Karena nampaknya pihak pemerintah selatan belum juga mengirim pasukan besar dan yang menentang gerakan para pemberontak itu hanyalah pasukan-pasukan pemerintah di perbatasan yang tidak berapa kuat, Yelu Kim lalu merencanakan penyerbuan ke Ceng-tek. Apalagi setelah ia mendengar akan pemberontakan di dalam benteng itu oleh orang-orang Cin-ling-pai yang tadinya membantu pemberontak. Dianggapnya telah tiba saatnya yang baik untuk bergerak karena benteng Ceng-tek itu tidak sekuat San-hai-koan yang menjadi pusat pemberontak di mana tinggal para pimpinan pemberontak dengan pasukannya yang besar dan kuat. Kekuatan Ceng-tek hanya beberapa ribu orang pasukan dan setelah mengumpulkan kurang lebih tujuh ribu orang, Yelu Kim lalu mengatur siasat untuk melakukan penyerbuan kepada para pemberontak yang menduduki Ceng-tek. Kota itu akan diserbu dari delapan jurusan penjuru angin! Dan para pembantunya yang pandai akan menimbulkan kekacauan di empat pintu gerbang, kemudian jauh hari sebelum penyerbuan dilakukan, sebanyak mungkin pembantu yang pandai akan diselundupkan memasuki kota benteng itu dan pada saat para pembantu menimbulkan kekacauan di empat pintu gerbang, maka mereka yang menyelundup ini serentak melakukan pengrusakan dengan cara membakar tempat-tempat penting. Kebakaran ini yang akan menjadi tanda bagi pasukan Yelu Kim untuk menyerbu dari delapan penjuru, yang empat bagian menyerbu langsung ke pintu gerbang yang sedang kacau, dan yang empat bagian lain menyerbu dengan menghujankan anak panah melalui tembok benteng dan menyerbu dengan menggunakan tangga dan tali.
Demikian rapinya Yelu Kim mengatur siasatnya sehingga sudah puluhan orang mata-mata diselundupkannya ke Ceng-tek tanpa ada yang mengetahuinya. Para komandan di Ceng-tek masih tenang saja, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kota mereka diam-diam telah terkepung oleh banyak perajurit pasukan suku bangsa utara! Setelah Cin-ling-pai dihancurkan, kota Ceng-tek ini dipimpin oleh Sim Thian Bu dan Gui Siang Hwa, dibantu oleh para perwira pasukan pemberontak. Di antara beberapa orang datuk sesat yang membantu dua orang ini melakukan penjagaan di Ceng-tek terdapat Koai-pian Hek-mo, Hwa Hwa Kui-bo, dan Tho-tee-kwi, tiga di antara Cap-sha-kui yang tinggal tujuh orang itu. Empat orang tokoh lain tak pernah berpisah dari Raja dan Ratu Iblis karena mereka yang berjuluk Hui-thian Su-kwi (Empat Setan Terbang ke Langit) ini dipercaya untuk menjadi pengawal pribadi Raja dan Ratu Iblis!
Kaum pemberontak itu bukanlah pejuang-pejuang sejati, melainkan segerombolan orang-orang yang selalu mengejar kesenangan. Bahkan pemberontakan itu mereka lakukan demi mengejar kesenangan. Oleh karena itu, setelah Cin-ling-pai dibasmi, penjagaan di kota benteng itu tidaklah seketat semula. Para pimpinan itu kerjanya hanya bersenang-senang saja, makan minum, pesta pora dan melampiaskan nafsu-nafsu mereka sepuasnya karena di kota benteng itu merekalah yang berkuasa. Memang mereka tidak merasa khawatir. Benteng mereka itu amat kuat, terjaga oleh ribuan orang, ada lima ribu lebih orang tentara. Dan tidak nampak tanda-tanda datangnya pasukan pemerintah dari selatan. Apa yang perlu ditakutkan?
Pada senja hari itu, seperti biasa, para penjaga pintu gerbang menjaga sambil bersenang-senang. Ada yang bermain kartu, ada yang minum-minum dan setiap ada wanita muda lewat di pintu gerbang, tentu mereka akan mengganggu, baik dengan ucapan-ucapan ataupun dengan sentuhan-sentuhan. Karena kebiasaan yang amat buruk ini, jarang ada wanita muda berani melewati pintu gerbang.
Akan tetapi pada senja hari itu, di pintu gerbang sebelah timur, nampak seorang wanita muda mendorong sebuah gerobak, datang dari luar pintu gerbang. Wanita ini masih muda, pakaiannya seperti wanita petani biasa, akan tetapi wajahnya amat cantik, berkulit halus dan matanya indah bersinar-sinar. Senja itu jarang ada orang lewat di pintu gerbang dan keadaannya sudah sunyi, membuat para penjaga menjadi semakin jemu dan membutuhkan hiburan. Sebentar lagi, kalau sudah ada tanda genta dibunyikan, pintu gerbang akan ditutup dan mereka dapat berjaga sambil tidur.
Ketika melihat wanita yang mendorong gerobak itu datang dari jauh, segera penjaga yang melihatnya mengeluarkan seruan girang. "Si cantik datang mengunjungi kita!" serunya dan para penjaga yang jumlahnya selosin orang itupun keluar semua. Yang sedang berjudi menghentikan permainan mereka, yang sedang minum-minumpun keluar dan semua kini berdiri menghadang di pintu gerbang, memandang wanita muda yang mendorong gerobak itu dengan mulut menyeringai. Wanita muda itu agaknya tidak perduli dan terus saja datang menghampiri pintu gerbang. Gerobak dorong itu tidak besar, muatannya penuh dengan jerami. Agaknya ia baru pulang mengumpulkan jerami untuk makanan ternaknya. Tentu perempuen ini keluar melalui pintu gerbang lain, pikir para penjaga itu karena mereka tidak melihat wanita itu keluar tadi.
"Aih, manis, perlahan dulu...!" kata kepala jaga sambil melintangkan tombak panjangnya ketika wanita itu hendak lewat. Wanita muda itu terpaksa menghentikan gerobaknya dan memandang tajam kepada dua belas orang penjaga itu. Alisnya berkerut dan matanya bersinar-sinar, akan tetapi bibirnya tersenyum. Memang cantik jelita sekali gadis ini, maka biarpun ia berpakaian wanita dusun, kecantikannya menonjol dan membuat dua belas orang penjaga itu mengilar. Tak mereka sangka bahwa hari itu, sebelum tutup pintu gerbang, mereka memiliki nasib begini baik bertemu dengan seorang wanita secantik ini.
"Kalian mau apa? Biarkan aku lewat!" kata gadis itu sambil mencibirkan bibirnya yang merah basah.
"Aih, kenapa terburu-buru amat?"
"Berhenti dulu, kita bicara-bicara nona manis. Masih banyak waktu untuk pulang."
"Siapa sih namamu, manis?"
"Berapa usiamu?"
"Di mana rumahmu? Aku belum pernah melihat seorang gadis secantikmu!"
Dengan sikap ceriwis para penjaga itu mengeluarkan ucapan-ucapan menggoda dan merayu, akan tetapi gadis itu hanya tersenyum saja.
"Harap jangan menahanku, aku tergesa-gesa, sapiku sudah lapar," katanya membujuk.
"Ha-ha-ha, perlahan dulu, nona. Engkau tidak boleh lewat sebelum membayar pajak!" kata kepala jaga sambil tertawa-tawa dan mengamang-amangkan tombaknya seperti orang mengancam dan menakut-nakuti.
"Pajak? Pajak apa?" tanya gadis itu.
"Orang lain harus membayar uang, akan tetapi tetapi engkau cukup membayar... ehm, engkau tahu sendiri, nona."
"Hemm, membayar apakah? Harap dijelaskan," gadis itu mendesak.
Kepala jaga itu menyeringai lebar. "Bukan sapimu saja yang lapar, akan tetapi kami juga lapar, bukan lapar makanan, melainkan lapar wanita cantik. Engkau harus menemani kami tidur, baru boleh lewat."
"Ihhh!" Wajah yang cantik itu menjadi merah sekali dan matanya mengeluarkan sinar berapi. "Sudah kusangka! Kalian hanyalah babi-babi yang kurang ajar dan suka mengganggu wanita! Mau makan? Nih, makanlah ini...!" Dan tiba-tiba saja gadis itu mendorong gerobaknya menabrak si kepala jaga.
"Bresss...!" Kepala jaga itu terjengkang dan menimpa seorang kawannya di belakangnya. Dia mengaduh-aduh dan menyumpah-nyumpah karena tulang betisnya yang tertabrak muka gerobak itu terasa nyeri bukan main, kiut-miut rasanya dan dia takut kalau-kalau tulang itu patah.
"Perempuan keparat! Tangkap dia...!"
Akan tetapi gadis itu sudah mendorong kembali gerobaknya dengan kuat menabrak seorang penjaga lain yang sudah mencabut golok. Penjaga itu terpelanting, goloknya terlepas dan diapun mengaduh-aduh kesakitan. Kini semua penjaga menjadi sadar bahwa wanita ini agaknya memang sengaja hendak memusuhi mereka. Mereka lalu mencabut senjata masing-masing dan mengepung. Akan tetapi si kepala jaga berteriak, "Simpan senjata kalian, tolol! Tangkap ia hidup-hidup, kita permainkan ia sepuasnya sebelum membunuhnya. Jahanam betina ini harus dihajar sampai kita puas!"
Kepala jaga dan kawan-kawannya itu tidak tahu dengan siapa mereka berhadapan. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin! Seperti kita ketahui, gadis ini menjadi pembantu Yelu Kim, karena ia melihat bahwa dengan membantu para suku bangsa di utara, ia dapat pula ikut menentang para pemberontak yang dipimpin oleh Raja Iblis. Maka, ketika Yelu Kim mengatur siasat dan merencanakan penyerbuan Ceng-tek, ia mengajukan diri untuk bertugas mengacau satu di antara empat pintu gerbang pada saat penyerbuan hendak dilakukan. Dan gurunya, Yelu Kim, yang percaya akan kelihaian Sui Cin, menyetujui dan menugaskan muridnya itu untuk mengacau di pintu gerbang bagian timur itu.
Andaikata para penjaga itu mengenal Sui Cin, tentu dia akan mengerahkan semua kekuatan kawan-kawannya, menggunakan senjata untuk menyerang dan mengeroyok gadis pendekar itu. Bahkan, andaikata mereka mempergunakan senjata tajam sekalipun, mereka bukanlah lawan pendekar wanita perkasa ini. Maka kini, karena mereka maju dengan tangan kosong, enak dan mudah saja bagi Sui Cin untuk mengamuk dan merobohkan mereka semua hanya dengan gerobaknya yang didorong ke sana-sini! Mereka yang roboh tidak mampu bangkit kembali karena tulang mereka patah atau retak-retak dihantam kayu melintang di depan gerobak. Setelah mereka semua roboh dan mereka berteriak-teriak minta tolong, Sui Cin cepat menyalakan api membakar jerami di dalam gerobaknya, kemudian mendorong gerobak yang berkobar-kobar itu sampai masuk ke dalam pondok penjagaan sampai pondok itu terbakar pula. Ia melihat datangnya puluhan orang perajurit dari dalam. Cepat Sui Cin menyambar dua batang golok dari atas tanah dan berlari menghampiri alat pemutar pintu gerbang. Pintu gerbang yang berat itu dibuka atau ditutup dengan menggunakan alat putaran yang kuat, kini Sui Cin menghajar rantai besar itu dengan sepasang goloknya, membacoki rantai itu sehingga sepasang goloknya rompal akan tetapi rantai itupun putus! Kini daun pintu gerbang tidak dapat ditutup kembali setelah rantai itu putus.
Ketika puluhan orang perajurit menyerbu dan mengeroyoknya, Sui Cin mengamuk, menggunakan sepasang goloknya yang sudah rompal. Ia sengaja mengulur waktu untuk memberi kesempatan kepada teman temannya bergerak. Memang pada saat yang sama, di tiga pintu gerbang lainnya terjadi pula kekacauan yang ditimbulkan oleh pembantu-pembantu Yelu Kim, yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, mereka itu datang sedikitnya berlima, tidak seperti Sui Cin yang bekerja seorang diri saja.
Tiba-tiba saat yang ditunggu-tunggu oleh Sui Cin sambil mengamuk itupun tiba. Terdengar suara teriakan-teriakan riuh rendah di sebelah dalam kota dan nampaklah api berkobar tinggi. Ternyata teman-teman yang menyelundup ke dalam itu kini sudah mulai dengan aksi mereka membakari tempat-tempat penting. Tentu saja ada di antara mereka yang kepergok dan dikeroyok sehingga mulailah terjadi pertempuran-pertempuran antara para mata-mata dengan para petugas keamanan. Melihat ini Sui Cin tidak mau melayani para pengeroyoknya. Cuaca mulai menjadi gelap dan iapun mempergunakan ilmu gin-kangnya untuk melompat dan melarikan diri memasuki kota Ceng-tek, meloncat ke atas wuwungan rumah rumah orang dan lenyap dari kejaran para penjaga. Keadaan menjadi kacau ketika para penjaga melihat bahwa pintu gerbang tidak dapat ditutup dan betapa di dalam kota sudah terjadi pembakaran-pembakaran dan pertempuran-pertempuran.
Dan pada saat itulah terdengar ledakan-ledakan disusul bunyi terompet dan tambur, dan dari delapan penjuru pasukan-pasukan Yelu Kim menyerbu. Kacau balaulah pertahanan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Sim Thian Bu dan Siang Hwa. Begitu mereka mencurahkan perhatian untuk menahan serbuan musuh ke empat pintu gerbang, datang serbuan melalui tembok-tembok benteng dan datang hujan panah dari luar tembok. Penyerbuan di waktu malam gelap ini sungguh telah diperhitungkan dengan masak-masak oleh Yelu Kim. Pasukannya mempunyai sasaran yang jelas, yaitu benteng itu. Dan di dalam kota benteng itu terdapat penerangan yang cukup sehingga mereka mampu melihat keadaan musuh. Sebaliknya, pasukan pemberontak yang berada di dalam benteng menjadi bingung karena pihak musuh datang dari tempat gelap, tidak tahu dari arah mana yang tepat, dan pihak musuh sama sekali tidak membawa obor. Mereka bahkan tidak tahu siapakah musuh mereka dan berapa jumlahnya. Maka tanpa banyak susah payah, menjelang tengah malam pasukan-pasukan Yelu Kim mulai dapat mendesak masuk melalui pintu gerbang dan melalui tembok-tembok benteng!
Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu tak dapat disangkal adalah dua orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Akan tetapi dalam hal ilmu perang, mereka bukan ahli dan tidak berpengalaman, maka menghadapi penyerbuan yang dilakukan dengan taktik yang matang dari Yelu Kim ini, mereka menjadi bingung. Dan seperti ahli-ahli silat, mereka hanya mengandalkan kepandaian silat untuk bertahan, lupa bahwa perang antara pasukan tidak dapat disamakan dengan perkelahian antar perorangan di mana ilmu silat memegang peran yang menentukan kalah menang. Karena pasukan mereka kalah banyak, juga karena mereka diserbu secara tiba-tiba dan tidak terduga-duga, pertahanan mereka akhirnya bobol dan terjadilah pertempuran di dalam kota benteng itu antara pasukan pemberontak dan suku bangsa utara yang berani mati.
Sebelum melakukan penyerbuan, Sui Cin sudah mendengar dari para mata-mata Mancu bahwa perkumpulan Cin-ling-pai yang dipimpin oleh ketuanya sendiri membantu pemberontakan Raja Iblis, bahkan ketika pasukan pemberontak menyerbu Ceng-tek dan akhirnya menguasainya, orang-orang Cin-ling-pai berjasa besar. Kemudian iapun mendengar bahwa orang-orang Cin-ling-pai kini bertugas sebagai perwira-perwira dan kepala-kepala pasukan penjaga untuk menjaga keamanan Ceng-tek.
Oleh karena itu, ketika ia berhasil mengacau pintu gerbang timur dan teman-temannya, baik yang berada di dalam maupun di luar sudah mulai bergerak, ia lalu berloncatan dari wuwungan ke wuwungan lain, mencari-cari. Ketika ia mendengar akan hal Cin-ling-pai, ia hampir tidak percaya dan merasa prihatin sekali. Benarkah orang-orang Cin-ling-pai ikut memberontak, bersekutu dengan Raja Iblis? Bahkan dipimpin sendiri oleh ketuanya, ayah Hui Song? Sukar untuk dipercaya. Bukankah Hui Song sendiri seorang pendekar muda yang gagah perkasa dan budiman? Dan biarpun ayah bundanya nampaknya tidak suka kepada ketua Cin-ling-pai yang mereka anggap angkuh dan sombong, namun merekapun mengakui bahwa ketua Cin-ling-pai adalah seorang pendekar yang lihai dan gagah perkasa. Mana mungkin kini pendekar itu bersama murid-muridnya malah bersekutu dengan Raja Iblis yang dibantu oleh Cap-sha-kui?
"Tidak mungkin...!" katanya pada diri sendiri, akan tetapi tiba-tiba Sui Cin mendekam di atas wuwungan ketika ia melihat berkelebatnya dua orang dari dalam sebuah gedung di bawah. Ketika dua orang itn berdiri di bawah penerangan, ia segera mengenal mereka yang bukan lain adalah Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu!
Melihat dua orang musuh besar yang dibencinya itu, Sui Cin lupa diri, lupa bahwa dua orang itu amat lihai dan terlalu berbahaya baginya kalau menghadapi mereka berdua itu sendirian saja. Akan tetapi kemarahan sudah membuat ia melompat ke bawah sambil berseru marah, "Jahanam-jahanam busuk hendak lari ke mana kalian?" Memang dua orang itu nampaknya sudah bersiap-siap untuk lari. Mereka membawa buntalan yang kelihatan berat di punggung masing-masing dan agaknya mereka hendak melarikan diri sambil membawa barang-barang berharga dari dalam kota benteng itu.
Siang Hwa dan Thian Bu terkejut sekali. Keduanya mencabut pedang dan ketika mengenal Sui Cin, merekapun marah dan tanpa banyak cakap lagi keduanya menyerang Sui Cin. Gadis ini cepat mengelak. Dua orang yang melihat betapa gadis ini bertangan kosong dan sendirian saja, mempercepat serangan mereka, dengan penuh nafsu melancarkan serangan-serangan maut untuk membunuh Sui Cin.
Akan tetapi, Sui Cin telah menguasai Ilmu Bu-eng Hui-teng dari Wu-yi Lo-jin, gerakannya cepat bagaikan beterbangan saja dan dua pedang di tangan Siang Hwa dan Thian Bu tidak dapat menyentuhnya. Dua orang lawan itu terkejut melihat kecepatan gerak Sui Cin dan mereka terus mendesak. Biarpun Sui Cin mampu mengelak dan berloncatan ke sana-sini, namun ia tidak mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang.
Untung baginya bahwa dua orang lawannya itu nampak gugup. Pertempuran telah memasuki kota dan mereka itu tergesa-gesa hendak melarikan diri. Munculnya Sui Cin merupakan bahaya bagi mereka, bahaya terlambat melarikan diri. Make mereka menyerang terus kalang kabut membuat Sui Cin terpaksa harus mengerahkan ilmu gin-kangnya untuk menghindarkan diri dari libatan dua gulung sinar pedang itu.
Tiba-tiba berkelebat dua bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah nampak Hui Song dan Siang Wi! Siang Wi sudah menggunakan sepasang pedangnya menyerang Siang Hwa sedangkan Hui Song juga membantu Sui Cin menghadapi Thian Bu. Munculnya dua orang muda ini tentu saja amat mengejutkan hati Siang Hwa dan Thian Bu. Apalagi ketika melihat betapa hebatnya gerakan Hui Song dan betapa sepasang pedang dari Siang Wi itupun tidak boleh dipandang rendah.
"Lari...!" Thian Bu berseru sambil memutar pedangnya mendesak Hui Song dan Sui Cin yang bertangan kosong itu mundur. Keduanya meloncat dan lari ke dalam gelap.
Sui Cin, Hui Song dan Siang Wi tidak mengejar. Sui Cin dan Hui Song merasa girang sekali dapat bertemu di situ.
"Cin-moi, engkau selamat, aku gembira sekali bertemu denganmu di sini!" kata Hui Song sambil memegang tangan gadis itu. Sui Cin membiarkan saja tangannya digenggam sejenak oleh pemuda itu, kemudian sambil melirik kepada Siang Wi ia melepaskan tangannya. "Song-ko, mari kita bantu pasukan suku bangsa utara menyerang pasukan pemberontak!"
"Nanti dulu, kami hendak menyelidiki apakah benar ayah dan ibu berada di sini," kata Hui Song, suaranya mengandung rasa penasaran. Sui Cin menatap wajah pemuda itu dengan hati tegang. Agaknya pemuda inipun sudah mendengar tentang Cin-ling-pai yang kabarnya membantu Raja Iblis!
"Sejak tadi akupun mencari-cari apakah benar ada anggota Cin-ling-pai yang..."
"Jadi engkau sudah tahu pula, Cin-moi?" Hui Song bertanya kaget. "Jadi... benarkah berita tentang..."
"Aku sudah mendengar beritanya dan aku tidak percaya, Song-ko. Akupun tidak melihat adanya orang Cin-ling-pai... akan tetapi mungkin mereka memakai pakaian seragam dan aku tidak mengenal mereka..."
"Tunggu...!" Tubuh Hui Song berkelebat dan tak lama kemudian dia sudah kembali lagi sambil mengempit tubuh seorang perajurit pemberontak yang menggigil ketakutan namun tidak mampu bergerak itu. Hui Song melemparkan tubuh orang itu ke atas tanah dan meminjam sebatang pedang dari Siang Wi, lalu menodongkan senjata itu ke dada tawanannya.
"Hayo ceritakan di mana adanya orang-orang Cin-ling-pai!" bentak Hui Song. Orang itu sudah amat ketakutan karena tadi secara tiba-tiba saja tubuhnya tidak dapat digerakkan lalu "diterbangkan" orang tanpa dia dapat berbuat sesuatu. Akan tetapi melihat sikap Hui Song yang agaknya bukan sahabat orang-orang Cin-ling-pai, dia mengira bahwa pemuda ini mencari musuh-musuhnya, maka dengan memberanikan hati diapun menjawab.
"Orang-orang Cin-ling-pai telah dibasmi, banyak yang tewas dan sebagian sudah ditahan dalam penjara. Pengkhianat-pengkhianat itu..." Dia tidak mampu melanjutkan karena Hui Song telah menendangnya sehingga perajurit itu pingsan.
"Bagus!" Hui Song berseru gembira.
"Biarpun ayah mengajak saudara-saudara Cin-ling-pai ke sini, ternyata bukan untuk menjadi sekutu, melainkan untuk melawan. Mari kita cari di dalam penjara!" Sui Cin ikut pula dengan kakak beradik seperguruan itu dan merekapun berloncatan ke atas genteng. Akhirnya mereka dapat menemukan tempat para tahanan yang merupakan penjara di dalam kota benteng itu.
Penjara itu hanya dijaga oleh belasan orang saja karena sebagian besar para penjaga sudah menjadi panik dengan datangnya penyerbuan musuh dan kini mereka sudah ikut membantu pasukan untuk mempertahankan kota Ceng-tek dari serbuan pasukan-pasukan suku bangsa utara.
Karena hanya ada belasan orang penjaga, Sui Cin dan Siang Wi berdua saja sudah cukup untuk melayang turun dan menghadapi mereka, sedangkan Hui Song tanpa membuang banyak waktu sudah memaksa pintu penjara terbuka. Dia membebaskan semua tawanan dan akhirnya dia melihat murid-murid Cin-ling-pai yang diborgol di dalam sebuah kamar tahanan besar.
Para murid Cin-ling-pai gembira bukan main melihat munculnya Hui Song dan mereka segera merangkulnya sambil menangis. Hal ini mengejutkan dan mengherankan hati Hui Song, karena dia tahu bahwa murid-murid ayahnya amat gagah dan bukan merupakan orang-orang cengeng.
"Aih, kenapa kalian malah menangis setelah aku datang membebaskan kalian?" tanyanya dengan alis berkerut.
"Sute... ah, sute... kami telah mengalami malapetaka! Sedikitnya empat puluh orang saudara Cin-ling-pai tewas..."
"Hemm, itu sudah menjadi resiko perjuangan! Perjuangan menuntut pengorbanan, mengapa kalian menangis?" Hui Song mencela karena hatinya merasa tidak puas melihat sikap cengeng saudara-saudara seperguruannya.
"Aih, sute... subo... subo dan sukong... mereka juga tewas..."
"Apa...?" Wajah Hui Song pucat dan matanya terbelalak mendengar bahwa kedua orang tua itu, terutama sekali ibunya, tewas pula dan beberapa lamanya dia tidak mampu mengeluarkan suara. Siang Wi sudah langsung menangis terisak-isak mendengar subonya tewas.
Beginilah keadaan batin kita pada umumnya. Kalau orang lain yang terkena musibah, pandai-pandai kita menghibur dan menasihatinya dengan kata-kata yang indah. Hal ini lumrah karena kita sendiri tidak merasakan kedukaan akibat musibah yang menimpa itu. Akan tetapi kalau kita sendiri yang terkena, entah ke mana perginya segala nasihat kita tadi, sudah terlupa sama sekali dan kita tenggelam ke dalam kedukaan dan kemarahan. Ketika tadi melihat saudara-saudara seperguruan itu menangis dan mendengar mereka melaporkan bahwa banyak saudara yang tewas, Hui Song masih menghibur dan mengatakan bahwa perjuangan mereka merlukan pengorbanan. Akan tetapi begitu mendengar ibu kandungnya sendiri tewas, jantungnya seperti ditusuk rasanya. Perlahan-lahan muka yang amat pucat tadi berobah merah oleh dendam.
"Siapa yang membunuh mereka?" pertanyaan ini keluar dengan datar.
"Sukong tewas oleh Sim Thian Bu dan subo tewas di tangan Gui Siang Hwa," jawab murid Cin-ling-pai itu yang sudah mengenal murid Iblis Buta dan murid Raja Iblis yang menjadi tokoh-tokoh besar dalam pemberontakan itu.
Mendengar siapa pembunuh ibu dan kakeknya, kemarahan Hui Song memuncak. Dia mengepal tinju. "Jahanam keparat mereka itu! Aku harus bunuh mereka...!"
Tiba-tiba ada tangan menyentuh lengannya, tangan yang berkulit halus dengan sentuhan hangat namun dengan cengkeraman yang mengandung teguran. "Song-ko, mereka itu korban-korban perjuangan." Lirih saja ucapan ini, akan tetapi langsung terasa oleh hati Hui Song dan diapun menoleh, memandang kepada Sui Cin dan menggunakan punggung tangan untuk menghapus dua titik air mata yang tergantung di pelupuk matanya. Dia menarik napas panjang dan mengangguk. "Engkau benar, Cin-moi," bisiknya kembali dan sesaat kemudian pemuda perkasa ini sudah dapat menguasai dirinya, memandang kepada saudara-saudara seperguruannya yang masih merubungnya.
"Semua ini adalah pengorbanan untuk perjuangan, mereka gugur sebagai orang-orang gagah yang menentang golongan jahat. Nah, sekarang ceritakan tanpa ragu-ragu, di mana ayahku?"
"Sebelum kami disergap oleh pasukan pemberontak itu, suhu telah pergi meninggalkan Ceng-tek untuk melakukan penyelidikan ke San-hai-koan, dan sejak itu tidak pernah kembali."
Hui Song mengerutkan alisnya. Pertempuran di luar penjara itu masih tardengar ramal sekali dan semua tahanan, kecuali anak buah Cin-ling-pai, sudah berlarian keluar untuk mencari kebebasan atau ada pula yang lari untuk ikut bertempur, tentu saja memihak para penyerbu. Atau ada pula tahanan orang-orang jahat yang keluar untuk mengail di air keruh, mencari keuntungan selagi keadaan kacau oleh pertempuran.
"Sebetulnya, apa yang telah terjadi? Mengapa kalian berada di sini? Mengapa ayah berada di sini? Ceritakan dengan singkat!"
"Suhu telah terbujuk dan membawa kami ke sini untuk membantu pemberontak. Suhu tadinya mengira bahwa pasukan pemberontak yang dipimpin Ji-ciangkun mempunyai tujuan perjuangan yang murni, untuk menggulingkan pemerintahan lalim. Kemudian ternyata bahwa pemberontak bersekutu, bahkan dipimpin oleh datuk sesat Raja Iblis. Setelah mengetahui hal ini, suhu marah sekali dan suhu pergi ke San-hai-koan untuk menyelidik. Agaknya hal ini diketahui oleh pihak kaum sesat, maka mereka telah bertindak lebih dahulu, kami diserbu dan kami melakukan perlawanan sedapat mungkin. Akan tetapi fihak musuh terlampau banyak dan dalam pertempuran ini, subo dan sukong, juga banyak saudara kita tewas, kami ditangkap karena telah roboh dan tidak mampu melawan lagi."
"Kalau begitu mari kita keluar dan mengamuk dan membasmi para pemberontak keparat yang ditunggangi golongan hitam itu!" Hui Song mengangkat tangan kanan dengan tinju terkepal, disambut sorak sorai para saudara seperguruannya.
"Tahan dulu...!" Tiba-tiba Sui Cin berseru. "Kurasa tidak benar kalau kita terjun ke dalam pertempuran..."
"Kami hendak berjuang dan untuk itu kami tidak takut kehilangan nyawa, kenapa kaukatakan tidak benar?" tiba-tiba Siang Wi berkata dengan alis berkerut. Ia tahu bahwa ada hubungan kasih antara suhengnya dan Sui Cin, dan bagaimanapun juga hal ini menimbulkan rasa tidak suka dalam hatinya terhadap gadis yang dianggapnya telah merebut hati pria yang sejak kecil dicintanya itu.
"Cin-moi, apa maksudmu menyalahkan maksud kami menyerbu keluar?" Hui Song juga bertanya dan memandang heran.
"Song-ko, menyerbu keluar dan ikut bertempur sama saja dengan bunuh diri..."
"Kami tidak takut mati!" Siang Wi membentak. Gadis ini sudah mencabut sepasang pedangnya sejak tadi dan mukanya masih basah air mata ketika ia menangisi kematian subonya tadi.
Sui Cin tersenyum melihat sikap Siang Wi itu, dan ia mengalihkan pandang matanya kepada Hui Song. "Song-ko, engkau tahu bahwa semua orang gagah tidak takut mati. Akan tetapi menceburkan diri dalam pertempuran adalah perbuatan nekat atau membunuh diri. Harus diirgat bahwa yang mtnyerbu Ceng-tek ini adalah barisan suku bangsa utara dan mereka sudah mendengar bahwa Cin-ling-pai membantu pemberontak. Mereka itu tidak akan percaya semua alasan kita dan mereka tentu akan menganggap Cin-ling-pai sebagai musuh pula. Dan kita berada di dalam kota benteng seperti sekumpulan burung dalam sangkar perangkap. Kalau kita sekarang menyerbu keluar dan ikut bertempur di dalam kota, akhirnya kita semua akan tewas..."
"Itulah resiko perjuangan! Kalau kau takut, tak perlu ikut dengan kami!" Siang Wi berseru.
"Sumoi, diamlah!" Hui Song mencela sumoinya. "Cin-moi, lanjutkan bicaramu." Dia mulai tertarik. Dia sudah mengenal siapa Sui Cin, gadis perkasa yang suka bertualang dan memiliki keberanian yang amat besar, dan tidak mungkin gadis seperti Sui Cin takut bertempur.
Sui Cin tetap tersenyum, tidak marah melihat sikap Siang Wi. "Sumoimu memang penuh semangat, Song-ko. Sudah kukatakan tadi bahwa kalau kita menceburkan diri dalam pertempuran, berarti kita nekat dan membunuh diri. Dan perjuangan bukanlah usaha nekat dan bunuh diri! Mati konyol karena kenekatan itu malah merugikan perjuangan dan tiada gunanya sama sekali. Lebih berguna kalau kita berlaku cerdik. Kenekatan bukah perbuatan gagah perkasa, bukan suatu keberanian melainkan kebodohan orang yang sudah putus asa dan kehilangan akal. Kalau masih bisa dicari jalan yang lebih baik, kenapa mesti nekat dan mati konyol?"
"Lalu menurut pendapatmu, apa yang harus kita lakukan, Cin-moi?"
"Kita menyerbu keluar, akan tetapi bukan untuk menceburkan diri dalam pertempuran melawan pemberontak dan membantu suku bangsa utara, melainkan untuk membuka jalan darah dan meloloskan diri keluar dari kota benteng ini."
"Apa? Melarikan diri? Aku tidak mau menjadi pengecut!" Siang Wi kembali berteriak. Hui Song memandang sumoinya dengan alis berkerut dan memberi isyarat kepadanya agar tidak banyak bicara.
"Melarikan diri bukan karena takut, melainkan dengan perhitungan. Kalau kita sudah lolos dari kota benteng ini, kita dapat menyusun kekuatan dan siasat baru untuk bertindak selanjutnya menghadapi perkembangan dan dapat menarik keuntungan sebesarnya bagi perjuangan kita. Apakah itu pengecut namanya? Dalam urusan besar, tidak boleh hanya mengandalkan perasaan dan nafsu dendam belaka, melainkan harus mempergunakan kecerdikan dan ketenangan."
Hui Song mengangguk-angguk. "Benar sekali apa yang diucapkan Cin-moi. Kita semua tidak boleh membuang nyawa sia-sia belaka. Kita keluar dari kota ini. Aku harus mencari ayah di San-hai-koan dan kalau dapat berjumpa dengan ayah, baru kita tentukan langkah selanjutnya. Mari kita keluar, berpencar dan mencari jalan keluar, lalu berkumpul di sebelah selatan kota raja, di dalam hutan cemara itu!"
Siang Wi terpaksa tidak membantah perintah suhengnya dan merekapun lalu keluar dan menyerbu sambil berpencar, mencari jalan keluar dan merobohkan setiap orang perajurit pemberontak yang berani menghalang di depan mereka.
Sementara itu, pertempuran masih berlangsung dengan amat serunya antara pasukan para suku bangsa utara dan pasukan pemberontak. Penyerbu sudah berhasil membobolkan pintu benteng dan kini pertempuran terjadi di mana-mana, di seluruh kota walaupun yang paling ramai terjadi di pintu-pintu gerbang yang kini semua telah dibuka secara paksa oleh pihak penyerbu.
Karena ada Sui Cin di samping mereka, orang-orang Cin-ling-pai hanya dihalangi oleh para perajurit pemberontak saja. Perajurit-perajurit suku bangsa utara semua mengenal Sui Cin sehingga gadis ini dapat mencegah para penyerbu itu menyerang orang-orang Cin-ling-pai. Dengan demikian, akhirnya mereka dapat lolos keluar dari kota benteng Ceng-tek walaupun jumlah mereka sudah berkurang pula.
Setibanya di dalam hutan cemara, Hui Song lalu mengajak Siang Wi dan para saudara lainnya untuk pergi ke San-hai-koan mencari ayahnya. Sui Cin tidak mau ikut.
"Song-ko, aku harus tinggal di sini membantu subo Yelu Kim menghancurkan pemberontak."
Hui Song terbelalak. "Apa? Dan engkau sudah tahu bahwa nenek itu mempunyai niat untuk menyerbu ke selatan! Apakah engkau akan membantu pemberontaken baru yang direncanakan oleh suku bangsa liar itu?"
Sui Cin tersenyum dan menggeleng kepala. "Song-ko, engkau tentu tahu bahwa aku hanya mau membantu mereka menentang dan menyerbu para pemberontak yang dipimpin Raja Iblis. Kalau tiba saatnya mereka akan menentang pemerintah kita, tentu aku tidak akan membantu mereka, bahkan menentang mereka. Siapa tahu dengan halus aku dapat membujuk subo Yelu Kim untuk tidak melanjutkan rencananya yang gila itu. Nah, bukankah perjuangan dapat dilakukan dengan bermacem cara, pokoknya membela nusa dan bangsa?"
Hui Song merasa kecewa sekali harus berpisah lagi dari gadis yang dicintanya itu, akan tetapi dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu dia harus mengeraskan hatinya dan mengesampingkan semua urusan dan perasaan pribadi. Dia harus mencari ayahnya, dan apa yang dikatakan Sui Cin tadi memang tepat. Gadis ini bukan orang sembarangan dan selalu memakai perhitungan yang matang. Mungkin apa yang mampu dilakukan Sui Cin pada waktu itu akan jauh lebih besar gunanya daripada apa yang mampu dilakukan oleh para pendekar lain. Maka diapun berpamit dan bersama rombongannya pemuda ini lalu meninggalkan Sui Cin. Gadis inipun segera kembali ke induk pasukan dan bertemu dengan Yelu Kim membuat laporan. Nenek itu merasa girang sekali dan memuji-muji muridnya. Pertempuran masih terus berlangsung. Biarpun pihak penyerbu berhasil membobolkan pintu gerbang, namun kekuatan pasukan pemberontak juga cukup besar sehingga pertempuran itu berlangsung sampai semalam suntuk.
Dan pada keesokan harinya, setelah bertempur mati-matian, akhirnya pasukan Yelu Kim mulai mendesak pasukan pemberontak yang mempertahankan kota Ceng-tek, dan pasukan pemberontak mulai melarikan diri keluar kota. Selagi pasukan Yelu Kim mengobrak-abrik kota dan siap mendudukinya, tiba-tiba datang pasukan balabantuan dari San-hai-koan dan kembali terjadi pertempuran yang hebat lagi. Sekali ini, pasukan Yelu Kim yang sudah menduduki benteng itu menjadi pihak yang bertahan, mempertahankan benteng itu, sedangkan barisan pemberontak yang datang dari San-hai-koan itu menjadi pihak penyerbu!
Perhitungan Panglima Yang Ting Houw memang tepat sekali. Dia tidak tergesa-gesa mengerahkan pasukan pemerintah untuk menggempur pasukan pemberontak yang telah menduduki San-hai-koan dan Ceng-tek, melainkan memimpin balatentara ke utara secara diam-diam dan membiarkan pihak pemberontak bertempur melawan pasukan suku bangsa liar di utara. Peristiwa penyerbuan Ceng-tek oleh pasukan suku bangsa di utara itu diikuti dengan gembira oleh Panglima Yang Ting Houw dan para perwira pembantunya, juga mereka melihat betapa San-hai-koan dikerahkan untuk menolong Ceng-tek.
Inilah saat yang ditunggu-tunggu oleh Panglima Yang itu. Pasukannya sudah berkumpul dan kini pasukan yang besar jumlahnya itu dia bagi dua, yang sebagian menyerbu San-hai-koan dan sebagian lagi menyerang pasukan pemberontak yang sedang berusaha merebut kembali Ceng-tek itu dari belakang, setelah membiarkan pasukan pemberontak itu mati-matian bertempur melawan pasukan utara yang telah menduduki Ceng-tek. Dan dalam penyerbuan ke San-hai-koan ini, pasukan pemerintah dibantu oleh orang-orang gagah yang datang menawarkan tenaganya dan yang diterima dengan gembira oleh Panglima Yang Ting Houw.
Sebelum pasukan pemerintah melakukan penyerbuan ke San-hai-koan, dua orang pendekar telah lebih dahulu memasuki kota benteng itu. Mereka adalah Cia Sun dan Siangkoan Ci Kang. Seperti kita ketahui, dua orang pendekar muda ini pergi ke San-hai-koan untuk mencari jejak Toan Hui Cu yang dilarikan ayah kandungnya sendiri, yaitu Pangeran Toan Jit Ong atau Si Raja Iblis.
Dengan ilmu kepandaian mereka yang tinggi, dua orang muda ini berhasil menyelundup memasuki kota benteng San-hai-koan dan mereka lalu berpencar, mencari jalan sendiri-sendiri setelah mereka berjanji bahwa sebuah kelenteng tua di sudut barat kota itu menjadi tempat pertemuan mereka.
"Jika menemukan sesuatu yang penting, kita harus saling berhubungan," kata Cia Sun sebelum mereka berpisah. "Dan di belakang kuil ini, tepat jam dua belas malam, kita dapat mengadakan pertemuan."
Mereka lalu berpisah dan menyelinap dengan cepat, menghilang ke dalam kegelapan malam. Ci Kang merasa bingung, bagaimana dia akan dapat bersembunyi di waktu siang, akan tetapi dia tidak kekurangan akal. Ketika dia melihat banyaknya orang berpakaian tentara yang ketika saling berpapasan di jalan tidak saling menegur seperti tidak saling mengenal, dia memperoleh akal. Dia dapat menduga bahwa saking banyaknya jumlah perajurit, apalagi mengingat bahwa banyak pula orang-orang kaum sesat yang membantu pasukan pemberontak, tentu di antara mereka banyak yang tidak saling mengenal. Dia mencari kesempatan baik dan ketika melihat seorang perajurit yang tubuhnya sebesar dia berjalan seorang diri di tempat yang agak sunyi, dia telah menotoknya dan perajurit itupun roboh pingsan tanpa sempat melihat siapa yang merobohkannya. Tentu saja kalau dia menghendaki, sekali pukul saja dia mampu membunuh perajurit itu. Akan tetapi, semenjak berguru kepada Ciu-sian Lo-kai, hatinya semakin mantap untuk tidak sembarangan melakukan kekerasan-kekerasan terutama sekali membunuh, seperti yang dilakukan oleh mendiang ayahnya dan para kaum sesat pada umumnya. Diapun tidak membunuh perajurit itu, melainkan hanya melucuti pakaiannya dan melemparkan tubuh yang pingsan itu ke balik semak-semak. Setelah perajurit itu siuman kembali, tentu saja dia merasa heran dan ketakutan setengah mati. Dia tidak melihat siapa penyerangnya, tahu-tahu pingsan dan telanjang, hanya memakai pakaian dalam, terbaring di semak-semak. Maka diapun diam saja, merasa malu untuk bercerita kepada orang lain bahwa dia telah dibawa "siluman" dan hal ini menguntungkan Ci Kang yang tidak menarik perhatian atas kecurigaan orang lain.
Mudah bagi Ci Kang untuk berkeliaran di kota benteng itu, bahkan di siang haripun dia berani jalan-jalan. Kalau berpapasan dengan rombongan perajurit yang tidek mengenalnya, rombongan itu tidak menjadi curiga karena memang banyak perajurit yang tidak saling mengenal di tempat itu.
Demikianlah, ketika ketua Cin-ling-pai, Cia Kong Liang, dikepung dan dikeroyok oleh para perajurit, dengan mudah tanpa dicurigai siapapun juga, Ci Kang dapat menyelundup dan ikut pula mengeroyok. Dia mengikuti semua percakapan antara ketua Cin-ling-pai itu dengan Ji-ciangkun dan Raja Iblis, dan dia merasa bingung sekali. Kalau dia turun tangan menolong dengan kekerasan, walaupun ketua Cin-ling-pai itu lihai, namun dia tahu bahwa mercka berdua tidak akan mampu menghadapi pengeroyokan banyak perajurit. Maka diapun cepat mempergunakan ilmu mengirim suara dari jauh untuk membisiki Cia Kong Liang agar menyerah saja karena dia maklum bahwa Raja Iblis tidak menghendaki ketua Cin-ling-pai itu dibunuh, melainkan hendak ditawan saja dan dijadikan sandera. Dan ketua Cin-ling-pai itupun menurut sehingga ditangkap dan dimasukkan dalam tahanan dan dijaga dengan ketat.
Karena Ci Kang dapat pula menyelundup ke dalam tempat penjagaan penjara, maka diapun pada malam hari itu berhasil menyelundupkan sehelai surat yang dilipat-lipat kecil dan dilemparkannya mengenai tangan ketua Cin-ling-pai yang kedua lengannya diborgol di depan.
Kong Liang memandang ke arah perajurit tinggi tegap itu dan tahulah dia bahwa perajurit itu pula yang berbisik kepadanya agar dia menyerah. Dia mengangguk perlahan sambil mengepal lipatan surat itu. Setelah dia dibiarkan sendiri dan memperoleh kesempatan, dia membuka lipatan surat itu yang hanya terisi beberapa huruf yang isinya memperkenalkan perajurit muda itu bernama Siangkoan Ci Kang murid Ciu-sian Lo-kai yang menentang Raja Iblis. Dan surat itu mengatakan pula bahwa untuk sementara, penjara itu merupakan tempat yang aman bagi Cia Kong Liang dan ketua itu diminta untuk bersabar karena kalau sudah tiba saatnya yang baik, tentu Ci Kang akan membebaskannya. Membaca surat ini, Kong Liang merasa girang dan berterima kasih sekali, juga kagum akan kecerdikan pemuda itu. Dia merasa setuju bahwa untuk sementara penjara ini memang merupakan tempat aman baginya. Andaikata dia melepaskan belenggu kaki tangannya sekalipun, agaknya aken sukarlah baginya untuk dapat lolos dari San-hai-koan yang terjaga kuat itu, apalagi di situ terdapat banyak sekali orang yang amat lihai. Dia lalu menggunakan tenaga sin-kangnya untuk meremas sampai hancur kertas surat itu dan bersila dengan tenang, walaupun sukar baginya menekan kegelisahannya memikirkan keadaan isteri, ayah mertua, dan murid-muridnya yang masih berada di Ceng-tek.
Bagaimana dengan pengalaman Cia Sun? Pemuda ini seperti juga Ci Kang, mendapatkan akal untuk dapat melakukan penyelidikan dengan baik, yaitu menyamar sebagai seorang perajurit. Akan tetapi berbeda dengan Ci Kang, sesuai dengan gemblengan Go-bi San-jin, dia bertindak keras dan tanpa ampun kepada perajurit yang ditangkapnya untuk diambil pakaiannya. Dia membunuh perajurit pemberontak itu dan mengenakan pakaiannya sendiri kepada mayat perajurit itu yang tewas tanpa terluka karena pukulan ampuhnya membuatnya tewas seketika tanpa luka. Orang yang menemukan perajurit itu tentu akan mengira bahwa perajurit yang berpakaian preman itu mati karena penyakit mendadak!
Pada suatu malam, ketika Cia Sun sedang berjalan-jalan dengan aman dalam pakaian perajurit pengawal, dia melihat Raja Iblis berjalan diikuti oleh empat orang bertubuh tegap dan berpakaian seragam, akan tetapi bukan seragam perajurit. Cia Sun yang maklum akan lihainya Raja Iblis, tidak berani sembarangan bergerak, bahkan membayanginya dengan hati-hati, dan berjalan sebagai seorang perajurit yang sedang bertugas ronda. Untung baginya bahwa Raja Iblis dan empat orang pengikutnya itu tidak begitu memperhatikannya, atau mungkin juga melihatnya dan tidak curiga karena memang banyak perajurit berkeliaran di dekat bangunan besar itu. Ketika Raja Iblis dan empat orang itu memasuki sebuah pintu tembusan kecil di samping bangunan, terpaksa Cia Sun tidak berani mengikutinya lagi, apa pula di depan pintu kecil itu terdapat dua orang penjaga yang memegang tombak. Sebuah pintu tembusan saja dijaga, tentu tempat itu merupakan gedung yang penting pula.
Akan tetapi dia merasa penasaran. Dia harus dapat menyelidiki apa yang dilakukan oleh Raja Iblis di dalam gedung itu. Siapa tahu Hui Cu yang dilarikan bekas pangeran itupun kini berada di situ. Cia Sun lalu mengambil keputusan nekat. Dengan gerakan yang amat cepat, dia menerjang dua orang penjaga itu secepat kilat dari tempat gelap dan dua kali tangannya bergerak, dua orang penjaga pintu kecil itu roboh dan tewas tanpa dapat mengeluarkan suara sedikitpun juga. Cia Sun lalu memanggul tubuh dua orang penjaga yang sudah tidak bernyawa itu berikut tombak mereka, dan di belakang sebuah rumah yang sunyi, dia melemparkan mereka ke atas tanah, lalu mengatur mereka sedemikian rupa sehingga mereka itu seolah-olah tewas karena saling tusuk dengan tombak yang masih dipegang di tangan. Kalau ada yang menemukan dua orang penjaga ini, tentu mereka akan mengira bahwa dua orang perajurit ini telah berkelahi dan mati sampyuh terkena tombak masing-masing.
Setelah itu, dengan berani Cia Sun menyelinap masuk ke dalam pintu kecil yang ternyata membawa dia ke dalam sebuah taman yang luas. Untung bahwa taman itu penuh dengan pohon-pohon bunga yang rimbun sehingga dia dapat menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak mendekati sebuah bangunan besar yang gelap. Giranglah hatinya ketika tiba-tiba dia melihat Raja Iblis dan empat orang pengikutnya tadi keluar dari dalam bangunan besar dan kini dengan langkah lebar menuju ke sebuah bangunan kecil di belakang taman. Raja Iblis membuka daun pintu, diikuti oleh empat orang tadi dan mereka berlima masuk ke dalam. Cia Sun cepat mengintai dari balik sebuah jendela samping. Karena tidak terdapat lubang di jendela itu, terpaksa dia hanya mampu mendengarkan, akan tetapi tidak dapat melihat apa yang terjadi di sebelah dalam. Akan tetapi, apa yang didengarnya sudah cukup baginya, membuat jantungnya berdebar keras karena dia mengenal suara seorang gadis, suara Hui Cu yang menyambut kedatangan ayah kandungnya itu dengan kata-kata yang ketus.
"Iblis tua, mau apalagi engkau datang ke sini?" terdengar suara Hui Cu menyambut Raja Iblis dengan kata-kata pedas.
Kini terdengar suara Raja Iblis yang suaranya aneh seperti datang dari tempat jauh, akan tetapi suara itu menggetar penuh wibawa dan menembus dinding bangunan kecil itu. "Hui Cu, aku datang untuk memperingatkanmu yang penghabisan kalinya. Tinggal kaupilih, mau menjadi isteriku atau menjadi anakku. Kalau menjadi isteriku, engkau akan hidup senang di sampingku, apalagi kalau dapat menurunkan anak laki-laki untukku. Kalau menjadi anakku, aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri. Dan besok malam engkau harus sudah dapat memberi kepastian, mau hidup senang sebagai isteriku atau mati!"
"Iblis tua tak tahu malu! Aku tidak sudi menjadi isterimu, juga tidak sudi menjadi anakmu! Mau bunuh, bunuhlah."
Diam-diam Cia Sun kagum kepada Hui Cu. Biarpun Hui Cu puteri tunggal pasangan suami isteri iblis seperti Raja dan Ratu Iblis, akan tetapi ternyata Hui Cu memiliki semangat dan watak yang gagah perkasa, bahkan berani menantang ayahnya, walaupun ia tahu bahwa ayahnya itu adalah manusia berwatak iblis. Di samping kekagumannya, juga Cia Sun merasa khawatir sekali. Kalau Raja Iblis turun tangan sekarang juga membunuh puterinya, dia sendiri jelas tidak mungkin akan dapat menolong Hui Cu.
Akan tetapi hatinya merasa lega karena tidak terjadi gerakan sesuatu di dalam pondok itu, bahkan kini nampak Raja Iblis keluar dari situ bersama empat orang pengikutnya dan bekas pangeran itu berkata, "Su-kwi, kalian harus menjaganya mulai sekarang sampai besok malam. Jangan sampai ia lolos dan andaikata ibunya sendiri yang datang untuk membebaskannya, kalian harus melarangnya. Hanya kalian berempat yang akan mampu menandingi ibunya. Awas, kalau sampai ia lolos dari sini, kepala kalian menjadi gantinya."
Empat orang itu bersikap siap dan mengangguk, kemudian mereka tinggal di ruang depan bangunan kecil itu ketika Raja Iblis pergi dengan langkah lebar dan cepat. Sejenak Cia Sun termangu-mangu. Menurutkan dorongan hatinya, ingin dia menerjang ke dalam pondok itu untuk membebaskan Hui Cu. Akan tetapi, dia ragu-ragu. Baru saja dia mendengar sendiri ucapan Raja Iblis bahwa hanya empat orang itu saja yang akan mampu menandingi Ratu Iblis! Padahal Ratu Iblis memiliki kepandaian yang amat tinggi. Dan empat orang ini disebut Su-kwi (Empat Setan) oleh Raja Ibils, maka teringatlah Cia Sun akan keterangan gurunya, Go-bi San-jin bahwa di antara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan) terdapat empat orang yang lihai sekali berjuluk Hui-thian Su-kwi (Empat Setan Terbang ke Langit)! Agaknya empat orang Inilah mereka. Maka dia ragu-ragu apakah dia akan mampu mengalahkan empat orang ini. Andaikata mampu sekalipun, tentu akan memakan waktu dan keributan itu tentu akan diketahui oleh pengawal-pengawal lain dan kalau sudah begitu, dia akan celaka sebelum mampu membebaskan Hui Cu. Maka diapun diam-diam meninggalkan pondok itu. Raja Iblis memberi waktu cukup panjang kepada Hui Cu. Sampai besok malam. Berarti malam ini ia tidak akan diganggu. Dan kalau dia maju bersama Ci Kang, agaknya tidak akan sukar menolong Hui Cu.
Menjelang tengah malam, dua orang pemuda yang gagah perkasa itu saling bertemu di kuil sunyi. Mereka berbisik-bisik saling menceritakan pengalaman mereka masing-masing. Mendengar betapa ketua Cin-ling-pai yang masih terhitung paman dari ayahnya itu ternyata kini berbalik menjadi musuh Raja Iblis dan menjadi tawanan, hati Cia Sun merasa lega. Tadinya diapun ikut prihatin mendengar betapa paman ayahnya itu bersekutu dengan kaum sesat. Apalagi mendengar dari Ci Kang bahwa ketua Cin-ling-pai itu tertipu dan kini untuk sementara aman di dalam kamar tahanan karena Raja Iblis tidak berniat membunuhnya sekarang. Dia lalu menceritakan kepada Ci Kang tentang Hui Cu yang ditahan di dalam sebuah bangunan kecil, dan percakapan antara ayah dan anak itu seperti yang telah didengarnya. Mendengar betapa Raja Iblis hendak memaksa Hui Cu menjadi isterinya, dan betapa Hui Cu lebih memilih mati, Ci Kang mengepalkan tinjunya.
"Manusia itu sungguh lebih keji daripada iblis! Anak kandungnya sendiri akan diperisteri!"
"Akan tetapi sikap Hui Cu sungguh mengagumkan. Di depan iblis itu sendiri ia berani mengatakan bahwa ia tidak sudi menjadi anaknya atau isterinya, menantang mati!" kata Cia Sun.
"Gadis itu memang hebat, Cia Sun, dan ia mencintamu!"
Wajah Cia Sun berobah merah. "Hemm, dalam keadaan seperti sekarang ini, jangan kau berkelakar, Ci Kang!"
"Tidak, Cia Sun, aku mengatakan sejujurnya. Gadis itu tergila-gila kepadamu dan jatuh cinta kepadamu."
Cia Sun mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang sampai tiga kali. Dia percaya kepada Ci Kang dan pemuda perkasa di depannya ini tidak akan mau membohonginya. Maka diapun merasa kasihan sekali kepada Hui Cu. "Kasihan Hui Cu..." katanya, kata-kata yang tanpa disadarinya keluar dari mulut, langsung dari dalam hatinya.
Ci Kang menatap tajam, berusaha menembus kegelapan malam untuk menjenguk isi hati sahabat yang dikaguminya ini. "Cia Sun, apakah kata-katamu itu berarti bahwa engkau tidak membalas cintanya?"
Cia Sun menggeleng kepalanya.
"Ahh, kalau begitu kasihan sekali Hui Cu...!" kata Ci Kang yang mengerutkan alisnya mengenang nasib gadis yang patut dikasihani itu.
"Memang kasihan sekali Hui Cu. Akan tetapi aku harus berterus terang, aku mencinta seorang gadis lain, jadi tak mungkin aku mencintanya."
Ci Kang memandang tajam sesaat lamanya, lalu berkata, "Sudahlah, mari kita menolongnya sebelum terlambat."
Dua orang pemuda perkasa yang sama-sama berpakaian sebagai perajurit pemberontak itu lalu berangkat menuju ke bangunan yang dimaksudkan Cia Sun. Dia menjadi penunjuk jalan dan Ci Kang mengikutinya di belakangnya. Mereka bergerak cepat menyusup-nyusup, dan kadang-kadang kalau ada perajurit-perajurit lain mereka bersikap wajar, bergandengan dan sempoyongan seperti dua orang perajurit setengah mabok, pemandangan yang biasa saja.
Setelah tiba di dekat pondok di mana Hui Cu ditahan, dua orang pemuda itu bergerak perlahan sesuai rencana yang telah mereka atur ketika mereka menuju ke tempat itu. Ci Kang dan Cia Sun kini berpencar. Ci Kang menghampiri empat orang penjaga yang duduk sambil bercakap-cakap itu dari depan, sedangkan Cia Sun menyelinap dari samping pondok di mana terdapat jendela yang dipergunakan untuk mendengarkan percakapan tadi. Sesuai yang telah direncanakan, Ci Kang berpura-pura mabok, berjalan terhuyung-huyung ke arah empat orang Hui-thian Su-kwi yang sedang duduk di atas bangku di depan pondok. Melihat seorang perajurit mabok menghampiri mereka, Su-kwi menjadi marah.
"Hei, perajurit tolol! Pergi dari sini dan jangan ganggu kami!" bentak seorang dari mereka yang bermuka pucat.
"Heh-heh-hoh-hoh...!" Ci Kang tertawa seperti orang mabok. "Sobat, mari kau temani aku minum arak. Kau perlu minum banyak arak agar mukamu tidak pucat seperti mayat, heh-heh-heh!" Dia menunjuk ke arah muka yang menegurnya tadi.
Si muka pucat itu menjadi marah dan bangkit berdiri. "Manusia goblok! Berani kau mengeluarkan kata-kata sembarangan terhadap kami? Kami adalah Hui-thian Su-kwi, pengawal pribadi Toan Ong-ya!"
"Hah-hah, agaknya majikanmu kurang memberi upah kepadamu sehingga badanmu kurus mukamu pucat kurang makan..."
"Eh, keparat mulut lancang! Kuhancurkan mulutmu...!" Si muka pucat menjadi marah sekali dan sekali menggerakkan tubuhnya, tubuh itu sudah mencelat ke depan Ci Kang dan tangannya menampar ke arah mulut Ci Kang dengan keras sekali karena si muka pucat itu agaknya hendak benar-benar menghancurkan mulut perajurit yang berani menghinanya itu. Diam-diam Ci Kang terkejut menyaksikan gerakan gin-kang yang demikian ringan dan cepatnya dan tahulah dia mengapa mereka ini dijuluki Hui-thian (Terbang ke Langit). Kiranya mereka adalah ahli-ahli gin-kang yang cukup tinggi tingkat kepandaiannya. Akan tetapi tamparan tangan itu menunjukkan tenaga yang tidak perlu dikhawatirkan. Maka dia hanya mundur sedikit sambil miringkan mukanya sehingga bukan mulutnya yang kena tampar, melainkan pipinya.
"Plakkk...!" Ci Kang sempoyongan dan hampir roboh, ditertawai oleh empat orang itu.
Ci Kang bangkit dan mengusap pipinya yang menjadi merah, matanya melotot dan diapun maju sambil menudingkan telunjuknya ke arah hidung orang yang tadi menamparnya. "Kau monyet tak tahu malu, manusia tidak mengenal budi. Diajak minum arak malah memukul. Aku harus membalas pukulanmu!" Dan dengan gerakan sembarangan saja diapun menerjang maju hendak memukul kepala si muka pucat. Melihat gerakan Ci Kang, si muka pucat tentu saja memandang rendah dan dia sudah menggerakkan tangannya hendak menangkis dan menangkap lengan lawan untuk dipuntir dan ditelikung. Akan tetapi, tangan yang memukul kepalanya itu berkelebat aneh dan tahu-tahu pipinya telah kena ditampar.
"Plakkk...!" keras sekali tamparan itu, membuat kepala si muka pucat terasa nanar dan tentu saja ia menjadi marah bukan main. Kemarahan membuat dia lengah dan dia masih tetap memandang rendah kepada perajurit mabok ini ketika dia membalas pula dengan tendangan tenaga yang cukup kuat. Akan tetapi, Ci Kang dengan mudah mengelak dengan lagak sempoyongan dan pada saat kaki lawan masih terangkat, ujung sepatunya menotok ke arah lutut kaki lawan yang masih berpijak di atas tanah dan tanpa dapat dicegah lagi tubuh si muka pucat itupun terpelanting!
"Ha-ha!" Ci Kang tertawa-tawa seperti orang mabok dan bertepuk-tepuk tangan kegirangan sambil memandang orang yang terpelanting itu.
Kini tiga orang lainnya juga bangkit berdiri. Orang yang mampu menampar teman mereka, bahkan mampu merobohkan dalam segebrakan saja, pasti bukan perajurit biasa!
"Siapa engkau?" bentak mereka dan kini mereka sudah mengurung bersama si muka pucat yang sudah bangkit kembali.
Akan tetapi Ci Kang bersikap pura-pura takut dikurung empat orang itu dan tiba-tiba diapun melompat ke belakang menjauhi empat orang itu yang kini menjadi semakin terkejut karena mereka yang mengurung itu ternyata tidak mampu menahan perajurit yang melompat jauh ke belakang itu. Dan cara melompat Ci Kang juga mengejutkan mereka. Ci Kang melayang ke arah belakang begitu saja dan berjungkir balik sampai lima kali! Mereka dapat menduga bahwa orang yang berpakaian perajurit dan bersikap mabok-mabokan itu tentulah orang lihai yang mungkin adalah mata-mata musuh! Maka, kini empat orang Hui-thian Su-kwi itu lalu mencabut pedang mereka dan melakukan pengejaran. Ci Kang sengaja memancing mereka agar menjauhi pondok dan pada saat itu, Cia Sun sudah cepat menyelinap masuk melalui jendela yang dibongkarya dari luar.
Dan benar saja, tepat seperti yang diduganya, di dalam pondok itu terdapat Hui Cu yang dibelenggu kaki tangannya dan rebah di atas sebuah pembaringan! Cia Sun tidak banyak bicara, cepat dia menghampiri dan menggunakan sin-kangnya mematahkan belenggu yang mengikat kaki dan tangan Hui Cu. Gadis itu terbelalak dan wajahnya berseri-seri ketika mengenal siapa pemuda yang menolong-nya.
"Cia-toako...!" keluhnya setelah kaki tangannya bebas dan ia hendak berlari menghampiri, akan tetapi karena terlalu lama kakinya dibelenggu, aliran darahnya terganggu dan iapun terhuyung dan tentu terbanting kalau saja Cia Sun tidak cepat menyambarnya dan merangkulnya. Hui Cu menjadi merah mukanya akan tetapi ia tersenyum dan balas merangkul leher Cia Sun dengan mesra dan penuh penyerahan. Ketika pemuda itu merasa betapa rangkulan Hui Cu tidak sewajarnya, melainkan rangkulan yang penuh arti, dia terkejut dan teringat akan ucapan Ci Kang bahwa gadis itu jatuh hati kepadanya, maka diapun cepat melepaskan rangkulannya dan membiarkan gadis itu berdiri.
"Aku harus membantu Ci Kang yang sedang bertempur melawan Hui-thian Su-kwi," katanya melihat betapa gadis itu memandang kecewa karena merasa betapa Cia Sun melepaskan rangkulan tadi dengan tiba-tiba dan agak kasar.
"Ahhh...!" Hui Cu seperti baru sadar. "Mereka itu lihai sekali. Akan tetapi jangan tinggalkan aku, lebih dulu bawa aku ke tempat rahasia yang hanya diketahui oleh ibu dan aku. Mari...!" Ia menggandeng tangan Cia Sun dan diajaknya pcmuda itu melarikan diri melalui pintu belakang. Gadis itu terus membawanya ke dalam taman dan membuka sebuah semak-semak yang cukup tebal. Ternyata di bawah semak-semak ini terdapat sebuah bundaran besi yang segera digesernya dan nampaklah lubang. Hui Cu mengajak Cia Sun memasuki lubang itu dan ternyata di bawahnya terdapat tangga batu. Hui Cu menutupkan kembali bundaran besi dan segera otomatis semak-semak itupun ikut bergerak menutupi tempat rahasia itu. Hui Cu terus berjalan turun sambil menggandeng tangan Cia Sun. Tempat itu tidak begitu gelap dan sinar remang-remang keluar dari depan. Dan ternyata lorong yang menyambung tangga itu membawa mereka ke sebuah ruangan segi empat. Sebuah ruangan bawah tanah pula! Matahari dapat memasukkan sinarnya dari lubang-lubang yang terdapat pada retakan-retakan batu-batu yang berada di atas guha bawah tanah ini. Dan ternyata di ruangan itu terdapat sebuah lilin besar yang bernyala di atas meja. Nyala itu kecil saja karena sumbunya kecil, akan tetapi lilinnya besar sekali, sehingga kalau dibiarkan bernyala, mungkin dalam waktu sebulan belum habis! Dari nyala lilin inilah datangnya sinar remang-remang sampai ke lorong tadi.
"Tempat ini aman, toako. Hanya diketahui oleh ibu saja. Ibu yang memberitahukan kepadaku agar kalau sewaktu-waktu aku dapat lolos dari tangan iblis tua itu, aku dapat bersembunyi dengan aman di sini. Ibu sengaja menyuruh seorang ahli bersama rombongannya membuat tempat ini dalam waktu dua hari setelah aku ditangkap iblis itu."
Cia Sun mengerutkan alisnya. "Hemm, kalau begitu selain engkau dan ibumu, masih ada beberapa orang lain yang mengetahui rahasia tempat ini, yaitu para pembuatnya,"
"Tidak, mereka itu berjumlah sembilan orang dan begitu tempat ini selesai, ibu telah membunuh mereka semua dan ibu bahkan menanam mayat mereka di dalam tanah di belakang ruangan ini!"
Diam-diam Cia Sun bergidik mendengar kekejaman luar biasa itu. Ayah kandung gadis ini sudah jahat sekali, ternyata ibunya juga tidak kalah jahatnya. Yang amat mengherankan adalah gadis ini yang ternyata memiliki perangai yang jauh bedanya dengan ayah bundanya, seperti bumi langit!
"Hui Cu, aku sekarang harus keluar membantu Ci Kang."
Akan tetapi Hui Cu menghampirinya dan merangkulnya. "Jangan, toako... jangan tinggalkan aku lagi. Aku takut kalau engkau celaka... lalu... bagaimana dengan aku? Kalau engkau mati, akupun tidak mau hidup lagi, toako. Aku... cinta padamu..." Gadis itu mempererat pelukannya.
Cia Sun menjadi bingung akan tetapi dia adalah seorang gagah yang harus berani bertindak tegas dan tepat. Dengan halus dia memegang kedua pundak Hui Cu dan mendorongnya ke belakang dan kini mereka saling pandang. Dengan sinar mata penuh iba Cia Sun menatap wajah cantik yang agak pucat itu.
"Hui Cu, dengarlah baik-baik. Aku suka padamu, aku sayang padamu dan aku suka menjadi kakakmu. Akan tetapi sebelum aku bertemu denganmu, aku... aku sudah jatuh cinta kepada seorang gadis lain..."
"Ahhh...! Kalau begitu engkau tentu akan meninggalkan aku, toako..."
"Tidak, biarpun aku tidak dapat berjodoh denganmu, aku akan selalu memperhatikan keadaanmu dan kalau perlu melindungimu. Aku sudah berhutang budi dan nyawa kepadamu, engkau seorang gadis baik... ah, aku harus membantu Ci Kang sekarang!"
"Toako..." Hui Cu menahan tangisnya, akan tetapi kedua matanya basah. "Aku ikut keluar lagi membantu kalian..."
"Jangan! Aku dan Ci Kang sudah susah-susah berusaha membebaskanmu, sekarang sudah bebas engkau hendak terjun kembali ke tempat berbahaya. Biarlah aku membantunya dulu, baru kami berdua masuk ke sini dan kita bicara."
Gadis itu mengangguk. "Baiklah, toako. Aku percaya padamu, dan kalau engkau tidak kembali ke sini, sampai matipun aku tidak akan mau keluar dari tempat ini!"
Cia Sun merasa terharu sekali. Dia mendekat, dipegangnya kedua pundak gadis itu dan dengan penuh rasa terharu dan sayang dia mencium kepala gadis itu, lalu berkelebat keluar dari ruangan melalui lorong dan naik kembali ke atas taman dengan membuka penutup besi dan menyingkap semak-semak. Ketika dia berlari ke depan pondok, ternyata Ci Kang dikurung oleh empat orang itu dan betapapun lihainya Ci Kang, dia terdesak juga oleh gerakan empat orang yang mengeroyoknya. Gerakan Hui-thian Su-kwi itu memang benar-benar cepat dan ringan, dapat berloncatan seperti kijang saja.
Melihat kawannya terdesak, Cia Sun cepat meloncat dan begitu dia menyerang kepungan terhadap Ci Kang itu pecah dan kini empat orang itu terkejut bukan main. Seorang perajurit lain datang dan ternyata perajurit yang baru datang ini kepandaiannya tidak kalah lihainya dari perajurit pertama!
Setelah Cia Sun membantu, keadaan menjadi berobah. Sebentar saja kedua orang pendekar muda ini dapat mendesak empat orang lawan itu, bahkan mereka berdua mampu merampas pedang dan membuat dua orang lawan terpelanting. Hui-thian Su-kwi menjadi gentar juga dan tiba-tiba mereka teringat kepada tawanan mereka. Tanpa mereka sadari, mereka telah terpancing menjauhi pondok dan perkelahian itupun terjadi jauh dari pondok. Teringat akan hal ini, juga gentar terhadap dua orang perajurit muda yang amat lihai itu, mereka lalu berloncatan meninggalkan gelanggang perkelahian dan kembali ke dalam pondok untuk menjaga agar tawanan mereka jangan sampai lolos. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka ketika mereka memasuki pondok, ternyata tawanan itu telah lenyap, hanya tinggal borgol kosong berserakan di atas pembaringan!
"Celaka...!" teriak si muka pucat dan merekapun keluar dari pondok dan berteriak-teriak minta tolong. Mendengar teriakan-teriakan ini, berbondong-bondong berdatanganlah perajurit-perajurit penjaga dan keadaan menjadi kalut. Ketika Hui-thian Su-kwi mencari-cari, dua orang pemuda yang berpakaian perajurit itu telah lenyap pula dari situ! Mereka mengatur pasukan penjaga dan mencari-cari tanpa hasil.
Tentu saja mereka tidak berhasil menemukan Ci Kang dan Cia Sun karena dua orang pemuda ini sudah aman berada di dalam guha bawah tanah bersama Hui Cu! Ketika melihat Hui-thian Su-kwi tadi lari ke pondok, Cia Sun lalu menarik tangan Ci Kang dan mengajaknya menyusul Hui Cu di tempat persembunyiannya.
Hui Cu merasa girang sekali melihat mereka masuk ke dalam guha bawah tanah, akan tetapi kegirangan itu hanya sebentar saja karena dara ini lalu duduk termenung dengan wajah murung, teringat bahwa cintanya terhadap Cia Sun tidak mendapatkan sambutan. Ci Kang tidak tahu mengapa gadis itu nampak murung, maka untuk memecahkan kesunyian yang mencekam di antara mereka, sambil duduk di atas lantai bersandar dinding batu, dia berkata. "Sungguh aneh nasib kita bertiga ini. Untuk kedua kalinya kita bertiga berkumpul menjadi satu di tempat persembunyian yang hampir serupa, di dalam guha bawah tanah. Inilah yang dinamakan jodoh barangkali!"
Ucapan ini tidak disengaja menyindir sesuatu, akan tetapi Cia Sun dan Hui Cu yang baru saja bicara tentang cinta itu merasa tersindir dan wajah Cia Sun menjadi merah, sebaliknya wajah Hui Cu menjadi semakin muram. Gadis itu dari tempat duduknya, sebuah bangku satu yang berada di situ, memandang kepada Cia Sun yang juga duduk di atas lantai bersandar dinding batu untuk memulihkan tenaga dan tiba-tiba gadis itu bertanya, suaranya lirih dan polos.
"Cia-toako, siapakah gadis yang kau cinta itu?"
Pertanyaan yang tiba-tiba dan tidak terduga-duga ini bukan hanya mengejutkan Cia Sun, akan tetapi juga Ci Kang. Barulah Ci Kang mengerti bahwa agaknya Cia Sun sudah memberi tahu kepada Hui Cu bahwa dia tidak dapat menerima cintanya karena telah mencinta gadis lain! Pantas saja wajah gadis yang cantik itu nampak muram saja sejak tadi. Dia merasa kasihan sekali dan tidak berani memandang wajah cantik itu lama-lama karena makin dipandang makin menimbulkan rasa iba.
"Hui Cu, tak perlu aku mengatakan siapa gadis itu. Engkaupun tidak akan mengenalnya."
Suasana menjadi sunyi sekali karena ucapan itu keluar dari mulut Cia Sun dengan suara tergetar. Mereka bertiga termenung dalam lamunan masing-masing. Ci Kang dan Hui Cu tidak tahu bahwa keadaan Cia Sun tiada bedanya dengan mereka. Hui Cu mencinta Cia Sun akan tetapi tidak terbalas. Cia Sun mencinta Sui Cin namun gadis itupun agaknya tidak dapat membalas cintanya. Apalagi Ci Kang yang mencinta Sui Cin akan tetapi malah melakukan suatu hal yang amat buruk terhadap gadis itu sehingga tidak mungkin gadis itu akan membalas cintanya. Tiga orang muda ini tenggelam dalam kesedihan masing-masing karena cinta yang bertepuk scbelah tangan, cinta gagal!
Cinta asmara yang condong kepada pemuasan nafsu diri pribadi selalu menimbulkan lebih banyak duka daripada suka. Cinta seperti ini selalu menuntut balasan, cinta seperti ini selalu ingin menguasai, ingin memiliki, ingin dimiliki! Ingin menyenangkan dan disenangkan, memuaskan dan dipuaskan. Banyak sekali yang dituntut oleh cinta seperti ini dan satu saja di antara tuntutan-tuntutannya itu tidak terlaksana atau tercapai, maka hal ini sudah cukup untuk menghancurkan cinta itu! Dan akibatnya hanyalah kegagalan dan kedukaan. Cinta seperti ini mengikat, membuat kita lekat kepada yang kita cinta dan sekali waktu kalau saatnya tiba untuk perpisahan, hati kita menjadi luka dan timbul pula duka.
Cinta yang tidak terbalas menimbulkan duka. Cinta yang dihantui keraguan menimbulkan cemburu dan duka. Separti segala macam nafsu yang meramaikan hidup ini, maka cinta seperti ini bersumber kepada keakuan, kepada keinginan menyenangkan diri sendiri dan orang yang dicintanya itu dengan sendirinya hanya menjadi alat, menjadi prabot atau sarana untuk menyenangkan dan memuaskan diri sendiri. Inilah sebabnya mengapa cinta seperti ini mudah berobah menjadi benci kalau dirinya sudah tidak disenangkan atau dipuaskan lagi. Ini kenyataan yang terjadi dalam hidup kita, dalam kisah cinta mencinta.
Akan tetapi, benarkah itu patut dinamakan cinta kalau hanya menimbulkan duka? Benarkah itu namanya cinta kalau dapat berobah menjadi benci? Benarkah itu cinta kasih kalau hanya sarat dengan beban berupa cemburu, nafsu berahi, ingin menguasai dan pementingan diri sendiri? Sudah jelas bukan! Cinta kasih tidak mungkin menimbulkan hal-hal yang buruk. Cinta kasih itu suci, murni, baik dan benar, wajar tidak dibuat-buat, tanpa pamrih!
Orang lalu mempersoalkan, menjadikannya sebagai bahan tanya jawab, mencari-cari apakah sesungguhnya Cinta Kasih itu! Dan semua pendapat, semua jawaban, tidak benar atau dapat disanggah, dapat dibantah dan didebat, karena semua pendapat itu selalu mengandung pementingan diri sendiri. Pendapat datang dari satu sumber yang tentu saja tergantung sepenuhnya dari keadaan sumber itu sendiri. Cinta Kasih terlalu lembut, terlalu tinggi, terlalu luas dan terlalu rumit bagi otak kita yang lemah ini. Membicarakan Cinta Kasih seperti membicarakan Tuhan, membicarakan kekuasaan Alam Semesta. Tidak terbatas! Tidak terjangkau oleh akal budi, perasaan dan pikiran. Yang dapat kita selidiki dan mengerti hanyalah YANG BUKAN CINTA KASIH. Nafsu berahi bukanlah cinta kasih, walaupun nafsu berahi merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan ini sendiri.
Kalau kita menyingkirkan semua hal yang menjadikan Bukan Cinta Kasih, mungkin saja kita dapat melihat berkelebatnya Cinta Kasih. Cinta Kasih tidak mungkin dapat dipelajari, dipupuk maupun dikejar dicari. Seperti juga cahaya terang yang tidak dapat menembus rumah yang daun pintu dan jendelanya tertutup rapat-rapat. Bukalah semua penutup itu dan cahaya terang itu akan masuk. Seperti juga sinar lampu yang menjadi suram karena bola lampunya tertutup kotoran dan debu. Bersihkan semua kotoran itu, singkirkan debu dan kotoran, maka sinar lampu itu akan menjadi terang. Lenyapnya cemburu, iri hati, keinginan menyenangkan diri sendiri, keinginan ingin menguasai, ingin memiliki, lenyapnya ikatan, sama artinya dengan lenyapnya kotoran dan debu yang menempel pada bola lampu, dan sinar cinta kasih akan bercahaya terang. Membiarkan pintu dan jendela terbuka sama dengan membiarkan diri sendiri terbuka, tanpa pamrih, wajar, peka, kosong dan cahaya terang cinta kasih, seperti cahaya matahari, akan masuk dan nampak.
Tiga orang muda itu duduk termenung menyedihi nasib masing-masing. Nasib yang seperti segala macam sebutan nasib, tercipta oleh ulah sendiri. Orang yang bijaksana akan selalu mencari kesalahan pada diri sendiri setiap kali menghadapi atau tertimpa keadaan yang dianggap tidak menyenangkan. Akan tetapi orang yang picik akan selalu mencari sebab dan kesalahan pada orang lain, atau melemparkannya kepada nasib! Tak dapat disangkal lagi bahwa ada peristiwa-peristiwa terjadi di luar kemampuan kita untuk memikirkan sebab-sebabnya, peristiwa yang merupakan rahasia-rahasia. Namun, tetap saja akan tepat dan baik sekali kalau kita mencari segala kesalahan yang menjadi sebab suatu peristiwa di dalam diri sendiri, karena sesungguhnyalah bahwa sumber segala peristiwa yang menimpa diri berada di dalam diri sendiri pula. Kalau sudah begini, tidak ada lagi pencarian kambing hitam, tidak menyalahkan orang lain, tidak mengeluh kepada Tuhan, tidak mengutuk kepada setan, melainkan melihat dengan penuh kewaspadaan bahwa sumber segala peristiwa terdapat dalam diri sendiri. Dari sini timbul penghentian segala tindakan yang tidak benar dan yang hanya akan menimbulkan akibat buruk.
Tiba-tiba Cia Sun dan Ci Kang meloncat berdiri dan dengan mata tajam memandang ke arah lorong dan siap siaga. Mereka mendengar gerakan orang dan tak lama kemudian berkelebat bayangan orang dan disusul munculnya Ratu Iblis di ruang itu. Wajah nenek yang biasanya pucat kehijauan itu kini nampak makin menyeramkan dengan sepasang mata yang mencorong dan liar memandang kepada dua orang pemuda itu.
"Kalian lagi!" terdengar Ratu Iblis membentak marah. "Sekali ini kalian harus mati untuk menyimpan rahasia tempat ini!" Dan cepat iapun sudat menyerang ke depan, pedangnya menyambar dalam bentuk sinar berkilat ke arah dada Ci Kang sedang rambutnya yang panjang menyambar dalam bentuk sinar putih ke arah leher Cia Sun. Nenek ini sudah mempergunakan dua senjatanya yang ampuh untuk merobohkan dua orang muda itu dan jangan dikira bahwa serangan rambutnya itu tidak berbahaya. Bahkan dibandingkan dengan serangan pedangnya, mungkin lebih berbahaya.
Akan tetapi dua orang muda perkasa itu sudah siap dan karena mereka maklum akan kelihaian nenek itu, merekapun cepat meloncat ke belakang sehingga serangan pedang dan rambut itu tidak mengenai sasaran. Dan loncatan itu membuat Cia Sun dan Ci Kang berjauhan sehingga tak mungkin bagi nenek itu untuk melakukan serangan ganda kepada mereka. Terpaksa ia menyerang orang terdekat, yaitu Ci Kang, dengan sambaran pedangnya. Serangan itu hebat sekali, membuat Ci Kang terdesak dan berloncatan ke belakang menghindarkan pedang yang menyambar-nyambar susul-menyusul itu. Melihat ini, Cia Sun menerjang maju mengirim totokan ke arah punggung nenek itu untuk menolong sahabatnya. Ratu Iblis mendengar desir angin dari belakang, membalikkan kepala dan rambutnya menyambut tangan Cia Sun yang menotok, bermaksud menangkap pergelangan tangan itu dengan rambutnya. Namun Cia Sun yang menyerang hanya untuk membantu sahabatnya dan mengurangi penekanan terhadap Ci Kang, mengelak dengan cara menarik kembali tangannya.
"Ibu, jangan...!" Hui Cu berseru dan ia sudah meloncat ke depan, menghadang di depan ibunya.
Sejenak ibu dan anak saling berpandangan. Nenek itu masih memegang pedangnya dan ia menggerakkan kepala sehingga rambutnya yang riap-riapan panjang itu kini dari depan pindah ke belakang. "Hui Cu, dahulu engkau membela dua orang ini dan sekarang masih kauulangi lagi sikapmu itu. Akan tetapi tidak, sekali ini mereka harus mampus! Tempat ini merupakan rahasia kita sendiri, tidak boleh ada yang tahu. Yang tahu harus kubunuh!" Ia sudah hendak menyerang lagi, akan tetapi dengan berani Hui Cu memegang lengan ibunya.
"Tidak boleh, ibu! Ketahuilah, mereka ini yang telah membebaskan aku dari kurungan, dari belenggu dan ancaman iblis tua itu! Kalau tidak ada mereka, tentu aku telah celaka. Mereka telah melepas budi kebaikan kepadaku, maka harus kubela mereka."
"Budi tahi kucing!" Nenek itu membentak marah. "Bicara tentang budi adalah kebohongan besar. Tidak ada budi di dunia ini. Semua orang yang melakukan sesuatu untuk membantu orang lain tentu mengandung pamrih!"
"Ibu jangan mengukur orang lain sepergi teman-teman ibu sendiri! Teman-teman ibu memang orang-orang yang tak mengenal budi dan semua perbuatannya mengandung pamrih kotor. Akan tetapi, dua orang pendekar ini menolong tanpa pamrih dan akupun tidak mau menjadi orang yang tidak mengenal budi. Mereka sengaja kuajak ke sini untuk bersembunyi dan siapapun yang akan mengganggu mereka, akan kulawan. Juga ibu!"
Sejenak nenek itu ragu-ragu, akan tetapi ia lalu menarik napas panjang dan menyarungkan lagi pedangnya. Ia terlalu mencinta puterinya dan demi cintanya kepada puterinya ia bahkan berani menentang suaminya, walaupun secara diam-diam.
"Baiklah, aku ampunkan mereka ini. Akan tetapi kalian harus berjanji untuk merahasiakan tempat ini!"
"Baik, kami berjanji," kata Ci Kang yang tidak ingin ribut-ribut di tempat itu karena biarpun dia tidak takut menghadapi nenek ini, akan tetapi dia merasa tidak enak terhadap Hui Cu kalau harus menentang ibu kandung gadis itu di depannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar