29 Asmara Berdarah

"Dan kalian harus berjanji pula untuk melindungi anakku!" kata pula nenek itu. Diam-diam dua orang pendekar muda itu mendongkol. Nenek ini memang keterlaluan, bersikap seolah-olah sebagai seorang pemenang yang memberi ampun dan mengajukan syarat-syarat dan tuntutan-tuntutan. Padahal, mereka berdua tidak pernah kalah dan juga tidak takut menghadapi nenek ini. Akan tetapi, karena memang di dalam hatinya Cia Sun merasa suka kepada Hui Cu, tanpa ragu-ragu diapun berkata dengan suara sungguh-sungguh.

"Baik, kami berjanji!"

Setelah dua orang pemuda itu berjanji untuk merahasiakan tempat itu dan melindungi puterinya, barulah nenek itu merasa puas.

"Hui Cu, jangan tinggalkan tempat ini sebelum aku datang menjemputmu," pesannya kepada puterinya dan nenek inipun lalu berkelebat pergi, keluar dari tempat rahasia itu.

Setelah ibunya pergi, Hui Cu menghadapi dua orang pendekar itu, "Harap kalian suka maafkan ibuku tadi."

Cia Sun tersenyum. "Hui Cu, sungguh aku merasa heran sekali melihat betapa suami isteri seperti Raja dan Ratu Iblis dapat mempunyai seorang puteri seperti engkau. Sungguh seperti bumi dan langit bedanya!"

Gadis itu menjadi agak cerah wajahnya mendengar pujian Cia Sun ini walaupun pandang matanya masih suram dan iapun lalu mempersiapkan bahan-bahan masakan yang terdapat banyak di tempat itu untuk membuatkan makanan. Ada mi kering, daging kering dan gandum, juga beras sehingga sebentar saja, mereka bertiga sudah makan bersama untuk mengisi perut mereka yang sudah amat lapar.

Pada malam harinya, Ci Kang dan Cia Sun meninggalkan Hui Cu yang tidak dapat menahan mereka. "Engkau tinggallah di sini, Hui Cu. Kami berdua harus menolong ketua Cin-ling-pai yang juga menjadi tawanan di sini. Mungkin kalau kami berhasil, kami akan membawanya ke sini juga untuk bersembunyi. Andaikata kami gagal, kami tentu akan kembali ke sini malam ini juga."

Terpaksa Hui Cu membiarkan mereka pergi dan dua orang pemuda itu lalu menyusup-nyusup lagi dalam penyamaran mereka sebagai dua orang perajurit. Mereka bersikap hati-hati sekali karena mereka tahu bahwa setelah Hui-thian Su-kwi menceritakan pengalamannyam tentu kini para pemberontak sudah tahu bahwa ada dua orang musuh yang menyamar sebagai perajurit pasukan mereka.

Untung bagi mereka bahwa keadaan di kota San-hai-koan malam itu tidak seperti hari-hari yang lalu. Nampak para perajurit hilir mudik dalam keadaan panik dan sebentar saja mereka berdua mendengar bahwa kota ini telah dikepung oleh pasukan pemerintah yang besar jumlahnya. Inilah sebabnya maka para perajurit di dalam kota benteng itu menjadi gelisah dan mereka sudah membuat persiapan pertempuran sehingga tidak begitu memperhatikan berita tentang dua orang mata-mata musuh yang menyelundup itu. Dan dengan sendirinya, mudah saja bagi Cia Sun dan Ci Kang untuk menyusup di antara banyak perajurit yang berseliweran itu. Mendengar bahwa benteng itu telah dikepung pasukan pemerintah, Cia Sun dan Ci Kang merasa girang, akan tetapi mereka juga tahu bahwa mereka harus cepat-cepat membebaskan Cia Kong Liang sebelum terlambat. Kalau Raja Iblis menganggap bahwa ketua Cin-ling-pai itu tidak ada gunanya lagi sebagai tawanan, tentu akan dibunuhnya. Dan mengingat bahwa pasukan pemerintah sudah bergerak mengurung kota San-hai-koan, bukan tidak mungkin ketua Cin-ling-pai itu kini terancam bahaya besar.

Kesibukan-kesibukan luar biasa terjadi di mana-mana, juga di penjara. Pasukan-pasukan hilir-mudik dan nampak gelisah dan tegang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Cia Sun dan Ci Kang untuk menyusup memasuki penjara. Tiba-tiba, sampai di pintu gerbang sebelah dalam, seorang perwira penjaga melintangkan pedangnya di depan mereka dan memandang tajam.

"Mau apa kalian? Kalian bukan anggota pasukan penjaga di tempat ini!" bentaknya dengan sikap curiga.

"Ciangkun, apa kau mencurigai kami? Jangan mengira kami adalah dua orang mata-mata yang membikin kacau itu. Ketahuilah, kami diutus oleh Toan Ong-ya sendiri!" kata Ci Kang.

Perwira itu terkejut dan sikapnya berubah. Kalau benar dua orang ini utusan Toan Ong-ya, sungguh dia tidak boleh bersikap lancang atau kurang hormat karena hal itu bisa berarti hukuman berat baginya! Akan tetapi dia masih ragu-ragu.

"Kalau benar kalian utusan Toan Ong-ya, mana surat perintahnya atau tanda pengenalnya?"

Ci Kang mengerutkan alisnya, bersikap pura-pura marah. "Apa? Kau tidak mempercaya kami sebagai utusan Toan Ong-ya? Apakah kami tidak boleh melaksanakan perintah itu? Baik, kami akan kembali dan melaporkan kepada Toan Ong-ya bahwa seorang perwira berani melarang kami dan membangkang terhadap perintah Toan Ong-ya!"

Wajah perwira itu menjadi pucat. "Ah, bukan begitu maksudku! Saudara berdua harus tahu bahwa kita harus bersikap waspada dan aku bersikap begini karena berhati-hati. Baiklah, secara persahabatan saja, benarkah kalian ini utusan Toan Ong-ya? Dan bagaimana aku dapat yakin akan kebenaran pengakuan kalian itu?"

"Ciangkun, dalam keadaan benteng dikepung musuh dan terancam bahaya ini, mana Toan Ong-ya sempat memberi tanda pengenal segela macam? Kami adalah kepercayaan beliau dan kami diutus untuk menemui Cia Kong Liang..."

"Ketua Cin-ling-pai? Wah, ini gawat! Kami diperintahken untuk menjaganya baik-baik agar dia jangan sampai lolos dan perintah itu kami terima sendiri dari Toang Ong-ya."

"Jadi kau tetap tidak percaya kepada kami?" Ci Kang bertanya dengan suara menantang.

Sikap ini kembali membuat perwira itu ketakutan. "Tidak, tidak demikian. Akan tetapi aku harus berhati-hati karena akupun mempunyai tanggung jawab. Kalau kalian hanya mengunjungi saja tidak mengapa, akan tetapi kalau hendak membawa pergi ketua Cin-ling-pai itu terpaksa kami menentang. Aku sendiri menerima perintah dari Toan Ong-ya dengan pesan bahwa kecuali Toan Ong-ya sendiri, siapapun tidak boleh membawa tawanan itu!"

Ci Kang bertukar pandang dengan Cia Sun dan tiba-tiba Cia Sun yang berkata, suaranya halus membujuk. "Ciangkun, harap tidak usah khawatir. Kami diutus Toan Ong-ya untuk membunuh ketua Cin-ling-pai itu, dengan tangan kami sendiri!"

Diam-diam Ci Kang terkejut akan tetapi dia dapat menekan perasaannya sehingga wajahnya biasa saja walaupun sinar matanya memandang Cia Sun penuh selidik. Perwira itu sendiri nampak lega. "Ah, kalau untuk membunuhnya tentu saja aku setuju sekali. Lebih cepat dibunuh lebih baik agar tidak menjadi beban penjagaan saja. Mari kuantar sendiri kalian ke sana!"

Diam-diam Cia Sun memberi isyarat dengan pandang mata kepada Ci Kang sehingga pemuda ini yakin bahwa Cia Sun mempergunakan siasat ketika mengatakan hendak membunuh ketua Cin-ling-pai, maka diapun diam saja. Tak lama kemudian mereka dapat dengan mudah tiba di depan kamar tahanan berkat pengawalan perwira itu dan dari jeruji jendela kamar tahanan mereka melihat ketua Cin-ling-pai dengan kaki tangan diborgol masih duduk bersila seperti arca.

"Nah, itu dia," kata sang perwira.

Belasan orang penjaga yang mendengar bahwa dua orang perajurit muda yang datang itu adalah utusan Toan Ong-ya, untuk membunuh ketua Cin-ling-pai, merasa tertarik dan merekapun datang bergerombol untuk menonton, berdiri di depan kamar tahanan. Melihat ini, Cia Sun lalu berkata kepada sang perwira.

"Ciangkun, karena kami tidak membawa pedang, tolong pinjamkan pedangmu itu untuk kupakai memenggal lehernya!"

Wajah perwira itu berseri dan dia segera mencabut pedangnya dan menyerahkannya kepada Cia Sun. "Ah, sungguh pedangku memperoleh kehormatan besar untuk memenggal leher ketua Cin-ling-pai, ha-ha-ha! Kelak akan menjadi kebanggaanku!"

Sementara itu, Cia Kong Liang membuka matanya dan mendengar semua percakapan itu. Diam-diam dia terkejut mendengar ucapan Cia Sun, akan tetapi ketika dia melihat Ci Kang, dia mengenalnya dan hatinya menjadi tenang, apalagi dia menangkap isyarat mata Ci Kang kepadanya.

Perwira itu dengan gembira membuka pintu penjara dan semua perajurit penjaga penjara itu berdatangan untuk menonton pelaksanaan hukuman mati dari ketua Cin-ling-pai itu. Tanpa ragu-ragu lagi Cia Sun berkata, "Ciangkun, seret dia keluar dari dalam kamar tahanan. Aku akan melakukan hukuman mati itu di lapangan penjara agar semua perajurit dapat melihatnya." Ucapan ini merupakan siasat Cia Sun yang ingin mengetahui kekuatan penjagaan di situ, dan kalau semua berkumpul, agaknya akan lebih mudah baginya dan Ci Kang untuk membawa ketua Cin-ling-pai melarikan diri.

Perwira itu menjadi semakin girang dan bangga. "Hayo bangun dan ikut kami!" bentaknya sembil memegang lengan Cia Kong Liang dan dengan kasar menariknya bangkit berdiri. Cia Kong Liang bersikap tenang, bangkit berdiri dan dengan kaki tangan terbelenggu diapun diseret keluar dari dalam kamar tahanan. Pengikat kaki tangan ketua Cin-ling-pai ini tidak terbuat dari besi. Raja Iblis maklum bahwa ketua ini memiliki tenaga sin-kang yang besar sehingga belenggu besi akan dapat dipatahkannya. Maka untuk membuatnya tidak berdaya, kaki tangannya diikat pada pergelangannya dengan tali sutera yang amat ulet dan lentur sehingga tenaga sin-kang tidak akan mampu membikin putus karena tali itu kalau direntangkan dapat mulur akan tetapi tidak dapat putus saking uletnya. Inilah sebabnya mengapa Cia Sun minta pinjam pedang. Kalau belenggu itu dari besi, tangannya akan mampu mematahkannya. Akan tetapi, tali sutera seperti itu hanya akan dapat dibikin putus dengan menggunakan senjata tajam. Pula, ketua Cin-ling-pai itu mungkin membutuhkannya, tidak seperti dia dan Ci Kang yang cukup bertangan kosong saja. Dia minta agar tawanan dibawa ke lapangan karena di tempat ini mereka akan lebih leluasa bergerek kalau dikeroyok, tidak seperti di dalam kamar tahanan yang sempit. Kini Ci Kang dapat menebak apa yang direncanakan oleh sahabatnya yang cerdik itu maka diapun sudah bersiap-siap.

Kini Cia Kong Liang sudah berada di tengah-tengah lapangan, dikelilingi para perajurit penjaga yang hendak nonton pelaksanaan hukuman mati itu. Ketua Cin-ling-pai itu tetap berdiri dengan sikap gagah. Cia Sun menghampirinya dengan pedang di tangan dan hati para penonton menjadi tegang.

"Pangcu, aku menerima perintah dari Toan Ong-ya untuk menjatuhkan hukuman mati kepadamu. Maka, kuminta agar engkau suka menyerahkan nyawa dengan ikhlas dan memasang dirimu agar pedang ini dapat melaksanakan tugas sebaiknya!"

Cia Kong Liang memandang wajah pemuda itu dan diapun menjawab dengan suara lantang dan gagah, "Aku akan menghadapi kematian dengan berdiri!" Dan diapun menjulurkan kedua lengan yang diikat menjadi satu, juga kedua kakinya agak direntangkan.

"Baik, bersiaplah!" Cia Sun berkata dan semua mata kini dengan terbelalak memandang ke arah pedang yang sudah diangkat ke atas kepala oleh Cia Sun. Tiba-tiba pedang itu berkelebat ke bawah dua kali dan putuslah tali sutera pengikat lengan dan kaki Cia Kong Liang sehingga ketua itu menjadi bebas!

"Heiii...!" Perwira itu berterisk akan tetapi teriakannya terhenti di tengah jalan karena dia sudah roboh dan pingsan oleh tamparan Ci Kang yang mengenai tengkuknya. Gegerlah keadaan di situ! Pedang yang tadi membikin putus belenggu kaki tangan Cia Kong Liang, kini telah berada di tangan ketua itu dan bersama Cia Sun dan Ci Kang, dia mengamuk dan merobohkan banyak pengeroyok yang masih panik karena perubahan keadaan yang tiba-tiba dan tidak disangka-sangka itu.

"Locianpwe, mari kita pergi!" Ci Kang berkata sambil mendekati Cia Kong Liang yang mengamuk dengan pedangnya itu.

"Baik!" kata ketua Cin-ling-pai karena diapun tahu bahwa mereka bertiga saja, betapapun lihainya, tidak mungkin akan mampu menghadapi pengeroyokan banyak sekali perajurit, apalagi mereka berada di dalam benteng musuh. Untung bagi mereka bahwa pada saat itu, pasukan pemerintah yang mengepung benteng itu mulai bergerak dan pertempuran mulai terjadi di sepanjang tembok benteng sehingga ketika ketiganya melarikan diri, keadaan di luar penjara cukup kacau balau sehingga sukarlah bagi para pengejar mereka untuk dapat mengikuti jejak mereka. Apalagi para pengejar itupun merasa gentar menyaksikan kelihaian tiga orang itu yang dalam waktu singkat saja sudah merobohkan puluhan orang pengeroyok.

Setelah menyusup-nyusup, akhirnya dua orang pendekar muda itu berhasil mengajak Cia Kong Liang memasuki guha rahasia di bawah tanah dan mereka disambut dengan girang oleh Hui Cu. Melihat gadis ini, Cia Kong Liang merasa heran dan dia segera bertanya.

"Siapakah nona ini?" Bagaimanapun juga, dia tentu saja ingin mengenal semua orang yang berada di situ, mengingat bahwa mereka semua masih berada di tempat yang berbahaya.

"Lociainpwe, nona ini adalah Toan Hui Cu, puteri dari... Pangeran Toan Jit Ong." Ci Kang hampir saja menyebut nama Raja Iblis, akan tetapi diubahnya ketika dia teringat bahwa gadis itu tentu akan merasa tersinggung dan tidak enak kalau ayahnya disebut Raja Iblis.

Akan tetapi, mendengar bahwa gadis itu puteri Pangeran Toan Jit Ong, berarti puteri Raja Iblis, ketua Cin-ling-pal itu terbelalak dan mukanya berobah merah. Tangannya yang masih memegang pedang tadi bergerak dan dia sudah menyerang Hui Cu dengan pedangnya! Akan tetapi dia terkejut karena tiba-tiba saja tubuh gadis itu lenyap dan ternyata dengan gerakan yang luar biasa ringan dan cepatnya, gadis itu telah melompat jauh ke belakang sambil mengerutkan alisnya.

"Toako, kenapa kalian membawa orang sejahat itu ke sini?" teriak Hui Cu penasaran.

Sementara itu, Cia Sun dan Ci Kang cepat melerai dan berkata. "Harap locianpwe suka menyimpan kembali pedang itu. Biarpun ia puteri Pangeran Toan, akan tetapi ia sama sekali tidak boleh disamakan dengan ayahnya atau ibunya. Ia menentang kejahatan orang tuanya dan ia pernah menyelamatkan nyawa kami, bahkan sekarangpun kalau tidak ada ia yang menunjukkan tempat rahasia ini, kita bertiga jangan harap dapat lolos dari San-hai-koan."

Cia Kong Liang menarik napas panjang dan diapun melepaskan pedangnya yang jatuh berdenting ke atas lantai. Dia teringat akan isterinya. Bukankah isterinya juga puteri seorang datuk sesat? Isterinya juga tidak dapat dikatakan berwatak penjahat, walaupun dia tahu bahwa ayah mertuanya, yang sudah lama mencuci tangan, kini agaknya kumat lagi dan bersekutu dengan pemberontak yang dipimpin datuk-datuk sesat. "Maafkan aku," katanya lirih kepada Hui Cu yang kini berani mendekat lagi.

"Nona Toan Hui Cu ini bahkan dimusuhi oleh ayahnya sendiri," Ci Kang menambahkan.

Cia Kong Liang menggeleng-geleng kepala keheranan, lalu memandang kepada Ci Kang dengan sinar mata mengandung kagum dan terima kasih. "Dan sekarang baru kita sempat bicara, orang muda. Siapakah engkau dan mengapa engkau dengan berani mati telah menolongku?"

Ci Kang tersenyum pahit dan diapun menjawab, "Locianpwe, keadaan saya tidak banyak bedanya dengan keadaan nona Hui Cu. Nama saya Siangkoan Ci Kang dan ayah saya adalah mendiang Siangkoan Lo-jin..."

"Ahhh...!" Kembali Cia Kong Liang terkejut sekali. Dia tahu siapa adanya Siangkoan Lo-jin alias Si Iblis Buta! Seorang datuk sesat yang terkenal jahat, yang mengepalai para datuk sesat untuk mengeruhkan dunia kang-ouw. Dan pemuda yang amat disukanya dan dikaguminya ini, pemuda yang sudah menolongnya secara cerdik dan berani, adalah putera datuk sesat itu!

"Saudara Siangkoan Ci Kang ini, walaupun orang tuanya menjadi datuk sesat, namun dia sendiri berjiwa pendekar sejati yang selalu menentang kejahatan, dan memang benar bahwa agaknya keadaannya tidak berbeda dengan nona Toan Hui Cu." Cia Sun menerangkan.

Cia Kong Liang menarik napas panjang beberapa kali sambil mengangguk-angguk dan memandang kepada Ci Kang. "Siangkoan Ci Kang," akhirnya dia berkata, "kalau melihat putera seorang pendekar menjadi orang gagah, hal itu tidaklah aneh dan tidak perlu dibicarakan lagi. Akan tetapi putera seorang raja datuk sesat menjadi seorang pendekar budiman, sungguh hal ini merupakan suatu yang luar biasa dan amat mengagumkan." Kemudian dia memandang kepada Cia Sun. "Dan engkau sendiri, orang muda. Siapakah kau?"

Cia Sun menjura dengan hormat. "Harap locianpwe suka memaafkan kalau saya bersikap kurang pantas. Sesungguhnya, saya adalah cucu keponakan locianpwe sendiri, nama saya Cia Sun dan ayah bernama Cia Han Tiong."

Sepasang mata ketua Cin-ling-pai itu terbelalak dan wajahnya berseri ketika dia mengulur tangan dan memegang lengan pemuda itu. "Ahh...! Kiranya engkau putera Cia Han Tiong? Pantas... Cia Sun, bagaimana kabarnya dengan ayah dan ibumu? Apakah masih tinggal di Lembah Naga?"

"Terima kasih, ayah baik-baik saja dan masih berada di Lembah Naga, akan tetapi ibu telah tewas terbunuh orang jahat." Cia Sun lalu menceritakan keadaan keluarganya dengan singkat dan percakapan lalu menjurus ke arah pemberontakan itu sendiri.

"Aku telah tertipu! Aku telah khilaf karena kesembronoanku sendiri!" Ketua Cin-ling-pai itu mengepal tinju dan mukanya menjadi merah sekali. "Tanpa penyelidikan lebih dahulu aku telah membawa keluarga dan murid-murid Cin-ling-pai untuk membantu pasukan pemberontak, karena tadinya kukira bahwa pemberontak Ji-ciangkun adalah suatu perjuangan yang menentang pemerintah lalim. Siapa kira, Ji-ciangkun sendiri diperalat oleh para datuk sesat yang hendak mencari kedudukan. Aku memberontak terhadap mereka dan ditawan, dan entah bagaimana nasib keluarga dan para muridku di Ceng-tek."

Tiba-tiba terdengar suara keras dan gaduh di sebelah atas. "Ah, di atas terjadi pertempuran besar!" kata Hui Cu ketika mereka semua terkejut mendengar kegaduhan itu.

"Kota ini telah dikepung oleh pasukan besar pemerintah dan mungkin sekali kini telah terjadi pertempuran," kata Ci Kang.

"Bagus!" Cia Kong Liang bangkit berdiri dan mengambil pedang yang tadinya dilemparkan ke atas lantai. "Inilah kesempatan baik begiku untuk menebus dosa. Aku harus keluar membantu pasukan pemerintah dan menyerang para pemberontak laknat itu!"

"Akan tetapi kita harus bertindak hati-hati, locianpwe. Sebelum benteng ini bobol, kita bertiga saja mana mungkin dapat menghadapi pasukan besar," Ci Kang membantah.

"Tentu saja kita harus melihat keadaan," kata Cia Kong Liang yang sudah bangkit kembali semangatnya. "Mari kita keluar, kita melakukan pembakaran-pembakaran dan pengrusakan-pengrusakan untuk menimbulkan kekacauan dari dalam."

Cia Sun memandang kagum. Ketua Cin-ling-pai ini memang gagah perkasa dan penuh semangat, sayang sekali tadinya agak ceroboh sehingga mudah tertipu. "Memang sebaiknya kalau kita keluar melakukan penyelidikan daripada menduga-duga di tempat ini dan tidak berbuat apa-apa."

"Harap kalian jangan pergi meninggalkan aku lagi!" kata Hui Cu. "Atau kalau kalian terpaksa pergi juga, aku akan ikut!"

"Hui Cu, kami keluar untuk melawan anak buah orang tuamu, sebaiknya engkau tinggal saja di sini menunggu kedatangan ibumu. Tak mungkin engkau melawan ayahmu sendiri," kata Ci Kang. Mendengar ini, wajah yang cantik dan agak pucat itu menjadi murung dan gadis itu hampir menangis, kini memandang kepada Cia Sun dengan sinar mata penuh permohonan.

Cia Sun merasa kasihan dan memegang tangan gadis itu. "Hui Cu, kami terpaksa meninggalkanmu di sini. Tinggallah kau di sini. Kalau engkau ikut dan terlihat oleh ayahmu, tentu engkau terancam bahaya besar dan kami sudah berjanji kepada ibumu untuk menjagamu. Tinggallah di sini dan aku berjanji bahwa kalau pertempuran sudah selesai, aku pasti menjemputmu di sini."

Akhirnya Hui Cu tidak membantah lagi, akan tetapi tidak lama setelah tiga orang itu keluar, Hui Cu tidak tahan untuk berada di tempat itu seorang diri saja dan iapun segera menyelinap keluar.

Hati Sui Cin girang sekali bahwa ia telah berhasil mengantar Hui Song, Siang Wi dan para murid Cin-ling-pai keluar dari dalam benteng Ceng-tek dengan selamat. Ia berpisah dari mereka dan kembali ke Ceng-tek untuk membantu pasukan suku bangsa, yang dipimpin Yelu Kim menyerbu Ceng-tek. Ia bergerak di antara para perajurit dan mencari gurunya. Pasukan para suku bangsa utara itu telah memperoleh kemajuan, telah menyerbu ke dalam dan kini terjadi pertempuran-pertempuran sengit di sebelah dalam kota benteng Ceng-tek di mana pihak penyerbu mulai mendesak pasukan pemberontak yang bertahan.

Akhirnya Sui Cin menemukan gurunya, nenek Yelu Kim sedang memimpin pasukan pengawal di depan sebuah gedung. Yelu Kim juga girang melihat muridnya. Tadi ia sudah merasa khawatir karena belum juga melihat gadis itu yang bertugas sebagai penyelundup untuk mengacau sebelah dalam benteng musuh.

Tiba-tiba dari dalam gedung itu bermunculan serombongan orang yang langsung menyerbu pasukan pengawal Yelu Kim. Ada tiga belas orang yang menerjang itu dan ternyata mereka semua memiliki gerakan yang cepat dan kuat, tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Beberapa orand perajurit pengawal Yelu Kim sudah roboh dalam segebrakan saja. Ketika Sui Cin memandang, ternyata mereka itu adalah datuk-datuk sesat yang diperbantukan di Ceng-tek oleh Raja Iblis. Tiga belas orang itu dipimpin oleh Koai-pian Hek-mo, Hwa Hwa Kui-bo dan Tho-tee-kwi, tiga orang dari Cap-sha-kui yang lihai!

"Hati-hati, subo, tiga orang itu adalah orang-orang Cap-sha-kui yang lihai!" katanya memperingatkan gurunya dan ia sendiri sudah menerjang maju dengan cepatnya. Gerakannya yang lincah ini disambut oleh Koai-pian Hek-mo dan Hwa Hwa Kui-bo. Koai-pian Hek-mo sudah menggerakkan pecut bajanya yang panjang dilecutkan ke arah kepala Sui Cin, sedangkan Hwa Hwa Kui-bo juga sudah menyambut dengan tusukan pedang.

"Wuuuuttt...!" Secara luar biasa sekali tubuh Sui Cin yang masih melayang di udara itu menukik dan mengelak bagaikan seekor burung walet saja gesitnya dan serangan dua orang itu luput. Kini Sui Cin sudah turun dan berhadapan dengan mereka sambil tersenyum-senyum ia bertolak pinggang. Ia mentertawakan dua orang musuh besarnya ini dan teringat betapa kurang lebih empat tahun lalu ia pernah bertanding menghadapi dua orang tokoh Cap-sha-kui ini.

"Hi-hik, kiranya dua orang tua bangka Cap-sha-kui yang sudah bosan hidup! Beberapa tahun yang lalupun kalian tidak menang melawanku, apalagi sekarang. Kalian sudah menjadi semakin tua, sedangkan kepandaianku semakin maju!"

Tadinya dua orang tokoh Cap-sha-kui itu tidak mengenal Sui Cin, akan tetapi setelah gadis itu bicara dan tertawa, mereka teringat dan keduanya merasa kaget dan marah sekali. Sepasang mata di balik kedok hitam dari Hwa Hwa Kui-bo itu mengeluarkan sinar berapi dan mulutnya yang lebar dengan gigi besar-besar putih itu terbuka. "Kiranya engkau bocah setan! Sekarang aku tidak akan mengampuni kamu lagi!" Dan secepat kilat tangan kirinya bergerak dan dua sinar hitam menyambar ke arah tubuh Sui Cin. Gadis ini sudah maklum bahwa nenek ini pandai menggunakan jarum-jarum beracun sebagai senjata rahasia, maka ia sudah siap siaga dan sekali ia mengebutkan tangan kirinya, ada angin menyambar kuat sekali dan jarum-jarum itu runtuh, bahkan ada sebagian yang menyambar kembali ke arah muka berkedok itu! Hwa Hwa Kuibo terkejut, mengeluarkan teriakan dan mengelak, lalu pedangnya bergerak melakukan serangan ganas. Gerakannya ini diikuti pula oleh menyambarnya paku di ujung pecut baja di tangan Koai-pian Hek-mo. Dua orang tokoh muara Sungai Huang-ho ini lalu mengamuk dengan buasnya mengeroyok Sui Cin. Akan tetapi, gadis ini mengeluarkan suara ketawa mengejek dan tubuhnya sudah berkelebatan di antara gulungan sinar senjata lawan, dengan enaknya ia mempermainkan dan semua sambaran senjata lawan selalu luput, sebaliknva iapun membagi-bagi tamparan dan tendangan yang tidak kalah dahsyatnya, bahkan yang membuat dua orang itu gentar dan terdesak mundur.

Tho-tee-kwi (Setan Bumi), kakek raksasa yang menyeramkan itu, yang memiliki kebiasaan mengerikan, yakni makan daging anak-anak manusia, seorang tokoh Cap-sha-kui yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi daripada Koai-pian Hek-mo dan Hwa Hwa Kui-bo, kini ditandingi oleh Yelu Kim yang dibantu oleh perwira-perwira pengawal yang lihai pula. Adapun para datuk lain dikeroyok oleh pasukan pengawal. Terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian. Akan tetapi karena pihak pasukan pengawal jauh lebih banyak jumlahnya, kini para datuk itu segera terdesak hebat.

Sui Cin tadinya ingin mempermainkan dua orang musuh lama itu, sesuai dengan wataknya yang meinang nakal. Akan tetapi iapun tahu betapa lihainya Tho-tee-kwi dan ia harus dapat cepat membantu gurunya menghadapi kakek raksasa itu. Maka iapun mempercepat gerakannya.

"Singggg...!" Tiba-tiba Hwa Hwa Kuibo yang licik itu menyerangnya dengan merendahkan diri dan pedang itu membabat ke arah kedua kaki Sui Cin. Serangan ini berbahaya sekali karena pada saat itu Sui Cin sedang menghadapi serangan paku di ujung cambuk Koai-pian Hek-mo yang menyambar ke arah matanya.

"Tingggg...!" Sui Cin menggunakan jari tangannya menyentil ke arah paku sehingga paku di ujung cambuk itu mencelat dan membalik, menyambar ke arah muka pemiliknya sedangkan tubuh gadis itu meloncat ke atas untuk menghindarkan babatan pedang nenek Hwa Hwa Kui-bo. Gerakannya cepat dan kuat. Koai-pian Hek-mo terkejut melihat pakunya membalik dan menyambar ke arah mukanya. Akan tetapi sekali menggerakkan gagang cambuk, paku itu berhenti menyambar dan kini cambuknya yang panjang ia gerakkan ke arah tubuh Sui Cin yang masih meloncat ke atas ketika menghindarkan babatan pedang tadi.

Sui Cin mengulur tangan menangkap ujung cambuk! Gerakan ini terlalu berani akan tetapi gadis itu telah membuat perhitungan yang matang. Ketika jari tangannya berhasil menangkap paku di ujung cambuk, secepat kilat ia meminjam tenaga gerakan cambuk, melontarkan paku itu ke arah Hwa Hwa Kui-bo. Paku di ujung cambuk itu meluncur bersama cambuk panjang itu ke arah kepala Hwa Hwa Kui-bo. Nenek ini sama sekali tidak pernah menyangka dan tahu-tahu ujung cambuk kawannya sendiri telah melayang ke arah kepalanya. Ia tidak keburu mengelak lagi.

"Cappp...! Aiiiiiihhh...!" Nenek itu menjerit, paku menancap batok kepalanya dan melihat ini, Koai-pian Hek-mo terkejut setengah mati. Ditariknya cambuknya dan paku itu tercabut keluar, diikuti muncratnya darah dari kepala nenek itu. Dengan mata mendelik yang memandang dari belakang kedoknya, Hwa Hwa Kui-bo menubruk ke depan dan tahu-tahu pedangnya telah menembus dada Koai-pian Hek-mo! Dasar orang sesat, karena paku di ujung cambuk temannya mengenai kepalanya, Hwa Hwa Kui-bo sudah menjadi marah kepada temannya sendiri dan menyerangnya dengan tiba-tiba. Koai-pian Hek-mo berteriak dan terjengkang roboh, darah muncrat dari dadanya. Hwa Hwa Kui-bo tertawa bergelak akan tetapi lalu terjengkang juga dan berkelojotan, tewas dalam waktu hampir berbareng dengan temannya. Sui Cin sudah tidak memperdulikan mereka lagi, langsung saja ia terjun ke dalam pertempuran membantu nenek Yelu Kim yang dibantu oleh beberapa orang perwira pengawal mengepung Tho-tee-kwi yang lihai. Majunya Sui Cin membawa perubahan. Kalau tadinya Tho-tee-kwi masih nampak gagah perkasa dan agaknya sukar bagi Yelu Kim untuk dapat merobohkan raksasa ini walaupun ia dibantu oleh para perwira pasukan pengawal, kini setelah Sui Cin maju dan menghujankan pukulan dan tamparan ampuh kepada Tho-tee-kwi, kakek itu terdesak hebat! Bahkan sebuah tamparan yang amat kuat dari tangan kiri Sui Cin mengenai pundak kakek itu yang membuatnya terhuyung ke belakang. Kesempaten ini dipergunakan oleh Yelu Kim untuk menggerakkan kebutannya yang berwarna putih. Ujung kebutan menjadi kaku dan menotok ke arah tiga jalan darah di tubuh kakek raksasa. Tho-tee-kwi sempat menangkis dua totokan, akan tetapi totokan ketiga mengenai tengkuknya dan tubuhnya seketika menjadi kejang. Saat ini kekebalannyapun lenyap dan ketika dua orang perwira pengawal menusukkan pedangnya, pedang itu amblas dan memasuki lambung dan dadanya. Padahal tadi, sebelum terkena totokan, pedang para perwira itu tidak mampu menembus kekebalan kulitnya!

Robohnya Tho-tee-kwi berarti berakhirnya perlawanan gigih para datuk sesat. Tiga orang Cap-sha-kui yang menjadi pimpinan mereka itu telah roboh dan tewas, tentu saja semangat mereka menjadi kecil dan dengan mudah merekapun dapat dirobohkan. Habislah tiga belas orang datuk sesat itu, semua tewas di tangan rombongan Yelu Kim walaupun pihak Yelu Kim juga menderita kematian belasan orang pasukan pengawal.

Setelah bertempur semalam suntuk, Ceng-tek jatuh ke tangan pasukan Yelu Kim. Akan tetapi, kini datanglah balabantuan dari San-hai-koan, yaitu pasukan pemberontak sehingga kembali terjadi pertempuran yang lebih sengit lagi. Akan tetapi kini pihak Yelu Kim yang mempertahankan benteng Ceng-tek, sedangkan pihak pasukan pemberontak yang menjadi penyerang dari luar.

Hebat bukan main pertempuran ini. Pihak pasukan Yelu Kim sudah lelah setelah mengerahkan tenaga merebut benteng Ceng-tek, sedangkan pasukan pemberontak dari San-hai-koan masih segar dan jumlah merekapun lebih banyak. Akan tetapi, dengan pandainya Yelu Kim dapat menyusun kekuatan dan benteng Ceng-tek yang pintu-pintunya rusak telah diperbaiki. Kini benteng itu menjadi kokoh kuat sehingga tidak mudah bagi pasukan pemberontak untuk merebut kembali benteng itu. Sampai lima hari lamanya pasukan pemberontak mengepung Ceng-tek dan setiap hari terjadi penyerbuan, namun tetap saja benteng itu dapat dipertahankan oleh pasukan Yelu Kim. Bagaimanapun juga, nenek itu mulai merasa gelisah. Kalau pengepungan itu dilanjutkan, paling lama sebulan saja pasukannya akan kehabisan ransum dan ini berarti mereka akan menderita kekalahan dan terpaksa melepaskan kembali Ceng-tek yang telah mereka kuasai. Bagaimanapun juga, nenek itu mengambil keputusan untuk mempertahankan Ceng-tek sampai kekuatan terakhir, karena sekali mereka meninggalkan benteng itu, akan sukarlah bagi mereka untuk memperoleh benteng baru di mana mereka akan dapat menyusun kekuatan untuk melakukan penyerangan ke selatan.

Sui Cin masih tinggal di Ceng-tek mendampingi gurunya. Gadis ini sudah bertekad membantu pasukan Yelu Kim selama pasukan ini bertempur melawan pasukan pemberontak dan iapun ikut prihatin melihat betapa pasukan gurunya terkurung di Ceng-tek dan benteng itu sudah dikepung oleh pasukan pemberontak yang besar jumlahnya.

***

Sementara itu, pertempuran di San-hai-koan juga terjadi dengan amat serunya. Sisa pasukan pemberontak yang berada di San-hai-koan terkejut bukan main melihat betapa tiba-tiba saja pasukan pemerintah yang berjumlah besar sekali telah mengepung San-hai-koan. Mereka dipimpin oleh Ji-ciangkun dan para pembantunya melawan dengan gigih dan mempertahankan benteng San-hai-koan mati-matian. Juga para pembantu Raja Iblis, yaitu datuk-datuk sesat dan tokoh-tokoh dunia hitam, membantu pasukan pemberontak mempertahankan benteng itu. Akan tetapi, pasukan pemerintah jauh lebih kuat dan pasukan inipun dibantu oleh para pendekar yang kini membalas dendam kepada pasukan pemberontak, maka dalam waktu sehari semalam saja benteng itupun bobol dan pertempuran terjadi dengan serunya di dalam kota San-hai-koan.

Cia Sun dan Ci Kang kini mengikuti Cia Kong Liang yang memimpin mereka untuk menggempur para pemberontak dari dalam. Mereka bertiga mengemuk sampai mereka dapat bertemu dengan para pendekar yang membantu pemerintah. Melihat betapa ketua Cin-ling-pai kini membantu pasukan pemerintah menggempur pemberontak, para pendekar menjadi girang dan mereka menganggap bahwa berita tentang Cin-ling-pai yang bersekutu dengan pemberontak ternyata tidak benar, atau mungkin juga ketua Cin-ling-pai menggunakan siasat pura-pura bersekutu dengan pemberontak untuk dapat menggempur dari sebelah dalam!

Setelah para pemberontak akhirnya tidak mampu melawan lagi, sebagian besar tewas, sebagian melarikan diri dan sebagian pula menakluk, Ci Kang dan Cia Sun cepat kembali ke tempat rahasia di mana Hui Cu tadi mereka tinggalkan. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan gelisah hati mereka ketika mereka tidak lagi melihat gadis itu di tempat itu. Hui Cu telah hilang dan mereka berdua tidak tahu apakah gadis itu pergi sendiri dari situ ataukah dilarikan orang. Juga dalam penyerbuan itu, walaupun mereka semua sudah mencari-cari bersama para pendekar lain, tidak ditemukan jejak Raja dan Ratu Iblis bersama Hui-thian Su-kwi dan beberapa orang datuk sesat lain. Juga Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu tidak dapat mereka temukan. Hanya Ji-ciangkun yang akhirnya dapat tertawan hidup-hidup dalam keadaan luka-luka dan panglima pemberontak inipun tidak dapat menjawab ke mana larinya Raja Iblis dan kaki tangannya itu. Tentu saja para pendekar merasa menyesal sekali. Mereka tadinya sudah siap-siap untuk mengeroyok dan membasmi para datuk sesat. Kiranya tokoh-tokoh terpenting mereka depat melarikan diri.

Setelah San-hai-koan jatuh tanpa mengerahkan terlalu banyak tenaga bagi pasukan pemerintah, Yang-ciangkun lalu mengerahkan pasukan untuk menuju ke Ceng-tek. Seperti yang telah diperhitungkannya, pasukan-pasukan pemberontak sedang mengepung Ceng-tek dan menghamburkan banyak tenaga untuk mencoba membobolkan benteng Ceng-tek yang sudah diduduki puukan Yelu Kim. Dan selagi kedua pihak itu kelelahan, muncullah pasukan pemerintah dari San-hai-koan yang keadaannya masih segar dan dalam jumlah yang besar, dibantu pula oleh para pendekar yang penuh semangat.

Tentu saja pasukan pemberontak yang sedang mengepung Ceng-tek menjadi terkejut dan panik ketika tiba-tiba mereka diserang oleh pasukan pemerintah dari belakang. Apalagi setelah mereka mendengar berita bahwa benteng pertama mereka, San-hai-koan, telah direbut kembali oleh pasukan pemerintah. Berarti mereka telah kehilangan kedua benteng itu. Ceng-tek direbut oleh pasukan suku bangsa utara dan San-hai-koan dirampas oleh pasukan pemerintah. Pasukan pemberontak mencoba untuk melakuken perlawanan, akan tetapi mereka dihimpit dari depan dan belakang dan dalam waktu sehari saja merekapun hancur lebur dan cerai berai, sebagian besar melarikan diri atau menakluk.

Dan terjadilah perubahan pula di Ceng-tek. Pasukan Yelu Kim masih tetap mempertahankan kota itu dan kini yang mengepung kota itu adalah pasukan pemerintah yang jauh lebih kuat lagi dibandingkan pasukan pemberontak tadi.

Yang-ciangkun adalah seorang panglima yang pandai dan bijaksana. Biarpun dia sudah mendengar bahwa Yelu Kim memimpin para kepala suku bangsa utara untuk bergerak, pertama-tama menduduki bentmg Ceng-tek untuk kemudian menyerbu ke selatan untuk menegakkan kembali kekuasaan bangsa utara di selatan, namun dia menganggap bahwa Yelu Kim telah berjasa bagi pemerintah dalam menghadapi para pemberontak. Dia tahu bahwa tidak ada untungnya menanam bibit permusuhan dengan suku-suku bangsa liar yang kalau sudah bersatu akan menjadi amat kuat itu. Lebih baik mengambil jalan damai dengan mereka, baru kalau tidak ada jalan lain, terpaksa harus dipergunakan kekerasan. Oleh karena itu, Yang-ciangkun lalu menyuruh para pembantunya untuk menyuruh penyiar yang suaranya keras untuk menyampaikan pesan dan usulnya kepada pimpinan pasukan para suku bangsa utara. Beberapa orang yang memiliki suara nyaring dan memang bertugas untuk itu, maju ke depan dengan corong-corong di depan mulut mereka dan terdengarlah teriakan-teriakan mereka bergema dengan amat kuatnya.

"Para pimpinan suku bangsa yang gagah, dengarlah baik-baik pesan Yang-ciangkun! Kami tidak menganggap kalian sebagai musuh, melainkan sebagai sahabat yang telah membantu kami membasmi para pemberontak. Oleh karena itu, kami harap agar suka menyerahkan benteng Ceng-tek kembali kepada kami agar persahabatan di antara kita tidak terganggu!"

Berkali-kali kalimat-kalimat itu diteriakkan oleh para penyiar sehingga terdengar oleh mereka yang berjaga di pintu gerbang atau di atas tembok benteng dan tentu saja segera disampaikan kepada Yelu Kim.

Nenek itu berada di atas menara yang menjadi pusat di mana ia memimpin para kepala suku bangsa dan pasukan mereka. Nenek ini merasa bimbang sekali dan ia duduk berdua saja dengan Sui Cin. Ketika menerima laporan tentang usul yang diteriakkan oleh Yang-ciangkun, nenek itu mengepal tinju dan mukanya menjadi merah sekali. Ia merasa penasaran, akan tetapi juga ragu-ragu.

"Keparat! Dengan susah payah kita merebut kota ini, dengan pengorbanan ribuan jiwa pasukan, dengan cucuran keringat dan darah. Dan sekarang hendak diminta begitu saja? Mana mungkin aku dapat memberikan kepada mereka?"

Sui Cin sejak tadi memandang wajah nenek itu. Ia merasa kagum terhadap nenek ini yang dengan gagah dan pandainya memimpin pasukan utara itu sehingga berhasil menduduki Ceng-tek. Akan tetapi iapun tahu bahwa kini, setelah pasukan pernerintah datang dan berhadapan dengan pasukan Yelu Kim, ia sendiri tidak mungkin membantu nenek yang menjadi penolong dan gurunya ini. Maka, mendengar usul yang diajukan oleh Yang-ciangkun, Sui Cin melihat suatu cara yang baik untuk turun tangan, yaitu membujuk nenek ini agar suka menerima uluran tangan Yang-ciangkun.

"Subo..." katanya lirih dan hati-hati.

"Hemm...?" Nenek yang sedang tenggelam dalam lamunannya sendiri itu agak kaget dan memandang muridnya.

"Subo tentu percaya kepadaku, bukan?"

"Percaya apa?"

"Percaya bahwa aku selalu beriktikad baik terhadap subo dan pasukan yang subo pimpin."

Nenek itu memperlebar matanya dan memandang tajam. "Tentu saja. Sudah banyak yang kaulakukan untukku, Sui Cin, dan untuk itu aku berterima kasih sekali. Kalau aku tidak percaya padamu, tentu engkau tidak kuberi tugas yang panting-penting sclama ini."

"Terima kasih! Aku suka menjadi murid dan pembantu subo, bukan hanya karena terikat perjanjian, bukan pula hanya karena aku sudah menerima budi pertolongan subo, melainkan karena aku merasa suka kepada subo yang gagah perkasa dan bijaksana, juga aku suka melihat pasukan suku bangsa utara yang demikian gagah berani. Nah, karena rasa suka saya itulah maka aku hendak mengemukakan pendapatku tentang penawaran Yang-ciangkun kepada subo, akan tetapi kuharap subo tidak akan merasa tersinggung dan menjadi marah."

Nenek itu tersenyum dan memandang lembut. "Muridku, apa kaukira aku belum mengenalmu dan tidak tahu akan isi hatimu? Engkau membantuku karena melihat aku menentang para pemberontak. Engkau seorang gadis pendekar dan tentu engkau menentang para kaum sesat yang menunggangi pasukan pemberontak. Kalau kami berhadapan dengan pasukan pemerintah, jelas bahwa engkau tidak akan membantu kami walaupun aku percaya engkau tidak akan tega untuk mengkhianatiku. Bukankah demikian?"

Sui Cin terkejut dan memandang nenek itu dengan kagum. Sungguh seorang wanita tua yang cerdik dan bijaksana. Pantaslah kalau menjadi keturunan Yelu Ce-tai yang amat terkenal di jaman awal pemerintah Mongol itu.

"Sungguh tepat sekali wawasan subo."

"Nah, sekarang katakanlah apa yang menjadi pendapatmu mengenai keadaan kita sekarang ini."

"Begini, subo. Ceng-tek telah dikepung oleh pasukan pemerintah yang amat besar jumlahnya. Tanpa diserang sekalipun, baru dikepung saja sampai sebulan lebih, kita akan kehabisan ransum dan akan celaka. Andaikata kita melawanpun, tidak mungkin dapat menang. Aku yakin subo tidak akan sebodoh itu, membiarkan pasukan hancur lebur hanya untuk mempertahankan sebuah benteng kecil seperti Ceng-tek ini. Kalau menurut pendapatku, jauh lebih menguntungkan untuk menerima usul Yang-ciangkun, menyerahkan kembali benteng ini dalam suasana damai dan bersahabat daripada mempertahankannya dengan kekerasan untuk akhirnya melihat pasukan subo dihancurkan."

"Pendapatmu memang tepat dan cocok sekali dengan apa yang kupikirkan, muridku. Akan tetapi, pantaskah kalau aku memberikan kota ini begitu saja sehingga semua pengorbanan yang telah kita lakukan itu, kematian ribuan orang saudara itu, menjadi sia-sia dan tanpa guna sama sekali bagi bangsa kami?"

"Subo, Yang-ciangkun mengulurkan tangan sebagai sahabat. Seorang sahabat yang baik tentu tidak hanya pandai minta saja, akan tetapi juga pandai pula memberi. Minta dan memberi merupakan syarat persahabatan yang baik. Kalau subo menyerahkan kota ini dengan damai, tentu subo dapat pula mengajukan permintaan-permintaan yang kiranya berguna bagi bangsa-bangsa di utara sehingga pengorbanan itu tidak sia-sia belaka melainkan ada pula hasilnya, bukan?"

"Aih, benar sekali, Sui Cin!" Nenek itu bangkit dan merangkul muridnya. "Mengapa aku tidak berpikir sampai ke situ? Engkau benar sekali. Aku akan menyusun permintaan-permintaan itu dan aku tahu siapa yang akan menjadi utusan dan wakilku. Engkaulah orangnya yang akan menyampaikan permintaan dan usul kami itu kepada Yang-ciangkun!"

Sui Cin gembira sekali. "Aku bersedia, subo!"

Nenek itu lalu memerintahkan pembantunya untuk menjawab teriakan-teriakan dari bawah itu, menyatakan bahwa jawabannya akan dikirim besok pagi-pagi setelah matahari terbit. Setelah jawaban diteriakkan ke bawah, tidak terdengar lagi teriakan-teriakan dari bawah dan keadaan menjadi sunyi. Yang mengepung kota tinggal diam saja dan tidak melakukan gerakan apa-apa, malam itu membuat api unggun, sedangkan yang melakukan penjagaan di pintu gerbang dan atas tembok benteng juga nampak tenang-tenang saja. Bahkan kedua pihak begitu percaya satu sama lain sehingga para pemimpinnya dapat tidur nyenyak pada malam hari itu.

Pada keesokan harinya, setelah matahari terbit, Sui Cin menerima gulungan kertas berisi permintaan-permintaan atau usul-usul dari Yelu Kim yang ditujukan kepada pemerintah Beng-tiauw melalui Yang-ciangkun yang tentu saja berwenang memutuskan peraturan di perbatasan utara karena di perbatasan, yang berlaku adalah peraturan-peraturan militer. Akan tetapi gadis itu tidak keluar sendirian, melainkan diantar sampai keluar pintu gerbang oleh Yelu Kim sendiri. Hal ini selain untuk memperlihatkan niat baik Yelu Kim, juga nenek ini merasa khawatir kalau-kalau ada di antara para kepala suku bangsa yang tidak setuju dan hendak mengganggu muridnya. Untuk keperluan menyampaikan surat itu, Sui Cin menunggang seekor kuda putih yang telah dipersiapkan oleh penjaga di pintu gerbang.

Pintu gerbang dibuka dan dengan diantar oleh Yelu Kim sampai keluar pintu gerbang, Sui Cin menuntun kuda putih dan setelah berpamit kepada gurunya, gadis itu lalu meloncat ke atas kudanya sambil membawa gulungan kertas itu.

Tiba-tiba nampak berkelebat dua bayangan orang yang menghadang kuda yang ditunggangi Sui Cin. Gadis ini terkejut sekali, apalagi setelah mengenal bahwa dua orang itu bukan lain adalah Raja dan Ratu Iblis sendiri!

Gadis itu berpikir cepat. Tentu kemunculan dua iblis ini ada huburgannya dengan surat yang dibawanya. "Kalian mau apa?" bentaknya marah.

"Menyerahlah dengan baik!" kata Ratu Iblis.

"Huh, kalian kira aku takut? Sampai mati aku tidak sudi menyerah!" Dan tiba-tiba Sui Cin membalapkan kudanya. Akan tetapi ia tidak mudah lolos begitu saja. Tangan Raja Iblis bergerak dan hawa pukulan yang amat kuat membuat kuda yang ditungganginya terpelanting ke kiri! Untung Sui Cin masih memiliki ketenangan sehingga dengan gin-kangnya yang tinggi, ia dapat melompat dan tidak ikut terbanting. Kuda itu terbanting akan tetapi tidak terluka, hanya terkejut saja dan meringkik ketakutan.

Sementara itu, nenek Yelu Kim yang juga melihat munculnya dua bayangan itu, tidak masuk kembali ke dalam pintu gerbang, melainkan cepat lari menghampiri tempat itu yang tidak begitu jauh dari tempat ia berdiri.

"Sui Cin, suratnya...!" nenek ini berseru.

Sui Cin maklum apa yang dikehendaki gurunya, cepat gulungan kertas itu ia lemparkan ke arah nenek yang cepat menyambarnya. Nenek itu langsung meloncat ke atas punggung kuda yang ketakutan dan ia membalapkan kuda itu untuk menggantikan Sui Cin menghadap Yang-ciangkun menyerahkan sendiri surat tuntutan atau permintaan bangsanya itu.

Akan ketapi kembali Raja Iblis menggerakkan tangannya dan sekali ini bukan untuk melakukan pukulan jarak jauh seperti yang dilakukan terhadap kuda tadi, melainkan ada benda bersinar putih meluncur dari tangan itu menuju ke arah tubuh Yelu Kim yang sedang melarikan kuda. Benda itu berputar-putar cepat seperti hidup dan tahu-tahu sudah hinggap di atas punggung Yelu Kim. Nenek ini merasa betapa punggungnya panas dan perih sekali. Ia cepat mencengkeram ke arah benda di punggungnya itu dan menariknya dari punggung. Ketika dilihatnya, ternyata itu adalah sebuah tengkorak kecil, agaknya tengkorak seorang anak kecil. Nenek ini terkejut dan membanting tengkorak itu ke atas tanah. Tengkorak pecah berantakan dan dari dalamnya keluar asap hitam! Nenek itu merasa betapa rasa panas menjalar cepat ke seluruh tubuh dan tahulah ia bahwa ia terkena senjata beracun yang amat ampuh. Akan tetapi ia terus saja membalapkan kuda ke depan, ke arah perkemahan pasukan pemerintah yang mengepung kota Ceng-tek dari jarak antara dua tiga li jauhnya. Ia menahan rasa nyeri yang menyengat-nyengat tubuhnya, terus melarikan kuda putihnya yang kabur karena sudah ketakutan. Nenek itu berhasil mencapai perkemahan dan terpelanting dari atas kudanya sambil masih mencengkeram gulungan kertas.

Para perejurit yang menyaksikan peristiwa itu cepat mengangkutnya ke dalam kemah besar, ke hadapan Yang-ciangkun. Panglima ini cepat menerima gulungan kertas dan nenek Yelu Kim hanya sempat mengeluarkan kata-kata begini, "Tai-ciangkun... demi kejujuran seorang pemimpin, kota Ceng-tek kuserahkan akan tetapi penuhilah permintaan-permintaan kami yang pantas ini..." dan nenek yang gagah perkasa inipun menghembuskan napas terakhir di depan Yang-ciangkun. Berita tentang kegagahan nenek Yelu Kim ini tersiar luas dan sampai puluhan tahun mendatangkan namanya menjadi kebanggaan suku bangsa di timur dan dikagumi pula para pendekar selatan. Tuntutannya adalah pembebasan pajak bagi suku bangsa utara yang membawa barang dagangan keluar masuk perbatasan dan hal ini disetujui oleh Yang-ciangkun sehingga keadaan para pedagang suku bangsa utara menjadi jauh lebih baik.

Sementara itu, Sui Cin dengan nekat melakukan perlawanan. Melihat betapa nenek Yelu Kim berhasil lari walaupun agaknya terluka, gadis ini menjadi marah. "Kalian ini iblis-iblis busuk!" bentaknya dan iapun sudah menerjang mereka dengan tangan kosong, menggunakan ilmu pukulannya yang ampuh sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.

Akan tetapi, yang diserangnya adalah Raja Iblis yang luar biasa tangguhnya. Setiap kali kakek bermuka pucat kehijauan itu menangkis, Sui Cin merasa betapa lengannya nyeri dan tergetar hebat. Akan tetapi ia tidak takut dan menyerang terus sehingga kakek itu menjadi marah. Bagaimanapun juga, tingkat kepandaian Sui Cin tidak dapat dibilang rendah dan sampai belasan kali tubrukan balasan Raja Iblis tidak mampu menangkap Sui Cin yang lincah dan menggunakan gin-kangnya untuk mengelak ke sana-sini itu.

Sui Cin tidak membiarkan dirinya ditangkap, bahkan membalas dan ketika ia mengelak dari cengkeraman kedua tangan Raja Iblis, tiba-tiba ia membalik dan dengan kedua tangannya yang terbuka telapak tangannya, ia melakukan pukulan yang dilakukan dengan mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya. Angin dahsyat menyambar ke arah Raja Iblis yang diam-diam merasa kagum juga kepada gadis yang pernah membikin ia penasaran dan repot ketika Sui Cin dahulu merampas Tongkat Suci dari tangannya. Kini, kembali dia tidak mampu menangkap gadis ini dalam waktu singkat. Raja Iblis merasa penasaran sekali. Dia dan isterinya telah gagal dalam pemberontakan membonceng pasukan Ji-ciangkun dan kedua kota benteng telah jatuh ke tangan pemerintah. Melihat betapa pasukan pemerintah berhadapan dengan pasukan liar dari utara, dia masih mempunyai harapan agar kedua pihak berperang sehingga keduanya lemah. Akan tetapi ternyata Yelu Kim menerima tawaran dan uluran tangan Yang-ciangkun untuk berdamai. Oleh karena itu, dia lalu keluar bersama isterinya untuk menggagalkan ini, merampas surat dan juga menawan Sui Cin untuk dijadikan sandera. Akan tetapi, terayata nenek Yelu Kim berhasil melarikan surat, dan mengorbankan nyawa sendiri dan kini tinggal gadis itu yang juga tidak mudah ditangkap!

Melihat betapa gadis itu malah menyerangnya dengan dahsyat, kakek seperti setan itu mengeluarkan suara mencicit seperti burung dari dalam mulutnya dan diapun mengulur kedua tangan ke depan menyambut pukulan Sui Cin.

"Plakk!" Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan Raja Iblis merasa betapa tubuhnya tergetar! Semakin kagumlah dia, akan tetapi sebaliknya Sui Cin merasa betapa telapak kedua tangannya melekat pada telapak tangan Raja Iblis. Dia berusaha menarik kedua tangannya akan tetapi merasa betapa ada tenaga menyedot dari kedua telapak tangan iblis itu yang membuat kedua tangannya melekat. Dan pada saat itu, Ratu Iblis sudah bergerak menotok punggungnya. Sui Cin tidak mampu mengelak dan iapun roboh dengan lemas lalu dipanggul oleh Ratu Iblis.

Pada saat itu, serombongan perajurit Yelu Kim sudah menghampiri tempat itu dan mengurung dengan senjata ditodongkan. Akan tetapi nenek Ratu Iblis membentak mereka, "Majulah dan nona ini akan kubunuh dulu, baru kalian!"

Melihat betapa Sui Cin yang mereka kenal sebagai pembantu dan murid nenek Yelu Kim sudah tertawan, dan mendengar ancaman Ratu Iblis, pasukan itu tidak berani menyerang dan terpaksa membiarkan saja kakek dan nenek itu berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu sambil membawa tubuh Sui Cin yang sudah tidak mampu bergerak.

Sementara itu, Cia Sun dan Ci Kang yang bersama Cia Kong Liang sudah bergabung dengan para pendekar dan ikut pula membantu pasukan pemerintah yang mengurung Ceng-tek, melihat betapa nenek Yelu Kim tewas di tangan Raja Iblis. Dari jauh mereka melihat kakek dan nenek itu yang melarikan diri tanpa diganggu oleh pasukan suku utara. Keduanya segera berlari cepat menuju ke depan pintu gerbang Ceng-tek. Semua orang mengenal Ci Kang yang gagah perkasa karena Ci Kang pernah dicalonkan menjadi jagoan bahkan hampir memperoleh kemenangan kalau tidak dikalahkan oleh Sui Cin.

"Apa yang terjadi? Kenapa kalian tidak menahan dua orang kakek dan nenek itu tadi?" tanya Ci Kang.

"Mereka menawan nona Sui Cin, kami tidak berani turun tangan."

"Apa?" Cia Sun terkejut mendengar bahwa Sui Cin ditawan Raja dan Ratu Iblis. "Ke mana mereka lari?"

"Ke sana...!" Seorang perwira menunjuk ke arah sebuah bukit yang nampak gundul dari tempat itu. Tanpa banyak cakap lagi, seperti sudah berunding lebih dahulu, Siangkoan Ci Kang dan Cia Sun berlari menuju ke bukit itu, mempergunakan ilmu berlari cepat.

Ketika keduanya tiba di kaki bukit itu, mereka bertemu dengan Hui Song dan sisa murid-murid Cin-ling-pai. Seperti kita ketahui, Hui Song dan Siang Wi bersama murid-murid Cin-ling-pai, berhasil dibawa keluar dari Ceng-tek oleh Sui Cin. Akan tetapi ketika mereka pergi ke San-hai-koan untuk mencari ketua mereka, ternyata San-hai-koan sedang dalam perang sehingga mereka tidak dapat masuk kota benteng itu. Terpaksa mereka menjauhkan diri karena mereka merasa khawatir terjadi salah paham dari pasukan pemerintah yang agaknya sudah mendengar bahwa Cin-ling-pai bersekutu dengan pemberontak. Barulah setelah perang berakhir, Hui Song, Siang Wi dan saudara-saudara seperguruan mereka mendengar bahwa Cia Kong Liang kini membantu pasukan pemerintah menyerang ke Ceng-tek, sehingga mereka merasa gembira sekali dan merekapun mengejar ke Ceng-tek.

Biarpun hati Hui Song tetap tidak senang melihat Ci Kang, akan tetapi malihat Cia Sun dia segera bertanya, "Cia Sun, engkau hendak ke manakah dan bagaimana dengan keadaan di Ceng-tek? Apakah engkau bertemu dengan ayah?"

Cia Sun mengangguk. "Kami bersama-sama dengan ayahmu dan beliau kini berada di antara pasukan yang mengepung Ceng-tek. Kami berdua hendak mengejar Raja dan Ratu Iblis yang telah menawan dan melarikan nona Sui Cin..."

"Apa...?" Hui Song menjadi pucat wajahnya. "Ke mana ia dibawa lari?"

"Ke bukit itu, dan kita akan mencarinya!" kata Cia Sun dan diapun cepat mengejar Ci Kang yang agaknya tidak mau banyak cakap dan sudah lari lagi.

"Aku ikut...!" kata Hui Song. "Sumoi, bawa saudara-saudara menemui ayah di luar Ceng-tek!" Dan diapun cepat mengerahkan tenaganya untuk mengejar Ci Kang dan Cia Sun. Mereka bertiga seperti orang berlomba lari menuju ke bukit yang nampak gundul dan hitam dari tempat itu.

Bukit itu memang gundul dan kering. Setelah didekati, nampak bahwa bukit itu hanya terdiri dari padang pasir dan batu-batu karang belaka, tidak nampak sedikitpun tumbuh-tumbuhan. Dan di sebuah lereng bukit karang, mereka melihat pemandangan yang menegangkan hati dari jauh sehingga dengan sendirinya ketiganya berhenti dan memandang ke arah depan. Di sana, dalam jarak puluhan meter, nampak Sui Cin sedeng berdiri bersandar tiang dan jelas bahwa gadis itu diikat pada tiang itu.

"Itu Sui Cin...!" Hui Song berteriak dan dialah yang lebih dulu meloncat dan lari, diikuti oleh Cia Sun dan Ci Kang.

"Cin-moi...!" Hui Song berseru setelah tiba dekat.

"Song-ko! Jangan mendekat...!" Tiba-tiba Sui Cin berseru dan seruan ini mengejutkan tiga orang pemuda itu. Mereka berdiri memandang dengan alis berkerut dan memperhatikan keadaan.

Ternyata Sui Cin terikat pada sebuah tiang baja yang terletak di tengah-tengah lingkaran segi delapan. Pat-kwa atau Segi Delapan itu terbuat dari batu dan bentuknya biasa saja, akan tetapi amat mencurigakan. Garis tengahnya kurang lebih enam meter dan jarak dari sisi segi delapan itu ke tiang di mana Sui Cin terikat, sekitar tiga meter. Tempat di mana Sui Cin diikat itu tidak dapat dijangkau dengan tangan dan untuk meghampiri atau menolongnya, orang terpaksa harus naik dan menginjak batu segi delapan yang tebalnya antara dua kaki itu. Dilihat begitu saja, tentu akan mudah melepaskan belenggu yang mengikat kedua lengan Sui Cin pada tiang di belakangnya. Akan tetapi tiga orang muda itu bukan orang sembarangan, apalagi ada cegahan Sui Cin yang membuat mereka mengerti bahwa segi delapan ini merupakan jebakan yang mengandung rahasia yang amat berbahaya apabila diinjak oleh orang yang hendak menolong gadis itu.

"Jangan mendekat dari depan. Tadi ada seorang pendekar yang tewas karena hendak menolongku. Pasir di depan itu adalah pasir yang dapat membunuh, menyedot oirang yang menginjaknya. Ah, mengeriken sekali...! Aku melihat orang yang hendak menolongku itu tersedot, menangis tanpa aku mampu menolongnya sampai dia lenyap ke bawah permukaan pasir..." Suara gadis itu tergetar hebat. "Raja Iblis sengaja menaruh aku di sini untuk menjebak kalian yang tentu datang mencoba untuk menolongku. Hati-hati, jangan sembarangan bergerak."

Tentu saja tiga orang pemuda itu menjadi terkejut sekali dan bingung. Mereka berdiri agak jauh di depan Sui Cin. Kini gadis itu dapat melihat mereka semua dan wajahnya berseri gembira. Tak disangkanya bahwa tiga orang pemuda itulah yang datang hendak merolongnya, tiga orang pemuda yang begitu dekat dengan hatinya! Baru kini seperti terbuka matanya bahwa mereka itu, Cia Sun, Cia Hui Song, dan Siangkoan Ci Kang, semua mencintanya, jatuh hati kepadanya! Dan melihat mereka bertiga itu berdiri barjajar di depannya, hati Sui Cin yakin bahwa sesungguhnya perasaan hatinya lebih condong kepada Hui Song. Apapun kekurangan pemuda ini kalau dibandingkan dengan dua orang pemuda yang lain, tetap saja perasaan Sui Cin lebih dekat dengannya dan ia tahu bahwa Hui Song memiliki watak dan citarasa yang mirip dengannya. Hanya dengan Hui Song dia dapat bergembira, dapat bertengkar, berbaik kembali, berbantahan dan saling mengalah. Cia Sun terlalu serius, terlalu halus perasaannya sehingga tentu mudah tersinggung. Siangkoan Ci Kang mungkin yang paling gagah di antara mereka, penuh daya tarik kejantanan, akan tetapi juga pendiam dan bahkan agak dingin. Kini, dalam keadaan terancam bahaya seperti itu, memang lucu sekali, gadis ini mengambil keputusan bahwa yang dicintanya hanyalah Hui Song.

"Cin-moi, aku harus menolongmu. Aku dapat meloncat ke atas batu dan membebaskanmu, tanpa menginjak tanah di tepi batu pat-kwa ini!" kata Hui Song.

"Jangan...! Berhati-hatilah, Song-ko, engkau akan celaka nanti. Batu pat-kwa ini mengandung alat-alat rahasia yang mengerikan. Aku melihat sendiri betapa Raja dan Ratu Iblis melakukan langkah-langkah aneh ketika menginjak batu pat-kwa ini, dan aku yakin bahwa sekali saja salah langkah dan menginjak bagian yang ada alat rahasianya, akan terjadi hal-hal yang mengerikan."

"Aku tidak takut, kalau perlu aku boleh saja mati untuk menolongmu!"

"Nanti dulu, paman Hui Song! Kalau alat rahasia itu mengakibatkan kematianmu masih baik, akan tetapi bagaimana kalau alat rahasia itu bekerja membunuh Sui Cin?" kata Cia Sun dan Hui Song berubah agak pucat wajahnya karena dia teringat akan kemungkinan ini dan membayangkan kematian mengerikan bagi Sui Cin sebagai akibat perbuatannya yang gegabah!

"Begini saja!" tiba-tiba Ci Kang berkata. "Aku yang mencoba menghampiri nona Ceng dengan jalan di atas batu pat-kwa. Kalau terjadi apa-apa dengan diriku, biarlah, aku rela mati. Dan kalau terjadi sesuatu dengan nona Ceng, kalian berdua berjaga-jaga dan melindunginya."

"Biar aku saja yang mencobanya, Ci Kang," kata Cia Sun. "Engkau dan paman Hui Song yang berjaga-jaga melindungi Cin-moi."

"Jangan...!" Kini Hui Song yang berteriak. "Apakah kalian mau mempermainkan keselamatan Cin-moi? Tidak, tidak boleh gegabah! Kita harus menyelidiki dulu keadaan batu pat-kwa ini dan sekelilingnya!"

"Lalu apa yang akan kaulakukan, paman Hui Song?"

"Kita selidiki dulu tanah di sekelilingnya pat-kwa ini." Hui Song mengambil batu-batu sebesar kepala orang. Dia melemparkan batu itu di dekat batu pat-kwa di depan Sui Cin dan benar saja, tiba-tiba begitu tersentuh batu, pasir di depan batu pat-kwa itu bergerak memutar dan batu itupun disedot dengan cepat sekali ke bawah! Hui Song mencoba lagi untuk melihat di mana batas pasir berputar itu dan ternyata sampai sejauh tiga meter di bagian itu masih berbahaya.

Kini Cia Sun dan Ci Kang tanpa diminta membantu pemuda Cin-ling-pai itu. Mereka menggunakan batu untuk menyelidiki tanah di sekeliling batu untuk menyelidiki tanah di sekeliling batu pat-kwa. Ada bagian yang kalau diinjak atau kejatuhan batu mengeluarkan paku-paku beracun, ada pula yang mengeluarkan asap beracun sehingga tidaklah mungkin menghampiri batu pat-kwa dengan menginjak tanah di sekelilingnya, kecuali satu bagian saja yang ketika dijatuhi batu tidak mengakibatkan apa?apa. Bagian ini berada di sebelah kiri Sui Cin. Ketika beberapa kali mereka melempukan batu di segi itu dan tidak terjadi reaksi apa-apa seperti yang terjadi pada tujuh segi yang lain, mereka menjadi girang.

"Bagian ini tidak mengandung perangkap!" kata Hui Song.

"Biar aku sekarang mencoba naik ke batu pat-kwa," kata Ci Kang sambil melangkah maju.

"Tidak! Engkau tidak boleh mendekatinya. Akulah yang berhak menolong Cin-moi, bukan engkau!" Hui Song yang masih membenci Ci Kang karena perbuatannya yang lalu terhadap Sui Cin, membentak marah.

"Hemm, mengapa harus engkau saja?" Ci Kang merasa mendongkol dan membantah.

"Karena ia... ia... adalah orang yang kucinta!" dengan jujur Hui Song mengaku begitu saja sehingga wajah Sui Cin menjadi merah dan hatinya juga mendongkol mengapa Hui Song begitu lancang untuk bicara soal cinta di depan orang-orang lain dalam keadaan seperti itu.

"Hemm, engkau sungguh terlalu tinggi hati," kata Ci Kang tak puas.

"Paman Hui Song, siapapun orangnya boleh saja jatuh cinta kepada Cin-moi dan hanya ialah yang akan menentukan siapa yang berhak memiliki hatinya. Akan tetapi untuk menolongya kukira tidak ada perbedaan, semuapun berhak."

"Tidak! Biar aku yang mencobanya lebih dulu, dan kuharap engkau suka menjaga kalau-kalau ada sesuatu yang mengancam dirinya, Cia Sun." Tanpa memberi kesempatan kepada dua orang pemuda yang lain, Hui Song melangkah ke atas tanah yang tadi sudah dicoba berkali-kali dengan lemparan batu dan tidak terjadi sesuatu. Sui Cin yang tadi merasa bingung melihat betapa terjadi pertengkaran di antara mereka, memandang dengan hati khawatir.

Tiba-tiba terdengar ledakan dan Hui Song cepat meloncat ke belakang sambil berjungkir balik. Untung dia dapat bergerak cepat dan bersikap waspada. Kiranya tanah yang tadi sudah dicoba dengan lemparan batu dan tidak berbahaya itu, begitu terkena injakan kakinya lalu melemparkan batu dan pasir ke atas disertai suara ledakan dari bawah!

"Sungguh aneh! Kenapa tadi ketika dicoba dengan batu tidak apa-apa?" tanya Hui Song. Cia Sun juga merasa heran dan dia sudah melemparkan lagi sebuah batu ke tempat itu. Kembali terdengar ledakan dan pasir bersama batu menyambar ke atas disertai ledakan dari bawah!

"Ah, aku tahu sekarang!" kata Ci Kang yang menusuk-nusukkan sebatang kayu yang didapatnya ke atas tanah di sebelah kanan bagian yang meledak tadi. Dan di bagian itu, ketika ditusuk-tusuk, tidak terjadi apa-apa. Padahal tadi bagian itu kalau disentuh mengeluarkan paku-paku beracun! "Aku mengerti sekarang. Lihat, bayangan tiang itu tadi tiba di segi yang meledakkan pasir dan ketika dicoba tidak apa-apa. Kini bayangan tiang sudah bergeser ke kanan, jatuh di bagian ini dan bagian ini yang tadi menyemburkan paku kini tidak berbahaya. Sebaliknya, bagian yang tadi terkena bayangan dan tidak berbahaya, kini menjadi berbahaya! Agaknya bayangan tiang itu membuat alat rahasia di bagian atau segi yang tertutup bayangan menjadi lumpuh dan alat rahasia itu tidak bekerja!"

Dua orang pemuda yang lain mencoba-coba dan memang benar. Kini bagian yang terkena bayangan yang nampak melintang hitam di satu segi dari batu pat-kwa, ketika dilempar batu tanah di depannya, tidak terjadi apa-apa.

"Aku anak naik, harap kalian menjaga nona Sui Cin!" kata Ci Kang dan dengan berani dia sudah melangkah ke depan. Tanah itu diinjaknya dan tidak terjadi apa-apa. Dia melangkah menghampiri batu pat-kwa, dipandang dengan jantung berdebar oleh Sui Cin. Dua orang pemuda yang lain, karena kedahuluan Ci Kang terpaksa hanya berdiri dengan sikap penuh kewaspadaan mereka menjaga kalau-kalau Sui Cin akan terancam bahaya bekerjanya alat rahasia.

Ci Kang sudah tiba di dekat batu pat-kwa. Dia tidak mau gegabah naik ke atas batu-batu pat-kwa itu, akan tetapi lebih dahulu menggunakan tongkat kayu tadi memukul permukaan batu pada kotak pertama. Setelah tidak terjadi sesuatu, dia lalu naik dan menginjak bagian itu. Dengan tongkatnya, dia memukul lagi bagian depan, juga tidak terjadi apa-apa. Kotak ketiga di depan dibagi menjadi dua oleh sebuah garis. Ci Kang meragu. Yang mana yang harus dipukul untuk mencari landasan yang aman. Dia memukulkan tongkatnya dengan hati-hati ke atas kotak yang kiri dan tiba-tiba saja bagian itu terbuka dan nampak berkelebat dua sinar hitam, satu ke arah Ci Kang dan yang lain ke arah Sui Cin!

Ci Kang cepat melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik melompat ke bawah batu pat-kwa sehingga anak panah hitam itu meluncur lewat dan tidak mengenai tubuhnya. Dan pada saat itu, Hui Song melemparkan sebuah batu besar menyambit anak panah yang meluncur dan menyambar ke arah Sui Cin.

"Takkk...!" Anak panah itu terpukul batu dan mencelat jauh keluar batu pat-kwa. Wajah Sui Cin menjadi agak pucat dan wajah tiga orang pemuda itupun diliputi ketegangan.

"Sungguh berbahaya!" kata Cia Sun. "Biarlah aku yang sekarang mencobanya, harap kalian suka menjaga baik-baik." Tanpa menanti jawaban, diapun menghampiri bagian segi yang tadi dilalui Ci Kang. Seperti juga Ci Kang, dia berhasil naik sampai ke dalam kotak kedua dan di sini, dengan hati-hati dia menggunakan ujung kakinya menekan kotak yang kanan dari kotak yang terbagi dua itu dan ternyata di sini aman, tidak seperti di bagian kiri yang tadi menyemburkan anak panah. Dua orang pemuda lain memandang penuh ketegangan.

Di depan kotak ketiga yang terbagi dua itupun terdapat kotak yang terbagi dua. Satu segi dari batu pat-kwa itu terbagi menjadi lima kotak dengan garis melintang dan di bagian yang dilalui Cia Sun itu kotak ketiga dan keempat terbagi menjadi dua. Di sini Cia Sun menjadi ragu lagi. Kotak mana yang harus dilaluinya. Dia sudah dekat dengan Sui Cin, akan tetapi belum dapat menjangkau ke depan untuk melepaskan belenggu pada kedua pergelangan lengan gadis itu. Dia masih harus melalui dua bagian lagi ke depan. Dengan hati-hati dan secara untung-untungan, kakinya menginjak bagian kanan dari kotak yang terbagi dua itu.

"Blarrr...!" Bagian itu terbuka dan dengan desis yang mengerikan, keluarlah dua ekor ular sendok yang agaknya sudah kelaparan karena dua ekor ular itu tiba-tiba menyerang ke arah Cia Sun dan Sui Cin. Dalam keadaan berdiri dengan sebelah kaki seperti itu, tentu saja Cia Sun tidak dapat melawan serangan ular dan menghindarkan diri, dia melempar tubuh ke belakang seperti yang dilakukan oleh Ci Kang tadi. Akan tetapi, Ci Kang dan Hui Song yang sudah siap siaga, menggerakkan tangan dan dua buah batu menghantam dua ekor ular itu sehingga dua binatang berbisa itu terlempar jauh dengan kepala hancur oleh dua buah batu yang disambitkan dengan kekuatan besar itu.

Kini mereka bertiga saling pandang dengan muka pucat. "Berbahaya sekali!" kata Cia Sun. "Sungguh tidak mungkin menghampiri Sui Cin melalui atas batu pat-kwa, terlalu berbahaya baginya, harus dicari jalan lain."

"Aku tahu," kata Hui Song "Aku akan meloncat ke atas tiang itu. Dengan demikian aku akan melewati batu pat-kwa dan dari atas tiang, aku dapat membebaskan belenggu yang mengikat kedua pergelangan tangan Sui Cin."

"Jangan, Song-ko, terlalu berbahaya. Bagaimana kalau sampai engkau terjebak dan celaka?" seru Sui Cin penuh kekhawatiran. Bukan main gembiranya rasa hati Hui Song mendengar dan melibat kekhawatiran gadis itu. Mungkinkah Sui Cin begitu mengkhawatirkan keselamatan dirinya karena mencintanya?

"Ah, apa artinya malapetaka bagiku, Cin-moi? Yang penting asal engkau selamat dan bebas dari tempat ini!"

Setelah berkata demikian, dengan penuh semangat karena terdorong rasa gembiranya, Hui Song sudah meloncat ke atas. Bagaikan seekor burung garuda yang besar, dia melayang ke arah tiang di tengah batu pat-kwa dan hinggap di puncak tiang itu. Akan tetapi, begitu kedua kakinya menginjak tiang, tiba-tiba terdengar suara keras dan tiang itupun berputar dengan cepat sekali, membawa tubuh Sui Cin dan Hui Song berputaran dengan cepat. Karena Sui Cin tidak dapat bergerak, kedua pergelangan tangannya diikat di belakang tiang, ia merasa ngeri dan hanya memejamkan kedua matanya, menanti datangnya maut yang mungkin tak dapat dihindarkannya lagi. Tubuh Hui Song yang berdiri di atas tiang dengan sebelah kaki, berpusing dengan amat cepatnya pula. Pemuda inipun bingung sekali karena dia tidak mungkin dapat menghentikan geraken tiang yang berputar dengan amat cepatnya itu, yang membawa tubuhnya berpusing seperti kitiran. Betapapun pandainya, mana mungkin dia dapat menggunakan tenaga untuk melawan perputaran tiang. Yang membingungkan hatinya adalah karena dia memikirkan keselamatan gadis yang dicintanya, yang juga berpusing di sebelah bawahnya. Dia tidak begitu memperhatikan dirinya sendiri, akan tetapi lebih mengkhawatirkan keselamatan Sui Cin. Semua orang yang berada di luar batu pat-kwa juga terbelalak bingung. Kalau tiang itu tidak cepat dapat dihentikan, kalau kedua orang itu terus berpusing seperti itu cepatnya, akan berbahayalah keadaan mereka. Orang akan dapat tewas hanya karena diputar secepat itu, atau setidaknya akan gila karena ketakutan.

"Hui Song, cepat meloncat turun!" tiba?tiba Ci Kang membentak dan nyaring. Dia tidak ingat lagi akan segala ketidaksenangan hatinya dan menyebut nama Hui Song begitu saja di luar kesadarannya, saking gelisahnya melihat Sui Cin dan Hui Song berpusing seperti itu.

Barulah Cia Sun teringat dan iapun cepat meneriaki Hui Song agar segera meloncat turun. Tadinya, Hui Song sendiri tidak sadar dan mengambil keputusan untuk mati bersama Sui Cin. Akan tetapi, mendengar teriakan-teriakan kedua orang pemuda di bawah itu, teringatlah dia bahwa berpusingnya tiang karena terinjak olehnya dan besar sekali kemungkinan tiang itu akan berhenti kalau tidak diinjak. Akan tetapi, meloncat turun sampai di luar batu pat-kwa dalam keadaan berputar secepat itu bukanlah hal yang mudah dan tidak berbahaya. Betapapun juga, teringat akan keselamatan Sui Cin, dia tidak memperdulikan lagi bahaya apapun yang akan mengancamnya dan setelah mengumpulkan tenaga, tiba-tiba saja tubuhnya meloncat meninggalkan tiang. Tentu saja dia tidak dapat mempergunakan perhitungan karena pandang matanya sudah kabur dan dia tidak dapat melihat ke arah mana dia melompat. Bayangan kedua orang pemuda di luar batu pat-kwa itupun sudah tidak nampak olehnya saking cepatnya tubuhnya berpusing.

Begitu tubuhnya meloncat terlepas dari tiang, tubuh itu terbawa oleh tenaga dorongan ketika berpusing itu dan loncatannya menjadi jauh sekali! Tubuhnya seperti sebuah batu dilemparkan dengan tenaga raksasa. Kalau bukan Hui Song yang berkepandaian tinggi, tentu akan celakalah orang yang dilontarkan seperti itu. Akan tetapi Hui Song tidak kehilangan ketenangannya sehingga dalam keadaan yang amat berbahaya itu dia dapat mengambil tindakan tepat. Dia cepat mengerahkan tenaganya dan dengan gerakan kaki tangannya dia mampu meloncat jungkir balik sedemikian rupa sehingga tubuhnya melayang ke atas dan dorongan tenaga berpusing tadipun dapat dihindarkan. Tubuhnya masih berjungkir balik beberapa kali kemudian meluncur turun dan dia dapat hinggap ke atas tanah dengan selamat, walaupun mukanya menjadi pucat sekali dan tubuhnya basah oleh peluh. Ketika memandang, kepalanya pening dan dia memejamkan mata sebentar, mengumpulkan hawa murni dan akhirnya dia dapat menguasai keadaannya. Dibukanya matanya dan ternyata dia telah terlempar sampai puluhan meter jauhnya! Dia melihat betapa tiang itu masih berputar, akan tetapi tidak cepat lagi dan perlahan-lahan berhenti. Tubuh Sui Cin masih terikat dan gadis itu nampak lemas, kepalanya terkulai dan matanya terpejam. Gads itu telah jatuh pingsan!

"Cin-moi...!" Hui Song berseru dengan hati penuh kegelisahan dan dia berlompatan menuju ke batu pat-kwa itu.

"Ia tidak apa-apa, hanya pingsan. Pernapasannya berjalan seperti biasa," kata Cia Sun.

"Untung ia pingsan, itu lebih baik bagi syarafnya," sambung Ci Kang.

Hui Song memandang penuh perhatian dan hatinyapun lega. Memang gadis itu hanya pingsan, dan kini tiang itu telah berbenti sama sekali seperti tadi. Kiranya kalau tiang itu diinjak atau disentuh dari atas, ada alat yang menggerakkannya sehingga berputar sampai dia dan Sui Cin tidak kuat lagi. Sungguh berbahaya!

"Aihh, bagaimana kita dapat membebaskannya?" Dia mengeluh khawatir.

"Kita harus berhati-hati. Agaknya Raja Iblis sengaja menggunakan Sui Cin sebagai umpan agar para penolong celaka," kata Cia Sun.

"Atau dia sengaja memancing para pendekar agar berkumpul di sini dengan maksud-maksud tertentu. Dia tentu tidak jauh dari sini. Kalau kita bisa menemukan Hui Cu, tentu gadis itu dapat memberi tahu kepada kita rahasis batu pat-kwa ini," kata Ci Kang.

"Aku tidak perduli Iblis itu menggunakan siasat apapun, aku tidak perduli siapa celaka asal dapat membebaskan Cin-moi!" kata Hui Song penuh nafsu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar