Duabelas orang mengepung dan menggerakkan tangan hendak menangkap wanita itu. Ia tersenyum dan mendengus, "Kalian memang menjemukan!" dan sebelum ada tangan yang dapat menyentuhnya, wanita itu bergerak, tu¬buhnya berkelebatan ke kanan kiri dan terdengarlah guara orang-orang itu mengaduh kesakitan dan duabelas orang itupun roboh satu demi satu. Semua orang terbelalak melihat duabelas orang itu merintih-rintih dengan tulang patah atau muka matang biru. Padahal, wanita itu hanya nampak berkelebatan dan mengge¬rakkan kedua tangannya secara lembut saja.
Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring dan muncul dua orang pria yang pakaiannya gagah seperti yang biasa dipakai oleh para pendekar. Dengan pakaian ringkas, pedang tergantung di punggung, dua orang laki-laki yang usianya sekitar tigapuluh lima tahun ini sudah melompat ke depan wanita cantik itu.
"Dari mana datangnya perempuan jahat, iblis betina yang kejam?” bentak seorang di antara mereka yang rambutnya sudah banyak dihias uban.
Wanita itu mengangkat muka, memandang kepada dua orang itu dengan senyum dingin mengejek. Sejenak ia mempelajari keadaan mereka. Memang ada keanehan pada dua orang yang usianya antara tigapuluh lima sampai empat puluh tahun itu. Keduanya membawa pedang di punggung, dan kalau yang seorang rambut kepalanya sudah banyak putihnya, yang ke dua biar rambutnya masih hitam, akan tetapi jenggot dan kumisnya semua sudah putih!
"Hemm, kiranya Pek-mau Siang-kaw (Sepasang Anjing Rambut Putih) yang muncul! Kalian mau apa?" tanya wanita itu dengan suara lembut.
Dua orang gagah itu saling pandang, membelalakkan mata dan muka mereka berubah merah sekali. Mereka adalah sepasang pendekar yang terkenal di wilayah Hwa-san, terkenal dengan julukan Pek-mau Siang-houw (Sepasang Harimau Rambut Putih) karena mereka memiliki kelainan pada rambut dan jenggot kumis mereka. Akan tetapi wanita cantik ini sengaja mengubah julukan mereka Siang-houw (Sepasang Harimau) menjadi Siang-Kaw (Sepasang Anjing)! Sungguh penghinaan yang berupa ejekan merendahkan.
"Siluman betina, siapakah engkau yang berani bermain gila dan bersikap kurang ajar terhadap Pek-mau Siang-houw?" bentak yang kumisnya putih.
Kini sepasang mata itu mencorong marah dan senyumnya berubah menjadi dingin mengejek. "Anjing-anjing seperti kalian tidak pantas mengenal namaku. Pergilah sebelum engkau tidak hanya menjadi sepasang anjing, melainkan menjadi sepasang bangkai anjing!"
Sungguh hebat penghinaan ini, amat memandang rendah dan makian itu dilakukan di depan banyak orang pula! Pek-mau Siang Houw adalah dua orang bersaudara yang selalu menentang kejahatan sehingga mereka telah membuat nama besar. Kebetulan sekali pada pagi hari itu mereka lewat di situ dan mendengar ribut-ribut. Melihat bahwa yang mengacau di dusun itu hanya seorang wanita cantik setengah tua, mereka masih bersikap sabar dan lembut. Siapa kira wanita itu malah menghinanya.
"Singgg ...!” Keduanya mencabut pedang dari punggung dan nampak sinar berkilat saking tajamnya pedang mereka, berkilauan tertimpa sinar matahari pagi.
Wanita itu sama sekali tidak kelihatan gentar, bahkan mengeluarkan saputangan merahnya dan menghapus keringat dari leher dan mukanya, nampak kesal melihat lagak kedua orang pendekar itu.
"Siluman betina! Keluarkan senjatamu dan hadapi pedang kami!” bentak dua orang pendekar itu.
Mereka melihat betapa wanita itu telah merobohkan dua belas orang dengan mudah, maka merekapun dapat menduga bahwa tentu wanita ini lihai, maka mereka tidak ragu dan sungkan untuk maju bersama, akan tetapi tetap saja mereka tidak suka menyerang lawan seorang wanita yang bertangan kosong dengan pedang mereka.
“Huh, pedang mainan kanak-kanak itu kau pergunakan untuk menakut-nakuti aku? Majulah, agaknya kalian memang sudah bosan hidup!" bentak wanita itu, mengebut-ngebutkan saputangannya di depan leher untuk mengusir panasnya matahari pagi yang makin meninggi.
"Siluman, engkau patut dibasmi dari muka bumi!" bentak kedua orang pendekar itu dan merekapun menyerang dengan pedang mereka dari kanan kiri.
"Wuuuttt, sing-sing ... !” Nampak sinar pedang bergulung-gulung ketika sepasang pedang itu menyambar. Namun, yang diserangnya lenyap dan berkelebat di antara sambaran sinar pedang! Dua orang pendekar itu membalik dan mereka menghujankan serangan kilat ke arah wanita itu. Namun, sungguh hebat gerakan wanita itu. Lembut seperti orang menari saja, namun langkahnya ringan dan seperi bayangan yang tak pernah dapat disentuh sinar pedang! Sampai belasan jurus, dua orang pendekar itu menyerang dengan pengerahan seluruh tenaga mereka dan memainkan jurus-jurus pilihan yang paling ampuh, namun wanita itu tetap saja tidak dapat disentuh pedang mereka. Kemudian, wanita itu menggerakkan saputangan suteranya yang panjangnya hanya tiga jengkal, saputangan sutera yang lembut dan ringan. Akan tetapi, begitu sapu tangan itu menyambar sebatang pedang, ujungnya melibat dan sekali wanita itu menggerakkan tangannya, pedang yang di libat saputangan itu palah!
Melihat pedang saudaranya patah, si rambut putih menusukkan pedangnya ke arah lambung wanita itu dari arah kiri.
"Cappp ... !” Pedang itu menancap sampai setengahnya dan semua orang ternganga, mengira bahwa wanita itu tentu akan tewas.
Akan tetapi, tiba-tiba si rambut putih memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat karena dia melihat bahwa pedang itu bukan menembus lambung melainkan dijepit di bawah ketiak wanita itu. Sebelum dia mampu menghindarkan diri, kaki wanita itu menendang bawah pusarnya.
"Kekkk ...!" Tubuh si rambut putih terjengkang, pedangnya terlepas dan diapun roboh terbanting dan tewas seketika karena tubuhnya di bawah pusar, bagian kelamin, telah hancur oleh ujung sepatu wanita itu. Si kumis putih terkejut, akan tetapi pada saat itu, wanita tadi melemparkan pedang yang dijepit dengan lengannya ke arah si kumis putih. Pedang itu meluncur seperti anak panah, tak dapat dielakkan atau ditangkis lagi oleh si kumis putih dan pedang itu memasuki dadanya sampai tembus ke punggung. Si kumis putih roboh dan tewas di dekat mayat saudaranya..
Wanita itu tertawa, suara kerawa yang merdu dan halus, lalu ia pergi dari situ sambil mengebut-ngebutkan saputangan suteranya untuk mengusir keringat, dan tangan kirinya menyapu-nyapu baju yang terkena debu. Semua penghuni dusun memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak. Tak eorang pun berani menghalangi wanita itu atau mengejarnya.
Andaikata ada yang mengejar pun tidak akan berhasil menyusul wanita itu yang kini berkelebatan dengan ilmu lari cepat, mendaki bukit di depan dengan kecepatan seperti larinya seekor kijang.
Siapakah wanita yang demikian lihainya dan juga amat kejamnya itu. Kalau saja dua orang pendekar itu, Pek-mau Siang-houw, mengetahui dengan siapa mereka berhadapan, belum tentu mereka berani bersikap seperti itu di depan wanita cantik itu. Ia sungguh bukan wanita biasa, bahkan bukan wanita kang-ouw biasa. Ia adalah seorang datuk besar yang namanya ditakuti semua orang, bahkan para pendekar juga harus berpikir masak-masak untuk menentang datuk yang luar biasa lihai dan kejamnya ini.
Kekejamannya itu hanya ditujukan kepada para pria! Ia seorang pembenci laki-laki! Tidak ada lagi orang yang mengenal nama aselinya, hanya mengenalnya dengan julukan Kwan Im Sian-li (Dewi Kwan Im). Sungguh julukan yang sama sekali berlawanan dengan wataknya, karena julukan ini memang ia sendiri yang memilihnya. Ia menyamakan dirinya dengan Kwan Im Pouw-sat. Dewi Belas Kasih yang dipuja orang karena ia merasa bahwa selama ini belum pernah ia berhubungan dengan pria, ia masih perawan walau usianya sudah hampir limapuluh tahun. Dan memang penampilannya seperti seorang dewi, cantik jelita, sederhana, lemah lembut dan sedikitpun tidak menunjukkan bahwa ia seorang ahli silat. Apa lagi seorang yang dapat membunuh banyak orang tanpa berkedip. Pagi hari itu saja, ia telah melukai parah dua orang pemuda yang memberinya hidangan, kemudian melukai duabelas orang dusun, bahkan membunuh dua orang pendekar yang menentangnya. Tidak ada yang tahu bahwa watak kejamnya terhadap pria ini muncul ketika ia menderita patah hati karena cintanya gagal. Pria yang dicintanya tidak membalas cintanya dan sejak itu ia membenci pria yang dianggapnya palsu dan hanya mendatangkan duka saja bagi wanita!
Cepat sekali wanita itu mendaki bukit Hwat-san, biarpun pendakian itu amat sukar, namun ternyata wanita cantik itu dapat mencapai puncak dalam waktu tingkat. Tebing-tebing yang licin dan keras ia panjat dengan mudah, jurang yang amat curam dan lebar dapat ia lompati. Ketika tiba di puncak yang landai dan penuh bunga, Kwan Im sianli tertegun dan sejenak ia berdiri terpesona, memandang ke sekeliling dan berputar pada ujung kakinya.
"Aihhhh, betapa indahnya ...!” Ia menghirup napas panjang, memasukkan udara sejuk segar itu sebanyaknya ke dalam paru-parunya, ia merasa nyaman sekali. Kalau orang melihatnya pada saat itu, tentu akan mengakui bahwa julukan wanita itu memang tepat. Berdiri di puncak bukit, di antara bunga-bunga yang sedang mekar, pantaslah ia menjadi seorang dewi!
"Pantas kalau tempat seindah ini menjadi tempat tinggal Si Buta yang menjengkelkan hati itu. ... “ katanya lirih dan di dalam suaranya terkandung penyesalan, kekecewaan dan penasaran.
"Bwe Si Ni ... engkaukah yang datang itu ...?" Tiba-tiba terdengar suara lembut, dan Kwan Im Sianli cepat meloncat ke arah datangnya suara. Dan di sana, di atas batu datar yang lebar, duduklah pria itu! Pria yang dicari-carinya selama ini.
"Pangeran ...!” serunya sambil menghampiri dan sekali ini dalam suaranya terdengar kelembutan yang luar biasa, suara yang mengandung kasih sayang dan kerinduan. Pancaran matanya juga lembut dan sayu, dan mulutnya tersenyum pahit, menggetar penuh harap.
Pria itu, Tiauw Sun Ong, tertawa dan ketika dia tertawa, wajahnya nampak lebih muda. "Ha-ha-ha, Si Ni, apakah engkau tidak pernah tua? Engkau masih seperti dulu saja. Engkau tahu, aku bukan lagi seorang pangeran, melainkan seorang jembel. Bahkan sekarang Kerajaan Liu-sung juga sudah jatuh, keluargaku sudah terbasmi. Aku orang buangan, jangan sebut pangeran lagi."
Dia lalu menggerakkan tangan mempersilakan. "Duduklah, Si Ni. Sudah bertahun-tahun kita tidak saling jumpa. Bagaimana kabarnya dengan dirimu?"
Kwan Im Sianli duduk pula di atas batu yang lebar itu, berhadapan dengan Tiauw Sun Ong. Sejenak mereka berdiam diri dan wanita itu memandang dengan sinar mata penuh kasih dan keharuan. Sementara itu, Tiauw Sun Ong hanya menunduk, diam-diam dia terkejut ketika tadi mengenal suara wanita ini, seorang di antara wanita yang tak pernah dapat dia lupakan. Teringat olehnya betapa dahulu, ketika dia masih menjadi pangeran, di antara para gadis yang mengejar dan merindukannya terdapat seorang dayang istana yang cantik bernama Bwe Si Ni. Tanpa main-main Bwe Si Ni menyatakan cintanya, rela mengorbankan nyawa sekalipun untuknya asal cintanya diterima. Karena merasa kasihan kepada gadis cantik manja yang begitu pasrah, Tiauw Sun Ong merasa tidak tega untuk menolak begitu saja. Dia bersikap ramah dan manja walaupun belum menyatakan bahwa dia membalas cinta kasih gadis dayang istana itu. Apalagi ketika itu dia sudah mempunyai seorang pacar, yaitu seorang gadis bangsawan puteri keluarga Kwan. Memang Tiauw Sun Ong mempunyai kelemahan terhadap wanita. Dia tidak tega menolak untuk bersikap manis terhadap wanita yang jatuh cinta kepadanya!
Akan tetapi, dalam taman, dia bertemu selir kaisar, Pouw Cu Lan dan dia begitu tergila-gila sehingga terjadilah hubungan antara-mereka. Melihat ini, Bwe Si Ni menjadi cemburu dan marah, bahkan sakit hati. Ialah seorang di antara mereka yang melapor kepada kaisar sehingga hubungan antara selir dan adik kaisar itu tertangkap basah. Ketika Tiauw Sun Ong membutakan matanya dan meninggalkan istana, Bwe Si Ni, gadis dayang itupun minggat dari Istana!”
Belasan tahun kemudian setelah Tiauw sun Ong menjadi perantau buta dan mendapatkan ilmu, manjadi orang sakti, pada suatu hari muncul Bwe Si Ni di depannya! Akan tetapi bukan Bwe Si Ni gadis dayang yang dahulu, yang lemah lembut dan hangat, yang mati-matian mencintanya, melainkan Bwe Si Ni yang sudah berubah menjadi seorang iblis betina, seorang yang memiliki Ilmu kepandaian yang tinggi dan dahsyat. Dan Bwe Si Ni yang ketika itu sudah berusia tigapuluh lima tahun. menuntut agar dia suka hidup bersamanya menjadi suami isteri. Biarpun dia telah menjadi seorang buta yang hidup terlunta-lunta ternyata cinta kasih Bwe Si Ni tidak pernah berkurang! Namun, bekas pangeran itu menolak dan hal ini membuat Bwe Si Ni menjadi kecewa dan berduka sekali. Ia menangis dan memohon, mengatakan bahwa ia tidak pernah mau berdekatan dengan pria lain karena ia sudah bersumpah untuk hidup menjadi isteri Tiauw Sun Ong. Ketika bekas pangeran itu tetap menolak, ia menjadi penasaran dan marah. Dengan tegas ia mengatakan, bahwa kalau Tiauw Sun Ong menolak, ia akan membunuhnya kemudian membunuh diri sendiri. Ingin mati bersama! Tiauw Sun Ong tetap menolak dan Bwe Si Ni menyerang. Terjadi perkelahian yang hebat. Akan tetapi, ternyata tingkat kepandaian Bwe Si Ni masih belum mampu menandingi Tiauw Sun Ong walaupun bekas pangeran yang buta ini mengalah dan selalu mengelak dan menangkis saja. Akhirnya, dengan hati kecewa, duka, penasaran dan makin mendendam, Bwe Si Ni pergi dan ia memperdalam Ilmunya sehingga akhirnya ia terkenal sebagai seorang wanita sakti yang berjuluk Kwan Im Sianli. Akan tetapi, kegagalan cintanya dengan bekas pacarnya itu membuat hatinya menjadi pahit getir dan pembenci pria. Kalau ada pria bersalah sedikit saja kepadanya, apalagi bersikap kurang ajar. ia dengan kejam akan membunuhnya atau setidaknya membikin cacat!”
Dan kini, dalam usia hampir limapaluh tahun, setelah bertahun-tahun mencari, akhirnya ia dapat berhadapan dengan Tiauw Sun Ong lagi! Tentu saja ada ketegangan di hati Tiauw Sun Ong yang maklum akan isi hati bekas dayang ini, akan tetapi ia tetap tenang dan menahan diri sehingga suaranya tidak membayangkan perasaan hatinya.
Sementara itu, begitu berjumpa dengan bekas pangeran itu, hati bekas dayang itu seperti terbakar kembali api cintanya. Biarpun pria yang menjadi idaman hatinya itu kini sudah hampir enampuluh tahun usianya, namun dalam pandangannya, tidak ada pria lain di dunia ini yang lebih disayangnya dari pada si buta ini. Bagaikan awan disapu angin, dendamnya untuk membunuh pria yang dikasihinya itu lenyap, terganti perasaan rindu yang menyesakkan dadanya. Selama ini ia membenci pria. tidak sudi didekati pria manapun juga karena seluruh hatinya telah terisi oleh pangeran ini.
Selama belasan tahun ini, sejak kegagalannya membujuk kekasihnya untuk hidup bersama atau mati bersama, Bwe Si Ni telah memperdalam ilmu-ilmunya sehingga ia menjadi datuk besar dunia kang-ouw yang ditakuti orang. Akan tatapi, begitu bertemu, semua dendamnya, mengabur dan kembali timbul kerinduannya kepada pria ini.
"Pangeran, aku datang untuk mengajakmu hidup bersama. Ketahuilah, pangeran, aku tetap setia kepadamu dan sampai kini aku tetap menjaga diriku sebagai calon milikmu, tidak membiarkan diriku disentuh pria manapun juga. Pangeran, aku tetap mengharapkan untuk menghabiskan sisa hidup kita yang tidak berapa lama lagi ini sebagai suami isteri ... "
"Si Ni ... "
"Pangeran, kasihanilah aku, bayangkan betapa selama puluhan tahun aku menunggu saat ini, penuh penderitaan, penuh harapan dan kerinduan. Tegakah engkau mengecewakan harapanku yang terakhir ini? Pangeran, aku rela meninggalkan segalanya, dan hidup di sini, di sisimu, sampai hayat meninggalkan badan ... “
Wanita itu meratap dengan suara yang bercampur tangis.
Sampai lama Tiauw Sun Ong tidak mampu menjawab. Diam-diam dia mengeluh. Tak disangkanya sama sekali bahwa kedamaian yang dinikmatinya itu kini dapat terganggu dan terguncang sedemikian hebatnya! Kemudian, setelah menarik napas panjang beberapa kali, diapun berkata dengan suara yang tenang namun tegas.
“Bwe Si Ni, dengarlah baik-baik. Aku sekarang tidak mempunyai apa-apalagi, maka yang bersisa hanya tinggal kejujuran. Kalau aku tidak jujur, berarti aku kehilangan segala-galanya. Dan kejujuran kadang kala menyakitkan perasaan, Si Ni. Maka, dengarlah baik-baik, pertimbangkan baik-baik dan jangan terburu nafsu, karena aku akan membuat pengakuan secara sejujurnya."
Wanita itu menghapus sisa air matanya dan iapun duduk bersila dengan tegak di depan pria itu, di atas batu datar. "Bicaralah, pangeran."
"Si Ni, menghadapi urusan kita ini, aku hanya mempunyai dua pilihan. Yaitu, menjadi seorang yang jujur akan tetapi dianggap kejam, atau menjadi seorang yang palsu akan tetapi dianggap baik. Dan setelah kupertimbangkan, aku memilih menjadi orang pertama. Yaitu jujur biarpun engkau akan menganggap aku kejam dan jahat. Kalau aku menuruti perasaan hatiku yang penuh iba kepadamu, tentu aku akan menerima permintaanmu, hidup sebagai suami isteri denganmu di sini sampai kita mati tua. Akan tetapi, itu berarti aku palsu biarpun kauanggap baik, karena terus-terang saja, Si Ni, sejak mataku buta, hatiku tidak buta lagi dan aku tidak mau mengikat diri dalam perjodohan dengan siapapun juga. Aku akan berterus terang bahwa tidak ada lagi cinta berahi di dalam hatiku terhadap seorang wanita. Kau tentu tidak ingin kubohongi, bukan! Nah, tinggalkan aku dalam damai. Si Ni, dan aku tahu bahwa kalau engkau mau, engkau akan dapat menemukan seorang suami yang jauh lebih baik dari pada aku yang tua dan buta ini."
"Pangeran Tiauw Sun Ong!” Tiba-tiba wanita itu membentak marah, "Sudah tigapuluh tahun aku menanti dangan sabar, dengan setia, dan engkau tetap menolakku? Aku bisa membikin orang yang paling kau cinta menderita, aku bahkan dapat membunuhnya!”
"Sudahlah, Si Ni, kita berpisah dengan baik-baik saja. Engkau tidak perlu membujuk dan mengancam, aku sudah bicara dan tidak akan mengubah sikapku."
"Keparat! Kalau aka tidak dapat hidup bersamamu, aku bersumpah untuk mati bersamamu!”
“Sin Ni ... !” Akan tetapi teriakan Tiauw Sun Ong ini tidak ada gunanya karena wanita itu sudah meloncat sambil menghunus pedang yang tersembunyi dibalik jubahbya, ia sudah menyerang bagaikan kilat menyambar cepatnya! Pedang itu menusuk Tiauw Sun Ong!
"Trranggg ...!” Tongkat itu seperti otomatis bergerak dan berhasil menangkis pedang.
Kwan Im Sianli Bwe Si Ni merasa betapa tangannya tergetar, maka iapun meloncat turun dari atas batu. "Bagus! Engkau masih lihai, pangeran. Mari kita membuat perhitungan terakhir. Engkau dulu atau aku dulu yang mati!”
"Si Ni, janganlah ... " akan tetapi bujukan ini dijawab dengan serangan begitu Tiauw Sun Ong turun dari atas batu. Si buta yang memiliki pendengaran amat tajam dan peka itu melompat dan menghindarkan diri dari serangan pedang. Wanita itu mengejar dan menyerang terus, dan pangeran itu kagum. Serangan-serangan Bwe Si Ni bukan main dahyatnya.
Sungguh sama sekali tidak boleh disamakan dengan lima belas tahun yang lalu! Serangan itu didukung tenaga sin-kang yang kuat sekali, dan selain gerakannya kuat, juga cepat dan amat berbebaya. Untuk melindungi dirinya, dari ancaman bahaya maut, bekas pangeran itu didukung tenaga sinkang yang kuat sekali dan selain gerakannya kuat, juga cepat dan amat berbahaya. Untuk melindungi dirinya dari ancaman maut bekas pangeran itu sudah memutar tongkatnya dengan pengerahan sin-kang sehingga potongan kayu itu membentuk sebuah sinar bergulung-gulung seperti payung yang menjadi perisai dirinya.
Sebetulnya, Tiauw Sun Ong juga tidak takut mati atau begitu ingin untuk hidup terus dalam keadaan yang tak dapat dikata bahagia secara lahiriah. Akan tetapi, dia tidak mau bunuh diri, juga dia tidak ingin kalau wanita itu sampai menjadi pembunuhnya hanya karena ingin hidup atau mati bersama! Dia tidak ingin menjadi sebab kedosaan Bwe Si Ni setelah dia tidak mampu membahagiakan wanita itu.
Sementara itu. Kwan Im Sianli juga terkejut bukan main di samping kekagumannya. Ia telah maju pesat dalam ilmu silat, bahkan ditakuti dunia kang-ouw, dianggap sebagai seorang datuk persilatan yang sukar dicari tandingannya. Akan tetapi, kini kembali ia tahu bahwa untuk membunuh pria yang dikasihinya ini jelas bukan perkara mudah. Bahkan untuk mengalahkannya saja belum tentu ia mampu! Ilmu tongkat yang dimainkan orang buta itu selain aneh, juga sukar ditembus pedangnya, bahkan setiap kali pedangnya bertemu tongkat, tangannya terasa panas dan nyeri!”
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara ketawa seorang wanita. Suara tawa yang amat aneh, makin lama semakin nyaring dan amat mengejutkan hati Kwan Im Sianli dan juga Tiauw Sun Ong karena tanpa dapat mereka tahan lagi. Kwan Im Sianli ikut pula tertawa bergelak dan biarpun dia sudah menahannya, tetap saja bekas pangeran itupun tertawa di luar kehendaknya. Tentu saja keduanya terkejut dan otomatis meloncat ke belakang.
Kwan Im Sianli menoleh ke arah wanita yang tertawa itu, sedangkan bekas pangeran itu memperhatikan dengan pendengarannya yang tajam. Setelah, kini tidak perlu lagi mengerahkan sin-kang untuk menandingi Tiauw Sun Ong, Kwan Im Sianli berhasil memusatkan sin-kangnya dan menghentikan tawanya yang tak dapat dikendalikannya tadi itu. Dan ia melihat seorang wanita yang satu dua tahun lebih tua darinya, akan tetapi yang juga kelihatan masih muda sekali, bersama seorang wanita muda berusia, dnapuluh tahun lebih. Dan iapun segera mengenal wanita itu dan mukanya berubah merah karena marah!”
“Setan perempuan, kiranya engkau yang menggangguku?" bentak Kwan Im Sianli dengan marah. "Engkau tidak berhak mencampuri urusan pribadiku!”
Wanita yang baru datang itu tidak kalah cantiknya dibandingkan Bwe Si Ni dan ia tertawa lagi, lalu berkata kepada wanita muda yang ikut datang bersamanya. "Hi-hi-hi hik ... Ling Ay, kaulihat baik-baik. Inilah wanita yang pernah kuceritakan kepadamu. Kwan Im Sianli Bwe Si Ni. Engkau berhati-hatilah kalau bertemu dengan orang ini!"
Wanita muda itu memang Ling Ay adanya, Cia Ling Ay, janda muda dari Nan-ping yang ditolong oleh Bi Moli Kwan Hwe Li dan kemudian menjadi murid wanita cantik yang menjadi datuk besar persilatan itu. Sudah tiga tahun lamanya Cia Ling Ay ikut gurunya, setiap hari digembleng Ilmu silat dan sihir sehingga kini ia bukanlah Ling Ay tiga tahun yang lalu. Dan selain gurunya memiliki cara mengajar yang istimewa, juga Ling Ay ternyata memiliki bakat terpendam yang besar sekali sehingga mudah baginya menguasai Ilmu-Ilmu yang aneh dan dahsyat. Kini ia mengikuti gurunya mandaki puncak Hwa-san dan mereka melihat betapa Kwan Im Sianli bertanding atau lebih tepat lagi mendesak dan menyerang seorang laki-laki buta yang lihai sekali.
"Bi Moli, aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Jangan angkau mencampuri urusan pribadi kami dan pergilah, biarkan aku menyelesaikan urusanku dengan Pangeran Tiauw Sun Ong!” kata pula Kwan Im Sianli yang maklum bahwa sebagai sama-sama datuk besar, tingkat kepandaian mereka berimbang dan kalau wanita itu membantu Tiauw Sun Ong, ia sungguh tidak berdaya. Baru menghadapi Tiauw Son Ong seorang saja tadi ia sudah sukar untuk dapat mengalahkannya.
"Hemm!. Bwe Si Ni! Dahulu ketika kita masih muda, aku telah menjadi seorang puteri bangsawan dan engkau hanya seorang dayang. Engkau menyembah-nyembah kepadaku. Sekarang, setelah angkau memiliki sedikit kepandaian dan berjuluk Kwan Im Sianli, apa kau kira angkau ini benar-benar seorang dewi dan menganggap semua wanita lain sebagai setan perempuan? Engkaulah yang iblis betina, perempuan tak tahu malu! Engkau tentu masih ingat bahwa akulah dahulu pacar dan tunangan kakanda Tiauw San Ong! Kalau tidak terjadi peristiwa dengan selir kaisar itu, tentu aku yang menjadi isterinya! Engkau dayang tak tahu malu, mendesak-desaknya, bahkan sampai sekarang, setelah kanda Tiauw Sun Ong menjadi buta dan mengasingkan diri, engkau masih berani mengganggunya!"
Wajah Bwe Si Ni menjadi pucat, lalu merah kembali. Biarpun ucapan itu dirasakan amat menghinanya, namun ia tidak mungkin dapat membantah. Memang, puluhan tahun yang lalu ketika ia masih menjadi seorang dayang istana, Kwan Hwe Li adalah pacar dan tunangan Pangeran Tiauw Sun Ong. Bahkan pangeran itu menolak cintanya karena telah mempunyai pacar wanita itu, puteri seorang bangsawan tinggi she Kwan. Hubungan antara Kwan Hwe Li dan Tiauw Sun Ong juga putus setelah Tiauw Sun Ong membutakan matanya dan meninggalkan istana dan kota raja.
"Kwan Hwe Li, lidak perlu engkau menyombongkan diri. Mungkin saja dahulu engkau puteri bangsawan, akan tetapi sekarang tidak lagi! Bahkan Kerajaan Liu-sung telah hancur. Engkau hanya bekas puteri bangsawan. Dan tentang Pangeran Tiauw Sun Ong, biarpun engkau mengaku pacar dan tunangan, akan tetapi siapa tidak tahu bahwa engkaulah yang dahulu mencelakainya dan melaporkan hubungannya dengan selir Pouw Cu Lan kepada kaisar sehingga mereka tertangkap basah?"
"Bwe Si Ni, tak tahu malu engkau! Memang aku melaporkan karena hal itu kuanggap tidak benar. Dan aku berhak karena aku merasa cinta kami dilanggar. Akan tetapi engkau, hanya seorang dayang, engkaupun berani ikut pula melapor kepada kaisar!"
"Hemm, jadi kita ini sama, saja? Lalu mau apa engkau datang ke sini kalau tidak ingin merayu Pangeran Tiauw Sun Ong?" Kwan Im Sianli mengejek.
"Aku bukan perempuan hina macam kamu! Aku sudah merasa sebagai seorang wanita tua yang tidak haus lagi akan kemesraan pria. Aku dalang karena mengingat akan persahabatan antara aku dan kanda Tiauw Sun Ong, dan hanya akan menjenguknya tanpa ingin mengganggunya. Akan tetapi aku melihat engkau mati-matian menyerangnya untuk membunuhnya. Kanda Tiauw Sun Ong bisa saja mengalah kepadamu, akan tetapi aku tidak! Kalau engkau melanjutkan niat busukmu, aku akan membantunya membunuhmu atau mengusirmu!”
Tiauw Sun Ong yang sejak tadi diam saja, menghela napas panjang dan berkata, "Sudah, dinda Kwan Hwe Li. Bagaimanapun juga, Bwe Si Ni tidak berniat jahat, hanya menuruti gelora perasaannya. Ingin mengajak aku hidup bersama atau mati bersama."
Kwan Im Sianli mambanting kakinya dengan gemas, lalu menudingkan pedangnya ke arah muka Tiauw Sun Ong. "Pangeran, ilmu kepandaianku masih terlampau rendah untuk dapat mengalahkanmu. Akan tetapi jangan mengira bahwa aku tidak akan mampu menyiksa batinmu tanpa menyentuh tubuhmu!”
Setelah berkata demikian, Kwan Im Sianli Bwe Si Ni melompat dan meninggalkan tempat itu dengan cepat sekali.
"Seorang wanita yang keras hati ... " kata Tiauw Sun Ong, nada suaranya menyesal karena kembali dia telah membikin hati seorang wanita menderita. "Entah apa yang dimaksudkan dengan kalimatnya yang terakhir itu.”
"Pangeran, ancamannya tadi bukan kosong belaka. Ia tidak dapat mengalahkanmu, akan tetapi ia dapat mengganggu atau bahkan membunuh Pouw Cu Lan dan anaknya ... anakmu, pangeran!”
Belum pernah bekas pangeran itu terkejut seperti ketika dia mendengar kata terakhir itu. "Hwe Li! Apa maksudmu? Anakku ...??"
Pria buta itu sudah bangkit berdiri, mukanya menjadi agak pucat dan jelas bahwa dia nampak gelisah dan terkejut sekali.
"Kanda Tiauw Sun Ong, mari kita duduk, dan dengarkan keteranganku." kata Bi Moli Kwan Hwe Li. Wanita ini masih cantik sekali, sehingga sesuai dengan julukannya, yaitu Bi Moli (Iblis Betina Cantik). Setelah mereka duduk di atas batu dan Ling Ay juga duduk di belakang subonya (ibu gurunya). Bi Moli! melanjutkan. "Sebetulnya, ketika mengetahui bahwa pangeran berada di sini, aku hanya datang menjenguk saja tanpa maksud lain. Akan tetapi, kiranya iblis betina berkedok dewi itu juga berada di sini bahkan sedang berusaha untuk membunuhmu ... "
"Sudahlah, Hwa Li. Katakan saja apa maksudmu dengan anakku tadi." Pangeran itu memotong dengan tidak sabar. Dia tidak dapat terlalu menyalahkan sikap Bwe Si Ni, akan tetapi dia juga tidak mau berbantah dengan Hwe Li tentang wanita yang lain itu.
"Pangeran, ketika pangeran meninggalkan Istana. Pauw Cu Lan menerima hukuman berat dari Kaisar, Ia dihukum buang. Akan tetapi ketika hukuman dilaksanakan, di dalam perjalanan ia dirampas oleh Bu-eng-kiam Ouwyang Sek dan dipaksa menjadi isterinya. Akan tetapi, ketika itu ia sudah mengandung, pangeran, mengandung anakmu. Nah, sekarang agaknya Kwan Im sianli Bwe Si Ni hendak mencari ibu dan anak itu dan akan membunuh mereka."
Bi Moli Kwan Hwe Li memandang dengan sinar mata berkilat, lalu bangkit dan berkata kepada muridnya. "Ling Ay mari kita pergi!” Dan iapun tanpa banyak cakap lagi sudah meninggalkan tempat itu dengan cepat, diiringi muridnya.
Tiauw Sun Ong masih duduk bersila seperti arca, mukanya pucat sekali. Dia tahu bahwa guru dan murid itu meninggalkannya, akan tetapi dia tidak berusaha mencegah mereka. Keterangan Kwan Hwe Li tadi sudah cukup baginya. Lebih dari pada cukup untuk menikam jantungnya. Dia maklum bahwa tidak banyak bedanya antara Kwan Hwe Li dan Bwe Si Ni. Kedua wanita mencintanya dan kecewa karena cinta mereka dia tolak. Keduanya mendendam kepadanya karena patah hati dan cemburu.
Dan tidak ada musuh yang lebih berbahaya dari pada seorang wanita yang dilanda cemburu. Wanita yang cemburu dapat melakukan kekejaman yang melebihi pembunuhan. Akan tetapi, diapun tahu bahwa orang separti Kwan Hwe Li dan Bwe Si Ni tidak akan berbohong. Mereka-berdua telah menjadi datuk besar dalam dunia persilatan.
Dia mempunyai seorang anak! Dia tidak perlu tahu pria atau wanita anak itu. Yang penting, dia mempunyai seorang keturunan dan sekarang anak itu terancam bahaya maut di tangan Bwe Si Ni!
"Tidak, anak itu tidak berdosa. Anak itu tidak boleh dibunuh, aku akan melindunginya!" Dengan tekad ini, Tiauw Sun Ong lalu bangkit berdiri dan mengambil bekal pakaian dari dalam gubuk tempat tinggalnya di puncak itu dan tak lama kemudian diapun turun gunung, suatu hal yang sama sekali tidak pernah disangkanya pagi itu. Pagi tadi, menikmati keindahan musim bunga di puncak Hwa-san, dia mengambil kepulusan untuk tinggal di situ sampai mati, tidak akan turun gunung. Siapa kira, baru beberapa jam saja kini dia sudah terpaksa turun gunung untuk melaksanakan tugas yang amat berat!
Bukan saja dia harus melindungi nyawa seorang anak dari ancaman maut di tangan KwanIm Sianli Bwe Si Ni, akan tetapi dia juga akan mengalami kesulitan kalau berhadapan dengan suami Cu Lan yang agaknya menjadi ayah tiri anaknya, yaitu Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, seorang di antara para datuk berar. Dan dia tahu ke mana harus mencari anak itu. Tentu di tempat tinggal Ouwyang Sek, di Lembah Bukit Siluman! Dengan sebuah tongkat, bekas pangeran yang buta itu menuruni bukit yang amat berbahaya itu dengan cepatnya, jauh lebih cepat dari pada seorang yang tidak buta! Orang takkan percaya bahwa dia buta kalau melihat betapa dia menuruni bukit itu. Ternyata kepekaan yang hebat pada dirinya dapat menggantikan tugas mata yang telah buta itu. Kepekaan ini ditambah penguasaan ilmu yang tinggi.
***
Rumah yang berdiri megah di Lembah Bukit Siluman itu amat besar dan angker. Gedung kuno itu mempunyai banyak arca dan ukir-ukiran, seperti istana raja saja di antara bangunan-bangunan lain yang nampak kecil sederhana yang terdapat di sekitar lembah itu. Gadung itu milik Bu-eng.kiam Ouwyang Sek, majikan Lembah Bukit Siluman. Seluruh sawah ladang yang berada di bukit itu adalah milik datuk ini, dan para petani yang tinggal di sekitar tempat itu merupakan buruh tani penggarap sawah ladangnya. Bu-eng-kiam Ouwyang Sek terkenal sebagai daluk persilatan yang ditakuti, besar pengaruhnya, dan kaya raya.
Pada pagi hari itu, para pelayan laki-laki dan perempuan yang jumlahnya belasan orang di gedung itu nampak sibuk. Pihak tuan rumah sekeluarga, yaitu Ouwyang Sek, isterinya, dan kedua anaknya, yaitu Ouwyang Toan pemuda berusia dua puluh delapan tahun, dan Ouwyang Hui Hong gadis berusia dua puluh satu tahun, sedang menerima kunjungan tamu-tamu yang agaknya dihormati oleh keluarga tuan rumah.
Memang jarang terjadi dan agak aneh kalau keluarga Ouwyang yang terkenal angkuh dan memandang rendah orang lain itu sekali ini menerima kunjungan tamu yang dihormati. Akan tetapi, tidak akan mengherankan lagi kalau diketahui siapa yang datang berkunjung. Tamu tamu kehormatan itu adalah datuk besar Kui-siauw-giam-ong Suma Koan, majikan Bukit Bayangan Setan bersama putera tunggalnya, Tok-siauw-kwi Suma Hok. Datuk yang datang sebagai tamu ini mempunyai kedudukan dan tingkat yang sama dengan pihak tuan rumah, dan kunjungannya adalah kunjungan kehormatan, membawa segerobak barang-barang hadiah amat berharga. Tentu saja Ouwyang Sek merasa terhormat dan girang sekali, dan disambutlah rekan setingkat itu dengan gembira dan penuh kehormatan pula. Dia mengarahkan isteri dan dua orang anaknya untuk ikut menyambut! Tentu saja hal ini menggirangkan pihak tamu, karena kedatangan mereka mempunyai maksud untuk mengajukan pinangan!”
Setelah para pengawal dan pengikutnya menghamparkan semua barang hadiah di atas meja besar di ruangan tamu yang luas itu, dipandang dengan kagum oleh Ouwyang Sek dan keluarganya, Suma Koan dengan wajah berseri bangga lalu mamberi hormat kepada tuan rumah.
“Sahabatku Ouwyang, sudah puluhan tahun antara kita terdapat ikatan yang akrab, bukan saja sebagai saingan dalam dunia persilatan, juga sebagai orang setingkat dan sederajat. Biarpun kadang-kadang keadaan membuat kita saling berhadapan sebagai saingan maupun lawan, namun di lubuk hatiku selalu ada perasaan kagum terhadapmu, sobat! Dan karena rasa kagum itulah, maka hari ini kami datang, bukan saja membawa sakedar oleh-oleh sebagai tanda persahabatan dan penghormatan. Juga membawa iktikad baik untuk lebih mempererat hubungan di antara keluarga kita."
Ouwyang Sek yang berusia limapuluh tiga tahun, bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan gagah perkara itu, tertawa bergelak sambil memandang kepada tamunya yang usianya limapuluh delapan tahun, dan biarpun tubuh datuk itu kecil kurus, namun Ouwyang Sek tidak memandang rendah kepadanya karena dia tahu bahwa tubuh yang kecil itu memiliki kemampuan luar biasa dan dia sendiri tidak akan mampu mengalahkan Suma Koan dengan mudah.
"Ha-ha-ha-ha, engkau selalu merupakan orang yang kukagumi, sobat Suma! Baik sebagai saingan, lawan maupun kawan. Aku dan keluargaku menghargai kunjungan persahabatan ini, dan marilah engkau dan puteramu menerima hidangan kami seadanya!" Langsung saja dua orang tamu itu dipersilakan memasuki ruangan dalam, di mana telah diatur meja yang penuh hidangan. Tamu ayah dan anak itu bersama pihak tuan rumah yang terdiri dari ayah, ibu dan dua orang anak duduk mengelilingi meja hidangan. Sejak tadi, setelah diberi kesempatan memberi hormat kepada pihak tuan rumah, Suma Hok yang tampan dan pesolek berulang kali melepas pandang mata yang penuh kagum dan sayang ke arah Ouwyang Hui Hong. Namun gedis ini pura-pura tidak tahu saja walaupun ia bersikap ramah terhadap dua orang tamu itu demi ayahnya. Dalam lubuk hatinya Hui Hong tak pernah dapat melupakan peristiwa tiga tahun yang lalu ketika ia nyaris diperkosa olah pemuda tampan pesolek itu.
Kedua pihak saling memberi hormat dan selamat melalui pengangkatan cawan arak dan mereka makan minum dengan gembira seperti layaknya tamu dan tuan rumah yang menjadi sahabat akrab dan saling menghormati. Sungguh luar biasa sekali kalau diingat betapa dua orang datuk ini pernah beberapa kali berhadapan sebagai lawan dan saling serang mati-matian!”
Setelah mereka makan minum sampai kenyang. pihak tuan rumah mempersilakan dua orang tamunya ke ruangan dalam yang lebih luas. di mana mereka dapat bercakap-cakap dengan leluasa dan gembira. Ouwyang Toan dan Ouwyang Hui Hong tetap disuruh menemani ayahnya menyambut tamu-tamu itu dan melayani mereka bercakap-cakap.
Melihat sikap yang ramah dan senang hati dari Ouwyang Sek, Suma Koan melihat kesempatan baik sekali untuk menyampaikan isi hatinya. "Sahabat Ouwyang, sesungguhnya kedatangan kami ini mempanyai niat yang amat baik, yaitu kami ingin sekali agar keluarga antara kita terjalin hubungan yang lebih baik. bahkan dua keluarga dapat menjadi satu!"
Ouwyang Sek adalah seorang yang keras hati dan keras kepala, kasar dan terbuka, maka dia masih belum mengerti apa yang dimaksudkan tamunya. "Ha-ha-ha, sahabat Suma kunjunganmu ini saja sudah mempererat hubungan antara kita. Niat baik apalagi yang kau miliki terhadap kami?"
"Sahabat Ouwyang, engkau tahu bahwa aku hanya mempunyai seorang anak, yaitu puteraku Suma Hok ini, biarpun dia bodoh akan tetapi namanya cukup dikenal di dunia kang-ouw dan aku sudah bersusah payah untuk mewariskan seluruh kepandaian dan milikku kepadanya. Tahun ini, usianya sudah duapuluh lima tahun dan setelah mencari-cari sampai beberapa lama, aku tidak melihat seorangpun gadis yang pantas menjadi jodohnya, kecuali puterimu yang cantik jelita dan pandai ini. Kami datang untuk meminang puterimu!”
Ouwyang Sek terbelalak mendengar ini, menoleh ke arah puterinya yang mengerutkan alis dan mukanya menjadi merah sekali, dan diapun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, aku sampai lupa bahwa aku mempunyai seorang anak perempuan yang sudah dewasa!” Dia tertawa-tawa lagi.
"Ayah, aku belum ingin menikah!” Tiba-tiba Hui Hong berkata dengan suara tegas.
Ouwyang Sek menghentikan tawanya. "Ehhh!” Dia menggerak-gerakkan alisnya yang tebal. "Hui Hong, ingat, usiamu sekarang sudah dua puluh satu tahun, dan pelamarmu sekali ini adalah putera datuk besar Suma Koan, majikan Bukit Bayangan Setan!”
Suma Koan tertawa. "Ha-ha, sahabat Ouwyang, harap jangan terlalu memuji. Keadaanku tidak lebih besar dari pada keadaanmu, akan tetapi kalau keluarga Ouwyang menjadi satu dengan keluarga Suma, bukankah kita berdua menjadi yang terbesar dan siapa yang akan berani menentang kita!"
"Benar ... benar ... ah, pinanganmu ini akan kami pertimbangkan baik-baik ...!” kata Ouwyang Sek sambil tertawa lagi.
"Ayah! Aku tidak sudi menjadi jodoh jahanam yang tiga tahun lalu nyaris memperkosaku ini!” kata Hui Hong dan iapun bangkit berdiri lalu lari meningalkan ruangan itu menuju ke kamarnya.
"Hui Hong ...!” ibunya berseru dan lari mengejar.
Ouwyang Sek bersungut sungut, merasa tidak senang melihat sikap puterinya dan merasa tidak enak kepada tamunya. "Sobat Suma Koan, engkau dan puteramu duduklah dulu, aku akan membujuk anak bandel itu. Percayalah, dia pasti akan taat kepada ayahnya," Katanya dan diapun lari mengejar anak dan isterinya. Suma Koan tersenyum dan minum araknya, tidak memperdulikan putranya yang kelihatan kecewa. Dia sudah merasa yakin bahwa tentu Ouwyang Sek akan menerima pinangannya. Dia tahu betapa rekannya itu terlalu mementingkan diri sendirl dan akan menggunakan siapapun, termasuk anak sendiri, demi keuntungan diri pribadi. Kalau keluarga Ouwyang menerima pinangannya, berarti dua keluarga datuk itu menjadi satu dan kedudukan masing-masing menjadi semakin kuat. Mana mungkin penawaran yang demikian menguntungkan akan ditolak oleh Ouwyang Sek. Ouwyang Toan yang kini duduk sendiri bersama dua orang temannya, sejak tadi memang sudah merasa canggung dan tidak suka. Diapun ikut merasa tidak suka mendengar pinangan itu, mengingat bahwa adiknya pernah akan diperkosa Suma Hok yang menjadi saingannya sebagai putera datuk yang bersaingan. Maka, melihat ayahnya lari mengejar, diapun baugkit dan mengaagguk kepada dua orang tamunya, dan melangkah pergi meninggalkan ruangan itu, juga menyusul adiknya.
Hui Hong duduk di tepi pembaringannya, alisnya berkerut, mukanya merah dan mulutnya cemberut. Ibunya kini duduk di dekatnya sambil merangkul pundak puterinya.
"Hui Hong. kenapa engkau bersikap seperti itu? Usiamu sudah duopuluh satu tahun dan ayahmu benar, engkau sudah cukup dewasa untuk berumah tangga. Dan biarpun aku belum mengenal pemuda itu, akan tetapi aku tidak melihat keburukan pada dirinya, Dia tampan, halus dan sopan ... "
"Ibu! Ibu tahu apa? Jahanam itu pernah menawan aku dan nyaris memperkosaku, ibu! Kalau tidak ada Kwa Bun Houw yang menyelamatkan aku, tentu anakmu ini sekarang sudah mati membunuh diri karena dinodai jahanam busuk itu. Bagaimana mungkin aku dapat menjadi isterinya!”
"Omong kosong!" Tiba-tiba ayahnya memasuki kamar dan membentak marah. “Perbuatannya itu bukan berarti dia jahat dan busuk, melainkan karena dia cinta padamu, Hui Hong. Buktinya, sekarang dia datang bersama ayahnya dan mengajukan pinangan secara resmi. Dan kaulihat sendiri, hadiah yang dibawanya lebih besar dari pada kalau engkau dipinang putera seorang bangsawan tinggi. Ini berarti bahwa keluarga Suma menghargaimu, Hui Hong. Kalau engkau menjadi mantu Suma Koan, engkau akan menjadi seorang nyonya yang terhormat kaya raya, mulia dan terlindung."
"Tidak, aku tidak sudi, ayah!" Hui Hong berseru, juga dengan suara keras penuh kemarahan.
"Engkau harus mau, ini perintahku!" ayahnya membentak pula.
Pouw Cu Lan, ibu Hui Hong, segera menengahi. "Aih, kalian ini ayah dan anak sama-sama keras kepala. Kenapa urusan ini tidak dibicarakan dengan tenang saja? Keduanya suka mengalah, serta mempertimbangkan pendapat masing-masing dan kita rundingkan, mana yang benar dan baik."
Hui Hong adalah seorang gadis yang cerdik walaupun ia keras hati. Ia juga mengenal ayahnya sebagai seorang yang berhati baja dan sukar sekali untuk mengubah apa yang sudah diputuskan ayahnya. Maka, tadi ia sudahi memutar otak dan kini ia turun dari pembaringan, berdiri tegak menghadapi ayahnya yang sudah mulai marah.
"Ayah, dongeng-dongeng jaman dahulu menyatakan bahwa setiap orang gadis yang terhormat harus dapat menjaga harga dirinya, dan setiap orang puteri kalau dipinang orang selalu mengajukan syarat. Aku pun ingin menjadl puteri terhormat dan siapapun yang meminangku, harus memenuhi syarat yang kuajukan!"
Mendengar ini, agak berkurang kemarahan Ouwyang Sek. "Hemm, sekarang engkau bicara dengan sehat. Memang engkau berhak mengajukan syarat. Nah, syarat apa yang kauajukan itu, cepat katakan agar dapat kusampaikan kepada keluarga Suma."
"Aku mempunyai dua macam syarat yang harus dipenuhi." kata gadis itu dengan suara tegas. "Pertama aku minta agar mustika Akar Bunga Gurun Pasir yang hilang dari tangan ayah itu dapat ditemukan kembali dan diserahkan kepadaku. Hal ini menyangkut kehormatan keluarga kami, ayah."
Ouwyang Sek memandang puterinya dengan wajah yang cerah dan dia menganggukkan kepala. "Bagus! Syarat itu memang pantas dan aku sendiri memperkuat syarat itu. Keluarga Suma harus bisa mendapatkan kembali mustika itu dan menyerahkannya kepada kita!” katanya gembira.
"'Masih ada syarat ke dua dan ke tiga, ayah."
"Hemm, katakan dua yang lain!”
“Syarat ke dua, aku hanya mau menjadi isteri seorang yang dapat menandingi dan mengalahkan aku. Hal inipun kulakukan untuk mengangkat nama dan kehormatan ayah."
Pria tinggi besar itu kini tersenyum dan mengangguk-angguk. "Baik sekali. Memang putera Suma Koan itu harus belajar yang rajin dan harus dapat mengunggulimu dalam ilmu silat. Syarat ke dua itupun akan kusampaikan kepada mereka."
"Syarat yang ke tiga adalah untuk menebus penyesalanku, ayah. Syarat itu adalah bahwa sebelum aku menerima pinangan itu, harus diusahakan agar aku dapat bertemu dengan Kwa Bun Houw dalam keadaan sehat!”
Terbelalak sepasang mata itu dan kulit muka yang kehitaman itu menjadi semakin hitam. Datuk itu kembali marah. "Hui Hong, apakah engkau gila? Syaratmu yang ke tiga itu tidak mungkin!”
"Kenapa tidak, ayah? Ketika aku nyaris diperkosa jahanam Suma Hok, aku diselamatkan oleh Kwa Bun Houw. Akan tetapi ayah tidak membalas budi itu. sebaliknya ayah bahkan memukulnya dan melukainya. Aku merasa menyesal sekali, maka aku ingin bertemu dengan dia dan minta maaf."
"Huh, mana bisa begitu? Kalau dia sudah mampus?"
"Kalau dia sudah mati, aku tidak mau menikah!”
"Heiii?" Gilakah engkau? Celaka, anak ini jatuh cinta kepada setan itu!”
"Memang aku cinta kepada Houw-ko, ayah. Dia baik, berbudi, gagah perkasa dan aku berhutang nyawa dan kehormatan kepadanya. Aku, ... "
"Cukup! Syarat gila itu tidak dapat diterima."
"Kalan begitu, akupun tidak sudi menikah dengan siapapun!”
"Aku akan memaksamu!”
Sepasang mata gadis itu mencorong penuh kemarahan. “Ayah keras hati dan hendak memaksaku? Apa ayah kira akupun tidak dapat berkeras hati? Dengan kekerasan ayah dapat memaksaku, akan tetapi, akupun dapat membalas. Aku akan membunuh diri ketika pernikahan dirayakan dan jahanam itu hanya akan mengawini mayatkn dan ayah akan mendapat malu besar di depan para tamu!"
"Anak setan! Kalau begitu lebih baik sekarang saja engkan mati!” Datuk itu sudah mengangkat tangan dan hendak menyerang Hui Hong yang sama sekali tidak kelihatan takut. Melihat ini, Pouw Cu Lan menubruk suaminya.
"Jangan ...!” teriaknya.
Akan tetapi sekali dorong, tubuh wanita itu terlempar ke atas pembaringan. Dorongan yang terarah ini menunjukkan betapa sayangnya Ouwyang Sek kepada isterinya, walau dalam keadaan marah sekalipnn. Dia melangkah maju hendak melanjutkan serangannya membunuh Hui Hong.
"Ouwyang Sek, engkau tidak berhak membunuh anakku! Ia bukan anakmu, engkau tidak berhak membunuhnya!” Wanita itu berteriak, nadanya lantang dan mendengar ini, Ouwyang Sek seperti tersentak, tangan yang sudah diangkat itu turun dan perlahan-lahan dia memutar tubuhnya, menghadapi isterinya yang masih terduduk di atas pembaringan.
"Cu Lan, ... kau ... kau membuka rahasia itu ...!” kata Ouwyang Sek, semua kekerasan lenyap dari suaranya.
"Tidak perduli! Engkau tidak berhak membunuh anakku. Bukankah selama duapuluh tahun ini aku memegang janji, menyerahkan segalanya kepadamu, bahkan mencoba untuk belajar mencintamu? Akan tetapi, hari ini engkau hendak memaksanya menikah dengan orang yang tidak disukainya, hendak membunuhnya. Ia bukan anakmu!”
Diserang dengan ucapan seperti itu oleh Isterinya, Ouwyang Sek tertegun, mukanya berkerut seperti menahan rasa nyeri di dalam dadanya, kemudian dia menarik napas panjang dan mengangguk-angguk. "Baik ... baik, Cu Lan. aku tidak akan membunuhnya ... "Dan dia menoleh ke arah Hui Hong. "Aku akan minta mereka memenuhi syarat pertama dan ke dua, akan tetapi aku tidak perduli akan syaratmu yang ke tiga. Kalau dua syarat itu telah dipenuhi engkau harus menikah dengan Suma Hok, mau atau tidak mau! Kalau engkau akan membunuh diripun silakan, akan tetapi engkan harus menikah dengan putera Kui-siauw Giam-ong kalau dia dapat memenuhi dua syaratmu!"
Setelah berkata demikian, datuk besar ini keluar dari dalam kamar puterinya dan membanting daun pintu. Ketika tiba di luar, dia melihat puteranya, Ouwyang Toan berada di situ dan tahulah dia bahwa puteranya tadi juga ikut mendengarkan semua percakapan dalam kamar.
"Mau apa kau di sini?" tegur Ouwyang Sek yang masih marah.
Wajah pemuda tinggi besar dan gagah itu nampak tegang dan sinar matanya berseri. "Ayah ... kalau begitu ... adik Hui Hong bukanlah adik tiriku, bukan anak kandung ayah? Kalau begitu ... antara ia dan aku tidak ada hubungan darah sama sekali ... "
"Hemm, kalau sudah begitu kenapa?" ayahnya membentak dengan suara lirih agar jangan terdengar isterinya yang berada di kamar puterinya, sambil terus melangkah meninggalkan tempat itu diikuti puteranya, "Kalau begitu aku dapat mengawininya, ayah! Aku ... sejak dulu aku ... cinta kepada Hui Hong."
Kembali Ouwyang Sek tertegun, akan tetapi karena hatinya sedang risau dan mendongkol, dia cemberut." Masa bodoh ia mau menikah dengan siapa, asal dapat mamenuhi syarat-syaratnya."
"Apakah syarat-syaratnya, ayah? Aku masih kurang begitu jelas. Ia menyebut-nyebut Kwa Bun Houw ... "
"Itu tidak masuk hitungan! Syaratnya hanya dua, pertama harus dapat menemukan kembali mustika Akar bunga Gurun Pasir, ke dua harus mampu mengalahkannya."
"Akan kucoba, ayah."
Ayahnya menoleh dan memandang kepadanya, lalu mendengus marah. "Agaknya engkau pun sudah gila!"
Mereka memasuki ruangan tamu dan dua orang tamu mereka segera bangkit menyambut. Suma Koan tersenyum lebar. "Aha, sobat Ouwyang Sek, aku percaya engkau tentu telah berhasil membujuk puterimu, dan menerima pinangan kami."
Ouwyang Sek duduk, juga Ouwyang Toan mengambil tempat duduk semula. Setelah memandang kepada kedua orang tamu itu, dia lalu berkata. "Aih. puteriku memang manja sekali. Ia tidak lagi menolak, akan tetapi mengajukan syarat-syarat!"
"Aihh! Syarat-syarat apakah yang diajukan adinda Ouwyang Hui Hong itu, paman!” terdengar Suma Hok bertanya, suaranya penuh gairah karena dia merasa yakin akan mampu memenuhi syarat yang diajukan gadis yang membuatnya tak nyenyak tidur tak enak makan itu.
"Syarat ini bukan hanya untuk keluarga Suma, melainkan syarat umum terhadap siapa saja yang ingin memperisteri Hui Hong. Pertama, pemuda itu harua mampu mencari sampai dapat mustika Akar Bunga Gurun Pasir kami yang hilang dan menyerahkan kepada Hui Hong, dan ke dua, pemuda itu harus mampu menandingi dan mengalahkan Hui Hong?”
Suma Hok mengerutkan alisnya. Syarat syarat itu, terutama yang pertama, terasa berat olehnya dan dia memandang kepada ayahnya. Akan tetapi Suma Koan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, syarat-syarat itu cukup sukar, akan tetapi untuk mendapatkan seorang gadis sehebat Ouwyang Hui Hong. syarat itu masih terlalu lunak. Sobat Ouwyang, kami menyanggupi syarat-syarat itu. Pertama akan kami coba penuhi syarat pertama menemukan kembali mustikamu itu, baru kemudian kami memenuhi syarat ke dua. Nah, kami minta diri, akan segera melaksanakan syarat pertama."
Ouwyang Sek bangkit dan mengantar kedua orang tamunya sampai ke pintu depan, ditemani oleh Ouwyang Toan. Diam-diam Ouwyang Toan merasa lega dan girang. Tadi ayahnya mengajukan di depan dua orang tamunya bahwa syarat-syarat itu ditujukan kepada siapa saja yang hendak memperisteri Hui Hong! Berarti dia pula berhak mempertsteri gadis itu kalau dapat memenuhi dua syarat itu. Dia harus lebih dulu mendapatkan kembali Akar Bunga Gurun Pasir, jangan sampai keduluan Suma Hok!
Akan tetapi Suma Hok merasa tidak puas sama sekali. Biarpun ayahnya telah menyanggupi dan menerima dua syarat itu, akan tetapi dia merasa seperti dipersukar, apalagi dia tidak mendapat kesempatan untuk berpamit kepada Hui Hong sehingga dapat bertemu lagi dengan gadis itu. Maka, sebelum ayahnya meninggalkan pintu gerbang keluarga Ouwyang, dia berhenti dan memberi hormat kepada Ouwyang Sek.
"Maafkan saya, paman Ouwyang, Karena syarat itu cukup berat dan entah sampai kapan saya akan dapat membawa ke sini mustika itu untuk dihaturkan kepada paman dan adinda Ouwyang Hui Hong, maka perkenankanlah saya untuk berpamit kepada puteri paman yang amat saya cinta itu."
Mendengar ini, Suma Koan cepat berkata untuk membela puteranya, "Ha-ha-ha, dasar orang muda. Sobat Ouwyang, kurasa permintaan anakku itu pantas saja. Pula, sebagai tamu, aku sendiri merasa kurang enak kalau tidak pamit dari semua keluargamu yang tadi menyambut kami. Akupun ingin berpamit kepada isterimu dan puterimu."
Ouwyang Sek baru teringat akan sopan santun. Keluarganya telah menyambut tamu, bagaimana sekarang tidak muncul ketika tamu-tamunya pulang. "Ha-ha-ha, memang sulit mengatur wanita. Toan-Ji (anak Toan), kau cepat minta ibumu dan adikmu keluar mengantar tamu!"
Biarpun hatinya merasa tidak senang, Ouwyang Toan pergi juga ke kamar adiknya. Dia mengetuk pintu kamar dan yang keluar adalah ibu tirinya. Akan tetapi dia dapat mendengar suara adiknya menangis! Adiknya menangis! Sungguh hal yang teramat aneh. Gadis yang keras hati dan gagah berani itu menangis! Dan dia teringat akan rahasia yang dibuka ayahnya tadi. Agaknya itulah yang membuat Hui Hong menangis.
Ketika mendengar Ouwyang Toan menyampaikan permintaan suaminya, Pouw Cu Lan mengerutkan alisnya. "Katakan pada ayahmu bahwa saat ini adikmu tidak mungkin dapat keluar mengantar tamu pulang,"
"Tapi ayah akan marah ..."
"Katakan saja kepada ayahmu bahwa kalau besok para tamu mendatang lagi, aku tentu sudah dapat membujuk Hui Hong untuk keluar dan mengantar mereka pulang." Ia lalu masuk lagi dan menutupkan daun pintu kamar anaknya.
Terpaku Ouwyang Toan menyampaikan jawaban ibunya itu kepada ayahnya yang menjadi bingung, tak tahu bagaimana harus bersikap atau bicara kepada tamunya.
Akan tetapi mendengar laporan Ouwyang Toan itu. Suma Hok yang cerdik segera berkata dengan gembira. "Kalau begitu, biarlah kita menanti semalam di sini, ayah! Kesempatan ini dapat kupergunakan untuk melihat-lihat keindahan bukit ini."
"Ha-ha-ha, boleh saja kalau sobat Ouwyang Sek tidak berkeberatan menerima kita bermalam di sini semalam, agar besok aku dapat berpamit dari semua keluarganya." kata Suma Koan.
Tentu saja Ouwyang Sek tidak dapat berbuat lain kecuali menerima mereka, dan mereka semua masuk kembali. Hanya Ouwyang Toan yang diam-diam mendongkol kepada Suma Hok yang mulai saat itu dianggap sebagai saingannya untuk memperisteri Hui Hong yang sudah disayangnya sejak kecil. Rasa sayang sebagai kakak terhadap adik yang makin lama berkembang menjadi asmara, Apalagi setelah diketahui bahwa Hui Hong bukan adiknya, melainkan orang lain!”
***
Ouwyang Toan tidak salah dengar. Ketika dia menyampaikan pesan ayahnya kepada ibu tirinya, dia memang mendengar adiknya sedang menangis. Dan memang hal ini amat aneh. Hui Hong sejak kecil hidup dalam keluarga Ouwyang Sek, digembleng sehingga menjadi seorang gadis yang berani, keras hati dan seolah-olah pantang menangis, seperti seorang laki-laki gagah perkasa saja. Akan tetapi ketika itu, ia menangis terisak-isak, tak tertahankan sampai sesenggukan.
Kemarahan ayahnya yang hendak memaksanya menerima pinangan Suma Hok tidak membuat ia menangis walaupun ia marah, kecewa dan penasaran sekali. Akan tetapi, ketika mendengar ucapan ayah dan ibunya, ketika ibunya mengatakan bahwa ia bukan anak kandung ayahnya, hal itulah yang menikam ulu hatinya. Setelah ayahnya pergi, ia menubruk ibunya, bahkan mengguncang kedua pundak Ibunya.
"Ibu, apa artinya semua itu? Aku bukan-anak kandung ayah? Ibu, apa artinya ini? Ayah bilang ibu telah membuka rahasia. Ibu, rahasia apakah yang terkandung di balik kehidupan ibu dan ayah? Kalau aku bukan anak kandung ayah, lalu siapakah ayahku? Ibu, ceritakan semua kepadaku!”
Dan berceritalah Pouw Cu Lan. Wanita cantik berusia empatpuluh dua tahun kita berceritera dengan suara gemetar menahan perasaan yang menusuk-nusuk. "Tahukah engksu siapa ibumu ini, anakku?”
"Bukankah ayah sering membanggakan bahwa ibu adalah bekas selir kaisar? Apakah kalau begitu ayahku adalah ... kaisar?"
Wanita itu menggeleng kepalanya. Sungguh berat rasanya membuka rahasianya, rahasia yang penuh keaiban terhadap anak kandungnya sendiri.
"Memang benar, aku adalah seorang yang pernah menjadi selir mendiang Kaisar Cang Bu di Nan-king. kaisar Kerajaan Liu-sung yang telah jatuh dan digantikan Kerajaan Chi yang sekarang ini, anakku. Dengan mendiang kaisar, aku tidak mempunyai anak. Akan tetapi, duapuluh dua tahun yang lalu, sebagai selir kaisar aku bertemu dengan seorang pangeran. Kami. ... saling jatuh hati, saling mencinta dan kami ... mengadakan hubungan gelap."
Hui Hong yang mendengar cerita itu mengerutkan alisnya, akan tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Ia hanya tahu bahwa ibunya terpaksa menjadi selir kaisar tidak mencinta kaisar dan bertemu dengan pangeran yang di cintanya.
"Akan tetapi, hubungan kami ketahuan kaisar. Pangeran itu merasa malu dan ... membutakan kedua matanya sendiri, lalu minggat dari Istana, dan aku ... aku menerima hukuman dari kaisar. Aku dihukum buang, ... " Kini Pouw Cu Lin tidak dapat menahan tangisnya lagi karena ia teringat akan kekasihnya, pangeran itu.
"Lalu bagaimana, ibu?" Karena penasaran dan ingin tahu, Hui Hong mendesak ibunya yang sedang menangis.
"Ketika aku sedang dikawal menuju ke tempat pembuangan, Ouwyang Sek menghadang, membunuh para pengawal dan membebaskan aku dari kerangkeng, lalu dia ... dia mengambil aku sebagai isterinya.Hui Hong mengerutkan alisnya. Cerita ibunya sungguh membuat ia tidak merasa senang. Ibunya seorang yang demikian cantik, dan pria yang selama ini dianggap sebagai ayahnya demikian buruk dan kasar.
"Dan ibu mau?" komentarnya yang mengandung teguran karena penasaran.
Wanita itu terisak, kepalanya tunduk dan ia mengangguk. "Aku ... aku terpaksa mau karena ... karena hendak menyelamatkan ... engkau, Hui Hong."
Sekali ini Hui Hong terlonjak kaget. "Ibu, apa artinya ini! Apa maksud ibu?"
"Hui Hong, apakah engkau kira ibumu ini demikian rendah sehingga rela begitu saja dipisahkan dari pangeran itu, satu-satunya orang yang kukasihi dengan badan dan batinku. Demi engkaulah maka aku terpaksa menerima paksaan derita lahir batin. Kalau tidak ada engkau, tentu sebelum dihukum buang, aku sudah membunuh diri mencuci aib dan duka karena dipisahkan dari pangeranku."
"Demi aku, Ibu, jelaskanlah!" Hui Hong semakin penasaran.
"Ketika aku dan pangeran itu dipisahkan dengan paksa. aku dalam keadaan mengandung, anakku. Mengandung ... engkau! Baru tiga bulan kandunganku itu. Aku tidak ingin kehilangan engkau, karena engkaulah satu-satunya peninggalan kekasihku itu kepadaku. Aku rela dihukum buang, bahkan ketika aku diselamatkan Ouwyang Sek, aku rela diperisteri dengan syarat bahwa aku baru mau menjadi isterinya setelah engkau terlahir dan setelah dia berjanji bahwa dia akan menganggapmu sebagai anak sendiri, akan memperlakukanmu dengan kasih sayang seperti anak sendiri."
"Aihhhh, ibu ... !” Mulai saat itulah Hui Hong menangis, merangkul ibunya.
Ia dapat membayangkan betapa hebat penderitaan ibunya, derita lahir batin demi untuk menyelamatkan dirinya, puterinya! Semua itu dilakukan ibunya karena amat besar cinta ibunya, terhadap ayah kandungnya, pangeran itu, sehingga rela berkorban perasaan, menderita lahir batin asal dapat menyelamatkan keturunan pangeran itu.
Sampai lama dua orang wanita itu saling rangkul dan bertangis-tangisan. "Menangislah anakku ... menangislah karena engkau adalah manusia biasa, dari ayah yang luhur budi bukan anak seorang datuk sesat yang keras kepala dan keras hati ... menangislah, anakku sayang ... " Belaian Ibunya itu membuat Hui Hong makin mengguguk dalam tangisnya.
Setelah tangis itu mereda, Hui Hong hanya terisak-isak, dan pada saat itu Ouwyang Toan muncul di pintu memanggil ibunya. Ia mendengar percakapan mereka dan matanya terbelalak, kemudian dia tersenyum-senyum dan batinnya bersorak. Hui Hong bukan adik kandungnya, bukan adik tirinya, bukan apa-apa, orang lain. Ini berarti bahwa dia boleh mengawini gadis itu!”
Setelah pemuda itu pergi, Hui Hong telah dapat menguasai dirinya, tidak terisak lagi. Ada perasaan aneh dalam hatinya. Ia bukan putri Ouwyang Sek! Sungguh aneh sekali perasaan ini membuat ia merasa lega dan bahkan bangga! Seringkali diam-diam ia merasa tidak suka akan sifat dan watak ayahnya itu. Terlalu keras, terlalu kejam, dan kadang terlalu licik. Kini bahkan ia merasa lega bahwa yang berbuat jahat dan keji terhadap Kwa Bun Houw bukanlah ayah kandungnya, bukan pula sanak saudara, melainkan orang lain. Tidak ada sedikitpun darah datuk itu mengalir di tubuhnya. Ayah kandungnya seorang pangeran! Perasaan bangga timbul dan ia merasa betapa harga dirinya melambung tinggi!
"Ibu, siapakah nama pangeran itu, ayah kandungku itu?" akhirnya ia bertanya.
Tiba-tiba terdengar suara lembut menyelinap masuk kamar itu. Datang dari arah jendela kamar. “Namanya Pangeran Tiauw Sun Ong!”
“Ehh? Siapa itu ...?" Pouw Cu Lan terkejut dan terbelalak memandang ke arah jendela.
Akan tetapi, reaksi Hui Hong sudah lebih cepat lagi. Sekali berkelebat, gadis itu telah meloncat keluar dari dalam kamar sambil mendorong daun jendela kamar terbuka. Ia masih sempat melihat berkelebatnya bayangan seorang wanita berlari cepat sekali meninggalkan taman bunga di luar kamarnya. Tanpa mengeluarkan suara, iapun mengerahkan ilmunya berlari cepat dan melakukan pengejaran.
Bayangan itu mampu bertari secepat terbang. Hui Hong merasa penasaran sekali melihat bayangan itu melesat amat cepatnya menuruni bukit melalui bagian belakang yang sunyi dan juga amat sukar dilalui. Ia tidak mau kalah, mengerahkan ilmunya berlari cepat, meloncat bagaikan seekor kijang melakukan pengejaran. Namun, sampai tiba di kaki bukit yang sudah amat jauh dari rumah Ouwyang Sek, belum juga ia mampu menyusulnya. Akan tetapi, setelah mereka tiba di tepi hutan yang amat sunyi, wanita itu berhenti dan membalikkan tubuhnya, menanti pengejarnya sambil tersenyum. Dan begitu berhadapan, Hui Hong, tertegun. Wanita itu cantik manis dengan kulit muka yang putih dan tubuh yang ramping, padat. Nampaknya baru berusia tiga puluhan tahun, dan ia sama sekali tidak mengenalnya, bahkan belum pernah merasa berjumpa dengan wanita itu. Suara wanita inikah yang tadi menjawab pertanyaannya tentang nama ayah kandungnya?
"Bibi, engkaulah yang tadi menjawab pertanyaanku dari luar kamar?" tanya Hui Hong, sambil memandang dengan penuh perhatian.
Wanita itu tersenyum dan nampak deretan giginya yang putih, Ia hanya mengangguk tanpa menjawab, akan tetapi pandang matanya juga mengamati wajah dan bentuk tubuh Hal Hnng yang merupakan seorang gadis yang cantik jelita, nampak gagah dan anggun, seorang gadis yang sudah matang, bagaikan setangkai bunga sedang mekarnya.
Melihat wajah yang cantik itu tersenyum ramah, Hui Hong merasa tidak enak kalau bersikap kasar, maka iapun merangkap kedua tangan di depan dada, lalu bertanya, "Kalau boleh aku mengetahui, siapakah bibi dan mengapa pula bersikap seaneh ini?"
"Engkau tentu Tiauw Hui Hong, bukan?" Wanita itu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan pula.
Hui Hong mengerutkan alisnya. "Tiauw ...?" ia menegaskan.
"Tentu saja," wanita itu tersenyum. "Ayah kandungmu adalah Pangeran Tiauw Sun Ong, engkau tentu she Tiauw, bukan she Ouwyang."
"Siapakah engkau, bibi? Kenapa engkau mengetahui tentang ayah kandungku?"
"Hemm, hanya akulah yang tahu di mana adanya ayah kandungmu sekarang. Ibumu sendiri mana tahu? Sejak pangeran meninggalkan istana, ibumu tak pernah bertemu lagi dengan ayahmu, apalagi ia lalu menjadi isteri datuk iblis itu."
"Bibi, siapa nama bibi?"
“Belum waktunya engkau mengenal namaku. Kalau sekarang engkau suka ikut dengan aku, tentu aku akan dapat mengusahakan pertemuan antara engkau dan ayahmu. Nah, marilah engkau ikut pergi denganku."
Hui Hong mengerutkan alisnya. "Bibi, bagaimana mungkin aku pergi bagitu saja? Ibuku tentu tahu di mana adanya ayah kandungku dan aku dapat mencarinya sendiri."
Wanita itu memandang kepadanya dengan senyum mengejek. "Hemm, keras hati dan sombong seperti ayahnya. Kalau tidak percaya kepadaku, boleh kau tanya sekarang juga kepada Ibumu. Akan tetapi ingat, tanpa aku engkau takkan dapat tahu di mana adanya ayahmu itu. Nah, aku tunggu di sini, akan tetapi tidak sampai malam. Tanyalah kepada ibumu."
Hui Hong mengangguk dan cepat ia mempergunakan Ilmu berlari cepat mendaki bukit, diikuti pandang mata wanita itu yang tersenyum-senyum.
"Pangeran, kalau aku menahan puterimu, engkau pasti akan datang kepadaku." kata wanita itu seorang diri.
Kwan Im Sianli Bwe Si Ni merasa senang karena ia memperoleh akal yang baik. Tidak ada gunanya membunuh puteri kandung pangeran itu, karena hal itu tentu membuat pangeran itu makin benci kepadanya. Padahal ia menghendaki pangeran yang dicintanya itu akan membalas cintanya dan menghabiskan sisa hidup di sampingnya.
Pouw Cu Lan masih berada di kamar puterinya dengan bingung, menduga-duga siapa suara wanita tadi yang mengenal nama Pangeran Tiauw Sun Ong! Iapun merasa khawaitir karena sudah agak lama puterinya melakukan pengejaran belum juga kembali. Namun, ia percaya akan kelihaian puterinya, dan menanti di situ sampai puterinya kembali.
Ketika Hui Hong meloncat masuk melalui jendela. Pouw Cu Lau memandang dengan gembira. "Bagaimana, Hui Hong. Siapakah orang yang bicara tadi?"
"Nanti dulu, ibu. Aku ingin kepastian, benarkah nama ayah kandungku Tiauw Sun Ong?”
"Benar, anakku. Akan tetapi siapakah ia tadi ... ?”
"Dan ibu tahu, di mana sekarang ayah kandungku itu? Di mana Pangeran Tiauw Sun Ong sekarang?"
Ibunya menggeleng kepala dengan sedih. “Bagaimana aku tahu, anakku? Sejak peristiwa itu terjadi, aku ditangkap lalu dihukum buang, dan sejak itu aku tidak pernah lagi bertemu dangan dia, bahkan tidak pernah mendengar di mana ia berada. Aku yakin bahwa ayahmu ... ah maksudku, Ouwyang Sek, dia tentu tahu di mana adanya Pangeran Tiauw Sun Ong, akan tetapi dia tidak pernah mau bicara tentang pangeran itu."
“Benar juga ucapan perempuan cantik tadi.” pikir Hui Hong. “Ibunya sendiri tidak tahu di mana adanya ayah kandungnya!”
"Ibu, aku akan pergi mencari ayah kandungku."
"Tapi, di mana engkau akan mencarinya! Dan belum kauceritakan, siapa wanita yang tadi menyebut nama ayahmu?"
"Aku tidak mengenalnya, ibn. Ia seorang wanita cantik yang usianya sekitar tigapuluh tahun lebih. Ia tahu di mana ayahku berada dan aku akan diajaknya pergi mencari ayah."
"Tapi ... tapi, apakah ia? Aku khawatir sekali, anakku. Jangan engkau pergi kalau belum mengenal benar wanita itu."
Akan tetapi Hui Hong tidak perduli. Cepat ia mengambil beberapa potong pakaian dan berkemas, dibuntalnya pakaian itu dan setelah membawa bekal, tidak lupa membawa siang-kiam (sepasang pedang) yang menjadi senjatanya, iapun pergi meninggalkan ibunya walaupun wanita itu menangis dan mencegahnya
Di kaki bukit itu, ia melihat wanita cantik tadi masih menantinya dan tanpa banyak cakap lagi Hui Hong lalu pergi bersamanya, meninggalkan Bukit Siluman.
Sampai di sini, selesailah sudah KISAH SI PEDANG KILAT ini, dengan harapan semoga ada manfaatnya bagi kita semua.
Solo, akhir April 1986
Baca kelanjutannya pada kisah
PEDANG KILAT MEMBASMI IBLIS
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar