09 Si Pedang Tumpul

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Pemuda itu maklum akan hal ini dan tiba-tiba saja dia bergerak terlalu lambat ketika tangan kiri Lili mencengkeram ke arah dadanya. Akan tetapi begitu jari tangan gadis itu menyentuh dadanya, tangan itu tidak jadi mencengkeram, bahkan dibukadan hanya telapak tangannya yang membentur dada pemuda itu.

"Plakk .......!" Pemuda itu terhuyung kebelakang.

"Nona lihai sekali, aku mengaku kalah," katanya.

Tentu saja Lili bukan seorang gadis bodoh. Dalam hal ilmu silat, kepandaiannya sudah mencapaitingkat tinggi sehingga ia dapat membedakan gerakan kalah atau mengalah. Dan ia tahu benar bahwa pemuda jangkung ini sengaja mengalah kepadanya, pada hal ia sudah hampir kehabisan napas!

Ia tersenyum girang dan lega. Kalau pemuda itu tidak mengalah, tentu ia akan kalah dan hal ini akan menyakitkan perasaannya. Kekalahan merupakan hal yang ia anggap amat menyakitkan dan bahkan merendahkan! Dengan napas terengah Lili mengusap keringat dari leher dan dahinya, menggunakan sehelai saputangan merah muda, dan ia menatap wajah pemuda itu dengan senyum. Diam-diam ia merasa kagum.

"Engkau lihai, aku suka padamu. Siapakah namamu?"

tanyanya dengan terus terang dan sikap ini kembali membuat pemuda itu tertegun, akan tetapi juga kagum. Gadis ini amat terbuka dan jujur, tidak banyak dipengaruhi tata cara sopan santun yang biasanya hanya sebagai bedak penutup isi hati yang sebenarnya saja. Gadis seperti ini tidak akan menyimpan perasaannya sebagai rahasia, apa yang tercermin dalam sikap dan pada wajahnya menunjukkan keadaan perasaan hati yang sebenarnya. Tidak seperti orang awam yang demi sopan santun palsu, suka memperlihatkan sikap yang menjadi kebalikan dari keadaan hatinya.

"Namaku Sin Wan, nona. Dan siapakah engkau?"

Pemuda itu memang Sin Wan. Seperti kita ketahui, bersama Kui Siang dan kakek Bu Lee Ki, juga ketua dan wakil ketua Ang-kin Kai-pang, dia pergi ke Lok-yang untuk menemani Bu Lee Ki dalam usaha kakek itu untuk mempersatukan dan memimpin kembali para kai-pang.

Setelah tiba di luar kota Lok-yang mereka berpencar seperti sudah direncanakan semula oleh kakek Bu Lee Ki. Dua orang pimpinan Ang-kin Kai-pang berpisah karena mereka akan langsung berkunjung kepada Hwa I Kai-pang dan menjadi tamu perkumpulan pengemis itu. Kakek Bu Lee Ki sendiri bersama Kui Siang memasuki kota Lok-yang sebagai tamu pesiar. Sin Wan sendiri diberi tugas oleh Bu Lee Ki untuk memasuki Lok-yang melalui pintu gerbang barat untuk melakukan penyelidikan terhadap Hek I Kai-pang.

Demikianlah, ketika dia tiba di jalan raya dekat hutan yang sunyi, dia mendengar suara orang bertempur di dalam hutan.

Perkelahian itu, tidak nampak dari jalan raya, akan tetapi karena dia memiliki pendengaran yang tajam terlatih, dia dapat menangkap suara mereka dan karena tertarik, dia lalu memasuki hutan itu dan melihat betapa seorang gadis sedang dalam bahaya, ditawan oleh enam orang menggunakan jala dan dia segera turun tangan menolongnya.

"Nama Sin Wan tidak dikenal oleh Lili walau sebelas tahun yang lalu mereka sebagai anak-anak berusia sepuluh dan sembilan tahun, pernah berkelahi. Juga wajah dan keadaan mereka sudah berubah sama sekali, dari kanak-kanak menjadi dewasa, maka tentu lain tidak saling mengenal. Maka, dengan wajah masih dihias senyum manis Lili menjawab.

"Namaku Tang Hwe Li, akan tetapi engkau boleh memanggil aku Lili saja, seperti semua orang yang akrab denganku."

"Lili? Nama yang bagus."

"Hemm, dan namamu amat jelek."

"Hemm ...." Sin Wan tersenyum walaupun dia merasa heran akan kekasaran gadis ini.

"Akan tetapi biar namamu jelek, engkau seorang yang amat baik dan aku suka padamu, Sin Wan. Aku belum pernah mempunyai seorang kawan yang baik, dan aku senang sekali mendapatkan seorang kawan seperti engkau. Aku ...... ahhh ........."

Melihat gadis itu terkulai dan jatuh berduduk di atas rumput sambil menekan kepalanya dengan tangan kiri, Sin Wan terkejut dan diapun cepat berlutut di dekatnya.

"Lili, kau kenapakah .......?" tanyanya khawatir.

"Tidak apa-apa ........" Lili yang tidak pernah mau kelihatan lemah itu mengerahkan tenaganya dan ia mencoba untuk bangkit berdiri. Akan tetapi begitu ia berdiri, tubuhnya terkulai dan ia tentu sudah roboh kalau saja tidak cepat dirangkul Sin Wan.

"Lili, engkau kenapa? Tubuhmu panas sekali ....!" Sin Wan yang merangkulnya terkejut karena gadis itu nampak pucat dan menderita nyeri, dan tubuhnya panas seperti terbakar.

Dan Sin Wan merasa betapa tangan dan lengannya yang merangkul menjadi basah oleh keringat gadis itu.

"Sin Wan, aku ...... aku ..... ahhhh....... " Gadis itu terkulai dan pingsan dalam rangkulan Sin Wan!

"Lili, ah, kenapa kau?"

Sin Wan cepat memondong tubuh itu dan membawanya ke tempat yang kering, di mana tanahnya tertutup daun-daun yang kering dan dengan hati-hati dia lalu merebahkan gadis itu di atas tanah. Setelah itu, dia melepaskan kancing dekat leher untuk melonggarkan dada gadis itu karena dia melihat napasnya terengah.

Setelah itu, mulailah dia memeriksa denyut jantung melalui nadi dan pernapasannya. Pemuda ini telah mewarisi ilmu pengobatan mendiang Pek-mau-sian Thio Ki, seorang di antara Sam-sian. Setelah melakukan pemeriksaan sejenak, dia terkejut karena mendapat kenyataan bahwa gadis itu telah keracunan! Tahulah dia bahwa racun itu tentu masuk melalui tiga buah luka di punggung dan pundaknya tadi, Ternyata obatnya tidak cukup kuat untuk melawan racun itu dan kini ada hawa beracun menguasai gadis itu.

Terpaksa dia mendorong tubuh gadis itu miring, merobek baju di punggung untuk memeriksa luka-lukanya. Dan benar saja, luka-luka itu nampak membiru, baik yang di pundak kiri maupun yang di punggung. Nampak betapa dua buah luka kecil di punggung itu nampak buruk sekali di permukaan punggung yang berkulit halus dan putih mulus. Dia tahu bahwa tanpa mengeluarkan racun itu dari luka-lukanya akan sukar mengobati Lili.

Dia mendorong tubuh itu menelungkup dengan muka miring, merobek baju di punggung itu semakin lebar sehingga nampak semua permukaan punggung dan pundak, kemudian tanpa ragu-ragu lagi diapun membungkuk dan menempelkan mulutnya pada luka pertama! Dia mengerahkan sin-kang dan mulai mengisap, perlahan-lahan dan mengatur tenaga isapannya sampai mulutnya merasakan darah. Dia meludahkan darah yang diisapnya, dan seperti dugaannya, darah itu berwarna kehitaman!

Setelah tiga kali mengisap, barulah yang terisap ke mulutnya darah merah dan dia menghentikannya, lalu menaburkan bubuk putih lagi kepada luka yang sudah bersih dari racun. Dilakukan isapan pada luka ke dua seperti tadi, kemudian pada luka di pundak sampai ke tiga luka itu bebas dari racun.

Pernapasan gadis itu tidak seperti tadi walaupun tubuhnya masih terasa panas. Baru saja dia selesai mengisap luka dipundak, tiba-tiba gadis itu merintih dan bergerak. Sin Wan melepaskan mulutnya dan pada saat itu, Lili sudah bangkit duduk. Mata gadis itu mencorong dan kedua tangannya meraba punggung dan pundak yang terbuka karena baju di bagian punggung terbuka lebar.

"Jahanam kau, Sin Wan! Kau ...... kau ...... berani ......."

Tangan kiri Lili menyambar ke arah kepala Sin Wan dengan cengkeraman maut. Akan tetapi Sin Wan menangkap pergelangan tangan itu, lalu meludahkan darah terakhir tadi baru berkata.

"Tenanglah, Lili. Aku mengobatimu, aku menyedot racun dari luka-luka, dan untuk itu, terpaksa aku membuka bajumu di punggung. Maaf, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan nyawamu. Lihat itu ......." Sin Wan menunjuk ke tanah di mana nampak darah hitam yang diludahkannya tadi.

Lili terbelalak dan kebingungan.

"Jadi aku ...... keracunan .........?"

Sin Wan mengangguk. "Benar. Racun itu jahat sekali sehingga pengobatanku pertama tadi gagal. Akantetapi aku telah mengisap keluar semua racun dari tiga luka itu, dan kini hanya hawa beracun di tubuhmu yang harus kita bersihkan.

Percayalah kepadaku, Lili. Aku hanya ingin menolongmu, bukan berniat kotor dan tidak sopan. Nah, duduklah bersila, aku akan membantumu mengusir hawa beracun dari tubuhmu."

Lili mengangguk, tidak bicara lagi dan iapun duduk bersila, bahkan membiarkan saja punggung dan pundaknya yang terbuka. Sin Wan dengan hati-hati menaburkan obat bubuk putih di luka terakhir, yaitu di pundak,kemudian dia menutup kembali punggung dan pundak yang terbuka dengan mengikatkan ujung kedua baju yang tadi dia robek. Setelah itu, diapun duduk bersila di belakang gadis itu dan menempelkan kedua telapak tangannya di punggung yang kini sudah tertutup kembali, perlahan-lahan dia mengerahkan tenaganya, disalurkan dari pusar melalui kedua lengannya, membuat telapak tangan yang menampung tenaga itu tergetar.

Lili duduk bersila dengan hati yang tidak karuan rasanya.

Ada marah, ada malu, ada pula rasa girang, ada terharu sehingga kedua matanya menjadi basah! Sejak menjadi murid Bi-coa Sian-li sampai sekarang, ia tidak pernah menangis.

Tangis merupakan pantangan baginya. Akan tetapi saat ini ingin ia menjerit-jerit menangis. Ketika perasaan itu ditahannya, matanya menjadi panas dan basah dan perlahanlahan, beberapa tetes air mata jatuh ke atas kedua pipinya. Ia merasa betapa dari kedua telapak tangan pemuda yang menempel di punggungnya itu, keluar hawa yang hangat bergelombang memasuki dirinya.

Ia tidak melawan dan pasrah saja, akan tetapi perlahanlahan, ia merasa betapa hawa panas yang membakar di dalam dadanya, berangsur mengurang. Uap mengepul dari kepalanya dan tidak sampai sejam lamanya, kesehatannya telah pulih kembali, hawa panas itu menghilang dan ia merasa tubuhnya demikian nyaman, akan tetapi juga amat lemah.

"Nah, engkau sudah sembuh sekarang, Lili," kata Sin Wan lirih sambil melepaskan kedua tangan yang menempel di punggung gadis itu. Akan tetapi karena lemah, dengan lemas Lili terkulai dan jatuh bersandar pada dada Sin Wan yang cepat merangkulnya "Eh, kenapa, Lili?"

"Lemas sekali ..... Sin Wan, biarkan aku bersandar begini ...... biarkan ......." kata Lili dengan suara yang lemah dan lirih.

Tentu saja Sin Wan membiarkan gadis itu duduk bersandar pada dadanya dan diapun merangkul dengan kedua lengan agar gadis itu tidak sampai terguling ke samping. Dia tahu bahwa akibat racun tadi, Lili yang sudah sembuh itu tinggal merasa lemas saja.

Dan sekarang, setelah bahaya yang mengancam gadis itu lewat, baru dia merasa betapa lembut dan hangat tubuh yang bersandar di dadanya itu. Betapa halus dan harum rambut kepala itu, dan betapa cantik raut wajah yang kini bersandar miring di dadanya. Betapa indah dan lembut lengan yang dipeluknya.

Sin Wan adalah seorang pemuda dewasa yang normal, maka wajarlah kalau dia merasa jantungnya berdebar penuh gairah. Namun, dengan kekuatan batinnya yang kokoh dia menekan perasaan yang timbul ini, perasaan alami seorang pria dengan keyakinan bahwa menuruti dorongan perasaan mesra itu amatlah berbahaya dan tidak baik, dan dapat membuatnya lupa dan melakukan hal-hal yang tidak sepatutnya dia lakukan. Diapun memejamkan kedua matanya.

Dia baru sadar dengan kaget ketika merasa betapa tubuh yang bersandar di dadanya itu terguncang perlahan dan ketika dia membuka mata dan menundukkan muka memandang, dia melihat betapa gadis itu menangis lirih! Tangis tanpa bunyi, akan tetapi jelas bahwa gadis itu menangis karena kedua pipinya basah dan pundaknya terguncang perlahan.

"Lili, kau .... kau ...... menangis, ........?" tanyanya lirih, khawatir, dengan berbisik saja di dekat telinga gadis itu.

"Siapa menangis?" jawaban itu mengandung bantahan dan cepat, akan tetapi segera disusul ucapan lirih dan lemas, "Biarkan aku .... Sin Wan, biarkan aku begini sebentar ......"

Sin Wan diam saja dan gadis itu bersandar miring. Makin lama, pernapasan gadis itu makin halus dan panjang, dan akhirnya tahulah Sin Wan bahwa Lili telah tertidur di atas dadanya! Diapun merasa kasihan dan tidak ingin mengganggu, hanya merangkul agar gadis itu tidak terguling jatuh. Diam-diam dia merasa iba sekali. Gadis ini pasti mengalami kepahitan hidup, agaknya haus akan kelembutan, haus akan kasih sayang. Kasihan sekali gadis secantik ini, pikirnya dan diapun duduk bersila dengan kokoh seperti dalam samadhi, membiarkan dirinya kokoh kuat sebagai sandaran gadis yang pulas itu, sambil mendengarkan pernapasan yang panjang dan lembut.

Sementara itu, matahari telah mulai condong ke barat, senja menjelang tiba. Sesosok bayanganyang gerakannya amat ringan memasuki hutan itu dan menyelinap di antara pohon dan semak. Akhirnya, bayangan itu berhenti di belakang pohon, mengintai ke arah Sin Wan yang duduk diam disandari gadis yang tidur pulas di dadanya. Ikatan rambut Lili terlepas dan rambutnya yang hitam panjang itu menyelimuti dada dan perut Sin Wan.

Bayangan itu adalah Lim Kui Siang! Karena sampai lama Sin Wan tidak muncul di kota Lok-yang, ia menyatakan kekhawatirannya dan memberi tahu kakek Bu Lee Ki bahwa ia hendak mencari dan menjemput suhengnya itu melalui pintu gerbang barat. Bu Lee Ki yang maklum akan perasaan gadis itu terhadap Sin Wan, menyetujui dan memesan agar gadis itu pulang sebelum malam tiba.

Kui Siang keluar dari pintu gerbang barat, akan tetapi tidak bertemu dengan Sin Wan. Hatinya merasa khawatir, apa lagi matahari mulai condong ke barat dan jalan raya itu sunyi.

Ketika ia melihat sebuah hutan di kiri jalan, ia mengerutkan alisnya. Apakah yang telah terjadi dengan suhengnya? Ia merasa khawatir dan iapun melangkah memasuki hutan. Siapa tahu, suhengnya sedang menyelidiki sesuatu dan berada di dalam hutan ini.

Akhirnya, setelah tiba di tengah hutan, ia melihat Sin Wan duduk bersila di atas tanah yang ditilami daun-daun kering, dan di depan pemuda itu nampak seorang gadis cantik sedang tidur pulas di atas pangkuan Sin Wan, dengan kepala miring bersandar di dada suhengnya. Mesra bukan main!

Seketika Kui Siang merasa betapa seluruh tubuhnya gemetar, kedua kakinya menggigil dan dadanya seperti akan meledak! Benarkah itu suhengnya? Akan tetapi kenapa? Siapa gadis itu? Bagaimana mungkin suhengnya melakukan hal seperti itu, bermesraan dan berpacaran dengan seorang gadis asing di tengah hutan? Setahunya, suhengnya bukankah pria macam itu! Bahkan terhadap dirinya sendirisebagai su-moipun, suhengnya tak pernah bersikap terlalu mesra, tak pernah menyentuh sedikitpun, selalu menjaga jarak dan kesopanan. Akan tetapi sekarang, di tempat sepi ini, tahu-tahu suhengnya merangkul seorang gadis yang tidur pulas di atas pangkuannya, dengan kepala bersandar mesra di dadanya! Entah mengapa, Kui Siang ingin menjerit, ingin mengamuk, ingin membunuh gadis itu dan memaki suhengnya, ingin menangis! Sebelum ia tidak kuat lagi menahan semua dorongan amarah itu Ia cepat pergi dari situ, setelah sekali lagi memperhatikan dan yakin bahwa pemuda itu adalah Sin Wan, suhengnya!

Kui Siang berlari cepat meninggalkan tengah hutan itu, akan tetapi setelah tiba di tepi hutan, tak jauh dari jalan raya akan tetapi tidak nampak dari sana, ia tidak dapat menahan lagi guncangan hatinya dan iapun menjatuhkan diri di bawah sebatang pohon dan menangis sejadi-jadinya! Setelah banyak air mata mengalir keluar, baru agak ringan rasa hatinya, seolah semua beban yang menyesak dada tadi mendapatkan jalan keluar. Dengan mata masih merah dan muka basah, Kui Siang termenung. Kesadarannya menimbulkan pertanyaan yang membuat ia sendiri merasa sungkan dan heran. Kenapa ia menangis? Kenapa ia harus marah-marah dan merasa bersedih seperti itu? Sin Wan bermesraan dengan seorang gadis, walaupun hal itu baru baginya dan aneh, akan tetapi wajar sekali. Sin Wan seorang pemuda dewasa dan gadis itu cantik! Kenapa ia harus marah-marah dan bersedih? Kui Siang termangu-mangu. Biar pikirannya merasa heran dan penasaran mengapa ulah dirinya seperti ini, namun hatinya berbisik lirih, jelas sekali, "Aku cinta padanya ..... aku mencinta suheng, aku tidak ingin dia dimiliki wanita lain!"

Menyadari kenyataan yang dibisikkan hatinya ini, Kui Siang bangkit dan mukanya menjadi kemerahan. Nampakjelas kini, ia sejak dahulu jatuh cinta kepada suhengnya. Bukan cinta seorang sumoi terhadap suhengnya, bukan cinta kanak-kanak karena sejak berusia sembilan tahun ia bergaul dengan Sin Wan, bukan pula cinta saudara, melainkan cinta seorang gadis dewasa terhadap seorang pemuda. Cinta seorang wanita terhadap seorang pria. Dan ia dilanda cemburu!

"Ihhh ......!" Ia mencela diri sendiri. Cemburu? Sin Wan hanya suhengnya, bukan apa-apanya, bukan pula kekasihnya.

Inilah salahnya! Kalau saja mereka saling mengaku bahwa mereka saling mencinta, kalau Sin Wan tahu bahwa ia mencintainya, kiranya belum tentu Sin Wan mau bermesraan dengan gadis lain.

Ada pendapat dan perbantahan dalam hati dan kepalanya ini membuat Kui Siang merasa pening dan iapun perlahanlahan melangkah keluar menuju ke jalan raya. Kemudian seperti orang yang kehilangan semangat, iapun kembali ke rumah penginapan di mana ia dan Bu Lee Ki menyewa dua buah kamar. Dengan hati-hati agar tidak terdengar oleh Bu Lee Ki, ia memasuki kamarnya dan melempar tubuh ke atas pembaringan, menelungkup dan membenamkan mukanya pada bantal agar isaknya tidak sampai terdengar orang!

0oo0 Cuaca sudah mulai remang-remang. Sin Wan, mulai khawatir. Tidak mungkin dia mendiamkan saja Lili pulas di atas dadanya sampai cuaca menjadi gelap. Dia harus melaanjutkan perjalanan memasuki kota Lok-yang, mencari kakek Bu Lee Ki dan Kui Siang. Sudah cukup lama Lili tertidur, lebih dari satu jam. Perlahan dan lembut ia memegang pundak kanan gadis itu, pundak yang tidak terluka, mengguncangnya dan berbisik lirih.

"Lili .....! Lili ..........., bangunlah ........."

Jilid 9

PERNAPASAN yang lembut itu berubah dan tubuh yang lembut hangat itu menggeliat perlahan. Lili membuka matanya dan agaknya ia terheran melihat dirinya duduk tertidur di dalam hutan yang cuacanya mulai remang. Ia melihat ke atas.

Ketika ia melihat wajah Sin Wan yang menunduk dan memandang kepadanya, iapun teringat akan semua yang telah terjadi dan ia tersenyum! Ia tidak bangkit, bahkan membalikkan mukanya, dibenamkan kedada yang bidang itu dan belum pernah selama hldupnya ia merasa begitu tenang tenteram penuh damai seperti seekor anak ayam berilndung di bawah selimutan sayap induknya!

"Aihh ...., Sin Wan ...... aku ..... sudah lamakah aku tertidur?" bisiknya.

"Ada sejam lebih. Malam hampir tiba dan kita harus segera keluar dari hutan ini, aku harus melanjutkan perjalanan ....."

kata Sin Wan tanpa nada mengusir.

"Sin Wan, aku tidak mau pergi ......" Lili malah merangkul leher. "Sin Wan, aku tidak sudi berpisah darimu,aku ingin kita terus berdampingan, tak terpisah lagi, ....... seperti ini ....."

Sin Wan mengerutkan alisnya. Ini sudah keterlaluan namanya. Dia merasa kasihan sekali kepada Lili, akan tetapi kemanjaan yang berlebihan ini juga amat mengganggunya.

Rasa iba membuat dia mengelus rambut kepala yang hitam panjang itu, seperti seorang kakak menghibur adiknya. "Lili, tidak mungkin begitu. Kenapa engkau seaneh ini?" Suaranya lembut tidak bernada teguran.

Lili bangkit duduk, membalik dan kini mereka duduk berhadapan. Gadis itu memandang dengan sinar mata tajam dan nampak penasaran. "Kenapa aneh? Aku cinta padamu, Sin Wan! Ya, aku jatuh cinta padamu dan aku tidak ingin berpisah darimu!"

Sin Wan terkejut bukan main, matanya membelalak. Bukan main gadis ini! Begitu saja menyatakan cinta, begitu terbuka, begitu jujur, begitu berani! Dia sendiri menjadi salah tingkah, mukanya menjadi merah sekali dan jantungnya berdebar.

Lili menjulurkan kedua tangannya dan menangkap tangan pemuda itu. Jari-jarl tangan mereka saling genggam. "Sin Wan, aku cinta padamu dan engkaupun cinta padaku, bukan? Engkau telah menyelamatkan aku, engkau telah begitu baik kepadaku, engkau telah melihat punggung dan pundakku yang telanjang. Bahkan engkau telah mengalahkan aku dalam latihan tadi ........"

"Aku yang kalah, Lili ........" kata Sin Wan karena tidak tahu harus berkata apa.

"Tidak, engkau mengalah, kaukira aku tidak tahu? Engkau amat baik kepadaku, itu tandanya engkaupun cinta padaku!"

Kedua tangan Lili menggenggam kuat-kuat.

Sin Wan menghela napas panjang, tidak berusaha melepaskan kedua tangannya walaupun hatinya merasa tidak enak sekali. Dia memang amat kagum kepada gadis ini, juga merasa kasihan, akan tetapi dua macam perasaan itu belum menjadi tanda bahwa dia jatuh cinta! Bagaimana mungkin cinta dapat ditentukan sedemikian cepatnya? "Lili, kita tidak boleh begini. Kita baru saja bertemu dan berkenalan, bagaimana mungkin kita bicara tentang cinta? Pula, aku harus menyelesaikan tugasku lebih dulu, dan aku melakukan perjalanan bersama locianpwe Pek-sim Lo-kai. Dia menantiku di dalam kota, aku harus cepat pergi ke sana." Sepasang mata yang indah itu melebar, penuh kagum. "Ah, Jadi engkau murid Pek-sim Lo-kai yang kabarnya amat lihai itu, Sin Wan? Pantas saja kepandaianmu hebat. Aku makin cinta padamu!"

"Bukan, Lili. Locianpwe itu bukan guruku!" jawab Sin Wan cepat, semakin bingung karena gadis itu tiada hentinya mengaku cinta.

"Bukan muridnya? Lalu, siapa gurumu Sin Wan?"

Kalau saja Sin Wan tidak menjadi panik dan bingung, merasa disudutkan oleh pengakuan cinta yang bertubi dari gadis itu, tentu dia akan berhati-hati dan tidak sembarangan saja memperkenalkan nama guru-gurunya. Akan tetapi, dia sedang panik, apalagi kedua tangan gadis itu, terasa demikian hangat dan, penuh getaran aneh, membuat jantungnya semakin berdebar.

"Guruku adalah Sam Sian ....." jawaban ini keluar begitu saja.

Dia merasa betapa jari-jari tangan itu makin kuat menggenggam kedua tangannya, dan karena salah tingkah dia tidak berani menatap wajah Lili sehingga tidakmelihat perubahan yang terjadi pada wajah gadis itu.

"Tiga Dewa? Engkau murid Tiga Dewa ....?" Dan kini teringatlah Lili akan anak laki-laki yang pernah menghinanya sebelas tahun yang lalu! Bahkan setahun yang lalu, ketika ia dan sucinya menyerbu Pek-In-kok dan sucinya berhasil menewaskan dua di antara Tiga Dewa walaupun sucinya sendiri terluka, ia tidak berhasil mencari anak laki-laki yang dulu menghinanya itu. Dan kini teringatlah ia bahwa Dewa Arak pernah menyebutkan nama muridnya, Sin Wan? Mungkin, iasudah lupa lagi.

"Kau ..... kau ..... murid Sam Sian .....?" Bibirnya komatkamit dan suaranya tidak jelas. Perasaannya terguncang, penuh kebimbangan, penuh penasaran dan kemarahan.

"Lili, kau kenapa ......?" Sin Wan dengan khawatir memegang kedua pundak gadis itu karena tubuh itu menggigil. Akan tetapi pada saat itu, kedua tangan Lili bergerak dan sebelum Sin Wan tahu apa yang terjadi, dia sudah tertotok dan roboh terkulai, tak mampu bergerak lagi karena tubuhnya menjadi lemas!

"Lili, kau .....?" Sin Wan berkata lemah, lebih heran dari pada penasaran. Gadis yang tadi mati-matian mengaku cinta, yang begitu lembut dan hangat membenamkan muka di dadanya, tiba-tiba menyerang dan merobohkannya dengan totokan!

"Sin Wan, katakan, sejak kapan engkau menjadi murid Sam-sian?" Lili bertanya dan kini suaranya terdengar galak, lenyap semua kemanisan dan kemesraan dalam suaranya itu.

"Kenapa? Sejak kecil ........"

"Sebelas tahun yang lalu?"

"Ya begitulah, kurang lebih."

"Ketika Sam-sian mengantarkan pusaka-pusakaistana yang hilang, menggunakan sebuah kereta, engkau juga berada di kereta itu?"

"Ya ...... ya ....." Sin Wan semakin heran. Bagaimana gadis ini mengetahui soal itu? "Bagus! Engkau kiranya kuda-sapi-kerbau-anjing itu?"

Sin Wan terbelalak. Kata-kata dan sikap yang galak ini menggugah ingatannya. Seorang anak perempuan yang galak sekali, seperti setan! Anak perempuan yang mengambil pakaian dan merobek-robek pakaiannya ketika dia sedang mandi. Kemudian anak perempuan yang bersama gurunya hendak merampas pusaka istana dan berkelahi dengan dia, kemudian dia berhasil menangkapnya dan memukuli pinggulnya seperti seorang ayah menghajar anaknya yang nakal.

"Lili, kau ....... kau ......."

"Engkau seorang manusia yang kejam, jahat dan, kurang ajar!" Kini Lili memaki-maki dengan marah sekali. "Engkau pernah menghinaku habis-habisan, tahukah engkau? Dahulu pernah aku bersumpah untuk membalas penghinaan itu, ingatkah? Engkau memukuli pinggulku! Sampai sekarangpun masih terasa olehku! Hemm, engkau harus membayar berikut bunganya!"

Sin Wan tidak bicara lagi. Dia tahu bahwa dia terjatuh ke tangan seorang gadis yang seperti iblis. Murid Bi-coa Sian-li yang telah menewaskan dua di antara tiga orang gurunya. Dia sudah tidak berdaya. Kematian di depan mata tanpa dia mampu melakukan perlawanan.

Dan dia tidak mau membuka mulut karena dia tidak ingin mendengar suaranya sendiri minta dikasihani dan diampuni.

Tidak, dia bukan seorang pengecut. Kalau memang Tuhan menghendaki dia mati di tangan gadis ini, tiada kekuatan atau kekuasaan di dunia ini mampu menyelamatkannya.

Sebaliknya, kalau memang Tuhan tidak menghendaki dia mati sekarang, biarpun dia sudah berada di ambang maut, pasti akan terdapat jalan baginya untuk terhindar dari maut.

Kalaupun dia harus mati, dia harus mati sebagai seekor harimau yang tidak pernah memperlihatkan kelemahan sedikitpun juga sampai mati, bukan seperti matinya seekor babi yang akan disembelih dan merengek-rengek minta hidup.

Tuhan Maha Besar, Tuhan Maha Kuasa, dia hanya menyerahkan jiwa raganya kepada kekuasaan Tuhan.

Kaki gadis itu mendorong dan tubuh Sin Wan terguling menelungkup. Kemudian terdengar gadis itu menghardik, "Engkau pernah memukuli pinggulku sampai sepuluh kali!

Sekarang rasakan pembalasanku dengan pukulan seratus kali!" Setelah berkata demikian, tangan kiri Lili terayun dan sambil berjongkok ia menamparkan tangan kirinya ke arah pinggul Sin Wan bertubi-tubi.

"Plak..plak..plak..plak....!!" Ia menampari sambil menghitung dengan tangan kirinya. Akan tetapi karena ia tidak bermaksud membunuh, hanya untuk menghajar dan membalas penghinaan melalui pemukulan pada pinggul, ia mengatur tenaga, tidak mempergunakan tenaga sakti, melainkan tenaga otot biasa. Karena itu, Sin Wan tidak menderita luka dalam, tulangnya tidak patah bahkan kulitnya tidak pecah. Namun karena dia sendiri tertotok dan tidak mampu mengerahkan tenaga, maka tamparan-tamparan itu terasa nyeri, panas dan perih.

"Plak..plak..plak....!!" Belum sampai limapuluh kali, tangan kiri Lili sudah terasa panas dan lelah sekali sehingga pukulannya makin lama semakin lemah, ia menggantikannya dengan tangan kanan dan kembali tamparannya menjadi kuat.

Tentu saja Sin Wan menderita nyeri. Panas dan pedih rasa kedua pinggulnya, akan tetapi, dia menerimanya dengan bibir terkatup kuat, tidak pernah dia mengeluh atau merintih.

Hal inilah yang membuat Lili merasa penasaran. Kalau pemuda itu mengeluh, tentu hatinya akan terasa puas sekali.

Akan tetapi, pemuda itu sama sekali tidak merintih seolah-olah semua pukulannya itu tidak terasa sama sekali. Pada hal kedua tangannya sudah panas dan lelah karena ia hanya mempergunakan tenaga otot. Belum sampai seratus kali, paling banyak baru tujuhpuluh kali, ia sudah menghentikan tamparannya!

"Hemm, engkau bandel, ya? Engkau tidak minta ampun, tidak mengeluh, engkau merasa gagah, ya? Pembalasanku belum lunas, pukulanku belum ada seratus kali, sisanya akan ku lakukan dengan cara lain!" Ia melolos sabuknya yang panjang, membikin putus sebagian, kemudian ia menyeret tubuh Sin Wan ke sebatang pohon, memaksanya bangkit berdiri dengan menariknya, lalu ia mengikat Sin Wan pada batang pohon itu. Diikatnya kaki dan tangan pemuda itu ke belakang, bersandar pohon. Setelah selesai, ia memandang kepada Sin Wan dengan senyumnya yang khas, senyum sinis mengejek. Kemarahannya memuncak ketika ia melihat wajah pemuda itu tenang-tenang saja, bahkan pemuda itupun tersenyum, seperti seorang dewasa merasa geli melihat ulah yang nakal seorang kanak-kanak!

"Aku akan meninggalkanmu di sini, biar engkau dimakan binatang buas di hutan ini!Nah, apa yang akan kaukatakan?" Sin Wan merasa nyeri sekali di pinggulnya piut-miut rasanya berdenyut-denyut seperti mau pecah, panas dan pedih menusuk jantung, dan tubuhnya masih lemas tak mampu bergerak karena totokan. Akan tetapi wajahnya tidak membayangkan semua penderitaan itu, dan dia bahkan tersenyum, senyum yang oleh Lili dianggap menantang dan menyakitkan hati. Kemudian, Sin Wan berkata dengan suara lirih dan lembut tanpa kemarahan.

"Aku hanya ingin berkata bahwa sayang sekali engkau yang beginicantik dan gagah, yang berkepandaian tinggi, telah dibikin gila oleh dendam sehingga menjadi kejam seperti setan."

Sepasang mata itu terbelalak dan tangan kanannya melayang. "Plakk !!" keras sekali telapak tangan itu menghantam pipi kiri Sin Wan sehinggakepala pemuda itu terdorong ke kanan dan seketika pipi itu menjadi merah membiru dan membengkak.

"Kau maki aku seperti setan? Engkaulah yang setan, iblis, siluman! Kau .... kau ....., huh, aku benci padamu. Benciiii...!"

Dan gadis itu mengeluarkan suara aneh, seperti tawa akan tetapi juga mirip tangis, atau suara antara keduanya itu. "Biar kau dimakan binatang buas!" Dan sekali melompat, gadis itu menghilang di antara pohon-pohon dalam cuaca yang mulai gelap itu.

Sin Wan termenung, pipinya berdenyut deyut keras, nyerinya bisa mengalahkan rasa nyeri di pinggul. Betapa galaknya gadis itu dan dia membayangkan Lili. Aneh, yang terbayang olehnya bukan prilaku yang menyiksanya tadi.

Terbayang olehnya ketika gadis itu tertidur pulas di dadanya!

Yang terngiang ditelinganya bukan caci makinya, melainkan ucapan gadis itu yang mengaku cinta padanya.

Malam tiba. Sinar bulan yang menggantikan matahari tidak cukup kuat mengusir kegelapan malam, akan tetapi setidaknya mendatangkan cahaya menembus daun-daun pohon sehingga cuacanya tidak gelap benar, melainkan remang-remang. Dia belum mampu menggerakkan tubuhnya.

Totokan Lili ternyata lihai sekali. Agaknya dia harus menanti satu dua jam lagi agar pengaruh totokan itu membuyar dan baru dia akan dapat mengerahkan tenaga untuk membikin putus tali sabuk yang mengikat kaki dan tangannya pada pohon. Sebelum dia mampu mengerahkan tenaga, dia tidak berdaya.

Terdengar suara gerengan di sana-sini. "Harimau," pikir Sin Wan, atau sebangsa itu, binatang hutan yang liar! Kalau dia belum mampu menggunakan tenaga dan ada binatang buas datang, dia akan mati konyol! Dia akan menjadi mangsa binatang buas, kulit dagingnya akan digerogoti, dia akan dimakan hidup-hidup! Bukan main ngeri rasa hatinya membayangkan semua itu, akan tetapi perasaan ngeri dan takut itu segera lenyap seketika setelah dia teringat akan keyakinan hatinya terhadap kekuasaan Tuhan!

Dia sebagai manusia hanya sekedar alat. Hidup dan matinya milik Tuhan! Kenapa harus takut? Dia menyerah penuh kesabaran, penuh ketawakalan, penuh keikhlasan!

Kalau Tuhan menghendaki dia mati, setiap saatpun dia siap dengan hati yang rela dan ikhlas. Bukan berarti-putus asa!

Penyerahan dengan ikhlas tidak berarti putus asa. Saat itu dia hidup dan selama dia masih hidup, dia akan menggunakan segala daya kemampuannya untuk bertahan hidup, untuk menjaga dan mempertahankan kehidupannya. Akan tetapi kalau Tuhan menghendaki dia mati, dia tidak akan menyesal karena penyerahan seikhlasnya berarti ikhlas untuk hidup dan ikhlas untuk mati, menyerah kepada kekuasaan Tuhan!

Keyakinan dan penyerahannya ini mengusir semua rasa takut, bahwa Sin Wan dapat menghadapi keadaannya saat itu dengam senyum di bibir. Betapa amat menarik kehidupan dengan segala liku-likunya ini, dan dia sudah siap untuk menjadi saksi, mengikuti setiap pengalaman hidup sampai akhlr.

Tiba-tiba terdengar gerengan keras dan Sin Wan menengok ke kiri. Lehernya sudah dapat dia gerakkan, akan tetapi ketika dia berusaha menggerakkan tangan dan kaki, kedua pasang anggauta tubuh itu masih lemas dan tidak dapat dia gerakkan!

Dan dia melihat sepasang mata mencorong di dalam cuaca yang remang-remang itu. Nampaknya bayangan itu seperti seekor anjing yang berindap-indap menghampirinya. Akan tetapi jelas gerengan ini bukan gonggong atau salak anjing, melainkan auman harimau!

Sin Wan merasa betapa bulu tengkuknya meremang.

Bagaimanapun juga, nalurinya untuk mempertahankan hidup mendatangkan kecemasan ketika dia sadar bahwa di depannya hadir seekor harimau yang mengancamnya dia yang sedang tak berdaya itu.Dia benar-benar akan mati konyol!

Akan tetapi, kembali kepasrahan yang mutlak menenangkan hatinya dan dia memandang ke arah harimau itu dengan tajam.

Dia pernah mendengar bahwa harimau takut bertemu pandang mata dengan manusia, dan kalah wibawa. Bahkan ada kemungkinan binatang itu setelah bertemu pandang, akan merasa takut dan pergi tanpa mengganggunya. Akan tetapi dia lupa bahwa cuaca remang-remang dan mata manusia berbeda dengan mata harimau. Kekuasaan Tuhan adalah bijaksana dan adil, maka semua makhluk dan benda ciptaan Tuhan selalu dibekali sesuatu yang amat dibutuhkan oleh masing-masing.

Harimau tidak berakal, tidak pandai membuat alat penerangan, hidup di dalam hutan gelap, maka memiliki mata yang penglihatannya dapat menembus gelap sehingga matanya mencorong! Manusia mampu membuat alat penerangan untuk mengatasi kegelapan malam. Maka, betapapun tajam dia memandang, binatang itu tidak menjadi undur, bahkan menggereng semakin keras dan menghampiri semakin dekat. Perlahan-lahan, dengan hati-hati, binatang itu mendekati Sin Wan dan pemuda ini merasa betapa hidung binatang itu mengendus dan menyentuh kakinya. Dia memejamkan mata, menyerah kepada Tuhan, maklum bahwa, kalau harimau itu menyerang, dia tidak akan mampu melindungi dirinya.

Harimau itu mengaum keras, kaki depan kiri bergerak cepat ke arah paha Sin Wan.

"Brettt ........!!" Celana Sin Wan terobek dengan mudah dan kulit pahanya terkena cakaran sehingga terobek dan berdarah!

Dia berusaha mengerahkan tenaga, namun tidak berhasil, Harimau itu kiniundur, bukan untuk pergi, melainkan untuk mengambil ancang-ancang. Darah yang mengalir dari paha Sin Wan yang tergores kuku itu membuat dia semakin liar. Kini binatang itu merendahkan tubuh, mengambil ancang-ancang untuk meloncat. Mati aku sekarang, pikirSin Wan. Binatang itu meloncat ke atas, menubruk ke arah Sin Wan.

"Cratttt ......!! Bukkk!" Tubuh binatang itu terhenti di udara ketika sebatang pedang menyambutnya dengan tusukan memasuki perutnya, kemudian sebuah tendangan kilat membuat tubuh binatang itu terlempar. Biarpun telah terluka parah dan dari perutnya bercucuran darah, harimau itu tidak roboh atau takut, bahkan menjadi semakin nekat. Kini dia menubruk ke arah orang yang menyakitinya, yang berdiri di depan Sin Wan.

"Sratttt .......!" Tubuh harimau terpelanting dan matilah dia dengan leher hampir putus terbabat pedang!

Lili membersihkan pedangnya dengan menggosoknya pada kulit bangkai harimau. Dalam cuaca yang remang-remang, Sin Wan terbelalak ketika mengenal bahwa yang membunuh harimau itu danyang menyelamatkan dirinya adalah Lili.

Hatinya merasa senang bukan main, bukan saja senang karena dia tidak mati konyol menjadi mangsa harimau, akan tetapi karena ternyata gadis itu tidaklah sejahat yang ingin diperlihatkannya. Ternyata gadis itu tidak meninggalkannya seperti ancamannya tadi, melainkan bersembunyi dan menjaganya, bahkan menyelamatkannya.

"Terima kasih, Lili ......" katanya lirih.

Lili menyisipan pedangnya, lalu membalik dan menghadap pemuda itu. Alisnya berkerut karena ucapan Sin Wan yang lembut itu, wajah pemuda itu yang tersenyum penuh syukur kepadanya, seolah menusuk jantungnya.

"Aku telah memukulimu, menghinamu, memakimu dan menyiksamu, dan engkau tidak mendendam kepadaku?"

tanyanya penasaran.

Sin Wan sudah dapat menggoyang kepalanya. "Kenapa aku harus mendendam? Sebelas tahun yang lalu aku juga pernah memukuli pinggulmu, dan sekarang aku hanya membayar hutangku. Aku dahulu terlampau keras kepadamu Lili dan sudah sepatutnya engkau membalas."

Sepasang mata itu tertegun, senyum sadisitu perlahanlahan berubah seperti orang hendak menangis. Semua ini dapat dilihat Sin Wan karena kebetulan sinar bulan dapat menerobos celah-celah daun dan menerangi mereka. Lili memandang wajah pemuda itu, menatap ke arah pipi kiri Sin Wan yang membengkak. Ia menghampiri lebih dekat, tangan kanannya diangkat ke atas. Sin Wan tidak siap menerima tamparan lagi, akan tetapi sekali ini, tangan itu tidak menampar, melainkan mengusap dan membelai pipi yang membengkak itu.

"Sin Wan .... " suara itu seperti rintihan tangis dan mulut gadis itu mendekati pipi yang bengkak, menyentuh telinga dan terdengar ia berbisik, "Sin Wan aku cinta padamu...... ah, aku benci padamu ......!" dan iapun menggerakkan tangan menotok, membebaskan Sin Wan dari pengaruh totokannya, tadi dan sekali berkelebat iapun lenyap dari situ.

Sin Wan dapat menggerakkan kembali kaki tangannya.

Sejenak dia diam saja, membiarkan jalan darahnya pulih kembali dan sikap Lili tadi masih membuat dia tertegun. Gadis itu cinta padanya dan juga benci padanya! Bagaimana ini? Bagaimana mungkin ada orang mencinta sekaligus membenci? Dia menggeleng kepalanya, lalu mengerahkan tenaga Sinkang dan dengan mudah saja dia melepaskan tali pengikat kaki dan tangannya. Dia memegangi potongan kain sabuk sutera itu, mengamatinya dan menggeleng-geleng kepala lagi.

"Lili ...., Lili ....., sungguh aku tidak mengerti." Dia lalu meninggalkan tempat itu, keluar dari hutan dan memasuki kota Lok-yang. Kakek Bu Lee Ki sudah memberitahu kepadanya bahwa kakek itu dan Kui Siang akan menyewa kamar di losmen Ho-peng yang berada di ujung barat kota itu.

Tidak sukar untuk menemukan losmen di sebelah barat dalam kota itu dan ketika Sin Wan minta keterangan dari pelayan losmen tentang kakek Bu Lee Ki dan Kui Siang, pelayan itu ternyata telah mendapat pesan dari Bu Lee Ki dan segera mengantar pemuda itu ke kamarnya.

"ltulah dua kamar kakek dan nona itu," kata pelayan.

Sin Wan mengetuk pintu kamar Bu Lee Ki dan kakek itu membukakan pintu. Dia agak terkejut melihat celana Sin Wan yang robek,pahanya yang terluka goresan memanjang, langkahnya yang agak pincang dan pipi kirinya yang merah membengkak.

"Ehh ? Apa yang terjadi?" tanyanya ketika mereka masuk kamar dan pintunya ditutupkan kembali oleh Bu Lee Ki.

Sin Wan merasa serba salah. Kalau dia bercerita tentang Lili, tentu dia harus menceritakan segalanya dan dia merasa malu, tidak ingin peristiwa di hutan tadi diketahui siapapun.

Akan tetapi kalau tidak diceritakan, bagaimana pula karena keadaannya seperti itu. Dia teringat akan harimau itu lalu berkata, "Locianpwe, saya tersesat ke dalam hutan dan diserang seekor harimau yang besar dan ganas. Saya berhasil membunuhnya, akan tetapi saya juga terluka, dicakar paha saya dan........ begitulah." Dia tidak banyak bicara lagi, lalu membersihkan diri di kamar mandi dan bergantl pakaian.

"Di mana sumoi?" tanyanya setelah berganti pakaian.

Kakek itu nampak termenung setelah mendengar ceritanya.

Jelas bahwa kakek itu tidak puas, dan agaknya tahu bahwa dia menyembunyikan sesuatu dan tidak mau berterus terang.

Akan tetapi kakek itu tidak mendesak dan mendengar pertanyaan itu, diapun tersenyum.

"Kalian ini orang-orang muda memang petualang-petualang yang aneh. Tadi Kui Siang pulang dan tidak bicara apa-apa kepadaku. Ia langsung memasuki kamarnya dan aku mendengar betapa ia gelisah di kamarnya, bahkan aku seperti mendengar ia terisak menangis. Ahhh, sungguh lucu dan aneh. Dan engkau datang-datang seperti ini, baru saja berkelahi dengan harimau! Kalian orang-orang muda yang aneh?"

Kakek itu tidak mendesakdan Sin Wan lalu merebahkan diri di pembaringan kecil di sudut kamar yang mempunyai dua buah pembaringan itu. Dan tak lama kemudian dia sudah tidur pulas karena dia memang merasa lelah, lemas dan terutama sekali pinggulnya masih berdenyut-denyut, berlumbadengan denyut jantungnya.

Pada keesokan harinya, setelah mandi pagi dan merasa tubuhnya lebih segar walaupun rasa nyeri di pinggulnya masih terasa, Sin Wan yang tidak melihat Kui Siang bertanya kepada Bu Lee Ki di mana adanya gadis itu.

Kakek itu mengerutkan alisnya, lalu menggeleng kepala.

"Entah apa yang telah terjadi dengan Kui Siang. Semalam ia pulang langsung ke kamarnya, dan setelah semalam gelisah, pagi ini ia juga tidak keluar dari dalam kamar. Aku tadi sudah mengetuk daun pintu kamarnya dan bertanya. Ia membuka pintu dan mengeluh tidak enak badan, lalu rebah kembali.

Pergilah engkau melihatnya. Sin Wan, aku khawatir ada apaapa terjadi dengan sumoimu. Biasanya ia tidak seperti itu." Sin Wan merasa khawatir. Dia lalu menghampiri kamar sumoinya dan mengetuk daun pintu kamarnya. Beberapa kali dia mengetuk. Tidak ada jawaban.

"Sumoi, harap buka pintu. Ini aku, Sin Wan ingin menjengukmu," katanya.

Juga tidak ada jawaban, akan tetapi pendengarannya yang tajam dapat menangkap isak tangis tertahan. Tentu saja dia menjadi semakin khawatir dan didorongnya daun pintu itu perlahan. Ternyata tidak dikunci dari dalam dan diapun memasuki kamar itu. Dilihatnya sumoinya duduk di pembaringan sambil menutupi mukanya dan menangis menyembunyikan tangisnya di balikbantal yang ditutupkan pada mukanya.

"Sumoi ......! Engkau kenapakah?" tanya Sin Wan dengan kaget dan dia cepat menghampiri gadis itu, berdiri di depannya dan dengan lembut tangannya menyentuh pundak gadis itu.

Mendengar ucapan itu dan merasa pundaknya disentuh tangan Sin Wan, tangis Kui Siang semakin mengguguk dan pundaknya sampai bergoyang-goyang. Tentu saja Sin Wan menjadi semakin khawatir.

"Sumoi, katakanlah. Apa yang telah terjadi denganmu?"

Perlahan-lahan Sin Wan menurunkan bantal itu dari muka sumoinya dan dia terkejut melihat muka yang pucat dan basah air mata, sepasang mata yang menjadi merah dan agak bengkak karena terlalu banyak menangis itu.

"Sumoi, engkau kenapakah, sumoi? Kenapa engkau berduka seperti ini?" tanya pula pemuda itu dengan suara yang penuh kegelisahan, tangan kiri masih memegang pundak, jari tangan kanan menyingkap rambut yang menutupi sebagian muka yang basah itu.

"Suheng .......!" Kui Siang mengeluh dan iapun menjatuhkan diri ke depan, merangkui pinggang suhengnya dan menjatuhkan kepalanya di dada pemuda itu.

Sin Wan semakin kaget. Dia merangkul sumoinya yang kini menangis di dadanya, dan sejenak dia membiarkan sumoinya menumpahkan kedukaannya, membiarkannya menangis di dadanya. Perlahan-lahan, terasa olehnya air mata yang hangat membasahi kulit dadanya, menembus bajunya.

"Tenangkan hatimu, sumoi dan katakanlah, apa yang telah terjadi, yang membuatmu sesedih ini?"

Setelah tangisnya terhenti, hanya tinggal sesenggukan jarang, sisa isak yang melepas sisa ganjalan di hatinya, akhirnya dengan muka masih disembunyikan di dada Sin Wan, Kui Siang berkata lirih, "Suheng, betapa tega hatimu menghancurkan kebahagiaanku, memusnahkan semua harapanku .........."

"Ehh ? Apa maksudmu, sumoi? Aku tidak mengerti ......!"

"Tidak kusangka bahwa engkau mempunyal seorang kekasih, suheng, mempunyai seorang pacar ......" Suara itu bercampur isak.

Sin Wan membelalakkan matanya. "Heiiii! Apa pula ini, sumoi? Aku tidak mempunyai pacar!"

Kui Siang mengangkat mukanya dari dada Sin Wan, sepasang matanya yang merah membendul itu mengamati wajah Sin Wan dan mulutnya cemberut.

"Tidak ada gunanya menyangkal lagi, suheng. Semalam engkau berpacaran dengan seorang gadis cantik! Siapa gadis yang tertidur di pangkuanmu itu?" Sin Wan terkejut bukan main. "Kau ....... kau tahu itu? Bagaimana engkau bisa tahu, sumoi?" Akan tetapi dia segera menyadari bahwa pertanyaannya ini sama saja dengan pengakuan bahwa dia benar-benar berpacaran dengan seorang gadis, maka cepat disambungnya, "Aku tidak berpacaran, sumoi. Iabukan kekasihku, bukan pacarku."

Mata yang kemerahan itu mengeluarkan sinar marah.

"Suheng, selama ini aku mengenalmu sebagai seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang tidak berwatak pengecut dan berani mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Akan tetapi sekarang kenapa engkau menyangkal? Suheng, dengan mataku sendiri aku melihat gadis cantik itu tertidur di pangkuanmu, bersandar pada dadamu dan engkau memeluknya, dan engkau masih berani menyangkal ........?" Mengertilah Sin Wan bahwa sumoinya semalam telah menyaksikan peristiwa yang terjadi antara dia dan Lili, dan sayangnya, sumoinya hanya melihat ketika Lili tertidur di pangkuannya, tidak melihat yang lain, tidak melihat ketika Lili menyiksanya, hampir membunuhnya.

"Sumoi, aku tidak menyangkal semua itu, yang kusangkal adalah bahwa ia itu pacarku. Sama sekali tidak, sumoi.

Dengarlah ceritaku ini. Sebelas tahun yang lalu, ketika tiga orang suhu kita mengantarkan pusaka-pusaka istana bersama aku dengan kereta menuju ke kota raja, di tengah perjalanan kami bertemu Bi-coa Sian-li dan seorang muridnya. Bi-coa Sian-li hendak merampas pusaka, akan tetapi gagal dan ia dikalahkan tiga orang guru kita. Dan anak perempuan itu, yang berusia sembilan tahun, murid Bi-coa Sian-li, berkelahi denganku dan aku menghajarnya, kuhukum seperti anak kecil dengan tamparan pada pinggulnya sampai sepuluh kali."

Kui Siang mengerutkan alisnya. "Apa hubungannya cerita itu dengan kemesraan di hutan itu?" suaranya jelas mengandung kemarahan.

Diam-diam Sin Wan merasa heran. Kenapa sumoinya kelihatan marah sekali melihat Lili tertidur di pangkuannya dan kelihatan seolah dia dan Lili bermesraan dan berpacaran? Hubungannya erat sekali, sumoi.

"Dengarlah ceritaku selanjutnya. Sore tadi aku melihat seorang gadis dikeroyok oleh orang-orang lihai sebanyak enam orang. Gadis itu juga lihai, akan tetapi enam orang lawannya itu selain lihai juga amat licik dan gadis itu akhirnya tertawan dalam sehelai jala yang ada kaitannya beracun.

Melihat gadis itu dalam ancaman bahaya, aku lalu menolongnya dan enam orang penjahat itu melarikan diri.

Gadis itu keracunan, maka aku lalu mengobatinya dan mengusir racun dari tubuhnya. Mungkin karena kepayahan, gadis itu bersandar dan tertidur dan agaknya saat itulah engkau melihat kami dan menyangka bahwakami bermesraan dan berpacaran. Pada hal tidaklah demikian. Bahkan kelanjutannya sayang sekali engkau tidak melihatnya, karena kalau engkau melihatnya, tentu akan lain sekali sikapmu."

Sinar mata itu mulai terang dan tertarik, karena bagaimanapun juga, Kui Siang amat menghormati dan percaya kepada suhengnya itu. "Lanjutannya bagaimana?" tanyanya, suaranya masih parau karena tangis semalam suntuk, akan tetapi matanya tidak sesayu tadi.

"Setelah gadis itu sembuh dan terbangun, kami bicara dan setelah aku mengaku sebagai murid Sam-sian, gadis itu terkejut dan tiba-tiba saja ia menotokku sehingga aku tidak mampu bergerak lagi. Kiranya ia adalah anak perempuan yang sebelas tahun lalu pernah kuhajar itu!"

"Murid Bi-coa Sian-li, pembunuh kedua orang guru kita?"

Sin Wan mengangguk. "Benar, ia bernama Lili dan ia lihai sekali. Aku ditotoknya dan aku menjadi lumpuh."

"Lili ........?"

Sin Wan teringat. "Eh, nama lengkapnya Tang Bwe Li."

"Engkau sudah memanggilnya demikian akrab, suheng? Teruskanlah, bagaimana selanjutnya." Kata pula Kui Siang dan suaranya terdengar kaku.

"Ia membalas dendamnya sebelas tahun yang lalu. Ia membalas memukuli pinggulku sampai puluhan kali. Kemudian ia mengikatku pada pohon dan meninggalkan aku agar dimakan binatang buas."

Gadis itumembelalakkan matanya. "Betapa kejamnya!

Gadis keparat!"

"Setelah ia pergi dan aku belum mampu menggerakkan kaki tanganku, muncullah seekor harimau besar, sumoi.

Binatang itu menghampiri aku, mengendus dan sempat mencakar robek celanaku dan melukai paha.Kemudian ia menerkam dan aku sudah pasrah karena tidak mampu bergerak melawan ......." "Lalu bagaimana, suheng? Lalu bagaimana?" Kini Kui Siang bangkit berdiri dan memegang kedua lengan suhengnya, nampak khawatir bukan main.

"Pada saat harimau menerkam aku, ketika tubuhnya meloncat di udara, ia disambut tusukan pedang dan tewas seketika, sumoi. Aku telah ditolong dan diselamatkan ........" "Siapa yang menolongmu, suheng?" tanya Kui Siang, ingin sekali tahu siapa penolong yang telah merenggut nyawa suhengnya dari ancaman maut.

"Gadis itu, sumoi. Lili yang menyelamatkan aku."

"Ahhhhh .......!" Kedua tangan yang tadi memegang lengan Sin Wan dengan kuat, tiba-tiba menjadi lemas dan terlepas.

Jelas bahwa Kui Siang nampak terpukul dan kecewa bukan main mendengar bahwa yang menyelamatkan suhengnya adalah gadis itu pula.

"Aku sendiri terheran-heran, sumoi. Tadinya ia demikian kejam dan ganas, menyiksaku, hampir membunuhku, sengaja mengikatku agar dimakan binatang buas, akan tetapi ketika aku nyaris dimakan harimau, ia pula yang menolongku."

"Itu hanya berarti ..... ah, suheng. Apakah engkau cinta padanya?" tiba-tiba gadis itu kembali menatap tajam wajah suhengnya.

Sin Wan menggeleng kepala. "Tidak, sumoi. Kami baru bertemu beberapa jam saja, bagaimana aku dapat mencintanya? Apa lagi ia hampir saja membunuhku, dan ia menyiksaku, sampai sekarangpun rasa nyeri di pinggulku masih berdenyut-denyut. Tidak, aku tidak dapat cinta kepadanya, sumoi."

Aneh sekali. Sumoinya, yang masih marah matanya, kini memandang kepadanya dengan senyum tipis!

"Benarkah, suheng?" sumoinya bertanya.

Sin Wan memegang kedua pundak sumoinya, "Aku tidak pernah bohong, sumoi. Sekarang aku ingin bertanya dan harap engkau tidak berbohong pula. Aku bersumpah bahwa aku tadi tidak berpacaran dengan Lili, akan tetapi andaikata benar demikian, lalu kenapa engkau menjadi begitu bersedih? Kenapa?" Wajah itu berubah merah dan sampai sejenak lamanya Kui Siang tidak mampu menjawab. Kemudian, dengan muka ditundukkan, iapun berkata lirih, "Suheng, aku tahu bahwa aku tidak berhak mencampuri urusan pribadimu, aku tahu bahwa tidak sepantasnya aku menjadi marah dan bersedih melihat engkau dan gadis itu di hutan ......." suaranya menjadi gemetar dan ia menangis lagi.

"Sumoi, kenapa? Katakan, kenapa?" Sin Wanmengguncang kedua pundak sumoinya itu.

"Karena ..... karena hatiku dibakar dan ditusuk-tusuk oleh rasa cemburu yang hebat, Suheng, maafkan aku ........"

"Sumoi .....!" Sin Wan terkejut dan Kui Siang menangis sambil merangkul pinggang pemuda itu, menangis di dadanya seperti tadi.

"Maafkan aku, suheng ........ karena aku tidak ingin kehilangan engkau, aku takut kehilangan engkau, aku tidak ingin berpisah darimu selama hidupku, suheng ..... aku cinta padamu ....," dan iapun menangis tersedu-sedu.

Sin Wan tertegun dan diapun merangkul. Sejenak dia bengong. Dalam waktu semalam saja, dua orang gadis mengaku cinta padanya. Lili mengaku benci akan tetapi cinta.

Kui Siang mengaku cemburu akan tetapi cinta!

Haruskah cinta seorang wanita itu disertai cemburu dan dapat berubah menjadi benci? Apakah cinta itu mengandung cemburu dan benci? Dia merasa bingung. Akan tetapi tidak bingung kalau harus memilih di antara keduanya. Kui Siang telah bergaul dengan dia selama sepuluh tahun lebih dan ia sudah mengenal benar watak yang baik dari sumoinya ini. Kui Siang cantik, gagah perkasa, berbudi dan lembut, pasti akan menjadi seorang isteri dan seorang ibu yang baik. Lili juga sama cantiknya, sama gagah perkasanya, akan tetapi gadis itu liar dan ganas, berhati keras bahkan dapat menjadi kejam.

Mudah saja memilih di antara keduanya. Tentu saja dia memilih Kui Siang! Memang jauh sebelum dia bertemu dengan Lili, dia sudah merasa amat sayang kepada sumoinya, rasa sayang merupakan tunas cinta. Kini sumoinya berterus terang menyatakan cinta kepadanya!

"Sumoi, akupun cinta padamu," bisiknya sambil merangkul dan sejenak mereka saling peluk dengan ketatnya seolah tidak ingin melepaskan lagi.

Suara batuk-batuk di luar kamar itu membuat mereka berdua terkejut dan cepat saling melepaskan rangkulan.

Muncullah kakek itu setelah membuka daun pintu dan dia tersenyum lebar.

"Wah, engkau sudah tersenyum lagi, Kui Siang? Ha..ha..ha, peristiwa ini patut dirayakan dengan makan enak. Mari keluarlah kalian, kita rnakan pagi yang istimewa, heh ..Heh..heh!"

Wajah Kui Siang menjadi merah sekali. Hatinya penuh bahagia karena bukankah di telinganya tadi suara Sin Wan berbisik menyatakan cinta? la sudah menyatakan perasaan cintanya dan ternyata dibalas oleh suhengnya! Peristiwa semalam dengan Lili sudah seketika lenyap dari ingatannya.

"Nanti dulu, locianpwe, saya ingin mandi dan bertukar pakaian lebih dulu."

"Heh..heh, baiklah. Kita tunggu di luar, Sin Wan."

Dua orang pria itu keluar dan Kui Siang segera mandi dan bertukar pakaian. Sekali ini, ia berdandan dan menyisir rambutnya agak lebih teliti dari pada biasanya. Ia harus selalu nampak rapi dan cantik di depan kekasihnya!

Sementara itu, ketika mereka duduk menanti Kui Siang, kakek Bu Lee Ki berkata kepada pemuda itu. "Sin Wan, engkau dan Kui Siang memang cocok sekali menjadi suami isteri. Kalian berjodoh, kenapa setelah saling mencinta tidak segera menikah saja. Kulihat usia kalian sudah cukup dewasa."

Wajah Sin Wan berubah kemerahan dan dia tersenyum.

"Aih, locianpwe, bagaimana mungkin kami menikah! Saya seorang yatim piatu yang miskin dan tidak ada yang mewakili saya, sedangkan Kui Siang, biarpun yatim piatu pula, ia bangsawan dan kaya raya, dan masih mempunyai banyak keluarga di kota raja."

"Hemm, apa salahnya itu? Yang penting, kalian saling mencinta. Tentang wakilmu, biar aku yang mewakilimu, mengajukan pinangan kepada keluarga Kui Siang di kota raja kelak setelah urusan pemilihan pemimpin kai-pang di sini selesai. Bagaimana pendapatmu?"

"Terima kasih atas kebaikan hati locianpwe. Marilah nanti saja hal itu kita bicarakan karena selain urusan di sini belum beres, juga saya sendiri masih ragu-ragu untuk membangun rumah tangga. Keadaan saya masih begini, locianpwe, kehidupan diri sendiri saja masih belum menentu, tiada pekerjaan dan tiada rumahtinggal, bagaimana dapat memikirkan pernikahan?"

"Heh..heh, justeru pernikahan yang akan memaksamu untuk mendapatkan tempat tinggal dan mata pencaharian yang tetap. Tanpa adanya kebutuhan itu, tentu akan selalu hidup bebas seperti seekor burung di udara." Kakek itu terkekeh, lalu melanjutkan. "Kalau kalian sudah saling mencinta, hal itu menunjukkan bahwa kalian sudah siap untuk membangun keluarga bersama, hidup bersama sebagai suami isteri. Cinta asmara merupakan tali pengikat yang paling kuat dalam hubungan itu dan kalian sudah saling mencinta. Mau tunggu apa lagi? Cinta berarti hidup bersama dalam keadaan apapun juga, dalam suka dan duka, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, suka sama dinikmati, duka sama ditanggung."

"Tapi ...... tapi saya sendiri masih belum mengerti benar tentang cinta, locianpwe. Mohon petunjuk, apakah cinta harus disertai dengan cemburu? Apakah cinta dapat berubah menjadi benci?"

Kakek itu tertawa. "Cinta adalah suatu keadaan yang mulia dan suci, Sin Wan. Cinta adalah sifat dari Tuhan Yang Maha Kasih. Akan tetapi, kita manusia merupakan mahluk yang lemah terhadap nafsu-nafsu kita sendiri. Cinta kita selalu diboncengi nafsu, dan nafsu inilah yang mendatangkan perasaan cemburu, benci dan sebagainya. Nafsu sifatnya selalu mementingkan diri sendiri, menyenangkan diri sendiri.

Oleh karena cinta kita diboncengi nafsu, maka biar orang yang kita cinta, kalau melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan atau merugikan kita, maka dapat saja berubah menjadi benci dan dapat menimbulkan cemburu. Nafsu membuat kita ingin memiliki dan menguasai orang yang kita cinta seluruhnya, sehingga sekali saja terdapat kecenderungan kekasih kita kepada orang lain, timbullah cemburu. Nafsu membuat kita ingin memperalat orang yang kita cinta itu sebagai sumber kesenangan diri kita sendiri."

"Kalau begitu, locianpwe, nafsu menjadi biang keladi sehingga cinta menjadi kotor dan buruk, dapat mendatangkan kejahatan dan malapetaka. Kalau begitu, antara suami isteri seharusnya ada cinta tanpa nafsu ........" "Ha..ha..ha..ha, tidak mungkin, Sin Wan. Nafsu memang berbahaya kalau ia menguasai kita, kalau ia menjadi majikan yang kejam kalau ia memperalat kita. Akan tetapi sebaliknya, tanpa nafsu kita tidak mungkin dapat hidup. Nafsu yang membonceng dalam cinta antara pria dan wanita merupakan suatu keharusan, karena nafsu yang menimbulkan daya tarik antar kelamin, nafsu pula yang memungkinkan manusia berkembang biak. Kalau pernikahan dilakukan tanpa adanya nafsu berahi, suami isteri akan hidup bersama seperti kakak beradik dan tidak akan ada anak, terlahir dan perkembangan biakan manusia akan terhenti."

Sin Wan menggaruk belakang telinganya yang tidak gatal.

Dia sudah banyak membaca kitab tentang kehidupan, akan tetapi baru sekarang dia mendengar tentang hubungan antara pria dan wanita, tentang bekerjanya nafsu berahi dalam cinta kasih!

"Lalu bagaimana baiknya, locianpwe? Nafsu amat berbahaya bagi kehidupan batin kita, akan tetapi juga teramat penting bagi kehidupan bahkan tidak mungkin dapat kita lenyapkan."

"Segala macam nafsu yang berada pada kita merupakan anugerah pula dari Tuhan kepada kita, Sin Wan. Nafsu-nafsu itulah peserta jiwa dalam badan, untuk kepentingan kehidupan di dunia ini. Nafsu merupakan alat, merupakan pelengkap, merupakan pembantu yang teramat penting. Dalam hal perjodohan, nafsu bekerja sebagai berahi yang menimbulkan perasaan saling suka dan saling tertarik. mungkin melalui keindahan bentuk wajah dan tubuh yang menyenangkan dan cocok, mungkin melalui sikap dan prilaku yang sesuai dengan selera. Pendeknya nafsu berahi selalu ada di dalam cinta antara pria dan wanita yang ingin hidup bersama. Akan tetapi, karena nafsu mendatangkan pula cemburu yang mungkin menimbulkan kebencian, maka kita harus ingat bahwa sekali nafsu berahi yang menjadi majikan, yangmenguasai kita, keutuhan perjodohan terancam retak. Nafsu berahi juga mendatangkan bosan."

"Lalu bagaimana kita dapat menguasai nafsu kita sendiri, locianpwe? Dapatkah dikuasai dengan samadhi, dengan latihan pernapasan, dengan bertapa?"

Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala. "Semua usaha itu juga masih berada dalam lingkungan atau ruang pekerjaan akal budi, pada hal akal budi kita sudah dicengkeram nafsu. Usaha itu juga terbimbing oleh nafsu.

Karena kita melihat kerugian yang diakibatkan oleh pengaruh nafsu, maka kita ingin menguasai nafsu. Siapa yang rugi? Kita si akal budi, dan siapa yang ingin menguasai nafsu. Juga kita sendiri, si akal budi yang sudah bergelimang nafsu. Jadi, nafsu menguasai nafsu, menguasai hasilnya tentu masih nafsu pula, hanya berbeda nama, akan tetapi pada hakekatnya sama, yaitu nafsu yang ingin menyenangkan diri sendiri, ingin menjauhkan diri dari kesusahan, ingin ini dan ingin itu yang pamrihnya pementingan diri. Usaha itu hanya akan mendatangkan hal yang nampaknya berhasil, namun pada luarnya saja. Kalau sekali waktu kebutuhan mendesak, nafsu yang nampaknya dapat "ditidurkan" melalui semua usaha itu, akan bangun kembali bahkan lebih kuat dari pada yang sudah!

Satu-satunya kekuasaan yang akan mampu mengatur nafsu dan mendudukkan kembali nafsu di tempat yang sebenarnya sebagai abdi-abdi jiwa dalam kehidupan manusia, hanyalah kekuasaan Sang Pencipta, yang menciptakan nafsu itu. Karena itu, kita hanya dapat menyerahkan diri kepada Tuhan Maha Kasih, penyerahan total yang penuh kesabaran, ketawakalan dan keikhlasan. Kekuasaan Tuhan yang akan bekerja dalam diri kita. Nafsu-nafsu, termasuk nafsu berahi, akan tetap bekerja, namun sebagai pembantu yang setia, bukan sebagai majikan yang kejam."

Sin Wan mengangguk-angguk. "Kalau sudah begitu, maka perjodohan akan menjadi indah dan penuh kebahagiaan, locianpwe?"

"Ho..ho..heh..heh, nanti dulu, orang muda! Perjodohan adalah suatu segi kehidupan yang paling rumit! Bercampurnya dua orang manusia yang berbeda watak dan selera, berbeda keturunan, untuk hidup bersama selamanya, dalam sebuah pernikahan, dimaksudkan untuk bersama-sama membangun keluarga, terutama sekali bersama-sama merawat dan mendidik anak-anak yang lahir dari pernikahan itu. Dan mempertahankan kebersamaan selama puluhan tahun antara kedua orang manusia ini membutuhkan kepribadian yang luhur dan kesadaran serta kebijaksanaan yang tinggi. Apakah cukup dengan cinta kasih saja? Memang itulah dasarnya, akan tetapi tidak cukup dengan itu, Sin Wan. Di samping kasih sayang, harus pula terdapat kebijaksanaan, kesetiaan, bertanggung jawab dan memenuhi kewajiban masing-masing.

Kewajiban sebagai seorang suami atau isteri kemudian kewajiban sebagai seorang ayah atau ibu. Dan semua itu baru akan berjalan mulus kalau didasari penyerahan kepada Tuhan sehingga kekuasaan Tuhan yang akan menjadi penuntun dan pembimbing."

Percakapan terhenti karena munculnya Kui Siang. Gadis itu nampak segar walaupun kedua matanya masih kemerahan.

Wajahnya tidak pucat lagi dan bibirnya tersenyum manis, wajahnya cerah. Gadis itu membelalakkan mata terkejut gembira melihat meja penuh hidangan yang masih panas.

"Aih, benar-benar locianpwe mengadakan pesta!" serunya sambil duduk di sebelah Sin Wan seperti biasanya menghadapi meja makan.

"Tentu saja! Peristiwa menggembirakan harus disambut dan dirayakan!"

"Peristiwa menggembirakan yang manakah locianpwe?"

"Heh..heh, Kui Siang, masih pura-purakah engkau? Tentu saja peristiwa menggembirakan antara kalian, pertunangan kalian!"

Wajah gadis itu berubah merah sekali dan ia menundukkan muka sambil mengerling ke arah Sin Wan.

"Sumoi, locianpwe telah mengetahui apa yang terjadi antara kita. Beliau seperti guru kita sendiri, tidak perlu lagi kita bersungkan kepadanya."

"Heh-heh, benar sekali itu, Kui Siang. Bahkan aku kelak ingin mewakili Sin Wan mengajukan pinangan atas dirimu kepada keluargamu di kota raja."

Kui Siang bangkit dan memberi hormat kepada kakek itu.

"Terima kasih atas kebaikan budimu, locianpwe. Akan tetapi, sebaiknya hal itu tidak usah kita bicarakan sekarang."

Gadis yang bijaksana, pikir Sin Wan bangga. "Ha, engkau benar. Mari kita makan minum dan bergembira."

Mereka makan minum dan saling memberi selamat melalui cawan arak.

Setelah selesai makan, mereka bercakap-cakap dan Sin Wan berkata, "Locianpwe, saya kira pertemuan yang akan diadakan untuk memilih pimpinan kai-pang ini akan menjadi ramai. Apakah locianpwe sudah mendapatkan keterangan tentang tempat dan waktunya?" tanya Sin Wan.

"Sudah, akan diadakan nanti lewat tengah hari, dan tempatnya di gedung milik pemerintah, yaitu di gedung pertemuan bagian dari bangunan gedung kepala daerah Lokyang."

Sin Wan memandang heran. "Di gedung pemerintah?"

"Tentu saja, dan aku girang sekali dengan itu, Sin Wan.

Agaknya pemerintah mencampuri dan pemerintah benar-benar ingin melihat para kai-pang menggalang persatuan. Hal ini membangkitkan semangatku, karena dengan bantuan dan kerja sama dengan pemerintah, maka persatuan itu akan lebih mudah dipulihkan seperti jaman perjuangan melawan penjajah Mongol."

"Akan tetapi, saya kira tidak akan semudah itu, locianpwe,"

kata Sin Wan. "Saya kira Bi-coa Sian-li akan hadir, dan saya melihat pula seorang muda, mungkin berkebangsaan Jepang, yang memiliki kepandaian lihai sekali. Anak buahnya pandai menggunakan jala sebagai senjata."

"Ahhh? Bi-coa Sian-li muncul, mungkin ia mewakili ayahnya, yaitu See-thian Coa-ong, dan kalau muncul pemuda Jepang lihai dan orang-orang yang pandai menggunakan jala, tentu mereka itu mewakli golongan bajak yang dikepalai oleh datuk timur Tung-hai-liong!Wah, akan ramai kalau datuk barat dan datuk timur itu muncul. Kita harus bersiap-siap dan mari engkau matangkan latihan ilmu-ilmu yang sudah kuajarkan kepadamu, Sin Wan."

Memang selama ini, hampir setiap kesempatan dipergunakan oleh kakek Bu Lee Ki untuk mengajarkan ilmuilmu simpanannya kepada pemuda yang sudah lihai itu.

0oo0 Ruangan yang luas itu telah penuh orang yang pakaiannya aneh-aneh. Demikian banyaknya orang yang hadir, tidak kurang dari limapuluh orang, dan mereka semua memakai pakaian yang pasti ada tambalannya! Ada pakaian kembangkembang, ada pakaian warna-warni yang kainnya masih baru, akan tetapi tetap saja ada tambalan pada pakaian itu. Inilah tandanya bahwa mereka itu adalah orang-orang kai-pang (perkumpulan pengemis).

Tentu saja yanghadir hanyalah para pimpinan, maka mereka yang berada di ruangan itu adalah orang-orang yang lihai. Di antara semua kai-pang yang diwakili pimpinan masing-masing, yang menonjol penampilannya hanya empat rombongan, yaitu rombongan Ang-kin Kai-pang yang menjadi pimpinan seluruh kai-pang di daerah utara dan dipimpin oleh Thio Sam Ki dan Ciok An, Lam-kiang Kai-pang perkumpulan terbesar dari selatan yang dipimpin oleh ketuanya yang bernama Kwee Cin, lalu perkumpulan terbesar di timur Hwa I Kai-pang yang dipimpin oleh ketuanya yang bernama Siok Cu yang diikuti beberapa orang, di antaranya seorang pemuda Jepang yang pakaiannya menyolok karena berbeda dengan pakaian para pimpinan kai-pang, kemudian dari barat Hek I Kai-pang yang dipimpin ketuanya, Souw Kiat yang ditemani pula oleh dua orang wanita yang tentu saja amat menarik perhatian semua orang karena dua orang wanita itu selain cantik jelita, juga pakaian mereka sama sekali tidak menunjukkan bahwa mereka adalah golongan pengemis!

Selain para pimpinan empat kai-pang itu, semua adalah pimpinan para kai-pang yang lebih kecil dan yang dalam banyak hal mengekor saja kepada empat kai-pang besar itu.

Karena rapat besar itu diadakan di Lok-yang, di mana yang berkuasa adalah Hwa I Kai-pang, maka perkumpulan inilah yang bertindak sebagai tuan rumah, bahkan kepala daerah Lok-yang meminjamkan gedung pertemuan itupun kepada Hwa I Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang).

Siok-Pangcu (Ketua Siok) yang bertubuh pendek gemuk, yaitu Siok Cu ketua Hwa I Kai-pang, duduk di bagian tuan rumah, ditemani lima orang pembantu ketua dan pemuda Jepang yang menjadi tamu kehormatan. Pemuda itu bukan lain adalah Maniyoko, murid Tung-hai-liong yang mewakili gurunya untuk merebut pimpinan para kai-pang agar kelak dalam pemilihan Beng-cu (pemimpin rakyat) Tung-hai-liong Ouwyang Cin memperoleh dukungan dari para kai-pang.

Menghadapi datuk timur itu, Siok Cu dan para pimpinan Hwa I Kai-pang tidak mampu melawan dan terpaksa diapun menyerah, walau dalam hati para pimpinan kai-pang tentu saja tidak suka melihat para kai-pang dipimpin oleh seorang yang bukan golongan pengemis, apa lagi seorang Jepang!

Mereka setuju setelah mendengar bahwa Tung-hai-liong dan muridnya sama sekali tidak menginginkan pimpinan kai-pang, melainkan hanya membutuhkan dukungan kai-pang agar kelak dapat menjadi calon beng-cu yang memimpin seluruh dunia persilatan seperti dikehendaki pemerintah. Kalau kedudukan beng-cu sudah diperoleh, tentu saja Tung-hai-liong dan muridnya tidak suka menjadi pemimpin para pengemis!

Siok Cu sebagai tuan rumah bangkit berdiri dan dia memperkenalkan dua orang yang berpakaian perwira tinggi dan yang duduk di tempat kehormatan dekat rombongannya.

"Kedua orang ciang-kun ini adalah wakil dari pemerintah, dikirim oleh kepala daerah untuk menyaksikan pemilihan pimpinan para kai-pang agar berjalan dengan tertib. Sekarang kami harap saudara sekalian suka mengajukan calon masingmasing, setelah semua calon diajukan, baru kita akan mengadakan pemilihan dan pemungutan suara."

Souw Kiat, ketua Hek I Kai-pang yang mewakili para kaipang dari daerah barat bangkit berdiri. "Kami mengajukan usul agar pemilihan seorang pemimpin besar kai-pang bukan hanya berdasarkan banyaknya suara pemilih karena hal itu dapat saja diatur lebih dahulu. Yang penting, seorang pemimpin baru dapat kita hormati dan taati kalau dia berwibawa dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka dia harus lebih lihai dari para calon lainnya. Jadi, harus diadakan adu kepandaian untuk menentukan pemenangnya!"

Siok Cu yang sudah mendapat perintah dariManiyoko, bangkit dan menyatakan persetujuan. "Kami dari Hwa I Kai- pang dan para kai-pang di daerah timur setuju dengan usul dari Hek I Kai-pang. Bagaimana dengan para saudara dari selatan dan utara?"

Kwee Cin, ketua Lam-kiang Kai-pang dari selatan, bangkit.

"Sebelum dilakukan pemilihan, kami ingin bertanya, mengapa diadakan pemilihan lagi kalau kita dahulu sudah mempunyai seorang pimpinan? Bukankah semua kai-pang sudah mempunyai pimpinan, yaitu locianpwe Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki? Bukankah beliau yang dahulu memimpin kita semua membantu perjuangan mengenyahkan penjajah Mongol? Biarpun sudah bertahun-tahun beliau tidak aktip, akan tetapi beliau belum berhenti atau diperhentikan sebagai pimpinan, kenapa sekarang kita melakukan pemilihan pimpinan baru?"

Mendengar ini, Thio Sam Ki bangkit berdiri pula dan mengacungkan tangan.

"Kami dari utara juga setuju dengan pendapat ketua Lamkiang Kai-pang tadi. Kami mempertahankan locianpwe Pek-sim Lo-kai sebagal pimpinan para kai-pang!"

Ucapan kedua orang ketua itu disambut meriah dan ternyata sebagian besar para pangcu yang hadir menyetujui pendapat itu. Souw Kiat yang sudah ditekan oleh Bi-coa Sianli, membantah.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar