10. Hwesio Murtad dari Tibet
Wang Sin hendak mencegah, akan tetapi terlambat. Sepuluh orang itu terlalu girang kalau hanya menerima hukuman seperti itu, dianggap amat ringan. Dengan cepat mereka hampir berbareng menggunakan telunjuk menusuk mata kiri masing-masing, mencokelnya keluar dan berganti-ganti menyerahkan biji mata mereka itu kepada Ci Ying. Gadis ini sambil tertawa-tawa menerima sepuluh buah biji mata itu dan memasukkannya ke dalam kantong jarum rahasia
"Kalian boleh pergi. Bawa pergi bangkai-bangkai yang bau ini dan tinggalkan dua kuda terbaik lengkap dengan perbekalan jalan!"
Sepuluh orang itu sambil menggunakan tangan kiri menutupi mata kiri yang sudah bolong dan mengalirkan darah, tergesa-gesa pergi dari situ membawa mayat sembilan orang dan meninggalkan dua ekor kuda besar yang paling baik. Sebelum pergi, tidak lupa mereka menjura menghaturkan terima kasih kepada Ci Ying
Hebat pemandangan ini. Wang Sin sampai merasa betapa kedua kakinya menggigil
Orang lain boleh takut setengah mampus kepada Ci Ying, akan tetapi dia tidak
Dalam pandangannya, gadis itu masih tetap Ci Ying yang dahulu, tunangannya yang lincah jenaka. Mengapa sekarang berubah begini? "Ci Ying, kau benar-benar mengerikan. Untuk apa kau simpan sepuluh mata itu?" tanyanya, suaranya masih gemetar
Ci Ying tertawa, lalu mengambil sebotol minyak dari sakunya. Dengan muka tersenyum ia menuang isi botol ke dalam kantong sehingga sepuluh buah mata itu terendam minyak yang berwarna merah
"Kau tidak tahu. Dengan obat ini kesepuluh buah mata itu menjadi keras seperti gundu-gundu beling yang indah. Selain indah untuk permainan, juga berguna untuk dijadikan senjata am-gi (senjata gelap). Bukankah lebih bagus dari segala macam pelor besi ? Hi-hi-hi!"
"Kau terlalu ganas, Ci Ying, terlalu kejam kepada mereka....."
"Mereka orang-orang jahat!"
"Biarpun begitu, cukup kau mengancam dan menakuti mereka, agar mereka mengubah hidup menjadi orang-orang baik."
"Heh, tidak ada orang baik di dunia ini, semuanya jahat. Yang baik hanya kita, eh, kanda Wang Sin, yang tidak hanya kau dan aku!" Inilah "filsafat" yang selalu diajarkan oleh Cheng Hoa Suthai ketua Cheng-hoa-pai. Semua anggota Cheng-hoa- pai menganggap bahwa di dunia ini hanya sendiri yang baik. Orang-orang lain semua jahat, karena harus dimusuhi, dibasmi dan kalau perlu dibunuh
Dua orang muda itu melanjutkan perjalanan mereka. Sekarang perjalanan dapat dilakukan dengan cepat karena mereka sudah mendapatkan dua ekor kuda yang baik dan yang sudah sering kali dipergunakan orang menjelajah daerah pegunungan itu. Mula-mula Wang Sin berpikir bahwa nanti kalau dia dan Ci Ying sudah berhasil membunuh Yang Nam, ia akan menjauhkan diri dari gadis ini, untuk kembali ke Kun- lun, mencari isterinya
Akan tetapi makin lama melakukan perjalanan dengan Ci Ying, makin tahulah ia akan sifat gadis ini dan hatinya menjadi terharu. Ci Ying sebetulnya masih seperti dulu, lincah jenaka. Hanya saja, ada pengaruh aneh yang meliputi diri gadis ini dan pengaruh ini seperti penyakit dan kadang-kadang datang kadang-kadang pergi. Kalau lagi waras, gadis ini tiada bedanya dengan Ci Ying tunangannya dulu. Akan tetapi kalau "kumat", wah, benar mengerikan. Watak lincah jenaka berubah menjadi dingin keras, kehalusan berubah kekasaran, seorang dewi berubah menjadi seorang siluman betina
Ia dapat menduga bahwa ini tentu akibat dari pelajarannya, akibat dari hubungannya dengan Cheng-hoa-pai dan diam-diam ia menaruh kasihan. Akan tetapi dalam keadaan bagaimanapun juga, sedang waras atau sedang gila, gadis itu tetap baik kepadanya dan selalu menunjukkan cinta kasih yang amat besar. Bagaimana ia tega untuk meninggalkan gadis ini? Dalam hal ilmu silat, ia kalah jauh. Ia mengerti bahwa hal ini bukan sekali-kali karena ia kalah rajin belajar, melainkan karena orang yang menggembleng diri Ci Ying memiliki kesaktian luar biasa, memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada guru-gurunya di Kun-lun-pai. Diam-diam ia sering bergidik kalau memikirkan bagaimana hebatnya kepandaian dari Cheng Hoa Suthai orang yang menjadi guru Ci Ying, yang menjadi ketua Cheng-hoa-pai di Heng-toan-san Hari masih pagi sekali ketika dua orang muda ini sudah tiba di luar kota Lasha. Dari jauh sudah nampak bangunan-bangunan yang tinggi dan megah. Mereka menjadi kagum dan terpesona. Sampai lama mereka menghentikan kuda dan memandang ke depan, merasa seperti mimpi. Sudah semenjak kecil mereka mendengar hebatnya pemandangan di kota Lasha. Kota tempat tinggal para dewa
Pada masa itu, Tibet masih diperintah oleh seorang raja. Akan tetapi, biarpun Tibet merupakan kerajaan, namun sebetulnya yang berkuasa adalah para pendeta Lama
Mereka ini besar sekali pengaruhnya dan tidak ada keputusan raja dikeluarkan tanpa lebih dulu minta persetujuan dari para pendeta-pendeta kepala
Sudah terkenal sampai ke daratan Tiongkok bahwa di Lasha ini adalah kedungnya ilmu-ilmu yang aneh dan bahwa para pendeta Tibet ini banyak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kabarnya Tat Mo Couwsu banyak meninggalkan kitab-kitab yang tinggi luar biasa di daerah ini yang menjadi kedungnya agama Buddha
Tempat inilah merupakan "stasiun", tempat agama Buddha menyeberang dari India ke Tiongkok, maka tidak mengherankan apabila di situ terdapat banyak sekali pendeta- pendeta yang pandai. Raja yang masih muda seakan-akan hanya boneka di tangan para pendeta kepala. Sudah jamak di dunia ini bahwa segala keadaan adalah dwipura. Ada tinggi ada rendah, ada besar ada kecil, ada baik ada buruk. Bukan hanya jamak, memang sudah seharusnya demikian menurut hukum Im-Yang. Tidak ada Im, mana bisa ada Yang? Tidak ada sebutan tinggi, mana bisa muncul sebutan rendah? Kalau manusia tidak mengenal apa itu artinya buruk, mana bisa mengenal pula artinya baik? Dua sifat bertentangan, Im dan Yang inilah yang menghidupkan sesuatu yang menjadi sumber dari pada pengertian kita sehingga timbullah pengertian untuk mengenal, membedakan, dan karenanya panca indera kita dapat dipergunakan
Demikian pula kehidupan di kalangan para pendeta Lama. Sungguhpun mereka itu semenjak kecil dijejali ajaran-ajaran agama yang selalu mengutamakan kebaikan melulu, namun dasar manusia ada yang baik tentu ada yang buruk. Kalau semua manusia baik, dunia tidak sekacau sekarang ini, tentu berubah menjadi taman sorgaloka
Bukan hanya terdapat perbedaan-perbedaan, malah di antara pendeta-pendeta yang sudah tinggi tingkatnya, timbul bermacam aliran. Memang banyak terdapat pendeta- pendeta Lama yang betul-betul penganut agama yang amat saleh, beribadat dan taat sehingga merupakan orang-orang alim yang menyucikan diri
Akan tetapi, tidak kurang-kurang pula banyaknya yang tersesat, menyeleweng dari ajaran agama atau lebih tegas menyelewengkan agama menjadi ilmu-ilmu setan atau ilmu-ilmu hitam. Malah banyak diantaranya yang begitu rendah sampai mau menjadi penjilat-penjilat para bangsawan untuk dapat mengecap kenikmatan duniawi sepuas- puasnya dan sekenyang-kenyangnya
Seperti telah diketahui, putera tuan tanah Yang Can di Loka, yaitu Yang Nam, setelah menikah dengan puteri seorang berpangkat di Lasha, dia mendapat kedudukan pangkat yang lumayan. Di Lasha pada waktu itu, seperti di kota-kota besar lain di negara yang belum sempurna keadaannya, kemuliaan seseorang ditentukan oleh pangkat dan hartanya. Kalau ia berpangkat, apa pula berharta, mulialah dia. Besarlah pengaruh dan kekuasaannya
Yang Nam adalah putera tuan tanah yang kaya raya, maka dengan menggunakan hartanya, amat mudah baginya untuk menarik bantuan para pendeta Lama yang silau matanya oleh emas untuk menjadi pelindungnya. Malah ia berhasil pula mempengaruhi Thu Bi Tan, seorang di antara "empat besar" yaitu empat orang guru besar di antara pendeta Lama yang dianggap paling pandai dan paling tinggi kedudukannya
Memang banyak di antara para hwesio yang menyeleweng, akan tetapi selama ini, empat orang guru besar itu tetap dapat menjaga kesucian diri. Hanya setelah Yang Nam pindah ke Lasha dan diam-diam mengadakan perhubungan dengan Thu Bi Tan, hwesio kepala ini akhirnya kena dipengaruhi dan merupakan pelindung Yang Nam
Makin besarlah kekuasaan Yang Nam setelah semua orang mengetahui bahwa orang muda ini adalah "sahabat baik" Thu Bi Tan yang ditakuti orang
Ketika Yang Nam mendengar tentang kejadian di Loka, di mana ayahnya dan antek- anteknya tewas oleh Ci Ying dan Wang Sin, ia terkejut setengah mati. Sambil berlutut ia menangis di depan Thu Bi Tan Hwesio, menceritakan malapetaka yang menimpa keluarga ayahnya di Loka. Sebetulnya, Yang Nam lebih banyak merasa takut dari pada berduka, karena ia maklum bahwa tentu dua orang bekas budak itu akan mengetahui bahwa ia telah pindah ke Lasha dan mencarinya untuk membalas dendam
"Sudahlah, Taijin, jangan berduka. Mati hidup bukan milik raga kita dan ayahmu sudah mati biarlah ia mendapat tempat yang tenteram. Adapun dua orang pemberontak itu, biar mereka berkepala tiga berlengan enam, ada pinceng yang akan menangkapnya agar kau dapat menghukumnya," kata Thu Bi Tan menghibur
Akan tetapi ketika mendengar dari para hwesio yang dapat melarikan diri dari Loka ke Lasha betapa banyak pula pendeta dikepalai Thouw Tan Hwesio terbinasa di Loka, Thu Bi Tan Hwesio menjadi marah sekali. Tidak hanya dia seorang yang marah, malah tiga orang pendeta kepala yang lain diam-diam merasa tak senang
Mereka dapat mengerti kalau ada budak yang memberontak dan membunuh tuan tanah, akan tetapi membunuh pendeta-pendeta, itulah keterlaluan, pikir mereka. Tentu saja para pendeta kepala kerjanya hanya bersembahyang di dalam kelenteng ini tidak tahu akan sepak terjang murid-murid mereka yang menyeleweng itu
Biasanya tiga orang pendeta kepala yang lain, adalah orang-orang yang beribadat dan tidak mudah marah, akan tetapi kali ini mereka tidak membantah ketika Thu Bi Tan Hwesio memberi tugas kepada seorang murid kepala yang bernama Ga Lung Hwesio untuk membawa beberapa orang saudara dan melakukan pengejaran serta menangkap dua orang muda yang telah mengamuk di Loka itu
Ga Lung Hwesio adalah seorang pendeta gemuk yang berilmu tinggi. Kepandaiannya masih jauh lebih tinggi daripada Thouw Tan Hwesio dan dia merupakan murid nomor satu Thu Bi Tan Hwesio, Peribahasa "guru kencing berdiri murid kencing berlari" terbukti kebenarannya di sini. Karena Thu Bi Tan Hwesio menjadi "sahabat" Yang Nam, tentu saja murid-murid ini bukan hanya sekedar bersahabat, malah boleh dibilang dia menjadi antek pembesar muda itu
Kalau di Loka Yang Nam dahulu mengandalkan Thouw Tan Hwesio, maka di Lasha ia mempunyai Ga Lung Hwesio sebagai pengawal pribadinya. Maka terdengar perintah guru besar ini kepada muridnya. Diam-diam Yang Nam lalu cepat menghujani Ga Lung Hwesio dan empat orang sutenya dengan hadiah-hadiah dan janji-janji muluk sambil dibisiki supaya kalau sukar menangkap hidup, dua orang muda yang mengamuk di Loka itu "dibereskan" saja yang artinya dibunuh
Demikianlah, Wang Sin dan Ci Ying yang telah tiba di luar kota Lasha, tiba-tiba melihat lima orang hwesio datang dengan langkah lebar dan cepat. Melihat gerakan kaki lima orang hwesio yang amat ringan ini, diam-diam Wang Sin dan Ci Ying terkejut dan dapat menduga bahwa yang datang ini adalah orang-orang dengan kepandaian tinggi
"Kanda Wang Sin, kita telah disambut. Tapi jangan takut, aku akan menghadapi mereka!" kata Ci Ying, sikapnya memandang rendah sekali. "Ci Ying, musuh kita hanya Yang Nam. Jangan mencari gara-gara dengan para hwesio di sini." Wang Sin memperingatkan akan tetapi gadis itu tersenyum mengejek
Lima orang hwesio itu bukan lain adalah Ga Lung Hwesio yang memimpin empat orang sutenya. Baru saja hendak berangkat mencari dua orang muda yang mengamuk di Loka, mereka sudah mendengar laporan mata-mata di luar tembok kota bahwa yang mereka cari sudah datang. "Bagus," kata Ga Lung Hwesio, anjing-anjing sudah datang tinggal menggebuk saja!"
Lalu bersama empat orang sutenya, ia berlari keluar kota untuk menghadang Wang dan Ci Ying
Melihat bahwa pasangan muda mudi itu benar-benar masih amat mudah, Ga Lung Hwesio menjadi heran sekali. Masa Thouw Tan Hwesio sampai kalah oleh dua orang muda ini? "Apakah kalian yang bernama Wang Sin dan Ci Ying, dua orang bekas budak yang menimbulkan huru-hara di Loka?" tanya Ga Lung Hwesio sambil mengangkat muka dengan sikap angkuh
Dengan tenang Wang Sin menjawab. "Betul." Akan tetapi Ci Ying tertawa dan menyambung, "Hwesio cebol, kalau nonamu yang membikin huru-hara di Loka, kau mau apa?"
Ga Lung Hwesio adalah seorang yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya
Mendengar makian ini ia dapat menindas perasaan marahnya dan ia hanya tersenyum
"Orang-orang muda suka besar kepala, mengira di dunia ini tidak ada yang bisa mengalahkan mereka. Ah, anak-anak yang masih hijau, lekas kalian turun dan berlutut. Pincengan tidak akan menggunakan kekerasan, hanya akan menggiring kalian ke kota di mana kalian akan dihadili."
"Hwesio sialan, siapa sudi dengar omonganmu yang busuk? Menyingkirlah biar kami lanjutkan perjalanan!" bentak Ci Ying, tangan kirinya bergerak dan lima benda bundar mengkilap menyambar ke arah jalan darah berbahaya di tubuh Ga Lung Hwesio dan adik-adik seperguruannya. Itulah serangan gelap yang amat cepat dan sukar dikelit. Akan tetapi dengan tenang lima orang hwesio itu menggerakkan tangan dan lima buah benda bundar itu sudah dapat mereka tangkap dengan telapak tangan
Ga Lung Hwesio melihat benda itu dengan keningnya berkerut. Dengan tongkatnya yang kecil panjang, tongkat terbuat dari sebangsa bambu kuning, ia mencongkel tanah di depannya kakinya, melempar benda itu ke dalam tanah dan menguruknya lagi dengan ujung tongkat
Sambil mengeluarkan seruan kaget, empat hwesio yang lain juga mengikuti perbuatan ini, lalu kelimanya mengucapkan doa-doa pendek sambil merangkap kedua tangan ke depan dada. Kemudian Ga Lung Hwesio membuka matanya, memandang Ci Ying sambil membentak
"Bocah keji! Dari mana kau mendapatkan mata manusia itu?" "Orang-orang telah dengan suka rela. menyumbangkan sebelah matanya kepadaku, semua ada sepuluh biji. Sekarang kalian lima orang hwesio sinting membuang lima biji, harus ditukar dengan sebelah mata kalian?" jawab Ci Ying sambil mendelikkan matanya
Dua orang hwesio mengeluarkan seruan keras, tak dapat menahan kemarahannya
Serentak mereka melompat ke depan, seorang menubruk Ci Ying dan yang seorang lagi menubruk Wang Sin untuk menyeret dua orang muda itu turun dari kuda
Sambaran mereka ini hebat sekali, tangan kanan mencengkeram ke arah pundak dan tangan kiri dihantamkan kepada punggung kuda
Wang Sin yang merasai datangnya angin pukulan yang amat keras, kaget bukan main
Ia melompat ke arah lain sambil menggulingkan tubuh, hampir saja ia roboh terguling kalau tidak lekas-lekas ia menggunakan tangannya mendorong tanah, sehingga ia dapat berdiri tegak lagi
Adapun Ci Ying sambil mengeluarkan suara nyaring, dengan ringan sekali tubuhnya melompat dari atas kuda menghindarkan cengkeraman, akan tetapi tidak seperti Wang Sin, sambil melompat sabuk merahnya meluncur ke arah leher lawan merupakan serangan balasan yang sekali gus mengarah urat kematian
Terdengar suara keras ketika tangan kiri dua orang hwesio itu mengenai punggung kuda. Dua ekor binatang itu meringkik hebat, melompat jauh dan berlari keras. Akan tetapi baru beberapa belas meter mereka lari, sekali lagi mereka meringkik dan terguling roboh berkelonjotan terus mati. Kiranya hajaran tangan kiri dua orang hwesio tadi telah meremukkan isi perut mereka
Adapun hwesio yang menyerang Ci Ying, ketika melihat datangnya ujung sabuk mengarah jalan darah di lehernya, kembali mengeluarkan seruan keras, tangan kanannya yang luput mencengkeram tadi ditarik untuk menangkap ujung sabuk dan merampasnya. Akan tetapi, Ci Ying lihai sekali
Sekali sendal ujung sabuknya melejit dan lolos dari cengkeraman malah dapat memecut lengan hwesio itu yang cepat mundur dengan seruan kaget. Kulit lengannya itu pecah dan biarpun tak mendatangkan luka berbahaya tetap saja terasa amat sakit
Di lain saat Ci Ying sudah tertawa ha-ha-ha-hi-hi sambil mengobat-abitkan sabuknya
"Mari, mari, cucuku gundul, mari kalau hendak menerima hajaran nenekmu!" katanya
Dua orang hwesio itu memuncak kemarahannya. Dengan geram mereka mengeluarkan senjata mereka, sebuah toya yang besar dan berat. Langsung mereka menerjang maju, seorang menyerang Wang Sin yang kedua menyerang Ci Ying
Wang Sin sudah menarik pedangnya dan segera ia bertempur dengan hwesio itu
Diam-diam ia mengeluh karena selain toya lawannya amat kuat tidak terpatahkan pedang mustikanya, juga tenaga lawannya ini besar sekali, membuat telapak tangannya sakit-sakit tiap kali senjatanya menangkis toya. Ia segera mengeluarkan semua kepandaiannya, mainkan ilmu pedang Kun-lun-pai yang amat cepat. Benar juga, setelah ia menggunakan kecepatannya, ia dapat mengimbangi lawan. Di lain pihak, sambil tertawa-tawa mengejek, Ci Ying melayani dan mempermainkan hwesio kedua. Toya adalah sebuah senjata yang kaku dan keras, maka menghadapi senjata sabuk yang amat lemas dan digerakkan dengan amat cepat secara aneh, hwesio itu segera terdesak hebat
Harus diakui bahwa dalam hal tenaga dalam, Ci Ying masih tidak mampu menangkan hwesio ini yang sudah memiliki pengalaman dan latihan puluhan tahun. Akan tetapi Ci Ying mewarisi ilmu silat yang aneh dan ganas. Setiap pukulan merupakan tangan maut yang mengarah jalan darah-jalan darah yang paling berbahaya, tidak mengherankan apablia hwesio lawannya menjadi bingung dan kacau permainan toyanya
"Hi-hi-hi, hwesio bau. Orang macam kau biar ada sepuluh, mana bisa melawan aku? Konco-koncomu itu apa jerih menghadapi aku? Biar mereka maju bersama!" tantangnya, sombong dalam kemenangannya
Melihat seorang saudaranya menghadapi Wang Sin sudah cukup dan dapat mendesak, hwesio-hwesio itu tidak mau membantu. Akan tetapi melihat saudaranya yang terdesak oleh Ci Ying mereka gelisah
Akan tetapi Ga Lung Hwesio dan empat orang adik seperguruannya ini adalah hwesio-hwesio berkedudukan tinggi di Tibet, mana mereka sudi mengeroyok ? Hanya setelah mendengar tantangan Ci Ying, seorang di antara mereka menjadi panas hati dan mendapatkan kesempatan selagi lawan menantang, ia segera melompat maju memutar tongkatnya
"Bocah ganas, lihat toya!" serunya sambil menyerang dengan hebat
Ci Ying diam-diam sudah siap sedia. Melihat hwesio itu maju, ia tertawa dan sekali tangan kirinya bergerak kembali lima biji mata yang masih berada di kantongnya, ia sambitkan kepada hwesio itu, mengarah lima jalan darah di tubuhnya. Jarak antara mereka hanya tiga empat meter, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya serangan mendesak ini
"Makan ini!" seru Ci Ying. Sebetulnya, menurut sopan santun dunia persilatan, menyerang secara menggelap merupakan pantangan besar. Oleh karena itu, setiap kali hendak membuka serangan, orang selalu membentak dan setiap kali menggunakan senjata rahasia, selalu didahului dengan seruan agar lawan bersiap sedia. Akan tetapi Ci Ying yang licik sekali berseru setelah senjata rahasianya menyambar lawan
Bukan main kagetnya hwesio ini. Hwesio pertama yang tahu kawannya diserang secara menggelap, hendak mencegah dengan mengirim serangan ke arah kepala Ci Ying, akan tetapi ia terlambat. Lima buah benda itu sudah dilontarkan dan dengan cekatan Ci Ying sudah dapat mengelak dari serangannya
Hwesio yang menghadapi ancaman maut dari lima butir biji mata itu, melempar diri ke belakang untuk menghindarkan serangan, akan tetapi dua butir biji mata yang menyambar lutut kiri dan bawah pusarnya sukar dikelit dan agaknya ia akan segera mendapat celaka. Pada saat itu terdengar bentakan keras dan sebatang tongkat kecil panjang meluncur memapak dua butir biji mata itu sehingga terdengar suara "tak-tak" dan biji mata itu terlempar ke pinggir, tidak mengenai sasaran. Itulah tongkat dari Ga Lung Hwesio yang dilontarkan untuk menangkis
Hwesio yang baru saja terbebas dari bahaya maut, melompat bangun dengan muka pucat. Keringat dingin membasahi jidatnya. Ia bersyukur bahwa suhengnya sudah bergerak cepat dan dapat menyelamatkan nyawanya
Ia memungut tongkat itu dan menyerahkan kepada Ga Lung Hwesio dengan sinar mata terima kasih. Kemudian ia menerjang Ci Ying, memaki. "Setan licik, kau benar- benar ganas dan pantas menjadi penghuni neraka!"
Hi-hi-hi, hwesio bau. Suruh kawanmu yang dua lagi maju. Itu hwesio cebol mana berani?"
Ga Lung Hwesio hanya tersenyum biarpun hatinya mendongkol sekali dimaki oleh gadis itu. Akan tetapi sutenya seorang lagi marah lalu memutar toya dan menyerbu sehingga di lain saat Ci Ying sudah dikeroyok tiga. Tentu saja Ci Ying menjadi repot sekali
Melawan seorang hwesio saja, ia dapat mengimbangi dan menang di atas angin hanya karena ia mengandalkan kecepatannya pada hal ia kalah tenaga. Apalagi sekarang dikeroyok tiga. Lebih-lebih lagi kegelisahannya ketika melihat Wang Sin sudah repot sekali dan dalam jurus berikutnya Wang Sin terkena serampangan kakinya. Ia mencoba untuk melompat, akan tetapi kurang cepat dan tulang keringnya terkena hajaran toya sampai patah tulangnya
Orang muda itu mengeluh dan melompat jauh menggunakan satu kakinya yang belum terluka. Hwesio itu hendak mengejar, akan tetapi Ci Ying keburu melompat jauh menghadang di depan Wang Sin sambil berseru
"He, hwesio tengik! Kawanku sudah terluka dan kalah, kau masih mendesak terus, apakah tua bangkotan tidak malu menghina yang muda?"
Mendengar ucapan ini, hwesio itu melengak dan otomatis ia bergerak mundur. Tentu saja, sebagai seorang yang berkedudukan tinggi ia pantang sekali dianggap "yang tua menghina yang muda", ia ragu-ragu dan menengok ke arah Ga Lung Hwesio sambil menanti keputusan
"Bocah ganas, apakah setelah kawanmu terluka kau masih tidak mau menyerah?" tanya Ga Lung Hwesio
Ci Ying cerdik sekali, akan tetapi ia maklum bahwa kali ini ia tidak berdaya. Maka ia sengaja hendak mengulur waktu dan tidak mau menyerah secara mentah-mentah
"Hwesio cebol, siapa sudi menyerah? Kawanku terluka, akan tetapi, aku belum kalah, kau tahu?"
"Kalau begitu, kami akan merobohkan kau lebih dulu!" seru hwesio yang tadi hampir menjadi korban senjata rahasia dan ia melompat maju dengan serangannya, diikuti dua orang kawannya. Mereka bertiga yang tadi mengeroyoknya hendak cepat-cepat mengalahkan Ci Ying, maka begitu menerjang mereka menggunakan tongkat mereka mainkan jurus yang paling ampuh
Ci Ying cepat mengelak sambil mengebut dengan sabuknya, "Cih, tak tahu malu! Tiga monyet bangkotan mengeroyok seorang nona muda. Mana di dunia kang-ouw ada macam aturan itu? Tebal muka!"
Tiga orang hwesio itu menjadi bohwat (tak berdaya). Mereka merasa malu sekali dan terpaksa mereka menahan senjata mereka
"Kau sendiri yang tadi menantang minta dikeroyok!" seorang di antara mereka mencoba untuk membentak
"Celaka, aku bicara main-main, kiranya kalian kakek-kakek tua begitu tidak tahu malu menggunakan kesempatan orang muda main-main lalu mengeroyok sungguh- sungguh."
Ci Ying memang sejak dulu berwatak lincah jenaka dan pandai bicara. Sekarang menghadapi ancaman pihak yang lebih kuat, keganasannya bersembunyi dan muncullah sifat-sifatnya dahulu yang cerdik
Melihat tiga orang sutenya nampak bengong, Ga Lung Hwesio tertawa sambil memukul-mukulkan tongkatnya ke atas tanah. "Sute sekalian mundurlah. Biar pinceng menghadapinya seorang lawan seorang."
Ci Ying melihat akalnya berhasil membuat ia tidak akan dikeroyok lagi. Apa pula yang maju adalah hwesio cebol gemuk ini. Yang lain-lain boleh lihai, akan tetapi si cebol gemuk ini mana bisa main silat dengan baik? Ia cepat menghampiri Ga Lung Hwesio dan menyerang dengan serentak. "Bagus! Siapa kalah dalam pertempuran ini berarti haknya kalah dan harus mundur. Janji orang gagah tak dapat ditarik kembali!"
Para hwesio itu melengak. Siapa yang berjanji? Benar-benar seorang bocah yang licik sekali, lihai ilmu silat dan mulutnya. Akan tetapi Ga Lung Hwesio yang sudah melihat ilmu silat Ci Ying, tanpa ragu-ragu lagi berkata, "Baiklah, siapa kalah berarti pihaknya kalah. Majulah!"
Ci Ying tidak berlaku seji (sungkan) lagi. Sabuknya menyerang cepat, mengarah jalan darah yang-goat-hiat dan kin-ceng-hiat. Anehnya Ga Lung Hwesio tidak mengelak mundur, bahkan melangkah setindak dan menyodokkan tongkatnya ke arah leher nona itu. Gerakan tongkatnya yang kecil panjang itu cepat bukan main, tahu-tahu sudah mengancam leher Ci Ying
Gadis ini terkejut. Kalau dia melanjutkan serangannya, sebelum ujung-ujung sabuknya mengenai tubuh lawan, lebih dulu ia akan "dimakan" tongkat. Terpaksa ia mengelak sambil menggerakkan sabuknya lagi, sekali gus menotok ke arah iga dan pergelangan tangan Ga Lung Hwesio. Gerakannya indah dan cepat lagi ganas, membuat hwesio pendek gemuk itu mengeluarkan seruan memuji. Akan tetapi secepat-cepatnya Ci Ying, ia masih kalah cepat oleh hwesio murid kepala Tibet itu. Tongkat sudah diputar lagi, sekali gus menangkis dua ujung sabuk. Ci Ying menggetarkan sabuknya hendak membelit tongkat, namun lawannya sudah menarik kembali tongkatnya dan di lain saat ia sudah berjongkok dan dua kali ujung tongkatnya menusuk sambungan lutut kedua kaki Ci Ying
Gadis itu berseru kesakitan dan roboh terguling. "Ikat gadis liar ini!" seru Ga Lung Hwesio kepada seorang sutenya. Akan tetapi sesosok bayangan berkelebat dan Wang Sin sudah berdiri dengan sebelah kaki pincang
Orang muda ini menghadang dengan sikap gagah, pedang melintang di dada sambil berseru. "Jangan kurang ajar! Siapa berani mengganggu Ci Ying akan menjadi makanan pedangku!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar