28 Pendekar Mata Keranjang

Kembali kaki yang baru melangkah lima tindak itu ditahan dan gadis itu kembali menengok, siap untuk memaki, akan tetapi lebih dahulu ia melirik ke arah kepala kijang yang berada di atas pundaknya.

"Ehhhh....??" Ia berseru kaget dan melempar bangkai itu dari pundaknya karena memang sebenarnyalah kata-kata pemuda itu, yang dipanggulnya bukan bangkai kijang, melainkan bangkai anjing! Matanya terbelalak menatap bangkai anjing yang menggeletak di atas tanah kemudian ia mencari-cari dengan pandang matanya. Apakah ia salah pungut tadi? Di mana bangkai kijang yang diperebutkan tadi? Sementara itu, sambil tersenyum Hay Hay mengambil bangkai itu dan dipanggulnya sambil berkata,

"Kalau aku memang merobohkan seekor kijang aseli!"

Dengan pandang matanya gadis itu mengikuti semua gerakan Hay Hay dan kini ia terbelalak kaget. Bangkai "anjing" yang dilemparkannya tadi, ketika kini dipanggul oleh pemuda itu, mendadak berubah menjadi bangkai kijang yang tadi lagi!

"Hei, keparat, tunggu!" bentak gadis itu sambil meloncat dan mengejar, melampaui Hay Hay dan kini menghadang di depannya.

"Hemm, mau apa lagi? Apakah ingin minta sebagian daging kijangku karena perutmu sudah lapar sekali seperti perutku?"

"Keparat, kembalikan kijangku!" gadis itu membentak dan sikapnya siap untuk menyerang! Melihat sikap itu, Hay Hay mengalah.

"Hemm, kijangmu? Baiklah. Aneh, tadi dibuang setelah diambil orang lain, ribut-ribut dan memintanya kembali."

"Habis, tadi kulihat seperti....." ia menahan kelanjutan kata-katanya, lalu melanjutkan ketus, "Biar saja! Mau kubuang, mau kuambil, mau kuapakan juga, sesuka hatiku karena kijang itu memang milikku. Kau mau apa?"

Hay Hay menarik napas panjang akan tetapi tetap tersenyum. Dilepaskan bangkai itu dari pundaknya dan gadis itu pun menyambar kaki kijang dan dipanggulnya lagi, siap untuk pergi cepat-cepat dari situ.

Akan tetapi Hay Hay cepat berkata, kembali mengerahkan kekuatan sihirnya, "Sungguh aneh sekali. Gadis yang cantiknya seperti dewi kahyangan, kini memanggul bangkai seekor ular besar! Apakah ia doyan daging ular?"

Gadis itu tadinya tidak mau peduli, akan tetapi begitu ia melihat bangkai di pundaknya, wajahnya berubah agak pucat. Kini bukan anjing atau kijang yang dilihatnya, melainkan kepala seekor ular yang besar! Dan tubuh bangkai itu pun tubuh ular yang panjang dan besar, melingkar-lingkar di atas pundaknya, terasa dingin dan licin. Menjijikkan! Akan tetapi gadis itu agaknya kini mengeraskan hatinya, bahkan mulutnya menyuarakan isi hatinya. "Tidak peduli biar bangkai kijang atau bangkai anjing, bangkai ular, gajah atau bangkai setan sekalipun!" Agaknya ia mengeraskan hatinya untuk mengusir rasa ngeri yang memenuhi hatinya dan ia pun melangkah lagi untuk cepat meninggalkan pemuda itu dan setelah tidak nampak lagi, tentu ia akan cepat membuang jauh-jauh bangkai ular yang menjijikkan itu!

Melihat ini, Hay Hay tersenyum dan kagumlah dia akan kekerasan hati gadis itu. Seorang gadis yang luar biasa menarik dalam pandangannya, usianya tidak akan lebih dari delapan belas tahun, gagah dan galak namun wajahnya manis bukan main, terutama sekali mulutnya. Mulut, itu nampak manis selalu, baik sedang cemberut, marah atau sedang terkejut dan ketakutan. Dan hidung yang kecil mancung itu, cuping hidungnya yang tipis itu seperti bergerak-gerak, lucu bukan main dan kerling matanya dapat meruntuhkan hati laki-laki yang bagaimana pun alimya! Gadis yang hebat! Yang memiliki daya tarik yang istimewa dan lain lagi daripada gadis-gadis yang pernah ditemuinya. Dan melihat betapa gadis itu dengan sekali sambit, mengenai kepala kijang, di antara kedua matanya, dapat dilihat bahwa gadis ini pun tentu memiliki ilmu silat yang cukup lihai. Cara ia mengangkat dan memanggul kijang itu saja sudah membuktikan pula akan kekuatannya.

"Wah, hati-hati, Nona! Hati-hati, ular itu masih hidup! Dan ular seperti itu gigitannya membahayakan, mengandung racun!" Tiba-tiba Hay Hay berseru keras.

Sesungguhnya gadis itu sudah merasa jijik dan ngeri sekali dan ia sudah mengerahkan tenaganya untuk berlari cepat. Selagi ia hendak berhenti dan membuang bangkai ular itu, tiba-tiba saja ia mendengar suara pemuda itu tepat di belakangnya! Peringatan itu membuat ia terkejut setengah mati dan rasa jijik ngerinya bertambah, apalagi ketika ia mengerling dan melihat betapa kepala ular yang tadinya terkulai mati itu, kini sudah terangkat dan mulutnya ternganga lebar seperti hendak mencaplok kepalanya! Dan tubuh ular itu pun menggeliat-geliat di atas pundaknya, mengelus lehernya mendatangkan rasa dingin yang menjijikkan.

"Ihhh...!!" Ia menjerit dan tentu saja ia cepat membuang bangkai ular yang tiba-tiba hidup kembali itu ke atas tanah dan ia pun melompat ke belakang dengan muka pucat. Ketika ia berlari cepat tadi, Hay Hay semakin kagum. Ternyata gadis itu memiliki ilmu berlari cepat yang cukup hebat sehingga dia sendiri pun payah mengejarnya dan hampir tertinggal. Maka dia pun cepat tadi meneriakkan kata-kata yang mengandung sihir. Saking kaget dan jijiknya, gadis itu sampai tidak ingat betapa pemuda yang menjengkelkan itu ternyata mampu mengejarnya. Dengan mata terbelalak saking jijik dan ngerinya, ia memandang ular besar yang kini bergerak-gerak di atas tanah.

"Kalau engkau tidak menghendakinya, biarlah aku yang akan membawanya pergi karena memang kijang ini hakku, Nona!" kata pemuda itu dan kini, tiba-tiba saja gadis itu melihat bahwa "ular hidup" itu bukan lain adalah bangkai kijang tadi yang dipanggul oleh pemuda itu di atas punggung dan tengkuknya, kedua tangan pemuda itu masing-masing memegang dua kaki depan dan belakang bangkai kijang. Pemuda itu melompat dan melarikan diri.

Gadis itu membanting kaki kanannya dan secepat kilat ia pun mengejar. Ginkangnya (ilmu meringankan tubuh) memang hebat, dan sebentar saja ia sudah dapat menyusul Hay Hay dan melewati tubuh pemuda itu, menghadang sambil berteriak.

"Berhenti dulu kamu!"

Hay Hay masih tersenyum. "Eh, engkau lagi, Nona? Ada apa lagi? Apakah akhirnya engkau menuntut bagian separuh dari daging kijang ini yang memang menjadi hakmu? Aku suka menyerahkan dengan senang hati dan...."

"Cukup!" Gadis itu membentak lagi dan kini untuk kesekian kalinya, telunjuk tangan kirinya menuding, hampir menyentuh hidung Hay Hay yang melangkah mundur selangkah. "Kiranya engkau ini iblis, tukang sihir, dukun lepus, penipu dengan permainan sulap! Manusia iblis seperti engkau ini berbahaya sekali bagi masyarakat kalau dibiarkan hidup dan aku akan membasmi dan membunuhmu!"

Berkata demikian, secepat kilat gadis itu menyerang dengan tangan. kiri yang menyambar ke arah dada Hay Hay dan sekali ini, benar-benar pemuda itu terkejut bukan main melihat betapa pukulan itu amat hebatnya. Bercuitan suara pukulan itu dan mendatangkan hawa pukulan yang amat kuat, juga amat cepatnya sehingga hampir saja tiada waktu lagi baginya untuk menangkis. Terpaksa ia melempar tubuhnya ke belakang, berjungkir balik.

"Crakkk...!" Dan tubuh bangkai kijang yang berada di punggungnya itu terobek perutnya oleh cengkeraman tangan gadis itu! Hay Hay semakin kaget dan cepat melepaskan bangkai kijang dan memandang dengan mata terbelalak. Kiranya pukulan itu walaupun sudah dapat dia hindarkan, berubah menjadi cengkeraman dan mungkin saja punggung atau tengkuknya akan termakan cengkeraman kalau tidak ada perisai istimewa berupa perut kijang! Perut itu terobek dan isi perutnya terburai! Bukan main hebatnya serangan gadis ini, pikirnya dan untuk sesaat dia terpukau. Tentu saja gadis ini hebat dan lihai, dan Hay Hay tentu akan lebih terkejut lagi kalau mengetahui siapa ia. Gadis ini bukan lain adalah Cia Kui Hong, puteri ketua Cin-ling-pai dan cucu Pendekar Sadis! Cia Kui Hong bukan saja memperoleh pendidikan ilmu silat dari ayah dan ibunya yang merupakan sepasang pendekar terkenal dan pernah menggegerkan dunia persilatan dua puluh tahun yang lalu (bacai Asmara Berdarah ), akan tetapi bahkan selama tiga tahun ia digembleng oleh kakek dan neneknya. Kalau ayahnya dan ibunya yang bukan lain adalah Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin sudah lihai, kakek dan neneknya lebih lihai dan lebih terkenal lagi. Kakeknya adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, sedangkan neneknya tak kalah lihainya, yaitu nenek Toan Kim Hong yang pernah menjadi "datuk" kaum sesat dengan julukan Lam Sin. Tentu saja, setelah selama tiga tahun digembleng oleh kakek dan neneknya, ilmu kepandaian Kui Hong meningkat dengan pesatnya dan kini ia menjadi seorang gadis berusia delapan belas tahun yang amat lihai, gagah perkasa, galak dan juga manis dan agak ugal-ugalan!

"Wah, wah, tobat, nanti dulu, Nona...!" kata Hay Hay ketika melihat gadis itu menerjangnya lagi dengan hantaman yang lebih hebat dari tadi. Melihat betapa pemuda yang menjengkelkan hatinya itu tadi mampu menghindarkan dirinya dari satu jurus Ilmu Silat Hok-mo Sin-kun (Silat Sakti Penaluk Iblis) yang dipergunakan, kini Kui Hong maklum bahwa pemuda itu pun bukan orang sembarangan, maka ia cepat menyerang lagi dan kini ia sengaja mengeluarkan ilmu silat yang paling rumit dan sulit ketika ia pelajari dari kakeknya. Ilmu silat itu adalah Hok-liong Sin-ciang yang hanya delapan jurus, namun delapan jurus yang teramat hebat dan sukar dilawan karena merupakan jurus-jurus pilihan yang luar biasa. Juga di dalam ilmu silat ini dipergunakan sin-kang yang amat kuat. Sebetulnya, Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang (Silat Sakti Penaluk Naga) ini khusus menjadi ilmu simpanan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, akan tetapi karena sayangnya kepada cucunya, dia mengajarkannya kepada cucunya walaupun tidak mudah bagi Kui Hong untuk menguasainya. Namun, biar belum sempurna ia menguasai ilmu silat itu, sudah cukup dahsyat kalau dipergunakan.

"Wuuuutttt...!" Demikianlah angin menyambar kuat ketika gadis yang tadinya membuat gerakan merendahkan tubuhhya sampai berjongkok itu tiba-tiba menerjang ke arah Hay Hay dengan pukulan kedua tangan, didorongkan dan mulutnya mengeluarkan bentakan yang melengking. "Haiiiiittt...!"

Hay Hay melihat dan mengenal pukulan dahsyat. Karena dia pun mempunyai watak yang ugal-ugalan, dan suka sekali menguji kepandaian dan tenaga orang lain, maka dia pun sambil tersenyum mendorongkan kedua tangan menyambut pukulan itu.

"'Dessss....!" Dua kekuatan yang sama dahsyatnya bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Hay Hay terdorong hebat sehingga dia harus melangkah mundur sampai lima langkah, akan tetapi di lain pihak, Kui Hong tak dapat menahan kekuatan dorongan yang amat hebatnya, yang membuat tenaganya membalik dan tubuhnya terdorong ke belakang sampai ia terjengkang dan terpaksa ia harus bergulingan agar tidak terbanting hebat! Akan tetapi, ia sudah mampu mengerahkan sin-kangnya sehingga tidak sampai terluka oleh tenaganya sendiri yang membalik tadi, dan baru setelah tubuhnya menabrak batang pohon, ia berhenti bergulingan lalu meloncat berdiri dengan muka berubah pucat, lalu berubah pula menjadi merah sekali. Mukanya merah karena ia menjadi marah dan juga malu! Menurut kakeknya, pukulan dengan Ilmu Hok-liong Sin-ciang itu amat hebatnya, jarang ada orang yang mampu menahannya, maka hal itu hanya berarti bahwa lawan itu memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi darinya.

Sementara itu, melihat gadis itu bergulingan sampai menabrak batang pohon, Hay Hay terkejut bukan main dan merasa menyesal. Dia meloncat dengan gerakan ringan ke depan gadis itu, senyumnya lenyap terganti kekhawatiran.

"Ah, harap engkau suka memaafkan aku, Nona. Sungguh aku tidak sengaja untuk mencelakakan dirimu. Apakah engkau terluka, Nona?"

Sikap baik dari Hay Hay ini membuat Kui Hong menjadi semakin marah. Ia merasa diejek dan perutnya terasa panas bukan main. "Manusia iblis, kaukira aku sudah mengaku kalah?" Berkata demikian, ia pun menerjang lagi dan sekali ini, walaupun pukulannya tidak sedahsyat tadi, namun gerakannya jauh lebih cepat daripada tadi. Memang, Kui Hong maklum bahwa mempergunakan tenaga sakti dan mengandalkan ilmu silat yang keras tidak akan menolongnya karena ternyata lawannya memiliki tenaga yang lebih kuat. Maka, ia pun menyerang dengan mengandalkan gin-kangnya. Gadis ini sudah menguasai ilmu meringankan tubuh yang disebut Bu-eng-hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan), yang dipelajarinya dari ibunya, disempurnakan oleh gemblengan neneknya yang memiliki gin-kang lebih hebat lagi. Dan untuk lebih memperhebat gin-kangnya, ia memilih ilmu silat yang paling cepat, yang dipelajarinya dari kakeknya, yaitu Ilmu silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin). Gerakannya demikian cepatnya sehingga tubuhnya berkelebatan, lenyap bentuknya berubah menjadi bayangan yang sukar diikuti oleh pandang mata.

"Ih, engkau memang lihai sekali, Nona!" kata Hay Hay dan dia pun kini menjadi lega karena jelas bahwa benturan tenaga tadi tidak membuat gadis itu terluka sama sekali! Dia menjadi semakin kagum. Gadis ini lihai ilmu silatnya, kuat sin-kangnya dan hebat pula gin-kangnya. Kiranya hanya Kok Hui Lian sajalah yang akan mampu menandingi gadis hebat ini, pikirnya. Melihat betapa kini gadis itu menggunakan ilmu silat yang luar biasa cepatnya, dia pun melayaninya dengan gerakan cepat. Namun, diam-diam dia merasa menyesal dan khawatir karena melihat betapa gadis itu bersungguh-sungguh dalam penyerangannya dan agaknya gadis itu sudah marah bukan main. Kiranya akan sukarlah menundukkan gadis yang keras hati ini dengan sikap manis, maka dia pun mengalah dan hanya mengelak ke sana-sini sambil berloncatan dan tak pernah membalas.

Akan tetapi, biarpun Hay Hay sengaja mengalah agar gadis itu menyadari sendiri bahwa dia tidak ingin bermusuhan, ternyata diterima dengan keliru pula oleh Kui Hong. Karena Hay Hay sama sekali tidak membalas, hanya mengelak dengan amat cepatnya, dan kadang-kadang menangkis dengan tenaga lunak, maka ia pun menganggap bahwa hal itu membuktikan bahwa lawannya ini amat memandang rendah kepadanya dan sedang mempermainkannya! Namun, diam-diam ia pun terkejut bukan main karena baru sekarang ia tahu benar betapa tingginya ilmu kepandaian orang ini. Benar kata kakeknya. Dia yang mampu menahan pukulan dari Ilmu Silat Hok-mo Sin-kun tentu memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya. Akan tetapi, bukan watak Kui Hong untuk merasa jerih dan mau mengaku kalah! Ia memperhebat serangannya, mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya sehingga ia berhasil mendesak Hay Hay yang sama sekali tidak mau membalas itu. Menghadapi seorang cucu Pendekar Sadis yang sedang marah, yang menyerangnya bertubi-tubi tanpa membalas sama sekali, biar Hay Hay memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi lagi, tentu akan berbahaya dan terdesak. Tidak mungkin mengandalkan pengelakan dan tangkisan belaka untuk membendung serangan yang datang bertubi-tubi seperti gelombang samudera yang sedang mengamuk itu.

Hay Hay mulai merasa bingung. Ia tidak mau mempergunakan ilmu sihir lagi karena akibatnya tentu akan membuat gadis itu semakin marah dan benci kepadanya. Amukan gadis ini pun karena tadi ia mempergunakan sihir dan ia dimaki sebagai manusia iblis dan dukun lepus!

"Haiiii, Nona, tahan dulu! Aku sama sekali tidak ingin bermusuhan denganmu!" teriaknya berkali-kali. Akan tetapi, agaknya Kui Hong sudah menulikan telinga, tidak sudi mendengarkan omongannya lagi, bahkan menyerang terus walaupun kini leher dan dahinya telah berkeringat, dan napasnya sudah agak memburu karena sejak tadi ia menyerang dengan sepenuh tenaga dan telah mengerahkan ginkangnya.

"Nona yang baik, ambillah kijang itu, aku tidak mendapat bagian pun tidak mengapa!" teriak pula Hay Hay menjadi semakin bingung. Kalau dilanjutkan, akhirnya ia akan terpukul dan celaka, atau nona itu akan kehabisan napas dan tenaga dan ini membahayakan pula gadis yang nekat itu. Maka dia pun melompat lagi lalu melarikan diri ke arah puncak bukit! Akan tetapi, Kui Hong juga mengerahkan ilmu berlari cepatnya dan melakukan pengejaran dengan amat nekat.

Celaka, pikir Hay Hay. Gadis itu justeru memiliki ilmu berlari cepat yang amat hebat. Dia pun mengerahkan tenaganya dengan harapan bahwa kalau dia sudah lebih dulu melewati puncak bukit akan menemukan hutan yang lebat di sebelah sana dan dia akan mampu bersembunyi. Bagaimanapun juga, gadis ini sudah lelah dan tentu dia akan mampu mendahuluinya sampai ke puncak bukit di atas itu.

Perhitungan Hay Hay memang benar. Ketika dia mengerahkan tenaga mempercepat larinya, Kui Hong agak tertinggal. Gadis itu sudah merasa lelah sekali, akan tetapi dengan nekat ia berusaha mengejar dan menyusul. Hatinya gemas bukan main terhadap pemuda yang telah mempermainkannya seenak perutnya sendiri itu. Ia harus dapat menghajarnya sampai pemuda itu minta-minta ampun!

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Hay Hay ketika dia tiba di puncak bukit itu. Ternyata di sebelah sananya bukan terdapat hutan, bahkan tidak terdapat jalan turun karena di sebelah sana yang ada hanya jurang yang amat curam! Tebing yang tegak lurus, yang memisahkan puncak itu dengan daratan lain bagian bukit itu selebar kurang lebih dua ratus meter. Tidak mungkin dilompati, kecuali kalau dia pandai terbang. Dan dia bukan burung!

Sementara itu, Kui Hong sudah dapat menyusulnya dan biarpun kini napas gadis itu sudah terengah-engah, tetap saja Kui Hong menyerangnya lagi dengan dahsyat.

"Cukuplah, Nona, biarlah aku mengaku kalah dan salah!" kata Hay Hay yang merasa terjebak dan tidak mampu lari lagi mengelak. Akan tetapi, tanpa menjawab, dengan napas mendengus-dengus, Kui Hong sudah menyerangnya dengan cengkeraman ke arah kepalanya. Terpaksa Hay Hay menangkap pergelangan tangan itu dengan maksud untuk menundukkan dengan kepandaiannya. Akan tetapi, tiba-tiba saja gadis itu menggerakkan kepalanya dan rambutnya terlepas dari gelungnya, rambut yang hitam panjang dan harum itu kini menyambar ke arah muka dan pundak kanan Hay Hay, mengeluarkan suara bersiut seperti serangan cambuk saja. Bukan main! Gadis ini pandai mempergunakan rambut sebagai senjata! Memang benar, Kui Hong telah mempelajari ilmu mempergunakan rambut ini dari neneknya! Dan jangan dikira rambut itu tidak berbahaya! Lecutannya seperti sebatang cambuk dan kalau sampai mengenai muka, terutama mata, dapat mencelakai lawan!

Menghadapi lecutan rambut ini, terpaksa Hay Hay melepaskan pegangannya dan meloncat ke belakang, akan tetapi pada saat itu, tangan kiri Kui Hong bergerak dan sinar merah menyambar ke arah tubuh Hay Hay. Pemuda ini cepat menggerakkan tangan untuk menangkis senjata rahasia itu dengan angin pukulannya, dan beberapa batang jarum merah itu pun runtuh. Hay Hay semakin kaget. Jarum merah itu tentu mengandung racun. Memang itulah Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) yang dipelajari oleh Kui Hong dari neneknya. Diam-diam gadis itu pun kagum melihat betapa pemuda itu mampu meruntuhkan jarum-jarumnya hanya dengan hawa pukulan tangannya. Akan tetapi hal ini bahkan membuat ia merasa penasaran sekali dan kini ia maju lagi sambil mendesak lawan dengan ilmu silat yang nampaknya halus dan lemah.

Melihat pukulan lemah itu, Hay Hay merasa heran. Apakah akhirnya gadis ini sudah kehabisan tenaganya setelah menyerangnya dengan rambut dan kemudian jarum merah? Dia mencoba untuk menangkis pukulan lemah itu, untuk mengukur apakah benar gadis itu sudah kehabisan tenaga.

"Plakk...!" Dan Hay Hay terkejut bukan main. Lengannya bertemu dengan telapak tangan yang halus dan lunak sekali. Itulah Rian-kun (Silat Tangan Kapas) yang memang nampaknya saja lunak, namun begitu halusnya sehingga tenaga sin-kang dan kekerasan pihak lawan akan luluh seperti batu dilempar pada permukaan telaga saja! Ketika merasa betapa tenaganya luluh, Hay Hay maklum bahwa gadis ini murid seorang yang amat sakti. Itulah puncak dari ilmu silat, yang selalu mendasarkan kepada pegangan pokok bahwa dengan kelemahan mengalahkan kekerasan! Dia cepat meloncat lagi ke belakang, akan tetapi tangan yang halus lunak itu telah memegang lengannya sehingga ketika dengan sepenuh tenaga Hay Hay meloncat ke belakang, tubuh Kui Hong terbawa pula. Dan, karena Hay Hay terlalu tegang menghadapi serangan-serangan maut tadi, dia sampai lengah, tidak melihat ke mana dia melompat, tidak tahu bahwa lompatannya kali ini membuat tubuhnya dan tubuh Kui Hong melayang melalui tepi tebing dan mereka, tanpa dapat dicegah lagi, terjun melayang ke dalam jurang yang amat curam itu!

"Ihhh...!" Saking kagetnya, Kui Hong melepaskan lengan Hay Hay dan ia melihat betapa tubuh mereka melayang ke bawah dengan cepatnya. Matikah aku sekali ini, pikirnya, namun ia seorang gadis gemblengan yang tidak pernah gentar menghadapi kematian, maka karena ia tidak melihat jalan keluar untuk dapat menyelamatkan dirinya, dara ini pun pasrah, menyerahkan jiwa raganya ke tangan Tuhan. Ia tidak memejamkan mata, bahkan membuka matanya lebar-lebar, seolah-olah ia hendak menyambut datangnya maut dalam keadaan sadar sepenuhnya dan dengan mata terbuka!

Hay Hay terkejut bukan main. Akan tetapi, seperti Kui Hong, dia pun tidak merasa takut, bahkan dia membuka mata dan siap untuk setiap kemungkinan menyelamatkan dirinya. Setelah Kui Hong melepaskan pegangan pada pergelangan tangannya, luncuran tubuhnya ke bawah tidaklah begitu cepat lagi seperti ketika dibebani oleh tubuh Kui Hong, akan tetapi bagaimanapun juga, masih lebih cepat daripada Kui Hong karena tentu saja berat tubuhnya lebih banyak dibandingkan gadis itu.

Ketika di sebelah bawahnya dia melihat sebatang pohon yang secara aneh tumbuh di tebing, menonjol keluar atau seperti tumbuh miring, Hay Hay lalu mengayun tubuhnya agar luncuran tubuhnya mendekati tebing. Hal ini amat berbahaya karena kalau sampai tubuh itu menyerempet batu yang runcing dan tajam, tentu kulitnya akan terobek, bahkan mungkin terkoyak dan membunuhnya sebelum tubuhnya hancur lebur menimpa dasar jurang di mana sudah menanti batu-batu yang keras dan keras.

Hidup dan mati adalah suatu rangkaian, suatu proses, suatu rahasia besar yang tidak dikuasai dan tidak pula dimengerti manusia. Kita hanya tinggal menerima saja. Jangankan mati, hidup pun manusia tidak dapat menguasai diri sendiri. Berdetaknya jantung, pertumbuhan badan, rambut dan kuku dan seluruh anggauta tubuh, sama sekali terjadi di luar kekuasaan kita! Kita ini diadakan dan hanya menerima apa adanya saja! Ketika kita lahir, dijadikan apa pun, laki-laki atau wanita, dilahirkan oleh ibu yang mana pun, keluarga kaya atau miskin, berkedudukan tinggi atau rakyat biasa, kita dilahirkan dengan tubuh dan wajah yang dianggap oleh umum bagus atau tidak, semua itu terjadi di luar kehendak dan kekuasaan kita. Kita ini diadakan, dan ada yang mengadakan, melalui orang tua kita sebagai proses kelahiran manusia baru. Kita tidak menguasai diri kita sendiri, baik hidupnya maupun matinya! Kita diadakan oleh Yang Maha Pencipta, dan kita ditiadakan melalui kematian oleh Dia pula! Kalau Dia masih menghendaki kita hidup, biar dikelilingi seribu macam ancaman bahaya, dengan satu dan lain cara kita akan terlepas dan selamat. Sebaliknya, kalau Dia menghendaki mati, biar kita bersembunyi di dalam benteng baja atau ke dalam lubang semut sekalipun, tetap saja maut akan datang menjemput!

Demikian pula dengan Hay Hay. Jelaslah bahwa Yang Maha Pencipta masih menghendaki dia hidup sehingga biarpun tubuhnya sudah meluncur dari ketinggian yang mengerikan dan menurut perhitungan akal manusia, sudah wajarlah kalau dia mati di dasar jurang yang curam itu dengan tubuh hancur, namun secara "kebetulan" sekali, di tengah tebing itu ada sebuah pohon tumbuh menonjol dan "kebetulan" pula Hay Hay melihatnya, kemudian "kebetulan" ke tiga adalah bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi sehingga memungkinkan dia untuk meraih cabang pohon yang mencuat sehingga tubuhnya yang meluncur itu tertahan. Andaikata tidak ada kebetulan pertama, ke dua atau ke tiga itu, sudah tentu Hay Hay akan tamat riwayatnya! Begitu tubuhnya tertahan, Hay Hay teringat kepada gadis itu dan melihat betapa tubuh gadis itu pun meluncur ke bawah, tak jauh di atasnya, cepat dia menjulurkan kakinya ke depan, ke arah yang akan dilalui tubuh gadis itu dalam luncurannya.

"Cepat tangkap kakiku!" teriak Hay Hay sekuat tenaga. Agaknya Kui Hong melihat dan mendengar pula semua itu, atau lebih tepat lagi Tuhan agaknya masih menghendaki ia hidup, maka cepat Kui Hong menjulurkan tangannya dan ia pun berhasil memeluk sebatang kaki yang dijulurkan itu. Sentakan ketika tubuh Kui Hong tertahan merupakan sentakan yang amat kuat dan kalau bukan Hay Hay yang memiliki kaki itu, di mana dia sudah mengerahkan sin-kangnya, tentu kaki itu akan copot sambungan tulangnya, atau pegangan tangan Hay Hay pada batang pohon itu akan terlepas!

Demikianlah, pemuda dan gadis itu bergantungan di cabang pohon itu, dan di bawah mereka, maut ternganga lebar siap menelan tubuh mereka. Hay Hay memperhatikan keadaan mereka, memperhatikan pohon yang ternyata cabangnya cukup kuat menahan tubuh mereka berdua. Akan tetapi, perhatiannya yang sedang melakukan penyelidikan itu terganggu oleh suara omelan Kui Hong yang bergantung pada betis dan pegangan kaki kirinya. .

"Hemm, nyawamu berada di tanganku." kata gadis itu, agaknya kini kemarahannya bangkit kembali setelah melihat bahwa mereka selamat biarpun hanya untuk sementara waktu. "Sekali aku menggerakkan tangan, engkau akan mampus!"

Hay Hay tersenyum. Pemuda ini memang luar biasa sekali. Dalam keadaan seperti itu, dia masih dapat tertawa dan tidak kehilangan kegembiraan dan kejenakaannya. Betapa bahagianya orang seperti Hay Hay ini yang memandang segala hal dalam segala keadaan dari sudut yang menggembirakan dan cerah selalu. Apakah sukarnya untuk dapat hidup seperti Hay Hay ini? Syaratnya, kalau mau disebut syarat, hanyalah satu, yakni pikiran tidak mengada-ada, tidak sarat oleh keinginan-keinginan akan hal yang tidak ada! Berarti menerima segala sesuatu seperti apa adanya, setiap saat. Dengan demikian, takkan pernah ada kekecewaan, takkan pernah mengeluh, karena memang tidak mengharapkan hal-hal yang tidak ada. Hanya orang yang mengharapkan sesuatu yang tidak ada sajalah yang akan kecewa kalau kemudian yang diharapkannya itu tidak terjadi.

"Ha-ha-ha, Nona manis. Engkau agaknya lupa diri. Kalau aku kaubunuh, tentu tanganku akan terlepas dari cabang ini dan kaukira engkau akan dapat selamat kalau bersama mayatku meluncur ke bawah sana itu?"

Agaknya Kui Hong baru teringat akan hal ini karena tadi kemarahan telah memenuhi hatinya. Ia marah bukan hanya teringat akan perebutan kijang, bukan hanya karena berkali-kali ia merasa dipermainkan bahkan setelah bertanding ia tidak mampu mengalahkan pemuda itu, akan tetapi ia marah terutama karena mengingat bahwa kecelakaan ini adalah karena ulah pemuda itu! Kalau pemuda itu tidak melompat ke jurang, tentu ia pun tidak akan terbawa! Kini, mendengar ucapan itu, ia tidak mampu menjawab dan otomatis matanya melirik ke bawah. Ia menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara jeritan ketika melihat bawah yang demikian jauhnya. Kalau sampai terjatuh, tentu tubuhnya akan remuk! Biarpun mulutnya tidak mengatakan sesuatu, namun pelukannya pada kaki kiri Hay Hay itu dipererat dan hal ini terasa oleh Hay Hay yang menjadi semakin lebar senyumnya. Memang dia nakal dan ugal-ugalan, bukan saja suka sekali melihat keindahan dan kecantikan wanita, suka memuji-muji mereka, akan tetapi dia pun suka menggoda!

"Nona, kalau aku mau, tentu kaki kananku ini dapat menendangmu, menendang kedua tanganmu yang merangkul kaki kiriku dan engkau akan terlepas dan jatuh. Akan tetapi jangan khawatir, aku tidak sekejam dan seganas engkau yang haus darah ingin membunuh orang. Sayang kalau seorang gadis secantik engkau sampai mati di bawah sana."

Kui Hong merasa betapa mukanya panas dan ia tahu bahwa wajahnya berubah merah sampai ke telinganya. Untung bahwa ia berada di bawah dan pemuda di atasnya itu tidak dapat melihat mukanya yang ditundukkan.

"Sudahlah, tutup mulutmu dan kita pikirkan bagaimana agar dapat terlepas dari keadaan berbahaya ini!" Akhirnya ia berkata, bersungut-sungut.

Sejak tadi Hay Hay sudah mempelajari keadaan mereka. Pohon itu tumbuh keluar dari celah-celah batu menonjol keluar dan agaknya cukup kuat ter tanam dan terbelit di antara batu-batu bukit itu. Dia dapat saja merayap ke batang pohon, akan tetapi percuma saja karena permukaan tebing di sekeliling pohon itu rata. Dan ketika dia memandang ke atas, ternyata mereka tadi terjatuh dari tempat yang amat tinggi. Mendaki ke atas merupakan hal tidak mungkin sama sekali melihat betapa permukaan tebing itu rata dan licin, tiada sama sekali tempat untuk berpijak dan berpegang.

"Naikkanlah kakimu agar aku dapat meraih cabang itu!" Kui Hong berkata lagi. Tentu saja ia dapat merayap naik melalui tubuh pemuda itu, akan tetapi hal ini tidak akan dilakukannya karena ia merasa malu. Seolah-olah ia meraba-raba seluruh tubuh pemuda itu kalau ia merayap naik melalui tubuhnya!

"Dan setelah engkau duduk di atas cabang ini, engkau langsung menyerangku agar aku terjatuh, begitukah?" Hay Hay bertanya. "Berjanjilah dulu bahwa engkau tidak akan menyerangku, baru aku mau menaikkan kakiku."

Kui Hong menjadi semakin gemas. Akan tetapi ia pun teringat betapa ia telah bersikap terlampau galak. Ia harus mengakui bahwa memang di tengkuk kepala kijang itu terdapat luka bekas sambitan. Tak dapat disangkal bahwa agaknya mereka berdua merobohkan kijang itu pada saat yang sama. Pemuda ini tidak bersalah. Akan tetapi sikapnya itu. Seperti mempermainkan, itulah yang membuat ia marah. Dan pemuda itu tukang sihir pula! Ia bergidik.

"Baiklah, aku berjanji tidak akan menyerangmu, asal engkau tidak mempergunakan ilmu hitammu itu!"

Hay Hay tertawa. "Terima kasih, aku pun berjanji tidak akan main-main dengan ilmu sihir. Namaku Hay Hay, dan siapakah ehgkau, Nona?"

Kui Hong mengerutkan alisnya. Kurang ajar, pikirnya. Pemuda itu memerasnya! Menggunakan kemenangannya karena kakinya dijadikan tempat bergantung, mengajak berkenalan. Akan tetapi apa salahnya? Saling mengenal nama lebih baik daripada asing sama sekali padahal mereka ini sedang menghadapi bahaya maut bersama-sama. Dan pemuda itu telah memperkenalkan namanya. Hay Hay. Nama yang aneh, tanpa nama keturunan.

"Namaku Kui Hong." katanya, juga hanya memperkenalkan namanya tanpa she (nama keturunan).

"Kui Hong... Kui Hong... nama yang indah dan manis, seperti pemiliknya..." Hay Hay memuji. Kalau pemuda ini memuji, maka dia memuji dari lubuk hatinya, bukan sekedar memuji untuk merayu atau mengambil hati. Tidak, Hay Hay tidak pernah ingin mengambil hati atau merayu. Justeru karena dia menyukai keindahan, maka dia memuji seperti yang dirasakannya, dan karena itu seperti orang merayu!

"Sudahlah, tutup mulutmu dan angkat kakimu agar aku dapat naik ke cabang itu!" Kui Hong membentak, akan tetapi jantungnya berdebar aneh, seperti merasa girang oleh pujian itu.

Hay Hay lalu mengangkat kaki kirinya naik dan gadis itu lalu meraih cabang pohon di sebelah, lalu melepaskan kaki Hay Hay dan kini ia sudah duduk di atas cabang pohon, berhadapan dengan Hay Hay yang memandangnya sambil tersenyum.

Untung ada pohon ini yang menyelamatkan nyawa kita, Nona Kui," kata Hay Hay, kini sikapnya hormat karena dia melihat api kemarahan masih bernyala di dalam kedua mata gadis itu. Mendengar sebutan itu, Kui Hong merasa lucu dan ia pun tersenyum. Lenyaplah semua kegalakannya dalam senyum itu sehingga Hay Hay terpesona.

"Aih, Nona Kui. Kenapa engkau tidak memperbanyak senyummu itu? Bukan main! Senyummu membuat aku lupa bahwa aku terjebak di mulut maut ini!"

Senyum ini pun lenyap seketika. "Hemm, sudahlah, engkau sungguh memualkan perutku!"

Hay Hay membelalakkan matanya. "Memualkan perut? Wah aneh! Akan tetapi biarlah, hanya aku ingin tahu apa yang menyebabkan engkau tersenyum tadi, Nona Kui? Bukankah benar kataku bahwa pohon ini menyelamatkan nyawa kita?"

"Ada beberapa hal yang membuatku geli dan ingin tersenyum." kata Kui Hong. "Pertama, karena engkau menyebutku Nona Kui seolah-olah aku she Kui. Padahal, Kui Hong adalah namaku, dan Kui bukan nama keturunan keluargaku."

"Aih, begitukah? Mengapa engkau memperkenalkan diri hanya nama saja tanpa nama keturunan?"

"Hemm, sungguh tak tahu diri? Kenapa engkau tidak mau bercermin?" Kui Hong mencela.

Hay Hay memandang wajah yang manis itu, keduanya saling pandang dan Hay Hay mengerutkan alisnya. "Aih Nona Hong!" Dia merobah panggilannya, tidak lagi Nona Kui melainkan Nona Hong. "Jangan engkau main-main!"

"Main-main? Aku... ?', Kui Hong bertanya marah. Orang ini sungguh keterlaluan, dia yang main-main kini malah mengatakan ia yang main-main!

"Di tempat ini mana ada cermin? Bagaimana mungkin aku bercermin? Aku bukan pesolek dan...."

"Tolol!"

"Memang aku tolol, tapi mengapa..."

"Maksudku bercermin diri, bukan bercermin muka. Engkau sendiri mengaku namamu Hay Hay, tanpa menyebutkan she-mu. Tidak mungkin engkau she Hay bernama Hay. Mana ada she Hay di dunia ini? Kalau engkau tidak mau menyebutkan shemu, apakah aku perlu memperkenalkan sheku?"

Hay Hay tersenyum dan diam-diam Kui Hong harus mengakui bahwa pemuda ini tampan dan menarik sekali, senyumnya tidak dibuat-buat dan sepasang matanya itu kadang-kadang mencorong seperti mata seekor naga dalam dongeng. Akan tetapi kalau teringat betapa pemuda itu pandai ilmu sihir, ia bergidik dan segera menundukkan mukanya, tidak berani terlalu lama bertemu pandang.

"Ah, kiranya engkau membalas? Baiklah, Nona Hong, biarpun selama ini aku ini tidak pernah mempergunakan sheku, akan tetapi nama keturunanku adalan Tang jadi nama lengkapku adalah Tang Hay. Akan tetapi sungguh mati, aku lebih suka dikenal sebagai Hay Hay saja."

"Aneh kalau ada orang ingin mengingkari nama keturunan ayahnya!" kata Kui Hong. " Aku sendiri she Cia "

"Heiiii...!"

Kui Hong sampai tersentak kaget. "Gilakah engkau? Teriak-teriak mengejutkan orang! Ada apa sih engkau berteriak mendengar nama keturunanku?"

"She Cia? Aku jadi teringat kepada seorang suhengku. Menurut keterangan seorang di antara guru-guruku, beliau mempunyai seorang murid yang juga she Cia, nama lengkapnya Cia Sun"

"Ihhhh...!"

Kini bagian Hay Hay yang tersentak kaget. "Wah, wah, hampir aku terjatuh karena kaget. Kenapa sih engkau menjerit mendengar nama Suhengku itu? Apakah engkau mengenalnya?"

"Mengenal? Tentu saja! Dia masih keluarga kami dari Cin-ling-pai."

Hay Hay mengangguk-angguk. "Aku sudah mendengar akan keluarga Cin-ling-pai. Perkumpulan yang terkenal gagah perkasa. Kiranya engkau ini murid Cin-ling-pai?"

"Aku puteri ketuanya!" kata Kui Hong sambil mengangkat dada. Kembali Hay Hay kagum. Bentuk dada dan bahu wanita itu sungguh indah, ketika diangkat dada itu, membusung dan nampak lekuk-lengkung yang menarik.

"Wah-wah, kalau begitu aku bersikap kurang hormat. Engkau puteri Ketua Cin-ling-pai, keluarga Cia yang amat terkenal, sedangkan aku hanya seorang perantau tanpa nama, dan tentang kijang itu... maafkanlah aku, Nona. Sebetulnya bukan maksudku untuk berebutan akan tetapi..."

"Sudahlah. Mengapa kita mengobrol ke barat dan timur tanpa arah ini? Lebih baik kita bicara tentang keadaan kita. Bagaimana kita dapat keluar dari sini. Apa engkau ingin hidup selamanya di pohon ini?" kata Kui Hong, sambil menatap wajah Hay Hay. Yang ditatap tersenyum lebar, dan Kui Hong juga tersenyum karena merasa betapa lucunya pertanyaan itu. Tentu tidak akan ada manusia di dunia ini yang suka hidup selamanya di pohon itu!

"Ya, aku ingin dan mau hidup selamanya di pohon ini asal bersamamu, Nona!"

Lenyap senyum Kui Hong dan mukanya kembali menjadi merah, akan tetapi matanya mencorong dan alisnya berkerut.

"Engkau mau mempermainkan aku dan kurang ajar lagi?"

"Tidak, tidak, mana aku berani? Maafkanlah, Nona. Aku memang suka bergurau. Sudahlah, aku tidak akan bicara main-main lagi, mari kita selidiki tempat ini. Lihat, aku tidak mungkin memanjat ke atas, permukaan tebing itu demikian licin dan rata, tidak ada celah-celah atau tempat kaki berpijak dan tangan bergantung. Untuk turun juga tidak mungkin, dinding tebingnya sama, bahkan lebih jauh daripada kalau naik. Akan tetapi di sana itu terdapat sebuah guha. Lihat!"

Kui Hong memandang ke bawah sebelah kanan dan benar, kurang lebih tiga puluh meter dari tempat mereka duduk di cabang pohon itu, nampak sebuah guha yang cukup besar.

"Akan tetapi guha itu terlalu jauh, bahkan ke situ pun tidak mungkin merayap melalui dinding tebing yang rata dan licin itu." kata Kui Hong. "Aku dapat mencoba dengan mengerahkan sin-kang untuk menggunakan kedua tangan menempel dinding dan merayap ke sana. Akan tetapi apa gunanya? Kalau gagal, aku akan terjatuh ke bawah, sedangkan kalau berhasil, paling-paling hanya bertukar tempat tanpa jalan keluar, dari pohon ini ke guha itu."

"Akan tetapi, kalau kita bisa ke sana, setidaknya kita dapat bergerak lebih leluasa, dapat merebahkan diri untuk tidur, dapat pula berjalan dan berdiri, mungkin bisa mencari makanan di dalam guha itu. Kalau di sini? Kita hanya duduk di batang pohon dan akhirnya kita akan mati kelaparan. Sayang, bangkai kijang itu tidak kita bawa! Gemuk dan muda lagi!"

Diingatkan akan kijang itu, Kui Hong membayangkan betapa lezatnya membakar daging kijang dan tanpa disengajanya, perutnya berkeruyuk. "Nah, perut siapa yang berkeruyuk?" kata Hay Hay untuk mempertahankan suasana agar gembira.

Wajah Kui Hong berubah merah sekali. "Kau berani menghinaku dan mengatakan perutku berkeruyuk?" bentaknya marah.

"Aih, siapa yang mengatakan demikian, Nona? Aku hanya mendengar suara perut berkeruyuk dan tidak tahu perut siapa itu yang berkeruyuk."

"Perutku tidak!" Kui Hong mempertahankan, tentu saja malu untuk mengaku.

"Pula, perut berkeruyuk tidak perlu memalukan, dan bukan suatu penghinaan kalau terdengar orang. Kalau perutmu tidak berkeruyuk, tentu perutku. Nah, dengar, berkeruyuk lagi...!" Benar saja, terdengar perut Hay Hay berkeruyuk karena memang sejak berburu kijang, dia sudah lapar sekali. Dan pada saat yang hampir bersamaan, perut Kui Hong berkeruyuk lagi!

"Wah, jagonya yang berkeruyuk ada dua ekor!" kata Hay Hay tertawa dan kini Kui Hong tak dapat menahan diri untuk tidak tertawa. Ia tidak merasa malu lagi karena jelas perut Hay Hay terdengar lebih dulu berkeruyuk, lebih nyaring lagi!

"Kalau tinggal di sini terus, walau kita kuat bertahan, perut kita ini yang tidak akan kuat bertahan. Kita harus mencari...."

"Hay Hay, lihat...!!" tiba-tiba Kui Hong berteriak sambil menuding ke arah guha. Hay Hay tersenvum mendengar namanya dipanggil dan tentu dia akan menggodanya kalau saja dia tidak melihat apa yang ditunjukkan oleh gadis itu. Ketika dia menoleh ke arah guha, dia melihat sebuah kepala nongol keluar dan dia terkejut. Sebuah muka yang sesungguhnya cantik, akan tetapi kotor sekali. Rambut yang sudah berwarna dua itu awut-awutan, disanggul sembarangan saja, dan wajah itu adalah wajah seorang nenek-nenek yang sukar ditaksir berapa usianya. Tentu lebih dari enam puluh tahun melihat keriput pada ripinya. Namun, wajah itu memang cantik, setidaknya menunjukkan dengan jelas bahwa dahulunya wanita itu tentulah seorang yang cantik sekali. Akan tetapi matanya! Mata itu merah dan liar seperti mata serigala, atau mata seekor anjing gila.

"Hi-hi-hik," nenek itu tertawa dan nampaklah bahwa mulutnya sudah tidak bergigi lagi. Pantas saja nampak kempot dan kisut. Andaikata nenek itu masih bergigi, tentu kedua pipinya masih halus, melihat betapa dahinya, lehernya, masih kelihatan mulus seperti dahi dan leher orang muda saja. "Sepasang monyet muda, sasaran bagus sekali untuk latihanku, hi-hi-hik!" Hay Hay dan Kui Hong mengamati nenek itu yang kini kelihatan lebih banyak dari bagian tubuhnya yang lain, sampai sebatas pinggang. Pakaiannya hitam dan lapuk pula, kotor sekali, akan tetapi tubuhnya padat dan ramping seperti tubuh wanita muda! Kini mereka melihat tangan nenek itu memasukkan dua buah kerikil ke mulutnya dan begitu ia meniup, dua buah kerikil yang runcing tajam karena kerikil itu pecahan dari batu keras, menyambar ke arah muka Hay Hay dan Kui Hong dengan kecepatan luar biasa sampai mengeluarkan suara bercuitan!

"Awas...!" Hay Hay berseru dan cepat tangannya menyambar batu itu yang hendak lewat ketika dia miringkan kepala. Dia terkejut bukan main karena telapak tangannya merasa nyeri, tanda bahwa sambaran batu kerikil itu kuat bukan main! Kui Hong juga melihat sinar menyambar itu, dan dengan mudahnya ia miringkan kepala dan batu itu lewat dengan cepatnya di dekat kepalanya.

Hay Hay membuka kepalan tangannya. Hanya sebuah kerikil tajam dan runcing, akan tetapi bagaimana mungkin orang dapat meniupkan kerikil itu sedemikian kuatnya? Kalau nenek itu mempergunakan tangannya, dia masih tidak heran. Akan tetapi mempergunakan mulut meniup? Kui Hong kagum juga, bukan hanya kagum kepada nenek itu yang dapat melepas kerikil sebagai senjata rahasia dengan tiupan mulutnya, akan tetapi juga kagum kepada Hay Hay yang mampu menangkap batu kecil itu ketika tadi menyambar ke arah mukanya. Ia sendiri harus mengaku bahwa ia tidak akan mampu melakukannya, kecuali kalau sambaran batu kecil itu tidak secepat dan sekuat tadi.

Sementara itu, nenek yang melepas dua buah kerikil itu nampak terkejut dan penasaran. "Ehhh? Kaliah mampu menghindarkan tiupanku? Hemm, coba yang ini!"

Nenek itu kembali meniup dan kini ditambah dengan gerakan kedua tangannya. Kini dua buah kerikil menyambar ke arah muka dan dada Hay Hay, dua buah yang lain lagi menyambar ke arah muka dan dada Kui Hong! Dengan kecepatan dan kekuatan yang lebih besar daripada tadi! Kui Hong yang sudah siap siaga, tadi sudah mengerahkan tenaga dan begitu melihat dua sinar menyambar, ia sudah meloncat ke atas sehingga dua buah kerikil itu lewat di bawah tubuhnya. Akan tetapi Hay Hay masih memperlihatkan kehebatan ilmunya, dia hanya miringkan tubuhnya dan cepat kedua tangannya berhasil menangkap dua buah kerikil itu!

"Nenek iblis jahat!" bentak Kui Hong marah. "Hay Hay, balas iblis itu, serang ia dengan kerikil-kerikil itu!"

Hay Hay menggeleng kepalanya. "Kalau engkau tidak mau, kesinikan kerikil-kerikil itu, biar aku yang akan menyambitnya!" Kui Hong marah sekali dan tidak berdaya karena dari jarak sejauh itu, kalau ia menggunakan jarum-jarum merahnya, hasilnya tidak akan memuaskan.

"Jangan, biarkan aku bicara dengannya."

Sementara itu, melihat kembali mereka berdua mampu menghindarkan diri, apalagi melihat betapa dua butir kerikilnya dapat ditangkap oleh pemuda itu, nenek itu berseru. "Celaka, kalian tentu urusannya untuk datang membunuhku! Baik, akan kulihat kalau aku menghujankan kerikil beracun kepada kalian. Kalian hendak menghindar ke mana?"

Melihat nenek itu sudah siap hendak menyerang lagi, tentu kini lebih hebat, cepat Hay Hay mengerahkan tenaga sihirnya memandang kepada nenek itu lalu berseru nyaring, suaranya mengandung getaran yang penuh wibawa, "Nenek yang baik, nenek yang cantik, lihatlah baik-baik. Kami bukan musuh-musuhmu, dan aku bahkan suamimu sendiri. Lihatlah, apa engkau sudah lupa kepada suamimu sendiri?"

"Gilakah engkau, Hay Hay?" Kui Hong berkata, akan tetapi segera gadis ini teringat bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian aneh, yaitu ilmu sihir, maka ia pun menutup mulutnya, dapat menduga bahwa tentu pemuda itu kini sedang mempergunakan ilmu sihirnya untuk mempengaruhi nenek itu. Ia melihat betapa nenek itu terpukau sejenak, lalu matanya memandang kepada Hay-Hay, nampak terkejut, heran, seperti tidak percaya dan mengusap-usap kedua matanya sendiri dengan punggung tangan kanan, memandang lagi, dan... nenek itu seketika menjadi merah mukanya dan kelihatan marah bukan main.

"Hek-hiat-kwi (Setan Berdarah Hitam) Lauw Kin, kiranya engkau sendiri yang datang untuk membunuh aku? Atau untuk mengejek dan sengaja membawa pacarmu yang baru, gadis muda yang cantik itu? Bagus, jangan kira aku tidak berdaya lagi setelah bertahun-tahun ini, engkaulah yang akan mampus lebih dahulu, setan!" Dan tiba-tiba saja nenek itu menyerang dengan banyak sekali kerikil yang disambitkan atau ditiupkan, semua ke arah Hay Hay sehingga pemuda ini menjadi sibuk bukan main karena kini benar-benar dia dihujani batu kerikil yang datang menyerang bertubi-tubi dan semua itu dilepas dengan kekuatan dahsyat, bahkan masing-masing batu kerikil menyerang ke arah bagian berbahaya dari tubuhnya. Dia terpaksa berloncatan di atas cabang, lalu dari dahan ke dahan sambil memutar-mutar caping yang sudah diambilnya dari punggung untuk menangkis. Diam-diam Kui Hong merasa geli juga melihat hasil sihir pemuda itu, akan tetapi ia pun kagum bukan main melihat cara pemuda itu menghindarkan diri. Kalau ia yang diserang seperti itu, sukarlah baginya untuk mampu menyelamatkan diri. Dan diam-diam ia merasa khawatir sekali, maka ia pun segera mengerahkan khikang dan dengan suara nyaring mengandung kekuatan khi-kang ia pun berteriak.

"Nenek tolol! Lihat baik-baik, dia itu seorang pemuda bernama Hay Hay, sama sekali bukan suamimu yang bernama Lauw Kin!"

Ternyata lengkingan suara ini mampu menembus dan pada saat itu Hay Hay juga menyimpan kekuatan sihirnya. Nenek itu memandang heran dan segera menghentikan serangannya. Hay Hay berdiri di atas cabang pohon, mukanya masih agak pucat dan diam-diam dia memaki diri sendiri. Tolol, kiranya nenek ini agaknya bermusuhan dengan suaminya sendiri!

Setelah melihat bahwa yang diserangnya mati-matian tadi bukan suaminya melainkan seorang pemuda, nenek itu terbelalak dan kelihatan bingung. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hay Hay untuk membujuknya. "Nenek yang baik, kami tidak mempunyai kesalahan kepadamu, kenapa engkau memusuhi kami? Manusia hidup harus saling tolong-menolong. Kami sedang berada dalam kesulitan, terjatuh dari atas dan tertolong oleh pohon ini, akan tetapi kami tidak dapat naik atau turun dari sini. Tolonglah kami, Nek, siapa tahu, kami juga akan dapat menolongmu kelak."

Nenek itu agaknya berpikir sampai lama, memandang kepada Hay Hay dan Kui Hong, lalu mengangguk-angguk. "Aku telah salah sangka, kalian jelas bukan musuh, bukan utusan suamiku, akan tetapi kalian lihai. Memang benar, kalian tentu akan dapat menolong aku yang hidup sengsara ini... uhu-hu-huhh... aku yang sengsara, disengsarakan oleh seorang laki-laki yang jahat." Dan nenek itu menangis sampai sesenggukan. Tangis itu seperti tiada hentinya, dan kedua orang muda di atas pohon itu saling pandang. Karena menanti tangis nenek itu sampai lama akan tetapi tangis itu tak pernah berhenti, Kui Hong kehilangan kesabarannya.

"Sudahlah, Nek, hentikan tangismu itu dan kalau memang engkau dapat, tolonglah kami! Baru kita bicara tentang masalahmu dan aku akan menolongmu!" kata Kui Hong sebelum dapat dicegah oleh Hay Hay. Khawatir kalau-kalau nenek itu marah lagi, cepat Hay Hay menyambung sambil mengerahkan ilmu sihirnya untuk menguasai nenek ini.

"Benar, Nek. Percayalah kepada kami. Kami bukan orang jahat dan kalau engkau dapat menolong kami, tentu kami juga akan berusaha menolongmu untuk membalas budimu."

Nenek itu menghentikan tangisnya dan memandang kepada Hay Hay, kemudian ia mengangguk. "Baik, baik, jangan khawatir. Aku pasti akan menolong kalian." Tiba-tiba tubuh bagian atas dan kepala nenek itu lenyap agaknya ia masuk ke dalam guha. Dua orang muda di atas pohon itu saling pandang lagi, dan tentu saja keadaan ini amat menegangkan bagi mereka. Mereka masih meragukan karena bagaimana mungkin nenek itu akan dapat menolong mereka?

"Nona, dengarlah...."

"Hay Hay, kalau engkau menyebut nona lagi kepadaku, selamanya aku takkan sudi bicara denganmu! Namaku Kui Hong, engkau tahu ini, dan tidak ada tuan-tuan atau nona-nonaan!"

Hay Hay tersenyum, dalam hatinya merasa gembira sekali. Sejak tadi di luar dugaannya gadis ini menyebut namanya ketika melihat nenek dalam guha, dia sudah menduga bahwa gadis itu telah hilang kemarahannya terhadap dirinya dan mulai percaya kepadanya.

"Baiklah, Kui Hong, dan terima kasih. Sekarang dengar baik-baik sebelum ia muncul." katanya dengan suara halus dan lirih setengah berbisik. "Kalau nenek itu nanti benar menolong kita, biar aku yang lebih dahulu ditolongnya, karena aku masih curiga kepadanya. Jangan-jangan ia menolong hanya untuk menjebak kita."

Kui Hong memang kini sudah percaya kepada Hay Hay. Percaya sepenuhnya, terutama sekali mengenai tingkat kepandaian mereka. Ia tahu bahwa Hay Hay adalah seorang pemuda yang amat tinggi ilmunya. Ia sudah melihat sendiri betapa pemuda itu bukan hanya mampu menyambar kerikil itu, bahkan dapat menyelamatkan diri ketika dihujani batu kerikil, hanya dengan bantuan topinya! Mendengar suara bisikan itu, ia pun mengangguk karena ia sendiri juga belum percaya benar kepada nenek itu dan memang sebaiknya Hay Hay yang lebih dahulu berhadapan dengan nenek itu, yang jelas memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi pula dan akan merupakan lawan yang amat berbahaya.

Pada saat itu, nongollah kembali kepala Si Nenek tadi dan kini ia membawa segulung tali! Melihat tali itu, mengertilah Hay Hay dan wajahnya berubah gembira. Tak disangkanya bahwa nenek itu memiliki gulungan tali yang nampaknya panjang dan kuat itu! Kini dia pun mengerti bagaimana nenek itu akan menolong mereka, yaitu mengajak mereka ke dalam guha itu, akan tetapi bagaimanapun juga, tentu lebih baik daripada di atas pohon yang mencuat keluar dari tebing itu! Akan tetapi Kui Hong cemberut. "Hemm, tali sebegitu, mana cukup untuk dipakai turun ke bawah?" katanya.

Mendengar ucapan ini, Si Nenek tertawa, kini suara ketawanya tidak mengejek seperti tadi, walaupun masih kelihatan sama, mulut itu tidak bergigi lagi.

"Mau apa turun ke bawah? Kalau sudah turun ke dasar jurang, tidak ada kemungkinan naik kembali, kecuali menunggang burung rajawali!" kata nenek itu dengan suara sungguh-sungguh. "Akan tetapi sayang tak pernah kulihat selama bertahun-tahun ini seekor pun burung rajawali di daerah ini. Jalan keluar untuk menyelamatkan diri hanyalah melalui guha ini."

"Baiklah, Nenek yang baik. Lekas lontarkan ujung tali itu ke sini!" kata Hay Hay.

"Heh-heh, engkau lebih cerdik. Dan engkau pun lihai sekali, orang muda. Aku percaya hanya engkau dan Nona itu yang dapat membantuku menghadapi musuh besarku. Nah, sambutlah tali ini!" Nenek itu melontarkan ujung tali dan dari perbuatan ini saja sudah dapat dilihat betapa lihainya nenek itu. Kekuatan lontarannya demikian hebatnya sehingga bagaikan dibawa anak panah saja, ujung tali itu meluncur dengan cepatnya ke arah pohon itu. Dan ternyata ujung tali itu dengan tepat sekali membelit batang pohon itu, melilit seperti seekor ular melilitkan ekornya! Hay Hay cepat menghampiri batang pohon itu dan mengikatkan ujung tali dengan kuatnya pada batang pohon yang besarnya sepinggangnya, cukup kuat untuk menahan berat badannya. Dia memeriksa tali itu dan merasa kagum. Tali itu adalah tali yang amat kuat, dipintal dengan rapi, agaknya dikerjakan oleh tangan yang tekun dan bahannya semacam rumput yang ulet sekali dan sudah kering. Dia tidak tahu dari bahan apa tali itu dibuatnya, namun dia dapat menduga tentu dari semacam rumput yang amat kuat.

"Sudah kuikat kuat, Nek. Tariklah biar tegang!" Kemudian dia berbisik kepada Kui Hong. "Kui Hong, kalau nanti engkau menyeberang, jangan berjalan di atas tali. Berbahaya kalau ia melepaskan tali di ujung sana. Bergantung saja seperti yang aku lakukan."

Nenek di guha itu sudah menarik talinya dan kini tali itu menegang, merupakan jembatan tali sehelai dari atas ke bawah, akan tetapi tidak terlalu menurun sehingga kalau saja tidak takut dikhianati nenek itu, akan lebih mudah bagi Hay Hay kalau dia berjalan atau berlari saja di atas tali itu. Akan tetapi kalau dia melakukan hal ini, sekali nenek itu melepaskan talinya, tubuhnya tentu akan terjatuh ke bawah sana.

"Kui Hong, aku menyeberang lebih dulu, perhatikan!" bisiknya kepada nona itu dan dia pun berteriak ke arah guha, " Aku mulai menyeberang, Nek!" Dan dia pun memegang tali itu dengan kedua tangannya dan meloncat dari atas cabang pohon. Kini tubuhnya bergantung pada tali itu dan melihat betapa tali itu benar cukup kuat seperti yang diduganya, mulailah dia bergerak maju, menggunakan kedua tangannya merayap maju sambil bergantung. Dengan cara demikian, andaikata nenek itu berlaku curang dan melepaskan tali, tubuhnya akan terjatuh ke bawah, akan tetapi karena dia berpegang kepada tali tentu pohon itu cukup kuat menahan tubuhnya dan dia akan selamat kembali ke pohon tadi. Hal ini dimengerti pula oleh Kui Hong dan dia semakin kagum. Pemuda itu selain lihai, juga cerdik sekali.

Nenek yang mengamati gerakan Hay Hay dari seberang, kini tertawa, nadanya mengejek. "Orang muda, agaknya engkau tidak percaya kepadaku, maka engkau menyeberang sambil bergantungan. Hemm, kalau aku bermaksud buruk, biarpun engkau bergantungan, apa kaukira aku tidak mampu membuat engkau melepaskan tali dan terjatuh ke bawah? Ingat, kalau sekarang aku menghujankan kerikil kepadamu, bagaimana engkau akan mampu melindungi dirimu?"

"Aku akan menghindarkan seranganmu begini, nenek yang baik!" Dan tiba-tiba saja tubuh Hay Hay yang bergantungan itu membuat gerakan berputaran seperti seorang pemain akrobat tali, atau bermain sulap. Akan tetapi gerakannya ini lebih cepat lagi sehingga lenyaplah bentuk tubuhnya berubah menjadi bayangan yang berputaran mengitari tali itu dengan amat cepatnya sehingga diam-diam nenek itu terkejut dan kagum. Memang akan sukarlah menyerang pemuda itu karena gerakan pemuda itu amat cepatnya. Sambil berputaran, kedua tangan Hay Hay terus melangkah dan akhirnya dia tiba di mulut guha dan melompat masuk, berdiri di depan nenek itu. Dan Hay Hay terkejut bukan main melihat bahwa nenek itu tidak berdiri, melainkan duduk dan melihat keadaan dua kakinya dalam celana hitam yang terkulai lemas itu, dia dapat menduga bahwa kedua kaki nenek itu lumpuh! Dia menahan perasaannya dan tidak memperlihatkannya pada wajahnya, melainkan tersenyum ramah.

"Aku percaya bahwa engkau tidak akan mencelakakan aku, Nek, karena engkau membutuhkan bantuanku." katanya sambil tersenyum.

"Hi-hik, engkau benar, aku butuh bantuanmu karena engkau memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, gadis itu tidak kubutuhkan bantuannya, karena itu ia lebih baik dienyahkan saja agar tidak menjadi gangguan!" Berkata demikian, cepat bukan main, tahu-tahu nenek itu sudah memegang sebatang pedang dan karena tali penyeberang itu berada di dekatnya, Hay Hay merasa tidak sempat lagi mencegah dengan perbuatan. Maka dia pun mengerahkan ilmu sihirnya dan membentak dengan suara nyaring karena dia melihat betapa Kui Hong sudah bergantungan di tali penyeberang itu seperti yang dilakukannya tadi!

"Hei, Nek, engkau memegang ular di tangan kananmu, untuk apakah?"

Pedang itu sudah diangkat, akan tetapi mendengar bentakan itu, gerakannya terhenti di tengah jalan. Pedang tidak turun menyambar ke arah tali, melainkan tertahan di atas dan nenek itu nampak terkejut dan bingung.

"Ular...?" Dan ia pun mengangkat mukanya memandang ke arah pedang di tangan kanannya dan ia pun menjerit.

"Ihhh...!" Dan pedang itu pun terlepas jatuh berkerontangan di atas lantai guha. Saat itu, Hay Hay sudah meloncat dekat tali dengan sikap melindungi dan dia sudah menarik kembali ilmu sihirnya, membiarkan nenek itu memungut pedangnya sambil mengamati pedang itu dengan sikap terheran-heran. Sementara itu, karena jarak antara pohon dan guha itu hanya tiga puluh meter, dengan "langkah" sebanyak lima puluh kaki saja dengan ke dua tangannya, Kui Hong sudah tiba di mulut guha dan melompat ke dalam dengan selamat. Nenek itu sudah memungut kembali pedangnya dan kini ia berdiri, atau lebih tepat lagi duduk karena ia tidak mempergunakan kedua kakinya, di depan Hay Hay dan Kui Hong. Gadis ini pun terkejut, karena seperti juga Hay Hay, ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa nenek itu adalah seorang yang lumpuh kedua kakinya!

Melihat betapa dua orang muda itu memandang ke arah kedua kakinya, nenek itu berkata. "Kalian tidak mengira bahwa kedua buah kakiku lumpuh? Ya, aku lumpuh, aku tidak berdaya, aku... aku wanita yang menderita hebat penuh kesengsaraan! Dan semua ini gara-gara dia!" Tiba-tiba nenek itu kelihatan beringas, wajahnya yang cantik itu berubah menjadi kejam dan sepasang matanya seperti mengeluarkan api. Pedang di tangannya lalu dimainkan, menyambar-nyambar ganas.

"Karena itu, aku harus menghajarnya, akan kuserang dia mati-matian!" Pedang itu menyambar-nyambar dan kedua orang muda itu terkejut karena mereka mengenal gerakan ilmu pedang yang dahsyat sekali. Pedang itu berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung dan mengeluarkan suara berdesing dan mengiang, lalu sinar itu mencuat ke arah sebongkah batu.

"Crakkk!" nampak bunga api berpijar dan batu itu pun terbelah menjadi dua! Beberapa kali pedang itu menyambar ke arah batu. "Seperti inilah dia akan kucincang....!" Nenek itu berteriak-teriak dan batu besar itu kini menjadi puluhan potong! Tiba-tiba seperti permulaannya tadi, ia menghentikan permainan pedangnya, memandang ke arah batu itu, kemudian kepada pedangnya dan ia pun menangis kembali, agaknya merasa menyesal bahwa yang dipotong-potong itu bukan tubuh musuhnya, melainkan hanya sepotong batu besar!

"Uhu-hu-huuu... aku memang wanita malang, menderita dan sengsara..." dan tiba-tiba, pedang itu ditekuknya dengan kedua tangannya dan ia sudah memaki marah lagi. "Keparat, akan kupatahkan tulang lehernya seperti ini!"

"Krekkk!" Pedang yang ditekuknya itu patah menjadi dua potong.

"Dan kucampakkan tubuhnya ke jurang seperti ini!" Dilemparkan dua potongan pedang itu keluar guha, dan dua batang benda itu meluncur ke dalam jurang yang amat curam itu. Dua orang muda itu saling pandang, terkejut dan juga kagum karena mereka melihat betapa pedang itu dengan mudahnya dapat membelah batu, tanda bahwa pedang itu terbuat dari baja yang amat baik. Akan tetapi dengan amat mudahnya, nenek itu mematahkan pedang tadi dengan kedua tangannya! Ini pun membuktikan betapa kuat jari-jari tangan nenek itu.

"Nenek yang baik, siapakah orang jahat yang membuatmu hidup sengsara itu? Kami tentu akan suka membantumu, asal saja engkau dapat menunjukkan jalan keluar bagi kami." kata Kui Hong agak terharu juga melihat keadaan nenek itu. Jelas seorang nenek yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi karena kedua kakinya lumpuh, tentu saja ia menjadi tak berdaya menghadapi musuhnya. "Apakah dia yang membuat kakimu menjadi lumpuh? Apakah dia yang membuat engkau hidup merana seorang diri di dalam guha ini?"

Ditanya demikian, kembali nenek itu menangis, sesenggukan dan air matanya bercucuran. Kui Hong dan Hay Hay mendiamkannya saja, hanya memandang dengan hati iba, akan tetapi tidak berani terlalu dekat dengan nenek yang aneh itu.

Setelah menangis beberapa lamanya, nenek itu menghentikan tangisnya dan berkata, seperti menjawab pertanyaan-pertanyaan Kui Hong tadi. "Jalan keluar satu-satunya dari jurang ini adalah melalui guha ini, akan tetapi jalan itu merupakan rahasia, yang mengetahuinya hanya aku dan dia saja! Tanpa petunjukku, biar kalian sudah berada di dalam guha ini, sampai mati pun kalian takkan dapat menemukan jalan rahasia itu! Memang setan itulah yang telah melumpuhkan kakiku, dan dia mencampakkan aku ke dalam tempat ini. Sudah dua puluh lima tahun lamanya! Dengar, dua puluh lima tahun lamanya aku hidup di tempat ini, dalam keadaan lumpuh, seorang diri pula. Aihhh... betapa malang nasibku... dan baru hari ini aku bertemu dengan manusia lain, yaitu kalian inilah..."

"Tapi, Locianpwe (sebutan orang tua yang gagah perkasa)." kata Hay Hay. "Aku melihat bahwa engkau amat lihai, memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan kalau mengenal jalan rahasia itu, kenapa tidak keluar selama ini?"

"Ah, dasar nasibku yang buruk. Apakah engkau lupa bahwa sebelum mencampakkan aku ke dalam tempat ini, setan itu lebih dahulu membuat kedua kakiku lumpuh? Dalam keadaan lumpuh seperti ini, betapa pun tinggi ilmu silatku, mana mungkin aku dapat keluar melalui jalan rahasia itu? Jalan itu menanjak, licin dan amat sukar. Orang yang tidak cacat sekalipun, kalau dia tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, jangan harap dapat keluar. Sudah berkali-kali kucoba, akan tetapi aku terjatuh lagi ke sini."

"Akan tetapi, Nek, siapakah orang itu, dan siapa namanya?" tanya Kui Hong penasaran dan ia tidak mau menyebut locianpwe seperti yang dilakukan Hay Hay, mengingat bahwa tadi nenek ini hendak membunuh mereka berdua ketika masih berada di atas pohon.

"Setan itu bernama Lauw Kin, berjuluk Hek-hiat-kwi (Setan Berdarah Hitam) dan dia masih suamiku sendiri."

"Ahhhh !" Hampir berbareng Hay Hay dan Kui Hong berseru kaget dan heran. "Suamimu sendiri? Akan tetapi, kenapa seorang suami berbuat seperti ini terhadap isterinya?" tanya Kui Hong, semakin penasaran dan sebagai seorang wanita, tentu saja segera ia merasa terpanggil untuk berpihak kepada nenek itu, menentang suami nenek itu yang demikian kejam dan jahatnya.

Nenek itu mengerling ke arah Hay Hay, lalu menarik napas panjang dan dengan sikap sedih ia menundukkan mukanya. "Laki-laki mana yang dapat dipercaya di dunia ini? Sebelum didapatkannya seorang wanita, dia merayu dengan kata-kata manis, semanis madu. Akan tetapi setelah wanita berhasil dipikatnya dan menjadi isterinya, dia akan merasa bosan dan mencari lain wanita! Dan aku sebagai isterinya, tentu saja merasa sakit hati dan cemburu, lalu aku hendak membunuh wanita itu. Akan tetapi dia membela wanita itu, dan dia amat lihai. Aku kalah, kedua kakiku dilumpuhkan dan dia melempar aku ke tempat ini!"

"Jahanam keparat laki-laki itu!" Kui Hong berseru sambil mengepal tinju dan hatinya sudah merasa panas sekali. Akan tetapi Hay Hay tetap tenang-tenang saja dan dia bertanya.

"Locianpwe, tadi engkau mengatakan bahwa sudah dua puluh lima tahun Locianpwe hidup di tempat ini. Akan tetapi, dalam keadaan lumpuh pula... bagaimana Locianpwe dapat bertahan untuk hidup?"

"Guha ini luas sekali, memiliki banyak terowongan, bahkan ada beberapa di antaranya yang menembus ke dinding tebing, menjadi guha kecil lain, di suatu guha kecil-kecil itu terdapat banyak sekali burung-burung walet dan sarang mereka. Aku dapat makan telur dan daging burung walet, juga liur mereka yang ditinggalkan di sarang merupakan makanan lezat dan penguat tubuh. Kadang-kadang ada pula ular memasuki guha-guha kecil itu dan daging ular lezat sekali. Dan di dalam terowongan terdapat banyak akar pohon yang dapat dimakan, bahkan ada tanaman di muka guha kecil yang mengeluarkan buah yang manis. Ada pula air jernih mengucur di tepi terowongan. Aku dapat makan minum setiap hari, tidak khawatir kelaparan. Hanya pakaian aku tidak punya, kecuali beberapa stel yang dahulu oleh iblis itu dilempar pula ke sini. Akan tetapi kini sudah habis, tinggal yang kupakai ini."

"Dan Locianpwe masih punya waktu untuk memintal tali itu dan berlatih menggunakan batu kerikil untuk senjata rahasia dengan meniupnya?"

"Heh-heh, engkau memang cerdik, orang muda. Memang, banyak waktu luang selama ini, dan aku dapat menambah ilmuku untuk melengkapi kekuranganku karena lumpuh, dengan setiap hari belajar melempar dan meniup kerikil yang kupecahkan dari batu-batu besar. Juga beberapa pukulan. Dan mengenai tali itu, memang kupilih dari semacan rumput yang tumbuh di terowongan. Tadinya aku bermaksud untuk menggunakan tali itu keluar dari sini, akan tetapi selalu gagal."

"Nenek yang malang." kata Kui Hong. "Sudah dua puluh lima tahun hidup seorang diri di tempat sunyi ini, akan tetapi engkau masih lancar bicara." Gadis ini juga amat cerdik dan perkataannya itu memancing, menyembunyikan kecurigaannya karena memang aneh melihat seseorang yang hidup menyendiri selama dua puluh lima tahun masih mampu bicara sedemikian lancarnya.

Nenek itu tersenyum menyeringai dan kini melihat mulut tanpa gigi itu dari dekat, mendatangkan kesan aneh, seolah-olah melihat seorang bayi yang sudah besar sekali. "Heh-heh, tidak aneh sama sekali, Nona manis, karena aku selalu mengajak semua benda, baik yang hidup seperti burung atau ular, maupun yang mati seperti batu, jamur dan pohon..."

"Jamur dan pohon itu hidup, Nek, bahkan batu pun mungkin hidup, siapa tahu?" Hay Hay berkelakar. Setelah terbebas dari ancaman maut di pohon itu, pemuda ini sudah memperoleh kembali kejenakaanya.

"Hemm, maksudku yang tidak bergerak, orang muda. Aku selalu mengajak mereka semua itu bicara, setiap hari sehingga aku tidak lupa akan bahasa kita ini. Nah, sekarang aku menagih janji. Kalian sudah kuselamatkan di tempat ini, bahkan hanya aku yang akan mampu mengantar kalian keluar dari sini. Sekarang aku minta kepada kalian untuk membantuku menghadapi laki-laki jahanam yang telah menyiksaku lahir batin seperti ini."

"Aku siap, Nek! Katakan di mana laki-laki jahanam itu dan aku akan menghajarnya!" kata Kui Hong lantang.

"Akan tetapi yang penting bagiku adalah janji pemuda ini. Suamiku itu lihai bukan main dan karena aku tadi sudah menyaksikan kemampuan pemuda ini, kiranya hanya dialah yang akan mampu menghadapi dan mengatasinya."

"Hay Hay, engkau tentu juga sanggup membantu Nenek ini, bukan?" Kui Hong segera bertanya kepada Hay Hay. Pemuda itu tersenyum, sejenak memandang kepada gadis itu, kemudian menoleh kepada nenek yang bermata tajam dan agaknya biarpun lumpuh, amat cerdik dan juga lihai ini.

Karena dia sendiri maklum bahwa sekali berjanji, maka janji itu harus ditepatinya, maka Hay Hay mengambil cara lain. Diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya sambil menatap nenek itu di antara kedua matanya, lalu berkata sambil tersenyum namun suaranya berbeda dari biasanya, mengandung getaran yang amat berwibawa.

"Lociapwe percaya penuh kepadaku. Bawalah kami keluar dari sini, dan ke tempat tinggal laki-laki itu sekarang juga."

Nenek itu mengangguk-angguk, mulutnya berkata lirih, "Baik... aku percaya padamu dan kalian akan kuantar keluar, menemui laki-laki itu...!" Kemudian ia menundukkan muka dan nampaknya bingung. Melihat ini, Kui Hong mengerutkan alisnya, menatap tajam wajah Hay Hay.

"Hay Hay, permainan apa vang kaulakukan ini?" Ia merasa tidak senang karena ia dapat menduga bahwa pemuda itu agaknya telah mempengaruhi nenek yang malang itu dengan sihirnya!

Hay Hay tersenyum. "Kui Hong, aku tidak main-main." Lalu dia menoleh kepada nenek itu dan berkata. "Engkau tahu aku tidak main-main Locianpwe,dan marilah kita berangkat sekarang juga keluar dari sini."

Nenek itu mengangkat mukanya perlahan dan menjawab. "Aku tahu engkau tidak main-main dan mari kita berangkat sekarang juga keluar dari sini." Ia seperti seekor burung kakatua yang pandai bicara dan menirukan semua kata-kata yang diucapkan Hay Hay.

Kui Hong tidak mengerti, permainan apa yang sedang dilakukan Hay Hay dengan menyihir nenek yang telah menolong mereka itu. Namun, ia pun girang mendengar bahwa mereka akan keluar dari tempat itu. "Marilah kita berangkat!" katanya gembira dan menggandeng tangan nenek itu.

" Aku... kakiku... tidak dapat berjalan...." kata nenek itu.

Agaknya baru Hay Hay dan Kui Hong sadar akan keadaan nenek itu. Mereka merasa diri bodoh sekali. Kalau nenek itu mampu berjalan seperti orang biasa, pasti pasti ia tidak akan sampai dua puluh lima tahun tinggal di dalam guha itu! Kui Hong tersenyum.

"Aih, betapa bodohku, sampai lupa akan keadaanmu, Nek!" katanya.

Hay Hay juga tersenyum dan Kui Hong melanjutkan kata-katanya, "Hay Hay, sebaiknya kalau engkau menggendongnya. Nenek yang baik, biarlah dia menggendongmu!"

Karena sihirnya itu datangnya dari Hay Hay, maka tentu saja nenek itu hanya mentaati kata-kata Hay Hay, dan mendengar ucapan Kui Hong, ia mengerutkan alisnya dan berkata dengan ketus.

"Ihh! Kaukira aku ini wanita macam apa yang mau begitu saja digendong seorang pria? Tidak, sampai mati pun aku tidak sudi! Engkaulah yang harus menggendongku keluar dari tempat ini, Nona."

Kui Hong merasa geli mendengar ini. Sudah nenek-nenek tua renta masih banyak lagak, malu-malu seperti wanita muda saja. Akan tetapi ia mengerutkan alisnya. Nenek itu demikian kotor, dan kedua kakinya nampaknya lemas seperti tak bertulang saja. Ia merasa jijik. Lalu timbul gagasan yang dianggapnya amat baik.

"Hay Hay, pergunakan pengaruhmu untuk memaksa ia agar suka kaugendong!"

Akan tetapi Hay Hay tersenyum dan menggeleng kepala. "Tidak bisa, Kui Hong. Yang bicara itu adalah naluri kewanitaannya dan itu amat kuat. Ia tidak mungkin dapat dipaksa. Gendonglah agar kita cepat dapat keluar dari sini." Biar ia tahu rasa sedikit, pikir Hay Hay. Betapapun juga, ia mendongkol mendengar Kui Hong hendak memaksanya untuk menggendong wanita itu. Pula, di lubuk hatinya, dia masih belum percaya kepada wanita ini. Kalau dia yang menggendong, lalu wanita itu menyerangnya, akan berbahaya sekali bagi mereka berdua. Sebaliknya, kalau Kui Hong yang menggendong, dia dapat melindungi gadis itu dari marabahaya. Seorang nenek yang demikian kejamnya, yang tadi berusaha membunuh dia dan Kui Hong tanpa sebab, tidak boleh dipercaya begitu saja.

Kui Hong bersungut-sungut dan matanya yang jeli indah dan tajam itu menyambar seperti hendak menyerang pemuda itu. Akan tetapi ia mengalah dan terpaksa lalu berjongkok di depan nenek itu, membelakanginya. "Baiklah, baiklah, memang aku yang sedang sial hari ini!" Hay Hay ingin tertawa besar namun hanya ditahannya karena dia tidak mau membuat gadis itu menjadi semakin marah. Nenek itu meletakkan kedua tangannya merangkul pundak Kui Hong dan mengangkat tubuh bawah yang tidak berdaya itu ke atas punggung dan pinggul Kui Hong. Gadis ini merasa geli sekali ketika merasa betapa dua batang kaki yang lumpuh itu bergantungan di kedua sisinya. Terpaksa ia menahan pantat nenek itu dengan tangan kirinya dan membentak Hay Hay. "Mari kita berangkat!"

Akan tetapi Hay Hay menggeleng kepalanya. "Aku tidak mengenal jalan itu, bagaimana mungkin dapat menjadi penunjuk jalan? Engkaulah yang berjalan di depan, Kui Hong dan Locianpwe ini yang menjadi penunjuk jalan, aku mengikuti dari belakang. Bukankah begitu, Locianpwe yang baik?"

Nenek itu mengangguk. "Benar, engkaulah yang berjalan di depan, Nona, aku menjadi penunjuk jalan dan pemuda ini mengikuti dari belakang kita."

Kui Hong merasa semakin mendongkol. Sambil mengerling ke arah Hay Hay, sambil bersungut-sungut ia berkata, "Seenak perutya sendiri saja!" Dan kembali Hay Hay menahan ketawanya dan mengikuti di belakang Kui Hong. Nenek itu memberi petunjuk ketika mereka berjalan melalui lorong yang berbelak-belok, akan tetapi lorong terakhir berhenti pada jalan buntu. Di depan mereka terhalang oleh dinding karang. Lorong itu mati sampai di situ.

"Wah, jalan ini buntu, Nek!" Kui Hong berteriak penasaran. "Apakah engkau hendak mempermainkan kami?"

Nenek itu tertawa dan kembali Kui Hong mengkirik. Karena mulut nenek itu berada di dekat telinganya, maka suara ketawa itu terdengar mengerikan.

"Inilah rahasia jalan tembusan itu, hanya aku dan dialah yang mengetahuinya. Bawa aku ke ujung kiri sana itu!"

Kui Hong melangkah ke sudut kiri dan nenek itu menggerayangi dinding batu karang itu dengan kedua tangannya. Tiba-tiba terdengar suara berdetak, lalu diikuti suara bergerit yang nyaring dan terbukalah sebuah lubang di dinding itu, satu meter lebarnya dan dua meter tingginya, tepat untuk masuk satu orang. Kui Hong merasa berdebar saking girangnya. Nenek ini tidak berbohong. Memang ada jalan keluar dan sebentar lagi ia akan bebas di sana! Kegembiraan ini membuat ia melangkah lebar dan cepat memasuki lorong samping itu.

"Hati-hati, Nona. Jalan ini selain sempit, gelap, juga menanjak dan licin bukan main. Di bagian yang paling berbahaya di mana engkau harus merangkak atau meloncati lubang, akan kuberitahukan. Karena itu, jangan melangkah terlampau cepat, satu-satu saja." Berkata demikian, nenek itu mengulur tangan ke kanan, meraba dinding, agaknya inilah caranya mengenal jalan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar