"Kenapa harus dibungkus tanah liat?" akhirnya Sun Hok bertanya karena sejak tadi, setiap kali beradu pandang, mereka hanya senyum-senyum saja, seolah-olah merasa canggung dan malu untuk bicara, seolah-olah tidak ada apa-apa lagi untuk dibicarakan karena kalau sampai mereka bicara, suasana yang demikian aneh dan menggembirakan itu akan terganggu.
Gadis itu memandang dan menyembunyikan senyum, lalu menunduk dan menggunakan sumpit besar itu membalikkan ikan dalam tanah liat itu. "Kalau dipanggang begitu saja, ikannya akan bau asap, juga bisa gosong. Akan tetapi kalau dibungkus tanah liat, tidak berbau asap, tidak gosong dan panasnya lebih meresap, bumbunya akan terasa benar dan biarpun dagingnya masih nampak putih kemerahan seperti mentah, namun sesungguhnya sudah lunak dan matang. Memanggang seperti ini merupakan cara memanggang istimewa yang biasanya dihidangkan kepada para bangsawan di istana."
Sun Hok mengerutkan alisnya. Gadis ini tahu akan kebiasaan memasak di istana bangsawan? Apakah ia seorang puteri? Melihat pakaiannya, walaupun cukup indah, namun tidaklah terlalu mewah. Juga perhiasan di leher, telinga dan lengannya bukan dari emas murni berhiaskan permata mahal, hanya perhiasan sederhana saja. Akan tetapi cara bicaranya demikian halus, seperti seorang terpelajar, dan gerak-geriknya pun lembut, suaranya merdu dan mengerti akan cara memasak hidangan para bangsawan! Makin tertariklah hatinya, seperti menghadapi sebuah rahasia yang harus dipecahkan.
Setelah tanah liat itu nampak kemerahan, gadis itu mengetuk-ngetuknya dengan sepasang sumpit ranting dan berkata girang. "Sekarang sudah matang, siap untuk dimakan setelah agak dingin." Ia pun mengambil dua batang ikan itu dengan sumpitnya, dikeluarkannya dari api unggun yang dibiarkan hidup terus untuk menerangi tempat itu, juga untuk mengusir nyamuk. Malam mulai masuk dan cuaca mulai menjadi gelap.
Dengan gerakan yang lincah dan cekatan, gadis itu memukul-mukulkan batu sehingga tanah liat yang sudah kering itu menjadi pecah dan nampaklah daging ikan yang putih kemerahan karena sisik-sisik ikan itu melekat pada tanah liat. Dan terciumlah bau yang sedap dan membuat Sun Hok tiba-tiba merasa lapar! Dia menggunakan dua batang kayu sebagai sumpit, mengambil daging ikan dan memakannya. Bukan main enaknya! Begitu gurih, sedap dan benar saja, sedikit pun tidak ada bau asap atau gosong!
"Wah, lezat sekali!" Dia memuji dan gadis itu tersenyum girang.
"Sayang bumbunya kurang lengkap, kalau lengkap lebih enak lagi. Biarlah lain kali kalau ada kesempatan, kalau ada bumbu-bumbu lengkap, akan kubuatkan engkau masakan-masakan yang lebih enak lagi, Kongcu " Tiba-tiba ia menghentikan kata-katanya, seperti teringat akan sesuatu, matanya terbelalak dan ia pun berseru. "Ah, apa yang kukatakan tadi? Aku telah lupa diri, lupa akan keadaanku dan lupa bahwa baru saja engkau telah menyelamatkan aku, dan... dan aku tidak tahu siapa Kongcu, engkau pun tidak tahu siapa aku...."
Melihat kegugupan gadis itu, Sun Hok tersenyum. Dia tidak merasa seperti itu. Dia merasa seolah-olah dia telah mengenal gadis ini selama bertahun-tahun, seolah-olah mereka adalah sepasang sahabat yang akrab dan tidak asing.
"Tenanglah, Nona. Ikan sudah dipanggang matang. Mari kita makan dulu, baru kita bicara tentang hal lain. Belum terlambat, bukan?"
Melihat sikap pemuda itu, gadis tadi dapat menguasai dirinya kembali. Ia tersenyum, mengangguk dan mulai pula menyumpit daging ikan. Mereka berdua makan tanpa bicara, hanya kadang-kadang saling pandang melalui sinar api unggun yang selalu ditambah kayu bakarnya oleh Sun Hok. Bagi kedua orang itu, belum pernah mereka merasakan suasana yang demikian santai, damai dan juga makan demikian enaknya, walaupun tidak ada nasi dan hanya makan daging ikan saja. Tanpa malu-malu keduanya makan sampai dua ekor ikan itu tinggal tulangnya saja. Barulah Sun Hok mengeluarkan seguci anggur dari dalam buntalannya.
"Aku... aku tidak suka minum arak, takut mabok.....!" kata gadis itu.
Sun Hok menggeleng kepalanya. "Bukan arak yang keras, Nona, melainkan anggur yang halus dan enak. Engkau takkan mabok biar habis sepuluh cawan sekalipun. Hanya sayang, aku tidak biasa membawa cawan. Maklum biasa aku minum sendirian, cukup meneguk dari guci. Nah, silakan, Nona. Engkau perlu minum setelah makan daging ikan." Sun Hok menyerahkan guci anggurnya kepada nona itu sambil membuka sumbatnya. Tercium bau yang harum dan sama sekali tidak keras seperti bau arak.
Kedua pipi gadis itu menjadi merah sekali. Biarpun sinar api unggun itu sudah membuat wajahnya nampak merah, akan tetapi kini menjadi semakin merah dan mudah dilihat oleh Sun Hok. Dengan kedua tangannya nona itu menolak dan berkata, "Aih, Kongcu. Bagaimana aku berani? Engkau sendiri belum minum, bagaimana aku berani minum lebih dulu dan mengotori mulut guci?"
Sun Hok tertawa. "Ha-ha, engkau lucu, Nona. Bagaimana mulut guci ini bisa kotor kalau engkau menenggak isinya? Mungkin terbalik, mulut guci inilah yang akan mengotori bibirmu, Nona. Akan tetapi jangan khawatir, guci ini selalu kucuci sampai bersih sebelum diisi anggur. Nah, minumlah, Nona."
Akan tetapi gadis itu tetap menolak. "Tidak Kongcu. Aku tidak berani. Sepantasnya... engkau yang minum lebih dulu, baru... baru aku akan mencobanya."
"Eh, kenapa begitu?"
"Pertama, karena engkaulah pemilik guci itu, dan ke dua, karena engkaulah tuan rumahnya, dan ke tiga karena... engkau pria dan aku wanita."
Sun Hok melebarkan matanya dan tersenyum lagi. Heran, belum pernah dia merasa segembira itu, belum pernah dia sebanyak itu tertawa dan tersenyum dalam waktu demikian singkat!
"Baiklah, aku akan minum lebih dulu, baru engkau!" Dan dia pun meneguk beberapa teguk anggur dari dalam guci. Enak bukan main, lebih enak daripada yang sudah-sudah. Setelah merasa cukup, dia menyerahkan guci itu kepada gadis yang sejak tadi memandangnya penuh kagum.
Sekali ini, gadis itu tidak menolak. Dengan hati-hati ditempelkannya bibir guci ke bibirnya yang merah basah itu dan ia pun meneguk anggur dari dalam guci. Apa yang dikhawatirkan tidak terjadi. Ia tidak tersedak, dan ternyata isi guci itu sama sekali tidak keras. Anggur yang manis, ada asamnya sedikit, sedap dan harum. Enak sekali!
"Wah, terima kasih, Kongcu. Anggur ini memang enak sekali dan segar!" katanya memuji.
Kini mereka duduk berhadapan, terhalang api unggun. "Sekarang bagaimana, Nona. Apakah aku harus mengantarmu pulang?"
"Pulang .......?" Dan tiba-tiba gadis itu kelihatan gelisah dan ketakutan. "Pulang ke mana? Ah, Kongcu, aku... aku tidak mempunyai tempat tinggal lagi...... "
"Ehh?" Sun Hok terkejut dan heran. "Engkau, seorang gadis seperti engkau ini tidak mempunyai tempat tinggal? Habis bagaimana dengan keluargamu? Orang tuamu atau..... suamimu barangkali?"
Gadis itu menggeleng kepalanya. "Aku tidak punya siapa-siapa lagi, aku tidak mempunyai orang tua, aku tidak mempunyai suami atau saudara......"
"Tapi... tapi bagaimana mungkin itu? Dan engkau tadi tertangkap oleh lima orang jshat. Apakah yang telah terjadi. Nona?"
Gadis itu menarik napas panjang, "Cerita tentang diriku amat panjang, Kongcu. Setelah aku berhutang budi dan nyawa, aku tidak ingin membikin susah Kongcu lebih lanjut lagi. Biarlah aku pergi, Kongcu, membawa nasib diriku yang malang. Dan sekali lagi terima kasih, semoga Thian yang membalas semua budi kebaikan Kongcu kepadaku." Gadis itu lalu bangkit dan melangkah hendak pergi meninggalkan Sun Hok.
Pemuda itu terkejut dan sekali melompat dia telah menghadang di depan gadis itu. "Nona! Kau mengatakan tidak mempunyai tempat tinggal, akan tetapi engkau akan pergi begitu saja? Lalu kemana engkau hendak pergi?"
"Ke mana saja. Mungkin masih ada bekas kenalan yang sudi menampung diriku yang tidak berharga ini."
" Ah, Nona. Bukankah kita sudah berkenalan, bahkan... eh, kita sudah makan bersama seperti sahabat? Kalau begitu, marilah menjadi tamu di rumahku, Nona. Jangan khawatir, aku menjamin bahwa Nona akan aman berada di dalam rumahku."
"Aku hanya mengganggu dan menyusahkanniu saja, Kongcu."
"Tidak sama sekali! Marilah, mari, Nona. Aku mengundangmu menjadi tamuku yang terhormat dan di rumah nanti kita bicara."
Gadis itu hanya dapat mengangguk dan pergilah mereka meninggalkan tepi sungai itu setelah Sun Hok memadamkan api unggun. Untung bahwa langit penuh bintang sehingga perjalanan menuju ke kota Siang-tan itu tidaklah begitu gelap. Sun Hok terpaksa berjalan seenaknya, santai dan tidak mempergunakan ilmu berlari cepat seperti biasanya karena dia harus mengiringi seorang gadis yang lemah lembut. Ketika mereka tiba di istana kuno itu, Si Gadis terbelalak dan menahan langkahnya di depan pintu gerbang. "Aih, kiranya engkau seorang bangsawan besar, mendiami sebuah istana, Kongcu! Mana aku.... berani.... mengganggumu?"
"Ih, jangan berlebihan, Nona. Aku tinggal seorang diri di sini. Memang istana ini peninggalan mendiang orang tuaku. Aku pun sebatang kara, yatim piatu dan tinggal di sini hanya dengan tiga orang pelayan tua. Mari, masuklah dan jangan khawatir."
Seorang kakek tukang kebun, seorang kakek dan nenek penjaga rumah dan merangkap tukang masak, menyambut kedatangan kongcu mereka. Biarpun mereka merasa heran melihat majikan mereka pulang bersama seorang gadis muda yang cantik, namun mereka tidak berani bertanya sesuatu. Sun Hok berkata kepada nenek yang menjadi pengurus rumah tangga di rumahnya. "Nek, harap antarkan Nona ini ke dalam kamar tamu dan layani ia baik-baik. Kemudian, persiapan makan malam untuk kami berdua di ruangan makan." Kepada gadis itu Sun Hok berkata, "Nona, silakan Nona mengikuti nenek ini ke kamar Nona, dan Nona dapat mandi dan beristirahat sebelum kita makan malam."
Gadis itu berkata. "Aku akan membantu Nenek masak."
Ketika makan malam telah dihidangkan di ruangan makan, Sun Hok melihat gadis itu sama sekali bukan sebagai tamu, melainkan sebagai pelayan karena nona inilah yang membantu nenek masak dan menghidangkan semua masakan di atas meja. Nenek itu pun dengan gembira berkata, "Kongcu, Nona inilah yang memasak semuanya. Ia pandai masak! Dan ia yang memaksa diri untuk membantu mempersiapkan makanan ini."
Sun Hok memandang dengan senang. Nona itu agaknya telah mandi, akan tetapi pakaiannya lucu, mengenakan pakaian bersih yang biasa dipakai nenek itu, agaknya terlalu besar dan sederhana sekali, pakaian pelayan!
"Ia memaksa meminjam pakaian saya, Kongcu," kata Si Nenek, takut kalau disalahkan.
"Untuk sementara saja, Nek." Kata gadis itu. "Pakaianku terbawa orang jahat, biar besok aku akan membeli beberapa potong karena aku masih mempunyai simpanan uang sedikit."
Mereka kini duduk makan nasi dan masakan. Berdua saja karena para pelayan dengan penuh pengertian meninggalkan mereka. Para pelayan itu sudah tua, dan biarpun mereka tidak tahu hubungan apa yang terdapat antara dua orang muda itu, namun mereka tidak suka menjadi pengganggu.
Setelah makan malam dan mereka duduk berdua di serambi depan, barulah mereka memperoleh kesempatan untuk berkenalan! Di bawah sinar lampu yang cukup terang, mereka bercakap-cakap.
"Nona, kiranya sekarang sudah tepat kalau aku mengetahui siapa dirimu dan apa yang telah terjadi denganmu sehingga engkau tertawan lima orang jahat itu. Ketahuilah, aku bernama Can Sun Hok, yatim piatu dan tinggal di sini bersama tiga orang pelayan tadi. Tidak ada apa-apa yang aneh tentang diriku untuk diceritakan dan kuharap engkau menceritakan segala yang telah terjadi denganmu, tentu saja kalau engkau percaya padaku."
Gadis itu menarik napas panjang dan wajahnya yang lembut dan cantik manis itu kini seperti tertutup awan tipis, nampak agak muram. Akan tetapi ia tidak menangis, bahkan mencoba untuk tersenyum, senyum pahit. Sun Hok dapat menduga bahwa semua ini, gadis itu tentu telah mengalami banyak penderitaan batin yang tersembunyi di balik wajah yang demikian cantik menariknya. Gadis yang halus lembut, penuh kewanitaan, bukan seperti Cia Kui Hong dan ibunya, Ceng Sui Cin, yang merupakan wanita-wanita perkasa. Gadis seperti ini membutuhkan perlindungan dan dia akan merasa senang untuk dapat menjadi pelindungnya.
"Namaku Bhe Siauw Cin, Can-kongcu." Ia berhenti seperti hendak melihat tanggapan pemuda itu, apakah pernah mendengar nama itu ataukah belum.
"Nama yang bagus." kata Sun Hok yang melihat gadis itu menghentikan pembicaraannya.
Kembali gadis itu, Siauw Cin, menghela napas panjang. "Engkau belum pernah mendengar namaku, hal ini saja menunjukkan bahwa engkau seorang pemuda bangsawan yang lain daripada semua pemuda di Siang-tan ini, Kongcu. Semua pemuda lain, kalau belum pernah melihatku, setidaknya tentu pernah mendengar namaku."
"Begitu terkenalkah engkau, Nona Bhe?"
"Betapa janggalnya. Engkau, seorang pemuda bangsawan tinggi yang kaya raya, menyebut aku Nona Bhe. Padahal, orang lain menyebut namaku Siauw Cin seperti nama boneka saja. Ya, orang lain menganggap aku tidak lain hanya sebagai boneka. Aku memang dikenal di kota ini, Kongcu, terutama oleh para pria yang suka mengejar kesenangan. Aku seorang gadis penyanyi, gadis penghibur ."
"Ahhh..... !" Sun Hok benar terkejut karena tidak menyangka sama sekali. Dia sendiri belum pernah keluyuran ke rumah-rumah hiburan, belum pernah bergaul dengan gadis penyanyi, gadis penghibur atau pelacur, akan tetapi dia tahu sampai betapa rendah dan hinanya martabat seorang gadis penghibur. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa gadis seperti ini adalah seorang gadis penghibur yang boleh menghibur setiap pria yang mampu dan suka membayarnya!
Siauw Cin menundukkan mukanya untuk menyembunyikan kepahitan yang membayang di wajahnya. "Engkau... engkau mulai kecewa dan menyesal telah mengundangku ke rumah ini, Kongcu?" tanyanya sambil menundukkan muka, suaranya lirih sekali.
"Sama sekali tidak! Aku tadi berseru hanya karena terkejut dan tidak percaya sama sekali! Engkau seorang gadis penyanyi, gadis penghibur? Aku tidak percaya, Nona Bhe!"
Siauw Cin mengangkat mukanya dan tersenyum manis sekali. "Ya Tuhan, baru sekarang inilah ada ucapan yang demikian menggirangkan hatiku, akan tetapi juga mendatangkan duka dan penyesalan. Baiklah, aku akan menceritakan riwayatku kepadamu, Kongcu. Belum pernah aku menceritakan riwayat hidupku kepada siapapun juga dan engkaulah orang pertama dan satu-satunya yang akan mendengar riwayatku."
Siauw Cin lalu bercerita. Ia sejak kecil telah dijual oleh orang tuanya yang tidak mampu kepada keluarga bangsawan di kota raja. Karena sejak kecil ia nampak mungil dan cantik, maka Ia pun oleh keluarga itu dididik sehingga pandai baca tulis, pandai melakukan pekerjaan kerajinan, masak dan lain-lain bahkan dilatih pula untuk memainkan alat musik, menari dan menyanyi. Pendeknya, ia dilatih untuk menjadi seorang dayang yang baik. Ketika ia berusia enam belas tahun, majikannya sendiri, seorang bangsawan tua di kota raja, tergila-gila kepadanya dan menggaulinya. Karena sebagai dayang ia tiada bedanya dengan seekor anjing atau kucing peliharaan, atau sebuah benda mahal di rumah itu yang sepenuhnya dikuasai majikannya, Siauw Cin hanya mampu menangis ketika menyerahkan diri. Hal ini diketahui oleh isteri majikannya dan ia pun dijual! Ia dijual ke sebuah rumah hiburan yang besar di kota raja, dengan harga cukup tinggi mengingat ia masih muda, belum banyak terjamah pria, pandai bermain musik, menari dan menyanyi.
Sebentar saja nama Siauw Cin terkenal dikalangan para hartawan dan bangsawan yang suka berkeluyuran di rumah-rumah hiburan. Ia menjadi kembang baru yang mahal harganya. Dengan kedudukannya yang amat menguntungkan pemilik rumah hiburan. Siauw Cin dapat menjual mahal. Ia tidak sudi melayani segala macam orang, tidak mau menyerahkan diri secara sembarangan saja, melainkan ia pun berhak memilih. Demikianlah gadis penghibur yang menjadi rebutan. Ia nampak hidup bergelimang kemewahan dan kesenangan, namun sesungguhnya, seringkali kalau ia rebah seorang diri di dalam kamarnya, ia menangis menyesali nasib dirinya dan masa depannya yang suram.. Betapa pedih hatinya kalau ia secara terpaksa harus menyerahkan dirinya dipermainkan sesuka hatinya oleh seorang pria yang sama sekali tidak dicintanya! Tak mungkin ia menolak mereka semua, karena hal itu tentu akan membuat pemilik rumah hiburan menjadi marah, dan ia bisa disiksa kalau terus-menerus menolak. Biarpun jarang, ia harus sekali waktu mau menerima langganan yang royal. Betapa memuakkan membiarkan diri digeluti seorang laki-laki tua botak yang gendut perutnya dan terengah-engah napasnya. Ingin rasanya mati saja!
"Kemudian, entah mengapa aku sendiri tidak tahu, Kongcu. Pagi tadi aku dijual kepada lima orang yang datang itu. Aku dipaksa ikut bersama mereka naik perahu itu dan katanya aku telah dibeli oleh bengcu mereka yang berjuluk Lam-hai Giam-lo. Dapat kubayangkan betapa rasa takutku, karena baru mendengar namanya saja aku sudah merasa ngeri. Apalagi lima orang itu bersikap kasar kepadaku. Kemudian, muncullah engkau, Kongcu."
Sejak tadi Sun Hok mendengarkan dengan bermacam perasaan mengaduk batinnya. Tak disangkanya bahwa gadis ini adalah seorang gadis penghibur, bukan seorang dara yang bersih tanpa noda, melainkan seorang wanita yang biarpun masih amat muda, sudah berulang kali terjatuh ke tangan bermacam pria! Sungguh sukar untuk dapat dipercaya! Gadis yang begini halus, sopan, lembut!
"Karena itu, ketika engkau bertanya tentang tempat tinggalku, aku menjadi bingung, Kongcu. Aku telah dijual, berarti telah bebas dari rumah hiburan itu dan sampai mati pun aku tidak sudi kembali ke sana! Lebih baik aku mati saja!" Dan baru sekarang Siauw Cin tak dapat menahan lagi airmatanya yang bercucuran membasahi kedua pipinya. Cepat ia mengusap air mata dengan saputangan sambil menundukkan mukanya. Tangis yang wajar, bukan tangis buatan, dan Sun Hok dapat merasakan kebingungan hati wanita ini.
"Sungguh engkau seorang gadis yang bernasib malang sekali, Nona. Lalu, sekarang kalau engkau tidak sudi kembali kepada induk semangmu itu, apa rencanamu selanjutnya untuk melanjutkan perjalanan hidupmu yang penuh liku-liku itu?"
Cepat saja Siauw Cin dapat menghentikan tangisnya. Sudah terlampau banyak ia menangis, sudah pandai ia menekan perasaan duka di hatinya. Ia menghapus sisa air matanya dan dengan sepasang mata kemerahan ia memandang kepada pemuda itu.
"Kongcu, sudah terlampau lama saya hidup dengan batin tersiksa, bahkan ketika berjumpa denganmu, Kongcu, semakin nampak jelas sekali betapa kotor kehidupanku yang sudah lampau. Aku berjanji dalam hatiku, ketika kita sama-sama makan ikan di tepi sungai itu, Kongcu, bahwa saya akan meninggalkan kehidupan lama. Lebih baik mati daripada aku harus kembali menjadi gadis penghibur! Aku akan mencari pekerjaan, menjadi pelayan, menjadi tukang masak, apa saja, bahkan kalau perlu mengemis, daripada menjadi wanita penghibur. Itulah tekadku, Kongcu. Besok pagi-pagi aku akan pergi dan mencari pekerjaan, dari rumah ke rumah. Mustahil tidak akan ada yang suka menerima aku sebagai tukang cuci atau tukang masak atau pengasuh anak kecil....."
"Kalau begitu, engkau tidak perlu pergi, Nona. Biarlah engkau kuterima bekerja di sini saja, menjadi tukang masak." Cepat Sun Hok berkatal sambil menatap wajah yang cantik halus kemerahan itu.
Siauw Cin mengangkat mukanya dan kembali dua sinar mata bertaut sampai lama. Akan tetapi sekali ini Siauw Cin menundukkan mukanya dan dengan suara lirih ia berkata. "Can-kongcu, aku... aku tidak tega untuk menodai namamu yang bersih...."
"Eh, apa maksudmu?"
"Semua orang tahu siapa diiriku, dan kalau mereka mendengar bahwa aku sekarang di sini, tentu nama Kongcu akan terseret dan ternoda....."
"Peduli amat dengan pendapat orang lain! Bukankah engkau di sini kuterima sebagai tukang masak?"
"Takkan tidak ada yang mau percaya, Kongcu. Engkau seorang Kongcu yang hidup membujang, belum berkeluarga, tentu mereka akan menyangka yang bukan-bukan, apalagi kalau mendengar bahwa Kongcu yang telah merampasku dari tangan lima orang penjahat itu."
"Nona....."
"Kongcu ingin menerimaku sebagai seorang tukang masak, seorang pelayan, akan tetapi masih menyebutku Nona. Bukankah ini saja sudah janggal sekali?"
"Baiklah, Siauw Cin, aku bermaksud menolongmu. Aku kasihan kepadamu dan aku girang sekali engkau hendak meninggalkan cara hidupmu yang lama. Engkau tinggallah saja di sini, memasak untukku dan takkan ada orang yang berani mengganggu selembar pun rambutmu."
Kembali mereka saling pandang dan perlahan-lahan kedua mata gadis itu kembali menjadi basah tanpa ia ketahui. Pandang mata pria ini! Belum pernah ia bertemu dengan pandang mata seperti itu! Biasanya, ia sudah terbiasa oleh pandang mata pria kalau ditujukan kepadanya. Pandang mata pria itu tentu akan menjelajahi seluruh tubuhnya, dari rambut turun sampai ke kaki, seperti pandang mata seorang pedagang sapi yang sedang menaksir seekor sapi yang akan dibelinya, atau seperti pandang mata seorang yang sedang memilih sebuah benda indah yang hendak dibelinya. Pandang mata pria itu lalu penuh dengan kagum yang penuh nafsu berahi. Akan tetapi, pandang mata Can-kongcu ini sama sekali tidak seperti itu! Memang ada rasa kagum dalam sinar mata yang kadang mencorong menakutkan itu, akan tetapi, rasa kagum yang membayangkan iba yang mendalam!
"Bagaimana, Siauw Cin? Maukah engkau menjadi tukang masakku di rumah ini? Kalau engkau tidak mau, tentu saja aku tidak akan memaksamu."
"Aku? Tidak mau? Aih, Can-kongcu, bagaimana mungkin aku tidak mau menerima dengan tangan dan hati terbuka? Bahkan inilah kesempatan bagiku untuk membalas budi Kongcu, walaupun hanya merupakan setetes air di samudera. Kalau tadi saya meragukan, hanya karena saya hendak menjaga nama baik Kongcu sendiri. Tentu saja saya mau dan mau sekali, Kongcu!"
Sun Hok tersenyum, lega hatinya. Akan tetapi, Siauw Cin lalu bangkit berdiri dan mundur.
"Eh, apalagi ini? Engkau belum selesai bicara denganku."
Siauw Cin membungkuk. "Kongcu, lupakah Kongcu bahwa mulai saat ini saya menjadi pelayan Kongcu, khususnya tukang masak? Sungguh tidak pantas seorang pelayan bercakap-cakap dengan majikannya. Saya sekarang bukan tamu lagi, hal ini harap Kongcu ingat baik-baik, kalau Kongcu tidak menginginkan orang lain mencemooh Kongcu. Dan saya akan menjaga agar Kongcu tidak dicemooh orang. Selamat malam, Kongcu, saya harus memberitahukan kepada kedua kakek dan nenek. Atau, barangkali Kongcu masih hendak memerintah sesuatu kepada saya?"
Sun Hok tersenyum, meragu, lalu menggeleng kepala. "Baiklah, selamat tidur, Siauw Cin. Aku... aku sungguh girang sekali engkau menerima permintaanku, tinggal di rumah ini." Dia mengikuti langkah gadis itu dengan pandang matanya sampai bayangan gadis itu menghilang di balik pintu yang menuju ke ruangan belakang.
Demikianlah keadaan Can Sun Hok yang namanya disinggung oleh Jaksa Kwan kepada Hay Hay, bahkan Jaksa Kwan minta kepada Hay Hay agar suka berkenalan dengan Sun Hok dan membujuknya agar suka pula turun tangan bersama para pendekar menentang gerakan yang dipimpin oleh datuk sesat Lam-hai Giam-lo. Gadis bernama Siauw Cin itulah gadis penghibur yang dipergunakan Jaksa Kwan untuk memancing keluar Sun Hok. Dialah yang menyuruh orang-orangnya menyamar sebagai utusan Lam-hai Giam-lo membeli gadis itu dan memaksanya pergi naik perahu, tepat pada saat Sun Hok mengail ikan di sore hari itu. Memang pancingannya berhasil membuat Sun Hok turun tangan menyelamatkan gadis itu. Akan tetapi agaknya tidak sampai menggerakkan hati pemuda itu untuk menentang orang yang disebut oleh gadis itu sebagai bengcu yang menyuruh orangnya memaksa ia pergi, yaitu Lam-hai Giam-lo. Menurut penyelidikan Jaksa Kwan, Sun Hok kini bahkan mengambil gadis itu menjadi pelayan!
Setelah satu bulan tinggal di dalam rumah Can Sun Hok, memasak dan membantu nenek pengurus rumah tangga, setiap hari bertemu dengan pemuda itu, Siauw Cin mengalami dan menghadapi sesuatu yang membuat ia kadang-kadang merasa menjadi orang paling berbahagia di dunia ini, akan tetapi kadang-kadang membuat ia gelisah bukan main, khawatir, bingung dan tidak tahu harus berbuat apa! Ia melihat dengan jelas betapa pemuda itu bukan hanya kasihan kepadanya, melainkan jatuh cinta! Ya, ia tahu benar akan hal itu. Pemuda yang menjadi majikannya itu, pemuda bangsawan kaya raya yang alim, tampan, gagah dan memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti seorang pendekar perkasa, ternyata telah jatuh cinta padanya! Belum pernah Sun Hok menyatakan cintanya dengan kata-kata, namun pernyataan cinta kasih itu jelas nampak oleh Siauw Cin melalui sinar matanya, melalui getaran suaranya. Belum pernah ada pria apalagi seperti Sun Hok, yang mencintanya seperti itu. Para pria yang pernah menguasai dan menggaulinya hanya mencinta tubuhnya saja, cinta nafsu yang akan musnah setelah terpuaskan, seperti mendung tebal lenyap sehabis hujan lebat. Tentu saja ia merasa berbahagia bukan main. Akan tetapi, di dalam kebahagiaannya ini timbul rasa cemas dan gelisah karena ia pun mendapat kenyataan yang meyakinkan bahwa ia sendiri juga jatuh cinta kepada Can Sun Hok! Hal ini pun selama hidupnya belum pernah dirasakan! Dan justeru cintanya inilah yang membuat ia merasa gelisah bahwa pemuda itu jatuh cinta padanya. Can Sun Hok, seorang pemuda bangsawan kaya raya, selama hidupnya belum pernah bergaul dengan wanita, hal ini ia yakin benar, seorang pendekar gagah perkasa, pendeknya, seorang pemuda pilihan. Dan ia? Seorang bekas wanita penghibur! Gadis bukan perawan lagi yang sudah digauli banyak pria! Seorang bekas pelacur tingkat tinggi atau mahal! Betapa mungkin ia membiarkan pria yang dicintanya, dipuja dan dikaguminya itu sampai terikat dengan seorang perempuan seperti dirinya. Kasihan Can Sun Hok! Tidak, ia tidak boleh membiarkan hal itu terjadi! Inilah yang membuat ia kadang menangis di tengah malam dan di dalam batinnya terjadi perang hebat.
Sun Hok memang tidak pernah menyatakan cintanya lewat kata-kata. Akan tetapi sikapnya terhadap Siauw Cin bukan sikap seorang majikan terhadap pelayannya. Sering ia mengajak Siauw Cin memancing ikan di tepi sungai dan memasak ikan itu di situ juga untuk dimakan bersama. Juga, segera setelah ia tahu bahwa Siauw Cin pandai bermain musik, bernyanyi dan menari, ia pun sering bermain suling dan yang-kim bersama gadis itu. Kadang-kadang dia bermain yang-kim dan Siauw Cin meniup suling atau sebaliknya, atau dia bermain yang-kim mengiringi Siauw Cin menyanyi atau menari. Hubungan mereka itu, kalau dilihat orang lain, seperti hubungan antara sahabat atau saudara saja, bukan seperti majikan dengan pelayannya.
Tiga orang pelayan tua itu pun bukan orang yang tidak berpengalaman. Mereka tahu bahwa majikan mereka jatuh cinta kepada pelayan baru itu. Dan mereka bertiga pun sayang kepada Siauw Cin yang memiliki watak yang halus dan rendah hati. Bahkan Siauw Cin juga mengaku siapa dirinya kepada mereka, mengaku bahwa dahulunya adalah seorang wanita penghibur yang kini sudah bersumpah meninggalkan cara hidup yang dahulu. Tiga orang pelayan tua itu maklum pula bahwa majikan mereka terlalu tinggi kedudukannya, dan bahwa Siauw Cin bukan pasangan yang cocok untuk menjadi calon isteri. Akan tetapi apa salahnya kalau menjadi seorang selirnya? Tentu saja mereka tidak berani mencampuri dan mereka hanya ikut bergembira melihat betapa terjadi perubahan dalam kehidupan Sun Hok. Kini, baru sebulan setelah Siauw Cin berada di situ, Sun Hok menjadi periang, wajahnya selalu berseri, makannya banyak, suka bermain musik dan pakaiannya juga menjadi rapi, tubuhnya menjadi agak gemuk! Bahkan lenyap sudah sifat suka termenung semenjak kematian Wa Wa Lobo.
Pada suatu malam bulan purnama. Malam belum larut dan bulan purnama baru muncul, menerangi permukaan bumi. Malam itu dimulai indah sekali. Udara sejuk, angin hanya bersilir lembut, di musim semi taman penuh bunga semerbak mengharum. Sun Hok mengajak Siauw Cin bermain suling dan yang-kim di dalam taman mereka, di samping gedung. Bahkan tiga orang pelayan tua diajak pula menikmati malam bulan purnama indah di situ. Mereka hanya duduk di atas tikar yang dibentangkan diatas petak rumput yang tebal dan lunak, dekat kolam ikan. Anggur dan kueh-kueh dihidangkan.
Melihat bulan purnama, Siauw Cin menarik napas panjang. Hal ini nampak oleh Sun Hok. "Eh, bulan purnama demikian indah, mengapa engkau malah menghela napas panjang. Siauw Cin?" tanyanya.
"Apakah Kongcu tadi melihat seekor burung kecil terbang melayang di sana?" Siauw Cin menunjuk ke arah bulan, Sun Hok menggeleng kepala akan tetapi nenek pelayan bilang bahwa ia tadi ada melihatnya, seekor burung kecil.
"Saya pernah melihat burung kecil terbang melayang di bawah sinar bulan purnama dan saya mempunyai sebuah lagu untuk itu, Kongcu."
"Bagus! Nyanyikan lagu itu untuk kami, Siauw Cin!" kata Sun Hok dengan gembira.
"Ah, nyanyian itu tidak menggembirakan, tentang kisah burung murai yang malang."
"Tidak mengapa, kalau engkau yang menyanyikan tentu indah."
Melihat Siauw Cin meragu, tiga orang pelayan yang terbawa oleh kegembiraan suasana, ikut pula membujuk. Akhirnya gadis itu pun menurut. "Biar kumainkan lagunya beberapa kali dengan suling agar Kongcu dapat mengenalnya dan kalau sudah dapat, nanti Kongcu dapat mengiringi saya bernyanyi dengan memainkan yang-kim." katanya. Sun Hok mengangguk gembira dan gadis itu pun mulai meniup suling. Suara suling mengalun lirih, indah sekali dan ternyata lagunya sederhana saja sehingga baru memainkan tiga empat kali saja, Sun Hok yang memang berbakat sudah dapat menghafalnya.
"Sekarang coba dengarkan aku memainkan lagu itu dengan yang-kim. Kalau sudah benar, baru engkau bernyanyi dan aku mengiringimu dengan yang-kim."
Sun Hok lalu memainkan yang-kimnya dan ternyata memang dia sudah dapat hafal sehingga permainannya indah, dipuji oleh Siauw Cin dan tiga orang pelayannya. "Nah, sekarang nyanyikanlah lagu itu, tentang murai itu, aku akan mengiringi dengan yang-kim." kata Sun Hok gembira.
Kemudian, di antara suara berkencringnya yang-kim yang bening, terdengarlah suara merdu dari mulut Siauw Cin, dengan kata-kata yang indah pula, didengarkan penuh perhatian oleh Sun Hok dan tiga orang pelayannya.
"Burung murai terbang melayang
ingin mencapai bulan di awang-awang
murai betina bodoh janganlah mimpi
sang bulan bagimu terlalu tinggi!
Murai melihat bulap terbang di air telaga
ia meluncur mengejar dan tenggelam binasa
habislah kisah murai dan bulan purnama!"
Tiga orang pelayan itu bertepuk tangan memuji. Memang indah sekali suara Siauw Cin, dan diiringi yang-kim yang dipetik dengan mahirnya oleh jari tangan Sun Hok, merupakan lagu yang amat indah. Namun, Sun Hok tidak bertepuk tangan dan memandang kepada Siauw Cin yang menundukkan mukanya. Gadis itu nampak berduka.
Tiba-tiba terdengar suara orang. "Hebat, sungguh nyanyian yang amat merdu dan indah, diiringi yang-kim yang hebat pula. Mengagumkan sekali!"
Sun Hok cepat mengangkat muka memandang dan ternyata di pintu gerbang taman itu telah berdiri seorang pemuda. Seorang pemuda yang usianya sebaya dengannya, wajahnya tampan dan menarik karena wajah itu selalu dihias senyum ramah, dengan sepasang mata yang bersinar sehingga wajah itu nampak berseri selalu. Kepalanya tertutup sebuah caping lebar.
"Murai betina jelita
kembalilah ke dunia
banyak murai jantan perkasa
menantimu dengan hati cinta!"
Pemuda bercaping lebar itu bernyanyi, lagunya mirip dengan yang dinyanyikan Siauw Cin tadi, dan memang dia pandai sekali bernyanyi untuk mengimbangi lagu tadi, suaranya pun merdu sehingga tiga orang pelayan tua yang sedang bergembira itu pun bertepuk tangan. Diam-diam Siauw Cin juga memuji pemuda itu karena sebagai seorang ahli, ia tahu bahwa pemuda yang baru datang ini memiliki bakat yang amat baik untuk membuat sajak dan bernyanyi seketika untuk mengimbangi nyanyiannya tadi. Bahkan nyanyian itu merupakan hiburan bagi Si Murai betina agar jangan mengharapkan terlalu jauh, melainkan kembali kepada kenyataan bahwa murai betina itu jodohnya murai jantan bukan bulan purnama!
Akan tetapi, Sun Hok mengerutkan alisnya. Dia tidak mengenal orang ini, dan tahu-tahu orang ini berada di pintu gerbang taman rumahnya, tanpa ijin, masuk begitu saja, bahkan lancang mulut ikut pula bernyanyi! Dia pun bangkit berdiri dan dengan perlahan dia lalu melangkah maju. Mereka berhadapan, dalam jarak tiga meter, saling pandang seperti saling menyelidiki. Pemuda bercaping lebar itu masih tersenyum dan wajahnya berseri, mengajak bersahabat. Akan tetapi Sun Hok mengerutkan alisnya, penuh kecurigaan.
"Siapakah engkau dan mau apa engkau datang mengganggu kami?" tanya Sun Hok sambil memandang tajam.
Pemuda bercaping lebar itu bukan lain adalah Hay Hay. Selain menerima anjuran Jaksa Kwan untuk berkenalan dengan pemuda yang menurut jaksa itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, dia pun datang berkunjung pada malam hari itu. Malam belum larut, dan terang bulan. Ketika dia lewat di depan istana kuno itu, dia mendengar suara nyanyian tadi. Tentu saja hatinya tertarik bukan main dan dia pun segera melangkah dan mendekati taman, mengintai dan mendengarkan. Melihat gadis cantik manis itu, dia pun teringat akan cerita Kwan-taijin tentang gadis panggilan dari kota raja yang dipergunakan sebagai umpan agar pemuda yang bernama Can Sun Hok itu keluar dan timbul semangatnya untuk menentang persekutuan kaum sesat yang digerakkan oleh Lam-hai Giam-lo. Akan tetapi, pemuda itu tetap acuh, demikian kata Jaksa Kwan. Dan kini, melihat keadaan pemuda itu, dan mendengarkan nyanyian merdu gadis itu, Hay Hay dapat menduga apa yang telah terjadi! Kiranya gadis itu agaknya jatuh cinta kepada penolongnya, kepada pemuda itu. Dan begitu dia berhadapan dan saling pandang dengan pemuda itu, dia pun tidak menyalahkan gadis itu. Memang seorang pemuda yang tampan dan gagah, pantas untuk dicinta seorang gadis cantik yang bagaimanapun juga. Akan tetapi, dia pun teringat bahwa gadis cantik yang bernyanyi ini hanya seorang gadis penghibur, yang tentu saja, seperti isi nyanyiannya, merasa tidak sepatutnya berjodoh dengan seorang pemuda bangawan seperti Can Sun Hok. Gadis itu mengumpamakan dirinya seekor murai betina yang merindukan bulan! Sungguh kasihan.
Mendengar teguran Sun Hok yang kelihatan tidak senang itu, Hay Hay tersenyum dan dia memberi hormat dengan bersoja, yaitu mengangkat kedua tangan ke depan dada dengan tubuh agak dibungkukkan.
"Maaf kalau aku mengganggu. Terus terang saja, aku datang untuk bertemu dan bicara dengan seorang Kongcu yang bernama Can Sun Hok."
Sun Hok mengamati wajah yang agak tersembunyi di bawah caping itu dengan penuh perhatian. Hay Hay sengaja menurunkan capingnya sehingga tergantung di punggungnya dan wajahnya nampak jelas. Sun Hok kagum. Wajah seorang pemuda yang tampan, gagah dan ramah sekali, bukan wajah penjahat. Akan tetapi hatinya tetap merasa tidak senang karena dia merasa terganggu. Lenyaplah kegembiraan yang dirasakannya ketika dia hanya bersama Siauw Cin dan tiga orang pelayannya tadi. Hilanglah suasana meriah dan suasana santai.
"Akulah Can Sun Hok, akan tetapi aku tidak pernah mengenalmu!" katanya, tidak ramah untuk memperlihatkan kekesalan hatinya.
"Memang kita tidak pernah saling jumpa, Can-kongcu. Namaku Hay Hay dan karena aku mendengar bahwa engkau adalah seorang pendekar muda yang berilmu tinggi, maka hatiku tertarik sekali dan aku ingin sekali datang berkunjung dan berkenalan denganmu."
Sun Hok mengerutkan alisnya. Dia tidak mengenal nama Hay Hay, dan pula saat itu dia sama sekali tidak ada keinginan untuk berkenalan dengan orang lain, apalagi dia belum tahu orang macam apa adanya pemuda yang mengaku bernama Hay Hay ini. "Akan tetapi, aku tidak ingin berkenalan denganmu, dan aku tidak mempunyai waktu. Sobat, harap engkau pergi dan jangan mengganggu kami. Pula, di malam hari seperti ini bukan waktunya orang berkunjung untuk berkenalan." Suaranya masih halus, namun nada suara itu jelas mengusir!
"Can-kongcu, ketahuilah bahwa aku datang untuk bicara denganmu tentang gerakan persekutuan kaum sesat yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo. Kukira sudah menjadi kewajiban seorang pendekar seperti Kongcu ini untuk bangkit dan menentang persekutuan jahat yang amat berbahaya bagi keamanan hidup rakyat jelata. Maukah engkau menerimaku sebagai seorang sahabat dan kita bicara tentang itu?"
"Hemm, apakah. engkau seorang pendekar?" tanya Can Sun Hok, suaranya agak memandang rendah dan mengejek. Hay Hay tertawa dan merasa lucu. Dia sendiri belum pernah bertanya apakah dia seorang pendekar, maka begitu ada yang bertanya secara demikian langsung, dia merasa lucu.
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu, Kongcu. Akan tetapi setidaknya aku merasa penasaran dan ingin menentang gerakan yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo."
Tiba-tiba Siauw Cin yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, berkata kepada Sun Hok, "Can-kongcu, agaknya Kongcu yang datang ini membawa berita amat penting. Lam-hai Giam-lo adalah seorang yang menyuruh anak buahnya untuk menculik aku, apakah Kongcu tidak merasa tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang dia?"
Mendengar ini, Hay Hay lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Siauw Cin dan pandang matanya penuh kagum.
"Sungguh berbahagia sekali mataku dapat melihat seorang gadis secantik bidadari seperti Nona, telingaku mendengar nyanyian sorga seperti yang Nona nyanyikan tadi, dan kini mendengar pula pendapat yang amat bijaksana. Sukarlah di dunia ini mencari seorang gadis kedua sehebat Nona. Harap jangan sebut aku Kongcu, karena aku hanyalah seorang pemuda pengelana biasa saja, Nona yang mulia."
Sepasang mata itu terbelalak dan Siauw Cin memandang kepada Hay Hay, tersenyum lebar, lalu menutup kembali mulutnya, mukanya menjadi kemerahan. Bukan main pemuda ini. Kata-katanya demikian penuh madu, manis merayu dan baru sekarang ia merasa dipuji-puji orang sampai ke langit ke tujuh, bukan sekedar rayuan seorang laki-laki yang tergila-gila karena nafsu. Dan ada sesuatu pada pandang mata pemuda itu yang membuatnya tiba-tiba menjadi lemah, tunduk dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
"Kalau begitu, engkau tentu seorang Taihiap (Pendekar Besar), dan harap jangan sebut aku Nona yang mulia, Taihiap, karena aku hanyalah seorang pelayan yang hina dan setia dari Can-kongcu." katanya merendah dengan suara merdu.
"Nona, engkau bukan seorang pelayan yang setia, akan tetapi juga seorang gadis secantik bidadari yang mencinta majikannya dengan segenap badan dan nyawa......"
"Hei, orang asing! Tutup mulutmu dan lekas pergi dari sini!" bentak Sun Hok yang mukanya merah sekali mendengar ucapan Hay Hay itu. Akan tetapi, anehnya Siauw Cin menengahi dan berkata kepada majikannya.
"Kongcu, biarkan dia bicara. Saya kira dia ini seorang yang jujur dan baik, tidak berniat buruk "
"Ha-ha, engkau sungguh seorang gadis yang berpenglihatan tajam, Nona manis. Jangan khawatir, pria mana pun yang kejatuhan cintamu, sudah pasti akan membalasnya, karena pria mana di dunia ini yang tidak akan tergila-gila kepada seorang gadis secantik engkau?"
Sun Hok tak dapat menahan kemarahannya lagi. "Wuuut!" Dia sudah meloncat dan berdiri berhadapan dengan Hay Hay.
"Keparat! Apakah engkau datang sengaja hendak menantang aku? Hay Hay, kalau itu namamu, tidak perlu engkau merayu Siauw Cin, akan tetapi hadapilah aku sebagai laki-laki kalau memang engkau mencari keributan di sini!"
"Kongcu... jangan...! Jangan memusuhinya, aku yakin bahwa dia seorang yang baik hati." Siauw Cin yang sudah berada dalam kekuasaan Hay Hay yang mempengaruhi dengan sihirnya itu, kini memegang lengan Sun Hok dan berusaha menarik pemuda itu mundur dan jangan menyerang Hay Hay.
Hay Hay tersenyum dan melepaskan kekuatan sihirnya. Ketika kekuasaan sihir itu lenyap, tiba-tiba Siauw Cin menyadari betapa ia memegangi lengan itu dan melangkah mundur dengan bingung.
"Can-kongcu, agaknya Nona pelayanmu itu lebih pandai menilai orang. Percayalah, aku datang bukan untuk memusuhimu atau membikin ribut. Melainkan untuk bicara denganmu mengenai gerakan kaum sesat yang dipimpin Lam-hai Giam-lo. Kongcu, kapan lagi engkau akan berbakti kepada nusa dan bangsa, akan mempergunakan kepandaianmu demi kepentingan rakyat kala tidak sekarang?"
Akan tetapi Sun Hok sudah marah sekali. Pemuda ini perayu besar dan sungguh lancang sekali bicara tentang cinta dalam hati Siauw Cin terhadap dirinya, bahkan menyinggung cintanya terhadap gadis itu. Bagaimana begitu muncul pemuda ini dapat menduga dengan tepat isi hatinya dan isi hati Siauw Cin?
"Baiklah, akan tetapi aku harus melihat dulu orang macam apa yang hendak bicara dengan aku tentang pembelaan terhadap rakyat. Apakah engkau benar seorang pendekar ataukah hanya seorang laki-laki yang lancang mulut dan pandai merayu. Nah, majulah dan mari kita main-main sebentar, ingin aku melihat kelihaian tangan kakimu. Bukan sekedar mulutmu!"
Setelah berkata demikian, Can Sun Hok sudah menerjang ke depan, mengirim serangan dengan kedua tangan terbuka. Tangan kirinya mencengkeram ke arah muka Hay Hay sedangkan tangan kanannya, yang juga terbuka, dari bawah menusuk ke arah perut. Serangan pertama ini untuk menarik perhatian sedangkan tangan kanan yang merupakan serangan inti. Serangan ini berbahaya sekali dan sekali pandang saja maklumlah Hay Hay bahwa pemuda ini memiliki dasar ilmu silat golongan sesat yang sifatnya curang dan kejam, juga amat berbahaya, tidak memperhatikan segi keindahan, melainkan segi hasilnya walaupun curang dan kejam sekalipun.
"Hemmm, bagus!" teriaknya dan dengan lincahnya dia pun mengelak. Dengan langkah Jiauw-pou-poan-soan, berputar-putaran, dia dapat mengelak dengan mudah dan walaupun lawannya menyusulkan serangan bertubi-tubi sampai tujuh jurus berantai, tetap saja semua serangan tidak dapat menyentuhnya. Jiauw-pou-poan-soan adalah langkah ajaib berputaran yang dipelajari Hay Hay dari See-thian Lama, berdasarkan ilmu langkah perbintangan ditambah ketinggian ilmu gin-kang (meringankan tubuh). Jangankan hanya satu orang, biar ada sepuluh orang mengepung dan mengeroyoknya, dengan senjata sekalipun, tidak akan mudah dapat mengenai tubuh Hay Hay kalau dia memainkan ilmu langkah ajaib ini.
Tentu saja Can Sun Hok menjadi terkejut dan juga penasaran sekali. Serangannya itu bertubi-tubi dan cepat sekali karena dia ingin cepat merobohkan lawan ini, akan tetapi sedikit pun tidak pernah menyentuh tubuh lawan yang selalu lenyap pada saat serangannya tiba, seperti menyerang bayangan setan saja.
"Pengecutt jangan lari saja. Balaslah menyerang kalau engkau mampu!" bentak Can Sun Hok dengan marah karena dia merasa penasaran dan merasa dipermainkan.
"Sabarlah, Can-kongcu. Kita bukan bermusuhan, melainkan hanya main-main untuk menguji kepandaian dan saling berkenalan, ingat?"
Sun Hok semakin penasaran karena selain dapat terus mengelakkan semua serangannya, lawan itu masih sempat pula bicara dengan nada berkelakar! Dia pun teringat akan ilmu pukulan baru yang sudah dikuasainya selama tiga tahun ini, yaitu yang dipelajarinya dari kitab peninggalan ibu kandungnya. Tiba-tiba dia menggerakkan kedua tangannya, menggosok kedua telapak tangannya sambil mengerahkan tenaga dan menahan napas dan kini, begitu dia menggerakkan kedua tangannya untuk menyerang lagi, Hay Hay mencium bau harum dari kedua telapak tangan itu, sambaran tangan kiri dapat dielakkan, akan tetapi bau wangi menyambar hidungnya membuat pandang matanya berkunang.
"Ihhh...!" Hay Hay cepat menguasai dirinya dan menangkis lengan kanan lawan yang menghantam dadanya, sambil mengerahkan tenaganya. Baru sekali ini dia menangkis karena sudah tidak sempat mengelak ketika bau harum itu membuat matanya berkunang.
"Dukk!" Akibat benturan kedua lengan ini, tubuh Sun Hok terhuyung ke belakang.
Pemuda ini terbelalak. Bukan main kuatnya lengan lawan yang menangkisnya tadi dan mulailah dia menyadari bahwa Hay Hay bukan sekedar pemuda yang lihai mulutnya, akan tetapi lihai pula ilmu silatnya dan memiliki tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya. Hal ini selain mendatangkan rasa penasaran, juga menimbulkan kegembiraan hatinya untuk menguji kepandaiannya dengan sungguh-sungguh. Karena tahu bahwa lawan lihai, dia berani mengerahkan seluruh kepandaiannya dan tenaganya. Kini dia menghujankan serangan dengan Ilmu Pukulan Siang-tok-ciang (Tangan Racun Wangi) yang amat hebat itu. Akibat dari ilmu ini, di sekeliling tempat itu tercium bau wangi, akan tetapi anehnya, Siauw Cin dan tiga orang pelayan yang menonton perkelahian dan mencium bau wangi ini, menjadi pening dan terpaksa mereka menjatuhkan diri duduk di atas rumput! Demikian hebatnya pengaruh hawa beracun itu. Apalagi kalau sampai terkena pukulan tangan yang mengandung hawa beracun itu!
Hay Hay juga terkejut dan makin yakinlah hatinya bahwa biarpun pemuda ini seorang bangsawan dan oleh Jaksa Kwan dianggap sebagai seorang pendekar, namun jelas bahwa pemuda ini menerima pendidikan dari datuk sesat melihat dari ilmu-ilmunya yang sesat dan kejam. Dia harus mengumpulkan hawa murni untuk melawan hawa beracun berbau wangi itu dan melihat betapa gerakan ilmu silat lawan itu cukup cepat dan berbahaya, Hay Hay lalu mengeluarkan ilmu-ilmunya dari Ciu-sian Sin-kai, yaitu Ciu-sian Cap-pek-ciang (Delapan Belas Jurus Ilmu Silat Dewa Arak). Begitu dia mainkan ilmu ini, Sun Hok menjadi bingung. Gerakan Hay Hay indah akan tetapi juga aneh, seperti gerakan orang mabok, akan tetapi setiap tangannya bergerak, ada hawa pukulan yang amat dahsyat dan biarpun untuk serangan jurus pertama dia masih mampu mengelak dan bertahan, ketika Hay Hay menyerangnya lagi dengan jurus ke dua, biarpun Sun Hok berusaha menangkis dengan kedua lengannya, tetap saja dia terdorong sampai lima langkah, terhuyung dan hampir roboh!
"Cukuplah sudah kita bermain-main, Can-kongcu?" Hay Hay berkata, tersenyum ramah, sama sekali tidak mengejek.
"Belum!" bentak Sun Hok, "Mari kita mencoba kelihaian dalam hal mempermainkan senjata!" Berkata demikian, dia lalu memegang suling dengan tangan kiri dan yang-kim dengan tangan kanan! Melihat ini, Hay Hay terbelalak. Baru sekarang dia melihat lawan yang menggunakan suling dan yang-kim sebagai senjata. Dia sendiri suka memperguhakan sulingnya sebagai senjata, walaupun hal ini jarang sekali dia lakukan. Melihat betapa pemuda itu menggunakan alat musik sebagai senjata, Hay Hay juga mencabut sulingnya dan menghadapi Sun Hok sambil tersenyum lebar .
"Wah, kita ini mau main silat ataukah mau main musik?" tanyanya.
Sun Hok menjawab dengan serangannya. Sulingnya meluncur dan terdengarlah suara mengaung ketika suling itu menusuk dada seperti sebatang pedang dan memang dia memainkan ilmu pedang yang baru dipelajarinya dari kitab lama. Ilmu pedang ini dinamakan Kwi-ong-kiam-sut (Ilmu Pedang Raja Iblis), peninggalan dari kakek gurunya, Si Raja Iblis. Sementara itu, yang-kim di tangan kanannya juga menyambar ke arah kepala lawan.
Hay Hay terkejut lagi. Ilmu pedang yang dimainkan dengan suling dari pemuda bangsawan itu pun hebat sekali, bukan seperti ilmu pedang biasa. Dia pun menggerakkan tubuhnya mengelak dan membalas tusukan pedang dari samping ke arah pundak kanan. Namun yang-kim itu bergerak menangkis suling dan kembali suling di tangan kiri Sun Hok sudah membabat, sekali ini membabat pinggang sambil mengeluarkan suara mengaung yang menyeramkan.
Hay Hay cepat menggeser kakinya dan kembali mengandalkan langkah ajaibnya untuk menghindarkan diri. Sambil menghindar, jari tangan kirinya menyentil ke arah tali-tali yang-kim sehingga terdengarlah nada-nada yang merdu! Untuk belasan jurus lamanya, Hay Hay memperhatikan gerakan lawan. Setelah tahu bahwa dia menang jauh dalam hal kecepatan, dan bahwa langkah-langkah ajaib Jiauw-pou-poan-soan sudah cukup baginya untuk menyelamatkan diri, mulailah Hay Hay meniup sulingnya dengan satu tangan dan dia pun sengaja memainkan lagu yang dinyanyikan oleh Siauw Cin! Tangan kirinya dia pergunakan untuk kadang-kadang menangkis dan balas menotok atau menampar. Perkelahian itu terjadi dengan cepat sekali dan Siauw Cin bersama tiga orang pelayap itu memandang bengong.
Bagaimana mereka tidak akan menjadi bengong melihat betapa tubuh kedua orang pemuda itu lenyap menjadi bayangan dua sosok berkelebatan, dan terdengar suara suling ditiup melagukan nyanyian tentang murai dan bulan purnama tadi?
Can Sun Hok bukan seorang yang tidak tahu diri. Berulang kali dia dikejutkan oleh kehebatan ilmu lawan dan kini lawannya hanya menghadapinya dengan langkah-langkah ajaib itu dengan tangan kiri yang kadang menangkis atau bahkan balas menyerang, dan tangan kanan meniup suling memainkan lagu tadi! Kalau dia tidak mengalaminya sendiri, tak mungkin dia mau percaya. Baru sekarang inilah selama hidupnya dia bertemu dengan lawan yang begini sakti, dan diam-diam dia pun takluk!
Sun Hok melompat ke belakang, lalu menjura. "Sobat, ilmu kepandaianmu sungguh berlipat kali lebih tinggi dariku. Aku mengaku kalah!" katanya tanpa malu-malu lagi.
Sikap ini membuat Hay Hay menjadi kagum dan suka sekali kepada pemuda bangsawan ini. Benar kata Jaksa Kwan. Pemuda ini adalah seorang gagah seorang yang berjiwa pendekar walaupun ilmu silatnya merupakan ilmu kaum sesat. Dengan wajah sungguh-sungguh dia pun balas memberi hormat.
"Can-kongcu, harap jangan merendahkan diri. Kepandaianmu juga hebat sekali, dan maukah engkau sekarang menerimaku untuk bicara tentang gerakan kaum sesat itu?"
Sun Hok menarik napas panjang. Dia memang selalu masih ingat akan nasihat pendekar wanita Ceng Sui Cin yang pernah dianggapnya sebagai musuh besar itu. Satu-satunya jalan untuk berbakti kepada mendiang ibu kandungnya adalah melakukan perbuatan-perbuatan yang baik seperti seorang pendekar sehingga dengan perbuatan-perbuatan itu, dia seolah-olah dapat mencuci noda dan dosa ibunya yang pernah menjadi tokoh wanita sesat! Dia kagum kepada pemuda di depannya ini, yang teramat lihai. Ingin dia bersahabat dengan pemuda ini dan tentu dia akan mendapat tambahan pengetahuan walaupun pemuda ini lebih muda darinya. Akan tetapi mengingat betapa pemuda ini pandai merayu, timbul perasaan cemburu di hatinya. Jangan-jangan pemuda ini bukan hanya berhasil menarik rasa suka dan kagumnya, akan tetapi malah menarik hati dan membuat Siauw Cin tergila-gila kepadanya!
"Tidak perlu lagi banyak bicara." katanya. " Aku pasti akan pergi menyelidiki sarang Lam-hai Giam-lo di Yunan dan untuk itu, aku lebih suka bekerja seorang diri tanpa kawan."
Hay Hay maklum bahwa kehadirannya tidak dikehendaki dan dia pun tahu mengapa. Dia tersenyum lalu menjura kepada tuan rumah. "Baiklah, Can-kongcu, aku percaya akan kesanggupanmu dan aku merasa girang sekali bahwa engkau telah berjanji untuk mengulurkan tangan membantu." Kemudian ia pun menoleh ke arah Siauw Cin yang masih memandang dengan terheran-heran, lalu berkata dengan halus. "Nona, jangan bersedih hati tentang murai dan bulan purnama. Kalau dua hati sudah saling mencinta, apa pun dapat terjadi. Percayalah!" Setelah berkata demikian, Hay Hay mempergunakan ilmu kepandaiannya, sekali berkelebat dia sudah lenyap dari tempat itu. Hal ini amat mengejutkan Siauw Cin dan tiga orang pelayan itu, dan amat mengagumkan hati Sun Hok.
Siauw Cin bangkit dan mendekati Sun Hok, takut-takut. "Kongcu... apakah dia tadi itu... manusia atau a setan...?"
Sun Hok memegang tangan gadis itu yang terasa dingin. "Jangan takut, dia itu setengah manusia setengah setan. Karena itu, jangan mudah terkena rayuannya."
Siauw Cin mengerling tajam. "Aih, Kongcu. Kaukira aku demikian mudah dirayu orang? Walaupun dia memang luar biasa, akan tetapi, bagi saya tidak ada seorang pun pria yang lebih baik daripada engkau, Kongcu."
Mereka berdua, diikuti oleh tiga orang pelayan, lalu memasuki rumah. Malam mulai larut dan hawa mulai dingin. Tiga orang pelayan langsung menuju ke kamar masing-masing di belakang, akan tetapi Siauw Cin masih berada di ruangan dalam bersama Sun Hok. Wajah keduanya merah dan tanpa kata-kata Sun Hok menggandeng tangan wanita itu. Jari-jari tangan mereka bergetar, akan tetapi ketika Sun Hok menuntun Siauw Cin menuju ke kamarnya, gadis itu menahan diri dan menghentikan langkahnya.
Mereka berdiri saling pandang berhadapan dekat sekali. Sun Hok merasa tubuhnya gemetar dan napasnya terengah-engah. Dari pandang matanya memancar kemesraan dan permintaan, permintaan setiap orang pria yang jatuh cinta dan ingin menumpahkan semua rasa sayangnya kepada wanita yang dicintanya. Melihat sinar mata yang biasanya hanya mengandung rasa iba dan cinta, kini mengandung berahi, Siauw Cin menundukkan mukanya, kemudian perlahan-lahan ia menggelengkan kepalanya.
"Jangan, Kongcu... jangan... sekarang...." katanya lirih.
Sun Hok mempererat pegangannya pada tangan yang masih merasa dingin itu.
"Kenapa, Siauw Cin? Aku cinta padamu, dan bukankah engkau pun cinta padaku?" bisiknya dengan suara gemetar.
Selama hidupnya, belum pernah dia berdekatan dengan wanita dan kini tiba-tiba saja timbul gairah dan hasratnya untuk tidur bersama gadis yang dicintanya ini!
Siauw Cin mengangkat mukanya dan Sun Hok melihat betapa sepasang mata itu menjadi basah, "Saya cinta padamu, Kongcu, cinta dengan sepenuh jiwa raga saya. Akan tetapi... saya tahu di mana tempat saya, Kongcu. Engkau adalah seorang perjaka, engkau belum pernah hubungan dengan wanita, sedangkan aku... ah, aku tidak layak. Kelak, kalau Kongcu sudah menikah, sudah mempunyai seorang isteri yang pantas mendampingimu sebagai isteri yang sah, barulah saya akan menyerahkan diri, menjadi selir, atau pelayan, atau apa saja. Tapi jangan sekarang, Kongcu...."
"Apa... apa bedanya? Apa salahnya kalau sekarang?"
"Tidak... sama sekali salah. Apa akan kata orang nanti. Engkaulah yang akan malu... ah, mengertilah, Kongcu. Saya cinta padamu, dan biarlah sementara ini saya menjadi pelayanmu. Kelak saja, kalau Kongcu sudah beristeri, kalau Kongcu masih menghendaki diriku, diriku ini bukan untuk pria lain, sampai saya mati, kecuali hanya untukmu, Kongcu...." Gadis itu menarik tangannya, lalu berlari sambil terisak menuju ke kamarnya, di bagian belakang.
Sun Hok berdiri termenung seperti patung. Dia sungguh bingung, tidak mengerti akan sikap gadis itu. Akan tetapi dia tidak menyesal, bahkan merasa lega bahwa gadis itu menolaknya. Bukan menolak karena tidak mau atau tidak cinta, melainkan karena gadis itu ingin menjaga nama baiknya, dan gadis itu sungguh tahu diri. Ah, adakah wanita lain seperti Siauw Cin di dunia ini?
Cinta memang sesuatu yang aneh. Cinta dapat melanda hati siapapun juga, pria atau wanita, tua atau muda, kaya atau miskin, pintar atau bodoh, bahkan seorang wanita yang dicap sebagai wanita pengobral cinta, seorang pelacur tidak terluput dari serangan cinta. Cinta yang lain daripada yang dijualnya untuk ,mencari uang, atau karena terpaksa, atau karena kebutuhan jasmani maupun batin. Cinta yang satu ini lain lagi. Cinta yang satu ini meniadakan kepentingan diri pribadi, melainkan mementingkan kepentingan orang yang dicintanya. Seorang pelacur adalah seorang yang sedang menderita sakit, seperti para penyeleweng dan pelanggar hukum dan susila lainnya, seperti pencuri, penjahat dan sebagainya. Sedang sakit. Bukan badannya yang sakit, melainkan batinnya. Dan orang yang sakit, baik sakit badan maupun sakit batin, dapat sembuh, dapat pula kambuh, tergantung dari pemeliharaan batin itu selanjutnya. Karena itu, mencemooh dan merendahkan orang yang sedang dilanda sakit, baik badan maupun batinnya, adalah suatu perbuatan yag tidak patut dan tidak terpuji. Seyogianya mengulurkan tangan, memberi jalan keluar, memberi pengobatan. Harus selalu diingat bahwa yang sakit, baik sakit badan maupun batin dapat sembuh sama sekali, sebaliknya yang sedang sehat, baik badan maupun batinnya, sekali waktu dapat saja jatuh sakit!
Seperti juga penyakit badan, maka penyakit batin timbul dari berbagai macam sebab dan keadaan. Mungkin juga seperti badan yang lemah, batin dapat pula lemah sehingga mudah terserang penyakit. Olahraga menguatkan badan sehingga tak mudah diserang penyakit, juga olah batin menguatkan batin sehingga tidak mudah diserang penyakit pula. Olah batin adalah perenungan tentang kehidupan, tentang kebenaran, tentang kemanusiaan, tentang Tuhan Maha Kasih! Berbahagialah orang yang dapat menjaga kesehatan badan dan batinnya, karena keduanya haruslah seimbang. Kalau sampai sakit salah satu, maka yang lain akan terpengaruh dan kebahagiaan tak mungkin dapat dirasakan lagi.
Hay Hay melakukan perjalanan seorang diri di daerah pegunungan yang sunyi itu. Enak berjalan di padang rumput itu, dan pemandangan alamnya sungguh menyenangkan hati dan menyedapkan mata. Serba hijau dan bau rumput dan tanah, juga pohon-pohonan amatlah sedapnya. Dia menyedot napas sekuatnya sampai seluruh paru-parunya penuh dan hawa murni itu terus turun mendesak ke bawah, terasa nikmat dan penuh, baru dihembuskannya perlahan-lahan. Bukan main nyamannya. Hidup adalah bahagia! Karena bahagia hanyalah suara perasaan, suatu sebutan, seperti juga hidup. Hidup juga hanya suatu perasaan. Merasa hidup! Siapa yang merasa bahagia? Siapa yang merasa hidup? Hanya kesadaran pikiran bahwa ada aku yang merasakannya! Kalau kesadaran tertutup sementara selagi tidur, tidak ada lagi itu yang dinamakan hidup atau kebahagiaan, atau bahkan kedudukan, kesenangan dan sebagainya lagi. Semua itu kosong! Sesungguhnya tidak apa-apa, yang ada itu hanyalah permainan pikiran sendiri belaka!
Pagi itu cerah sekali. Sinar matahari pagi menghidupkan segala yang semalam tadi tertidur, mendatangkan kesegaran, kehangatan, kenyamanan dan keindahan.
Sinar mataharilah yang menghidupkan segala sesuatunya. Bahkan sinar matahari pagi sempat membawa batin Hay Hay ke alam yang penuh semangat dan gembira, mendorongnya untuk melepaskan riang lewat nyanyian. Dan ketika dia membuka mulut bernyanyi, tanpa disengaja dia menyanyikan lagu yang pernah didengarnya dari mulut gadis pelayan dari Can Sun Hok itu! Nyanyi tentang burung murai betina yang bodoh, yang merindukan bulan purnama! Burung yang tidak mampu mencapai bulan purnama, lalu mengejar bulan di dalam air dan akhirnya tenggelam, tewas! Setelah nyanyian itu selesai dinyanyikan, baru dia sadar bahwa tanpa disengaja dia menyanyikan lagu baru itu. Dan Hay Hay tertawa sendiri.
Burung murai bodoh, pikirnya mencela. Itulah kalau menginginkan sesuatu yang tidak terjangkau! Akhirnya akan mencelakakan diri sendiri! Tiba-tiba dia berhenti melangkah. Kisah burung murai itu, bukankah itu kisah semua manusia? Bukankah setiap orang manusia itu selalu menginginkan keadaan yang lebih! Lebih indah, lebih enak, lebih banyak, pendeknya, semua manusia menginginkan yang serba lebih. Saling berebutan dan bersaing untuk memperoleh yang serba lebih itu, kalau perlu saling serang, saling menjatuhkan, dengan cara apa saja demi memperoleh yang serba lebih itu! Seperti si murai bodoh. Karena pengejaran akan yang serba lebih inilah maka mata menjadi buta dan tidak lagi dapat melihat dan menikmati YANG ADA! Mata ditujukan jauh ke depan, kepada yang dianggap serba lebih itu, yang dikejarnya dan tak terjangkau olehnya. Akhirnya hanya ada dua hal yang terjadi sebagai akibat dari pengejaran itu, setelah dalam pengejaran itu menimbulkan banyak pertentangan dan permusuhan. Kalau yang dikejar terdapat, belum tentu akan terasa seindah sebelum didapat, seindah seperti ketika masih dikejar karena hati ini sudah dipenuhi dengan pengejaran terhadap yang lain lagi, yang lebih lagi daripada yang sudah didapat! Dan kalau gagal? Kecewa, menyesal, berduka dan sengsara!
Hay Hay melompat dan tertawa. "Ha-ha-ha, berbahagialah orang yang tidak mengejar apa-apa, tidak menginginkan apa-apa yang tidak ada padanya! Berbahagialah orang yang membuka mata melihat apa yang ada padanya saja, melihat keindahan dari apa YANG ADA." Dia menarik napas panjang lagi dan merasakan benar betapa nikmatnya menghirup udara bersih seperti itu! Dia mengamati semua yang terbentang luas di depahnya. Rumput-rumput hijau luas, pohon-pohon tinggi besar, bunga-bunga, burung-burung yang beterbangan di angkasa yang terhias awan-awan putih seperti sekelompok domba putih bergerak, sinar matahari pagi menerobos menembus celah-celah daun pohon. Betapa indah semua itu, indah tak terlukiskan kata-kata! Dan semua itu tentu takkan nampak oleh mata yang dibutakan oleh keinginan mendapatkan sesuatu yang tidak ada dan tidak dimiliki!
Tiba-tiba perutnya berkeruyuk. "Hish, tak tahu malu." Dia menepuk perutnya sendiri dan baru teringat bahwa sejak kemarin siang dia belum makan. Semalam, setelah mengunjungi istana tua tempat tinggal Sun Hok, dia pun melanjutkan perjalanan keluar dari kota Siang-tan, kemalaman di tengah jalan dan melewatkan malam di sebuah gubuk petani di tengah sawah, tanpa makan. Pagi tadi, pagi-pagi sekali dia sudah bangun dan melanjutkan perjalanan, mendaki bukit dan kini berjalan di padang rumput.
"Wah, perut lapar di tempat seperti ini. Mana ada makanan?" Dia lalu menoleh ke kiri. Di lereng itu terdapat hutan. Kalau dia bisa menangkap seekor kelinci, atau ayam hutan, atau kijang muda, tentu tuntutan perutnya yang lapar akan dapat dipenuhi. Dan hutan serimbun itu sudah pasti ada binatangnya. Dia lalu berlari ke arah hutan itu.
Dengan berindap-indap Hay Hay memasuki hutan, mulai mengintai mencari mangsa, calon pengisi perutnya yang lapar. Bagaikan seekor harimau kelaparan, dia pun jalan perlahan-lahan, jangan sampai mengeluarkan suara sehingga mengejutkan binatang yang dicarinya, yaitu ayam hutan, kelenci atau kijang. Hanya daging tiga binatang ini saja yang dia suka. Dia tidak suka makan daging kera, ular atau binatang lain. Akan tetapi, yang dilihatnya hanyalah beberapa ekor kera dan dua ekor ular besar saja. Dia berjalan terus dan akhirnya melihat seekor kijang muda sedang minum di tepi anak sungai. Ketika angin bertiup, baru dia menyadari bahwa angin dari arahnya. Benar saja, kijang itu menangkap bau manusia melalui angin itu dan binatang itu pun meloncat berlari cepat sebelum Hay Hay sempat mendekatinya. Hay Hay juga melompat dan melakukan pengejaran. Kijang itu berloncatan cepat bukan main, meloncati semak-semak belukar, kadang-kadang menghilang ke dalam semak-semak, lari lagi mendaki bukit. Hay Hay mengejar terus dan akhirnya dia melihat kijang itu terhalang sebuah jurang yang curam di tebing bukit. Binatang itu kebingungan, lari ke kanan kiri di tepi jurang. Kalau ia meloncat, akan lenyaplah binatang itu, akan tetapi tentu akan hancur terbanting ke bawah jurang. Binatang itu agaknya maklum pula bahwa tak mungkin baginya meloncat turun.
Hay Hay sudah siap sejak tadi, mengambil sepotong batu sebesar kepalan tangannya. Dia merasa heran mengapa binatang itu tidak lari ke barat di mana terdapat semak-semak belukar, seolah-olah di sana terdapat sesuatu yang menakutkan, melainkan lari ke kanan lalu ke kiri seperti dikepung.
Setelah binatang itu berhenti sejenak melepas lelah sambil terengah-engah, Hay Hay menggerakkan tangannya. Batu itu melucur cepat mengarah tengkuk binatang itu, bagian yang sekali kena akan mematikan. Dan dia melihat kijang itu roboh terguling, tak bergerak lagi.
Hay Hay berloncatan dengan girang dan hampir saja dia berteriak-teriak dan bersorak kegirangan ketika tiba-tiba dari balik semak belukar di sebelah barat itu pun melompat keluar seorang gadis yang berlari seperti terbang cepatnya menghampiri bangkai kijang. Gadis itu memeriksa sebentar, tersenyum girang lalu memegang ekor kijang untuk diseret dan dibawa pergi.
"Heii.....! Nanti dulu...!" Hay Hay berteriak dan berlari cepat ke tempat itu.
Gadis itu terkejut sekali, tidak mengira akan ada orang berteriak seperti itu di tempat sunyi itu. Saking tersentak kaget, pegangannya pada ekor kijang itu terlepas dan ia menoleh menghadapi Hay Hay dengan mata terbelalak.
Dan Hay Hay terpesona! Dia kini tiba di depan gadis itu, berdiri berhadapan dalam jarak tiga meter. Hay Hay seperti terpukau, tak bergerak seperti patung, hanya mengamati wajah gadis di depannya itu. Seorang gadis yang usianya masih muda, takkan lebih dari delapan belas tahun. Pakaiannya sederhana, bahkan nyentrik, setengah pakaian pemburu, setengah pakaian puteri; agak kedodoran namun tidak menyembunyikan tubuh yang padat dan sempurna lekuk-lengkungnya, tubuh seorang gadis yang bagaikan sekuntum bunga mulai mekar meranum. Rambutnya awut-awutan, terlepas dari gelungnya, namun menjadi penambah manis wajah yang sudah amat manis itu. Anak rambut di pelipis dan sinom di dahi itu bergerak-gerak lembut, wajah yang bulat telur itu berdagu runcing, sepasang matanya tajam seperti mata kucing tapi lebih indah, dan hidung itu kecil mancung dan ujungnya seperti kemerahan dan dapat bergerak lucu, mulutnya memiliki bibir yang penuh dan tipis, seperti kulit buah tomat yang mudah pecah, merah basah. Mata yang indah itu mengerling seperti gunting saja tajamnya, akan tetapi nampak galak. Gadis yang tadinya terkejut itu agaknya sudah dapat menenteramkan hatinya yang kaget dan melihat seorang pemuda bercaping lebar berdiri seperti patung memandanginya seperti itu, alisnya berkerut dan matanya menyambar dengan kerling tajam. Mati aku, pikir Hay Hay, memuji kerling mata setajam itu.
"Hemm, mau apa kau teriak-teriak mengagetkan orang, sekarang berdiri bengong seperti orang kehilangan ingatan? Apakah engkau seorang tolol?" gadis itu membentak. Ketika bicara, bibirnya bergerak-gerak dan nampak kilatan giginya, membuat Hay Hay menjadi semakin terpesona.
"Bukan main... hemmm, bukan main.....!" katanya berkali-kali, masih saja mengamati wajah itu.
Gadis itu membanting kaki kanannya ke atas tanah. "Heh, tolol! Apa maksudmu berkata bukan main? Siapa yang main-main?"
"Wah-wah-wah, belum pernah aku melihat yang seperti ini selama hidupku! Melebihi semua yang pernah kujumpai. Begini jelita, begini bebas dan liar, seperti... bunga mawar hutan, atau seekor singa betina, seekor naga betina, hebat bukan main, ya cantik, ya gagah, ya berani!"
"Hei, apakah engkau ini orang gila?" gadis itu membentak sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Hay Hay.
"Aku? Tidak, belum gila, Nona, walaupun terpesona. Dan Nona ini, apakah Dewi Penjaga Hutan dan bukit ini?"
Gadis itu kembali membanting kakinya dan mukanya menjadi merah sekali, matanya yang indah melotot seperti hendak membakar wajah Hay Hay. "Apa kaubilang? Aku penjaga hutan dan gunung? Kaukira aku ini setan? Engkaulah yang iblis, engkau siluman monyet, siluman babi, engkau setan dan arwah gentayangan, engkau setan isi neraka, engkau... engkau...." Ia kehabisan makian karena tidak tahu lagi nama-nama bangsa setan sehingga gelagapan sendiri.
"Aduh, jangan marah, Nona. Aku bukan memaki, melainkan memujimu karena kusangka engkau Sang Dewi. Kalau engkau manusia biasa, seorang gadis muda, mana mungkin tahu-tahu muncul di tempat sepi ini?"
Gadis ini cemberut dan memandang perut bangkai kijang itu. "Sialan! Di tempat begini bertemu orang tolol!" Dan ia pun lalu menyambar kaki depan bangkai itu dan diangkatnya, dipanggulnya.
"Lhoh! Nanti dulu, Nona! Bangkai kijang itu punyaku!" Hay Hay mencela dan dia pun melangkah maju menghampiri.
Kini nona itu menoleh dan kembali matanya melotot. Hay Hay seolah-olah dapat merasakan hawa panas keluar dari sepasang lubang hidung itu, demikian marahnya gadis itu.
"Apa kaubilang? Engkau berteriak mengejutkan aku, lalu memandangi orang seperti tolol, kemudian mengatakan orang mahluk penjaga gunung, dan sekarang engkau malah berani mengaku bahwa bangkai kijang ini punyamu? Heh, orang sialan tak tahu diri, engkau ini sebenarnya mau apakah? Jangan membikin Nonamu marah dan sekali tendang engkau akan kulempar ke dalam jurang di bawah tebing!"
"Maafkan aku, Nona, dan bersabarlah, harap jangan marah-marah dulu. Seorang yang suka marah lekas tua, Nona dan sayang kalau engkau yang secantik jelita dan semanis ini cepat menjadi tua. Aku tidak berbohong kalau mengatakan bahwa bangkai kijang ini milikku, karena akulah yang telah membunuhnya tadi."
"Apa? Jangan sembarangan membuka mulut, ya? Akulah yang telah membunuhnya dan menyambitnya dengan sebuah batu!"
"Hemm, aku pun tadi menyambitkan sebuah batu dan batuku itulah yang membunuhnya!" Hay Hay membantah, penasaran karena betapa pun cantik jelitanya, kalau gadis ini hendak merampas buruannya dan mengaku-aku membunuh kijang itu, dia tidak akan menerimanya begitu saja.
"Bohong! Penipu! Akulah yang telah merobohkannya dengan sambitanku. Orang tolol macam engkau ini mana mungkin dapat merobohkan kijang dengan sambitan batu?"
"Hemm, sebaiknya dilihat dulu buktinya, Nona. Engkau tadi menyambit kijang ini, mengenai apanya?"
"Mengenai kepalanya, tepat di antara matanya! Kau berani mengira aku membohongimu?" Gadis itu menurunkan kembali kijang tadi dan mengangkat leher kijang itu, diperlihatkan kepada Hay Hay.
"Lihat ini, di antara kedua matanya, bukankah ada luka menghitam karena sambitanku?"
"Aku pun tadi menyambitnya, tepat mengenai tengkuknya, tempat yang mematikan." kata Hay Hay dan dia pun kini memeriksa dan memperlihatkan kepada gadis itu. Gadis itu mengamati dan benar saja, tulang di tengkuk kijang itu patah dan ada tanda menghitam bekas sambitan. Ia mengerutkan alisnya, akan tetapi lalu mengangkat bangkai kijang itu dan dipanggulnya.
"Tak peduli, yang jelas ada tanda sambitan di antara matanya. Kijang ini punyaku, aku yang membunuhnya dan engkau mau apa?"
"Tidak mau apa-apa, hanya ingin sebagian dagingnya untuk mengisi perutku yang lapar."
"Hemm, kijang ini punyaku, aku yang menentukan harus diberikan kepada siapa!"
"Apakah engkau masih mempunyai kawan lain yang membutuhkan dagingnya, Nona?"
"Tidak, aku hanya seorang diri."
"Kalau begitu, untuk kita berdua juga sudah lebih daripada cukup!"
"Itu urusanku! Aku boleh memberikan kepada siapa dan menolak memberi siapa pun. Dan aku tidak akan memberi padamu yang tolol dan kurang ajar!"
"Ehh? Aku kurang ajar?"
"Semua laki-laki kurang ajar!"
Hay Hay merasa penasaran dan perutnya terasa panas. Gadis ini keterlaluan galaknya, tidak ketulungan lagi. "Dan semua perempuan tak tahu diri!"
Gadis itu membanting bangkai kijangnya, kemudian telunjuknya menuding hampir mengenai hidung Hay Hay sehingga pemuda itu melangkah mundur. "Apa kaubilang? Berani kau mengatakan bahwa semua perempuan tak tahu diri? Apakah Ibumu bukan perempuan? Kalau begitu Ibumu juga tak tahu diri?"
"Dan engkau bilang semua laki-laki kurang ajar! Apakah Ayahmu bukan laki-laki? Kalau begitu Ayahmu juga kurang ajar?"
"Sialan engkau berani memaki Ayahku!" bentak gadis itu.
"Engkau juga lebih dulu memaki Ibuku!"
"Apa? Jadi engkau hendak menantang aku berkelahi? Boleh, kalau memang engkau sudah bosan hidup!" Gadis itu memasang kuda-kuda.
"Siapa mau herkelahi? Aku hanya menuntut hakku, akan tetapi kalau engkau memang sudah hegitu kelaparan, kalau dapat menghabiskan semua daging kijang ini, silakan, aku dapat mencari yang lain." Hay Hay mundur dan menghindarkan perkelahian. Bagaimanapun juga, dia kagum kepada gadis ini walaupun gadis ini liar, herani, dan galaknya hukan huatan lagi.
"Nah, bilang saja kalau tidak herani!" Gadis itu mengomel dan memanggul lagi hangkai kijang. Ketika ia hendak melangkah pergi, Hay Hay mengomel lirih.
"Huh, gembulnya! Apa tidak akan meledak pecah perut kecil itu nanti!"
Kaki yang sudah melangkah itu ditahan lagi dan untuk ke dua kalinya bangkai kijang itu dibanting. "Kaubilang apa tadi? Aku gembul dan perutku akan pecah kalau makan daging kijang ini?"
Hay Hay tersenyum mengejek. "Aih, engkau memang pemarah, Nona. Siapa bilang engkau yang gembul dan akan pecah perutnya? Aku tidak pernah menyebut siapapun juga!"
Kembali bangkai kijang itu dipanggul dan kini Hay Hay memandang sambil mengerahkan kekuatan sihirnya. "Sungguh aneh, Nona cantik mengaku menangkap kijang, padahal yang dipanggulnya bangkal anjing!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar