Kongcu, aku sudah, dapat menemukan Bhok Cun Ki ........" "Dan kau sudah membunuhnya?" Wanita itu bertanya cepat dan suaranya terdengar gemetar.

Lili menundukkan mukanya yang agak kemerahan. "Suci, maafkan aku. Aku telah menantangnya dan kami telah bertanding tapi ....... aku kalah ........." Cu Sui In terbelalak dan nampak marah sekali. "Sumoi, engkau kalah dan engkau masih hidup bahkan bersenangsenang di istana? Hemm, beginikah engkau membalas budi sucimu ini?"

"Hemm, bersabarlah, Sui In," kata See-thian Coa-ong. "Lili, ceritakan apa yang terjadi. Kalau memang Bhok Cun Ki itu lihai sekali, biar kelak aku sendiri yang turun tangan."

"Jangan, ayah! Ayah jangan mencampuri urusan ini. Nah, Lili, kauceritakan apa yang terjadi."

Lili lalu menceritakan tentang pertandingannya melawan BhokCun Ki. Ia seorang gadis yang terbuka dan jujur, maka ia menceritakan semuanya. Betapa lihainya Bhok Cun Ki sehingga ia tidak mampu mengalahkannya, bahkan ia yang selalu terdesak.

"Selagi dia mendesakku, tiba-tiba ada senjata rahasia menyerangnya. Akan tetapi dia lihai dan pedangnya dapat menangkis. Celakanya, sebatang paku beracun terpental dan mengenai pundak kiriku. Aku pingsan. Ketika aku siuman, ternyata aku telah berada di rumah Bhok Cun Ki. Dia membawa aku ketika pingsan dan mengobatiku. Akan tetapi setelah siuman, aku menolak kebaikannya itu dan aku melarikan diri. Demikianlah, suci. Maafkan kegagalanku."

Wajah Cu Sui In menjadi merah sekali. "Sumoi, aku malu sekali kepadamu! Engkau pernah mengatakan bahwa untuk melaksanakan permintaanku, engkau bersedia mempertaruhkan nyawa. Akan tetapi buktinya? Huh, engkau ...... engkau sungguh mengecewakan!"

Dicela seperti itu, Lili menjadi marah. "Suci, apa yang harus kulakukan sekarang? Katakan, biar aku harus mengorbankan nyawaku, akan kulakukan. Aku bukan pengecut seperti yang suci sangka!"

"Bagus!" Kalau begitu, sekarang juga pergilah cari Bhok Cun Ki dan ulangi tantanganmu. Sekali ini engkau harus berhasil membunuhnya! Kalau tidak, jangan lagi engkau berani mengakui aku sebagai sucimu!"

"Baik! Sekali ini, dia atau aku yang harus mati!" seru Lili.

"Itulah yang kumaksudkan. Dia atau engkau yang harus mati!" kata Sui In.

Lili hendak lari meninggalkan tempat itu, akan tetapi Yauw Siucai segera menghadangnya. "Bersabarlah, nona Lili, dan kuharap engkau jugabersabar, toanio," katanya kepada Sui In. "Kalau nona Lili nekat keluar, sebelum dapat bertemu dengan Bhok Cun Ki, tentu ia akan lebih dulu tertangkap oleh pasukan pengawal, dan semuanya akan gagal pula."

"Ha..ha, omongan Yauw Siucai ini benar sekali, Yauw Siucai kalau menurut pendapatmu, bagaimana sebaiknya?" kata Seethian Coa-ong.

"Sebaiknya dikirim surat tantangan kepada Bhok Cun Ki dan saya yang akan menyuruh orang menyampaikan. Kemudian, nona Lili dan ji-wi (anda berdua) harus keluar dari sini dengan berpencar dan menyamar menuju ke tempat yang ditentukan untuk bertanding. Dengan demikian aman. Tempat bertanding harus ditentukan di luar kota, sebaiknya di hutan buatan sebelah utara kota raja yang biasa dipergunakan untuk berburu keluarga kaisar. Di sana sepi dan baik sekali untuk bertanding tanpa gangguan."

Mendengar ini, Sui In mengangguk-angguk. "Bagus, aturlah seperti itu, Yauw Siucai. Kiranya engkau seorang yang cerdik sekali, pantas Lili suka bersahabat denganmu," kata See-thian Coa-ong girang."Lili, cepat membuat surat tantangan!"

"Biar aku yang membuatnya!" kata Cu Sui In dan Yauw Siucai lalu mengeluarkan alat-alat tulis dari laci sebuah meja di ruangan itu. Sui In lalu membuat surat tantangan singkat dan dimasukkan ke dalam sampul.

"Sekarang saya akan pergi mengirim surat tantangan, sementara sam-wi melakukan penyamaran. Untuk itu, di lemari sudut itu terdapat alat penyamaran lengkap."

Yauw Siucai pergi dan ketika Sui In membuka lemari mereka bertiga tercengang dan kagum. Di situ tersedia alat penyamaran yang lengkap dari pakaian rambut palsu, pengubah warna kulit sampai alat-alat yang dapat membuat kulit mengeriput dan sebagainya. Mereka bertiga segera merias diri, menyamar. Lili dan Sui In menyamar sebagai pria yang tampan, sedangkan See-thian Coa-ong menyamar sebagai seorang pengemis tua yang bongkok!.

Setelah mereka bertiga selesai dengan penyamaran mereka, mereka menanti kembalinya Yauw Siucai. Tidak terlalu lama mereka menanti karena orang itu segera muncul di situ dengan wajah berseri. "Sudah saya suruh antar surat tantangan itu dan Bhok Cun Ki pasti akan berada di hutan sebelah utara kota raja. Sekarang sam-wi boleh keluar dan saya melihat penyamaran sam-wi baik sekali."

Mereka semua keluar dari lorong rahasia itu, tiba di gudang dan ketika hendak membuka pintu kebun, Yauw Siucai yang lebih dahulu keluar. Setelah melihat bahwa lorong itu sunyi, tiga orang yang menyamar itu keluar seorang demi seorang, berpencar dan mengambil jalan masing-masing menuju ke pintu gerbang sebelah utara.

Kota raja masih penuh dengan para perajurit yang melakukan pencarian, akan tetapi tidak seorangpun mengenal Lili dalam penyamarannya sebagai seorang pemuda tampan yang berkumis dan berkulit gelap. Juga alisnya kini menjadi tebal, bentuk hidungnya menjadi besar. Dengan cepat Lili berhasil keluar dari pintu gerbang utara dan melanjutkan perjalanan dengan cepat ke utara.

Matahari condong ke barat, dan Lili merasa betapa hatinya gundah. Biarpun ia tahu bahwa ia tidak akan menang melawan Bhok Cun Ki, ia sama sekali tidak takut. Ia tidak takut kalah dan ia tidak takut mati karena watak seperti ini sudah ditekankan kepadanya sejak ia kecil oleh sucinya yang dahulu adalah gurunya. Yang membuat ia merasa gundah bukanlah kelihaian Bhok Cun Ki, melainkan kebaikannya. Tak mungkin ia dapat melupakan perkelahian yang pernah terjadi antara ia dan panglima itu.

Ia kini tahu benar bahwa pelepas senjata rahasia bukanlah panglima itu, seperti yang juga diterangkan oleh Sin Wan kepadanya. Ada pihak ke tiga yang melakukannya, dan yang diserang adalah panglima itu, bukan ia. Akan tetapi, yang terkena paku beracun itu ia dan musuh besar sucinya itu bahkan menolongnya, merawatnya! Biarpun ia telah bersikap keras dan tidak mau menerima budi itu, namun di dalam hatinya, ia bukanlah orang yang tidak mengenal budi. Dan sekarang, ia sedang pergi untuk membunuh atau dibunuh orang itu! Wajahnya semakin muram kalau ia teringat akan sikap dan kata-kata sucinya. Sungguh sukar mengerti sikap sucinya.

Kenapa sucinya memaksa ia yang membunuhBhok Cun Ki, pada hal sucinya yang merasa sakit hati? Kenapa bukan sucinya sendiri yang membalas dendam? Bahkan ketika guru mereka, atau ayah sucinya hendak turun tangan membunuh Bhok Cun Ki, sucinya melarang dengan keras dan memaksanya agar ia yang melawan Bhok Cun Ki. Pada hal sucinya sudah mendengar bahwa ia pernah kalah oleh Bhok Cun Ki. Kenapa sikap sucinya begini aneh, pada hal ia merasakan benar bahwa sucinya amat sayang kepadanya? Sungguh sikap yang amat berlawanan dan aneh! Biarpun kedua kakinya dengan ringan melangkah tanpa ragu ke arah tempat yang ditentukan untuk mengadu kepandaian, atau lebih tepat kalau dinamakan mengadu nyawa, namun hatinya terasa berat oleh kebimbangan.

JJJ Sin Wan cepat pergi ke rumah keluarga Bhok untuk mencari panglimaitu. Dia harus mengabarkan kenyataan luar biasa itu, bahwa Lili adalah puterinya sendiri, kepada panglima itu! Akan tetapi, belum dia tiba di rumah keluarga Bhok Cun Ki, dia mendengar tentang keributan di depan istana. Dia teringat bahwa Lili berada di sana, maka cepat dia kembali lagi dan mendengar bahwa memang gadis itu yang membuat keributan, dan menurut kabar yang dia dengar, gadis itu melarikan diri dari istana dan dikejar-kejar oleh pasukan keamanan.

Juga dia mendengar bahwa ketika tiba di luar istana, gadis itu dibantu oleh seorang wanita cantik dan seorang kakek tinggi kurus dan amat lihai, akan tetapi tiga orang itu lalu melarikan diri dan sampai kini masih terus dicari oleh para perajurit keamanan. Sin Wan dapat menduga bahwa tentu Lili telah dilarikan oleh See-thian Coa-ong dan Bi-coa Sianli Cu Sui In. Dia segera kembali menuju ke rumah Bhok Cun Ki.

Ketika tiba di rumah keluarga-Bhok, yang menyambutnya adalah Bhok Cin Han dan Bhok Ci Hwa. Kakak beradik itu memberitahu kepadanya bahwa ayah mereka telah pergi sejak tadi, setelah mendengar akan keributan yang terjadi di depan istana.

"Kami mendengar bahwa yang membikin kacau adalah seorang pengawal wanita dari Pangeran Mahkota," kata Cin Han. "Kabarnya ia melarikan diri setelah hampir membunuh Pangeran Mahkota. Agaknya ia seorang mata-mata yang dikirim musuh untuk membunuh Pangeran Mahkota."

"Ayah pergi untuk berusaha menangkap kembali gadis itu, yang kabarnya dibantu dua orang yang amat lihai," kata pula Cin Hwa.

Diam-diam Sin Wan merasa khawatir sekali. Tentu saja ia tidak memberitahu kepada mereka bahwa yang dimaksudkan dengan gadis pengacau itu bukan lain adalah Lili. Dia merasa khawatir kalau sampai Bhok Cun Ki bertemu dengan Lili dan See-thian Coa-ong bersama puteri datuk itu. Dapat berbahaya bagi panglima Bhok. Maka, tanpa banyak cakap lagi diapun meninggalkan kakak beradik itu dengan alasan untuk membantu ayah mereka mengejar pengacau.

Di sepanjang perjalanan Sin Wan berpikir. Dia merasa khawatir sekali terhadap keselamatan Lili dan juga Bhok Cun Ki. Teringatlah dia betapa secara aneh sekali Lili telah menjadi pengawal pribadi Pangeran Chu Hui San. Dan siapakah Yauw Siucai itu? Biarpun dia nampak lemah lembut dan ramah halus, namun kehadirannya dekat Lili amat mencurigakan.

Selagi dia berjalan sambil melamun, matanya tidak pernah mengurangi kewaspadaan melihat setiap orang yang berlalulalang di jalan-jalan yang menjadi ramai dan penuh ketegangan dengan adanya berita tentang kekacauan itu.

Tiba-tiba dia menyelinap dengan cepat sekali ke samping sebuah rumah di tepi jalan. Dia melihat sastrawan yang tampan itu berjalan seorang diri. Yauw Siucai! Baru saja dia mengenang sastrawan yang dianggap cukup mencurigakan itu dan kini dia melihat orang itu melangkah seorang diri dengan tergesa-gesa sehingga lupa menggunakan kipas besar yang dipegangnya untuk mengusir kegerahan, bahkan kini langkahnya tidak lagi langkah sastrawan yang lemah lembut.

Sepasang kaki itu melangkah dengan gesitnya, dan dari langkahnya saja Sin Wan dapat menduga bahwa orang ini tidaklah selemah tampaknya ketika berada di istana Pangeran Mahkota! Diapun cepat membayangi Yauw Siucai yang memasuki sebuah lorong kecil.

Akan tetapi, begitu memasuki lorong sempit itu, Yauw Siucai menghilang, entah ke mana! Sin Wan terkejut dan merasa heran, berhenti didepan sebuah dinding pagar yang tebal dan tinggi. Di balik pagar tembok itu nampak atap sebuah rumah besar. Tidak ada pintu pada dinding pagar itu.

Akan tetapi kemana lenyapnya Yauw Siucai? Kecurigaannya bertambah dan diapun melompat ke atas pagar tembok.

Ketika melihat betapa di sebelah dalam sunyi saja, diapun, melompat ke sebelah dalam. Pada saat dia melompat itu, ada bayangan orang berjalan memasuki lorong itu, akan tetapi Sin Wan yang sudah melompat masuk, tidak tahu bahwa ada orang melihat dia melompat dari atas pagar tembok ke sebelah dalam.

Dengan hati-hati sekali Sin Wan yang tiba di sebuah kebun, menghampiri rumah yang atapnya nampak dari luar pagar tembok. Rumah itu nampak sunyi sekali, seperti tidak berpenghuni. Apakah Yauw Siucai tadi menghilang ke rumah ini? Dia tidak dapat memastikannya. Dia harus menyelidiki karena sikap Yauw Siucai itu mencurigakan sekali.

Andaikata tidak ada hubungannya dengan Lili, tentu dia tidak akan bersusah payah mencurigai dan membayangi Yauw Siucai. Namun karena pada saat itu pikirannya penuh dengan bayangan Lili yang agaknya oleh ibu kandungnya sendiri, di luar pengetahuannya, hendak diadu melawan ayah kandungnya sendiri, disuruh saling serang dan saling bunuh antara anak dan ayah kandung, makakemunculan Yauw Siucai itu menarik perhatiannya.

Sin Wan menyelinap ke dalam rumah melalui pintu samping yang kecil, dan dia hampir yakin bahwa rumah itu kosong. Tak mungkin Yauw Siucai bersembunyi di rumah ini, pikirnya. Pula, kenapa bersembunyi? Dia yang tadi kurang waspada. Mungkin sastrawan itu menghilang di sebuah tikungan di lorong itu, atau memasuki sebuah pintu kecil yang terbuka. Dia telah salah duga dan tergesa-gesa mengira sastrawan itu masuk ke sini. Namun, dia tetap penasaran. Dia sudah terlanjur masuk, maka diintainya setiap ruangan di rumah itu.

Ketika dia mengintai sebuah kamar yang besar dari balik jendela, dia terkejut. Dalam kamar yang tertutup dan remangremang itu, dia melihat seseorang rebah terlentang di atas pembaringan dan dengkurnya terdengar lirih. Seseorang yang bertubuh tinggi besar dan perutnya gendut sekali. Dia mencurahkan perhatian dan mengamati.

Berdebarlah jantung Sin Wan, penuh ketegangan ketika dia mengenal orang itu. Sama sekali bukan Yauw Siucai, melainkan seorang tinggi besar gendut yang mengenakan kedok hitam! Si Kedok Hitam yang pernah bertanding dengan dia di gedung peristirahatan Pangeran Mahkota! Kedok Hitam yang amat lihai itu, yang menjadi pemimpin dari gerombolan berkedok, yang mengatur pencurian benda-bendadari gedung pusaka! Dengan girang karena dapat menemukan tempat persembunyian pimpinan kedok hitam yang dia yakin tentulah mata-mata orang Mongol, karena telah mencuri benda-benda tanda kekuasaan milik bekas kaisar Mongol, Sin Wan siap untuk menangkapnya. Jasanya akan besar sekali kalau dia dapat menangkap pemimpin gerombolan mata-mata dan menyeretnya ke depan Jenderal Shu Ta! Tanpa ragu lagi, dia membuka jendela dengan hati-hati, lalu meloncat ke dalam kamar itu. Suara dengkur lirih itu tidak terhenti, tanda bahwa Si Kedok Hitam itu masih tidur nyenyak.

Agar tidak mencurigakan kalau-kalau ada orang lain berada di luar rumah itu. Sin Wan menutupkan kembali daun jendela dan pada saat dia hendak meloncat ke dekat pembaringan, tiba-tiba terdengar bunyi desisyang tajam.

Sin Wan terkejut, desis itu seperti desis ular dan dia menoleh ke kiri, akan tetapi terdengar bunyi desis-desis lain dari sekelilingnya dan tiba-tiba saja kamar itu telah penuh asap yang amat keras menyengat hidung. Asap beracun! Karena tadinya dia tidak menduga, hidungnya terlanjur menyedot sedikit asap yang membuat kepalanya tiba-tiba terasa pening. Ketika dia hendak meloncat keluar lagi, dia bingung mencari-cari di mana adanya jendela tadi.

Kepeningan membuat pandang matanya berkunang dan tempat itu seperti berputar.

Pada saat itu ada angin menyambar dari belakang. Dia membalik sambil menangkis, berhasil menangkis tiga kali serangan, akan tetapi karena kepalanya pening, akhirnya sebuah totokan mengenai punggungnya dan diapun roboh dengan kedua kaki seperti lumpuh. Dia berjuang untuk menahan napas agar tidak menyedot asap yang semakin tebal, dan melihat bayangan Si Kedok Hitam meloncat keluar dari pintu kamar yang segera tertutup kembali.

"Ha..ha..ha..ha..ha.." Si Kedok Hitam yang keluar dari kamar itu, kini tertawa bergelak-gelak tanda kegembiraan hatinya dapat menangkap seorang musuh yang tangguh sedemikian mudahnya.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar