02. Perlakuan Manis Berhati Palsu
Kelihatannya Yang Nam berbisik-bisik minta sesuatu kepada Yang Can. Ayahnya ini memandang tajam mengerutkan kening dan menggeleng kepala. Anaknya membujuk terus dan akhirnya ayah itu tersenyum mengangguk
"Selirmu sudah tujuh, masih ditambah lagi? Baiklah, jangan khawatir," terdengar ayah ini berkata
Sementara itu, tukang pukul itu lalu memanggil para budak dan mengabarkan bahwa hamba itu mati karena mencuri gandum dan isterinya dicabut lidahnya karena berani memaki yang dipertuan. Semua budak menjadi pucat, akan tetapi tak seorangpun berani mengeluarkan suara
Wang Sin melihat dua mayat ini terikat pada pohon ketika ia menggiring domba- domba ke dalam kandang. Ia terkejut sekali dan sebuah makian tergumam di dalam mulutnya. Tanpa menghiraukan perutnya yang sudah lapar karena sehari belum diisi, setelah mengunci pintu kandang, ia lalu menghampiri pohon itu dan melepaskan ikatan pada dua mayat. Seorang anjing penjaga tuan tanah menghampirinya
"Budak Sin, kau mau apa?" tanya tukang pukul itu
"Kau lihat sendiri, melepaskan ikatan mereka," jawab Wang Sin dengan muka muram
Kalau lain hamba yang berani memberi jawaban seperti ini kepada seorang tukang pukul, tentu ia akan menerima cambukan atau setidaknya akan ditampar mulutnya
Akan tetapi terhadap Wang Sin, sembarangan tukang pukul saja tidak berani sewenang-wenang. Dahulu, setahun yang lalu pernah Wang Sin melawan seorang tukang pukul sampai tukang pukul itu rebah dengan kepala benjol-benjol dan tuan tanah yang sayang kepada tenaga kerja Wang Sin, tidak menghukumnya
"Budak Sin, apa kau mencari mampus? Maling ini dihukum oleh tuan besar sendiri karena ia mencuri gandum dan bininya dihukum karena berani kurang ajar dan memaki tuan besar. Dan kau sekarang berani melepaskan mereka?"
"Kau yang cari mampus, bukan aku," jawab Wang Sin tenang
"Bagaimana kau berani bilang begitu, bocah lancang?" tukang pukul itu marah. "Tentu saja, karena kau sebagai hamba tidak tahu akan kewajiban. Mereka ini sudah menjadi mayat, apakah kau mau mendiamkan saja dua mayat ini membusuk di sini dan mengotorkan tempat tinggal tuan besar, meracuni semua keluarga tuan besar? Masih belum dikatakan lagi kalau roh mereka mengamuk. Apa kau berani bertanggung jawab?"
Mendengar itu, tukang pukul itu menjadi pucat karena kaget dan takut. Ia menjadi bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Pada saat itu dari dalam muncul Yang Nam. Tukang pukul itu menjadi makin pucat dan mengira tuan muda pasti akan marah sekali. Wang Sin telah menyelesaikan pekerjaan melepaskan dua orang mayat itu dan ia bersikap tenang, sudah terlalu biasa menghadapi kemarahan tuan-tuannya sehingga tidak ada kekhawatiran lagi dalam hatinya
Akan tetapi aneh, benar-benar di luar dugaan tukang pukul itu, malah di luar dugaan Wang Sin sendiri. Yang Nam bersikap manis, tersenyum-senyum kepada Wang Sin dan berkata
"Tepat sekali kata-katamu, Wang Sin. Memang seorang pekerja harus mengetahui kewajibannya sendiri."
Kemudian dibentaknya tukang pukul itu disuruh pergi
Setelah berdua saja dengan Wang Sin, Yang Nam memandang kepada kepada Wang Sin dan berkata dengan sungguh-sungguh. "Wang Sin, pakaianmu sudah robek semua. Setelah kau selesai mengurus dua mayat itu, mintalah makan ke dapur dan nanti kau kuberi pakaian baru satu stel. Biar kusuruh pelayan-pelayan gila itu membantumu."
Wang Sin berdiri melongo saking herannya. Sampai datangnya pelayan-pelayan atau tukang pukul-tukang pukul itu, dua orang banyaknya untuk membantu ia mengangkut dua orang mayat, ia masih berdiri keheranan. Ia bekerja tanpa membuka mulut, dan timbul kekhawatiran dan kesangsian besar. Ia sudah terlalu kenal watak tuan muda, Yang Nam. Apakah kehendaknya maka ia begitu manis dan baik hati kepadaku
Pikirnya gelisah. Biasanya, belum tentu dua tahun sekali ia mendapat pakaian apalagi pakaian baru. Dan menyuruh dia makan. Dalam mimpi pun belum pernah ia mendapat perlakuan semanis itu. Aneh, ada apakah? Demikian suara hatinya berbisik, membuat ia makin gelisah
Sampai setelah sikap manis tuan muda itu menjadi kenyataan, yaitu ia sudah makan kenyang dan benar-benar mendapat hadiah satu stel pakaian yang tebal dan bagus sekali baginya. Wang Sin masih gelisah bukan main. Pakaian itu hangat dan membuat ia merasa enak badannya, akan tetapi tidak membuat enak hatinya. Sikap manis atau sikap baik dari tuan-tuan itu tidak pernah dikenal oleh para budak. Dan sikap tuan muda Yang Nam itu sudah berlebihan manisnya
Wang Sin tidak dapat tidur. Jangankan tidur, meramkan mata saja hampir tidak dapat
Belum pernah ada perlakuan manis pada dirinya, dari ayahnya yang pemarahpun belum. Kecuali .... Ci Ying. Hanya gadis itulah orang satu-satunya di dunia ini yang amat manis budi baginya. Entah bagaimana, bertemu saja dengan gadis itu sudah membuat dunia menjadi lebih terang. Setiap gerakan Ci Ying melembutkan hatinya, seakan-akan gadis itu sengaja menghiburnya, dengan senyum, dengan pandangannya, dengan suaranya yang halus. Memang Ci Ying tunangannya, itulah satu-satunya orang yang pernah dan selalu bersikap manis kepadanya. Akan tetapi Yang Nam? Teringat akan tunangannya, terhibur hati Wang Sin. Ci Ying selain manis budi juga amat cerdik seperti ayahnya. Pandai melukis pandai menulis, pandai berhitung dan selalu banyak ceritanya yang hebat-hebat. Ci Ying gadis pandai, tentu akan dapat menerangkan arti sikap berlebihan dari tuan muda. Akan kutanyakan kepadanya, besok. Dengan wajah Ci Ying membayang di depan matanya, akhirnya Wang Sin dapat pulas juga
Kalau saja ia dapat mendengar percakapan antara tuan besar Yang Can dan Yang Nam, agaknya bayangan wajah Ci Ying bahkan akan membuat ia tidak dapat tidur sama sekali
Di dalam rumah gedung hanya beberapa belas meter jauhnya dari tempat tidur Wang Sin di kandang domba, dalam kamar duduk yang indah dan mewah Yang Can sedang bercakap-cakap dengan Yang Nam. Tuan besar itu duduk di kursi malas setengah berbaring. Dua orang selir muda dan cantik mengawaninya, seorang mengipasinya dengan kipas bulu domba, yang kedua memijit-mijit kaki tuan tanah itu yang kelelahan karena seharian tadi banyak berdiri dan berjalan ikut sibuk memeriksa hasil panen tanahnya. Yang Nam duduk di atas kursi di depan ayahnya, mukanya yang tampan ditundukkan, akan tetapi sepasang matanya yang sipit itu kadang-kadang mencuri pandang dan melirik dari ujung mata ke arah selir yang mengipasi ayahnya, selir yang cantik dan muda dan yang seringkali ia ajak bermain mata di luar tahu ayahnya
"Panen tahun ini bagus sekali. Sayang ada saja gangguan sehingga terpaksa kita kehilangan dua orang tenaga budak," terdengar suara tuan besar Yang Can. Dari ucapan ini saja sudah dapat diketahui bahwa nyawa para budak bagi tuan besar ini tidak ada artinya sama sekali, yang penting dan disesalkannya adalah hilangnya tenaga mereka, tenaga orang-orang yang ia peras untuk menumpuk harta kekayaan
"Akan tetapi ada baiknya juga, ayah," bantah puteranya. "Mereka itu perlu dikorbankan, tidak saja untuk menebus dosa mereka yang telah berani mencuri dan menghina kita, akan tetapi perlu untuk menjadi contoh dan membikin takut para budak. Orang-orang seperti mereka itu kalau tidak diatur dengan tangan besi, mana bisa taat? Mereka itu memang sudah berwatak rendah sehingga setiap saat dan kesempatan pasti akan mereka gunakan untuk mencuri dan memberontak."
Yang Can mengangguk-angguk, cocok sekali dengan pikiran anaknya ini. Juga selir yang sedang menggoyang-goyang kipas tersenyum senang. Akan tetapi selir yang memijit-mijit kedua kaki tuan tanah itu menundukkan kepala dan menahan kedukaan hatinya. Dia ini tahu apa yang menyebabkan para budak kadang-kadang melakukan pencurian karena diapun berasal dari budak. Karena kebetulan ia cantik wajahnya dan halus putih kulitnya maka ia mendapat nasib baik menjadi selir tuan tanah itu. Ia tahu bahwa para budak terpaksa mencuri karena terlalu sering kelaparan, mencuri untuk menambah kebutuhan perut mereka. "Nam-ji (anak Nam), tentang permintaanmu tadi, tentu saja tidak menjadi soal kalau kau ingin menambah seorang selir lagi, akan tetapi gadis Ci Ying itu, bukankah sudah ditunangkan dengan anak si pandai besi? Dulu pernah kukatakan kepada mereka bahwa dua orang itu akan menjadi pasangan terbaik di antara para budak."
"Pertunangan antara budak bisa dibatalkan!"
Tuan tanah itu mengangguk-angguk, berpikir. "Tentu saja, akan tetapi mereka itu tenaga-tenaga terbaik, Yang Nam. Kita akan rugi kalau kehilangan tenaga mereka. Ci Leng selain seorang petani baik, juga pandai membantu mengatur catatan-catatan dan perempuannya itupun rajin dan cepat. Harus diingat lagi Wang Sin yang amat setia dan pandai merawat domba. Malah ayahnya juga pandai besi satu-satunya."
"Apa salahnya? Mereka, orang-orang tua itu, tentu akan senang sekali kalau dapat berjasa kepada kita, tentu mereka senang kalau Ci Ying menjadi selirku. Tentang Wang Sin, ah, biar aku yang mengurus dia. Diberi hadiah-hadiah sedikit saja masa ia tidak rela melepaskan Ci Ying?"
Ayahnya mengangguk-angguk. "Sesukamulah, kau atur sendiri. Akan tetapi sedapat mungkin jangan sampai mengecewakan hati mereka yang amat kita butuhkan tenaganya."
Demikianlah percakapan di dalam kamar, di gedung itu yang tentu akan membuat Wang Sin gelisah dan tak dapat tidur kalau ia mendengarnya
Di dalam sebuah gubuk seperti kandang butut itu, nenek tua yang lumpuh menangis terisak-isak sampai tidak ada suara lagi terdengar dari lehernya. Kedua tangannya memondong bayi yang menangis lirih karena kehabisan suara
"Cucuku .... ahhh ..... cucuku yang manis .... kau harus lekas besar .... cucuku harus lekas besar .... bagaimana aku bisa meninggalkan kau seorang diri di dunia ini? Cucuku .... siapa yang akan menyusuimu sekarang, siapa ... siapa yang akan menyambung hidupmu ....?"
Nenek lumpuh ini sudah mendengar tentang kematian anak dan menantunya. Dapat dibayangkan betapa hancur hatinya, betapa hebat kedukaannya. Akan tetapi kebingungan dan kegelisahannya lebih besar lagi. Seorang nenek tua yang tak mampu bekerja seperti dia, tentu sudah dibiarkan mati kelaparan kalau saja anak dan mantunya tidak bekerja keras, membanting tulang dan membagi sedikit hasil makanan mereka dengan dia. Sekarang anak dan mantunya sudah mati, siapa lagi dapat diharapkan untuk memberi dia dan cucunya makan? Keadaan cuaca masih gelap karena masih amat pagi. Sesosok bayangan memasuki gubuk melalui pintunya yang reyot
"Nenek, jangan terlalu berduka," kata Ci Ying dengan suara terharu sambil minta bayi itu yang segera dipondongnya dengan cara yang kaku namun penuh kasih sayang. Ci Ying tidak pernah mempunyai adik kandung, maka ia tidak biasa menggendong anak kecil, canggung benar ia memondong bayi itu, takut-takut kalau terlepas dan jatuh
Kedatangan dan hiburan Ci Ying ini membuat nenek itu makin merasa nelangsa dan makin tersedu-sedu. Akhirnya dapat juga ia mengeluarkan suara, "Ci Ying .... bagaimana aku takkan .... berduka .... bagiku yang sudah tua bangka ... mati kelaparan bukanlah soal lagi .... akan tetapi .... cucuku ini ..... cucuku .... yang belum punya nama ini ..... ia akan kelaparan ..... akan mati sedikit demi sedikit ...aduh, alangkah ngerinya ... cucuku, dosa apakah yang kau lakukan dalam hidup yang terdahulu ....?"
Ci Ying terharu sekali. Sebagai anak seorang budak, ia maklum benar nasib sengsara apa yang dihadapi anak ini dan neneknya
"Nenek, jangan khawatir. Aku akan memeliharanya, aku akan membagi makananku dengan nenek dan anak ini ......." hiburnya
Nenek itu memandang gadis ini dengan mata terbelalak, kemudian runtuh pula air matanya yang agaknya tidak mau habis. Terseok-seok ia mengesot bergerak dengan pahanya menghampiri gadis itu. Ci Ying maklum akan maksud nenek itu memeluknya sambil menangis
"Ci Ying, kau baik sekali ... semoga Sang Buddha membersihkan kau dari sisa dosa- dosamu dan mengangkatmu ke dalam penghidupan lebih bahagia. Kau .... kau bawalah cucuku itu, tentang aku ... biarkan aku mati di gubuk ini, biarlah aku menyusul anak dan mantuku. Tidak mau aku membiarkan gadis seperti kau kekurangan makan karena aku .... Pergilah, anak yang baik, pergilah!"
Ci Ying maklum bahwa ia takkan dapat memaksa nenek ini. Ia berdiri dan mendukung bayi itu ke pintu .... Sampai di pintu ia berhenti dan menoleh. "Akan tetapi kau .... bagaimana dengan kau, nenek?"
"Aku dapat mengemis makanan atau mati kelaparan, bagiku sama saja. Eh, bawa anak itu sekali lagi ke dekatku, Ci Ying."
Gadis itu datang lagi dan berlutut membiarkan nenek itu memeluk dan menciumi bayi itu. "Cucuku, kalau kau sudah besar, ingatlah semua yang menimpa ayah bundamu
Kau ... kau, kuberi nama Wang Tui."
Kemudian dengan isyarat tangannya karena tidak kuasa mengeluarkan suara lagi saking terharunya, menyuruh Ci Ying pergi. Gadis itu lalu meninggalkan rumah gubuk dan berlari pulang ke rumah ayahnya
Setiba di rumah, ia melihat ayahnya berdiri, seperti patung dengan muka agak pucat dan di depannya berdiri seorang hamba tukang cuci yang kerjanya mencuci pakaian keluarga tuan tanah. Setiap hari, pagi-pagi sekali hamba ini mengambil pakaian- pakaian kotor dari rumah tuan besar untuk dibawa ke sungai dan dicuci. Melihat kedatangan puterinya yang memondong seorang bayi yang menangis, Ci Leng bertanya, suaranya ketus seperti orang marah
"Ci Ying, anak siapa yang kaugendong itu?"
Ci Ying terkejut melihat ayahnya seperti orang marah. Belum pernah ayahnya marah kepadanya, biasanya bicaranya selalu manis terhadapnya. Memang Ci Leng agak memanjakan anaknya, karena anak yang sudah tidak beribu lagi ini mengingatkan dia kepada isterinya yang tercinta, isteri yang juga meninggal dunia karena gara-gara tuan tanah. Isteri Ci Leng amat cantik, seperti juga Ci Ying. Semenjak menjadi isterinya, tuan tanah selalu berusaha mendapatkan isterinya itu dan nafsu buruk ini ditahan- tahan karena isteri Ci Leng mengandung. Setelah Ci Ying terlahir, tuan tanah itu makin menjadi rindu dan gila. Dipergunakan segala daya upaya untuk mendapatkan isteri hambanya, namun isteri Ci Leng tidak sudi meladeninya. Akhirnya saking gelisah dan selalu ketakutan isteri Ci Leng jatuh sakit sampai matinya
"Ayah, inilah cucu nenek lumpuh. Ayah bundanya sudah meninggal, siapa lagi yang akan memeliharanya? Biarlah aku membagi makananku dengannya." Kemudian dengan sikap manja untuk menyenangkan hati ayahnya. "Ayah, bukankah kau ingin mempunyai anak laki-laki? Nah, dia ini laki-laki dan oleh nenek lumpuh diberi nama Wang Tui. Bagus, bukan? Lihat, anaknya sehat dan montok ....."
"Gila kau!" ayahnya memaki dan kembali Ci Ying menjadi kaget. Selamanya belum pernah ayahnya memakinya
Kemudian ayahnya menarik napas panjang, menundukkan muka tidak sudi melihat bayi itu. "Memang malapetaka tidak datang sendirian. Kau tambah lagi dengan beban, seakan-akan beban dan malapetaka yang menimpa kita masih kurang berat."
Ci Ying pucat. "Ayah, ada apakah ....?"
Ayahnya tidak menjawab, hanya memandang kepada hamba yang datang ke situ, perempuan tukang cuci itu. Ci Ying menengok kepadanya. "Bibi, ada apakah?"
Perempuan yang mukanya dimakan cacar itu berkata, "Celaka besar, Ci Ying. Aku diberitahu oleh nyonya besar ke lima bahwa tuan muda berkehendak mengambil kau sebagai selir ke delapan."
"Ayah ....!" Hampir saja Ci Ying melepaskan bayi yang dipondongnya kalau ia tidak ingat dan cepat-cepat memeluk bayi itu makin erat sambil memandang ayahnya dengan mata terbelalak lebar
Ayahnya hanya menghela napas sekali lagi. "Celakanya, tuan besar yang kuharapkan akan dapat mengatasi tuan muda, malah sudah menyetujui kehendak tuan muda itu."
"Betul," sambung budak tukang cuci. "Nyonya besar ke lima mendengar sendiri percakapan antara tuan besar dan tuan muda." Yang dimaksudkan nyonya besar ke lima itu adalah selir Yang Can ke lima yang dahulunya menjadi budak pula, selir yang memijiti kakinya ketika terjadi percakapan antara ayah dan anak di malam itu. Selir ini betapapun juga masih ingat akan asal-usulnya, mereka kasihan kepada Ci Ying dan diam-diam memberi kabar melalui tukang cuci yang setiap pagi mengambil cucian. Kebetulan sekali dialah yang mempunyai tugas mengumpulkan pakaian- pakaian kotor
Hampir tidak terdengar lagi oleh Ci Ying kata-kata budak pencuci pakaian itu
Pikirannya tidak karuan, bingung, sedih, marah, takut menjadi satu. Pada saat itu ia teringat kepada Wang Sin, tunangannya. Bayangan Wang Sin menjadi sinar terang yang mencegahnya jatuh pingsan. Tiba-tiba ia lari keluar sambil berseru perlahan
"Aku tidak mau .....! Aku tidak mau ....!"
Melihat akibat berita yang dibawanya, tukang cuci itu menjadi takut kalau-kalau perbuatannya terlihat oleh para centeng tuan tanah. Maka ia cepat-cepat angkat kaki menuju ke sungai untuk memulai pekerjaannya
Ci Leng kembali menarik napas berulang-ulang, lalu meninggalkan gubuknya. "Aku harus bicara dengan tuan besar," katanya lirih kepada diri sendiri
Sementara itu, sambil mengendong Wang Tui yang kembali menangis, Ci Ying lari terus ke bukit di mana ia tahu Wang Sin membawa domba-dombanya. Ia takut terlambat menghadang tunangannya itu dan kalau pemuda itu sudah melewati bukit, ia harus menyusul ke tempat yang agak jauh. Ia merasakan tubuhnya lemah sekali, namun ia paksakan diri, mendaki bukit sambil berlari
Tiba-tiba ia menjadi girang sekali dan terusirlah semua kesengsaraan hatinya ketika ia mendengar suara nyanyian yang sudah dikenalnya amat baik itu
"Wahai, Himalaya yang tinggi
Ahoi Yalucangpo yang panjang
Dapatkah kalian memberi jawaban?"
"Wang Sin ....!" teriak Ci Ying, mempercepat larinya
Suara nyanyian itu berhenti dan dari atas bukit berlari turun pemuda itu
"Ci Ying ...! Kebetulan sekali kau datang, aku memang ingin bertemu dengan kau!"
Tak lama kemudian mereka telah saling berhadapan dan saling berpandangan. Kabut tebal masih tidak kuasa melenyapkan sinar mata mereka ketika kedua orang remaja ini saling pandang penuh perasaan
"Pakaianmu baru ...!" seru Ci Ying, baru ia melihat pakaian pemuda itu yang indah dan tebal
"Kau menggendong bayi ...!" Wang Sin juga berseru heran. Perhatiannya tadi seluruhnya dikuasai oleh wajah gadis itu sehingga baru sekarang ia melihat dan mendengar tangis bayi di dalam pondongan Ci Ying
"Ini anak yatim piatu yang orang tuanya dibunuh kemarin. Ku ambil dari nenek lumpuh," jawab Ci Ying mengalah. Kemudian ia cepat mengulangi pertanyaannya, "Wang Sin, dari siapa kau mendapatkan pakaian baru yang indah ini?" Wajah Wang Sin menjadi merah, setengah malu-malu setengah bangga dan girang mendapat kesempatan memperlihatkan diri dalam pakaian itu di depan tunangannya
Tentu ia kelihatan gagah dan tampan. Otomatis tanpa disadarinya, tangan kirinya bergerak ke atas dalam usaha membereskan rambutnya. Pemuda mana di dunia ini takkan berlagak memperbagus diri di depan wanita, apalagi tunangan sendiri yang ayu seperti Ci Ying? "Aku mendapat hadiah dari tuan muda. Inilah yang hendak kutanyakan kepadamu
Menurut pikiranmu, mengapa dia memberi hadiah pakaian kepadaku?"
Mendengar ini, malapetaka yang menimpa dirinya teringat kembali oleh gadis itu dan ia lalu menjatuhkan diri di atas tanah sambil menangis. Bukan main kagetnya hati Wang Sin melihat reaksi yang sebaliknya ini dari tunangannya. Ia cepat menjatuhkan diri berlutut pula sambil memegangi pundak Ci Ying
"Ci Ying, ada apakah? Kenapa kau menangis?" tanyanya
Ci Ying tak dapat menjawab karena bayi itu menangis lagi karena lapar. Ia berusaha mendiamkan bayi itu sambil menyusuti air matanya sendiri
"Kenapa dia? Lapar?" tanya Wang Sin masih bingung
Ketika gadis itu mengangguk, Wang Sin lalu cepat menghampiri kelompok dombanya, memegang kepala seekor domba yang sedang menyusui anaknya dan menuntun domba itu ke dekat Ci Ying
"Si putih ini banyak air susunya, beri dia air susu," katanya
Ci Ying menahan gelora hatinya sendiri, menahan mulutnya yang ingin menceritakan semua kesengsaraan dirinya untuk mendahulukan kebutuhan bayi itu. Ia membawa bayi ke dekat susu domba itu dan tak lama kemudian bayi itu menyusu dari susu domba. Lahap sekali bayi itu yang sudah sehari semalam tidak diberi apa-apa
Setelah bayi itu kenyang, ia tertidur pulas dalam gendongan Ci Ying. Baru ia teringat akan keadaan diri sendiri. Sambil menangis ia bercerita
"Wang Sin malapetaka menimpa diriku. Pagi tadi bibi pencuci membawa berita celaka. Ia mendengar dari nyonya besar ke lima bahwa ... bahwa tuan muda ... hendak ... hendak mengambil aku sebagai ... sebagai selirnya yang ke delapan ... dan ... tuan besar sudah menyetujuinya ...." Ia menangis makin keras
Wang Sin menjadi pucat. Ia serentak berdiri, mengepalkan tinjunya, matanya bersinar-sinar, mukanya menjadi muram dan giginya berbunyi
"Bedebah! Si keparat!" makinya dan di lain saat ia telah menanggalkan pakaian barunya yang menutupi pakaian butut. Dikoyak-koyaknya pakaian itu, hancur berkeping-keping. "Si keparat jahanam makanan neraka!" Kembali ia memaki. "Jadi itulah gerangan sebabnya ia berbaik kepadaku? Bedebah!" Ia melemparkan kepingan- kepingan baju itu ke atas tanah dan menginjak-injaknya dengan gemas membayangkan bahwa si pemberi yang ia injak-injak itu. "Wang Sin, bagaimana baiknya? Aku ..... lebih baik aku mati dari pada menjadi selirnya."
"Aku akan pergi kepadanya! Aku yang akan membantah, aku yang akan melarang
Biar kuputar batang leher si keparat."
"Wang Sin, apa kau gila? Kau takkan menang melawan anjing-anjing penjaga, kau akan dipukul sampai mati ...!"
"Tidak apa mati untuk membelamu!" Pemuda itu hendak pergi akan tetapi Ci Ying memegang lengannya sambil menangis
"Wang Sin, kalau kau dipukuli sampai mati, apa kau kira aku dapat terlepas dari malapetaka ini? Tiada bedanya! Lebih baik aku melarikan diri. Bantulah aku lari dari neraka ini."
Wang Sin sadar akan kebenaran kata-kata gadis itu. Kalau ia mengamuk, berarti ia mengantar nyawa dengan sia-sia dan gadis itu tetap saja akan dipaksa menjadi selir tuan muda. Kalau sudah begitu, apa arti pengorbanannya? Tidak ada sama sekali
"Lari Ci Ying? Ke mana?"
"Ke mana saja asal terlepas dari tangan tuan muda. Biar aku pergi dibawa aliran sungai Yalu-cangpo ke timur. Wang Sin, kau carikan sebuah perahu untukku, aku akan naik perahu itu mengikuti aliran Yalu-cangpo."
"Akan tetapi ..... ke mana tujuanmu dan bagaimana kita bisa bertemu lagi?"
"Aku akan terus mengikuti aliran Yalu-cangpo sampai sungai itu berbelok. Aku pernah mendengar cerita ayah bahwa jauh di timur sungai itu membelok ke selatan
Nah, di belokan itulah aku mendarat dan menanti kau. Lekaslah, Wang Sin, sebelum kaki tangan tuan muda menyusul ke sini."
Karena hanya itu jalan satu-satunya, Wang Sin cepat bekerja. Ia menangkap dua ekor domba yang gemuk, membunuhnya untuk dipakai bekal rangsum tunangannya sedangkan domba yang mempunyai susu itupun ia bawa ke pinggir sungai. Mudah baginya mencuri sebuah perahu dan tak lama kemudian Ci Ying yang menggendong bayi itu sudah naik ke atas perahu. Domba yang menyusui itu diikat mulutnya sehingga tidak bisa mengeluarkan suara, lehernya diikat pada tiang. Bangkai dua ekor domba ditumpuk di situ dan di dekatnya terdapat sepikul rumput untuk makanan domba yang menyusui
Untuk penghabisan kali Wang Sin memegang pundak Ci Ying, matanya membasah
"Hati-hatilah, Ci Ying. Mudah-mudahan kita bisa bersua kembali."
Ci Ying juga mengucurkan air mata, mengangguk dan berkata. "Mungkin aku akan tewas diperjalanan. Akan tetapi lebih baik mati diperjalanan dari pada mati di tangan tuan muda, bukan?" Wang Sin mengangguk dan mendorong perahu itu ke tengah, lalu Ci Ying mendayung perahu itu terus ke tengah sampai aliran air yang kuat membawa perahu itu meluncur cepat
Dengan air mata berlinang Wang Sin berdiri di pinggir sungai melihat perahu itu lenyap ditelan kabut yang masih tebal menutupi permukaan sungai. Hatinya lega
Dengan adanya kabut itu, tak mudah perahu yang melarikan Ci Ying itu terlihat oleh para centeng tuan tanah
"Wang Sinnn .....!!" Teriakan keras ini membuat pemuda itu terkejut dan cepat-cepat ia lari kembali ke bukit di mana tinggalkan domba-dombanya. Kembali suara panggilan itu menggema dan ternyata ayahnya yang memanggil dari bukit itu
Melihat Wang Sin muncul, Wang Tun menegur. "Ke mana saja kau meninggalkan domba-dombamu?" Tiba-tiba orang tua itu menudingkan telunjuknya ke bawah."Eh, ini banyak darah. Celaka! Tentu domba-dombamu ada yang ganggu!"
Wang Sin bersikap tenang. "Ayah, sebelum aku menjawab pertanyaan ini, ada keperluan apakah ayah mendaki ke sini? Mengapa ayah bersusah payah mencariku?"
Memang tidak mudah bagi Wang Tun yang terikat rantai kedua kakinya itu untuk mendaki bukit. Hal ini membuktikan bahwa tentu ada keperluan yang amat penting yang membawa orang tua ini datang ke situ menyusul puteranya
"Ada peristiwa hebat. Ci Ying hendak dijadikan selir tuan muda. Ayahnya sudah menghadap akan tetapi ditolak malah diancam supaya segera menghantarkan Ci Ying ke gedung. Celakanya, Ci Ying dicari-cari tidak ada. Aku khawatir kau yang menyembunyikannya. Betul tidak?"
Wang Sin mengangguk. "Ci Ying sudah pergi dengan aman, ayah. Melarikan diri dengan perahu kubawai bekal dua bangkai domba dan sebuah domba hidup untuk memberi susu bagi bayi yang dibawanya."
"Bayi?"
"Cucu nenek lumpuh."
Pandai besi itu menggeleng kepalanya. "Hebat! Kalian orang-orang muda sungguh hebat! Ci Ying menolong bayi itu mempertaruhkan nyawa sendiri dan kau menolong Ci Ying, tidak perduli akan bahaya yang mengancam dirimu. Ah, kalau semua budak bersemangat seperti kalian dan bersatu melawan tuan tanah, kiranya nasib kita takkan begini."
"Ayah, kau tidak marah .......?"
Ayahnya tersenyum. "Mengapa mesti marah? Lihat, akupun sudah siap mempertaruhkan nyawa." Kakek itu mengeluarkan dua batang pedang panjang yang dibuatnya secara sembunyi di dalam dapur pekerjaannya. Ia berikan sebatang kepada Wang Sin. "Mereka tentu akan mencurigaimu, tentu akan memaksa kita dan menyiksa kita supaya mengaku di mana adanya Ci Ying. Daripada mampus seperti domba, lebih baik mati sebagai harimau, bukan?" Wang Sin mengangguk-angguk tak kuasa mengeluarkan kata-kata saking terharunya, akan tetapi tangannya menangkap lengan ayahnya kuat-kuat. Dua orang laki-laki gagah, satu tua satu muda, dalam saat itu merasa bersatu dan senasib sependeritaan
Pada saat itu, tampak seorang laki-laki berlari-lari naik ke bukit itu. Terengah-engah ia berhenti di depan Wang Tun dan Wang Sin
"Paman Ci Leng ......!" tegur Wang Sin
"Apa kalian melihat Ci Ying?" tanya orang tua ini terengah-engah, memandang tajam kepada Wang Sin
"Aku tidak melihatnya," jawab Wang Tun
"Paman, untuk apa kau mencari Ci Ying? Untuk diserahkan kepada tuan muda?" tanya Wang Sin penuh curiga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar