06 Si Pedang Tumpul

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

"Sobat dari Hwa I Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang), kenapa menuduh yang bukan–bukan kepada kami segolongan?" kata pengemis baju hitam yang tinggi kurus.

Pengemis baju kembang yang tinggi besar dan bermuka hitam itu tersenyum mengejek. "Sobat-sobat dari Hek I Kaipang, aku bukan menuduh yang tidak-tidak kepada orang segolongan. Akan tetapi, semua orang di kedai ini tahu belaka betapa anggauta kalian ini tadi memaksa ketika minta sedekah, kemudian bahkan menggoda dua orang nona ini.

Bukankah itu berarti bahwa para pengemis Hek I Kai-pang adalah orang-orang yang suka membuat kekacauan?" Dua orang pengemis baju hitam memandang ke sekeliling dan melihat betapa semua orang mengangguk dan membenarkan ucapan pengemis baju kembang, mereka menghela napas dan pengemis tinggi kurus berkata, "Anggauta perkumpulankami telah membuat kesalahan.

Akan tetapi dia sudah menebus dengan nyawanya, sudah terhukum. Biarlah ini menjadi peringatan bagi kami agar kami lebih ketat mengawasi anak buah kami. Ciangkun, maafkan, kami akan membawa pergi mayat anggauta kami." Setelahberkata demikian, si gemuk pendek memondong tubuh pengemis yang telah mati itu, dan setelah keduanya memandang sejenak kepada Sui In dan Bwe Li, mereka lalu pergi dari situ dengan cepat.

"Ciangkun, seharusnya mereka berdua tadi ditangkap saja untuk dihadapkan ke pengadilan." kata pengemis baju kembang kepada perwira yang memimpin pasukan penjaga keamanan.

Perwira itu menggeleng kepala. "Yang bersalah sudah mati.

Dua orang pengemis baju hitam itu tidak melakukan kesalahan apapun, bagaimana kami dapat menangkapnya? Sudahlah, selama ini tidak ada pengemis baju hitam yang membuat kekacauan."

Sui In segera membayar harga makanan, dan memberi isyarat kepada sumoinya untuk cepat meninggalkan tempat itu. Ketika sucinya mengajak ia berlari menyelinap dalam kegelapan, Bwe Li bertanya lirih, "Ada apakah, suci?"

"Ssttt, kita membayangi para pengemis baju hitam itu,"

kata Sui In. Mereka berdua mempergunakan ilmu kepandaian mereka dan sebentar saja mereka telah dapat menyusul dua orang pengemis baju hitam yang memondong tubuh anak buah mereka yang telah menjadi mayat itu.

Dua orang baju hitam itu keluar dari kota melalui pintu gerbang sebelah barat dan kurang lebih tiga li kemudian dari kota, mereka memasuki sebuah perkampungan di mana terdapat rumah-rumah yang cukup besar. Kiranya Hek I Kaipang mempunyai perkampungan para pengemis baju hitam di situ, dan di tengah perkampungan berdiri sebuah gedung yang cukup besar dan cukup megah, dikelilingi rumah-rumah yang lebih kecil.

Ketika dua orang pengemis itu masuk memondong mayat seorang pengemis baju hitam, gegerlah perkampungan itu.

Mereka semua mengikuti dua orang pengemis itu menuju ke gedung besar dan memasuki ruangan yang luas di mana telah menunggu ketua mereka yang sudah lebih dulu dlberitahu.

Karena mereka semua mencurahkan perhatian kepada dua orang pengemis yang memondong mayat seorang rekan mereka, maka para pengemis baju hitam itu menjadi lengah.

Hal ini tentu saja memudahkan Sui In dan Lili yang mempergunakan ilmu kepandaian mereka menyelinap memasuki perkampungan itu dan mereka sudah mengintai ke dalam ruangan dari atas atap.

Lebih dari duapuluh orang berada di ruangan itu. tentu mereka ini adalah tokoh-tokoh Hek I Kai-pang, pikir Sui In, karena ia melihat betapa lebih banyak lagi pengemis yang berada di luar ruangan itu. Di sebuah kursi yang agak tinggi duduk seorang kakek pengemis yang usianya kurang lebih enampuluh tahun, bertubuh tinggi besar dan wajahnya membayangkan kegagahan, mukanya berbentuk persegi dan matanya lebar, kumis dan jenggotnya teratur rapi walaupun pakaiannya sederhana sekali, yaitu dari kain berwarna hitam.

Kalau ada perbedaan dengan para anak buahnya, perbedaan itu hanya karena di ikat pinggangnya terselip sebatang tongkat hitam yang panjangnya tiga kaki dan besarnya seibu jari kaki.

"Ceritakanapa yang terjadi," kata ketua itu kepada dua orang pengemis yang tadi membawa mayat pengemis muda berbaju hitam ke dalam ruangan itu. Mayat itu kini rebah telentang di depan mereka.

Si pengemis tinggi kurus bercerita singkat. "Ketika kami berdua lewat di depan kedai nasi itu, kami melihat anak buah kita ini dirobohkan seorang di antara dua wanita yang sedang makan di kedai. Kami mendekat dan ternyata dia ini sudah berkelonjotan sekarat, kedua pipi ditembusi sebatang sumpit.

Dengan hati–hati kami menguji kepandaian mereka dan ternyata mereka itu amat lihai. Dalam menguji dengan sinkang (tenaga sakti), kami bukan tandingan dua orang wanita itu. Dan pada saat itu, sebelum kami bergerak lebih jauh, muncul Lui-pangcu (ketua Lui), seorang di antara tokoh Hwa I Kai-pang. Dia datang bersama sepasukan penjaga keamanan dan dia menuduh kita sebagai kai-pang yang suka membikin kacau. Bahkan kemudian dia mengatakan bahwa anak buah kita ini telah melakukan pemerasan di kedai itu, dan mengganggu kedua orang tamu wanita itu. Semua orang yang berada di sana membenarkan keterangan itu, maka kami segera minta maaf dan membawa jenazah ini ke sini untuk menerima petunjuk dari pangcu (ketua)."

Pengemis tinggi besar itu adalah ketua umum dari Hek I Kai-pang. Namanya Souw Kiat dan dialah ketua umum yang menguasai seluruh anggauta Hek I Kai-pang di daerah barat dan merupakan seorang di antara empat pemimpin kai-pang terbesar di empat penjuru. Sikapnya tenang dan berwibawa, dan mendengar laporan itu tidak timbul emosinya. Dia tetap tenang, lalu memandang ke arah mayat yang rebah di atas lantai.

"Hemm, sumpit yang menembus kedua pipi itu tidak mungkin membunuhnya. Ji-pangcu (ketua Ji ), coba periksa, apa yang menyebabkan dia mati," perintah ketua umum itu kepada seorang di antara ketua cabang yang dia tahu ahli dalam hal pengobatan.

Seorang pengemis tua bertubuh kurus kering segera berjongkok dan memeriksa jenazah itu. Diperiksanya muka yang ditembusi sumpit dari pipi yang satu ke pipi yang lain itu dan dia membenarkan pendapat ketua umum bahwa sumpit itu bukan yang menyebabkan kematian. Dia lalu merobek baju di bagian dada untuk memeriksa. Dan, tepat di bawah, tenggorokan, di dada bagian atas, nampak tanda seperti tiga bintik kecil yang warnanya biru menghitam.

"Pangcu, yang menyebabkan kematiannya adalah tiga batang jarum yang menembus bajunya dan memasuki dadanya," Ji-pangcu melapor kepada atasannya.

"Hemm, melihat sumpit itu, jelas bahwa penyambitnya seorang yang berilmu tinggi, akan tetapi kenapa ia menggunakan jarum beracun pula untuk membunuhnya? Kalau sambitan itu dinaikkan sedikit saja, tentu orang inipun akan tewas seketika!" kata Souw-pangcu dengan alis berkerut.

Tiba-tiba nampak dua bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu dl tengah ruangan itu sudah berdiri dua orang wanita cantik. Melihat Sui In dan Bwe Li, dua orang pengemis yang tadi membawa jenazah itu pulang, terkejut bukan main.

"Kami tidak menggunakan jarum beracun!" kata Sui In dengan suara lantang namun lembut.

"Pangcu..... mereka ..... mereka inilah dua orang tamu di kedai itu .......," kata pengemis tinggi kurus.

Souw Kiat sejenak memandang kepada dua orang wanita itu penuh perhatian dan diam-diam dia kagum dan terkejut.

Dua orang wanita ini memasuki ruangan seperti siluman saja.

Dia sendiri yang biasanya amat peka dan hati-hati, sama sekali tidak tahu akan kedatangan mereka. Dan mereka ini masih muda, wanita pula, akan tetapi telah memiliki kepandaian yang demikian luar biasa. Dia lalu membentak para pembantunya yang nampak siap siaga dengan sikap menantang ketika mendengar bahwa dua orang wanita ini pembunuh anak buah mereka, "Kalian semua mundur dan sediakan tempat duduk untuk kedua lihiap (pendekar wanita) ini!"

Setelah berkata demikian, Souw Kiat lalu memberi hormat kepada Sui In dan Bwe Li, memberi hormat dengan sungguh, bukan seperti dua orang pembantunya tadi yang memberi hormat untuk menguji kekuatan.

"Selamat datang di tempat tinggal kami, ji-wi li-hiap (pendekar wanita berdua). Saya Souw Kiat ketua Hek I Kaipang, merasa girang sekali bahwa ji-wi sudi datang berkunjung. Tentu ji-wi akan memberi penjelasan tentang peristiwa yang terjadi di kedai nasi itu, bukan?" Melihat sikap gagah dan sopan dari ketua itu, baik Sui In maupun Bwe Li merasa senang dan tidak jadi marah yang tadi tlmbul melihat sikap para pimpinanpengemis di situ yang memandang marah dan siap mepgeroyok itu. Sui In mengangguk.

"Bukan hanya memberi penjelasan, juga kami minta penjelasan tentang kai-pang pada umumnya." suara Sui In tenang, lembut namun penuh wlbawa.

"Silakan duduk, ji-wi li-hiap," kata Souw Kiat yang disambungnya setelah mereka duduk. "Bolehkah kami mengetahui siapa nama ji wi dan dari partai mana?"

"Cukup kau ketahui bahwa aku she Cu dan ini sumoi ku she Tang. Souw-pangcu, seperti diceritakan dua orang pembantumu tadi, pengemis ini tadi mengganggu kami di kedai nasi ketika kami sedang makan. Karena dia kurang ajar sekali, maka aku telah melukainya dengan sumpit. Akan tetapi, bukan aku yang membunuhnya dengan jarum beracun walaupun aku memiliki pula jarum beracun, dan untuk membuktikan, dapat dibandingkan jarumku dengan jarum yang membunuh itu."

Tiba-tiba nampak tangan kiri Sui In bergerak, tidak terlihat ia melemparkan jarum, akan tetapi ketika semua orang memandang, di dada mayat yang bajunya masih terbuka itu nampak pula tiga titikbaru di dekat tiga titik yang lama.

Akan tetapi kalau tiga titik yang lama itu dikelilingi warna kehitaman pada tltik-tltik yang baru itu nampak jelas betapa kulit dan daging yang tertembus jarum itu mencair seperti terbakar! Tentu saja semua orang terkejut bukan main.

"Ahhh ..... jarum-jarummu mengandung racun yang lebih dahsyat lagi, Cu-lihiap!" seru ketua itu.

Sui In tersenyum dingin, "Ini hanya untuk membuktikan bahwa aku bukan pembunuh anak buahmu, pangcu. Dan sekarang, sebelum bicara lebih lanjut, aku ingin sekali mengetahui bagaimana pertanggungan jawabanmu kalau ada anak buahmu yang begini menjemukan, melakukan kekerasan ketika mengemis, dan mengganggu wanita, mengandalkan kepandaiannya yang masih amat dangkal itu!" Wajah Souw Kiat berubah kemerahan. Ucapan itu walaupun lembut, namun sungguh tajam seperti pedang menusuk ulu hatinya. Sinar matanya menjadi keras dan marah ketika dia memandang ke sekeliling, ke arah para pembantunya. "Kalian semua lihat baik-baik, anak buah siapa jahanam yang membikin malu nama Hek I Kai-pang ini!" Duapuluh empat orang ketua cabang itu segera menghampiri mayat dan melakukan pemeriksaan dengan teliti.

Akan tetapi, satu demi satu mereka mundur lagi dan menggelengkan kepala. Akhirnya, duapuluh empat orangi itu semua menyangkal dan tidak ada yang mengakui mayat itu sebagai bekas anggauta mereka. Melihat ulah itu, Lili yang nakal dan galak lalu berkata kepada sucinya, cukup keras sehingga terdengar oleh semua orang.

"Suci, pernahkah engkau mendengar ada orang berani mengakui cacat cela dan kesalahannya? Aku sendiri belum pernah!"

Sui In menjawab dengan suara dingin, "Yang berani melakukan pengakuan seperti itu hanyalah orang-orang gagah saja, sumoi."

Mendengar ini, wajah Souw Kiat menjadi semakin merah.

Matanya melotot dan dia memandang kepada dua orang wanita itu. "Ji-wi li-hiap, bukan watak kami untuk menyangkal kesalahan yang kami lakukan. Kalau para pembantuku ini mengatakan tidak, berarti memang tidak! Kami bukan pengecut! Akan tetapi kalau ji-wi tidak percaya, kamipun tidak dapat memaksa."

Cu Sul In adalah seorang tokoh persilatan yang sudah banyak pengalaman dan-ia terkenal amat cerdik. Dengan tajam matanya tadi menatap semua wajah pimpinan para pengemis ketika mereka satu demi satu memeriksa mayat itu, dan iapun mengamatiwajah Hek I Kai-pangcu dengan seksama.

Ia percaya bahwa mereka memang tidak berpura-pura, dan ia teringat akan peristiwa yang terjadi di kedai itu. Sikap pengemis baju hitam yang tewas itu terlalu menyolok, terlalu berani dan tidak sesuai dengan kepandaiannya yang tidak berapa hebat, seolah-olah dia sengaja hendak menarik perhatian dengan perbuatan dan sikapnya yang jahat dan membuat kekacauan.

Kemudian muncul pengemis baju kembang dan sepasukan penjaga keamanan yang agaknya sengaja memburukkan pengemis baju hitam. Dan pembunuhan rahasia terhadap pengemis yang mengacau itu! Semua itu merupakan serangkaian peristiwa yang kait mengait dan pasti ada apaapanya.

"Pangcu, apakah Hek I Kai-pang di Lok-yang mempunyai musuh-musuh?" tiba-tiba Sui In bertanya. SouwKiat dan para pembantunya memandang wanita cantik itu dengan heran.

Jilid 6

SOUW KIAT lalu menggeleng kepala. "Sepanjang yang kami ketahui, Hek I Kai-pang tidak mempunyai musuh. Musuh kami hanyalah orang-orang Mongol, akan tetapi setelah mereka diusir, kami tidak mempunyai musuh. Kenapa li-hiap bertanya tentang itu ?"

"Jawab sajalah," kata Sui In berwibawa, "Bagaimana dengan Hwa I Kai-pang? Apakah mereka bukan musuh Hek I Kai-pang?"

Souw Kiat saling pandang dengan para pimpinan cabang.

"Hwa I Kai-pang? Aih, lihiap, Hwa I Kai-pang adalah segolongan dengan kami. Mereka adalah rekan-rekan kami dan Hwa I Kai-pang adalah perkumpulan yang menguasai daerah timur, sedangkan kami menguasai daerah barat.

Batasnya justeru di Lok-yang ini, maka di kota ini terdapat anggauta-anggauta kedua perkumpulan. Akan tetapi di antara kami tidak pernahada permusuhan."

"Hemm, kulihat tadi sikap pengemis baju kembang itu tidak bersahabat terhadap pengemis baju hitam. Bahkan dia memburukkan Hek I Kai-pang di depan umum dan di depan perwira yang memimpin pasukan penjaga keamanan." Sui In mendesak.

Souw Kiat mengerutkan alisnya. "Hemmm, terus terang saja, lihiap, memang ada persaingan di antara kami, maklum karena Lok-yang merupakan perbatasan. Kami sama-sama ingin agar hubungan kami lebih dekat dengan para penguasa, dan mendapat nama baik di kota sehinggabanyak hartawan suka menderma kepada kami. Hanya persaingan, akan tetapi bukan permusuhan, tidak pernah terjadi bentrokan ...." dia berhenti dan mengamati wajah cantik itu. "Akan tetapi kenapakah, lihiap?"

"Orang ini bukan anggauta Hek I Kai-pang akan tetapi dia memakai pakaian Hek I Kai-pang dan mengaku anggauta. Dia bersikap jahat dan membuat kekacauan di tempat umum yang ramai. Kemudian, dia dibunuh secara rahasia dan kebetulan sekali di sana muncul pasukan penjaga keamanan yang menyaksikan kejahatan yang dilakukan anggauta Hek I Kaipang, diperkuat oleh pengakuan semua orang yang berada di sana. Nah, kalau orang ini benar bukan anggauta Hek I Kaipang, kemungkinannya hanya satu, yaitu bahwa orang ini palsu sengaja dibayar oleh pihak yang ingin memburukkan nama Hek I Kai-pang, lalu membunuhnya agar dia tidak membocorkan rahasia itu."

"Ahhh ....." Souw Kiat dan para pembantunya berseru kaget dan penasaran. "Tapi ...... tapi ......." "Souw pangcu, ceritakan, apakah di antara Hek I Kai-pang dan Hwa I Kai-pang terjadi perebutan sesuatu? Sekarang atau dalam waktu dekat ini?" Souw Kiat mengerutkan alisnya, "Tidak ada perebutan sesuatu atau ..... ah, mungkinkah? Dalam waktu dekat ini, sebulan lagi, seluruh kai-pang di empat penjuru memang sedang direncanakan mengadakan pertemuan besar dan kami semua sudah sepakat untuk mengangkat atau menunjuK seseorang untuk menjadi pemimpin besar kai-pang yang menjadi atasan atau penasihat dari semua ketua empat kaipang terbesar di empat penjuru. Tapi .......... "

"Souw-pangcu, ceritakan kepadaku tentang semua itu, tentang keadaan semua kai-pang dan apa yang akan dibicarakan dalam pertemuan itu, dan siapa pula sekarang yang menjadi pemimpin besar kai-pang."

Kini ketua Hek I Kai-pang mengubah sikapnya dan menatap tajam wajah Sui In. Kemudian, terdengar suaranya yang tegas. "Maaf, Cu-lihiap. Semua itu adalah urusan pribadi kaipang, tidak ada sangkut-pautnya dengan lihiap. Kami tidak boleh bicara tentang urusan dalam kai-pang kepada orang luar. Dan pula, untuk apa lihiap hendak mengetahui semua itu? Tidak ada manfaatnya bagi lihiap."

"Souw-pangcu. Ketahuilah bahwa aku telah mengambil keputusan untuk mendapat dukungan Hek I Kai-pang, bahkan mewakili Hek I Kai-pang dalam pemilihan pemimpin besar kaipang nanti."

Tentu saja ketua itu terkejut, dan para pembantunya juga memandang heran dan kaget. "Ah, apa maksud lihiap? Bagaimana mungkin lihiap sebagai orang luar dapat mewakili perkumpulan kami? Dan dukungan apa yang dapat kami berikan kepada lihiap?"

"Tentu saja mungkin kalau memang engkau sebagai ketua Hek I Kai-pang menyetujui, pangcu. Aku dan sumoiku dapat saja menjadi anggauta rombongan Hek I Kai-pang dalam pertemuan rapat besar itu. Adapun dukungan yang kuminta itu agar Hek I Kai-pang mendukung dipilihnya calon yang akan kuajukan dalam rapat itu, yaitu calon pemimpin besar kaipang!"

Souw Kiat bangkit dari tempat duduknya, alisnya berkerut dan mukanya berubah merah. Juga para pembantunya banyak yang bangkit dan memandang kepada dua orang wanita itu dengan marah.

"Cu-lihiap, permintaanmu itu sungguh tidak mungkin!

Pemimpin besar kai-pang kelak akan mewakili kai-pang untuk mengadakan pemilihan beng-cu di dunia persilatan!

Bagaimana seorang yang bukan pangemis dapat menjadi calon pemimpin besar kai-pang? Dan juga lihiap tidak berhak untuk mencampuri urusan kai-pang!"

Sui In tersenyum dingin dan memandang kepada ketua itu dengan sinar mata tajam. "Souw Kiat, mengapa orang seperti engkau dapat diangkat menjadi ketua Hek I Kai-pang? Tentu karena di antara semua tokoh Hek I Kai-pang, engkau yang paling lihai bukan?"

Souw-pangcu memandang tak senang. "Kalau benar begitu, apa hubungannya denganmu?"

Sui In bangkit dengan tenang. "Kalau begitu, aku akan merebut kedudukan ketua Hek I Kai-pang dari tanganmu dengan mengalahkanmu! Kalau aku yang menjadi ketua, tentu aku akan dapat mencalonkan pilihanku itu untuk menjadi pemimpin besar kai-pang." Semua orang menjadi gaduh dan bicara sendiri-sendiri mendengar ucapan wanita cantik yang mereka anggap keterlaluan itu. Souw-pangcu marah bukan main, akan tetapi sebagai orang yang sudah banyak pengalaman, dia dapat menahan diri dan berkata dengan suara yang tegas.

"Cu-lihiap, apakah sesungguhnya yang kaukehendaki! Tidak mungkin Hek I Kai-pang mempunyai ketua seorang wanita.

Dan engkau juga bukanorang pengemis! Bagaimana mungkin Hek I Kai-pang mempunyai ketua seorang wanita yang bukan pengemis? Andaikata ada yang setujupun, seluruh anggauta yang jumlahnya ratusan orang tentu akan merasa berkeberatan!"

"Hemm, kalau begitu, jangan memaksaku untuk merampas kedudukan ketua! Akupun tidak suka menjadi ketua kaum jembel. Aku hanya menghendaki dukungan Hek I Kai-pang untuk memilih calonku menjadi pemimpin besar kai-pang."

"Hemm, lalu siapakah calon yang kaupilih untuk menjadi pemimpin besar kai-pang?" Souw-pangcu bertanya, semakin penasaran.

Dengan wajah dingin namun bibirnya yang amat manis menggairahkan itu tersenyum mengejek, Sui In berkata, suaranya lantang terdengar semua anggauta kai-pang yang berada di situ. "Calonnya adalah aku sendiri! Aku ingin menjadi pemimpin besar kai-pang agar kelak aku dapat mewakili seluruh kai-pang dalam pemilihan Beng-cu."

Semua orang terbelalak, lalu suasana menjadi gaduh. Ada yang tertawa geli, ada yang mengomel panjang pendek, ada pula yang berseru kagum akan keberanian wanita cantik jelita itu. Kalau Sui In tenang-tenang saja menghadapi sikap para pengemis itu, sebaliknya Lili menjadi marah melihat gurunya ditertawakan orang. Biarpun sekarang Sui In telah menjadi kakak seperguruannya, namun dalam beberapa hal ia masih menganggapnya sebagai gurunya.

"Heiii, kalian ini jembel-jembel busuk dan bau! Suci ingin menjadi pemimpin besar kai-pang, kalian tidak cepat menyambutnya dengan baik malah mentertawakan! Hayo siapa yang berani menyatakan tidak setuju, boleh maju melawan aku!"

Sebetulnya karena melihat kedua orang wanita ini datang tidak untuk memusuhi mereka, ketua Souw Kiat tidak ingin memusuhi mereka dan menyambut mereka dengan sikap hormat. Akan tetapi, mendengar permintaan mereka` untuk menjadi ketua Hek I Kai-pang dan kemudian bahkan ingin menjadi pemimpin besar seluruh kai-pang, dia terkejut dan merasa penasaran. Oleh karena itu, ketika wakilnya yang bernama Lu Pi maju menghadapi gadis muda yang galak itu, diapun mendiamkannya saja. Bagaimanapun juga, kedua orangwanita ini harus dihadapi dengan kegagahan kalau dia tidak ingin perkumpulannya menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw. Dipimpin oleh wanita muda yang cantik!

Bagaimana mungkin? Lu Pi adalah seorang laki-laki berusia tigapuluh lima tahun yang bertubuh tinggi kurus, kelihatannya saja lemah dan berpenyakitan, akan tetapi sesungguhnya dia seorang ahii silat yang pandai. Dia memiliki tenaga sin-kang yang kuat, juga memiliki gerakan yang cepat yang licin bagaikan belut.

Oleh karena kepandaiannya itu, maka diadapat diangkat menjadi wakil ketua Hek I Kai-pang dan merupakan tangan kanan Souw Kiat. Orangnya pendiam akan tetapi hatinya keras dan mendengar ucapan Lili tadi, mukanya berubah merah dan diapun sudah meloncat ke depan dara itu. Dengan telunjuk tangan kiri ditudingkan ke arah muka Lili, diapun membentak.

"Bocah sombong, berani engkau menghina Hek I Kai-pang? Aku Lu Pi, wakil ketua Hek I Kai-pang yang akan menghajarmu!" Dia melintangkan tongkat hitamnya, sama dengan tongkat hitam ketua Souw Kiat, di depandada lalu menantang. "Hayo cepat keluarkan senjatamu!"

"Untuk apa senjata? Melawan orang macam engkau ini, dengan tangan kosongpun sudah terlalu kuat!" kata Lili dan kembali ucapannya itu membuat banyak orang terkejut. Ada yang kagum akan keberaniannya akan tetapi lebih banyak yang marah karena, gadis ini dianggap terlalu sombong.

"Sumoi, jangan bunuh orang!" kata Sui In. Ia tidak menghendaki Hek I Kai-pang mendendam kepadanya karena ia membutuhkan bantuan dan dukungan perkumpulan pengemis ini.

"Jangan khawatlr, suci. Aku hanya ingin memberi hajaran kepada anjing kurus ini."

Mendengar ucapan kedua orang wanita itu Lu Pi menjadi semakin marah. Mereka sungguh amat memandang rendah kepadanya. Dia sudah memutar tongkat hitamnya sehingga benda itu berubah menjadi gulungan sinar hitam dan dia berseru lantang.

"Bocah sombong, lihat seranganku!" Tanpa sungkan lagi dia menyerang gadis muda, yang tidak memegang senjata itu.

Wakil ketua ini adalah seorang tokoh kang-ouw yang berpengalaman. Biarpun dia marah bukan main namun dia bersikap waspada dan hati-hati karena dia maklum bahwa sikap sombong gadis itu tentu ditunjang kepandaian yang tinggi.

Setelah membentak sebagai peringatan pembukaan serangan, gulungan sinar hitam itu semakin meluas dan tiba- tiba ujung tongkatnya mencuat dari gulungan sinar itu, menyambar dengan totokan ke arah pundak kiri Lili.

Bagaimanapun juga, Lu Pi agaknya masih teringat bahwa yang diserangnya adalah seorang gadis belasan tahun yang tidak bersenjata, maka serangannya pun masih lunak danhanya ditujukan ke pundak orang untuk menotoknya.

Namun, yang diserang enak-enak saja berdiri santai, sama sekali tidak membuat gerakan untuk menghindarkan diri dari totokan itu. Baru setelah ujung tongkat mendekati pundak, tangan kanannya bergerak ke atas dan jari tengahnya menjentik ke arah ujung tongkat yang orang menyambar pundaknya.

"Takkk!"

Lu Pi terkejut bukan main ketika merasa betapa tangannya tergetar dan hampir saja tongkat itu terlepas dari genggamannya. Ujung jari tengah gadis itu membuat tongkatnya terpental keras! Kini tahulah dia bahwa lawannya bukan sekedar membual belaka. Gadis yang masih amat muda itu ternyata memiliki ilmu kepandaian hebat dan tenaga sinkangnya lewat jentikan jari tadi saja sudah terbukti kekuatannya, Diapun tidak sungkan lagi dan serangan berikutnya dilakukan dengan sungguh-sungguh. Bertubi-tubi ujung tongkatnya mengirim serangkaian totokan maut!

Akan tetapi yang diserangnya tetap tenang dan bahkan enak-enak saja. Lili telah dapat mengukur tingkat kepandaian lawan dan iapun bergerak dengan santai saja, bahkan kedua kakinya jarang digeser, hanya kedua lengannya saja yang bergerak seperti dua ekor ular. Begitu lentur dan begitu aneh gerakan lengannya, sungguh mirip dua ekor ular menari-nari dengan kepala terangkat. Danke manapun ujung tongkat menotok, selalu bertemu dengan "kepala" dua ekor ular itu yang setiap kali menangkis membuat tongkat terpental.

Ketika tongkat kembali meluncur, kini menusuk ke arah tenggorokan gadis itu, Lili menangkis dengan tangan kanannya, sekaligus menangkap ujung tongkat dengan tangannya, gerakannya seperti ular yang membuka moncongnya dan menggigit. Ujung tongkat tertangkap dan sebelum Lu Pi dapat menarik kembali tongkatnya, pergelangan tangannya kena diketuk oleh jari tangan kiri Lili. Seketika lengan kanan itu menjadi lumpuh dan dengan amat mudahnya, tongkat hitam itu sudah berpindah ke tangan Lili.

Gadis itu menggunakan tongkat rampasannya untuk menyerang. Gerakannya aneh dan cepat dan tubuh Lu Pi menjadi bulan-bulan tongkatnya sendiri. Biarpun dia berusaha untuk mengelak dan menangkis, tetap saja gerakannya kalah cepat dan terdengas suara bak-bik-buk ketika tongkat itu menggebuki kepala, punggung, dan pinggulnya. Pukulan itu datang bertubi-tubi dan akhirnya tubuh Lu Pi terpelanting roboh.

Setelah lawannya roboh tanpa menderita luka parah, barulah Lili menghentikan pukulan tongkat. Dia lalu meremas tongkat itu dengan kedua tangannya. Bagian yang diremas itu menjadi hancur berkeping dan ia lalu melemparkan sisa tongkat dan remukannya ke arah tubuh Lu Pi yang mulai merangkak bangun, lalu ia menepuk-nepuk kedua tangannya membersihkan telapak tangan dari remukan kayu tongkat!

Sikapnya angkuh dan memandang rendah sekali.

Semua anggauta kai-pang memandang dengan mata terbelalak. Hampir mereka tidak dapat percaya bahwa wakil ketua mereka yang amat lihai dengan tongkatnya itu, dalam beberapa gebrakan saja roboh, bahkan setelah dipermainkan oleh dara remaja ltu, seperti seorang dewasa mempermainkan seorang kanak-kanak saja! Lu Pi juga tahu diri. Dia maklum sepenuhnya bahwa dia bukanlah lawan gadis itu, maka dengan muka pucat dan kepala ditundukkan, diapun mundur ke sudut.

Kini Lili menghadapi Souw Kiat dan berkata dengan nada meremehkan. "Nah, pangcu. Apakah engkau juga masih berkeras tidak mau menyerahkan kedudukan kepada suciku ini?"

Wajah Souw Kiat nampak suram. Diapun sudah melihat sendiri kekalahan wakilnya dan diapun tahu bahwa melawan gadis remaja itu saja, dia tidak akan menang, Dia tidak sanggup mengalahkan Lu Pi seperti yang dilakukan gadis itu, sedemikian mudahnya! Apa lagi kalau harus melawan kakak seperguruan gadis itu, seorang wanita yang tidak muda lagi walaupun masih nampak segar dan cantik, yang tentu lebih lihai lagi dibandingkan adik seperguruannya.

"Aku Souw Kiat menjadi Hek I Kai-pangcu mengandalkan kepandaian silatku. Kalau ada yang hendak merampas kedudukan ini, harus juga melalui adu kepandaian," katanya akan tetapi dengan lemah seolah-olah tidak bersemangat.

"Kalau begitu bangkitlah dan mari kita mengadu kepandaian!" tantang Lili.

"Sumoi, apakah engkau ingin menjadi ketua Perkumpulan pengemis ini?" tanya Sui In.

Lili terbelalak dan menggeleng kepala kuat-kuat. "Aih, siapa ingin mengetuai para jembel ini, suci? Tidak, aku hanya mewakilimu merampas kedudukan ketua di sini!"

"Kalau tidak, mundurlah, sumoi. Aku yang ingin menjadi ketua, maka harus aku pula yang merampas kedudukan itu dari tangan Souw-pangcu."

Dengan tenang Sui In bangkit dan melangkah ke tengah ruangan itu, lalu memandang kepada Souw Kiat dan berkata, "Souw-pangcu, aku Cu Sui In menantangmu untuk mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang lebih pantas menjadi ketua Hek I Kai-pang!"

Souw Kiat bangkit dan dengan lemas dia melangkah ke tengah ruangan menghadapi wanita cantik itu. Dia maklum bahwa kedudukannya terancam.

Souw Kiat memberi hormat dan berkata. "Cu-lihiap, sungguh sikap lihiap ini amat membingungkan hati kami.

Bagaimana seorang wanita cantik seperti lihiap begitu ingin menjadi pemimpin besar kai-pang? Apakah alasannya? Dan sebelum kita bertanding, kalau boleh kami mengetahui, dari partai manakah lihiap datang? Kami Hek I Kai-pang selalu menghargai kegagahan dan ingin bersahabat dengan semua golongan."

"Sudah kukatakan tadi, aku ingin menjadi ketua Hek I Kaipang agar aku mendapat dukungan kalau ada pemilihan pemimpin besar Kai-pang. Tujuanku bukan menjadi pemimpin besar kai-pang, melainkan agar aku dapat mewakili seluruh kai-pang untuk mengadakan pemilihan beng-cu."

Souw Kiat terbelalak. "Apakah ..... apakah? lihiap yang semuda ini berkeinginan menjadi beng-cu?" Sui In menggeleng kepala. "Bukan aku calon beng-cu, melainkan ayahku." "Siapakah ayah lihiap? Bolehkah kami mengetahui nama besarnya?"

"Ayahku adalah See-thian Coa-ong Cu Kiat."

Mendengar ini, terdengar seruan-seruan kaget dan Souw Kiat sendiri segera memberi hormat lagi kepada Sui In. "Ah, kiranya lihiap puteri locianpwe See-thian Coa-ong!" "Lu-siauwte, engkau tidak perlu merasa penasaran! Engkau telah dikalahkan seorang murid dari locianpwe See-thian Coaong!" seru ketua Hek I Kai-pang itu kepada wakilnya dan wajah Lu Pi yang tadinya muram kini berseri. Kalau dikalahkan seorang murid dari datuk besar itu tentu saja lain halnya.

Namanya tidak akan rusak, berarti dia tidak dikalahkan oleh gadis sembarangan!

"Cu-lihiap, kalau begitu kiranya tidak perlu lihiap menjadi ketua Hek I Kai-pang. Kelak kalau ada pemilihan pimpinan seluruh kai-pang, lihiap akan kami dukung sebagai calon." "Souw-toako, bagaimana mungkin itu? Kalau Cu-lihiap bukan ketua kai-pang, bahkan bukan anggauta, bagaimana mungkin diajukan sebagai calon pemimpin seluruh kai-pang?"

Lu-pangcu mengingatkan ketuanya.

Souw Kiat mengangguk dan mengerutkan alisnya. "Benar juga ucapan Lu-siauwte. Bagaimana mungkin kami kelak mendukung kalau lihiap bukan seorang ketua ?" Dia menghela napas panjang. "Agaknya tidak dapat dihindarkan lagi, terpaksa aku mohon petunjukmu, lihiap. Kalau aku kalah, maka barulah lihiap berhak menjadi ketua Hek I Kai-pang."

"Hemm, silakan maju, pangcu," kata Sui In dan dengan sikap tenang ia menanti ketua itu untuk bergerak menyerang.

Akan tetapi Souw Kiat nampak tidak bersemangat. Begitu mendengar bahwa, wanita cantik ini puteri See-thian Coa-ong, dia sudah menjadi jerih. Apa lagi tadi ia melihat wakilnya dengan amat mudah dikalahkan sumoi dari wanita ini.

"Cu-lihiap, dalam hal ilmu silat aku tidak akan menang melawanmu. Akan tetapi kalau lihiap mampu mengalahkan aku dalam hal tenaga sin-kang, aku akan mengaku kalah, dan akan merasa bangga mempunyai ketua baru seperti lihiap."

Sui In tersenyum. "Baik, kau mulailah!"

Ketua Hek I Kai-pang yang bertubuh tinggi besar itu lalu berdiri tegak, kedua lengannya diangkat ke atas kedua tangan dikembangkan dan diapun mengerahkan tenaga, membuat gerakan seperti memetik buah-buah dari atas, kemudian kedua tangan diturunkan ke bawah dan terdengar bunyi tulang-tulang lengannya berkerotokan. Kedua tangannya berkembang ke bawah dan kembali membuat gerakan seperti mencabuti rumput-rumput dari bawah, kemudian kedua tangan naik lagi. dengan jari-jari terbuka menempel di kanan kiri pinggang. Mukanya berubah merah, seluruh tubuhnya tergetar, terisi tenaga sin-kang yang dihimpunnya tadi.

Sui In maklum bahwa lawan telah mengumpulkan tenaga sakti dan siap menyerangnya, maka iapun mengangkat kedua tangan ke atas, lurus, lain kedua tangan itu turun membuat gerakan melengkung seperti membentuk lingkaran, berhenti di depan dada seperti memondong anak, perlahan-lahan kedua tangan itu diturunkan ke kanan kiri tubuh, tergantung lepas dan lurus seperti tidak bertenaga lagi. Ia tersenyum dan berkata, "Aku telah siap, pang-cu. Mulailah!"

Souw Kiat tidak menjawab, melangkah maju sampai dekat di depan wanita itu. Hidungnya mencium keharuman yang keluar dari pakaian Sui In dan dengan cepat dia mematikan penciuman itu agar tidak mengganggu konsentrasinya.

Kemudian, sambil mengerahkan tenaga dari bawah pusar, disalurkannya ke seluruh kedua lengannya, diapun membuat gerakan mendorong dengan kedua tangan terbuka, ke arah dada Sui In. Terdengar angin yang dahsyat menyambar keluar dari kedua tangan itu.

Sui In segera menyambutnya dengan kedua tangan pula yang diluruskan ke depan, dengan jari terbuka pula.

"Plakkkk" Dua pasang telapak tangan itu saling bertemu, melekat dan mulailah keduanya mengerahkan tenaga sakti mereka untuk saling mendorong dan mengalahkan lawan.

Nampaknya kedua orang itu seperti main-main saja, namun semua orang maklum bahwa adu tenaga yang dilakukan secara diam tanpa bergerak ini bahkan lebih berbahaya dari pada adu silat yang penuh pukulan, tendangan, elakan dan tangkisan.

Souw Kiat memang cerdik. Melihat ilmu silat Lili tadi saja, dia tahu bahwa dalam ilmu silat dia bukan tandingan wanita cantik ini. Akan tetapi dia memiliki sin-kang yang terkenal kuat, maka dia hendak mencari kemenangan melalui adu tenaga sakti. Ketika mula-mula kedua telapak tangannya bertemu dengan tangan wanita itu, dia merasa betapa telapak tangan itu lembut, lunak dan hangat. Dia lalu mengerahkan tenaga untuk mendorong, akan tetapi bertemu dengan tenaga lunak itu, tenaganya seperti batu ditekankan ke air, tenggelam! Kemudian, telapak tangan yang halus itu menjadi panas sekali. Souw Kiat cepat mengerahkan tenaganya untuk melawan hawa panas yang seperti membakar telapak tangannya. Namun, kedua telapak tangan halus itu makin lama semakin panas dan ada tenaga dorongan yang amat kuat keluar dari tangan itu. Souw Kiat mengerahkan seluruh tenaga untuk bertahan dan tak lama kemudian, dahi dan lehernya sudah penuh keringat, dan dari kepalanya mengepul uap. Merasa betapa kedua kakinya mulai goyah dan kudakudanya terbongkar, dia makin mempertahankan sekuat tenaga. Semua orang yang menyaksikan pertandingan ini, walaupun tidak dapat merasakan, namun dapat melihat perbedaan antara kedua orang yang sedang bertanding sinkang itu. Kalau Souw Kiat berpeluh, kepalanya beruap dan mukanya sebentar merah sebentar pucat, wanita cantik itu masih tenang saja, nampak santai dan tersenyum mengejek.

Tiba-tiba Sui In mengeluarkan bentakan melengking dan tubuh Souw Kiat terangkat ke atas Kedua kakinya naik sampai satu meter dari tanah! Biarpun Souw Kiat berusaha untuk membuat tubuhnya menjadi berat, tetap saja dia tidak mampu menandingi tenaga yang mengangkat tubuhnya itu. Mukanya berubah pucat karena dia berada dalam bahaya maut!

Kalau dilanjutkan adu tenaga sin-kang ini, dia akan terpukul oleh tenaganya sendiri yang membalik dan akan terluka parah, mungkin tewas. Dia berusaha melepaskan kedua tangan dari tangan lawan, namun dua pasang tangan yang bertemu itu seperti telah melekat dan tidak dapat dipisahkan lagi!

Mendadak, Sui In mengeluarkan bentakan nyaring, kedua tangannya mendorong dan tubuh Souw Kiat terlempar sampai empat lima meter jauhnya dan tubuhnya terbanting keras di atas lantai. Dia menderita nyeri pada pinggul yang terbanting, akan tetapi tidak menderlta luka dalam. Tahulah dia bahwa wanita itu selain sakti, juga tidak mempunyai niat buruk terhadap dirinya yang tadi sudah berada di ambang maut, Diapun bangkit, memberi hormat dengan hati kagum dan berkata, "Saya mengaku kalah dan terima kasih atas pengampunan lihiap."

"Hemm, sekarang engkau membolehkan aku menjadi ketua Hek I Kai-pang? Atau masih ada anggauta kai-pang lainnya yang merasa tidak suka?" tanya Sui In.

Tidak ada seorangpun yang berani menjawab. Bahkan mereka harus mengakui bahwa wanita cantik ini jauh lebih lihai dari pada pangcu mereka, dan sudah sepatutnya menjadi ketua baru. Akan tetapi, merekapun tidak suka mendukungnya karena Hek I Kai-pang tentu akan menjadi bahan tertawaan para kai-pang yang lain kalau mereka mendengar bahwa Hek I Kai-pang diketuai oleh seorang wanita muda yang cantik.

"Cu-lihiap, saya dan seluruh anggauta Hek I Kai-pang, tentu akan suka sekali kalau lihiap memimpin kami. Akan tetapi saya khawatir justeru Cu-lihiap sendiri yang tidak mau menjadi ketua kami."

Lili bangkit dari tempat duduknyadan menudingkan telunjuk kanannya ke arah Souw Kiat. "Heii, Souw-pangcu.

Jangan kau plintat-plintut! Hek I Kai-pang selama ini dipimpin oleh orang-orang yang tidak becus, maka mudah saja menjadi permainan perkumpulan lain seperti Hwa I Kai-pang.

Sekarang,suci dengan mudah mengalahkanmu, maka ia berhak menjadi pangcu. Kenapa engkau malah mengatakan bahwa suci tidak mau menjadi ketua? Omongan macam apa itu ?"

"Harap ji-wi lihiap (berdua pendekar wanita) tidak salah paham dan suka mendengarkan keterangan kami," kata Souw Kiat. "Hek I Kai-pang sejak puluhan tahun telah mempunyai suatu peraturan tertentu yang sama sekali tidak boleh dilanggar mengenai pengangkatan seorang ketua baru. Selain seorang ketua baru harus menjadi orang yang paling tinggi ilmu kepandaiannya di antara seluruh anggauta, juga sebagai ketua baru dia harus lebih dahulu melakukan sendiri pekerjaan mengemis selama satu bulan, dan dia tidak boleh mengenakan pakaian lain kecuali pakaian hitam. Nah, apakah Cu-lihiap suka memenuhi syarat dalam peraturan itu?"

Dua orang wanita itu saling pandang. Lili tertawa akan tetapi sucinya cemberut dan mengerutkan allsnya "Mengemis? Sebulan dan selalu berpakaian hitam? Wah, aku tidak suka melakukan itu, Souw-pangcul" katanya kemudian. "Akan tetapi aku tetap ingin didukung oleh Hek I Kai-pang dalam pemilihan pemimpin besar kai-pang nanti!"

Kini ketua dan wakil ketua Hek I Kai-pang yang mengerutkan alis dengan bingung.

Tiba-tiba Lu Pi memandang kepada ketuanya dengan wajah berseri. "Ah, hal itu bisa diatur, Souw-toako! Dalam peraturan kita, tidak ada disebut tentang ketua kehormatan! Maka, kita dapat mengangkat Cu-lihiap dan Tang-lihiap sebagai ketua dan wakil ketua kehormatan. Karena tidak ada dalam peraturan, maka mereka tidak terikat oleh peraturan dan persyaratan itu. Dan kelak, dalam pemilihan, tentu kita dapat mendukung Cu-lihiap sebagai calon pemimpin besar kai-pang karena mereka telah kita terima sebagai ketua-ketua kehormatan!"

"Bagus sekali! Engkau benar, siauw-te. Nah, ji-wi lihiap mendengar sendiriusul Lu-siauwte yang amat baik. Apakah jiwi juga setuju dengan usul itu?"

Sui In mengangguk, "Teserah kepada kalian. Bagiku yang terpenting, kalian harus mendukung aku dalam pemilihan pemimpin kai-pang."

Untuk menghormati ketua dan wakil ketua kehormatan itu, Souw-Pangcu dan Lu-Pangcu lalu mengadakan penyambutan dengan pesta. Dan dalam kesempatan ini, Souw Kiat menceritakan tentang keadaan kai-pang (perkumpulan pengemis) di empat penjuru dan tentang pemilihan pemimpin besar kai-pang yang akan diadakan sebulan lagi di kota Lokyang.

Ada empat kai-pang terbesar yang menguasai empat daerah. Di barat adalah Hek I Kai-pang dengan pakaian hitam, di timur Hwa I Kai-pang dengan pakaian kembang-kembang, di utara terdapat Ang-kin Kai-pang dengan tanda sabuk merah di pinggang para anggautanya dan yang berkuasa di selatan adalah Lam-kiang Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Sungai Selatan) yang ditandai dengan topi butut hitam yang dipakai para anggautanya.

"Masih banyak perkumpulan pengemis lainnya, akan tetapi mereka semua hanyalah perkumpulan-perkumpulan kecil yang bernaung di bawah panji kekuasaan empat perkumpulan pengemis yang besar itu," Souw Pangcu melanjutkan keterangannya. "Empat perkumpulan besar itulah yang pada bulan depan nanti akan mengadakan pertemuan untuk memilih seorang pemimpin besar kai-pang yang menjadi penasihat dan sesepuh, yang berwenang memutuskan kalau terdapat pertikaian dan persaingan di antara keempat kaipang."

"Aku pernah mendengar bahwa seluruh kai-pang sudah mempunyai seorang pemimpin besar yang amat sakti dan bijaksana. Ayahku mengenal baik tokoh ini, apakah sekarang dia tidak lagi memimpin para kai-pang!" tanya Sui In.

Souw Pangcu mengangguk-angguk. "Memang benar sekali, Cu-lihiap. Dahulu para kai-pang telah mempunyai seorang sesepuh yang sakti dan bijaksana, yaitu Pek-sim Lo-kai (Pengemis Tua Hati Putih). Selama ada beliau, para kai-pang tidak ada yang berani melakukan penyelewengan dan mereka hidup rukun dan saling bantu dengan kai-pang lainnya. Akan tetapi, semenjak beberapa tahun yang lalu, beliau menghilang dan tak seorangpun mengetahui di mana adanya, masih hidup ataukah sudah mati. Beliau dahulu memimpin kami untuk menentang penjajah Mongol dengan gerakan bawah tanah, bahkan membantu pergerakan Kerajaan Beng. Akan tetapi setelah penjajah Mongol berhasil digulingkan, beliau menghilang. Mungkin karena kini rakyat tidak terjajah lagi, negara berada di bawah pemerintahan Kerajaan Beng, bangsa sendiri, beliau menganggap tidak perlu lagi memimpin para kai-pang."

Sui In juga menceritakanrencananya. "Kai-sar Thai-cu sendiri yang memerintahkan agar dunia persilatan memilih seorang beng-cu (pemimpin rakyat) agar pemerintah mudah mengadakan hubungan dengan para tokoh dunia persilatan.

Nah, dalam rangka inilah aku ingin menjadi pemimpin para kai-pang. Aku ingin mewakili kai-pang dalam pemilihan bengcu itu dan para kai-pang harus mendukung ayahku sebagai calon beng-cu." Mendengar ini, para pimpinan pengemis itu merasa lega.

Kiranya, wanita ini sama sekali bukan menginginkan kedudukan ketua Hek I Kai-pang ataupun pemimpin besar kaipang, melainkan menginginkan kedudukan beng-cu untuk ayahnya. Tentu saja hal itu tidak ada sangkut-pautnya secara langsung dengan Hek I Kai-pang, maka dengan hati lega Souw-pangcu menyatakan kesanggupannya untuk membantu dan memberi dukungan.

Karena pemilihan permimpin besar kai-pang masih sebulan lagi, maka Sui In dan Lili meninggalkan perkumpulan itu, memasuki kota Lok-yang dan menghabiskan waktu untuk berpesiar ke seluruh daerah Lok-yang di mana terdapat banyak daerah wisata yang indah.

___ Dataran tandus di kaki pegunungan, di sebelah dalam Tembok Besar itu merupakan daerah yang amat sunyi.

Letaknya di sebelah utara kota Peking. Daerah yang berbukitbukit dan kadang diseling gurun pasir dan tandus itu merupakan daerah yang mati. Akan tetapi, ketika pasukan rakyat mengejar tentara Mongol pada akhir perang yang meruntuhkan kekuasaan Mongol, daerah ini merupakan daerah pertempuran besar-besaran. Banyak perajurit kedua pihak tewas di daerah ini. Juga banyak pula parapengungsi dan penduduk dusun yang ikut pula dibantai di tempat ini.

Biarpun perang itu sudah berlalu selama belasan tahun, namun masih banyak ditemukan rangka-rangka manusia berserakan di situ, tengkotak-tengkorak dan bahkan senjata.senjata tajam yang sudah berkarat.

Pada siang hari itu, seorang kakek melintasi daerah tandus yang terakhir dan kini dia melepas lelah di hutan pertama, di bawah pohon besar yang rindang, berteduh dari terik matahari. Di dalam perjalanan tadi dia memungut sebuah tengkorak yang bersih, dan kini dia duduk di bawah pohon sambil memegangi tengkorak itu, menghadapkan muka tengkorak kepadanya dan dia mengajak tengkorak itu bercakap-cakap!

Dia seorang pria tua, mungkin mendekati tujuhpuluh tahun usianya. Pakaiannya jelek sekali, sudah robek di sana sini dan penuh tambalan. Akan tetapi anehnya, pakaian yang butut itu nampak bersih, seperti habis dicuci. Kedua kakinya telanjang tanpa alas kaki, dan celana yang robek dan buntung sebatas lutut itu memperlihatkan betis yang kecil kurus hampir tak berdaging. Kakek ini tubuhnya sedang akan tetapi kurus, kepalanya besar dan mukanya seperti muka singa karena rambut, cambang, kumis dan jenggotnya tebal dan awutawutan melingkari muka itu.

Rambutnya sudah banyak yang putih, demikian pula kumis dan jenggotnya, dibiarkan tumbuh liar tak terpelihara rapi.

Akan tetapi rambut dan kumis jenggotnya halus seperti kapas, juga bersih, tanda bahwa biarpun dia tidak pernah menyisir rambutnya akan tetapi rambut dan kumis jenggot itu sering dicuci bersih. Sepasang matanya seperti mata kanak-kanak, nampak berseri gembira, mulutnya yang sudah tidak bergigi lagi itupun selalu tersenyum, bibirnya merah tanda bahwa dia sehat.

Kalau dikatakan dia seorang kakek jembel, kurang pantas karena pakaian dan seluruh tubuhnya nampak sehat dan bersih. Akan tetapi kalau bukan jembel, kenapa pakaiannya penuh tambalan dan robek-robek. Sebuah caping lebar tergantung di punggungnya, baru saja dilepas dari atas kepalanya ketika dia menjatuhkan diri duduk di bawah pohon itu. Kini dia bicara kepada tengkorak yang dipegangnya, seperti orang bicara kepada seorang sahabatnya saja.

"Hayo jawablah!" Dia mengulang. "Selagi hidup engkau tentu cerewet bukan main, kenapa sekarang diam dalam seribu bahasa?" Dia terkekeh. Suara kakek itu lirih dan ringan, seperti suara anak-anak.

"Hayo katakan, apakah engkau dahulu seorang wanita yang cantik jelita ataukah wanita yang buruk rupa? Seorang laki-laki yang jantan perkasa ataukah seorang laki-laki yang lemah berpenyakitan? Apakah engkau dahulu seorang panglima? Ataukah perajurit biasa ? Hartawan ataukah pengemis?"

Kalau ada orang lain melihat dan mendengatnya di saat itu, tentu kakek ini akan dianggap seorang yang tidak waras, seorang gila atau setidaknya sinting.

"Coba jawab. Engkau dahulu seorang pembesar yang jujur bijaksana, ataukah seorang pembesar yang korup dan penindas rakyat? Seorang hartawan yang dermawan ataukah yang pelit? Ataukah engkau seorang pendeta yang penuh kasih sayang dan arif bijaksana, ataukah seorang pendeta munafik yang pura-pura alim? Ha..ha..ha, apapun adanya engkau dahulu, sekarang tiada lebih hanya sebuah tengkorak!

Mana itu kecantikan atau ketampananmu, mana hartamu, mana kedudukanmu? Ha..ha..ha, engkau kini hanya pantas untuk menakut-nakuti anak-anak saja!" Kakek itu tertawatawa.

"Heii, tengkorak! Selagi hidup haruslah ada manfaatnya!

Jadilah seperti para pemimpin yang membimbing rakyat dengan bijaksana dan adil menuju ke arah kehidupan yang makmur, seperti para cerdik pandai yang memberi pelajaran yang bermanfaat bagi orang lain, seperti para pendekar yang selalu menegakkan dan membela kebenaran dan keadilan, seperti para pendeta yang benar-benar mengabdi kepada Tuhan, memberi penyuluhan dan bimbingan kepada orang lain ke arah jalan benar. Mereka meninggalkan hasil karya dan nama baik mereka, sehingga matipun tidak menyesal karena sudah berjasa semasa hidupnya. Dan engkau, apa jasamu terhadap orang lain, terhadap negara dan bangsa, dan terutama terhadap Tuhan?"

Kini kakek itu tidak tertawa lagi, melainkan menghela napas panjang. Kemudian terdengar lagi dia berkata, "Kuharap saja engkau dahulu bukan seperti para muda yang tidak jujur, yang suka mengintai orang dan tidak berani muncul secara berterang, tengkorak. Kalau begitu halnya, engkau tidak pantas kuajak bicara!" Dia meletakkan tengkorak itu di atas tanah dan pada saat itu, dari balik sebatang pohon besar berloncatan keluar seorang pemuda dan seorang gadis.

Mereka tadi bersembunyi sambil mengintai dan mendengarkan ulah kakek jambel itu dengan terheran-heran, dan ucapan terakhir kakek itu yang menyindir mereka yang sedang mengintai, mengejutkan mereka dan keduanya segera berloncatan keluar. Mereka menghampiri kakek itu dan memberi hormat.

"Kakek yang baik, harap maafkan kami yang tadi bersembunyi di sana." Kata pemuda itu dengan sikap yang sopan.

Kakek itu terkekeh dan memandang kepada dua orang muda itu dan hatinya merasa senang. Dia adalah seorang kakek yang sudah banyak makan garam, sudah luas sekali pengalamannya dan dia dapat menilai orang hanya dengan melihat sinar matanya saja.

Pemuda itu berusia duapuluh satu tahun, berkulit gelap, tubuhnya tinggi tegap dan wajahnya tampan dan gagah.

Dahinya lebar, sepasang alis tebal berbentuk golok melindungi sepasang mata yang lebar dan bersinar-sinar. Akan tetapi matayang bersinar tajam itu amat lembut dan ini saja sudah menyenangkan hati si kakek, apa lagi melihat pemuda itu begitu muncul sudah minta maaf kepadanya!

Dan gadis yang muncul bersama gadis itupun mengagumkan hatinya. Dara itupun sebaya dengan si pemuda,wajahnya lonjong dengan dagu runcing. Setitik tahi lalat menghias dagu kanannya. Matanya juga tajam bersinar, namun lembut. Bibirnya merah segar dan sikapnya halus dan anggun.

"He..he..heh!" kakek jambel itu terkekeh setelah mengamati wajah kedua orang muda itu. Wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan. "Kenapa kalian minta maaf kepadaku? Tempat ini bukan milikku. Siapa saja boleh datang dan pergi. Akan tetapi kenapa kalian main sembunyi-sembunyi? Kalian bukan sepasang kekasih yang melarikan diri dari orang tua kalian, bukan?"

Wajah dua orang muda itu berubah kemerahan, akan tetapi keduanya tersenyum dan tidak menjadi marah. Ucapan kakek itu wajar dan sebagai kelakar yang sopan, tidak bermaksud menghina.

"Sama sekali bukan, locianpwe(orang tua gagah)."

"Heii! Kenapa engkau menyebut aku seorang jembel tua dengan sebutan locianpwe! Aku hanya pandai makan dan minta-minta!"

"Harap locianpwe tidak merendahkan diri. Locianpwe tadi dapat mengetahui bahwa kami bersembunyi, hal itu saja sudah menunjukkan bahwa locianpwe memiliki penglihatan dan pendengaran yang tajam sekali," kata pemuda itu.

Kakek itu memandang dengan kagum. "Haii, engkau cerdik juga. Nah, katakan mengapa kalian bersembunyi tadi."

"Kami melihat dan mendengar semua kata-katamu, locianpwe. Karena kami tidak ingin mengganggumu, maka kami bersembunyi. Ucapan locianpwe kepada tengkorak tadi sungguh menyentuh perasaan kami. Akan tetapi, locianpwe, mengapa locianpwe seperti orang yang berputus-asa dan melihat dunia ini dari seginya yang mengecewakan dan menyedihkan belaka? Bukankah masih banyak segi lain yang menggembirakan?"

Tiba-tiba sepasang mata yang lembut dan ramah itu mencorong, mengejutkan hati pemuda itu. Lalu kakek itu menghela napas panjang, pandang matanya melembut kembali. "Aihhh, siapa yang tidak akan merasa kecewa dan bersedih, orang muda? Kalau aku mengenang semua peristiwa yang terjadi selama beberapa tahun ini, sejak perang yang meruntuhkan pemerintah penjajah Mongol. Aihh, sungguh menyedihkan ......" Pemuda itumengerutkan alisnya. "Akan tetapi, locianpwe, bukankah peristiwa itu amat membahagiakan rakyat? Bukankah perang itu yang berhasil melepaskan rakyat dari pada cengkeraman penjajah? Kenapa locianpwe malah menyatakan kecewa dan sedih? Bukankah sudah selayaknya kalau kita bersyukur, bahkan kalau bisa membantu perjuangan rakyat mengusir penjajah?"

Kakek itu menatap wajah pemuda yang bicara dengan sikap penasaran itu beberapa lamanya, kemudian dia tertawa bergelak sambil memandang ke angkasa. "Ha..ha..ha..ha, lucunya! Engkau memberi kuliah kepadaku tentang perjuangan? Ha..ha..ha, orang muda, ketahuilah bahwa selama perang melawan Mongol, aku selalu berada di garis terdepan!"

Pemuda dan gadis itu cepat memberi hormat. "Kiranya locianpwe seorang pahlawan!" kata gadis itu, baru pertama kali bicara.

"Apa pahlawan? Apa artinya sebutan itu? Kalian tahu, ketika rakyat bergerak dan berjuang melawan penjajah Mongol, aku merasa bangga dan gembira bukan main. Hampir dapat dikatakan bahwa semua golongan, tidak perduli dari aliran mana, bersatu padu dan bekerja sama, bahu membahu dalam perjuangan, rela setiap saat berkorban nyawa. Akan tetapi, kegembiraan itu hanya sebentar! Aih, seperti awan tipis tertiup angin saja. Segera terganti kedukaan ketika aku melihat betapa perangitu mengakibatkan jatuhnya korban yang teramat besar. Banyak rakyat jelata yang tidak berdosa menjadi korban, Tidak perduli wanita, kanak-kanak, orangorang jompo, semua tak terkecuali, banyak yang roboh dibantai orang! Perang itu mengakibatkan banjir darah!"

"Apa anehnya hal itu, locianpwe? Setiap peperangan tentu saja menjatuhkan banyak korban. Setiap perjuangan tentu saja membutuhkan pengorbanan. Pengorbanan rakyat tidak sia-sia, locianpwe. Mereka yang tewas dalam perang itu. baik dia perajurit maupun rakyat, adalah pahlawan dan darah mereka yang membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah. Kematian mereka yang mendatangkan kebebasan dan kemakmuran .........."

"Kemakmuran siapa, orang muda? Inilah yang menyedihkan hatiku. Kami dahulu dengan senang hati membantu perjuangan yang dipimpin pendekar Cu Goan Ciang yang gagah perkasa, bahkan sampai sekarangpun, setelah menjadi Kaisar Thai-cu, kami masih menaruh rasa hormat kepada dia. Dia memang seorang pejuang sejati, seorang pemimpin sejati. Sekarang. pun dia menjadi kaisar yang bijaksana, yang tidak mabok kemenangan, tidak mabok kemuliaan dan kesenangan. Dia terus membangun yang rusak oleh perang, dibantu oleh para pejabat yang setia dan bijaksana .........." "Nah, bukankah hal itu menggembirakan sekali, locianpwe?"

"Uhhh, engkau hanya tahu satu tidak tahu selebihnya yang jauh lebih banyak. Aku melihat hal-hal yang menyedihkan sebagai akibat perang, atau menyusul perjuangan yang luhur itu. Kalau dahulu, semua golongan bersatu padu menyerang penjajah, ehh, sekarang malah terjadi perpecahan antara kita dengan kita sendiri, karena saling berebutan! Saling memperebutkan pengaruh, kedudukan dan kekuasaan yang pada hakekatnya saling memperebutkan kesenangan duniawi!

Orang-orang tidak mungkin akan memperebutkanpengaruh, kedudukan dan kekuasaan kalau di situ tidak terdapat kesenangan! Jadi, yang diperebutkan adalah kesenangan! Dan dalam perebutan ini, mereka tidak segan-segan untuk saling serang dan saling bunuh! Bukan itu saja, akan tetapi lihat keadaan para pembesar! Mereka tidak pantas disebut pemimpin, mereka adalah pembesar yang membesarkan perut sendiri. Mereka melakukan korupsi, mencuri dan menipu uang negara, menindas yang bawah menjilat yang atas, bahkan banyak yang lebih tamak dan lebih murka dibandingkan penjajah Mongol sendiri! Dan Kaisar yang bijaksana itu bagaimana mungkin dapat mengetahui semua yang terjadi di antara laksaan orang pejabatnya?" "Akan tetapi, locianpwe, aku tidak setuju! Tidak semua pejabat seperti yang locianpwe katakan tadi! Masih banyak yang merupakan pejabat sejati, setia kepada pemerintah, jujur dan tidak mementingkan diri sendiri!" Gadis itu kini berseru penasaran.

"Ha..ha..ha, hanya berapa gelintir orang saja yang seperti itu? Dan ..... eh, kenapa aku bicara dan berdebat dengan dua orang muda yang sama sekali tidak kukenal?" Dia menepuk kepala sendiri dan mengomel, akan tetapi sambil tersenyum, "Bu Lee Ki, engkau tua bangka pikun. Sekali waktu bisa celaka oleh celotehmu sendiri!"

Melihat kakek itu kini mengatupkan bibir kuat-kuat dan duduknya bahkan membelakangi mereka, pemuda itu saling pandang dengan si gadis dan keduanya tersenyum.

"Locianpwe, maafkan kami berdua yang masih muda dan lupa untuk memperkenalkan diri kepada locianpwe. Namaku Sin Wan dan ini adalah sumoiku bernama Lim Kui Siang.

Kakek itu tidak menoleh, masih duduk membelakangi mereka, seperti acuh saja. Sin Wan dan Kui Siang kembali saling pandang.

___ Mereka berdua baru saja meninggalkan guru mereka yang tinggal seorang, yaitu Ciu-sian (Dewa Arak) Tong Kui yang telah berhasil mengajarkan Sam-sian Sin-ciang kepada dua orang muridnya itu. Selama hampir setahun dua orang murid itu dengan tekun melatih diri dengan ilmu silat baru hasil ciptaan Tiga Dewa. Setelah Dewa Arak melihat bahwa dua orang muridnya sudah benar-benar menguasai ilmu silat sakti itu, diapun menyuruh mereka turun gunung.

"Aku hendak menghabiskan sisa hidupku di sini, menanti uluran tangan maut yang akan membawa aku menyusul dua orang gurumu yang sudah lebih dahulu meninggalkan kita.

Kalian pergilah dan pergunakan semua kepandaian yang pernah kalian pelajarl dari kami demi keadilan dan kebenaran.

Kui Siang, sebaiknya engkau kembali ke kota raja. Tentu semua harta peninggalan orang tuamu berikut rumahmu masih dirawat baik-baik oleh Ciang-Ciangkun. Dan engkau, Sin Wan, terserah kepadamu hendak ke mana, akan tetapi .....

biarlah sekarang kuceritakan kepada kalian suatu keinginan hati yang sudah kami sepakati bertiga ketika dua orang gurumu yang lain masih hidup. Kami ingin melihat kalian menjadi suami isteri ........" "Suhu ....!" Kui Siang berseru lirih dan mukanya menjadi merah sekali. Ia hanya menunduk. Juga wajah Sin Wan menjadi kemerahan, dan diapun tidak berani berkutik, hanya menunduk.

Sejak masih kecil, hatinya sudah penuh kasih sayang terhadap Kui Siang. Dia menganggap gadis itu seperti adiknya sendiri, Demikian pula Kui Siang nampak sayang kepadanya.

Mungkin kebersihan hati mereka berdua saja yang belum sempat membiarkan panah asmara menembus hati mereka.

Karena itu, begitu Dewa Arak secara terang-terangan menyatakan keinginannya, juga keinginan dua orang guru mereka yang telah tiada, mereka menjadi tertegun dan malu.

"Aihhh, Sin Wan dan Kui Siang. Kalian sudah tahu akan watakku. Aku menjunjung tinggi kebebasan setiap orang dan dalam hal perjodohan, tentu saja tidak boleh ada penekanan dari orang lain. Aku hanya memberitahukan keinginan kami bertiga, hanya mengusulkan saja. Sama sekali tidak akan memaksakan. Terserah kepada kalian berdua. Hanya aku yakin, kedua orang gurumu yang sudah tiada, juga aku sendiri, akan merasa gembira dan puas sekali kalau kalian menjadi suami isteri. Nah, sekarang pergilah kalian, dan jangan mencari aku di sini karena mungkin aku tidak berada di sini lagi. Kalau aku ingin bertemu kalian, aku yang akan mencari kalian."

Demikianlah, dua orang murid itu lalu meninggalkan Dewa Arak dan karena ia tidak mempunyai tujuan lain, Kui Siang pergi ke kota raja, ditemani Sin Wan. Pemuda inipun tidak mempunyai tujuan. Dia hanya menemani sumoinya pulang ke kota raja, baru kemudian dia akan melanjutkan perjalanan, entah ke mana. Mereka sengaja mengambil jalan memutar untuk mencari pengalaman dan pada hari itu, tibalah mereka di hutan dekat daerah tandus itu dan tertarik oleh ulah kakek tua jembe! yang bicara dengan sebuah tengkorak.

___ Kini, kakek tua jembel itu masih duduk membelakangi mereka. Karena Sin Wan dan Kui Siang menganggap bahwa kakek itu menjadi marah dan tidak mau lagi bicara dengan mereka, maka Sin Wan memberi isyarat dengan matanya kepada sumoinya. Kalau orang tua ini tidak lagi mau bicara, merekapun tidak sepantasnya mengganggunya.

"Maafkan, locianpwe. Kami berdua telah lancang mengganggu locianpwe dan sekarang kami hendak pergi saja."

Akan tetapi baru saja keduanya bangkit berdiri, terdengar kakek itu bertanya tanpa menoleh, "Nanti dulu, katakan dulu siapa guru kalian."

Sin Wan saling pandang dengan Kui Siang. Mereka raguragu. Kakek jembel yang tadinya kelihatan amat ramah itu kini seperti orang yang angkuh. Mereka sudah memperkenalkan diri, akan tetapi kakek itu tidak mengatakan siapa dia, dan kini malah menanyakan nama guru mereka. Pada hal mereka tahu benar bahwa tiga orang guru mereka sama sekali tidak ingin nama mereka disebut-sebut kalau tidak penting sekali.

Agaknya, kakek itu dapat membaca isi hati mereka.

"Hemm, jangan kalian menaruh curiga kepadaku. Aku Peksim Lo-kai Bu Lee Ki tidak ingin banyak bicara dengan sembarang orang. Katakan siapa guru kalian agar aku dapat memutuskan untuk melanjutkan percakapan kita ataukah tidak."

Mendengar nama julukan Pek-sim Lo-kai (Pengemis Tua Berhatl Putih) itu, dua orang muda ini tercengang. Mereka pernah mendengar disebut nama julukan itu oleh Dewa Arak, dan guru mereka itu mengatakan bahwa Pek-sim Lo-kai adalah seorang di antara tokoh-tokoh sakti yang tidak palsu dan amat dihormatinya.

"Aih, kiranya locianpwe adalah pemimpin besar seluruh kaipang!" seru Sin Wan.

"Ketiga orang suhu kami. Sam-sian, pernah mencerltakan tentang locianpwe!" kata pula Kui Siang.

Tiba-tiba kakek itu meloncat berdiri sambil membalikkan tubuhnya, menghadapi dua orang muda itu, wajahnya berseri dan senyumnya melebar sehingga matanya menjadi sipit sekali, kemudian dia bahkan tertawa ha..ha..he..he seperti tadi lagi.

"Heh..heh..heh, kiranya kalian adalah murid-murid Samsian! Ha..ha..ha, kalau begitu kita bukan orang lain karena Sam-Sian sudah lama kuanggap sebagai sahabat-sahabat yang paling baik! Bagaimana kabarnya dengan mereka bertiga? Apakah Ciu-sian tetap mabok-mabokan dan ugalugalan, Kiam-sian masih suka berfilsafat dengan pelajaran To, Pek-mau-sian masih suka bersajak?"

Mendengar ini, terbayanglah di depan mata Kui Siang semua itu, wajah ketiga orang gurunya, terutama Kiam-sian dan Pek-mau-sian, dan semua sikap dan gerak-gerik mereka, dan tak tertahankan lagi, kedua matanya menjadi basah.

Biarpun tadi tersenyum dan matanya menyipit nyaris tertutup, ternyata penglihatan kakek itu tajam sekali. Air mata itu belum sempat jatuh, masih tergenang di pelupuk mata, akan tetapi dia sudah cepat menegur.

"Heiiii? Kenapa engkau menangis? Apa yang terjadi dengan Sam-sian?" tanyanya kepada Kui Siang.

Dangan muka ditundukkan karena ia tidak ingin memperlihatkan tangisnya, Kui Siang menjawab, "Suhu Kiamsian dan suhu Pek-mau-sian telah meninggal dunia lebih setahun yang lalu."

Mendengar ini, hanya sejenak saja kakek itu tertegun, lalu dia terkekeh lagi. "Heh..heh..heh, enaknya kalian, Kiam-sian dan Pek-mau-sian! Tidak seperti aku yang masih terseok-seok mengikuti langkah kakiku yang sudah mulai lemah terhuyung ini. Heh..heh. Dan di mana sekarang Dewa Arak?"

Cara kakek itu membicarakan Sam-sian menunjukkan bahwa dia memang sahabat karib mereka, maka Sin Wan yang memberi keterangan. "Suhu Ciu-sian menyuruh kami meninggalkannya dan suhu hendak merantau, entah ke mana karena tidak memberitahu kepada kami berdua."

"Aihh, masih enak dia dari pada aku. Dia bebas, dan aku? Terikat oleh kaipang-kaipang yang brengsek itu! Dahulu, di jaman perjuangan, mereka itu demikian setia, demikian gagah perkasa dan bersatu! Sekarang? Muak aku melihatnya. Saling bermusuhan, saling berebutan, bahkan banyak yang kemasukan kaum sesat! Sangguh memalukan. Karena itu, lebih baik aku merantau dan menjauhi semua tetek-bengek itu!" Baru sekarang nampak wajah yang biasanya berseri itu digelapkan mendung kemurungan. "Mereka itumunafik semua munafik! Segala kebaikan, segala kehormatan, segala keramahtamahan, semuanya munafik! Sama dengan bedak gincu saja, untuk menyembunyikan kulit yang buruk."

Dia menarik napas panjang dan memandang wajah Kui Siang. "Tidak ada hubungannya dengan engkau, anak baik.

Engkau memiliki wajah yang cantik dan bersih, tidak membutuhkan bedak gincu lagi!"

Diam-diam Sin Wan terkejut. Menurut guru-gurunya, Peksim Lo-kai Bu Lee Ki adalah seorang sakti yang gagah perkasa dan ditakuti, juga disegani oleh kawan dan lawan. Dia lihai akan tetapi berhati lembut, adil dan pandai mengatur sehingga seluruh perkumpulan pengemis dari empat penjuru memilih dia sebagai pemimpin besar yang disebut Thai-pangcu (Ketua Besar) dan ditaati seluruh pimpinan semua perkumpulan pengemis. Akan tetapi, sekarang tokoh ini meninggalkan perkumpulan, melarikan diri dari semua hal yang membuatnya kecewa dan penasaran.

"Maaf, locianpwe. Sudah berapa lamakah locianpwe meninggalkan kai-pang?"

"Heh..heh, biar mereka tahu rasa. Biar merekamemilih sendiri pimpinan mereka, agar pimpinan yang baru itu mampus karena pusing kepala! Aku tidak sudi lagi, aku sudah meninggalkan kesemuanya itu sudah bertahun-tahun sedikitnya ada tujuh tahun!"

"Tapi, locianpwe. Menurut para guruku, hanya locianpwe seorang yang dipandang oleh seluruh pimpinan kai-pang di empat penjuru, hanya locianpwe yang dapat mengatur dan mengarahkan mereka agar mereka tetap berjalan di jalan yang benar. Bukankah locianpwe pula yang dahulu memimpin mereka semua membantu perjuanganmenumbangkan pemerintah Mongol? Kenapa locianpwe sekarang malah meninggalkan mereka?"

"Biar! Heh..heh, siapa sudi mengurus orang-orang brengsek itu? Setelah perjuangan selesai, mereka ikut-ikut dengan orang-orang sesat untuk memperebutkan harta benda dan kedudukan, menuntut imbalan jasa atas perjuangan menumbangkan penjajah!"

"Maaf, locianpwe, bukankah itu wajar? Bukankah mereka yang telah berjasa dalam perjuangan memang berhak menerima imbalan?" Sin Wan mengejar, hanya untuk memancing pendapat kakek itukarena dia sendiri sudah melihat betapa sesatnya perbuatan itu.

Sepasang mata itu melotot. "Hehh? Kau hendak menguji aku atau bersungguh-sungguh? Kalau sungguh-sungguh, tidak pantas engkau menjadi murid Sam-sian, apakah guru-gurumu hanya mengajarkan ilmupukulan dan tendangan saja dan tidak membuka matamu melihat kenyataan hidup?"

"Maaf, saya mengharapkan petunjuk dan pelajaran yang amat berharga dari locianpwe." kata Sin Wan.

"Hemm, kalau berjuang mengharapkan imbalan jasa, maka itu bukan perjuangan namanya! Makna perjuangan yang luhur, pengabdian kepada nusa bangsa dengan taruhan nyawa, menjadi pudar dan diisi dengan pamrih demi keuntungan diri pribadi. Pejuang seperti itu dapat melakukan penyelewengan dengan mudah karena yang dipentingkan adalah pamrihnya. Berjuang hanya mempunyai satu tekad, yaitu menghalau penjajah dan membebaskan bangsa dan negara dari belenggu kekuasaan Mongol. Itu saja! Tentu saja setelah berhasil, dilanjutkan dengan mengisi kemerdekaan yang telah diperoleh dengan pengorbanan harta dan nyawa itu. Dan pengisiannya juga merupakan perjuangan yang sama luhurnya, yaitu demi negara dan bangsa, bukan demi penuhnya kantung sendiri, demi keuntungan dan kesenangan diri sendiri! Dan lihat, mereka mulai saling bermusuhan berebutan seperti segerombolan anjing kelaparan memperebutkan tulang-tulang yang berserakan. Memalukan!"

"Dan melihat hal seperti itu, locianpwe malah menjauhkan diri? Sudah benarkah tindakan locianpwe itu?" Sin Wan menegur sambil mengerutkan alisnya yang tebal.

"Eh? Apa maksudmu?"

"Locianpwe, perjuangan suci bukan hanya memerdekakan negara dan bangsa lalu disusul dengan usaha memakmurkan rakyatnya saja. Kalau melihat ada orang-orang yang tidak benar dan berambisi menyenangkan diri sendiri, berarti melihat tikus-tikus yang hendak menggerogoti sarana kemakmuran bagi rakyat. Melihat begitu dan mendiamkannya saja, bahkan menjauhkan diri, sudah benarkah itu? Bukankah berusaha dengan tindakan mencegah terjadinya semua penyelewengan itu, menghentikan semua permusuhan antara bangsa sendiri, antara golongan sendiri, membersihkan mereka yang menipu dan mencuri milik negara, menjamin keamanan bagi rakyat jelata, bukankah itupun merupakan perjuangan yang luhur pula?"

Kakek itu membelalakkan mata memandang kepada Sin Wan, akan tetapi tidak marah, melainkan tersenyum lucu.

"Ehh? Ehh, lanjutkan, lanjutkan!" katanya penuh gairah.

"Kehidupan di seluruh alam mayapada ini dikuasai oleh dua unsur, locianpwe, yaitu Im (negatif) dan Yang (positif).

Keduanya ini yang memutar seluruh alam dan isinya, seluruh kejadian dan seluruh sifat. Bagaimana ada Yang tanpa Im? Bagaimana ada Terang tanpa Gelap, ada Kebaikan tanpa Keburukan dan sebagainya? Hidup ini merupakan tantangan, locianpwe, justeru di sini letaknya seni hidup. Kita harus hadapi setiap tantangan, menghadapinya dan mengatasinya!

Bukan melarikan diri! Inipun perjuangan namanya, perjuangan hidup, yaitu menghadapi dan mengatasi semua tantangan, dengan landasan benar! Tidakkah demikian, locianpwe? Ataukah locianpwe hanya pura-pura saja tidak tahu karena saya yakin locianpwe lebih tahu dari pada kami orang-orang muda ini?"

"Siancai ........! Ini baru suara murid Sam-sian! Hei, orang muda yang baik, engkau menjatakan tadi tentang landasan benar! Nah, kata "benar" ini bagaimana? Setiap orang akan menganggap dirinya benar! Kalau aku sampai berkelahi denganmu, pasti aku akan merasa diriku benar dan engkaupun demikian. Lain, kalau kita berdua merasa benar, lalu siapa yang tidak benar?"

"Locianpwee kalau locianpwe merasa benar dan sayapun merasa benar sehingga kita saling bermusuhan, maka jelaslah bahwa kita berdua sama-sama tidak benar! Kebenaran tak dapat diperebutkan, tidak dapat dimonopoli seseorang.

Kebenaran yang dibela dengan kekerasan sehingga bermusuhan, jelas bukan kebenaran lagi."

"Heh..heh..heh, lalu apa maksudmu mengatakan dengan landasan benar tadi? Kebenaran yang mana yang kau maksudkan?"

"Maaf, locianpwe, kalau pengertian saya masih dangkal dan keliru, mohon petunjuk. Kebenaran mutlak, yang Maha Benar hanyalah Tuhan Yang Maha Esa, yang lainnya, yaitu kebenaran yang diaku oleh manusia hanyalah kebenaran semu yang setiap waktu dapat dinyatakan tidak benar, tergantung waktu, keadaan dan lingkungan. Yang saya maksudkan dengan landasan benar tadi, locianpwe, adalah apabila tindak kita tidak didasari pamrih demi kepentingan dan keuntungan diri pribadi. Yang penting itu pamrihnya, bukan perbuatannya.

Betapapun baik dan indah nampaknya suatu perbuatan, kalau didasari pamrih yang mementingkan diri pribadi, maka perbuatan itu palsu adanya."

"Heh..heh..heh, engkau terlalu keras, orang muda ..... eh, siapa namamu tadi? Sin Wan? Aku mulai tertarik kepadamu.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar