Pedang lawan itu gerakannya seperti seekor ular cobra yang menyerang lawan. Dia berusaha untuk membentuk parisai dengan sinar ranting yang diputarnya cepat, namun tetap saja pedang lawan dapat menerobos masuk dan biarpun dia sudah melempar tubuh ke belakang, tetap saja pundak kirinya tertusuk ujung pedang lawan.
Kiam-sian Louw Sun tidak mengeluh, akan tetapi dia terhuyung ke depan dan saat itu, Dewi Ular Cantik sudah menerjang lagi ke depan, pedangnya berkelebat menyilaukan mata dan terpaksa Dewa Pedang meloncat jauh ke atas untuk menghindarkan diri dari ilmu pedangyang seperti gerakan ular itu! Untuk melindungi diri dari ilmu pedang yang seperti ular itu, satu-satunya cara terbaik adalah berloncatan ke atas seperti seekor burung rajawali kalau menghadapi ular.
Akan tetapi, Dewi Ular Cantik sudah dapat menduga taktik ini dan iapun ikut meloncat ke atas. Mereka mengadu pedang dan ranting di udara ketika berlompatan. Keduanya turun lagi dan kembali ujung pedang Cu Sui In telah dapat mencium pangkal lengan kanan Dewa Pedang sehingga bajunya terobek dan kulitnya terluka berdarah.
Keduanya kini sudah sampai ke puncak pertandingan, saling mengerahkan tenaga sekuatnya dan mereka lalu meloncat lagi seperti terbang, saling terjang di udara. Namun, tiba-tiba dari gagang pedang Cu Sui In meluncur jarum-jarum hitam. Serangan jarum-jarum ini merupakan rangkaian serangan pedangnya yang ganas.
Dewa Pedang sudah mencoba untuk memutar ranting melindungi dirinya, akan tetapi biarpun dia berhasil memukul runtuh semua jarum beracun, dia tidak mampu menghindarkan tusukan pedang lawan yangmengenai lambungnya. Kembali mereka berdua melompat turun dalam jarak yang cukup jauh. Dewa Pedang dapat turun dengan berdiri tegak, akan tetapi perlahan-lahan darah mengalir keluar dari celah-celah jari tangan ketika tangan kirinya mendekap lambung yang terluka.
"Hyaaaattt .......!" Dia menggerakkan tangan kanan sambil membalik ke arah Dewi Ular Cantik. Ranting di tangannya itu meluncur seperti anak panah ke arah lawan. Cu Sui In terkejut, tidak menyangka bahwa lawan yang sudah terluka parah itu masih mampu menyerangnya sehebat itu. Ia menggerakkan pedang menangkis dan ranting itu meluncur cepat ke arah pohon dan menancap ke batang pohon seperti anak panah yang dilepas dari dekat! Akan tetapi itu merupakan serangan balasan terakhir dari Kiam-sian Louw Sun karena dia sudah terkulai roboh.
Dewa Arak cepat menghampiri rekannya dan menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan darah mengalir keluar. Akan tetapi setelah memeriksanya, tahulah Dewa Arak bahwa luka yang diderita rekannya itu terlampau parah dan tak mungkin dapat disembuhkan lagi. Pedang Dewi Ular Cantik bukan hanya merobek kulit dan daging saja, melainkan melukai anggauta badan sebelah dalam sehingga tidak mungkin lagi Dewa Pedang dapat ditolong dan diselamatkan.
Sementara itu, melihat rekannya roboh, Pek-mou-sian Thio Ki meloncat ke depan wanita cantik itu. "Siancai ....., hatimu sungguh ganas dan kejam, Bi-coa Sian-li. Kami dahulu mengalahkanmu tanpa melukai, akan tetapi sekarang engkau berusaha membunuh kami." "Pek-mou-sian! Terluka atau tewas dalam pertandingan sudah menjadi resiko semua orang di dunia persilatan. Hal itu biasa dan wajar, kenapa banyak ribut lagi! Kalau tadi aku yang kalah, tentu aku yang terluka dan mungkin tewas. Nah, sekarang majulah, aku sudah siap!" tantang wanita cantik itu.
"Suci, engkau sudah lelah. Biarkan aku maju mewakilimu menghadapi dia!" Tang Bwe Li melompat ke depan, akan tetapi, Cu Sui In mengerutkan alisnya dan membentak.
"Sumoi, mundur kau! Ingat, jangan mencampuri urusan ini.
Ini urusan pribadiku, kau tahu? Biar andaikata aku terdesak dan terancam maut sekalipun, engkau tidak boleh turun tangan!"
Lili mundur. Ia maklum akan watak kakak seperguruan, bekas gurunya ini. Cu Sui In wataknya persis ayahnya, yaitu See-thian Coa-ong Cu Kiat. Watak yang keras dan gagah, juga tinggi hati dan pantang dianggap curang atau penakut. Karena itulah ia tidak menghendaki sumoinya mencampuri pertandingannya melawan Sam Sian, apalagi melihat betapa Tiga Dewa itu tidak mengeroyoknya.
Kalau tadi Lili mencoba untuk mewakili sucinya, hal itu adalah karena ia tahu benar betapa sucinya itu sudah lelah karena tadi harus mengerahkan tenaga sepenuhnya ketika melawan Kiam-sian, walaupun sucinya keluar sebagai pemenang. Dan ia dapat menduga bahwa tingkat kepandaian kakek rambut putih itu tentusetinggi tingkat Dewa Pedang pula.
Dengan hati khawatir Lili melangkah mundur dan kembali menjadi penonton saja, tidak berani membantu karena kalau ia lancang melakukan hal ini, sucinya tentu akan marah bukan main karena perbuatannya itu dapat dianggap menghina dan merendahkan harga diri sucinya itu!
Pek-mou-sian Thio Ki maklum akan kelihaian lawan. Tadi dia mengikuti pertandingan antara rekannya Dewa Pedang melawan wanita ini dengan teliti dan dia tahu bahwa yang amat berbahaya adalah ilmu pedang yang gerakannya seperti gerakan ular cobra tadi. Rekannya saja, yang dijuluki Dewa Pedang dan ahli dalam ilmu pedang, tidak mampu menandingi ilmu pedang ular itu.
Akan tetapi, Dewa Rambut Putih tidak menjadi gentar sama sekali. Bagi dia, hidup atau mati bukan hal yang paling penting. Yang terpenting adalah bagaimana dia dapat selalu mengambil jalan yang benar. Kalau sudah benar, mati atau hidup sama saja! Mati karena membela yang benar jauh lebih baik dari pada hidup mempertahankan kejahatan!
"Siancai .....!" Ingat, Bi-coa Sian-li, adalah engkau yang datang mencari dan menantang kami. Baik kalah atau menang, akibatnya adalah tanggunganmu. Kami hanya melayani permintaanmu."
"Aku datang bukan untuk berdebat. Keluarkan senjatamu, kalau memang engkau tidak takut menyambut tantanganku!" bentak Cu Sui In.
Dewa Rambut Putih mengeluarkan kipas dan sulingnya.
Kipas itu dipegangnya dengan tangan kiri, dan sulingnya dengan tangan kanan. Dia bersikap tenang walaupun waspada, karena dia maklum bahwa orang seperti wanita ini tidak segan menggunakan siasat yang betapa ganaspun, seperti tadi ia menyerang Dewa Pedang dengan jarum beracun yang keluar dari gagang pedangnya.
"Bi-coa Sian-li, aku sudah siap, katanya. Baru saja katakatanya habis, pedang ditangan Cu Sui In sudah menerjangnya dengan dahsyat bukan main. Dewa Rambut Putih me ngebutkan kipasnya dan menggunakan sulingnya menangkis.
"Tranggg ........!" Suling menangkis pedang dan kipasnya mengebut ke arah muka lawan. Cu Sui In cepat mengelak dari sambaran angin kipas itu, akan tetapi tiba-tiba kipas itu tertutup dan gagangnya menotok ke arah pundak Sui In.
Totokan dengan gagang kipas itu nampaknya lemah saja, namun sesungguhnya dibalik gerakan yang lernbut itu terkandung tenaga yang dahsyat. Tahulah Cu Sui In bahwa lawannya amatlihai. sesuai dengan filsafah Agama To yang selalu menekankan bahwa "yang kosong itu berisi", bahkan yang kosong itulah intinya karena segala hal baru dapat berarti kalau ada bagiannya yang kosong.
Lo-cu, nabi Agama To, membuka kesadaran manusia untuk menghargai yang kosong atau bahkan "yang tidak ada"
dengan mengatakan bahwa sebuah roda baru dapat dipergunakan karena ada bagian kosong di antara jerujinya.
Sebuah cawan baru dapat berguna karena ada bagian kosong di dalamnya, dan sebuah rumah baru dapat berguna karena ada bagian yang kosong di dalamnya dan lubang-lubang di pintu dan jendelanya.
Inilah inti dari ilmu silat yang kini dimainkan Dewa Rambut Putih, nampak lembut namun sesungguhnya amat kuat!.
Karena maklum bahwa lawannya ini tidak kalah berbahaya dibandingkan Dewa Pedang, Cu Sui In tidak mau membuang banyak tenaga. Ia sudah mulai merasa lelah karena tadi ketika melawan Dewa Pedang ia sudah mengerahkan banyak tenaga sin-kang.
"Ssssshhhhh ........!!" terdengar ia mendesis dan gerakan pedangnya kini berubah menjadi seperti gerakan ular cobra.
Pek-mau-sian Thio Ki sudah siap siaga dan begitu pedang lawan menusuk seperti gerakan ular mematuk, dia pun cepat menangkis dengan sulingnya sambil mengerahkan sin-kang.
"Cringgg .......!!" Pek-mau-sian terkejut karena tenaga yang terkandung dalam ilmu pedang ular itu bukan main hebatnya, mempunyai tenaga seperti membelit dan menempel sehingga ketika dia menarik sulingnya lepas, dia terhuyung. Namun, cepat kipasnya mengebut ke depan sehingga dia mampu menghalangi penyerangan susulan karena bagaimana pun juga, Cu Sui In tidak berani memandang ringan gerakan kipas itu.
Dewa Rambut Putih maklum bahwa ilmu pedang ular itu mengandung tenaga sin-kang yang dahsyat sekali, maka diapun segera mengerahkan tenaga sin-kang yang biasa dia pergunakan untuk ilmu sihirnya. Dalam adu kepandaian ini, dia tidak mau mempergunakan sihir karena selain belum tentu seorang sakti seperti Dewi Ular Cantik itu dapat terpengaruh sihir, juga dia tidak mau berlaku curang dengan menggunakan sihir. Bukankah mereka sedang mengadu ilmu silat? Dia hanya membela diri, sama sekali tidak haus akan kemenangan, maka dia merasa malu kalau harus mempergunakan sihir. Akan tetapi, dia mengerahkan tenaga sin-kang Pek-in (Awan Putih) dari kedua telapak tangan,juga ubun-ubun kepalanya, mulai mengepulkan uap putih!
Melihat ini, Cu Sui In mendesis-desis semakin keras dan gerakannya cepat sekali, pedangnya bagaikan seekor ular cobra, mematuk-matuk dan mengirim serangan bertubi-tubi!
"Siancai ....!" Dewa Rambut Putih berseru kagum dan dia harus cepat memutar suling dan mengibaskan kipasnya untuk melindungi dirinya. Wanita cantik itu memang berbahaya sekali. Bukan saja pedangnya yang berbahaya, juga kukukuku jari tangan kiri ikut menyambar-nyambar dan dia maklum bahwa kuku yang kini berubah menghitam itu mengandung racun yang berbahaya, yaitu racun ular cobra hitam. Sekali saja kulit tergores kuku sampai terobek dan berdarah, racunnya akan memasuki tubuh lewat jalan darah dan akibatnya sama saja dengan kalau orang digigit ular cobra hitam!
Karena memang tingkat kepandaian Dewa Rambut Putih sama tingginya dengan tingkat Dewa Pedang, maka kembali terjadi pertandingan yang amat seru dan hebat. Bahkan bagi Cu Sui In, lawannya yang kedua ini lebih tangguh. Hal ini karena tadi Dewa Pedang tidak memegang pedang, hanya mempergunakan ranting pohon sebagai senjata, sebaliknya Dewa Rambut Putih memegang sepasang senjatanya sendiri yang pernah membantunya membuat nama besar selama puluhan tahun.
Karena tidak mungkin membela diri hanya dengan mengelak atau menangkis saja kalau berhadapan dengan lawan yang tingkat kepandaiannya tidak berselisih jauh dengan tingkatnya sendiri, maka Dewa Rambut Putih juga menggunakan cara membela diri yang paling baik, yaitu dengan cara balas menyerang. Bagi Tiga Dewa, kalau tidak terpaksa, mereka tidak akan mau menyerang orang, apa lagi membunuh atau melukai. Kini, berhadapan dengan Dewi Ular Cantik, terpaksa dia melawan dengan pengerahan seluruh kepandaian dan tenaganya, balas menyerang dengan dahsyat.
Kalau saja dia tidak memiliki tenaga sakti Awan Putih, tentu Pek-mau-sian Thio Ki tidak akan mampu bertahan sampai puluhan jurus.
Jilid 5SUI IN yang memang sudah lelah, kini dipaksa untuk menguras tenaganya. Wanita ini semakin lelah, leher dan dahinya basah oleh keringat, napasnya agak memburu walaupun permainan pedangnya tidak berkurang ganasnya dan gerakan tubuhnya tidak berkurang gesitnya. Dibandingkan lawannya, seorang pertapa yang usianya sudah enampuluh dua tahun lebih, ia menang dalam beberapahal. Pertama, ia lebih muda, ke dua ia lebih terlatih dan ke tiga ia lebih bersemangat dan nekat!
Ketika untuk ke sekian kalinya pedang bertemu suling dengan amat kuatnya, membuat keduanya terdorong dan melangkah ke belakang, Sui In mengubah gerakan serangannya. Ia tidak lagi menyerang dengan gerakan yang lincah seperti tadi, rnelainkan ia menyerang dengan gerakan yang lambat dan berat. Hal ini bukan berarti bahwa ia telah kehabisan tenaga atau napas.
Sama sekali tidak! Hanya, kalau tadi ia mengandalkan kecepatan untuk mencoba mengatasi lawan, kini ia mencurahkan seluruh daya serangnya dengan andalan tenaga sin-kang dari Ilmu Pedang Ular Hitam. Pedangnya menyambar dengan gerakan lambat dan berat sekali, namun mengandung angin yang menyambar dengan dahsyat!
Dewa Rambut Putih maklum akan perubahan siasat lawan.
Diapun tidak berani lengah dan sambaran pedang itu, walaupun datangnya lambat, dia elakkan dengan loncatan jauh ke samping dan diapun membalas dengan serangan yang sama sifatnya, lambat dan berat. Sulingnya menotok ke arah pergelangan tangan yang kehitaman itu, didahului oleh sambaran kipasnya ke arah muka. Gerakannya mengandung sinkang yang kuat pula.
Sui In juga mengelak dan mereka serang menyerang dengan gerakan lambat sehingga bagi orang yang tidak paham limu silat tinggi, tentu akan menganggap bahwa keduanya hanya main-main dan tidak berkelahi sungguhsungguh. Akan tetapi Dewa Arak dan Lili maklum bahwa kini perkelahian itu telah tiba pada keadaan yang gawat dan matimatian.
Ketika dalam pertemuanantara pedang dan suling yang mengandung tenaga sinkang sepenuhnya membuat Dewi Ular Cantik terhuyung ke belakang, Dewa Rambut Putih mendapatkan kesempatan untuk balas mendesak lawan. Dia tahu betapa berbahayanya wanita ini dan dia harus mampu mengalahkannya kalau ingin dia dan Dewa Arak, mungkin juga dua orang murid mereka, selamat.
Melihat lawan terhuyung dalam posisi yang tidak menguntungkan, Pek-mau-sian lalu menerjang dengan suling dan kipasnya. Kedua senjata ampuh ini menyambar dari atas, kipasnya rnenotok pergelangan tangan yang memegang pedang sedangkan suling di tangan kanannya menotok ke arah pundak untuk merobohkan lawan tanpa melukainya.
Akan tetapi pada saat itu, tubuh Dewi Ular Cantik yang terhuyung itu tiba-tiba tegak kembali dan ketika ia menggerakkan kepalanya, rambut yang hitam panjang itu bagaikan seekor ular telah menyambar ke arah suling, menangkis dan terus melibatnya, dan pedangnya bergerak menyambar arah kipas. Pedangnya merobek kipas dan terjepit di antara gagang kipas!
Kedua senjata Dewa Rambut Putih tidak dapat digerakkan lagi dan pada saat itu, Dewi Ular Cantik yang tadi membuat gerakan terhuyung hanya sebagai siasat saja, menggerakkan tangan kirinya yang membentuk cakar dan kuku-kuku jari tangannya menyambar ke arah tenggorokan Pek-mau-sian Thio Ki!
Tentu saja Dewa Rambut Putih terkejut sekali. Untuk menangkis tidak mungkin karena kedua senjatanya telah melekat pada rambut dan pedang, dan untuk mengelak, jaraknya sudah terlampau dekat. Serangan itu amat ganas dan licik, sama sekali tidak disangkanya, maka satu-satunya jalan baginya hanyalah menarik tubuh atas ke belakang dan untuk menyelamatkan diri, dia mengangkat kaki menendang.
"Crokkk ....! Desssss ........"
Cengkeraman tangan kiri dengan kuku hitam itu memasuki dada Pek-mau-sian, pada detik yang sama dengan tendangan kaki Dewa Rambut Putih itu yang mengenai lambung Dewi Ular Cantik. Tubuh Pek-mau-sian Thio Ki terjengkang pada saat tubuh Bi-coa Sian-li Cu Sui In terlempar ke belakang sampai dua meter jauhnya. Dewa Arak lari menghampiri rekannya yang roboh terjengkang, sedangkan Lili meloncat menghampiri sucinya yang tidak roboh, akan tetapi ketika tubuhnya turun, ia terhuyung dan muntahkan darah segar!
Dewa Arak sekali pandang saja tahu bahwa rekannya, Dewa Rambut Putih, telah tewas seketika. Dadanya menjadi hitam oleh pengaruh racun dari kuku tangan kiri lawan dan rekannya itu tewas tanpa menderita, lebih beruntung dibandingkan Dewa Pedang yang tewas setelah tadi menderita beberapa lamanya. Dua rekannya telah tewas.
Dewa Arak menarik napas panjang dan sambil meneguk araknya dia memandang ke arah wanita cantik itu. Wanita cantik itu mengibaskan tangan Lili yang hendak menolongnya, dan kini telah berdiri tegak walaupun wajah yang cantik itu kini pucat sekali.
Ia hendak bicara kepada Dewa Arak, akan tetapi yang keluar dari mulutnya hanya darah lagi, maka iapun segera duduk bersila, mengatur pernapasan untuk mengumpulkan hawa murni dan mengobati luka di bagian dalam tubuhnya yang terguncang akibat tendangan Dewa Rambut Putih tadi.
Tendangan itu mengandung hawa atau tenaga sakti Awan Putih, maka dapat mengguncang isi perut wanita itu.
"Suci, biar aku yang menghadapi tua bangka yang seorang lagi itu." kata Lili yang sudah siap untuk menyerang Dewa Arak yang masih enak-enak minum arak dari gucinya.
Wanita yang duduk bersila itu membuka matanya, memandang kepada sumoinya. Sejenak ia tidak bicara karena sedang mengatur pernapasan, setelah agak reda, iapun berkata lirih. "Sumoi, sudah kukatakan jangan kau ikut campur. Ini adalah urusan pribadiku. Sekarang aku tidak mungkin dapat menantang Dewa Arak, biarlah hari ini kubiarkan dia hidup. Lain hari akan kucari dia! Kecuali kalau dia hendak menuntut balas atas kematian dua orang rekannya!"
Mendengar ini, Dewa Arak tertawa bergelak. "Ha .. ha .. ha, Dewi Ular, apakah engkau mulai merasa menyesal karena membunuh mereka? Ha .. ha, engkau sudah begitu berjasa terhadap dua orang sahabatku, dan engkau menyuruh aku membalas dendam kepadamu? Ha-ha-ha, sayang engkau terluka, nona. Kalau tidak, tentu akupun akan kaubebaskan dari pada kurungan hidup yang palsu ini. Masih untung ada arak, kalau tidak, betapa menjemukan, apalagi setelah dua orang sababatku pergi."
Cu Sui In bangkit berdiri. Napasnya tidak terengah lagi walaupun mukanya masih pucat. "Kalau engkau hendak membalas dendam, biar terluka aku akan melayanimu, Dewa Arak. Kalau tidak, jangan kira bahwa aku melarikan diri takut oleh pembalasanmu."
"Ha .. ha .. ha, engkau memang wanita gagah Dewi Ular.
Agaknya engkau hendak menutupi semua kesengsaraan hatimu dengan sikap gagah dan tidak mau kalah dengan mengangkat harga diri setinggi mungkin. Aih, aku kasihan kepadamu, Dewi Ular!"
Mendengar ini, Lili mengerutkan alisnya lalu menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek itu, "Hei, tua bangka pemabok! Jangansemnbarangan bicara engkau! Katakan kepada muridmu si Kerbau-sapi-kuda itu bahwa sekali waktu, aku akan mencarinya untuk membalas penghinaannya kepadaku sepuluh tahun yang lalu!" "Sudahlah, sumoi. Dia pemabok akan tetapi ucapannya benar. Mari kita pergi!"kata Cu Sui In. Lili tidak berani membantah dan dua orang wanita itu lalu menuruni lembah itu, diikuti pandang mata Dewa Arak yang menggeleng kepalanya.
0oo0 Setelah matahari naik tinggi, dari lereng sebelah timur nampak dua orang muda mendaki puncak memasuki Lembah Awan Putih sambil membawa bermacam barang belanjaan.
Mereka adalah Sin Wan dan Kui Siang yang baru pulang dari kota Yin-coan mana mereka berbelanja bermacam barang untuk menyambut datangnya tahun baru seperti yang diusulkan guru-guru mereka.
Dengan gembira mereka berlari mendaki tebing yang curam itu. Mereka membeli pakaian, bukan hanya untuk mereka berdua, juga untuk tiga orang suhu mereka. Juga mereka membeli roti kering, daging kering, bumbu-bumbu masak, bahkan membeli pula lima ekor ayam dan telur asin.
Ketika rnereka tiba di lembah, mereka melihat suasana di situ sunyi sekali. Biasanya, tiga orang guru mereka itu berada di luar pondok pada tengahari seperti itu dan ada saja yang mereka kerjakan. Akan tetapi, kini suasana di luar pondok sunyi. Ketika mereka menghampiri pondok, mereka mendengar suara Dewa Arak bicara dengan suara lantang.
"Aih, Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih, sungguh aku merasa iri kepadamu! Kalian mendapat kesempatan untuk lebih dahulu pergi meninggalkan dunia yang telah menjadi tempat kotor karena ulah manusia ini, terbebas dari sengsara badan dan batin. Kalian tewas sebagai orang-orang gagah, dan mendapat kehormatan tewas di tangan lawan yang berilmu tinggi. Kalian tidak kecewa, akan tetapi aku? Aihhh, siapa tahu kelak aku mati digerogoti kuman-kuman kecil. Ah, sungguh aku iri sekali kepada kalian!" Mendengar ucapan itu, tentu saja Sin Wan dan Kui Siang menjadi heran, akan tetapi juga terkejut sekali. Mereka lalu berlari masuk seperti berlomba dan mereka sejenak terpukau, berdiri saja memandang tubuh dua orang kakek yang terbujur kaku di atas pembaringan masing-masing! Dua orang guru mereka itu telah menjadi jenazah!
"Suhuuu .....!!"Kui Siang menjerit dan melompat, menubruk dua jenazah itu bergantian sambil menangis dan memanggil-manggil. Gadis ini memang amat sayang kepada tiga orang guru mereka, yang seolah menjadi pengganti orang tuanya. Dan kini ia mendapatkan dua orang di antara tiga gurunya tewas begitu saja. Pada hal ketika pagi tadi ia berangkat ke kota Yin coan bersama Sin Wan dua orang gurunya itu masih dalam keadaan sehat, tidak sakit apapun.
Sin Wan berdiri sambil menundukkan kepalanya, memejamkan matanya dan dengan suara lirih diapun berdoa.
"Ya Allah, mereka berasal dariMu dan kini Engkau berkenan memanggil mereka kembali kepadaMu. Semoga Allah Maha Kasih menerima mereka dan memberi tempat yang penuh bahagia abadi." Kemudian dia menghampiri Kui Siang yang masih sesenggukan menangisi kematian dua orang gurunya, menyentuh pundaknya dan berkata, "Sumoi, amat tidak baik menangisi dua orang guru kita yang sudah meninggal dunia.
Tidak baik untuk mereka. Hentikan tangismu sumoi." Kui Siang mengangkat mukanya yang basah air mata.
"Aduh, suheng ..... bagaimana aku tidak boleh menangis? Hatiku hancur melihat dua orang suhumeninggal dunia dengan mendadak ....... Tiba-tiba gadis itu meloncat berdiri dan membalik, memandang Dewa Arak yang masih menghadapi guci arak dan masih tersenyum-senyum itu.
"Aku harus membalas kematian mereka! Suhu, siapa yang membunuh mereka? Katakanlah, siapa yang membunuh mereka?" Dewa Arab tersenyum memandang kepada muridnya itu.
"Kui Siang, kalau engkau tahu siapa yang membunuh mereka, lalu engkau mau apa?" "Teecu (murid) akan membalas dendam kematian suhu berdua! Teecu akan mencari pembunuh itu dankubunuh dia!" kata gadis itu sambil mengepal tinju dan meraba gagang pedang Jit-kong-kiam yang tergantung di pinggangnya.
"Kau mau tahu yang membunuh mereka? Yang membunuh adalah Tuhan." Kui Siang memandang kepada gurunya itu dengan mata terbelalak "Tuhan? Suhu, apa maksud suhu? Teecu tidak mengerti......!" "Ha..ha..ha..ha!"Dewi Arak meneguk lagi arak dari gucinya, Sin Wan mendekati sumoinya.
"Sumoi, suhu berkata benar. Kematian kedua orang suhu, atau kematian siapapun juga di dunia ini, baru dapat terjadi kalau dikehendaki Tuhan! Tanpa kehendak Tuhan, siapa yang akan mampu membunuh siapa? Segala kehendak Tuhanpun jadilah, sumoi!" "Ha..ha..ha, suhengmu benar, Kui Siang. Nah, kalau yang membunuh dua orang gurumu ini Tuhan, apakah engkau juga mendendam kepada Tuhan dan hendak membunuhnya untuk membalas dendam?" Kui Siang tertegun dan menjadi bingung. "Tapi ..... tapi .....
bagaimana Tuhan membunuh kedua guruku ini? Teecu bingung, suhu, tidak mengerti dan mohon penjelasan. Apa yang telah terjadi sampai kedua orang suhu ini meninggal dunia?" "Duduklah dengan tenang, Kui Siang. Hentikan tangismu dan mari kita antar kematian Kiam-sian dan Pek-mau-sian dengan percakapan tentang kematian agar engkau mengerti.
Sin Wan, kalau ada yang terlewat, kaulengkapi keteranganku kepada sumoimu. Nah, Kui Siang. Setiap manusia dilahirkan dan kemudian mengalami kematian. Kelahiran dan kematian setiap orang berada di tangan Tuhan, sudah dikehendaki oleh Tuhan! Tentu saja, seperti juga segala peristiwa di dunia ini, kelahiran dan kematianpun ada penyebabnya yang hanya menjadi jalan atau lantaran saja. Tentu saja Tuhan tidak mengulurkan tangan seperti kita untuk mencabut nyawa seseorang, melainkan melalui suatu sebab. Ada kematian karena penyakit, ada kematian karena bencana alam, ada kematian karena bunuh membunuh, dalam perang atau dalam perkelahian. Kita harus menghadapi setiap kematian sebagai suatu hal yang wajar, sebagai bukti bahwa hidup di dunia ini tidak abadi, dan bukti bahwa Tuhan Maha Kuasa dan tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang akan mampu menghindarkan kita dari kematian kalau Tuhan sudah menghendakinya. Sebaliknya, tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang dapat membunuh kita kalau Tuhan tidak menghendaki kita mati! Nah, kalau kematian itu ditentukan oleh Tuhan, maka setiap kematian, kalau ditanya pembunuhnya, maka pembunuhnya adalah Tuhan! Kalau, kita hendak mendendam, maka kepada Tuhanlah dendam itu ditujukan dan itu merupakan dosa yang teramat besar!" "Tapi, suhu! Yang melakukan pembunuhan adalah manusia lain, walaupun kematian itu di tangan Tuhan!"bantah Kui Siang, "Kalau ada orang membunuh orang lain yang tidak berdosa, maka si pembunuh itulah yang bertanggung jawab dan dia harus dihukum!" "Ha..ha..ha, tentu saja! Dan kau bicara tentang hukum.
Setiap dosa tidak akan dapat bebas dari hukuman Tuhan, dan ada pula hukuman manusia, yaitu hukum yang diadakan oleh negara, oleh masyarakat, oleh agama. Tapi, membalas dendam tidak termasuk dalam hukum apapun, kecuali hukum nafsu setan, hukum kebencian, Andaikata kedua orang gurumu ini mati karena penyakit, karena kuman, apakah engkau juga akan membalas dendam kepada kuman, kepada penyakit? Andaikata kedua orang gurumu ini mati karena banjir, apakah engkau akan mendendam kepada air? Kalau mati karena terbakar, apakah engkau akan mendendam kepada api? Dan masih banyak lagi penyebab kematian yang banyak menjadi lantaran saja." Kui Siang tertegun dan bengong. Ia merasa bulu tengkuknya meremang, melihat kenyataan yang sama sekali tak pernah dipikirkan sebelumnya.
"Tapi ...... tapi ..... kalau dua orang suhu dibunuh orang jahat, apakah teecu harus mendiamkan saja orang jahat itu membunuh dua orang suhuku? Apakah teecu harus mendiamkan pula penjahat itu merajalela menyebar maut, membunuhi orang-orang yang tidak berdosa?" "Sumoi, bukan begitu maksud suhu. Tentu saja kita harus menentang setiap perbuatan jahat. Kalau kita melihat penjahat yang telah membunuh dua orang guru kita, atau membunuh siapapun juga, atau penjahat lain yang manapun juga, kalau kita melihat dia melakukan kejahatan, sudah menjadi kewajiban kita untuk mencegah perbuatan jahat itu dilakukan. Akan tetapi, kita menentang dan memberantas kejahatan berdasarkan membela kebenaran dan keadilan, bukan demi membalas dendam karena kebencian atau sakit hati." Kui Siang mengangguk-angguk. Baru sekarang setelah mendengarkan penjelasan suhengnya, ia teringat akan ajaranajaran dari dua orang gurunya yang kini telah rebah telentang, tanpa nyawa itu.
"Nah, engkau mulai mengerti agaknya, Kui Siang. Kita harus mengetahui bahwa budi dan dendam, keduanya merupakan belenggu pengikat kita kepada hukum karma.
Hukum karma merupakan mata rantai yang tiada berkeputusan selama kita terikat oleh belenggu tadi." "Suhu, mohon dijelaskan tentang karma." "Hukum karma adalah hukum sebab akibat, KuiSiang. Ada akibat tentu ada sebabnya, dan akibat itu dapat menjadi sebab baru lagi sehingga mata rantai itu sambung menyambung tiada berkeputusan. Kalau engkau menendang sebuah batu dari puncak bukit, batu itu menjadi sebab tergelincirnya batu ke dua. Akibat ini menjadi sebab lain lagi karena batu ke dua menimpa batu ke tiga dari selanjutnya." "Kalau begitu, kita tidak berdaya, suhu. Kita menjadi permainan karma, menjadi permainan hukum sebab dan akibat." "Kalau kita membiarkan diri terikat, memang demikian, Kui Siang. Akan tetapi, Tuhan Maha Kasih kepada kita. Tuhan telah memberi alat yang serba lengkap kepada kita manusia, selain dengan nafsu-nafsu untuk mempertahankan hidup, dengan hati dan akal pikiran, juga menyertakan pula kesadaran jiwa. Kekuasaan Tuhan akan membimbing kita, Kui Siang, menyadarkan kita sehingga kita dapat mematahkan ikatan belenggu sebab akibat dan tidak terseret oleh berputarnya roda karma." "Mohon penjelasan, suhu, berilah contohnya." "Sin Wan, aku ingin mendengar apakah engkau sudah mengerti benar. Coba engkau yang menerangkan kepada sumoimu." "Baik, suhu. Akan tetapi kalau ada kekeliruan harap suhu suka membetulkan dan memberi penjelasan. Sebelumnya, teecu harap suhu suka memberitahu, bagaimana kedua orang suhu ini sampai, tewas, agar dapat teecu pergunakan sebagai contoh tentang ikatan belenggu karma." Dewa Arak menarik napas panjang. "Ketika kalian turun dari lembah tadi, dan kami bertiga duduk di luar pondok menikmati sinar matahari pagi, muncullah Bi-coa Sian-li Cu Sui In bersama seorang gadis yang disebutnya sumoi.’’ "Siapakah Bi-coa Sian-li Cu Sui In itu?" Kui Siang bertanya.
"Sumoi, ia seorang tokoh kang-ouw wanita yang sepuluh tahun lalu pernah mencoba untuk merampas pusaka-pusaka istana dari tangan guru-guru kita." Kata Sin Wan yang masih ingat kepada wanita galak itu, juga ingat kepada anak perempuan yang ketika itu mengaku sebagai murid Dewi Ular Cantik.
"Nah, wanita itu sepuluh tahun yang lalu gagal merampas pusaka dari kami, dan kekalahan sepuluh tahun yang lalu itu membuat ia menaruh dendam. Ia datang mencari kami dan menantang kami untuk bertanding satu lawan satu untuk menebus kekalahannya sepuluh tahun yang lalu. Tentu saja kami tidak menanggapi, akan tetapi ia memaksa dan akan membunuh kami kalau kami tidak mau menyambut tantangannya. Tentu saja kami tidak mau dibunuh begitu saja dan mati konyol. Maka Dewa Pedang lalu menyambut tantangannya." "Tapi, Louw-suhu (guru Louw) sudah mengatakan tidak akan bertanding lagi, dan beliau menyerahkan Jit-kong-kiam kepada teecu danPedang Tumpul kepada suheng!"seru Kui Siang, lalu ia menoleh dan memandang ke arah wajah jenazah Kiam-sian Louw Sun.
Dewa Arak tersenyum. "Bagi seorang ahli pedang seperti Kiam-sian, setiap benda berbentuk pedang dapat saja menjadi senjata pengganti pedang. Dia melawan Dewi Ular itu dengan sebatang ranting pohon." "Ahhh ......! Dan Louw-suhu melawannya dengan ranting, sedangkan lawan menggunakan pedang pusaka?" teriak Kui Siang.
"Bukan hanya karena itu. Akan tetapi memang harus kami akui bahwa ilmu kepandaian Dewi Ular Cantik tidak dapat disamakan dengan tingkatnya sepuluh tahun yang lalu. Ia lihai bukan main dan akhirnya, setelah melalui pertandingan yang seru dan hebat, guru kalian Kiam-sian Louw Sun tewas di tangan Dewi Ular Cantik." Wajah Kui Siang menjadi merah, akan tetapi ia masih menahan kemarahannya. "Apakah Thio-suhu (guru Thio) juga tewas oleh iblis betina itu, suhu?" Dewa Arak mengangguk. "Setelah Dewa Pedang roboh.
Dewa Rambut Putih maju melawan Dewi Ular Cantik.
Pertandingan antara mereka lebih seru dan sebetulnya Dewi Ular sudah kehabisan tenaga. Akan tetapi ia memang lihai dan mempunyai banyak siasat. Akhirnya, dengan menggunakan rambutnya sebagai senjata. Dewi Ular berhasil merobohkan dan menewaskan Dewa Rambut Putih walaupun ia sendiri terkena tendangan Pek-mau-sian dan menderita luka dalam yang cukup parah. Dalam keadaan terluka ia dan sumoinya pergi." "Iblis betina keparat!"Kui Siang bangkit lagi kemarahannya yang sejak tadi ditahannya.
"Hemm, mau apa engkau, Kui Siang?"bentak Dewa Arak, sekali ini tidak tertawa lagi.
Kui Siang sadar, lalu membalik dan menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya sambil menangis. "Suhu, ampunkan teecu ...." katanya di antara isaknya.
"Suhu, Maafkan sumoi,"kata Sin Wan. "Teecu sendiri juga merasa panas di hati. Suhu, teecu berdua hanyalah manusiamanusia biasa yang tidak mungkin dapat begitu saja membebaskan diri dari pada nafsu perasaan. Teecu berdua amat menyayang Louw-suhu dan Thio-suhu, tentu hati ini sakit sekali mendengar ada orang membunuh mereka. Teecu sendiri mengerti bahwa perasaan ini hanya peranainan nafsu dan tidak benar menurutkannya, akan tetapi mungkin sumoi belum mengerti benar." "Heh .. heh, karena itu, kaujelaskan padanya tentang karma tadi, Sin Wan." "Begini sumoi. Kalau kita mau menelusuri, maka kematian dua orang guru kita yang tercinta hanya merupakan akibat dari pada sebab-sebab yang lalu. Kalau kita telusuri, maka sebab-sebab itu kait-mengait seperti mata rantai. Mereka tewas sebagai akibat pembalasan dendam Dewi Ular Cantik yang pernah mereka kalahkan, dalam perkelahian pertama.
Perkelahian pertama itu menjadi sebab perkelahian ke dua ini.
Dan perkelahian pertama itupun akibat dari pada sebab lain, yaitu karena guru-guru kita bertugas merampas kembali pusaka dari istana. Tugas itupun mempunyai sebab, yaitu karena guru-guru kita adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yang dimintai tolong oleh kaisar dan ketua perkumpulan persilatan. Nah, kalau ditelusuri terus, sebab-sebab yang menjadi mata rantai itu tiada habisnya, sumoi." "Ha..ha..ha, mungkin yang menjadi sebab pertama adalah karena ...... kami bertiga dahulu dilahirkan di dunia ini! Kalau kami tidak dilahirkan, mana akan terjadi semua itu? Ha..ha..ha!" "Demikianlah, sumoi. Sebab akibat yang disebut karma ini merupakan mata rantai yang tiada putusnya, dan masih akan berkepanjangan kalau kita tidak menghentikannya agar mata rantai itu putus. Contohnya begini. Kematian kedua orang guru kita menjadi akibat yang dapat menjadi sebab lain, yaitu apabila kita menaruh dendam sakit hati. Mungkin kita lalu mencari Dew Ular Cantik dan kita berusaha membunuhnya untuk membalas dendam atas kematian,kedua orang guru kita. Katakanlah kita berhasil dan ia mati di tangan kita, mata rantai itu tidak akan habis. Mungkin ada saudaranya, gurunya, atau muridnya, yang menjadi sakit hati dan mendendam, lalu mencari kita untuk menuntut balas, demikian seterusnya." "Heh..heh..heh, kemudian muridnya, atau anaknya, saling mendendam dan saling membalas. Saling bermusuhan, maka timbullah perang! Nafsu itu seperti api, kalau dibiarkan merajalela, dari sepercik bunga api dapat menjadi lautan api yang membakar dunia ha..ha..ha!" "Begitulah, sumoi. Biarpun hati kita panas, namun pengertian ini harus kita laksanakan, dalam kehidupan. Kita hentikan rangkaian karma ini sampai di sini saja. Kita patahkan mata rantai agar kita tidak terikat belenggu karma.
Kita tidak seharusnya menaruh dendam kebencian kepada Dewi Ular Cantik." "Aku mengerti. Suheng." Kata Kui Siang dan kini suaranya terdengar tenang. "Akan tetapi apakah kita harus mendiamkan saja orang-orang jahat dan kejam seperti Dewi Ular Cantik itu berkeliaran begitu saja menyebar maut di antara orang-orang yang tidak berdosa? Kita berpeluk tangan begitu saja ?" "Ha..ha..ha, anak manis. Tentu saja tidak! Kalau kalian diam saja, lalu untuk apa kalian menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari Ilmu dari Sam Sian? Kalian harus turun tangan, menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang benar dan yang lemah tertindas, menentang yang jahat dan yang lalim, akan tetapi, ingat. Yang kalian tentang bukanlah pribadinya, melainkan perbuatannya. Kalian menentang orang jahat berdasarkan jiwa pendekar, bukan karena sakit hati, bukan karena dendam, dan sama sekali bukan karena membenci seseorang karena perbuatan yang dasarnya kebencian adalah perbuatan yang.terdorong oleh nafsu, dan semua perbuatan yang terdorong nafsu tentu akan menjadi mata rantai hukum karma." "Terima kasih, suhu, teecu mulai mengerti. Teecu juga masih ingat akan semua ajaran budi pekerti yang pernah teecu terima dari mendiang Louw-suhu dan Thio-suhu. Teecu harus menjadi seorang pendekar yang selalu mengambil jalan benar, taat kepada perintah Tuhan yang diperuntukkan manusia lewat agama dan ajaran-ajaran para budiman, teecu harus berprikemanusiaan, harus menjunjung keadilan, menolong sesamanya, berpribudi baik dan hidup rukun dan saling bantu, harus ........" "Kui Siang, dan kau juga Sin Wan. Segala ajaran memang baik, akan tetapi kalian ingatlah baik-baik. Pokok dari pada semua ajaran itu adalah bahwa kita harus. berTUHAN! Ber Tuhan bukan hanya di mulut, melainkan ber Tuhan dengan seluruh jiwa raga, tercermin di dalam hati akal pikiran, dalam kata-kata dan dalam perbuatan. Ber Tuhan bukan berarti munafik, melainkan kita menyembah dan berbakti kepada Tuhan setiap saat,setiap detik ingat kepada Tuhan sehingga segala apa yang kita pikir, kita katakan, kita lakukan selalu dibimbing oleh kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih. Orang yang ber.Tuhan, benar-benar ber Tuhan, sudah pasti dia itu berprikemanusiaan, sudah pasti dia itu adil, berpribudi baik, tolong-menolong dan hidup rukun dengan sesama, sudah pasti dia itu tidak kejam. Pendeknya, orang yang ber Tuhan sudah pasti hatinya bersih dan baik!
Sebaliknya, orang yang berbuat baik, yang mengaku berprikemanusiaan, mengaku adil, belum tentu ber Tuhan, Kalau demikian keadaannya, maka semua kebaikannya itu berdasarkan nafsu, semua kebaikannya itu munafik dan palsu, karena tentu didasari pamrih demi keuntungan dan kepentingan diri pribadi! Namun, seorang yang ber Tuhan, melakukan segala sesuatu demi baktinya kepada Tuhan, sebagai dharma sehingga semua perbuatannya itu tanpa dikotori pamrih demi keuntungan diri pribadi. Mengertikah kalian?" "Teecu mengerti, suhu,"kata Sin Wan dan Kui Siang hanya mengangguk, karena pengertiannya belum mendalam, bahkan ia masih agak bingung. Sejak kecil ia telah banyak menderita, yaitu sejek ia berusia sepuluh tahun. Ayahnya dibunuh penjahat yang mencuri pusaka isiana, ibunya tak lama kemudian meninggal pula karena duka dan jatuh sakit. Para paman dan bibinya hanyalah orang-orang yang berambisi untuk mengambil bagian dari haria warisan orang tuanya.
Sejak kecil ia menderita dan kecewa.
Dan kini, setelah selama sepuluh tahun ia hidup bersama tiga orang gurunya, menyayangi mereka seperti orang tua sendiri,dua di antara tiga orang gurunya kembali dibunuh orang! Dan kalau ia menderita sakit hati dan mendendam, hal itu tidaklah benar! Terjadi perang dalam batinnya yang membuat ia ragu dan bingung.
Tiba-tiba Dewa Arak tertawa. "Ha..ha..ha..ha, sudah cukup kitabicara seperti pendeta-pendeta tua perenung! Kalian harus membuat persiapan. Kita kubur jenazah Kiam-sian dan Pek-mau-sian di lembah ini, kemudian kalian ikut dengan aku pergi meninggalkan Pek-in-kok." "Meninggalkan Pek-in-kok? Kita akan pergi ke mana suhu?" tanya Sin Wan yang merasa heran.
"Kita pergi ke tempat lain yang tidak diketahui orang, agar Dewi Ular Cantik tidak akan dapat menemukan kita." "Tapi, suhu!"Kui Siang berkata dengan penasaran sekali.
"Kenapa kita harus melarikan diri dari iblis betinaitu? Memang kita tidak perlu mendendam kepadanya, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kita takut kepadanya sehingga kita harus lari dan menyembunyikan diri!" Sekali ini, Sin Wan juga berpihak sumoinya. Walaupun dia tidak berkata sesuatu, namun pandang matanya terhadap Dewa Arak juga menuntut penjelasan.
"Heh..heh, kaukira aku takut menghadapi Dewi Ular Cantik? Sama sekali tidak takut, juga aku tidak suka melihat kalian takut kepadanya atau kepada siapapun juga. Rasa takut kita harus kita tujukan hanyakepada Tuhan saja, takut kalau sampai kita terseret nafsu melakukan hal yang tidak benar dan tidak berkenan kepada Tuhan! Tidak, aku mengajak kalian pergi dari sini agar kalian dapat melatih ilmu kami secara tekun dan tenang tanpa ada gangguan selama satutahun.
Setelah kalian menguasai Sam-sian Sin ciang (Tangan Sakti Tiga Dewa), baru hatiku tenteram dan kalian boleh turun gunung." "Sam-sian Sin-ciang ?"tanya Kui Siang. "Belurn pernah teecu mendengarnya dari suhu bertiga." "Itulah hasil ketekunanku selama beberapa tahun ini.
Sayang Kiam sian dan Pek-mau-sian terlalu malas untuk mempelajari dan melatih ilmu itu. Andaikata mereka mengusainya, bagaimana mungkin Dewi Ular Cantik mampu mengalahkan mereka!" Dewa Arak dan dua orang muridnya lalu mengubur dua jenazah itu di Lembah Awan Putih, kemudian menyembahyangi dua makam itu dengan hormat walaupun sederhana.
Setelah tiga hari mereka mengubur jenazah itu. Pada hari ke empat mereka meninggalkan Pek-in-kok, menuju ke sebuah tempat yang hanya diketahui oleh DewaArak sendiri.
Di situ dia menggembleng dua orang muridnya, mengajarkan ilmu baru yang selama bertahun-tahun disusunnya dari inti sari ilmu Tiga Dewa.
Dalam Sam-sian Sin-ciang ini termasuk unsur-unsur dari llmunya sendiri seperti Ciu-sian Pek-ciang (Tangan Putih Dewa Arak), Thian-te Sin-kang (Tenaga Sakti Langit Bumi) dan Huinio Poan-soan (Langkah Berputaran Burung Terbang) dan dari ilmu silat Kiam-sian dia mengambil inti sari dari Jit-kong Kiamsut (Ilmu Pedang Cahaya Matahari) dan ilmu menotok jalan darah Kiam-ci (Jari Pedang). Dari Pek-mau-sian dia mengambil inti sari Pek-in Hoat-sut (Sihir Awan Putih) dan Sin-siauw Kunhoat (Silat Suling Sakti).
Dari semua ilmu ini, yang diambil inti sarinya, dia menciptakan Sam-sian Sin-ciang dan ilmu inilah yang dia ajarkan kepada Sin Wan dan Kui Siang. Kalau yang mempelajari ilmu Sam-sian Sin-ciang ini orang lain, betapapun pandainya dia, tentu akan makan waktu bertahun-tahun saking sulitnya. Akan tetapi karena dua orang muda itu sudah mengenal semua ilmu yang digabungkan menjadi ilmu silat sakti itu, tentu saja lebih mudah bagi mereka dan dalam waktu setahun, setelah berlatih dengan tekun, mereka dapat menguasai ilmu itu sebaiknya.
0oo0 Harus diakui oleh sejarah bahwa semenjak kekuasaan penjajah Mongol dienyahkan oleh pasukan rakyat yang dipimpin oleh pemuda petani Cu Goan Ciang yang kemudian mendirikan Dinasti Beng dan menjadi Kaisar Thai-cu, Cina dapat dipersatukan kembali. Di bawah pimpinan Jenderal Shu Ta, tangan kanan Kaisar Thai-cu, sisa-sisa pasukan Mongol yang masih berada di wilayah Cina, dapat dipukul mundur sampai mereka kembali ke tempat asal mereka, di utara, yaitu daerah Mongol.
Setelah tiba di daerah mereka sendiri, barulah orang–orang Mongol dapat mempertahankan diri. Daerah yang keras dan sukar itu menyulitkan pasukan yang dipimpin Jenderat Shu Ta sehingga dia hanya mampu membersihkan daerah kekuasaannya dari orang-orang Mongol, namun tidak mampu menumpas Bangsa Mongol di daerah mereka sendiri.
Kaisar Thai-cu, walaupun berasal dari keluarga petani, namun setelah menjadi kaisar, ternyata memiliki kemampuan memimpin yang mengagumkan. Hal ini karena dia amat pandai mempergunakan tenaga orang-orang yang ahli dalam bidang masing-masing, menghargai para cerdik pandai sehingga dengan bantuan orang-orang yang ahli, dia mampu mengendalikan pemerinlahan dengan baik.
Yang membuat kedudukan kaisar ini kuat adalah karena dia merupakan orang yang telah mampu dan berhasil menghancurkan kekuasaan penjajah Mongol sehingga mengembalikan harga diri dan kedaulatan bangsa.Jasa ini saja sudah membuat dia dikagumi dan dihormati seluruh rakyat, tidak perduli dari golongan maupun suku bangsa apa saja, karena bukankah dia yang telah membebaskan rakyat semua suku dan golongan itu dari penindasan penjajah Mongol? Juga Kaisar Thai-cu yang dahulunya bernama Cu Goan Ciang ini memanfaatkan akar dari pohon pemerintahannya, yaitu balatentara dan rakyat jelata. Dia merangkul keduanya.
Dia menghargai jasa balatentaranya, menjamin kehidupan keluarga mereka, menambah daya kekuatan mereka dengan menggembleng semua perajurit dengan ilmu-ilmu perang, tidak pelit membagi-bagi hadiah, pandai menghargai jasa setiap orang perajurit. Juga kaisar ini merangkul rakyat, memperhatikan kehidupan rakyat jelata, menyuburkan perdagangan dengan membuka pintuselebarnya.
Dia membangkitkan semangat membangun dalam segala bidang karena semangat rakyat harus disalurkan dan penyaluran yang paling sehat dan menguntungkan bangsa hanyalah semangat membangun! Di samping itu, Kaisar Thaicu juga menggunakan tangan besi untuk menertibkan keamanan, menjaga ketenteraman kehidupan rakyat dan menumpas semua golongan yang sifatnya hanya menjadi perusak dan penghalang pembangunan.
Pada masa itu, gangguan yang terbesar bagi kerajaan baru Beng-tiauw adalah rongrongan orang-orang Mongol yang tentu saja masih merasa penasaran dan ingin menegakkan kembali kekuasaan mereka yang hancur. Mereka melakukan gangguan di sepanjang perbatasan barat dan utara.
Di samping gangguan dari orang-orang Mongol ini, yang tidak segan-segan mempergunakan segala daya untuk bersekutu dan membujuk pejabat-pejabat daerah untuk memberontak, juga pemerintah menghadapi rongrongan dari para bajak laut yang merajalela di lautan timur. Mereka ini kebanyakan adalah orang-orang Jepang yang terkenal sebagai bajak laut yang tangguh.
Karena sukar untuk membasmi bajak laut ini yang mempunyai daerah pelarian yang luas di lautan apabila dikejar, Kaisar Thai-cu bersama para penasihatnya memperlihatkan perhatian yang serius terhadap keadaan rakyat di pantai-pantai yang menjadi sasaran para bajak laut.
Para penduduk pantai itu ditampung dan dlpindahkan ke daerah pedalaman sehingga menyulitkan para bajak laut untuk mengganggu mereka.
Demikianlah, di bawah pimpinan Kaisar Thai-cu yang bijaksana, tentu saja sebagian besar rakyat mendukungnya dan Kerajaan Beng (Terang) menjadi benar-benar gemilang.
Tensu saja, tidak ada yang sempurna di dunia yang dwimuka ini. Demikian pula dengan keberhasilan yang dicapai Kaisar Thal-cu. Ada saja Golongan yang merasa tidak puas. Mereka ini sebagian besar adalah mereka yang di waktu pemerintahan penjajah berhasil menduduki pangkat yang tinggi dan kehidupan yang mewah dan mulia. Setelah Kerajaan Goan-tiauw, yaitu kerajaan penjajah Mongol runtuh, runtuh pula kedudukan mereka, bahkan banyak di antara mereka yang menjadi korban perang, sebagal pihak yang membela kerajaan penjajah yang kalah.
Ada pula golongan yang tidak puas kerena merasa tidak mendapatkan bagian dari hasil kemenangan pemerintah Bengtiauw. Ada pula golongan hitam dan kaum sesat yang merasa tersudut karena pemerintah menggunakan tangan besi menentang kejahatan dan memberi hukuman berat kepada para pengacau. Adapula pejabat daerah yang merasa bahwa jasanya lebih besar dari pada kedudukan yang mereka peroleh sehingga mereka ini condonguntuk merasa tidak puas dan mudah dihasut golongan yang tidak suka kepada pemerintah baru.
Golongan-golongan itulah, orang-orang yang lebih mementingkan diri sendiri dari pada kepentingan negara dan bangsa, yang mudah dibujuk oleh orang-orang Mongol untuk meagadakan persekutuan! Akan tetapi, golongan rakyat yang menentang pemerintahan ini diimbangi dengan golongan para pendekar yang mendukung pemerintah!
Maka bermunculanlah perkumpulan-perkumpulan yang saling bertentangan, yaitu perkumpulan golongan sesatatau para penjahat yang dipergunakan oleh para pembesar yang berniat memberontak, dan golongan para pendekar yang membantu pemerintah untuk menjaga ketertiban dan keamanan. Tentu saja golongan para pendekar ini mendapatkan dukungan rakyat jelata yang tidak ingin melihat kehidupan mereka dirusak kembali oleh para pengacau. Juga mereka baru saja terbebas dari perang yang amat mengerikan dan menjatuhkan banyak korban, dan mereka tidak ingin timbul perang baru yang hanya akan menyengsarakan rakyat jelata belaka.
Pada suatu pagi, dua orang wanita cantik mendayung perahu mereka yang kecil mungil ke darat sungai Kuning di sebelah utara kota besar Lok-yang. Mereka, menarik. perahu ke darat. memanggil seorang diantara para nelayan yang berada di pantai.
"Paman, maukah engkau menyimpan perahu ini untuk kami? Boleh paman pakai untuk keperluan paman, akan tetapi sewaktu-waktu kami datang membutuhkannya, paman harus mengembalikan kepada kami," kata wanita yang muda.
Nelayan itu memandang heran, akan tetapi karena perahu itu biarpun kecil cukup kokoh dan indah, dia mengangguk.
"Baiklah, nona. Biar anakku yang merawatnya dan dia pula yang menggunakan untuk sekadar mencari ikan, Namaku A Liok, nona. Kelak kalau nona hendak mengambilnya kembali, tanyakan saja kepada orang di sini."
Gadis itu mengangguk, kemudian dua orang wanita yang cantik itu pergi meninggalkan pantai sungai, menuju ke barat, melalui jalan raya yang menuju ke kota Lok-yang.
Dua orang wanita itu adalah Bi-coa Sian-li Cu Sui In dan Tang Bwe Li! Setahun lebih yang lalu, mereka datang ke Pekin-kok dan Si Dewi Ular itu telah berhasil membunuh Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih, walaupun ia sendlri juga terluka parah. Namun, sekarang ia telah sembuh sama sekali dan biarpun usianya kini sudah empatpuluh tahun lebih,Cu Sui In masih nampak cantik jelita seperti belum ada tigapuluh tahun usianya.
Rambutnya masih digelung tinggi, dan rambut itu masih hitam panjang, gelungnya model sanggul para puteri bangsawan dengan dihias emas perrnata berbentuk burung Hong dan bunga teratai. Pakaiannya juga indah, terbuat dari sutera mahal berkembang dan wajahnya yang cantik jelita itu bertambah cantik dengan olesan bedak tipis dan pemerah bibir dan pipi. Alisnya kecil melengkung dan hitam karena ditata dengan cukuran dan penghitam alis, sepasang matanya, tajam dan mengandung sesuatu yang dingin dan menyeramkan.
Hidungnya mancung, akan tetapi yang paling menggairahkan hati pria adalah mulutnya. Mulut itu memang indah bentuknya, bahkan tanpa pemerah bibirpun sebetulnya sepasang bibir itu sudah merah membasah karena sehat, sepasang bibir yang hidup dan dapat bergerak-gerak pada ujungnya, penuh dan tipis lembut.
Akan tetapi semua kecantikan itu menjadi keren dengan adanya sebatang pedang yang bergagang dan bersarung indah tergantung di punggungnya, tertutup buntalan pakaian dan sutera kuning.
Tang Bwe Li yang kini berusia duapuluh tahun, tidaklah secantik dan seanggun gurunya yang kini menjadi sucinya itu.
Namun, dara ini jauh lebih manis! Lesung di pipinya, kerling tajam pada matanya, senyum sinis pada mulutnya, hidung yang dapat kembang kempis itu, ditambah gayanya yang lincah jenaka dan galak, membuat hati setiap orang pria yang melihatnya menjadi gemas-gemas sayang.
Beberapa bulan yang lalu, Tang Bwe Li atau yang biasa dipanggil Lili, pulang ke Bukit Ular di Pegunungan Himalaya di mana suhunya, See-thian Coa-ong Cu Kiat dan sucinya, Bi-coa Sian-li Cu Sui In, tinggal. Dara ini telah melakukan perjalanan seorang diri untuk mencari Dewa Arak dan muridnya, anak laki-laki yang pernah menampari pinggulnya sampai panas dan merah, yang tidak diketahui namanya akan tetapi amat dibencinya itu.
Ia hendak mewakili sucinya yang sedang mengobati luka dalam karena tendangan Pek-mau-sian. Akan tetapi, Lili tidak berhasil menemukan Dewa Arak di Pek-in-kok. Ia hanya melihat dua buah makam, yaitu makam Kiam-san dan Pekmau-sian. Ia mencari ke sekitar lembah itu, namun sia-sia dan dengan marah-marah terpaksa ia kembali ke rumah suhunya dan melapor kepada sucinya.
Dewi Ular juga menjadi kecewa sekali, maka setelah ia sembuh sama sekali, ia mengajak sumoinya turun gunung.
Mereka berdua selain hendak mencari Dewa Arak dan muridnya, juga ingin memenuhi pesan See-thian Coa-ong Cu Kiat. Datuk ini sudah mendengar Akan perubahan besar yang terjadi sejak penjajah Mongol diusir dari Cina. Dia merasa sudah tua dan tidak semestinya mengasingkan diri di Pegunungan Himalaya.
"Sekarang tiba waktunya bagi kita untuk mencari kedudukan, karena kaisarnya adalah bangsa sendiri." katanya.
"Apakah ayah bercita-cita untuk menjadi seorang pembesar?" tanya Dewi Ular heran.
"Ha..ha..ha, siapa ingin menjadi pejabat? Kalau menjadi pejabat, aku harus menjadi kaisar! Ah, tidak, Sui In. Kita adalah orang-orang dunla persilatan. Aku mendengar bahwa sekarang para orang gagah di dunia kang-ouw, mendapat angin baik dari pemerintah yang baru. Aku ingin menjadi beng-cu (pemimpin) dari rimba persilatan!"
"Suhu, dalam perjalananku mencari Dewa Arak, akupun mendengar bahwa tahun ini, pada akhir tahun, akan ada pertemuan besar antara para pimpinan partai persilatan, dan mungkin dalam pertemuan itu akan dilakukan pemilihan ketua atau pemimpin baru," kata Lili.
"Bagus! Akhir tahun masih lama, masih sembilan bulan lagi.
Kalian berangkatlah lebih dulu, menyusun kekuatan dan sedapat mungkin membentuk sebuahperkumpulan yang kuat untuk menjadi anak buah kita. Kelak, pada saatnya, aku akan muncul di tempat pertemuan puncak itu. Bwe Li, di mana pertemuan itu diadakan? Biasanya, pertemuan semacam itu diadakan di Thai-san"
"Menurut yang kudengar memang akan diadakan di puncak Thai-san, suhu," kata gadis itu.
"Nah, kalau begitu, kalian berangkatlah. Menurut sejarah, dahulu perkumpulan pengemis merupakan perkumpulan yang amat kuat dan memiliki anak buah paling banyak di antara semua perkumpulan. Bahkan partai pengemis di utara pernah menjadi penghalang bagi penjajah Mongol ketika hendak menyerbu ke selatan. Akan tetapi, karena adanya pengkhianatan di antara para pimpinan, partai pengemis dapat dikuasai orang-orang Mongol dan akhirnya diadu domba dan pecah belah. Bahkan ketika jaman penjajahan Mongol, partai itu dilarang sehingga anak buahnya cerai berai.
Sekarang, setelah penjajah lenyap, kurasa mereka tentu membangun kembali partai pengemis. Kalau kalian dapat menguasai mereka, kalau kalian dapat menjadi pimpinan kaipang (partai pengemis), tentu kedudukan kita akan menjadi kuat dan disegani."
Demikianlah, dua orang wanita itu melakukan perjalanan dan pada pagi hari itu, mereka turun dari perahu dan menuju ke Lok-yang. Mereka mendengar dalam perjalanan mereka bahwa memang kini kai-pang mulai nampak kuat kembali, di mana-mana diadakan persatuan pengemis dan pusatnya berada di tiga tempat.
Pengemis utara berpusat di Pe-king, pengemis barat berpusat di Lok-yang dan pengemis timur dan selatan berpusat di Nan-king, kota raja. Itulah sebabnya, dua orang wanita itu kini menuju ke Lok-yang. Kalau saja mereka dapat menguasai cabang barat di Lok-yang ini, akan memudahkan mereka menuju kepada kedudukan puncak yang berpusat di Nan-king.
Ketika mereka memasuki Lok-yang, Lili yang jarang melihat kota besar, menjadi kagum. Kota Lok-yang merupakan bekas kota raja, maka selain besar dan ramai, juga indah, banyak bangunan indah bekas istana di sana, juga gedung-gedung besar yang dahulu menjadi tempat tinggal para pembesar tinggi. Toko-toko besar penuh barang dagangan, juga terdapat banyak rumah penginapan dan rumah makan yang besar.
Akan tetapi, setelah berjalan-jalan di kota itu, Sui In yang tidak heran melihat keramaian kota karena ia sudah sering berkunjung ke kota-kota besar, berkata,"Sungguh luar biasa!"
"Apanya yang luar biasa, suci? Memang kota ini ramai dan indah......"
"Bukan itu maksudku. Coba kaulihat sumoi, tidak ada seorangpun pengemis nampak di kota ini. Pada hal, menurut keterangan, Lok-yang merupakan pusat dari para pengemis daerah barat."
"Ah, benar juga, suci. Tentu telah terjadi sesuatu, atau mungkin mereka itu sudah pindah ke kota lain?"
"Andaikata benar mereka pindahpun, kenapa di kota besar seperti ini tidak nampak seorangpun pengemis? Ini sungguh aneh!" kata Dewi Ular. Mereka lalu mencari kamar di rumah penginapan. Karena baru saja mereka melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, mereka beristirahat siang itu dan setelah mandi sore, Dewi Ular mengajak sumoinya untuk keluar mencari makanan dan juga untuk berjalan-jalan melihat keadaan dan menyelidiki tentang para pengemis.
Kota Lok-yang di malam hari memang makin semarak.
Toko-toko dibuka dengan lampu-lampu gantung yang terang, juga jalan raya diterangi lampu-lampu. Banyak orang lalu lalang, berjalan-jalan atau berbelanja di toko, di warungwarung, bahkan di taman kota yang indah, yang di waktu jaman penjajahan hanya untuk kaum bangsawan atau pembesar saja, kini dibuka untuk umum dan ramai sekali.
Dua orang wanita itu ikut merasa gembira dengan ramainya suasana. Langitcerah dan bulan mulai muncul membuat suasana semakin gembira. Sui In dan Bwe Li kini duduk di sebuah kedai nasi, duduk di meja paling luar sambil menonton keramaian di jalan raya, memesan makanan dan air teh.
Selagi mereka makan, tiba-tiba Bwe Li menyentuh lengan sucinya dan dengan pandang mata ia memberi isyarat ke sebelah kanan. Sui In menengok dan ia melihat seorang pengemis datang rnenghampiri kedai itu.
Seorang pengemis yang usianya sekitar tigapuluh tahun, tubuhnya tegap dan sehat, pakaiannya serba hitam, bahkan rambutnya yang panjang juga diikat dengan pita hitam.
Melihat perawakannya, sungguh tidak pantas seorang pria muda yang masih kuat dan tidak cacat itu menjadi pengemis!
Juga gerak-geriknya tidak seperti orang pemalas, melainkan sigap dan langkahnya lebar. Akan tetapi, wajahnya membayangkan kekerasan dan matanya liar.
Dua orang wanita itu kini menunda makan dan mengikuti gerak gerik pengemis itu dengan pandang mata mereka.
Pengemis muda itu kini menghampiri sebuah meja paling depan dekat pintu kedai, di mana duduk tiga orang laki-laki yang sedang makan bakmi.
"Tuan-tuan, bagilah sedikit rejeki untukku dan, beri sedekah untukku." kata pengemis itu, sikap dan suaranya angkuh seperti orang menagih hutang saja.
Tiga orang yang sedang makan itu nampak terganggu, akan tetapi yang paling tua di antara mereka agaknya tidak ingin ribut-ribut, mengambil sepotong uang kecil dari saku bajunya dan menyerahkannya kepada si pengemis. Pengemis baju hitam itu menerima uang kecil, mengamatinya dan diapun mengerutkan alisnya, memandang kepada tiga orang itu dengan marah.
"Kalian hanya memberi sekeping tembaga ini? Untuk membeli semangkok bakmi juga tidak cukup! Kalian berani menghinaku, ya?" Pengemis itu membanting uang kecil itu ke atas meja. Uang itu menancap di meja depan tiga orang itu yang menjadi terkejut sekali.
Pria yang tertua itu berkata, "Engkau tidak mau diberi sebegitu? Lalu, berapa yang kauminta?"
Pengemis itu menggapai ke arah pelayan yang kebetulan berada di dekat situ, lalu dia bertanya, "Coba hitung, berapa harga semua hidangan tiga orang ini."
Pelayan itu memandang heran. Benarkah pengemis ini hendak membayar makanan tiga orang itu maka menanyakan harganya? Dia menghitung-hitungkan lalu berkata, "Semua sekeping uang perak," jawabnya.
Pengemis itu lalu menjulurkan tangannya ke arah tiga orang tamu itu. "Nah, berikan sekeping perak kepadaku!"
Tiga orang itu saling pandang dengan mata terbelalak.
Mana ada pengemis minta sedekah sebanyak harga makanan mereka bertiga? Dengan paksaan pula! Dan pelayan itupun kini mengerti bahwa pengemis baju hitam ini mencari garagara. Pada waktu itu. keadaan kota Lok-yang aman dan hampir tidak pernah ada gangguan kejahatan. Hal ini membuat pelayan itupun berani menentang, merasa bahwa ada pasukan keamanan di Lok-yang.
"Bung, harap jangan memaksa dan membuat ribut di kedai ini, jangan mengganggu tamu kami." bujuknya.
Pengemis baju hitam itu menoleh. memandang kepada pelayan itu, lain tangannya meraih ujung meja, mencengkeramnya dan ujung meja dari kayu keras itu remuk dalamcengkeraman si pengemis! "Apakah kepalamu lebih keras dari pada kayu meja ini?" katanya lirih namun penuh seram.
Pelayan itu mundur dengan muka pucat, dan tiga orang tamu juga menjadi pucat. Tamu tertua segera mengambil sekeping perak dan menyerahkannya kepada pengemis itu.
Tanpa bicara lagi, pengemis itu menerima uang sekeping perak, lalu meninggalkan meja itu. Ketika dia memandang kepada Sui In dan Bwe Li, matanya terbelalak dan mulut yang tadinya kaku dan kejam itu menyeringai, matanya bersinar secara kurang ajar. Dia kini menghampiri meja Sui In dan Bwe Li.
Agaknya sikap pengemis muda itu semakin berani ketika dia melihat wanita cantik yang lebih tua memandang kepadanya dengan tenang dan tidak malu-malu, sedangkan gadis yang manis itu bahkan memandang kepadanya sambil tersenyum-senyum!
"Aih, nona-nona yang cantik manis seperti bidadari kahyangan, berilah sedekah kepadaku, kudoakan semoga kalian semakin cantik dan semakin menggairahkan!" kata pengemis itu. Sikap dan suaranya sama sekali bukan lagi seperti seorang pengemis yang minta-minta, melainkan seperti seorang laki-laki mata keranjang menggoda wanita.
Sui In tidak sudi melayani orang itu dan melanjutkan makan dan seolah-olah pengemis itu hanya seekor lalat saja.
Akan tetapi Bwe Li yang diam-diam menjadi marah karena pengemis itu berani mengeluarkan ucapan kurang ajar terhadap ia dan sucinya, bertanya. "Hemm apa yang kau minta, pengemis?"
Kalau tadi pengemis itu memperlihatkan kekerasan dan paksaan ketika minta kepada tiga orang tamu, Sui In dan Bwe Li hanya memandang saja dan sama sekali tidak perduli.
Mereka tidak ingin mencampuri urusan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan mereka. Akan tetapi sekarang, pengemis itu langsung mengganggu mereka!
Pengemis itu tersenyum semakin lebar dan matanya bermain dengan kedipan penuh arti. "Perhiasan di rambut enci itu indah sekali, berikan kepadaku sebagai sedekah." Katanya sambil memandang kepada perhiasan burung hong dan teratai terbuat dari emas permata di rambut Sui In.
Bwe Li mendongkol bukan main. Perhiasan sucinya itu adalah sebuah benda yang amat mahal harganya, apa lagi itu pemberian suhunya dan menurut sucinya, benda itu dahulu pernah menjadi perhiasan rambut seorang puteri kaisar Jenghis Khan dari Kerajaan Mongol. Maka, selain mahal, juga benda itu merupakan benda pusaka yang tak ternilai harganya, dan kini seorang jembel minta benda ini begitu saja sebagai sedekah!
Ingin Bwe Li tertawa karena menganggap hal ini amat lucu.
Ia melirik kepada sucinya yang masih tenang dan enak-enak makan saja,maka ia tahu bahwa sucinya tidak sudi melayani pengemis itu.
"Kalau tidak kami berikan, lalu kau mau apa?" tanya Bwe Li, mengira bahwa pengemis itu tentu akan menjual lagak lagi dengan mempertontonkan kekuatan tangannya mencengkeram hancur ujung meja. Akan tetapi, sekali ini pengemis itu agaknya tidak ingin menunjukkan kehebatannya.
Dia mendekatkan mukanya kepada Bwe Li dan berkata lirih, "Kalau tidak kalian berikan, boleh sebagai gantinya engkau ikut dengan aku dan melayaniku semalam ini, nona manis."
BweLi terbelalak. Mukanya berubah merah dan terasa panas bukan main. Akan tetapi hanya sebentar. Ia sudah menerima gemblengan seorang datuk besar seperti See-thian Coa-ong, maka tentu saja la sudah dapat menguasai perasaannya.
"Haii, kalian lihat ada monyet menari-nari!" teriaknya dan tiba-tiba saja tangannya sudah menggerakkan sisa kuah yang berada di mangkoknya. Kuah itu mengandung saos tomat dan bubuk merica yang pedas.
Demikian cepatnya gerakan tangan Bwe Li sehingga sama sekali tidak disangka oleh si pengemis dan dia tidak sempat mengelak. Kuah dengan sambalnya itu tepat mengenai mukanya, memasuki hidung dan matanya.
Dan seketika pengemis baju hitam itu berjingkrak-jingkrak seperti monyet menari-nari, persis seperti yang diteriakkan Bwe Li atau Lili tadi! Semua orang menengok dan terdengar ada yang tertawa, terutama sekali tiga orang yang tadi kena diperas sekeping perak oleh si pengemis.
Hanya orang yang pernah terkena merica pada mata dan hidungnya yang dapat menceritakan bagaimana rasanya.
Pengemis itu berjingkrak-jingkrak, menggosok mata dan hidungnya, megap-megap seperti ikan dilempar ke darat, lalu berbangkis-bangkis dengan air mata bercucuran. Makin digosok, makin pedas rasa matanya dan makin hebat "tangisnya".
Saking nyeri, pedih dan panasnya, dia membuat gerakan seperti monyet menari-nari, berlenggang-lenggok dengan kaki naik-turun, tubuh berputar-putar dan kedua lengan membuat gerakan yang lucu dan aneh-aneh. Akhirnya, dibawah suara tawa para penonton, pengemis itu dapat membuka matanya yang menjadi merah, juga semua merica agaknya sudah keluar melalui bangkis-bangkis tadi, akan tetapi alr matanya masih bercucuran dari kedua mata yang masih terasa panas dan pedas! Dia memandang kepada Lili dengan mata mendelik, walaupun harus sering berkedip menahan pedas!.
Lili dan Sui In masih melanjutkan makan, bahkan Sui In sudah selesai dan Lili juga sudah hampir selesai. Pengemis itu mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau marah dan para penonton sudah tidak berani tertawa lagi, dan kini memandang dengan hati tegang. Apa lagi mereka yang tadi melihat betapa kuat tangan pengemis itu menghancurkan ujung meja. Mereka mengkhawatirkan nasib dua orang wanita cantik itu.
Mendengar suara gerengan itu, Lili menoleh memandang, "Ih, anjlng geladak ini sungpuh tak tahu aturanl" kata Lili sambil tersenyum mengejek. "Sudah diberi kuah, masih tidak puas dan menggereng-gereng minta lagi. Cepat pergilah dari sini, memualkan perut dan mengurangi selera makan saja.
Kau bau!" Dapat dibayangkan betapa marahnya pengemis baju hitam itu. Dia menggereng lagi dan dengan kedua lengan dikembangkan, kedua tangan terbuka, dia menubruk ke arah Lili, hendak menangkap wanita itu. Lili tidak bangkit dari duduknya, hanya kakinya mencuat dengan kecepatan kilat ketika tubuh orang itu sudah dekat dan kedua tangan itu sudah hampir menyentuh pundaknya.
"Ngekkkl" Ujung sepatu itu tepat memasuki perut di bawah ulu hati dan tubuh si pengemis baju hitam terjengkang, dan pantatnya terbanting keras ke atas tanah. Sejenak dia hanya mampu bangkitduduk, tangan kiri menekan perut yang seketika terasa mulas, dan tangan kanan meraba-raba pantat yang nyeri karena ketika terbanting tadi, pantatnya menjatuhi sebuah batu sebesar kepalan tangan.
Dia menyeringai, akan tetapi seringainya tidak seperti tadi ketika dia menggoda dua orang wanita itu. Dia menyeringai kesakitan, akan tetapi juga bercampur kemarahan. Orang yang biasa mengagulkan diri sendirl memang tidak tahu diri, selalu meremehkan orang lain sehingga pelajaran yang diterimanya tadi tidak cukup membuat dia sadar, bahkan membuat dia semakin marah dan penasaran.
"Keparat, kubunuh kau ......!" bentaknya dan kini tangannya sudah memegang sebatang golok kecil yang tadi disembunyikan di bawah bajunya. Akan tetapi pada saat itu, nampak sinar menyambar dari samping, ke arah muka pengemis itu.
"Crottt ...... aughhhh .....!" Pengemis itu terpelanting, goloknya terlepas dan kedua tangannya meraba mukanya dengan mata terbelalak. Sebatang sumpit bambu telah menembus muka dari pipi kanan ke pipi kiri! Sumpit itu memasuki kulit pipi, menembus geraham kanan sampai keluar dari kulit pipi yang lain sehingga muka itu seperti disate!
"Suci .....!" kata Lili memandang sucinya.
"Aku mendahului, agar engkau tidak membunuhnya. Kita butuh keterangan darinya ........."
Tiba-tiba dua orang wanita itu terkejut mendengar pengemis itu mengeluarkan suara aneh. Ketika mereka memandang, tubuh pengemis itu berkelojotan dalam sekarat.
Tentu saja Sui In kaget. Ia tadi menyerang dengan sambitan sumpit tidak dengan niat membunuh dan ia yakin bahwa orang itu hanya terluka dan tidak akan mati. Kenapa kini tahutahu orang itu berkelojotan sekarat? Tentu ada penyerang lain, pikirnya.
Akan tetapi pada saat itu, muncul dua orang pengemis berpakaian hitam. Mereka adalah orang-orang yang berusia kurang lebih limapuluh tahun, sikap mereka berwibawa dan gerakan mereka ringan karena tahu-tahu mereka telah berkelebat dan muncul di situ. Mereka memandang ke arah tubuh pengemis yang berkelonjotan, lalu mereka menghadapi Cu Sui In dan Tang Bwe Li, mengamati dua orang wanita itu sejenak, kemudian mereka menghampiri meja dua orang wanita itu.
"Siapakah di antara ji-wi (anda berdua) yang merobohkan dia?" tanya seorang di antara mereka yang tubuhnya tinggi kurus sambil menuding ke arah tubuh pengemis yang masih berkelonjotan.
"Aku yang melukainya dengan sumpit," kata Sui In tenang dan suaranya acuh saja seolah-olah tidak ada sesuatu yang perlu diributkan.
Lili yang galak segera berkata pula. "Anjing geladak ini perlu dihajar. Apakah kalian pemeliharanya? Kenapa tidak kalian ajar adat kepadanya?" Dua orang pengemis tua itu saling pandang, kemudian mereka melangkah maju mendekat. Si tinggi kurus mengangkat kedua tangan depan dada, sedangkan orang ke dua yang bertubuh gemuk pendek juga mengangkat kedua tangan depan dada. Mereka lalu memberi hormat kepada Sui In dan Lili.
"Kami dari Hek I Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam) mohon maaf kepada nona," kata si tinggi kurus.
"Kami berterima kasih atas pelajaran yang diberikan kepada anggauta kami," kata si gemuk pendek. Dua orang pengemis tua itu memberi hormat. Sui In dan Bwe Li tersenyum mengejek. Tanpa berdiri, sambil duduk, mereka. pun mengangkat kedua tangan ke depan dada, membalas penghormatan itu.
Dua orang pengemis itu tadi bukan sembarang menghormat saja, melainkan mengerahkan tenaga sakti yang disalurkan melalui lengan mereka dan ketika mereka menggerakkan tangan memberi hormat. Sebetulnya mereka telah melakukan penyerangan jarak jauh untuk menguji kepandaian dua orang wanita yang telah merobohkan anak buah mereka itu. Akan tetapi, betapa kaget hati mereka ketika dari gerakan tangan kedua orang wanita itupun menyambar tenaga dahsyat yang menyambut tenaga mereka dan membuat tenaga mereka membalik dan merekapun terhuyung!
Pada saat itu, terdengar suara orang. "Ciangkun lihat saja, di mana-mana anggauta pengemis Baju Hitam membikin kekacauan!"
Nampak serombongan orang datang ke tempat itu.
Pasukan yang terdiri dari belasan orang dikepalai seorang perwira datang bersama seorang laki-laki setengah tua yang jugamengenakan pakaian tambal-tambalan. Akan tetapi pakaiannya bukan berwarna hitam seperti pengemis yang lain, melainkan berkembang-kembang! Dialah yang tadi bicara dengan lantang kepada komandan pasukan kecil itu.
Melihat yang datang rombongan penjaga keamanan, dua orang pengemis baju hitam yang sudah dapat menguasai diri mereka karena terkejut mendapat sambutan dua orang wanita itu, lalu memberi hormat kepada komandan pasukan dan pengemis baju kembang.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar