11 Kun Lun Hiap Kek

11. Pembalasan Para Pendeta Lama

Ga Lung Hwesio tertawa dan tongkatnya digerakkan, Wang Sin menangkis dengan pedangnya, mengerahkan tenaganya

"Tranggg....!" Pedangnya terlepas dan terlempar jauh dengan cepat, meluncur merupakan sinar kebiruan dan dia sendiri segera roboh ketika tongkat hwesio pendek itu menotok pundaknya

Selagi lima orang hwesio itu kegirangan karena melihat dua orang muda yang mengamuk sudah tertawan, tiba-tiba mereka kaget karena sinar biru dari pedang Wang Sin yang terlempar tadi terhenti di tengah jalan dan tahu-tahu sudah disambar oleh tangan seorang wanita yang berusia lima puluh tahun lebih

Wanita ini berpakaian serba putih seperti seorang pendeta, tangan kirinya memegang kebutan merah dan tangan kanan memegang seuntai tasbeh. Tasbeh inilah yang tadi diputar dan "menangkap" pedang yang sedang terbang itu

Ga Lung Hwesio dan empat orang sutenya melihat wanita ini menjadi kaget karena di rambut kepala wanita ini terdapat sekuntum bunga hijau yang mengeluarkan sinar gemilang. Mereka teringat akan bunga hijau yang menghias kepala Ci Ying dan tahulah mereka siapa orangnya yang telah datang ini

Akan tetapi Ga Lung Hwesio pura-pura tidak mengenalnya dan segera menjura dengan hormat. Sebagai seorang hwesio, melihat pendeta dari aliran agama lain, ia berlaku hormat

"Omitohud...... ada saudara datang tidak keburu menyambut karena gangguan anak- anak muda. Harap toyu sudi memaafkan pinceng berlima."

Nenek itu mengeluarkan suara dingin sambil memandang tajam. "Hwesio-hwesio bangkotan menindas orang-orang muda, sungguh tak tahu malu!"

"Suthai, bikin mampus mereka. Mereka telah menghina muridmu!" kata Ci Ying yang girang sekali melihat kedatangan nenek itu yang bukan lain adalah gurunya, Cheng Hoa Suthai ketua dari Cheng-hoa-pai di Heng-toan-san. Ga Lung Hwesio dan sute-sutenya sudah mendengar kehebatan nenek tua Cheng-hoa- pai ini, akan tetapi karena belum pernah melihat sendiri kelihaiannya, mereka tidak takut. Adalah karena mendengar ucapan Ci Ying tadi mereka menjadi khawatir sekali kalau-kalau nenek itu terlalu memihak murid sendiri, maka Ga Lung Hwesio cepat menjawab

"Kiranya Cianpwe adalah ketua dari Cheng-hoa-pai yang ternama. Harap cianpwe suka mempertimbangkan urusan ini. Semua adalah kesalahan muridmu sendiri yang telah membunuh sute Thouw Tan Hwesio dan banyak pendeta-pendeta lain. Dia memberontak di Loka dan......."

"Ci Ying, kenapa kau membunuh keledai-keledai gundul di Tibet?" tanya Cheng Hoa Suthai kepada muridnya. Pertanyaan ini terdengar keren, akan tetapi dengan menggunakan sebutan "keledai gundul" berarti dia telah memaki para hwesio di Tibet yang agaknya tak diindahkan olehnya

Ci Ying sudah mengenal baik watak gurunya. Nenek ini amat ganas dan kejam hatinya, akan membunuh setiap orang tanpa berkejap mata. Akan tetapi dia amat pantang untuk menodai nama baik Cheng-hoa-pai dan berlaku keras kepada murid- muridnya. Setiap orang murid harus menjunjung tinggi nama baiknya Cheng-hoa-pai

Siapa melanggar berarti mati. Maka dengan suara tetap ia menjawab

"Suthai telah mengerti bahwa teecu pergi hendak membalas sakit hati kepada tuan tanah di Loka yang telah menyiksa teecu dan semua budak, malah sudah membunuh ayah. Manusia binatang macam tuan tanah itu sudah sepatutnya dibasmi, bukan?"

Cheng Hoa Suthai mengangguk-angguk sambil melirik tajam ke arah lima orang hwesio itu. "Memang lebih dari patut dibasmi sekeluarganya berikut antek-anteknya!"

Ci Ying tersenyum. "Nah, teecu hanya berhasil membunuh tuan tanah yang tua berikut antek-anteknya di Loka, sedangkan yang muda sudah pindah ke Lasha, para pendeta bangkotan palsu di Loka membantu tuan tanah, kiranya bangkotan ini yang berkepala gundul berpakaian pendeta, juga menjadi kaki tangan mereka. Mereka inipun pantas dibasmi!"

Terkejut hati Ga Lung Hwesio mendengar ini dan melihat wajah Cheng Hoa Suthai berubah keras, mereka siap sedia

"Pantas....... pantas sekali dibasmi. Eh, hwesio-hwesio Tibet yang tahu malu, perbuatan kalian membantu tuan-tuan tanah jahat benar-benar tidak cocok dengan kedudukan kalian. Apakah Su Thai Losu (Empat Guru Besar Tua) di Lasha akan membiarkan saja penyelewengan kalian?"

Mendengar sebutan ini, Ga Lung Hwesio dan sute-sutenya dengan girang dapat menduga bahwa nenek yang lihai ini masih gentar terhadap guru-guru besar mereka, maka Ga Lung Hwesio segera menjawab

"Cianpwe, pinceng dan sute-suteku ini adalah murid-murid Su Thai Losu, malah guru-guru pinceng yang menitahkan pinceng menangkap dua orang pemberontak ini

Harap Cianpwe ketahui bahwa dosa mereka ini besar sekali tidak saja mengacau malah merendahkan nama besar guru-guru kami. Pinceng berjanji akan membawa dua orang muda ini supaya menerima pengadilan di Lasha."

"Hwesio bau! Kau tidak melihat aku, ya? Kau kira aku takut kepada empat keledai tua di Lasha? Rebahlah kau!" Cepat sekali gerakan tangan Cheng hs, tahu-tahu pedang biru sudah melayang ke arah Ga Lung Hwesio sedangkan tasbeh dan kebutannya bergerak ke arah empat orang hwesio yang lain

Ga Lung Hwesio adalah seorang hwesio yang sudah memiliki kepandaian tinggi

Melihat sinar biru menyambar dadanya, ia menangkis dengan tongkat. Terdengar suara keras dan bunga api berhamburan, akan tetapi pedang itu sudah dapat ditangkisnya sehingga menyeleweng dan menancap sampai ke gagangnya di atas tanah. Sedangkan dia sendiri mundur tiga langkah dengan kedua tangan merasa tergetar hebat

Wajahnya menjadi pucat, apalagi ketika ia melihat betapa empat sutenya berturut- turut terjungkal, tak dapat menahan serangan Cheng Hoa Suthai. Dua orang yang terpukul tasbeh patah-patah tulang iganya sedangkan yang dua orang lagi terkena sambaran kebutan, terlepas sambungan tulang pundaknya

Ga Lung Hwesio terkejut sekali. Keempat orang sutenya itu sudah memiliki kepandaian yang cukup tinggi, akan tetapi sekali serang saja Cheng Hoa Suthai sudah dapat merobohkan mereka. Dari sini saja sudah dapat dibayangkan betapa lihainya nenek ini

Akan tetapi karena marah sekali, Ga Lung Hwesio menjadi nekad. Ia memutar tongkatnya lalu menyerbu sambil mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan semua tenaganya

Sebagai seorang berkedudukan tinggi, yaitu menjadi ketua partai, Cheng Hoa Suthai memiliki keangkuhan. Terhadap orang-orang yang tingkatnya lebih rendah, dia tidak mau terlalu mendesak. Sekali turun tangan ia harus berhasil dan tidak sudi mengulangi lagi. Kalau Ga Lung Hwesio tidak menyerangnya, dia tentu mengampuni hwesio ini karena tadi ia sudah menyerang hwesio ini dengan lontaran pedang Wang Sin dan hwesio itu sudah dapat menyelamatkan diri

Akan tetapi sekarang Ga Lung Hwesio menyerangnya, maka bangkitlah kemarahannya. Begitu melihat tongkat Ga Lung Hwesio menyambarnya, kebutan di tangan kiri bergerak menggulung ujung tongkat. Ga Lung Hwesio adalah seorang yang sudah banyak pengalamannya bertempur. Melihat senjatanya kena terlibat, ia mengerahkan tenaga untuk membetot akan tetapi tongkat itu seakan-akan telah tertanam buluh kebutan menjadi akar-akarnya, tak dapat ditarik kembali

Dan pada saat itu tiba-tiba Cheng Hoa Suthai mengendurkan kebutannya, sehingga oleh tenaga yang dilepas tiba-tiba ini, Ga Lung Hwesio hampir terjengkang ke belakang. Di saat itu bayangan putih berkelebatan, ialah tasbeh di tangan kanan Cheng Hoa Suthai yang menyambar ke arah kepalanya

"Celaka......!" seru Ga Lung Hwesio sambil melepaskan tongkatnya dan menjatuhkan diri kebelakang. "Melihat muka Su Thai Losu, aku mau mengampuni jiwa anjingmu!" terdengar ketua Cheng-hoa-pai itu berkata dengan suara dingin, gerakan tasbehnya diturunkan dan sebagai pengganti kepala hanya pundak Ga Lung Hwesio saja yang "dimakan" tasbeh, "Krakkk!" patahlah pundak kiri hwesio itu yang menjerit kesakitan terus roboh tak berdaya lagi

Cheng Hoa Suthai menghampiri muridnya dan menotok lutut untuk membebaskan totokan tongkat Ga Lung Hwesio tadi. Ci Ying segera melompat dan berlutut di depan gurunya, girang bukan main

"Siapa pemuda yang membantumu itu?" tanya Cheng Hoa Suthai, menunjuk ke arah Wang Sin

Dengan muka merah akan tetapi dengan suara nyaring, Ci Ying mengaku terus terang

"Suthai, dia itulah Wang Sin tunanganku yang pernah teecu tuturkan kepada suthai dulu."

Cheng Hoa Suthai mengangguk-angguk. "Kita pergi dari sini. Ajak tunanganmu itu bersama."

"Tetapi Suthai, teecu belum berhasil membunuh Yang Nam, tuan tanah muda yang paling kurang ajar di dunia ini...." bantah Ci Ying

"Jangan membantah! Dengan kepandaianmu menghadapi ke lima ekor anjing ini saja tidak bisa menang apalagi menghadapi Su Thai Losu? Jangan mimpi. Pulang!"

Ci Ying tidak berani membantah. Kalau gurunya saja gentar menghadapi pendeta- pendeta kepala di Lasha, dia sendiri bisa berbuat apakah? Tanpa banyak cakap lagi ia lalu menghampiri Wang Sin dan memondong tubuh tunangannya itu, lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu

Di lain saat gurunya telah berkelebatan di sampingnya dan nenek ini agaknya tidak tega melihat muridnya harus memondong laki-laki yang tentu berat, maka diulurnya tangannya dan tiba-tiba Ci Ying merasa tubuhnya ringan sekali dan kakinya bergerak maju seperti terbang

Yang paling tidak enak hatinya adalah Wang Sin. Karena sebelah kakinya pincang dan tulangnya patah, ia terpaksa harus dipondong oleh Ci Ying. Ia mengeluh perlahan dan hal ini dikira oleh Ci Ying karena sakit di kakinya. Murid ini lalu minta gurunya berhenti untuk memeriksa luka di kaki Wang Sin

"Hemmm, tulangnya patah," kata Cheng Hoa Suthai. Tanpa banyak cakap lagi nenek ini lalu menyambung tulang patah itu dan memberi obat, dan lenyaplah rasa nyeri, diam-diam Wang Sin makin berterima kasih kepada Ci Ying dan gurunya

Tanpa bantuan Ci Ying di Loka saja, dia dan isterinya sudah gagal dan besar kemungkinan akan berkorban nyawa dan tadi untuk kedua kalinya, tanpa ada Cheng Hoa Suthai kiranya tak dapat disangsikan lagi ia akan tewas di tangan hwesio Tibet

Makin tidak enak hatinya karena tahu bahwa makin sukarlah ia melepaskan diri dari ikatan Ci Ying.

***

Enam belas tahun kemudian ............................

Pegunungan Kun-lun merupakan barisan gunung yang panjang dan luas sekali. Di puncak ini tersebar tokoh-tokoh Kun-lun-pai yang banyak, akan tetapi yang merupakan pusat dari pada partai persilatan Kun-lun-pai berada di puncak paling timur yang menjadi sumber atau mata air dari sungai Cin-sa dan puncak ini yang menjadi tapal batas antara pegunungan Kun-lun dan Bayangkara

Di pusat ruangan ini pula duduk guru besar dari partai Kun-lun-pai bernama To Gi Couwsu yang sudah sangat tua. Sudah belasan tahun tosu tua ini tidak menguruskan lagi keramaian dunia dan hanya bertapa di puncak gunung. Murid-murid dan cucu- cucu muridnya cukup banyak untuk mengurus semua kewajiban dan menjaga nama baik Kun-lun-pai sehingga partai persilatan ini mempunyai nama besar yang amat harum di dunia kang-ouw, ditakuti orang jahat disegani orang gagah

Tidak seperti biasanya pada hari itu di dalam markas besar Kun-lun-pai, di ruangan lian-bu-thia (ruang belajar silat) nampak tosu-tosu kepala berkumpul, duduk di kursi- kursi yang diatur memutari ruangan itu. Para anak murid lain berdiri di belakang, menonton sambil memanjangkan leher agar dapat melihat lebih jelas ke tengah ruangan

Di kursi kepala duduk To Gi Couwsu yang sudah amat tua, duduknya tegak dan di tangan kirinya memegang sebatang tongkat yang tak pernah berpisah dari badannya

Tosu ini sudah begitu tua sehingga untuk berjalan saja ia harus dibantu oleh tongkatnya

Di tengah ruangan itu terdengar angin mendesir-desir dan berkelebatannya bayangan putih yang meloncat ke sana ke mari. Itulah hawa pukulan yang dahsyat, menandakan bahwa di ruangan itu ada seorang yang sedang bermain silat dengan hebatnya

Ketika bayangan itu berhenti bersilat, baru dapat dilihat bahwa dia adalah seorang gadis muda berusia kurang lebih enam belas tahun, berpakaian serba putih, berwajah cantik berkulit putih. Pakaian gadis ini sederhana sekali, akan tetapi hal ini malah menonjolkan kecantikannya yang wajar

Setelah ia berhenti bersilat, para tosu kepala ruangan itu mengangguk-angguk dan mengeluarkan suara pujian

"Sumoi benar-benar telah mencapai kemajuan yang pesat," kata mereka. Akan tetapi To Gi Couwsu menggeleng-gelengkan kepalanya nampak tidak puas

"Bi Hong, coba kau mainkan ilmu pedangmu biar dinilai oleh para suhengmu," kata To Gi Couwsu, suaranya perlahan dan lambat seperti orang lelah

Bi Hong, gadis cantik itu, memberi hormat kepada gurunya lalu menjurus kepada para tosu yang duduk mengitari tempat itu, belasan orang banyaknya. "Suheng sekalian harap jangan mentertawakan permainan pedang siauwmoi yang masih buruk," katanya. Di lain saat tangan kanannya bergerak dan tampak sinar kuning emas berkelebat, disusul oleh gulungan sinar pedang yang ternyata telah dimainkan dengan amat dahsyatnya. Apalagi yang dimainkan adalah sebuah pedang pusaka dari Kun-lun-pai, yaitu Kim-Hui-Kiam (Pedang Emas Terbang) yang dihadiahkan oleh To Gi Couwsu kepada muridnya ini, cepat dan dahsyat sampai tubuh gadis itu lenyap terbungkus gulungan sinar pedang yang kuning emas

Para anak murid Kun-lun-pai yang masih belum tinggi tingkatnya, yang menonton di belakang sambil berdiri, menjadi kabur pandangannya dan mereka memuji dengan penuh kekaguman dan kebanggaan. Bukankah gadis itu murid Kun-lun-pai yang patut mereka banggakan? Setelah mainkan jurus-jurus yang sulit, tiba-tiba gadis itu berseru, "Suhu, teecu mohon diijinkan menggerakkan jurus terakhir!"

To Gi Couwsu menganggukkan kepalanya dan tahu-tahu sinar pedang itu melesat keluar ruangan, melampaui kepala para anak murid Kun-lun-pai yang berdiri di luar

Semua orang mengikuti sinar pedang ini dan melihat betapa dengan gerakan amat indah, gadis itu telah mainkan jurus terakhir dari Kun-lun Kiam-hoat yang disebut Hui-kiam-kan-goat (Pedang Terbang Mengejar Bulan), jurus yang amat sukar dimainkan karena banyak orang harus memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah tinggi dan kesempurnaan menggerakkan pedang

Ketika semua orang sedang ternganga kagum, gadis itu sudah turun kembali dan di tangan kirinya ia memegang seekor burung yang kedua sayapnya telah ia sabet putus dengan pedangnya. Burung gereja itu tadi sedang terbang dan burung inilah yang menjadi sasaran jurus Hui-kiam-kan-goat tadi sehingga putus kedua sayapnya

Burung itu kini mencicit di atas telapak tangan kiri Bi Hong, tidak dapat terbang lagi

Semua tosu kepala yang duduk di situ kembali memuji

"Siancai..... hebat ilmu pedang sumoi."

Akan tetapi lagi-lagi To Gi Couwsu, guru kepala Kun-lun-pai, menggeleng-gelengkan kepalanya dan tanpa berkata apa-apa ia menggapai kepada Bi Hong supaya mendekat

Setelah gadis itu menghampirinya, tosu ini lalu mengambil burung gereja dari tangan gadis itu, mengelus-elusnya penuh kasih sayang, dan memeriksa kedua sayap yang sudah tidak berbulu lagi

"Kau harus bersabar tiga puluh hari lebih, menanti sayapmu tumbuh, burung......." katanya perlahan lalu memasukkan burung yang tak bersayap itu ke dalam kantong bajunya yang lebar

"Bi Hong, apa yang kauperlihatkan tadi indah dilihat, akan tetapi belum ketahuan bagaimana kalau menghadapi lawan. Coba kau minta twa-suhengmu untuk menguji," kata pula To Gi Couwsu dengan suaranya yang perlahan dan tenang

Gadis itu nampak gembira sekali. Cepat ia menghampiri seorang tosu, murid paling tua di Kun-lun-pai, berusia lima puluh tahun lebih. Di antara semua murid To Gi Couwsu, yaitu para tosu di Kun-lun-pai, dia inilah yang paling tinggi ilmu silatnya, juga paling alim dan selalu mengutamakan kebajikan dan berwatak sabar sekali seperti gurunya

Gadis itu menjura kepada tosu ini dan berkata sambil tersenyum. "Twa-suheng, di antara para suheng, hanya kau yang selalu menolak untuk menguji kebodohan siauwmoi. Sekarang atas perintah suhu, siauwmoi harap twa-suheng tidak berlaku pelit lagi."

Lee Kek Tosu menarik napas panjang lalu berdiri dari tempat duduknya. "Suhu yang memerintah siapapun tak boleh menolak. Siauwmoi, kepandaianmu tinggi, darahmu panas, pinto seorang tua lemah mana bisa menangkan kau?"

Bi Hong tertawa dan dengan sikap yang manja ia menarik tangan tosu itu ke tengah ruangan, diikuti senyum para tosu lain. Setelah sampai di tengah ruangan itu, Bi Hong berkata. "Suheng yang baik, harap kau menaruh kasihan kepadaku dan jangan menurunkan tangan besi."

Gadis itu pintar sekali. Ia maklum bahwa di antara semua tosu yang menjadi suhengnya, twa-suheng ini adalah orang yang paling pandai, maka ia sengaja hendak menjajal kepandaiannya sendiri dengan tangan kosong dan kemudian baru menggunakan pedang. Sebelum tosu itu menjawab, ia sudah menerjang maju sambil berkata, "Twa-suheng, awas, siauwmoi mulai menyerang!"

Bi Hong yang maklum akan kelihaian twa-suhengnya, tidak mau membuang waktu dengan jurus-jurus biasa, melainkan segera menyerang dengan jurus-jurus yang paling lihai dari Kun-lun Ciang-hoat. Mula-mula ia membuka serangannya dengan gerak tipu Kong-ciak-khai-peng (Merak Membuka Sayap) lalu diteruskan dengan Pai-bun- twi-san (Atur Pintu Tolak Gunung). Gerakannya cepat dan bertenaga sekali ketika tangan kanannya mendorong ke arah dada twa-suhengnya

"Bagus!" Lee Kek Tosu memuji ketika merasa betapa sambaran angin dorongan ini amat kuat tanda lweekang dari adik seperguruannya sudah mencapai tingkat tinggi

Dengan sigapnya ia miringkan tubuh, tangan kiri menangkis dan tangan kanannya membalas dengan serangan To-tui-kim-ciang (Merobohkan Lonceng Emas), disabetkan dengan jari tangan miring ke arah leher gadis itu

Bi Hong cepat mengelak dan mengebutkan tangan kirinya. Ia merasai betapa pukulan tangan twa-suhengnya amat berat membuat tangannya tergetar. Tahulah ia bahwa dalam hal tenaga lweekang, ia masih kalah jauh. Maka ia lalu menggunakan kelincahan tubuhnya menerjang dengan mempercepat gerakannya

Namun dengan tenang sekali tosu itu menghadapinya dan demikianlah, dalam serang menyerang selama belasan jurus kelihatan perbedaan antara mereka. Si tosu bersikap tenang, gerak geriknya lambat tapi mantap dan bertenaga penuh. Sebaliknya Bi Hong bergerak cepat sekali sehingga ia dapat mengimbangi twa-suhengnya dan menutup kekurangannya dalam kekalahan tenaga lweekang

Makin lama gerakan Bi Hong makin cepat, pukulan-pukulannya makin berbahaya dan setelah berlangsung empat puluh jurus lebih, gadis ini sudah bukan main-main atau berlatih lagi melainkan menyerang dengan sungguh-sungguh. Di lain pihak, tosu itu masih tenang saja dan selalu menjaga agar jangan sampai ia kesalahan tangan melukai sumoinya

"Cukup, ganti dengan pedang," terdengar To Gi Couwsu berkata. Keduanya melompat mundur, wajah Bi Hong merah sekali namun suhengnya masih biasa saja

Gadis ini diam-diam merasa penasaran bagaimana setelah menyerang sehebat- hebatnya ia masih belum dapat mendesak suhengnya yang berlaku lambat-lambatan itu. Harus ia akui bahwa dalam ilmu silat tangan kosong suhengnya itu terlalu tangguh baginya. Ia boleh dibilang sudah jauh di bawah angin dan kini ia hendak menebus kekalahannya dengan pedang

"Suhu sudah memerintahkan, mari keluarkan pedangmu, suheng," katanya sambil menghunus Kim-hui-kiam

Si tosu tua tertawa. "Sudah kukatakan tadi, sumoi. Kau lihai dan darahmu panas, mana pinto bisa mengatasimu?" Ucapan ini sabar sekali kedengarannya dan dengan gerakan lambat tosu ini mencabut sebatang pedang dari balik bajunya

Pedang ini biasa saja kelihatannya, malah tidak bersinar dan kelihatan kotor. Logam yang dijadikan pedang ini kelihatan seperti batu saja. Namun Bi Hong sudah tahu bahwa pedang twa-suhengnya itu adalah pedang pusaka yang tidak kalah ampuhnya dari Kim-hui-kiam dan disebut Toan-kang-kiam (Pedang pemotong baja)

"Twa-suheng, lihat pedang!" bentak Bi Hong dan pedangnya meluncur cepat ke arah tenggorokan orang. Tosu itu menangkis, terdengar suara nyaring dibarengi bunga api berhamburan. Di lain saat keduanya sudah sudah bertempur hebat. Seperti juga tadi, gerakan-gerakan Bi Hong lincah dan teguh penjagaannya

Biarpun demikian, diam-diam Lee Kek Tosu terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang sumoinya ini benar-benar hebat dan sudah mewarisi dari ilmu pedang Kun-lun-pai. Harus ia akui bahwa biarpun dengan lweekangnya ia dapat menahan, namun untuk menjatuhkan sumoinya ini bukanlah soal mudah lagi baginya

Setelah lewat seratus jurus, ia melompat mundur, menghela napas panjang dan berkata, "Hebat.... hebat sekali kiam-hoatmu, sumoi. Pinto merasa girang sekali dan bangga."

Juga semua tosu memuji gadis ini yang cepat menjura sambil berkata. Twa-suheng terlalu mengalah. Semua yang siauwmoi dapatkan ini semata-semata berkat kemurahan hati suhu yang mulia dan para suheng yang berbudi."

To Gi Couwsu menggerak-gerakan tongkatnya di atas lantai. Bi Hong, twa-suhengmu berkali-kali mengingatkan kepadamu, apakah kau masih tidak sadar?"

Bi Hong terkejut, lalu ia menjatuhkan diri berlutut di depan suhunya. "Suhu, teecu mohon penjelasan."

"Eh, bocah bodoh. Suhengmu berkali-kali mengatakan darahmu panas, itulah peringatan yang harus kau ingat betul. Kalau kau tidak terlalu panas darah, kalau kau ingat akan pelajaran lweekang dan menekan perasaan, dapat berlaku tenang seperti suhengmu, kau malah lebih kuat dari pada twa-suhengmu. Menghadapi lawan ringan kau dapat berlaku sesukamu menurut perasaan, akan tetapi sekali berhadapan dengan lawan berat, darah panasmu akan merugikan gerakan-gerakanmu. Kenapa kau begitu bernafsu dalam gerakan-gerakanmu?"

Tiba-tiba Bi Hong menangis. "Maaf, suhu. Teecu terlalu bernafsu karena selalu teringat akan musuh-musuh besar yang belum terbalas. Teecu ingin segera turun gunung untuk membalas sakit hati, ingin membasmi orang-orang yang telah membunuh Kong-kong dan membikin ibu mati karena duka."

To Gi Couwsu menarik napas panjang, terbayanglah semua peristiwa enam belas tahun yang lalu. Peristiwa yang membuat tosu tua ini terpaksa menerima lagi seorang murid, padahal tadinya sudah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri karena terlalu tua

Gadis itu Wang Bi Hong, bukan lain adalah puteri dari Ong Hui. Seperti telah diceritakan di bagian depan setelah bersama suaminya menyerbu ke Loka dan bertemu dengan Ci Ying yang membencinya

Ong Hui mengalah dan pergi meninggalkan suaminya, kembali ke rumah ayahnya di Kun-lun-san. Sambil menangis sedih, ia menuturkan semua pengalamannya kepada ayahnya dan supeknya, Cin Kek Tosu. Ayahnya menghela napas panjang

"Hui-ji, semua ini kesalahanku. Sudah tahu Wang Sin mempunyai seorang tunangan, aku setengah memaksanya untuk menjadi mantuku. Biarlah, aku akan mencari dia dan tentu dia bisa menerima usulku untuk disamping tunangannya itu, mempunyai isteri kedua."

"Tidak usah, ayah. Enci Ci Ying tidak rela melihat dia mempunyai isteri lain," kata Ong Hui sambil menyusut air matanya

Cin Kek Tosu membanting kakinya, "Kurang ajar anak itu! Mana bisa dia menyia- nyiakan isterinya yang sudah hampir mempunyai anak? Pinto yang akan menghajarnya, kalau kelak dia tidak mau kembali kepadamu."

Demikianlah, Ong Hui melewatkan hari-hari yang sunyi di atas gunung dengan hati selalu mengandung kedukaan hebat. Beberapa bulan kemudian ia melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Wang Bi Hong. Semenjak melahirkan anak, tubuhnya menjadi lemah dan sering kali sakit. Ini semua disebabkan oleh penderitaan batinnya yang amat berat

Beberapa bulan kemudian, terjadilah serbuan hebat ke gunung itu. Ga Lung Hwesio dan empat orang sutenya, dikawani oleh Thu Bi Tan Hwesio sendiri yang berilmu tinggi menyerbu ke situ

Hwesio-hwesio Tibet ini datang untuk membalas dendam atas kematian Thouw Tan Hwesio dan karena mereka tahu bahwa Wang Sin adalah murid Cin Kek Tosu

Mereka lalu mencari ke gunung itu dan terjadilah pertempuran hebat antara hwesio- hwesio Tibet itu melawan Cin Kek Tosu yang dibantu oleh sutenya, Ong Bu Khai, ayahnya Ong Hui. Ong Bu Khai dan Cin Kek Tosu adalah jago-jago Kun-lun-san yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi, Cin Kek Tosu sudah amat tua dan pula enam orang lawannya adalah hwesio-hwesio Tibet yang berilmu tinggi, maka keduanya tidak dapat menandingi mereka. Biarpun melakukan perlawanan mati-matian dan dengan gagah, akhirnya dua orang jago tua ini tewas di tangan Thu Bi Tan dan keponakan- keponakan muridnya

Untung bagi Ong Hui yang sakit-sakitan ia terlalu lemah untuk melakukan perlawanan. Andaikata dia tidak sedang sakit, tentu nyonya muda ini tidak akan melihat saja ayah dan supeknya menghadapi para penyerbu itu dan tentu iapun akan mengalami nasib serupa, tewas di tangan para hwesio Tibet. Karena tubuhnya lemah, ia tidak membantah ketika ayahnya menyuruh dia melarikan diri bersama puterinya yang baru berusia beberapa bulan itu

Sambil menangis sedih, nyonya muda ini membawa anaknya melarikan diri naik seekor keledai. Tujuannya adalah puncak Kun-lun di mana berdiri pusat Kun-lun-pai, tempat tinggal susiok-couwnya, yaitu To Gi Couwsu yang masih terhitung supek dari ayahnya

10 - Beranda - 12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar