30 Asmara Berdarah

Cia Sun mengerutkan alisnya. "Membebaskan Sui Cin memang amat penting, akan tetapi keselamatan orug lain juga penting," katanya seperti kepada diri sendiri. Ci Kang diam saja dan Hui Song sadar betapa dia terlalu mementingkan keselamatan Sui Cin saja sehingga meremehkan keselamatan orang lain.

"Maksudku, aku tidak perduli aku celaka atau mati sekalipun asalkan ia dapat diselamatkan dan dibebaskan dari situ," katanya lagi.

Pada saat itu terdengar suara keluhan dan mereka bertiga cepat mengangkat muka memandang kepada Sui Cin yang baru saja siuman. Gadis itu membuka matanya dan segera menutupkannya kembali. Seperti juga Hui Song tadi, ia merasa betapa sekelilingnya masih berpusing.

"Kumpulkan hawa murni, Cin-moi, sebentar juga pening itu akan hilang," kata Hui Song.

Mendengar suara Hui Song, legalah hati Sut Cin. Tadi ia sudah merasa khawatir sekali akan nasib Hui Song. Ia yang terbelenggu pada tiang saja, merasa berpusing sedemikian cepatnya dan ia mengkhawatirkan Hui Song yang juga ikut terputar di atasnya. Ia lalu menarik napas panjang berkali-kali, mengumpulkan hawa murni dan akhirnya ia dapat menguasai dirinya dan membuka matanya.

"Kalian berhati-hatilah, jangan gegabah," katanya. "Jangan sampai menolongku gagal, kalian malah tertimpa bahaya." Ia mengangkat mukanya memandang ke depan dan tiba-tiba gadis itu berkata. "Ah, siapa yang datang itu...?"

Tiga orang muda itu memandang dan mereka mangerutkan alis. Dari jauh, di atas sebuah bukit, nampak dua sosok bayangan besar dan kecil bergerak cepat sekali menuruni bukit itu menuju ke arah mereka.

"Hemm, kalau itu Raja dan Ratu Iblis yang datang, aku akan mengadu nyawa dengan mereka!" kata Hui Song mengepal tinju.

"Raja Iblis tidak segendut itu!" kata Ci Kang.

"Dan yang seorang lagi itu terlalu pendek untuk menjadi Ratu Iblis," kata Cia Sun.

"Heiii, itu suhu... tak salah lagi, itu suhu Wu-yi Lo-jin!" kata Sui Cin dengan suara gembira.

"Dan yang gendut itu adalah suhu Siang-kiang Lo-jin!" Hui Song juga berseru girang ketika mengenal kakek gendut botak itu.

Dan memang benarlah. Setelah tiba dekat, ternyata mereka adalah dua orang kakek aneh sakti yang pernah menggembleng Sui Cin dan Hui Song selama tiga tahun. Begitu tiba di situ, Wu-yi Lo-jin yang berjuluk Dewa Arak itu terkekeh dan menudingkan telunjuknya kepada Sui Cin.

"Heh-heh, bocah nakal, kau sedang mengapa di situ?"

"Suhu, aku tertawan oleh Raja Iblis dan diikat di sini. Suhu, jangan dekat-dekat, mereka bertiga tadi hampir celaka ketika mencoba menolongku! Batu pat-kwa ini mengandung alat rahasia yang amat berbahaya!"

Mendengar seruan muridnya ini, kakek yang berkepala gundul dengan alis, kumis dan jenggot putih panjang sampai ke perut itu menggaruk-garuk kepalanya yang gundul. "Wah, wah kalau begitu, bagaimana harus menolongmu?"

"Locianpwe, kami bertiga tadi sudah mencoba-coba, akan tetapi selalu gagal, bahkan bukan saja membahayakan penolongnya, juga membahayakan pula nona Sui Cin."

Mendengar ucapan Ci Kang ini, Hui Song yang sudah mendekati gurunya barkata, "Suhu, tolonglah suhu memberi petunjuk, bagaimana teecu dapat membebaskan Cin-moi dari tiang itu tanpa membahayakan keselamatannya?"

Siang-kiang Lo-jin Si Dewa Kipas nampak tertegun memandang batu pat-kwa itu, alisnya berkerut dan sebentar saja penggunaan pikiran yang diperas itu membuat tubuh gendut itu mandi keringat. Terpaksa dia menggerakkan kipasnya yang lebar untuk mengipasi tubuhnya yang bagian depannya nampak karena bajunya tidak dapat dikancingkan itu.

"Ha-ha-ha, Si Dewa Kipas yang terlalu banyak makan, mana mampu memecahkan masalah rumit seperti ini? Aku berani bertaruh bahwa dia tidak akan mampu, ha-ha!" Wu-yi Lo-jin yang suka berkelakar dan menggoda orang itu tertawa-tawa mengejek.

Kerut di antara alis mata Si Dewa Kipas makin mendalam dan agaknya otaknya diperas lebih keras lagi untuk mencari akal. "Aahhh, apa sih sukarnya? Biar batu pat-kwa ini mengandung banyak alat rahasia, kalau kugempur tentu hancur!"

"Jangan, suhu!" kata Hui Song. "Baru diinjak saja sudah mengeluarken senjata-senjata rahasia yang berbahaya, apalagi digempur!"

"Gendut, enak saja kau bicara! Kalau digempur dan alat-alat rahasia menggerakkan senjata-senjata maut menyerang muridku, berarti kau membunuhnya dan kalau terjadi demikian, mau tidak mau terpaksa aku akan menggempur perut gendutmu itu!" kata Wu-yi Lo-jin dengan mata terbelatak dan mulut cemberut. Dia marah sungguh-sungguh akan tetapi tetap saja mukanya nampak lucu sehingga sama sekali tidak menyeramkan.

"Huh!" Siang-kiang Lo-jin mencela. "Lalu apa gunanya engkau si kerdil ini hadir di sini? Aku menggempur batu pat-kwa dan engkau berjaga-jaga, kalau muridmu terancam bahaya, engkau menghalau serangan-serangan itu. Apa sukarnya? Kalau kau tidak mampu, berarti kau tidak berguna di sini dan lebih baik kau pergi agar tidak memuakkan saja!"

"Wah, wah! Kau menghina, ya? Aku ini memuakkan? Engkaulah yang memuakkan. Lihat perutmu, orang macam engkau ini yang menyebabkan banyak orang kelaparan. Makan sepuluh orang kauhabiskan sendiri!"

"Dan engkau ini si kerdil yang mabok-mabokan. Engkau ini namanya orang yang tidak tahu terima kasih kepada alam, biar alam melimpahkan segala untukmu, engkau tetap kurus kering, seperti cecak mati. Aku ini yang namanya mengenal budi dan selalu bersyukur sehingga tubuhku subur."

"Subur apanya? Perut gendut itu sarang cacing dan penyakit!"

Dua orang kakek itu berhadapan dan agaknya seperti dua orang anak kecil yang siap untuk berhantam. Melihat ini, Sui Cin berseru, "Suhu, aku tak berdaya dan perlu pertolongan, akan tetapi suhu ribut-ribut sendiri saja bercekcok! Ini namanya suhu tidak sayang kepadaku!"

Ditegur demikian oleh Sui Cin, Wu-yi Lo-jin mundur menjauhi Siang-kiang Lo-jin dan kini dia memandang ke arah batu pat-kwa dengan alis bergerak-gerak. Sampai lama dia termenung. Melihat ini, Siang-kiang Lo-jin tertawa bergelak, memegangi perut gendutnya yang kembang kempis bergelombang. "Hua-ha-ha, otakmu terlalu kecil untuk dapat memecahkan persoalan ini!"

Akan tetapi Wu-yi Lo-jin tidak melayani dan dia bertanya kepada Hui Song "Kalian tadi sudah mencoba dan menyelidiki keadaan batu pat-kwa ini? Coba ceritakan, apa rahasianya!"

"Begini, locianpwe. Delapan segi dari batu ini semua mengandung alat rahasia yang kalau diinjak atau disentuh lalu mengeluarkan serangan senjata-senjata rahasia yang berbahaya. Bahkan setiap kotak satu segi itu mempunyai senjata rahasia sendiri-sendiri. Bahkan tanah di sekeliling batu pat-kwa inipun mengandung jebakan yang amat berbahaya sehingga mendekati batu pat-kwa itu saja sudah berbahaya. Hanya bagian tanah di luar segi pat-kwa yang tertutup bayangan tiang itu saja yang agaknya menjadi lumpuh dah tidak berdaya lagi alat rahasianya. Akan tetapi yang lumpuh itu hanya tanah di luarnya saja, sedangkan batu pat-kwa itu sendiri masih bekerja. Kami telah mencoba dari berbagai jurusan, namun selalu gagal dan membahayakan keselamatan Cin-moi. Bahkan saya sendiri sudah mencoba dengan meloncat melewati batu dan hinggap di tiang itu akan tetapi begitu terinjak, tiang itupun berpusing dengan amat cepatnya sehingga amat membahayakan dan tidak memungkinkan saya menolong dan membebaskan Cin-moi." Hui Song yang merasa gelisah sekali melihat keadaan Sui Cin lalu menyambung dengan suara memobon, "Locianpwe, tolonglah... tolonglah Cin-moi...!"

Melihat muridnya memohon kepada kakek kerdil itu, Siang-kiang Lo-jin mengejek, "Hemm, sudah kukatakan, otaknya terlalu kecil untuk dapat berpikir besar!"

Akan tetapi tiba-tiba kakek katai itu meloncat dan wajahnya nampak berseri, "Nah, sudah tahu aku bagaimana harus membebaskan muridku!"

Hui Song memandang girang. "Bagaimana, locianpwe?"

"Membebaskannya melalui batu patkwa tidak mungkin, meloncat ke tiang itupun tidak mungkin. Satu-satunya cara untuk menolongnya hanyalah membuka ikatan tangannya tanpa menyentuh batu pat-kwa atau tiang. Bukankah sederhana saja cara itu?"

Tiba-tiba kakek gendut itu tertawa bergelak. Kakek kerdil mengerutkan alis memandang kepadanya dengan marah. "Ndut, kenapa kau tertawa? Engkau mentertawakan akalku yang amat bagus itu?"

"Akal bagus tahi kucing! Akalmu itu hanya dapat dilakukan oleh Sun Go Kong (Si Raja Monyet dalam dongeng See-yu)! Hanya Sun Go Kong yang bisa mengulur lengannya sampai satu li panjangnya atau pian-hwa (berganti rupa) menjadi seekor lalat yang dapat terbang ke tangan muridmu itu tanpa menyentuh tiang, terapung di udara! Omong kosong akalmu itu!"

Biarpun ucapan kakek gendut itu bernada mengejek, berkelakar atau menggoda, namun tiga orang pemuda dan Sui Cin yang mendengarkan, mau tidak mau harus membenarkan dan mereka menganggap akal Wu-yi Lo-jin itu biarpun benar akan tetapi tidak mungkin dapat dilaksanakan.

Akan tetapi kakek kerdil itu bertolak pinggang dan memandang kakek gendut dengan mata melotot. "Nah, ini buktinya bahwa biar kecil, aku seperti sebuah ciu-ouw (guci arak) yang penuh dengan arak wangi, sebaliknya engkau biar besar, seperti sebuah gentong air yang kosong melompong! Kalau aku tahu akalnya, tentu aku tahu pula caranya untuk melaksanakan akal itu."

"Bagaimana caranya, suhu?" Sui Cin yang sudah tidak sabar mendengarkan perdebatan itu bertanya.

"Tenanglah, muridku. Selama ada gurumu di sini, tentu engkau akan selamat." Dan dia lalu menghadapi Siang-kiang Lo-jin. "Kita adalah laki-laki berisi, bukan boneka-boneka lemah. Kita bentuk jembatan manusia. Engkaup San-sian (Dewa Kipas), karena engkau paling gendut dan paling berat, juga untuk hukumanmu telah berani mengejek akalku, engkau menjadi tiang penyangga paling bawah. Kemudian pemuda tinggi besar yang bertubuh kokoh kuat itu." dia menunjuk kepada Ci Kang, "menjadi tiang penahan. Dia ini," ditunjuknya Cia Sun, "dan muridmu menjadi dua tiang penghubung yang melengkung ke arah muridku. Aku sendiri menjadi bagian paling atas untuk mencapai muridku dan membebaskannya dari belenggu. Nah, mengertikah engkau?"

Siang-kiang Lo-jin adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dalam hal kecerdikan, dia memang kalah oleh kakek kerdil itu. Agaknya memang orang yang bertubuh kecil biasanya lebih gesit dan cerdik daripada orang yang bertubuh besar. Dia menggeleng kepala. "Aku tidak mengerti..."

"Suhu, aku sudah mengerti dan memang akal Wu-yi locianpwe itu hebat kali! Mari kita laksanakan!" kata Hui Song.

Akan tetapi Siang-kiang Lo-jin masih belum mengerti dan melihat ini. Wu-yi Lo-jin berkata tidak sabar, "Kalau tidak mengerti, turut saja perintahku! Tak perlu membuang waktu banyak lagi. Nah, gendut, engkau rebahlah di dekat batu pat-kwa di bagian yang ditimpa bayangan tiang. Engkau rebah terlentang di atas tanah dan persiapkan tenagamu. Apakah engkau masih kuat menyangga empat orang?"

Biarpun belum mengerti benar, akan tetapi pertanyaan ini dianggap tantangan oleh Dewa Kipas. "Jangankan hanya empat orang, biar sepuluh orang masih dapat kuangkat!" jawabnya.

"Bagus, kalau begitu cepat kaurebahken dirimu terlentang, mukamu menghadap ke tiang!"

Siang-kiang Lo-jin menurut dan merebahkan dirinya terlentang di luar batu pat-kwa, di bagian segi yang tertutup bayangan tiang. "Sekarang engkau orang muda!" kata Wu-yi Lo-jin kepada Ci Kang. "Sebaiknya lepas bajumu agar pegangan menjadi kuat, tidak berpegang kepada baju yang dapat robek."

Ci Kang membuka bajunya, diturut pula oleh Cia Sun dan Hui Song. Kemudian Ci Kang berdiri di depan tubuh Dewa Kipas, di antara kedua kakinya. Kini Dewa Kipas sudah mulai mengerti, maka ketika pemuda tinggi besar itu mengulurkan lengan kanannya yang kokoh kuat, Dewa Kipas memegang tangan Ci Kang dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memegang pangkal lengan pemuda itu. Ci Kang menekuk kedua kakinya dan Cia Sun lalu meloncat ke atas kedua paha yang melintang itu, membiarkan kedua lengannya ke belakang untuk ditangkap oleh tangan kiri Ci Kang. Atas isyarat Wu-yi Lo-jin, kini Hui Song lalu memanjat ke atas dan dengan ilmu meringankan tubuhnya, dia berhasil duduk di atas kedua pundak Cia Sun, menjepit leher Cia Sun dengan kedua pahanya, kedua kakinya ditekuk ke belakang melalui kedua ketiak Cia Sun dan mengait punggung. Setelah itu, Wu-yi Lo-jin sendiri dengan sekali lompatan saja, seperti seekor burung, sudah melayang ke atas pundak Hui Song dan seperti juga Hui Song, kedua kakinya menghimpit leher dan mengait ke punggung pemuda itu. Jadilah lima orang itu sebuah tiang yang cukup tinggi.

"Sekarang, perlahan-lahan melengkung ke depan, kita membentuk jembatan!" kata Wu-yi Lo-jin. "Heii, gendut. Hati-hati kau, pegang yang kuat dan kerahkan tenagamu. Kalau kau gagal kami semua akan mampus!"

Tiang lima manusia ini mulai condong ke arah Sui Cin yang berdiri dengan hati tegang dan gadis ini menoleh ke belakang karena pada saat itu, matahari berada di depannya dan bayangan tiang itu berada di belakangnya sehingga lima orang itu beraksi di sebelah belakangnya.

"Ha-ha, engkau ringan seperti ampas kering, tidak perlu mengerahkan tenagapun aku masih sanggup menahanmu!" Siang-kiang Lo-jin yang menahan tubuh empat orang itu masih sempat tertawa dan bicara. Akan tetapi diam-diam dia mengerahkan tenaga karena maklum bahwa biarpun dia berada paling bawah dan seperti diremehkan, namun sesungguhnya kepercayaan kakek kerdil itu dipusatkan kepadanya dan dialah yang kini memegang keselamatan mereka semua!

"Melengkung lagi, sedikit lagi!" kata Wu-yi Lo-jin. Tubuh Ci Kang yang menjadi tiang penahan itu nampak kokoh, urat-urat melingkar-lingkar di kedua lengan dan dadanya yang telanjang. Akhirnya, tiang manusia itu melengkung dan kedua tangan Wu-yi Lo-jin dapat mencapai ikatan tangan Sui Cin! Mereka akhirnya dapat mendekati Sui Cin tanpa menyentuh batu pat-kwa maupun tiang. Dan jari-jari tangan kakek kerdil yang kecil namun mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat itu dengan mudah melepaskan tali sutera pengikat kedua pergelangan tangan Sui Cin.

"Hati-hati, jangan bergerak, lemaskan tubuhmu. Biar kulemparkan engkau keluar batu pat-kwa," bisik kakek itu. Lalu dia berkata ke bawah, "Kalian kerahkan tenaga, aku akan membuat gerakan melempar tubuh muridku keluar batu pat-kwa!"

Sui Cin menggeser kakinya sehingga tubuhnya kini berada tepat di depan gurunya, tidak terhalang tiang dan gurunya memegang kedua pundaknya, lalu dengan pengerahan tenaga yang tiba-tiba dia mengangkat dan melemparkan tubuh muridnya itu ke arah samping. Tubuh gadis itu melayang jauh dengan cara berjungkir balik, Sui Cin menambah kecepatan luncuran tubuhnya dan akhirnya dengan lunak dara itu mendarat beberapa meter di luar daerah tanah berbahaya di luar batu pat-kwa!

Tiang manusia itupun terbongkar setelah Wu-yi Lo-jin meloncat turun, disusul oleh Hui Song, Cia Sun dan Ci Kang. Mereka semua berdiri dengan wajah berseri karena gembira melihat betapa mereka telah berhasil membebaskan Sui Cin.

"Suhu...!" Sui Cin lari menghampiri Wu-yi Lo-jin yang melompat turun terlebih dahulu dan kakek kerdil itu merangkul muridnya sambil terkekeh gembira.

"Anak nakal, lain kali kalau mau main-main di tempat berbahaya, ajak gurumu!"

Sui Cin yang merasa gembira dan terharu sekali setelah mengalami ketegangan luar biasa kini lari menghampiri Hui Song yang sudah melompat turun. Mereka itu saling menghampiri dan kini berhadapan, berpegangan tangan dan saling bertatapan dengan penuh kebahagiaan. Pada saat itu Sui Cin merasa betapa ia mencinta pemuda ini dan dari dua pasang tangan itu keluar getaran-getaran kasih yang hanya dapat terasa oleh mereka berdua.

"Heh-he-he, kalian memang pasangan yang cocok sekali. Bukankah begitu, gendut?" kata kakek kerdil.

"Benar katamu!" kata Siang-kiang Lo-jin, hilang marahnya karena dia kagum akan kecerdikan kawannya yang berkepala kecil dan berotak sedikit itu.

Mendengar ucapan dua orang kakek itu, Sui Cin tersipu dan merasa mukanya menjadi panas. Muka itu kemerahan dan dua ini sudah melepaskan pegangan tangannya, lalu menghampiri Cia Sun.

"Sun-toako, terima kasih atas bantuanmu," katanya dengan sikap halus.

"Berterima kasihlah kepada suhumu, Cin-moi. Beliau yang memperoleh akal itu," jawab Cia Sun.

Ci Kang merasa risi dan sungkan sekali, di dalam hatinya dia tidak ingin berhadapan dengan Sui Cin karena hal ini hanya membuatnya malu. Akan tetapi gadis itu menghampirinya dan berkata halus, "Saudara Ci Kang, terima kasih!"

Ci Kang mengankat muka memandang dan melihat betapa sinar mata Sui Cin kepadanya sama sekali tidak nampak marah atau benci, jantungnya berdebar keras dan dia merasa terharu sekali. Dia hanya mengangguk dan kata-kata sukar keluar dari mulutnya. "Aku... aku tidak ada artinya, nona..."

Diam-diam Hui Song merasa mendongkol bukan main melihat betapa Sui Cin bercakap-cakap dengan Ci Kang. Kalau menurutkan perasaan hatinya, dia ingin meneriaki Ci Kang dan memakinya. Orang macam itu tidak pantas bercakap-cakap dengan Sui Cin! Akan tetapi mengingat bahwa bagaimanapun juga Ci Kang membantu pertolongan kepada Sui Cin, dia menahan kepanasan hatinya.

"Di mana adanya datuk sesat Raja dan Ratu Iblis itu, Cin-moi?" Hui Song meluapkan perasaan tidak senangnya kepada Ci Kang dengan pertanyaan itu. "Aku akan mengadu nyawa dengan mereka dan harus kubasmi iblis-iblis kaum sesat!"

Berkata demikian, dia melirik ke arah Ci Kang seperti hendak mengingatkan bahwa pemuda inipun putera seorang datuk sesat.

"Mereka setelah mengikatku di sini lalu pergi ke puncak bukit hitam di utara itu. Entah sekarang masih di sana ataukah sudah pergi," jawab Sui Cin.

"Kita harus cari mereka. Mari kita cari di bukit itu. Sebelum dua orang iblis itu dihancurkan, tentu akan timbul kekacauan-kekacauan yang lebih hebat lagi." kata Cia Sun dan semua orang merasa setuju. Seperti dikomando saja, enam orang itu lalu berlari cepat meninggalkan batu pat-kwa yang berbahaya itu dan menuju ke bukit hitam di sebelah utara. Akan tetapi, sampai matahari tenggelam ke barat, mereka tidak menemukan apa-apa di bukit itu dan jejak suami isteri iblis itupun tidak mereka temukan. Agaknya dua iblis itu tadi berada di bukit hanya untuk mengamati batu pat-kwa itu dari jauh, karena dari puncak bukit memang dapat terlihat batu pat-kwa itu dengan jelas sehingga segala hal yang terjadi di situ dapat terlihat dari puncak bukit. Agaknya suami isteri iblis itu ketika melihat betapa Sui Cin dapat tertolong oleh orang-orang pandai yang lima orang jumlahnya, enam orang bersama Sui Cin sendiri yang cukup lihai, mereka menjadi gentar dan meninggalkan tempat itu.

"Wah, iblis-iblis itu telah kabur agaknya!" kata Wu-yi Lo-jin dengan kecewa.

"Hemm, ke mana kita dapat mencari mereka yang dapat datang dan pergi seperti iblis itu?" Hui Song juga berkata jengkel.

"Aku tahu di mana mereka dapat dicari!" tiba-tiba Ci Kang berkata dan semua mata memandang kepadanya. Hui Song sudah memandang dengan sinar mata sinis, dan hatinya berbisik, "Tentu saja kau tahu karena engkau segolongan dengan mereka." Akan tetapi pada saat itu terdengar Cia Sun berkata,

"Benar, Ci Kang dan aku tahu di mana mereka berada. Mari kita cari mereka di sarang rahasia mereka!"

Ci Kang dan Cia Sun sebagai penunjuk jalan lalu lari cepat diikuti oleh yang lain. Ketika melihat bahwa dua orang pemuda itu mengambil jalan menuju ke San-hai-koan, Hui Song berseru kaget,

"Eh, kenapa ke San-hai-koan?"

"Memang, di sanalah mereka bersembunyi. Tempat rahasia mereka berada di San-hai-koan, dan tentu saja hal ini tidak terduga-duga oleh siapapun sehingga di sana mereka dapat bersembunyi dengan aman," kata Cia Sun.

Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat, akan tetapi malam sudah sangat larut, bahkan hampir pagi ketika akhirnya mereka tiba di San-hai-koan.

***

Perang sudah selesai setelah San-hai-koan dan Ceng-tek direbut kembali oleh balatentara pemerintah. Ketika enam orang pendekar itu memasuki San-hai-koan, mereka disambut dengan ramah oleh Yang-tai-ciangkun dan para pendekar yang tadinya membantu pasukan dan kini masih berada di San-hai-koan.

Ketika mendengar bahwa Raja dan Ratu Iblis diduga keras bersembunyi di dalam sebuah tempat rahasia di San-hai-koan dan tempat itu diketahui oleh Ci Kang dan Cia Sun, Yang-ciangkun terkejut sekali dan cepat menyerahkan seratus orang pasukan pengawal untuk membantu enam orang pendekar itu mengepung tempat rahasia.

Pagi hari itu juga, Wu-yi Lo-jin, Siang-kiang Lo-jin, Cia Sun, Hui Song, Ci Kang dan Sui Cin berangkat ke tempat rahasia itu diikuti pula oleh beberapa orang pendekar yang merasa tertarik walaupun mereka merasa jerih juga mendengar bahwa enam orang itu hendak menyergap Raja dan Ratu Iblis yang amat sakti, juga diikuti oleh seratus orang perajurit pengawal pilihan.

Tempat rahasia itu dikepung oleh pasukan dan enam orang pendekar berjaga di luar lubang sumur dan lubang terowongan di balik semak-semak yang merupakan dua jalan keluar dari tempat rahasia itu.

"Kami akan bersembunyi dulu," kata Wu-yi Lo-jin kepada para pendekar muda, "kalau Raja Iblis melihat kami dan dia mempergunakan tongkat sakti itu, bagaimanapun juga kami berdua tidak dapat melanggar sumpah sendiri dan tidak akan dapat melawan."

"Baiklah, suhu," kata Sui Cin, "Nanti saja kalau kami sudah mengeroyoknya, suhu dan Siang-kiang locianpwe keluar membantu sehingga dia tidak sempat mengeluarkan tongkatnya itu."

Setelah dua orang kakek yang takut melanggar sumpah terhadap tongkat sakti yang berada di tangan Raja Iblis itu bersembunyi, Hui Song lalu menjenguk ke dalam lubang sumur dan berteriak sambil mengerahkan khi-kangnya. "Pangeran Toan Jit Ong, Raja Iblis yang terkutuk, keluarlah menerima kematian!"

Tidak ada jawaban dari bawah, juga tidak nampak gerakan sesuatu. Yang ada hanya gema suara teriakan Hui Song yang terdengar mengaum dan menyeramkan, seperti jawaban atas teriakan tadi, jawaban yang bukan keluar dari mulut manusia.

Melihat ini, seorang perwira yang memimpin pasukan pengawal itu menjadi tidak sabar lagi. "Siapkan kayu bakar dan tiupkan asap ke dalam sumur!" Perwira ini hendak menggunaken siasat mengisi tempat persembunyian itu dengan asap agar mereka yang berada di sebelah da-lam akan terpaksa keluar karena tidak tahan diasapi dari luar.

Melihat kesibukan para perajurit pengawal mempersiapkan perintah sang per-wira, Wu-yi Lo-jin yang berada dalam persembunyiannya terkekeh. "Heh-heh-heh, kelinci-kelinci yang diasapi tentu akan keluar sekarang!"

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan delapan orang perajurit yang berada paling dekat dengan lubang sumur berteriak dan roboh terjengkang. Mereka tewas seketika ka-rena jarum-jarum beracun telah menyam-bar tenggorokan mereka. Dan dari dalam lubang sumur itu kini melayang dua so-sok tubuh seorang laki-laki dan seorang perempuan, tampan dan cantik dan keduanya mengenakan pakaian indah pesolek. Tentu saja para perajurit pengawal men-jadi kaget dan marah melihat robohnya delapan orang teman mereka. Dengan senjata golok atau tombak mereka segera mengepung dan menyerang. Akan tetapi, dua orang muda itu amat lihai dan begi-tu mereka berdua menggerakkan pedang kembali robohlah empat orang perajurit yang mengeroyok mereka.

Sementara itu, ketika mengenal bah-wa dua orang itu adalah Sim Thian Bu dan Gui Siang Hwa, Ci Kang sudah marah sekali. Sim Thian Bu adalah murid mendiang ayahnya dan terhitung sutenya walaupun Thian Bu lebih tua darinya. Dia sudah meloncat maju, hampir berbareng dengan Sui Cin yang juga sudah marah sekali melihat Siang Hwa.

"Sim Thian Bu manusia keparat!" Ci Kang membentak marah. "Hayo menye-rah sebelum aku terpaksa menggunakan kekerasan!" Ternyata gemblengan Ciu-sian Lo-kai telah merobah sifat pemuda ini. Biarpun dia marah sekali dan tahu bah-wa bekas sutenya ini adalah seorang ja-hat yang sepatutnya dibasmi, namun dia ingin memberi kesempatan kepada Thian Bu untuk menyerah dan menerima hukuman, kalau mungkin merobah sifatnya yang jahat.

Akan tetapi, Sim Thian Bu tersenyum mengejek. "Siangkoan Ci Kang manusia busuk! Engkau seperti harimau berkedok domba, ha-ha-ha! Siapa tidak tahu bah-wa engkau adalah putera mendiang Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta? Engkau pura-pura alim dan menjadi pendekar? Ha-ha-ha, alangkah lucunya!" Setelah berkata demikian, Sim Thian Bu sudah mengge-rakkan pedangnya menusuk dada Ci Kang. Namun, dengan mudah saja, Ci Kang mengelak dan menendang ke arah perge-langan lengan lawan yang juga dapat di-elakkan. Mereka segera berkelahi dengan seru walaupun Ci Kang hanya bertangan kosong dan lawannya berpedang.

Sementara itu, Sui Cin yang marah melihat murid Raja Iblis itu sudah menyerang tanpa banyak cakap lagi. Iapun menggunakan tangan kosong saja, menubruk dan mencengkeram ke arah pundak Siang Hwa sambil membentak, "Perempuan iblis, bersiaplah untuk mati!"

Siang Hwa, seperti juga Thian Bu, maklum bahwa ia telah terkepung banyak orang pandai, maka tanpa banyak cakap iapun juga mengelak dan mengelebatkan pedangnya membalas serangan Sui Cin dengan nekat. Akan tetapi sabetan pedangnya juga hanya mengenai tempat ko-song, bahkan ia terkejut bukan main melihat tubuh lawannya berkelebat lenyap dan tahu-tahu telah menyerang dengan tamparan ke arah kepalanya dari sam-ping! Tahulah ia bahwa gadis cantik yang menjadi lawannya ini adalah seorang ahli gin-kang yang tangguh, maka iapun cepat meloncat ke belakang sambil me-mutar pedangnya melindungi tubuh. Terjadi perkelahian yang cepat dan mati-matian antara Sui Cin dan Siang Hwa.

Cia Sun dan Hui Song hanya menon-ton dan siap-siap membantu dua orang teman mereka kalau perlu, akan tetapi mereka tidak mengeroyok karena mak-lum bahwa Ci Kang dan Sui Cin akan mampu menundukkan dua orang musuh i-tu. Membantu teman yang lebih kuat da-ripada lawan merupakan pantangan bagi mereka.

Tiba-tiba terdengar suara ledakan ke-ras dan tanah dengan batu muncrat dari tempat tidak jauh dari situ. Ledakan itu ternyata mengakibatkan tanah itu berlu-bang besar dan dari dalam lubang itu nampak empat orang yang memanggul kayu pikulan berbentuk joli tanpa atap berloncatan keluar dengan kecepatan yang luar biasa. Mereka adalah empat orang yang berpakaian seragam, bukan pakaian perajurit melainkan pakaian jago silat dan di atas joli terbuka itu duduk dua orang yang membuat semua orang terke-jut dan ngeri melihatnya. Dua orang itu adalah Raja dan Ratu Iblis!

Tentu saja para perajurit segera me-ngepungnya dan belasan batang tombak dan golok berkelebatan menyerang empat orang pemikul joli terbuka itu. Akan tetapi, segera terjadi kekacauan dan semua orang terkejut melihat betapa empat orang pemikul joli itu memiliki gerakan yang bukan main cepatnya. Kadang-kadang mereka berloncatan seperti terbang, lalu turun dan lari, sedangkan kakek dan nenek yang kadang-kadang duduk kadang-kadang bangkit berdiri itu menggerak-gerakkan tangan mereka dan hawa pukulan menyambar dahsyat, membuat belasan orang perajurit terpelanting ke kanan kiri tanpa dapat bangkit kembali! Tentu saja hal ini menggegerkan para perajurit dan perwira mereka memberi aba-aba agar terus mengepung dan mengejar.

Melihat betapa Raja dan Ratu Iblis sudah keluar, Hui Song mengeluarkan bentakan dan diapun sudah berloncatan diantara para perajurit untuk membantu mereka mengepung dan mengeroyok Raja dan Ratu Iblis. Cia Sun mengenal empat orang penggotong tandu atau joli tanpa atap itu. Mereka berempat itu bukan lain adalah Hui-thian Su-kwi, empat orang Cap-sha-kui yang memang memiliki gin-kang yang luar biasa sekali. Maka diapun cepat lari menghampiri dan ikut pula mengepung. Juga para pendekar ikut membantu sehingga kini empat orang pemikul tandu itu dikepung dari empat jurusan!

Akan tetapi, gerakan Hui-thian Su-kwi sungguh luar biasa cepatnya. Sebentar mereka berloncatan ke atas kepala para perajurit dan dua orang kakek dan nenek di atas tandu itu menyebar maut dengan pu-kulan-pukulan jarak jauh mereka. Hanya para pendekar yang dapat menghindarkan diri atau menangkis sambaran angin dah-syat itu, akan tetapi para perajurit pengawal banyak yang roboh dan tewas.

Agaknya Raja Iblis yang lebih banyak menyebar maut sedangkan Ratu Iblis "mengemudi" empat orang pemanggul tandu itu dengan teriakan-teriakannya, "Kanan...! Maju...! Mundur... ke kiri!" Dan Hui-thian Su-kwi mempergunakan kecepatan gerak kaki mereka untuk berloncatan sesuai dengan petunjuk Ratu Iblis. Sambil berloncatan, kaki merekapun tidak pernah bergerak dengan sia-sia, karena tendangan-tendangan mereka lakukan yang merobohkan pula banyak perajurit pengawal yang mengepung.

"Kejar! Kepung, robohkan para pemi-kul tandu!" Perwira pasukan memberi aba-aba dan kini empat orang pemikul tandu itu berloncatan tinggi sampai di tenda besar yang didirikan oleh para perajurit setiba mereka di situ. Tenda itu diterjang dan tiang-tiangnya roboh oleh tendangan empat orang pemikul tandu yang berloncatan ke atas. Dan hantaman-han-taman yang dilakukan oleh telapak to-ngan Raja Iblis sedemikian hebatnya se-hingga mayat-mayat para pengeroyok ro-boh berserakan.

"Kepung rapat!" teriak perwira pasu-kan ketika melihat empat orang pemikul tandu itu meloncat tinggi dan hinggap di atas tiang-tiang kayu bekas tenda besar. Para perajurit mengepung dan menyerang dengan tombak.

"Loncat turun ke depan!" terdengar Ratu Iblis mengomando dan Raja Iblis me-lancarkan pukulan ke arah tiang melin-tang di depannya.

"Krakkkk...!" Tiang yang besar itu patah tengahnya dan tiang-tiang itupun roboh menimpa para perajurit sedangkan empat orang pemikul tandu meloncat jauh ke depan.

Melihat betapa Raja Iblis menyebar maut, Hui Song dan Cia Sun menjadi marah sekali. Mereka tidak dapat leluasa bergerak karena kesimpang-siuran para perajurit yang mengeroyok.

"Kita serang berbareng dengan loncatan ke atas!" tiba-tiba Cia Sun berbisik dan Hui Song mengangguk.

Tiba-tiba dua orang pemuda perkasa ini meloncat jauh ke atas, melampaui kepala beberapa orang perajurit dan mereka itu langsung menerjang Raja Iblis dari kanan dan belakang! Memang mereka sudah memperhitungkan agar loncatan mereka tiba di sebelah kanan dan belakang Raja Iblis dan mereka menyerang dengan berbareng. Sambil meloncat itu, dari sebelah kanan Cia Sun sudah mengirimkan pukulan dengan sejurus Hok-mo Cap-sha-ciang, sebuah ilmu pukulan tangan kosong yang mujijat dan luar biasa ampuhnya. Pukulan itu mendatangkan angin kuat dan nampak seperti ada sinar ke-merahan menyambar dahsyat ke arah leher Raja Iblis. Pada saat yang sama pula, Hui Song sudah menyerang dengan pukulan Thian-te Sin-ciang yang juga merupakan pukulan amat ampuh, ditujukan ke arah punggung Raja Iblis.

Menghadapi penyerangan dua orang pemuda yang amat lihai ini, Raja Iblis mengeluarkan suara mendengus marah dan juga kaget. Cepat dia memutar tubuhnya ke kanan, tangan kirinya diputar menahan pukulan Cia Sun sedangkan tangan kanannya menangkis pukulan Hui Song. Sementara itu, Ratu Iblis tidak tinggal diam melihat suaminya menghadapi penyerangan dahsyat itu dan iapun mengerahkan tenaga pada kedua tangannya dan mendorong ke arah Cia Sun dan Hui Song dari sebelah kanan suaminya.

"Plakkk! Desss...!" Tubuh Hui Song dan Cia Sun yang menyerang sambil melompat itu, karena tidak mempunyai tempat berpijak dan saking kuatnya tenaga Raja dan Ratu Iblis, terpental ke belakang dan terpaksa berjungkir balik menghindarkan diri dari berbanting, akan tetapi tenaga mereka juga demikian kuatnya sehingga Raja dan Ratu Iblis yang tadi mengerahkan tenaga, membuat empat orang Hui-thian Su-kwi terhuyung karena tiba-tiba saja panggulan mereka menjadi berat luar biasa.

Sementara itu, perkelahian antara Sui Cin dan Gui Siang Hwa terjadi amat serunya. Akan tetapi, bagaimanapun juga, Siang Hwa harus mengakui keunggulan Sui Cin. Sebelum gadis ini digembleng oleh Wu-yi Lo-jin, belum tentu Sui Cin akan dapat mengalahkan Siang Hwa dengan mudah. Akan tetapi, selama tiga tahun ini Sui Cin mengalami gemblengan yang amat mendalam sehingga ilmu-ilmunya yang banyak macamnya, yang diwarisinya dari ayah ibunya itu, kini menjadi matang. Oleh karena itu, biarpun Siang Hwa mempergunakan pedang, bahkan telah mempergunakan pula saputangan suteranya yang mengandung racun, ia sama sekali tidak berdaya dan semua serangannya dapat digagalkan dengan mudah oleh Sui Cin, sebaliknya desakan gadis Pulau Teratai Merah ini membuat ia repot dan terhuyung-huyung. Beberapa kali ia sudah menerima tamparan Sui Cin dan hanya kekebalan dirinya saja yang membuat Siang Hwa masih dapat bertahan sampai puluhan jurus. Akan tetapi, ketika jari tangan Sui Cin yang kecil mungil dan meruncing itu menyambar pundaknya dengan totokan yang amat cepat, Siang Hwa terpelanting dan pedangnya terlepas ketika tangan kanannya ditendang oleh Sui Cin. Pada saat itulah para perajurit menubruk dengan tombak dan golok mereka sehing-ga wanita cabul itu tewas dalam keadaan mengerikan, tubuhnya hancur oleh belas-an batang golok dan tombak.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, Ci Kang juga sudah merobohkan sutenya, yaitu, Sim Thian Bu. Memang sejak semula Sim Thian Bu sendiri sudah gentar menghadapi putera mendiang gurunya ini. Sejak dahulu dia tidak pernah dapat menang terhadap Ci Kang. Apalagi setelah Ci Kang digembleng dengan hebatnya oleh Ciu-sian Lo-kai, tentu saja gerakan-gerakannya menjadi semakin matang dan kuat. Namun, karena perasaan Ci Kang menjadi halus dan lembut, dia merasa tidak tega untuk membunuh bekas sutenya. Beberapa kali dia membujuk agar Thian Bu menyerah saja dan kalau mau bertobat, dia yang akan mintakan ampun kepada Yang Tai-ciangkun. Akan tetapi semua bujukannya disambut dengan ucapan-ucapan menghina oleh Thian Bu sehingga perkelahian itu menjadi lama. Akhirnya, sebuah tendangan yang dilakukan dengan posisi miring dari Ci Kang amat tidak terduga oleh Thian Bu. Tendangan itu mengenai lambung Sim Thian Bu, mam-buatnya tersungkur roboh. Pada saat itu, para perajurit juga menubruk dan menghunjamkan senjata mereka. Namun, sebelum tewas, Thian Bu masih sempat me-lontarkan pedangnya membunuh seorang di antara mereka. Dia sendiri, seperti juga Siang Hwa, tewas di ujung belasan batang tombak dan golok.

Pada saat Hui-thian Su-kwi terhuyung karena pertemuan tenaga antara Raja dan Ratu Iblis melawan Hui Song dan Cia Sun, tiba-tiba muncullah Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin! Dua orang kakek ini melihat kesempatan baik se-kali. Pada saat itu, Raja Iblis tidak memegang tongkat yang mereka takuti. Mereka melayang seperti yang dilakukan Hui Song dan Cia Sun tadi, dan mereka sudah menerjang ke arah Raja dan Ratu Iblis yang berdiri di atas joli terbuka. Empat orang pemikul sedang terhuyung maka tidak sempat membawa pemimpin mereka meloncat dan terpaksa Raja dan Ratu Iblis yang kaget melihat munculnya dua orang kakek ini, menyambut serangan mereka dengan dorongan tangan. Raja Iblis menyambut hantaman tangan Siang-kiang Lo-jin sedangkan Ratu Iblis juga menyambut pukulan Wu-yi Lo-jin dengan dorongan kedua telapak tangannya.

"Wuuuuttt... desss...!" Pertemuan tenaga sin-kang sekali ini lebih hebat lagi. Akibatnya, tubuh Raja dan Ratu Iblis terdorong dan condong ke belakang sedangkan tubuh dua orang kakek penyerang yang tadi meloncat terdorong ke belakang dan hampir mereka terjengkang, akan tetapi empat orang Hui-thian Su-kwi sampai jatuh berjongkok karena kaki mereka tiba-tiba tidak kuat lagi menahan tenaga yang menekan dari atas!

Pada saat itu Sui Cin, Ci Kang, Hui Song dan Cia Sun sudah menerjang maju, masing-masing menyerang seorang dari Hui-thian Su-kwi. Empat orang tokoh Cap-sha-kui ini terkejut sekali. Mereka baru saja jatuh berjongkok dan serangan em-pat orang muda itu sedemikian dahsyat-nya sehingga mereka terpaksa melepas-kan pikulan joli dan bangkit untuk meloncat mengelak atau menangkis. Segera terjadi perkelahian antara mereka dan empat orang muda itu dan joli itupun terlempar ke samping! Akan tetapi, Raja dan Ratu Iblis sudah berloncatan turun dan ketika Wu-yi Lo-jin dan Siang-kang Lo-jin hendak menyerang, tiba-tiba mereka berdua terbelalak dan mundur kare-na Raja Iblis sudah mengangkat tinggi-tinggi tongkat saktinya!

Para pendekar yang hadir cepat maju menyerang, akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja mereka terpental roboh dan kini para perajurit pengawal menge-pung lagi, mengeroyok kakek dan nenek itu. Akan tetapi, para perajurit ini se-perti sekelompok nyamuk menyerang api lilin saja, setiap kali kakek dan nenek i-tu menggerakkan tangan, tentu banyak orang yang roboh terpelanting. Karena i-tu, para perajurit menjadi gentar dan Raja Iblis bersama isterinya dengan mudah berloncatan lalu melarikan diri dengan cepat sekali, tak pernah dapat disusul oleh para pengejarnya. Apalagi karena para pengejarnya itu sudah gentar, bahkan dua orang kakek yang paling lihai di antara mereka, Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin, juga mengejar dari jauh saja karena mereka itu juga gentar, bukan gentar terhadap Raja dan Ratu Iblis, melainkan terhadap tongkat sakti itu! Mereka takut kepada sumpah mereka sendiri, takut melanggar sumpah. Hal ini membuat kakek dan nenek iblis itu dengan mudah keluar dari San-hai-koan dan melarikan diri menuju ke padang pasir di sebelah selatan, kemudian membelok ke barat.

Sementara itu, dalam keadaan panik dan juga karena memang jauh kalah tinggi tingkat kepandaiannya, keempat orang Hui-thian Su-kwi yang menghadapi empat orang pendekar muda sudah roboh semua. Su Cin, Hui Song, Ci Kang dan Cia Sun juga melihat betapa Raja dan Ratu Iblis melarikan diri. Maka mereka memperhebat serangan mereka sehingga empat orang pendekar muda itu sudah berloncatan dan lari mengejar pula. Walaupun mereka itu tadi tertinggal jauh, karena kehebatan ilmu gin-kang mereka, akhirnya mereka dapat juga menyusul Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin yang tidak berani terlalu cepat.

"Suhu, di mana mereka?" tanya Sui Cin.

"Wah, mereka tadi menghilang di balik bukit sana itu," kata Wu-yi Lo-jin kepada Sui Cin.

"Sayang kami berdua tidak berani mengejar terlalu cepat. Si laknat itu telah memegang tongkatnya!" kata pula Si Dewa Kipas.

"Akan tetapi kami tidak takut tongkat iblisnya itu!" kata Hui Song dengan gemas dan diapun terus berlari cepat ke depan, diikuti oleh tiga orang pendekar muda lainnya, sedangkan dua orang kakek itu terpaksa mengejar pula dari belakang mereka dengan gelisah.

Dari arah jalan yang diambil oleh Raja dan Ratu Iblis, Ci Kang dan Cia Sun teringat akan tempat persembunyian Raja Iblis di sebuah gedung tua di lereng bukit itu, di mana terdapat guha dalam tanah dan di sana untuk pertama kali mereka bertemu dengan Hui Cu.

Tidak salah lagi, tentu ke sana Raja dan Ratu Iblis pergi! Maka, mereka lalu menjadi penunjuk jalan dan berlari cepat ke arah bukit itu. Kini yang melakukan pengejaran hanya tinggal mereka berenam lagi karena pasukan pengawal dari San-hai-koan bersama para pendekar sudah tidak mengejar, tidak sanggup mengejar secepat itu, dan pula, mereka lebih sibuk dan mementingkan untuk menolong teman-teman yang terluka dan mengurus mereka yang tewas ketika terjadi pengeroyokan atas diri Raja dan Ratu Iblis bersama pembantu-pembantu mereka yang pandai

***

Para pengejar itu mempercepat lari mereka ketika mereka melihat betapa di sebelah depan, pada persimpangan jalan menuju ke Ceng-tek dan ke bukit tempat gedung kuno persembunyian Raja dan Ra-tu Iblis, terdapat keributan. Agaknya di sana terjadi pertempuran yang seru an-tara banyak orang yang melakukan pengeroyokan.

"Ayah...!" Hui Song berseru kaget sekali ketika melihat bahwa yang mengeroyok Raja dan Ratu Iblis adalah ayahnya bersama sumoinya Tan Siang Wi, dan tiga puluh lebih orang anggota Cin-ling-pai, sisa dari para murid Cin-ling-pai.

Betapa lihainya Raja dan Ratu Iblis, namun dikeroyok oleh puluhan orang mu-rid Cin-ling-pai yang dipimpin sendiri o-leh ketuanya, mereka harus bersikap ha-ti-hati. Mereka berdua dikurung ketat dan para murid Cin-ling-pai yang merasa dendam kepada Raja Iblis, berkelahi dengan semangat tinggi dan mati-matian. Memang sudah ada lima enam orang di antara murid Cin-ling-pai yang roboh a-kan tetapi mereka masih bersemangat. Juga ketua Cin-ling-pai, Cia Kong Liang, nampak terluka pada pahanya, akan tetapi pendekar ini masih bergerak dengan gagah perkasa, mendesak Raja Iblis dibantu oleh Tan Siang Wi dan puluhan orang murid Cin-ling-pai.

Ketika Cia Kong Liang melihat munculnya puteranya, dia merasa girang sekali. Sebaliknya, Raja Iblis menjadi terkejut bukan main. Menghadapi orang-orang Cin-ling-pai mereka tidak merasa takut dan biarpun harus mengerahkan kepandaian dan dalam waktu yang agak lama, mereka yakin akan mampu mengalahkan puluhan orang musuh itu. Akan tetapi kemunculan empat pendekar muda dan dua orang kakek itu membuat mereka gentar juga! Memang benar bahwa dua orang kakek itu tidak akan berani turun tangan melihat tongkat sakti di tangan Raja Iblis, akan tetapi empat orang pendekar muda itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan! Mereka berempat itu bahkan lebih tangguh daripada ketua Cin-ling-pai sendiri!

Kini tanpa banyak cakap lagi, Hui Song, Sui Cin, Cia Sun dan Ci Kang sudah menerjang maju mengeroyok Raja dan Ratu Iblis. Para murid Cin-ling-pai bernapas lega dari mereka yang merasa bahwa tingkat kepandaian mereka masih jauh berada di bawah untuk dapat mengimbangi perkelahian antara orang-orang sakti itu, lalu mundur dan hanya mengurung tempat itu sambil menonton dan siap-siap membantu pihak mereka.

Perkelahian kini menjadi seru bukan main setelah Sui Cin, Hui Song, Cia Sun dan Ci Kang maju mengeroyok Raja dan Ratu Iblis! Benar-benar merupakan perkelahian tingkat tinggi di mana setiap orang mengeluarkan semua kepandaian mereka dan mengerahkan seluruh tenaga. Empat orang muda itu tangkas dan lihai, dengan jurus-jurus mereka yang merupakan ilmu-ilmu silat pilihan. Cia Sun dan kawan-kawannya maklum akan kelihalan kakek dan nenek itu, maka mereka berempat tidak merasa sungkan untuk maju berempat melawan dua orang. Bahkan Cia Kong Liang berdiri bengong penuh kagum. Puteranya itu kini telah memiliki kepandaian yang amat hebat, bahkan berani bertemu tangan beradu sin-kang melawan Raja Iblis! Diapun hanya berdiri di pinggir dan siap membantu kalau-kalau puteranya dan para pendekar muda itu terancam bahaya.

Dua orang kakek Si Dewa Arak dan Dewa Kipas hanya nonton di antara para murid Cin-ling-pai tanpa berani turun tangan. Akan tetapi, Wu-yi Lo-jin mendapat akal. Dia melihat betapa gerakan-gerakan muridnya, Sui Cin, walaupun sudah hebat sekali, namun ada beberapa bagian yang masih lemah. Dia lalu berteriak-teriak memberi petunjuk kepada Sui Cin dan begitu gadis ini mendengar petunjuk-petunjuk gurunya, ia menyerang makin dahsyat membuat Ratu Iblis kewalahan! Melihat ini, segera Siang-kiang Lo-jin berteriak memberi petunjuk kepada Hui Song yang segera dapat memperbaiki dan memperhebat gerakan-gerakannya setelah mendengar petunjuk-petunjuk dari kakek gendut itu. Melihat ini, Cia Kong Liang semakin heran dan baru dia dapat menduga bahwa kakek gendut ini tentu seorang guru baru dari puteranya.

Selagi dua orang kakek itu berlomba memberi petunjuk kepada murid masing-masing, tiba-tiba terdengar suara dua orang lain yang berseru memberi petunjuk kepada Cia Sun dan Ci Kang! Dua orang kakek ini girang sekali karena mengenal suara guru-guru mereka, Ciu-sian Lo--kai dan Go-bi San-jin! Lengkaplah sudah guru keempat pendekar muda itu. Mereka berempat berada di situ akan tetapi karena tongkat sakti di tangan Raja Iblis atau Pangeran Toan Jit Ong, mereka berempat tidak berani berkutik dan hanya dapat memberi petunjuk kepada murid masing-masing. Akan tetapi petunjuk-petunjuk ini berharga sekali karena kini gerakan keempat orang muda itu menjadi semakin dahsyat sehingga Raja dan Ratu Iblis sendiri menjadi repot, terdesak dan permainan silat mereka menjadi kalang kabut. Selain itu, mereka berdua sudah amat tua sehingga dalam hal daya tahan tubuh dan pernapasan, mereka kalah jauh dibandingkan empat orang lawan mereka.

Empat orang muda itu mengeroyok secara bergantian dan mereka seperti membentuk barisan segi empat, membuat suami isteri iblis itu kewalahan. Ketika memperoleh kesempatan yang baik, tiba-tiba Sui Cin menubruk maju dari tamparan tangannya yang penuh dengan tenaga Thian-te Sin-ciang itu mengenai punggung Ratu Iblis.

"Uakkk...!" Ratu Iblis tidak roboh akan tetapi dari mulutnya muncrat darah segar, tanda bahwa tamparan itu telah melukainya. Dan pada saat yang hampir bersamaan, dengan jurus Hok-mo Cap--sha-ciang yang mujijat, Cia Sun juga sudah berhasil memukul lambung Raja Iblis.

"Desss...!" Demikian hebatnya pukulan itu, akan tetapi juga demikian lihainya Raja Iblis sehingga Cia Sun yang memukul malah terpelanting sendiri! Akan tetapi dari dalam dada Raja Iblis itu keluar suara keluhan pendek, kemudian dia dan isterinya secara tiba-tiba meloncat dan melarikan diri ke arah bukit!

"Cepat kejar!" Hui Song berseru dan mereka berempat lalu mengejar, diikuti oleh empat orang kakek, Cia Kong Liang dan para murid Cin-ling-pai yang tertinggal jauh di belakang.

Kakek dan nenek itu berlari seperti terbang cepatnya menuju ke arah gedung kuno di lereng bukit. Melihat ini, Ci Kang berseru, "Cepat, kalau mereka memasuki gedung, akan sukar bagi kita karena ge-dung itu menyimpan banyak rahasia! Mungkin mereka bisa lolos melalui jalan rahasia!"

Mendengar ucapan ini, semua orang melakukan pengejaran secepatnya. Akan tetapi mereka kalah dulu dan kini kakek dan nenek itu sudah tiba di depan ge-dung. Hal ini membuat delapan orang pengejar itu menjadi gelisah. Juga Cia Kong Liang mendengar ucapan Ci Kang tadi dan diapun yang berada agak jauh di belakang delapan orang itu merasa geli-sah.

Tiba-tiba terdengar suara ledakan yang keras sekali dan gedung kuno di depan itu hancur berantakan! Kakek dan nenek itu tentu saja merasa terkejut sekali dan Raja Iblis terbelalak memandang kepada seorang gadis yang baru saja muncul dari belakang gedung yang sudah hancur i-tu.

"Hui Cu...!" Ratu Iblis berseru kaget. "Apa yang telah kaulakukan?"

Gadis itu memandang kepada ibunya dengan wajah muram, lalu berbalik me-mandang kepada Raja Iblis dengan sinar mata penuh kemarahan. "Maafkan aku, i-bu. Terpaksa aku menghancurkan gedung ini. Bagaimanapun juga aku harus menen-tang kejahatannya!" Ia menuding ke arah muka Raja Iblis.

"Anak keparat! Kalau begitu, engkau harus mampus!" Raja Iblis tiba-tiba me-loncat ke depan dan menyerang Hui Cu dengan pukulannya yang dahsyat. Pukulan itu dahsyat bukan main, datang mener-jang Hui Cu seperti kilat menyambar. Gadis itu menggerakkan kedua tangannya menangkis untuk melindungi tubuhnya.

"Desss...!" Tubuh gadis itu terlempar sampai beberapa meter ke belakang dan terbanting ke atas tanah. Akan tetapi, berkat latihan-latihan yang diterima dari ibunya, gadis itu tadi dapat melindungi dirinya dengan sin-kang sehingga ia hanya kesakitan saja dan tidak sampai terluka parah, maka ia hanya mengeluh dan perlahan-lahan bangkit lagi. Melihat ini, Ra-ja Iblis menjadi penasaran dan semakin marah.

"Heh, satu kali pukulan belum cukup, ya?" katanya dan dia sudah menerjang lagi ke depan untuk menyusulkan pukulan maut kepada puterinya. Akan tetapi pada saat itu, Ratu Iblis sudah meloncat men-dahului suaminya dan menghadang di de-pan suaminya.

"Jangan bunuh anakku!" katanya dengan sinar mata mencorong seperti see-kor harimau betina yang melindungi anak-nya.

Sepasang mata Raja Iblis yang biasa-nya jarang bergerak itu kini terbelalak. Hampir dia tidak percaya melihat isteri-nya kini berdiri menghadang dan menentangnya. Selama ini, isterinya amat taat kepadanya, melaksanakan segala perintah-nya dengan taruhan nyawa sekalipun. A-kan tetapi sekali ini, isterinya menghadapinya dengan sikap seorang musuh! Dia tidak tahu betapa di atas segalanya, seorang ibu mencinta anak tunggalnya dan berani menentang apa saja, berani kehilangan apa saja demi anaknya itu.

"Kau... kau berani menentang aku?" tanyanya, masih tidak dapat percaya.

"Jangan bunuh anakku!" Hanya itulah yang dapat dikatakan Ratu Iblis karena sesungguhnya, nenek ini amat takut dan juga cinta kepada Raja Iblis, akan tetapi agaknya, kasihnya terhadap anak kandung yang tunggal itu lebih besar lagi.

"Kau membela anak keparat yang sudah menghancurkan tempat kita itu?" tanyanya lagi.

"Jangan bunuh anakku!"

"Hemm, kalau begitu kalian harus mampus!" Dan Raja Iblis sudah mener-jang isterinya dengan dahsyat. Ratu Iblis menangkis dan iapun terjengkang, sung-guhpun tidak sehebat puterinya tadi. Ia meloneat bangun dan kini Hui Cu juga sudah meloncat dekat ibunya. Ketika Ra-ja Iblis menyerang lagi, dia disambut o-leh isterinya dan puterinya!

Terjadilah perkelahian yang seru dan yang membuat para pendekar yang sudah tiba di situ memandang bengong dan mereka tidak tahu harus berbuat apa. mereka mengejar Raja dan Ratu Iblis, akan tetapi kini musuh-musuh yang dikejar itu bahkan saling hantam sendiri. Hal ini membuat mereka bingung, tidak tahu ha-rus membantu siapa!

Betapapun lihainya Ratu Iblis, meng-hadapi suaminya sama saja dengan meng-hadapi gurunya. Dan kepandaian Hui Cu belum ada artinya kalau dibandingkan dengan ayahnya itu, maka dalam waktu ti-ga puluh jurus saja, pukulan tangan kiri Raja Iblis telah menyambar dengan tepat mengenai dada isterinya sendiri.

"Dukkk...!" Tubuh nenek itu terjengkang dan terbanting keras.

"Ibu...!" Hui Cu menubruk ibunya dan pada saat itu, dengan kemarahan meluap Raja Iblis menyerang anaknya. Akan tetapi, Sui Cin, Hui Song, Ci Kang dan Cia Sun seperti dikomando telah menerjang maju, menyerang Raja Iblis yang sedang hendak membunuh puterinya itu.

Serangan empat orang muda yang parkasa itu sungguh dahsyat, membuat Raja Iblis terpaksa menarik kembali serangan-nya terhadap Hui Cu dan berloncatan ke belakang untuk menghindarkan diri dari hujan serangan yang berbahaya itu. Kini, gedung kuno yang menjadi harapannya untuk dapat menyembunyikan atau mela-rikan diri telah dihancurkan puterinya sendiri, dan pembantunya yang paling dapat diandalkan, yaitu Ratu Iblis, telah tewas atau setidaknya sudah tidak mam-pu membantunya lagi. Melarikan diri da-ri empat orang muda perkasa inipun percuma karena dia sendiri sudah amat le-lah dan kalau disuruh berlomba lari, ten-tu dia akan kehabisan napas dan akhirnya tersusul juga. Kini, lalu mengeluarkan suara pekik melengking dan selagi tena-ganya masih ada, tiada lain jalan bagi Pangeran Toan Jit Ong atau Raja Iblis kecuali melawan dan berusaha mengamuk, menjatuhkan semua lawan yang empat ini karena empat orang kakek itu tidak ada yang berani maju melanggar sumpah mereka sendiri. Oleh karena itu, Raja Iblis lalu mengeluarkan suara pekik me-lengking dan membalas serangan empat orang pengeroyoknya yang cepat meng-hindar pula.

Kini terjadilah perkelahian yang hebat dan mati-matian antara Raja Iblis yang dikeroyok oleh empat orang pendekar muda perkasa itu. Dan kini, empat orang kakek sakti tidak perlu lagi memberi pe-tunjuk kepada murid masing-masing. Denga-n hilangnya Ratu Iblis, maka kekuatan Raja Iblis banyak berkurang dan empat orang muda itu mulai mendesak dan memperketat pengepungan mereka. Bah-kan Ci Kang dan Hui Song berhasil me-nyarangkan pukulan masing-masing ke tu-buh Raja Iblis. Akan tetapi, kakek ini memiliki kekebalan yang amat kuat se-hingga nampaknya pukulan dua orang mu-da itu tidak berbekas. Betapapun juga, sama sekali tidak berarti bahwa pukulan itu tidak ada artinya. Biarpun kulit ke-bal dapat membuat pukulan-pukulan itu membalik, namun di sebelah dalam tubuhnya, Raja Iblis mengalami getaran hebat dan diapun telah mengerahkan terlampau banyak tenaga untuk menahan pukulan-pukulan tadi. Gerakannya jelas nampak semakin lemah dan semakin lambat. Hal ini membuat empat orang pengeroyoknya bertambah semangat dan kembali tubuh kakek itu terkena pukulan, sekali ini Sui Cin yang menampar lambungnya, disusul Cia Sun mendaratkan pukulannya ke arah pundak. Kakek itu terhuyung ke belakang dan ketika Hui Song menyusulkan sebuah tendangan keras yang mengenai perut-nya, kakek itu mencelat ke belakang dan dari mulutnya tersembur darah segar. Namun, dia memekik dan menubruk ma-ju. Hampir saja Sui Cin kena dicengke-ram kalau saja Hui Song tidak cepat me-nolongnya dengan tangkisan yang membuat pemuda itu terjengkang, akan tetapi Sui Cin luput dari cengkeraman maut! Ci Kang menampar pula dari belakang, tam-paran yang keras mengenai tengkuk Raja Iblis. Tubuh kakek itu terputar dan kembali dia terhuyung-huyung. Dan tiba-tiba saja kakek itu terpelanting dan jatuh menelungkup tak bergerak lagi.

Empat orang pendekar muda itu tidak berani mendekat, khawatir kalau-kalau Raja Iblis hanya pura-pura roboh dan kalau mereka mendekat dengan gegabah, mereka mungkin celaka oleh serangan mendadak. Akan tetapi, beberapa menit mereka menanti, tubuh kakek itu tetap tidak bergerak dan tiba-tiba terdengar Ciu-sian Lo-kai terkekeh. "Ha-ha, akhirnya Raja Iblis mati juga!"

Mendengar ucapan suhunya ini, baru-lah Ci Kang berani menghampiri dan membalikkan tubuh yang menelungkup itu. Nampak darah memenuhi tanah di bawah tubuh dan ternyata sebatang pe-dang telah menancap di dada kakek itu. Pedangnya sendiri! Kakek itu, setelah melihat bahwa dia tidak akan menang, lalu membunuh diri, memilih mati di tangan sendiri daripada di tangan empat orang muda itu!

Kini mereka semua menujukan perha-tian kepada Hui Cu yang masih menangisi ibunya. Nenek itu masih belum tewas walaupun napasnya sudah empas-empis. Tiba-tiba ia berkata, "Yang mana yang bernama Cia Sun...?"

Mendengar pertanyaan ini, Cia Sun mendekat dan berlutut di sebelah Hui Cu yang masih terisak menangis. Melihat Cia Sun, nenek itu mengangguk lemah. Ia sudah mengenal pemuda ini, sudah pernah jumpa di dalam guha bawah tanah. "Eng-kau seorang pemuda yang gagah, dan aku girang Hui Cu mencintamu. Cia Sun, maukah kau berjanji untuk melindungi a-nakku Hui Cu dan menjadi suaminya? Ia mencintamu..." suaranya lemah dan agaknya nenek ini telah mengerahkan tenaga terakhir untuk bicara itu.

Cia Sun mengerutkan alisnya. Dia tidak perduli terhadap nenek ini yang dia tahu adalah seorang nenek yang keji dan jahat sekali. Akan tetapi dia harus mengakui pada diri sendiri bahwa dia merasa suka dan sayang kepada Hui Cu yang dianggapnya seorang gadis yang amat baik. Tadi saja sudah terbukti bahwa Hui Cu menentang kejahatan dengan membakar gedung kuno itu. Akan tetapi, dia tidak mencinta Hui Cu dan hal ini sudah dia katakan terus terang kepada Hui Cu! Hal seperti ini mana mungkin dibicarakan di depan orang banyak? Hanya akan membuat Hui Cu berduka dan malu saja. Akan tetapi, nenek itu berada dalam sa-kratulmaut dan dia harus bicara terus terang.

"Sayang, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Aku akan melindungi Hui Cu sebagai seorang sahabat, akan tetapi... aku tidak bisa menjadi suaminya..."

Nenek itu terbelalak dan tangis Hui Cu semakin menjadi. "Apa? Kau... kau tidak cinta padanya? Engkau berani menolak?" Nenek itu tiba-tiba bangkit dan mengerahkan tenaga untuk menyerang Cia Sun, akan tetapi ia terpelanting dan napasnya putus.

Hui Cu bangkit, mukanya pucat ketika ia memandang kepada mayat ibunya. "Ibu... kau... kau kejam... kejam...!" Dan gadis itupun melarikan diri dengan amat cepatnya.

"Hui Cu...!" Cia Sun memanggil, akan tetapi gadis itu tidak menoleh dan terus lari dengan amat cepatnya. Cia Sun tidak dapat berbuat lain kecuali menghela napas panjang.

Sementara itu, Hui Song menghampiri ayahnya dan merekapun saling pandang dengan wajah muram dan hati berduka.

"Ayah... kongkong dan ibu..."

Cia Kong Liang mengangguk. "Aku sudah tahu, mereka tewas oleh Raja dan Ratu Iblis, dan engkau sudah membalas-kan kematian mereka."

"Ayah...!" Hui Song menahan air matanya, mendekati ayahnya dan merekapun saling berpegang tangan. Dari tangan mereka terasa getaran dan kedua orang pria yang kuat ini saling menghibur dengan pegangan tangan mereka itu.

"Aku telah tertipu, Song-ji..."

"Sudahlah, ayah. Aku sudah mendengar dari para suheng. Akan tetapi, ayah telah cepat berbalik pikiran setelah mengetahuinya dan bagaimanapun juga, Cin-ling-pai telah banyak membantu pemerintah dalam menentang pemberontak."

"Song-ji, perkenalkan aku dengan para locianpwe ini. Apakah locianpwe itu gu-rumu?" ketua Cin-ling-pai berkata. "Juga siapakah gadis gagah itu? Siangkoan Ci Kang dan Cia Sun aku sudah kenal."

Hui Song lalu memperkenalkan Siang-kiang Lo-jin sebagai gurunya, juga Wu-yi Lo-jin guru Sui Cin, Ciu-sian Lo-kai guru Ci Kang dan Go-bi San-jin guru Cia Sun. "Dan ini adalah nona Ceng Sui Cin, pu-teri tunggal dari locianpwe Ceng Thian Sin di Pulau Teratai Merah."

"Ah, puteri Pendekar Sadis?" Ketua Cin-ling-pai bertanya sambil memandang penuh perhatian kepada Sui Cin. "Pantas lihai bukan main!"

"Dan ia adalah gadis yang kucinta, ayah, sudah kucalonkan ia menjadi isteri-ku!" kata Hui Song dengan cepat sambil mengerling ke arah Ci Kang dan Cia Sun. Dia tahu bahwa dua orang muda itu agaknya juga menaruh hati kepada Sui Cin, maka kini di depan banyak orang, dengen terang-terangan dia mengaku cintanya kepada gadis itu kepada ayahnya.

Mendengar ucapan muridnya itu, Siang-kiang Lo-jin tertawa dan perutnya yang gendut itu bergerak-gerak. "Ha-ha-ha-ha, ketua Cin-ling-pai sungguh beruntung mempunyai seorang putera yang jujur dan berani berterus terang tidak malu-malu kucing!"

Cia Kong Liang tersenyum. Di dalam hati kecilnya, dia kurang suka kalau puteranya berjodoh dengan puteri Pendekar Sadis, karena dalam pandangannya, Pen-dekar Sadis adalah seorang pendekar yang terlalu kejam terhadap musuhnya. Akan tetapi dia sudah memperoleh banyak pengalaman dalam peristiwa pemberontakan itu sehingga dia menekan perasaannya dan dia menjura kepada kakek gendut itu. "Berkat bimbingan locianpwe anakku yang bodoh menjadi tabah. Nona Ceng, terus terang saja, setelah mendengar ka-ta-kata anakku, bagaimana pendapatmu tentang itu?"

Pertanyaan yang diajukan ketua Cin-ling-pai ini lebih terang-terangan lagi daripada puteranya. Pendekar ini berta-nya kepada seorang gadis begitu saja tentang pendapatnya mengenai pemyata-an cinta puteranya!

Sui Cin adalah seorang gadis yang berwatak polos, jenaka dan bebas. Ter-utama sekali ia mencinta kebebasan yang sejak kecil memang diberikan oleh ayah bundanya kepadanya maka sikap Hui Song dan ayahnya itu tidak membuat ia bingung walaupun kedua pipinya kini menjadi le-bih merah daripada biasanya.

"Locianpwe, Song-ko adalah seorang sahabatku yang baik. Aku suka kepadanya..."

"Suka ataukah cinta? He-he, kukira muridku juga bukan seorang yang pemalu dan berpura-pura. Sui Cin, suka berbeda dengan cinta!" Tiba-tiba Wu-yi Lo-jin berkata sambil terkekeh. Sui Cin melirik kepada gurunya. Sialan. Gurunya ini lebih terang-terangan lagi sehingga ia merasa tersudut. "Yaah, mungkin aku juga cinta padanya dan tentang perjodohan... wah, biarlah hal itu ayah ibuku yang memutuskan!"

Jawaban ini membuat semua orang tersenyum dan Hui Song nampak girang bukan main. Cia Sun diam-diam menarik napas panjang dan diapun hanya menun-dukkan muka saja, sedangkan Ci Kang juga menundukkan muka. Hanya mereka sendirilah yang dapat merasakan kepahit-an yang sejenak menyelubungi hati mereka mendengar jawaban Sui Cin yang terang-terangan menyatakan cintanya kepada Hui Song itu.

Cia Kong Liang mengangguk-angguk. "Baiklah, kalau memang kalian saling mencinta, kelak aku akan menemui Pen-dekar Sadis untuk membicarakan soal perjodohan kalian. Sekarang aku harus mengucapkan terima kasih kepada para locianpwe yang telah menolong calon mantuku ini, juga tidak lupa aku berterima kasih sekali kepada Ci Kang dan Cia Sun, ter-utama Ci Kang karena tanpa adanya dia ini, mungkin aku sekarang sudah mati di-keroyok oleh para pemberontak anak buah Raja Iblis."

"Nanti dulu, ayah!" tiba-tiba Hui Song berkata dengan suara nyaring sehingga mengejutkan hati semua orang. Hati pendekar muda ini yang sedang bergelora penuh cinta asmara terhadap Sui Cin, agaknya masih belum dapat melenyapkan rasa marah dan cemburu teringat akan perbuatan yang pernah dilakukan Siangkoan Ci Kang kepada kekasihnya. Membayangkan peristiwa yang lalu, betapa Ci Kang dengan kekerasan merangkul dan menciumi Sui Cin, hatinya menjadi panas dan kini mendengar Ci Kang dipuji-puji ayah-nya, dia tidak dapat menerimanya. "Kita tidak dapat menilai hati orang melalui satu perbuatannya saja. Siapa tahu ketika Siangkoan Ci Kang menolong ayah, hal itu dilakukan secara kebetulan atau me-mang untuk mencari muka. Dia itu se-sungguhnya seorang yang jahat, seorang tokoh sesat, ayah!"

Siangkoan Ci Kang mengangkat muka memandang kepada Hui Song. Sedikitpun tidak nampak penyesalan pada wajahnya yang gagah, bahkan sinar matanya masih lembut seperti biasa. Dia maklum apa yang sedang terjadi di dalam batin pe-muda tampan itu. Dia tahu betapa cem-buru dan kemarahan membuat Hui Song membenci padanya, atas perbuatannya kepada Sui Cin tempo hari. Dan dia tidak menyalahkan Hui Song. Apalagi Hui Song, dia sendiripun marah dan menyesal sekali atas peristiwa yang terjadi itu dan sukar baginya untuk memaafkan diri sen-diri. Oleh karena itu, dia menanti saja apa yang hendak dikatakan Hui Song yang nampaknya penasaran sekali dan siap membuka keburukan namanya di depan semua orang.

Akan tetapi, jawaban Cia Kong Liang sungguh di luar dugean semua orang, terutama sekali Hui Song. Ketua Cin-ling-pai itu menjawab tenang, "Hui Song, agaknya aku lebih mengenal dia daripada engkau. Aku sudah tahu, dan dia mengaku sendiri bahwa dia adalah putera tunggal mendiang Siangkoan Lo-jin..."

"Baik sekali kalau ayah sudah mengetahuinya," kata Hui Song memotong. "Akan tetapi tahu jugakah ayah bahwa Siangkoan Lo-jin itu adalah Si Iblis Buta, yang sebelum muncul Raja dan Ratu Iblis menjadi datuk kaum sesat yang dibantu oleh Cap-sha-kui!"

Ayahnya menarik napas panjang dan mengangguk. "Aku tahu kesemuanya itu, Song-ji, dan keadaan keluarganya itu bahkan semakin mengagumkan hatiku terhadap Ci Kang, karena dia bagaikan sekuntum bunga teratai yang hidup di tengah lumpur, tetap indah dan bersih. Aku melihat sendiri betapa hebat sepak terjangnya dalam menentang kejahatan..."

"Ayah belum tahu apa yang tersembunyi di balik kedok domba itu! Ayah, dia jahat sekali! Dia pernah berusaha untuk memperkosa adik Sui Cin...!"

"Song-ko...!" Sui Cin terkejut dan menegur karena ia menganggap bahwa tidak pantas pemuda itu membuka rahasia itu.

"Cin-moi, kalau tidak kuberitahukan sekarang, tentu semua orang menganggap dia seorang yang sebaik-baiknya dan hal itu amat berbahaya," bantah Hui Sang.

Cia Kong Liang mengerutkan alisnya, sejenak matanya memandang kepada puteranya dengan marah. Sebagai seorang yang berpandangan tajam diapun dapat menduga bahwa di dalam batin puteranya itu penuh dengan kebencian dan cemburu. Kemudian dia mengalihkan pandang matanya, memandang wajah Siangkoan Ci Kang dan pemuda itu sama sekali tidak membantah, hanya menundukkan mukanya yang menjadi agak pucat, wajah yang membayangkan penyesalan besar.

Ucapan Hui Song itu membuat semua orang terkejut. Bahkan Cia Sun yang tadinya amat percaya dan suka kepada Ci Kang yang gagah perkasa, kini meman-dang dengan alis berkerut dan kakek Ciu-sian Lo-kai yang biasanya suka berkela-kar dan jenaka itu, wajahnya berobah dan alisnya berkerut ketika dia meman-dang kepada muridnya.

"Siangkoan Ci Kang!" tiba-tiba kakek tinggi kurus yang berpakaian pengemis ini berkata, suaranya keras galak, matanya mengeluarkan sinar berkilat. "Benarkah apa yang dituduhkan orang kepadamu? Be-narkan itu bahwa engkau pernah hendak memperkosa nona Ceng Sui Cin ini?"

Semua orang kini memandang kepada Ci Kang, terutama sekali Cia Sun yang merasa bingung dan sukar dapat memper-caya berita bahwa sahabatnya itu pernah hendak memperkosa Sui Cin. Ci Kang mengangkat mukanya yang agak pucat i-tu, pertama-tama memandang ke arah Sui Cin yang juga memandang kepadanya, kemudian dia memandang kepada guru-nya, lalu menunduk kembali dan suaranya lirih dan jelas.

"Benar, suhu. Saya pernah melakukan hal itu."

Sepasang mata Ciu-sian Lo-kai terbelalak, juga semua orang terkejut mendengar pengakuan blak-blakan ini. "Ci Kang! Engkau memalukan aku yang menjadi gu-rumu! Aku tidak pernah mengajarkan engkau untuk bertindak biadab seperti itu!"

Dengan sikap tenang Ci Kang menja-wab, "Suhu mengajarkan agar saya ber-sikap jujur dan berani mempertanggung-jawabkan semua tindakan saya."

"Hemm, engkau telah melakukan per-buatan terkutuk, lalu apa tanggung ja-wabmu?" desak kakek tinggi kurus itu dengan marah.

"Saya akan menerima segala hukuman yang dijatuhkan kepada saya untuk per-buatan itu, suhu," jawab Ci Kang dengan tenang dan sedikitpun tidak kelihatan gentar.

Kakek tinggi kurus itu menarik napas panjang dan wajahnya nampak lega. "Ah, setidaknya engkau cukup gagah untuk mengakui kesalahan dan menerima hukuman. Nah, aku yang akan menghukummu di depan orang banyak ini. Aku harus men-cabut sebagian kepandaianmu dan melumpuhkan separuh badanmu!" Berkata demikian, Ciu-sian Lo-kai melangkah maju menghampiri muridnya dan Ci Kang hanya berdiri tenang sambil menundukkan mukanya saja, menanti datangnya hukum-an dengan pasrah.

"Nanti dulu!" Tiba-tiba Cia Sun me-loncat ke depan dan menghadang Ciu-sian Lo-kai. "Locianpwe, harap maafkan kalau aku mencampuri urusan ini karena Ci Kang adalah sababatku yang baik dan a-ku mengenal benar kegagahannya. Kita semua sudah mendengar tuduhan paman Cia Hui Song dan juga Ci Kang tidak menyangkal tuduhan itu dan dia demikian gagahnya untuk mempertanggunjawabkan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. A-kan tetapi di sini kita mempunyai seorang saksi utama yang belum menyatakan kesaksiannya. Cin-moi, mengapa engkau berdiam diri saja? Pendapat semua orang bisa saja keliru, hanya engkau seoranglah yang dapat menjelaskan apa sesungguhnya yang telah teriadi. Aku hanya dapat mempercaya keteranganmu saja dalam hal ini. Benarkah tuduhan paman Hui Song terhadap Ci Kang tadi?"

Kini semua orang memandang kepada Sui Cin. Gadis itu sejak tadi menjadi merah mukanya dan ia sampai kehilangan suaranya saking kaget dan malunya men-dengar betapa Hui Song membuka rahasia Ci Kang itu. Kini, secara langsung Cia Sun bertanya kepadanya dan iapun mena-rik napas panjang lalu memandang kepa-da Ci Keng dengan sinar mata kasihan.

"Apa yang dituduhkan Song-ko memang benar dan tadinya akupun menyangka bahwa saudara Ci Kang melakukan perbuat-an yang amat jahat terhadap diriku. Hal itu terjadi ketika dia dan aku menjadi wakil suku bangsa untuk memilih pimpin-an dan dia terluka oleh jarum-jarumku. Karena merasa menyesal, akupun mengun-junginya dalam perkemahan dan meng-obatinya. Akan tetapi, setelah dia sadar, dia malah melakukan usaha untuk memaksaku... dan pada saat itu, Song-ko muncul dan terjadi perkelahian sampai saudara Ci Kang melarikan diri. Pada waktu itu, tentu saja Song-ko menyangka bahwa saudara Ci Kang hendak memperkosaku, bahkan aku sendiripun mempunyai dugaan demikian."

"Nah, sudah jelas! Tunggu apa lagi?" seru Hui Song.

"Nanti dulu, Song-ko!" kata Sui Cin, mengerutkan alisnya. "Hati yang penuh cemburu mengundang kebencian dan sela-lu berprasangka buruk. Aku tadi menga-takan bahwa pada waktu peristiwa itu terjadi, akupun menduga bahwa saudara Ci Kang telah melakukan perbuatan yang rendah dan jahat. Akan tetapi, kemudian baru aku tahu bahwa hal memalukan itu terjadi bukan karena kesalahannya! Sama sekali dia tidak bersalah!"

Hui Song memandang dengan mata terbelalak dan wajah Cia Sun berseri. Sudah dia duga. Dia tidak akan mungkin dapat percaya bahwa sahabatnya itu me-lakukan hal yang sedemikian rendahnya. Dia, biarpun belum lama bergaul dengan Ci Kang, sudah mengenal pemuda ini se-bagai seorang jantan yang berjiwa gagah perkasa.

"Nona Ceng Sui Cin, bicaralah yang jelas. Nona mengakui bahwa muridku ini telah berusaha memperkosamu, akan tetapi selanjutnya nona katakan bahwa dia tidak bersalah! Apa artinya keteranganmu yang bertentangan itu?" Ciu-sian Lo-kai mendesak.

Kini Ci Kang sendiri merasa amat tertarik. Selama ini, dia hanya merasa amat menyesal atas perbuatannya terhadap Sui Cin itu. Dia sendiri tidak tahu mengapa dia sampai melakukan hal terkutuk itu. Kini, mendengar keterangan Sui Cin, tentu saja dia tertarik sekali dan dia meng-angkat muka memandang kepada gadis i-tu.

"Ketika aku mengunjungi perkemahan saudara Ci Kang untuk mengobatinya, a-ku membawa juga obat dari subo Yelu Kim. Dan ternyata obat itu manjur. A-kan tetapi baru kemudian aku mendengar dari subo Yelu Kim bahwa obat itu me-ngandung racun perangsang dan racun inilah yang membuat saudara Ci Keng melakukan perbuatan itu terhadap diriku. Dia keracunan, bukan sengaja hendak berbuat keji terhadap diriku. Dia tidak ber-salah, yang salah adalah obat pemberian subo Yelu Kim itu."

Bukan main lega rasa hati Cia Sun, Ciu-sian Lo-kai dan terutama Ci Kang sendiri. Pemuda ini menjadi merah lagi mukanya dan dia memandang kepada Sui Cin dengan perasaan terima kasih yang besar. Gadis itu seolah-olah telah mengangkatnya keluar dari dalam jurang ke-hinaan yang membuatnya berduka dan murung. Akan tetapi diapun marah kepada nenek Yelu Kim dan dia mengepal tinju. "Ah, nenek Yelu Kim sungguh keji dan jahat!" katanya.

"Saudara Ci Kang hendaknya tidak salah sangka terhadap subo Yelu Kim!" Sui Cin berkata melihat sikap pemuda itu. "Subo Yelu Kim tidak berniat jahat dengan pemberian obat itu."

"Tidak jahat? Nona, ia hampir membuat aku menjadi seorang hina, membuat aku hampir putus asa karena penyesalan, dan engkau masih mengatakan bahwa dia tidak jahat?" Ci Kang berseru heran.

Sui Cin menggeleng kepala dan tersenyum simpul. "Tidak, ia sama sekali tidak jahat, saudara Ci Kang. Semua terjadi karena selah pengertian. Ketika subo melihat betapa aku merasa menyesal me-lukaimu dan hendak mengobatimu, ia sa-lah sangka. Ia mengira bahwa aku jatuh cinta padamu... dan... dengan obat itu, ia bermaksud hendak membantuku...! Ingat, subo adalah pemimpin suku-suku liar, jadi... dalam hal itu, mungkin saja cara berpikirnya dan kebiasaan suku liar itu sendiri jauh berbeda dengan kita..."

Cia Kong Liang memandang kepada puteranya. "Song-ji, engkau sudah mendengar sendiri sekarang! Lain kali, jangan sembarangan menjatuhkan tuduhan kalau belum mengerti benar apa yang menjadi sebab-sebab perbuatan itu. Tuduban ywg tanpa dasar bisa merupakan fitnah keji."

Wajah Hui Song menjadi merah pa-dam, akan tetapi dengan gagah diapun menjura kepada Ci Kang. "Siangkoan Ci Kang, maafkanlah aku. Akan tetapi, siapa dapat menduga tentang racun itu? Cin-moi sendiri sebelum mendengar dari nenek Yelu Kim juga tidak tahu. Jadi, aku tidak menuduh secara membabi-buta, harap kau dapat memakluminya."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar