Setibanya di dalam kamar, Lili tidak menahan-nahan lagi rasa nyeri di pundaknya dan iapun merintih kesakitan. Lalu ia menyalakan lampu penerangan, ditambah beberapa batang lilin, dan memeriksa luka di pundaknya di depan sebuah cermin. Hemm, luka beracun, pikirnya. Sebagai murid Seethian Coa-ong yang mempelajari penggunaan bermacam racun, terutama racun ular dan binatang berbisa lainnya, ia segera mengetahui bahwa luka di pundaknya itu mengandung racun bunga yang cukup berbahaya. Untung bahwa racun itu tidak menjalar ke dalam, juga sebagian besar racun telah disedot oleh koyok yang dipasangkan Bhok Cun Ki dan yang tadi dibuangnya.
13. Keluarga Tung-hai-liong
SELAGI ia hendak mengobati lukanya dengan obat yang berada dalam bekalnya, tiba-tiba terdengar suara di luar daun jendela kamarnya. "Lili, bukalah jendela ini, biarkan aku masuk. Aku ingin bicara denganmu."
Tangan kanan Lili meraba gagang pedangnya, dan matanya terbelalak. Suaranya terdengar agak gemetar, bukan karena takut melainkan karena tegang ketika ia bertanya, "Siapa ....? Siapa di luar jendela itu?"
"Aku yang berada di sini, Lili. Aku Sin Wan ......" "Sin Wan ......?" Wajah itu berubah menjadi berseri, pandang mata yang tadinya berharap-harap cemas itu bersinar-sinar dan dengan tangan kanan yang agak menggigil Lili membuka daun jendela yang lebar itu. Sesosok bayangan berkelebat masuk melalui jendela ke dalam kamar dan Sin Wan menutupkan kembali daun jendela itu.
"Sin Wan .......! Akhirnya kita jumpa juga ....... aih, betapa rinduku kepadamu ......" Lili berseru perlahan dan iapun merangkul leher pemuda itu dengan lengan kanannya karena lengan kirinya akan membuat pundaknya nyeri sekali kalau ia gerakkan.
Sin Wan terkejut. Tak disangkanya dia akan disambut begini mesra dan penuh sukacita, juga penuh keharuan oleh gadis liar ini. Akan tetapi dia teringat akan pertemuannya dahulu dengan Lili. Gadis ini pernah dengan terus terang mengaku cinta kepadanya, akan tetapi juga benci. Bahkan ketika Kui Siang meninggalkannya, Lili muncul dan mengajaknya untuk hidup bersamanya. Kini, melihat sikapnya, tahulah dia bahwa gadis liar ini tak pernah melupakannya dan masih mencintanya.
Sejenak Sin Wan membiarkan Lili melepas kerinduan dengan merangkul dan menyandarkan muka ke dadanya.
Kemudian, perlahan-lahan dia melepaskan rangkulan gadis itu dan berkata, "Lili, aku datang untuk bicara denganmu."
Lili melepaskan diri dan kini ia menatap wajah pemuda itu dengan sinar mata bercahaya dan kedua pipi kemerahan.
Wajahnya berubah menjadi segar dan berseri walaupun pundaknya masih terasa nyeri. Sin Wan kini baru melihat bahwa pundak kiri gadis itu tidak tertutup baju dan ada luka kehitaman di situ.
"Ah, engkau terluka? Luka beracun pula itu, Lili. Mari kubantu engkau mengobatinya."
Lili tersenyum dan senyumnya masih semanis dulu. "Aku tahu engkau memang baik sekali kepadaku, Sin Wan. Tak pernah kulupakan betapa engkau dahulu juga menolongku dan mengobati luka keracunan di punggung dan pundakku."
Sin Wan memeriksa luka itu. Memang hanya luka kecil saja, bekas tusukan paku. Akan tetapi racun yang dibawa paku itu kini jauh lebih hebat dan berbahaya.
"Aku membawa bekal obat penawar racun, Sin Wan. Biar kuambil dari buntalan itu."
"Nanti dulu Lili. Kulihat racun dalarn lukamu ini amat berbahaya. Semua sisa racun harus dikeluarkan dulu, baru diberi obat agar engkau tidak terancam bahaya yang mungkin timbul kelak karena pengaruh sisa racun," kata Sin Wan.
"Engkau duduklah bersila di atas pembaringan itu." Bagaikan seorang anak yang amat penurut, dengan senyum penuh kegembiraan, Lili duduk di atas pembaringan dan bersila. Sin Wan juga duduk bersila di belakangnya dan pemuda ini lalu menempelkan tangan kirinya di punggung bawah pundak kiri gadis itu, mengerahkan tenaga sakti dan menyalurkannya melalui lengan kirinya. Dari mendiang Pekmau-sian (Dewa Rambut Putih), seorang di antara Tiga Dewa gurunya, Sin Wan mewarisi ilmu pengobatan dan di dalam ilmu Sam-sian Sin-ciang (Tangan Sakti Tiga Dewa) terdapat penggunaan sinkang yang menyedot amat kuatnya. Kini dia mengerahkan tenaga itu untuk mendorong keluar hawa beracun yang masih tersisa di sekitar pundak kiri.
Lili merasakan getaran hawa yang kuat dan hangat itu memasuki pundak lewat telapak tangan Sin Wan. Ia tersenyum, memejamkan kedua matanya dan merasa suatu kebahagiaan yang amat ia rindukan menyelinap ke dalam hatinya. Sejak dahulu ia kagum kepada pemuda ini, sejak masih kanak-kanak. Ketika mereka masih kanak-kanakpun mereka pernah bertemu dan berkelahi. Sucinya, Cu Sui In yang ketika itu masih menjadi gurunya, sedang bertanding melawan Sam-sian, dan ia bertanding melawan Sin Wan.
Akan tetapi, ia kalah dan Sin Wan menangkapnya, menelungkupkannya di atas pangkuan Sin Wan dan anak lakilaki itu menghukumnya dengan tamparan pada pinggulnya sampai sepuluh kali! Teringat akan semua itu, timbul kemesraan yangmendalam di hati Lili. Teringat pula ia ketika mereka sudah dewasa dan bertemu kembali, Sin Wan juga menolongnya seperti ini, bahkan pemuda itu menggunakan mulutnya untuk menghisap luka-luka di punggungnya dan pundaknya untuk mengeluarkan racun, dan betapa setengah hari, lamanya ia tertidur dalam rangkulan Sin Wan, bersandar pada dadanya. Betapa mesranya! Kemudian, ia ingat betapa ia pernah membalas hukuman tamparan pada pinggulnya itu dengan penuh kemarahan, karena menang kekalahannya di waktu ia masih kecil itu tak pernah dapat ia lupakan. Ia menangkap Sin Wan, menyiksanya, mengikatnya di hutan sehingga nyaris pemuda itu diterkam harimau.
Akan tetapi ia mencintanya! Ia mencinta Sin Wan maka ia tidak membiarkan pemuda itu mati diterkam harimau. Ia menyelamatkannya dan membebaskannya. Dan kini, pemuda yang pernah disiksanya dan hampir dibunuhnya itu kembali menolongnya, mengobati dan mengusir racun keluar dari lukanya. Sebetulnya, ia sendiri dapat menyembuhkan luka itu.
Akan tetapi ia membiarkan Sin Wan yang mengobatinya dan ia merasa betapa kemesraan menyusup di hatinya.
Tak lama kemudian luka di pundak itu mengeluarkan cairan menghitam. Sin Wan terus mendorong dengan getaran hawa saktinya sampai semua cairan menghitam habis keluar.
Setelah yang keluar darah merah, barulah dia menghentikan pengerahan sinkangnya dan dia menaruh obat bubuk putih milik Lili, ditaburkannya pada luka itu. Obat bubuk putih itu manjur bukan main karena seketika luka kecil itu tertutup dan kering. Tidak perlu dibalut lagi.
"Sekarang bahaya sudah lewat," kata Sin Wan sambil meloncat turun dari atas pembaringan.
Lili juga turun dan ia mengeluarkan sehelai baju baru, menyelinap masuk ke dalam kamar mandi yang terdapat di kamar besar itu. Tak lama kemudian, Sin Wan melihat gadis itu keluar, bukan hanya telah mengenakan pakaian bersih, bahkan jelas bahwa ia menggunakan kesempatan itu untuk membereskan gelung rambutnya dan menambah bedak pada wajahnya yang cantik! Lili tersenyum kepadanya. "Duduklah, Sin Wan dan sekarang mari kita bicara. Bagaimana engkau tahu aku berada di sini dan apa yang akan kaubicarakan dengan aku?"
"Lili, aku melihat engkau bertanding dengan Bhok-ciangkun di puncak bukit Bambu Naga tadi."
"Ehhh?" Lili terkejut dan mengamati wajah pemuda itu penuh selidik. "Dan engkau melihat siapa yang telah menyerang dengan paku beracun tu?"
Sin Wan menggeleng kepala. "Sudah kucoba untuk mengejar, akan tetapi tidak berhasil. Aku tidak tahu siapa yang melakukan kecurangan itu."
"Siapa lagi kalau bukan kawan Bhok Cun Ki sendiri yang hendak berlaku curang?"
"Jangan engkau menuduh seperti itu, Lili. Aku mengenal siapa Bhok Cun Ki itu dan dia adalah seorang gagah yang tidak akan sudi berbuat curang."
"Huh, kau tidak tahu. Dia seorang yang palsu, perayu dan ..... sudahlah, untuk apa kita bicara tentang dia? Tentu engkau datang mengunjungiku untuk bicara tentang diri kita, bukan? Apakah engkau sudah bersedia untuk bertualang berdua denganku, Sin Wan? Aku selalu merindukanmu, dan hidup akan terasa bahagia sekali kalau engkau dapatselalu mendampingiku."
Sin Wan menarik napas panjang. Dia merasa iba kepada Lili. Seorang gadis yang sebetulnya memiliki dasar watak yang baik dan gagah. Sayang karena lingkungan, maka ia menjadi seorang gadis kang-ouw yang ganas dan seperti liar tak terkendali. Diapun tahu bahwa di lubuk hatinya, dia merasa sayang dan kagum kepada gadis ini. Oleh karena itulah maka dia mencari Lili, untuk menyadarkannya, agar gadis itu tidak melanjutkan niatnya memusuhi dan mengadu nyawa dengan Bhok Cun Ki.
"Lili, aku suka dan kagum kepadamu. Aku tahu engkau seorang gadis yang gagah perkasa dan baik hati. Akan tetapi, aku masih terikat oleh banyak tugas penting sehingga belum sempat mengunjungimu. Malam ini aku sengaja mencarimu justru untuk bicara tentang Bhok-ciangkun."
Lili mengerutkan alisnya dan sepasang mata yang indah itu mengerling tajam, cuping hidungnya agak kembang kempis menunjukkan bahwa hatinya terasa tegang.
"Hemm, apa lagi yang dapat dibicarakan tentang laki-laki itu?" katanya dengan suara ketus.
"Lili,aku mengharapkan sungguh-sungguh agar engkau menghentikan permusuhanmu dengan dia. Hentikanlah memusuhinya karena dia bukanlah laki-laki seperti yang kausangka. Dia seorang pendekar dan panglima yang bijaksana dan baik budi. Engkau keliru sekali kalau memusuhinya, apa lagi berniat hendak membunuhnya."
Makin dalam kerutan di antara alis mata gadis itu. "Sin Wan, apamu sih Bhok Cun Ki itu maka engkau hendak melindunginya sedemikian rupa?"
"Bukan apa-apa, hanya kenalan saja."
"Kalau begitu, engkau belum mengenal betul siapa dia! Terus terang saja, aku hendak membunuhnya untuk melaksanakan perintah dari suciku, untuk membalaskan dendam sakit hati suci. Engkau tidak tahu apa yang telah dilakukannya terhadap suci. Dia telah menghancurkan kebahagiaan hidup suciku, tahu?"
"Aku tahu, aku sudah mendengarnya dan aku dapat mengerti dan menduga apa yang telah terjadi. Akan tetapi dia bukan seorang laki-laki yang sengaja hendak merusak kehidupan sucimu. Aku tahu bahwa mereka tadinya saling mencinta dan sudah terjanji akan hidup bersama sebagai suami isteri. Akan tetapi, kemudian Bhok Cun Ki mendengar bahwa kekasihnya itu adalah seorang tokoh sesat, maka sebagai seorang pendekar dia merasa tidak berjodoh dan tidak mungkin menjadi suami isteri dengan sucimu. Jadi, dia memisahkan diri bukan karena bosan atau tidak mencinta lagi.
Aku yakin dia masih mencinta sucimu dan hanya karena keadaan memaksanya, dia meninggalkannya."
"Hemm, memang enak saja engkau berpendapat seperti itu, Sin Wan. Engkau tidak merasakan penderitaan yang dialami suciku selama bertahun-tahun, bahkan engkau tidak melihatnya dia menderita. Akan tetapi, sejak aku masih kecil, aku sudah hidup didekat suci yang dahulu menjadi guruku, setiap hari aku melihat keadaannya, kedukaannya, penderitaan batinnya. Ia bahkan tidak mau lagi berdekatan dengan pria, apa lagi menikah. Padahal ia seorang wanita yang cantik, pandai dan memiliki segalanya. Sudah sepatutnya kalau ia mendendam kepada Bhok Cun Ki dan mengutus aku untuk membunuh laki-laki yang jahat itu!"
"Lili, engkau hanya diracuni dendam yang dikandung sucimu. Bhok Cun Ki sama sekali bukan orang jahat dan hal itu sudah terbukti jelas ketika dia bertanding denganmu. Kalau dia jahat, tentu engkau akan dianggap musuhnya yang berbahaya karena engkau hendak membunuhnya. Akan tetapi, seperti yang telah kulihat, dalam pertandingan itu dia selalu mengalah, bahkan ketika engkau terluka oleh senjata rahasia gelap itu, dia membawamu pulang dan berusaha mengobatinya. Kalau dia jahat, tentu dia mendapatkan kesempatan baik untuk membunuhmu, bukan malah menolongmu. Bukti itu saja sudah menyatakan bahwa Bhok Cun Ki adalah seorang pendekar."
Lili tersenyum mengejek, hatinya merasa tidak senang melihat sikap dan mendengar ucapan Sin Wan yang memujimuji musuh besarnya. "Boleh jadiBhok Cun Ki seorang pendekar, akan tetapi dalam pandanganku, dia adalah seorang yang telah melakukan perbuatan jahat sekali terhadap suci. Sudah sepatutnya kalau suci menaruh dendam, dan karena suci sudah mewakilkan kepadaku, maka aku harus berusaha membunuhnya!"
"Tapi dia bukan lawanmu, Lili. Dia masih terlalu lihai bagimu dan engkau akan kalah."
"Aku tidak takut! Aku akan mengadu nyawa dengannya.
Dia atau aku yang harus mati dalam pertandingan kami nanti!"
kata Lili dengan suara yang tegas dan nekat.
Sin Wan mengerutkan alisnya. Sedikit banyak dia sudah mengenal watak gadis yang liar dan ganas ini. Lili bukan sekedar menggertak, akan tetapi semua ucapannya itu akan dilakukannya. Diam diam dia merasa khawatir sekali. Dia tidak menghendaki Bhok Cun Ki terbunuh oleh gadis liar ini, akan tetapi dia juga tidak ingin melihat Lili tewas.
"Lili kenapa engkau begini keras kepala dan bodoh? Tanpa memperdalam silatmu, bagaimana engkau akan mampu menandinginya? Engkau sudah kalah dan kalau hanya nekat maju lagi dan kalah lagi, bukankah hal itu amat memalukan? Sungguh tidak tahu malu kalau setelah berulang-ulang dikalahkan, masih nekat maju lagi dan dikalahkan lagi."
Akal Sin Wan memanaskan hati gadis itu berhasil.
Sepasang pipi itu menjadi kemerahan dan sinar mataitu mencorong marah. "Kalau aku melawannya lagi, aku tidak akan berhenti sebelum dia atau aku yang menggeletak mati menjadi mayat. Dia atau aku yang harus mati!"
"Hemm, itu namanya konyol! Kalau kita sudah tahu tidak akan menang dan akan mati akan tetapikita nekat, itu berarti suatu kebodohan dan kematian itu adalah kematian yang konyol dan tidak ada artinya sama sekali. Lili, ingatlah, kalau engkau mati dalam pertandingan itu, lalu apa artinya? Engkau mati konyol dan tetap saja dendam sucimu tidak terbalas.
Kematianmu itu hanya akan menambah kedukaan sucimu saja, juga kekecewaan bahwa engkau yang dipercaya ternyata tidak mampu melaksanakan tugas dengan baik."
Mendengar ucapan ini, Lili termenung, menundukkan mukanya dan alisnya berkerut, tanda bahwa ia berpikir. Lalu ia mengangkat mukanya memandang kepada Sin Wan. "Sin Wan, kalau bukan engkau yang bicara tadi, tentu aku sudah membunuh pembicaranya. Akan tetapi, kupikir engkau benar juga dan aku kini menjadi bingung. Kalau menurut pendapatmu, lalu apa yang harus kulakukan?"
Agak lega rasa hati Sin Wan melihat perubahan sikap gadis itu. "Lili, urusan antara Bhok Cun Ki dan sucimu itu adalah urusan yang amat pribadi, maka sebaiknya kalau sucimu sendiri yang maju membuat perhitungan dengan Bhok Cun Ki.
Kalaudemikian keadaannya, maka orang luar, siapapun dia, tidak berhak mencampuri. Pula, sucimu tentu memiliki kepandaian yang lebih tinggi darimu, maka kiranya ialah yang akan mampu menandingi Bhok Cun Ki.
Andaikata engkau yang tetap diutus olehnya yang mewakilinya, sebelum engkau menantang Bhok Cun Ki, sebaiknya kalau engkau memperdalam lebih dahulu ilmu kepandaianmu agar jangan mati konyol begitu saja. Nah, bukankah usulku ini sehat dan dapat diterima? Dalam hal pertandingan mengadu ilmu dan mungkin mengadunyawa, kita tidak boleh terdorong oleh hati panas. Hati boleh panas, akan tetapi kepala harus tetap dingin agar engkau dapat memikirkan siasat yang baik."
Lili mengangguk-angguk. "Agaknya engkau benar, Sin Wan.
Biarpun aku tidak takut mati, akan tetapi tentu saja tidak benar kalau aku nekat dan kematianku tidak ada artinya.
Baiklah, ucapanmu menyadarkan aku akan kebodohanku, dan tidak akan menantang Bhok Cun Ki sebelum aku memperdalam ilmu-ilmuku. Aku menuruti permintaanmu, Sin Wan. Akan tetapi sebaliknya, engkaupun harus menuruti permintaanku."
"Permintaan apakah itu?"
"Pertama, engkau jangan mencampiri urusan antara suci dan Bhok Cun Ki, jangan melindungi Bhok Cun Ki ........" "Tentu saja aku tidak akan mencampuri. Sudah kukatakan, urusan itu amat pribadi dan Bhok-ciangkun sendiripun tidak mau dicampuri orang lain. Engkau melihat sendiri, ketika dia memenuhi tantanganmu, tidak ada seorangpun bersama dia.
Aku sendiri hanya mengintai dengan sembunyi dan diluar tahunya."
"Bagus, dan sekarang permintaan ke dua. Kalau memang benar engkau tidak berpihak kepada Bhok Cun Ki, marilah engkau menemani aku bertualang di dunia persilatan, dan engkau membimbingku agar aku dapat memperdalam ilmu silatku. Sin Wan, sejak dulu aku cinta padamu dan hidupku akan berbahagia sepenuhnya kalau engkau mau mendampingi aku selamanya."
Sin Wan terkejut. Gadis ini sungguh terbuka dan jujur bukan main. Kiranya sukar mencari seorang gadis yang begini berterus terang mengatakan isi hatinya. Ucapan itu tentu saja membuat dia merasa kikuk dan mukanya menjadi kemerahan.
"Aih, Lili, kenapa engkau bicara kembali soal itu? Sudah kukatakan bahwa aku masih mempunyai banyak tugas yang harus kuselesaikan, dan aku sama sekali belum memikirkan perjodohan "Sin Wan, bukankah itu hanya alasan saja? Kalau memang engkau tidak suka kepadaku, katakan terus terang agar aku tidak selalu mengharapkanmu!"
"Aku kagum dan suka kepadamu, Lili. Akan tetapi, untuk berjodoh, diperlukan perasaan yang lebih mendalam, lebih dari pada hanya kagum dan suka. Dan akubelum memikirkan hal itu, aku masih terikat oleh kewajiban. Bukankah engkau sendiripun masih terikat oleh tugas-tugasmu?"
"Aku siap untuk meninggalkan suhu dan suci kalau engkau mau hidup bersamaku, Sin Wan."
Sin Wan menggeleng kepalanya. "Lili, kelahiran, perjodohan dan kematian berada ditangan Tuhan. Kalau kita memaksakannya maka hal itu akan tidak baik akibatnya. Kalau memang kita berjodoh, kelak tentu Tuhan akan mempertemukan kita.
Gadis itu kini bangkit berdiri, matanya bersinar-sinar marah. "Bagus, kiranya engkau hanya bermain mulut saja! Kalau memang tidak mau, katakan saja tidak mau! Aku tahu, engkau berpihak kepada Bhok Cun Ki, dan siapa tahu, engkau mungkin sudah jatuh cinta kepada puterinya yang cantik itu.
Hemm, tentu saja engkau akan terjamin kalau menjadi mantu seorang panglima!"
"Lili, aku tidak ........." "Cukup! Engkau memualkan perutku. Pergi! Pergi dari sini dan jangan memperlihatkan mukamu lagi!" Gadis itu menunjuk ke jendela, mengusirnya.
Sin Wan menghela napas, tidak merasa terhina oleh pengusiran itu karena dia sudah mengenal watak Lili yang keras dan aneh. Diapun tanpa banyak cakap lagi lalu mengdampiri jendela, membuka daun jendela dan melompat keluar dengan gerakan ringan tanpa menimbulkan suara. Lili berdiri termenung memandang jendela yang kosong, dan tanpa disadarinya, dua titik air mata keluar dari pelupuk matanya, jatuh ke atas sepasang pipinya.
JJJ Di lembah muara Sungai Kuning yang memuntahkan airnya ke teluk Pohai, terdapat beberapa bukit kecil. Di atas puncak sebuah di antara bukit itu terdapat sebuah rumah gedung yang besar. Inilah tempat tinggal seorang datuk persilatan yang terkenal di dunia kang-ouw sebagai datuk yang berkuasa di wilayah timur. Datuk ini dijuluki Tung-hai-liong (Naga Lautan Timur) bernama Ouwyang Cin. Datuk ini berusia enampuluh enam tahun, tubuhnya gendut bulat, kepalanya botak dan melihat tubuhnya orang tidak akan menyangka bahwa dia seorang ahli silat yang amat lihai.
Tung-hai-liong Ouwyang Cin sebetulnya peranakan Jepang.
Ayahnya seorang CinaHan, dan ibunya seorang Jepang aseli.
Akan tetapi, sejak kecil dia dididik oleh ayahnya sehingga dia tidak lagi kelihatan sebagai peranakan, melainkan sebagai seorang Han aseli, baik namanya, cara hidupnya dan kebudayaannya. Hanya ilmu silatnya saja yang campur dengan ilmu silat dari Jepang, yang dia pelajari dari para pamannya, yaitu jagoan-jagoan samurai dari Jepang.
Ketika masih muda, Tung-hai-liong Ouwyang Cin adalah seorang petualang yang dengan perahu layarnya malang melintang di lautan timur. Namanya terkenal sebagai bajak laut yang amat ditakuti, bahkan dia terkenal sampai ke Jepang karena seringkali dia membajak di perairan kepulauan Jepang.
Bahkan isterinyapun puteri seorang jagoan samurai yang takluk kepadanya, sehingga Ouwyang Cin mengenal banyak jagoan Samurai Jepang. Dia menikah dengan gadis Jepang yang berwatak lembut itu, yang telah melahirkan seorang anak perempuan.
Biarpun Tung-hai-liong Ouwyang Cin seorang bajak laut yang hidup dalam kekerasan, namun ternyata dia amat mencinta isterinya.Ketika puterinya berusia sepuluh tahun dan dia sendiri berusia limapuluh lima tahun, dia melepaskan perahunya dan tinggal di bukit lembah muara Huang-ho, tidak lagi berlayar menjadi bajak laut, akan tetapi mulai dikenal sebagai datuk wilayah timur. Semua bajak laut yang malang melintang di teluk Pohai dan lautan timur, tunduk kepadanya dan menganggap dia sebagai datuk para bajak laut.
Puteri Ouwyang Cin bernama Ouwyang Kim, dan kini telah berusia duapuluh tahun. Gadis ini selain cantik jelita dan mungil, wajahnya bulat dan kulitnya halus putih kemerahan.
Sikapnya lembut dan ramah sehingga ia nampak lemah. Akan tetapi sesungguhnya, dibalik kelembutannya itu tersembunyi kekuatan yang dahsyat dan gadis ini lihai bukan main karena sejak kecil menerima gemblengan ayahnya. Bahkan tingkat kepandaian gadis ini lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian suhengnya yang bernama Maniyoko, pemuda Jepang yang masih keponakan mendiang ibunya dan juga menjadi murid ayahnya.
Demikianlah keadaan keluarga Ouwyang Cin. Di dalam rumah gedung besar itu hanya tinggal dia dan isterinya, puterinya dan muridnya itu. Jumlah pelayan jauh lebih banyak karena semua ada sepuluh orang pelayan untuk mengurusi rumah gedung besar itu dan empat orang penghuninya.
Pekerjaan Ouwyang Cin setiap harinya hanyalah menerima tamu-tamu, kebanyakan para bajak laut yang berkunjung untuk menghormat dan untuk menyumbangkan sebagian dari hasil bajakan mereka sebagai tanda bahwa mereka mengakui kepemimpinan datuk ini. Juga banyak perampok pantai yang mengakuinya sebagai datuk pemimpin. Waktu selebihnya dipergunakan Ouwyang Cin untuk mengurus perkebunan, peternakan dan juga beberapa buah perahu besar beserta para nelayannya yang mencari ikan di sepanjang muara.
Dari hasil semua ini, Ouwyang Cin terkenal sebagai seorang yang kaya raya. Diapun tidak pernah melupakan latihan silat untuk puterinya dan muridnya atau keponakannya, bahkan dia sendiri tak pernah mengendurkan semangatnya berlatih silat karena dia maklum bahwa tanpa latihan, kemahiran akan cepat menurun, mengingat bahwa usianya semakin bertambah.
Maniyoko merupakan murid yang baik dan patuh kepada gurunya dan sudah seringkali Ouwyang Cin menyerahkan pekerjaan penting kepada muridnya ini sebagai wakilnya.
Jarang sekali Maniyoko gagal melaksanakan tugas sehingga gurunya semakin sayang dan percaya kepadanya.
Diam-diam Ouwyang Cin mengandung niat untuk menarik murid yang juga keponakan isterinya ini menjadi calon suami bagi puterinya. Dia melihat dengan jelas betapa Maniyoko mencinta puterinya. Hanya karena sikap Ouwyang Kim yang nampaknya tidak atau belum membalas cinta itulah yang membuat Ouwyang Cin masih belum dapat mengambil keputusan. Dia terlalu sayang kepada puterinya untuk memaksanya dalam urusan apapun juga.
Pada suatu pagi yang cerah, di taman bunga belakang gedung milik keluarga Ouwyang, nampak seorang pemuda dan seorang gadis sedang berlatih silat. Mereka merupakan pasangan yang sedap dipandang. Pemudanya berusia duapuluh tujuh tahun, wajahnya tampan dan bulat, kulitnya halus putih dan pakaiannya yang ringkas itu rapi dan mewah.
Cambangnya hitam tebal tumbuh dari pelipis sampai ke dagu, terpelihara rapi. Melihat pakaian dan rambutnya yang disisir rapi, ada kesan pesolek pada diri pemuda yang nampak tampan dan juga gagah karena cambangnya itu. Tubuhnya agak pendek, hanya sedikit lebih tinggi dari pada gadis yang bertubuh mungil dan tidak tergolong tinggi itu.
Gadis itupun cantik jelita, wajahnya yang berbentuk bulat, kulitnya putih halus dan kemerahan seperti kulit seorang bayi.
Rambut dan alis matanya hitam sekali, membuat wajah itu nampak semakin putih. Tubuhnya mungil kecil namun padat dan ramping dan ia nampak lembut dan lemah gemulai dalam gerakan silatnya. Mereka adalah Maniyoko dan Ouwyang Kim.
Mereka sedang berlatih silat tangan kosong dan keduanya dapat bergerak dengan gesit bukan main. Dasar gerakan ilmu silat mereka adalah ilmu silat dari selatan karena sebelum menjadi bajak laut, dahulu Ouwyang Cin adalah seorang ahli silat dari selatan yang sudah mempelajari banyak macam ilmu silat dari berbagai aliran, baik dari Siauw-lim selatan maupun dari Butong-pai. Namun, ilmu silatnya berkembang dan bercampur dengan aliran lain, bahkan telah dikombinasikan dengan ilmu bela diri dari Jepang.
Dalam latihan, nampak gerakan Ouwyang Kim lebih cepat dan ringan, dan ia lebih banyak menyerang dari pada suhengnya (kakak seperguruannya). Namun, gerakan Maniyoko yang mantap dan kokoh dapat membuat pemuda Jepang ini mampu menangkis atau mengelak dari semua serangan lawannya.
Akhirnya dia meloncat ke belakang dan berseru, "Cukup, sumoi, desakanmu membuat aku repot sekali. Sungguh kecepatan gerakanmu luar biasa!" pemuda itu memuji dan pandang matanya penuh rasa kagum dan sayang kepada sumoinya.
Ouwyang Kim tersenyum. "Aih, engkau selalu memuji, suheng. Engkaupun sudah maju pesat, kedua tanganmu berat sekali."
"Sumoi, mari kita berlatih pedang. Gerakan di bagian akhir dari ilmu pedang kita sungguh masih terlalu sulit bagiku, belum juga aku mampu melakukannya dengan sempurna."
Pemuda itu mengambil dua batang pedang yang memang sudah dipersiapkan di situ. Biasanya, mereka berlatih di dalam ruangan berlatih silat yang cukup luas di bagian belakang gedung. Akan tetapi karena pagi hari yang cerah itu amat panas, mereka memilih untuk terlatih di taman, di udara terbuka.
"Suheng , memang ilmu pedang Raja Matahari yang dirangkai ayah merupakan ilmu pedang yang sukar. Ilmu pedang itu diambil dari jurus-jurus pilihan dari semua ilmu pedang yang pernah dipelajari ayah, dicampur dengan ilmu pedang dari Jepang yang menggunakan pedang samurai.
Kalau kita belum pernah mempelajari ilmu-ilmu pedang dari ayah, tidak mungkin kita akan mampu menguasai Jit-ongkiamsut (Ilmu Pedang Raja Matahari) ini dengan baik. Kita harus tekun dan bagian yang sukar harus kita latih terus menerus."
Mereka lalu berlatih ilmu pedang. itu dan dalam hal ilmu yang baru ini, ternyata Ouwyang Kim jauh lebih unggul dan ialah yang memberi petunjuk-petunjuk kepada suhengnya.
Mereka berhenti berlatih ketika dari taman itu mereka melihat sebuah kereta memasuki pekarangan depan. Mareka tertarik karena yang datang dengan kereta itu bukanlah para bajak atau golongan sesat yang biasa datang menghadap Ouwyang Cin. Melihat muka-muka baru, kedua orang muda ini tertarik dan tanpa bicara mereka menghentikan latihan dan pergi ke depan untuk melihat siapakah para tamu yang datang berkunjung.
Ternyata kereta itu memuat sebuah peti dan tamunya berjumlah empat orang yang sedang diterima oleh pelayan penjaga yang seperti biasa menanyakan siapa mereka dan apa keperluan mereka datang berkunjung. Ketika empat orang itu melihat munculnya Maniyoko dan Ouwyang Kim, yang tertua di antara mereka, berusia limapuluh tahun lebih bertubuh tinggi kurus, segera menghadapi mereka dan bertanya dengan sikap yang sopan.
"Kami mendengar bahwa locianpwe (orang tua gagah) Ouwyang Cin mempunyai seorang murid laki-laki dan seorang puteri yang keduanya gagah perkasa Apakah (anda berdua) murid dan puterinya itu?"
Ouwyang Kim yang wataknya pendiam dan halus itu tidak menjawab, membiarkan suhengnya yang menjawab. Maniyoko memandang kepada penanya itu dan diapun berkata dengan suara yang angkuh. "Benar, Tung-hai-liong Ouwyang Cin adalah guruku, dan aku bernama Maniyoko. Sumoiku ini puteri suhu bernama Ouwyang Kim. Siapakah paman dan ada keperluan apa datang berkunjung?"
"Nama saya Coa Kun, seorang di antara Bu-tek Cap-sha-kwi (Tigabelas Setan Tanpa Tanding), bersama tiga orang rekan saya diutus oleh Yang Mulia untuk menghaturkan sedikit bingkisan berikut suratnya, kepada locianpwe Tung-hai-liong Ouwyang Cin."
Berbeda dengan Ouwyang Kim yang jarang meningggalkan rumahnya, Maniyoko sudah banyak terjun ke dunia kangouw dia mengenal banyak tokoh kangouw, maka tentu saja dia sudah pernah mendengar tentang Bu-tek Cap-sha-kwi. Dia mengamati laki-laki tinggi kurus itu, melihat pedang yang tergantung di punggungnya dan diapun berkata, "Ah, kalau begitu tentu kami berhadapan dengan Bu-tek Kiam-mo (Iblis Pedang Tanpa Tanding)!"
"Kongcu mempunyai penglihatan yang tajam sekali!" Bu-tek Kiam-mo memuji.
"Mari, paman, kami antar paman sekalian menghadap suhu," kata Maniyoko dengan gembira, apa lagi mendengar bahwa tokoh kangouw ini diutus oleh seseorang yang disebutnya Yang Mulia. Tentu seorang tokoh besar. Diapun menyuruh seorang pelayan penjaga untuk memberi laporan kepada gurunya bahwa empat orang tamu hendak menghadap diantar oleh dia dan sumoinya.
Coa Kun lalu menyuruh tiga orang rekannya untuk menggotong peti yang dimuat di dalam kereta, sedangkan kuda penarik kereta diserahkan kepada pelayan untuk dirawat.
Mereka berempat lalu mengikuti Maniyoko dan Ouwyang kim memasuki gedung, menuju ke ruangan tamu yang berada di bagian samping kanan.
Di dalam ruangan tamu yang mewah itu telah menanti Tung-hai-liong Ouwyang Cin yang duduk di kursinya dengan sikap yang agung seperti seorang raja yang hendak menerima orang-orang yang hendak menghadap. Biarpun usianya sudah enampuluh enam tahun, tubuhnya gendut dan kepalanya semakin botak, namun datuk ini masih nampak mencorong dan berwibawa, seperti pandang mata seseorang yang merasa yakin akan kekuatannya sendiri.
Bu-tek Kiam-mo Coa Kun juga seorang tokoh besar dalam dunia kangouw, akan tetapi dia maklum bahwa kedudukannya kalah tinggi dibandingkan kakek yang duduk di kursi dengan angkuhnya itu, maka diapun segera memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada, diikuti tiga orang rekannya setelah meletakkan peti yang mereka angkut dari dalam kereta tadi.
"Saya Coa Kun dan tiga orang pembantu datang menghadap locianpwe Ouwyang Cin untuk menyampaikan salam hormat dari Yang Mulia di kota raja," katanya dengan suara lantang.
Ouwyang Cin, juga Maniyoko dan Ouwyang Kim memandang dengan penuh perhatian, karena mereka terkejut dan heran juga mendengar disebutnya Yang Mulia, sebutan yang biasanya hanya diberikan kepada seorang kaisar, raja atau setidaknya pangeran. Akan tetapi, tak seorangpun di antara mereka memperlihatkan perasaan heran itu pada wajah mereka.
"Coa Kun, jelaskan siapa yang kausebut Yang Mulia itu, agar aku mengetahui dengan siapa aku berurusan," suara datuk itu dalam dan parau.
"Saya sendiri tidak tahu siapa nama pemimpin besar kami itu, locianpwe. Akan tetapi, Yang Mulia mengutus saya menghadap locianpwe, selain menyampaikan salam hormatnya, juga mengirim sekedar bingkisan dan surat kepada locianpwe, harap locianpwe sudi menerimanya."
14. Ambisi Datuk Bajak Laut Dari Timur
Coa Kun memberi isyarat kepada tiga orang rekannya dan mereka segera membuka tutup peti itu, memperlihatkan isinya kepada tuan rumah. Dari tempat duduknya, Ouwyang Cin dapat melihat bahwa peti itu terisi barang berharga seperti kain sutera yang mahal, barang ukiran kuno, ada pula lukisan indah dan barang-barang perhiasan dari emas dan perak.
Sungguh merupakan bingkisan yang amat besar nilainya.
Hatinya merasa senang, akan tetapi inipun tidak nampak pada wajahnya.
"Berikan surat itu kepadaku," katanya.
Coa Kun mengeluarkan sesampul surat dari saku bajunya dan menyerahkannya kepada Ouwyang Cin. Datuk ini membuka sampulnya, mengeluarkan sehelai surat yang ditulis dengan huruf-huruf indah. Sebelum membaca isinya, dia melirik ke arah cap di bawah surat sebagai tanda si pengirim surat dan sekali ini, matanya terbelalak tanpa dapat dia sembunyikan lagi saking kaget dan herannya. Tentu saja dia mengenal cap kebesaran itu, karena dahulu di waktu mudanya sering dia melihat cap itu, yalah cap kebesaran Kaisar Kerajaan Goan atau Mongol! Kerajaan itu telah jatuh duapuluh tahun yang lalu, akan tetapi bagaimana sekarang ada seseorang memakai cap kebesaran itu dan mengirim bingkisan berharga kepadanya? Cepat dibacanya surat itu dan dia menjadi semakin terheran-heran.
Surat itu menerangkan bahwa Kerajaan Goan kini sedang menyusun kekuatan untuk bangkit dan berjaya kembali, dan untuk tugas itu diserahkan kepada seorang pangeran dan seseorang yang bergerak di bawah tanah, menggunakan kedok dan hanya dikenal dengan sebutan Yang Mulia. Dan kini Yang Mulia mengajak Ouwyang Cin untuk membantu gerakannya menjatuhkan Kerajaan Beng, dengan janji bahwa kalau berhasil kelak, maka Ouwyang Cin pasti akan diangkat menjadi raja muda yang menguasai daerah timur! Ouwyang Cin masih terbelalak, akan tetapi wajahnya berseri-seri. Menjadi raja muda! Mana mungkin hal itu dapat terjadi kalau tidak bekerja sama dengan kekuasaan besar yang mempunyai balatentara kuat seperti bekas kaisar Mongol? Dia kini hanya menjadi datuk golongan sesat! Tentu saja jauh berlainan dibandingkan dengan menjadi seorang raja muda! Sudah terbayang di pelupuk matanya betapa dia duduk di singgasana, berpakaian sebagai raja muda tulen, dihadap para pengawal dan disembah oleh seluruh rakyat di wilayah timur! Membantu orang-orang Mongol mencoba untuk meruntuhkan Kerajaan Beng baginya bukan berarti memberontak, karena sekarangpun sebagai datuk sesat, dia sudah dimusuhi oleh pemerintah. Pula, dia seorang peranakan Jepang! Dibacanya sekali lagi isi surat itu, dan diliriknya isi peti, kemudian dia mengangguk-angguk dan tersenyum puas.
"Baiklah, Coa Kun. Kami terima bingkisan dari Yang Mulia dengan ucapan terima kasih. Dan kami setuju untuk bekerja sama, akantetapi kami ingin mendengar lebih banyak tentang rencananya. Kita bicarakan hal itu sambil makan minum, saudara Coa Kun!" Ouwyang Cin dengan gembira lalu menoleh kepada puterinya dan berkata, "Katakan kepada ibumu agar menyiapkan hidangan besar untuk menjamu para tamu kita yang terhormat." Ouwyang Kim mengerutkan alisnya, akan tetapi ia tidak berani membantah dan mengangguk, lalu masuk ke dalam untuk memberitahu kepada ibunya. Sebagai seorang yang kaya raya, Ouwyang Cin dapat saja membuat pesta setiap hari, karena ternak tinggal potong, bumbu-bumbu sudah sedia, tukang masakpun ada. Segera terjadi kesibukan di dapur, dipimpin oleh Nyonya Ouwyang Cin, dan dibantu pula oleh Ouwyang Kim.
"A Kim, siapa sih tamu-tamunya maka harus dibuatkan jamuan besar segala?" "Tamunya itu seorang di antara Bu-tek Cap-sha-kwi, ibu, namanya Coa Kun dan julukannya Bu-tek Kiam-mo, julukan yang mergandung kesombongan besar. Akan tetapi bukan karena dia itu berjuluk Setan Pedang Tanpa Tanding maka dia dijamu ayah, melainkan karenadia mengaku sebagai utusan Yang Mulia."
Wanita cantik yang lembut itu memandang kepada puterinya dengan heran. "Yang Mulia? Siapa itu?"
"Aku tidak tahu, ibu. Coa Kun itu menyerahkan surat dan barang hadiah yang serba mahal. Setelah membaca surat itu, ayah kelihatan senang sekali dan menjamu Coa Kun yang tadinya sama sekali tidak dihormatinya. Jelas bahwa yang mengutus orang itulah yang dihormati ayah, dan aku tidak tahu siapa itu Yang Mulia."
"Sebutan Yang Mulia hanya ditujukan kepada kaisar atau raja atau orang yang besar kedudukannya. Kalau Kaisar, kiranya tidak mungkin mengirim hadiah dan surat kepada ayahmu, ah, aku khawatir ........." wanita itu termenung.
"Khawatir apa, ibu?" Ouwyang Kim bertanya.
"Ayahmu tentu hanya mengenal dua orang kaisar, yaitu kaisar Kerajaan Beng yang baru berdiri duapuluh tahun, dan tentu saja kaisar lama, kaisar Mongol dari Kerajaan Goan yang sudah jatuh. Aku khawatir sekali karena aku sudah mendengar bahwa orang-orang Mongol berusaha untuk membangun kembali pemerintah Mongol yang sudah jatuh. Jangan-jangan ........ ayahmu didekati orang-orang Mongol untuk membantu mereka memberontak dan mendirikan lagi Kerajaan Mongol."
Gadis itu mengangguk-angguk. "Mungkin sekali, ibu. Akan tetapi, ayah memang seorang petualang yang tidak pantang melakukan apa saja demi keuntungan ........" suara gadis itu terdengar penuh kedukaan. Ia sependapat dengan ibunya, yaitu bahwa pekerjaan seperti yang dilakukan ayahnya, menjadi datuk para bajak laut, merupakan pekerjaan yang jahat dan tidak baik. Pada dasarnya, ibu gadis itu seorang wanita Jepang, puteri seorang samurai yang berjiwa lembut dan tidak suka melihat perbuatan jahat dan kekerasan sehingga ketika menjadi isteri seorang seperti Tung-hai-liong seorang datuk yang hidupnya penuh dengan kekerasan, ia hidup dalam keadaan batin tertekan dan menderita.
"Akan tetapi, menjadi pemberontak? Ini sudah keterlaluan, A Kim. Berbahaya sekali pekerjaan itu. Bagaimana mungkin menentang pemerintahan yang mempunyai ratusan ribu pasukan? Sebaiknya kalau ayahmu tidak melibatkan diri dengan pemberontakan."
"Akan tetapi, belum tentu surat itu datang dari pemberontak Mongol, ibu."
"Syukurlah kalau begitu. Akan tetapi hatiku tidak enak, A Kim. Engkau harus dapat memperoleh keterangan yang jelas.
Kalau benar dugaanku bahwa ayahmu didekati pemberontak, kita berdua harus mencegahnya dan membujuknya. Maniyoko tidak bisa kita harapkan, selalu mentaati ayahmu sampai mati."
"Ibu, andaikata benar demikian dan kita tidak berhasil membujuk ayah? Ibu tahu akan kekerasan hati ayah."
"Kalau begitu, kita harus menentangnya! Maksudku, engkau harus menentangnya karena aku sejak kecil tidak suka mempelajari ilmu silat. Aku tidak suka melihat ayahmu memberontak. Engkau harus berjuang untuk menentang pemberontakan itu sehingga engkau akan dapat mencuci noda karena perbuatan ayahmu. Aku tidak ingin melihat engkau kelak dihukum karena menjadi anak pemberontak. Nah, tidak perlu engkau membantu di dapur, A Kim. Keluarlah dan ikutlah dengan mereka bercakap-cakap. Engkau seorang ahli silat, engkau pantas saja untuk ikut berbincang. Akan tetapi jangan tergesa-gesa mencela ayahmu di depan tamu. Aku ingin engkau mengetahui sepenuhnya siapa Yang Mulia yang mengirim surat kepada ayahmu itu dan bagaimana bunyi suratnya."
Ouwyang Kim yang sejak kecil lebih dekat kepada ibunya dari pada ayahnya, kecuali kalau ia sedang berlatih silat, mengangguk dan iapun meninggalkan dapur, kembali ke ruangan tamu di mana ayahnya masih bercakap-cakap sambil minum arak harum yang membuat lidah mereka lebih lancar bicara. Melihat puterinya muncul, Ouwyang Cin tidak menegurnya. Puterinya itu memang tidak dipingit seperti para gadis lainnya, namun dibiarkan bebas dan sudah biasa puterinya hadir kalau dia sedang menerima tamu penting.
"Sumoi, apakah engkau tidak membantu subo yang sibuk di dapur?" Maniyoko bertanya, nadanya tidak menegur dan halus. Dia selalu bicara halus kepada sumoinya itu.
Ouwyang Kim cemberut. "Suheng, kenapa aku saja yang harus membantu selalu? Kenapa tidak engkau yang sekarang membantu? Aku ingin mendengar percakapan ayah dengan tamu penting ayah, aku ingin sekali tahu, siapa sih yang disebut Yang Mulia itu? Apakah Kaisar atau Raja?"
Bu-tek Kiam-mo Coa Kun mengerutkan alisnya, khawatir melihat gadis cantik yang bebas itu. Sungguh berbahaya membuka sebuah rahasia kepada seorang gadis seperti ini, pikirnya. Akan tetapi agaknya Ouwyang Cin mengerti akan kekhawatiran tamunya, maka dia tertawa bergelak.
"Ha..ha..ha, saudara Coa Kun, harap jangan khawatir.
Anakku Ouwyang Kim ini selain dapat dipercaya, juga ia bukan seorang gadis lemah. Dan aku tidak biasa menyimpan rahasia terhadap puteriku sendiri. A Kim, yang disebut Yang Mulia itu adalah wakil Kaisar Kerajaan Goan .......".
"Bukankah Kerajaan Goan itu Kerajaan Mongol ayah? Dan bukankah sekarangsudah tidak ada lagi Kerajaan Mongol itu?"
"Ha..ha..ha, kaulihat saudara Coa Kun, betapa cerdiknya puteriku ini. Jangan pandang ringan anakku ini! Benar, A Kim, akan tetapi kau keliru kalau mengira bahwa Kerajaan Goan sudah tidak ada. Kerajaan itu masih ada, hanya untuk sementara ini menyingkir karena dikalahkan pemberontak duapuluh tahun yang lalu. Sekarang sedang menyusun kekuatan dan menawarkan kerja sama dengan ayahmu."
"Aih, ayah main-main saja. Aku tidak percaya!" kata Ouwyang Kim cemberut.
"Ha..ha, kaubaca sendiri suratnya!" Ayahnya melemparkan surat itu dan Ouwyang Kim menyambutnya, lalu membacanya, cepat sekali, lalu mengembalikannya kepada ayahnya. Ia sudah hafal akan isinya dan bahkan ia mengingat-ingat dan mencatat bentuk tulisan yang indah itu.
"Sekarang aku baru percaya, ayah."
"Dan bagaimana pendapatmu?" tanya ayahnya.
Coa Kun menatap tajam wajah gadis itu karena dia ingin sekali mendengar pendapatnya. Bagaimanapun juga dia lebih percaya kepada Maniyoko dari pada gadis ini.
Ouwyang Kimmemandang kepada Coa Kun dan tiga orang temannya, lalu menoleh kepada ayahnya dan tersenyum. "Aku tidak mempunyai pendapat, ayah. Urusan itu sama sekali tidak menarik hatiku, yang lebih menarik adalah tamu kita ini." Ia memandang kepada Coa Kun sambil tersenyum.
"Ehh? Apa maksudmu, A Kim? Apanya yang menarik pada diri saudara Coa Kun ini?" Ayahnya bertanya heran, mengira bahwa puterinya tertarik kepada tamu pria yang usianya sudah limapuluhan tahun lebih itu.
"Yang menarik hatiku adalah pedang di punggungnya dan nama julukannya, ayah. Paman Coa Kun engkau dijuluki orang Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding)! Tanpa Tanding atau tak terkalahkan, bukan main! Aku jadi ingin sekali minta pelajaran dalam ilmu pedang darimu, paman, karena aku yakin bahwa dari seorang jago pedang yang tak pernah terkalahkan, aku akan mendapatkan banyak petunjuk "
"Sumoi .........," Maniyoko terkejut mendengar ini.
"Aih, nona harap jangan main-main dengan pedang ......" Bu-tek Kiam-mo berkata sambil tersenyum lebar, ada rasa bangga mendapat pujian seorang gadis cantik, akan tetapi juga perasaan tidak enak karena yang menantangnya mengadu ilmu pedang adalah puteri tuan rumah.
Akan tetapi, Tung-hai-liong Ouwyang Cin tertawa bergelak, hatinya senang sekali. "Apa yang dikatakanputeriku memang benar. Kami sudah lama mendengar nama besar Cap-sha Butek-kwi, dan kebetulan yang datang berkunjung adalah seorang di antara mereka yang ahli pedang. Puteriku memang suka sekali mempelajari ilmu pedang, oleh karena itu, harap saudara Coa Kun tidak terlalu pelit untuk memburu sekedar petunjuk untuk puteriku, agar menambah pengetahuannya yang dangkal dan pengalamannya yang sempit."
Ucapan merendah ini bukan timbul karena kerendahan hati, melainkan karena diam-diam kakek datuk inipun memandang rendah tamunya dan dia yakin puterinya akan mampu menandingi Bu-tek Kiam-mo karena dia tahu akan kelihaian puterinya.
Mendengar ucapan itu, Bu-tek Kiam-mo merasa seolah-olah kepalanya menjadi membengkak besar dan hatinya yang memang sombong itu menjadi senang bukan main. Inilah kesempatan untuk pamer, memamerkan kepandaiannya tanpa memberi kesan pamer kepada pihak tuan rumah. "Tapi pedang adalah benda mati, aku khawatir kalau kesalahan tangan dan melukai nona." Kembali dalam ucapan ini terkandung kesombongan, seolah-olah dia sudah yakin akan mengalahkan nona itu dan takut kalau sampai melukainya.
"Ha..ha, dalam pertandingan pedang, biasalah kalau ada yang terluka. Akan tetapi kami yakin bahwa saudara Coa Kun akan bermurah hati dan tidak sampai melukai A Kim terlampau parah," kata pula Ouwyang Cin.
Mendengar semua ucapan itu, senanglah hati Ouwyang Kim. la memang sengaja mencari akal menantang tamu ayahnya itu untuk membikin malu kepadanya dan untuk melampiaskan hatinya yang mendongkol melihat ayahnya terbujuk dalam persekutuan pemberontak dengan orangorang Mongol. Melihat ayahnya sudah menyetujui, gadis itu sudah mencabut pedangnya dan ia pergi ke tengah ruangan yang luas itu. "Kurasa ruangan ini cukup luas untuk bermain pedang. Suheng, tolong angkut kursi dan meja itu ke tepi agar tempatnya lebih luas."
Ouwyang Cin memberi isyarat agar Maniyoko melaksanakan permintaan sumoinya itu dan dia sendiri memandang kepada Coa Kun dan tiga orang temannya dengan tertawa. "Marilah, saudara Coa Kun harap jangan sungkan. Sambil menanti selesainya hidangan, mari engkau memberi petunjuk kepada A Kim"
Melihat tempat itu sudah diperluas dengan disingkirkannya meja kursi ke tepi, dan melihat gadis itu sudah siap dengan pedang di tangan, Coa Kun tersenyum dan menganggukke arah tuan rumah. "Kalau memang dikehendaki, baiklah. Mari kita main-main sebentar, nona."
Berkata demikian, tangan kanannya bergerak ke atas kepala dan tiba-tiba saja dia sudah mencabut pedangnya.
Gerakannya memang cepat dan pedang itu mengeluarkan sinar ketika dia menggerakkannya dan dia sudah meloncat ke depan Ouwyang Kim, memasang kuda-kuda yang gagah sekali.
Melihat lawan sudah siap, Ouwyang Kim lalu berseru, "Butek Kiam-mo, bersiaplah dan lihat seranganku!" Iapun menggerakkan pedangnya, mulai menyerang dan begitu menyerang, ia menggunakan jurus dari Jit-ong-kiamsut yang amat hebat. Bukan main kagetnya hati Coa Kun melihat sinar terang dari pedang gadis itu menyambar ke arah dadanya.
Pedang itu diputar sedemikian rupa sehingga merupakan gulungan sinar terang yang meluncur ke dadanya. Sebagai seorang ahli pedang, dia mengenal jurus pedang yang amat berbahaya, maka diapun cepat meloncat ke belakang sambil memutar pedangnya membentuk perisai untuk melindungi dirinya.
"Trang..trang..trang .........!!" berulang kali kedua pedang itu bertemu di udara dan nampak bunga api berpijar menyilaukan mata. Kembali Coa Kun terkejut setengah mati karena setiap kali pedangnya bertemu pedang lawan, lengannya terasa hampir lumpuh karena terserang getaran yang amat kuat.
Dan Ouwyang Kim tidak menghentikan serangannya, melainkan menyerang dan mendesak terus dengan ilmu pedang Raja Matahari yang gerakannya asing dan aneh bagi Coa Kun. Hal ini tidak mengherankan karena memang ilmu pedang itu dirangkai oleh Tung-hai-liong dari berbagai ilmu pedang bercampur dengan ilmu samurai Jepang! Coa Kun mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk melindungi dirinya. Gadis itu sama sekali tidak memberi kesempatan kepadanya terus menyerangnya secara bertubitubi dan karena memang setiap serangan itu amat berbahaya, Coa Kun hanya mampu mengelak dan menangkis, tanpa mampu membalas sejuruspun! Begitu bergebrak, dia terus diserang dan makin lama serangan gadis itu semakin berat dan berbahaya. Dia tahu bahwa kalau gadis itu menghendaki, sebelum tigapuluh jurus saja tentu dia dapat dirobohkan dengan dada tertembus pedang atau leher putus! Si Setan Pedang Tanpa Tanding itu sudah mandi keringat dan wajahnya pucat. Betapa akan malunya kalau sampai dia terluka. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa gadis puteri datuk itu sedemikian lihainya walaupun dia tahu bahwa ayah gadis ini memang seorang datuk yang sakti. Jangankan baru dia seorang, biar dia dibantu tiga orang temannya itupun belum tentu dia akan mampu mengalahkan Ouwyang Kim.
Lebih baik malu sedikit dari pada malu banyak.
"Cukup, nona, saya mengaku kalah!" serunya dan diapun melompat jauh ke belakang. Biarpun dia malu, akan tetapi setidaknya dia selamat dari menderita luka. Wajahnya pucat dan dia masih mandi keringat.
Ouwyang Kim tersenyum. Gadis ini nampak biasa saja, tidak berkeringat, dan tidak nampak lelah. Sudah tercapai apa yang ia kehendaki, yaitu membikin malu tamu ini untuk memperlihatkan ketidak senangan hatinya bahwa ayahnya dilibatkan dalam persekutuan pemberontak. la menyimpan pedangnya dan mengangguk kepada Coa Kun.
"Terima kasih atas petunjuk Bu-tek Kiam-mo!" Tentu saja ucapan itu dimaksudkan untuk mengejek.
Dengan mengesampingkan rasa malunya, Coa Kun memperlihatkan giginya yang kuning. "Heh..heh di depan locianpwe Tung-hai-liong dan puterinya, saya tidak berani menggunakan julukan itu. Kiamsut dari siocia amat tangguh dan hebat, belum pernah saya menemui ilmu pedang sehebat itu!" Dia mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada tuan rumah dan puterinya, laluberkata lagi, "Sungguh pilihan Yang Mulia amat tepat. Dengan bantuan locianpwe dan nona, tentu kedudukan kita akan menjadi jauh lebih kuat."
"Ahh, saudara Coa Kun. Yang Mulia hanya mengajak aku, dan aku hanya akan berkunjung bersama muridku, Maniyoko ini. Anakku akan tinggal di rumah menemani ibunya dan menggantikan aku menerima kunjungan para sahabat kami,"
kata Ouwyang Cin yang tidak ingin puterinya ikut pula dalam pekerjaan besar itu. Pula, di rumah perlu ada wakilnya untuk menerima sumbangan sebagai semacam upeti dari para pimpinan gerombolan sesat di perairan ataupun di pantai.
Maniyoko mengatur kembali meja kursi dan kini mereka duduk lagi bercakap-cakap dan sekali ini ditemani oleh Ouwyang Kim. Gadis pendiam ini tidak ikut bicara, melainkan sebagaipendengar yang mencatat semua percakapan itu di hatinya. Tahulah ia bahwa ayahnya memang telah menerima uluran tangan dari Yang Mulia, yaitu tokoh yang mewakili Kerajaan Goan atau kerajaan orang-orang Mongol yang mengadakan gerakan rahasia di kota raja dan yang berniat untuk membangun kembali kerajaan Goan yang sudah jatuh duapuluh tahun yang lalu.
Singkatnya, ayahnya telah bersekutu dengan golongan pemberontak dengan janji bahwa kalau kelak gerakan itu berhasil, pemerintah Kerajaan Beng dapat digulingkan dan Kerajaan Goan bangun kembali, ayahnya akan diberi pangkat raja muda yang berkuasa di daerah timur. Dan ayahnya akan pergi bersama Maniyoko ke kota raja menghadap Yang Mulia dan menerima tugas.
Menurut keterangan Coa Kun yang didesak ayahnya, mungkin sekali ayahnya mendapat tugas untuk bekerja sama dengan mereka, merampas kedudukan bengcu atau pimpinan kangouw yang akan diadakan di puncak Thai-san tahun depan, sebulan sesudah tahun baru, dan membantu orang yang ditunjuk oleh Yang Mulia agar menjadi bengcu.
Pendeknya, ayahnya harus membantu anak buah Yang Mulia untuk mencegah agar kedudukan bengcu jangan terjatuh ke tangan orang yang setia kepada Kerajaan Beng. Kalau kedudukan itu terjatuh ke tangan orang-orang Mongol, tentu mereka akan dapat mengerahkan seluruh dunia kang-ouw untuk membantu gerakan orang Mongol menggulingkan Kerajaan Beng dan mendirikan kembali Kerajaan Goan! Percakapan dilanjutkan ketika hidangan dikeluarkan. Sambil makan minum mereka bercakap-cakap, dan Ouwyang Kim hanya mendengarkan saja dengan sikap acuh, pada hal diamdiam ia memperhatikan dan mencatat semua pembicaraan.
Setelah selesai makan minum sampai kenyang, Coa Kun dan tiga orang temannya pamit dan mereka meninggalkan rumah keluarga Ouwyang membawa hadiah yang diberikan secara royal oleh Ouwyang Cin untuk menghormati utusan Yang Mulia dari kota raja itu.
Baru setelah para tamu pergi, Ouwyang Kim menceritakan semuanya kepada ibunya. Wanita itu merasa khawatir sekali dan bersama puterinya, ia lalu menasehati suaminya agar tidak melibatkan diri dalam pemberontakan.
"Langkahmu sudah terlalu jauh," demikian antara lain isteri yang gelisah itu memberi nasihat, "mengapa tidak dipikir secara mendalam? Menempatkan diri sebagai sekutu pemberontak sungguh amat berbahaya, menyeret seluruh keluargamu dalam bahaya. Di dunia kang-ouw engkau boleh saja mengandalkan kepandaian untuk menjagoi akan tetapi apa dayamu menghadapi balatentara kerajaan? Sebagai pemberontak, engkau akan berhadapan langsung dengan pemerintah dan kalau tertangkap, hukumannya hanya satu yaitu mati berikut seluruh keluarga." Ouwyang Kim juga membujuk ayahnya. "Mengapa ayah percaya kepada seorang semacam Coa Kun itu? Ayah melihat sendiri, omongannya saja besar, julukannya besar akan tetapi buktinya, dia tidak ada gunanya. Kalau utusannya seperti itu, tentu yang mengutusnya juga tidak banyak artinya."
"Ha..ha..ha, kalian tidak mengerti. Gerakan ini bukan sekedar pemberontak biasa. Yang memimpin gerakan ini adalah Para pangeran Kerajaan Goan yang berhasil mengungsi ke utara. Kini mereka datang ke selatan dan menyusun kekuatan untuk membangun kembali Kerajaan Goan. Tentang siapa yang berkuasa, apa perduliku? Akan tetapi, mereka mengirim hadiah yang amat berharga, dan selain itu, mereka menjanjikan bahwa kelak kalau gerakan berhasil, aku akan diberi kedudukan raja muda yang berkuasa di daerah timur.
Kalian dengar? Raja muda! Kalian akan menjadi isteri dan puteri raja muda! A Kim, engkau akan menjadi seorang puteri sejati, bangsawan tinggi. Dan tentang Yang Mulia itu, aku sendiri tentu tidak akan sudi menghambakan diri kepada orang yang tidak mampu. Aku akan melihat orang macam apa adanya dia."
Percuma saja ibu dan anak itu membujuk. Nafsu daya rendah memang teramat kuat dan setiap orang manusia selalu gagal menundukkannya. Kebutuhan kita hidup dalam dunia amatlah terbatas. Untuk mempertahankan kehidupan ini, cukuplah dengan sandang pangan dan papan sekadarnya.
Akan tetapi keinginan atau pengaruh nafsu tidak mengenal batas, tidak pernah merasa cukup atau puas.
Nafsu adalah angkara murka, pementingan diri sendiri yang tanpa batas. Segala daya upaya dalam kehidupan diarahkan demi menyenangkan si aku, atau nafsu. Namun, nafsu tak pernah puas, kesenangan yang diperoleh segera terganti kebosanan dan dengan liar mencari kesenangan lain yang belum diperolehnya. Hati akal pikiran sudah pula digelimangi nafsu sehingga hati dan pikiran selalu membela kepentingan nafsu dengan mengajukan berbagai dalih dan alasan untuk membenarkan tindakan yang didorong nafsu. Pengaruh nafsu selalu menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, dan tujuan itu tiada lain pasti sesuatu yang dianggap menyenangkan si aku. Nafsu bagaikan api berkobar, makin diberi umpan semakin besar nyalanya dan semakin tamak ingin melahap segala yang ada.
Nafsu yang timbul dari daya rendah disertakan manusia sejak lahir bukan merupakan kutukan. Sebaliknya malah, nafsu merupakan anugerah dari Tuhan Maha Pengasih yang amat mengasihi manusia sebagai ciptaanNya. Nafsu mutlak perlu bagi kita dalam kehidupan di dunia ini. Tanpa adanya nafsu kita tidak akan hidup seperti sekarang ini, bahkan mungkin saja manusia tidak akan dapat berkembang biak seperti sekarang.
Nafsu yang bekerja sama dengan hati akal pikiran membuat manusia dapat membuat segala benda yang dibutuhkan dalam hidup ini, dapat membuat kehidupan menjadi menyenangkan. Nafsu yang berada di panca indra yang membuat kita dapat merasakan segala kenikmatan hidup. Yang dinamakan kemajuan di bidang apa saja adalah hasil dorongan nafsu pada hati akal pikiran manusia.
Mata kita dapat menikmati penglihatan indah, hidung kita dapat menikmati penciuman harum, telinga kita dapat menikmati pendengaran merdu, dan selanjutnya. Tanpa adanya nafsu yang menimbulkan gairah, sukar membayangkan bagaimana kehidupan ini. Kosong, hampa dan tidak menarik. Kasih sayang Tuhan terbukti dengan diikutsertakan nafsu kepada kita.
Seperti api, kalau kecil dan terkendali, nafsu amatlah bermanfaat bagi kehidupan. Sebaliknya, kalau membesar dan tidak terkendali, segalanya akan terbakar habis! Jadi masalahnya, nafsu harus terkendali lalu bagaimana kita dapat mengendalikannya? Pertanyaan ini selalu diajukan manusia sejak sejarah tercatat, dan sampai kinipun manusia masih selalu berusaha dengan segala macam cara untuk menguasai atau mengendalikan, nafsunya sendiri. Melalui tuntunan agama, melalui keprihatinan, pertapaan, penyiksaan diri dan segala macam cara lagi ditempuh manusia demi untuk dapat menguasai dan mengendalikan nafsu.
Namun betapa pahitnya kenyataan itu, ialah bahwa jarang sekali ada manusia yang berhasil dalam usahanya itu. Ada yang sudah bertapa di tempat sunyi sampai bertahun-tahun, tetap saja tidak mampu mengendalikan nafsunya. Ketika berada di puncak gunung yang sunyi, nampaknya seolah dia berhasil menidurkan nafsunya. Akan tetapi begitu ia turun gunung, nafsunya bergejolak, bahkan menjadi semakin liar, lebih kuat dari pada sebelum dia bertapa. Mengapa demikian? Semua usaha hati akal pikiran untuk mengendalikan nafsu, sebagian besar gagal karena hati akal pikiran juga sudah digelimangi nafsu. Jadi, menggunakan hati akal pikiran untuk menguasai nafsu! Tidak aneh kalau gagal! Pengetahuan dan pengertian hati akal pikiran saja tidak mungkin dapat mengalahkan nafsu. Semua orang yang melakukan perbuatan tidak baik tentu tahu dan mengerti bahwa perbuatannya itu tidak baik, namun tetap saja mereka melakukannya dan mengulanginya. Kadang sesal datang setelah berbuat, namun begitu nafsu datang mendorong, tidak ada kekuatan dalam diri untuk menahannya, bahkan akal pikiran dan hatipun tidak berdaya, bahkan menjadi pembela dari perbuatan yang terdorong nafsu.
Kita dihadapkan pada jalan buntu. Kita tidak dapat hidup tanpa nafsu, akan tetapi kitapun terseret ke dalam dosa oleh nafsu, dan kita tidak berdaya untuk mengendalikan lalu bagaimana? Hanya ada satu pemecahannya, yaitu mengembalikannya kepada Sang Maha Pencipta. Tuhan yang menciptakan nafsu, maka hanya Tuhan yang akan dapat mengembalikan nafsu kepada kedudukan dan tugasnya yang semula, yaitu menjadi peserta dan pelayan bagi manusia hidup di dunia, bukan sebagai majikan. Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang akan mampu mengembalikan api nafsu itu menjadi api kecil yang terkendali sehingga amat bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Oleh karena itu, hanya dengan penyerahan yang tulus ikhlas, penuh kesabaran dan ketawakalan, kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, maka segalanya akan kembali teratur, sesuai dengan kehendak Tuhan, terjadi karena, kuasa Tuhan. Tidak ada cara atau jalan lain! Hati akal pikiran yang merupakan alat seperti juga anggauta tubuh lainnya, kita pergunakan untuk keperluan lahiriah, bekerja dan sebagainya. Adapun urusan rohaniah kita menyerah kepada kekuasaan Tuhan.
Sia-sia saja Ouwyang Kim dan ibunya membujuk dan manasihati Ouwyang Cin yang telah menjadi hamba nafsunya sendiri sehingga akhirnya ibu dan anak itu mengundurkan diri.
Bahkan ketika Ouwyang Cin dan Maniyoko berangkat menuju ke kota raja, Ouwyang Kim tidak diperkenankan ikut.
"Engkau di rumah saja, A Kim. Engkau mewakili ayah menerima kunjungan para sahabat dan menerima sumbangan mereka dan mencatatnya, dan temani ibumu. Pekerjaan mewakili ayah inipun penting dan jangan diabaikan."
Demikian pesannya kepada Ouwyang Kim. Gadis itu tidak dapat membantah walaupun ia sebetulnya ingin sekali pergi untuk melindungi ayahnya karena ia seperti juga ibunya, khawatir kalau-kalau langkah yang diambil Ouwyang Cin itu akan menjerumuskan kepada bencana bagi diri sendiri.
15. Misteri Pada Pangeran Mahkota.
SETELAH Ouwyang Cin pergi, isterinya yang lembut hati itu menangis. Sudah terlalu banyakair mata ditumpahkan wanita ini sejak ia menjadi isteri datuk itu. Ia sendiri adalah puteri seorang pendekar samurai yang baik hati, yang menentang kejahatan dan kini ia menjadi isteri seorang datuk sesat! Maka, pukulan paling hebat kini dirasakan ketika suaminya menjadi sekutu komplotan pemberontak. Melihat ibunya menangis, A Kim merangkulnya.
"Ibu, harap ibu jangan khawatir. Aku akan pergi ke kota raja dan aku akan menentang semua usaha pemberontakan itu. Dengan demikian, maka aku akan dapat menebus dosa dan noda yang dilakukan ayah. Syukur kalau aku dapat menyadarkan ayah sebelum terlambat."
Ibunya mengangguk pasrah. Ia tahu bahwa hanya itulah satu-satunya jalan bagi mereka. Ia harus merelakan puterinya karena ia sendiri tidak mampu berbuat sesuatu. Kalau usaha mereka dengan bujukan kata-kata tidak berhasil, maka harus dilanjutkan dengan tindakan untuk mencegah suaminya menjadi seorang pemberontak.
"Hati-hatilah, A Kim. Ibu selalu mendampingimu dengan doa. Tidak ada di antara nenek moyangmu yang menjadi pemberontak, baik nenek moyangmu di Jepang maupun yang berada di negeri ini. Sudah menjadi kewajibanmu untuk menyelamatkan ayahmu, walau dengan taruhan nyawa."
Demikianlah, pada hari itu juga, Ouwyang Kim atau A Kim berangkat menuju ke Nan-king, ibu kota Kerajaan Beng, menyusul ayah dan suhengnya.
JJJ Sesosok bayangan berkelebat seperti burung garuda terbang saja di atas atap sebuah rumah makan kecil yang berada di sudut kota raja. Tanpa menimbulkan suara bayangan itu melompat turun dan beberapa detik kemudian dia sudah berada di jalan raya yang sudah sepi karena malam sudah larut. Dia adalah Sin Wan.
Tadi dia membayangi seorang yang dianggap mencurigakan. Ketika orang itu memasuki rumah makan, tempat itu segera ditutup dari dalam dan diapun mengintai dari atap. Dilihatnya orang itu berbisik-bisik dengan tiga orang lain di dalam rumah makan kecil itu. Maka, dia cepat meninggalkan tempat itu dan langsung melapor kepada Bhokciangkun. Bhok Cun Ki yang memang selalu mempersiapkan pasukan keamanan, cepat mengirim seregu pasukan terdiri dari duabelas orang yang dipimpin sendiri oleh Sin Wan, menggerebek rumah makan itu. Akan tetapi apa yang dia temukan? Hanya sebuah rumah kosong. Tak seorangpun berada di situ dan jelas bahwa penghuni rumah makan itu telah melarikan diri sebelum pasukan tiba. Padahal, dia bergerak cepat dan tidak ada yang mengetahuinya.
Sin Wan merasa penasaran sekali. Sudah beberapa kali sejak dia berada di rumah Bhok Cun Ki dan melakukan penyelidikan, selalu usahanya menangkap mata-mata atau orang yang dicurigai gagal. Pernah beberapa hari yang lalu, menjelang tengah malam, dia mengejar sesosok bayangan yang mencurigakan dan bayangan itu lenyap begitu saja di dekat pintu gerbang pagar yang membentengi istana! "Sungguh aneh sekali," dia mengomel ketika kembali ke rumah keluarga Bhok dan berunding dengan panglima itu.
"Bagaimana mereka bisa mengetahui bahwa tempat itu akan digerebek?"
"Mungkin di antara mereka terdapat banyak orang pandai, sehingga dapat mengetahui gerakanmu. Kenapa tadi engkau tidak turun tangan sendiri saja menangkap mereka?" tanya Bhok Cun Ki.
"Saya ingin bekerja secara rahasia agar mereka tidak mengenal saya dan memudahkan penyelidikan saya, paman Bhok. Kalau sekali mereka mengenal saya, tentu akan sulit bagi saya untuk melakukan penyelidikan. Karena itulah saya ingin agar pasukan keamanan yang menangkap mereka."
"Kurasa tidak perlu begitu, Sin Wan. Lambat laun mereka tentu akan mengenalmu juga. Pula, bantuanmu melakukan penyelidikan terhadap jaringan mata-mata di kota raja hanya sementara saja. Tugas kita yang utama adalah mengamati pemilihan bengcu di puncak Thai-san. Tugas keamanan di kota raja akan ditangani sendiri oleh Jenderal Yauw."
"Saya belum mengenal benar Jenderal Yauw. Dia sangat teliti dan keras. Apakah dia lihai?"
Bhok Cun Ki mengangguk-angguk. "Di antara jagoan kota raja, dialah yang nomor satu. Aku sendiri agaknya akan.sukar untuk menandinginya. Dialah yang menjadi guru para panglima muda di kota raja. Hanya dalam urusan perang dia kalah oleh Jenderal ShuTa. Akan tetapi dalam hal ilmu silat, dia lihai bukan main. Diapun amat keras dan entah sudah berapa orang yang dicurigai sebagai mata-mata disiksa sampai mati kalau terjatuh ke tangannya."
Sin Wan mengelutkan alisnya. Dia sama sekali tidak suka mendengar kekejaman yang dilakukan seseorang terhadap orang lain. Akan tetapi dia maklum bahwa begitulah kenyataannya. Kalau menusia sudah saling bermusuhan, apa lagi dalam perang, maka tidak ada makhluk lain di dunia ini yang lebih kejam dari pada manusia.
Akan tetapi dia sendiri akan selalu menuruti kata hati nuraninya. Dia selalu mendekati Tuhan dengan kepasrahannya, dengan imannya. Dia percaya bahwa Tuhan akan membersihkan perasaan hatinya dari benci, biar terhadap orang yang memusuhinya sekalipun. Dia memang bertekad untuk menentang kejahatan, akan tetapi perbuatannyalah yang dia tentang, bukan manusianya.
Dia sendiri akan memperlakukan seorang yang. dianggap jahat tidak dengan kebencian, melainkan dengan keadilan, dan dia akan berusaha agar orang yang melakukan penyelewengan itu dapat kembali ke jalan benar. Demikianlah pelajaran yang dahulu sering dia dengar dari mendiang ibunya tersayang, juga dari tiga orang gurunya, yaitu Sam-sian (Tiga Dewa). Pelajaran itu sesuai dengan suara hatinya. Kalau saja tidak ditugaskan oleh Ciu-sian agar dia mewakili gurunya itu, dia segan untuk melibatkan, diri dalam urusan kerajaan.
Setelah beberapa kali gagal menangkap mata-mata musuh, Sin Wan bertindak lebih hati-hati lagi. Beberapa hari kemudian, pada suatu malam ketika dia melakukan pengintaian sambil bersembunyi, dia melihat bayangan hitam berkelebat cepat sekali di dekat pagar tembok istana. Tentu saja dia menjadi curiga, khawatir kalau ada mata-mata musuh menyelundup ke istana dan melakukan kejahatan. Biarpun dia tahu bahwa kaisar sendiri dilindungi banyak pengawal yang rata-rata merupakan jagoan istana yang lihai, namun kalau ada orang luar menyelundup masuk ke istana kaisar maka hal itu amatlah berbahaya bagi keselamatan keluarga kaisar.
Diapun cepat membayangi orang itu. Akan tetapi, agaknya bayangan itu meragu dan tiba-tiba dia mengubah tujuan, tidak jadi melompati pagar tembok, melainkan membalik dan meninggalkan tempat itu.
Sin Wan sudah maklum bahwa orang itu memiliki ilmu berlari cepat yang tinggi, dan tubuhnya kelihatan ringan bukan main, maka dia menjadi semakin curiga dan ingin sekali mengetahui apakah orang itu termasuk kawan ataukah lawan.
Dia tahu bahwa pemerintah sendiri menyebar banyak penyelidik yang berilmu tinggi, maka melihat bayangan itu, tentu sajadia tidak dapat memastikan apakah orang itu matamata pemerintah ataukah mata-mata musuh. Maka, dia cepat membayangi ke mana orang itu pergi. Sin Wan bergerak dengan hati-hati sekali karena membayangi seorang yang memiliki gerakan ringan seperti itu, amatberbahaya dan setiap saat dapat saja orang itu memergokinya.
Benar dugaannya. Pada saat orang itu berlari cepat, tibatiba saja orang itu berhenti dan membalik. Akan tetapi Sin Wan lebih cepat lagi. Tubuhnya sudah bertiarap di tempat gelap sehingga tidakmungkin orang itu melihatnya. Orang yang dibayanginya itu kembali melanjutkan perjalanannya dan Sin Wan kagum.
Seorang yang cerdik, pikirnya. Kalau dia kurang cepat sedikit saja menjatuhkan diri bertiarap dalam bayangan gelap sebuah rumah, tentu dia akan diketahui dan akan sia-sialah pengintaiannya. Akhirnya, dari jarak yang agak jauh, dia melihat bayangan itu tiba di luar pagar tembok yang mengelilingi sebuah gedung besar, lalu bayangan itu membalik lagi, melihat ke sekeliling, kemudian barulah meloncatke atas pagar tembok itu dan menghilang.
Sin Wan termenung. Sebelum melakukan penyelidikan, dia sudah mempelajari seluruh keadaan kota raja dan dari Bhokciangkun dia memperoleh gambaran mengenai gedunggedung besar yang penting. Dia tahu bahwa gedung yang dimasuki bayangan itu adalah.sebuah gedung peristirahatan di luar istana yang menjadi milik Pangeran Chu Hui San, putera mahkota.
Dia sudah mendengar banyak tentang pangeran itu dari Bhok-ciangkun yang menceritakan dengan bisik-bisik bahwa pangeran yang menjadi calon pengganti kaisar itu adalah seorang yang setiap hari hanya berenang di dalam lautan kesenangan. Kelemahan putera mahkota itu adalah wanita, dan menurut keterangan rahasia dari Bhok-ciangkun, gedung itu menjadi tempat pelesir pangeran itu kalau dia berkencan dengan wanita-wanita yang bukan selir atau dayangnya! Dia tidak tahu apakah malam itu sang pangeran berada di gedung itu ataukah tidak, akan tetapi bagaimanapun juga, timbul kekhawatirannya. Bukan tidak mungkin ada mata-mata masuk untuk membunuh pangeran yang menjadi calon kaisar karena hal, ini akan menguntungkan pihak musuh dan akan mengacaukan keadaan. Berpikir demikian, Sin Wan lalu mendekati pagar tembok, mencari bagian yang gelap dan sepi di sebelah belakang dan tubuhnya melayang naik seperti seekor burung garuda saja, melompati pagar tembok dan beberapa detik kemudian dia sudah berada di taman bunga yang berada di belakang gedung.
Sin Wan menggunakan kepandaiannya, mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh), menyusup dan menyelinap di antara pohon-pohon dan semak di taman itu, mendekati gedung. Sunyi saja di sekitar gedung dan hal ini dia artikan bahwa malam itu sang pangeran tidak berada di situ. Kalau sang pangeran mahkota berada di situ, tentu terdapat pasukan pengawal yang menjaga keamanan. Hatinya sudah merasa agak lega, karena kalau sang pangeran tidak berada di situ, maka keselamatan pangeran mahkota itu tidak terancam bahaya.
Akan tetapi, kalau semua bagian gedung itu gelap, di bagian kiri dia melihat sebuah ruangan yangdipasangi lampu penerangan. Cepat dia menyelinap dan tak lama kemudian dia sudah mengintai di luar jendela ruangan itu. Sebuah ruangan yang luas dan nampak tiga orang duduk berhadapan terhalang meja. Agaknya mereka mengadakan perundingan. Akan tetapi yangmembuat dia terheran-heran adalah melihat mereka itu semua memakai kedok! Orang pertama bertubuh tinggi besar dengan perut gendut dan dia mengenakan pakaian ringkas serba hitam, bahkan topeng yang menutupi mukanya juga merupakan topeng hitam. Hanya nampak sepasang matanya yang mencorong melalui lubang pada topeng atau kedok itu. Agaknya dialah yang memimpin, karena sikapnya yang berwibawa dan sikap dua orang itu yang penuh hormat dan seperti menerima perintah dan mengangguk-angguk.
"Hamba mengerti, Yang Mulia," kata seorang yang mengenakan kedok hijau.
"Ingat, kalau tidak terpaksa, jangan melibatkan diri dalam perkelahian," kata Si Kedok Hitam yang disebut Yang Mulia itu, dan Sin Wan terkejut mendengar suara itu. Bukan seperti suara manusia, demikian parau dan dalam, seperti suara yang datang dari alam lain! "Pusaka apa yang harus didahulukan, Yang Mulia?" tanya orang yang mengenakan kedok biru.
"Apa saja, yang penting pusaka Kerajaan Goan, dan kalau ada, dahulukan cap-cap kebesaran atau bendera-bendera tanda kekuasaan, juga pedang-pedang tanda kekuasaan."
Selagi orang berkedok hijau hendak bicara, tiba-tiba Si Kedok Hitam memberi isyarat agar dia diam, dan tiba-tiba saja dia memutar tubuh ke kanan, tangannya bergerak dan sinar hitam meluncur dengan cepat sekali ke arah jendela di mana Sin Wan mengintai! Serangan itu hebat bukan main dan ternyata ada tiga batang paku beracun yang meluncur sedemikian cepatnya sehingga dapat menembus kain jendela dan menyerang mata, tenggorokan dan dada Sin Wan! Akan tetapi, pemuda ini dengan tenang namun lebih cepat dari sambaran senjatasenjata rahasia sudah melempar tubuh ke samping dan bergulingan sehingga tiga batang paku itu mengenai dinding di belakangnya dan runtuh ke lantai mengeluarkan bunyi berdenting. Ketika dia bergulingan itu, dia mendengar suara parau aneh itu memerintahkan dua orang tadi untuk segera pergi.
"Cepat kalian pergi, biar kubinasakan pengintai itu!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar