"Menderita? Menderita bagaimana maksudmu? Engkau tentu sudah mengenal siapa itu Cun Kongcu (Tuan Muda Cun). Dia masih muda, dia pun ganteng dan tampan, pandai, bangsawan, kaya raya. Mau Apalagi ? Semua orang tua ingin mempunyai mantu dia, semua gadis ingin mempunyai suami seperti dia! Dan engkau masih banyak rewel ? Kita harus bersembahyang ke semua kuil, mengucap syukur dan terima kasih kepada Thian bahwa anak kita yang dipilih oleh Cun Kongcu!”
UCAPAN isteri Cia Kun Ti itu memang tidak keliru. Cun Kongcu, atau nama lengkapnya Cun Hok Seng, adalah seorang pemuda berusia duapuluh lima tahun yang tampan. Ayahnya, kepala daerah Cun yang menjadi orang paling berkuasa di kota Nan-ping dan yang mencalonkan putera dan anak tunggal itu menjadi pembesar kelak, telah memberinya pendidikan sastra sehingga Cun Hok Seng menjadi seorang terpelajar yang dikagumi banyak gadis dan orang tua mereka.
Pertemuan antara Cun Hok Seng dan Cia Ling Ay terjadi secara kebetulan saja. Ketika itu, Cia Ling Ay ikut dengan ayah dan ibunya pergi ke kuil untuk bersembahyang. Hal ini terjadi atas permintaan Ling Ay yang diam-diam bermaksud untuk sembahyang memintakan berkah dan perlindungan untuk Kwa Bun Houw yang telah pergi selama empat tahun lebih dan tidak ada beritanya. Biarpun ia tahu bahwa tidak mungkin tali perjodohan antara mereka disambung lagi, namun ia merasa kasihan kepada bekas tunangan itu dan akan merasa ikut gembira kalau pemuda itu berada dalam keadaan selamat.
Ling Ay telah berubah menjadi seorang gadis dewasa yang amat cantik manis, berusia delapanbelas tahun, bagaikan setangkai bunga sedang mekar semerbak mengharum. Ketika ia dan ibunya memasuki kuil, banyak pasang mata memandangnya penuh kagum, terutama sekali mata pria muda yang kebetulan berada di tempat itu. Sudah menjadi kebiasaan buruk para pemuda, kalau mereka sedang bergerombol dan melihat seorang wanita cantik, tentu timbul keinginan mereka untuk menggoda. Demikian pula dengan enam orang pemuda yang kebetulan berada di halaman kuil itu. Begitu melihat Ling Ay dan ibunya, mereka sejak tadi sudah memandangi gadis itu penuh kagum, saling bisik dan tersenyum-senyum. Kemudian, merekapun menghampiri Ling Ay dan ibunya, sengaja mereka menghadang.
"Nona, bolehkah kami menemani nona bersembahyang!”
"Apakan nona hendak bersembahyang mencari jodioh?”
"Tak usah mencari jauh-jauh, nona. Pilihlah seorang di antara kami!”
Mereka itu menggoda sambil menyeringai. Wajah Ling Ay berubah merah, kemudian pucat karena merasa jerih dan khawatir kalau kalau para pemuda itu akan mengganggunya, Nyonya Cia Kun Ti memandang dengan mata melotot dan wajah berubah merah padam. Ia marah sekali.
"Kalian ini orang-orang muda sungguh tidak sopan dan kurang ajar! Belum saling mengenal kalian sudah berani mengajak anakku bicara." bentaknya marah.
"Aduh, bibi! Galak amat kepada calon mantumu."
"Bibi, sekarangpun berkenalan kan belum terlambat,"
"Anak bibi sungguh manis sekali!”
Pada saat itu, muncullah Cun Hok Seng. Dengan alis berkerut pemuda yang juga hendak bersembahyang ini melihat dan mendengar sikap lima orang pemuda berandalan itu dan dia cepat menghampiri, lalu menegur dengan suara garang.
"Sungguh tidak tahu malu sekali! Kalian ini orang-orang tidak tahu susila, hendak mencemarkan kesucian kuil ini?"
Melihat seorang pemuda tampan berpakaian sastrawan berani mencampuri lima orang berandalan itu hendak marah. Akan tetapi mereka meiihat dua orang pengawal berpakaian perajurit yang bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, berwajah keren berada di belakang pemuda itu dan mereka melotot marah. Melihat ini, mereka menjadi jerih, Apalagi ketika seorang di antara mereka mengenal Cun Hok Seng. Dia cepat memberi hormat dan berkata dengan suara merendah.
"Kiranya Cun Kongcu! Maafkan kami, kami hanya ingin berkenalan dan bersendau gurau.”
"Bukan begitu caranya orang yang ingin berkenalan. Hayo kalian pergi dari sini, atau ingin kusuruh tangkap dan seret ke pengadilan?"
Lima orang itu kini ketakutan karena yang lain kini mengenal pula pemuda itu sebagai putera kepala daerah! Mereka cepat memberi hormat lalu pergi meninggalkan kuil tanpa berkata apapun.
Itulah awal perjumpaan Cun Hok Seng dan Ling Ay. Ibu Ling Ay cepat menghaturkan terima kasih dan bersama puterinya memasuki kuil untuk bersembahyang. Sedangkan Cun Hok Seng terpesona dan sampai lama dia berdiri bengong saja. Akhirnya, dua orang pengawalnya yang menyadarkannya dan dari pengawal itulah Hok Seng tahu bahwa gadis yang membetot sukmanya tadi adalah puteri dari Cia Ku Ti, seorang pedagang di Nan-ping. Dan kemudian, kepala daerah mengutus seorang perantara untuk mengajukan pinangan setelah beberapa kali puteranya minta agar dijodohkan dengan puleri Cía Kun Ti itu.
Ketika pinangan itu diajukan, Cia Kun Ti tidak segera menerimanya melainkan minta waktu untuk berpikir-pikir dan hal inilah yang membuat isterinya marah-marah setelah perantara itu pulang. Watak Cía Kun Ti berbeda dengan isterinya. Dia lama sekali tidak memikirkan kepentingan diri sendiri menghadapi perjodohan puterinya, melainkan dia mementingkan kebahagiaan puterinya. Bagaimana dia dapat menerima pinangan begitu saja tanpa lebih dulu mengetahui bagaimana pendapat puterinya, orang yang akan melaksanakan atau menjalaninya? Namun, keraguannya ini membuat isterinya marah-marah sehingga ia mengomel dan memaksa agar suaminya menerima pinangan itu.
"Baiklah ... aku segera akan memberi kabar kepada Cun Tai jin dan menerima pinangannya itu dengan hormat. Akan tetapi, bagaimanapun juga kita harus memberitahu kepada anak kita." Tanpa menanti ucapan isterinya lebih lanjut, Cia Kun Ti lalu memanggil puterinya.
Cia Ling Ay yang sedang sibuk di dapur bersama seorang pembantu rumah tangga, segera keluar dan menuju ke ruangan duduk di mana ayahnya dan ibunya sudah duduk menantinya. Melihat wajah kedua orang tuanya; itu nampak bersungguh-sungguh, ia lalu duduk di dekat Ibunya.
"Ada urusan apakah ayah memanggilku,” tanyanya.
"Ling Ay, kami memanggilmu untuk minta pertimbanganmu tentang ... "
"Bukan minta pertimbangan, melainkan untuk menyampaikan berita yang amat membanggakan hati kepadamu, Ling Ay." isteri Cia Kun Ti memotong ucapan suaminya. "Kita telah kedatangan seorang utusan dari keluarga Cun Taijin, anakku. Engkau tahu, yang kumaksudkan dengan Cun Taijin adalah kepala daerah di kota ini. Orang nomor satu di sini, paling berkuasa, paling kaya, paling terhormat ... "
"Ada urusan apakah dengan kita, ibu ?"' Ling Ay memotong Ibunya agar rangkaian kata ‘yang paling’ itu tidak berkepanjangan.
"Urusannya ? Engkau tentu tidak pernah dapat menduganya, atau mungkin engkau sudah bermimpi kejatuhan bulan ? Aih, anakku yang manis, sungguh hati ibumu penuh dengan kebanggaan dan suka cita. Tahukah engkau mengapa Cun Taijin mengirim utusan ke sini ? Untuk meminangmu!" Ibu itu sambil tersenyum bangga memandang wajah puterinya.
Akan tetapi Ling Ay mengerutkan alisnya dan ia nampak kaget sekali. "Meminang aku ...?”
"Ya, engkaulah yang dipilih, anakku! Dan engkau tentu masih ingat. Pemuda yang ganteng itu, yang sopan santun dan menolongmu, di kuil itu. Dialah yang akan menjadi suamimu. Dia itu Cun Kongcu, putera tunggal Cun Taijin. Wah, engkau akan menjadi wanita yang paling mulia di kota ini!”
Akan tetapi, wajah gadis itu sama sekali tidak memperlihatkan perasaan seperti ibunya. Bahkan ia mengerutkan alisnya karena pada saat itu terbayanglah wajah Kwa Bun Houw, terbayang ketika pemuda itu meninggalkan rumahnya dengan muka pucat dan kepala menunduk. Empat tahun yang lalu. ia masih seorang gadis remaja berusia empat-belas tahun. Sampai sekarang pun ia tidakk pernah dapat melupakan Bun Houw. pemuda yang pernah menjadi tuuangannya itu. Ia tidak pernah tahu apakah ia mencinta Bun Houw, karena ketika mereka ditunangkan, ia masih kecil dan ia masih belum mengerti benar apa artinya cinta. Akan tetapi buktinya, sampai sekarang ia tidak pernah dapat melupakan Bun Houw, walaupun setiap kali teringat, yang terasa olehnya hanyalah perasaan iba yang mendalam.
Ia selalu membayangkan betapa sakit perasaan hati pemuda itu ketika meninggalkan rumahnya, dan ia tidak tahu apa yang terjadi dengan pemuda itu yang telah kehilangan segala-galanya. Orang tuanya, harta miliknya bahkan tunangannya!
"Ling Ay, bagaimana pendapatmu dengan pinangan itu?" pertanyaan ayahnya ini menyadarkan Ling Ay dari lamunan. Lenyaplah bayangan wajah Bun Houw dan kini samar-samar ia teringat kepada pemuda yang pernah menegur para pemuda berandalan di kuil itu. Seorang pemuda yang memang tampan dan sopan, pikirnya, akan tetapi sama sekali ia tidak pernah merasa tertarik. Bahkan kini berita bahwa pemuda itu adalah putera tunggal Cun Taijin, dan telah meminangnya, tidak membuat hatinya merasa tertarik sama sekali.
"Ling Ay, kami telah menerima pinangan itu dengan hati gembira dan bangga sekali. Kami yakin engkaupun temu akan menjadi gembira. Bayangkan saja. Engkau akan hidup di dalam gedung seperti istana, dilayani banyak pelayan, dijaga pasukan pengawal, dihormati orang seluruh kota, hidup bermewah-mewahan dan mulia, naik turun kereta, mengenakan perhiasan lengkap dari emas permata ..."
"Sudahlah, ibu. Kalau memang ayah dan ibu sudah menerima pinangan itu, untuk apa ditanyakan lagi kepadaku?"
"Aih, anakku, jadi engkau setuju?" Ibunya merangkulnya dengan gembira.
Akan tetapi, Cia Kun Ti memandang puterinya dengan penuh perhatian. "Anakku, mengapa engkau tidak gembira mendengar bahwa engkau akan menjadi mantu kepala daerah? Apakah engkau tidak setuju? Nyalakanlah pendapatmu agar hati ayah ibumu menjadi lega."
"Aih, Ingin pernyataan Apalagi? Anak kita tidak menolak, itu berarti ia sudah setuju. Ia tidak begitu bodoh untuk menolaknya! Menolak pinangan kepala daerah? Wah, hanya orang-orang gila yang akan menolak keberuntungan seperti itu!" kata isterinya.
Ling Ay melepaskan dirinya dari rangkulan ibnnya, lalu ia mundur selangkah, memandang wajah ayah dan ibunya dan betapa heran rasa hati orang tua gadis itu melihat bahwa kedua mata gadis itu basah. Ayahnya makin ragu, mengira bahwa anaknya tidak setuju maka menangis, sebaliknya ibunya mengira gadisnya menangis saking bahagianya!”
"Ayah dan ibu, apa yang harus kukatakan lagi? Apa artinya pendapat pribadiku dalam saat ini? Kalau ayah dan ibu sudah menerima pinangan itu, sudah menyetujui, dapatkah aku menolaknya? Maka, terserah saja kepada ayah! dan ibu ... "
"Tapi kau ... kau menangis? Ling Ay, mengapa engkau berduka?" tanya ayahnya.
"Engkau ini sungguh bodoh! Anak kita menangis saking gembiranya, bukan karena bersedih!”
Ling Ay memejamkan kedua matanya karena air matanya kini turun semakin deras.
"Ayah dan ibu ... " Ia mengusap air mata dengan saputangan. "Aku ... aku ... teringat! kepada koko Kwa Bun Houw dan merasa kasihan sekali kepadanya ... " Dan iapun lari meninggalkan ruangan itu, memasuki kamar sendiri.
Suami isteri itu saling pandang. "Ah, kiranya ia masih teringat kepada anak yatim piatu miskin itu?" kata isteri Cia Kun Ti, lalu ia menyerang suaminya. "Ini semua salahmu! Engkau bertanya yang macam-macam saja!” Wanita itu lalu lari ke kamar anaknya dan mengetuk-ngetuk pintu kamar itu yang dikunci dari dalam. Akan tetapi ia mendengar suara Ling Ay.
"Ibu, biarkan aku sendiri. Aku sudah menerima kehendak ibu, jangan ganggu aku lagi. aku ingin beristirahat ... " Ibunya terpaksa pergi dan mematuki kamarnya sendiri sambil bersungut-sungut.
Cia Kun Ti yang ditinggal seorang diri di ruangan duduk, lalu menghela napas panjang. Dia ikut merasa sedih kalau-kalau anaknya itu berduka dan hanya menerima perjodohan itu karena terpaksa saja. Akan tetapi, diam-diam dia merasa girang bahwa puterinya itu ternyata seorang yang berbudi baik, tidak pernah melupakan bekas tunangan yang diperlakukan dengan tidak adil dan semena-mena itu. Akan tetapi, dia tidak dapat berbuat sesuatu dan pertunangan dengan Kwa Bun Houw itu sudah putus, pemuda itu sudah bertahun-tahun tidak pernah ada beritanya, Apalagi sekarang dia harus menerima pinangan putera kepala daerah. Teringat ini, diapun cepat berkemas untuk mengenakan pakaian yang pantas karena dia harus berkunjung ke rumah keluarga kepala daerah untuk menyampaikan persetujuannya atas pinangan itu.
***
Tanah kuburan yang biasanya sunyi itu kini penuh orang. Sejak pagi banyak orang datang berkunjung karena hari itu adalah hari Ceng-beng, yaitu hari yang merupakan hari besar bagi para keluarga untuk mengunjungi tanah kuburan nenek moyang mereka. Para keluarga ini melakukan sembahyang di depan makam orang tua atau kakek nenek mereka, membersihkan makam-makam keluarga itu.
Makam-makam yang sunyi itu nampak biasa saja. Sukar dibayangkan bagaimana perataan para penghuni makam itu andaikata masih memiliki perasaan seperti ketika masih hidup. Mereka yang telah mati itu hanyi setahun sekali menerima kunjungan sanak saudara, anak cucu. Setahun sekali, dalam waktu sejam dua jam saja, para keluarga itu datang berkunjung dan bersembahyang. Setelah itu, anak cucu itu segera pergi lagi, dan makam kembali menjadi sunyi. Penghuni makam dibiarkan sunyi sendiri, menanti sampai kunjungan berikutnya yang akan mereka terima setahun kemudian! Selama "menunggu" itu, tak seorangpun di antara para anak cucu yang ingat akan makam itu, dan makam dibiarkan terlantar, hanya menjadi tempat mainan para penggembala kambing.
Akan tetapi pada hari Ceng-beng itu, para anak cucu datang dengan pakaian yang baru, membawa hidangan untuk sembahyang dan ramailah keadaan di tanah kuburan yang biasanya amat sunyi itu. Serombongan keluarga yang memasuki tanah kuburan itu tentu merupakan keluarga yang penting dan terpandang. Buktinya, hampir semua pengunjung tanah kuburan yang berpapasan dengan keluarga ini, segera memberi hormat, dan yang berada agak jauh, segera saling bisik membicarakan keluarga itu. Keluarga itu terdiri dari sepasang suami Isteri yang masih muda. Juga sepasang suami isteri setengah tua dan diiringkan oleh enam orang pelayan dan lima orang pengawal yang berpakaian seragam. Keluarga pembesar!
Memang demikianlah. Suami-isteri muda itu adalah Cun Hok Seng dan isterinya, yaitu Cia Ling Ay! Sudah setahun mereka menikah dan kini Cun Hok Seng berusia duapuluh enam tahun, sedangkan Cia Ling Ay berusia duapuluh tahun. Mereka menikah setelah setahun bertunangan. Adapun suami Isteri setengah tua itu adalah Cia Kun Ti dan isierinya. Jelaslah bahwa yang menerima penghormatan semua orang itu adalah Cun Hok Seng, putera kepala daerah itu. Akan tetapi, yang merasa amat bangga sekali adalah nyonya Cia Kun Ti, Ibu Ling Ay. Padahal ia hanya membonceng saja, membonceng kehormatan dan kemuliaan mantunya, akan tetapi karena semua orang itu menghormat ke arah rombongan mantunya, maka iapun merasa terhormat dan seolah-olah ialah yang dihormati mereka!”
Semua orang mengejar kehormatan ini! Semua orang bertingkah dan berharap agar mereka mendapat penghormatan dari orang lain.
Semakin dihormat, semakin banggalah rasa hati ini, semakin merasa betapa dirinya ini ‘besar’. Pengejaran kehormatan ini sesungguhnya bukan lain hanyalah ketinggian hati, keinginan nafsu yang hendak mengangkat diri sendiri setinggi mungkin, yang menilai diri sendiri yang paling besar dan paling tinggi, paling hebat. Karena itu setiap, kali rasa diri besar ini terlanggar, akan marahlah si-aku. Sama juga dengan pengejaran harta benda yang dianggap akan merdatangkan kebahagiaan, demikian pula pengejaran terhadap kehormatan di dasari anggapan bahwa kehormatan akan mendatangkan kebahagiaan melalui kebanggaan. Padahal, kebahagiaan tidak mungkin dicapai melalui kesenangan berharta besar atau melalui kebanggaan berkedudukan tinggi. Segala macam bentuk kesenangan bukanlah makanan jiwa. melainkan sekedar permainan nafsu belaka dan biasanya, nafsu selalu mengejar yang lebih sehingga kesenangan yang dinikmati itu dalam waktu singkat saja sudah terasa hambar karena keinginan mengejar yang lebih. Dan akibatnya maka muncullah kekecewaan dan penyesalan kalau yang dikejar itu tidak tercapai, atau kebosanan kalaupun tercapai karena kenyataan tidaklah sesenang yang dibayangkan selagi dalam pengejaran. Kesenangan jelas bukan kebahagiaan. Dan semua orang mengejar kebahagitan. Apakah sesungguhnya kebahagiaan? Demikian timbul pertanyaan abadi sejak dahulu. Semua orang mengejar kebahagiaan! Dan makin dikejar semakin tak nampak! Maka penting sekali mempelajari apa sesungguhnya kebahagiaan yang dikejar oleh setiap orang manusia ini. Apakah hanya sebuah kata? Kata kosong belaka ?
Kebahagiaan jelas bukan kedukaan karena justeru di dalam penderitaan dukalah manusia merindukan kebahagiaan kebahagian bukan pula kesenangan karena semua orang yang merasakan kesenangan akhirnya mengakui bahwa kesenangan hanyalah sekelumit dan sementara saja sifatnya. Kalau kedukaan bukan kebahagiaan, dan kesenangan juga bukan kebahagiaan, lalu apa? Apakah kebahagiaan yang didambakan seluruh manusia di dunia ini? Tidak mungkinkah dirasakan orang selagi dia masih hidup? Apakah kebahagiaan hanya bagian orang yang sudah mati dan hanya terdapat di akhirat? Semua pertanyaan ini timbul dan tak seorangpun yang mampu menggambarkan bagaimana sesungguhnya kebahagiaan itu. Bagaimana rasanya dan bagaimana keadaan seseorang yang benar-benar berbahagia! Agaknya pertanyaan yang sudah diajukan manusia sejak ribuan tahun yang lalu ini takkan pernah dapat dijawab. Bagaimana mungkin menjawabnya kalau bahagia merupakan suatu keadaan yang tak tengambarkan? Suatu keadaan tabir batin yang hanya dapat dirasakan oleh yang bersingkutan ? Sekali dibicarakan atau diceritakan, maka cerita atau penggambaran itu tidak mungkin sama dengan yang digambarkan!
Bahagia bukan duka bukan suka. Kalau ada duka, tidak ada bahagia, kalau ada suka tidak ada bahagia. Jelas bahwa bahagia berada di atas suka duka. Merupakan anugerah Tuhan, dan hanya Tuban yang akan dapat menjadikan seseorang berbahagia. Tak mungkin dicapai melalui usaha akal pikiran karena kebagiaan berada di atas akal pikiran yang menjadi sumber suka dan duka. Dan karena itu merupakan ciptaan Tuhan, pekerjaan Tuhan, maka manusia tak mungkin dapat mencampuri. Seperti halnya kelahiran dan kematian. Kita hanya dapat PASRAH, menyerah kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Bijaksana, yang akan mengatur segalanya ! Hanya pasrah, penuh keiklasan dan ketawakalan. Betapapun juga, manusia hanyalah ciptaan, dan kekuasaan berada di tangan Sang Pencipta!
Sebelum Cun Hok Seng dan isterinya, ayah dan ibu mertuanya, tiba di tanah kuburan itu, lebih dulu serombongan orang yang menjadi pembantu mereka telah datang dan mempersiapkan segala keperluan sembahyang untuk putra kepala daerah Nan-ping dan keluarganya itu. Dan tentu saja persiapan sembahyang itu yang termewah di antara peralatan sembahyang semua pengunjung tanah atau taman kuburan itu.
Mereka berkunjung ke taman kuburan itu untuk menyembahyangi kakek dan nenek, juga nenek moyang mereka. Nenek moyang kedua pihak, keluarga Cun dan keluarga Cia. Tentu saja yang didahulukan adalah kuburan keluarga Cun, dan peralatan sembahyangan telah diatur lengkap oleh para pembantu di tanah kuburan keluarga Cun. Makam makam keluarga ini paling besar dan megah, bukan hanya liong-pai (batu nisan) yang besar dengan ukiran ukiran indah, bahkan dibangun seperti kuil dengan atap bergenting tebal dan dihias ukiran-ukiran naga.
Sebagian besar orang berani mengorbankan harta benda mereka untuk pembuatan bong-pai dan bangunan makam yang seindahnya. Indah dan mewah. Tentu saja dengan dalih bahwa mereka menghormati dan mencinta nenek moyang dan orang tua yang sudah meninggal dunia. Bahkan keroyalan mereka membuang uang untuk membuat makam yang megah ini jauh melebihi kerelaan mereka memberikan harta benda kepada orang tua mereka ketika orang tua itu masih hidup!
Sungguh sayang sekali, di balik perbuatan menghamburkan harta benda untuk membuat makam yang amat indah dan mewah ini tersembunyi pamrih rendah. Pertama, pamrih agar mereka dipuji orang lain dan dianggap sebagai anak-anak yang u-houw (berbakti) kepada orang tua dan nenek moyang, di samping pamrih menyombongkan dan memamerkan harta kekayaan mereka. Ke dua, pamrih agar mereka itu, dengan cara "berkorban" seperti itu, akan memperoleh doa restu dari arwah orang tua dan nenek moyang sehingga rejeki yang mereka terima akan berlimpahan, jauh melampaui segala biaya yang mereka keluarkan untuk pembuatan makam yang megah itu. Dan pamrih kedua ini mereka percaya benar. Bahkan mereka itu dalam ketahyulan mereka, mengirim bongkahan bongkahan emas, kereta, rumah gedung, yang mereka lakukan dengan cara membuat semua itu dari kertas dan bambu, kemudian membakar semua benda palsu ini dengan kepercayaan bahwa semua benda itu di akhirat akan benar benar menjadi benda-benda aseli dan dapat dipengunakan untuk kesejahteraan arwah nenek moyang. Hal ini tentu saja akan membuat arwah nenek moyang merasa senang dan melimpahkan berkah kepada anak cucu atau buyut yang u-houw (berbakti) itu. Sungguh merupakan suatu ketahyulan yang bodoh sekali, karena yang jelas sekali, perbuatan itu hanya mendatangkan keuntungan besar kepada orang orang yang pekerjaannya membuat benda benda palsu dan kertas itu dan yang mengatur persembahyangan karena mereka akan menerima upah yang amat besar.
Padahal, houw atau kebaktian memang merupakan suatu kebajikan, suatu kewajiban dan keharusan bagi setiap orang manusia beradab. Bakti kepada orang tua merupakan kasih sayang yang besar, terdorong oleh budi yang telah kita terima dari orang tua, semenjak kita dilahirkan, dibesarkan oleh orang tua. Kasih sayang ini tentu saja hanya dapat dibuktikan dengan sikap dan perbuatan kita terhadap orang tua selagi mereka masih hidup dan sesudah mereka meninggal dunia, kebaktian itu masih dapat dilanjutkan dengan menjaga semua perbuatan kita agar jangan sampai kita mengotori atau menodai nama baik orang tua kita dengan perbuatan yang jahat. Inilah houw atau kebaktian dalam arti yang sedalam-dalamnya. Houw atau kebaktian sesungguhnya hanyalah pelaksanaan dari perasaan cinta atau kasih sayang terhadap orang tua!”
Setelah persembahyangan terhadap makam-makam nenek moyang keluarga Cun selesai dilakukan, barulah rombongan Cun Hok Seng, isterinya dan kedua mertuanya itu melakukan sembahyang di depan kuburan nenek moyang keluarga Cia.
Cia Ling Ay atau Nyonya Cun Hok Seng yang sudah selesai bersembahyang di depan makam nenek moyang keluarga orang tuanya, tiba-tiba teringat akan kuburan Kwa Tin dan nyonya Kwa Tin, yaitu ayah dan Ibu Kwa Bun Houw. Ia merasa kasihan sekali kepada Bun Houw dan walaupun ia telah menjadi isteri orang lain, sering kali ia termenung membayangkan wajah bekas tunangan itu. Kini, setelah selesai melakukan sembahyang kepada nenek moyang keluarganya, ia teringat kepada makam ayah dan ibu Kwa Bun Houw. Ia melihat suaminya sedang bercakap. cakap dengan beberapa orang pria yang agaknya juga orang-orang berpangkat yang datang ke tanah kuburan dengan maksud yang sama, dan ayah ibunya juga sedang sibuk dengan peralatan sembahyangan, iapun merasa iseng dan melangkahlah nyonya muda ini menuju ke makam ayah dan ibu bekas tunangannya itu yang letaknya tidak berapa jauh dari kuburan nenek moyang keluarga orang tuanya, ia membawa segenggam hio swa (dupa biting) yang sudah disulutnya dan dengan hati terharu ia melihat sepasang kuburan sederhana yang batu nisannya berlumut dan kotor, depan batu nisan ditumbuhi rumput tebal. Makam yang sama sekali tidak terawat.
Ling Ay segera menghampiri kedua makam yang berdampingan itu, lalu ia bersembahyang di depan keduanya, ia sama sekali tidak tahu batwa sejak tadi sepasang mata memandangnya, sepasang mata yang mula-mula terbelalak lebar dan memandangnya dengan heran, akan tetepi kini sepasang mata itu berlinang air mata. Setelah bersembahyang sejenak, di dalam hatinya ia mohon ampun kepada bekas calon ayah dan ibu mertuanya itu karena kegagalan perjodohannya dengan putera mereka, Ling Ay menancapkan hio-swa di depan kedua makam. Akan tetapi, ia masih berdiri termenung di depan dua buah makam itu ketika pemilik mata yang sejak tadi mengikuti gerak-geriknya itu menghampirinya dari belakang.
"Maaf ... " suara itu agak gemetar, ‘kenapa engkau bersembahyang di depan makam ayah ibuku ... ?"
Ling Ay mendengar ucapan itu, terkejut dan cepat membalikkan tubuhnya. Kedua matanya terbelalak memandan g kepada pria muda yang berdiri di depannya. Keduanya saling berpandangan, Ling Ay terkejut akan tetapi juga ada perasaan gembira menyelinap di dalam hatinya, bercampur keharuan melihat betapa kedua mata pemuda itu basah.
"Houw-koko ...!” Ling Ay berbisik, merasa seperti dalam mimpi setelah kini ia berdri berhadapan dengan orang yang selama ini seringkali muncul dalam mimpinya.
"Ay-moi , eh, maaf Nyonya ... Cia Ling Ay,” Bun Houw pemuda itu tengagap. “Maaf, aku belum mengetahui nama suamimu ... "
Ling Ay mengerutkan alisnya. Harus diakuinya bahwa biarpun ia selalu merasa rendah diri dalam keluarga suaminya, juga suaminya jelas bersikap agak tinggi hati dan memandang rendah kepadanya, namun suaminya kelihatan sayang kepadanya, iapun selama setahun ini sudah berusaha untuk bersikap manis kepada suaminya, melayaninya dengan usaha untuk menyenangkan hati suaminya. Namun, harus diakuinya bahwa di lubuk hatinya, ia tidak mempunyai perasaan cinta kepada suaminya! Dan sekarang, berhadapan kembali dengan Bun Houw, setelah perpisahan selama enam tahun, setelah ia menjadi seorang wanita dewasa dan Bun Houw juga menjadi seorang pria dewasa, baru ia merasa bahwa sesungguhnya ia mencinta bekas tunangannya ini! Dan kenyataan ini mendatangkan perasaan nyeri dalam hatinya, seolah-olah jantungnya tertusuk-tusuk dari dalam.
"Houw-ko ... kau ... kau sudah tahu ... ?" pertanyaan ini masih dilakukan dalam bisik-bisik sehingga ia khawatir pemuda itu tidak dapat mendengarnya. Ia tidak tahu bahwa kini pendengaran pemuda itu luar biasa ketajamannya. Bahkan suara-suara halus yang tidak mungkin dapat ditangkap oleh pendengaran orang biasa, dia mampu mendengarnya, maka tentu saja bisikan Ling Ay itu sudah cukup jelas baginya.
Bun Houw mengangguk dan dia meletakkan butalan kain yang dibawanya ke atas tanah berumput, di depan makam ayah ibunya. "Sejak tadi aku sudah melihat engkau, ayah ibumu, dan ... suamimu. Ah, benar, aku belum menghaturkan selamat kepadamu." Pemuda itu lalu bangkit lagi dan mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat sambil berkata, "Kiong hi (selamat), engkau telah mendapatkan seorang suami yang tampan, berwibawa dan kaya raya. Agaknya dia seorang pembesar tinggi, bukan?”
Ada perasaan bangga menyelinap di hati Ling Ay, perasaan bangga yang diikuti perasaan nyeri dan juga iba kepada pemuda di depannya itu. Ia mengangguk dan berkata lirih, "Dia putera kepala daerah Cun di Nan-ping."
"Ah! Kiranya engkau menjadi mantu kepala daerah? Sungguh, aku harus menghaturkan selamat untuk kedua kalinya. Bun Houw mengeraskan hatinya yang tadi menjadi lemah dan terharu ketika bertemu dengan Ling Ay, dan dia berusaha untuk bersikap bijaksana. "Toanio, sungguh aku merasa ikut berbahagia melihat keadaanmu dan ... terus terang saja, walaupun pertemuan ini menggembirakan hati, namun sebaiknya kalau toanio kembali ke sana, tidak baik dilihat orang kita bicara berdua saja di sini ... "
"Tapi ... tapi kita adalah sahabat lama ...!” Ling Ay membantah dan pada saat itu terdengar seruan suara seorang wanita.
"Ling Ay ... ! Mau apa engkau berada di sini ... “ Muncullah seorang wanita yang menurut penglihatan Bun Houw berpakaian terlalu menyolok, terlalu mewah sehingga hampir dia tidak mengenal lagi ibu Ling Ay atau Nyonya Cia Kun Ti! Akan tetapi ketika nyonya setengah tua itu menoleh kepadanya, dia segera mengenalnya dan cepat Bun Houw bersoja (dirangkap kedua tangan depan dada) sambil membungkuk.
"Bibi Cia, selamat berjumpa ...!” katanya sopan.
Wanita itu memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Memang terjadi perubahan besar pada diri Bun Houw. Dia bukan lagi seorang pemuda remaja seperti enam tahun yang lalu. Kini dia telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia duapuluh satu tahun yang bertubuh tegap, pakaiannya sederhana sekali. Akhirnya, wanita itu mengenalnya, hal yang mudah saja karena ia tadi melihat pemuda itu berada di depan makam keluarga Kwi, dan puterinya bicara dengan pemuda itu. SiApalagi kalau bukan Kwa Bun Houw.
"Huh, engkaukah ... ?” katanya dengan sikap angkuh karena memang hati nyonya ini merasa tidak enak dan marah melihat puterinya bicara dengan bekas tunangannya itu. Ia lalu memegang lengan Ling Ay dan menariknya pergi diri situ.
"Ling Ay, hayo kita kembali. Suamimu mencarimu!” Ia sengaja menekankan kata "suamimu" seolah olah hendak memperdengarkannya kepada Bun Houw. Ling Ay tidak membantah dan membiarkan dirinya ditarik ibunya pergi dari situ. Akan tetapi ia masih menoleh satu kali dan memandang kepada Bun Houw yang cepat berkata sambil tersenyum.
"Terima kasih bahwa engkan sudi bersembahyang di depan makam ini!”
Cia Kun Ti yang muncul di belakang isterinya, kini berdiri berhadapan dengan Bun Houw. Melihat ayah Ling Ay. Bun Houw segera memberi hormat.
"Paman Cia. selamat berjumpa."
"Aih, Bun Houw, kiranya engkau ? Engkau telah menjadi seorang pemuda dewasa. Kemana saja engkau selama bertahun-tahun ini ?” seru Cia Kun Ti dengan kegembiraan yang wajar dan tidak dibuat-buat.
Melihat ini, senang rasa hati Bun Houw. Sikap ayah kandung Ling Ay ini sungguh berbeda jauh dengan sikap ibunya.
"Ah, hanya merantau saja kesana sini meluaskan pengetahuan, paman. Kebetulan hari Ceng Beng ini saya kembali ke Nan-ping, untuk bersembahyang di sini."
Sejenak Cia Kun Ti melihat pemuda itu mengatur peralatan sembahyang di depan kedua makam itu. Pemuda itu hanya membawa beberapa macam buah dan kembang sebagai korban.
"Dan selanjutnya, apakah engkau akan kembali tinggal di Nan-ping? Kalau engkau hendak mulai lagi berdagang seperti mendiang ayahmu, aku suka menbantumu. Bun Houw. Aku dapat menanggung sehingga engkau akan memperoleh dagangan dengan pembayaran cicilan, aku suka membantumu karena aku adalah sahabat baik mendiang ayahmu.”
Bun Houw tersenyum dan memandang dengan hati terharu. dia memberi hormat lagi. "Terima kasih banyak atas kebaikanmu, paman Cia. Di Nan-ping saya sudah tidak mempunyai apa-Apalagi, bagaimana dapat berdagang ? Pula, saya tidak suka berdagang, saya lebih suka merantau."
Cia Kun Ti menghela napas panjang. Bagaimanapun juga, kegagalannya berbesan dengan sahabat baiknya, mendiang Kwa Tin, sampai sekarang kadang-kadang membuat dia merasa menyesal bukan main dia mengenal benar sababat baiknya itu. dan tahu bahwa Kwa Tin seorang yang gagah perkasa dan berhati mulia, dan diapun suka sekali kepada Bun Houw ini. Hanya karena pengaruh isterinya, terpaksa dia membiarkan anaknya tidak menjadi isteri Bun Houw, dan menjadi isteri putera kepala daerah. dia mencoba-coba untuk menghibur hatinya, dan mengatakan kepada diri sendiri betapa bahagia hidupnya karena kini dia menjadi ayah mertua seorang mantu bangsawan yang membuat dia seorang terhormat. Namun, usahanya ini selalu gagal. Dia melihat kenyataan betapa kehormatan yang diperolehnya sebagai besan kepala daerah adalah kehormatan semu, atau kehormatan yang diperlihatkan orang-orang secara palsu dan pura-pura belaka. Bahkan dia merasa yakin babwa banyak penduduk Nan-ping yang diam-diam mentertawakan dia dan isterinya, Apalagi kalau isterinya berlagak seperti nyonya bangsawan! Dan yang lebih menyakitkan hatinya lagi adalah sikap keluarga besannya. Bukan hanya kedua orang besannya, juga mantunya sendiri seringkali bahkan memandang rendah kepada mereka. Sebagai contohnya, kalau mantunya membutuhkan sesuatu untuk dibicarakan, mantunya itu bukan datang ke rumah mertuanya, melainkan mengutus seorang petugas untuk memanggil mertuanya. Cia Kun Ti merasa seolah olah menjadi semacam bawahan saja dari mantunya.
"Heii, mau apa engkau di situ terus? Kita mau pulang sekarang! Terdengar teguran dan ternyata Nyonya Cia Kun Ti yang menegur suaminya itu dari tempat agak jauh. Baru teriakannya itu saja sudah sama sekali tidak mencerminkan sikap seorang nyonya bangsawan yang halus budi pekertinya Cia Kun Ti menarik napas panjang, kembali merasa betapa dia kini sebagai seorang pelayan saja. Dia dan isterinya. Pelayan dari mantunya, putera bangsawan! Dia dan Isterinya, bahkan puteri mereka, seolah hanya menjadi pelengkap hidup Cun Hok Seng putera kepala daerah.
“'Bun Houw, aku pergi dulu. Kuharap engkau suka singgah di rumahku. Jangan sungkan, Ling Ay kini telah tinggal di rumah suaminya. Aku kadang merasa kesepian. Engkau singgahlah, Bun Houw. Biarpun engkau tidak menjadi mantuku, engkau tetap putera seorang sahabatku terbaik.”
Bun Houw merasa terharu dan cepat memberi hormat. "Entahlah, paman, akan tetapi sikap dan ucapan paman ini akan selalu teringat olehku dan kuanggap paman seorang sahabat ayahku yang amat baik. Terima kasih, paman.” Cia Kun Ti lalu pergi meninggalkan Bun Houw, bergabung dengan isteri dan anaknya dan kembali dia merasa sebagai pelengkap ketika mengikuti rombongan itu melangkah keluar dari tanah kuburan. Dia merasa muak kalau menoleh dan memandang kepada isierinya yang melangkah perlahan seperti seorang permaisuri saja, mengangguk ke kanan kiri kepada orang orang yang memberi hormat kepada rombongan mereka. Dia tahu bahwa bukan isterinya yang menerima penghormatan itu, melainkan putera kepala daerah yang menjadi mantunya. Akan tetapi yang repot menyambut penghormatan itu malah isterinya, mengangguk ke kanan kiri sambil mengatur senyum "bangsawan"!
Satelah Cia Kun Ti pergi, Bun Houw lalu melanjutkan niatnya untuk bersembahyang kepada mendiang ayah dan ibu kandungnya. Selain bersembahyang sebagai tanda penghormatan terhadap ayah ibunya melalui kenangan, juga diam-diam dia memintakan ampun kepada ayah Ibunya atas perbatalan ikatan perjodohannya dengan Ling Ay. Dia minta agar ayah dan ibunya suka mengampuni Ling Ay, dan orang tuanya, terutama ayahnya, dan dalam sembahyang itu dia menjalakan bahwa dia telah rela melihat Ling Ay digandeng pria lain sebagai isttri pria itu.
Setelah tanah kuburan itu menjadi sunyi karena para pengunjungnya sudah pulang semua. Bun Houw tinggal seorang diri. Dia masih duduk di atas tanah berumput tebal di depan makam ayah ibunya, termenung. Pertemuannya dengan Ling Ay menggugah kenangan lama. Pada hal ketika dia berkunjung ke Nan-ping, satu satunya niat di hatinya hanyalah bersembahyang di kuburan ayah ibunya. Sedikit pun dia tidak berniat untuk bertemu dengan Ling Ay dan keluarganya. Dia menganggap bahwa bubungannya dengan keluarga Cia sudah putus dan sudah tidak ada sangkut paut apapun juga antara dia dan wanita itu.
Bun Houw menarik napas panjang, lalu bangkit dan mulai membersihkan tumput dan semak-semak yang mengotori makam kedua orang tuanya. Dia tidak perlu mengenangkan Ling Ay lagi. Ia sudah menjadi iateri orang, Isteri putera kepala daerah pula! Dia tersenyum. Ling Ay menjadi mantu kepala daerah! Sungguh tidak pernah disangkanya. Sukurlah, katanya dalam hati. Sukur bahwa kini Ling Ay menjadi isteri seorang bangsawan yang kaya, dan suaminya itupun seorang laki-laki muda yang tampan. Tentu Ling Ay hidup berbahagia. Diapun sudah rela, dia ikut berbahagia kalau melihat bekas tunangannya itu hidup berbahagia. Akan tetapi, benarkah ini?
Benarlah dia rela? Bun Houw tiba-tiba menghentikan pekerjaannya dan kembali duduk termenung. Kenapa bayangan wajah Ling Ay yang semakin cantik jelita itu selalu nampak olehnya? Kenapa bukan perasaan senang yang terasa di hatinya, walaupun hatinya memaksa agar dia mengaku senang, melainkan rasa perih kalau dia membayangkan Ling Ay digandeng pria lain ? Kenapa ada perasaan iri dan cemburu?
”Kau gilai" Dia memaki diri sendiri dan seperti orang marah dia mengamuk terhadap rumput dan semak-semak, dicabutinya dengan kasar seolah-olah rumput dan semak itu yang membuat dia sengsara.
Karena dia mempengunakan kekuatan tubuhnya, maka dia dapat bekerja dengan cepat dan dalam waktu sebentar saja, semua rumput dan semak yang mengotori makam itu telah dibersihkannya, sehingga dua gundukan tanah itu kini kelihatan seperti baru saja. Hanya batu nisan sederhana yang masih nampak kotor, dengan ukiran kasar dari nama kedua ayah Ibunya. Bun Houw lalu menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya dan batu-batu nisan itu menjadi bersih mengkilap.
Pada saat itu, tiba-tiba dia menghentikan pekerjaannya, lalu mengambil buntalan pakaiannya dan mengikatnya di punggung, dan mengambil pula tongkatnya, menyelipkan tongkat butut itu di ikat pinggangnya. Dia melihat dan mendergar datangnya tiga orang meng¬hampiri tempat itu, akan tetapi mengira bah¬wa mereka tentu juga pengunjung taman ku¬buran itu untuk bersembahyang.
Akan tetapi, langkah tiga orang itu berhenti di dekatnya dan terdengar seorang di antaramereka bertanya, "Hemm, inikah orangnya ?”
Dijawab suara lain, "Benar, inilah anjing tak tahu diri itu!”
Suara orang ke tiga menyusul. "Bocah gelandangan ini berani menghina nyonya muda kita? Dia patut dihajar sampai mampus!”
Karena kini merasa yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang lain kecuali dia dan tiga orang pendatang itu, maka Bun Houw baru tahu bahwa dialah orangnya yang mereka bicarakan dan mereka maki sebagai anjing dan bocah gelandangan. diapun membalikkan tubuhnya memandang kepada mereka dengan alis berkerut.
Mereka itu tiga orang laki-laki yang melihat pakaiannya saja jelas bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan, atau yang biasa dipakai oleh para tukang pukul. Pakaian ringkas dan di pinggang mereka terselip golok. Mereka itu berusia antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun, sikap mereka bengis dan ketiganya menyeringai dengan senyum mengejek dan memandang rendah kepada Bun Houw. Tubuh mereka yang kokoh itu menunjukkan bahwa mereka memiliki tenaga badan yang kuat dan terlatih dan senyum mereka mengandung kesadisan, membayangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang dapat merasakan kesenangan dari penyiksaan terhadap orang lain.
Bun Houw mendahului mereka bertanya, suaranya halus dan sikapnya tenang, "Sam-wi (kalian bertiga) bicara tentang seseorang, siapakah yang sam-wi bicarakan itu?"
Orang yang dahinya codet bekas luka memanjang dan yang agaknya memimpin mereka, menjawab, "Anjing geladak, siApalagi kalau bukan kamu yang kami bicarakan!”
Bun Houw mesih menahan kesabarannya. Tidak perlu bersitegang urat leher dengan orang-orang macam ini, pikirnya. "Aku tak pernah mengenal kalian bertiga, kenapa kalian datang-datang memaki dan menghina aku ? Apakah kekalahanku terhadap kalian?”
Orang ke dua yang mukanya hitam tertawa bergelak dan memandang kepada kedua temannya, "Ha ha ha, lihat, anjing ini masih berani menggonggong! Sungguh tak tahu diri!”
Kini orang ke tiga yang kumisnya berjuntai ke bawah dan jarang seperti kumis tikus, melangkah maju dan bertolak pinggang dengan tangan kiri, sedangkan telunjuk kanannya ditudingkan ke arah hidung Bun Houw.
"Keparat, engkau sungguh tak tahu diri. Perbuatanmu sudah cukup bagi kami untuk menyiksamu dan bahkan membunuhmu. Akan tetapi agar jangan engkau mampus penasaran, buka telingamu baik baik. Engkau telah lancang sekali dan berani menghina nyonya muda kami. Engkau berani mengajaknya bicara di depan umum! Perbuatan tak pantas Liu Sungguh merupakan dosa besar!"
Bun Houw mengerutkan alisnya. Hatinya merasa penasaran sekali. Dia tahu bahwa yang dimaksudkan tentulah Ling Ay! Tentu Ling Ay nyonya muda itu, akan tetapi walaupun dia tadi sudah mengkhawatirkan bahwa percakapan antara mereka berdua saja di tempat umum akan dapat merugikan kehormatan Ling Ay, dia tidak mengira bahwa akan begini berat akibatnya terhadap dirinya. Karena merasa penasaran, dia pura-pura tidak mengerti.
"Nanti dulu, sobat. Harap jangan menuduh membuta tuli! Nyonya muda siapakah yang kau maksudkan? Dan penghinaan bagaimana yang kulakukan kepadanya? Aku sungguh tidak mengerti."
Kini si condet melangkah maju. "Engkau masih bertanya lagi? Jahanam busuk memang! Nyonya muda kami adalah isteri putera kepala daerah kami, dan engkau ini, engkau jembel gelandangan busuk, tadi di tempat ini berani menegur dan mengajak beliau bercakap cakap, itu merupakan penghinaan besar bagi keluarga kepala daerah kami! Karena itu, engkau akan kami hajar!”
"Ah, itukah yang kalian maksudkan? Dan siapa yang mengutus kalian untuk menghajar aku? Apakah kepala daerah? Atau puteranya? Atau nyonya muda itu sendiri?"
"Kami adalah pengawal mereka yang tadi mengawal dan mengawasi tempat ini untuk menjaga keamanan mereka. Kami melihat sendiri dan tidak usah majikan kami memerintah, kami berkewajiban untuk turun tangan sendiri. Nih, bersiaplah engkau untuk mampus, atau kau akan kami ampuni asalkan kau mampu menebus nyawamu."
Bun Houw memandang dengan sikap masih tenang, akan tetapi senyumnya dibarengi kerut di antara alisaya makin mendalam, Dia cukup maklum apa yang mereka maksudkan, Juga dia tahu bahwa tiga orang ini sungguh merupakan tiga orang yang biasa mempengunakan kekerasan untuk melakukan penekanan dan pemerasan. Entah sudah berapa banyak orang yang tidak berdosa menjadi korban kekerasan dan pemerasan mereka.
"Hemm, menebus nyawa bagaimana maksud kalian?" Dia bertanya, suaranya kini tidak sehalus tadi, diam-diam memperhitungkan apa yang akan dilakukannya terhadap tiga orang jahat ini, Mereka ini sudah sepatutnya dihajar, pikirnya, agar mereka jera dan tidak berani lagi mengganggu orang lain.
Si codet menyeringai lebar dan mendekati Bun Houw. "Engkau bukan kanak-kanak lagi, masih bertanya? Kau keluarkan semua milikmu. ingin kami melihatnya apakah sudah cukup untuk menebus nyawamu. Makin besar tebusannya, makin ringanlah hukumanmu. Kalau kamu sanggup cukup, kau kami bebaskan dan boleh cepat-cepat melarikan diri keluar kota. Kalau hanya kami anggap setengah harga, kau akan kami siksa sampai setengah mati, akan tetapi tidak sampai mati. Lihat saja berapa engkau mampu bayar."
Bun Houw mengeluarkan kantung kecil dari buntatannya dan membuka kantung itu, memperlihatkan emas yang dia dapat dari gurunya, "Apakah sebegini sudah cukup!”
Melihat emas berkilatan dalam buntalan kantung kecil itu, mata tiga orang itu terbelalak lebar seperti seekor srigala melihat darah. Seperti di komando saja, tiga buah tangan menyambar untuk merampas kantung di tangan Bun Houw itu. Akan tetapi mereka bertiga terkejut karena tiba-tiba saja kantung itu lenyap dan ternyata pemuda itu telah mengelak dan menyimpan kembali kantung kecil itu dalam buntalan pakaiannya ...
"Hei, serahkan kantung itu kepada kami!” bentak si codet.
Bun Houw tersenyum. "Bagaimana? Sudah cukupkah itu untuk menebus nyawaku ?"
"Cukup, cukup ... kauberikan seluruh buntalan di punggungmu itu, dan kau boleh pergi dari sini, cepat keluar kota dan tidak akan kami sakiti lagi."
"Kalau tidak kuberikan?" tantang Bun Houw sambil memegang tongkatnya
Tiga orang itu melongo, akan tetapi akhirnya mereka saling pandang dan tertawa bergelak. "Tidak kau berikan? Akan kuhajar engkau sampai mampus, dan semua milikmu itu tetap menjadi milik kami."
"Kalau begitu, kalian yang mengaku petugas kepala daerah ini, tiada lain hanyalah pemeras pemeras dan perampok-perampok busuk!"
Tentu saja tiga orang jagoan itu menjadi terkejut karena tidak pernah mereka sangka bahwa pemuda sederhana itu berani marah-marah dan memaki mereka!
"Jahanam busuk, engkau memang pantas dihajar sampai mampus!” bentak si kumis tikus dan dia sudah menyerang dengan tonjokan kepalan kanan ke arah muka Bun Houw. Akan tetapi, dengan sedikit menarik kepala ke belakang, tonjokan itu hanya lewat saja, mengenai angin kosong. Akan tetapi dua orang yang lain juga sudah menyerang, si codet mencengkeram ke arah leher, sedangkan si muka hitam menampar ke arah kepala Bun Houw dengan kuat sekali. Bahkan si kumis tikus yang tonjokannya luput juga sudah menyambung dengan tonjokan kepalan kiri ke arah perut.
"Hemm!" Bun Houw hanya mendengus dan begitu kedua tangannya bergerak dikembangkan, tiga orang itu terpelanting dan terjengkang, bahkan terbanting keras!
Mereka bertiga menjadi terkejut, akan tetapi juga marah sekali. Tak mereka sangka bahwa pemuda itu berani melawan, bahkan tadi mereka merasakan dorongan kedua tangan yang dikembangkan itu mengandung tenaga yang amat kuat sehingga mereka terjengkang. Mereka berloncatan bangun berdiri lagi dan tanpa dikomando lagi, mereka sudah mencabut golok dari pinggang masing-masing.
"Anjing busuk kucincang kau ...!” bentak si codet yang kemarahannya meluap-luap karena ketika terbanting ke belakang tadi, kepalanya bertemu dengan batu sehingga mengucurkan darah.
"Siuuuut ...!” Goloknya menyambar ganas dari depan, mengarah kepala Bun Houw yang agaknya akan dibelah menjadi dua. Namun, tubuh Bun Houw mendorong ke kiri dan sambaran golok itu luput. Bun Houw menarik kaki kanannya sambil memutar tubuh dan pada saat itu, kembali ada golok menyambar dari sebelah depan dan belakang. Dia mengelak lagi dan menyelinap di antara sinar kedua batang golok yang menyambar itu. Tiga orang lawannya menjadi semakin panas hati mereka dan semakin marah. Sambil menyumpah-nyumpah, mereka menggerakkan golok mereka, menyerang seperti berlomba saja untuk lebih dulu membacok roboh pemuda bandel itu. Akan tetapi, sampai tiga empat kali serangan, Bun Houw selalu mengelak. Dia hendak memberi kesempatan kepada tiga orang itu untuk membuka mata dan melihat bahwa sebenarnya mereka itu bukanlah lawannya yang seimbang. Namun, orang orang yang biasa mengandalkan kekerasan untuk menindas orang lain itu mana mau menyadari kelemahan sendiri. Makin banyak gagal, makin penasaran rasa hati mereka dan serangan mereka menjadi semakin gencar.
"Kalian memang manusia tak tahu diri!” tiba-tiba di antara sambaran tiga batang golok itu, Bun Houw mengeluarkan suara bentakan dan begitu dia menggerakkan tongkat bututnya menangkis, disambung dengan tamparan-tamparan tangan kanan karena tongkat itu dipegangnya dengan tangan kiri, maka tiga batang golok itu terpental dan disusul oleh tubuh mereka bertiga yang juga terpelanting roboh.
Akan tetapi dasar orang orang tak tahu diri yang bagaikan katak dalam tempurung mereka selalu merasa diri sendiri yang paling kuat dan hebat, tiga orang itu belum menyadari dan mengakui kekalahan mereka. Biarpun sekali ini mereka terbanting keras sehingga kepala terasa pening, namun mereka bangkit lagi, mengambil golok masing-masing dan menyerang semakin nekat bagaikan tiga ekor srigala yang pantang menyerah.
Bun Houw mengerutkan alisnya. Melihat datangnya tiga golok yang menyambar ganas, dengan tujuan membunuh, dia lalu menggerakkan tongkatnya dengan tangan kiri, mengerahkan tenaganya dan tongkat itu bukan menyambut golok, melainkan menyambar pergelangan lengan yang memegang golok.
Terdengar teriakan susul menyusul, dan tiga golok beterbangan, disusul tiga orang yang kini memhungkuk-bungkuk, tangan kiri memegangi lengan kanan karena lengan itu tadi bertemu tongkat dengan kerasnya, terdengar suara berkeretek dan tulang tiga buah lengan kanan itu telah patah!”
Melihat mereka kini tidak mampu melawan lagi, Bun Houw tidak tagi memperdulikan mereka. dia lalu menyelipkan tongkat di ikat pinggang, lalu bersoa ke arah kedua makam orang tuanya dan meninggalkan taman kuburan itu tanpa menengok satu kalipun kepada tiga orang itu. Mereka itu masih mengaduh-aduh sambil memegangi lengan kanan dengan tangan kiri, hampir menangis saking nyerinya dan baru sekarang mereka melihat kenyataan bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi! Namun, tetap saja mereka tidak menyadari bahwa pemuda itu masih mengampuni mereka dan tidak membunuh bahkan tidak melukai secara berat, hanya menangkis dan membuat lengan kanan mereka patah tulang saja. Setelah pemuda itu tidak nampak lagi, baru mereka meninggalkan tempat itu, mengambil golok mereka dan kini mereka kehilangan segala kegirangan mereka, menekuk lengan kanan dan menahan lengan itu dengan tangan kiri, kemudian merekapun kembali ke kota untuk melapor kepada atasan mereka, gelisah karena mereka tentu akan mendapat kemarahan dari atasan mereka.
***
"Sungguh engkau seorang perempuan yang tidak tahu malu!" Mungkin sudah lima kali Cun Hok Seng meneriakkan kata-kata itu kepada Cia Ling Ay, isterinya yang hanya duduk di atas kursi dengan muka menunduk, muka yang kemerahan namun pandang mata yang ditundukkan itu penuh dengan perasaan marah dan penasaran. Suaminya telah menuduhnya secara keji! Begitu tiba di rumah, sepulang mereka dari taman kuburan, suaminya memanggilnya, juga memanggil ibunya dan mereka berdua kini berada di dalam kamar itu, menjadi bulan bulanan kemarahan putera kepala daerah itu.
"Sudah kukatakan bahwa aku tidak melakukan sesuatu yang hina!” Akhirnya ia membantah sambil membalikkan tubuh, menghadapi suaminya dan memandang dengan sinar mata penasaran. Suaminya tadinya mondar mandir di dalam kamar itu, memarahi isterinya dan ibu mertuanya bengantian.
Cun Hok Seng menahan langkahnya dan berdiri di depan isterinya. mukanya merah sekali, matanya bersinar penuh kemarahan. "Apa kau bilang? Engkau mengadakan pertemuan dan bercakap cakap berdua saja dengan seorang laki-laki asing, dan kau masih berani bilang tidak melakukan sesuatu yang hina? Perbuatan itu sudah cukup hina, merendahkan martabatku, menodai kehormatanku. Apakah engkau maksudkan bahwa baru disebut hina kalau engkau sudah tidur bersama dia di satu ranjang ?"
"Kau tidak berhak menuduh sekeji itu!” Kini Ling Ay bangkit berdiri dan memandang suaminya dengan kemarahan meluap. "Sudah kuceritakan bahwa dia itu bukan orang asing, namanya Kwa Bun Houw dan dahulu orang tuanya adalah sahabat baik orang tuaku."
"Bagus! Kalau begitu memang engkau sudah kenal baik dengan dia, maka berjanji mengadakan pertemuan di taman kuburan, ya ?”
"Itu tidak benar! Ketika selesai bersembahyang di makam keluarga Cun dan keluarga Cia, dan melihat engkau bercakap-cakap dengan para temanmu, aku keisengan dan ingin bersembahyang di depan kuburan mendiang paman Kwa Tin dan isterinya. Dan selagi bersembahyang itulah dia muncul! Kami tidak pernah saling jumpa sejak enam tahun yang lalu, maka kemunculannya itu suatu hal yang kebetulan saja dan karena berjumpa setelah berpisah bertahun-tahun, anehkah kalau kami bercakap-cakap sedikit dan hanya sebentar?”
"Bohong! Aku tidak percaya! Kalian tentu mempunyai hubungan kotor! Ibu, bayo kau akui saja, bukankah antara Ling Ay dan pemuda itu ada hubungan yang amat akrab?"
Sejak tadi, nyonya Cia Kun Ti hanya mendengarkan saja dengan hati kecut dan muka pucat. Ia merasa menyesal sekali mengapa puterinya masih mau bercakap-cakap dengan Bun Houw sehingga hal itu dilihat para pengawal mantunya dan dilaporkan. Kini mantunya marah-marah, ia pikir bahwa urusan dahulu dengan Bun Houw tidak perlu disembunyikan, karena kalau kelak mantunya mengetahui dari orang lain, hal itu bahkan akan membuat putera kepala daerah itu semakin marah, mengira bahwa ia memang sengaja menyembunyikan kenyataan itu.
"Sesungguhnya begini, mantuku yang baik. Benar seperti yang diceritakan Ling Ay, pemuda itu bukan orang asing. Bahkan dahulu, ketika masih sama-sama kecil, oleh ayah kedua pihak diadakan perjanjian ikatan perjodohan antara Ling Ay dan Bun Houw ..."
"Ahhh, begitukah?" Cun Hok Seng berseru sambil tersenyum mengejek.
Ling Ay mengerutkan alisnya, diam-diam ia mencela ibunya yang menceritakan hal-hal lampau yang sebenarnya tidak perlu disebut-sebut.
"Akan tetapi, sejak kematian keluarga Kwa suami isteri, sejak Bun Houw menjadi yatim piatu, ikatan perjodohan itu dibikin putus. Hal itu sudah terjadi enam tahun yang lalu."
"Hemm, bagus sekali! Tentu pertemuan di taman kubuian itu untuk melepas rindu antara dua orang yang dulu saling bertunangan! Memalukan!"
"Sama sekali tidak! Semua itu fitnah, hanya dugaan, tidak benar!" Ling Ay membantah marah.
"Ibu, bawa ia ke kamar dan tidak boleh keluar sebelum kuperintahkan! Orang itu, siapa namanya tadi? Kwa Bun Houw? Ya. dia harus dibunuh."
"Ihhh ...!” Mendengar ini, Ling Ay mengeluarkan jeritan kaget.
"Benar, memang dia harus dibunuh, anak kurang ajar dan tidak tahu sopan itu!” Nyonya Cia Kun Ti berkata karena memang ia menyesal sekali bahwa Bun Houw berani menemui Ling Ay di taman kuburan sehingga kini akibatnya, ia dan puterinya mendapat kemarahan besar dari mantunya.
Mendengar jerit Ling Ay dan melihat betapa wajah isterinya itu menjadi pucat mendengar dia akan membunuh Bun Houw, hati Cun Hok Seng menjadi semakin panas.
"Kalian saling mencintai. Keparat. Panggil Ibu, bawa ia pergi ke kamarnya!"
Nyonya Cia Kun Ti cepat menggandeng tangan puterinya dan menariknya pergi meninggalkan kamar Cun Hok Seng yang sedang marah-marah itu. Setelah tiba di dalam kamar. ia menutupkan daun pintu dan memarahi anaknya yang segera melempar tubuh ke atas pembaringan sambil menangis.
"Kau memang anak yang bodoh! Tadipun aku sudah marah dan merasa khawatir melihat engkau bicara dengan jahanam itu di taman kuburan!" Nyonya itu mengomel panjang pendek.
Ling Ay tidak memperdulikan, hanya menangis sambil menutupi mukanya dengan bantal. Ia masih merasa ngeri mendengar ancaman suaminya hendak membunuh Bun Houw. Teringat akan itu, ia membuka bantalnya dan berkata kepada ibunya yang masih mengomel itu.
"Ibu, kenapa dia hendak membunuh Houw-ko? Dia sama sekali tidak bersalah! Dia sama sekali tidak berdosa!”
"Huh, engkau malah memikirkan keselamatan jahanam itu? Pikirkan keselamatan kita sendiri! Dia memang harus dibunuh, biar kita cepat menjadi bersih dan tidak lagi mendapat marah."
"Tapi, dia sama sekali tidak bersalah, ibu. Dia datang untuk menyembahyangi makam ayah ibunya. Dia tidak tahu bahwa aku berada di sana. Kami saling jumpa hanya karena kebetulan saja, tidak kami sengaja. Dan karena sudah berjumpa di depan makam orang tuanya, kami hanya saling sapa dan saling tegur. Bukankah itu wajar dan jamak? Dia sopan, bahkan memberi selamat kepadaku atas pernikahan ku dengan pria lain. Dan sekarang, dia akan dibunuh ...! Aih, ibu, apa yang harus kulakukan ... ? Pembunuhan itu harus dicegah! Houw-ko tidak bersalah apa-apa ...!”
Akan tetapi, lbjnya marah-marah. "Kau anak tolol! Biar seribu orang Bun Houw dibunuh, asal kita selamat, tidak mengapa. Kenapa engkau ribut-ribut? Sudahlah, kalau suamimu mendengar omonganmu ini, dia akan menjadi semakin marah!"
Ling Ay hanya dapit menangis semakin sedih dengan hati gelisah memikirkan Bun Houw yang akan dibunuh tanpa kesalahan apapun.
***
"Kalian ini gentong gentong nasi yang tiada guna! Menghajar seorang pemuda gelandangan saja tidak mampu! Huh, malah patah tulang lengan. Sungguh memalukan sekali dan kami ikut merasa malu!" bentak kakek berusia enam-puluhan tahun itu.
Dia seorang kakek yang biarpun usianya sudah enampuluh tahun, namun wajahnya masih nampak segar dan tubuhnya juga masih nampak kokoh kekar walaupun tidak terlalu tinggi besar melainkan sedang sedang saja. Sepasang matanya mencorong tajam dan rambutnya yang sudah bercampur banyak uban itu disisir rapi dan diikat dengan pita sutera biru. Akan tetapi pakaiannya serba putih, dari sutera mahal dan di pinggangnya tengantung sebatang pedang. Dia ini bukan orang sembarangan dan di dunia kang-ouw namanya sudah amat terkenal sebagal Pek-i Mo-ko (Iblis Baju Putih). Akan tetapi, di kota Nan-ping dia lebih dikenal sebagai Ciong Tai-hiap (Pendekar Besar Ciong)! Sungguh seorang yang memiliki pribadi aneh. Di dunia kang-ouw dikenal sebagai Iblis, akan tetapi masyarakat menyebutnya pendekar! Sebutan pendekar ini setelah dia menjadi pembantu utama dari kepala daerah Nan-ping, dan biarpun tidak resmi menjadi komandan pasukan pengawal, namun sesungguhnya Ciong Kui Le inilah yang menjadi kepala pengawal dan kepala semua tukang pukul dan jagoan yang menghambakan diri kepada kepala daerah! Karena dia dikenal sebagai kepala penjaga keamanan seburuh keluarga kepala daerah Cun, tidak aneh kalau dia disebut Tai-hiap (Pendekar Besar), Apalagi karena memang semua orang tahu betapa lihai Ilmu silat dan ilmu pedang orang she Ciong ini.
Dia duduk dalam sebuah ruangan dari bangunan yang berada di sebelah gedung tempat tinggal kepala daerah Cun. Bangunan ini cukup besar dan memiliki banyak kamar. Di tempat inilah berkumpul semua jagoan yang bekerja untuk kepala daerah. Merekalah yang bertugas mengamankan kota Nan-ping dari rongrongan orang jahat. Karena mereka adalah tokoh-tokoh dunia kang-ouw, bahkan Pek-I Mo-ko amat ditakuti dan menjadi datuk sesat, maka setelah dia dan anak buahnya yang menjamin keamanan kota Nan-ping, maka tidak ada penjahat berani berkutik. Kota Nan-ping menjadi aman dari kejahatan karena dilindungi oleh penjahat-penjahat besar! Akan tetapi, kalau pemerasan dari penjahat tidak pernah terjadi, maka pemerasan satu-satunya datang dari kepala daerah melalui peraturan-peraturan yang mencekik leher rakyat dan penduduk Nan-ping pada umumnya! Sudah bukan rahasia lagi betapa para hartawan mengalirkan sebagaian besar kekayaan dan penghasilannya ke dalam rumah gedung kepala daerah Cun! Semua ini mereka lakukan demi keamanan diri dan usaha dagang mereka. Kalau tidak, maka banyak sudah terjadi pembunuhan dan penyiksaan yang dilakukan secara sembunyi, tentu saja oleh para jagoan yang dipimpin oleh Ciong Tai-hiap! Dan kalau ada penjahat dari luar daerah yang belum tahu berani mengacau, tampillah sang pendekar berpakaian putih ini untuk menghajarnya, bahkan ada pula yang dibunuhnya dan digantungnya di depan umum sehingga pada umumnya, penduduk mengagumi kakek baju putih yang di tempat umum tidak pernah melakukan kekerasan itu! Kekerasan yang dilakukan di depan umum hanya terhadap para penjahat dan sikapnya terhadap rakyat melindungi! Hanya mereka yang pernah menentang kehendak kepala daerah saja yang tahu betapa sadisnya "pendekar" ini menyiksa orang untuk mematahkan semangat perlawanan mereka terhadap kepala daerah Cun.
Ciong Tai-hiap ini pula yang menyuruh tiga orang anak buahnya untuk menghajar Bun Houw, setelah dia mendapat perintah dari Cun Hok Seng yang mendengar laporan dari seorang pengawalnya bahwa isterinya tadi bercakap-cakap dengan seorang pemuda asing.
"Hajar pemuda itu sampai cacat dan usir dia pergi dari Nan-ping," demikian perintah Cun Hok Seng pada Ciong Tai-hiap yang melanjutkan perintah itu kepada tiga orang pembantunya yang terkenal dengan ketajaman golok dan kekerasan tangan mereka. Akan tetapi apa yang terjadi? Tiga orang jagoan yang disuruhnya menghajar Bun Houw itu pulang dengan lengan kanan mereka patah tulang! Maka, tidak mengherankan kalau dia marah-marah. Biarpun yang dikalahkan orang lain itu bukan dia, hanya anak buahnya, itu pun bukan anak buah yang pilihan, namun hal itu sama saja dengan menampar pipinya, merendahkan dan menghinanya.
Yang hadir dalam ruangan itu ada belasan orang. Seorang di antara mereka, melihat pemimpinnya marah dan mendengar bahwa tiga otang rekannya itu patah tulang lengan kanan mereka oleh lawan, segera berkata, "Ciong toako (kakak tua Ciong), agaknya orang itu berisi, maka biarlah aku yang akan mewakili mu untuk menghajarnya."
Semua orang memandang kepada pembicara itu dan mereka semua merasa yakin bahwa kalau yang turun tangan orang ini, maka segalanya tentu akan beres. Dia seorang pria berusia empatpuluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus sekali sehingga kedua pipinya sampai peyot dan cekung seperti orang berpenyakitan. Akan tetapi, semua orang tahu belaka siapa adanya tokoh yang dijuluki Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding) ini! Bahkan kakek pakaian putih itu sendiri mengangguk-angguk, akan tetapi dia berkata.
"Bukan engkau, Kiam-mo. Engkau sudah memiliki tugas sendiri yang lebih penting sebentar malam, bukan Engkau barus membantu Ngo-kwi (Lima Iblis) yang menerima tugas dari Loya (Tuan Tua, yaitu Kepala Daerah), dan tugas itu harus kalian berenam selesaikan dengan baik karena amat penting sekali. Menghajar seorang bocah kurang ajar bukan hal yang terlalu penting. Yang lain saja!”
"Ha-ha-ha. benar sekali!” Tiba-tiba seorang di antara mereka, laki-laki yang tubuhnya bulat seperti bola, usianya empatpuluhan, tertawa bengelak. Orang ini memang aneh. Pakaiannya kedodoran dan bajunya tidak mempunyai kancing lagi bagian depan sehingga perutnya yang buncit nampak bagian atas, dadanya juga telanjang, nampak kulit dada putih, dan sepasang bukit dada yang besar seperti kepunyaan wanita. Saking gendutnya, dia nampak, seperti bola memiliki kaki dan tangan. Anehnya, kepalanya kecil, seperti kepala kanak-kanak, matanya sipit dan mulutnya lebar separuh kepala yang selalu tertawa dan selalu dijejali makanan dan minuman.
"Untuk menyembelih, seekor kelenci. perlu apa menggunakan golok besar? Kalau hanya menghadapi seorang bocah ingusan, serahkan saja kepadaku, toa-ko. Katakan siapa namanya, di mana aku dapat menangkapnya, lalu aku harus apakan dia. Dihajar setengah mati, diseret ke sini, atau dibunuh sekaligus. Katakan dan perintahkan saja. Cukup aku, tidak perlu merepotkan Bu-tek toako Bu-tek Kiam-mo! Ha-ha-ha!”
Sehabis bicara dan tertawa lebar, si gendut ini menyambar guci arak di atas meja, lalu menuangkan isi guci ke dalam mulutnya yang lebar sehingga terdengar suara menggelogok masuknya arak ke dalam perutnya yang seperti gentong besar itu.
Sekali ini, Pek-I Mo-ko mengangguk-angguk dan tersenyum lega. "Memang tepat sekali kalau engkau yang maju, Gu-siauwte (adik Gu). karena kalau yang maju kurang dapat diandalkan, kukhawatir akan gagal lagi. Dan kalian bertiga, cepat obati luka di lengan, kalian, kemudian temani Gu-siauwte ini dan ajak dia mencari bocah itu sampai dapat! Gu-siauwte, sebaiknya kalau bertemu dengan dia, habisi saja dan usahakan agar mayatnya tidak dilihat orang."
"Ha-ha-ha, itu perkara mudah, toako. Tanggung sebelum hari gelap, bocah itu sudah tidak ada lagi, baik nyawanya maupun badannya, ha-ha-ha!” Dia lalu bangkit dan memberi isarat kepada tiga orang jagoan yang tadi dikalahkan Bun Houw, lagaknya seperti memberi isarat kepada tiga ekor anjingnya saja. Memang dalam hal tingkatan, si gendut ini jauh lebih tinggi dari pada tiga jagoan yang patah tulang lengannya itu. Dia bernama Gu Mouw, berjuluk Siauw-bin Pek-ti (Babi Putih Muka Senyum) sesuai dengan kulitnya yang putih mulus dan mukanya yang selalu tersenyum, dan dalam urutan kedudukannya di dalam kelompok jagoan yang dipelihara Kepala Oaerah Cun di kota Nan-ping, dia menduduki tingkat ke tiga! Orang partama tentu saja Pek-i Mo-ko Ciong Kui Le, orang ke dua adalah si kurus kering Bu-tek Kiam-mo Bouw Swe dan orang ke tiga adulan si gendut ini. Masih ada orang ke empat yang merupakan sekelompok dari lima orang bersaudara yang dikenal dengan sebutan Ngo-kwi (Lima Iblis) yang tadi disebnt-sebut oleb Pek-I Mo-ko. Tiga orang jagoan yang patah tulang lengan kanannya itu dengan girang lalu meninggalkan ruangan mengikuti Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw. Mereka merasa lega tidak menerima hukuman, dan merekapun merasa yakin bahwa kalau sampai orang ke tiga ini maju, tentu pemuda itu akan dapat dikalahkan. Mereka masih memiliki lengan kiri yang sehat, dan kalau pemuda sudah roboh, mereka akan dapat dengan sepuas hati membalas dendam sakit hati mereka, mereka akan mematah-matahkan seluruh tulang di tubuh pemuda itu! Bagi orang yang sudah terbiasa menjadi hamba nafsu dendam, perasaan dendam memang manis dan mendatangkan semangat! Karena nafsu dendam ini, mereka segera mengobati lengan yang patah tulangnya, membalut kuat dan menggantungnya, kemudian mereka bertiga tidak ketinggalan membawa golok mereka, mengikuti si gendut Gu Mouw yang masih terus tertawa-tawa gembira dan nampaknya dia tenang saja, seolah-olah tugasnya itu merupakan pekerjaan sepele yang akan dapat dirampungkan dengan amat mudahnya.
Nan-ping bukan sebuah kota yang terlalu luas, Apalagi bagi para jagoan yang sudah mengenal seluruh seluk beluk kota itu, dan di mana-mana mereka disambut orang dengan ketakutan dan patuh sehingga untuk mencari Bun Houw bukan pekerjaan sukar bagi mereka. Sebelum lewat lengah hari, mereka sudah mendapat keterangan bahwa pemuda yang mereka cari itu baru saja keluar dari kota Nan-ping. melalui pintu gerbang barat. Mereka segera melakukan pengejaran dengan menunggang kuda dan benar saja, kurang lebih dua li di luar kota Nan-ping, mereka dapat menyusul pemuda yang sedang berlenggang seenaknya itu.
Pemuda itu memang Bun Houw. Dia meninggalkan kota Nan-ping, tanah tumpah darahnya, kampung halamannya, kota di mana dia dilahirkan dan dibesarkan selama lima belas tahun, kota di mana terdapat segala macam kenangan dari yang paling manis sampai yang paling pahit. Terpaksa dia meninggalkan kota itu. Untuk apa berlama-lama kalau hanya akan mendatangkan perasaan pahit dan juga ancaman-ancaman kedamaian hidupnya? Di sana ada Ling Ay yang sudah menjadi mantu kepala daerah! Dan suaminya agaknya memusuhinya, mungkin karena cemburu melihat dia bercakap-cakap sebentar dengan Ling Ay di depan makam ayah ibunya. Dia harus pergi, secepatnya. Bukan karena dia takut menghadapi ancaman itu. Sama sekali bukan, melainkan dia harus cepat pergi demi ketenteraman rumah tangga Ling Ay!
Ketika mendengar derap kaki beberapa akor kuda dari arah belakang, dia masih belum menyangka buruk, hanya mengira bahwa tentu ada rombongan orang berkuda meninggalkan kota Nan-ping pula. Akan tetapi tiba-tiba setelah empat ekor kuda datang dekat di belakangnya dia mendengar bentakan orang.
"Orang muda yang sombong, berhenti dulu!"
Bun Houw menahan langkahnya, memutar tubuhnya dan dia melihat tiga orang penjahat yang dia patahkan tulang lengannya tadi, berada di atas punggung kuda masing-masing dengan sikap angkuh dan marah, dengan lengan kanan dibalut dan digantung di depan dada. Orang ke empat adalah seorang yang tubuhnya gendut bukan main, dan agaknya amat berat sehingga kuda yang ditungganginya berpeluh dan terengah-engah, tidak seperti tiga ekor kuda lainnya. Akan tetapi si gendut itu tidak kelihatan jahat, bahkan mukanya yang kecil kekanak-kanakan itu dipenuhi senyum mulutnya yang lebar.
"Hemm, kiranya kalian bertiga yang datang mengejarku. Ada Apalagi?" Bun Houw bertanya dengan sikap tenang.
"Ha-ha-ha-ha!” Laki-laki gendut itu tertawa bergelak, ketika dia tertawa itu, perutnya yang bagian atasnya nampak karena bajunya tidak ada kancingnya, bergelombang dan kuda yang ditungganginya gemetar keempat kakinya. Melihat ini, diam-diam Bun Houw mengerti bahwa si gendut ini bukan orang sembarangan dan memiliki tenaga yang dahsyat.
"Bagus, bagus! Jadi engkau inikah pemuda yang telah mematahkan tulang tiga orang jagoan kalahan ini? Heh-heh-heh!"
Diapun merosot turun dari atas punggung kuda. melalui belakang kuda! Bun Houw merasa geli dan dia tersenyum, akan tetapi tiga orang tukang pukul itu cemberut karena diejek sebagai jagoan kalahan! Namun, tentu saja mereka tidak berani berkutik atau mengeluarkan bantahan terhadap si gendut yang merupakan seorang atasan bagi mereka.
Karena Bun Houw belum tahu siapa si gendut itu yang sikapnya terhadap dirinya tidak memusuhi, maka diapun bersikap ramah, mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan lalu menjawab, "Sesungguhnya aku tidak pernah mempunyai pikiran hendak mematahkan tulang lengan mereka. Aka tetapi mereka itu keliru mempergunakan tangan, tidak untuk bekerja dengan baik melainkan hendak membunuhku, sehingga mereka kesalahan tangan dan akibatnya tulang mereka patah. Sungguh, mereka sendiri yang mencari penyakit dan mereka yang bersalah sedangkan aku tidak pernah mengganggu mereka, mengenal merekapun tidak.”
Bun Houw mengira bahwa si gendut yang kelihatan ramah itu tentu akan dapat menerima, alasannya dan mempertimbangkan keadaannya dengan bijaksana. Oleh karena itu, alangkah terkejutnya mendengar si gendut itu. sambil mulutnya masih tersenyum lebar, berkata dengan lantang.
"Orang muda, aku datang untuk membunuhmu! Terserah kepadamu apakah engkau akan mengambil nyawamu sendiri atau harus kupaksa nyawamu meninggalkan tubuhmu, ha-ha-ha !”
Berkerut sepasang alis Bun Houw dan kini matanya berkilat ketika dia memandang wajah si gendut yang seperti anak kecil itu. Kiranya si gendut ini hanya nampaknya saja baik hati namun sesungguhnya memiliki kekejaman yang tidak kalah dibandingkan tiga orang jagoan yang patah tulang lenpan mereka itu.
"Ah, kiranya begitu? Sobat yang gendut, coba katakan, mengapa engkau datang hendak mengambil nyawaku?" tanyanya, sikapnya masih tenang sekali dan hal ini saja sudah membuat Siauw bin Pek-ti Gu Mouw penasaran. Orang mau diambil nyawanya kok masih enak-enak saja. sungguh tak tahu diri benar pemuda ini!
"Bocah sombong," katanya dan karena mulutnya masih menyeringai tersenyum, tahulah Bun Houw bahwa senyum itu bukan senyum ramah atau buatan, memang mulutnya terlalu lebar sehingga selalu nampak tersenyum dan terbuka.
"Engkau berhadapan dengan tuan besarmu Gu Mouw yang hendak mengambil nyawamu! Apakah engkau tidak cepat berlutut minta ampun?"
"Sobat gendut she Gu, engkau bukan malaikat maut pencabut nyawa, dan akupun bukan orang yang mudah saja menyerahkan nyawa! berhati-hatilah, jangan sampai kesalahan tangan seperti tiga orang temanmu itu dan engkau sendiri yang akan menderita." Dalam ucapan itu, walaupun halus. Bun Houw telah memperingatkan dan mengejek calon lawannya.
"Ha-ha-ha, bagus! Aku lebih senang kalau engkau melawan, menggembirakan sekali! Nah, coba kau ia sambut ini, orang muda!" Tiba-tiba saja si gendut sudah menerjang ke depan dan kedua tangannya dengan cepat sekali telah mengirim pukulan dari kanan kiri, yang kanan menghantam ke arah pelipis kiri Bun Houw yang kiri menyambar dahsyat untuk menghantam lambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar