5 Kisah Si Pedang Kilat

1 2 3 4 5 6 7 8 9

PINTU kamar Cia Kun Ti dibuka dengan dorongan kedua tangan. Pintu itu jebol. Karena hal ini menimbulkan suara gaduh, Cia Kun Ti yang sedang tidur nyenyak itu terkejut dan terbangun. Akan tetapi dia hanya sempat bangkit duduk dan terbelalak memandang kepada sesosok tubuh berpakaian hitam yang meloncat masuk melalui pintu yang sudah terbuka. Penyinaran lampu dari luar kamar membuat orang itu hanya nampak bayangan hitam saja, akan tetapi golok di tangannya berkilau, Cia Kun Ti tidak sempat melawan, bahkan tidak sempat berteriak karena sama sekali tidak mengira apa yang akan terjadi, bahkan baru saja terbangun dengan kaget. Tahu-tahu golok itu telah menyambar ke arah lehernya. Leher itu hampir putus, tubuh Cia Kun Ti terjengkang dan tempat tidur itu banjir darah.

Bayangan hitam itu meloncat keluar, kini mendorong daun pintu kamar di mana Ling Ay tidur bersama ibunya. Tidak saperti kamar ayahnya, di kamar Ling Ay masih ada penerangan, yaitu lampu meja kecil yang membuat suasana di kamar itu remang-remang, namun cukup terang. Ibu dan anak itu sudah terbangun oleh suara gaduh ketika daun pintu kamar Cia Kun Ti tadi jebol. Mereka terkejut dan bangkit duduk, saling rangkul dengan kaget. Akan tetapi, dengan mata terbelalak dan hampir tak bernapas mereka mendengarkan dan tidak terdengar suara apa-apalagi. Selagi mereka berbisik-bisik karena Ling Ay mencegah ibunya yang hendak turun dan melihat ke kamar sebelah, tiba-tiba pintu kamar itu jebol. Nyonya Cia Kun Ti masih teringat akan kedudukannya sebagai besan kepala daerah, karena baru saja bangun tidur, dan iapun masih hendak mengandalkan kekuasaannya. Ia melompat dengan berani, turun dari tempat tidur dan menudingkan telunjuknya ke arah orang berkedok itu, "Siapa engkau! Berani sekali memasuki kamar kami, ya? Hayo cepat keluar atau akan kupanggilkan pengawal!"

Akan tetapi, terdengar suara terkekeh di balik kedok. Orang berkedok itu menerjang maju, goloknya menyambar dan Nyonya Cia Kun Ti roboh dengan mandi darah, lehernya nyaris putus oleh sabetan golok tadi. Ling Ay menjerit. Orang berkedok itu sekali renggut merobek kelambu yang tertutup dan dia menyeringai ketika melihat Ling Ay dalam pakaian tipis, pakaian tidur, "Heh-heh, engkau cantik sekali! Biar menjadi tambahan upah jerih payahku malam ini, 'Ha-ha-ha." Akan tetapi ketika penjahat berkedok hitam itu menyambar tubuh Ling Ay, wanita muda ini sudah lemas dan tak sadarkan dirinya.

Penjahat itu mendengus gembira karena keadaan wanita yang pingsan itu memudahkan niatnya menculik wanita itu. Tidak banyak membuat perlawanan, tidak akan meronta. Maka, dipanggulnya tubuh yang lemas, lembut dan hangat itu di pundak kirinya dan diapun melompat pergi meninggalkan rumah Cia Kun Ti dan isterinya yang sudah menjadi mayat itu.

Siapakah penjahat berkedok itu ? Setelah dia melarikan Ling Ay yang masih pingsan karena ngeri melihat ibunya dibunuh penjahat itu dan keluar dari kota Nan-ping, penjahat itu menanggalkan kedok hitamnya. Ternyata dia seorang lakl-iaki berusia sekitar empatpuluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan mukanya kehitaman, penuh dengan bopeng bekas penyakit kulit yang membuat kulit mukanya menjadi tebal. Sepasang matanya sipit dan membayangkan hati yang kejam. Hidungnya pesek dan bibirnya tebal menghitam. Wajah yang buruk menyeramkan. Dia seorang pembunuh bayaran yang terkenal dengan Julukan Hek-coa (Ular Hitam) dan sekali inipun dia membunuh Cia Kun Ti dan isterinya bukan karena dendam pribadi, melainkan karena uang. Dia diupah untuk membasmi keluarga Cia oleh seorang pejabat di kota Nan-ping. Pejabat ini adalah sekutu Cun Taijin dan ketika Souw Ciangkun panglima di Nan-ping membasmi dan menangkap komplotan Cun Taijin, tentu saja pejabat ini menjadi ketakutan. Dia khawatir kalau-kalau rahasia persekutuannya dengan Cun Tai-jin terbongkar. Dia dapat menduga bahwa tentu rahasia Cun Taijin pecah oleh keluarga Cia yang menjadi besan Cun Tai-Jin, maka dia tentu saja takut kalau Cia Kun Ti membongkar pula rahasianya sebagai bekas sekutu Cun Taijin. Maka, di panggilnya Hek-coa dan dengan upah yang besar dia menyuruh penjahat itu untuk membasmi keluarga Cia, yaitu Cia Kun Ti, Isterinya dan anaknya, juga seluruh keluarga yang berada di rumah keluarga itu.

Kalau saja Hek-coa membunuh semua orang di rumah itu tanpa kecuali, dan dia berhasil melarikan diri, tentu akan sukar diketahui bahwa pembunuhan itu didalangi olah pejabat yang bernama Poa Kit Seng, pejabat pemungut pajak yang menjadi pembantu Cun Tai-jin itu. Akan tetapi, ketika melihat Ling Ay yang cantik molek, Hek-coa merasa sayang dan diculiknya wanita itu dan dianggap sebagai tambahan upah jerih payahnya.

Karena tidak ingin terhalang gangguan, seperti seekor anjing yang baru saja mencuri ayam dan tidak ingin ketahuan siapapun juga, maka setelah keluar dari kota Nan-ping, Hek-coa membawa Ling Ay yang dipanggulnya mendaki sebuah bukit di mana terdapat hutan. Dia tahu bahwa bukit itu tidak dihuni orang, dan di puncak bukit itu terdapat sebuah kuil tua yang sudah tidak terpakai lagi dan kosong. Seringkali kalau sedang lari dari pengejaran orang sehabis dia melakukan kejahatan, dia bersembunyi di kuil kosong itu. Kuil yang ditakuti penduduk di sekitar Nan-ping karena dikabarkan kuil itu berhantu. Menurut dongeng, dahulu ada seorang nikouw (pendeta wanita) di kuil itu yang berbuat mesum dan akhirnya karena malu ia mati menggantung diri. Karena aib ini, maka semua nikouw meninggalkan kuil itu yang dianggap telah menjadi tempat yang kotor dan sejak itu, puluhan tahun yang lalu, kuil itu tidak lagi dihuni orang. Didatangi orangpun jarang sekali karena orang-orang takut mendekat setelah dikabarkan bahwa kuil itu berhantu.

Biarpun di angkasa hanya ada bintang-bintang, namun karena Hek-coa sudah hafal akan jalan pendakian setapak itu, maka cepat dia dapat mendaki melalui hutan dan akhirnya, menjelang pagi, dia tiba di luar kuil yang nampak kotor tak terawat itu. Memang dilihat dari luar, kuil itu tua, kotor dan menyeramkan. Gentengnya sudah banyak yang pecah. temboknya penuh lumut dan daun pohon menjalar. Banyak kelelawar beterbangan keluar masuk melalui lubang-lubang atap cukup mengerikan. Akan tetapi Hek-coa tersenyum menyeringai, penuh kegembiraan. Dia tahu bahwa biarpun dari luar nampak kotor menyeramkan, namun di sebelah dalamnya bersih dan hangat. Dia telah menemukan sebuah ruangan yang tidak bocor di bagian belakang kuil itu dan dia telah membersihkan ruangan itu, dijadikan tempat tidur. DI sana terdapat sebuah pembaringan kayu yang bersih dan hangat, dan kini akan menjadi makin indah dengan adanya wanita cantik jelita dalam pondongannya ini.

Tiba-tiba Ling Ay mengeluh lirih dan tubuhnya bergerak. Hek-coa merasa betapa tubuh yang lembut hangat itu, yang sejak tadi sudah menimbulkan gairah yang terbakar, kini menjadi hidup dan bergerak, bahkan meronta. Dia lalu memondong tubuh itu seperti seorang anak kecil dan menyeringai sabar sambil mendekatkan mukanya pada muka Ling Ay.

"Engkau sudah bangun, manis. Heh-heh-heh!”

Biarpun cuaca masih remang-remang, namun Ling Ay dapat melihat muka yang amat dekat dan yang agaknya siap untuk melahapnya itu! Ia menahan jeritnya.

"lhhh ...! Siapa engkau ...? Lepaskan aku!” Teriaknya marah.

"Heh-he-heh, manis sayang, jangan kaget dan jangan takut. Aku ... aku ini ... eh, suamimu, ha-ha-ha" Dan kini Hek-coa menariknya, mendekap dan berusaha mencium.

Bukan main kagetnya hati Ling Ay dan kini iapun teringat akan semua peristiwa yang terjadi di dalam kamar Ibunya. Ibunya dibunuh orang yang berpakaian hitam dan berkedok hitam. Dan kini ia berada dalam pelukan seorang laki-laki berpakaian hitam yang wajahnya menyeramkan sekali! Ketika orang itu menciumnya, Ling Ay sekuat tenaga meronta dan memalingkan mukanya sehingga hidung dan mulut Hek-coa mendarat di lehernya yang putih mulus. Mulut itu mengecup leher seperti gigitan seekor anjing serigala pada leher seekor kijang. Ling Ay menggelinjang dan seluruh bulu di tubuhnya meremang. Hampir saja ia pingsan kembali.

"Tidak.: ...! Jangan. ...! Kau lepaskan aku, keparat! Engkau Jahanam yang telah membunuh ibuku! Tolooonggg ... !"

Hek-coa tertawa bergelak, dan mempererat bekapannya. "Berteriaklah, manis. Menjeritlah, merontalah. Makin kuat engkau menjerit dan meronta akan makin menyenangkan hatiku. Akan tetapi tak seorangpun akan mendengar jeritanmu, jeritan pengantinku di malam pertama, ha-ha-ha!” Sambil tertawa dan tidak memperdulikan Ling Ay yang meronta-ronta dan menjerit-jerit, Hek-coa melangkah ke dalam kuil.

Dengan kakinya, Hek-coa mendorong pintu kamar yang dibuatnya itu dan membawa Ling-Ay ke pembaringan kayu yang baginya seperti sedang menanti dan menggapai-gapai. Dengan kasar dia melemparkan tubuh Ling Ay ke atas pembaringan.

Tentu saja Ling Ay merasa ngeri dan ia segera merangkak ke sudut paling jauh dari pembaringan itu, wajahnya pucat, matanya terbelalak dan ia seperti seekor kelinci yang tersudut menghadapi moncong harimau yang siap untuk mencabik-cabik dagingnya.

"Bunuh saja aku ! Bunuh ... engkau sudah membunuh ayah ibuku, kaubunuh saja aku ...!” Ia menangis. Kini ia dapat menduga bahwa tentu ayahnya juga sudah tewas seperti ibunya.

"Ha-ha-ha-ha, membunuhmu? Aduh, sayang secantik manis engkau kalau dibunuh. Tidak, sayang. Engkau akan menjadi isteriku, mau atau tidak mau, dan engkau akan hidup puluhan tahun lagi untuk menemaniku dalam dunia yang biasanya sepi ini."

"Tidak! Aku tidak sudi! Engkau Jahanam, busuk, kaubunuh saja aku! Aku lebih suka mati dari pada menjadi isterimu!” Tiba-tiba Ling Ay menggerakkan tubuh atasnya, hendak, membenturkan kepalanya pada dinding di belakang pembaringan. Akan tetapi agaknya Hek-coa dapat menduga akan hal ini dan sekali dia meloncat, dia sudah menubruk dan mendekap tubuh Ling Ay yang terbanting ke atas pembaringan, menggagalkan niatnya untuk membenturkan kepalanya ke dinding. Ling Ay meronta-ronta dan memalingkan mukanya yang diciumi oleh Hek-coa sambil tertawa-tawa itu.

Tiba-tiba terjadi suatu keanehan yang membuat Ling Ay kaget, heran dan bingung sendiri. Laki-laki yang buruk rupa dan kasar itu tiba-tiba berteriak ketakutan dan melepaskannya, meloncat turun dari atas pembaringan dan dengan mata terbelalak memandang kepadanya dengan pandang mata jijik, bahkan sempat penjahat itu menggerak-gerakkan pundak seperti orang yang jijik dan ketakutan! Tentu saja Ling Ay tidak tahu mengapa begitu. Kalau saja ia tahu! Dalam pandangan Hek-coa, tiba-tiba taja tubuh yang tadinya mulus dan lembut hangat itu, ketika digelutinya, tiba-tiba terasa dingin dan licin, berbau amis dan ketika dia memandang, tubuh Ling Ay telah berubah menjadi seekor ular yang besarnya melebihi besar paha Hek-coa!”

"Hiiiihhh ...! ... ilnman ... !" Hek-coa tergagap dan meraba gagang golok di punggungnya. Akan tetapi pada saat dia menoleh, dia melihat Ling Ay sudah rebah terlentang di atas lantai, tersenyum manis dengan sikap tubuh dan pandang mata menantang dan merangsang! Seketika Hek-coa telah melupakan ular yang melingkar di atas pembaringan itu dan sambil menyeringai dan mendengus seperti seekor kuda, dia menubruk Ling Ay yang rebah di atas tanah menantinya.

Ling Ay terbelalak, hampir tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Kalau tadi ia meronta-ronta dan menjerit-jerit, kini ia diam saja menahan napas, seolah takut kalau ia bernapas terlalu keras, samua penglihatan itu akan membuyar dan apa yang tadi terjadi atas dirinya akan terulang atau dilanjutkan. Betapa ia tidak akan terbelalak heran kalau melihat penjahat yang mengerikan itu tadi tiba-tiba melepaskannya, meloncat turun dari pembaringan dan memandang kepadanya dengan ketakutan, meraba gagang golok kemudian sekarang menubruk setumpukan jerami kotor yang diikat tali bambu, mendekap seikat jerami itu dan menciuminya, meraba-raba dan menggigitinya dengan gemas sambil mengeluarkan suara menggereng-gereng separti seekor binatang buas mengganyang mangsanya!”

Makin lama Hek-coa menjadi semakin buas dan tiba-tiba terdengar suara ketawa lirih namun karena suasana sudah amat mengerikan dan di situ sunyi sekali, yang terdengar hanya napas ngos-ngosan dari Hek-coa, maka suara ketawa itu terdengar jelas dan amat mengejutkan. Meremang bulu tengkuk Ling Ay karena tadi ia mendengar penjahat itu menyebut-nyebut siluman. Kini suara ketawa itu tentu saja ia hubungkan dengan siluman, apalagi ketika tiba-tiba saja, entah dari mana datangnya, di dalam cuaca yang mulai nampak terang itu, tepat di ambang pintu, telah berdiri seorang wanita cantik! Siapalagi kalau bukan siluman, pikir Ling Ay dan ia masih berlutut di atas pembaringan, mendekap dadanya karena sebagian bajunya robek direnggut penjahat itu tadi.

"Hi-hi-hi-hik, orang ini tiada bedanya seperti seekor babi saja," Wanita itu tertawa dan bicara dengan suara lembut, Ling Ay memandang penuh perhatian. Wanita itu umurnya sekitar empatpuluh tujuh tahun, masih cantik seperti gadis berusia duapuluh lima tahun saja. Rambutnya yang amat hitam dan subur itu melingkar di atas kepalanya dengan gelung model puteri bangsawan tinggi. Pakaiannya dari sutera berwarna merah dan kuning. Di punggungnya nampak tersembul gagang pedang yang Indah dengan ronce-ronce biru. Wajahnya yang berbentuk bulat telur itu manis sekali, dengan sepasang mata tajam berwibawa, hidungnya kecil mancung dan bibirnya yang manis itu selalu mengandung senyum mengejek.

Agaknya Hek-coa juga mendengar suara tawa dan ucapan itu dan tiba-tiba saja dia terbelalak memandang seikat jerami kering kotor yang digeluti dan diciuminya.

"Ahhha ... ? Apa ... mengapa ... eh!” siluman ... " Dia tergagap dan bangkit berdiri.!”

Pakaiannya tidak karuan, rambut dan kumis, jenggotnya penuh jerami. Nampak lucu sekali. Hek-coa masih terbelalak bingung, tapi dia segera dapat melihat wanita setengah tua yang, catik itu berdiri di ambang pintu, diapun menoleh ke arah pembaringan dan kembali terkejut melihat Ling Ay masih berlutut di sana.

Dia menoleh lagi ka arah jerami dan menjadi semakin bingung, "Ehhh! Apa ... dan bagaimana ... ular ... ular besar itu ... "

Wanita cantik itu tersenyum lebar dan nampak deretan giginya yang putih dan rapi, masih lengkap. "Engkau ini manusia tapi berwatak binatang! Hayo cepat pergi dari sini, kalau tidak, akan habis kesabaranku dan engkau pasti kubunuh!”

Agaknya kini Hek-coa baru menyadari bahwa dia telah dipermainkan oleh wanita cantik itu. Entah dengan Ilmu apa.

"Engkau siluman! Kaukira aku Si Ular Hitam takut kepadamu? Ha-ha-ha, ditambah seorang lagi seperti engkau, sungguh menggembirakan sekali!”

Dasar seorang yang sudah dikuasai nafsu setan. Hek-coa sudah terbiasa memandang rendah orang lain dan terlalu percaya kepada kemampuan sendiri. Apalagi yang dihadapinya hanya seorang perempuan, cantik lagi walapun tidak semuda wanita yang berlutut di atas pembaringan.

Wanita itu memperlebar senyumnya. "Heh-leh, sikap dan ucapanmu itu menjadi keputusan hukuman mati bagimu!”

"Uwahh! Engkau ini perempuan cantik tapi sombong. Lihat saja nanti kalau aku sudah berhasil menundukkanmu, tentu akan lain bicaramu!” Tiba-tiba saja Hek-coa menubruk, dengan terkaman separti seekor harimau kelaparan sehingga bukan hanya kedua lengan yang dikembangkan itu yang menyerang, bahkan juga kedua kakinya seperti hendak mencengkeram! Ling Ay yang tahu akan kekejaman dan kelihaian penjahat itu, tentu saja merasa khawatir sekali. Akan tetapi, kekhawatiran itu segera berubah menjadi kelegaan hati yang amat menggembirakan ketika tiba-tiba saja, entah mengapa dan bagaimana, tubuh penjahat yang menubruk itu telah terpelanting dan terbanting ke atas tanah dengan kerasnya

"Ngekkk!” Penjahat itu mengeluarkan suara dari perut karena ketika dia terbanting, seluruh tulangnya seperti remuk rasanya. Sejenak dia hanya dapat bangkit duduk, tangan kiri memegangi kepala yang terasa puyeng, tangan kanan menggosok-gosok pantat yang tadi menghantam lantai dengan kerasnya. Akan tetapi dasar orang tak tahu diri. dia masih belum jera. Dia kini menjadi marah bukan main. Setelah kepeningannya hilang, diapun bangkit berdiri dan sekali tangan kanannya bergerak, golok itu sudah dicabutnya. Sinar matahari pagi yang mulai menerobos masuk menimpa golok yang nampak berkilauan mengerikan. Kembali Ling Ay merasa ngeri. itulah golok yang telah membunuh Ibunya, di depan matanya, dan mungkin juga ayahnya! Dan sekarang wanita itu terancam!”

"Jangan bunuh enci itu! Bunuh saja aku, jangan bunuh ia yang sama tidak berdosa. Akulah anggauta keluarga Cun dan Cia, bunuh saja aku!” teriak Ling Ay, Wanita itu menoleh ke arah Ling Ay dan senyumnya manis sekali. "Jangan sebut aku enci. Aku lebih pantas menjadi bibimu dan jangan khawatir. Dia ini bernama Ular Hitam maka bagaimana mungkin dia dapat memegang golok atau pedang? Yang dipegangnya hanyalah seekor ular berbisa!”

Tentu saja Ling Ay merasa heran dan tidak mengerti. Ia memandang kepada Hek-coa dan melihat bahwa yang dipegang penjahat itu adalah sebatang golok besar yang tajam mengkilap, bagaimana dikatakan bahwa penjahat itu memegang seekor ular.

"Ha-ha-ha, sayang sekali orang cantik manis ini otaknya miring!” Hek-coa mengejek untuk membesarkan hatinya sendiri yang sebetulnya mulai merasa gentar. Tadi, ketika dia menyerang dengan tubrukan mautnya, agaknya wanita itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak, apalagi memukul. Hanya nampak ia mengangkat kedua tangannya dan dia merasa ada angin yang kuat sekali mendorongnya sehingga dia terpelanting dan terbanting dengan keras. Dia mulai curiga bahwa yang dihadapinya adalah seorang wanita sakti. Akan tetapi dia masih mengandalkan goloknya, maka dia berani mengejek untuk membesarkan hati dan kepercayaan kepada diri sendiri.

Wanita itu menudingkan telunjuknya. "Hek-coa, lihat baik-baik. Bukankah yang kaupegang itu seekor ular kobra? Lihat, ular itu akan melilit lehermu sendiri!”

Bagi Ling Ay, penjahat itu tetap saja memegang sebatang golok tajam, bahkan golok itu sudah diangkat dan diamangkannya dengan penuh ancaman. Akan tetapi ia melihat betapa Hek-coa tiba-tiba memandang golok yang berada di tangan kanannya dan mata yang sipit itu terbelalak, muka hitam itu berubah pucat dan mulutnya ternganga mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh tidak karuan seperti orang yang merasa ngeri dan ketakutan!”

Betapa tidak ? Hek-coa yang mendengar ucapan wanita itu. tentu saja memandang kepada golok di tangannya dan inilah awal kesalahannya. Begitu memandang goloknya, berarti dia sudah jatuh di bawah pengaruh wanita itu, mentaati perintahnya dan dia melihat goloknya bukan berbentuk golok lagi melainkan seekor ular kobra yang dia pegang ekornya. Kini ular itu mengangkat leher dan kepalanya, lehernya, mengembang dan lidahnya keluar masuk dari mulut yang mendesis-desis!”

"Ahhh ... uhhhh ... ular ... ularr. ...! Tidak ... ihhh!” Dia mencoba untuk membuang golok yang telah berubah menjadi ular kobra itu, akan tetapi celakanya, ekor ular yang dipegangnya itu seolah olah melekat di telapak tangannya. Ular itu kini mulai mendekati lehernya! Bahkan mulai melilit lehernya. Terasa dingin-dingin licin di kulit lehernya.

Hek-coa menjerit-jerit dan memandang ke kanan kiri ketakutan. Ling Ay menjadi bengong! Tadinya dia masih mengira bahwa si muka hitam itu hanya berpura-pura untuk mempermainkan wanita cantik ini. Akan tetapi kini ia melihat si muka hitam itu selain ketakutan, juga golok yang dipegangnya itu hendak digorokkan ke lehernya sendiri! Golok itu sudah menempel di leher dan mulai nampak darah ketika golok yang tajam itu mengiris kulit leher, Tahulah ia bahwa si muka hitam itu tentu akan mati menggorok leher sendiri, agaknya melihat golok itu telah berubah menjadi ular yang hendak melilit lehernya. Tiba-tiba Ling Ay turun dari atas pembaringan.

"Enci ... bibi...! Harap jangan bunuh dia dulu!”

Wanita itu menoleh dan tersenyum dan sekali ia menggerakkan tangannya ke arah Hek-coa, penjahat itu sadar dan mukanya pucat melihat betapa dia menempelkan goloknya di lehernya sendiri. Tangan kirinya meraba bagian leher yang perih dan temyata leher itu terluka dia menjadi semakin ketakutan. Wanita cantik itu tentulah siluman! Dia berteriak dan sambil melempar goloknya, diapun meloncat hendak melarikan diri. Akan tetapi kembali wanita itu menggerakkan tangan ke arahnya dan angin menyambar dahsyat dan tubuh Hek-coa terpelanting lagi, terbanting keras. Maklumlah Hek-coa bahwa tak mungkin dia lari dari wanita siluman ini, maka dengan tubuh menggigil kelakutan, dia lalu menjatuhkan diri berlutut ke arah wanita itu.

"Mohon ... ampun ... hamba ... hamba berdosa, ampunkan hamba ... !"

"Diam saja di situ dan jangan bergerak!" kata wanita itu dan Hek-coa tidak berani lagi bengerak atau membuka mulut, hanya berlutut dengan tubuh gemetar, "Nona, engkau tadi mengatakan bahwa ayah dan ibumu dibunuh oleh Ular Hitam ini, dan sekarang engkau minta kepadaku agar jangan membunuhnya dulu? Apakah engkau hendak membalas dendam dan hendak menyiksanya dulu sebelum membunuhnya ? Hi-hik, kalau begitu, aku dapat mengajarimu cara menyiksa yang paling hebat, yang akan membuat dia menderita siksaan yang membuat dia mati tidak hiduppun tidak!”

Ling Ay maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang wanita sakti, maka ia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki wanita itu. "Bibi, harap maafkan saya. Bukan maksud saya untuk membalas dendam dengan penyiksaan. Akan tetapi, mengingat bahwa keluarga saya mempunyai dosa besar terhadap pemerintah dan sudah sepatutnya kalau saya pun dihukum. Hanya saya ingin tahu dari orang ini, mengapa dia membunuh ayah dan ibu dan menculik saya. Seperti itukah pelaksanaan hukuman pemerintah? Saya ingin mendengar dari dia segala rahasia yang terdapat di balik perbuatannya yang terkutuk ini."

Wanita cantik itu nampak tertarik sekali dan sejenak ia mengamati wajah Ling Ay. "Anak yang baik, siapakah keluargamu? Siapa pula engkau dan dosa apa yang dilakukan keluargamu? Ceritakanlah segalanya sebelum kupaksa jahanam ini mengaku.”

Ling Ay sudah putus asa. Ayah ibunya telah tewas, keluarga suaminya juga telah terbasmi. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang dapat ia harapkan. Kwa Bun Houw? Ah, ia malas kalau harus mengganggu pemuda bekas tunangannya itu. Sudah terlampau banyak pemuda itu menderita karena dirinya! Maka, kemunculan wanita sakti ini menghidupkan kembali harapan yang hampir padam di hatinya dan pertanyaan itu membuat ia begitu terharu sehingga ia menangis di depan kaki wanita itu, terisak-isak.

Sejenak wanita itu membiarkan saja Ling Ay menangis. Iapun tahu bahwa biarpun lemah dan tidak memiliki kepandaian silat, namun wanita muda yang berlutut di depan kakinya ini bukanlah seorang wanita cengeng yang menuruti perasaan saja. Akan tetapi tak lama kemudian ia berkata dengan suara tegas. "Hentikan tangismu. Aku paling tidak suka kecengengan! Ceritakan keadaanmu dan aku akan membantumu. Kalau kau menangis terus aku akan meninggalkanmu!”

Mendengar itu, seketika Ling Ay berhenti menangis. Hai ini saja menunjukkan bahwa wanita ini memiliki kekerasan hati yang mampu mengatasi perasaannya. Setelah mengusap dan mengeringkan sisa air mata dari kedua pipinya. Ling Ay lalu menceriterakan semua riwayatnya secara singkat. Ia menceriterakan betapa ia dipaksa oleh orang tuanya untuk menjadi isteri Cun Hok Seng, putera kepala daerah Nan-ping walaupun ia sama sekali tidak mencinta pemuda itu. Betapa ia berusaha untuk menjadi seorang isteri yang baik, akan tetapi suaminya ternyata amat pencemburu dan suka kepadanya hanya karena nafsu yang haus kecantikan belaka.

"Kemudian terjadilah malapetaka itu," sambungnya. "Tanpa saya ketahui, ternyata ayah mertua saya. Cun Tai-jin, mempengunakan orang-orang jahat untuk memberontak! Hal ini ketahuan oleh panglima pasukan keamanan di Nan-ping dan rumahnya diserbu pasukan. Saya diajak pulang ayah karena ayah telah tahu hal itu. Keluarga Cun ditangkapi, akan tetapi saya terbebas karena jaminan ... seorang pendekar yang membantu Souw Ciangkun membasmi persekutuan pemberontak. Dan malam ini ... dia ini datang membunuh ayah dan Ibu, dan menculik saya. Karena itulah, bibi yang mulia, saya mohon agar orang ini jangan dibunuh sebelum dia mengaku siapa yang menyuruhnya dan mengapa pula ayah ibu saya dibunuh."

Wanita itu menoleh ke arah Hek-coa yang masih berlutut tak berani bengerak. "Nah, Ular Hitam, engkau sudah mendengar sendiri apa yang dikatakan oleh nyonya muda ... eh, siapa namamu tadi, Cia Ling Ay? Hayo ceritakan mengapa engkau membunuh ayah ibunya lalu menculiknya! Awas, sekali berbohong akan kupenggal sebuah telingamu!”

Hek-coa sudah mati kutu benar-benar. Dia tahu bahwa dia tidak akan dapat meloloskan diri dari tangan wanita sakti ini. Satu-satunya jalan baginya hanyalah minta ampun, atau kalau toh dia harus menjalani hukuman, dia tidak mau menanggungnya sendiri, Sifat umum yang amat buruk dari kita seperti sikap Hek-coa itu, yalah segala hal yang menyenangkan ingin diborong sendiri dan sebaliknya, segala hal yang menyusahkan ingin ditanggung beramai-ramai.

"Ampunkan saya, li-hiap (pendekar wanita)," katanya merendah. "Sesungguhnya, saya hanyalah seorang bawahan saja, seorang pelaksana. Saya diperintah seseorang untuk membunuh keluarga Cia. Ketika melihat nyonya muda ini, hati saya merasa tidak tega dan karena saya belum mempunyai isteri, maka maksud saya untuk memperisterinya karena saya merasa kasihan. Saya pribadi tidak mengenal keluarga Cia, bagaimana bisa bermusuhan ? Saya diperintah ... "

"Siapa yang menyuruhmu?" Kini Ling Ay yang bertanya karena ia merasa penarasan sekali.

Bahkan terhadap Ling Ay yang tadi hampir diperkosanya, Hek-coa bersikap takut dan hormat. Hal ini adalah karena dia mengharapkan pengampunan dari Ling Ay yang tidak begitu galak dibandingkan wanita sakti itu. Tadipun nyonya muda ini yang minta kepada si wanita sakti agar tidak membunuhnya.

"Yang memerintahkan saya untuk melakukan pembunuhan adalah Poa Tai-jin ... saya hanya melaksanakan perintah ..."

"Poa Tai-Jin?” Ling Ay mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. "Poa Tai-jin yang menjadi pembantu Cun Tai-jin. pengumpulan pajak itu ?”

"Benar, toanio. Dia Poa Kit Seng, dia yang memerintahkan saya dan saya ... saya hanya melaksanakan. ... "

"Kutu busuk!” Wanita sakti itu membentak, muak melihat sikap pengecut penjahat itu, "Engkau pembunuh bayaran, ya ?"

Hek-coa hanya mengangguk-angguk dan menyembah-nyembah. "Ampunkan saya ... "

Kini Ling Ay bangkit berdiri, memandang kepada wanita sakti dan berkata, "Bibi, kumohon bibi sudi menemani saya untuk pergi kepada Souw Ciangkun bersama penjahat ini. Saya harus melaporkan tentang hal ini, karena agaknya masih banyak sisa sekutu pemberontak."

Wanita itu memandang heran. "Pergi kepada panglima pasukan di Nan-ping? Dan engkau adalah anggauta keluarga Cun, tentu engkau akan ditangkap pula."

"Sudah semestinya begitu, bibi. Saya tidak takut dan memang sudah sepatutnya saya bertanggung jawab sebagai anggauta keluarga Cun. Akan teiapi yang terpenting, semua sisa pemberonlak harus dibersihkan."

"Hemm, engkau memang aneh dan tabah sekali, Ling Ay." kata wanita itu yang kemudian membentak Hak-coa, "Hayo katakan kenapa pejabat she Poa itu membayarmu untuk membunuh keluarga Cia! Awas, ceritakan sesungguhnya kalau tidak ingin kusiksa!”

"Poa Kit Seng takut kalau sampai rahasianya dibocorkan oleh keluarga Cia, li-hiap. Dia ... seperti dugaan toa-nio ini tadi, dia memang sekutu dari Cun Taijin, Dia takut kalau ketahuan oleh pemerintah dan ikut ditangkap. Yang mengetahui rahasia itu agaknya hanya keluarga Cia, maka dia memerintahkan hamba membasmi keluarga itu."

"Hemm, ternyata apa yang kau duga memang tepat, Ling Ay. Sekarang, apa yang kau inginkan?”

"Saya ingin menyerahkan diri sebagai anggauta keluarga Cun, bibi, dan saya ingin agar Souw Ciangkun menangkap orang she Poa itu bersama semua sisa pemberontak."

"Tapi engkau dapat dihukum penjara, bahkan dihukum mati!”

"Saya sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi, bibi. Ayah ibuku sudah tidak ada, juga keluarga suamiku tidak ada. Saya sebatang kara dan hidup ini hanya penuh kedukaan. Saya bersedia untuk dihukum mati sekalipun.”

"Hemm, hendak kulihat nanti. Mari kita pergi." kata wanita itu dan membentak Hek-coa, "Engkau sudah mendengar tadi ? Hayo antarkan kami kembali ke Nan-ping menghadap Souw Ciangkun!"

Tentu saja diam-diam Hek-coa merata takut sekali. Menghadap panglima yang membasmi pemberontakan itu seperti juga seekor tikus menghadap kucing! Akan tetapi terhadap wanita sakti ini dia tidak mampu berbuat apa-apa, maka diapun bangkit dan mereka bertiga keluar dari dalam kuil tua.

Ketika mereka tiba di hutan dalam perjalanan menuruni bukit itu, di bagian yang belukar dan masih agak gelap karena matahari pagi masih terlalu lemah unluk dapat menerobos daun-daun pohon yang rimbun, tiba-tiba Hek-coa meloncat ke kiri, hendak melarikan diri. Dia melihat kesempatan baik ketika berada di dalam hutan ini, satu-satunya kesempatan untuk dapat menyelamatkan diri dari tangan wanita sakti itu.

Tentu saja Ling Ay terkejut ketika tiba-tiba penjahat itu meloncat ke kiri dan lenyap di balik semak belukar. Akan tetapi wanita cantik itu tidak nampak terkejut, bahkan tersenyum manis dan iapun berseru dengan suara nyaring, lembut namun penuh wibawa.

"Hek-coa, berhenti kau!”

Wanita itu lalu menggandeng tangan Ling Ay dan diajak melangkah ke balik semak belukar dan ... Hek-coa nampak berdiri seperti patung dan matanya terbelalak, mukanya yang hitam itu menjadi semakin gelap. Bagaimana dia tidak akan ketakutan kalau tadi, setelah dia berhasil meloncat ke balik semak belukar dan sudah siap untuk melarikan diri ke dalam hutan lebat, menuju kebebasan, tiba-tiba terdengar bentakan lembut itu dan anehnya, begitu mendengar dia disuruh berhenti, seketika kakinya tidak mau lagi diajak berlari!”

Kini wanita itu sudah tiba di depannya, bersama Ling Ay yang juga memandang terheran-heran. Orang ini sudah berhasil meloncat ke balik semak belukar, kenapa kini berdiri seperti patung?

"Engkau hendak melarikan diri dariku ? Hemm, biar engkau bersayap sekalipun, jangan harap dapat melarikan diri. Engkau memang seorang yang jahat dan licik, pantas dihajar!" Cepat sekali tangan wanita itu bengerak, terdengar suara "pletak" dua kali dan kedua tulang pundak Hek-coa telah patah-patah! Tentu saja dia tidak mampu lagi menggerakkan kedua lengannya yang kini tengantung lemas karena kalau digerakkan, kedua pundaknya terasa nyeri bukan main.

“Hayo jalan!” bentak wanita itu dan dengan kedua lengan tengantung di kanan kiri, dengan muka menunduk, Hek-coa melanjutkan langkahnya, menahan rasa nyeri yang membuat seluruh tubuhnya basah oleh keringat dingin. Wanita itu berjalan di belakangnya, masih menggandeng tangan Ling Ay.

"Bibi, kalau boleh saya bertanya. Siapakah bibi?"

"Namaku Kwan Hwe Li dan orang di dunia persilatan menyebut aku Bi Moli (Iblis Wanita Cantik). Akan tetapi engkau boleh memanggil aku Bibi Hwe Li saja."

"Aih, sungguh keterlaluan orang-orang itu!” Ling Ay berseru penasaran. "Engkau lebih pantas disebut Sianli (Dewi) dari pada Moli (Iblis Betina), bibi!”

Sementara itu, mendengar disebutnya julukan Bi Moli, seluruh tubuh Hek-coa menggigil. Dia pernah mendengar akan nama besar Bi Moli, seorang wanita kang-ouw, bahkan seorang datuk sesat yang selain amat lihai ilmu silat dan ilmu sihirnya, juga amat ganas dan kejam terhadap lawannya!”

Bi Moli Kwan Hwe Li tersenyum mendengar ucapan Ling Ay. "Tidak, Ling Ay, aku memang seorang Iblis wanita terhadap musuh-musuhku yang jahat. Kautahu, kalau tidak karena engkau, orang ini sudah menggeletak di kuil yang tadi, menjadi bangkai yang kini diperebutkan oleh binatang hutan. Sudah kubunuh dia!”

Tentu saja Hek-coa menjadi semakin ketakutan. Perjalanan dilanjutkan dengan cepat menuju ke kota Nan-ping. Mereka tiba di kota itu setelah tengah hari dan mereka langsung menuju ke markas pasukan yang dipimpin Souw Ciangkun. Benteng itu berada di ujung selatan kota Nan-ping.

***

Ketika menerima laporan dari penjaga pintu gerbang bahwa ada dua orang wanita cantik membawa tawanan seorang pembunuh minta menghadap, Souw Ciangkun merasa heran akan tetapi cepat menyuruh pengawalnya mempersilakan dua orang wanita dengan tawanannya itu untuk datang menghadapnya dalam ruangan kantor. Tadinya dia mengira bahwa seorang di antara dua wanita cantik itu tentulah pendekar wanita Ouwyang Hui Hong yang sudah dikenalnya. Maka, dia merasa heran sekati ketika melihat bahwa tamunya itu bukan lain adalah Cia Ling Ay atau yang pernah dikenalnya sebagai Nyonya Cun Hok Seng, mantu dari Cun Tai jin Dia sudah berjanji kepada Kwa Bun Houw bahwa wanita ini tidak akan dituntut sebagai anggauta keluarga Cun. maka tentu saja dia merasa heran bagaimana wanita ini sekarang muncul menghadapnya. Dan diapun tidak mengenal wanita cantik setengah tua yang datang bersama Ling Ay. Akan tetapi, sebagai komandan pasukan di Nan-ping, dia segera mengenal Hek-coa yang kedua lengannya tengantung lumpuh itu.

Setelah memberi hormat dan mempersilakan dua orang tamunya duduk sedangkan Bi Moli membentak dengan suara halus agar Hek-coa berlutut di lantai, Souw Ciangkun lalu bertanya akan maksud kunjungan itu.

"Souw Ciangkun tentu masih mengenal saya. Saya adalah mantu Cun Tai-Jin dan selain saya datang untuk menyerahkan diri sebagai mantu seorang pemberontak, juga saya hendak melaporkan akan peristiwa yang menimpa keluarga ayah saya."

"Kami sudah menerima laporan pagi ini tentang peristiwa menyedihkan di rumah orang tuamu itu, Cun Hujin (Nyonya Cun). Ayah dan ibumu terbunuh dan engkau lenyap. Akan tetapi kami tidak tatu siapa yang melakukan pembunuhan itu dan ke mana engkau pergi." kata Souw Ciangkun, nada suaranya mengandung iba. Nyonya muda ini memang bernasib malang, pikirnya. Baru saja keluarga suaminya ditangkapi karena memberontak, disusul pembunuhan terhadap ayah dan ibu kandungnya.

Ling Ay menarik napas panjang. "Dia inilah pembunuh ayah Ibuku, Ciangkun, dan dia pula yang menculik saya. Untung saya ditolong oleh Bibi Kwan ini yang juga menanggapnya."

"Hek-coa, si keparat! Sekali ini engkau tidak akan lolos dari hukuman!” Souw Ciangkun membentak marah.

"Saya menyerahkan kepada Ciangkun untuk menghukumnya, akan tetapi dia ini tidak begitu penting, Ciangkun. Ternyata yang meryuruh dia membasmi keluarga Cia adalah Poa Ku Seng, pejabat pemungut pajak itu dan dalihnya karena dia takut rahasianya terbongkar. Dia adalah sekutu dari ayah mertuaku. Karena itulah saya menghadap Ciangkun, agar semua sisa pemberontak dapat dibersihkan, juga untuk menyerahkan diri untuk ditangkap."

Souw Ciangkun memandang kagum, lalu bangkit berdiri dan begitu dia bertepuk tangan, beberapa orang pengawalnya datang menghadap. Souw Ciangkun bangkit berdiri dan berkata kepada mereka, "Cepat panggil Tan Ciangkun datang menghadap. Sekarang juga!”

Tan Ciangkun adalah wakilnya dan tinggal di dalam benteng itu juga, maka sebentar saja Tan Ciangkun, seorang perwira yang usianya sekitar empat puluh tahun. Tan Ciangkun masuk dan memandang dengan penuh pertanyaan kepada dua orang wanita dan seorang laki-laki yang berlutut itu.

"Tan Ciangkun, suruh seret Hek-coa ini dan jebloskan ke dalam tahanan, dijaga ketat jangan sampai lolos atau bunuh diri. Dia akan menjadi saksi penting. Dan kerahkan pasukan, tangkap seluruh keluarga pejabat Poa Kit Seng, jangan ada yang sampai melarikan diri. Sekarang juga! Dia adalah sekntu dari pemberontak Cun!"

Tan Ciangkun memberi hormat, lalu memerintahkan dua orang pengawal untuk menyeret Hek-coa pergi dan dia sendiri lalu keluar untuk melaksanakan perintah penangkapan terhadap keluarga pembesar Poa Kit Seng.

Setelah ruangan itu sunyi kembali dan hanya mereka bertiga yang berada di situ, Ling Ay lalu berkata kepada Bi Moli, "Bibi, untuk yang terakhir kalinya, saya menghaturkan banyak terima kasih kepada bibi, bukan saja karena bibi telah menyelamatkan saya, terutama sekali karena bibi telah dapat menangkap pembunuh orang tuaku dan membongkar sekutu pemberontakan." Setelah berkata demikian, Ling Ay memberi hormat kepada wanita cantik itu lalu menghadap Souw Ciangkun sambil berkata, "Ciangkun, saya sudah siap untuk ditangkap dan dituntut. Silakan.” Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di atas lantai sambil menundukkan mukanya.

Bi Moli sejak tadi hanya melihat dan mendengarkan saja akan tetapi diam-diam ia merasa kagum dan suka kepada wanita muda yang tabah itu walaupun mengalami nasib yang buruk sekali. Ia ingin tahu apa yang akan dikatakan panglima itu, akan tetapi diam-diam ia mengambil keputusan dalam hatinya untuk mencegah kalau Ling Ay akan dihukum.

Souw Ciangkun melangkah maju mendekat dan membungkuk, lalu dengan sikap kebapakan dia memegang lengan Ling Ay dan ditariknya wanita itu agar bangkit berdiri, dengan sikap lembut.

"Tidak, engkau tidak akan dituntut. Kami telah mendengar semua tentang dirimu dari Kwa Tai-hiap (pendekar besar Kwa) dan kami sudah bersepakat dengan dia untuk tidak menuntutmu atau keluarga orang tuamu. Kami harus memegang janji terhadap pendekar yang berjasa banyak dalam pembongkaran rahasia pemberontakan Cun Tai-jin itu."

Mendengar ini, Ling Ay tertegun. "Ah, kembali Houw-toako yang telah menolongku ... aih, dia melimpahkan budi kebaikan kepadaku, sedangkan aku ... aku hanya menyakiti hatinya ... " katanya lirih dan tak terasa lagi kedua matanya menjadi basah. "Sudanlah, Ling Ay. Hal yang lalu sudah lewat, tiada gunanya dipikirkan lagi," tiba-tiba Bi Moli berkata sambil memegang tangan Ling Ay. "Setelah selesai urusan kita dengan Souw Ciangkun, mari kita pergi dan sini." Wanita itu menggandeng tangan Ling Ay dan menariknya.

"Pergi? Bibi, pergi ke manakah ? Aku tidak mempunyai tempat tinggal lagi, aku tidak mau pulang ke rumah orang tuaku. Aku hanya ingin melihat jenazah mereka, mengurus pemakaman mereka, kemudian ... aku tidak tahu harus pergi ke mana. Tinggal di rumah itu hanya akan mengingatkan aku akan segala hal yang mengerikan." Ia menahan tangisnya karena maklum betapa Bi Moli tidak suka melihat kecengengan.

"Baik, mari kuantar engkau mengurus jenazah orang tuamu. Setelah itu, engkau ikut denganku."

"Ke mana?”

"Kaulihat saja nanti."

Dua orang wanita itu pergi dan Souw Ciangkun hanya mengantar dengan pandang mata yang penuh iba. Akan tetapi perwira gagah yang banyak pengalaman ini maklum bahwa di tangan seorang wanita sakti yang cantik itu, tentu keselamatan Cia Ling Ay terjamin.

Ketika Ling Ay dan Bi Moli tiba di rumahnya, jenazah ayah Ibunya telah diurus oleh para tetangga dan telah dimasukkan peti. Ia hanya dapat menangisi ayah ibunya di depan kedua peti mati dan semua tetangga memandang dengan hati terharu. Akan tetapi begitu Bi Moli mendekatinya dan menyentuh pundaknya. Ling Ay menghentikan tangisnya.

"Bibi Kwan. maafkan kelemahanku." bisiknya kepada wanita cantik yang tersenyum akan tetapi yang memandang dengan mata tajam penuh teguran itu.

Dengan sederhana, jenazah Cia Kun Ti dan isterinya dimakamkan. Kemudian, Ling Ay menyerahkan rumah orang tuanya kepada seorang tetangga yang baik, membawa pakaian dan perhiasannya, dan pergilah ia mengikuti Bi Moli Kwan Hwe Li. Dan mulai saat itu, Cia Ling Ay, wanita muda yang tadinya lemah, tumbuh menjadi seorang wanita yang digembleng ilmu silat tinggi dan juga ilmu sihir!”

Ada satu hal yang menggelisahkan hati Ling Ay selama ia mengurus pemakaman kedua orang tuanya. Kenapa Kwa Bun Houw tidak pernah muncul ? Kalau pemuda itu tahu bahwa ayah ibunya dibunuh orang, ia merasa yakin pemuda itu pasti datang melayat. Ia teringat bahwa pemuda itu akan mencari Ouwyang Hui Hong yang katanya sedang melakukan pengejaran terhadap Pek I Mo-ko. Bahkan ia dan ayah ibunya malam itu sedang menanti kembalinya, karena Bun Houw sudah berjanji akan mengantar mereka pergi pindah ke dusun. Apakah yang terjadi dengan pemuda itu? Walaupun ia kini sudah ikut Bi Moli Kwan Hwe Li. namun setiap teringat kepada Bun Houw, masih saja ia merasa terharu dan khawatir.

***

Kekhawatiran Ling Ay memang beralasan. Kenapa perginya Kwa Bun Houw sehingga dia tidak sempat tahu akan kematian Cia Kun Ti dan isterinya, dan tidak datang melayat? Dia bukan seorang pemuda yang suka melanggar janji, Apalagi janjinya terhadap bekas tunangannya!

Seperti kita ketahui, pada waktu diadakan penyerbuan oleh pasukan terhadap keluarga Cun Tai-jin yang diakhiri dengan tewasnya para jagoan pemberontak itu dan ditangkapnya semua anggauta keluarga pemberontak, Pek I Mo-ko berhasil melarikan diri dan dikejar oleh Ouwyang Hui Hong. Bun Houw yang mendengar dari Souw Ciangkun bahwa gadis perkasa itu mengejar Pek I Mo-ko. segera mencari dan melakukan pengejaran. Namun, selama semalam suntuk dia mencari-cari dengan sia-sia. Dia tidak berhasil menemukan jejak Hui Hong ataupun Pek I Mo-ko. Ketika dia pergi ke rumah Cia Kun Ti. dia mengatakan bahwa dia akan mengantar keluarga Cia pindah ke dusun setelah dia berhasil menemnkan Hui Hong. Maka, pergilah dia meninggalkan rumah keluarga Cia untuk mencari Hui Hong.

Sampai seminggu lamanya Bun Houw mencari-cari tanpa hasil. Tentu saja dia menjadi gelisah bukan main. Di satu fihak, dia harus mencari Hui Hong sampai dapat karena gadis itu melakukan pengejaran terhadap seorang datuk sesatl yang lihai dan penuh tipu muslihat. Mungkin dalam hal ilmu silat, Hui Hong tidak kalah dan mampu menandingi kepandaian datuk sesat itu. Akan tetapi, gadis itu masih muda dan kurang pengalaman, maka mengejar seorang seperti Pek I Mo-ko yang amat curang, sungguh berbahaya sekali. di lain pihak, dia teringat akan janjinya kepada keluarga Cia di Nan-ping yang akan dia amankan pindah ke dusun. Akan tetapi, urusan mengantar keluarga Cia ke dusun tidaklah penting benar dibandingkan urusan mercari Hui Hong karena hal ini ada hubungannya dengan keselamatan Hui Hong. Maka, biarpun dengan berat hati karena dia harus melanggar janjinya kepada keluarga Cia, terpaksa Buo Houw yang sudah melakukan perjalanan jauh itu tidak dapat kembali ke Nan-ping.

Akhirnya dia menemukan jejak mereka pada hari ke delapan. Ketika dia tiba di sebuah dusun di sebelah utara kota Nan-ping, dia mendengar dari seorang penjual air teh atau semacam kedai minuman dan makanan kecil yang berdagang di tepi jalan perempatan dusun bahwa dua orang yang dicarinya itu kebetulan sekali singgah dan minum teh di situ.

"Empat hari yang lalu kakek berpakaian putih seperti yang sicu (tuan) gambarkan itu lewat di sini, bahkan singgah sebentar untuk minum teh dan makan bakpauw. Dia nampak tergesa-gesa, kemudian dia melanjutkan perjalanan ke utara. Dan dua hari kemudian, kemarin dulu, pagi-pagi seorang nona lewat dan singgah pula di sini. Orangnya cantik muda dan galak, pakaiannya sederhana dan di punggungnya memang nampak sepasang pedang. Ia galak sekali. Ketika seorang tuan muda yang menjadi tamu di sini menegurnya dengan ramah karena tertarik oleh kecantikannya, kongcu itu ditampar sampai giginya copot dua buah dan pipinya bengkak. Huh, Ia seperti harimau betina!”

Bukan main girang rasa hati Bun Houw. Tak salah lagi, mereka itu tentu Pek I Mo-ko dan Hui Hong. Kiranya Hui Hong masih tertinggal jauh oleh Pek I Mo-ko.

"Engkau tahu ke mana perginya nona itu.?" tanyanya sambil mengeluarkan uang untuk memberi hadiah kepada pelayan yang suka mengobrol itu. Melihat uang ini, si pelayan menjadi girang, menerimanya dan menceritakan apa saja yang diketahuinya.

"Kami semua tidak tahu, sicu, Akan tetapi aya berani bertaruh bahwa ia tentu mencari kakek baju putih itu dan melakukan pengejaran ke utara."

"Eh ? Bagaimana engkau bisa tahu bahwa nona itu mengejar si kakek baju putih?”

"Tentu saja saya tahu!" kata si pelayan dengan sikap bangga. "Kebetulan sekali saya yang melayani nona itu dan ia banyak bertanya tentang seorang kakek berpakaian putih. Setelah mendeagar bahwa dua hari yang lalu kakek itu lewat di sini dan menuju ke utara, iapun segera membayar minuman dan tergesa-gesa menuju ke utara!"

Girang rasa hati Bun Houw, akan tetapi juga khawatir. Girang karena dia yakin bahwa memang Pek I Mo-ko dan Hui Hong lewat di dusun itu. Gelisah karena tak jauh lagi di utara merupakan daerah Kerajaan Wei yang menguasai seluruh daerah utara, sebuah kerajaan yang besar dan kuat, dipimpin oleh suku Bangsa Toba atau Tartar! dan agaknya Pek I Mo-ko melarikan diri ke daerah itu, dikejar oleh Hui Hong. Sungguh berbahaya. Diapun cepat membayar harga minuman dan melanjutkan perjalanannya ke utara.

Pada waktu itu, Cina terbagi menjadi dua kerajaan. Di bagian utara, daerah Sungai Huang-ho ke utara, dikuasai oleh Kerajaan Wei atau Dinasti Wei (386-532) dan pada waktu itu (sekitar 473) yang menjadi kaisar Kerajaan Wei adalah Kaisar Wei Ta Ong. Kota rajanya di Lok-yang. Dinasti Wei ini di pimpin oleh suku bangsa Toba atau yang lebih dikenal dengan Bangsa Tartar. Namun, sejak pemerintahan pertama, keluarga kerajaan itu yang ingin disebut maju dan tidak ketinggalan jaman, selalu menyesuaikan diri dengan bahasa, kebudayaan dan pakaian Bangsa Han, yaitu bangsa pribumi terbesar di Cina, Berkali-kali Kerajaan Wei ini mengadakan penyerangan ke selatan, namun kerajaan lain di bagian selaian selalu memberi perlawanan gigih sehingga gagallah usaha Kerajaan Wei untuk menguasai kerajaan di selatan.

Adapun di bagian selatan, yaitu daerah Yang-ce-kiang ke selatan, pada waktu itu dikuasai oleh kerajaan atau Dinasti Sung atau lengkapnya Kerajaan Liu Sung (420. 477) dan pada waktu cerita ini terjadi, baru saja Kaisar Cang Bu (473-477) atau kaisar terakhir Kerajaan Liu Sung menduduki tahta kerajaan.

Karena selalu terjadi permusuhan di antara kedua kerajaan ini, maka di daerah tapal batas antara keduanya, yaitu di antara Sungai Huang-ho dan Sungai Yang-tse, selalu terjadi bentrokan senjata antara pasukan kedua kerajaan. Daerah yang cukap luas di antara mereka ini menjadi daerah tak bertuan, daerah liar yang tentu saja dimanfaatkan oleh para penjahat dan golongan sesat untuk di jadikan tempat persembunyian.

Kerajaan Wei yang barpusat di Lok-yang sebagai kota raja itu, kini diperintah oleh Kaisar Wei Ta Ong yang terkenal keras dalam melaksanakan pemerintahannya. Kerajaan Wei sudah berusia hampir satu abad dan kini orang luar sukar membedakan bahwa keluarga kerajaan itu adalah orang-orang Tartar. Selama seabad ini, keluarga mereka telah menyesuaikan diri dengan kebudayaan Han, bahkan banyak di antara mereka yang menikah dengan orang Han sehingga anak keturunan mereka sukar dibedakan dari orang Han aseli. Kalaupun ada sedikit perbedaannya, hal itu mungkin hanya karena sikap orang-orang Tartar yang menjadi penguasa itu bersikap sebagai golongan yang lebih tinggi dari pada orang Han aseli, dan biarpun pakaian dan bahasa mereka sudah sama dengan Bangsa Han, namun kesukaan mereka mengenakan bulu burung antuk menghias rambut atau penutup kepala, merupakan ciri khas orang Tartar yang masih melekat kepada mereka.

Pada waktu Bangsa Tartar suku Toba ini menyerbu dari daerah Mongolia ke selatan, mereka masih merupakan suku yang liar dan buas, seperti biasa menjadi watak orang-orang Nomad yang hidupnya menentang banyak kesukaran, membuat mereka keras dan cerdik. juga pemberani. Namun sekarang, setelah menjajah dengan mendirikan Dinasti Wei selama seabad, keluarga kaisar telah berubah. Mereka kini terpelajar, bangsawan, walaupun sifat keras tak mengenal ampun, cerdik dan pemberani masih ada pada mereka.

Kaisar Wei Ta Ong mempunyai banyak jagoan, bukan saja para panglimanya yang memimpin pasukan-pasukan yang kuat, akan tetapi juga di kota raja Lok-yang, terutama di istananya, terdapat banyak jagoan yang setia kepadanya. Kaisar Wei Ta Ong memang seorang kaisar yang suka akan olah kesaktian, suka belajar ilmu silat dan gulat, dan dalam usia limapuluh tahun dia masih gagah perkasa dan kuat. Juga dia penggemar wanita cantik. Di haremnya, yaitu kumpulan wanita yang menjadi selirnya, terkumpul tidak kurang dari limapuluh orang wanita berbagai suku bangsa dengan bermacam corak kecantikan. Selain suka akan ilmu silat dan wanita. Juga Kaisar Wei Ta Ong mempunyai satu kesukaan lain, yaitu ilmu-ilmu yang aneh dari para pendeta To. Terutama sekali dia ingin mempelajari ilmu yang akan membuat dia mampu memperpanjang usia sampai seribu tahun!

Kesukaan yang terakhir inilah yang memungkinkan Pek I Mo-ko diterima menghadap kaisar besar itu! Memang luar biasa sekali. Seorang yang tidak dikenal di daerah utara itu, seorang rakyat biasa, bahkan yang datang dari selatan, dapat diterima sendiri oleh Kaisar Wei Ta Ong! Dan para menteri rendahan saja tidak diperbolehkan hadir! Yang ikut hadir dalam pertemuan itu hanyalah para menteri tertinggi dan para kepala jagoan istana.

Tentu berita yang teramat penting dibawa oleh Pek I Mo-ko maka Kaisar Wei Ta Ong berkenan menerimanya seperti itu. Dan sesungguhnya demikianlah. Pek I Mo-ko mohon menghadap Kaisar Kerajaan Wei itu untuk menawarkan sebuah benda yang amat langka, sebuah benda yang akan diperebutkan oleh seluruh tokoh kang-ouw kalau mereka mengetahuinya, Pek I Mo-ko menawarkan Akar Bunga Gurun Pasir! Tanaman bunga ini teramat langka. Belum tentu ada sepuluh batang di seluruh padang pasir Gobi yang amat luas itu! Dan inipun tidak setiap waktu ada karena bunga ini hanya akan tumbuh puluhan tahun sekali. Entah proses alam bagaimana yang membuat tanaman yang mempunyai bunga amat indah dan harum itu dapat tumbuh di gurun pasir yang kering gersang! Kalaupun berbunga, maka umur bunga dan tanaman itu sendiri setelah berbunga hanya beberapa hari saja. Segera menjadi layu dan kering. Akar pohon itulah yang agak tahan lama, dan kalau orang dapat mengambil akar ini selagi belum rusak membusuk, maka akar itu dapat dikeringkan dan menjadi semacam obat yang kabarnya memiliki khasiat yang luar biasa! Menurut kabar yang seperti dongeng namun dipercaya oleh mereka yang memang tahyul, akar ini bisa dipengunakan sebagai obat untuk menyembuhkan segala macam penyakit, menawarkan segala macam racun, bahkan lebih hebat lagi, dapat membuat orang menjadi panjang usia sampai seribu tahun!

Mendengar bahwa Pek I Mo-ko mohon menghadap untuk menawarkan Akar Bunga Gurun Pasir, tentu saja Kaisar Wei Ta Ong menjadi gembira bukan main. Sudah lama dia menginginkan obat panjang usia. Sudah banyak para tosu diundang untuk memberinya rahasia panjang usia, namun semuanya tidak meyakinkan hatinya. Apa artinya kedudukan mulia, berenang di lautan kemewahan dan kekayaan. tenggelam dalam kesenangan dan kehormatan mempunyai banyak selir yang cantik, kalau akhirnya semua itu terhenti karena dia harus mati dalam waktu yang singkat. Mencapai usia seratus tahun saja sedikit sekali kemungkinannya. Maka, kalau ada obat yang membuat dia bertahan hidup sampai seribu tahun, alangkah senangnya! Demikianlah jalan pikiran kaisar itu.

Karena merasa amat tertarik, tidak seperti biasanya, kini Kaisar Wei Ta Ong sendiri yang menghadapi tamu biasa itu dan kaisar sendiri yang menanyainya, "Siapa namamu ?" Suara kaisar itu ramah.

Pek I Mo-ko yang berlutut itu menyembah. "Nama hamba Ciong Kui Le. Hamba berasal dari daerah Nan-ping di Kerajaan Liu Sung."

"Ciong Kui Le, benarkah laporan dari petugas bahwa engkau mohon menghadap kepada kami untuk menawarkan Akar Bunga Gurun Pasir?”

"Benar sekali. Yang Mulia. Hamba menawarkan benda mustika itu kepada paduka yang mulia."

Wajah kaisar itu berseri dan diapun menggerakkan tangan kanannya. "Ciong Kui Le, bangkitlah dan duduklah di kursi itu agar kita dapat bicara lebih baik. Jangan takut, bangkit dan duduklah,"

Seorang Jagoan menyodorkan sebuah kursi kepada tamu itu dan Pek I Mo-ko segera duduk di atas kursi, berhadapan dengan kaisar dalam jarak yang cukup aman bagi keselamatan kaisar. Para kepala jagoan setiap saat mengamati dengan waspada sehingga betapapun lihainya Pek I Mo-ko, andaikata dia berniat buruk terhadap kaisar, tentu dia akan gagal.

"Ciong Kui Le. engkau sendiri mengaku bahwa engkau tinggal di daerah Kerajaan Liu Sung, mengapa setelah mendapatkan mustika itu, engkau membawanya ke sini dan menawarkannya kepada kami!” Pertanyaan ini jelas menggambar kecurigaan sang kaisar, juga sekaligus memberi peringatan kepada Pek I Mo-ko bahwa yang dihadapinya adalah seorang yang cerdik.

"Tentu saja ada sebabnya yang kuat. Yang Mulia, Tadinya, hamba memang hendak mempersembahkan mustika itu kepada Kaisar Cang Bu di Kerajaan Liu Sung. Akan tetapi, hamba yang hanya menghendaki imbalan yang pantas, bahkan dicurigai, hamba akan ditangkap dan mustika itu akan dirampas. Tentu saja hamba melawan, meloloskan diri dan lari ke utara, menghadap paduka dan menawarkan mustika itu kepada paduka yang hamba dengar amat adil dan bijaksana, tidak seperti kaisar di Kerajaan Liu Sung."

Manusia manakah di dunia ini yang tidak suka dipuji? Biarpun dia seorang kaisar. Kaisar Wei Ta Ong juga hanya seorang manusia yang tidak lepas dari kesenangan ini, maka mendengar ucapan Pek I Mo-ko, dia mengangguk-angguk senang.

"Hmmm, keputusan yang kauambil itu tidak keliru, Ciong Kui Le, Kami berjanji, kalau mustika itu benar langka dan bermanfaat bagi kami, tentu engkau akan menerima Imbalan yang cukup pantas. Harta benda atau kedudukan, boleh kaupilih. Nah, kami ingin melihat dulu bagaimana rupanya. Perlihatkan Akar Bunga Ourun Pasir itu kepada kami sebagai bukti."

"Ampun, Yang Mulia. Mustika itu tidak ada pada hamba, tidak hamba bawa."

Kaisar Wei Ta Ong mengerutkan alisnya. "Ciong Kui Le, apakah engkau hendak mempermainkan kami?" Nada suaranya penuh ancaman dan sikapnya berubah galak. "Di mana mustika itu?"

"Ampun, Yang Mulia. Seperti telah hamba ceritakan tadi, hamba dikejar-kejar oleh para jagoan istana Kaisar Kerajaan Sung. Hamba melarikan diri ke utara lewat perbatasan yang menjadi daerah tak bertuan. Karena khawatir kalau sampai Akar Bunga Gurun Pasir itu terrampas, hamba menyembunyikannya di suatu tempat yang aman."

"Di mana?" tanya kaisar penasaran.

"Di lereng Bukit Fu-niu-san, akan tetapi tempat itu tersembunyi dan tanpa petunjuk hamba, tak seorangpun akan mampu menemukannya,"

"Ciong Kui Le, karena engkau tidak mampu memperlihatkan mustika itu kepada kami, tentu saja kami mencurigaimu dan belum percaya benar akan ceritamu itu. Bagaimana mungkin engkau dapat meloloskan diri dari pengejaran para jagoan istana Kerajaan Liu Sung ? Pengawal, coba dan uji dia!”

Pek I Mo-ko terkejut sekali karena tiba tiba nampak bayangan berkelebat dan dua orang pria tinggi besar seperti raksasa telah menghadapinya. Diapun tahu bahwa kaisar hendak mengujinya, maka diapun memberi hormat ke pada kaisar.

"Harap paduka mengampuni hamba, akan tetapi sungguh hamba tidak berbohong,"

"Ciong Kui Le, tidak perlu banyak cakap lagi!” kata seorang di antara dua pria tinggi besar itu. "Yang Mulia telah memerintahkan kami untuk mengujimu. Bersiaplah untuk menandingi kami!”

Pek I Mo-ko memberi hormat lagi kepada kaisar, lalu bangkit dan menghadapi dua orang itu sambll memandang dengan penuh perhatian. Mereka itu dua orang pria raksasa berkulit hitam. Dia harus mengangkat muka untuk memandang wajah mereka karena tingginya hanya rampai di pundak mereka. Sungguh dua orang pria tinggi besar yang nampak kokoh kuat, dan wajah mereka serupa benar, pakaian merekapun sama sehingga mudah diketahui bahwa mereka itu kakak beradik atau saudara kembar. Diam-diam Pek I Mo-ko merasa khawatir dan menyesal mengapa dia menghadap Kaisar Kerajaan Wei ini. Agaknya kaisar ini hendak memaksanya dengan kekerasan untuk menyerahkan mustika itu! Dia harus mempertahankan diri, dan kalau kaisar berniat buruk, dia akan mencoba untuk membunuhnya!

Sebelum diperkenan menghadap kaisar, tadi di luar para penjaga keamanan telah minta agar dia meninggalkan pedangnya. Kini senjata yang ada padanya hanya sebuah kipas. Para penjaga tidak meminta kipas ini yang masih terselip di pinggangnya. Akan tetapi, dia melihat dua orang raksasa kembar itupun, bertangan kosong, maka dia tidak akan menggunakan kipasnya kalau tidak terpaksa sekali untuk melindungi diri. Dengan sikap tenang diapun memasang kuda-kuda kedua kakinya terpentang lebar, lutut ditekuk dan kedua tangan menyembah di depan dada.

"Silakan Ji-wi (kalian) menyerang!” katanya menantang.

Dua orang pengawal pribadi Kaisar Wei Ta Ong itu adalah dua orang kembar berbangsa Tartar yang amat terkenal sebagai jago-jago silat merangkap jago gulat. Mereka memiliki tenaga yang besar dan sukarlah dicari tandingan mereka di antara para jagoan lain. Mereka termasuk jagoan Istana kelas dua yang sudah dipercaya kaisar. Jagoan tingkat satu adalah panglima dan komandan paaukan keamanan dan pasukan pengawal. Melihat orang yang harus mereka uji itu sudah siap, mereka lalu mulai menyerang dari kanan kiri dengan terkaman biruang, kedua lengan dikembangkan dan kedua tangan menyambar dari kanan kiri dengan cepat dan kuat sekali.

Empat buah tangan itu bersiutan menyambar dari kanan kiri. Akan tetapi keempat tangan itu hanya menyambar udara kosong karena orang yang dicengkeram itu berkelebat menjadi bayangan putih dan dapat mengelak dengan cepat sekali. Si kembar menjadi terkejut, apa lagi ketika bayangan putih itu meloncat melewati kepala mereka. Mereka juga tidak bodoh dan cepat membalikkan tubuh dan benar saja, Pek I Mo-ko telah berada di belakang mereka dan sedang membalas dengan putaran ke arah dada mereka.

Liauw Gu dan Liauw Bu, si kembar itu, tidak mengelak melainkan cepat menangkap tangan Pek I Mo-ko yang memukul ke arah dada mereka.

"Buk! Bukk!” Dada mereka terkena pukulan, akan tetapi mereka mengandalkan kekebalan mereka dan kini kedua tangan Pek I Mo-ko telah dapat mereka tangkap di bagian pergelangannya.

Pek I Mo-ko terkejut dan merasa menyesal mengapa tadi dia membatasi tenaga ketika memukul, tanpa menduga bahwa dua orang lawan memiliki tubuh yang amat kuat dan kebal. Akan tetapi, biarpun kadua tangannya sudah tertangkap, dia tidak menjadi gugup. Cepat bagaikan sekor burung, menggunakan kekuatan dari kedua tangan yang dipegang lawan, kedua kakinya melayang ke atas mengirim tendangan dengan ujung sepatunya ke arah siku tangan kedua lawan yang mencengkeram pergelangan tangannya.

Dua orang raksasa ini mengeluarkan seruan kaget dan terpaksa melepaskan cengkeraman pada pergelangan tangan Pek I Mo-ko karena tiba-tiba lengan mereka yang tertendang bagian siku itu menjadi lumpuh selama beberapa detik. Marahlah dua orang kembar itu dan kini mereka maju menyerang dengan terkaman, pukulan atau tendangan. Serangan mereka merupakan perpaduan dari ilmu silat dan ilmu gulat.

Pek I Mo-ko melayani mereka dengan mengandalkan kegesitan tubuhnya. Dia tahu bahwa dalam hal ilmu silat, dia tidak perlu takut. Walaupun dua orang lawan itu memiliki tenaga gajah, namun dia menang cepat. Yang dikhawatirkan hanyalah Ilmu gulat mereka. Dia tahu bahwa belum tentu dia akan dapat seberuntung tadi, mampu melepaskan diri kalau sudah dicengkeram tangan-tangan yang kuat itu. Kini, setelah tahu bahwa dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dia menang jauh, dia mengandalkan Ilmu itu untuk mempermainkan mereka. Bagaikan seekor burung walet yang gesit, dia sukar ditangkap. Tubuhnya menjadi bayangan putih yang berkelebat ke sana sini, selalu terlepas dari jangkauan tangan dua orang lawannya dan sebaliknya, serangan balasannya yang cepat itu beberapa kali sempat membuat dua orang raksasa itu terpelanting atau terjengkang. Biarpun mereka kebal dan kuat sehingga pukulan dan tendangan Pek I Mo-ko tidak membuat mereka luka, namun mereka tidak dapat mencegah tubuh mereka terpelanting.

Terdengar kaisar beberapa kali memuji dan mendengar ini, legalah hati Pek I Mo-ko. Agaknya kaisar itu memang benar hendak mengujinya, maka diapun tidak ingin membunuh dua orang lawannya. Apalagi membunuh kaisar itu karena kalau hal itu dia lakukan, sudah pasti dia akan mati konyol.

Setelah pertandingan yang seru itu berlangsung selama tigapuluh jurus, tiba-tiba Pek I Mo-ko mengeluarkan suara bentakan nyaring dan dua orang raksasa itu kembali berturut-turut roboh, akan tetapi sekali ini tidak dapat segera bangkit karena mereka roboh oleh totokan ujung kipas yang dicabut oleh Pek I Mo-ko!

Liauw Gu dan Liauw Bu rebah untuk beberapa lamanya. Ketika mereka akhirnya dapat bangkit, mereka meraba gagang golok.

"Cukup, mundurlah kalian!” bentak Kaisar Wei Ta Ong.

Dua orang kembar itu memberi hormat dan mundur. Kaisar tersenyum memandang kepada Pek I Mo-ko, sebaliknya orang yang dipandang itu merasa penasaran sekali walaupun tidak berani memperlihatkan kedongkolan hatinya dengan sikap atau kata-kata. Dia memberi hormat.

"Yang Mulia, hamba datang menghadap paduka untuk menawarkan mustika, akan tetapi paduka malah menyuruh jagoan Istana untuk mengeroyok hamba. Apakah paduka masih belum percaya kepada hamba!"

Kaisar Wei Ta Ong tertawa. "Ha-ha, jangan salah sangka, Ciong Kui Le. Kami percaya akan keteranganmu. Kalau kami percaya akan keteranganmu. Kalau kami berhasil mendapatkan Akar Bunga Gurun Pasir, tentu engkau akan kami beri pangkat. Akan tetapi, sebelum melihat samapi dimana kemampuanmu, bagaimana kami dapat memberi pangkat yang sesuai untukmu? Sekarang, kami telah melihat kepandaianmu dan kami puas. Kami akan mengutus serombongan pembantu kami untuk menemanimu menuju ke selatan dan mengambil mustika itu. Berangkatlah sekarang juga, lebih cepat lebih baik. Jangan ragu, kalau berhasil, engkau akan kami beri kedudukan tinggi dan harta benda!”

Pek I Mo-ko girang bukan main dan setelah memberi hormat dengan berlutut, diapun berangkat meninggalkan kota raja Lok-yang bersama serombongan jagoan istana sebanyak dua-belas orang. Dua orang raksasa kembar itu tidak diikutsertakan, karena keadaan mereka itu akan menarik perhatian orang, pada hal daerah Pegunungan Fu-niu-san merupakan daerah tak bertuan di mana berkeliaran banyak orang kang-ouw dan juga orang-orang Kerajaan Sung.

***

Ternyata bukan hanya Kaisar Wei Ta Ong dari Kerajaan Wei di utara yang kini menginginkan mustika berupa Akar Bunga Gurun Pasir itu setelah menerima penawaran dari Pek I Mo-ko. Juga Kaisar Cang Bu dari Kerajaan Liu Sung mendengar akan adanya Akar Bunga Gurun Pasir dan ingin sekali mendapatkannya.

Berita itu terdengar oleh Kaisar Cang Bu karena rahasia itu bocor ketika terjadi penyerbuan pasukan dirumah keluarga Cun Taijin yang memberontak di Nanping. Ketika Ouwyang Hui Hong membentak kepada Pek I Mo-ko dan menuntut dikembalikannya Akar Bunga Gurun Pasir, ada perajurit yang mendengar. Dia menceritakan hal itu kepada kawan-kawannya sehingga sebentar saja berita tentang Akar Bunga Gurun Pasir yang dilarikan Pek I Mo-ko itu tersiar luas dan sampai kepada Kaisar Cang Bu.

Kaisar Cang Bu mendengar pula tentang mustika itu. Kaisar yang masih muda ini mendengar bahwa mustika itu dapat membuat seseorang menjadi kuat, bahkan dapat berusia panjang sampai seribu tahun! Segera dia mengumpulkan penasihat dan para jagoan Istana, dan hasil dari pertemuan ini, serombongan jagoan Istana dari Nan-king berangkat melakukan pengejaran terhadap Pek I Mo-ko yang kabarnya lari ke utara.

Kerajaan Liu Sung ini biarpun memiliki wilayah yang amat luas, namun selalu diganggu oleh pemberontakan-pemberontakan sehingga menjadi semakin lemah. Apalagi ketika itu yang menjadi kaisar adalah Kaisar Cang Bu yang masih amat muda dan yang selalu mengumbar nafsu mengejar kesenangan dan tidak bijaksana. Maka di mana-mana timbul pemberontakan. Hanya karena adanya para menteri dan panglima tua saja maka kerajaan ini masih mampu mempertahankan diri walaupun menjadi lemah. DI barat, selatan dan timur terjadi pemberontakan dan gangguan para bajak laut, terutama di bagian timur. Sedangkan di bagian utara terdapat musuh mereka yang sejak dahulu menjadi musuh besar, yaitu Kerajaan Wei. Daerah antara Kerajaan Liu Sung dan Wei sejak bertahun-tahun menjadi daerah pertikaian dan daerah tak bertuan. Dalam keadaan seperti itu. Kaisar Cang Bu yang masih muda itu belum juga menyadari, tidak begitu memperhatikan pemerintahan, bahkan lebih mementingkan pengejaran kesenangan. Inilah sebabnya ketika mendengar tentang mustika Akar Bunga Gurun Pasir, dia bertekad untuk mendapatkannya dan mengirim rombongan orang pandai untuk mencarinya sampai dapat.

Tentu saja rombongan Jagoan istana ini lebih mudah mendapatkan keterangan tentang Pek I Mo-ko dibandingkan Kwa Bun Houw yang juga sedang mencari jejak Pek I Mo-ko yang dikejar oleh Ouwyang Hui Hong. Rombongan itu memiliki surat kuasa dan setiap pejabat daerah yang mereka lewati, siap membantu dan mereka lebih mudah mengumpulkan keterangan tentang Pek I Mo-ko dari pada hasil penyelidikan Kwa Bun Houw yang kadang-kadang malah dibohongi orang atau dicurigai orang. Maklum bahwa daerah perbatasan antara Kerajaan Wei di utara dan Kerajaan Liu Sung di selatan merupakan daerah liar dan di situ terdapat tokoh-tokoh sesat yang masing-masing ingin menjadi orang yang paling berkuasa sehingga daerah itu amat tidak aman. Banyak terjadi kejahatan macam apapun karena tidak ada alat negara yang menjamin keamanan bagi rakyat jelata. Yang ada ialah hukum rimba. Dan para tokoh sesat di wilayah tak bertuan itupun jarang ada yang jujur atau setia kepada satu di antara dua kerajaan itu. Mereka pada umumnya curang dan licik, hanya membantu demi keuntungan diri sendiri belaka, maka tidak segan untuk berkhianat ke kanan atau ke kiri, demi keuntungan pribadi. Tentu saja rakyat hidup tercekam ketakutan, tertindas dan menjadi penakut atan nekat, dan tidak ada orang yang berani memberi keterangan sejujurnya kepada Bun Houw yang bertanya-tanya tentang Pek I Mo-ko.

Seunggunnya, berita tentang mustika Akar Bunga Gurun Pasir yang membocor di kedua kerajaan itu, bukan hanya menjadi perhatian dua orang kaisar yang haus akan khasiat benda langka itu. Bahkan begitu para datuk besar dunia persilatan mendengarnya, maka mereka, pun menjadi gempar dan mereka itu tentu saja ingin sekali ikut memperebutkan dan memiliki benda wasiat atau jimat itu. Dahulunya, benda itu dianggap dongeng saja, apalagi ketika ada berita bahwa yang beruntung memiliki benda itu adalah datuk besar Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, tidak ada orang yang berani mati untuk mencoba merampas di tempat tinggal datuk besar itu, yaitu di Lembah Bukit Siluman. Kini, begitu tersiar kabar bahwa benda ajaib itu dicuri dan dilarikan Pek I Mo-ko, murid dan juga pelayan dari Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, majikan Lembah Bukit Siluman, tentu saja para datuk dan tokoh sesat mempunyai keberanian dan keinginan untuk mencari Pek I Mo-ko dan merampas mustika itu.

Sungai Huai merupakan sebuah di antara sungai-sungai yang mengalir di daerah tak bertuan itu dan di sepanjang sungai ini paling terkenal sebagai tempat yang rawan di mana seringkali timbul pertentangan, pertempuran antara para pengikut Kerajaan Wei dan Kerajaan Liu Sung, antara gerombolan penjahat yang saling berebutan kekuasaan, pada hal daerah di sepanjang lembah Sungai Huai ini sesungguhnya merupakan daerah pertanian yang amat subur. Setelah meninggalkan sumbernya di Pegunungan Tapie-san, air sungai itu lalu melewati tanah datar ke timur dan membuat tanah yang dilewatinya itu menjadi tanah yang subur dan tak pernah kekurangan air. Rakyat di sepanjang lembah Sungai Huai semestinya dapat hidup makmur kalau saja daerah itu tidak menjadi daerah rawan di mana yang berlaku hanyalah hukum rimba, siapa kuat dia menang dan siapa kuat menindas yang lemah.

Kalau dilihat kenyataan, hukum rimba ini memang berlaku di dunia ini, di manapun juga, bahkan di kota besar atau di kota raja sekalipun. Di mana-mana manusia menjadi permainan nafsu, dan di mana nafsu memperhamba manusia, maka sudah pasti hukum rimba berjalan. Yang berkedudukan tinggi menginjak yang rendah, yang kaya memeras yang miskin, yang pandai mempermainkan yang bodoh dan sebagainya lagi. Namun, hukum rimba umum di kota itu selalu terselubung oleh hukum-hukum yang justeru biasanya menjadi senjata bagi yang kuat untuk menindas yang lemah! Hukum rimba yang berlaku di kota bermuka munafik. Sebaliknya, hukum rimba di daerah sungai Huai itu mentah dan keras, liat dan ganas, tanpa pura-pura lagi. Orang yang berani menjelajahi daerah itu, harus memiliki kekuatan yang dapat diandalkan. Apakah dia ahli silat pandai, atau setidaknya berkawan banyak, atau yang memang miskin sama sekali sehingga tidak ada sesuatu pada dirinya yang menimbulkan keinginan di hati orang lain untuk merebutnya.

PADA suatu pagi yang cerah, pemandangan alam amatlah indahnya di sepanjang lembah sungai Huai. Musim semi baru sebulan usianya sehingga di sepanjang lembah sungai nampak warna-warni yang amat indah menyedapkan penglihatan. Daun-daunan yang hijau muda, kuning diseling bunga-bunga warna-warni, berlatar belakang tanah yang dihiasi permadani rumput hijau.

Air sungai nampak mengalir tenang dan tidaklah sekotor di musim penghujan, dan di musim seperti itu, air sungai itu kaya dengan ikan barbagai macam.

Hanya ada beberapa orang buruh tani miskin yang bekerja di sawah ladang milik mereka yang mempunyai kekuasaan. Para buruh tani yang bekerja di sawah tanpa baju, hanya bercelana hitam sampai ke bawah lutut yang telah berlumpur-lumpur itu nampaknya tidak lebih makmur dari pada kerbau-kerbau yang dipekerjakan untuk meluku sawah. Kerbau-kerbau itu setidaknya lebih gemuk dari pada mereka. Dan para buruh tani itu bukan merupakan pekerja bebas, melainkan lebih pantas disebut budak belian. Mereka telah tertekan di bawah semacam "kontrak". Mereka telah tenggelam atau terbelenggu oleh semacam hutang kepada majikan mereka, hutang uang yang mereka perlukan, entah untuk keperluan berobat, atau keperluan sandang dan makan untuk keluarga mereka di musim rontok dan musim salju. Kini, dengan hutang yang terus anak beranak sampai ke leher, mereka terbenam dan terbelenggu sehingga mungkin hutang itu tidak akan terbayar oleh tenaga yang mereka berikan untuk bekerja selama mereka hidup! Dan anak-anak mereka, yang laki-laki akan mewarisi keadaan ayah ini, yang perempuan, itupun kalau wajahnya menarik, akan menjadi penghibur atau pelacur, paling untuk menjadi selir, kalau buruk rupanya, akan menjadi wanita yang diperas tenaganya di rumah tangga majikan mereka. Hanya orang-orang seperti inilah yang tidak merasa ngeri tinggal di daerah rawan ini, karena apa yang perlu ditakutkan? Mereka tidak mempunyai apa-apa, bahkan mereka sekeluarga dapat dikatakan adalah "kepunyaan" majikan mereka.

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar