"Seorang datuk sesat, tokoh golongan hitam?" tanya Ci Han.
Sin Wan menggeleng kepalanya. "Hal itu aku tidak tahu jelas, karena datuk-datuk seperti See-thian Coa-ong itu tidak dapat digolongkan hitam atau putih. Dia hanya mementingkan diri sendiri. Baik golongan hitam maupun putih, kalau dianggap merugikan, akan ditentang, sebaliknya tanpa memperdulikan golongan, kalau dianggap sahabat, akan dibela mati-matian."
"Ihh! Kalau begitu, lebih berbahaya dari pada golongan hitam yang sesat!" kata Ci Hwa.
"Kenapa begitu, Hwa-moi?" tanya Ci Han.
"Kalau datuk sesat sudah jelas kedudukannya ditentang para pendekar. Akan tetapi kalau hitam tidak putihpun bukan, sungguh merepotkan. Dianggap kawan, tiba-tiba menjadi lawan, dianggap lawan, bisa menjadi kawan. Orang yang bukan hitam bukan putih ini yang berbahaya, seperti bunglon, suka plin-plan! Huh, aku tidak suka kepada mereka! Gadis bernama Lili itu sepantasnya siluman ular!"
"Sudahlah, Hwa-moi. Mari kita antar Wan-toako kekamarnya. Biar dia mengaso, dan mandi. Nanti kita makan bersama di ruangan samping dekat kamarnya."
Kakak beradik itu lalu mengantar Sin Wan ke kamar tamu yang berada di samping. Kamar itu cukup luas dan nyaman, lengkap dengan kamar mandi. Mereka lalu meninggalkan Sin Wan dan berjanji akan makan malam bersama setelah Sin Wan mandi.
Setelah berada seorang diri, mandi dan bertukar pakaian, Sin Wan merasa suka dan kagum kepada keluarga ini. Bhokciangkun demikian gagah perkasa dan bijaksana, anakanaknyapun ramah dan sama sekali tidak congkak. Akan tetapi diam-diam dia merasa khawatir. Dia tahu bahwa Lili amat lihai dan merupakan lawan yang amat berbahaya. Dan biarpun dia sudah mendengar bahwa Bhok Cun Ki juga bukan orang lemah, melainkan seorang pendekar Butong-pai, namun dia belum tahu sampai di mana kepandaian panglima itu. Dan orang seperti Lili itu tidak akan segan untuk membunuh lawannya! Pada keesokan harinya, dengan sikap tenang seperti biasa, Bhok Cun Ki setelah makan pagi bersama Sin Wan, berunding dengan pemuda itu tentang tugas mereka.
"Pemilihan bengcu akan terjadi beberapa bulan lagi di puncak Thai-san," kata panglima itu. "Menurut pendapatmu, siapa-siapa sajakah kiranya yang akan menjadi calon bengcu, taihiap?"
Dalam perundingan pagi itu, hadir pula Ci Han dan Ci Hwa yang diperbolehkan ayah mereka untuk ikut mendengarkan dan siapa tahu mereka mempunyai usul-usul yang baik, dan perundingan itupun akan menambah pengalaman mereka.
"Aih, ayah! Han-ko dan aku sendiri sudah sepakat untuk menyebut twako kepada Wan-twako, dan dia menyebut kami adik. Kenapa ayah masih menggunakan sebutan sungkan itu? Biarpun dia diam saja, namun aku tahu bahwa Wan-twako tidak suka disebut taihiap. Dia amat rendah hati, ayah!" kata Ci Hwa yang lincah dan sudah biasa berbicara sejujurnya kepada ayahnya.
Panglima itu menoleh kepada Sin Wan sambil tersenyum, hanya pandang matanya yang bertanya. Sin Wan juga tersenyum dan mengangguk. "Memang benar apa yang dikatakan Hwa-moi, ciangkun. Aku lebih suka kalau disebut Sin Wan saja, tanpa embel-embel taihiap."
"Ha..ha..ha, engkau semakin menarik, orang muda. Tinggal satu lagi yang ingin kuketahui, kekuatan apa yang tersembunyi di balik kesederhanaan dan kerendahan hatimu.
Baiklah, aku akan menyebutmu Sin Wan saja, akan tetapi engkaupun tidak boleh menyebutku ciangkun. Aku lebih pantas menjadi pamanmu, bukan? Nah, kita saling menyebut ciangkun dan taihiap dalam pertemuan resmi di depan orangorang lain. Setuju?"
Sin Wan memandang kagum. Bukan main keluarga ini! "Baik, paman, dan terima kasih!"
"Nah, Sin Wan. Sekarang jawab pertanyaanku tadi. Siapa saja kiranya yang akan menjadi calon bengcu?"
"Paman Bhok, seperti pernah kuceritakan kepada Jenderal Shu Ta, ketika diadakan pemilihan pemimpin besar para kaipang (perkumpulan pengemis) yang diadakan di Lok-yang kurang lebih setahun yang lalu, banyak tokoh memperebutkan kedudukan pemimpin besar itu, semata-mata karena kedudukan itu akan membuat pemegangnya mendapat kesempatan untuk menjadi calon bengcu dan banyak harapan akan menang karena memperoleh dukungan suara seluruh kai-pang. Selain Pek-sim Lo-kai Bu LeeKi yang memang sejak dahulu menjadi pemimpin besar kai-pang, ada beberapa orang yang mewakili guru-guru atau pemimpin mereka. See-thian Coa-ong ketika itu diwakili oleh puterinya, yaitu Bi-coa Sianli Cu Sui In dan Lili. Kemudian Tung-hai-liong (Naga Lautan Timur) Ouwyang Cin diwakili oleh muridnya yang bernama Maniyoko ........" "Bukankah Tung-hai-liong Ouwyang Cin adalah seorang peranakan Jepang, merupakan datuk para bajak laut di lautan timur?" Bhok-ciangkun memotong.
"Benar, paman. Kalau See-thian Coa-ong merupakan datuk di barat, Tung-hai-liong merupakan datuk di timur. Mereka berdua sama kuat, lihai dan liciknya."
"Hemm, lalu siapa datuk dari selatan dan utara?" tanya pula panglima itu.
"Setahuku, tokoh besar selatan tidak ada yang melebihi locianpwe (orang tua gagah) Bu Lee Ki yang berjuluk Pek-sim Lo-kai (Pengemis Tua Hati Putih), dan beliau yang didukung oleh Raja Muda Yung Lo agar kelak menjadi bengcu. Kalau dia yang menjadi ketua bengcu, kurasa dunia kang-ouw akan aman dan tidak akan ada yang berani memberontak terhadap pemerintah, paman. Mengenai datuk besar dari utara, aku belum mendengar siapa orangnya. Banyak tokoh besar kangouw di utara kini cerai berai dan meninggalkan daerah yang menjadi daerah perang dan amat berbahaya itu." "Aih, sudah disebut datuk besar dunia kang-ouw, kenapa takut menghadapi bahaya perang? Siapa akan berani mengganggunya?" Ci Hwa mencela.
Ayahnya tertawa. "Ci Hwa, engkau terlalu mengangkat tinggi seorang datuk besar persilatan. Boleh jadi kalau menghadapi lawan pribadi, seorang datuk besar tidak mengenal takut dan sukar dikalahkan. Akan tetapi, dalam perang antara pasukan pemerintah melawan para sisa pasukan Mongol, yang berperang adalah ratusan ribu orang.
Betapapun lihainya seorang datuk besar, bagaimana dia akan mampu melindungi diri terhadap ratusan ribu orang? Kelihaian seseorang tidak akan lebih dari seratus orang. Kalau dikeroyok ribuan orang, apalagi dikeroyok perajurit yang bersenjata lengkap, biar dia pandai terbang seperti burung sekalipun, tentu akhirnya akan mati ditembus anak panah atau senjata lain."
"Kalau begitu, bahaya hanya datang dari See-thian Coa-ong dan Tung-hai-liong saja, tentu dengan anak buah dan para pembantu mereka?"
"Yang kita ketahui memang dari kedua pihak itu, paman.
Akan tetapi, mengingat bahwa kedudukan bengcu merupakan kedudukan yang penting dan amat berharga, maka kuyakin bahwa dari utara tentu akan muncul pula seorang datuk baru."
"Menurut pendapatmu, di antara tiga orang sakti yang telah kita ketahui itu siapa yang paling lihaidan akan dapat menangkan kedudukan bengcu?"
"Kurasa locianpwe Bu Lee Ki! Tentu saja kalau tidak terjadi kecurangan dan kalau seluruh kai-pang setia kepada pemimpin besarnya. Kita tidak dapat menentukan dengan pasti sikap para ketua kai-pang. Mereka orang-orang aneh yang mudah berubah, mudah dipengaruhi dari luar."
"Memang ke sanalah kita harus melakukan penjagaan, mengirim penyelidik-penyelidik yang pandai untuk mengawasi para kai-pang. Mereka itu dapat dimanfaatkan pihak yang kuanggap paling berbahaya?"
"See-thian Coa-ong, ayah?" tanya Ci Hwa.
"Bukan."
"Kalau begitu, Tung-hai-liong?" tanya pula Ci Han.
"Juga bukan. Yang paling berbahaya dari semuanya adalah orang-orang Mongol! Mereka tiba-tiba mengubah siasat, tidak lagi melakukan penyerangan denganpengerahan pasukan dari utara dan barat. Hal ini mencurigakan dan boleh jadi sekali mereka menggunakan siasat halus untuk menyusup ke dalam negeri melalui pemilihan bengcu. Karena itulah, kita harus berhati-hati. Siapa tahu, sekarang juga mereka telah menyusup ke kota-kota besar, bahkan ke kota raja."
"Kalau begitu, siluman ular Lili itu mungkin juga dipergunakan oleh orang Mongol" Ci Hwa berseru. Bagaimana pendapatmu, Wan-ko?"
Sin Wan mengerutkan alisnya yang tebal dan dia menggeleng kepala perlahan. "Kukira orang seperti See-thian Coa-ong, puterinya dan para muridnya merupakan orangorang yang sulit untuk diperalat orang lain. Mereka tidak akan mau tunduk kepada siapapun dengan pengaruh apapun."
"Kurasa Sin Wan benar, Ci Hwa. Akupun yakin bahwa gadis itu tidak diperalat, melainkan datang atas kemauan sendiri.
Sudah, kita tidak perlu bicara tentang gadis itu. Sin Wan, selama beberapa hari ini, bersama para mata-mata yang menjadi anak buahku, harap kausuka membantu melakukan penyelidikan di kota raja, di rumah-rumah penginapan, di kuilkuil kosong, di tempat-tempat yang sekiranya patut dicurigai menjadi tempat pemondokan mata-mata Mongol. Ingat, mereka sudah hafal benar akan keadaan di sini, akan kebudayaan pribumi, dan mereka licik dan cerdik sehingga akansia-sia kalau engkau mencari-cari seorang yang kelihatan seperti orang Mongol di antara mereka. Mungkin mereka itu nampak lebih pribumi dari pada pribuminya sendiri."
"Baik, paman. Dan untuk keperluan itu, sebaiknya kalau aku bekerja bebas dan tidak disiarkan berita bahwa aku menjadi pembantu paman. Dengan demikian, rasanya akan lebih leluasa aku melakukan penyelidikan."
"Aku mengerti, Sin Wan. Dan sekarang, agar kita dapat lebih saling mengenal, mari kita pererat melalui ilmu silat."
Sin Wan maklum apayang dimaksudkan dan dalam hatinya, dia tidak setuju. "Apakah itu perlu, paman?"
"Tentu saja, perlu sekali. Bukankah kita harus bekerja sama? Untuk itu, kita harus dapat melihat kemampuan masing-masing."
Sin Wan ingin membantah, akan tetapi tiba-tiba dia teringat bahwa sore nanti Bhok Cun Ki akan bertanding melawan Lili, bukan pertandingan yang main-main, melainkan mempertahankan nyawa dari ancaman gadis liar itu. Ah, dia dapat memberi petunjuk secara tidak langsung, tanpa menyinggung perasaan pendekar Butong ini, pikirnya.
"Baiklah, paman, kalau paman berpendapat demikian."
Ci Han dan Ci Hwa gembira sekali mendengar itu. Mereka juga ingin sekali menyaksikan kelihaian tamu yang kini sudah akrab dengan mereka, yang hanya mereka kenal sebagai murid dari Sam-sian (Tiga Dewa) yang namanya pernah menggemparkan dunia persilatan karena Sam-sian adalah tokoh-tokoh besar yang berhasil mengembalikan pusakapusaka yang dicuri dari gudang pusaka istana kaisar! Sam-sian merupakan tokoh-tokoh besar persilatan yang banyak jasanya, dan amat dihargai oleh Kaisar sendiri. Dan kini, di antara ke tiga Sam-sian hanya tinggal seorang saja, yaitu Ciu-sian (Dewa Arak) yang mendapat tugas baru dari Kaisar, akan tetapi karena merasa sudah tua dan dua orang rekannya sudah tidak ada, mewakilkannya kepada murid ini.
Mereka pergi ke lian-bu-thia (ruangan belajar silat) yang berada di bagian belakang bangunan itu. Ruangan ini luas dan memang enak sekali untuk bermain silat, penuh dengan alatalat untuk berolah raga dan berlatih silat.
11. Perusak Pangeran Mahkota
TAK lama kemudian, kedua orang itu sudah saling berhadapan. Melihat tuan rumah yang sudah melepas baju luar itu menghadapinya dengan tangan kosong, Sin Wan yang mempunyai niat untuk mengukur ilmu pedang dan kalau mungkin memberi petunjuk, segera memberi hormat dan berkata, "Paman Bhok, aku mendengar bahwa paman adalah seorang pendekar Butong-pai, dan Butong-pai terkenal dengan ilmu pedangnya. Oleh karena itu, kalau paman tidak berkeberatan, aku ingin sekali merasakan kelihaian ilmu pedang paman dan mengagumi keindahannya."
Tentu saja Sin Wan bermaksud lain. Dia tahu bahwa orang seperti Lili pasti tidak mau bertanding dengan tangan kosong saja melawan orang yang akan dibunuhnya, dan tentu menggunakan pedang ular putih. Bukankah ia sudah memperlihatkan pedang itu kepada putera puteri panglima itu dan mengancam akan membunuhnya dengan pedang itu? Lili pasti mempergunakan pedang dan Bhok-ciangkun pasti terpaksa akan melayani dengan pedangnya pula.
Mendengar ucapan Sin Wan, Ci Hwa berseru kaget, "Aih, Wan-twako, kenapa harus dengan pedang? Bagaimana kalau kalian saling melukai?"
Mendengar ini, Bhok-ciangkun mencela puterinya. "Ci Hwa, masih belum tahukah engkau bahwa orang yang ilmu pedangnya sudah setinggi tingkat Sin Wan, tidak mungkin pedangnya dapat melukai orang tanpa dikehendakinya? Pedang sudah merupakan bagian ujung dari tangannya, begitulah!"
Ci Han dan Ci Hwa tentu saja tahu akan hal itu, namun karena tingkat mereka belum setinggi itu, belum sempurna benar menguasai pedang, maka mereka memandang kagum.
"Baik, Sin Wan. Mari kita main-main sebentar dengan pedang." Panglima itu lalu mencabut pedang yang tergantung di pinggangnya. Akan tetapi Sin Wan agak meragu, lalu dengan perlahan dia mencabut pedangnya.
"Ihh! Pedangmukenapa buruk amat, twako?" kembali Ci Hwa berseru. Gadis lincah ini begitu terbuka dan terus terang, ini membuktikan bahwa ia memang sudah akrab benar dengan Sin Wan sehingga tidak lagi merasa sungkan.
Kembali Bhok Cun Ki yang tertawa bergelak. "Ha..ha..ha, engkau seperti seekor anak burung yang baru belajar terbang, belum mengenal dunia luas, Ci Hwa. Lihat baik-baik. Yang dipegang Sin Wan itu adalah sebuah di antara pedang-pedang pusaka paling ampuh di dunia ini. Itulah Pedang Tumpul yang dahulu menjadi pusaka istana!"
"Wahhh .......!!" Ci Han dan Ci Hwa terbelalak kagum.
Mereka sudah mendengar akan pedang pusaka itu yang oleh kaisar dihadiahkan kepada Sam-sian bersama beberapa benda lain.
Sin Wan menggerakkan tangannya dan tahu-tahu pedang itu telah lenyap, menyusup kembali ke dalam sarung pedang.
"Eh, kenapa kau simpan kembali pedangmu, Sin Wan?"
"Paman, aku tidak ingin kalau sampai pedangmu rusak oleh pedangku, maka sebaiknya kalau kita menggunakan pedang yang biasa dipakai untuk latihan saja."
Dantiba-tiba tubuhnya sudah meluncur ke arah rak senjata. Demikian cepat gerakannya dan tahu-tahu dia sudah kembali ke tempat tadi, di depan panglima itu dan membawa dua batang pedang yang biasa dipakai latihan. Melihat gerakan secepat itu, Bhok Cun Ki dan kedua orang anaknya menjadi kagum, dan panglima itu merasa gembira. Ketika mendengar bahwa Sin Wan adalah murid Sam-sian dan telah memperoleh kepercayaan seorang sakti seperti Ciu-sian untuk mewakilinya, dia sudah percaya bahwa tentu pemuda itu telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Akan tetapi, dia ingin membuktikan sendiri agar yakin bahwa pembantunya ini dapat dipercaya dan diandalkan.
"Bagus, usulmu itu baik sekali, Sin Wan!" katanya dan dia menerima sebatang pedang dari pemuda itu.
Kini mereka saling berhadapan dengan pedang di tangan.
Karena maklum bahwa panglima itu sebagai seorang pendekar Butong tentu lihai sekali ilmu pedangnya, Sin Wan segera memasang kuda-kuda dari ilmu pedang yang dia pelajari dari mendiang Kiam-sian (Dewa Pedang), yaitu Jit-kong Kiam-sut (Ilmu Pedang Sinar Matahari). Sebaliknya, Bhok-ciangkun memasang kuda-kuda ilmu pedang Butong-pai yang terkenal indah gerakannya namun amat tangguh itu.
"Silakan, paman," kata Sin Wan yang tidak berani bergerak lebih dahulu.
"Ha..ha,engkau terlalu sungkan, Sin Wan. Nah, aku akan memulai, bersiaplah engkau!" Setelah berkata demikian, panglima itu mengeluarkan bentakan nyaring dan pedang di tangannya sudah bergerak dengan setengah lingkaran, lalu menusuk ke arah dada Sin Wan.
Dengan gerakan tenang, Sin Wan mengelak dan balas menyerang. Lawannya juga meloncat dan membalas. Terjadi serangan balas membalas dan duanya mengandalkan kegesitan tubuh untuk mengelak. Makin lama, semakin cepat gerakan mereka dan pedang di tangan Sin Wan yang menjadi sinar bergulung-gulung itu menyilaukan mata, sesuai dengan nama ilmunya. Namun lawannya juga tidak kalah cepat gerakannya, pedang di tangan panglima itupun menjadi sinar bergulung-gulung yang kadang-kadang menyambar ke arah lawan.
"Tranggg ..........!" Bunga api berpijar ketika untuk pertama kalinya kedua pedang bertemu di udara. Keduanya merasa betapa telapak tangan mereka tergetar. Ternyata dalam hal tenaga merekapun berimbang. Kini kedua pedang itu saling sambar dan kadang bertemu mengeluarkan bunga api, dua gulungan sinar pedang saling belit seperti dua ekor naga berlaga di angkasa.
Setelah lewat tigapuluh jurus, Sin Wan teringat akan maksudnya mengajak bertanding pedang. Tiba-tiba dia mengubah gerakannya dan kini dia sering bermain silat pedang dengan tubuh direndahkan. Sinar pedangnya menyambar-nyambar dari bawah, kadang tubuhnya bergulingan di atas lantai dan sinar pedang mencuat dari bawah. Nampak betapa Bhok-ciangkun terkejut dan agak kewalahan menghadapi serangan-serangan aneh itu. Setelah beberapa jurus lamanya Sin Wan mendesak, sambil menyapu kedua kaki lawan dengan pedangnya sehingga. Bhok-ciangkun terpaksa berlompatan, Sin Wan berkata halus, "Lawan ular yang tangguh adalah burung!"
Seketika teringatlah Bhok-ciangkun dan diapun tahu mengapa pemuda itu kini mengubah ilmu pedangnya walaupun tadi pemuda itu tidak terdesak. Mendengar kata "ular" ingatlah Bhok-ciangkun bahwa sore nanti dia harus bertanding melawan gadis yang datang dari Bukit Ular. Maka, dia pun cepat mengubah ilmu pedangnya dan kini gerakannya menggunakan banyak loncatan dan pedangnya menyambarnyambar dari atas bagaikan seekor burung yang menandingi seekor ular! Setelah lewat duapuluh jurus, Sin Wan mengubah lagi ilmu pedangnya dan kembali menggunakan Jit-kong-kiamsut sepertitadi. Dan Bhok-ciangkun sudah cukup puas. Dia tadi pernah mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan jurus-jurus simpanannya, namun semua serangannya dapat dipatahkan oleh Sin Wan. Dia tidak tahu apakah pemuda itu dapat mengalahkannya, akan tetapi yang jelas baginya, untuk dapat mengalahkan pemuda itu, agaknya akan merupakan hal yang amat sukar baginya. Dan ini sudah memuaskan hatinya.
Diapun meloncat agak jauh ke belakang.
"Cukuplah, Sin Wan," katanya sambil tersenyum. "Sekarang aku tahu benar betapalihainya murid dari Sam-sian!"
"Paman, ilmu pedang paman juga hebat dan indah, aku mengaku kalah," kata Sin Wan. Dengan sopan dia lalu menghampiri panglima itu, menerima pedangnya dan mengembalikan kedua pedang itu di rak senjata.
"Sin Wan, terima kasihatas petunjukmu tadi," kata Bhok Cun Ki. Kedua orang anaknya tidak mengerti apa yang terjadi, akan tetapi Sin Wan hanya tersenyum dan tidak menjawab.
Setelah mendengar keterangan Bhok Cun Ki tentang tandatanda rahasia untuk mengenal anak buah panglima itu yang disebar sebagai penyelidik di kota raja, Sin Wan lalu pergi ke kamarnya untuk membuat persiapan. Dia akan memulai dengan tugasnya hari itu juga, melakukan penyelidikan di kota raja dalam usahanya membantu Bhok-ciangkun memberantas jaringan mata-mata Mongol.
Ketika dia hendak meninggalkan kamarnya setelah bertukar pakaian yang tadi basah oleh keringat, dia bertemu Ci Han dan Ci Hwa di ruangan depan kamarnya. Agaknya kakak dan adik itu sengaja mencarinya, Sin Wan menyambut mereka dan tiga orang muda itu duduk di ruangan itu.
"Twako, ajaklah aku melakukan, penyelidikan agar menambah luas pengetahuanku!" Ci Han membujuk.
Sin Wan tersenyum. "Bagaimana mungkin, Han-te (adik Han). Pekerjaanku adalah penyelidik, dan dalam hal ini aku beruntung bahwa di kota raja tidak ada orang mengenalku. Ini memudahkan pekerjaanku, karena aku akan dapat bergerak dengan leluasa, melakukan pengamatan terhadap siapa saja yang kuamati. Akan tetapi engkau adalah seorang pemuda yang dikenal siapa saja di kota raja. Orang-orangyang kita curigai, siang-siang sudah berjaga diri dan bersikap hati-hati kalau melihat engkau muncul. Maaf aku terpaksa tidak dapat membawawu serta, Han-te."
"Akupun tadinya ingin ikut untuk menambah pengalaman, twako. Akan tetapi mendengar alasanmu tadi, aku mengerti bahwa pekerjaanmu harus dilakukan secara rahasia, dan kami berdua tak mungkin menyembunyikan keadaan diri kami. Eh, Han-koko, kalau tidak mungkin kita bekerja sama dengan kakak Sin Wan, sebaiknya kita bekerja sendiri-sendiri saja membantu ayah. Aku akan pergi seperti sedang pesiar atau berjalan-jalan, akan tetapi mulai sekarang aku akan waspada.
Siapa tahu aku akan dapat menangkap seorang mata-mata Mongol."
"Hwa-moi, engkau jangan main-main. Pekerjaan ini bukan pekerjaan ringan. Menurut ayah, kalau orang Mongol mengirim mata-mata, sudah pasti dia lihai sekali!"
"Aku tidak takut! Kita di kota raja, takut apa? Semua orang akan membantuku!"
Kakak beradik itu lalu meninggalkan Sin Wan akan tetapi tidak lama kemudian Ci Hwa, muncul lagi, kini sendirian saja.
"Wan-twako, ada sebuah hal yang ingin kubicarakan denganmu berdua saja."
"Ehh? Apakah itu, Hwa-moi? Duduklah dan ceritakanlah yang hendak kaubicarakan," jawab Sin Wan dan kembali mereka duduk di tempat tadi.
"Twako, aku khawatir sekali terhadap keselamatan ayah kalau dia pergi bertanding sore nanti."
"Jangan khawatir, ayahmu seorang yang berkepandaian tinggi. Siapapun tidak akan mudah mengalahkannya." Sin Wan menghibur dengan sungguh-sungguh karena dia maklum bahwa betapapun lihainya, Lili tidak akan mudah mengalahkan panglima itu.
"Akan tetapi aku tetap khawatir, twako. Gadis siluman itu lihai bukan main. Melihat engkau tadi mengadu kepandaian dengan ayah, aku merasa yakin bahwa hanya engkau yang akan mampu mengalahkannya. Wan-twako, maukah engkau menolongku?"
"Menolongmu? Tentu saja aku mau, Hwa-moi," kata Sin Wan sambil menatap wajah yang manis itu.
"Kalau begitu, kau lindungilah ayahku!"
Sin Wan mengerutkan alisnya, "Ayahmu telah menekankan bahwa kita tidak boleh mencampuri urusan itu, Hwa-moi?" "Aku tidak minta engkau mencampuri urusan itu, twako.
Akan tetapi, aku minta engkau melindunginya, secara diamdiam. Kalau sampai ayah terancam bahaya maut, engkau dapat melindunginya. Maukah engkau berjanji, twako? Aku ....
aku akan berterimakasih sekali padamu," Gadis itu menyentuh tangan Sin Wan, lalu menggenggam tangan itu dan mengguncangnya, pandang matanya penuh harapan, penuh permohonan.
Sin Wan tidak tega untuk menolaknya. Dan memang di lubuk hatinya dia sedang mencari jalan bagaimanauntuk dapat melindungi panglima itu dari ancaman maut di tangan Lili, maka diapun mengangguk, "Baiklah, akan kuusahakan, Hwa-moi."
Tangan yang kecil itu menggenggam jari-jari tangan Sin Wan lalu melepaskannya. "Twako, terima kasih! Terima kasih, dan aku yakin, bahwa percayaanku kepadamu tidak akan siasia. Aku sendiri tidak akan duduk diam. Aku akan pergi keluar, dan kalau Han-koko mencari mata-mata Mongol, aku akan mencari gadis siluman itu. Kalau ia berada di kota, aku akan menyerangnya dan memanggil pasukan penjaga untuk membantuku!"
"Jangan, Hwa-moi. Itu berbahaya sekali!" "Aku tidak takut!"
"Tapi ayahmu telah melarangmu ......." "Melarang aku mencampuri urusannya? Tentu, aku tidak akan melanggar larangannya. Akan tetapi dia tidak melarang aku membalas kekalahanku dari gadis siluman itu!" Ci Hwa lalu meninggalkan ruangan itu dan Sin Wan termangu dalam lamunan. Berbahaya, pikirnya. Orang macam Lili dapat melakukan apa saja. Dia harus melindungi Ci Hwa lebih dahulu sebelum melindungi ayahnya. Dan dia pun segera keluar.
Putera Mahkota atau Pangeran Chu Hui San sama sekali tidak mewarisi sifat-sifat baik dari ayahnya, yaitu Kaisar Thaicu yang dahulu bernama Chu Goan Ciang. Kalau ayahnya seorang pejuang yang gigih, kemudian menjadi kaisar yang bijaksana, pendiri kerajaan Beng-tiauw, sebaliknya pangeran yang merupakan putera mahkota yang sulung itu sejak mudanya adalah seorang yang lemah dan kurang bersemangat. Pangeran Chu Hui San seperti mabok kemuliaan dan yang disukai hanyalah bersenang-senang saja. Biarpun dia sudah beristeri dan memiliki belasan orang selir, masih saja dia haus akan kecantikan wanita.
Puteranya yang baru berusia enam tahun lebih itulah yang agaknya mewarisi kecerdikan dan semangat kakeknya.
Puteranya itu bernama Chu Hong dan karena semangatnya inilah maka Pangeran kecil Chu Hong menjadi kekasih kakeknya. Bahkan kakeknya, Kaisar Thai-cu sendiri yang seringkali mendidik Chu Hong, menanamkan jiwa kepahlawanan melalui dongeng-dongeng. Tidak jarang kaisar membiarkan cucunya tercintaitu tidur di dalam kamarnya! Biarpun usianya sudah empatpuluh tahun, Pangeran Mahkota Chu Hui San masih berlagak seperti seorang pemuda remaja saja. Pakaiannya selalu mewah dan dia seringkali lolos dari istana, tidak mau dikawal sehingga dia dapat melancong dengan bebas seperti halnya para kongcu (tuan muda) bangsawan. Dan tentu saja diapun banyak bergaul dengan para kongcu bangsawan lainnya yang mempunyai kebiasaan dan kesukaan seperti dia, yaitu menghambur-hamburkan uang dan beroyal-royalan sepuas hati.
Pada suatu hari, pagi-pagi pangeran Chu Hui San sudah berada di beranda loteng rumah pelesir Seruni, sebuah rumah pelesir terbesar di kota raja. Tentu saja pengurus rumah pelesir Seruni berikut semua penghuninya, para gadis penghibur, menyambut dengan penuh kehormatan dan kegembiraan ketika pangeran mahkota bersama dua orang temannya, dua orang kongcu bangsawan lain, muncul dan mereka seolah berebut menawarkan diri untuk menghibur tiga orang tamu itu terutama sang pangeran. Siapa tahu pangeran mahkota terpikat olehku dan membawaku ke istana menjadi selirnya, dan kalau kelak sang pangeran menjadi kaisar berarti ia akan menjadi selir kaisar! Demikian diharapkan oleh setiap orang gadis penghibur itu. Akan tetapi sekali ini, Pangeran Chu Hui San dan dua orang kawannya agaknya sudah merasa jemu dengan mereka. Karena bertiga hanya minta disediakan sarapan pagi yang mewah, dan setelah makan pagi mereka bertiga duduk di beranda loteng dan melihat-lihat mereka yang berlalu lalang di atas jalan raya di bawah depan loteng.
Pagi itu seperti biasa banyak wanita tua muda berlalu lalang di atas jalan raya. Untuk pergi ke pasar dan pulangnya, para wanita itu melewati jalan itu karena pasar terletak dekat dengan rumah pelesir itu. Dan tiga orang laki-laki bangsawan ini menjadi iseng. Mereka melempar-lemparkan kwaci dan kacang ke bawah setiap kali ada gadis atau wanita muda lewat di bawah sana. Wanita yang terkena lemparan kwaci atau kacang, kalau hendak marahpun tidak jadi, bahkan tersenyum malu dan bangga ketika mereka melihat siapa lakilaki yang mengganggunya itu. Wanita mana yang tidak akan senang diganggu oleh Pangeran Mahkota? Dari jauh nampak seorang wanita muda melangkah gontai di atas jalan raya. Ia seorang wanita muda, usianya sekitar duapuluh tahun dan bentuk tubuhnya yang ramping amat menggiurkan dan menggairahkan. Langkahnya dan lenggangnya amat memikat, dengan tubuh lentur lemas dan berlekuk lengkung sempurna.
Pada waktu itu musim panas, telah tiba dan karena hawa udara panas, para wanitanya mengenakan pakaianyang lebih tipis dan longgar sehingga keindahan bentuk tubuh mereka lebih dapat dikagumi dari pada kalau mereka mengenakan pakaian tebal musim dingin. Wanita muda ini membawa keranjang gantung yang kosong sehingga mudah dimengerti bahwa ia tentu sedang menuju ke pasar untuk berbelanja.
Bajunya yang biru muda itu nampak baru.
Pangeran Chu Hui San memandang kepada wanita itu dan berkata kepada dua orang temannya.
"Tunggu! Yang baju biru muda itu untukku, biar aku yang menembaknya!" Istilah menembak itu mereka pergunakan untuk menyambitkan kwaci dan kacang ke bawah. Dua orang temannya adalah pemuda pemuda bangsawan yang selalu ingin memperoleh kesan baik dengan menjilat, maka mendengar permintaan ltu, segera mereka mentaati dan hanya menjadi penonton. PuteraMahkota itu mempersiapkan kacang yang besar dan ketika wanita itu berlenggang di bawah loteng, dia membidik dan menyambitkan kacang itu ke bawah.
"Tukk!" kacang itu tepat mengenai kepala wanita itu. Tidak menimbulkan sakit memang, akan tetapi cukup mengagetkan dan wanita itu cepat mengangkat muka memandang ke atas.
Dilihatnya tiga orang pria berpakaian mewah tertawa-tawa.
Akan tetapi Pangeran Chu Hui San terpesona ketika memandang ke atas itu dia melihat sebuah wajah yang cantik manis, dan tidak seperti wanita lain yang begitu melihat siapa penyambitnya lalu melempar senyum dan kerling memikat, wanita itu berani cemberut, mengerling marah lalu membuang muka! Akan tetapi semua tarikan muka yang lain dari pada yang lain itu, yang tidak bermanis-manis tidak menjual murah, bahkan nampak demikian memikat bagi Pangeran Chu Hui San.
"Cui-ma, cepat kejar perempuan itu. Aku menginginkannya, sekarang juga!" kata sang putera mahkota yang sudah terbiasa sejak kecil selalu terpenuhi segala kehendaknya.
Mendengar perintah ini, nyonya kurus yang berada di belakang mereka terbongkok-bongkok melayaninya dan bergegas turun dari loteng. Dari atas beranda loteng itu, Pangeran Chu Hui San dan dua orang temannya dapat melihat betapa mucikari itu berlari keluar diikuti dua orang laki-laki berewok tinggi besar dan mereka bertiga cepat mengejar wanita muda yang jalannya belum jauh itu.
Mereka melihat betapa mucikari itu bersama dua orang jagoannya telah dapat menyusul. Wanita muda itu nampak menolak, menggeleng kepala dan kelihatan marah-marah, tidak dapat dibujuk oleh mucikari itu dengan omongan manis.
Sang mucikari sendiri, bibi Cui atau dipanggil Cui-ma, merasa heran bukan kepalang melihat ada seorang wanita muda berani menolak ajakan putera mahkota! Tidak perduli ia sudah menikah atau belum, rakyat jelata atau bangsawan belum pernah ada wanita yang menolak ajakan yang seolah merupakan bulan jatuh ke pangkuan itu.
Karena wanita muda itu menolak, dua orang tukang pukul sudah menangkap kedua lengan wanita itu dan tanpa kesulitan dua orang jagoan yang kuat itu memaksa dan menarik wanita muda itu ikut ke dalam rumah pelesir. Tak seorangpun yang berani melerai ketika melihat ada wanita muda dipaksa masuk ke rumah itu oleh seorang wanita tua dan dua orang jagoannya.
Cui-ma memang disegani, bukan hanya karena ia mempunyai tukang pukul, melainkan terutama sekali karena dibelakang mucikari ini berdiri banyak bangsawan tinggi yang menjadi langganannya sehingga ia bisa mendapatkan pembelaan dari kalangan atas. Petugas rendahan biasa saja, mana berani menentangnya? Mungkin akan berhadapan dengan atasannya sendiri nanti! Pangeran Chu Hui San telah duduk menanti dalam kamar yang mewah itu seorang diri ketika wanita muda itu masih bersama keranjangnya didorong masuk dari luar dan daun pintusegera ditutup kembali dari luar. Wanita itu, bagaikan seekor anak kelinci yang dilempar ke dalam kerangkeng harimau, berdiri menggigil dan menangis, tidak berani berkutik, hanya bersandar pada dinding memeluk keranjangnya.
"Ampun ...... ampunkan aku ...... lepaskan aku ..... aku sudah bersuami, suamiku keras dan galak ......" ia meratap ketakutan tanpa berani mengangkat mukanya yang menunduk.
Akan tetapi, alasan bahwa wanita itu sudah bersuami tidak meredakan gelora gairah sang pangeran. Yang membuat ia terheran-heran adalah melihat sikap wanita itu. Kenapa begitu berani dan sama sekali tidak menghormatinya? "Nyonya muda yang manis, pandanglah aku. Apakah engkau tidak tahu, siapa aku?" perintahnya.
Dengan ketakutan wanita itu mengangkat muka memandang,namun ia sama sekali tidak nampak terkejut.
Bahkan ia menggeleng kepalanya, "Aku tidak mengenal engkau siapa, akan tetapi mohon kau lepaskan aku, jangan ganggu aku ......" "Hemm, aku adalah pangeran, putera mahkota, tahu?"
Wanita itu kembali memandang dengan mata terbelalak, lalu keranjangnya jatuh mengelinding dan iapun menjatuhkan diri berlutut menyernbah-nyembah. "Ahh .... ampun hamba ....
hamba tidak tahu, hamba baru sebulan berada di kota raja, hamba dari dusun, setelah menikah baru di sini ..... mohon paduka mengampuni hamba dan membiarkan hamba pergi ...." Pangeran itu semakin heran. "Aku suka padamu, manis.
Kesinilah dan jangan takut. Aku akan memberi hadiah besar kepadamu." "Tidak ...... tidak ...... mohon paduka mengampuni hamba .... hamba baru sebulan menikah, hamba tidak berani, suami hamba galak ......."
"Aih, pengantin baru, ya? Heh..heh, aku suka pengantin baru. Tentang suamimu, jangan takut. Dia tidak akan berani memarahimu kalau tahu bahwa pangeran putera mahkota yang mengajakmu. Kesinilah!"
Pangeran Chu Hui San semakin bergairah karena belum pernah dia bertemu dengan wanita yang tidak segera lari ke dalam pelukannya. Malah dia yang kini turun dari pembaringan dan menghampiri wanita yang menggigil ketakutan itu. Akan tetapi baru saja dia memegang lengan wanita itu untuk ditariknya, dia mendengar suara gedebukan di luar kamar, suara orang berkelahi.
Dia terkejut dan heran, lalu dibukanya daun pintunya untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata dua orang tukang pukul berewokan itu sedang mengeroyok seorang laki-laki muka bopeng yang juga tinggi besar. Akan tetapi laki-laki bopeng itu lihai sekali, dan ketika sang pangeran membuka daun pintu, tepat dia melihat betapa dua orang tukang pukul itu dihantam roboh! "Cang-ko (kakak Cang), .......!" Wanita cantik yang berada di dalam kamar Pangeran Chu Hui San menjerit ketika ia melihat laki-laki bopeng itu.
"Kim-moi (adik Kim)!" Laki-laki itu berteriak dan diapun menerjang masuk ke dalam kamar. "Aku tahu, engkau berada disini!" bentaknya dan dengan mata melotot dia memandang kepada isterinya, lalu kepada sang pangeran. Ketika dia memandang kepada pangeran itu, Pangeran Chu Hui San berkata dengan sikap gagah dan marah.
"Orang kasar, butakah matamu? Aku adalah Pangeran Chu Hui San! Hayo cepat engkau pergi dari sini atau akan kusuruh orang menangkap dan menghukum siksa sampai mati!"
Akan tetapi si muka bopeng itu menyeringai, "Aku tahu engkau pangeran putera mahkota yang mata keranjang itu.
Engkau berani menghina isteriku! Biar aku akan dihukum mati, akan tetapi sekali ini engkau yang akan kusiksa sampai mati lebih dulu!"
Dengan langkah lambat namun sikapnya menyeramkan, si muka bopeng menghampiri sang pangeran. Pangerah yang satu ini memang lemah. Melihat gertakannya tidak berhasil, diapun melangkah mundur dan mukanya mulai membayangkan ketakutan.
"Jangan...... maafkan aku dan engkau akan kuganjar hadiah yang besar ........" "Tidak ada hadiah besar dari pada membunuh orang yang telah berani menghina isteriku tercinta!" bentak orang itu dengan geram dan dia sudah siap untuk menubruk.
Tiba-tiba seseorang muncul di ambang pintu kamar itu.
Akan tetapi kemunculannya tidak membesarkan harapan sang pangeran, karena dia hanyalah seorang pria berusia tigapuluh lima tahun yang berpakaian seperti seorang sastrawan muda, mungkin sastrawan kaya karena pakaiannya mewah. Apa artinya seorang sastrawan lemah terhadap si bopeng yang tangguh ini? Dua orang jagoan tukang pukul di rumah pelesir itupun sudah dia pukul roboh.
"Muka bopeng, jangan kurang ajar kau!" sastrawan itu membentak dan biarpun suaranya lembut, namun mengandung getaran berwibawa sehingga tiba-tiba si bopeng menghentikan langkahnya dan memutar tubuh menghadapi sastrawan itu, nampaknya terkejut. Akan tetapi ketika dia melihat bahwa yang menegur dan mencelanya hanya seorang sastrawan yang kelihatan lemah, dia menjadi semakin berang.
Dengan langkah lebar dia menghampiri sastrawan itu dan sikapnya mengancam.
"Jahanam, siapa engkau berani mencampuri urusanku?"
Dia mengepal tinju dan siap menerjang.
"Engkaulah yang jahanam! Berani engkau mengancam yang mulia pangeran putera mahkota yang sepatutnya kau sembah? Hayo cepat berlutut minta ampun!"
Akan tetapi, si muka bopeng menjawabnya dengan gerengan dan diapun menerjang dengan ganas ke arah sastrawan itu.Pangeran Chui Hui San menyangka bahwa penolongnya itu tentu roboh dengan sekali pukul dan dia sudah siap untuk melarikan diri. Akan tetapi, dia terbelalak.
Ketika si muka bopeng yang tinggi besar itu menerjang, sastrawan itu mengelebatkan kipas yang berada di tangannya dan entah bagaimana, tiba-tiba saja si muka bopeng itu yang terpelanting ke atas lantai Dia merangkak bangun, meloncat dan menerjang lagi akan tetapi disambut tendangan yang mengenai dadanya dan membuat, dia terjengkang dan terbanting keras. Si muka bopeng terengah-engah dan matanya terbelalak ketakutan, lalu dia bangkit dan membalikkan diri, cepat lari keluar dari dalam kamar itu.
Sastrawan itu membiarkan si muka bopeng lari, dan diapun membalik, menghadapi Pangeran Chu Hui San dan menjatuhkan diri berlutut dengan sikap hormat dan sopan sekali. "Hamba kira akan jauh lebih baik dan aman kalau paduka selalu ditemani seorang pengawal yang boleh dipercaya. Dewasa ini banyak sekali terdapat penjahat dan pemberontak yang tentu akan berbuat yang tidak baik kepada paduka."
Tentu saja pangeran itu merasa berterima kasih karena tanpa munculnya sastrawan itu, tentu sekarang dia telah tewas dibunuh si muka bopeng tadi. Dia melangkah maju dan dengan kedua tangan menyentuh pundak sastrawan itu dia berkata. "Terima kasih, engkau telah menyelamatkan aku.
Kami akan merasa senang sekali kalau saat ini engkau suka menemani dan menjaga keselamatanku."
"Hamba suka sekali, hamba siap mengorbankan nyawa demi keselamatan paduka, pangeran!" kata sastrawan itu.
"Siapa namamu?"
"Hamba she (bernama keturunan) Yauw, nama hamba Lu Ta."
Pada saat itu, wanita muda yang sejak tadi berdiri ketakutan, mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri keluar dari dalam kamar. Akan tetapi melihat ini, Yauw Lu Ta meloncat dansekali tangannya bergerak, dia telah menotok wanita itu pada pundaknya, membuat wanita itu menjadi lemas dan tentu akan jatuh ke atas lantai kalau Yauw Lu Ta tidak menyambutnya, memegang lengannya kemudian mendudukkannya di atas lantai bersandar dinding. Wanita muda itu tidak mampu bergerak, hanya matanya yang memandang dengan ketakutan.
"Yauw Siucai (Sastrawan Yauw), kalau ia tidak mau, suruh ia pergi. Kami tidak mau memperkosanya!" kata Pangeran Chui Hui San dengan suara mengandung kekecewaan. Wanita itu bukan saja menolak cintanya, bahkan suaminya hampir saja membunuhnya! Yauw Lu Ta membungkuk dengan senyum. "Harap paduka jangan kecewa. Dalam satu menit ia akan berubah sama sekali dan akan melayani paduka dengan seluruh tubuh dan hatinya." Dia mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam saku bajunya. Ketika dibukanya, dalam bungkusan terisi bubuk merah. Melihat di atas meja dalam kamar itu, terdapat cawan dan guci arak, dituangkannya sedikit arak ke dalam cawan, dimasukkannya sedikit bubuk merah ke dalam cawan kemudian dia menghampiri wanita muda itu, tangan kiri menekan kanan-kiri mulut sehingga mulut itu terbuka, ditengadahkan, lalu isi cawan dia tuangkan ke dalam mulut. Di luar kehendaknya, wanita itu terpaksa menelan anggur dari cawan dan Yauw Lu Ta melepaskannya.
Pangeran Chu Hui San memandang penuh perhatian.
Semenit kemudian, terjadi perubahan pada wajah wanita itu.
Kedua pipinya kemerahan dan pandang matanya tidak lagi ketakutan, akan tetapi seperti orang yang mengantuk.
Yauw Lu Ta membebaskan totokannya dan diapun berkata.
"Kini paduka dapat berbuat apapun terhadap dirinya dan ia akan menyerahkan diri dengan suka rela dan penuh semangat. Hamba akah menjaga keamanan paduka di luar kamar." Yauw Lu Ta melangkah keluar dan menutupkan daun pintu kamar itu dari luar.
Sebetulnya, peristiwa tadi sudah mengusir semua gairah nafsu dari pikiran pangeran ini. Akan tetapi, dia tertarik dan ingin sekali tahu apakah ucapan pengawal barunya itu benar.
Dia lalu memandang wanita muda yang sudah dibebaskan dari totokan itu. Kini wanita itu berlutut menghadap kepadanya, hanya menundukkan muka dan tidak berani memandangnya, tidak pula mengeluarkan kata-kata, juga tidak lagi menangis ketakutan.
"Angkat mukamu!" kata pangeran itu dengan suara memerintah. Dan wanita mudaitu mengangkat muka memandangnya. Dan alangkah jauh bedanya dengan tadi.
Wanita itu kini memandangnya dengan sikap malu-malu, dengan mata sayu dan mulut mengulum senyum.
"Kesinilah," kata pula pangeran itu.
Wanita itu nampak tersipu, lalu bangkit dan dengan malumalu berjalan menghampiri Pangeran Chu Hui San. Ketika pangeran merangkulnya, iapun mengeluarkan suara lirih dan menyandarkan mukanya ke dada pangeran itu.
"Siapa namamu, manis?"
"Nama hamba Bi Kim ....." suaranya berbisik dan kini bangkitlah kembali gairah di hati pangeran itu. Dia menuntun wanita itu ke pembaringan dan benar seperti yang dikatakan Yauw Lu Ta tadi, kini wanita itu sama sekali tidak menolaknya, bahkan melayaninya dengan sukarela dan penuh gairah.
Tentu saja semua itu adalah siasat yang sudah diatur oleh Yauw Lu Ta atau Yaluta, pangeran Mongol itu! Ketika Kerajaan Mongol belum jatuh, dia masih kecil, baru belasan tahun usianya dan tidak dikenal. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu dia menggunakan namanya, hanya diubah sedikit menjadi nama pribumi agar tidak ada yang tahu bahwa dia adalah bekas pangeran Mongol! Sejak peristiwa di rumah pelesir itu, Pangeran Chu Hui San menerima Yauw Lu Ta yang disebutnya Yauw Siucai menjadi pengawal pribadinya, juga temannya berfoya-foya. Yauw Siucaiamat pandai mengambil hatinya. Dengan adanya Yauw Siucai, putera mahkota ini dapat menikmati bermacam kesenangan yang tadinya tidak dikenalnya sama sekali.
Dengan bantuan Yauw Siucai, wanita yang bagaimana keraspun akan menjadi lunak dan jinak. Bahkan putera mahlota itu, saking percayanya kepada Yauw Siucai, telah mengangkat sastrawan ini menjadi guru sastra dari puteranya yang bernama Chu Hong. Maka, kuatlah kedudukan Yauw Siucai di istana putera mahkota.
Dengan cerdik sekali Yauw Lu Ta yang memang mendekati pangeran putera mahkota ini untuk tujuan yang lebih besar, menuntun Pangeran Chu Hui San yang lemah itu sehingga keadaan pangeran itu semakin rusak. Bukan saja bujukan Yauw Siucai membuat dia menjadi semakin menggila dalam mengejar kesenangan sehinggalupa diri, juga Yauw Siucai dengan cerdik menjerumuskan pangeran yang menjadi calon pengganti kaisar itu menjadi seorang pecandu madat!. Yauw Siucai ingin agar kelak yang menjadi kaisar seorang yang lemah, tidak mampu dan yang berada dibawah pengaruhnya sehingga kalau dia mendapatkan kesempatan baik melakukan gerakan, maka pemerintahan di bawah kaisar semacam itu akan mudah dia robohkan dan dia dapat membangun kembali Kerajaan Goan (Mongol) yang pernah jaya!
12. Pembalasan Dendam Sang Suci
Sore itu udara cerah sekali. Langit tidak ternoda awan, dan biarpun matahari sudah condong jauh ke barat, namun sinarnya masih kuat dan hawa udara cukup gerah karena tidak ada angin bertiup. Dengan langkah lebar dan tegap, Panglima Bhok Cun Ki berjalan mendaki bukit Bambu Naga di luar kota raja. Dia sengaja berjalan kaki, tidak menunggang kuda.
Pertama, agar tidak ada orang yang memperhatikannya, dan ke dua agar lebih mudah baginya untuk melihat bahwa tidak ada orang yang membayanginya. Dia tidak ingin anakanaknya mencampuri urusan pribadinya.
Tentu saja cerita putera dan puterinya tentang gadis yang berpedang Ular Putih itu seketika mengingatkan dia akan riwayat hidupnya dahulu, ketika dia belum menikah. Dia pernah saling berkenalan dan bersahabat dengan seorang pendekar wanita yang cantik jelita dan lihai dan akhirnya ia dan wanita itu yang bernama Cu Sui In saling jatuh cinta. Dia sendiri seorang pendekar muda Butong-pai di waktu itu, dan gadis itu memang cantik dan pandai, sehingga mereka berdua merupakan pasangan yang serasi dan cocok sekali. Hubungan di antara mereka sudah amat intim dan mesra, bahkan keduanya sudah demikian saling percaya bahwa mereka akan menjadi suami isteri sehingga mereka saling menyerahkan diri.
Akan tetapi, beberapa hari kemudian, dia mendapat kenyataan bahwa kekasihnya itu adalah puteri See-thian Coaong! Bahkan kekasihnya itu di dunia kangouw dikenal dengan julukan Bi-coa Sianli (Dewi Ular Cantik) yang terkenal ganas dan kejam! Melihat kenyataan pahit ini, seketika dia mengambil keputusanuntuk memisahkan diri dan meninggalkan Cu Sui In. Tidak mungkin dia sebagai seorang pendekar penentang golongan sesat, menikah dengan seorang puteri datuk sesat! Seluruh dunia kangouw akan mentertawakannya, dan bagaimana dia akan tetap dapat menentang kejahatan kalau beristeri seorang tokoh jahat? "Sui In ........" Dia menghela napas panjang dan mengeluh dalam hati, "kenapa sampai sekarang engkau masih mendendam? Dan kenapa pula tidak datang sendiri mencariku, akan tetapi menyuruh muridmu?"
Setelah tiba di puncak bukit yang sunyi itu, dia berdiri di puncak yang datar, yang dikelilingi hutan bambu yang lebat.
Banyak di situ terdapat bambu yang batangnya seperti tubuh ular naga, maka disebut bambu naga. Biarpun dia tidak melihat bayangan orang, akan tetapi dia merasa bahwa ada orang yang mengintai dan mengamatinya. Oleh karena itu, dia berdiri dengan tegak, kedua kaki terpentang, lalu dia berkata dengan suara yang lantang.
"Nona berpedang Ular Putih, aku Bhok Cun Ki telah datang memenuhi undanganmu!"
Memang sejak tadi Lili sudah mengintai dari balik semak belukar. Sejak laki-laki itu mendaki lereng dekat puncak, ia sudah tahu dan ketika pria itu sudah dekat, ia memandang kagum.
Jadi inikah kekasih sucinya yang telah meninggalkan sucinya dan membuatnya hidup merana? Pantas kalau sucinya tergila-gila. Memang pria ini seorang pria yang gagah perkasa dan ganteng. Sekarangpun, dalam usia yang mendekati limapuluh tahun, pria itu masih nampak tegap dan ganteng, dengan penampilan seorang pendekar tulen. Sebatang pedang tergantung di pinggangnya dan langkahnya ketika mendaki puncak tadi bagaikan langkah seekor harimau. Dari atas puncak ia mengamati dan melihat bahwa pria itu memang datang seorang diri, dan inipun menunjukkan bahwa dia memang gagah dan berani, dan tidak curang.
"Bagus, kiranya engkau yang bernama Bhok Cun Ki!"
Bhok Cun Ki membalikkan tubuh dan melihat bayangan berkelebat, tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang gadis yang cantik. Dia mengamati penuh perhatian. Seorang gadis berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun yang cantik manis, dengan sikap yang dingin dan galak, namun matanya bersinar tajam. Dia tahu bahwa gadis itu memiliki keringanan tubuh dan kecepatan yang tak boleh dipandang ringan. Cepat dia memberi hormat sepantasnya dengan merangkapkedua tangan depan dada.
"Apakah hubunganmu dengan Cu Sui In, nona? Apakah engkau muridnya?" Bhok Cun Ki langsung bertanya karena dia sudah yakin bahwa inilah gadis yang telah mencarinya dan mengalahkan putera dan puterinya.
"Cu Sui In adalah suciku. Hemm, agaknya engkau sudah dapat menduga bahwa aku datang diutus oleh suci untuk membunuhmu?"
Bhok Cun Ki menghela napas panjang dan mengangguk.
"Aku sudah dapat menduganya. Kiranya engkau adalah sumoinya, dan engkau murid See-thian Coa-ong. Pantas engkau lihai. Akan tetapi, terima kasih bahwa engkau tidak membunuh kedua orang anakku. Hal ini saja sudah mengherankan karena biasanya orang-orang dari Bukit Ular tak pernah membiarkan lawannya hidup."
Lili mengerutkan alisnya. "Aku bukan pembunuh! Aku ditugaskan untuk membunuhmu, bukan membunuh anakanakmu. Nah, bersiaplah untuk mengadu nyawa. Engkau atau aku yang akan mati hari ini!" Lili mencabut pedangnya dan nampak sinar putih menyilaukan mata tertimpa sinar matahari senja.
Bhok Cun Ki mengeluh dalam hatinya. Tak disangkanya bahwa urusan pribadinya dengan Cu Sui In akan menimbulkan peristiwa yang dihadapinya sekarang ini. Dia ditantang seorang gadis muda! "Nona, siapakah namamu?" tanya dan suaranya lembut karena melihat gadis itu, walaupun ia nampak galak dan dingin, menimbulkan perasaan suka dalam hatinya. Dia merasa berhadapan dengan anak sendiri atau keponakan sendiri.
Bagaimana dia, seorang pendekar Butong-pai, seorang panglima, dapat enak hati menyambut tantangan mengadu nyawa seorang gadis yang sepantasnya menjadi anaknya atau keponakannya? "Namaku tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan adu nyawa ini, Bhok Cun Ki!" kata Lili dengan tegas.
"Benar sekali, akan tetapi kalau engkau kalah dan mati, engkau akan tahu siapa yang membunuhmu, sebaliknya kalau aku yang kalah dan mati, arwahku bisa penasaran karena aku tidak tahu siapa yang membunuhku." Bhok Cun Ki bicara dengan nada suara serius, akan tetapi juga mengandung kelakar.
Lili juga merasa sukar untuk mempertahankan kekakuannya juga, di dalam hatinya tidak mempunyai masalah pribadi dengan pria ini, maka iapun tidak dapat merasa benci.
Bahkan ia merasa kagum karena ia berhadapan dengan seorang laki-laki jantan yang bersikap begitu tenang.
"Baik, namaku biasa disebut orang Lili." "Nona Lili, nama yang bagus. Akan tetapi kenapa sucimu Cu Sui In tidak datang sendiri membunuhku, melainkan menyuruh engkau yang tidak mempunyai sangkut paut dengan urusan kami?"
"Aku hanya menunaikan tugas. Jangan tanya kepadaku, tanyalah kepada suci, akan tetapi tidak adakesempatan lagi bagimu karena engkau akan mati ditanganku."
Bhok Cun Ki tersenyum. "Nona Lili, engkau masih begini muda namun memiliki kepandaian tinggi dan pemberani.
Sungguh sayang seorang muda seperti nona ini melakukan pertandingan mengadu nyawa. Akusendiri sudah cukup tua, dan mati bagiku bukan apa-apa. Akan tetapi engkau, masih begini muda dan berhak untuk hidup lebih lama lagi dan menikmati hidupmu. Tahukah engkau mengapa sucimu itu menyuruhmu mencariku dan membunuhku?"
"Bhok Cun Ki, kenapa engkau begini cerewet, sih? Agaknya dahulu suci terpikat oleh kapandaianmu merayu dengan katakata. Tentu saja aku tahu kenapa suci ingin aku membunuhmu. Engkau telah menghancurkan kebahagiaan hidupnya, engkau telah membuat ia merana sampai sekarang tidak berumah tangga. Engkau merayunya dengan ketampananmu, kepandaianmu merayu, dengan janji-janji palsumu. Sudahlah, akupun tidak perduli. Yang penting, aku harus membunuhmu. Cepat keluarkan pedangmu, atau aku akan membuat engkau mati konyol!" Gadis itu menggerakkan pedangnya sehingga berkelebatan dan mengeluarkan sinar putih yang menyilaukan mata.
"Tunggu sebentar, nona. Aku tidak percaya seorang gadis seperti engkau ini mau membunuh orang yang belum siap melawan. Dengar dahulu, baru kita bertanding agar engkau mengetahui urusan antara aku dan sucimu itu, agar kita berdua dapat bertanding dengan penuh kesadaran. Memang ku akui bahwa ketika aku masih muda, di antara aku dan sucimu Cu Sui In terjalin hubungan cinta kasih yang mendalam, bahkan kami berdua sudah salingberjanji dan sepakat untuk menjadi suami isteri. Aku mencintainya dengan sepehuh hatiku, bahkan sampai sekarangpun aku masih mencintanya. Akan tetapi ia menipuku. Ia tadinya tidak berterus terang tentang dirinya. Setelah aku mengetahui bahwa ia adalah puteri See-thian Coa-Ong dan ia berjuluk Bicoa Sianli, seorang tokoh sesat, puteri seorang datuk sesat yang melakukan banyak kekejaman dan kejahatan, bagaimana mungkin aku berjodoh dengannya? Seluruh pimpinan Butongpai akan mengutuk aku, karena sebagai seorang pendekar aku harus menentang golongan sesat, bukan mengawini puteri seorang di antara para datuknya, yaitu See-thian Coa-ong.
Nah, itulah sebabnya aku memisahkan diri walau aku selalu mencintanya."
"Omong kosong! Cinta macam apa itu kalau memakai persyaratan? Cinta macam apa yang dapat dibeli dengan keadaan seseorang? Yang kaucinta itu orangnya, pribadinya, ataukah kedudukannya dan namanya? Ingat, aku adalah murid See-thian Coa-ong, dan bagiku, suhu jauh lebih jantan dari pada engkau yang mengaku pendekar! Setidaknya, suhu tidak pernah menjual omong kosong dan rayuan gombal kepada seorang wanita!"
Wajah Bhok Cun Ki berkerut-kerut dan agak pucat, matanya nampak bingung dan gelisah! Selama hidupnya, baru sekali ini dia merasa menyesal bukan main. Memang dia tidak pernah dapat melupakan Cu Sui In, akan tetapi selama ini selalu dia menghibur perasaannya, menghibur batinnya bahwa dia meninggalkan Sui In karena melihat bahwa dia dan Sui In tidak akan dapat menjadi suami isteri yang rukun. Namun, semua itu hanya hiburan belaka bagi perbuatan mengkhianati kasih di antara mereka. Dalam hati kecilnya dia sudah merasa menyesal mengapa dia tergesa-gesa mengambil keputusan memutuskan cintanya itu. Padahal, dia tahu betapa Sui In amat mencintanya, dan demi cinta kasihmereka itu, bukan tidak mungkin dia akan dapat menuntun Sui In kembali ke jalan benar! Kini, dari mulut gadis itu dia seperti mendengarkan suara hatinya sendiri yang setiap kali membuatnya menyesal.
"Sudahlah, aku merasa bersalah kepada Sui In. Akan tetapi, nona muda, jangan harap orang lain akan dapat membunuhku. Kalau Cu Sui In sendiri yang datang, aku akan menyerahkan nyawaku tanpa melawan. Kalau ia mewakilkannya kepada orang lain, jangankan engkau, biar andaikata See-thian Coa-ong sendiri yang datang,aku akan melawan dan membela diri."
"Bagus, akupun bukan orang yang suka membunuh lawan yang tidak mau membela diri. Hayo, cabut senjatamu dan sudah cukup banyak kita bicara!" bentak Lili dengan sikap garang.
Bhok Cun Ki tersenyum dan diapun mencabut pedangnya.
Nampak sinar kehijauan berkelebat ketika dia mencabut pedang Ceng-kong-kiam (Pedang Sinar Hijau) yang merupakan sebatang pedang pusaka dari Butong-pai. Hanya murid yang sudah berjasa mengangkat nama baik Butong-pai sajalah yang berhak menerima hadiah sebatang senjata pusaka Butong-pai dan Bhok-ciangkun ini seorang di antara para pendekar Butong-pai yang tangguh.
"Aku sudah siap, nona Lili!" katanya.
"Lihat pedang!" Lili membentak dan iapun sudah menggerakkan pedangnya yang berbentuk ular putih itu, mulai dengan serangannya. Karena ia sudah tahu bahwa lawannya adalah seorang ahli pedang Butong-pai yang berjuluk Sin-kiam-eng, (Pendekar Pedang Sakti) dan menurut sucinya amat lihai, begitu menyerang ia sudah menggunakan jurus yang amat dahsyat. Pedangnya berubah menjadi sinar putih meluncur bagaikan anak panah cepatnya menusuk ke arah tenggorokan lawan.
"Wirr .... sing .......!" Pedang itu berdesing ketika sasarannya luput karena Bhok Cun Ki sudah mengelak dengan cepat, lalu dari samping pedangnya berubah menjadi sinar hijau menyambar ke arah mata kiri Lili! Serangan balasan inipun dahsyat, cepat dan mengandung tenaga sehingga pedangnya berdesing nyaring.
Namun, Lili sudah mengelak dengan merendahkan tubuhnya, kemudian kaki kirinya mencuat ke arah pusar lawan, disusul pedangnya menyambar dari kanan ke kiri membabat leher! "Wuuuutttt .........!"
Kembali Bhok-ciangkun menghindarkan diri dari serangan dahsyat itu dengan meloncat ke belakang, dengan amat cepatnya Lili sudah meloncat ke depan, menyusulkan serangan lanjutan yang makin hebat. Pedangnya bagaikan seekor ular meluncur dibarengi tubuhnya yang merendah, pedang itu menusuk ke arah kedua lutut kaki lawan secara bertubi! Seolah-olah ada banyak sekali ular yang menyerang dan mematuk ke arah lutut dan kalau sekali saja lutut itu terkena patukan pedang ular, tentu Bhok-ciangkun akan roboh! Namun, Bhok-ciangkun adalah seorang pendekar pedang yang sudah banyak pengalamannya bertanding dengan pedang. Dalam pengalamannya sebagai seorang pendekar pedang, sudah banyak dia bertanding melawan orang-orang dari berbagai golongan. Tentu saja dia tidak mudah dikalahkan begitu saja dan dia sudah melihat bahayanya serangan yang dilakukan gadis itu ke arah kedua lututnya.
Dengan ringan sekali tubuhnya meloncat ke atas, berjungkir balik dan turun ke belakang Lili dan membalas dengan serangan pedangnya yang diputar dengan cepatnya. Dia mulai memainkan jurus-jurus ilmu pedang Butong-pai yang indah dan kuat, juga amat cepat sehingga pedangnya lenyap berubah menjadi sinar hijau yang bergulung-gulung! Lili terkejut juga melihat kehebatan ilmu pedang lawan.
Iapun tidak mau kalah dan ia memainkan pedangnya dengan gerakan cepat sehingga pedangnya lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar putih yang bergulung-gulung. Kadangkadang, kedua gulungan putih dan hijau itu retak dan putus, ketika sepasang pedang itu bertemu di udara, menimbulkan percikan bunga api dan mengeluarkan bunyi berkerontang nyaring. Keduanya merasa tergetar tangan kanan masingmasing, maka tahulah mereka bahwa lawan memiliki tenaga yang tangguh dan keadaan mereka berimbang.
Namun, setelah lewat limapuluh jurus, mulailah sinar putih itu terkurung tertekan oleh sinar hijau. Bagaimanapun juga ilmu pedang yang dimainkan Bhok Cun Ki memang hebat sekali. Pula, dia mempunyai banyak pengalaman bertanding, jauh lebih banyak dibandingkan lawannya.
Lili mulai terdesak! Gadis yang keras hati dan pemberani ini maklum bahwa kalau ia hanya memainkan ilmu pedang biasa saja hanya mengandalkan kecepatan dan kekuatan, ia takkan menang melawan ilmu pedang lawan yang demikian hebatnya. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara mendesis nyaring dan gerakan pedangnya berubah. Bukan hanya gerakan pedangnya yang berubah, melainkan juga gerakan tubuhnya.
Tubuh gadis itu, kedua lengannya, dan gerakan pedang itu kini mengandung gerakan seekor ular! Berlenggang lenggok dan menyerang dari bawah dengan tusukan, bacokan seperti ular memagut, disertai desis mengerikan seperti seekor ular cobra yang marah! Bhok Cun Ki terkejut juga menghadapi serangan aneh yang amat berbahaya itu. Tahulah dia bahwa gadis itu mengeluarkan inti dari ilmu silatnya yang bersumber dari gerakan ular dan ilmu ini yang membuat nama besar Seethian Coa-ong ditakuti orang. Gadis itu memang lihai dan berbahaya sekali. Bukan hanya pedang putih itu yang berbahaya, menyambar-nyambar dari bawah bagaikan seekor ular beracun pembawa maut, akan tetapi juga tangan kirinya membantu dengan serangan yang tidak kalah ampuhnya.
Tangan itu menotok, mencengkeram dan gerakannya seperti seekor ular pula.
Dihujani serangan dari bawah seperti itu, keadaannya menjadi berbalik. Kalau tadi Bhok Cun Ki berhasil mendesak lawan, kini dia lebih banyak mengelak dan menangkis, dan segera terdesak karena dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk melindungi dirinya. Dia merasa seolah-olah dikeroyok banyak ular beracun. Akan tetapi setelah belasan jurus lewat dan dia terdesak semakin hebat, teringatlah dia, akan pertandingan ujian dalam permainan pedang melawan Sin Wan pagi tadi. Pemuda itu berkata bahwa lawan ular yang tangguh adalah burung! Mengertilah kini Bhok Cun Ki bahwa secara tidak langsung pemuda itu telah memberi petunjuk kepadanya bagaimana harus melayani gadis ini! Diapun mengerahkan tenaga, mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba tubuhnya meloncat ke atas, lalu menukik turun dan menyerang dari atas dengan pedangnya! Lili yang kini terkejut dan cepat menangkis, akan tetapi Bhok Cun Ki sudah melanjutkan serangkaian serangannya yang membuat gadis itu repot. Ketika Lili melempar diri ke atas tanah bergulingan dan membentuk serangan baru dari bawah, kembali tubuh Bhok-ciangkun melompat tinggi ke atas. Kini dia tidak mau menangkis atau mengelak ke samping, melainkan menghadapi serangan gadis itu dengan loncatan tinggi kemudian ketika tubuhnya turun dia menyambar bagaikan seekor rajawali menyerang seekor ular.
Kembali keadaan menjadi berbalik, Lili yang kini terdesak karena bagaikan seekor ular menghadapi burung yang dapat terbang, ia tidak diberi kesempatan menyerang lawan, sebaliknya lawanmenghujankan serangan yang dimulai dari atas.
Hal ini membuat Lili menjadi penasaran dan marah sekali.
Ketika untuk kesekian kalinya Bhok Cun Ki mendesaknya dengan serangan bertubi, ia mengeluarkan teriakan nyaring, pedangnya diputar cepat melindungi tubuhnya dan tangan kirinya mendorong dengan pengerahan tenaga dari ilmu tokcoa-kun (silat ular beracun). Dorongan ini hebat sekali karena dari telapak tangan kiri itu keluar uap kehitaman. Itulah pukulan beracun yang ganas! "Haiiiitttt!" Bhok Cun Ki yang mengenal pukulan maut, segera meloncat lagi ke atas, lalu menukik bagaikan seekor burung garuda.
Pada saat itu, dia melihat sinar hitam meluncur ke arah dadanya dari arah kiri. Dia tahu bahwa dia diserang oleh senjata rahasia yang berbahaya. Karena tubuhnya sedang berada di udara dan tidak dapat mengelak, dia mengerahkan tenaga pada pedangnya dan menangkis senjata rahasia yang hanya berupa sinar hitam itu.
"Cringgg!" Dan sinar hitam itu tertangkis, meluncur ke bawah, ke arah Lili.
"Awas .......!!" Bhok Cun Ki berseru memperingatkan, namun terlambat. Lili sama sekali tidak mengira bahwa akan ada senjata rahasia meluncur demikian cepatnya oleh tangkisan pedang lawan yang berada di atas sehingga sebelum ia tahu apa yang terjadi, tiba-tiba ia merasa nyeri pada pundak kirinya dan senjata rahasia itu telah menancap di pundak. Tubuhnya seketika menjadi lemas dan matanya berkunang, lalu gelap! Lili roboh pingsan.
"Pengecut curang!" teriak Bhok Cun Ki dan tubuhnya sudah melayang ke arah dari mana datangnya senjatarahasia tadi.
Namun dia tidak menemukan orangnya. Agaknya penyerang gelap itu telah melarikan diri dengan cepat. Karena cuaca mulai remang-remang, Bhok Cun Ki cepat menghampiri Lili.
Gadis itu rebah miring dan ketika dia memeriksanya, dia terkejut. Sebatang paku hitam menancap di pundak itu. Paku itu masuk semua ke dalam daging pundak, dan panjang paku itu sepanjang jari kelingkingnya. Paku beracun! Hal ini dapat dilihatnya dengan seketika, melihat betapa sekitar luka itu nampak tanda hitam kebiruan. Cepat dia menotok beberapa bagian dari pundak itu setelah merobek bajunya, menghentikan jaian darah agar racun paku itu tidak menyebar luas, lalu dicabutnya paku itu. Karena dia tidak membawa obat, maka dipanggulnya tubuh gadis yang masih pingsan itu dan dibawanya lari cepat kembali ke kota raja.
Tentu saja para penjaga terkejut melihat panglima itu memanggul seorang gadis yang pingsan dan mereka cepat memberi pertolongan, menyediakan kereta sehingga Bhokciangkun, dapat membawa Lili pulang tanpa menarik banyak perhatian.
Kedatangan Bhok-ciangkun disambut dengan girang oleh Ci Han dan Ci Hwa, akan tetapi mereka juga terheran-heran melihat ayahnya memondong tubuh seorang gadis yang bukan lain adalah Lili, gadis yang hendak membunuhnya! "Ayah, kenapa ayah membawa siluman ini ke sini?" tanya Ci Hwa.
"Apa yang terjadi, ayah," tanya Ci Han.
Sin Wan yang juga berada di situ, tidak bertanya karena dia sudah mengetahui segalanya. Dia sudah berjanji kepada Ci Hwa untuk melindungi Bhok-ciangkun agar tidak sampai celaka ditangan Lili. Oleh karena itu, sebelum Bhok-ciangkun berangkat, dia telah mendahului naik mendaki bukit Bambu Naga dan mengambil jalan memutar sambil bersembunyi, kemudian dia menyembunyikan diri di balik semak belukar di puncak.
Karena itu, dia melihat pertemuan antara Bhok Cun Ki dan Lili, bahkan mendengarkan semua percakapan di antara mereka. Maka tahulah dia urusan pribadi apa yang ada antara Bhok Cun Ki dan Bi-coa Sianli Cu Sui In. Diam-diam dia merasa terharu dan kasihan kepada mereka berdua. Cinta antara pria dan wanita merupakan perpaduan dari sorga dan neraka. Kalau berkembang dan berhasil baik membuat keduanya merasa seperti di sorga, sebaliknya kegagalan cinta membuat orang merana seperti tersiksa di neraka! Kemudian, tanpa berani memperlihatkan diri Sin Wan melihat mereka berdua bertanding. Dia hanya siap untuk melindungi Bhok-ciangkun, kalau sampai panglima itu terancam bahaya dan diam-diam diapun mengambil keputusan untuk mencegah seandainya Lili yang kalah dan terancam maut.
Kemudian, selagi Bhok-ciangkun mempergunakan siasat seperti yang dimaksudkannya ketika dia dan panglima itu bertanding pedang, yaitu dengan cara berlompatan mengambil seekor burung menghadapi ular, dan ketika panglima itu sudah dapat mendesak lawan, dia melihat senjata rahasia yang meluncur ke arah Bhok-ciangkun itu.
Akan tetapi dari tempat dia bersembunyi, tidak mungkin menolong panglima itu karena senjata rahasia itu meluncur dari arah yang berlawanan dari tempat dia bersembunyi! Dan dia melihat betapa Bhok-ciangkunberhasil menangkis senjata kecil itu dengan pedang, dan senjata rahasia itu bahkan melukai Lili! Dengan cepat, melalui jalan memutar, Sin Wan lari ke tempat dari mana senjata itu datang. Akan tetapi karena dia harus mengambil jalan memutar, dia terlambat dan tidak dapat menemukan penyerang gelap itu. Ketika dia melihat Bhok-ciangkun menolong Lili dan memondong gadis yang pingsan itu, menuju ke kota raja, dia mendahului dan kepada Ci Hwa dan Ci Han dia hanya menceritakan bahwa Bhok-ciangkun dalam keadaan selamat dan dapat mengalahkan Lili.
"Cepat, ambilkan peti obat!" kata Bhok-ciangkun kepada kedua orang anaknya sambil memondong tubuh Lili yang masih pingsan ke dalam kamar. Sin Wan tidak ikut masuk, melainkan masuk ke dalam kamarnya sendiri dan termenung.
Dia ikut terharu dengan peristiwa itu dan tidak ingin mencampuri.
Betapapun juga, dia semakin kagum kepada Bhok Cun Ki.
Sungguh seorang pendekar yang bijaksana, pikirnya. Gadis itu jelas datang, untuk membunuhnya dan kini gadis itu pingsan karena senjatarahasia orang lain. Namun, Bhok Cun Ki bahkan menolongnya dan membawanya pulang untuk mengobatinya! Jarang terdapat orang bijaksana dan budiman seperti panglima itu.
Bhok Cun Ki sibuk mengobati Lili . Dua orang anaknya hanya menonton dengan alis berkerut. Mereka merasa penasaran sekali. Gadis liar itu telah menghina mereka, mengalahkan mereka, bahkan mengancam hendak membunuh ayah mereka. Akan tetapi kini ayah mereka malah membawa gadis yang terluka itu pulang untuk diobati! Bhok Cun Ki mencuci bersih luka itu, kemudian mengurut bagian pundak dan memaksa darah menghitam keluar dari luka di pundak. Setelah itu, ditempelkannya obat penghisap racun berupa koyok (obat tempel) putih yang tebal, dan dibalutnya pundak itu. Semua ini dia kerjakan sendiri karena kedua orang anaknya segan untuk membantu.
Lili mengeluh dan membuka kedua matanya. Sejenak ia seperti nanar dan bingung, akan tetapi ia bangkit duduk dan menggigit bibir ketika terasa nyeri pada pundaknya. Ia memandang ke arah pundak kirinya, alisnya berkerut melihat betapa baju di pundaknya robek dan nampak kulit pundaknya telanjang, kini sudah terbalut kain putih. Ia menoleh dan melihat Bhok Cun Ki duduk di depannya, juga dua orang anak panglima itu berada di kamar. Melihat ia duduk di atas pembaringan disebuah kamar, Lili segera teringat. Ia terkena serangan senjata rahasia di pundaknya dan ia roboh di puncak bukit itu, kenapa ia tahu-tahu berada di kamar ini? Melihat obat berserakan di atas meja, iapun tahu bahwa tentu ia telah diobati oleh Bhok Cun Ki! "Engkau ..... manusia curang! Pengecut! Engkau menyerangku dengan senjata rahasia! Dan engkau membawaku ke sini! Sungguh engkau telah menghinaku!!"
"Tenanglah, nona Lili. Bukan aku yang menyerangmu dengan senjata rahasia. Lihatlah, benda ini yang mengenai pundakmu!" Dia mengeluarkan paku hitam dari dalam saku bajunya, menyerahkannya kepada Lili. Gadis itu menerimanya, menyimpan dalam lipatan bajunya.
"Akan kuketahui kelak siapa pemilik paku ini. Tentu komplotanmu yang sengaja menyerangku secara curang."
"Nona Lili, engkau terlalu memandahg rendah kepadaku!"
kata Bhok Cun Ki dengan alis berkerut. "Engkau tahu benar bahwa dalam pertandingan tadi, aku tidak berada di pihak yang kalah atau terdesak. Paku itu ditujukan kepadaku, menyerangku dan aku yang sedang berada di atas, menangkisnya dengan pedang. Paku itu melesak dan mengenai pundakmu."
"Bhok Cun Ki, kalau begitu, kenapa engkau membawaku ke sini? Jangan kaukira perbuatanmu ini akan membuat aku berhutang budi kepadamu. Aku tetap akan menantangmu mengadu nyawa lagi setelah sembuh lukaku!" Lili berkeras, "Nona, jangan pergi dulu, lukamu belum sembuh. Atau, kalau engkau berkeras hendak pergi, bawalah obat ini untuk menggantikan koyok yang menyedot racun dari lukamu itu,"
kata Bhok-ciangkun melihat gadis itu hendak melangkah pergi.
"Dan jangan lupa, ini pedangmu!" Dia menyodorkan pedang dan buntalan obat.
Lili cemberut, tangan kanannya menyambar pedang ular putih dan diselipkan di pinggang, kemudian direnggutnya balutan pundaknya dengan kasar sehingga balutan itu terlepas dan obat koyok itupun jatuh dari pundaknya. "Aku tidak membutuhkan pertolonganmu. Aku tidak minta kau obati!"
katanya sambil menahan rasa nyeri karena luka itu berdarah lagi setelah koyok dan balutannya ia renggut lepas dan ia buang.
"Kelak aku akan mencarimu lagi untuk melanjutkan pertandingan sampai seorang di antara kita menjadi mayat!"
Setelah berkata demikian, Lili membalikkan tubuhnya dan sambil menahan rasa nyeri, iapun melarikan diri meninggalkan gedung keluarga Bhok.
Bhok-ciangkun tidak mengejar, dan dia menjatuhkan diri duduk di atas kursi dengan wajah yang muram sekali.
Isterinya masuk dari ruangan belakang dan segera menghampiri suaminya. "Apakah yang terjadi? Aku mendengar dari para pelayan bahwa engkau pulang memondong seorang gadis yang terluka dan pingsan."
Bhok Cun Ki menggeleng kepala. Tidak ada apa-apa. Ia seorang gadis yang terkena paku beracun dan tadi aku menolongnya."
"Gadis itu sombong sekali ibu," kata Ci Hwa. "Ia ditolong malah marah-marah dan pergi."
"Siapa sih ia?" tanya Nyonya Bhok Cun Ki yang berwajah cantik dan berwatak lembut itu.
Ci Hwa dan Ci Han memandang kepada ayah mereka, dan Bhok Cun Ki, berkata, "Kami tidak mengenalnya. Sudahlah, jangan dipikirkan lagi gadis itu."
Dengan isyarat pandang matanya, Bhok Cun Ki menyuruh kedua orang anaknya pergi. Dua orang muda itupun keluar dari kamar meninggalkan ayah ibu mereka. Ci Hwa mencari Sin Wan di kamarnya, akan tetapi pemuda itu tidak berada di sana, juga tidak berada di mana-mana dalam gedung itu.
Untung bagi Lili bahwa malam itu cuaca amat gelapnya dan udara yang mendung membuat orang segan keluar rumah.
Jalan-jalan sunyi sehingga Lili yang bajunya robek di bagian pundak, hanya ditutupi dengan saputangan lebar dan tangan kanan, tidak menarik perhatian banyak orang. Juga ketika ia memasuki rumah penginapan besar melalui pintu samping, para penjaga tidak begitu memperhatikannya sehingga ia dapat memasuki kamarnya di rumah penginapan terbesar di kota raja itu dengan aman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar