01 Kun Lun Hiap Kek

Serial Lepas Mandarin
Judul : Kun Lun Hiap Kek ( Nona Berbaju Hijau )
Karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
Sumber : http://kangzusi.com/

01. Ternak Berbicara di Tibet

Pegunungan Himalaya memanjang tanpa batas. Puncak-puncaknya menjulang tinggi menyambung bumi dengan langit. Puncak-puncak yang putih tertutup salju, tak pernah tampak, ditelan awan. Kokoh kuat tak pernah goyah diterjang awan setiap saat. Dilihat dari jauh seperti naga raksasa tengah tidur bertapa. Belum pernah ada kaki manusia dapat menjelajah puncak-puncak yang tersembunyi dibalik awan

Jangankan manusia, malah segala macam burung yang bersayap sekalipun tidak kuat terbang sampai ke puncak-puncak itu

Daerah propinsi Tibet memang merupakan daerah pegunungan, dimana-mana hanya pegunungan dan tanah tinggi. Di sebelah selatan dan barat terbaris Pegunungan Himalaya dengan puncak-puncak pegunungan Kun-lun dan di sebelah timur menghadang pegunungan Tangla. Dikepung gunung-gunung raksasa ini, Tibet merupakan daerah terpencil, terasing dari dunia luar menjadi daerah yang penuh rahasia dan kegaiban

Di mana-mana tampak salju keputihan kalau kita melihat daerah ini dari angkasa

Hanya di sana-sini ada kelompok batu-batu, hutan-hutan kecil yang hanya ditumbuhi pohon-pohon yang tahan dingin, kalau boleh bicara tentang tanah subur, agaknya hanya disepanjang sungai Yalu-cangpo saja yang merupakan lembah yang mengandung tanah subur. Di sinilah tempat orang-orang Tibet bercocok tanam, bertani. Di sini pula banyak orang yang tinggal

Seperti juga keadaan di seluruh Tibet pada masa itu, di sepanjang lembah sungai ini yang berkuasa adalah bangsawan-bangsawan kaya raya yang menjadi tuan-tuan tanah, dan tentu saja para pendeta Lama. Sesungguhnya para pendeta Lama inilah yang memegang kekuasaan tertinggi karena pengaruh agama Buddha yang sudah diputar balik menjadi semacam kepercayaan tahyul. Para Lama ini memegang kekuasaan dengan pengaruh mereka yang penuh rahasia, yang membuat mereka menjadi Buddha-Buddha hidup, menjadi semacam makhluk super-human, lebih tinggi tingkat hidup mereka dari pada manusia biasa. Tentu saja ini anggapan rakyat Tibet yang sudah dijejali pelbagai ketahyulan, di"lolohi" cerita gaib dan ditipu dengan pertunjukan-pertunjukan ilmu sulap dan ilmu hitam

Akan tetapi oleh karena para tuan tanah dan bangsawan itu kaya raya dan dapat mendatangkan banyak barang-barang indah dari dunia barat dan timur, royal pula dengan membagi-bagi hadiah atau menyuap, maka para pendeta Lama ini bahkan menjadi kaki tangan mereka. Tentu saja bukan semua pendeta Lama berwatak rakus, mata duitan dan jahat. Akan tetapi sedikit yang baik dan betul-betul saleh menjalankan kewajiban agamanya, merupakan beberapa butir beras baik di antara sepanci beras buruk, mereka ini tidak berpengaruh lagi dan bahkan takut akan suara hati sendiri. Memang sudah lazim bahwa orang-orang baik di antara banyak orang jahat, malah dianggap jahat

Di sebelah utara sungai, di lembah yang paling subur tanahnya tampak bangunan- bangunan indah dari gedung para tuan tanah, rumah-rumah besar para bangsawan, yaitu para pembesar yang ditunjuk atau diangkat oleh perwakilan dari kerajaan besar di timur, yaitu kerajaan Goan-tiauw (Mongol) yang dengan cepatnya telah dapat menguasai seluruh Tiongkok dan malah merembes keluar Tiongkok. Pembesar- pembesar yang hanya beberapa belas orang banyaknya ini hidup dari pajak-pajak yang mereka atur sendiri, dan terutama sekali hidup dari sokongan tuan-tuan tanah yang kaya raya itu sehingga mereka inipun merupakan kaki tangan tuan tanah yang berhak mengadili dan membenar atau mensahkan segala macam perbuatan para tuan tanah. Selain bangunan besar-besar tempat tinggal para tuan tanah dan para pembesar ini, juga tampak bangunan-bangunan kelenteng yang besar-besar tempat tinggal para pendeta Lama

Bangunan ini berada di tempat yang tinggi, agak jauh di sebelah utara sungai

Sedangkan dekat dengan sungai, di antara sawah ladang, adalah perkampungan hamba tani atau hamba sahaya yang menjadi budak belian dan menjadi milik para tuan tanah itu. Budak-budak ini tidak mempunyai kemerdekaan dan hak sama sekali

Bahkan mereka tidak berhak atas nyawa dan tubuh sendiri, tiada bedanya dengan ternak. Ya, memang mereka ini dianggap ternak dan disebut "ternak berbicara" oleh para tuan tanah. Dan apa kata pendeta-pendeta yang dianggap sebagai manusia super human yang murni. Buddha-Buddha hidup itu? Mereka menegaskan dengan suara sungguh bahwa para hamba tani atau budak itu adalah orang-orang yang dilahirkan untuk menebus dosa-dosa mereka dalam penjelmaan dahulu

"Jadilah kamu orang-orang yang taat akan perintah tuanmu, memberontak adalah dosa besar sekali. Hanya dengan hidup taat dan saleh, kamu akan dapat mengurangi sedikit dari dosa-dosamu yang sudah bertumpuk-tumpuk dan kelak dalam penjelmaan mendatang akan menjadi orang yang lebih baik nasibnya." Demikianlah ucapan yang selalu terdengar oleh para budak, dan tentu saja mereka percaya penuh karena ucapan ini keluar dari mulut pendeta-pendeta Lama yang suci murni

Di dusun Loka ini hanya ada lima orang tuan tanah dan yang paling kaya dan paling berpengaruh adalah Yang Can. Kalau tuan tanah-tuan tanah yang lain hanya memiliki paling banyak dua ratus orang hamba sahaya, Yang Can mempunyai tiga ratus keluarga budak yang terdiri dari empat ratus jiwa lebih. Tanahnya luas sekali, merupakan tanah-tanah yang paling subur di sepanjang sungai Yalu-cangpo

Yang Can adalah seorang peranakan Nepal yang semenjak kecil dibawa ayahnya merantau ke pedalaman Tiongkok. Ibunya seorang suku bangsa Tibet dan semenjak kecil ia telah menjadi tuan tanah yang kaya raya di Tibet. Pengaruhnya amat besar dan selain kaya raya, ia juga dianggap paling pandai karena banyak berkelana ke "dunia barat" dan dunia timur. Rumah gedungnya paling besar dan boleh dibilang di desa Loka ia menjadi raja kecil yang kekuasaannya tak terbatas. Gedungnya yang besar amat mewah. Lantai gedungnya dihias permadani dari Persi, dindingnya penuh lukisan dan tulisan indah dari Tiongkok. Perabot-perabot rumahnya dari bahan kayu terbaik, diukir aneka macam dan terutama sekali, gandum di gudangnya yang besar sampai banyak yang membusuk

Di pinggir sungai, hanya beberapa ratus meter dari rumahnya diperkampungan para budak, rumah-rumah para hamba sahaya itu amat menyedihkan keadaannya

Sebetulnya tidak patut disebut rumah tempat tinggal manusia. Lebih pantas kalau disebut kandang-kandang babi atau paling baik kandang-kandang kuda. Rumah gubuk tanpa perabot sama sekali, makan, duduk, tidur di atas tanah saja yang ditilami abu dari tai lembu-yak yang dibakar untuk penahan kedinginan tanah yang lembab. Inipun hanya merupakan sisa abu yang dipergunakan sebagai rabuk tanah. Bukan hal aneh kalau seorang budak dicambuki sampai mati hanya karena lantai rumahnya ditutupi abu tai lembu-yak terlampau tebal yang berarti pemborosan dan penghamburan pupuk

Waktu itu musim panen tiba. Berkat kerja paksa yang tak pernah kenal lelah, pemeliharaan tanaman yang tertib, panen kali ini berhasil baik. Semua tenaga budak dikerahkan untuk mengumpulkan hasil panen. Gandum membanjiri gudang-gudang terutama gudang tuan tanah Yang Can sampai melimpah-limpah. Penjagaan diperkeras sehingga tak sebutirpun dapat dicuri budak

Seorang pemuda yang berpakaian mewah, berwajah tampan dengan bertopi tinggi dan pakaian sutera, bertolak pinggang sambil tertawa-tawa, menjaga di depan gedung mengawasi para budak yang terbungkuk-bungkuk memanggul hasil panen dan memasukkannya ke dalam gudang. Pemuda ini adalah Yang Nam, putera tunggal tuan tanah Yang Can yang terkenal lebih kejam dari pada ayahnya dan mempunyai watak yang amat buruk, mata keranjang dan licik. Dia lebih disegani dari pada ayahnya karena siapakah yang tidak tahu akan kepalan besinya? Siapa tidak takut menghadapi pemuda ini yang biarpun usianya baru delapan belas tahun namun memiliki tenaga melebihi sepuluh orang? Yang Nam adalah murid dari Lama Besar Thouw Tan Hwesio seorang pendeta Buddha berkepala gundul berjubah kuning, seorang ahli ilmu silat juga seorang ahli ilmu hoatsut (sihir)

Pemuda pesolek ini sikapnya jumawa sekali, dengan sebatang tongkat bambu kecil ia memeriksa setiap angkutan gandum dan membentak-bentak kalau seorang membawa muatan terlampau sedikit. Kadang-kadang ia mencambuk punggung seorang hamba sambil tertawa-tawa dan hamba itupun hanya tersenyum menyeringai, tak berani mengaduh tak berani mengeluh

Seorang gadis Tibet yang berusia lima belas tahun, datang terbungkuk-bungkuk memanggul muatan gandum. Gadis ini seperti juga hamba-hamba lain, berpakaian butut seperti pakaian jembel, akan tetapi pakaian butut itu tak dapat menyembunyikan bentuk tubuhnya yang menarik, langsing dan penuh seperti bunga baru mulai mekar

Kulit mukanya agak menghitam terbakar teriknya matahari di sawah, namun tak dapat menyembunyikan halusnya kulit dan jelinya mata, mancungnya hidung dan manisnya bentuk mulutnya, ditambah warna kemerahan di kedua pipinya oleh santernya jalan darah akibat kerja keras. Inilah Ci Ying, puteri seorang hamba bernama Ci Leng yang pada waktu itu juga tengah sibuk bekerja di sawah. Sudah seringkali Ci Ying digoda secara kurang ajar oleh Yang Nam, akan tetapi gadis itu tidak melayaninya, berpura-pura bodoh dan selalu menjauhkan diri. Yang Nam tidak pernah berhenti merindukan gadis ini, akan tetapi ia agak malu untuk melakukan paksaan oleh karena ayah gadis ini, Ci Leng, terkenal sebagai hamba yang agak pandai dari pada yang lain, yang mengenal huruf dan sering kali membantu ayahnya dalam mengerjakan pembukuan

Akan tetapi pada saat itu, melihat gadis manis itu berjalan dengan lenggang menggiurkan, lenggang yang tidak dibuat-buat akan tetapi menggairahkan karena gadis itu sedang memanggul muatan berat, hati Yang Nam berdebar dan kurang ajarnya timbul

"Ci Ying, jangan kau memanggul gandum terlalu banyak, kasihan kedua lengan dan pundakmu yang halus," kata Yang Nam dengan suara dibuat-buat agar terdengar manis. Akan tetapi Ci Ying berjalan terus sambil menundukkan mukanya, sedikitpun tidak melirik

"Kau malah boleh beristirahat, tak usah bekerja. Kau di sini saja, membantu aku mengawasi pemasukan gandum," kata Yang Nam lagi

"Harap tuan muda jangan menahanku, di sawah banyak pekerjaan. Kalau terlihat aku berhenti, tentu Thiat-tung Hwesio akan marah," kata Ci Ying lirih menahan marah

Thiat-tung Hwesio atau Hwesio Bertongkat Besi adalah seorang pendeta Lama yang ditugaskan menjaga orang-orang yang bekerja menuai gandum. Hwesio ini berdiri atau berjalan hilir mudik dengan toya besinya dipanggul, toya besi yang berat dan besar. Matanya melotot memandang ke sana ke mari seperti seekor anjing besar menjaga sekelompok domba

Mendengar kata-kata Ci Ying, Yang Nam hanya tertawa hahah-heheh dan membiarkan gadis itu menyimpan gandum di dalam gudang yang sudah penuh padat

Akan tetapi ketika gadis itu berjalan keluar dari gudang, dengan secara kurang ajar sekali Yang Nam menggunakan tongkat bambunya mencolek baju gadis itu yang robek di bagian atas dada dekat pundak, mencoba untuk menyingkap baju robek itu

Untuk sedetik nampak kulit dada yang putih bersih

"Kongcu (tuan muda) .....!" Ci Ying berseru, cepat menutupkan kembali bajunya yang robek. Mukanya merah, matanya menentang berani, bernyala-nyala, kepalanya dikedikkan dan dadanya terangkat turun naik. Entah mengapa, sinar mata gadis ini membuat Yang Nam kehilangan nyalinya. Ada sesuatu pada gadis ini yang amat berpengaruh, yang membuat pemuda itu tidak berani bertindak lebih lanjut kecuali tersenyum-senyum menyeringai kuda

"Ci Ying jangan kurang ajar kepada tuan muda. Kau berdosa ......" terdengar suara teguran seorang kakek hamba yang sudah biasa hidup menjilat-jilat pantat tuan tanah dan puteranya dalam usahanya memperbaiki nasibnya. Ci Ying meninggalkan tempat itu dengan kemarahan ditahan di dada dan dua titik airmata menetes pada pipinya tak terasa

Kakek penjilat itu sambil membungkuk-bungkuk di depan Yang Nam, dengan sikap bermuka-muka berkata, "Maafkan dia kongcu yang mulia. Seorang anak perawan memang suka berpura-pura galak, akan tetapi kalau sudah dapatkan dia, heh-heh-heh- heh ....."

Yang Nam sedang jengkel karena sikap Ci Ying tadi yang tidak menyenangkan hatinya, tidak memuaskannya. Kini melihat kakek ini bermuka-muka, ia menjadi sebal dan sebuah tendangannya membuat kakek itu terjungkal. Celakanya ketika ia jatuh, padi gandum yang tadi dipanggulnya menimpa kepalanya sehingga keningnya menumbuk batu dan berdarah. Akan tetapi sambil mengumpulkan gandum yang berantakan ia masih terheh-heh tidak berani memperlihatkan rasa sakit, masih sempat bermuka-muka biarpun hatinya berdebar ketakutan. Sifat pengecut dan menjilat-jilat seperti inilah yang membuat nasib para budak di Tibet makin memburuk sampai berabad lamanya. Orang macam penjilat ini memang tidak lebih patut diperlakukan seperti seekor anjing. Biarpun ia menjilat dengan usaha memperbaiki nasib dan memperingan beban hidupnya, namun dengan jalan menjilat berarti ia hanya memikirkan diri sendiri dan sudah dapat dipastikan bahwa seorang penjilat adalah seorang keji yang tidak segan-segan mengorbankan kawan-kawan demi keselamatan diri sendiri

Kakek itupun tidak segan-segan memperlihatkan sifatnya yang buruk dengan berkata perlahan ketika hendak pergi dari gudang itu untuk mengangkut gandum lagi. "Kalau kongcu menghendaki, hamba dapat bicara dengan Ci Leng ...."

"Pergi kau, anjing!" Yang Nam memaki dan orang itu pergi, masih tidak lupa mengangguk-angguk seperti orang berterima kasih mendapat hadiah besar

Hanya Ci Leng yang dapat melihat perubahan pada muka anaknya yang biasanya periang itu ketika Ci Ying kembali ke sawah. Ci Leng yang berusia empat puluh lima tahun itu bertubuh tinggi kurus bersemangat besar, mendekati puterinya dan bertanya lirih, "Ying-ji (anak Ying), ada apakah?"

Mendengar pertanyaan ini, seperti air sungai Yalu-cangpo membanjir air mata dari sepasang mata yang bening itu. Ci Ying tidak biasa dimanja, ia menggigit bibir menahan perasaan, hanya menjawab singkat

"Yang Nam kongcu kurang ajar."

Ci Leng menghela napas panjang. Ketika ibu anaknya melahirkan Ci Ying, iapun dahulu menarik napas panjang. Alamat buruklah bagi keluarga budak apabila melahirkan seorang anak perempuan. Kalau buruk rupa takkan laku kawin, kalau cantik akan menjadi korban tuan-tuan tanah. Ini sudah merupakan kelaziman yang tak dapat dibantah pula. Makin besar Ci Ying, makin cantik anak itu, makin besar pula kekhawatiran hati Ci Leng dan sekarang kekhawatirannya mulai memperlihatkan kenyataan. Ia hanya bisa menggunakan ujung bajunya yang butut menyusut air mata dari pipi Ci Ying

"Tenanglah, jangan kehilangan semangat. Selama aku masih terpakai oleh tuan besar, kau aman. Biar sore nanti aku bicarakan tentang ikatan perjodohanmu dengan pandai besi Wang Tun," katanya menghibur. Mendengar ini, makin merah muka Ci Ying, bukan merah karena marah, melainkan merah karena jengah. Akan tetapi hatinya berdebar gembira dan ia mulai bekerja lagi penuh semangat mengumpulkan gandum. Peristiwa yang menyakitkan hatinya tadi sudah terlupa oleh kata-kata ayahnya. Terbayanglah di depan matanya wajah seorang pemuda yang tegap dan gagah, Wang Sin, berwajah gagah bertubuh kokoh tegap, paling pandai menunggang kuda, bertenaga besar dan terkenal sebagai seorang pemuda pemberani. Wang Sin pemuda berusia tujuh belas tahun, tunangannya

Tiba-tiba terdengar teriakan ngeri disusul makian dan suara orang bersambatan minta ampun. Ci Leng dan puterinya, juga semua budak yang sibuk bekerja, menengok untuk menyaksikan peristiwa yang tidak asing lagi, malah terlampau sering terjadi di antara mereka. Seorang hamba laki-laki berusia tiga puluhan sedang dihajar oleh Thiat-tung Hwesio karena berusaha menyembunyikan beberapa batang gandum di balik bajunya. Sekali pukul dan sekali tendang saja sudah cukup membuat hamba itu menggelepar di atas tanah, setengah pingsan

Thiat-tung Hwesio memanggil seorang tukang pukul yang biasa dijuluki anjing-anjing penjaga tuan tanah dan budak yang mencuri gandum itu diseret pergi

"Losuhu .... ampunkan suami saya ...., ampunkanlah dia dan jangan dilaporkan kepada Loya (tuan besar) .... dia mengambil gandum untuk anak kami yang baru lahir ...."

Seorang hamba wanita memohon-mohon sambil berlutut dan menyembah-nyembah hwesio itu

Thiat-tung Hwesio menendang perempuan itu sampai bergulingan di atas tanah lumpur. Air susu bercucuran keluar dari dada perempuan yang belum lama melahirkan anak itu, bercampuran dengan air mata dan air lumpur. "Losuhu, ampuni dia ... ampuni ....!" tangisnya dengan suara serak

"Diam kau! Hayo bekerja lagi! Maling-maling hina dina tak tahu diri. Kalau banyak cerewet ku kemplang kepalamu," bentak hwesio itu

Beberapa orang budak segera membangunkan perempuan itu dan menghiburnya agar bekerja kembali karena kalau tidak tentu hwesio itu menjadi makin marah dan akan terjadi lain penyiksaan. Dengan isak tangis tertahan perempuan itu melanjutkan pekerjaannya, setiap kali teringat akan nasib suaminya ia tersedu, hatinya seperti ditusuk-tusuk. Dari jauh terdengar suara teriakan-teriakan para "anjing penjaga" tunan tanah. "Potong tangan! Kerat lidahnya!" Semua orang yang mendengar ini meremang bulu tengkuknya dan perempuan itu menjadi makin pucat dan tentu akan roboh pingsan kalau Ci Leng tidak cepat-cepat memeluk dan menolongnya

Ci Leng menarik napas panjang lagi, menggeleng-geleng kepala dan mengangkat kepala memandang langit yang agaknya ayem saja menyaksikan peristiwa-peristiwa ini. "Hidup yang sekarang untuk kebaikan hidup kemudian ..... ini kata suci para pendeta. Sampai berapa ratus kali penjelmaankah hidup akan menjadi baik?" demikian pikirnya dan kembali ia menarik napas panjang

Sementara itu, seorang nenek tua di dalam gubuk butut, kedua kakinya sudah lumpuh, menimang-nimang seorang bayi yang baru berusia beberapa hari, bayi merah telanjang yang menangis menjerit-jerit. Nenek itu menggerak-gerakkan pahanya dan menyeret kedua kaki tangannya itu untuk mencoba maju mundur mendiamkan tangis cucunya

"Diamlah cucuku manis ..... diamlah jangan menangis saja. Ayah bundamu sedang bekerja di ladang, panen sawah baik hasilnya, pembagian para budak tentu agak banyakkan ...! Diamlah, nanti ayah bundamu pulang membawa hadiah gandum ... kau akan dibelikan baju." Anak itu menangis terus sampai megap-megap. Nenek tua itu dengan mengesot menghampiri bilik di mana tergantung beberapa padi gandum, mengambil beberapa butir lalu mengunyah beras gandum dengan mulutnya yang sudah ompong. Biarpun sukar, karena terkena air ludah lama-lama gandum itu hancur juga dan dimasukkannya dari mulut ke mulut bayi itu yang agaknya kelaparan dan kehausan

"Nah, diamlah, cucuku manis. Mari berselimut abu hangat, anakku? Cucuku gagah, cucuku manis, kelak menjadi pelayan di gedung tuan besar!" Nenek itu menimang- nimang cucunya yang kecapaian menangis dan kini tertidur. Anak itu, juga neneknya, tidak tahu betapa ayah bayi itu disiksa hanya karena hendak mengambil beberapa batang gandum untuk keluarganya

Sampai jauh senja pekerjaan menuai gandum itu selesai di bagian yang ditentukan dan semua budak pulang ke rumah masing-masing dengan tubuh lemas kelelahan. Tidak hanya tubuh yang lemas karena lelah dan lapar, akan tetapi juga hati dan pikiran menjadi lemas

"Tidak ada waktu membagi gandum, besok saja!" Ucapan singkat dari Yang Nam putera tuan tanah ini merupakan keputusan mati yang tidak dapat ditawar lagi dan ketika mengucapkan kata-kata ini sambil menyeringai, pemuda ini melirik ke arah Ci Ying

Dan kakek penjilat mengomel sepanjang jalan, menyalahkan gadis itu yang dikatakannya menjadi gara-gara sehingga tuan muda menjadi murung dan kesal yang akibatnya merugikan semua budak. Hanya setelah Ci Leng membentaknya, kakek penjilat itu tidak berani banyak cerewet lagi

Malam itu mereka terpaksa menahan lapar. Baiknya kaum tertindas ini sudah mengenal setia kawan dan dengan secara gotong royong mereka mengumpulkan gandum seadanya dan membagi-bagi di antara mereka. Dengan jalan ini mereka seringkali dapat mengatasi bahaya kelaparan. Sayang seribu sayang gotong royong ini hanya dipergunakan untuk melawan bahaya kelaparan dan sedikitpun tidak pernah timbul dalam benak mereka untuk mempergunakan persatuan itu di bidang lain yang lebih penting, misalnya untuk menentang tuan tanah. Pada masa itu, siapa sih yang berani? Menentang tuan tanah sama dengan menentang para pendeta, menentang pendeta-pendeta itu sama dengan menentang Lama-Lama Besar dan menentang orang-orang suci ini sama dengan menentang Sang Buddha sendiri, menentang Tuhan! Demikianlah pelajaran yang sudah digoreskan dalam-dalam di hati semua budak, sudah mendarah daging

***

Langit di barat merah seperti terbakar dikala matahari mulai mengundurkan diri. Dan semua makhluk di dunia pun biasanya ikut pula mengundurkan diri untuk beristirahat menanti datangnya esok berikutnya

Segerombolan domba muncul dari kaki langit ketika mereka menanjak sebuah bukit kecil. Perut binatang-binatang ini menyendul kekenyangan, tanda bahwa dengan baik- baik pengembalanya telah membawa mereka ke padang rumput dan membiarkan mereka makan sekenyangnya

"Hiyooo .... sini hitam! Kau selalu mau menyeleweng saja. Apa sudah lupa jalan pulang?" demikian terdengar suara laki-laki yang nyaring sekali. Kemudian muncullah orangnya, seorang pemuda tegap yang memegang sebuah cambuk. "Hayo pemalas, hayo sini kumpul dengan rombongan!"

Setelah domba-dombanya berkumpul dan melanjutkan perjalanan ke kandang, pemuda yang usianya tujuh belas tahun itu bernyanyi sekuat dadanya : "Wahai, Himalaya yang tinggi

Ahoi, Yalu-cangpo yang panjang

Dapatkah kalian memberi jawaban? Kedua tanganku kuat bekerja berat

Tapi tiada seperseratus hasilnya

Menjadi bagianku! Aku punya mulut

Tak dapat mengeluarkan suara hati

Telingaku disusur tuli

Mataku disusur buta

Aku punya nyawa

Aku punya nyawa

Tak lebih berharga seekor domba! Wahai, Himalaya sembunyikan aku dipuncak-puncakmu! Ahoi, Yalu-cangpo, lenyapkan aku di muaramu!"

Suara nyanyiannya nyaring dan mengandung keluhan jiwa para budak, akan tetapi terdengar bersemangat. Kemudian cambuknya dibunyikan di udara dan ia menyumpah-nyumpahi domba itu. "Hiyooo ....! Domba-domba pemalas, jangan menyeleweng! Tak pandai kerja, makan sekenyangnya. Kalah orang yang bekerja melebihi kuda, makanpun hampir tak kenyang!" Suara ini disusul bunyi "tar-tar-tar!" cambuknya yang dihantamkan dengan gemas di udara

Tiba-tiba ia melihat bocah yang berteriak-teriak girang. Kuda tua larilah! Kuda tua lucu ....!!"

Ia melihat seorang anak laki-laki berusia lima-enam tahun menunggangi punggung seorang hamba tua yang kurus. Kakek itu terengah-engah dan berlari menggunakan sepasang tangan dan kaki seperti kuda dan bocah ini menjambak rambut dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya yang memegang cambuk memukul-mukul leher kakek itu. Kakek itu berlari makin keras dan sebentar saja lenyap di sebuah tikungan. Yang terdengar hanya teriak kegirangan bocah itu di antara napas yang megap-megap dari si hamba kakek

"Anak iblis!" pemuda itu menggertak gigi dan mengepal tinju, kemudian cambuknya diayun memukul sebatang pohon dengan keras sampai menimbulkan suara keras dan kulit pohon itu lecet-lecet. Pemuda itu, Wang Sin, marah sekali. Sudah terlalu banyak ia menyaksikan kejadian-kejadian yang menyakitkan hatinya, sudah terlalu sering ia mendengar cerita ayahnya tentang kesengsaraan-kesengsaraan budak-budak di daerah ini, namun sebegitu lama ia dan ayahnya tidak berdaya

Ayahnya Wang Tun, adalah satu-satunya pandai besi yang menjadi hamba tuan tanah Yang Can. Semenjak masih muda ayahnya sudah menjadi hamba sahaya, kerjanya setiap hari di perapian, menggembleng dan membentuk alat-alat pertanian dan alat- alat lain yang dibutuhkan oleh tuan besarnya. Kadang-kadang tuan besar membutuhkan barang-barang yang harus ditempa dan dijadikan secepat mungkin sehingga ayahnya harus bekerja siang malam, kadang-kadang sampai ketiduran di dapur kerja saking lelah dan mengantuknya

Ayahnya bukan seorang lemah. Sudah dua kali ayahnya mencoba melarikan diri, yaitu ketika belum menikah, masih seorang pemuda yang kuat. Akan tetapi, anjing- anjing penjaga dan pendeta-pendeta Lama yang kosen dapat mengejar dan menangkapnya. Ia dipukuli habis-habisan, lebih mati dari pada hidup dan semenjak saat itu kedua kaki ayahnya dipasangi belenggu yang berantai panjang. Ayahnya dapat berjalan akan tetapi tidak mungkin dapat lari cepat. Dengan kedua belenggu di kaki ayahnya menikah, atau lebih tepat dinikahkan oleh tuan besar untuk menjadi pengikat yang lebih kuat dari pada belenggu. Setelah ia terlahir dan ibunya mati karena kekurangan darah, ayahnya membawanya lari lagi. Melarikan diri akan tetapi tidak berlari, hanya berjalan cepat di tengah malam. Malang tertawan lagi dan belenggu dikakinya diperpendek rantainya dan diperkuat. Semenjak itu, hati ayahnya yang sekuat baja melumer dan tidak mencoba melarikan diri lagi sampai sekarang, sudah lima puluh tahun usianya

Alangkah buruknya hidup. Ketika ia masih kecil, sudah sering kali Wang Sin mengalami gebukan dan penghinaan. Pernah dia dijadikan kuda tunggangan tuan muda Yang Nam sampai kedua tangannya hampir patah karena dipakai berlari seperti binatang. Akhirnya, karena dia merupakan orang muda terkuat, ia dipilih sebagai pengembala domba. Ia harus melindungi dan menjaga domba-domba itu dengan seluruh jiwanya karena hilang seekor domba saja mungkin harus diganti dengan sebelah kaki atau tangannya. Ah, betapa buruknya hidup

Kembali saking gemasnya Wang Sin mengayun cambuknya, memukuli batang pohon yang ia umpamakan sebagai tuan besar dan tuan kecil, sebagai anjing-anjing penjaga tuan tanah dan pendeta-pendeta gundul yang kejam. "Tar-tar-tar-tar!" bunyi cambuknya berkali-kali

"Tar-tar-tar-tar!" Di lain tempat, tak jauh dari situ, cambuk lain diayun mencambuki sesuatu. Akan tetapi kalau cambuk di tangan Wang Sin hanya membikin lecet-lecet kulit-kulit pohon saja, cambuk yang lain ini memecah kulit mengiris daging punggung orang sehingga darah muncrat ke sana-sini diiringi rintihan yang makin lama makin lemah sampai akhirnya tidak terdengar lagi biarpun cambuknya masih terus berbunyi membuat kulit hancur bersama dagingnya

"Rasakan kau, bangsat hina dina, berani mencuri gandum!" kata Yang Can, tuan tanah yang menyuruh tukang pukulnya menyiksa budak yang berani mengambil gandum di sawah tadi sambil meludahi muka budak itu yang sudah tidak keruan macamnya karena menjadi korban cambuk

Budak itu diikat pada sebuah tiang di pekarangan samping rumah tuan tanah, dan kepala yang tadinya sudah lemas itu mendadak diangkat lagi, matanya yang bengkak- bengkak itu dibuka dan mulutnya mengeluarkan rintihan terakhir. "Menebus dosa ....., menebus dosa ..... untuk hidup kemudian ..." Dan budak itu menghembuskan napas terakhir. Kasihan orang ini, dan saat terakhir pengaruhnya dongeng para pendeta Lama masih menguasainya sehingga siksaan yang membuat nyawanya melayang itu ia anggap sebagai penebus dosa-dosanya

"Suamiku ....!" Seorang wanita, isteri dari hamba yang disiksa sampai mati itu, dengan rambut riap-riapan berlari datang sambil menangis. Dari sawah ia langsung lari ke situ ketika mendengar dari budak-budak lainnya bahwa suaminya disiksa oleh tuan tanah. Melihat suaminya terikat dan kepalanya menggantung tak bergerak-gerak lagi, mandi darah, ia menjerit ngeri dan menubruk mayat suaminya sambil memeluki kedua kakinya dan menangis tersedu-sedu. "Suamiku .... suamiku .... jangan tinggalkan aku dan anakmu yang masih kecil ...."

Yang Nam, putera tuan tanah yang keluar mendengar suara ribut-ribut ini, melotot marah melihat perempuan itu menjerit-jerit. Juga Yang Can marah sekali. Tukang pukulnya yang tadi menyiksa hamba itu sampai mati, melihat kemarahan pada wajah tuan besar dan tuan muda, segera mengangkat kaki menendang perempuan itu. "Pergi kau!"

Perempuan itu terguling-guling memegangi dadanya yang kena tendang, kemudian tiba-tiba ia melompat berdiri, rambutnya riap-riapan, matanya merah, kedua tangannya mengepal

"Iblis! Biadab kau! Anjing penjilat tuan tanah, kau dan tuan tanah akan mampus dibakar api neraka!" Karena duka dan marah, wanita ini sudah tidak ingat apa-apa lagi, tidak kenal takut, sambil menuding-nudingkan telunjuknya kepada Yang Nam dan Yang Can dan tukang pukul itu, ia memaki-maki

Kembali sebuah pukulan tukang pukul membuat ia roboh terguling

"Bunuh anjing betina ini!" seru tuan tanah Yang Can

"Tidak, ayah. Dia berani memaki kita. Potong lidahnya!" kata Yang Nam, marah sekali karena dia yang semenjak kecil didewa-dewakan oleh semua budak, sekarang mengalami dimaki-maki oleh hamba perempuan itu

"Betul, potong lidahnya!" ayahnya membeo. Tukang pukul yang mencari muka cepat menangkap wanita itu yang meronta-ronta, mengikatnya menjadi satu dengan mayat hamba yang disiksanya tadi, kemudian secara keji, di luar batas prikemanusiaan, ia memaksa membuka mulut wanita itu, menarik keluar lidahnya dan memotong lidahnya dengan pisau

Terdengar pekik meraung mengerikan sekali dan di lain saat tubuh wanita malang itu berkelonjotan, nyawanya melayang menyusul nyawa suaminya

"Kumpulkan semua budak, suruh menonton biar tidak ada lagi yang berani main gila," gerutu Yang Can yang pergi memasuki rumah bersama puteranya

Beranda - 02

Tidak ada komentar:

Posting Komentar