Diam-diam Ci Kang merasa kagum. Pemuda itu, biarpun karena cemburunya menjatuhkan tuduhan penuh kebencian kepadanya, namun kini mau mengakui ke-salahannya secara gagah perkasa dan minta maaf. Seperti juga ayahnya yang telah melakukan salah langkah yang amat he-bat dan membawa anak buah membantu para pemberontak, akan tetapi setelah sadar berani bertindak membetulkan langkah, bahkan dengan pengorbanan nyawa isteri dan ayah mertuanya, dan banyak pula anak murid yang menjadi korban.
"Sui Cin! Apa saja yang telah kaulakukan selama ini?" Tiba-tiba terdengar suara teguran yang nyaring, suara seorang wanita dan begitu suara itu berhenti, nampak dua bayangan orang berkelebat dan di situ telah berdiri seorang pria berusia hampir lima puluh tahun yang tampan dan gagah, bersama seorang wanita yang usianya sebaya, cantik dan berpakaian mewah indah seperti pria itu pula. Mereka ini adalah Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis, bersama isterinya, Toan Kim Hong yang pernah berjuluk Lam-sin (Malaikat Selatan).
"Ayah...! Ibu...!" Sui Cin berseru girang bukan main dan cepat ia lari menghampiri mereka dan saling rangkul dengan ibunya. Gadis itu pakaiannya sederhana saja, bahkan agak nyentrik, sedangkan ibunya berpakaian rapi dan mewah, sungguh besar perbedaan pakaian mereka. Akan tetapi wajah mereka sama-sama cantik dan manis.
"Ayah, ibu, mari kuperkenalkan kepada orang-orang gagah ini!" kata Sui Cin dengan lincah gembira sambil menuntun tangan ibunya. "Cu-wi yang gagah, mere-ka ini adalah ayahku dan ibuku! Ayah, i-bu, empat orang kakek ini adalah tokoh-tokoh sakti yang memimpin para pende-kar menghadapi Raja Iblis dan kaki tangannya. Ini adalah suhu Wu-yi Lo-jin yang terkenal dengan sebutan Dewa Arak dan beliau ini telah menjadi guruku, membimbingku selama tiga tahun."
"Heh-heh, aku tua bangka ini telah lancang dan tak tahu diri berani menjadi guru puteri Pendekar Sadis yang amat lihai!" kata Wu-yi Lo-jin. Akan tetapi sambil tertawa Ceng Thian Sin menjura.
"Bimbingan locianpwe terhadap anak kami yang bodoh merupakan budi yang besar sekali dan kami berterima kasih."
Sui Cin melanjutkan. "Dan ini adalah locianpwe Siang-kiang Lo-jin yang disebut Dewa Kipas, lihai dan lucu, juga amat baik hati. Dan yang ini locianpwe Ciu-sian Lo-kai dan Go-bi San-jin. Pemuda ini adalah Cia Sun toako, putera dari paman Cia Han Tiong..."
Cia Sun cepat memberi hormat kepada Pendekar Sadis dan isterinya. Ceng Thian Sin girang sekali melihat Cia Sun dan memegang pundak pemuda itu sambil memandang wajahnya dengan penuh per-hatian. "Ah, kanda Cia Han Tiong me-miliki seorang putera yang gagah perkasa, aku girang sekali."
"Ayah dan ibu, ini adalah enci Tan Siang Wi dan ini koko Cia Hui Song dan ayahnya, ketua Cin-ling-pai, lociawpwe Cia Kong Liang."
Mereka berhadapan dan saling pandang, kemudian Ceng Thian Sin dan isterinya menjura dengan hormat kepada ketua Cin-ling-pai yang dibalas dengan si-kap sederhana oleh Cia Kong Liang sam-bil berkata, "Gembira sekali dapat ber-temu lagi dengan ji-wi di tempat ini."
Sebelum mereka sempat bercakap-ca-kap, tiba-tiba nampak seorang laki-laki berlari-lari mendatangi dan dengan napas agak terengah-engah, pria ini lalu maju dan menudingkan telunjuknya ke arah Hui Song.
"Itu dia! Itulah dia si Jahanam Cia Hui Song, keparat tak mengenal budi. Penjahat keji yang terkutuk itu!" Orang itu lalu menoleh ke arah Pendekar Sadis dan isterinya. "Orang gagah, engkau telah berjanji, cepat tangkap dan seret dia seperti yang telah kaujanjikan!"
Sementara itu, melihat pria ini, Hui Song sudah melangkah maju. "Eh-eh, saudaraku, Lam-nong, apakah yang telah terjadi? Kenapa engkau bersikap seperti ini?"
Lam-nong meloncat ke belakang dan matanya melotot. "Jangan sentuh aku! Apakah engkau mau bunuh aku juga? Sebelum engkau membunuhku, biarlah semua orang gagah ini mendengar perbuatan apa yang telah kaulakukan kepada keluargaku, kepada suku kami!"
Hui Song mengerutkan alisnya dan memandang bingung. Apakah Lam-nong telah menjadi gila, pikirnya. "Saudara Lam-nong, mengapa kau begini?"
"Tak usah berpura-pura. Anak buahku sendiri melihat dengan mata sendiri, dan dia tidak mungkin berbohong. Kami telah menerimamu sebagai seorang sahabat baik, membagimu makanan yang kami makan, minuman yang kami minum. Akan tetapi engkau telah membalas dengan perbuatan terkutuk! Engkau telah mem-bantu pemberontak, menghancurkan semua anak buahku, bahkan engkau telah merampas isteri-isteriku, memaksa mere-ka untuk berjina denganmu dan akhirnya membunuh mereka. Engkau manusia iblis! Terkutuk!" Lam-nong maju menyerang dengan nekat, akan tetapi sekali dorong saja Hui Song membuat dia terpelanting.
Ceng Thian Sin sudah maju dan me-nangkis tangan Hui Song yang hendak menampar Lam-nong. "Dukkk...!" Dan Hui Song merasa lengannya tergetar hebat, maka diapun meloncat ke belakang.
"Aku dan isteriku bertemu dengan dia ini yang hampir gila karena duka mendengar betapa keluarganya hancur. Dan a-nak buahnya melihat sendiri semua yang telah diceritakannya tadi, karena itu, se-belum kesemuanya jelas,
jangan persalahkan dia."
"Tapi, tapi... saya tidak..." Hui Song tergagap, tentu saja tidak berani melawan ayah Sui Cin!
"Song-ji!" Tiba-tiba terdengar suara ayahnya membentak marah. "Apa yang sesungguhnya telah terjadi? Tak mungkin orang menuduhmu membabi-buta tanpa sebab! Heyo ceritakan sejujurnya!"
"Ayah, sungguh mati aku tidak pernah melakukan perbuatan itu..."
"Cia Hui Song, engkau selain jahat juga pengecut, tidek berani mengakui per-buatan sendiri! Anak buahku melihat dengan mata kepala sendiri. Dia melihat engkau dalam kamar bersama isteri-isteriku yang kaupaksa melayanimu! Hayo katakan, tidak benarkah engkau berada di dalam kamar tidur bersama mereka?"
Hui song maklum bahwa terjadi kesalahpahaman yang hebat. Memang kalau orang melihat ketika dia ditawan Sim Thian Bu, melihat betapa selir-selir Lam-nong dipaksa datang melayaninya, orang bisa saja salah paham. "Aku tidak menyangkal. Memang aku berada dalam kamar bersama isteri-isterimu, akan tetapi..."
"Nah, taihiap sudah mendengar sendi-ri. Harap taihiap tangkapkan penjahat ini untukku seperti yang telah taihiap janji-kan!" kata Lam-nong kepada suami isteri Pulau Teratai Merah itu.
"Pemuda tak tahu malu!" tiba-tiba Toan Kim Hong membentak dan tubuhnya sudah menyambar ke depan, ke arah Hui Song. Tangannya terulur untuk mencengkeram pundak Hui Song karena nyonya ini sudah menjadi marah sekali dan merasa yakin akan keterangan Lam-nong.
"Dukkk...!" Tiba-tiba Ci Kong Liang menggerakkan tubuhnya dan dengan cepatnya dia telah menangkis lengan wanita itu sehingga keduanya merasa betapa lengan mereka tergetar hebat oleh pertemuan tenaga dahsyat itu. Toan Kim Hong memandang dan tersenyum mengejek, sinar matanya berkilat.
"Hemmm, bagus sekali! Tadinya ketua Cin-ling-pai telah melakukan salah perhi-tungan dan membantu pemberontak yang bersekutu dengan kaum sesat, apakah kini hendak mengulang lagi dengan mem-bantu anak yang menyeleweng dan mela-kukan perbuatan-perbuatan rendah?"
Akan tetapi dengan sikap angkuh dan tenang, Cia Kong Liang menjawab, "Ke-salahan anak harus dipertanggungjawabkan orang tuanya! Aku sebagai ayahnya masih hidup, mana bisa aku membiarkan saja orang lain hendak menghukum anak-ku? Aku sendiri masih dapat menghajarnya!" Campur tangan Toan Kim Hong ta-di membuat ketua Cin-ling-pai tersing-gung sekali dan kemarahannya tentu saja ditumpahkannya kepada Hui Song yang dianggap menjadi biang keladinya. Tangannya bergerak ke kiri dan tahu-tahu dia sudah mencabut pedang yang tadinya tergantung di punggung Siang Wi. Muridnya terkejut bukan main.
"Suhu...!" Siang Wi berseru dengan muka pucat, akan tetapi gurunya memandang dengan mata penuh teguran sehingga gadis ini menunduk dan takut, akan tetapi mukanya yang pucat menjadi semakin pucat ketika ia melirik ke arah Hui Song.
"Hui Song, engkau tahu bahwa kita orang-orang Cin-ling-pai selalu berani mempertanggungjawabkan perbuatan kita dan bahwa kita selalu siap menerima hukuman untuk perbuatan kita. Nah, untuk perbuatanmu itu, aku perintahkan engkau untuk membuang sebelah lenganmu. Engkau hendak melakukannya sendiri ataukah harus aku yang melaksanakannya?"
Semua orang terbelalak dan Sui Cin mengeluarkan seruan tertahan, matanya dibuka lebar-lebar memandang kepada Hui Song. Ia sendiri tidak dapat percaya bahwa pemuda yang dicintanya itu telah melakukan perbuatan yang demikian jahatnya seperti yang dituduhkan Lam-nong. Akan tetapi kalau saksi telah ada, bahkan ayah bundanya sendiri sudah percaya, apa yang dapat ia lakukan? Hatinya me-rasa tegang bukan main dan rasanya ia ingin lari saja meninggalkan tempat yang menegangkan itu.
Hui Song yang biasanya lincah gembi-ra itu, kini wajahnya menjadi agak pucat dan lesu. Dia mengenal watak ayahnya yang keras dan memegang peraturan dengan patuh, sedikitpun tidak dapat dita-war-tawar lagi. Membantah ayahnya tia-da gunanya, hanya menimbulkan gambar-an bahwa dia tidak berani menghadapi akibat daripada hukuman itu saja. Akan tetapi, menerima hukuman itupun meru-pakan sesuatu yang amat penasaran ka-rena dia sama sekali tidak pernah mela-kukan perbuatan laknat seperti yang dituduhkan Lam-nong kepadanya.
"Ayah, aku bukan seorang pengecut yang suka mengelak hukuman, kalau me-mang aku bersalah. Dan aku merasa tidak bersalah. Akan tetapi, kalau ayah menetapkan demikian, terserah kepada a-yah!" Dengan berani dia menatap pan-dang mata ayahnya dan melihat betapa sinar mata orang tua itu suram dan layu. Teringatlah dia bahwa baru saja ayahnya kehilangan ibunya dan juga kongkongnya. Dia tahu betapa hebat penderitaan yang terasa dalam batin ayahnya dan kini ha-rus menghadapi urusannya pula. Dia me-rasa kasihan sekali.
"Ayah, kalau hal itu menyenangkan hatimu, laksanakanlah hukuman itu!" ka-tanya dengan gagah dan ikhlas.
Ucapan Hui Song ini oleh Cia Kong Liang yang sedang merasa terhimpit batinnya itu diterima sebagai tantangan dan keikhlasan itu dianggap sebagai pengakuan bersalah, maka dis mengambil ke-putusan bulat untuk melaksanakan hukuman itu atas diri putera tunggalnya! Hatinya akan hancur dan kecewa sekali, akan tetapi di samping itu masih akan terhi-bur oleh rasa bangga bahwa keluarganya tetap bersikap jantan dan tidak lari dari-pada pertangungan jawab! Maka, karena tahu akan kelihaian puteranya, diapun menggerakkan pedangnya dengan jurus yang diambil dari ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut. Bukan main hebatnya serangan ini, ketika pedang yang dipinjamnya dari Siang Wi karena pedangnya sendiri lenyap ketika dia tertawan, berkelebat menyam-bar ke arah lengan Hui Song!
Biarpun yang hadir di situ adalah orang-orang sakti yang berilmu tinggi, na-mun tak seorangpun di antara mereka yang berani mencampuri. Apa yang sedang terjadi itu adalah urusan antara a-nak dan ayah dan sang ayah adalah ke-tua Cin-ling-pai yang sikapnya demikian keras, angkuh dan penuh wibawa. Mereka semua hanya memandang dengan mata terbelalak dan hati diliputi ketegangan.
"Crakkkk...!" Terdengar jeritan Siang Wi dan Sui Cin dan nampak sebuah lengan kiri sebatas siku terbabat putus dan jatuh ke atas tanah, darahpun muncrat keluar dari lengan yang buntung.
"Ci Kang...!" Cia Sun dan Ciu-sian Lo-kai menubruk Ci Kang yang agak terhuyung itu. Kiranya tadi, ketika melihat pedang menyambar ke arah tubuh Hui Song, Ci Kang yang berdiri dekat dengan Hui Song, cepat menangkis dengan lengan kirinya. Dia sudah mengerahkan sin-kang ketika me-nangkis. Akan tetapi, gerakan pedang itu bukanlah gerakan biasa, melainkan meru-pakan jurus ampuh dari Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum), maka tak dapat dihindarkan la-gi, lengan kiri Ci Kang mulai bawah siku terbabat buntung!
Cia Sun merangkul sahabatnya dan Ciu-sian Lo-kai menyuruh muridnya duduk bersila, lalu dia menotok jalan darah di pundak dan pangkal lengan untuk menghentikan darah yang bercucuren keluar.
"Aku membawa obat luka yang amat manjur!" kata Toan Kim Hong yang bersama suaminya bersikap biasa saja. Mereka berdua ini sudah terlalu sering menyaksikan hal-hal yang amat hebat terjadi di dunia persilatan, dilakukan oleh kaum persilatan yang memang berwatak aneh-aneh. Biarpun mereka terkejut juga melihat kenekatan Ci Kang, namun mereka tidak sampai menjadi bingung seperti yang lain. Dengan cekatan nyonya ini lalu menaruhkan obat bubuknya pada lengan yang buntung dan membalut lengan buntung itu dengan sehelai saputangan bersih. Ci Kang tadi duduk bersila dan mengumpulkan hawa murni untuk melawan rasa nyeri dan kini sudah ber-sikap biasa.
Cia Kong Liang yang terbelalak kaget melihat betapa pedangnya ditangkis orang dan malah membuntungkan lengan Ci Kang yang dikaguminya, melepaskan pe-dang itu dan dia hanya dapat mengeluh dan menghapus peluhnya dengan saputangan, tak mampu mengeluarkan kata-ka-ta.
Setelah pemuda itu diobati dan semua orang memandang kepadanya, barulah ke-tua Cin-ling-pai itu berkata kepada Ci Kang, "Ci Kang, apa artinya perbuatan-mu itu? Mengapa engkau melakukan itu?"
Ci Kang mengangkat muka meman-dang ketua Cin-ling-pai itu dan tersenyum masam. "Locianpwe tidak boleh menghukum orang yang tidak bersalah dan aku-lah agaknya satu-satunya orang yang menjadi saksi bahwa Cia Hui Song me-mang tidak bersalah."
Tentu saja ketua Cin-ling-pai itu terkejut bukan main, juga semua orang yang hadir di situ kini memandang Ci Kang dengan penuh perhatian. Lam-nong melangkah maju dengan marah. "Orang muda, apa yang kaulakukan ini memang aneh dan gagah perkasa, dan untuk pengorbanan lenganmu guna orang lain ini sudah membuat aku kagum sekali. Akan tetapi jangan kau main-main dengan kesaksian itu. Ingat, orang-orangku sendiri sampai mati tidak akan berbohong dan mereka melihat dengan mata kepala sendiri betapa Cia Hui Song ini telah..."
"Harap suka dengarkan dulu penjelasanku. Akupun mendengar rahasia itu secara kebetulan saja dan dibicarakan oleh pelaku-pelakunya sendiri." Dia lalu dengan singkat menceritakan betapa dia melihat Hui Song ditawan oleh Sim Thian Bu dan kemudian mendengar pula percakapan antara Sim Thian Bu dan Hui Song, betapa Sim Thian Bu membujuk Hui Song untuk menakluk kepada Raja Iblis, juga mendengar betapa Thian Bu telah memaksa isteri-isteri Lam-nong untuk merayu Hui Song dan sengaja membiarkan kakek anak buah Lam-nong untuk melihat adegan itu sehingga nama baik Hui Song akan tercemar dan akan terjadi bentrok antara Lam-nong dan Hui Song.
"Semua itu kudengar sendiri dan aku tahu siapa Sim Thian Bu. Dia adalah be-kas suteku dan aku tahu akan kejahatan-nya. Cia Hui Song telah difitnah dan la-poran kakek anak buah bangsa Mancu itu memang benar, hanya dia tidak tahu bahwa pada waktu dia melihat empat orang isteri-isteri saudara Lam-nong berada da-lam satu kamar bersama Hui Song, dia sedang dalam keadaan tertotok dan tidak mampu bergerak."
"Ahhh...!" Lam-nong berseru dan laki-laki ini lalu menangis! Dia sudah dihimpit kedukaan karena keluarganya binasa semua, kini ditambah lagi dengan kekeliruan sangka sehingga mengakibatkan sahabat baiknya Cia Hui Song hampir saja terhukum.
"Hemm...!" Cia Kong Liang juga mengeluarkan seruan tertahan dan bermacam perasaan terkandung dalam seruan itu. Ada perasaan lega karena ternyata putera kandungnya itu tidak berdosa, a-kan tetapi juga ada perasaan menyesal karena pedangnya, walaupun tidak dise-ngaja, telah membuntungkan lengan Ci Kang yang gagah perkasa.
"Ci Kang... ah, Ci Kang...!" Tiba-tiba Hui Song menjatuhkan dirinya berlutut di depan Ci Kang dan merangkul pundak pemuda tinggi besar itu. Biarpun Hui Song seorang pemuda perkasa yang gagah berani dan berbatin kuat, namun sekali ini keharuan membuat dia tidak kuasa menahan mengalirnya air matanya.
"Aku... aku telah berdosa kepadamu dan engkau malah melimpahkan budi tiada hentinya kepadaku! Engkau pernah membebaskan aku dari tawanan Sim Thian Bu dan aku malah mengajakmu berkelahi. Engkau datang ke benteng Jeng-hwa-pang untuk bergabung dengan para pendekar dan aku malah menghinamu dan mengajak para pendekar menyerangmu karena engkau putera mendiang Iblis Buta. Dan aku... tadi aku telah menuduhmu melakukan perbuatan keji terhadap Cin-moi... dan kini... engkau malah membelaku, engkau membersihkan namaku dan engkau... engkau bahkan rela mengorbankan sebuah lenganmu untukku...! Ci Kang, mengapa engkau begini baik sedangkan aku begini jahat dan kejam karena cemburu?"
Ci Kang menepuk-nepuk pundak Hui Song dengan tangan kanannya, lalu dia bangkit berdiri, mengebut-ngebutkan ba-junya dengan tangan kanan, wajahnya pu-cat dan senyumnya pahit. "Sudahlah Hui Song. Aku melakukan ini memang sudah seharusnya, dan di samping itu, aku... aku..." Dia mellrik ke arah Sui Cin, "aku tidak ingin melihat nona Sui Cin menderita, dan kalau lenganmu buntung, tentu nona Sui Cin akan menderita. Aku... aku hanya anak seorang datuk sesat yang amat jahat, biarlah buntungnya lenganku ini sedikit meringankan hukuman bagi ayah kandungku di neraka... nah, selamat tinggal. Suhu, ampunkan teecu, selamat tinggal!" Dia menjura kepada Ciu-sian Lo-kai, lalu memungut buntungan lengannya dari atas tanah.
"Ci Kang...! Kau... maafkanlah aku...!" Sui Cin terisak sambil menyentuh lengan kanan pemuda itu. Sejenak Ci Kang memandang kepada wajah gadis i-tu, menarik napas panjang dan berbisik lirih.
"Nona... semoga engkau berbahagia..." Dan diapun cepat meloncat dan melarikan diri pergi dari tempat itu.
Tiba-tiba Ciu-sian Lo-kai tertawa ber-gelak. "Ha-ha-ha, Go-bi San-jin, bagaimana sekarang? Masih engkau menganggap keliru sikap pendekar besar Cia Han Tiong? Lihat, bagaimana seorang putera datuk sesat yang amat kejam dan jahat telah berobah menjadi seorang pendekar budiman yang mengagumkan. Ha-ha-ha!"
Go-bi San-jin mengelus mukanya dan diapun menarik napas panjang. "Engkau benar... engkau benar... akan tetapi ba-gaimanapun juga, muridku tidak berobah menjadi seorang yang jahat, melainkan tetap seorang pendekar yang adil dan ju-jur." Tentu saja tidak ada yang mengerti apa maksudnya percakapan antara dua orang kakek itu, bahkan Cia Sun sendiri hanya memandang heran mendengar be-tapa nama ayahnya terbawa dalam percakapan itu.
Sementara itu, Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin melangkah maju dan kedua-nya tertawa ha-ha-hi-hi setelah tadi sa-ling memberi isyarat dengan pandang mata mereka. Mereka itu seperti saling do-rong dengan sikap mereka, seperti dua orang anak-anak yang malu-malu ingin mengatakan sesuatu, dan akhirnya Wu-yi Lo-jin mengalah dan kakek pendek inilah yang bicara.
"Heh-heh-heh, kebetulan sekali di sini hadir orang-orang gagah Cia Kong Liang dan suami isteri Ceng Thian Sin, dan ju-ga anak-anak mereka atau murid-murid kami. Sungguh kebetulan sekali karena saat inilah yang teramat baik untuk bi-cara soal perjodohan. Pangcu dari Cin-ling-pai sudah mendengar bahwa putera-nya jatuh cinta kepada muridku, Ceng Sui Cin dan bagaimana pendapat pangcu kalau saat pertemuan ini, selagi kita semua berkumpul, dibicarakan tentang ikatan jodoh antara Hui Song dan Sui Cin?"
Ketua Cin-ling-pai itu mengerutkan alisnya, memandang kepada kakek pendek itu lalu menarik napas panjang dua kali. "Locianpwe, sudah banyak aku mencam-puri urusan dan semuanya menjadi gagal dan rusak. Oleh karena itu, urusan perjo-dohan Hui Song terserah kepadanya dan kepada locianpwe yang sudah menjadi gu-runya. Aku sih setuju saja, akan tetapi sekarang aku masih mempunyai kepentingan lain, biarlah lain hari saja kita bica-rakan hal itu. Cu-wi maafkan, aku harus pergi dulu. Song-ji, mari bantu aku mencari dan mengurus jenazah ibumu dan kong-kongmu."
Mendengar ini, semua orang terkejut dan baru teringat bahwa ketua Cin-ling-pai ini baru saja tertimpa musibah, bah-kan belum sempat mencari jenazah iste-rinya dan ayah mertuanya. Juga Hui Song tidak berani membantah perintah ini, maka pemuda itupun menoleh kepada Sui Cin, melempar pandang mata penuh arti lalu memberi hormat kepada empat orang kakek itu dan juga kepada Ceng Thian Sin dan isterinya. Kemudian ketua Cin-ling-pai menjura kepada semua orang lalu pergi dengan cepat diikuti Hui Song, Siang Wi dan para anggota Cin-ling-pai.
Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin saling pandang, keduanya menggerakkan pundak seperti kehabisan akal, akan tetapi Siang-kiang Lo-jin tidak kekurangan akal. "Aha, sayang sekali ketua Cin-ling-pai mempunyai urusan yang amat penting, akan tetapi di sini masih ada orang tua dan juga guru dari Ceng Sui Cin, masih ada kesempatan untuk membicarakan urusan itu walaupun hanya sepihak."
Mendengar ini, Wu-yi Lo-jin juga ter-tawa. "Heh-heh, benar juga, benar juga. Bagaimana, Ceng-sicu dan juga toanio, ji-wi sudah mendengar bahwa antara pu-teri ji-wi dan putera ketua Cin-ling-pai itu ada hubungan kasih dan mereka ber-dua sudah bersepakat untuk mengikat perjodohan, dan kami berdua sebagai guru-guru mereka sudah merasa cocok sekali!"
"Hemm, aku tidak suka mempunyai mantu pemuda itu!" tiba-tiba Toan Kim Hong berseru.
Suaminya menyambung, "Sesungguhnya, keluarga Cia dari Cin-ling-pai itu terlalu angkuh dan ketinggian hati itu membuat kami tidak suka untuk berbesan dengan mereka..."
"Ayah! Ibu!" Sui Cin berteriak marah, "Agaknya ayah dan ibu masih ingin me-maksaku untuk menerima pinangan si pe-solek Can Koan Ti itu, ya? Ayah dan ibu ingin sekali berbesan dengan Pangeran Can Seng Ong, seorang pangeran dan ju-ga gubernur di Ce-kiang! Baiklah, ayah dan ibu saja yang menikah dengan mere-ka. Akan tetapi aku tidak sudi!" Setelah berkata demikian, Sui Cin meloncat dan melarikan diri sambil menangis!
"Sui Cin...!" teriak Pendekar Sadis marah, akan tetapi anaknya tidak perduli dan sudah lari cepat lenyap dari situ. Ketika dia mendengar suara gerakan halus dan menengok, ternyata Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin, dua orang kakek, telah lenyap pula dari situ.
"Hemm, anak itu menjadi besar kepala karena ulah dua orang kakek itu," kata Toan Kim Hong marah. "Setelah merantau dan berguru, Sui Cin malah menjadi seorang anak yang durhaka terhadap orang tuanya! Kakek itu perlu dihajar!"
Dan nyonya yang galak itu sudah melompat untuk melakukan pengejaran. Akan tetapi ia dipeluk dari belakang oleh sua-minya.
"Eh, eh, eh, jangan marah-marah du-lu. Ingat, dua orang kakek itu adalah orang-orang sakti yang mencinta Sui Cin dan bermaksud baik. Pula, jangan kira bahwa kita akan mudah saja dapat me-ngalahkan mereka."
"Aku tidak takut!"
"Eit-eitt, nanti dulu. Tentu saja kita tidak mengenal takut, akan tetapi itu kalau berhadapan dengan orang-orang ja-hat dan untuk menentang kejahatan. Se-karang persoalannya lain lagi. Mereka bukan orang jahat, bahkan guru Sui Cin dan mereka berniat baik. Mari kita ke-jar mereka dan kita bicara dengan baik. Ingat, Sui Cin hanya anak tunggal kita, demi kebahagiaannya kita harus dapat merundingkan hal ini dengan perlahan den dengan baik."
Setelah dibujuk suaminya, Toan Kim Hong mulai sabar dan merekapun meninggalkan tempat itu. Kini di situ tinggal Cia Sun dan dua orang kakek, Ciu-sian Lo-kai dan Go-bi San-jin yang sejak tadi hanya menjadi penonton.
Ciu-sian Lo-kai tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, betapa lucunya manusia di dunia ini, sungguh dunia ini tiada lain hanya sebuah panggung sandiwara dan manusia-manusianya menjadi badut-badut yang ka-dang-kadang tidak lucu sama sekali. Lihat itu Raja Iblis dan Ratu Iblis. Raja Iblis tadinya seorang pangeran besar, bahkan kemudian dia sudah merobah diri menjadi seorang pertapa yang berilmu tinggi sekali. Akan tetapi, ternyata dia masih belum puas dengan hidupnya dan menjangkau yang lebih tinggi. Dan apa jadinya sekarang? Dia dan isterinya hanya merupakan seonggok daging!" kakek itu menggeleng-geleng kepala.
Go-bi San-jin juga menarik napas panjang. "Manusia berbunuh-bunuhan, mayat berserakan, semua itu hanya untuk me-ngejar cita-cita kosong dan saling mem-pertahankan kebenaran masing-masing, kebenaran kosong! Lihat itu...!" Dia menunjuk ke arah pasukan yang sudah tiba di situ dan kini sedang mengurus mayat-mayat yang berserakan. "Semua kalau su-dah menjadi mayat, ya sama saja, sama-sama membusuk. Ketika masih hidup, ju-ga bergelimang dalam kebusukan walau-pun semua cita-cita untuk kebaikan. Be-tapa lucunya, lucu dan menyedihkan. Be-tapa hidup hampir dipenuhi sengsara be-laka."
Mendengar percakapan kedua orang kakek itu, Cia Sun teringat kepada ayah-nya dan tiba-tiba saja dia melihat betapa ayahnya adalah seorang bijaksana dan berbatin mulia. Ayahnya tidak mendendam, walaupun kehilangan isteri. Ayahnya dapat menerima segala hal yang menimpa dirinya dengan tenang, penuh kewaspada-an, tidak dikuasai oleh nafsu-nafsu ama-rah dan kebencian. Dan tiba-tiba saja dia merasa rindu kepada ayahnya. Juga dia harus menemui ayahnya untuk suatu hal. Dia tahu bahwa Sui Cin tidak dapat di-harapkannya lagi, bahwa Sui Cin mencin-ta Hui Song. Akan tetapi pertemuan dan perkenalannya dengan Tan Siang Wi, mu-rid Cin-ling-pai itu, menghidupkan kembali harapannya untuk dapat berbahagia di samping seorang wanita. Dia amat tertarik kepada Siang Wi, gadis yang manis dan gagah perkasa itu. Diapun tahu bah-wa gadis itu sebetulnya mencinta Hui Song, dan seperti juga dia mencinta tan-pa balasan, hanya bertepuk tangan sebe-lah. Siang Wi mencinta Hui Song dan dia mencinta Sui Cin, akan tetapi dua orang yang mereka cinta itu ternyata saling mencinta. Maka, kalau kini dia tertarik kepada Siang Wi, alangkah baiknya kalau dia berjodoh dengan Siang Wi, dengan demikian, rasa penasaran terobati dan mereka dapat saling menghibur!
"Suhu, teecu ingin menengok ayah," tiba-tiba dia berkata kepada Go-bi San-jin.
Kakek ini maklum akan isi hati muridnya. Dia tahu bahwa muridnya ini agak-nya patah hati karena cintanya terhadap Sui Cin tidak terbalas. Sebagai orang-orang yang waspada, baik Ciu-sian Lo-kai maupun Go-bi San-jin sama-sama maklum bahwa murid masing-masing itu telah ja-tuh cinta kepada puteri Pendekar Sadis, dan keduanya telah ditolak karena gadis itu ternyata mencinta putera ketua Cin-ling-pai.
"Engkau mau pulang ke Lembah Naga? Baiklah, karena pekerjaan di sinipun sudah selesai, pulanglah dan laporkan se-gala yang terjadi kepada ayahmu. Kelak, kalau ada jodoh kita pasti akan bertemu lagi," kata Go-bi San-jin.
Cia Sun lalu pergi dan diikuti pandang mata dua orang kakek itu. Mereka berdua itu masih tenggelam ke dalam pi-kiran masing-masing, menyaksikan semua peristiwa di dunia ini, melihat semua ulah manusia yang berlomba mencari ke-bahagiaan namun hanya berakhir dengan kesengsaraan.
Sesungguhnya, kalau kita mau melihat kenyataan, timbul sebuah pertanyaan. Dapatkah kebahagiaan dikejar dan dicari? Sebelum menjawab ini, sebaiknya diselidiki lebih dahulu apakah sesungguhnya yang dimaksudkan dengan BAHAGIA itu? Apakah kebabagiaan itu kepuasan hati karena tercapainya sesuatu yang diinginkan? Kalau begini, bahagia itu terbatas sekali dan hanya berumur beberapa lama saja karena kepuasan inipun hanya sementara, dan segera berobah dengan kebosan-an. Apakah bahagia itu kesenangan? Juga tidak, karena kesenangan hanyalah pemuasan nafsu belaka, rasa nyaman dan enak bagi badan kita dan pikiran, dan kese-nangan inipun hanya sementara saja, a-mat pendek umurnya, dan kesenangan biasanya diseling kebosanan dan bahkan mempunyai saudara kembar, yaitu kesu-sahan, seperti tawa dan tangis yang da-tang silih berganti seperti datangnya mu-sim. Kalau semua itu bukan, lalu apakah yang dimaksudkan dengan kebahagiaan?
Bagaimana kita dapat menggambarkan kebahagiaan kalau kita sendiri selalu berada dalam permainan susah dan senang, kalau kita selalu diombang-ambingkan gelombang nafsu? Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang mati, bukan sesuatu yang sudah pasti sehingga mudah dicari dan dicapai. Kalau kita menghentikan segala kesibukan pikiran kita yang mengejar-ngejar kesenangan, mengejar-ngejar kebaha-giaan itu sendiri, kalau kita sudah tidak terseret lagi ke dalam tarikan-tarikan susah dan senang yang bertentangan, kalau sudah tidak ada lagi konflik atau pertentangan dalam batin antara kenyataan yang ada dan gambaran yang kita ingin-kan, kalau KITA SUDAH TIDAK MENGE-JAR APA-APA, tidak menginginkan apa-apa yang berada di luar jangkauan kita, nah, mungkin sekali kita akan dapat me-rasakan dan mengerti apa artinya baha-gia itu.
Jelaslah bahwa yang dapat dikejar dan dicari hanyalah kesenangan dan kepuasan sementara dari dorongan keinginan kita untuk mendapatkan kesenangan itu. dengan demikian, kebahagiaan itu tidak mungkin dapat dicari, tidak mungkin bisa didapatkan melalui pengejaran.
Kita selalu condong untuk mengejar. Karena mengira bahwa kebahagiaan ber-ada di luar diri, kita mengejar keluar, kita merobah-robah yang berada di luar. Maka terjadilah pergolakan-pergolakan, terjadilah revolusi-revolusi, terjadilah pe-rang. Kita selalu condong untuk membuat keindahan di luar diri. Kita lupa bahwa sesungguhnya, yang indah itu berada di dalam, yang indah itu timbul dari dalam, dan bahagia itu adalah urusan batin, urusan di dalam diri kita sendiri. Tinggal di dalam sebuah gedung memang senang a-kan tetapi belum tentu bahagia, sebalik-nya tinggal di dalam gubuk mungkin saja merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan tidak berada di dalam gedung indah, tidak berada dalam makanan lezat, tidak ber-ada dalam kedudukan tinggi atau di an-tara tumpukan emas.
Kalau batin sudah tidak mengejar-ngejar, tidak mencari-cari apa yang berada di luar jangkauan kita, maka batin itu a-kan menjadi tenteram dan kita dapat menerima segala sesuatu sebagai hal yang wajar, tanpa mengeluh sedikitpun juga, bahkan dengan senyum tulus ikhlas kare-na kewaspadaan membuat kita mengerti bahwa segala itu merupakan suatu kenya-taan dan kenyataan itu mengandung ke-indahan. Segala sesuatu di dunia ini me-ngandung keindahan bagi batin yang tidak mencari apa-apa. Baik hujan, maupun pa-nas, dihadapi dengan senyum dan dipandang sebagai suatu keindahan, tanpa keluhan karena tidak ada yang perlu dikeluhkan, karena tidak ada penyesalan dalam batin, karena tidak ada hal-hal yang bertentangan dengan yang dicari, karena memang tidak ada yang dicari-cari! Dalam keadaan inilah kita mungkin sekali akan merasakan dan mengerti apa sesungguhnya hakekat kebahagiaan itu.
Tidak mencari kesenangan ini sama sekali bukan berarti bahwa kita menolak kesenangan! Orang-orang yang menolak kesenangan, mengasingkan diri di puncak bukit, mengharamkan segala hal yang mendatangkan rasa enak dan nikmat, sesungguhnya adalah orang-orang yang MENCARI KESENANGAN, dalam bentuk lain! Memang, dalam mencari kesenangan, orang seringkali lupa diri, dan bahkan mau bersusah payah menyiksa diri, dalam mengejar kesenangan yang dinamakan cita-cita. Dan andaikata yang dikejar dengan cara menyiksa diri itu tercapai, maka yang didapatkannya itupun hanyalah suatu bentuk kepuasan, suatu bentuk kesenangan perasaan belaka yang ekornya dapat berupa kekecewaan dan kebosanan pula. Perasaan enak, nyaman, nikmat yang dinamakan kesenangan adalah suatu anugerah hidup. Tubuh dan perasaan kita dibekali alat-alat penangkap rasa senang ini, dan kita berhak menikmati kesenangan dalam hidup ini. Kesenangan adalah berkah dan sama sekali tidak berbahaya. Yang berbahaya adalah PENGEJARAN itulah, PENCARIAN itulah, karena dalam mengejar inilah timbulnya segala macam perbuatan yang merugikan orang lain, yang pada umumnya disebut jahat. Pengejaran kesenangan yang berbentuk kedudukan dan kemuliaan, seperti yang terjadi pada Raja dan Ratu Iblis, menimbulkan perang dan permusuhan, bunuh-bunuhan antara manusia. Pengejaran kesenangan dalam bentuk harta benda menimbulkan perbuatan-perbuatan curang, korupsi, penipuan, perampokan, pencurian dan sebagainya. Pengejaran terhadap kesenangan dalam bentuk nafsu berahi menimbulkan perkosaan, pclacuran, dan sebagainya dan segala macam perbuatan yang pada umumnya merugikan dan dianggap jahat, kalau ditelusur, sudah pasti dasarnya adalah pengejaran kesenangan itu.
Akan tetapi, orang yang tidak menge-jar kesenangan, menganggap segala hal yang terjadi merupakan suatu kewajaran dan di dalam kewajaran ini, di mana tidak terdapat keluhan, tidak terdapat kekecewaan karena tidak ada pengejaran, terkandunglah kesenangan yang lain lagi! Kenikmatan karena memang cita rasa menganggapnya enak, bukan kenikmatan karena tercapainya suatu pengejaran. Bagi orang yang tidak mengejar, memper-oleh minuman apapun akan terasa nikmat, baik itu berupa air jernih belaka maupun minuman yang mahal harganya. Kenik-matan terdapat pula di dalam nasi sam-bal maupun dalam nasi beserta masakan yang mahal bagi mereka yang tidak me-ngejar.
Bukan berarti pula bahwa orang yang tidak mengejar kesenangan lalu menjadi lumpuh semangat dan duduk menganggur! Sama sekali tidak demikian! Akan tetapi, orang bahagia seperti ini, kalau bekerja, bukan bermaksud mengejar uang, melainkan melakukan suatu pekerjaan yang ber-manfaat dan yang sesuai dengan minat-nya sehingga di dalam pekerjaan itu sen-diri dia sudah mengecap kenikmatan! U-ang sebagai upah atau hasil pekerjaannya hanya merupakan akibat saja dalam du-nia yang kesemuanya sudah diukur dengan uang ini. Akan tetapi uang bukan menjadi tujuan utama untuk dikejar me-lalui pekerjaan. Kalau pekerjaan itu dila-kukan sebagai cara untuk mencari uang, maka akan timbul hal-hal yang buruk dan curang, pekerjaan itu mungkin menjadi kotor, pegawai berkorupsi, pedagang me-nipu dan memalsu, manipulasi, penyelun-dupan, dan sebagainya lagi keburukan yang terdapat dalam pekerjaan dan perdagang-an.
Sejak ribuan tahun yang lalu, para cerdik pandai, para cendekiawan, para budiman sudah berusaha mati-matian untuk mencari cara yang baik agar manusia dapat hidup benar dan besar. Berbagai macam cara hidup telah diciptakan ma-nusia dengan berbagai paham (isme), ber-bagai garis hidup telah dipaksakan kepada manusia. Akan tetapi, kalau kita sekarang menengok keadaan di seluruh dunia, semua cara itu ternyata tidak menolong, tidak dapat membebaskan manusia daripada kesengsaraan, daripada kemurkaan, ketamakan, ketakutan, kebencian dan permusuhan. Ternyata segala macam kedudukan tinggi, kehidupan mewah, ilmu pengetahuan yang tinggi-tinggi, tidak mampu memperbaiki kehidupan batin manusia, tidak mampu mengusir kesengsaraan manusia, tidak mampu mendatangkan KEBAHAGIAAN dalam batin manusia. Tidak ada paham (isme) apapun, tidak ada cara apapun, yang akan dapat merobah batin manusia kecuali dirinya sendiri. Dan perubahan itu baru bisa terjadi kalau kita mau mengenal diri sendiri, mengamati diri sendiri dan lika-liku kehidupan kita setiap hari dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan. Pengamatan yang mendalam setiap saat akan membuka mata kita bahwa kita sendirilah sumber segala derita, kita sendirilah pencipta kesengsaraan, kita sendiri yang menjauhkan diri dari kebahagiaan, menjauhkan diri dari Tuhan! Tuhan dengan segala berkahNya berlimpahan tidak pernah sedetikpun menjauhi kita. Adalah kita yang setiap saat, demi pengejaran kesenangan, menjauhi Tuhan dan setelah akibat pengejaran itu menjerumuskan kita ke dalam lembah kesengsaraan, kita berteriak-teriak mengeluh kenapa Tuhan meninggalkan kita!
Orang bahagia akan selalu menerima segala hal yang terjadi sebagai suatu kenyataan hidup tanpa menilai hal itu sebagai baik atau buruk. Tidak mengeluh, tidak menyalahkan siapapun, melainkan membuka mata dengan waspada akan gerak-gerik "monyet putih" yang bercokol di dalam pikiran kita.
Gadis itu menangis sejadi-jadinya sambil duduk di bawah pohon di tempat sunyi itu. Ia tidak perduli pakaiannya kotor terkena tanah yang agak basah. Ia duduk dan menopang kepala yang ditundukkan, muka yang disembunyikan di an-tara kedua lengannya yang bersilang dan melintang di atas kedua lututnya.
Sui Cin adalah seorang gadis yang biasanya keras hati, berandalan, gembira dan tidak pernah menangis. Bahkan tangis di-anggapnya suatu kecengengan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang gagah. Akan tetapi sekali ini, makin diingat ke-adaan dirinya, makin sedih hatinya dan makin keras tangisnya. Apalagi di situ tidak terdapat orang lain sehingga ia boleh menangis sepuas hatinya tanpa dili-hat orang lain.
Betapa hatinya tidak akan berduka? Peristiwa yang menimpa diri Ci Kang, yang mengakibatkan buntungnya lengan kiri pemuda itu, membuat hatinya terasa pedih karena ia tahu bahwa Ci Kang mengorbankan lengannya semata-mata untuk dirinya, karena Ci Kang hendak melindungi Hui Song yang diketahuinya men-jadi pilihan hatinya. Juga ia maklum bahwa biarpun tidak menyatakan sesuatu, Cia Sun juga patah hati karena cinta kepadanya dan tidak dibalasnya. Hatinya telah melekat kepada Hui Song dan hanya pemuda itulah yang telah menawan hatinya. Ia mencinta Hui Song dan mengharapkan untuk menjadi isteri putera ke-tua Cin-ling-pai itu. Akan tetapi, ayah dan ibunya tidak setuju! Dan mengingat betapa setelah bertahun-tahun berpisah dari ayah bundanya, kini begitu bertemu ia terpaksa berselisih paham dengan mereka, sungguh merupakan peristiwa yang amat menyedihkan hatinya. Kalau menu-rutkan perasaan hatinya, ia boleh tidak ambil perduli terhadap ayah bundanya dan langsung saja menemui Hui Song dan hidup bersama pemuda itu selamanya. A-kan tetapi ia tahu bahwa perbuatannya itu akan menghancurkan perasaan hati orang tuanya yang hanya mempunyai anak ia seorang saja.
"Hu-hu-huuuhhh...!" Ia tersedu lagi dan menyembunyikan mukanya di antara lengan, tubuhnya terguncang karena tangisnya.
Sebuah tangan dengan halus menyen-tuh pundaknya dan terdengar suara ketawa terkekeh. "Heh-heh-heh, sungguh lucu melihat engkau menangis! Engkau sama sekali tidak pantas kalau menangis, Sui Cin, seperti masakan kurang garam!"
Sui Cin mengangkat mukanya dan me-mandang kepada kakek katai yang men-jadi gurunya itu dengan mulut cemberut. "Suhu malah mengejek, ya? Tidak tahu orang sedang susah, malah diejek. Apa artinya orang menangis seperti masakan kurang garam?" katanya dengan marah.
"Heh-heh-heh, bagaimana rasanya ma-sakan kurang garam? Tentu saja hambar dan tidak enak. Tangismu juga demikian, tidak enak dipandang, tidak sedap didengar, tidak menyedihkan malah menggeli-kan. Maka, jangan menangis!"
Akan tetapi, Sui Cin teringat kembali akan keadaan dirinya dan tanpa memper-dulikan ejekan gurunya, iapun menangis lagi.
"Ha-ha-ha, muridmu ternyata hanya seorang bocah perempuan yang cengeng dan lemah sekali, Ciu-sian! Ha-ha-ha!"
Sui Cin kembali mengangkat mukanya dan memandang kepada Siang-kiang Lo-jin dengan mata melotot. "Siapa cengeng?" katanya marah. "Kalau kalian berdua yang mengalami hal seperti aku, mungkin su-dah membunuh diri!"
Dua orang kakek itu saling berpan-dangan lalu keduanya tertawa bergelak. "Kami tidak pernah jatuh cinta, apalagi kerepotan dalam memilih jodoh!" kata kakek pendek berjenggot panjang Wu-yi Lo-jin atau Dewa Arak. "Sudahlah, Sui Cin, engkau adalah muridku yang baik, yang gagah perkasa, yang berbatin kuat. Kena-pa kini menangis seperti anak kecil hanya karena sikap orang tuamu?"
"Aih, suhu. Bagaimana aku tidak akan menjadi sedih? Ayah dan ibu memperli-hatkan sikap keras dan terang-terangan menolak ikatan jodoh antara aku dan Song-ko. Lalu apa yang harus kulakukan? Me-nurut mereka yang hendak menjodohkan aku dengan putera Gubernur Ce-kiang? Aku tidak sudi!"
"Wah, kenapa harus memikirkan orang tua yang tidak ingin membahagiakan anak?" Kakek pendek itu berseru.
"Tapi, suhu. Ayah Song-ko juga mengambil sikap tidak perduli, bahkan tidak mau mengambil keputusan ketika suhu berdua mengajukan pertanyaan. Lalu apa yang dapat kulakukan?"
"Ha-ha-ha, kenapa gelisah? Kalau ayah Hui Song tidak mau mengurusi lagi puteranya, masih ada aku gurunya yang dapat mewakili dan akulah yang akan mengajukan pinangan untuk muridku Hui Song. Beres, kan?"
"Tapi, kalau locianpwe meminangku kepada ayah dan ditolak?"
"Heh-heh-heh, masih ada aku di sini! Jangan perdulikan orang tuamu yang mau senang sendiri itu. Aku adalah gurumu dan aku berhak mewakili mereka dan menerima pinangan si gendut ini!" kata Wu-yi Lo-jin.
Siang-kiang Lo-jin tertawa bergelak. "Benar! Benar! Orang-orang tua yang tidak becus seperti ayah bundamu dan ayah Hui Song itu biar kita tinggalkan saja!"
"Itu benar, Sui Cin. Kalau ayah bundamu hendak memaksamu menikah dengan orang yang tidak kausukai, biarkan mereka berdua saja yang menikah dengan pilihan mereka!" kata Wu-yi Lo-jin penuh semangat.
"Tepat! Orang tua yang tidak dapat membahagiakan anaknya, berarti orang tua itu tidak mencinta anaknya, melain-kan mencinta dirinya sendiri saja dan patut kita tentang!" sambung Siang-kiang Lo-jin.
"Jangan takut, Sui Cin. Kalau ayah ibumu marah dan hendak memaksamu, kami berdua yang akan menentang mere-ka dan melindungimu!" gurunya berkata dengan penuh semangat.
Tiba-tiba saja kedua orang kakek itu berhenti bicara dan memandang ke kiri. Sui Cin juga mendengar suara mencurigakan dari sebelah kiri dan terkejutlah gadis ini ketika melihat berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah muncul Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, ayahnya! Pendekar ini nampak gagah perkasa, dengan pakaiannya yang indah dan baru, dengan topinya yang dihias bu-lu. Seorang pendekar yang tampan gagah walaupun usianya sudah hampir lima pu-luh tahun dan sikapnya penuh wibawa ke-tika dia berdiri memandang kepada Sui Cin dengan sinar mata mencorong ma-rah.
"Sui Cin!" bentak pendekar ini. "Engkau hendak menentang orang tuamu?"
Suara pendekar ini penuh kemarahan dan Sui Cin menjadi gentar sekali. Belum pernah ayahnya marah seperti itu terha-dap dirinya. Belum pernah ia melihat si-nar mata ayahnya mencorong seperti itu, seolah-olah mengeluarkan api yang hendak membakar dirinya. Gadis ini dengan sikap gentar lalu menyembunyikan diri atau beraling di belakang tubuh Wu-yi Lo-jin yang pendek kecil.
Sejenak, Dewa Arak dan Dewa Kipas terbelalak memandang kepada Pendekar Sadis yang sudah berdiri di depan mereka dengan gagahnya. Kalau tadi mereka mengeluarkan ucapan-ucapan keras terhadap Pendekar Sadis don isterinya, hal itu hanya mereka lakukan untuk menghibur hati Sui Cin. Kini, setelah orang yang tadi dicela dan ditantangnya berdiri di depan mereka, keduanya menjadi bingung dan tak tahu harus berkata atau berbuat apa.
"Suhu... locianpwe... lekas kalian bertindak...!" Sui Cin berbisik dari belakang tubuh Dewa Arak, karena ia sendiri merasa takut untuk menghadapi ayahnya yang sedang marah itu.
Akan tetapi dua orang itu hanya saling pandang, lalu memandang kepada Ceng Thian Sin, saling pandang lagi dan keduanya seperti sudah kehilangan suara.
"Suhu... locianpwe... ingat janji kalian tadi..." kembali Sui Cin berbisik.
"Heh, kerdil tua bangka, muridmu benar, engkau harus ingat janjimu tadi!"
Tiba-tiba Dewa Kipas berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah dahi Dewa Arak.
"Apa? Gendut brengsek! Engkau yang berjanji akan melindunginya!" Si kakek kerdil membalas, tangan kanannya mendorong perut gendut dan telunjuk kirinya membalas menuding ke arah dahi si gendut dan untuk ini, terpaksa dia harus berjingkat karena terlalu pendek.
"Kau yang berjanji!"
"Kau juga berjanji!"
Keduanya tidak mau mengalah dan agaknya siap untuk saling hantam sendiri. Sebetulnya, tentu saja dua orang sakti seperti Dewa Arak dan Dewa Gendut bukan orang-orang pengecut yang tidak berani bertanggung jawab. Akan tetapi karena mereka tidak setulus hati menentang Pendekar Sadis dan kini mereka saling dorong dan saling tuduh, maka terjadilah keributan di antara mereka sendiri yang memang suka bersaing.
Ceng Thian Sin tadinya berdiri dengan sikap marah dan kedua tangan terkepal, akan tetapi melihat tingkah dua orang kakek itu, sinar matanya yang tadi mencorong marah kini berobah. Mulut yang tadi cemberut kini mengarah senyum. Memang sebenarnya Ceng Thian Sin tidak benar-benar marah. Tadi, dengan ilmu kepandaiannya, dia dan isterinya sebentar saja dapat menyusul Sui Cin dan ketika mereka tiba di tempat itu, mereka berdua sempat mendengar bualan atau tantangan-tantangan yang diucapkan oleh dua orang kakek sakti. Biarpun mereka berdua tadi mengeluarken kata-kata yang kasar dan keras seolah-olah menantang, akan tetapi Pendekar Sadis dan isterinya adalah dua orang pendekar yang berpengalaman dan mereka berduapun maklum bahwa dua orang kakek sakti itu sudah tahu akan kedatangan mereka dan bahwa kedua orang kakek itu sengaja menantang-nantang sambil mengerahkan khi-kang agar suara mereka terdengar oleh suami isteri yang sudah datang dan bersembunyi di balik batu karang itu. Dua orang suami isteri itu mendengar semua percakapan dan semua tantangan, dan mereka berdua kinipun yakin bahwa puteri mereka mencinta Hui Song dan betapa dua orang kakek yang menjadi guru Hui Song dan Sui Cin itu telah menyetujui perjodohan mereka. Hal ini saja sudah meyakinkan hati keduanya bahwa pilihan hati puteri mereka tidaklah keliru, karena kalau demikian halnya, tentu dua orang kakek sakti itu tidak akan mati-matian membelanya.
Pendekar Sadis yang berpura-pura marah itu, ketika melihat betapa dua orang kakek saling tuding, tidak dapat menahan kegelian hatinya dan pada saat itu, bayangan lain lalu berkelebat dan isterinya sudah berdiri di sisinya. Melihat ini, dua orang kakek itu agaknya menjadi semakin ketakutan.
"Nah, hayo keluarkan kegarangarmu tadi, tua bangka kerdil!" bentak Dewa Kipas.
"Dan, di mana kegagahanmu? Engkau memikirkan enaknya perutmu sendiri saja, tidak memikirkan kepentingan muridmu!" balas Dewa Arak.
Tiba-tiba terdengar Pendekar Sadis tertawa bergelak, diikuti oleh isterinya. Melihat kedua suami isteri ini tertawa-ta-wa, Sui Cin terbelalak heran dan dua orang kakek yang tadinya ribut-ribut itu-pun berdiri bengong memandang.
"Sudahlah, ji-wi locianpwe tidak perlu bersandiwara lagi. Kami berdua bukanlah orang tua yang tidak ingin melihat keba-hagiaan anak tunggal kami," kata Toan Kim Hong dengan suara lantang kepada dua orang kakek itu.
"Ayah...! Ibu...! Benarkah... benarkah ayah ibu menyetujui...?" Sui Cin berteriak dan lari menghampiri ayah bundanya. Dua orang tua itu hanya membuka lengan mereka menyambut dan di lain saat Sui Cin sudah berada dalam rangkulan ayah bundanya, menangis terisak-isak tanpa dapat mengeluarkan kata-kata lagi, sekali ini menangis saking bahagia dan terharu.
Toan Kim Hong menciumi muka anaknya dan Ceng Thian Sin menepuk-nepuk pundak Sui Cin sambil berkata, "Kami hanya ingin menguji dan melihat sampai di mana cintamu terhadap Hui Song, ma-ka kami berpura-pura tidak setuju."
"Ayah dan ibu... ah, betapa bahagianya hatiku. Suhu dan Siang-kiang Locianpwe, lihat betapa ayah ibuku sudah setuju. Tinggal kalian yang harus memenuhi janji!" kini Sui Cin dengan muka masih basah air mata, dengan sepasang mata masih basah kemerahan, menghadapi dua orang kakek itu sambil tersenyum.
"Wah, cebol, kita ditagih!" Siang-kiang Lo-jin berseru tertawa dan tiba-tiba dia menjura kepada Wu-yi Lo-jin sambil ber-kata dengan sikap sungguh-sungguh dan serius sekali, "Wu-yi Lo-jin, aku sebagai guru dari Cia Hui Song, dengan ini me-nyatakan meminang muridmu yang berna-ma Ceng Sui Cin!"
Wu-yi Lo-jin juga menanggalkan sikap pura-pura dan gurauannya, kini diapun menjura dengan hormat kepada Siang-kiang Lo-jin dan berkata, "Aku sebagai guru Ceng Sui Cin, menerima dengan baik pinangan itu dan merasa setuju sekali kalau muridku menjadi calon jodoh muridmu."
Setelah berkata demikian, dua orang kakek itu menghadapi Ceng Thian Sin dan isterinya, memandang tajam dan seolah-olah menanti keputusan mereka. Ceng Thian Sin menarik napas panjang. "Perjodohan adalah urusan yang ditentukan oleh Thian, dan syarat utamanya adalah cinta kasih antara pria dan wanita yang hendak mengikatkan diri satu sama lain melalui pernikahan. Kami sebagai orang tua pihak wanita, hanya dapat menanti datangnya pinangan dari orang tua pihak pria. Hal ini tentu saja ji-wi locianpwe cukup maklum dan kami menanti di Pulau Teratai Merah! Sui Cin, mari kita pulang."
Sui Cin yang sudah merasa berbahagia sekali melihat orang tuanya menyetujui perjodohannya dengan Hui Song, mengerti akan maksud ayahnya. Tentu saja, seba-gai seorang gadis, ia hanya dapat me-nanti datangnya pinangan dari orang tua atau wakil Hui Song. Maka iapun meng-hadapi dua orang kakek itu, "Sampai sekarang, janji-janji kalian dua orang kakek yang kucinta dan kuhormati belum dipenuhi. Aku hanya dapat menanti kalian di Pulau Teratai Merah dan di sana aku akan membuatkan masakan-masakan istimewa untuk kalian."
Ceng Thian Sin, Toan Kim Hong, dan Sui Cin memberi hormat kepada dua orang kakek itu lalu berkelebat pergi. Tinggal dua orang kakek itu yang bengong lalu saling pandang dan menarik napas panjang. "Waaah, ini akibat kelancanganmu main-main, gendut!" kata Wu-yi Lo-jin sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak berambut. "Kini kita harus mendatangi ketua Cin-ling-pai dan harus dapat membujuknya untuk pergi ke Pulau Teratai Merah untuk melakukan pinangan itu."
"Jangan khawatir!" Dewa Kipas menepuk-nepuk perutnya yang gendut. "Aku yakin ketua Cin-ling-pai akan cukup bijaksana untuk mau mengunjungi Pulau Teratai Merah. Pengalaman pahitnya dalam urusan pemberontakan itu tentu merupakan obat yang membuatnya sadar bahwa hidup ini tidak berguna kalau tidak dapat membahagiakan orang lain, terutama orang-orang yang terdekat dengannya. Demi kebabagiaan puteranya, tentu dia mau merendahkan diri sedikit untuk berkunjung ke Pulau Teratai Merah. Ma-ri kita berdua pergi mengunjunginya dan membujuknya." Dua orang kakek itupun lalu pergi dengan langkah santai.
Pesta pernikahan yang dirayakan di puncak Pegunungan Cin-ling-san, di rumah perkumpulan Cin-ling-pai itu meriah sekali. Lebih dari seribu orang tamu me-merlukan datang menghadiri perayaan itu dari berbagai penjuru. Sebagian besar dari para tamu adalah golongan kang-ouw atau tokoh-tokoh dunia persilatan. Hal ini tidaklah mengherankan karena nama besar Cin-ling-pai sudah dikenal di dunia persilatan. Apalagi mengingat siapa ada-nya keluarga besan-besan dari ketua Cin-ling-pai yang sekaligus merayakan pernikahan dari puteranya dan murid perem-puannya itu. Putera ketua Cin-ling-pai, Cia Hui Song, menikah dengan Ceng Sui Cin, puteri tunggal Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya yang amat terke-nal. Sedangkan murid perempuannya yang disayang seperti puteri sendiri, Tan Siang Wi, menikah dengan Cia Sun, putera tunggal dari ketua Pek-liong-pang, pendekar dari Lembah Naga yang juga terkenal.
Tiga besar itu, Cia Kong Liang, Cia Han Tiong, dan Ceng Thian Sin, bersepa-kat untuk merayakan dua pernikahan itu di Cin-ling-pai, karena bagaimanapun ju-ga, mereka semua adalah pendekar-pen-dekar yang mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai.
Nama besar tiga keluarga ini menjamin terlaksananya perayaan pesta pernikahan itu dengan aman. Tidak ada yang berani mati mengganggu dan semua orang bergembira. Pesta dilakukan sejak pagi sampai jauh malam dan semua tamu meninggalkan Cin-ling-pai setelah malam dengan hati gembira dan kagum, dengan perut kenyang. Setelah semua tamu pulang, keadaan di Cin-ling-pai sunyi kembali. Dua pasang pengantin sudah memasuki kamar pengantin masing-masing dan hanya mereka berempat yang dapat merasakan kebahagiaan mereka, sedangkan orang-orang lain hanya tersenyum penuh arti menduga-duga atau membayangkan saja betapa bahagianya dua pasang pengantin yang kini tinggal berdua saja dalam kamar mereka.
Akan tetapi, di dalam bayangan pohon-pohon yang gelap, tidak jauh dari rumah besar di mana dua pasang pengantin itu berasyik-mesra, nampak sesosok bayangan. Bayangan ini tidak gembira sama sekali, bahkan sejak berjam-jam ia berada di dalam kegelapan itu seperti sebuah patung, dan kini nampak tubuhnya terguncang-guncang. Bayangan itu menangis. Lirih hampir tanpa suara, akan tetapi air matanya bercucuran yang dicobanya untuk diusap dengan kedua tangannya yang gemetar.
Bayangan itu adalah Toan Hui Cu! Gadis ini merasa betapa hancur perasaan hatinya melihat pria yang dikasihinya, yang diharapkannya, Cia Sun, kini menikah dengan seorang gadis lain! Terasa olehnya betapa malang nasibnya, betapa sengsara keadaan dirinya. Semenjak kecil ia hidup terasing, kemudian ia terancam oleh ayah kandungnya sendiri yang jahat seperti iblis. Ayah ibunya adalah raja dan ratu penjahat dan kini mereka telah tewas. Ia tidak mempunyai siapapun lagi di dunia ini, sebatangkara, tidak memiliki apa-apa dan terpaksa harus menghadapi kehidupan yang dianggapnya amat mengerikan dan kejam. Ia tidak berpengalaman hidup di dunia ramai. Satu-satunya harapan dalam hatinya digantungkan kepada Cia Sun. Akan tetapi kini pemuda itu telah menjadi milik wanita lain dan ia tahu bahwa bagaimanapun juga, ia tidak berhak mendekati Cia Sun, tidak dapat mengharapkan lagi perlindungannya. Melihat Cia Sun menikah dengan wanita lain, baginya seperti melihat Cia Sun juga telah mati meninggalkan dirinya, seperti ayah bundanya. Maka, dapat dibayangkan betapa sedihnya, membuatnya hampir putus asa dan membuatnya tidak berani melanjutkan hidup yang dianggapnya kejam dan mengerikan itu.
"Ibu... oh, ibu... bagaimana dengan aku ini, ibu..." Ia merintih dan tangisnya makin menjadi, sesenggukan karena pada saat itu yang dapat disambati hanyalah ibunya, satu-satunya orang yang pernah mencintanya dan kini ibunyapun sudah meninggalkannya.
"Ibu...!" Kedua pundaknya terguncang-guncang.
"Hui Cu..." Suara ini lirih dan ada tangan menyentuh pundaknya dengan halus.
Hui Cu tertegun. Suara Cia Sun-kah itu? Ia cepat menoleh penuh harapan dan di bawah sinar bulan yang bercahaya terang, ia melihat wajah yang amat dikenalnya, wajah Siangkoan Ci Kang, orang kedua setelah Cia Sun yang dikaguminya. Wajah yang gagah, agak pucat dan basah air mata! Seketika tahulah Hui Cu bahwa Ci Kang juga seperti ia sendiri, sudah lama berada di situ, menangis seperti ia sendiri, menangisi kepergian Sui Cin!
"Hui Cu, engkau menangis?"
"Engkau juga menangis..."
Engkau... kehilangan Cia Sun...?"
"Dan engkau kehilangan Sui Cin..." Hui Cu berhenti sebentar dan memandang ke arah lengan kiri yang buntung itu, "... dan kehilangan lengan kirimu karena Sui Cin pula..."
Mengertilah Ci Kang bahwa agaknya ketika melarikan dirinya, Hui Cu tidak pergi jauh dan mengintai sehingga tahu akan apa yang terjadi selanjutnya, tentang buntungnya lengannya. Dia mengangguk dan keduanya berdiam diri. Kini tangis mereka terhenti, agaknya memperoleh hiburan setelah saling bertemu dan saling mengerti akan kesengsaraan hati masing-masing.
Setelah keduanya diam sampai beberapa saat lamanya sambil saling berpandangan, Ci Kang menarik napas panjang dan mengangguk. "Ya, aku kehilangan lengan kiri, aku seorang yang bodoh, dan aku... aku hanya anak seorang penjahat kawakan yang rendah dan hina."
"Akupun anak penjahat, bahkan raja dan ratu iblis, penjahat yang paling besar. Kita sama-sama keturunan penjahat, orang-orang hina dan rendah..."
Tangan kanan yang kuat itu makin erat memegang pundak Hui Cu. "Engkau benar, Hui Cu. Kita sama-sama keturunan penjahat, bagaikan burung gagak yang paling rendah dan dianggap kotor, mana bisa disamakan dengan burung-burung Hong? Biarlah burung gagak berkawan dengan burung gagak pula, keturunan penjahat bersanding dengan keturunan penjahat pula. Hui Cu, bagaimana pendapatmu kalau kita, yang senasib sependeritaan ini, mulai sekarang hidup bersama? Maukah engkau melanjutkan hidup yang kejam ini di sampingku, untuk selamanya, suka sama dinikmati, duka sama diderita? Maukah engkau?"
Mereka saling berpandangan. Dua pasang mata itu sampai lama tidak berkedip, saling pandang dengan tajam, seolah-olah ingin menyelami isi hati masing-masing. "Tapi... tapi... apakah engkau cinta padaku, Ci Kang?"
Senyum pahit menghias bibir pemuda itu. "Aku tidak tahu, Hui Cu. Sesungguhnya aku tidak pernah tahu apa artinya cinta itu. Akan tetapi aku kasihan padamu, dan aku suka dan kagum padamu."
Hui Cu menarik napas panjang dan Ci Kang merasa betapa pundak yang tadinya meregang kaku di bawah telapak tangannya itu kini menjadi lunak dan hangat "Akupun kagum padamu, suka dan akupun kasihan padamu. Aku tidak tahu apakah perasaan kita yang sama ini, kagum suka dan kasihan, dapat memupuk cinta. Akan tetapi, aku menerima tawaranmu seperti seorang kehausan mendapatkan air jernih, Ci Kang. Aku sudah putus harapan dan kau tiba-tiba datang dan aku... aku... ahhh..." Gadis itu tiba-tiba menjadi lemas dan ia menjatuhkan dirinya di atas dada yang bidang itu sambil menangis, menyembunyikan mukanya di dada yang kokoh kuat itu. Dengan hati merasa seperti tanah kering merekah menerima si-raman air segar, Ci Kang merangkulkan lengan kanannya ke pundak gadis itu. Se-jenak mereka berdiri seperti itu, tak bergerak kecuali pundak Hui Cu yang ber-goyang-goyang oleh tangisnya yang tidak berbunyi.
Setelah tangis itu mereda, Ci Kang berbisik, "Hui Cu, sudah bulatkah hatimu menerimaku? Ingat, aku seorang yang
cacat, lengan kiriku buntung..."
"Tapi hatimu tidak cacat, Ci Kang." Dan gadis itupun membiarkan dirinya di-tarik dan diajak pergi dari situ. Mereka berjalan perlahan-lahan, dengan lengan kanan Ci Kang masih merangkul dan perlahan-lahan hati mereka menjadi semakin cerah dan tabah karena kini mereka me-rasa yakin akan kuat menempuh hidup baru berdua, tidak sendirian lagi, dan mereka akan hadapi dengan tabah apapun yang akan mereka hadapi dalam kehidupan selanjutnya. Kebahagiaan adalah urusan hati, sebaliknya kesenangan adalah urusan badan. Selama batin dikeruhkan oleh segala urusan badan yang selalu mengejar kesenangan, maka kebahagiaanpun akan tiada, ba-gaikan cahaya yang tidak dapat bersinar menembus kaca yang kotor penuh debu. Kebahagiaan, hanya terdapat dalam batin yang jernih, yang bebas
daripada segala ikatan, yang tidak membutuhkan apa-apa lagi, di mana tidak ada lagi konflik-kon-flik atau pertentangan antara senang dan susah, antara suka dan benci, antara ke-nyataan dan apa yang diharap-harapkan.
Kebahagiaan tidak akan lenyap walaupun badan boleh jadi tersiksa oleh sakit, oleh kemiskinan, oleh penghinaan dan sebagainya selama batin dapat menerima dan menghadapi semua itu sebagai suatu hal yang wajar dan tidak menimbulkan gun-cangan. Kebahagiaan adalah TIDAK ADANYA penentangan batin terhadap sesuatu yang menimpa diri, dan kebahagiaan adalah cinta kasih.
Sampai di sini, ijinkan pengarang menyudahi kisah Asmara Berdarah ini dengan harapan mudah-mudahan di samping merupakan sebuah bacaan penghibur hati di kala senggang, cerita inipun mampu menyuguhkan sesuatu yang bermanfaat bagi para pembaca. Sampai jumpa di lain kesempatan.
TAMAT
Di lanjutkan dalam kisah
PENDEKAR MATA KERANJANG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar