06 Kun Lun Hiap Kek

06. Kembalinya Budak Pelarian

Wang Tun makin mendongkol. Ditinggalkannya pekerjaannya dan ia menghampiri Cin Kek Tosu dengan langkah lebar dan sikap mengancam. "Kau masih pura-pura bertanya? Katanya negara orang Han adalah negara besar, orang-orangnya adalah orang-orang pandai, tidak tahunya tiada bedanya dengan bangsa penjilat. Kalian datang hanya untuk menyenangkan hatinya para bangsawan dan para tuan tanah. Apa peduli kalian akan budak-budak yang hidup tersiksa? Siksaan yang diderita para budak kalian anggap tontonan yang menyenangkan, ya? Hayo lekas minggat dari sini, jangan sampai kesabaranku hilang. Kalau terjadi begitu, jangan salahkan Wang Tun kalau sampai lehermu patah-patah."

Diam-diam Cin Kek Tosu merasa terharu, juga mendongkol melihat kecongkakan pandai besi ini. Namun ia harus akui bahwa dalam ucapan kasar tadi terkandung kebenaran. "Kawan, sebetulnya aku mencari baja yang baik untuk bahan membuat pedang. Kulihat bahan baja yang kau tempa itu amat baik, maka kalau kau mau memberi untuk bahan pedang aku mau menukarnya dengan apa yang kau minta."

"Setan, kau malah hendak mencuri dan membujuk aku menjadi pencuri? Wang Tun biarpun budak hina dina kurang makan, belum begitu rendah untuk mencuri barang orang lain. Tahu?"

Cin Kek Tosu menarik napas panjang, kagum sekali. "Sukar mencari orang sejujur engkau, segagah engkau, akan tetapi juga sebodoh engkau."

"Keparat, kalau tidak pergi kupatahkan batang lehermu."

"Cobalah kalau bisa," Cin Kek Tosu menantang karena ia ingin menyaksikan gerakan dan tenaga orang yang diam-diam menimbulkan rasa suka dihatinya ini

"Kau.... kau menantang?" Terbayang keheranan dalam pandang mata Wang Tun. Ia melangkah maju dan kedua lengan tangannya yang kuat berotot itu sudah bergerak maju hendak mencekik leher tosu tua kurus di depannya, akan tetapi ia turunkan lagi tangannya dan menggeleng-geleng kepalanya

"Tidak, aku tidak mau menjadi pengecut, hanya berani menyerang seorang kakek kurus selemah engkau. Pergilah!" Wang Tun kembali ke tempat kerjanya dan menempa besi lagi dengan kuatnya untuk menghilangkan kegemasan hatinya

Cin Kek Tosu tertawa, makin suka kepada pemuda sederhana ini. Ia melihat sebatang tombak di dekat situ, diambilnya tombak ini dan dengan mudah ia membekuk dan membelit-belitkan besi itu ke lengannya

Wang Tun menghentikan pekerjaannya dan memandang dengan mata terbelalak

"Kau mempunyai ilmu sihir...... seperti pendeta-pendeta Lama......!" serunya

"Bukan ilmu sihir, orang muda. Melainkan ilmu mempergunakan tenaga secara baik

Oleh karena itu aku tadi berani menantangmu untuk mencoba tenagamu kepadaku

Kau takkan menang." "Betulkah? Kalau begitu, coba kau menerima pukulanku, hendak kulihat sampai bagaimana kuat tanganmu."

Wang Tun meloncat maju dan tangannya yang besar melayang mengirim pukulan ke arah dada tosu itu. Akan tetapi hampir saja ia terjungkal karena pukulannya yang ia lakukan dengan sekuat tenaga itu mengenai angin belaka dan tahu-tahu kakek itu sudah berada di sebelah kanannya. Ia membalik dan memukul lagi bertubi-tubi sampai lima kali, akan tetapi sia-sia belaka

"Kau curang! Kenapa tidak membiarkan aku memukulmu?"

"Ini namanya ilmu silat, orang muda. Ilmu silat mengajar orang supaya jangan sampai terpukul oleh lawan."

"Kalau begitu, balaslah memukul!"

Cin Kek Tosu tersenyum. Sambil mengelak sekali lagi ia berkata, "Coba kau terima tamparan ini." Dan tangan kirinya menampar pundak Wang Tun

Wang Tun berseru kesakitan dan terguling roboh. Ia merasa seakan tadi ditumbuk oleh sebuah toya besi yang amat kuat. Ia menjadi penasaran marah. Tangannya bergerak dan sebuah pisau belati telah berada ditangannya. Tanpa banyak cakap lagi ia menyerbu, pisau itu bergerak dan sinar kebiruan meluncur ke arah dada Cin Kek Tosu

Tosu itu mengeluarkan seruan kaget, cepat mengelak dan ketika tangannya menyambar, pisau itu sudah terampas olehnya. Wang Tun menubruk, tapi sebuah dorongan tangan kiri tosu itu lagi-lagi membuat ia tercengang. Pemuda itu tidak segera berdiri, hanya memandang dengan mata terbelalak keheranan. Ia melihat kakek itu memegang belatinya, bukan untuk balas menyerangnya melainkan untuk diamat- amati secara seksama sambil berkali-kali mengeluarkan seruan kagum

"Baja bagus..... luar biasa....." Ditekan-tekannya pisau itu, dikerahkannya tenaga untuk membuat pisau itu patah atau melengkung, namun sia-sia. Pisau itu terbuat dari pada bahan yang benar-benar kuat luar biasa

Wang Tun tertawa dan merayap bangun. "Biarpun kau sekuat seratus ekor lembu yak, tidak nanti kau dapat membuat pisau itu patah," katanya

Cin Kek Tosu memandang kepadanya

"Orang muda, dari mana kau memperoleh bahan baja sehebat ini?"

"Sukar..... carinya sukar, orang tua yang gagah. Akan tetapi, betapun baiknya pisau itu, menghadapi orang sepandai engkau, tiada gunanya....." Pemuda itu menarik napas panjang dan mukanya membayangkan kekecewaan hatinya. Baru sekarang ia tahu bahwa dia adalah seorang yang tidak ada artinya. Menghadapi seorang kakek tua kurus lemah saja ia kalah dan tidak berdaya sama sekali. "Dengar orang muda. Mari kita berjanji dan mengadakan pertukaran. Kau carikan bahan baja seperti ini untukku dan aku akan memberi pelajaran ilmu berkelahi seperti yang kupergunakan mengalahkan kau tadi kepadamu. Bagaimana?"

Wang Tun girang sekali. "Bagus, aku suka sekali. Akan tetapi ketahuilah, bahan baja itu adanya hanya di dasar sungai, merupakan pasir-pasir biru yang hanya seperseratus bagian daripada pasir-pasir di dasar sungai. Untuk membuat pisau itu saja, aku mengumpulkan pasir-pasir biru itu selama berbulan-bulan."

"Aku membutuhkan bahan untuk membuat pedang," kata kakek itu. "Carikanlah, biar sampai berapa lama akan kunanti dan selama itu pula kau boleh belajar ilmu silat kepadaku."

Demikianlah, selama setengah tahun lebih Wang Tun belajar ilmu silat dari Cin Kek Tosu dan sedikit demi sedikit ia mengumpulkan pasir biru itu. Setelah cukup banyak untuk membuat sebatang pedang pendek, selesai pula Cin Kek Tosu mengajarnya dan pada waktu itu Wang Tun telah mewarisi ilmu silat Kun-lun-pai yang cukup kuat

Demikian pula riwayat singkat bagaimana Wang Tun mengaku sebagai murid Cin Kek Tosu. Tosu ini lalu kembali ke Kun-lun-pai dan bahan baja yang biru itu dibuatnya menjadi sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kebiruan, amat tajam dan kuat mengalahkan semua bahan logam yang bagaimanapun kerasnya

Kemudian ketika ia mendengar riwayat Wang Sin, hatinya tergerak dan biarpun sudah amat tua, ia menyediakan tenaga untuk memimpin pemuda putera Wang Tun itu untuk mempelajari ilmu silat Kun-lun-pai. Malah dengan suka rela ia memberikan pedang sinar biru yang dulu bahannya ia dapatkan dari Wang Tun kepada pemuda Tibet ini sehingga Wang Sin memperoleh ilmu silat pedang yang luar biasa

Waktu berjalan amat cepatnya dan lima tahun terlewat sudah selama Wang Sin belajar ilmu silat di Kun-lun. Dia memang berbakat baik dan berkemauan keras. Susioknya (paman guru) Ong Bu Khai dan suhunya Cin Kek Tosu, merasa amat kagum melihat pemuda ini tiada hentinya siang malam berlatih diri sehingga sebentar saja sudah melampaui kepandaian Ong Hui, malah sudah dapat menyamai tingkat Ong Bu Khai sendiri

Melihat watak yang baik dari Wang Sin, diam-diam Ong Bu Khai timbul niatan untuk mengambil mantu pemuda Tibet ini. Dengan terus terang ia merundingkan hal ini dengan suhengnya, Cin Kek Tosu yang juga merasa setuju dan girang sekali bahwa sutenya tidak memiliki watak tinggi hati seperti kebanyakan orang Han yang memandang suku bangsa-suku bangsa lain lebih rendah derajatnya dari pada tingkat bangsa mereka sendiri

Adapun hubungan antara Wang Sin dan Ong Hui juga akrab. Ong Hui memang seorang gadis lincah yang peramah dan jujur. Juga gadis ini menaruh simpati kepada pemuda Tibet yang telah mengalami hidup penuh penderitaan ini. Setelah Wang Sin menjadi saudara seperguruannya, ia mendapat kenyataan bahwa pemuda ini memang berjiwa gagah dan berwatak baik, sayang agak pendiam. Di pihak Wang Sin, semenjak pertama bertemu memang ia menaruh kekaguman terhadap gadis ini. Hal ini adalah wajar. Di tempatnya yang dahulu, orang-orang perempuan merupakan makhluk lemah yang selalu hanya menjadi permainan laki- laki

Maka melihat Ong Hui yang selain cantik jelita juga gagah perkasa dan berkepandaian tinggi, siapa orangnya tidak menjadi kagum? Malah sering kali sebelum matang ilmu silatnya, ketika mula-mula sedang belajar seringkali ia mendapat petunjuk dan bantuan gadis ini sehingga timbul kasih sayang dan hormatnya kepada sumoi (adik seperguruan) ini

Biarpun kalau menurut tingkat, Ong Hui lebih dulu belajar daripadanya dan terhitung suci (kakak seperguruan), akan tetapi karena dia adalah murid Cin Kek Tosu yang menjadi kakak seperguruan ayah gadis itu, maka ia menjadi lebih tua kedudukannya dan menyebut sumoi kepada Ong Hui. Sebaliknya gadis itu menyebut suheng

Tidak bisa dibilang bahwa dua orang muda ini mengandung hati saling mencintai, terutama di pihak Wang Sin, akan tetapi tak dapat disangkal pula bahwa mereka saling suka dan menaruh simpati. Wang Sin yang pendiam tak pernah menceritakan hubungannya dengan Ci Ying kepada orang lain, akan tetapi sebetulnya tak pernah ia dapat melupakan Ci Ying. Yang menjadi kenangan malam menjadi impian

Pada suatu hari Wang Sin dipanggil oleh suhunya dan ia menjadi agak heran melihat suhunya sudah duduk di situ bersama susioknya, menanti kedatangannya. Wajah mereka berisi dan pandangan mata mereka kepadanya membuat hatinya berdebar karena tidak seperti biasa. Tentu ada sesuatu yang amat penting, pikirnya. Setelah ia maju berlutut dengan hormat, suhunya yang sudah tua sekali itu mengurut-urut jenggot sambil berkata

"Wang Sin, muridku. Kau telah lima tahun belajar di sini dan pinto harus mengaku bahwa kami merasa puas melihat ketekunanmu. Karena itu, pinto hadiahkan pedang sinar biru itu kepadamu. Sebetulnya bukan hadiah karena sesungguhnya pedang itu tadinya ayahmu yang mencari bahannya, maka sudah semestinya pinto kembalikan kepadamu. Pergunakanlah pokiam ini baik-baik, jangan sekali-kali kau pergunakan untuk menurutkan nafsu belaka. Tentu kau masih ingat akan semua nasehat pinto."

Berdebar hati Wang Sin. Ucapan ini sekaligus memperingatkan dia bahwa tentu dia sudah akan diperbolehkan turun gunung, kembali ke Tibet untuk membalas dendam, eh.... salah, seperti yang dinasehatkan oleh suhunya, soal balas dendam itu hanya akibat, yang terutama adalah menolong para budak dari penindasan

"Segala nasehat suhu akan tetap teecu ingat dan taati," jawabnya tegas

"Wang Sin," kata lagi tosu itu, "karena usiamu sudah lebih dari cukup dan mengingat sudah sepatutnya kalau kau mempunyai teman hidup, pinto dan susiokmu sudah bersepakat untuk menjodohkan kau dengan sumoimu. Kalian akan menjadi suami isteri yang cocok sekali."

Bukan main kagetnya hati Wang Sin mendengar ini, apalagi ketika ia melihat susioknya memandang kepadanya sambil mengangguk-angguk membenarkan kata- kata suhunya itu. Inilah suatu kejadian yang amat langka, malah terhitung aneh dan tak masuk akal baginya. Dia, seorang bekas budak, hendak dijodohkan dengan Ong Hui? Ia telah ditolong oleh Ong Bu Khai

Di dalam lubuk hatinya ia menganggap susioknya ini seperti tuan penolongnya, seperti tuan besar, Ong Hui seperti nona muda. Mana ia pantas menjadi suami Ong Hui? Jodohnya yang paling tepat adalah seorang budak pula, Ci Ying. Teringat kepada Ci Ying ia lalu menundukkan mukanya yang tadi merah, sekarang berubah pucat

"Wang Sin, kau tidak lekas menghaturkan terima kasih susiokmu, calon mertuamu?"

Cin Kek Tosu berkata lagi, tertawa melihat muridnya tunduk kemalu-maluan

Sambil berlutut Wang Sin berkata, suaranya terharu

"Teecu menghaturkan banyak terima kasih kepada suhu dan susiok yang sudah demikian baik terhadap diri teecu yang miskin dan yatim piatu. Sesungguhnya kalau tidak ada suhu dan susiok, entah menjadi apa orang macam teecu ini, oleh karena itu, sampai matipun teecu takkan dapat melupakan budi suhu berdua dan akan selalu mentaati perintah suhu dan susiok. Hanya saja..... tentang perjodohan......." Pemuda itu ragu-ragu dan tidak berani melanjutkan ucapannya

"Ada apa dengan perjodohan? Lanjutkan, jangan takut dan ragu," kata Cin Kek Tosu ramah

Dengan kepala masih tunduk Wang Sin menjawab. "Sesungguhnya ..... teecu..... telah bertunangan, ditunangkan oleh ayah semenjak kecil. Dan tunangan teecu itu...... Ci Ying...... entah kemana. Setelah oleh ayah ditunangkan, bagaimana teecu bisa menerima ikatan jodoh lain?"

Mendengar ini, Ong Bu Khai mengerutkan keningnya. Baru sekarang ia tahu akan hal ini dan mengerti pula ia kenapa lima tahun yang lalu pemuda itu bersikap kurang ajar ketika melihat Ong Hui yang disangkanya Ci Ying tunangannya itu

"Ah, kiranya gadis yang hilang itu tunanganmu?" katanya. "Wang Sin, kau memang betul sekali menyatakan hal ini kepada kami. Memang seorang anak harus berbakti terhadap pesan orang tua, juga harus mempunyai watak setia. Akan tetapi gadis tunanganmu itu lenyap tidak meninggalkan bekas

Selama ini, belum pernah aku mendengar tentang dia, biarpun diam-diam aku ikut menyelidiki untuk mencari gadis yang tadinya kusangka hanya adik misanmu itu

Usiamu sudah dua puluh lebih, demikianpun anakku sudah cukup usia, tidak bisa menanti lagi. Andaikata tunanganmu itu sudah tidak berada lagi di dunia ini seperti kukhawatirkan, apakah kau juga tidak menerima ikatan jodoh lain?"

Wang Sin bingung. Memang iapun sudah bersangsi apakah Ci Ying masih hidup? Ke mana mencarinya? Sudah lima tahun tiada kabar ceritanya tentang gadis itu masih hidup. Susioknya sudah begitu baik kepadanya, tidak saja ia berhutang budi malah boleh dibilang berhutang jiwa karena tanpa bantuan susioknya sukarlah hidup merdeka di daerah Tibet. Kalau sekarang ikatan jodoh itu ia tolak, bukankah itu berarti ia membalas kebaikan dengan penghinaan? Ia menjadi bingung, hatinya masih berat terhadap Ci Ying

Menolak sukar menerimapun sulit

"Wang Sin, kau tidak usah ragu-ragu. Baiknya diatur begini," kata pula Ong Bu Khai

"Kau menikah dengan anakku dan kalau kelak ternyata Ci Ying masih hidup dan ia mau melanjutkan ikatan jodohnya denganmu, kau boleh menikah lagi dengan dia."

Kembali Wang Sin terkejut mendengar ini. Memang iapun tahu bahwa pada waktu itu, menikah dengan lebih dari dua orang gadis adalah wajar, yakni bagi kaum bangsawan dan mungkin orang-orang Han. Akan tetapi bagi seorang bekas budak seperti dia, benar-benar merupakan hal yang amat ganji dan aneh. Betapapun juga, terhadap pemecahan persoalan jodoh ini ia tidak dapat membantah lagi dan terpaksa ia berkata

"Teecu hanya dapat mentaati semua perintah susiok dan suhu."

"Bagus!" Cin Kek Tosu berseru girang. "Wang Sin perjalananmu kelak ke selatan bukannya perjalanan mudah dan kau memerlukan seorang pembantu yang kuat dan boleh dipercaya. Hanya sumoimu yang dapat menjadi kawan seperjalanan yang tepat

Akan tetapi kalau kalian belum menikah, hal itu bukan merupakan sesuatu yang patut dan baik. Karena itu, sebelum kau turun gunung mengembara ke Tibet, lebih baik kau melangsungkan perjodohanmu lebih dulu dengan Ong Hui."

Demikianlah, secara sederhana dan hanya diramaikan oleh para penduduk di sekitar pegunungan Kun-lun-san, dirayakan perjodohan antara Wang Sin dan Ong Hui. Dan pada malam harinya, Ong Hui menangis di dalam kamar penganten

"Mengapa kau menangis, sumoi?" tanya Wang Sin perlahan

Mula-mula Ong Hui tidak menjawab, malah tangisnya makin menjadi

"Sumoi, apakah.... apakah sedih hatimu karena pernikahan ini? Tidak sukakah kau.....

?"

Ong Hui menggeleng kepala dan menyusut air matanya

"Aku berjanji......" katanya terputus-putus, "aku.... akan mencari Ci Ying..... mencari dia untukmu......"

Wang Sin terkejut, juga terharu. Tidak disangkanya bahwa gadis ini sudah tahu akan hal ini. Tentu susioknya yang berterus terang kepada gadisnya. Memang aneh watak orang-orang kang-ouw ini. Dengan terharu Wang Sin memegang tangan isterinya

"Harap kau tidak menaruh hati cemburu. Pertunanganku dengan Ci Ying adalah pertunangan semenjak kecil, oleh orang tua kami. Kini Ci Ying sudah lenyap dan sebagai gantinya aku mendapatkan kau. Aku tidak menyesal, malah girang sekali, karena... karena aku cinta padamu Hui-moi, mencinta semenjak pertama kali aku melihatmu......." Ong Hui menarik napas panjang, lega dan bahagia

Sebagai isterimu, aku akan membantumu, suamiku. Membantumu mengangkat kehidupan saudara-saudara di Tibet, membantumu mencari Ci Ying cici......."

Suasana menjadi sunyi, sunyi yang mengamankan hati dan mendatangkan kebahagiaan bagi dua suami isteri baru itu

***

Semenjak itu, selama lima tahun itu telah terjadi perubahan di dusun Loka, dusun sebelah utara sungai Yalu-cangpo itu. Tuan tanah Yang Can sudah mulai tua dan tidak lagi dibantu oleh puteranya karena Yang Nam sudah menikah dengan puteri seorang bangsawan dari ibukota Lasha dan pindah ke sana karena berkat pertolongan mertuanya Yang Nam mendapat kedudukan pula di sana

Akan tetapi, perubahan yang banyak terjadi hanya di dalam rumah tangga tuan tanah itu. Nasib para budak tetap saja buruk seperti dulu, tetap mereka diperas dan bekerja seperti binatang ternak. Kalau di dalam rumah tuan tanah sudah lupa akan peristiwa lima tahun yang lalu, mereka ini, para budak masih ingat dan sering kali mereka menarik napas panjang kalau mereka teringat akan keluarga Ci Ying dan Wang Sin

Pada suatu pagi, para budak sudah sibuk bekerja di sawah. Hari itu panen dimulai dan keadaannya tidak ada bedanya dengan lima tahun yang lalu ketika peristiwa pembasmian dua keluarga itu mulai terjadi. Tiada bedanya

Para budak bekerja mati-matian dan di pinggir sawah nampak tukang pukul-tukang pukul dan pendeta-pendeta Lama menjaga dan mengawasi, untuk mencegah para budak bekerja lambat atau mencuri hasil panen. Juga Thiat-tung Hwesio, si pendeta bertongkat besi, masih tetap berjaga di situ, berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, memanggul tongkat besinya dan diam tak bergerak seperti sebuah patung yang menakutkan

Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari sebelah timur datang dua ekor kuda yang ditunggangi oleh sepasang orang muda. Kejadian yang ganjil ini tentu saja menarik perhatian orang. Para budak sampai berani melupakan pekerjaan mereka dan para tukang pukul memandang pula ke arah dua orang penunggang kuda itu

Setelah dua orang penunggang kuda itu dekat, terdengar seruan-seruan perlahan di antara para budak

"Wang Sin..... bukankah dia itu Wang Sin."

Memang, seorang di antara dua orang penunggang kuda itu adalah Wang Sin. Mudah saja mengenal wajahnya yang tampan dan keras penuh garis-garis yang yang membuat ia kelihatan gagah, tubuhnya yang makin tegap berisi. Akan tetapi dia sekarang mengenakan pakaian Han dan dipinggangnya tergantung sebatang pedang

Orang kedua adalah isterinya, Ong Hui yang cantik jelita dan bersikap gagah pula. Setelah para budak mengenalnya, semua tidak memperdulikan lagi pekerjaan mereka, yang jauh datang berlari dan berkumpullah para budak menjadi gerombolan, penuh keheranan, kekaguman, dan kecemasan. Bagaimana pemuda yang telah berhasil melarikan diri, membebaskan diri dari mereka ini sekarang datang kembali? Demikian mereka bertanya-tanya

Sebaliknya para tukang pukul dan hwesio yang tua, yang masih mengenal Wang Sin, menjadi terheran dan marah bercampur gelisah. Mau apakah pemuda setan ini sekarang tiba-tiba muncul? Toya, tongkat, dan golok dipegang erat-erat, para antek tuan tanah itu siap menghadapi segala kemungkinan. Malah beberapa orang di antara mereka sudah gatal-gatal tangan untuk menangkap pemuda yang telah melarikan diri dan berdosa kepada tuan tanah maupun kepada pendeta kepala itu

Sementara itu, ketika Wang Sin melihat para budak, mengenal banyak wajah-wajah lama di antara wajah budak-budak baru, tak tertahan lagi dua titik air mata menuruni pipinya. Namun ia memaksa sebuah senyum lebar dan tangan kanannya ia angkat, dilambaikan. "Selamat bertemu kembali saudara-saudaraku yang tercinta."

Beberapa orang petani sudah meninggalkan sawah dan hendak lari menjemputnya, akan tetapi sekarang para antek tuan tanah yang melihat betapa budak-budak itu melalaikan pekerjaan mereka, segera bertindak. Tendangan, pukulan dan makian menghujani budak-budak itu. Terdengar jeritan kesakitan dan para budak itu dengan panik kembali ke pekerjaan masing-masing

Akan tetapi seorang budak perempuan yang bertubuh kurus kering tak dapat bangun setelah terkena tendangan kaki Thiat-tung Hwesio yang marah sekali, matanya melotot lebar, tongkat besinya sudah diayun-ayun mengancam para budak

Tiba-tiba berkelebat bayangan hijau disertai bentak lembut. "Keparat keji!" dan tubuh Ong Hui sudah melompat dari atas kudanya, menyerbu para centeng yang sedang menghajar hamba-hamba tani. Dalam segebrakan saja dua orang kaki tangan tuan tanah roboh terpukul lehernya dan yang seorang lagi ditendang lambungnya

Para centeng lain menjadi marah dan kaget melihat terjangan nyonya muda cantik ini

Sambil berteriak-teriak marah lima orang centeng dengan golok atau tongkat di tangan mengurung Ong Hui yang juga sudah mencabut pedangnya

"Anjing-anjing srigala! Setelah aku datang, tidak bisa nyonya besarmu membiarkan kalian berbuat sewenang-wenang!" seru Ong Hui sambil memutar pedangnya yang berkelebatan cepat dan kuat sekali. Antek-antek tuan tanah itu adalah sebangsa manusia tiada gunanya, pandainya hanya menjilat majikan, gagahnya hanya kalau menghadapi hamba-hamba tani yang lemah, setiap hari kerjanya hanyalah berlagak gagah-gagahan dan menyiksa para budak

Sekarang menghadapi amukan Ong Hui yang gagah perkasa, mana mereka sanggup melayani? Baru belasan jurus saja, dua di antara lima orang tukang pukul sudah roboh mandi darah dan yang tiga lalu berteriak-teriak ketakutan

"Losuhu, tolong......!" Thiat-tung Hwesio melompat maju mengayunkan tongkat besinya dan tiga orang tukang pukul itu segera melompat mundur dan melarikan diri. Memang sebangsa pengecut baru kelihatan belangnya kalau sudah menghadapi keadaan genting dan berbahaya bagi mereka

Thiat-tung Hwesio lihai sekali. Dia bertenaga besar dan toyanya yang berat itu menyambar-nyambar mengeluarkan angin. Dalam pertemuan pertama antara toya dan pedang di tangan Ong Hui, nyonya muda ini tergetar tangannya, maka cepat ia menarik kembali pedangnya, menyelusup ke kiri dan mengirim serangan cepat menusuk ke arah lambung pendeta itu. Inilah gerak tipu Giok-wi-yauw (Sabuk Kumala Melilit Pinggang), sebuah jurus ilmu pedang Kun-lun Kiam-hoat yang indah dan lihai

Thiat-tung Hwesio tidak hanya bertenaga besar tetapi dia telah mendapat latihan dari Thouw Tan Hwesio, Lama yang berkepandaian tinggi, maka tentu saja ilmu silatnya juga lumayan. Menghadapi serangan yang cepat dan tidak terduga dari samping ini ia tidak gugup, cepat ia miringkan tubuh dan memalangkan toya melindungi lambungnya

Kembali dua senjata bertemu yang mengakibatkan Ong Hui merasa telapak tangannya menjadi panas. Nyonya muda ini tidak gentar, segera menggunakan kelincahannya untuk mengirim serangan-serangan selanjutnya

Wang Sin melihat bahwa isterinya akan sukar mengalahkan hwesio kosen itu, tidak tinggal diam dan cepat ia melompat sambil memutar pedangnya

"Thiat-tung Hwesio pendeta keparat. Sekarang tiba saatnya aku Wang Sin membalas dendam!" Pedang di tangan orang muda ini menyambar dan kagetlah hati hwesio itu

Tidak disangkanya bahwa Wang Sin masih hidup dan lebih-lebih di luar dugaannya pemuda itu sekarang memiliki kepandaian yang begini lihai. Sambaran pedang di tangan pemuda itu cepat dan kuat sekali. Dalam tangkisan toyanya menghadapi pedangnya amat berbahaya. Namun ia masih membuka mulut besar

"Ha-ha-ha, budak hina dina. Baik sekali kau mengantarkan diri, tidak susah-susah aku mencari. Ha-ha!" Suara ketawanya terpaksa berhenti ketika pedang di tangan Wang Sin dan isterinya berkelebatan merupakan tangan-tangan maut yang berlumba merenggut nyawanya. Hwesio ini memutar tongkatnya dan berusaha memukul runtuh pedang dua orang lawannya menghandalkan tenaganya

Akan tetapi, Ong Hui adalah puteri seorang tokoh Kun-lun-pai yang cerdik. Tidak mau ia mengadu senjatanya dengan tongkat musuh, sedangkan Wang Sin yang memiliki tenaga besar tidak takut menghadapi toya itu

Di lain saat hwesio itu sudah tidak mempunyai kesempatan untuk tertawa sama sekali

Ia didesak hebat dan hanya sanggup bertahan saja sambil main mundur, tiada kesempatan lagi baginya untuk membalas serangan dua orang lawannya yang gagah

05 - Beranda - 07

Tidak ada komentar:

Posting Komentar