"Cu-lihiap (pendekar wanita Cu)!" kata mereka sambil memberi hormat dan pandang mata Ramamurti melekat kepada gadis yang berdiri di sebelah kiri Cu Sui In. Betapa cantik jelita dan manisnya gadis itu, pikirnya dengan hati berdebar girang. Gadis secantik bidadari ini yang diusulkan menjadi isterinya? Seribu kali dia setuju! "Saudara Balkan, dan Pangeran Ramamurti, selamat datang dan silakan duduk. Perkenalkan, ini adalah sumoiku bernama Tang Bwe Li atau yang biasa kami panggil Lili."
"Tang-siocia (nona Tang)!" kata Balkan memberi hormat yang segera dibalas sambil lalu oleh Lili.
"Nona Lili? Ah, kiranya nona adalah seorang puteri yang cantik jelita sepertibidadari ......" kata Pangeran Ramamurti.
Lili tersenyum geli karena merasa lucu. Sikap pangeran itu mengingatkan ia akan pertunjukan sandiwara di panggung yang pernah ditontonnya ketika ia bersama Sui In merantau ke daerah timur yang ramai.
"Apakah engkau ini seorang pangeran sungguhan? Seorang pangeran aseli?" ia bertanya.
"Lili!" bentak sucinya. "Jangan main-main di depan pangeran!"
"Aih, suci, aku tidak main-main. Aku hanya bertanya karena dia mengingatkan aku akan pangeran yang kita lihat bermain dipanggung sandiwara itu. Betul tidak, suci?"
Mau tidak mau Sui In tersenyum geli. Lili memang gadis lincah jenaka yang jujur dan tak pernah mengenal takut.
"Hushh, jangan sembarangan saja. Dia ini adalah seorang pangeran sejati, Pangeran Ramamurti dari Kerajaan Bhutan."
"Ah, kiranya begitu? Maaf, karena yang membedakan antara orang biasa dan pangeran hanya pakaiannya, dan yang dipanggung itupun memakai pakaian seperti itu. Selamat datang pangeran dan silakan duduk," kata Lili dengan sikap wajar sehingga Pangeran Ramamurti tidak tersinggung, bahkan merasa gembira sekali. Saking girangnya, dia menoleh kepada pamannya dan berkata dalam bahasanya sendiri, bahasa Bhutan, "Paman, aku mau, Paman, mau sekali ..... aku setuju ......!" Tiba-tiba Lili bertanya, "Engkau mau apa, pangeran? Mau sekali apa? Dan apa yang kau setujui tadi?"
Pangeran Ramamurti menjadi kaget setengah mati.
Mukanya berubah kemerahan. Tak disangkanya bahwa Lili mengerti bahasa Bhutan! Gadis ini memang seorang kutu buku, suka mempelajari bahasa-bahasa. Bukan saja bahasa Bhutan, Nepal, juga bahasa Tibet dan bahasa daerah lainnya ia pelajari.
"Eh ..... ah .... mau anu ...... mau duduk, aku ...... aku setuju untuk duduk dan bicara ......." jawab pangeran itu gagap. Lili mengerutkan alis dan tertawa geli karena ia sendiri sama sekali tidak tahu apa maksud kunjungan ini, sama sekali tidak mengira bahwa yang dimaksudkan pangeran itu adalah mau dan setuju sekali menikah dengannya! Akan tetapi di dalam kagetnya, pangeran itu menjadi semakin kagum dansuka mendengar gadis itu pandai pula berbahasa Bhutan. Sungguh sukar dicari keduanya gadis seperti ini. Cantik jelita, pandai ilmu silat dan tentu boleh diandalkan sebagai sumoi dari Cu Sui In yang telah dia lihat sendlri kelihaiannya, ditambah pandai berbahasa Bhutan pula.
"Pangeran Ramamurti, dan saudara Balkan, sebelum kita membicarakan urusan mari kupersilakan menghadap ayahku dulu, kemudian menerima sambutan kami dengan jamuan makan. Setelah itu; baru kita bicara."
Tentu saja pihak tamu, pangeran dan pamannya itu hanya dapat menerima, apalagi perjalanan jauh membuat mereka lelah, haus dan lapar. Sambutan dengan jamuan makan, tentu saja akan menyenangkan sekali. Mereka lalu diantar memasuki ruangan dalam di mana See-thian Coa-ong telah menanti dengan sikap acuh.
Lili yang belum mengetahui bahwa kunjungan itu bermaksud melamar dirinya, mengikuti dari belakang sambil tersenyum-senyum. Ia masih merasa lucu melihat betapa sucinya demikian menghormati seorang pangeran yang dianggapnya terlalu banyak lagakitu. Apakah Sucinya yang sejak kecil diketahuinya sebagai seorang wanita yang memandang rendah kaum pria itu kini tiba-tiba tertarik dan jatuh cinta kepada pangeran ini? Hampir ia terkekeh dan menahan tawa sambil menutupi mulutnya dengan tangan.
Betapa lucunya kalau sucinya jatuh cinta kepada pangeran yang dianggapnya masih kekanak-kanakan ini! Dewi Ular yang mengajak dua orang tamunya masuk, segera memperkenalkan mereka kepada ayahnya. See-thian Coa-ong duduk di kursinya dengan sikap angkuh berwibawa.
Jelas bahwa datuk ini tidak mau memperlihatkan kerendahan diri terhadap pangeran itu.
"Ayah, inilah Pangeran Ramamurti dan pamannya, saudara Balkan seperti yang pernah kuceritakan itu," kata Bi-coa Sianli dengan nada suara bangga.
"Locianpwe, terimalah hormat kami," kata Balkan dan pangeran itupun memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada, agak membungkuk akan tetapi tidak berkata apapun.
"Hemm, duduklah!" kata See-thian Coa-ong, mempersilakan dua orang itu duduk seperti mempersilakan dua orang tamu biasa saja. Jelas terbayang pada wajah dua orang tamu itu betapa mereka menjadi salah tingkah, bingung oleh sikap acuh kakek itu. Lili tidak mampu menahan tawanya.
"Suhu, dia itu adalah seorang pangeran tulen, pangeran dari negara Bhutan. Hebat, bukan?" katanya.
"Apanya yang hebat?" See-thian Coa-ong bertanya sambil menoleh kepada muridnya itu, alisnya berkerut.
"Haiii, tidak banggakah suhu menerima tamu seorang pangeran? Ingat, suhu tidak setiap hari ada pangeran datang berkunjung. Pangeran itu putera raja, suhu, masih panaspanas keluar dari istana kerajaan!" Lili yang semakin geli melihat sikap suhunya, menambahkan.
"Hem, apa anehnya raja dan pangeran? Sudah sering aku dijamu raja-raja di istana mereka. Raja-raja juga manusia biasa seperti kita, apa bedanya? "Bagaimana bisa sama, suhu? Dalam sebuah negara, raja hanya ada seorang saja, dan pangeran juga hanya beberapa orang. Tentu berbeda dengan orang-orang biasa seperti kita."
Pangeran Ramamurti tidak begitu pandai berbahasa Han, akan tetapi dia paham apa yang dibicarakan. Dia merasa gembira bukan main mendengar gadis yang dicalonkan menjadi jodohnya dan yang sekaligus telah membuatnya jatuh bangun dalam cinta itu, membuatnya tergila-gila, memujimujinya dan berkeras mengatakan bahwa pangeran adalah manusia luar biasa, lain dari pada yang lain. Ini saja sudah merupakan lampu hijau baginya. Diapun kurang enak mendengar kakek itu agaknya memandang rendah pangeran, akan tetapi untuk memperlihatkan bahwa dia cukup rendah hati, diapun berkata sambil tersenyum ramah.
"Aih, nona Lili. Apa yang diucapkan locianpwe ini benar sekali. Biarpun aku seorang pangeran yang mungkin kelak menjadi raja, akan tetapi aku adalah manusia biasa yang tidak ada bedanya dengan orang lain. Lihat, hidungku satu, mata dan telingaku dua, mulutku satu, jari tanganku masing-masing lima. Sama, bukan?" Pangeran itu menunjuk hidung, telinga, mata dan mulut, lalu membuka sepuluh jari tangannya, memperlihatkannya kepada Lili. Gadis ini tidak dapat menahan tawanya sampai terpingkal-pingkal.
"Lili, bersikaplah yang pantas di depan tamu!" Cu Sui In menegur sumoinya.
Lili adalah seorang gadis yang sejak kecil digembleng oleh tokoh-tokoh seperti Dewi Ular kemudian Raja Ular yang merupakan orang-orang aneh di dunia kangouw. Ia sendiripun ketularan watak aneh mereka yang tidak sudi dikekang oleh peraturan apapun juga. Oleh karena itu, ketika tertawa tadi, Lili juga tidak menahan diri dan tertawa lepas-lepas dengan mulut ternganga, hal yang bagi wanita Han pada umumnya dianggap tidak bersusila! "Ehh, mengapa, suci? Apakah aku bersikap tidak pantas? Apanya yang tidak pantas?" Lili membantah. Jangankan sekarang wanita itu telah menjadi kakak seperguruannya, ketika masih disebut subo (ibu guru) sekalipun, ia suka membantah kalau memang dianggap ia yang benar. Ia memang taat dan segan, akan tetapi tidak membuta.
"Engkau tertawa tanpa terkendali!" tegur sucinya.
"Ahh? Aku merasa senang dan geli, ingin tertawa lalu aku tertawa, kenapa tidak pantas? Kalau aku ingin tertawa lalu kutahan dan kusembunyikan, barulah tidak pantas. Bukankah begitu, pangeran? Tolong katakan, apakah aku tadi bersikap tidak pantas di depan pangeran?" Lili mendekatkan mukanya, dicondongkan ke depan, ke arah pangeran itu.
Pangeran Ramamurti menggosok-gosok hidungnya, nampak senang sekali. "Aih, tidak, sama sekali ......." "Maksudmu tidak pantas?"
"Pantas ....... pantas .......!!" jawab pangeran itu berulangulang sehingga Lili menjadi semakin geli dan.tertawa lagi.
Cu Sui In sudah tahu akan watak nakal dan lincah suka menggoda orang dari sumoinya, dan pada saat itu, kebetulan pelayan datang melapor bahwa hidangan untuk menjamu tamu sudah tersedia di meja ruangan makan.
"Silakan, Pangeran Ramamurti dan Saudara Balkan. Mari silakan makan minum dulu, baru kita nanti bicara." Cu Sui In mempersilakan. "Mari kita temani tamu-tamu kita, Lili."
"Akan tetapi aku sudah makan, suci."
"Biarlah, kita minum-minum saja sekedar menemani mereka. Akupun sudah makan tadi."
See-thian Coa-ong yang bersikap acuh, hanya mengangguk ketika dua orang tamu itu permisi. Mereka pergi ke ruangan makan dan untuk mencegah agar sumoinya yang nakal itu tidak menggoda lagi tarrunya, Cu Sui In sendiri yang melayani mereka dengan suguhan arak, anggur dan masakan-masakan yang lezat, dibantu oleh para pelayan wanita.
"Sambil makan minum, kami hendak memperlihatkan tarian yang khas dari tempat tinggal Pangeran," kata Cu Sui In dan sang pangeran mengangguk-angguk girang. Sui In memberi isyarat kepada para pelayan dan terdengarlah suara dua buah yang-kim (kecapi) ditabuh dengan suara melengking merdu, lalu disusul suara suling. Sehelai tirai sutera diangkat perlahan-lahan dan nampaklah tiga orang wanita cantik yang bermain suling dan dua yang-kim itu.
Kemudian, dari kamar bagian dalam, muncul lima orang gadis. Mereka berlari-lari kecil di atas jari-jari kaki mereka seolah meluncur saja, dan kelima orang gadis itu muda-muda dan cantik-cantik, mengenakan pakaian serba tipis yang menggairahkan. Kemudian, setelah mereka memberi hormat ke arah tamu, mulailah mereka menari mengikuti suara yangkim dan suling.
Dan Pangeran Ramamurti terpesona. Di negerinya juga banyak terdapat penari yang pandai menari perut, akan tetapi gerakan lima orang penari ini lain sekali. Tubuh mereka yang ramping berlenggang-lenggok seperti tubuh ular! Lengking suling itu makin meninggi dan tiba-tiba saja Lili bangkit, dari tempat duduknya dan diapun menari dengan gerakan yang berlenggang lenggok seperti ular pula. Lima orang penari itu tersenyum dan mereka menari-nari mengelilingi Lili, merupakan paduan yang serasi.
Pangeran Ramamurti semakin terpesona dan tiada hentinya mulutnya mengeluarkan suara pujian. Lili memang suka sekali menari. Setiap kali melihat tarian, apalagi mendengar suara yang-kim dan suling memainkan lagu yang amat dikenalnya itu, lagu ular, ia tidak dapat menahan dirinya untuk tidak ikut menari! Para pemain musik dan penari itu sudah tahu akan kesukaan Lili, maka mereka tersenyum dan tiba-tiba peniup suling itu memainkan lagu lain. Sulingnya melengking-lengking dan mengandung getaran aneh. Lili juga mengubah gerakan tarinya dan lima orang penari itu kini duduk mengellingi dan bersimpuh, bertepuk tangan mengiringi musik dan tarian.
"Ular ...... ular ......!!" seru Ramamurti dan Balkan sambil mengangkat kaki tinggi-tinggi ke atas kursi ketika mereka melihat puluhan ular memasuki ruangan itu dari segala penjuru.
"Harap kalian tenang, tidak apa-apa," Cu Sui In sambil tersenyum.
Dua orang tamu itu lupa makan. Kini mereka terbelalak dengan heran, kagum bercampur khawatir melihat betapa lima orang penari itu sudah bangkit lagi menari di sekeliling Lili dan seperti juga Lili yang memainkan dua ekor ular putih yang nampak ganas, lima orang penari itu menari dengan ular-ular bergantungan di tubuh.
Ini baru benar-benar tari ular, pikir pangeran itu dengan kagum. Di negerinya juga ada tari ular, ada pula pawang ular.
Akan tetapi biasanya, dalam tarian, ular itu, si penari menggunakan ular-ular yang sudah dijinakkan dan tidak dapat menyerang atau menggigit lagi. Akan tetapi enam orang penari ini mempermainkan ular-ular liar yang agaknya tadi tertarik dan berdatangan setelah mendengar tiupan suling istimewa itu.
Setelah suara suling mengusir pergi ular-ular itu dan tarian dihentikan, Pangeran Ramamurti dan Balkan bertepuk tangan memuji. Kemudian, setelah dua orang tamu itu selesai makan, mereka diajak menghadap lagi ke ruangan dalam di mana See-thian Coa-ong masih duduk.
"Nah, sekarang harap ji-wi (kalian berdua) beritahukan maksud kunjungan ji-wi kepada kami," kata Cu Sui In kepada dua orang tamunya, Para pelayan sudah disuruh keluar dari ruangan itu dan disitu hanya ada dua orang tamu itu dan di pihak tuan rumah tiga orang. Sikap See-thian Coa-Ong masih acuh saja. Kalau Sui In merasa setuju dan bangga sekali menyambut usul perjodohan antara Lili dan Pangeran Bhutan, ayahnya tidak demikian. See-thian Coa-ong tidak menolak, akan tetapi jaga tidak gembira dan acun saja, menyerahkan urusan itu kepada puterinya dan kepada Lili sendiri.
"Locianpwe dan Cu-lihiap, kunjungan kami ini bermaksud untuk menyambung persesuaian pendapat di antara kami dan Cu-lihiap ketika lihiap berkunjung ke negeri kami dua bulan yang lalu, yaitu kami datang untuk meminang nona Tang Bwe Li agar menjadi jodoh Pangeran Ramamurti ....." "Gila......! Lancang .....!!" Tiba-tiba Lili meloncat bangun dari kursinya, mukanya merah, matanya mencorong memandang ke arah dua orang tamu itu membuat mereka terkejut.
Lili, hentikan itu!" Cu Sui In membentak, juga marah.
"Sikapnya tidak patut dan memalukan!"
"Tapi ....... tapi, suci ..... mereka ini kurang ajar kepadaku!" bantah Lili.
"Engkau yang kurang ajar! Sudah jamaknya gadis dewasa seperti engkau dilamar orang, dan tidak seperti itu sikap seorang gadis yang menerima lamaran. Kau diamlah, ini urusan orang-orang tua!"
"Tidak suci. Aku tidak mau! Aku tidak sudi berjodoh dengan dia!"
"Lili, ini sudah keterlaluan!" Cu Sui In juga bangkit dan mukanya berubah merah karena marah dan malu.
"Suci katakan aku keterlaluan? Suci sendiri sampai sekarang tidak mau menikah dan malahhendak memaksaku menikah, itu baru namanya keterlaluan! Kenapa tidak suci saja yang berjodoh dengan pangeran ini?" Setelah berkata demikian, Lili mengepal tinju hendak menyerang kedua orang tamu itu, membuat Pangeran Ramamurti menjadi pucat ketakutan.
"Lili, mundur kau!" bentak See-thian Coa-ong dan mendengar bentakan gurunya ini, Lili mengendur, matanya menjadi merah dan basah. Ia membanting kakinya dan lari keluar dari ruangan itu, ke kamarnya.
Setelah gadis itu pergi, sejenak dalam ruangan itu sunyi.
Sunyi yang menegangkan hati. Kemudian terdengar Pangeran Ramamurti berkata dalam bahasanya sendiri kepada Balkan.
"Paman, mari kita, pulang saja. Kalau lamaran kita ditolak, untuk apa kita lama di sini?" Mendengar ini, Sui In cepat berkata. "Harap ji-wi memaafkan sumoiku. Ia memang keras hati dan tentu saja ia merasa malu. Kami harap ji-wi suka bersabar. Aku yang akan membujuknya. Sekarang ini kami belum dapat mengambil keputusan mengenai pinangan ji-wi. Baiklah, nanti bulan depan saja kami akan mengirim berita keputusan kami. Sekali lagi, harap maafkan."
Ucapan itu merupakan permintaan maaf dan juga pengusiran secara halus. Memang Sui In yang merasa tidak enak sekali oleh sikap Lili tadi, merasa bahwa lebih baik kalau dua orang tamunya itu, pergi saja dulu.
Balkan dan pangeran itu lalu berpamit. Lebih dulu mereka berpamit kepada See-thian Coa-ong dan kakek ini yang sejak tadi diam saja dan acuh, tiba-tiba bertanya kepada Pangeran Ramamurti, "Engkau ini seorang pangeran, kenapa tidak mencari jodoh seorang puteri bangsawan? Orang seperti engkau ini bagaimana mungkin kelak dapat mengendalikan seorang isteri seperti Lili?" Dia tertawa bergelak dan seperti biasa, senyum dan tawa kakek ini selalu mengandung ejekan dan memandang rendah orang lain.
Pangeran Ramamurti tidak menjawab. Dia dan pamannya lalu berpamit kepada Sui In dan meninggalkan puncak Bukit Ular, diikuti pasukan kecil pengawal mereka.
"Berhenti ......" Lili yang berdiri di tengah jalan itu mengangkat tangan kanan ke atas, memberi isyarat kepada pasukan berkuda itu untuk berhenti. Pangeran Ramamurti dan Balkan menahan kendali kuda mereka, demikian pula duabelas orang pengawal mereka.
Melihat bahwa yang menghentikan mereka adalah Lili yang nampak demikian gagah dan cantik, berdiri tegak di tengah jalan, kedua kaki terpentang, tangan kiri di pinggang dan tangan kanan diangkat ke atas, wajah Pangeran Ramamurti yang tadinya murung itu menjadi gembira sekali. Dia meloncat turun dari atas kudanya, wajahnya yang tampan tersenyum.
"Aih, kiranya nona Lili! Nona, apakah engkau menghadang di sini untuk mengucapkan selamat jalan kepadaku?" Dalam suaranya terkandung penuh harapan.
"Pangeran Ramamurti, engkau telah menghinaku dan sekarang masih mengharapkan aku untuk mengucapkan selamat jalan kepadamu? Aku menghadang untuk memberi hajaran kepada kalian yang telah menghinaku!"
Melihat sikap gadis itu dan mendengar ucapannya, wajah pangeran itu menjadi pucat dan dia melangkah mundur.
Pamannya, Balkan, sudah melompat turun pula dari atas kudanya dan dia menghadapi gadis itu dengan sikap tenang.
4. Pengawal Keluarga Raja Muda
"Maaf, nona Tang Bwe Li, kami sungguh tidak mengerti kenapa nona marah kepada kami? Kami datang dengan baikbaik dan dengan sikap hormat untuk meminang diri nona.
Bagaimana nona dapat mengatakan bahwa kami telah menghinamu?"
"Tidak menghinaku, ya? Bagus! Kalian datang melamarku begitu saja, tanpa lebih dulu memberi tahu aku, tidak menyelidiki dulu apakah aku suka atau tidak. Memangnya aku ini sebuah boneka yang tidak mempunyai pikiran sendiri? Atau aku ini seekor kuda saja yang boleh kalian tawar dan hendak membeliku dengan kedudukan dan hartamu? Kalian telah membikin aku malu!"
Balkan adalah seorang dari golongan rakyat biasa, akan tetapi karena kakaknya perempuan menjadi isteri raja Bhutan, maka dia merasa dirinya besar dan telah menjadi seorang bangsawan tinggi paman dari Pangeran Ramamurti. Kini, melihat sikap Lili yang sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada keponakannya dan kepadanya, timbullah kemarahannya. Gadis ini terlalu menghina, pikirnya.
"Nona Tang Bwe Li, ingatlah bahwa yang meminangmu adalah seorang pangeran kerajaan Bhutan! Biasanya, di Bhutan, kalau pangeran menghendaki seorang wanita, cukup dengan melambaikan tangan saja dan setiap orang wanita akan datang menyerahkan diri dengan bangga, karena mengingat bahwa nona adalah bangsa lain, maka kami mempergunakan cara yang sopan dan lajim, melakukan pinangan dengan resmi. Bahkan sebelum kami datang meminang, kami telah membicarakannya dengan lihiap Cu Sui In dan ia telahmenyetujuinya. Sepatutnya nona merasa terhormat dan bangga, bukan merasa terhina. Ini sungguh tidak adil sekali!"
Mendapat jawaban seperti ini, kemarahan Lili bagaikan api disiram minyak, makin berkobar. "Bagus! Kalian sudah menghinaku, masih menyalahkanaku. Kalian harus dihajar agar tidak berani muncul lagi ke sini, tidak lagi menyinggung urusan perjodohan!"
Balkan juga marah. Gadis ini terlalu menghina, sepantasnya kalau ditawan dan dibawa ke Bhutan, dipaksa menikah dengan Pangeran Ramamurti! Dia memberi isyarat kepada pasukan pengawal. "Tangkap nona yang lancang mulut ini!"
Duabelas orang pengawal itu sudah berloncatan turun dari atas kuda dan seperti segerombolan anjing pemburu mengeroyok seekor kelinci, mereka sudah menerjang ke arah Lili dengan tangan terjulur panjang. Melihat kecantikan gadis itu, mereka bergairah dan seolah berlumba untuk memperebutkan gadis itu, agar mereka dapat lebih dulu menerkam, memeluk dan menangkapnya. Mereka berlumba untuk dapat meraba tubuh yang padat itu, atau setidaknya bersentuhan lengan.
Akan tetapi, mereka itu bukan seperti segerombolan anjing pemburu memperebutkan seekor kelinci, melainkan segerombolan anjing pemburu bertemu dengan seekor harimau betina yang galak dan kuat! Lili menyambut mereka dengan terjangan kaki tangannya. Gerakannya demikian tangkas, cepat dan Kuat sekali sehingga duabelas orang pengawal yang merupakan pengawal pilihan itu terpelanting ke kanan kiri! Mereka terbanting dan mengaduh-aduh, mengalami patah tulang, babak belur dan benjol-benjol.
Dan bagaikan seekor burung walet, tubuh Lili sudah menyambar ke arah Balkan dan Pangeran Ramamurti. Dua orang bangsawan ini terkejut dan hendak melarikan diri, akan tetapi sebuah tendangan membuat Balkan tersungkur dan sekali Lili menjulurkan tangan, ia telah mencengkeram pundak pangeran itu.
"Nona, apa kesalahanku, lepaskan!" kata pangeran itu meronta-ronta.
"Engkau lancang berani meminangku, ya?" Lili membentak dan tangannya menampar beberapa kali. Kedua pipi pangeran itu menjadi merah membengkak. Lilimendorongnya dan diapun terjengkang. "Engkau harus dihajar agar jangan berani lagi, datang ke sini!" kakinya menendang dan pangeran yang sedang merangkak bangun itu terlempar lagi.
"Lili, tahan!" terdengar bentakan nyaring dan Lili yang sudah hendak menggerakkan kakinya, menahan tendangannya. Ia menoleh dan ternyata Sui In telah berdiri di situ dengan sikap marah. Sementara itu, Balkan yang sudah bangkit, menolorg Pangeran Ramamurti, memapahnya dan bersama anak buah mereka yang sudah bangkit pula, mereka mencari kuda mereka, menunggang kuda dan rombongan itu pergi meninggalkan tempat itu tanpa pamit.
"Lili, engkau sungguh keterlaluan sekali! Apakah engkau sudah mulai berani menentang aku? Katakan, apakah engkau hendak menantang aku?" Cu Sui In marah sekali, matanya mencorong dan kedua tangannya bertolak pinggang.
Melihat ini, Lili menjatuhkan diri berlutut menghadap wanita yang pernah menjadi gurunya dan kini menjadi sucinya ini. Ia berlutut dan kedua matanya basah, akan tetapi ia mengeraskan hatinya sehingga tidak sampai menangis. Ia bukan takut walaupun ia tahu bahwa ia tidak akan mampu menandingi sucinya, akan tetapi ia berduka sekali melihat sucinya demikian marah kepadanya dan sorot matanya seperti membencinya.
"Suci, sejak aku dapat mengingat, sejak kecil sekali suci memeliharaku, merawat dan mendidik aku. Suci sayang kepadaku dan akupun amat sayang kepadamu. Bagaimana mungkin aku tidak akan mentaatimu? Suci, apapun yang suci perintahkan, akan kutaati, dan aku akan membela suci dengan taruhan nyawa sekalipun. Akan tetapi, ........ mengenai perjodohanku ...... bagaimana aku dapat melempar diriku ke dalam nasib yang akan menentukan selama hidupku? Suci, kalau aku menikah, berarti aku berpisah dari suci, dan hidup selamanya di samping seorang laki-laki yang tidak kucinta.
Bagaimana mungkin ini? Suci, kalau aku bersalah dan suci hendak menghukumku, silakan. Biar dihukum matipun aku rela, dan aku tetap tidak akan mau dijodohkan dengan lakilaki yang tidak kucinta." Sui In tersenyum mengejek. "Huh, cinta? Mana ada cinta dalam hati kaum pria? Kalau sudah melampiaskan nafsu mereka, mereka akan bosan dan tidak memperdulikan kita lagi. Cinta? Cinta laki laki adalah palsu, rayuan kosong hanya untuK memikat. Laki-laki seperti laba-laba yang memikat kupu-kupu terperangkap di sarangnya, kalau sudah dihisap sampai kering, bangkai kupu-kupu akan di campakkan begitu saja. Aku menjodohkan engkau dengan seorang pangeran, itu berarti hidupmu akan terjamin, mulia, terhormat, kecukupan sampai semua keturunanmu kelak. Namamuterjunjung tinggi, namaku dan nama ayahku ikut terangkat. Seorang pangeran, apalagi kalau kelak menjadi raja, tidak akan mencampakkan isterinya begitu saja. Paling banyak dia menambah selir, akan tetapi isterinya akan tetap dimuliakan orang. Aku menyetujui perjodohan itu demi kebaikanmu, kenapa engkau menolak?"
"Maaf, suci. Bagaimanapun juga, hati ini tidak merelakan kalau badan ini kuserahkan kepada orang yang tidak kucintai.
Aku siap menerima hukuman asal suci jangan marah lagi kepadaku."
Sui In tersenyum, lalu menarik napas panjang. "Kalau aku marah, sejak tadi sudah kubunuh engkau! boleh saja engkau menolak lamaran, akan tetapi tidak perlu bersikap kasar, apalagi menyakiti rombongan pangeran itu. Sudahlah, apa engkau sudah mempunyai pilihan hati, seorang pria yang kaucinta dan kauharapkan menjadi jodohmu?"
Karena besar dalam lingkungan orang aneh, Lili juga menjadi seorang gadis yang berwatak aneh. Yang oleh wanita pada umumnya dianggap sebagai hal yang memalukan, mungkin baginya sama sekali tidak memalukan, dan sebaliknya. Ia menjunjung kegagahan, wajar dan jujur, walaupun seringkali mengandalkan kekuatan dan kekerasan.
"Sudah, suci," jawabnya tegas.
Sui In mengerutkan alisnya, merasa penasaran dan heran mengapa ia tidak tahu bahwa Lili mempunyai seorang pacar! "Siapa dia? Pemuda dekat sini?"
"Dia orang jauh dan suci juga sudah mengenalnya."
"Kau amat cinta padanya?"
"Aku cinta padanya, kagum, dan juga penasaran dan benci."
"Ehh? Siapa pria aneh itu?"
"Dia Sin Wan, suci."
"Sin Wan ......? Seperti pernah kudengar nama itu."
"Tentu saja. Dia murid dan putera mendiang Tangan Api Se Jit Kong."
"Aih, benar. Dia murid pula dari Sam-sian, bukan? Aihh, dia yang pernah memukuli pantatmu ketika engkau kecil itu?"
"Benar, akan tetapi aku sudah membalasmemukuli pantatnya berikut bunganya. Aku .... aku hanya mau berjodoh dengan dia, suci."
"Sudahlah. Engkau bilang selalu taat kepadaku. Sekarang aku akan memberimu sebuah tugas, maukah engkau melakukannya untuk aku?" "Katakan apa tugas itu, suci. Akan kulakukan walau dengan pengorbanan nyawa sekalipun." "Mungkin saja engkau akan berkorban nyawa, karena orang yang kuingin agar kau bunuh ini memiliki ilmu kepandaian yang lihai sekali." "Suci ingin aku membunuh orang? Boleh saja, akan tetapi aku harus tahulebih dulu apa kesalahannya dan mengapa pula suci hendak membunuhnya."
"Dia seorang pendekar yang perkasa, seorang tokoh Butong-pai yang sukar dicari tandingannya, terutama sekali ilmu pedangnya amat ditakuti orang. Akan tetapi, aku yakin engkau akan mampu menandinginya dan mengalahkannya.
Namanya Bhok Cun Ki berjuluk Sin-kiam-eng (Pendekar Pedang Sakti), usianya sekitar empatpuluh lima tahun. Dia seorang pendekar perantau, tidak tentu tempat tinggalnya.
Akan tetapi kalau engkau pergi ke Butong-pai dan mencari keterangan di markas Butong-pai, tentu engkau akan dapat memperoleh keterangan di mana adanya Sin-kiam-eng Bhok Cun Ki."
"Hal itu mudah dilakukan, suci. Akan tetapi suci belum mengatakan mengapa suci hendak membunuhnya dan apa pula kesalahannya."
"Hemm, engkau bilang selalu taat kepadaku, kenapa sekarang kuberi tugas engkau ribut-ribut mendesak aku agar menceritakan sebab-sebabnya."
"Suci, aku tidak melupakan nasihat suhu. Kita tidak perlu berpihak kepada golongan manapun, akan tetapi kita harus bertanggung-jawab atas semua perbuatan kita. Itu namanya baru gagah. Setiap perbuatan kita harus dilandasi alasan kuat sehingga kita tidak ragu-ragu melaksanakannya. Nah, karena itu, aku ingin agar aku mengetahui apa alasannya maka aku harus membunuh Sin-kiam-eng Bhok Cun Ki itu."
Bi-coa Sianli (Dewi Ular Cantik) Cu Sui In biasanya berwatak keras, galak dan tidak sabar terhadap orang lain.
Akan tetapi terhadap Lili ia tak pernah memperlihatkan sikap kerasnya itu. Ia terlalu sayang kepada muridnya yang kini menjadi sumoinya itu dan kini mendengar ucapannya Lili, ia bahkan tersenyum.
Lili sendiri terpesona kalau melihat sucinya tersenyum.
Senyum sucinya itu belum tentu ia lihat seminggu sekali! Kalau sucinya, yang biasanya berwajah dingin itu tersenyum, ia benar-benar pantas disebut dewi karena nampak cantik jelita dan anggun. Betapa senyum seseorang dapat membuat wajahnya menjadi hidup dan cerah, bagaikan matahari muncul dari balik awan hitam.
"Lili, engkau ingin tahu sebabnya? Sebabnya adalah karena Bhok Cun Ki itu adalah kekasihku ......." Lili memandang sucinya dengan mata dibelalakkan lebarlebar, dan kini Cu Sui In yang terpesona penuh kagum.
Sumoinya ini memang cantik jelita, akan tetapi kalau matanya dibelalakkan seperti itu, sepasang mata itu menjadibesar dan bercahaya seperti bintang, sehingga wajah itu manis bukan main.
"Aihhn, suci. Ini namanya puncak keanehan! Kalau dia itu kekasih suci, kenapa harus dibunuh?"
"Duapuluh tiga tahun yang lalu, ketika aku berusia duapuluh tahun dan dia berusia duapuluh dua tahun, kami saling mencinta dan kami saling bersumpah untuk sehidup semati. Aku bahkan telah menyerahkan segala-galanya yang ada padaku kepadanya, menyerahkan jiwa ragaku kepadanya, akan tetapi ..... setelah dia mengetahui bahwa aku adalah puteriSee-thian Coa-ong, dia yang menganggap dirinya seorang pendekar Butong-pai lalu mundur dan meninggalkan aku, memutuskan hubungan. Padahal, aku telah menyerahkan segalanya. Dia telah mengkhianatiku dan kemudian menikah dengan seorang puteri bangsawan."
Wajah Lili berubah merah karena marah. "Suci! Kenapa sekian lamanya suci diam saja? Laki-laki pengkhianat seperti itu sudah selayaKnya dibunuh. Kenapa dahulu suci tidak mencarinya dan membunuhnya? Dia tidak pantas hidup!"
Cu Sui In menggeleng kepala dengan wajah sedih dan beberapa kali ia mengnela napas, panjang. "Sudah kucoba untuk mengeraskan hati, namun sia-sia, Lili. Aku, ..... aku tidak tega membununnya, aku tetap mencintanya, sampai sekarang. Karena itu aku minta bantuanmu ......." "Suci, engkau membikin aku bingung. Kalau suci sampai sekarang tetap mencintanya, kenapa suci melepaskannya begitu saja? Kenapa suci tidak bunuh saja perempuan yang merampasnya dan paksa dia menjadi suami suci?" Sepasang mata Dewi ular Cantik itu mencorong marah.
"Tidak! Aku tidak sudi mengemis cintanya! Tidak usah banyak komentar. Mau atau tidak engkau melaksanakan tugas yang kuberikan padamu?" "Tentu saja, suci. Aku siap melaksanakannya aku siap membelamu biar harus mempertaruhkan nyawaku."
"Lili ....... Sui In merangkuldan mencium kedua pipi gadis itu. "Engkau memang anak baik, engkau sumoi yang baik.
Pergilah, Lili, cari dia sampai dapat, kemudian bunuh dia, bunuh isterinya, bunuh anak mereka kalau ada. Lakukan itu untuk aku yang menderita selama duapuluh tiga tahun ini."
"Baik, suci. Jangan khawatir. Aku akan mencarinya, aku akan membunuhnya berikut anak isterinya. Pengorbanan suci yang selama duapuluh tiga tahun ini harus ditebus dengan nyawa mereka. Suci selama puluhan tahun menderita, tidak mau berdekatan dengan pria, semua itu demi cinta suci kepadanya. Akan tetapi dia malah meninggalkan suci dan menikah dengan perempuan lain!" Lili mengepal tinju.
"Nah, berangkatlah, Lili. Dengan ilmu pedangmu Pek-coa Kiam-sut, aku yakin engkau akan mampu mengalahkan ilmu pedangnya dari Butong-pai."
Ketika Lili berpamit kepada gurunya, dan menceritakan tugas yang diberikan Cu Sui In kepadanya, See-thian Coa-ong menggeleng-gelengkan kepala. "Manusia bisa gila karena cinta. Sui In mengubur dendam selama duapuluh tahun lebih dalam hatinya dan sekarang menghendaki engkau yang mewakilinya. Bahkan ketika aku hendak turun tangan, ia selalu melarang. Sekarang aku tahu, kiranya ia menanti sampai engkau dewasa dan memiliki kemampuan untuk mewakilinya. Kiranya selama ini ia menanam dendamnya karena ia sendiri tidak tega meiakukannya, ha..ha..ha!" Setelah Lili hendak berangkat, Cu Sui In mengantarnya sampai ke bawah puncak. Lili, kalau sudah selesai tugasmu, jangan pulang ke sini. Tahun depan aku dan ayah akan pergi ke Thai-san, di mana akan diadakan pemilihan bengcu sebagai pemimpin seluruh dunia persilatan dan merupakan jago nomor satu. Nah, di sanalah kita bertemu, tahun depan sebulan sesudah Perayaan Musim Semi atau Sin-cia. Kalau engkau kembali ke sini, aku khawatir kita tidak akan dapat saling bertemu. Kalau kita bertemu di sana, engkau dapat memperkuat rombongan ayah." "Baik, suci." Mereka berangkulan dan saling berciuman, lalu Lili menggunakan ilmu berlari cepat menuruni Puncak Bukit Ular, diikuti pandang mata Cu Sui In yang kini nampak tersenyum, akan tetapi kedua matanya basah air mata!
Malam itu gelap sekali. Di langit tidak ada bulan, tidak ada bintang karena semua bintang tertutup oleh awan hitam.
Gelap gulita dan hawa udara amat dinginnya. Musim salju mendekati akhir, namunjusteru hawa udara dingin sampai menusuk tulang. Semua air membeku dan gerimis salju hampir tidak pernah berhenti.
Karena malam demikian gelap dan dingin, maka kota Peking, walaupun merupakan ibu kota ke dua setelah Nanking, malam itu sunyi sekali. Orang-orang lebih suka berada di dalam rumah yang dihangatkan perapian. Kalaupun terpaksa keluar rumah karena keperluan penting, mereka mengenakan pakaian kapas atau bulu yang tebal, menutupi kepala dan muka. Namun, tetap saja hawa dingin menyusup ke dalam badan, bibir pecah-pecah dan pernapasan terasa sesak.
Di dalam istana Raja Muda Yung-Lo sendiri nampak sunyi.
Para penjaga mengaman dan menyamankan diri di dalam gardu-gardu penjagaan yang dihangatkan dengan perapian.
Yang terpaksa melakukan perondaan, berpakaian tebal dan melakukan perondaan cepat-cepat agar dapat segera kembali ke gardu yang hangat. Pula, dalam udara sedingin itu, malam segelap itu, siapa sih orang yang usil dan mencari penyakit melakukan kejahatan di dalam istana yang terjaga ketat? Para petugas jaga itu agaknya lupa bahwa orang-orang Mongol tidak pernah melepaskan segala kesempatan baik.
Mereka adalah orang-orang yang selalu masih merasa penasaran ketika Kerajaan Mongol runtuh demikian mudahnya setelah bangsa Mongol menguasai Cina hampir seabad lamanya (1170-1260).
Para Pangeran Mongol yang berhasil menyelamatkan diri ke utara segera membentuk suatu jaringan dalam usaha mereka menegakkan kembali kerajaan Mongol untuk menguasai Cina.
Mereka menyusun jaringan mata-mata, mengirim banyak orang pandai yang menyusup ke sebelah selatan Tembok Besar. Bahkan ada pangeran yang mengirim rombongan matamata yang pandai, melakukan penyusupan tidak melalui Tembok Besar di utara yang terjaga ketat, melainkan mengambil jalan memutar dari arah barat.
Malam yang sunyi dan dingin itu, yang membuat para penjaga dan pengawal di istana Raja Muda Yung Lo menjadi lengah dan malas, tidak lepas dari pengamatan para matamata Mongol. Dalam kegelapan malam itu, di waktu sebagian besar penduduk kota sudah meringkuk di dalam kamar masing-masing berselimut tebal, nampak tiga sosok bayangan berkelebatan di atas pagar tembok istana dan melayang turun di sebelah dalam! Dengan gerakan ringan dan cepat, mereka menyelinap dalam taman, menghampiri bangunan istana yang megah dengan hati-hati sekali.
Gerakan mereka yang tanpa ragu-ragu itu, dan dalam menghindar gardu-gardu penjagaan, membuktikan bahwa mereka bertiga itu mengenal baik sekali keadaan di situ dan semua gerakan mereka penuh dengan perhitungan yang matang.
Sementara itu, di sebelah dalam istana, seorang wanita cantik berpakaian ringkas. Sebatang pedang menempel di punggungnya, dan di ikat pinggangnya terselip sebatang suling perak. Wanita ini berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun, wajahnya bulat telur dengan dagumeruncing. Di dagu kanannya terdapat hiasan bawaan lahir, yaitu setitik tahi lalat yang membuat wajahnya nampak semakin manis. Matanya lembut akan tetapi kadang-kadang mencorong penuh wibawa.
Bibirnya merah segar dengan bentuk menggairahkan.
Pembawaannya tenang dan anggun, namun langkah kakinya menunjukkan bahwa ia memiliki tenaga dan kegesitan.
Ketika wanita melewati gardu penjagaan di dekat kolam ikan, di bagian paling dalam dari istana itu, di taman bunga kecil yang berada paling dalam, tempat bermain para wanita istana, ia menghampiri gardu. Melihat tiga orang perajurit pengawal wanita melenggut hampir pulas di bangku panjang, ia mengerutkan alisnya dan jari tangannya mengetuk dinding gardu.
"Tok-tok-tokk!" Tiga orang penjaga itu terkejut dan berloncatan bangun sambil menyambar pedang mereka.
Mereka terbelalaK ketika melihat bahwa yang mengejutkan mereka itu adalah atasan mereka.
Dengan alis berkerut wanita itu menegur. "Beginikah caranya melakukan penjagaan? Kalian telah lengah! Seorang petugas yang baik tidak gentar menghadapi hawa dingin dan kesukaran apapun!"
"Maafkan kami, Lim-lihiap (pendekar wanita Lim)," kata seorang di antara mereka sambil berdiri tegak dan memberi hormat.
"Baiklah, untung tidak terjadi apa-apa. Dalam keadaan yang dingin dansunyi seperti ini, ketika para penjaga dalam keadaan lengah dan mengantuk, para penjahat dapat mempergunakan kesempatan untuk bergerak. Lakukan penjagaan dengan ketat dan waspada!"
Setelah berkata demikian, wanita itu meninggalkan mereka untuk melakukan perondaan dan pemeriksaan terhadap anak buahnya yang bertugas jaga di lingkungan istana itu.
Wanita muda yang perkasa ini adalah Lim Kui Siang yang kini oleh raja muda Yung Lo dipercaya untuk menjadi kepaia pengawal keluarga Raja Muda itu. Gadis perkasa ini memiliki ilmu kepandaian tinggi karena ia adalah murid Sam-sian pula.
Ia adalan sumoi dari Sin Wan. Sebetulnya, antara Lim Kui Siang dan Sin Wan yang saudara seperguruan itu terjalin hubungan cinta kasih yang mendalam.
Bahkan guru-guru mereka pernah mengusulkan agar kedua orang murid yang saling mencinta itu menjadi suami isteri.
Keduanya menerima dengan baik dan Kui Siang memang sejak kecil kagum kepada Sin Wan. Biarpun Sin wan seorang yang berbangsa Uighur, bukan pribumi, dan ia sendiri puteri bangsawan karena mendiang ayahnya keturunan atau kebangsawanan.
Ketika Sin Wan melamarnya kepada para paman dan bibinya sebagai wakil ayah bunda yang telah tiada, mereka menolak dan tidak menyetujui perjodohan itu. Bahkan mereka menghina Sin Wan yang dikatakanketurunan bangsa biadab! Kui Siang marah dan mengusir para paman dan bibinya yang hanya mendekatinya karena menginginkan harta peninggalan ayahnya. Kemudian dengan sepenuh hati ia hendak menghibur Sin Wan dan nekat melangsungkan perjodohan dengan suhengnya itu.
Akan tetapi, pada saat terakhir ia mendapatkan kenyataan yang amat pahit baginya, yaitu bahwa Sin Wan adalah anak tiri dari mendiang Se Jit Kong, yaitu Iblis Tangan Api yang telah membunuh ayahnya! Biarpun Sin Wan hanya anak tiri, namun kenyataan ini membuat Kui Siang terpukul. Hancur rasa hatinya dan ia tidak mau mendekati suhengnya lagi, ia meninggaikan suhengnya itu dengan perasaan hancur. Ia amat mencinta suhengnya, akan tetapi bagaimana mungkin ia berjodoh dengan anak angkat orang yang telah membunuh ayahnya dan menghancurkan keluarga ayahnya? la akan merasa durhaka terhadap orang tuanya.
Dengan membawa hati yang remuk, dari tempat tinggal orang tuanya di kota raja Nan-king, Kui Siang pergi ke Peking untuk memenuhi permintaan Raja Muda Yung Lo,menjadi kepala pasukan pengawal keluarga pangeran atau raja muda itu. Kui Siang bekerja, dengan tekun dan penuh pengabdian, bahkan ia mengganti pasukan thai-kam (laki-laki kebiri) dengan pasukan wanita yang digemblengnya.
Melihat ketekunan Kui Siang, Raja Muda Yung Lo semakin kagum Raja Muda Yung Lo sejak mengundang dan menjamu Pek-sim lo-kai (Penggmis Tua Hati Putih) Bu Lee Ki yang datang bersama Sin Wan dan Kui Siang, dan melihat Kui Siang, raja muda itu kagum dan tertarik sekali. Dia mendukung Bu Lee Ki untuk menjadi pemimpin besar para kai-pang (perkumpulan pengemis), menawarkan kedudukan panglima kepada Sin Wan, dan kedudukan kepala pengawal keluarga istana kepada Kui Siang. Sin Wan yang patah hati karena penolakan Kui Siang yang memutuskan hubungan cinta di antara mereka, tidak kembali ke Peking, dan Kui Siang yang juga menderita duka itu, untuk menghibur hatinya, kembali ke Peking dan menerima penawaran kedudukan itu Selama berada di istana dan bertugas sebagai kepala pengawal keluarga, Kui Siang melihat kenyataan betapa sikap, raja muda itu terhadap dirinya amatlah baiknya. Dari pandang mata raja muda itu ia tahu bahwa pria itu jatuh hati kepadanya. Akan tetapi, biarpun ia sendiri kagum kepada raja muda ini, ia masih tidak mampu melupakan Sin Wan dan karena itu ia bersikap dingin saja sehingga Raja Muda Yung Lo belum berkenan menyatakan isi hatinya.
Pada malam yang sunyi, gelap dan dingin itu, seperti biasa Kui Siang melakukan perondaan untuk memeriksa anak buahnya agar mereka melakukan penjagaan dengan sebaiknya. Ketika ia melakukan pemeriksaan ke bagian belakang, tiba-tiba ia melihat berkelebatnya bayangan ke arah gardu penjagaan di belakang dan terdengar jerit seorang wanita pengawal. Kui Siang cepat meloncat ke tempat itu dan mendengar suara seorang berkelahi. Dilihatnya betapa seorang anak buahnya menggeletak mandi darah, dan dua orang pengawal lain sedang berkelahi melawan dua orang berpakaian hitam dan mukanya ditutup sutera hitam yang memiliki kepandaian amat lihai.
Kui Siang cepat mengeluarkan suling peraknya dan meniupkan isyarat. Suling itu mengeluarkan suara melengking tinggi yang dapat terdengar oleh semua anak buah yang sedang melakukan penjagaan. Ia merasa yakin bahwa sebentar lagi, ditempat itu akan dipenuhi anak buahnya yang berjumlah duapuluh orang lebih. Ia sendiri tidak membantu anak buahnya menghadapi dua orang lawan yang lihai melainkan cepat sekali ia meloncat ke dalam dan menuju ke arah ruangan di mana dapat kamar Raja Muda Yung Lo dan keluarganya. Kui Siang maklum bahwa dalam keadaan bahaya, maka ia dapat memastikan bahwa sasaran utama musuh tentulah sang raja muda. Oleh karena itu, ia membiarkan anak buahnya yang menghadapi penyerbu, sedangkan ia sendiri harus menjaga keselamatan raja muda dan keluarganya.
Perhitungannya ternyata tepat. Baru saja ia tiba di depan kamar sang raja muda, tiba-tiba nampak bayangan hitam berkelebat seperti seekor burung besar melayang turun ke dalam ruangan yang nampaknya sunyi itu.
"Penjahat keji, menyerahlah engkau!" bentak Kui Siang sambil meloncat keluar menghadapi bayangan hitam itu.
Bayangan itu memakai pakaian serba hitam, mukanya dari hidung ke bawah tertutup kain sutera hitam. Yang nampak hanya sepasang matanya yang mencorong tajam. Tubuh itu tinggi kurus dan gerakannya tadi ringan dan gesit.
Bayangan itu agaknya kaget melihat Kui Siang. Tadinya dia mengira bahwa dua orang kawannya yang memancing keributan di gardu penjagaan belakang itu tentu akan menarik semua pengawal ke sana sehingga dia akan leluasa bergerak membunuh raja muda. Siapa kira, pemimpin pasukan pengawal yang dia dengar memiliki ilmu kepandaian tinggi ini bahkan tiba-tiba muncul di situ. Tanpa banyak cakap lagi bayangan itu mencabut pedangnya dan menyerang dengan dahsyat, menusuk ke dada Kui Siang.
"Singgg ........" saking kuatnya tusukan itu, pedang mengeluarkan suara berdesing ketika lewat di samping tubuh Kui Siang yang mengelak dengan gerakan cepat. Namun pedang yang luput dari sasaran itu membalik, kini menyambar dan membacok ke arah leher! Kui Siang terkejut juga. Ternyata penyerang ini memang lihai dan memiliki gerakan pedang yang cepat dan kuat. Iapun meloncat ke belakang sambil mencabut Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari) peninggalan mendiang Kiam-sian (Dewa Pedang). Nampak sinar menyilaukan mata ketika pedang itu tercabut. Ketika Kui Siang memutar pedangnya, lenyaplah bentuk pedang berubah menjadi gulungan sinar yang membuat ruangan itu nampak lebih terang. Itulah ilmu pedang Sinar Matahari yang amat hebat.
"Ihh ......" Si kedok hitam itu mengeluarkan seruan kaget, akan tetapi diapun sama sekali bukan orang lemah.
Pedangnya berkelebatan, menangkis dan balas menyerang sehingga dalam waktu singkat saja keduanya telah saling serang dengan mati-matian! Setelah mereka bertanding selama duapuluh lima jurus, tahulah KuiSiang bahwa lawannya bukan orang sembarangan.
Pembunuh ini adalah seorang ahli pedang yang tangguh, maka iapun mengimbangi permainan pedangnya dengan bantuan tangan kirinya yang kini ikut menyerang dengan tebasan-tebasan tangan miring. Setiap kali tangan kirinya menyambar, terdengar suara bersiut dan tangan itu amat berbahaya karena ia telah mempergunakan ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang menotok seperti tusukan pedang..
Pintu kamar besar keluarga raja muda itu terbuka dan muncullah Raja Muda Yung Lo denganpedang di tangan. Juga dari kanan kiri bermunculan para pengawal pribadi, akan tetapi ketika para pengawal itu hendak mengeroyok si kedok hitam, Raja Muda Yung Lo memberi isyarat dengan tangan agar mereka tidak bergerak. Agaknya raja muda yang juga memiliki kepandaian lumayan itu dapat melihat betapa Kui Siang tidak kalah oleh si kedok hitam, maka dia ingin menonton pertandingan hebat itu! Para pengawal itu hanya mengepung ruangan itu, tidak memberi jalan kepada lawan untuk lolos Agaknya si kedok hitam maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya, maka dia berlaku nekat, menyerang dengan lebih gencar dengan maksud agar kalau dia tewaspun dia akan mampu membunuh lawannya ini.
Akan tetapi Kui Siang juga maklum akan kehadiran Raja Muda Yung Lo, maka dia mengerahkan seluruh tenaga dan keandaiannya, terus mendesak lawan.
Si kedok hitam yang menerima tugas rahasia membunuh Raja Muda Yung Lo, melihat kesempatan baik karena raja muda itu berdIri di situ, menonton perkelahian. Diam-diam dia mengeluarkan sesuatu darisaku bajunya dengan tangan kiri dan setelah mendapat kesempatan baik, tangan kirinya bergerak cepat menyambitkan tiga buah thi-lian-ci (biji teratai besi), yaitu senjata rahasia berbentuk biji teratai terbuat dari pada besi.
"Awas, Yang Mulial" Kui Siangberseru kaget, akan tetapi pedangnya bergerak cepat sekali menghantam pedang lawan karena saat itu lawan sedang mencurahkan perhatian untuk menyerang Raja Muda Yung Lo.
Akan tetapi, Raja Muda Yung Lo bukan seorang lemah. Dia pernah belajar ilmu silat, bahkan selama ini dia menjadi panglima yang memimpin pasukan besar yang menggempur sisa-sisa pasukan Mongol di daerah utara. Dia sudah mengalami banyak pertempuran, dan kalau hanya diserang senjata rahasia seperti itu saja, bukan merupakan hal berbahaya baginya. Tanpa diperingatkan Kui Siangpun, dia tidak akan mudah dirobohkan dengan serangan senjata rahasia thi-lian-ci. Dia sudah memutar pedangnya dan tiga buah thi-lian-ci itupun terpukul runtuh. Sebaliknya, pedang di tangan penyerang itu terlepas dan terpental ketika dipukul pedang Kui Siang sehingga kini si kedok hitam tidak lagi memegang senjata.
Agaknya dia tahu bahwa akan sia-sia melarikan diri, maka diapun berkata dengan suara angkuh kepada Kui Siang, "Kalau memang engkau gagah, mari kita melanjutkan pertandingan dengan tangan kosong!" Kui Siang mengerutkan alisnya. Ia tidak sedang mengadu ilmu menguji kepandaian masing-masing, melainkan sedang menghadapi seorang penjahat yang hendak membunuh Raja Muda Yung Lo, maka tentu saja ia tidak beminat melayani tantangan orang yang sudah terdesak dan tinggal menangkap saja itu. Akan tetapi ketika ia menoleh ke arah raja muda itu, ia melihat raja muda itu mengangguk dan tersenyum kepadanya lalu berkata, "Nona Lim, aku ingin sekali melihat engkau mengalahkan jahanam ini dalam pertandingan tangan kosong."
Kui Siang sudah mengenal watak Yung Lo yang suka sekali akan kegagahan. Tentu kini Yung Lo ingin melihat adu kepandaian karena si penyerang itu cukup tangguh. Dan iapun yakin banwa raja muda itu sudah bersiap-siapbersama para pengawalnya kalau sampai ia terdesak atau terancam bahaya.
5. Lamaran Raja Muda Yung Lo
"BAIK, Yang Mulia," katanya dan iapun menyimpan kembali Jit-kong-kiam, menghadapi penjahat itu dengah tangan kosong. Ia tahu bahwa penjahat itu lihai, maka begitu menghadapinya, ia telah mengerahkan tenaga untuK memainkan Sam-sian Sin-ciang, ilmu peninggalan tiga orang gurunya yang amat ia andalkan. Karena Sam-sian Sin-ciang mengandung unsur ilmu-ilmu ke tiga orang Sam-sian, maka selain dalam kedua tangangadis itu mengandung tenaga Thian-te Sin-kang (Tenaga Sakti Langit Bumi), juga kedua telapak tangan mengepulkan uap putih karena ilmu itu mengandung pula Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sakti Awan Putih) dari Pek-mau-sian Thio Ki.
Melihat gadis itu benar-benar menghadapinya dengan tangan kosong si kedok hitam menjadi berani dan nekat.
Sambil mengeluarkan teriakan nyaring, diapun menerjang dengan gerakan nekat sehingga seluruh tenaga dan kepandaiannya dia kerahkan untuk membunuh lawan. Dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat lolos dan entah bagaimana pula nasib dua orang rekannya. Maka, sebelum tertawan dan dibunuh, dia harus dapat lebih dulu membunuh lawannya ini sehingga matinya tidak akan sia-sia.
Akan tetapi, segera dengan pahit dia melihat kenyataan bahwa kalau tadi ketika mereka bertanding dengan pedang mereka masih dapat dibilang seimbang, kini setelah bertanding dengan tangan kosong, dia mendapat kenyataan bahwa gadis itu hebat bukan main ilmu silat tangan kosongnya. Kedua tangan yang mengepulkan uap putih itu mengandung tenaga yang membuat dia tergetar setiap kali mereka beradu lengan. Dan betapapun dia mendesak dan menerjang bertubi-tubi dengan cepat, tetap saja dia tidak mampu menyentuh tubuh lawannya yang bergerak luar biasa cepatnya, dengan langkah berputar-putar, yang aneh. Tiba-tiba saja tubuh lawannya lenyap dan tahu-tahu telah berada di kanan, kiri atau belakangnya.
Setelah lewat tigapuluh jurus, si kedok hitam merasa pening, matanya berkunang dan gerakannya kacau sehingga dia tidak lagi dapat melindungi dirinya dengan baik.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Kui Siang untuk menghantamkan tangan kanannya ke arah kepala lawan.
Ketika lawannya mengelak ke sebelah kirinya, ia menyambut dengan serangan intinya, yaitu jari tangannya yang kiri menotok. Terdengar bunyi bercuitan ketika ia menggunakan ilmunya yang mengandung totokan Kiam-ci (Jari Pedang) dan tubuh lawan itupun roboh terjengkang. Saking cepatnya gerakan jari tangan gadis itu, sukar dilihat dan tahu-tahu si topeng hitam itu terjengkang roboh dan tewas seketika karena tepat di tengah dahinya telah tertembus jari tangan Kui Siang yang pada saat ia menggunakan ilmunya, tiada ubahnya sebatang pedang runcing.
Raja Muda Yung Lo bertepuk tangan memuji dengan hati girang dan kagum. "Bagus sekali, Nona Lim."
"Yang Mulia, masih ada dua orang penyerbu di belakang.
Hamba akan melihatnya ke sana!" kata Kui Siang dan tanpa menanti jawaban raja muda itu, iapun sudah meloncat dengan cepat menuju ke belakang. Akan tetapi setelah tiba di gardu penjagaan, ia merasa kecewa. Ada enam orang anak buahnya terluka, akan tetapi dua orang yang dikeroyok anak buahnya tadi dapat meloloskan diri walaupun menurut keterangan anak buahnya, dua orang itu lari sambil membawa luka di tubuh mereka.
Ketika kedok sutera hitam itu dibukadari wajah orang yang telah tewas, tidak ada yang mengenalnya, akan tetapi dari bentuk wajahnya, mudah diduga bahwa dia tentulah seorang Mongol atau setidaknya peranakan Mongol. Memang setelah menjajah selama hampir satu abad lamanya, bangsa Mongol telah mempelajari banyak sekali ilmu-ilmu penduduk pribumi, bahkan banyak di antara mereka yang menjadi jagoan ahli silat yang tangguh.
Pada keesokan harinya, setelah selesai mengadakan rapat pertemuan dengan para hulubalang, Raja muda Yung Lo masuk ke dalam ruangan duduk di belakang, lalu dia memanggil Kui Siang agar datang menghadap karena ada urusan penting yang hendak dia bicarakan.
Ketika Kui Siang memasuki ruangan duduk di belakang, ruangan di mana raja muda itu suka mengadakan latihan silat, ia melihat Raja Muda Yung Lo dalam pakaian ringkas, pakaian olah raga, duduk seorang diri di situ. Tidak nampak seorangpun pengawal di ruangan itu, maupun di luar ruangan.
Hal ini mengejutkan dan mengherankan hati Kui Siang yang menganggap raja muda itu sungguh kuranghati-hati membiarkan diri sendiri tanpa dikawal. Dikiranya bahwa raja muda itu akan mengajaknya berlatih silat, karena biasanya raja muda itu suka berbincang-bincang, bahkan berlatih silat dengannya.
"Yang Mulia, hamba tidak melihat seorangpun pengawal di sini. Sungguh berbahaya paduka berada seorang diri saja ……" Raja Muda Yung Lo tersenyum dan memberi isyarat dengan tangan agar wanita itu mengambil tempat duduk.
"Kui Siang, duduklah. Mengapa berbahaya? Aku berada di dalam istana yang terkurung penjagaan rapat. Pula, aku bukan anak kecil atau orang lemah. Tidak suka aku ke manamana harus dijaga pengawal. Pula, aku ingin berdua saja denganmu, ada yang hendak kubicarakan denganmu."
Wajah gadis itu berubah kemerahan. Biasanya pangeran-itu menyebutnya nona atau Nona Lim, kenapa sekarang menyebut namanya begitu saja? Perubahan sebutan yang bukan tidak menyenangkan karena lebih akrab, akan tetapi juga membuat ia tersipu.
"Yang Mulia hendak membicarakan kepentingan apakah dengan hamba?" tanyanya dengan suarabiasa saja sambil duduk menghadapi raja muda itu, terhalang sebuah meja.
Raja Muda Yung Lo memandang wajah Kui Siang, dan beberapa kali menarik napas panjang, agaknya sukar baginya untuk bicara. Yung Lo merupakan seorang pangeran yang sejak dia kecil mengenal perjuangan ayahnya, mengenal perang. Bahkan dia, setelah dewasa, merupakan seorang di antara pangeran yang paling rajin membantu ayahnya untuk memperkuat kedudukan Kerajaan Beng yang baru. Dia merupakan pangeran yang paling berjasa, paling cakap mengatur pasukan, maka oleh ayahnya, Kaisar Thai-cu pendiri Kerajaan Beng, dia dipercaya untuk memimpin pertahanan yang paling berat dan penting, yaitu pertahanan terhadap bangsa Mongol yang tentu saja selalu berusaha untuk membangun kembali kekuasaan mereka di selatan yang sudah runtuh.
Karena kemampuannya, dia diangkat menjadi raja muda oleh kaisar, dan diberi hak dan kekuasaan di utara, dengan ibu kota Peking. Dan ternyata memang dia mampu. Raja muda yang usianya tigapuluh tahun lebih ini memang gagah, alisnya berbentuk golok, matanya dengan kedua ujung agak menyerong ke atas itu lebar dan tajam sinarnya, hidungnya besar, mulutnya dan dagunya membayangkan keteguhan hati dan kemampuan besar, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi.
Pendeknya, wajah seorang laki-laki jantan.
Setelah beberapa kali menarik napas panjang dan nampak ragu, akhirnya raja muda itu berkata, "Kui Siang, sungguh aku sendiri merasa heran mengapa terasa amat berat dan sukar bagiku untuk bicara sekali ini. Selama hidupku belum pernah aku merasa begini tegang, dan hal ini saja sudah membuktikan kepadaku bahva memang aku bicara dari hatiku, bukan sekedar bicara saja. Nah, ketahuilah, bahwa sejak pertama kali bertemu denganmu, ketika engkau datang bersama Sin Wan dan Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki, aku merasa kagum sekali padamu. Karena kekagumanku, maka aku mengangkatmu menjadi kepala pengawal keluarga dan ternyata pilihan dan keputusanku itu memang tepat. Engkau bekerja dengan baik, dapat membentuk pasukan pengawal wanita yang kuat dan dapat dipercaya, bahkan malam tadi, engkau dan pasukanmu yang berhasil menahan pembunuhpembunuh yang dapat menyelinap masuk mengelabui para perajurit pengawal pria di luar istana."
"Hamba hanya melaksanakan tugas, Yang Mulia. Sayang bahwa dua orang di antara para penjahat itu lolos. Mereka adalah orang-orang tangguh dan pasukan hamba yang belum menguasal ilmu silat tinggi bukan lawan mereka."
Raja Muda Yung Lo tersenyum dan pandang matanya semakin terkagum. Gadis ini selain cantik jelita, manis budi, lihai ilmu silatnya, masih ditambah lagi rendah hati. Semua sifat inilah yang membuat dia terkagum-kagum dan dia sudah mengambil keputusan bulat sebelum memanggil Kui Siang.
"Sudahlah, Kui Siang. Bagaimanapun juga pasukanmu itu telah berjasa besar, dan terutama sekali engkau sendiri. Aku ingin sekali mengutarakan isi hatiku kepadamu, dan sebelumnya kalau pernyataanku ini menyinggung perasaanmu, kuharap engkau suka memaafkan aku, Kui Siang. Aku suka akan kejujuran, keterus-terangan, dari pada menyimpan sesuatu di hati, danaku tidak ingin memaksakan kehendak dan keinginan hatiku kepada orang lain, terutama sekali kepadamu. Jadi, ka¬lau nanti ucapanku ini tidak berkenan di hatimu, anggap saja tidak ada dan tetaplah bekerja seperti biasa. Engkau mau berjanji demikian?" Kui Siang mengangguk, jantungnya berdebar tegang.
"Katakanlah, Yang Mulia."
"Kui Siang, setelah engkau bekerja di sini, kekagumanku bertambah-tambah, dan akhirnya aku melihat kenyataan bahwa aku telah jatuh cinta kepadamu. Belum pernah selama hidupku aku melakukan pinangan secara langsung kepada seorang gadis, akan tetapi sekali ini aku melanggar semua hukum adat yang berlaku. Aku meminangmu untuk menjadi isteriku, seorang di antara selirku, dengan demikian aku akan selalu bersamamu tanpa khawatir pada suatu hari engkau akan berpisah dariku." Kui Siang menundukkan mukanya yang sebentar pucat sebentar merah. Dipinang seorang raja muda! Biarpun hanya dipinang menjadi selir karena raja muda itu sudah beristeri dan mempunyai beberapa orang selir, namun hal itu sudah merupakan suatu kehormatan yang tak pernah ia mimpikan.
Raja muda ini seorang pangeran! Dan harus ia akui bahwa ia juga kagum sekali kepada Yung Lo.
Hanya ada satu hal, malah ada dua hal yang membuat ia menunduk dengan hati seperti ditusuk. Pertama ia merasa bahwa hatinya telah menjadi milik Sin Wan ia mencinta Sin Wan dan sampai sekarangpun ia masih mencinta pemuda itu walaupun rasa baktinya terhadap orang tuanya tidak memungkinkan ia menikah dengan anak tiri pembunuh ayahnya. Dan kenyataan kedua adalah bahwa biarpun ia amat kagum dan hormat kepada Raja Muda Yung Lo, akan tetapi ia tidak mencintanya.
Yang membuat ia bingung sekali adalah karena ia tidak berani atau tidak tega untuk menolak. Ia tahu bahwa betapa bijaksana pun Raja Muda Yung Lo, akan tetapi sebagai seorang laki-laki yang ditolak cintanya oleh seorang wanita, tentu raja muda itu akan tersinggung, akan merasa diremehkan, malu dan terpukul. Ia menjadi serba salah.
Menerima pinangan itu berarti bertentangan dengan perasaan hatinya. Menolakberarti menyinggung perasaan orang yang dijunjung dan dihormatinya, dan setelah menolak, rasanya tidak mungkin lagi mempertahankan pekerjaannya sebagai pengawal pribadi di situ. Apa yang harus ia lakukan? Raja Muda Yung Lo mengamati wajah yang menunduk itu dan sinar matanya memandang penuh selidik. Sebagai orang yang berpengalaman, tanpa mendengar jawaban dengan kata-katapun dia tahu bahwa pernyataannya tadi mengguncang hati Kui Siang dan membuat gadis itu merasa canggung, serba salah dah agaknya sukar untuk mengambil keputusan.
"Kui Siang, engkau tidak perlu bingung menghadapi pinanganku. Ketahuilah bahwa selama ini aku tidak pernah meminang gadis, dan semua wanita yang menjadi isteri dan selir-selirku, hanya dihubungi seorang perantara yang menjadi utusan dan tak seorangpun di antara mereka ragu-ragu untuk menerima pinanganku. Akan tetapi engkau lain Kui Siang. Aku tahu bahwa engkau adalah seorang gadis dari dunia persilatan, walaupun dahulu engkau puteri bangsawan. Karena itu, aku melamar sendiri dan engkaupun bebas untuk menentukan jawabanmu. Andaikata engkau tidak setuju dan tidak dapat menerima pinanganku, jangan takut untuk memberi jawaban sejujurnya"
Mendengar ucapan raja muda itu, Kui Siang mengangkat muka memandang, Sejenak dua pasang mata bertemu pandang, bertaut dan akhirnya Kui Siang yang menundukkan mukanya. "Yang Mulia, maafkan hamba. Semua ini begitu tiba-tiba datangnya, dan tidak tersangka-sangka. Bagaimana mungkin hamba dapat menjawab seketika? Perkara ini menyangkut masa depan kehidupan hamba, sudah selayaknya kalau dipikirkan masak-masak sebelum menjawab, apalagi paduka menghendaki agar hamba menjawab dengan sejujurnya."
Raja Muda Yung Lo mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya yang rapi. Dia semakin kagum karena jawaban Kui Siang itu membuktikan bahwa gadis ini memang bijaksana dan jujur.
"Baiklah, Kui Siang. Aku mengerti dan memang engkau benar. Nah, kuberi waktu sebulan kepadamu. Cukupkah waktu itu?"
Kui Siang menarik napas lega dan memandang kepada raja muda itu dengan sinar mata berterima kasih. "Terima kasih, Yang Mulia. Satu bulan sudah lebih dari pada cukup bagi hamba untuk mempertimbangkan dan memikirkannya."
"Nah, sekarang jangan pikirkan lagi pembicaraan kita tadi.
Mari kita berlatih, dan aku ingin sekali mengenal lebih baik ilmu silat tangan kosong yang kaupergunakan untuk mengalahkan pembunuh malam tadi. Belum, pernah aku melihat engkau memainkannya. Silat apakah itu?"
Kini sikap raja muda itu sudah berubah sama sekali, pulih seperti biasa ramah dan sikap ini membuat KuiSiang amat bersyukur karena ia tidak merasa rikuh dan canggung lagi.
Raja muda ini memang seorang laki-laki pilihan, bukan perayu, bukan pula pria yang suka menggunakan kekuasaan harta maupun kedudukan untuk menundukkan wanita dan mematahkan perlawanan mereka. Ia dapat membayangkan betapa boleh dibilang setiap orang wanita akan menyambut pinangannya dengan hati dan tangan terbuka. Siapa tidak akan merasa bangga menjadi isteri atau selir pangeran yang kini menjadi raja muda, seorang laki-laki jantan yang selain berkedudukan tinggi, berwajah ganteng, gagah perkasa, juga jujur dan tidak congkak ini? "Sin Wan …….!" nama ini bergema terus, bahkan keluar dari bisikan mulutnya ketika ia sudah rebah seorang diri di dalam kamarnya. Pinangan Raja Muda Yung Lo mengundang kenangan lama dan membuat wajah Sin Wan terus saja terbayang di depan matanya. Sekuat tenaga hatinya ia mencoba untuk mengusir bayangan itu, namun semakin diusir, semakin jelas nampak wajah suhengnya itu.
Engkau bodoh, demikian ia memaki diri sendiri. Bagaimana dalam keadaan menerima pinangan seorang laki-laki seperti Raja Muda Yung Lo, ia malah mengenang pemuda seperti Sin Wan itu? Seorang pemuda yang menurut para paman dan bibinya sama sekali tidak pantas menjadi suaminya! Menurut mereka, Sin Wan adalah seorang pemuda yang berdarah bangsa liar, bukan pribumi, keturunan bahkan berdarah Uighur, bangsa biadab, selain itu juga dia seorang pemuda yang tidak mempunyai apa-apa, pangkat tidak hartapun tidak.
Apa yang diandalkannya untuk merjadi suaminya? "Aih, mereka itu orang-orang tamak, mata duitan dan gila pangkat," ia membela Sin Wan.
Akan tetapi, satu hal yang membuat ia mengenang Sin Wan dengan hati tidak senang adalah kenyataan bahwa suhengnya itu adalah putera dari mendiang Se Jit Kong. Iblis Tangan Api, datuk sesat yang teramat jahat, yang telah membunuh ayahnya dan menghancurkan keluarga ayahnya.
Bahkan kakek Bu Lee Ki, pemimpin semua Kai-pang yang bijaksana itupun menjauhkan diri dari Sin Wan setelah mengetahui bahwa Sin Wan putera Se Jit Kong! Bagaimana mungkin putera seorang datuk jahat seperti itu, walaupun hanya putera tiri, dapat menjadi seorang yang baik dan tidak akan mewarisi watak Se Jit Kong yang jahat? Lalu terbayang wajah Sin Wan. Terbayang pemuda yang bertubuh tinggi tegap, berkulit gelap, wajahnya jantan dan tampan gagah. Dahinya lebar, alisnya tebal berbentuk golok seperti alis Raja Muda Yung Lo, matanya lebar bersinar-sinar, hidungnya tinggi mancung agak besar, mulutnya membayangkan keteguhan hati. Tubuh itu sedang besarnya, bahunya bidang, tegap, langkahnya seperti langkah harimau.
"Sin Wan......," ia menghela napas panjang. Ia mencinta suhengnya itu, pernah mencintanya dan masih tetap mencintanya dan mungkin takkan pernah mampu melupakannya. Baginya, kemiskinan Sin Wan, kebangsaannya, kenyataan bahwa dia miskin, papa dan tidak memiliki kedudukan, bukan apa-apa. Akan tetapi, dia putera Se Jit Kong! "Sin Wan …….!" ia mengeluh sebelum akhirnya pulas dan dalam tidurpun ia bermimpi, bertemu kembali dengan Sin Wan dan dalam mimpi itupun ia tetap mencinta Sin Wan.
Kita tinggalkan dulu Kui Siang yang gelisah mempertimbangkan pinangan Raja Muda Yung Lo. Untung baginya bahwa Raja Muda Yung Lo memberi waktu sebulan kepadanya, cukup lama baginya untuk mempertimbangkan dengan masak sebelum memberi jawaban yang pasti.
Apa yang menjadi persangkaan Raja Muda Yung Lo dan para pembantunya bahwa pembunuh yang tewas di tangan Kui Siang itu adalah seorang mata-mata Mongol, memang tepat. Beberapa hari sejak kegagalan tiga orang pembunuh yang berhasil menyusup ke istana Raja Muda Yung Lo itu, dalam sebuah kuil tua yang sudah tidak terpakai lagi, di puncak sebuah bukit yang sunyi, nampak berkelebatnya bayangan beberapa orang memasuki kuil tua.
Di dalam ruangan belakang kuil tua itu telah duduk menanti seorang laki-laki yang pakaiannya serba hitam, tubuhnya tinggi besar dengan perut gendut. Akan tetapi, wajahnya tertutup topeng hitam pula, terbuat dari sutera yang hanya memperlihatkan sepasang matanya yang tajam mencorong.
Karena kepalanya juga tertutup, sukarlah menaksir bagaimana bentuk wajahnya dan berapa kira-kira usianya. Namun, mata itu sungguh berwibawa dan tajam menyeramkan. Dan di luar kuil tua, di empat penjuru, nampak penjaga yang bersembunyi, yang mengamati keadaan kuil dan mereka melihatdengan teliti siapa mereka yang datang memasuki kuil di siang hari itu. Dari tempat mereka berjaga kalau ada orang menuju kuil, baru mendaki puncak bukit itu saja sudah kelihatan sehingga tempat itu benar-benar aman, tidak mungkin dapat dikunjungi orang luar tanpa mereka melihatnya.
Beberapa bayangan orang yang berkelebat memasuki kuil itu ternyata merupakan lima orang yang dari gerakan mereka mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka ini memang merupakanlima orang tokoh sesat yang namanya sudah amat terkenal, terdiri dari lima orang saudara seperguruan yang masing-masing memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali permainan golok besar mereka. Mereka dikenal sebagai Hek I Ngo-liong (Lima Naga Baju Hitam) dan ke limanya memang mengenakan pakaian serba hitam, walaupun bukan terbuat dari sutera hitam halus seperti yang dipakai laki-laki yang duduk di ruangan belakang kuil itu.
Hek I Ngo-liong terdiri dari Coa Ok berusia limapuluh tiga tahun yang bertubuh gendut, dengan adik kandungnya bernama Coa Kun berusia limapuluh tahun yang bertubuh pendek dengan kepala botak. Orang ke tiga dan ke empat juga dua orang kakak beradik, bernama Bhe It berusia limapuluh tahun yang tinggi kurus dan Bhe Siu berusia empatpuluh lima tahun yang wajahnya tampan dan pesolek.
Adapun orang ke lima bernama Kwan Su berusia empatpuluh tahun, tubuhnya sedang akan tetapi wajahnya paling jelek karena hitam dan penuh cacat bekas cacar. Masing-masing memiliki ilmu golok yang tangguh, apalagi mereka biasa maju bersama, maka dapat dibayangkan betapa lihai mereka kalau maju bersama sebagai to-tin (barisan golok), sukar dapat dikalahkan lawan.
Belasan tahun yang lalu, ketika terjadi perebutan bendabenda pusaka istana kaisar yang dicuri Se Jit Kong kemudian terjatuh ke tangan Sam-sian, Hek I Ngo-liong itu pernah mencoba untuk merampasnya dari tangan Sam-sian. Akan tetapi, mereka bukan tandingan Sam-sian. Biarpun mereka maju berlima menghadapi mendiang Kiam-sian, Dewa Pedang yang semula terdesak itu akhirnya dapat mengalahkan mereka.
Kalau seorang Dewa Pedang saja baru dengan susah payah dapat mengalahkan mereka, maka dapat dibayangkan betapa tangguhnya lima orang Naga Baju Hitam ini! Mereka tangguh, kejam, tidak mau tunduk kepada siapapun juga, bahkan congkak. Akan tetapi kalau ada orang yang mengenal mereka dan melihat sikap mereka ketika memasuki ruangan belakang kuil tua dan berhadapan dengan si kedok hitam yang duduk di atas kursi, orang akan merasa heran. Lima orang Hek I Ngoliong itu memberi hormat dengan sikap yang merendah sekali.
Mereka mengangkat kedua tangan ke depan dada, lalu membungkuk sampai pinggang mereka terlipat ke depan, dan dengan irama kacau mereka menyebut "Yang Mulia" kepada orang berkedok itu! Tanpa bangkit dari tempat duduknya, dengan sikap penuh wibawa, orang berkedok itu memandang lima orang pendatang dengan sinar matanya yang mencorong penuh selidik, lalu mengangguk dan terdengar suaranya yang dalam dan parau, namun kata-katanya teratur rapi seperti cara bicara seorang bangsawan tinggi.
"Selamat datang, Hek I Ngo-liong. Duduklah kita masih menanti datangnya beberapa rekan lagi." "Baik Yang Mulia," kata Coa Ok mewakili mereka berlima dan merekapun mengambil tempat duduk. Di situ telah diatur bangku-bangku yang mengelilingi sebuah meja besar. Karena orang berkedok itu hanya duduk dengan tegak, tidak memandang lagi kepada mereka, juga tidak mengeluarkan sepatah kata lagi, diam seperti patung, Hek I Ngo-liong juga duduk diam. Bahkan lima orang yang biasanya acuh dan tidak menghormati orang lain ini, yang biasa bersikap kasar dan mau menang seperti lima ekor tikus berhadapan dengan seekor kucing yang galak. Mereka mati kutu dan tidak berani bergerak! Memang mengherankan sekali. Akan tetapi kalau orang sudah tahu siapasi kedok hitam ini, tentu mereka mengerti mengapa Hek I Ngo-liong bersikap demikian takut. Mereka berlima juga tidak pernah melihat wajah aseli si kedok hitam dan hanya mengenalnya sebagai "Yang Mulia" saja. Mereka hanya tahu bahwa si kedok hitam ini memiliki kepandaian tinggi, juga mempunyai anak buah yang rata-rata lihai bukan main. Yang membuat dia ditakuti adalah karena mudah saja dia membunuh orang, akan tetapi juga mudah memberi hadiah yang luar biasa royalnya.
Hek I Ngo-liong sendiri sudah banyak menerima hadiah dari Yang Mulia, dan mereka tahu bahwa mereka berlima sama sekali bukan tandingan dari orang aneh itu. Mereka juga tahu bahwa Yang Mulia ini merupakan seorang di antara para pimpinan yang berusaha untuk membangun kembali Kerajaan Mongol! Mereka bekerja secara rahasia, namun telah membuat jaringan yang kuat, mempunyai banyak anak buah yang dijadikan mata-mata dan tersebar di mana-mana.
Tak lama kemudian, nampak ada dua bayangan orang berkelebat dan muncul dua orang yang berpakaian ringkas, keduanya bertubuh tinggi kurus dan melihat usia mereka, tentu mereka berusia sekitar empatpuluh tahun. Namun wajah keduanya pucat dan biarpun gerakan mereka masih ringan dan cepat, namun yang seorang agak terpincang dan seorang lagi membongkok. Ternyata keduanya menderita luka, seorang terluka di paha dan seorang lagi di punggung. Begitu tiba di ruangan itu, keduanya menjatuhkan diri dan memberi hormat dengan setengah berlutut kepada Yang Mulia.
Sepasang mata di balik kedok itu berkilat menyambar.
"Kalian yang telah gagal menunaikan tugas, duduklah dulu."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar