03. Pengorbanan Orang Tua
Ci Leng melangkah maju dan dengan mata melotot tangannya menampar pipi Wang Sin. "Kau kira aku orang macam apa?"
Wang Sin mengusap-usap pipinya yang panas dan tersenyum puas lalu memberi hormat. "Bagus paman, Ci Ying sudah kubantu melarikan diri dengan perahu."
Dengan singkat ia menuturkan apa yang terjadi
Ci Leng merangkapkan kedua tangannya, berdongak ke udara
"Terima kasih kepada Dewi Sgrolma Putih. Semoga Dewi melindunginya."
Kemudian ia teringat. "Wang Sin, mereka tentu akan menyiksamu!" Ia nampak terkejut
"Saudara Ci Leng, demi untuk kebaikan anakmu sendiri, Wang Sin juga harus dapat melarikan diri menyusul Ci Ying. Biar kita yang tua-tua bertanggung jawab menghadapi kemurkaan tuan tanah." Kata Wang Tun
"Tidak, ayah! Bagaimana aku bisa membiarkan kau dan paman Ci Leng menjadi korban?"
"Diam kau! Kami sudah tua, tak lama lagi kalau tidak mampus di tangan tuan tanah, tentu akan mampus juga. Kau masih muda, kau diharap-harap oleh Ci Ying."
"Betul sekali," sambung Ci Leng. "Biar aku pergi ke kuil menemui Gi Hun Hosiang
Sehari ini kau harus dapat bersembunyi Wang Sin, dan malam nanti kau pergilah ke kuil Gi Hun Hosiang. Dia pasti ada jalan untuk menolongmu. Kalau kau pergi sekarang, terlambat. Semua jalan keluar melalui air tentu sudah terjaga. Aku pergi dulu." Setelah berkata demikian, dengan terburu-buru Ci Leng meninggalkan ayah dan anak itu. Tak lama kemudian dari bawah bukit terdengar teriakan orang-orang. Dari jauh nampak serombongan tukang pukul antek-antek tuan tanah yang mencari-cari Ci Ying. "Tangkap Wang Sin! Tentu dia tahu di mana adanya Ci Ying!" terdengar teriakan-teriakan mereka
"Wang Sin, kau harus bersembunyi. Lekas!" kata Wang Tun
Memang Wang Sin sudah bersiap sedia. Ia telah mempersiapkan sebuah jerami panjang dan dengan benda itu di tangan kiri dan pedang pemberian ayahnya di tangan kanan, ia lalu berlari ke jurusan lain, menuju ke sungai. Ayahnya maklum apa yang akan diperbuat anaknya karena memang ia sudah memberi nasehat anaknya, yaitu kalau tiba masanya anak itu hendak menyembunyikan diri, tempat yang paling aman adalah di bawah permukaan air sungai dan jerami itu dapat dipasang di mulut untuk menyedot hawa dari permukaan air
Belum lama Wang Sin melenyapkan diri, berlarilah dua belas orang antek tuan tanah mendaki bukit itu. Melihat Wang Tun seorang diri di situ dan domba-domba yang biasa digiring oleh Wang Sin berkeliaran di situ pula, mata para tukang pukul itu liar mencari-cari Wang Sin. Namun tidak terlihat bayangan orang muda itu
"Pandai besi Wang Tun, kenapa kau di sini? Mana Wang Sin anakmu?" tanya pemimpin rombongan tukang pukul
"Aku sendiripun sedang mencari anak itu." Jawab Wang Tun yang terkenal pendiam di antara tukang-tukang pukul. Seperti juga terhadap Wang Sin, terhadap kakek pandai besi ini, para begundal tuan tanah itu tidak begitu berani bersikap kasar dan sewenang-wenang seperti terhadap budak-budak lain
Hal ini karena selain Wang Tun merupakan pandai besi satu-satunya yang tangannya amat dibutuhkan tuan besar, juga kakek ini sikapnya keras dan suka melawan. Akan tetapi pada waktu itu, para tukang pukul ini sudah mendapat kekuasaan penuh oleh tuan muda untuk mencari Ci Ying sampai dapat dan kalau perlu orang-orang seperti Wang Tun, Wang Sin, dan Ci Leng boleh disiksa untuk memaksa mereka mengaku di mana adanya gadis itu
"Pandai besi tua bangka, jangan pura-pura. Kalau tidak ada hubungan dengan hilangnya Ci Ying, masa sepagi ini kau sudah di sini? Hayo katakan di mana adanya Wang Sin yang menyembunyikan Ci Ying? Mengakulah sebelum kami hilang kesabaran!"
"Kalian punya mata, carilah sendiri dan jangan ganggu aku!"
"Tangkap saja dan siksa, tentu mengaku si tua bangka ini," kata seorang tukang pukul sambil mengamang-amangkan tombaknya
"Ketemu si Wang Sin tentu ketemu pula Ci Ying, tentu si tua bangka ini yang menyembunyikan."
"Tangkap ...." Mendengar suara-suara ini dan melihat sikap mereka mengancam, Wang Tun tersenyum mengejek, matanya bersinar-sinar. Ia mengedikkan kepala dan mengangkat dada, kakinya bergerak sehingga rantai yang mengikat kedua kakinya mengeluarkan bunyi berdencingan. "Kalau aku tidak sudi memberitahu, kalian mau apa?"
"Bangsat, budak hina dina! Kau mau melawan?" bentak kepala rombongan yang memegang toya
Tiba-tiba Wang Tun tertawa bergelak, tangannya bergerak dan sebatang pedang sudah berada di tangannya. "Hayo, majulah kalian anjing-anjing penjilat pantat tuan tanah! Majulah, ini saat yang kutunggu-tunggu sejak dahulu!"
Tukang-tukang pukul itu maklum bahwa si pandai besi ini biarpun tua, amat kuat dan pandai silat, akan tetapi mereka mengandalkan keroyokan. Dengan memaki-maki marah mereka lalu maju menyerbu Wang Tun yang segera mengamuk sambil memutar-mutar pedangnya
Dengan garangnya Wang Tun menerjang maju, seputaran pedangnya dapat menangkis semua penyerang dan cepat sekali ia lanjutkan dengan menyerampang ke depan sambil merendahkan tubuhnya. Para tukang pukul yang sedikit-sedikit juga pernah belajar ilmu silat, meloncat ke atas, akan tetapi seorang di antara mereka kurang cepat loncatannya sehingga sebelah kakinya, dekat mata kaki, terbabat pedang sampai putus berikut sepatu-sepatunya
Ia menjerit kesakitan dan tubuhnya menggelinding ke belakang, lalu berdiri lagi melonjak-lonjak dengan sebelah kaki, berputaran saking sakitnya. Tak lama kemudian ia terguling dan pingsan
Para tukang pukul menjadi makin marah. Kepungan makin rapat dan datangnya senjata yang menyerang seperti hujan. Namun Wang Tun tidak keder. Ia malah tertawa bergelak ketika pedangnya merobohkan korban pertama. "Ha-ha-ha-ha!"
Tukang pukul yang memegang toya menggebuknya dari belakang dan karena pada saat itu Wang Tun menghadapi hujan senjata dari depan dan kanan kiri, gebukan ini tepat mengenai punggungnya
"Blek!" dan toya yang terbuat dari kayu itu patah. Wang Tun mengeluarkan seruan menahan sakit. Cepat memutar tubuh dan pedangnya meluncur. "Cepp ....!" Pedang itu amblas memasuki perut tukang pukul itu sampai tembus ke belakang
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Wang Tun tertawa terbahak-bahak ketika darah lawan menyemprot membasahi bajunya. Ia cepat mencabut pedangnya dan menggulingkan tubuh ke kiri untuk menghindarkan hujan senjata. Akan tetapi karena kedua kakinya terikat, gerakannya ini kurang cepat dan sebuah penggada menghantam pundaknya
Punggung dan pundaknya sudah terkena pukulan. Namun Wang Tun benar-benar kuat sekali. Ia hanya mengeluarkan gerakan seperti harimau terluka lalu mengamuk lagi
Dalam beberapa gerakan pedangnya sudah merobohkan lagi tiga orang pengeroyok. Para tukang pukul yang tinggal tujuh orang menjadi gentar menghadapi amukan pandai besi itu yang seperti harimau terganggu ini. Kepungan mengendur dan mereka hanya menyerang secara hati-hati sekali sambil berteriak-teriak memaki
"Mundurlah, anjing-anjing tiada guna. Biarkan aku menghadapi sendiri!" Teriakan ini membuat para tukang pukul mundur dengan muka pucat karena mengenal suara tuan muda Yang Nam. Tidak berhasil mengalahkan seorang budak dengan pengeroyokan dua belas orang, benar-benar merupakan kesalahan besar dan kalau mereka nanti hanya menerima makian-makian saja sudah boleh dibilang untung
Melihat kedatangan tuan muda yang membawa sebatang toya kuningnya, Wang Tun hanya berdiri, dengan pedang melintang di depan dada. Seperti pedang ditangannya yang berlumur darah, juga pakaiannya penuh oleh darah para korbannya dan darahnya sendiri ia telah menderita luka di sana sini. Wajahnya beringas dan matanya berapi- api
"Wang Tun baik kau katakan saja di mana Ci Ying dan Wang Sin. Kalau kau mau berterus terang, aku akan mengampunkan kau dan biarlah anjing-anjing yang sudah kau robohkan ini karena memang mereka tak berguna. Mengakulah, di mana adanya anakmu itu dan di mana ia menyembunyikan Ci Ying?" kata Yang Nam dengan nada suara halus
Tergetar pedang di tangan kakek pandai besi itu. Sudah tahu ia akan kelicikan pemuda ini yang lebih jahat dari pada ayahnya. Ia menggelengkan kepala dan berkata
"Hamba tidak dapat memberitahu karena tidak tahu di mana adanya mereka."
"Wang Tun, jangan kau membohong kepadaku," suara Yang Nam mulai mengeras, penuh gertakan
"Hamba tidak membohong. Akan tetapi, lepas dari pada soal membohong atau tidak, hamba tidak setuju kalau Ci Ying yang sudah dijodohkan dengan putera hamba itu hendak tuan rampas," jawabnya ini membayangkan ketegasan dan kenekatan
Yang Nam tersenyum, mengangguk-angguk. "Ah, begitukah? Wang Tun apa kau kira aku begitu serakah? Kalau Ci Ying tidak mau, biarlah sekarang juga aku atur perkawinan antara dia dan anakmu. Pokoknya keluarkan dulu mereka dari tempat persembunyian mereka." Ucapan ini halus dan membujuk
Namun Wang Tun sudah cukup mengenal pemuda licik ini, ia menggeleng kepala
"Hamba tidak tahu di mana mereka ...."
"Eh, itulah mereka!" Tiba-tiba Yang Nam menuding ke kanan, "Wang Sin! Ci Ying, kalian ke kanan saja?"
Wang Tun terkejut sekali dan menengok ke arah yang ditunjuk oleh tuan muda itu. Ia tidak melihat apa-apa dan tahulah dia bahwa tuan muda yang licik itu telah menipunya. Cepat dia berpaling kembali untuk bersiap sedia, akan tetapi terlambat
Toya di tangan Yang Nam sudah menyerangnya dengan hebat dan sebuah sodokan ke arah dadanya tak dapat ia hindarkan lagi. Tubuhnya terjengkang ke belakang dan pukulan kedua yang amat keras mematahkan lengannya yang memegang pedang sehingga pedang itu terlepas dan terlempar
Namun Wang Tun tidak bersambat, hanya memandang dengan mata melotot
Melihat pandai besi itu sudah roboh tak berdaya, menyerbulah tukang-tukang pukul itu dengan senjata mereka dan di lain saat mereka sudah memukuli tubuh Wang Tun
"Bak-bik-buk" mereka menggebuki Wang Tun seperti kelompok anak-anak menggebuki seekor ular sampai Wang Tun tak dapat bergerak lagi, rebah mandi darah
"Tuan muda sungguh gagah perkasa ..." seorang tukan pukul menyeringai dan memuji Yang Nam
Akan tetapi jawaban pujian ini adalah sebuah tendangan kaki tuan muda itu yang membuat si pemuji terjengkang
"Gentong-gentong nasi tak punya guna. Hayo lekas cari lagi Ci Ying dan Wang Sin
Biarkan bangkai pandai besi ini membusuk di sini dan dimakan binatang buas."
Mereka lalu pergi sambil menyeret kawan-kawan yang terluka dalam pertempuran tadi. Juga Yang Nam setelah meludah ke arah tubuh Wang Tun yang mandi darah, lalu pergi uring-uringan. Yang Nam dan antek-anteknya tidak tahu betapa sejam kemudian setelah mereka pergi tubuh yang dikira sudah menjadi mayat itu bergerak lemah, mengerang perlahan lalu mata yang bengkak-bengkak itu terbuka
"Wang Sin .... Wang Sin ...." demikian bisik Wang Tun lirih, kemudian dia diam kembali tak bergerak. Darah menetes turun dari keningnya
Ci Leng tergesah-gesah berjalan menuju ke kuil besar yang menjadi tempat pujaan seluruh rakyat di daerah itu. Ia membawa sebuah "hata" yaitu sehelai kain selendang yang menjadi tanda penghormatan dan kebaktian, dan sekeranjang gajih. Hata dan gajih ini merupakan barang sumbangan yang harus dibawa oleh setiap orang yang hendak bersembahyang. Tanpa barang-barang itu jangan harap akan dapat memasuki ruangan kuil. Jadi benda-benda itu merupakan pembuka kunci pintu kuil
Ketika Ci Leng tiba di luar kuil, di situ sudah banyak terdapat budak-budak yang berlutut di atas batu-batu lantai di luar kuil. Mereka ini datang untuk minta berkah
Selain patung-patung di dalam kuil, siapa lagi yang menaruh kasihan kepada mereka? Siapa lagi yang dapat menolong mereka? Kepada patung-patung inilah para budak itu berlari untuk minta perlindungan dan minta berkah
Ci Leng menjatuhkan diri berlutut di antara pemuja. Batu-batu lantai itu sampai licin sekali, halus dan di sana sini berlubang saking sering dan banyaknya orang datang berlutut. Lubang-lubang kecil bekas telapak tangan dan lutut. Sambil berlutut dan berkali-kali mengangguk-anggukkan kepala, Ci Leng seperti yang lain menggerak- gerakkan bibir membisikkan doa-doa sambil memutar-mutar tasbeh. Serombongan pendeta lama yang masih kecil-kecil, di antaranya baru berusia lima enam tahun, lewat di dekat mereka sambil menggotong ember-ember berisi air. Anak- anak kecil yang berkepala gundul dan berpakaian gerombongan itu dengan susah payah menggotong air, terhuyung-huyung ke kanan kiri. Mereka ini adalah pendeta- pendeta Lama kecil, akan tetapi pada hakekatnya hanyalah budak juga dalam pakaian Lama dan berkepala gundul
Mereka bekerja setengah mati, diperas sampai tak kuat lagi untuk melayani para pendeta Lama yang merupakan "orang suci" di dalam kuil. Anak-anak ini mencuci, memasak, mencari kayu bakar, mencari air, menyapu yah pekerjaan apa saja mereka lakukan untuk para pendeta Lama. Kalau para budak hamba dijadikan ternak- berbicara oleh para tuan tanah, adalah kacung-kacung ini diperkuda oleh para pendeta Lama
Setelah mengucapkan doa-doa di depan kuil bersama para tamu kuil yang datang bersembahyang, Ci Leng memasuki halaman kuil di mana orang-orang itu secara bergiliran menyerahkan kain-kain, harta dan barang sumbangan atau disebut juga "korban" kepada seorang pendeta Lama yang bertugas untuk menerima barang- barang berharga itu. Setelah menyerahkan barang sumbangannya, Ci Leng memasuki bangunan sebelah kiri
Ia berjalan melalui gang di mana penuh dengan lukisan-lukisan di tembok kanan kiri lorong, lukisan tentang manusia-manusia lelaki perempuan bertelanjang bulat yang sedang disiksa dan menderita di dalam neraka. Bermacam-macam lukisan yang mengerikan, dan cukup mendatangkan rasa takut dalam hati para pengunjung kuil, sehingga mereka itu takkan berani melakukan dosa-dosa di dalam hidup agar kelak jangan disiksa seperti dalam lukisan itu?"
Lukisan-lukisan itu betapapun juga merupakan lukisan indah, dan patung-patung yang tak terbilang banyaknya menghias di sana sini. Akan tetapi sepasang mata Ci Leng seakan-akan tidak melihat ini semua. Ia langsung menuju ke sebelah bangunan kecil yang letaknya di ujung kiri, di dekat dapur dan dekat tembok pagar pekarangan kuil
Inilah ruang kerja di mana Lama-Lama yang ahli dalam membuat patung-patung bekerja
"Losuhu .....!" Ci Leng memberi hormat ketika ia melihat seorang hwesio seorang diri bekerja di dalam ruangan itu
Hwesio ini usianya sudah lima puluh tahun lebih, wajahnya lembut dan kulit mukanya putih tak pernah terbakar sinar matahari, agak pucat. Kedua tangannya penuh dengan lumpur karena ia tengah bekerja, membentuk tanah lihat untuk dijadikan patung. Di seluruh ruangan itu penuh dengan patung-patung yang sudah jadi, setengah jadi dan belum jadi. Pakaiannya yang butut penuh dengan kotoran lumpur dan cat
Sepasang mata yang jernih dan muka yang agak muram itu berseri ketika Gi Hun Hosiang pendeta Lama itu, memandang kepada Ci Leng
"Eh, kaukah itu, saudara Ci Leng? Terima kasih bahwa kau tidak melupakan pinceng dan mau menjenguk pinceng di tempat ini." Akan tetapi pendeta itu menjadi heran dan kaget ketika tiba-tiba Ci Leng menjatuhkan diri berlutut di depannya, mengangguk-angguk dan berkata dengan suara penuh permohonan
"Losuhu yang mulia, tolonglah kami ....."
Gi Hun Hosiang meletakan tanah lempung yang dikerjakannya dan mengangkat bangun Ci Leng. "Eh, eh ada apakah, saudara yang baik? Sang Buddha telah memberi jalan kepada semua manusia untuk menolong diri sendiri. Hanya dengan perbuatan baik orang dapat menolong diri sendiri, tidak ada orang lain dapat menolong kita terbebas kesengsaraan."
"Malapetaka telah menimpa keluarga kami, losuhu. Dewa-dewa telah menampakan kemurkaan kepada kami." Dengan singkat Ci Leng menceritakan betapa tuan muda hendak merampas Ci Ying dan betapa gadis itu karena tidak sudi dijadikan selir dan karena sudah bertunangan dengan Wang Sin, telah melarikan diri membawa pergi cucu nenek lumpuh
"Sekarang Wang Sin dicari-cari dan kalau pemuda itu bisa ditangkap tentu akan disiksa oleh mereka. Oleh karena itu, tolonglah losuhu beri jalan kepada Wang Sin agar supaya dia bisa melarikan diri dari tempat ini. Malam nanti tentu dia akan datang ke sini dan memohon perlindungan losuhu."
"Omitohud ....!" Hwesio itu mengucapkan pujian sambil merangkap kedua tangan di depan dada. "Tuan Yang dan anaknya terlalu menghumbar nafsu. Apa jadinya kelak dengan mereka dalam penjelmaan mendatang? Jangan kau khawatir, saudaraku Ci Leng. Pinceng tak dapat berbuat banyak akan tetapi kalau Wang Sin berada di sini, tentu ia akan terlindung dan pinceng akan berusaha mencarikan daya upaya ....."
Ci Leng berlutut lagi menghaturkan terima kasih. "Keluarlah supaya jangan menimbulkan kecurigaan. Semoga Sang Buddha melindungimu," kata pendeta itu sambil merangkap kedua tangan
Ci Leng lalu keluar dari ruangan itu dan Gi Hun Hosiang berkemak-kemik membaca doa, lalu disambungnya dengan kata-kata lirih. "Aku hendak membuatkan sebuah patung Sang Buddha yang indah dan besar, patung emas yang akan menjadi kebanggaan kuil ini. Itulah pekerjaanku terakhir setelah itu akan bersihlah aku dari pada dosa-dosaku. Akan tetapi sebagai tambahan baik juga kutolong anak-anak yang patut dikasihani itu ...." Kembali Hwesio yang baik hati dan saleh ini membaca mantra sebelum ia melanjutkan pekerjaannya membuat patung
Baru saja Ci Leng keluar dari ruangan pembuatan patung dan berjalan sampai di lorong: "hukuman di neraka," tiba-tiba ia dikejutkan oleh bentakan parau. "Hemm, kau di sini?"
Ketika Ci Leng menengok, ia melihat Thouw Tan Hwesio, seorang Buddha hidup, seorang pendeta besar yang mengepalai kuil itu. Thouw Tan Hwesio berjubah kuning bersih, bertopi tinggi dan wajahnya keren sekali. Tubuhnya tinggi besar dan lengan tangannya berbulu. Sepatunya juga dilapis besi dan sepasang matanya yang bundar itu kini menatap wajah Ci Leng yang ketakutan. Ci Leng cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada manusia dewa ini
"Hemmm, Ci Leng. Keluargamu telah membuat kacau. Anakmu yang tak tahu malu minggat bersama setan cilik Wang Sin. Calon besanmu Wang Tun memberontak dan membunuh beberapa orang penjaga sebelum ia sendiri terbunuh. Kau yang dilumuri dosa-dosa keluargamu sekarang berani menginjak lantai kuil ini? Benar-benar kau mengotori kuilku. Hayo, keluar cepat sebelum aku memanggil halilintar untuk menyambarmu menjadi abu!"
Ci Leng dengan muka pucat, bukan hanya takut mendengar ancaman ini namun juga terkejut mendengar tentang kematian Wang Tun, cepat-cepat ia keluar dari kuil itu
Akan tetapi baru saja sampai di luar kuil, beberapa orang antek tuan tanah telah menyergapnya, mengikatnya dan menyeretnya ke gedung tuan tanah Yang Can
"Jahanam keparat tak kenal budi!" datang-datang ia dimaki oleh tuan tanah Yang Can. "Semejak belasan tahun kau dan anakmu dapat hidup karena ada aku yang menolong, setiap hari kau dan anakmu yang keparat itu makan dan minum dari pemberianku. Dan semua ini kau balas dengan penghinaan hari ini?" Muka Yang Can merah saking marahnya
"Ampun tuan besar. Hamba sekali-kali tidak merasa telah melakukan penghinaan," bantah Ci Leng
"Plakk!" tangan Yang Nam menampar pipi orang tua itu. Karena Yang Nam adalah seorang pemuda ahli silat, tamparannya keras dan seketika darah menyembur dari mulut Ci Leng karena beberapa buah giginya copot. Matanya berkunang-kunang, dan terpaksa ia meramkan mata
"Iblis tua, pintar kau bicara!" maki Yang Nam. "Kalau bukan kau yang mengaturnya, mana bisa anakmu, seorang gadis muda, berani melarikan diri. Hayo mengaku di mana sembunyinya Ci Ying dan Wang Sin?"
"Hamba tidak tahu .... hamba tidak tahu ....."
Beberapa kali pukulan dan tendangan jatuh di tubuhnya, akan tetapi Ci Leng hanya mengucapkan, "Hamba tidak tahu .... hamba tidak tahu ....." Sampai akhirnya ia tidak bisa mengeluarkan suara lagi karena telah pingsan
"Jangan bunuh dia, kau merugikan kita saja," bentak Yang Can. "Bawa dia pergi," perintahnya kepada para tukang pukul. "Suruh bekerja keras dan ikat kakinya dengan rantai supaya tidak mencoba untuk lari."
Tubuh Ci Leng yang sudah lemas itu diseret keluar dari halaman gedung tuan tanah Yang Can
Wang Sin memang memiliki tubuh yang sangat kuat. Sehari penuh tubuhnya terendam di dalam air sungai tak sekejap pun ia berani memperlihatkan kepala ke atas permukaan air. Tak perlu diceritakan lagi penderitaannya selama sehari itu, direndam di dalam air yang amat dingin. Beberapa kali ia hampir tidak kuat menahan, hampir pingsan dan hasrat untuk naik ke dalam udara segar membuat ia hampir tak kuat menahan lagi. Namun kekerasan hatinya memang luar biasa. Dengan hanya menghisap hawa dari jerami panjang yang ia gigit, ia dapat bertahan menyelam sampai sehari
Setelah kegelapan malam menembus air, baru ia berani muncul. Paru-parunya serasa akan meledak ketika tiba-tiba ia dapat menghisap hawa udara sepuasnya, tidak melalui jerami kecil-kecil itu. Setelah melihat bahwa dipinggir sungai tidak ada orang menjaga, ia berenang ke pinggir, mendarat dan sambil menahan hawa dingin yang makin meresap ke dalam tulang, ia menyusup ke tempat gelap, hendak menuju ke kuil untuk menemui Gi Hun Hosiang sebagaimana telah dipesan oleh Ci Leng
Tiba-tiba ia merandek dan cepat bersembunyi ke balik batang pohon. Ia mendengar suara berkeresekan, lalu terdengar keluhan perlahan sekali disusul suara bisikan, "Wang Sin ....."
"Ayah .....!" Wang Sin mengenal suara ayahnya dan cepat menghampiri. Di lain saat ia telah memangku ayahnya yang ternyata lebih baik mati dari pada hidup, dengan tubuh rusak berlumur darah dan hanya hati dan semangat membaja saja yang dapat menahan nyawa itu belum meninggalkan raga. Malah Wang Tun dengan kemauan keras tiada bandingnya lagi, berhasil merangkak menuruni bukit dan sengaja mencegat di situ untuk menemui anaknya untuk memberi pesan terakhir
"Syukur .... Dewata masih kasihan kepadaku ....Wang Sin ..... dengar baik-baik ....." Ia terengah-engah. Sukar sekali kata-kata keluar dari kerongkongannya yang sudah tersumbat darah
"Tuan muda .... dia curang ...Wang Sin, kalau kau bisa lari ..... kelak pergilah cari guruku .... Cin Kek Tosu .... di Kun-lun-san .....kelak .... tolonglah para budak .... tolonglah mereka, bebaskan dari cengkeraman tuan tanah .... ahhh ... selamat ..." Dan kakek yang kuat ini akhirnya tak dapat menahan nyawanya yang melayang meninggalkan raganya
Wang Sin mengepal tinju. Kalau menurutkan nafsu hatinya, ingin ia mengamuk, membalas dendam ini dan kalau mungkin membunuh tuan muda Yang Nam dan yang lain-lain. Akan tetapi, pengalaman-pengalaman getir membuat pemuda ini dapat menahan nafsu dan dapat berpikir panjang. Tiada gunanya, pikirnya. Ayahnya yang gagah perkasa sekalipun tak dapat menang
Apalagi dia yang hanya memiliki kepandaian terbatas sekali. Ia harus dapat keluar dari neraka ini, harus mempelajari kepandaian dan kelak kembali untuk membalas dendam. Ah, tidak, ayahnya lebih betul. Bukan semata-mata membalas dendam, melainkan yang terutama sekali membebaskan saudara-saudaranya para budak
"Ayah, ampunkan anakmu tidak dapat merawatmu sebagaimana mestinya." Dengan airmata bercucuran saking sedih melihat mayat ayahnya rebah tak terawat atau terurus, ia terpaksa meninggalkan mayat itu di situ kalau tidak mau tertangkap oleh kaki tangan tuan tanah. Wang Sin mencari jalan di dalam gelap dan akhirnya ia berhasil memasuki kuil. Tak seorangpun kaki tangan tuan tanah menjaga tempat ini. Siapa mengira bahwa pemuda yang mereka kira sudah melarikan diri bersama Ci Ying itu berani bersembunyi di dalam kuil? Perhitungan Ci Leng memang tepat. Tempat sembunyi di kuil itu baik sekali
Seandainya Wang Sin mengikuti jejak Ci Ying, melarikan diri menggunakan perahu, tentu ia akan tertangkap karena para antek tuan tanah sudah menjaga sampai jauh di bawah
Gi Hun Hosiang menerimanya dengan ramah, tanpa banyak suara. Ternyata hwesio ini sudah membuat persiapan lebih dulu karena begitu Wang Sin masuk ia lalu mengambil satu stel pakaian hwesio berikut topinya yang tinggi
"Buka pakaianmu dan pakai ini," perintahnya
Wang Sin juga tidak banyak cakap lagi, segera menanggalkan pakaian budak yang butut dan melemparkan pakaian ini di sudut ruangan. Kemudian ia mengenakan pakaian hwesio itu dan tak lama kemudian ia sudah menjadi seorang pendeta Lama
"Kau sembunyi di sini dulu, pinceng akan memeriksa keadaan di luar," kata hwesio itu kemudian, lalu ia pergi ke luar dengan tenang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar