02 Si Pedang Tumpul

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

"Hemm, isteriku sudah mempersilakan kalian masuk, kenapa masih bertanya lagi? Masuklah dan cepat ceritakan apa maksud kedatangan kalian."

Tiga orang tosu itu mengikuti tuan dan nyonya rumah memasuki ruangan tamu yang berada di sebelah kiri depan.

Ruangan yang cukup luas, di mana terdapat meja kursi yang nyaman.

Ji Bi Tasengaja tidak meninggalkan suaminya sekali ini, karena ia tidak ingin suaminya membuat ribut dan perkelahian Iagi. Ia merasa yakin bahwa kalau ada terjadi keributan, hanya ia seoranglah yang akan mampu mengendalikan suaminya dan mencegah terjadinya keributan. Karena ia tetap di ruangan tamu, Sin Wan juga mendapatkan kesempatan untuk ikut pula hadir dan mendengarkan. Dan biarpun Se Jit Kong merasa tidak senang dengan kehadiran isteri dan puteranya, dia tidak berani mengusir isterinya dan kemarahannya dia tumpahkan kepada tiga orang tamunya.

"Nah, cepat bicara. Siapa kalian dan mau apa kalian mencariku!" katanya ketus.

Sikap Se Jit Kong ini berwibawa sekali, dan biasanya para calon lawannya sudah merasa gentar dibuatnya, seperti wibawa seekor harimau kalau mengaum dan dengan wibawa auman itu sudah mampu melumpuhkan korbannya. Akan tetapi, tiga orang tosu itu nampak tenang saja.

Dewa Arak bersikap acuh, memandang ke sekeliling seperti mengagumi keindahan hiasan ruangan Itu, lalu mengambil guci arak yang diselipkan di gendongannya dan mengguncangnya untuk mengetahui isinya. Diteguknya arak dari mulut guci dan wajahnya nampak gembira sekali seperti menikmati araknya yang sedap. Si Dewa Pedang nampak tenang, menatap wajah tuan rumah dan diam saja, karena seperti juga Dewa Arak, dia menyerahkan pembicaraan kepada rekannya, yaitu Dewa Rambut Putih.

Jilid 2

PEK-MAU-SIAN THIO Ki tersenyum ramah. "Sicu (orang gagah), maafkan kalau kunjungan kami mengganggu. Saya bernama Thio Ki, dan kedua orang teman saya ini bernama Tong Kui dan Louw Sun. Kami bertiga datang berkunjung dengan dua tugas."

"Aku tidak mengenal kalian, tidak mempunyai urusan dengan kalian. Persetan dengan tugas kalian, tidak ada sangkut pautnya dengan aku!" Se Jit Kong memotong dengan ketus pula.

"Justeru kedua tugas kami ini mempunyai hubungan erat denganmu, sicu, sebagai akibat dari apa yang telah sicu lakukan."

Sepasang mata yang seperti mata harimau itu berkilat. Tak salah dugaannya, mereka ini tentu datang karena urusan pusaka-pusaka dari istana! Marahlah dia dan kalau saja di situ tidak ada isterinya, tentu sudah diterjangnya tiga orang itu tanpa banyak peraturan lagi. Akan tetapi, ketika dia melirik ke arah isterinya, dia melihat isterinya memandang kepadanya dan dalam pandang mata itu seperti dilihatnya isterinya menggeleng kepala melarang dia membuat keributan.

"Perduli apa kalian dengan apa yang kulakukan? Cepat katakan, apa urusan itu, tidak perlu bicara berbelit-belit seperti nenek-nenek yang bawel!" bentaknya.

"Heh-heh, Dewa Rambut Putih, menghadapi seorang kasar seperti Se Jit Kong ini, percuma engkau menggunakan segala macam tata-susila. Katakan saja dengan singkat dan padat apa yang menjadi keperluan kita!" Si Dewa Arak mencela sambil tertawa.

Pek-mau-sian Thio Ki juga memperlebar senyumnya dan seperti seorang yang kegerahan, dia membuka kipasnya dan mengipasi tubuh bagian leher. Pada hal, sesungguhnya dia bukan hanya mengipas untuk mencari angin, melainkan gerakan itu disertai kekuatan batin untuk menolak sihir yang diam-diam dilancarkan oleh Se Jit Kong untuk menyerangnya.

Tuan rumah ahli silat dan ahli sihir itu ingin memaksanya bicara menurut kehendak hati Se Jit Kong yang tidak ingin mereka bicara sesukanya di depan isterinya! Se Jit Kong merasa betapa kekuatan sihirnya buyar seperti asap yang disambar angin dari kipas.

"Hayo bicara, jangan seperti kanak-kanak!" bentaknya semakin penasaran dan marah.

"Dengarlah baik-baik, Se Jit Kong. Tugas kami yang pertama merupakan tugas yang ka¬mi terima dari Kaisar Kerajaan Beng-tiauw, dan inilah tanda kekuasaan yang diberikan kepada kami."

Dewa Rambut Putih mengeluarkan sebuah tek-pai (bambu tanda kuasa) dan memperlihatkannya kepada Se Jit Kong yang memandang sambil lalu saja.

Dewa Rambut Putih menyimpan kembali tek-pai itu di saku bajunya.

"Adapun tugas itu adalah untuk mencari dan merampas kembali benda-benda pusaka yang hilang dari gudang pusaka istana. Maka kami datang berkunjung dan minta kepada sicu untuk menyerahkan benda-benda pusaka itu kepada kami."

Ju Bi Ta memandang kepada suaminya dengan kedua mata terbelalak.

"Ya Allah! Engkau mencuri pusaka dari istana kaisar? Kalau benar, kembalikan barang-barang haram itu!"

Se Jit Kong memandang kepada isterinya dan sungguh aneh, ketika dia bicara, lenyap semua kekerasannya dan suaranya terdengar lembut.

"Ju Bi Ta, harap engkau tidak mencampuri urusan ini."

Cepat dia menoleh kepada tiga orang tamunya.

"Cepat katakan, apa tugas kedua agar aku dapat segera memberi keputusan dan jawaban!"

Si Dewa Rambut Putih Thio Ki memandang dengan wajah cerah. Datuk besar yang amat jahat ini ternyata mempunyai kelemahan yang sama sekali tidak disangkanya, yaitu takut dan tunduk kepada isterinya yang muda dan cantik! Mungkin kelemahan datuk ini akan membuat tugas mereka semakin mudah dan ringan, kalau bisa bahkan tanpakekerasan!

"Tugas kedua datang dari para ketua partai persilatan, di antaranya dari Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan Butong-pai yang minta bantuan kepada kami untuk mengundangmu menghadiri pertemuan yang akan mereka adakan, di mana sicu diminta untuk mempertanggung jawabkan kematian dan terlukanya banyak tokoh mereka."

Se Jit Kong mengepal kedua tangannya, mukanya menjadi merah sekali dan matanya seperti memancarkan api, bahkan kedua tangannya perlahan-lahan berubah menjadi merah seperti baja membara dan mengepulkan uap putih! Akan tetapi, begitu melirik kepada isterinya, kemarahannya menurun seperti api yang tidak mendapat udara, akan tetapi suaranya masih ketus ketika dia berkata kepada tiga orang tamunya.

"Untuk kedua urusan itu, jawabanku hanya satu. Bendabenda pusaka itu kudapatkan dengan kepandaian. Kalau kalian ingin mendapatkannya, kalian harus mampu merampasnya dariku! Dan kedua, kalau kalian ingin membawa aku ke timur, kalian harus mampu meringkusku. Pendeknya, kalian bertiga harus dapatmengalahkan aku!"

"Heh, heh, sudah kuduga. Berurusan dengan datuk sesat tak mungkin menggunakan cara damai," kata pula Dewa Arak dan tiga orang tosu itu sudah bangkit berdiri. Juga Se Jit Kong bangkit berdiri.

"Aku tidak menghendaki kalian membikin ribut di dalam rumah ini!" kata Ju Bi Ta dengan suara mengandung kekhawatiran.

Sedangkan Sin Wan hanya memandang saja. Diam-diam dia terkejut mendengar bahwa ayahnya telah mencuri bendabenda pusaka dari istana kaisar. Kini tahulah dia bahwa benda-benda pusaka yang demikian dibanggakan ayahnya itu adalah barang-barang curian.

Pada hal, ibunya selalu mengharamkan barang curian!

Tentu hal itu dilakukan di luar tahu ibunya. Dan ayahnya telah membunuh dan melukai para tokoh partai-parta persilatan besar sehingga kini mereka mengutus tiga orang tosu ini untuk menangkap ayahnya.

Pek-mau-sian Thio Ki menarik napas panjang. "Tidak ada jalan lain, Se Jit Kong. Terpaksa kami menuruti keinginanmu dan kami akan mengalahkanmu agar engkau suka mengembalikan pusaka-pusaka istana itu dan ikut dengan kami menghadap para pimpinan partai persilatan. Akan tetapi, kami menghormati isterimu dan kami tidak ingin membikin ribut di rumah ini, bahkan tidak ingin membikin ribut di kota ini. Kami akan menantimu di luar kota sebelah timur. Kami percaya bahwa Si Tangan Api bukan seorang pengecut yang melanggar janji dan melarikan diri."

Dia memberi isyarat kepada dua orang rekannya. Mereka memberi hormat kepada tuan rumah dan isterinya, kemudian meninggalkan ruangan itu, keluar dari rumah danterus keluar dari kota itu pula, berhenti menanti di luar kota sebelah timur yang sunyi.

"Biar kubereskan mereka. Aku pergi takkan lama." kata Se Jit Kong kepada isterinya dan diapun melangkah pergi.

"Se Jit Kong, jangan bunuh mereka!" Ju Bi Ta berseru dan suaminya berhenti, menengok dan mengangguk, kemudian sekali berkelebat diapun lenyap.

"Ibu, aku ingin nonton pertandlngan itu," kata Sin Wan yang ingin sekali melihat bagaimana ayahnya akan melawan tiga orang tosu itu.

"Jangan, Sin Wan. Untuk apa nonton orang berkelahi? Berkelahi merupakan perbuatan jahat. Di antara sesama manusia harus saling mengasihi, bukan saling bermusuhan.

Bermusuhan dan berkelahi hanya pekerjaan Iblis."

Sin Wan merasa kecewa sekali, akan tetapi dia tidak berani membantah ibunya. Dia selalu taat kepada ibunya, seperti juga ayahnya. Hanya bedanya, kalau dia mentaati Ibunya karena dia sayang dan kasihan kepada ibunya, tidak ingin menyebabkan hati ibunya, sedangkan Se Jit Kong taat kepada isterinya karena takut isterinya marah kepadanya.

"Ibu, kalau ibu tidak berada di sana, bagaimana kalau nanti ayah lupa diri dan membunuh tiga orang tosu yang kelihatan sopan dan baik itu?" tiba-tiba Sin Wan berkata.

"Ah, engkau benar juga! Mari kita melihat ke sana, aku harus mencegah ayahmu melakukan pembunuhan lagi!"

Ju Bi Ta menggandeng tangan puteranya dan Sin Wan diam-diam tersenyum girang. Mereka berjalan secepatnya menuju ke timur, keluar dari kota Yin-ning.

??? "Tosu-tosu lancang, sombong dan busuk. Apakah kalian sudah bosan hidup? Tidak tahukahkalian siapa aku?"

Kini, setelah seorang diri saja berhadapan dengan tiga orang tosu itu, Se Jit Kong menumpahkan seluruh kemarahannya. Isterinya tidak ada iagi di situ untuk mengendalikannya.

"Heh ... heh ... heh, Se Jit Kong. Tentu saja kami tahu benarsiapa engkau. Engkau adalah Se Jit Kong, peranakan Uigur yang berhasil mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi, akan tetapi menjadi hamba iblis dan tidak pantang melakukan segala macam kejahatan demi mencari nama besar dan harta kekayaan. Engkau berjuluk Si Tangan Api, Iblis Tangan Api karena engkau memiliki ilmu yang membuat kedua tanganmu mengandung panasnya api. Engkau telah mengacau di timur, membunuh banyak tokoh pendekar, mengalahkan para pimpinan partai persilatan, mengaduk-aduk dunia persilatan dengan kekejaman dan kecongkakanmu," kata Ciu-sian Tong Kui.

"Engkaupun ahli pedang yang sukar dikalahkan. Entah berapa ratus orang roboh oleh tangan dan pedangmu. Entah berapa banyak darah yang telah diminum pedangmu. Engkau bukan manusia, melainkan ibiis sendiri,karena itu engkau harus bertanggung jawab terhadap para pimpinan partaipartai persilatan besar," kata Kiam-sian Louw Sun.

"Se Jit Kong, engkau menggunakan sihir untuk mencuri pusaka dari gudang pusaka istana. Engkau berdosa besar, bukan saja terhadap kaisar, akan tetapi juga terhadap negara dan bangsa. Baru saja Kaisar Thai-cu telah membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah Mongol. Sepatutnya kita berterima kasih dan bergembira. Akan tetapi engkau bahkan mengganggu dengan pencurian pusaka. Engkau memang keturunan bangsa biadab yang tidak tahu terima kasih." Pekmau-Sian Thio Ki yang biasanya halus itupun kini mencela dengan kata-kata yang keras.

Hal ini tidaklah mengherankan. Pemimpin rakyat Cu Goan Ciang yang berasal dari rakyat petani biasa, telah berhasil memberontak terhadap pemerintah Mongol, bahkan kemudian berhasil menghancurkan dan menghalau penjajah Mongol yang telab menguasai Cina selama seratus tahun. Tentu saja Cu Goan Ciang dianggap pahlawan besar ketika dia mendirikan Kerajaan Beng-tiauw dan menjadi kaisarnya yang pertama berjuluk Kaisar Thai-cu (1368-1398).

Kini Se Jit Kong yang tertawa bergelak dan suara tawanya itu amat dahsyat, karena bukan saja mengandung tenaga khikang yang hebat, juga mengandung kekuatan sihir yang membuat tiga orang tosu itu harus mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) mereka untuk melindungi diri agar tidak terpengaruh.

"Ha-ha-ha, kalian tiga orang tosu jahanam. Sudah tahu betapa semua pimpinan partai persilatan besar tidak ada yang mampu menandingiku, dan kalian tigaorang tosu tak ternama berani mencariku sampai ke sini? Ha-ha-ha, kalau mencari mampus, kenapa susah-susah dan jauh-jauh sampai ke sini?"

Tentu saja Se Jit Kong tidak tahu bahwa dia berhadapan dengan tiga orang sakti yang selama puluhan tahun memang tidak pernah muncul di dunia persilatan sehlngga ketika dia merajalela di timur, dia tidak pernah mendengar nama mereka. Akan tetapi, dia merasa terkejut juga ketika melihat betapa tiga orang tosu itu tenang-tenang saja dan sama sekali tidak terpengaruh oleh suaranya yang dahsyat tadi. Pada hal, tidak banyak orang yang akan mampu bertahan, baik terhadap pengaruh khi-kang maupun ilmu sihir yang terkandung dalam tawanya tadi.

"Se Jit Kong, ketahuilah bahwa kami tidak biasa dan tidak suka membunuh orang. Oleh karena itu, mari kita membuat perjanjian. Kalau kami kalah bertanding denganmu, terserah kepadamu mau diapakan kami ini. Kalau engkau hendak membunuh kamipun terserah. Kami tahu akan resiko tugas kami. Akan tetapi, kalau engkau yang kalah, engkau harus menyerahkan kembali semua pusaka istana, dan engkau harus dengan suka rela mengikuti kami untuk menghadap para pimpinan partai persilatan." kata Pek-mau-sian Thio Ki.

"Bagus! Kalian memang sudah bosan hidup. Nah, kalian hendak main satu demi satu atau dengan keroyokan? Bagiku sama saja!" Ucapan ini saja sudah menunjukkan watak yang takbur dari datuk itu, akan tetapi di balik itu juga mengandung kecerdikan, karena ucapan itu, kalau diterima oleh orangorang yang merasa diri mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu akan mendatangkan rasa malu dan tidak enak untuk maju bersama dan melakukan. pengeroyokan.

"Kami bukan orang-orang pengecut yang suka melakukan pengeroyokan, Se Jit Kong," jawab Dewa Rambut Putih. "Kami mendengar bahwa engkau memiliki tiga ilmu yang hebat.

Pertama ilmu silat tangan kosong, gin-kang dan sin-kang yang sukar dicari bandingnya. Kedua, engkau ahli pedang yang hebat pula. Dan ketiga, engkau memiliki Ilmu sihir yang kuat.

Nah, kau akan kami imbangi dengan ilmu-ilmu itu. Pertama, engkau akan ditandingi Dewa Arak dalam ilmu silat tangan kosong. Kedua, engkau akan dihadapi Dewa Pedang dalam ilmu pedang, dan terakhir, aku sendiri yang akan mencoba kekuatan sihirmu.

"Bagaimana pendapatmu ? Kalau dua orang di antara kita kalah, biarlah kami mengaku kalah."

Tentu saja syarat ini amat menguntungkan bagi Se Jit Kong. Dia tidak dikeroyok, dan kalau dapat mengalahkan dua orang, biarpun andaikata yang seorang menang, dia tetap keluar sebagai pemenang.

"Bagus! Nah, majulah kau, tosu pemabok! Aku akan membuat perut gendutmu menjadi kempis!" ejeknya sambil menghadapi Ciu-sian Tong Kui.

"Heh-heh-heh, perut ini berisi hawa arak, bagaimana engkau akan mampu membikin kempis tanpa terkena gasnya? Heh .. heh .. heh!" Biarpun dia membadut, namun Dewa Arak tidak pernah lengah karena dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang datuk sesat yang amat lihai dan licik.

Benar saja, belum habis dia tertawa, tubuh tinggi besar itu telah menyerangnya secara curang dan dahsyat sekali. Kalau saja dia lengah dan belum siap, siaga, setidaknya serangan itu tentu akan membuat Dewa Arak kelabakan! Namun, dia telah siap siaga dan dengan cepat kakinya bergeser secara aneh dan cepat sekali, dan dia telah berhasil menghindarkan diri dari terkaman lawan, bahkan sambil memutar tubuh dia membalas dengan totokan ke arah lambung lawan.

Se Jit Kong menangkis sambil mengerahkan. sin-kang untuk mematahkan tulang lengan lawan, juga untuk mengukur sampai di mana kekuatan sin-kang lawannya yang gerakannya aneh dan seperti ugal-ugalan itu. Dewa Arak justeru mengharapkan tangkisannya karena diapun ingin mengadu sin-kang. Bukankah mereka berdua memang bertanding mengadu sin-kang dan gin-kang (ilmu meringankan tubuh ) sambil menguji pula ilmu silat tangan kosong masing-masing? "Dukkkk!!!"

Keduanya terdorong ke belakang. Se Jit Kong terdorong sampai tiga langkah, sedangkan Dewa Arak terdorong mundur dua langkah. Dari akibat adu tenaga ini saja sudah dapat diketahui bahwa Dewa Arak masih lebih kuat sedikit! Tentu saja Se Jit Kong menjadi terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa lawan yang cacingan perutnya ini memiliki tenaga yang demikian kuatnya.

Dia tidak tahu bahwa Ciu-sian Tong Kui adalah seorang ahli sin-kang yang telah menguasai Thian-te Sin-kang (Tenaga Sakti Langit Bumi)! Dia mangeluarkan teriakan marah dan kini dia mengandalkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) untuk menyerang lawan. Gerakannya amat cepat sehingga tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan yang menyambar-nyambar.

Namun, kembali Dewa Arak mengeluarkan suara tawanya yang nyaring dan diapun mengimbangi dengan gerakan kaki yang berloncatan, bergeseran dan semua serangan lawan dapat dielakkannya. Kalau gerakan lawan amat cepat, gerakannya sendiri amat aneh, seolah-olah setiap gerakan kaki yang bergeser ke sana sini dan berloncatan itu seperti sepasang kaki burung yang amat lincahnya. Dan memang si gendut ini menguasai ilmu meringankan tubuh atau ilmu langkah ajaib yang diberi nama Hui-niauw-poan-soan (Burung Terbang Berputaran).

Pada saat itu, Ju Bi Ta dan Sin Wan sudah berada tak jauh dari situ, menjadi penonton pertandingan Hanya mereka berdualah yang menjadi penonton karena tempat itu sepi dan tidak ada orang lain yang berada disitu. Ju Bi Ta sengaja berdiri di tempat terbuka agar suaminya dapat melihatnya, karena dia ingin agar suaminya tahu akan kehadirannya sehingga suaminya tidak akan bertindak keterlaluan, tldak akan melakukan pembunuhan seperti yang telah dipesannya tadi.

Dan memang Se Jit Kong tentu saja sudah melihat kehadiran isterinya dan puteranya. Hal ini membuat dia kurang leluasa bergerak. Biasanya, kalau bertanding, apa lagi melawan seorang yang demikian lihainya, dia akan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk membunuh lawan. Akan tetapi sekarang, isterinya hadir dan tadi isterinya berpesan agar dia tidak membunuh tiga orang tosu itu!

Hal ini membuat serangannya tidak begitu ganas. Dia hanya ingin merobohkan dan mengalahkan lawan, tidak mau membunuhnya karena kalau hal ini terjadi, isterinya tentu akan marah. Sejak dia memperisteri Ju Bi Ta, dia begitu sayang kepada isterinya. Dia merasa amat berbahagia kalau isterinya bersikap manis kepadanya, akan tetapi sorga berubah menjadi neraka baginya kalau isterinya marah dan tidak menyambutnya dengan manis.

Setiap orang pria yang normal, siapapun dia, kaya atau miskin, pandai atau bodoh, dari kaisar sampai buruh kecil, yang sudah dewasa, pasti mempunyai suatu kerinduan akan seorang wanita yang dapat dicintanya sepenuh hati. Seorang wanita yang akan membangkitkan kejantanannya, yang akan berbahagia oleh cintanya, seperti tanah subur bagi benih cintanya yang akan bersemi dan tumbuh dengan suburnya.

Pria akan selalu merasa bangga kalau ada wanita yang menghargai cintanya, membuat dia merasa jantan, perkasa dan mampu membahagiakan wanita. Demikian pula dengan Se Jit Kong. Biarpun dia seorang datuk besar kaum sesat, diapun seorang pria normal. Sudah kerap kali dia menikah, namun selalu pernikahannya gagal, walaupun kegagalan ini disebabkan oleh wataknya sendiri yang kasar dan kejam.

Akan tetapi, sejak dia memperisteri Ju Bi Takurang lebih sebelas tahun yang lalu, atau sepuluh tahun lebih, dia benarbenar menemukan seorang wanita yang memenuhi segala keinginannya. Karena itu, diapun takut akan kehilangan sikap isterinya, dan ini membuat dia menjadi taat karena takut kalau isterinya marah kepadanya.

Tentu saja keadaan Se Jit Kong yang demikian itu menguntungkan Dewa Arak. Memang ilmu silat tangan kosong, ilmu meringankan tubuh dan tenaga sakti mereka berimbang, atau Dewa Arak lebih menang sedikit. Kini dengan hadirnya Ju Bi Ta yang membuat Se Jit Kong tidak leluasa bergerak, membuat Dewa Arak lebih unggul.

Akan tetapi sebaliknya, Dewa Arak juga tidak ingin membunuh datuk besar itu. Biarpun dia seorang yang berwatak riang gembira dan ugal-ugalan seperti orang yang selalu mabuk arak, namun dia adalah seorang pertapa yang sudah melepaskan nafsu-nafsunya, terutama sekali nafsu ingin menang dan nafsu membenci dan ingin mencelakai orang lain.

Dia tidak mau membunuh, bahkan kalau bisa hanya menangkan pertandingan itu tanpa membuat lawan terluka parah.

Limapuluh jurus telah lewat dan pertandingan tangan kosong itu masih berlangsung semakin seru dan hebat.

Biarpun mereka berdiri agak jauh. Ju Bi Ta dan Sin Wan dapat merasakan sambaran angin pukulan yang membuat rantingranting pohon dl sekeliling tempat itu seperti diamuk angin kuat, bahkan daun-daun kering yang berserakan di bawah beterbangan ketika dua pasang kaki itu bergerak dan berloncatan dengan amat cepatnya!

Sukar bagi Ju Bi Ta untuk membedakan mana suaminya dan mana orang lain dari dua bayangan yang berkelebatan itu.

Sin Wan yang sejak berusia lima tahun sudah digembleng ilmu oleh ayahnya, sudah dilatih siu-lian (samadhi) sehingga memiliki ketajaman pandangan, biarpun dapat mengikuti gerakan mereka, tetap saja dia tidak dapat menilai siapa yang mendesak dan siapa yang terdesak. Gerakan mereka terlalu cepat.

Akan tetapi diam-diam Se Jit Kong mengeluh. Kedua lengannya sudah berubah merah seperti baja membara, dan dia sudah mengeluarkan ilmu silatnya, namun lawannya sungguh tangguh. Lengannya yang mengandung hawa panas membakar itu bertemu dengan sepasang lengan yang kadang keras, kadang lunak. akan tetapl selalu dingin dan tidak terbakar oleh tangan apinya!

Tahulah dia bahwa kalau diianjutkan, andaikata dia tidak kalahpun dia akan kebabisan tenaga, pada hal dia masih harus bertanding melawan dua orang lagi yang tentu juga amat lihai seperti Si Dewa Arak ini. Mulailah dia ragu-ragu.

Dewa Arak melihat keraguannya ini dan tidak ingin menyianyiakan kesempatan. Dia mengerahkan llmu gin-kangnya dan kakinya bergeser aneh ke depan, bahkan seolah hendak menerima tamparan tangan kanan Se Jit Kong yang melayang dari atas ke arah kepalanya. Namun, secepat kilat tubuhnya menyelinap ke bawah dan tiba-tiba Se Jit Kong terhuyung ke belakang karena lambungnya telah didorong oleh telapak tangan Dewa Arak.

Kalau Dewa Arak menghendaki, dorongan itu dapat saja menjadi pukulan maut yang akan merusak isi perut lawan.

Akan tetapi dia hanya mendorong, membuat lawan terhuyung untuk membuktikan bahwa dia menang dalam pertandingan itu.

Akan tetapi Se Jit Kong bukanlah orang yang mau mengaku kalah begitu saja. Bahkan selama hidupnya, dia belum pernah mengaku kalah! Sejak dia berguru kepada seorang pertapa sakti di India, dia merasa dirinya tak terkalahkan, bahkan dia tidak pernah mau percaya bahwa dia dapat dikalahkan!

Kesombongan merupakan penyakit yang selalu menyeret kita ke alam pikiran sesat. Nafsu daya rendah yang mencengkeram hati dan akal pikiran kita mendorong kita untuk merasa bahwa kita ini yang paling pandai, paling benar, paling baik dan paling segala! Kalau kita pandai, kita membanggakan pikiran kita, kalau kita kuat, kita membanggakan tubuh kita. Kita selalu lupa bahwa kita ini hanya alat!

Seluruh tubuh dan hati akal pikiran ini hanya untuk hidup sebagai manusia, alat yang semula dimaksudkan untuk mengabdi kepada jiwa yang menjadi penghuni diri kita. Akan tetapi sayang, alat-alat itu kemudian digelimangi nafsu daya rendah sehingga kita dibawa menyeleweng.

Alat-alat yang seharusnya dipergunakan oleh jiwa, diambil alih oleh nafsu, diperalat oleh nafsu sehingga apapun yang dilakukan tubuh dan hati akal pikiran, selalu ditujukan untuk memuaskan nafsu daya rendah. Nafsu daya rendah atau setan selalu mengejar kesenangan, memperalat dan menyelewengkan kita sehingga membawa pula kita kepada kesombongan diri, kebencian, iri hati, ketakutan, kemurkaan, dan sebagainya.

Kalau kita melakukan sesuatu, kita menjadi bangga dan menganggap bahwa kita yang pandai! Kita lupa bahwa kepandaian yang berada di dalam kepala kitaitu hanya alatalat belaka, terdiri dari sel-sel otak, darah dan syaraf. Ada sedikit saja kerusakan pada alat itu, ada satu saja syaraf lembut itu yang putus, maka akan sirnalah semua kepandaian yang kita banggakan semula!

Demikianpun kekuatan pada tubuh. Kita membanggakan tubuh kita yang kuat. Padahal, tubuhpun hanya alat dan ada sedikit saja kerusakan pada tubuh, kekuatan yang dibanggakan itupun sirna. Jelas bahwa kita pandai karena kita diberi kepandaian, kita kuat karena diberi kekuatan!

Kita lupa bahwa ADA yang memberi! Setan membisikkan kesombongan kepada kita sehingga kita lupa kepada SANG PEMBERI. Orang. yang sadar akan hal inl, tidak akan berani memuji diri sendiri yang hanya alat, melainkan memuji kepada SANG PEMBERI yang telah memberi semua itukepada kita sebagai alat, memuji kepada SANG PEMBERI atau Tuhan Yang Maha Kasih, Allah Yang Maha Esa!

Karena merasa terdesak, sebelum dia dirobohkan, Se Jit Kong sudah meloncat lagi dan kini tangannya memegang sebatang pedang terhunus yang mengeluarkan sinar berkilauan. saking tajamnya. Itulah Gin-kong-pokiam (Pe-dang Pusaka Sinar Perak), sebuah di antara benda pusaka yang dicurinya dari gudang pusaka istana.

"Tranggg....l" Sebatang pedang lain menangkis pedang bersinar perak yang menyambar ke arah Dewa Arak. Ternyata Dewa Pedang telah meloncat dan menangkis pedang yang menyambar ke arah rekannya itu. Kini, Dewa Pedang dan Se Jit Kong berhadapan, dengan pedang di tangan. Pedang di tangan Dewa Pedang juga mengeluarkan cahaya kekuningan.

Pedang ltupun sebuah pedang pusaka ampuh yang bernama Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari).

"Heh .. heh .. heh, Hwe-ciang-kwi Se Jit Kong, engkau sudah kalah dalam pertandingan pertama denganku! Lihat saja baju lambungmu," kata Dewa Arak yang sudah meloncat jauh ke belakang, mengambil guci araknya dan minum arak dari gucinya beberapa teguk.

Se Jit Kong maklum akan kebenaran ucapan itu dan dia tidak mau lagi melirik ke arah baju di lambungnya yang berlubang sebesar telapak tangan lawan. Diapun maklum bahwa kalau Dewa Arak menghendaki, tentu bukan hanya bajunya yang berlubang, melainkan lambungnya dan tentu dia telah tewas.

Akan tetapi dia tidak mau bicara tentang itu, hanya diamdiam dia merasa heran mengapa ada orang setolol itu, mendapat kesempatan baik tidak mau mempergunakannya!

Karena merasa kalau dalam pertandingan pertama, dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk memenangkan dua pertandingan yang lain.

Dia merasa yakin akan menang karena dia memiliki ilmu pedang yang hebat, campuran dari ilmu pedang Bangsa Kazak yang ahli bertempur itu, dan ilmu pedang dari India. Dia telah mengolah ilmu-ilmu yang dikuasai itu menjadi ilmu pedang yang ampuh sekali, yang. selama ini belum terkalahkan.

Biarpun ketika dia mengadu ilmu pedang dengan tokoh Kun-lun-pai, kemudian tokoh Bu-tong-pai, dia tidak dapat menang dan hanya dapat mengimbangi ilmu pedang lawan, namun diapun tidak dikalahkan. Dan dia menang dalam perkelahian itu dengan bantuan ilmu sihirnya dan ilmu pukulan Tangan Api.

"Hyaaaatttt ......!"

Dia mengeluarkan bentakan lantang dan pedangnya sudah menyerang dengan dahsyatnya. Karena dia sudah kalah dalam pertandingan pertama, kini Se Jit Kong melupakan pesan isterinya, lupa bahwa isterinya berada tak jauh dari situ menjadi penonton. Dia tidak perduli lagi karena kalau dia tidak mampu menang berarti dia kalah dan dia harus menepati janjinya.

Menyerahkan kembali pusaka-pusaka itu tidak begitu besar artinya bagi dia, akan tetapi kalau dia menyerah untuk ditangkap dan dibawa ke timur hal, itu sungguh merupakan penghinaan besar dan juga belum tentu para tokoh partai persilatan itu akan suka memaafkannya. Dia pasti akan dihukum mati oleh mereka. Oleh karena itu, dia harus memenangkan dua pertandingan berikutnya dan dia akan mamaksakan kemenangan itu, kalau. perlu membunuh lawannya!

Dari gerakan serangan itu tahulah Kiam-sian Louw Sun bahwa lawannya nekat dan mengirim serangan maut. Maka, diapun memutar Jit-kong–kiam untuk melindungi tubuhnya, kemudian membalas dengan tidak kalah dahsyatnya. Dua orang ahli pedang itu segera terlibat dalam pertandingan yang lebih menegangkan dari pada tadi, karena kini dua pedang itu berkelebatan, lenyap bentuknya menjadi gulungan dua sinar yang menyilaukan mata, saling belit dan merupakan kilat yang membawa maut.

Ilmu pedang yang dimainkan Se Jit Kong memang aneh sekali dan juga amat berbahaya, Akan tetapi sekali ini dia menghadapi seorang ahli pedang yang sakti, yang bahkan mempunyai julukan Dewa Pedang. Dari julukan ini saja mudah diketahui bahwa tentu Dewa Pedang memiliki ilmu pedang yang sudah mencapai tingkat yang amat tlnggi.

Apalagi pedang di tangan tosu yang sakti itupun merupakan pedang pusaka ampuh. Kalau Se Jit Kong tidak memegang pedang pusaka dari gudang istana kaisar, pedang lain tentu akan mudah patah kalau bertemu denganJit-kongkiam.

llmu pedang yang dimainkan Dewa Pedang itu selain cepat, juga mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat, dapat menekan, membelit dan menempel. Itulah Ilmu pedang Jitkong-kiam-sut (Ilmu Pedang cahaya Matahari) yang selama ini belum terkalahkan.

Dua orang itu memang setingkat. Pedang mereka samasama kuat dan ampuh sebagai pedang pusaka pilihan. Ilmu pedang mereka pun dahsyat dan aneh, sedangkan ,dalam hal tenaga, merekapun seimbang. Sampai seratus jurus lebih, belum juga ada yang nampak kalah atau menang.

Mereka saling serang sambil mengerahkan segala kemampuan mereka. Sinar pedang menyambar-nyambar dengan suara berdesing-desing dan kadang bercuitan dan daun-daun pohon di dekat mereka berhamburan seperti disayat-sayat.

Sejak tadi, Ju Bi Ta dan Sin Wan melihat pertandingan dengan hati tegang. Sin Wan mulai merasa khawatir. Tiga orang yang menjadi lawan ayahnya itu, walaupun tidak main keroyokan seperti belasan orang beberapa hari yang lalu, namun masing-masing memiliki ilmu kepandaian tinggi, tidak kalah oleh ayahnya.

Tadipun ketika selesai bertanding tangan kosong dengan tosu berperut gendut, dia melihat betapa baju ayahnya di bagian lambung berlubang sebesar telapak tangan. Dia mengerti bahwa hal itu menjadi pertanda bahwa ayahnya teiah kalah, dan diapun kagum bahwa si pemenang itu tidak membunuh ayahnya, bahkan melukainya. pun. tidak. Dan kini, orang kedua dapat memainkan pedang sedemikian cepatnya, mengimbangi permainan ayahnya.

Se Jit Kong mulai merasa lelah. Uap putih mengepul keluar dari ubun-ubun kepalanya dan napasnya mulai terengahengah. Tentu saja daya tahannya kalah dibandingkan Dewa Pedang. Kiam-sian Louw Sun adalah seorang pertapa yang sejak duapuluhan tahun hidup bersih, tubuhnya tidak terlalu diperalat nafsu sehingga tubuhnya menjadi kuat, tidak seperti Se Jit Kong yang hidupnya bergelimang nafsu.

Karena dia merasa lelah sedangkan lawannya masih nampak segar. Se Jlt Kong tahu bahwa kalau dilanjutkan.

akhirnya dia kalah karena kehabisan napas dan tenaga. Maka, diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya, matanya mencorong tajam dan tiba-tiba dia membentak dengan suaranya yang mengandung kekuatan sihir.

"Robohlah kau .........!!"

Kiam-sian Louw Sun terkejut sekali karena tiba-tlba tubuhnya seperti terdorong kuat dan biarpun dia sudah mempertahankan diri, tetap saja dia terhuyung-huyung dan hampir saja terjengkang jatuh kalau saja tidak dengan cepatnya Pek-mau-sian Thio Ki menangkap lengannya.

"Tangan Api, engkau kembali menggunakan kecurangan!

Engkau bertanding pedang dengan Dewa Pedang, bukan bertanding sihir. Kalau engkau hendak memamerkan ilmu sihirmu, akulah lawanmu. Dalam hal ilmu pedang, engkaupun tadi kalah, buktinya engkau hampir putus napas dan kau menggunakan ilmu sihir dengan curang!" tegur Dewa Rambut Putih.

Dalam keadaan terhimpit Se Jit Kong berusaha untuk mencapai kemenangan dengan satu kali pukulan. Dia mengerahkan seluruh tenaga ilmu sihirnya, matanya mencorong, tubuhnya menggigil dan dia membentangkan kedua lengan lalu berkata dengan suara yang lantang dan menggetar, "Kalian semua belum mengenal siapa aku!

Lihatlah baik-baik, aku adalah Naga Api yang datang untuk membasmi kalian semua!!"

Dia memekik, suara pekikannya melengking nyaring menggetarkan seluruh orang yang berada di situ. Sin Wan yang belum pernah melihat ayahnya bersikap seperti itu, terkejut dan ketika dia memandang dengan penuh perhatian, dia terbelalak. Ayahnya telah lenyap dan di tempat dia berdiri tadi nampak seekor naga yang mengeluarkan api dari mulutnya.

Naga itu sebesar orang dewasa, dan panjangnya puluhan kaki! Matanya mencorong, lidahnya yang terjulur keluar itu seperti api membara dan dari mulutnya keluar api bernyalanyala bercampur asap, juga dari hidungnya keluar api.

Sungguh merupakan mahluk yang mengerikan sekali. Naga Api!

Ketika dia menoleh kepada ibunya, agaknya ibunya juga melihatnya, akan tetapi ibunya tidak nampak heran, hanya ngeri dan takut. Melihat ibunya ketakutan, Sin Wan lalu memegang tangan ibunya dan merasa betapa jari-jari tangan ibunya mencengkeram tangannya dan tangan ibunya itu amat dingin.

Dewa Arak dan Dewa Pedang sudah duduk bersila dan memejamkan mata seperti orang melakukan samadhi. Mereka mengerahkan tenaga dan batin agar tidak terpengaruh dan terseret oleh ilmu sihir yang kuat itu, dan dengan memejamkan mata mereka melawan getaran sihir. Akan tetapi, Dewa Rambut Putih berdiri berhadapan dengan Se Jit Kong yang sudah "berubah" menjadi naga api itu.

"Ha-ha-ha, Se Jit Kong, permainan kanak-kanak ini tidak ada artinya bagiku!"

Dewa Rambut Putih lalu mengeluarkan sulingnya dan dia meniup sulingnya. Terdengar lengking suara yang turun naik, terdengar aneh dan mengandung getaran kuat sekali.

Sin Wan memandang dengan mata terbelalak, dan biarpun hatinya tegang, namun dia ingin tahu kelanjutannya bagaimana terjadinya pertandlngan adu ilmu sihir yang aneh ini.

Naga Api itu menggereng-gereng dan suara suling melengking-lengking. Akan tetapi, gerengan naga api itu semakin lemah dan akhirnya, nampak asap mengepul dan lenyaplah naga jadi-jadian itu, dan nampak tubuh Se Jit Kong.

Suara sulingpun terhenti dan muka Se Jit Kong menjadi merah sekali saking marahnya.

"Pek-mau-sian, aku atau engkau yang mampus!" bentaknya dan dia mengangkat pedangnya tlnggi-tinggi di atas kepala, mulutnya berkemak kemik dan dia berseru lantang, "Pek-mausian, nagaku ini akan membunuhmu!" Dan dia melontarkan pedang itu ke atas.

Terdengar suara keras seperti ledakan dan pedang itu lenyap, berubah menjadi seekor naga lagi, walaupun tidak begitu menyeramkan seperti naga api tadi, namun naga ini bergerak dengan lincahnya seperti burung terbang dan berputaran di atas, seperti sedang mengintai korban.

Melihat ini, Pek-mau-sian Thio Ki tertawa lagi. "Udara jernih menjadi keruh, langit terang menjadi gelap, munculnya naga jadi-jadian yang jahat perlu diberantas!"

Ucapannya terdengar seperti bernyanyi dan diapun melontarkan serulingnya ke atas. Terdengar lengkingan suara meninggi dan suling itupun berubah bentuknya menjadi seekor naga putih kekuningan seperti warna suling bambu itu.

Kedua naga itu bertemu di udara dan terjadilah pertandingan dan pergulatan yang hebat.

Namun, tidak lama, karena terdengar suara Pek-mau-sian lantang.

"Pedang curian harus kembali ke pemiliknya!" Dan kedua "naga" itupun meluncur ke bawah, ke arah Dewa Rambut Putih dan lenyap berubah menjadi suling dan pedang yang kini berada di kedua tangan tosu itu.

Wajah Se Jit Kong menjadi pucat. Dia maklum bahwa dalam ilmu sihirpun dia tidak mampu menandingi Pek-mausian Thio Ki.

Dalam ilmu pedang dia kewalahan melawan Kiam-sian Louw Sun, dan dalam ilmusilat tangan kosong dan tenaga sinkang, diapun terdesak oleh Ciu-sian Tong Kui. Tiga orang lawan itu memang tangguh sekali dan kalau dilanjutkanpun akhirnya dia akan mendapat malu dan akan roboh.

Dia mencabut sebatang pisau dari pinggangnya. Melihat ini, tiga orang tosu yang kesemuanya sudah bangkit berdiri itu siap siaga, mengira bahwa Se Jit Kong akan mengamuk dan melawan mati-matian. Akan tetapi Se Jit Kong memandang kepada mereka penuh kebencian dan suaranya terdengar kaku penuh kemarahan.

"Sam Sian (Tiga Dewa), kalian sudah mampu menandingi dan mengalahkan aku, akan tetapi jangan harap aku akan sudi mengembalikan benda-benda pusaka itu dan menyerah untuk kalian tangkap. Tidak ada seorangpun manusia di dunia ini yang boleh membuat aku menyerah dan memaksaku! Ha .. ha ... ha .. ha!" Sambil tertawa bergelak, Hwe-ciang-kwi Se Jit Kong lalu menggerakkan pisau itu. Tiga orang tosu terbelalak keget.

Mereka tidak mengira sama sekall bahwa Tangan Api itu akan mengambil keputusan demikian nekad. Pisau itu, di tangan ahli Se Jit Kong, telah menyelinap di bawah tulang iga dan langsung menembus jantungnya sendiri! Dia masih tertawa bergelak ketika roboh dengan mata terbelalak dan begitu suara tawanya terhenti, diapun sudah menghembuskan napas terakhir!!

"Ayaaaahhhh .......!" Sin Wan menjerit dan lari menghampiri tubuh ayahnya yang menggeletak telentang tak bernyawa lagi itu.

"Ayah ........! Ayah .....!" Dia menubruk dan merangkul tubuh yang sudah menjadi mayat akan tetapi masih hangat itu. Dia tidak perduli tangan dan bajunya terkena darah yang bercucuran keluar dari lambung ayahnya.

Setelah mengguncang-guncang tubuh ayahnya dan memanggil-manggil akan tetapi ayahnya tetap tak bergerak, mati dengan mata melotot, Sin Wan maklum bahwa ayahnya telah tewas. Dengan terisakdia lalu menggunakan jari-jari tangannya untuk menutup kedua pelupuk mata yang terbelalak itu sehingga sepasang mata itu kini terpejam. Lalu, perlahan-lahan dia bangkit berdiri, memutar tubuh menghadapi tiga orang tosu yang memandang dengan sikap tenang.

"Kalian .... tiga orang pendeta yang kelihatannya saja alim dan baik, akan tetapi kalian telah membunuh ayahku! Aku bersumpah kelak aku akan ......." "Sin Wan, diam kau .......!!" Tiba-tiba ibunya membentak dan ternyata ibunya telah berada di sisinya. Sin Wan tidak melanjutkan ucapan sumpahnya yang hendak membalas dendam, dan dia menoleh kepada ibunya, lalu merangkul pinggang ibunya.

"Ibuuuu....... ayah telah tewas .....!" isaknya.

"Aku tahu, anakku."

"Ayah telah dibunuh oleh tiga orang jahat itu ......." ''Hushh, diam kau, Sin Wan. Bukan mereka yang membunuh. Ayahmu bunuh diri, kita juga melihatnya tadi."

"Tapi, dia bunuh diri karena tersudut oleh mereka, ibu.

Kenapa ibu tidak menyalahkan mereka, dan tidak membela ayah?"

"Sin Wan, ayahmu tewas karena ulahnya sendiri ......"

Wanita itu lalu berlutut dan menggunakan kedua tangan untuk mencabut pisau yang masih menancap di lambung suaminya. Pisau itu berlumuran darah, akan tetapi kini tidak banyak lagi darah mengucur keluar dari luka di lambung.

"Ibuuu ........!"

Sin Wan berseru kaget melihat ibunya mencabut pisau yang berlumuran darah, dan dia melihat ibunya bercucuran air mata, menangis. Diapun merasa terharu dan sedih, mengira ibunya menangisi kematian ayahnya.

"Ibu, ayah mati karena mereka, bagaimana kitatidak menjadi sakit hati? Ibu, jangan menangis, kelak anakmu yang akan ...."

"Husssh, Sin Wan, jangan blcara sembarangan," kata ibunya sambil menghentikan tangis dan menghapus air matanya. "Ibumu bukan menangisi kematian ayahmu."

Sepasang mata anak itu terbelalak. "Ibu ..... Apa maksudmu, ibu? Bagaimana mungkin ibu berkata demikian? Ayah amat mencinta ibu dan menyayangku, dan ibupun mencinta ayah. Kenapa ibu mengatakan bukan menangisi kematian ayahku?"

"Sin Wan, dia ini bukan ayahmu."

"Heeeii .....! Ibu ....! Apa ....... apa maksudmu?" Wajah anak itu berubah pucat dan dia memandang ibunya dengan mata terbelalak. Tiga orang tosu itupun saling pandang dan mereka diam saja, hanya kini mereka duduk bersila, untuk memulihkan tenaga dan juga, untuk tidak mengganggu ibu dan anak itu.

"Sin Wan, anakku, sekaranglah saatnya ibumu membuka semua rahasia ini, di depan jenazah Se Jit Kong ini. Dengarkan baik-baik dan ingat semua kata-kataku, anakku. Sepuluh tahun lebih yang lalu, ketika itu usiaku baru delapanbelas tahun,namaku Jubaidah dan aku hidup berbahagia di samping suamiku yang baru setahun lebih menjadi suamiku. Suamiku.

bernama Abdullah dan dia putera seorang kepala dusun di perkampungan bangsa kita, yaitu bangsa Uigur. Ketika itu, engkau telah berada di dalam kandunganku, Sin Wan, berumur tiga empat bulan."

"Aahhhhh ....., jadi ayahku ..... ayah kandungku, yang bernama Abdullah itu .......?" Suara Sin Wan berbisik lirih dan dia menoleh ke arah wajah Se Jit Kong, orang yang selama ini dianggap ayahnya, "Mendiang Abdullah, anakku. Pada suatu hari, Se Jit Kong ini datang ke dusun kami dan dia .... dia menginginkan diriku, dia membunuh ayah kandungmu, mendiang Abdullah suamiku itu ........." "Ya Tuhan .......!!" Sin Wan menjadi lemas, wajahnya semakin pucat dan matanya seperti tidak bersinar lagi mengamati wajah Se Jit Kong. Orang yang menyayangnya dan disayangnya seperti ayah ini kiranya bahkan pembunuh ayah kandungnya!

"Tenanglah Sin Wan. Engkau harus mendengarkan penuh perhatian dan ingat baik-baik semua keteranganku ini.

Suamiku, Abdullah dibunuh oleh Se Jit Kong ini, dan aku diculiknya. Aku adalah seorang wanita beragama yang taat.

Aku sudah bersuami dan biarpun suamiku tewas, aku tidak akan sudi menyerahkan diri kepada pria lain, apalagi kalau pria itu pembunuh suamiku. Menurut suara hatiku, semestinya aku membunuh diri pada saat suamiku dibunuh itu. Akan tetapi, semoga Tuhan mengampuni aku, aku .... aku tidak tega karena engkau berada di dalam perutku, anakku. Kalau aku bunuh diri, berarti .aku membunuhmu pula. Aku ingin engkau terlahir dan hidup, anakku. Aku ingin engkau menjadi saksi tunggal bahwa aku sama sekali bukan wanita yang begitu saja mudah melupakan suami dan menyeleweng dengan penyerahan diri kepada pria lain ......"

Wanita itu memejamkan mata dan menahan agar tangisnya tidak datang lagi.

Sin Wan tidak mengeluarkan suara, hanya memegang tangan ibunya, menggenggam tangan itu seolah memberi kekuatan kepada ibunya. Tangan kiri ibunya dingin sekali, sedangkan tangan kanan wanita itu masih memegang gagang pisau yang berlumuran darah Se Jit Kong.

Agaknya sentuhan tangan puteranya memberi kekuatan kepada Ju Bi Ta atau Jubaidah ini dan ia melanjutkan bicaranya.

"Dia ini memaksaku menjadi isterinya. Dia tidak memaksa dengan kekerasan, melainkan membujuk dengan lembut dan dia nampaknya amat sayang kepadaku. Aku lalu menyerah, akan tetapi, demi Tuhan, semua ini kulakukan untuk menyelamatkan anak dalam kandunganku. Aku menyerah dengan syarat bahwa dia harus menanti sampai anak dalam kandungan terlahir, kemudian syarat kedua adalah bahwa dia harus menganggap anakku seperti anak sendiri, menyayangnya, dan kalau sampai kelak dia melanggar Janji, aku akan membunuh diri. Dan dia ..... ya Tuhan ampunkan hamba, dia begitu sayang kepadaku, dia memenuhi semua permintaanku, takpernah melanggar syarat-syaratku. Setelah engkau terlahir, dia begitu sayang kepadamu dan akan merasa benar bahwa dia amat cinta padaku. Maka, terpaksa sekali, walaupun di dalam hati aku menangis dan mohon ampun dan pengertian dari mendiang suamiku, aku menyerah dan menjadi isterinya ......."

Kembali wanita ini menghentikan ceritanya, berulang kali menarik napas panjang seperti hendak mengumpulkan kekuatan. Sin Wan memandang bingung. Dia belum cukup dewasa untuk dapat menyelami keadaan ibunya, menjadi bingung dan tidak dapat mempertimbangkan baik buruknya keadaan itu.

"Akan tetapi, betapapun besar cintanya kepadaku dan sayangnya kepadamu, bagaimana aku dapat mencinta seorang seperti dia, anakku? Bukan saja dia telah membunuh suamiku dan menculikku, akan tetapi dia ..... ohh, dia jahat sekali. Dia seorang datuk besar dunia hitam, dia tidak pantang melakukan kejahatan dalam bentuk apapun juga. Hanya satu yang tidak pernah dia lakukan, yaitu mengganggu wanita setelah dia mempunyai aku sebagai isterinya. Hal inipun karena permintaanku. Aku berulangkali membujuk, namun dia melakukan segala macam kejahatan secara diam-diam, di luar pengetahuanku. Bahkan kabarnya dia menjadi jagoan nomor satu dengan mengalahkan semua tokoh di timur. Dia jahat sekali, anakku, ahh, bagaimana mungkin aku dapat membalas cintanya? Aku hanya ingin mati, akan tetapi, aku khawatir bahwa kalau aku mati dia lalu bersikap jahat terhadap dirimu.

Aku harus menjagamu ..... dan untuk melindungimu, aku rela menderita lahir batin ........" "Ibu ......!" Sin Wan kini merangkul ibunya, dapat merasakan benar betapa besar pengorbanan ibunya terhadap dirinya.

"Akhirnya aku dapat membujuk dia untuk kembali ke barat sini. Aku tidak tahu bahwa dia telah mencuri benda-benda pusaka dari istana. Aku hanya Ingin agar engkau menjadi remaja dan cukup kuat untuk meninggalkan dia, melarikan diri dan selamat dari jangkauannya. Aku baru mau mati kalau engkau benar-benar terbebas dari tangannya, Sin Wan. Dan sekarang, karena ulahnya sendiri, akhirnya dia tewas. Kita bebas, Sin Wan. Engkau bebas, tidak terancam bahaya lagi, dan aku bebas ...... aku bebas menebus dosaku selama ini, aku bebas untuk pergi menyusul suamiku, untuk mengadukan semua ini kepadanya. Ya Allah, ampunilah dosa hamba .......

Abdullah suamiku, tunggulah aku ........."

Tiba–tiba saja wanita itu lalu menggunakan pisau yang masih berlumuran darah itu untuk menusuk dadanya sendiri sekuat tenaga.

"Ibuuuuuu ......!" Sin Wan menjerit dan menangkap tangan ibunya, akan tetapi karena tadinya dia tidak menduga sama sekali bahwa ibunya akan senekad itu, dia lerlambat. Pisau itu sudah menancap di dada ibunya, sampai ke gagang dan ibunya terkulai datam rangkulannya, mandi darah.

'Ibuuu ....... ibuuuu ...... ya Allah, tolonglah ibu ...... " Sin Wan meratap dan menangis, Wanita itu membuka mata, dan senyum lemah menghias bibir yang pucat, kedua tangannya bergerak lemah ke atas, mengusap air mata dari pipi Sin Wan.

"Sin Wan ...... anakku ..... biarkan ibumu menebus dosa ....... engkau berjanjilah ....... akan menjadi mamusia yang baik ..... taat kepada Allah ..... tidak jahat, jangan seperti Se Jit Kong ....." Suaranya semakin lemah sehingga berbisik-bisik.

Di antara tangis sesenggukan, Sin Wan mengangguk, .....

"aku ...... berjanji ........, ibu ........" Kemudian, melihat ibunya terkulai lemas dia pun menjerit dan pingsan di atas dada ibunya.

Tiga orang tosu yang duduk bersila itu membuka mata mereka. Pek-mau-sian Thio Ki, Si Dewa Rambut Putih, menghela napas panjang dan diapun bersanjak dengan suara lembut.

"Sependek suka sepanjang duka sejumput manis setumpuk pahit ada gelap ada terang ada senang ada susah yang tidak mengejar kesenangan takkan bertemu kesusahan !"

Tiga orang tosu itu lalu menyadarkan Sin Wan, dan membantu anak itu mengangkat jenazah Se Jit Kong dan JuBi Ta, dibawa ke rumah keluarga mereka. Kepada para tetangga, tiga orang tosu itu mewakill Sin Wan untuk memberitahu bahwa kematian suami isteri itu karena terbunuh musuh yang tidak mereka ketahui siapa.

??? Dua buah peti mati Itu berada di ruang depan, namun terpisah jauh, seperti yang dikehendaki Sin Wan. Peti mati Se Jit Kong berada di sudut kiri ruangan itu, sedangkan peti jenazah Ju Bi Ta berada di sudut kanan. Sin Wan berlutut di depan peti mati ibunya, kadang menangis lirih, kadang termenung Sepertikehilangan semangat. Hanya karena peringatan dari tiga orang tosu yang membantunya mengurus jenazah. Sin Wan memaksa diri untuk membalas penghormatan para pengunjung, yaitu para tetangga yang memberi hormat terakhir kepada suami isterl yang tewas secara aneh itu. Mereka hanya mendengar bahwa suami isteri itu tewas di tangan musuh mereka, akan tetapi mereka tidak tahu siapa musuh itu dan merekapun tidak ingin mencampuri urusan itu.

Setelah yang datang melayat berkumpul, dua peti jenazah lalu diangkut ke tempat pemakaman. Juga atas permintaan yang sangat dari Sin Wan, dua peti jenazah itu dikubur secara terpisah pula, di kedua ujung yang berlawanan dari tanah pekuburan itu. Para pelayat pulang meninggalkan dua gundukan tanah kuburan yang baru, dan yang tinggal kini hanya Sin Wan bersama tiga orang tosu Sam Sian (Tiga Dewa), masih menunggu karena mereka belum selesai dengan tugas mereka.

Mereka belum mengambil kembali benda-benda pusaka, dan mereka menanti sampai Sin Wan selesai berkabung dan sudah tenang kembali.

Sin Wan kini menangis di depan makam ibunya, merasa kesepian, merasa khawatir karena secara tiba-tiba dia dihadapkan dengan kenyataan yang amat pahit. Pertama, melihat ayahnya bunuh diri dan tewas, lalu mendengar keterangan ibunya bahwa orang yang dianggap ayahnya itu sama sekali bukan ayahnya, bahkan seorang datuk penjahat besar yang telah membunuh ayah kandungnya dan memaksa ibu kandungnya menjadi isteri.

Berarti bahwa sebenarnya Se Jit Kong adalah musuh besarnya! Kemudian disusul pula dengan kematian ibunya yang membunuh diri pula. Kini dia kehilangan segalanya!

Perubahan mendadak yang membuat anak berusia sepuluh tahun itu menjadi nanar dan gelap, tidak tahu apa yang harus dia lakukan.

Suara tangis Sin Wan tidak keras lagi karena dia sudah kehabisansuara dan tenaga, akan tetapi masih sesenggukan dan penuh kesedihan. Makin diingat keadaan dirinya yang sebatang kara di dunia ini, makin pedih hatinya, dan makin mengguguk tanglsnya.

Sunyi senyap di tanah kuburan itu. Hanya tangis Sin Wan merupakan satu-satunya suara yang hanyut dalam kesunyian.

Bahkan pohon-pohon di sekitar tanah kuburan itu tidak ada yang bergerak. Angin berhenti bertiup, entah sedang beriatirahat di mana. Agaknya segala sesuatu ikut pula prihatin melihat duka nestapa yang dltanggung remaja itu.

Tiba-tiba suara tangis lirih itu ditimpa suara tawa bergelak.

Suara tawa yang lepas dan tidak ditahan-tahan sehingga terdengar janggal karena suasana berkabung itu menurut umum tidak sepantasnya diisi suara tawa sebebas itu!

Aneh sekali mendengar suara tangis yang kini dibarengi suara tawa itu. Dewa Rambut Putih Thio Ki mengerutkan alisnya dan menengok ke arah rekannya, Dewa Arak Tong Kui yang mengeluarkan suara tawa itu.

"Dewa Arak, apa yang kautawakan ini?" tegurnya dengan alis berkerut.

"Ha ... ha ... ha ... ha, apa yang kutawakan ? Dan apa pula yang ditangiskan anak itu? Apa pula yang membuat kalian berdua berwajah demikian serius dan muram? Ha ... ha ... ha, tangis dan tawa sama-sama menggerakkan mulut, kenapa tidak memilih tawa dari pada tangis? Tangis itu tidak sehat dan membuat wajah kelihatan buruk, sebaliknya orang berwajah jelekpun akan menjadi menarik kalau tertawa, juga menyehatkan. Ha-ha-ha-ha!" Si Dewa Arak tertawa lagi, kemudian meneguk arak dari gucinya.

"Aku mentertawakan semua kepalsuan ini. Kenapa kalau ada kematian lalu ada tangisan? Apa yang ditangisi? Bukankah yang bersangkutan, yang mati malah tidak menangis dan wajahnya nampak tenang dan penuh damai! Sebaliknya, kelahiran disambut tawa gembira, sedangkan yang bersangkutan, begitu terlahir menangisi kelahirannya sampai menjerit-jerit. Ha .. ha .. ha ..!"

Mendengar ucapan itu, seketika Sin Wan berhentl menangis. Semua ucapan itu memasuki benak dan hatinya dan berkesan sekali. Dia memang suka sekali membaca kitabkitab kuno, sejarah, dongeng dan filsafat, juga pelajaran tentang hidup dalam kitab-kitab agama. Belum pernah dia mendengar orang bicara tentang kematian seperti yang diucapkan Dewa Arak itu, apa lagi mendengar ada orang tertawa-tawa menghadapi kematian, seolah-olah kematian merupakan peristiwa yang menyenangkan, bukan merupakan peristiwa duka. Dia merasa penasaran sekali dan setelah menghentikan tangisnya, dia lalu memandang kepada Dewa Arak.

"Maaf, lo-cianpwe (orang tua gagah). Lo-cianpwe mencela saya menangis. Salahkahsaya kalau menangisi kematian ibu saya yang tercinta?' suaranya lantang dan menuntut. Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih diam-diam tersenyum. Dewa Arak memang pintar sekali, dapat mengalihkan kesedihan anak itu.

"Ha .. ha .. ha ..ha, kulihat dulu mengapa kau menangis? Coba katakan, mengapa engkau menangis, anak baik? Namamu Sin Wan, bukan? Nah, katakan, Sin Wan, kenapa engkau menangis, maka aku akan tahu apakah tangismu itu wajar ataukah palsu."

"Saya menangis karena ibu saya meninggal dunia, locianpwe. Bukankah itu wajar?"

"Ya, akan tetapi kenapa kalau ibumu mati engkau menangis? Yang kautangisi itu ibumu ataukah dirimu sendiri?"

"Apa ...... apa maksud lo-cianpwe?"

"Katakan saja, bagaimana isi hatlmu. Jenguk isi hatimu dan katakan sebenarnya yang membuat engkau menangis. Karena engkau kehilangan orang yang kausayang? Karena engkau ditinggal seorang diri dan merasa kesepian? Karena meninggalnya orang kau sayang itu mendatangkan kesedihan karena engkau tidak akan menikmati lagi kesenangan dari orang yang meninggal?" Sin Wan mengerutkan alisnya, berpikir-pikir lalu mengangguk. "Memang demikianlah, lo-cianpwe. Hati siapa yang tidak akan bersedih ditinggal mati ibunya yang tercinta? Apa lagi setelah mendengar bahwa ayah kandung saya telah tiada. Saya hanya hidup berdua dengan ibu, dan sekarang, ibu meninggalkan saya seorang diri."

"Bagus, jadi engkau menangisi keadaan dirimu sendiri, bukan? Nah, itu namanya jawaban jujur. Air matamu itu kaucucurkan karena engkau merasa kehilangan, karena engkau merasa iba kepada diri sendiri. Air mata itu air mata karena iba diri, karenanya air mata seorang yang lemah!

Lemah sekali hatinya, cengeng dan penakut!"

Sejak kecil Sin Wan digembleng oleh seorang datuk besar seperti Tangan Api. Biarpun ibu kandungnya selalu menekannya dan mengharuskan dia menjauhi kekerasan, namun bagaimanapun juga, dia digembleng sikap pemberani dan watak gagah seorang ahli silat oleh gurunya yang tadinya dianggap ayahnya sendiri itu.

Kini, dicela sebagai orang yang hatinya lemah, cengeng dan penakut, tentu saja mukanya yang tadinya pucat itu berubah kemerahan, matanya mengeluarkan sinar tajam dan hal ini membuat tiga orang sakti itu memandang dengan wajah berseri.

"Lo-cianpwe, kenapa lo-cianpwe begitu kejam? Lo-cianpwe mengetahui bahwa baru saja saya kehilangan ibu, bahkan kehilangan ayah yang ternyata tak pernah saya lihat itu, kehiiangan segalanya dan lo-cianpwe malah mentertawakan saya. Saya bukan lemah, cengeng apa lagi penakut!"

"Ha .. ha .. ha, bagus sekali!" Dewa Arak itu tertawa. "Aku tidak mentertawakan engkau, melainkan mentertawakan kepalsuan yang dilakukan oleh sebagian besar orang di dunia ini. Kalau engkau tidak cengeng dan lemah, hapus air matamu dan jangan tenggelam ke dalam iba diri. Dan tidak perlu engkau menangisi ibumu yang sudah tiada. Bahkan kalau bisa tertawalah, tertawa gembira karena ibumu baru saja terbebas dari pada kedukaan hidup. Ingat betapa ibumu menderita lahir batin sejak kematian ayah kandungmu, dan baru sekarang ibumu terbebas dari himpitan penderitaan. Kenapa harus ditangisi?"

"Saya tidak menaagisi kematiannya itu sendiri, melainkan terharu dan kasihan kalau mengenang betapa selama ini ibu telah menderita hebat dan mengorbankan diri karena saya."

"Heii, Dewa arak, apakah engkau masih mabuk?" teriak Dewa Pedang Louw Sun. "Anak itu belum juga dewasa, sudah kau ajak bicara tentang hal-hal yang begitu mendalam. Dia bersedih, itu manusiawi, karena dia manusia yang memiliki perasaan. Tidak seperti engkau yang sudah tidak lumrah lagi.

Semua orang di dunia ini kalau kematian menangis, apa salahnya dengan itu? Akan tetapi engkau menganjurkan anak ini agar tertawa-tawa ketika ibunya mati. Apa kau ingin dia dianggap orang gila? Kalau mau gila, engkau sendiri saja, jangan ajak-ajak anak kecil." "Ha .. ha .. ha, lebih baik mabuk dan bicara secara terbuka dari pada tidak mabuk dan bicaranya selalu palsu, bersembunyi di balik kedok sopan-santun dan peraturan yang pada hakekatnya hanya menonjolkan diri sendiri. Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih, kalian sendiri bukan orangorang yang dicengkeram nafsu, kenapa nampak murung seperti orang berduka? Benarkah kalian berduka karena kematian Se Jit Kong dan ibu anak ini? Terharu setelah mendengar pengakuan ibu Sin Wan?"

"Aih, Dewa Arak, bagaimana orang-orang seperti kita masih terpengaruh perasaan hati dan mudah diombang-ambingkan antara suka dan duka? Tidak, Ciu-sian, pinto (aku) tidak murung, tidak berduka, hanya termenung heran mengapa orang-orang seperti mereka ini dengan cepat terbebas dari kurungan, sedangkan kita masih harus terhukum entah untuk berapa lama lagi," Dia menghela napas panjang. Dewa Arak memandang Dewa Pedang yang baru saja bicara itu dengan heran.

"Siancai (damai) ......! Engkau ini tosu (pendeta To) macam apa? Baru sekarang aku mendengar pendeta To bicara sepertl ini! Bukankah biasanya para pendeta To bahkan berlumba mencari obat ajaib untuk membuat kalian berusia panjang sampai seribu tahun atau bahkan tidak akan mati selamanya?" "Pinto tidak termasuk mereka yang suka berkhayal dan bermimpi yang muluk-muluk. Pinto juga tidak menyesal, hanya merasa heran akan rahasia alam yang amat gaib ini, saudaraku."

"Bagaimana dengan engkau, Dewa Rambut Putih? Engkaupun tidak nampak tersenyum seperti biasanya. Di mana perginya senyum simpulmu yang manis itu? Apakah engkau juga ikut prihatin dan berkabung?" Suara Si Dewa Arak mengandung ejekan.

Pek-mau-sian Thio Ki menggerakkan bibir ke arah senyum, matanya menatap wajah rekannya dengan tajam dan dia menggerakkan telunjuknya menuding muka rekan itu. "Dewa Arak, engkau selalu ugal-ugalan, akan tetapi terbuka hati dan mulutmu. Seperti juga kalian, aku tidak mau terbelenggu nafsu dan perasaan, tidak mau terikat oleh apapun. Aku hanya termenung memikirkan kebodohan wanita itu. Ia telah mengambil jalan sesat. Bagaimana mungkin ia menebus dosa dengan cara membunuh diri? Itu namanya bukan menebus dosa, melainkan menambah dosa menjadi semakin besar lagi!"

Sejak tadi Sin Wan mendengarkan dengan hati tertarik sekali. Tiga orang tua itu mempunyai pandangan yang anehaneh, yang berbeda dengan umum, namun diam-diam dia menemukan kebenaran dalam ucapan mereka yang janggal itu. Akan tetapi. mendengar ucapan Pek-mau-sian Thio Ki, dia merasa terkejut dan penasaran, juga ingin sekali tahu.

"Maaf, lo-cianpwe. Kenapa lo-cianpwe mengatakan bahwa dengan membunuh diri, ibuku berdosa? Bukankah ibuku seorang wanita yang berhati bersih, yang tidak akan sudi diperisteri pembunuh suaminya kalau saja tidak ingin menyelamatkan aku? Setelah aku tidak terancam lagi, ibu menebus semua aib itu dengan membunuh diri, kenapa locianpwe menganggap ia berdosa?" "Ha .. ha .. ha .. ha!" Dewa Arak tertawa, "Anak baik, aku tidak tahu apakah dia berdosa atau tidak, hanya Tuhan yang tahu! Akan tetapi aku tahu bahwa ia bodoh. Picik sekali orang yang membunuh diri! Kita tidak mampu menghidupkan, bagaimana boleh mematikan? Mati hidup di tangan Tuhan, akan tetapi bunuh diri merupakan kematian yang dipaksakan, karena itu, rohnya akan menjadi penasaran! Bodoh sekali ibumu, Sin Wan, tidak boleh kau. tiru perbuatannya itu."

Sin Wan masih penasaran dan diamenoleh kepada dua orang pendeta yang lain. Dewa Pedang mengelus jenggot dan menggeleng kepala, menarik napas panjang. "Bunuh diri merupakan perbuatan sesat. Bagaimana mungkin persoalan dapat diselesaikan dengan bunuh diri? Bunuh diri adalah perbuatan yang penuh nafsu dan nafsu akan melekat terus merupakan pengganggu yang tiada habisnya selama dalam kehidupan ini kita tidak mampu membebaskan diri dari ikatan dan cengkeraman nafsu, ibumu patut dikasihani, anak baik."

Sin Wan merasa semakin sedih.

"Sejak muda sekali, sejak berusia delapanbelas tahun, baru saja setahun mengecap kebahagiaan bersama suaminya, ibumu direnggut dari kebahagiaan dan sejak itu menderita siksaan lahir batin, dan sekarang setelah mati masih menanggung dosa!" Dia masih penasaran dan menoleh kepada Dewa Rambut Putih yang pertama kali mengatakan bahwa ibunya telah melakukan dosa karena membunuh diri.

"Lo-cianpwe, mendiang ibuku adalah seorang wanita yang saleh, selalu taat kepada Allah, dan juga tak pernah melakukan kejahatan terhadap orang lain. Ia menyerahkan diri kepada pembunuh suaminya dengan hanya satu tujuan mulia, yaitu menyelamatkan nyawa anaknya. Apakah itu dapat dikatakan salah dan dosa?"

Karena anak itu bicara sambil memandang kepadanya, Dewa Rambut Putih tersenyum. "Sin Wan. ibumu telah terjebak ke dalam kekeliruan pendapat yang disilaukan oleh tujuan sehingga ia menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Tujuannya adalah menyelamatkan anak dalam kandungan, kemudian menyelamatkan anaknya setelah terlahir Memang hal itumerupakan kewajiban seorang ibu, memelihara anaknya! Akan tetapi, baik buruk dan benar salahnya bukan terletak dalam tujuan, melainkan dalam caranya atau pelaksanaannya. Karena silau oleh tujuannya, ia memejamkan mata dan menempuh cara yang tidak selayaknya ia lakukan. Bagaimana mungkin cara yang salah dapat mencapai tujuan yang benar, cara yang kotor dapat mencapai tujuan yang bersih? Cara merupakan pohonnya, dan tujuan merupakan buahnya. Pohon yang buruk, mana dapat menghasilkan buah yang baik?"

Sin Wan tertegun. Ucapan kakek rambut putih ini merupakan tusukan yang paling dalam dan membuka mata hatinya. Kasihan ibunya. Ibunya tidak sengaja melakukan perbuatan yang kotor dan salah. Dia harus sedapat mungkin membela lbunya!

"Akan tetapi, lo-cianpwe, bukankah ibu telah berhasil menyelamatkan aku? Andaikata ibu menolak kehendak pembunuh suaminya, bukankah hal itu berarti ibu membunuh aku pula? Padahal, yang terutama baginya adalah menyelamatkan anaknya!"

"Sian-cai ....! Anak baik, mati hidup berada di tangan Tuhan. Kalau Dia menghendaki engkau mati, siapa yang akan sanggup menyelamatkanmu? Sebaliknya, kalau Dia menghendaki engkau hidup. siapa pula yang akan dapat membunuhmu?"

Kalimat terakhir ini segera disambar dan dipegang oleh Sin Wan sebagai bahan pembelaanterhadap lbunya dan juga hiburan dalam hatinya.

"Kalau begitu, lo-cianpwe, kematian ibuku tentu juga telah dihendaki oleh Tuhan. Benarkah?"

"Tentu saja!" jawab Pek-mau-sian Thio Ki dengan pasti.

"Kalau tidak dikehendaki Tuhan, tentu ia tidak akan mati."

"Nah, kalau begitu, ibu tidak berdosa! Ibu hanya melakukan sesuatu yang telah dikehendaki Tuhan!" kata anak itu dengan nada penuh kemenangan.

Tiga orang pertapa itu saling pandang dan ketiganya lalu tertawa. Sin Wan memandang kepada mereka bergantian denganheran.

"Mengapa samwi (anda bertiga) tertawa? Apakah aku mengeluarkan kata-kata yang tidak benar?"

"Siancai ...... engkau ini seorang anak yang berpemandangan luas dan memiliki bakat baik untuk mempelaiari ilmu tentang kehidupan, Sin Wan," kata Dewa Pedang. "Tidak keliru memang bahwa hidup dan mati berada di tangan Tuhan karena memang Tuhan yang menentukan segalanya. Adapun sikap menyerah dan pasrah kepada Tuhan merupakan sikap yang sudah sepatutnya dilakukan manusia.

Akan tetapi, bukan berarti menyerahkan segalanya kepada Tuhan tanpa kita melakukan apa-apa! Bukan berarti mempersekutu Tuhan, atau bahkan menuntut agar Tuhan bekerja demi kepentingan kita! Tuhan menciptakan kita terlahir di dunia ini lengkap dengan semua alat untuk hidup, untuk bekerja, untuk berihtiar mempertahankan hidup, untuk memuja Tuhan melalui segala perbuatan kita. Kalau kita tidak berbuat apa-apa, itu berarti kita melalaikan tugas hidup kita.

Karena kita diberi hati akal pikiran, diberi pengertian tentang baik buruk, tentu saja menjadi tugas kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik di dunia ini. Berarti kita membantu pekerjaan Tuhan! Bagaimana Tuhan dapat membantu kita kalau kita tidak berusaha membantu diri kita sendiri?"

"Maksud lo-cianpwe?" "Contohnya, untuk dapat hidup kita harus makan dan untuk kebutuhan itu, Tuhan telah menyediakan tanah, air, udara, bahkan bibit tanaman pangan untuk kita. Akan tetapi, untuk dapat mempertahankan hidup dengan makan, kita harus mengolah tanah, menanam, memelihara, memetik hasilnya.

Bahkansetelah itu, tugas kita belum selesai. Kita masih harus memasaknya dan kalau sudah menjadi masakan terhidang di depan kita, kita masih harus mengunyah dan menelannya!

Kalau kita diam saja, Tuhan tidak akan melakukan semua itu untuk kita! Dan kita diberi pula akal budi sehingga kita dapat mengerti bagaimana cara yang terbaik untuk mendapatkan makanan, yaitu dengan bekerja, bukan dengan jalan mencuri atau merampok misalnya. Dalam pelaksanaannya itulah menjadi tugas kita. Tuhan tiada hentinya bekerja. Kitapun harus bekerja. Bukankah segala sesuatu di alam mayapada ini, baik yang bergerak maupun yang tidak hidup tumbuh dan bekerja ? Pohonpun tiada hentinya bekerja, akarnya, daunnya, kembang dan buahnya. Mengertikah engkau, Sin Wan ?"

Anak itu mengangguk, lalu menundukkan kepalanya. Tiga orang pertapa itu seperti menguak kesadarannya, membuka hatinya dan mengisinya dengan kebenaran-kebenaran yang Dapat dia rasakan. Ibunya telah meninggal.

Musuh besarnya juga telah meninggal. Semua itu sudah dikehendaki Tuhan, Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa ibuku, demikian pikirnya dan teringat akan ajaran ibunya tentang agama Islam, yaitu agama ibunya, diapun menggumam lirih.

"Innalilahi wainna illahi rojiun ......" "Hemm, apa artinya ucapan itu, Sin Wan?" tanya Pek-mau sian Thio Ki.

"Berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan, demikianlah yang diajarkan ibu kepadaku dalam menghadapi kematian."

"Berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan! Ha .. ha ..

ha .., bagus sekali itu, Sin Wan!" kata Dewa Arak. "Itu merupakan penyerahanyang mutlak atas kekuasaan Tuhan.

Bagus sekali!"

"Siancai, semua agama mengajarkan kebenaran dan kebaikan, semua agama mengajarkan bahwa ADA SESUATU YANG MAHA KUASA, yaitu yang kita sebut Tuhan. Sekarang, setelah engkau mengerti, kami ingin mengajak engkau pulang ke rumahmu karena ada sebuah urusan penting yang akan kami bicarakan denganmu, Sin Wan." kata Pek-mau-sian Thio Ki.

Sin Wan memandang kepada pertapa rambut putih itu. "Locianpwe tentu maksudkan benda-benda pusaka yang dicuri ....

ayah tiriku darigudang pusaka istana kaisar itu bukan?"

"Hemm, engkau memang anak yang cerdik," kata Dewa Pedang dengan kagum. "Memang benar, kami adalah utusan dari Sribaginda Kaisar untuk membawa kembali benda-benda pusaka yang dicuri Se Jit Kong itu."

"Sebentar Lo-cianpwe. Aku belum memberi penghormatan terakhir kepada ayah tiriku."

Sin Wan lalu berlari menuju ke makam Se Jit Kong yang berada di ujung yang berlawanan dari tanah kuburan itu, dan dengan sikap hormat dia memberi penghormatan di depan makam itu. Tiga orang tosu mengikutinya dan memandang perbuatan Sin Wan itu dengan sinar mata yang kagum dan mereka mengangguk-angguk.

Setelah selesai, Sin Wan menghadapi mereka. "Mari, samwi lo-cianpwe, akan kuserahkan peti terisi benda-benda pusaka itu kepada sam-wi."

Mereka berjalan meninggalkan tanah kuburan, dan karena tidak dapat menahan keinginan tahunya untuk mengenal isi hati Sin Wan, Dewa Arak lalu bertanya, "Sin Wan, kenapa engkau tadi memberi hormat kepada makam Se Jit Kong? Bukankah dia telah membunuh ayah kandungmu dan juga telah menculik dan memaksa ibumu?"

Sambil melangkah Sin Wan menundukkan kepalanya dan menggelengnya, lalu menjawab, "Aku harus menghormatinya karena aku teringat akan kebaikannya. Dia selalu baik kepadaku, dan kulihat dia baik pula kepada ibuku."

"Ha .. ha .. ha .. ha, engkau sama juga dengan yang lain, Sin Wan, menilai kebaikan dari keadaan lahir saja. Kebaikan macam itu palsu adanya."

"Ehh? Bagaimana lo-cianpwe mengatakan palsu? Aku yang merasakan sendiri dan memang dia amat baik kepada ibu dan aku. Dia lembut dan mentaati ibu, dia menyayangku dan mengajarku dengan sepenuh hati."

"Ha .. ha .. ha, tentu saja! Tentu saja dia baik kepadamu karena dia harus berbaik, kalau tidak, tentu ibumu tidak akan sudi menyerahkan diri kepadanya. Kebaikan macam itu datangnya dari nafsu, hanya merupakan akal-akalan saja karena kebaikan macam itu berpamrih. Itu bukan kebaikan namanya, melainkan cara yang licik untuk mendapatkan hasil sesuatu, ha .. ha .. ha!"

Biarpun masih kecil, Sin Wan sudah membaca banyak macam kitab, maka dia dapat mengerti apa yang menjadi inti ucapan Dewa Arak. Dia menjadi semakin kagum kepada tiga orang tua itu dan dia ingin sekali dapat menjadi murid mereka. Kalau dia berguru kepada mereka, dia dapat mempelajari banyak macam ilmu. Bukan saja ilmu silat, akan tetapi juga lima pengetahuan tentang hidup. Mereka melanjutkan perjalanan memasuki kota Yin-ning karena tanah kuburan itu berada di luar kota. Matahari sudah condong rendah ke barat.

??? Ketika tiga orang pertapa dan Sin Wan tiba di pekarangan rumah itu, mereka terkejut melihat seorang di antara para pelayan mereka rebah di ruangan depan dalam keadaan terluka parah. Sin Wan cepat berlutut dekat pelayan itu.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar