Hay Hay sudah melepaskan pengaruh sihirnya karena dia berada di belakang nenek itu dan setiap saat dia dapat melindugi Kui Hong, dan kini dia dapat berkata dengan nada biasa. "Locianpwe tadi sudah memperkenalkan nama suami Locianpwe yang bernama Hek-hiat-kwi Lauw Kin, akan tetapi belum memperkenalkan diri kepada kami."
Nenek itu mendengus dan menoleh ke belakang, sikapnya tidak lagi lunak dan menyerah seperti tadi, juga suaranya terdengar ketus. "Hemm, orang muda. Sepatutnya kalian yang lebih dahulu memperkenalkan nama kalian walaupun aku sudah tahu dari cara kalian saling panggil nama."
Hay Hay tertawa. "Kalau sudah tahu untuk apa bertanya lagi, Locianpwe? Namaku Hay Hay dan ia bernama Kui Hong."
"Namaku... Ma Kim Siu." kata nenek itu singkat dan Hay Hay juga tidak mendesak dengan pertanyaan lain karena nama itu asing baginya. Tidak mengherankan, pikirnya. Nenek ini sudah berada di dalam jurang yang berguha itu selama dua puluh lima tahun, sebelum dia terlahir di dunia!
Jalan mulai menanjak dan sudah lima kali nenek memberi peringatan agar Kui Hong merangkak. Gadis itu menurut karena ia tahu bahwa kalau tidak mentaati perintah nenek itu, akan berbahaya sekali. Ketika ia merangkak, terasa betapa licinnya lantai yang menanjak. Tiga kali ia harus meloncati lubang yang lebarnya sekitar dua meter. Ia sudah merasa lelah dan hal ini menambah kedongkolan hatinya terhadap Hay Hay.
Akhirnya, setelah melakukan pendakian yang sulit selama kurang lebih setengah jam, di tempat yang gelap pekat lagi, tiba-tiba Kui Hong melihat betapa di depan sudah nampak terang. Jantungnya berdebar tegang dan gembira. "Di depan terang!" teriaknya, dan ia melangkah lebar.
"Tenanglah, Kui Hong." kata nenek itu. "Dan jangan lari. Ada lubang yang cukup lebar di depan, sebelum kita tiba di bagian yang terang itu!"
Benar saja. Kui Hong kini berhadapan dengan lubang menganga yang lebarnya ada empat meter. Namun, ia yang memiliki gin-kang yang cukup tinggi tingkatnya, dengan mudah sambil menggendong tubuh yang ringan itu, dapat melompatinya dengan mudah, disusul oleh Hay Hay.
"Nah, kita sudah hampir sampai di permukaan bumi!" kata nenek itu, suaranya agak gemetar, tanda bahwa ia pun merasa terharu dan gembira karena akhirnya, setelah dua puluh lima tahun hidup seperti dalam neraka di bawah tanah,ia berhasil pula tertolong dan keluar dari tempat itu!
Kini jalan menanjak seperti orang memanjat anak tangga saja, dan sinar matahari masuk menimpa mereka. Nenek itu memejamkan matanya dan berseru. "Aih, terlalu menyilaukan!" Selama berada di dalam guha, ia hanya melihat matahari setelah senja mendatang karena guha itu menghadap ke barat sehingga tak pernah ia tertimpa sinar matahari siang.
Ternyata jalan lorong itu menembus ke sebuah lubang seperti sumur, dan mereka berada di lereng sebuah bukit yang lain daripada bukit di mana Hay Hay dan Kui Hong jatuh ke dalam jurang!
Setelah mereka tiba di atas tanah di udara terbuka, hampir Kui Hong menangis saking gembiranya. Ia cepat mengusap kedua matanya dan mulutnya tersenyum, dengan penuh perasaan terima kasih ia memandang ke sekeliling. Demikian indahnya permukaan bumi ini, pikirnya dengan sinar mata berseri. Akan tetapi ia merasa lelah sekali, melakukan perjalanan seperti itu sambil menggendong tubuh Si Nenek Lumpuh yang bernama Ma Kim Siu itu.
"Kau turunlah dulu, Nek, aku ingin beristirahat." katanya kepada nenek itu.
Akan tetapi, tiba-tiba saja nenek itu mengubah sikapnya yang lunak dan dengan hati kaget Kui Hong merasa betapa nenek itu mencengkeram tengkuknya, di bagian yang amat berbahaya. Sekali saja nenek itu mengerahkan tenaganya, ia akan roboh dan tewas!
"Tidak! Awas, jangan membuat ulah macam-macam atau sekali cengkeram engkau akan mampus!" bentak nenek itu.
"Hayo, Hay Hay, sekarang engkau berjalan di depan, kita menuju ke tempat pertapaan Hek-hiat-kwi Lauw Kin!"
Hay Hay tersenyum dan diam-diam dia mengerahkan kekuatan ilmu sihirnya sambil menatap wajah nenek itu. "Locianpwe Ma Kim Siu, tenanglah dan engkau sendiri pun merasa lelah. Kita perlu beristirahat dan turunlah dari punggung Kui Hong." Dia mengerahkan kekuatan sihir untuk menalukkan sikap melawan nenek itu.
Akan tetapi, sekali ini dia dikejutkan oleh sikap nenek itu menghadapi permintaannya yang diucapkan dengan suara menggetar penuh wibawa tadi. Nenek itu terkekeh-kekeh!
"Simpanlah permainanmu itu untuk menakut-nakuti anak-anak, Hay Hay! Hihi-hik, jangan harap engkau akan dapat mempengaruhi aku dengan sihirmu. Nah, cepat engkau berjalan di depan, atau akan kucengkeram tengkuk gadis yang kaucinta ini!"
Hay Hay terkejut, bukan hanya oleh kenyataan bahwa nenek itu tidak terpengaruh oleh sihirnya, akan tetapi terutama sekali nenek itu demikian lancang dan lantang mengatakan bahwa Kui Hong adalah gadis yang dia cinta!
"Kalau begitu... tadi, di dalam lorong... engkau hanya pura-pura saja terpengaruh?" tanyanya, melongo.
"Tentu saja, setelah kalian berjanji akan membantuku. Akan tetapi mana mungkin aku mempercayai omongan cucu Pendekar Sadis dan sute dari keluarga Cin-ling-pai? Huh, Pendekar Sadis dan keluarga Cin-ling-pai adalah orang-orang sombong! Ketahuilah kalian, namaku memang Ma Kim Siu, dan julukanku adalah Kiu-bwe Tok-li, nama ini tentu dikenal baik oleh Pendekar Sadis dan keluarga Cin-ling-pai, heh-heh-heh!"
"Kiu-bwe Tok-li (Wanita Beracun Berekor Sembilan)?" Kui Hong berseru heran. "Pernah aku mendengar julukan Kiu-bwe Coa-li (Wanita Ular Berekor Sembilan.....")
"Nah, mendiang Kiu-bwe Coa-li adalah Enciku."
"Ia... seorang di antara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan)!" kembali Kui Hong berseru, karena ia pernah mendengar penuturan ibunya tentang tokoh-tokoh sesat itu.
"Memang dan aku ini adiknya."
"Tapi, bagaimana engkau bisa tahu...?"
"Kui Hong, tentu ketika kita bicara di pohon itu, ia sudah lama mengintai dan mendengarkan. Pantas saja begitu muncul ia menyerang kita dengan kerikil-kerikilnya. Kemudian, karena kita mampu menghindarkan diri, ia menganggap kita cukup lihai untuk dipaksa membantunya menghadapi suaminya!" kata Hay Hay.
"Hi-hi-hik! Engkau memang cerdik sekali, orang muda. Cerdik dan lihai! Karena itulah, sejak dari dalam guha aku memilih digendong oleh Nona ini, padahal tentu saja aku akan merasa lebih hangat dan senang digendong seorang pemuda tampan dan muda macam engkau. Sekarang, kalau engkau memperlihatkan perlawanan sedikit saja, sekali menggerakkan tangan gadis kekasihmu ini akan mampus!"
"Nenek lancang mulut! Aku bukan kekasihnya!" Kui Hong menjerit marah dan biarpun ia merasa betapa jari-jari tangan di tengkuknya itu mempererat cengkeramannya, ia tidak takut sedikit pun juga.
"Hi-hi-hik, kalian tidak dapat mengelabuhi mataku. Aku ahli dalam soal cinta, heh-heh! Pemuda itu mencintamu dan engkau pun mencintanya, Kui Hong. Dan kalau engkau banyak tingkah, engkau benar-benar akan kubunuh!"
"Sudahlah, Kui Hong. Biarkan saja ia mengoceh dan jangan membunuh diri hanya urusan sekecil ocehannya. Nenek, julukanmu memang tepat. Engkau benar-benar Tok-li (Wanita Beracun), akan tetapi yang beracun adalah hatimu. Nah, katakan, di mana tempat bertapa laki-laki yang kaucari itu?"
"Heh-heh, begitu lebih baik, Hay Hay. Maju saja, menuju ke lereng yang sana. Tidak terlalu jauh dari sini. Mudah-mudahan jahanam itu masih berada di sana dan belum mampus!"
Hay Hay melangkah ke depan, menurut petunjuk nenek itu. Diam-diam dia pun mengharapkan seperti yang diharapkan nenek itu, agar pria itu masih berada di sana dan masih hidup. Karena kalau tidak, tentu nyawa Kui Hong benar-benar terancam bahaya maut. Dia masih heran bagaimana nenek itu tidak terpengaruh oleh kekuatan sihirnya, padahal biasanya amat ampuh. Dia tidak tahu bahwa seorang yang sudah memiliki sin-kang sedemikian kuatnya seperti nenek itu, apalagi setelah selama puluhan tahun digemblengnya dan dilatihnya di dalam guha, tentu tidak akan mudah terpengaruh kekuatan sihir, dapat dilawannya dengan sin-kangnya. Memang untuk pertama kalinya, nenek itu terpengaruh karena ia belum tahu akan kepandaian Hay Hay. Akan tetapi, segera ia dapat merasakan dan menolak dengan tenaga sakti di dalam tubuhnya. Bahkan ia dapat berpura-pura terpengaruh untuk melaksanakan sandiwaranya sehingga kini ia dapat menguasai mereka berdua dengan menjadikan gadis itu sebagai sandera.
Memang tidak jauh tempat yang dimaksudkan oleh Kiu-bwe Tok-li itu. Untung bagi Kui Hong yang sudah merasa semakin lelah. Mereka tiba di depan sebuah guha dan nenek itu memberi isarat agar Hay Hay berhenti, akan tetapi ia tetap menyuruh Kui Hong berada di belakang pemuda itu. Kemudian dengan suara melengking nyaring, Kiu-bwe Tok-li berteriak ke arah guha yang jaraknya hanya tinggal lima belas meter.
"Hek-hiat-kwi, laki-laki berhati binatang, kejam dan tak berperikemanusiaan, keluarlah! Aku datang untuk membalas dendam!"
Suara melengking itu bergema sampai jauh dan setelah gaungnya tak terdengar lagi, muncullah seorang kakek dari dalam guha. Usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, bertubuh sedang dan masih tegak, wajahnya pun bersih dan menunjukkan bekas ketampanan, kini dia membiarkan jenggot dan kumisnya yang sudah berwarna kelabu itu tumbuh subur. Pakaiannya kuning dan longgar seperti pakaian pertapa, dan sinar matanya lembut akan tetapi kini mata itu terbelalak memandang ke arah nenek di, atas punggung seorang gadis cantik, seolah-olah dia tidak percaya akan pandang matanya sendiri.
"Kim Siu...! Benar engkaukah ini? Masih... masih hidup...?"
"Lauw Kin, buka matamu baik-baik. Ini benar aku, Kiu-bwe Tok-li Ma Kim Siu, biarpun kedua kakiku sudah lumpuh, namun kini aku datang untuk membalas dendam atas segala perbuatanmu yang membuat aku sengsara sampai dua puluh lima tahun!"
Sepasang mata itu bersinar dan wajah itu berseri. "Ah, sungguh Tuhan masih melindungimu, Kim Siu! Akan tetapi, mengapa engkau pulang dengan dendam kebencian di hatimu? Mengapa engkau mengatakan bahwa perbuatanku yang membuat engkau sengsara sampai dua puluh lima tahun?"
Nenek itu gemetar seluruh tubuhnya, terasa benar oleh Kui Hong, dan ia tahu bahwa nenek itu marah sekali. Akan tetapi, cengkeraman di tengkuknya tidak pernah sedikit pun mengendur sehingga ia tidak melihat kesempatan sama sekali untuk membebaskan diri dari penguasaan nenek yang lihai itu.
"Huh, engkau masih belum juga merasa betapa kejam perbuatanmu kepadaku, kepada kami! Engkau melukainya dengan hebat, dan dia tersiksa sampai berbulan-bulan, hampir setahun sebelum akhirnya dia meninggal dunia! Gara-gara engkau! Hay Hay, cepat kau maju dan serang dia, bunuh dia... ah, tidak, lukai dan robohkan saja agar aku sendiri yang akan membunuhnya!" Nenek itu melotot kepada Hay Hay, pelototan matanya yang mengandung arti bahwa kalau pemuda itu menolak, tentu nenek itu akan membunuh Kui Hong!
Akan tetapi Hay Hay bersikap tenang saja, sambil tersenyum. Dia adalah seorang pemuda yang amat cerdik, tidak mudah digertak sembarangan saja. Dia mengerti bahwa nenek itu hendak memaksa dia dan Kui Hong untuk membantunya menghadapi kakek yang tenang ini. Nenek itu membutuhkan bantuan, tidak mungkin berani membunuh Kui Hong, karena kalau dibunuhnya gadis itu, berarti nenek itu akan menghadapi pengeroyokan kakek itu dan dia!
"Nanti dulu, Kiu-bwe Tok-li!" Kini dia tidak mau lagi menyebut locianpwe. "Aku bukanlah seorang pembunuh bayaran begitu saja, yang menyerang orang tanpa tahu sebabnya. Oleh karena itu, ceritakanlah dahulu apa yang telah terjadi antara engkau dan kakek ini, baru aku mau bergerak."
"Tapi kau sudah berjanji!"
"Berjanji membantumu, memang. Akan tetapi setelah aku mendengar apa yang sesungguhnya telah terjadi sehingga engkau mendendam kepada kakek ini. Melihat sikapnya, dia sama sekali tidak memusuhimu!"
"Tak peduli! Kalau Engkau mau tahu, tanya saja kepadanya!"
Hay Hay kini menghadapi kakek itu, lalu berkata. "Locianpwe, sebenarnya apakah yang telah terjadi maka Kiu-bwe Tok-li mendendam kepadamu dan hari ini datang untuk membalas dendamnya? Locianpwe tahu bahwa kami berdua terpaksa membantunya, akan tetapi aku hanya mau turun tangan setelah mendengar permasalahannya."
Pria tua itu adalah Hek-hiat-kwi Lauw Kin, suami dari Kiu-bwe Tok-Ii Ma Kim Siu. Dia mengerutkan alisnya memandang kepada Hay Hay, kemudian kepada nenek yang pernah menjadi isterinya itu.
"Kim Siu, haruskah urusan pribadi kita diketahui orang lain?" .
"Ceritakanlah! Ceritakanlah selagi engkau masih mampu dan belum mampus di tanganku!" sambut nenek itu dengan ketus sekali.
Kakek itu menarik napas panjang dan mengangguk-angguk. "Baiklah kalau begitu. Orang muda, siapa pun adanya engkau, dengarlah baik-baik apa yang telah terjadi di antara kami suami isteri yang malang ini. Dua puluh lima tahun yang lalu, kami masih menjadi suami isteri yang hidup rukun. Karena aku menyadari betapa tidak menguntungkan lahir batin hidup dalam dunia hitam, aku mengajak isteriku bertapa di sini, menjauhi jalan sesat untuk menebus dosa." Dia berhenti sebentar untuk menghela napas panjang. "Akan tetapi keputusan yang kuambil itu agaknya membuat ia tidak senang sehingga sejak aku mengajaknya meninggalkan dunia hitam, ia mulai selalu merajuk dan bersikap marah kepadaku."
"Huh, Lauw Kin, bukan hanya marah, melainkan benci!" Tiba-tiba nenek itu membentak, telunjuknya menuding ke arah suaminya itu seperti orang yang menyalahkan. "Engkau telah berubah menjadi orang yang lemah, pengecut dan memalukan! Dahulu aku bangga menjadi isterimu. Engkau murid Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo, keturunan Hek-hiat Mo-li yang terkenal sebagai datuk-datuk sesat, dan aku adalah adik Kiu-bwe Coa-li, seorang di antara Tiga Belas Setan. Kita cocok menjadi suami isteri dan ditakuti semua orang. Huh, kemudian engkau pura-pura alim dan mengajak aku menjadi pertapa!" Nenek itu mengumpat dan kelihatan menyesal bukan main.
Kakek itu tersenyum sedih. Kui Hong yang mendengarkan umpatan nenek dipunggungnya itu, melihat betapa sedetik pun nenek itu tidak pernah melepaskan ancamannya pada tengkuknya sehingga tidak ada kemungkinan baginya untuk membebaskan diri. Namun ia terkejut mendengar bahwa kakek di depannya itu adalah murid Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. Ia pernah mendengar cerita dari ibunya tentang suami isteri Iblis Berdarah Hitam itu. Menurut cerita ibunya, suami isteri iblis itu menaruh dendam kepada keluarga Lembah Naga karena Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong yang dahulu membunuh Hek-hiat Mo-li yang menurunkan mereka. Suami isteri itu menyerbu ke Lembah Naga dan berhasil membunuh banyak murid Pek-liong-pai perkumpulan yang didirikan di Lembah Naga dan diketahui oleh Cia Han Tiong, ayah kandung Cia Sun. Bukan hanya murid-murid yang terbunuh, bahkan ibu kandung Cia Sun juga terbunuh oleh mereka! Dan kakek di depannya ini adalah murid suami isteri itu!
Agaknya nenek itu merasa betapa gadis yang menggendongnya terkejut, maka ia membentak, "Ada apa kau? Kenapa terkejut?" Dan cengkeramannya pada tengkuk gadis itu makin kuat.
Kui Hong terkejut dan ia tidak membohong ketika berkata. "Aku terkejut mendengar nama suami isteri Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. Bukankah mereka itu yang pernah menyerang Lembah Naga, membunuh banyak orang Pek-liong-pai, bahkan membunuh pula ibu dari Cia Sun?"
Nenek itu terkekeh. "Heh-heh, aku lupa! Sebagai puteri Ketua Cin-ling-pai tentu saja engkau tahu akan hal itu, heh-heh!"
"Ya Tuhan....!" Kakek itu berseru kaget. "Nona ini puteri Ketua Cin-ling-pai? Kim Siu, apakah engkau sudah menjadi gila? Bebaskan Nona itu!"
"Huh, sebelum pemuda itu membunuhmu, aku takkan membebaskannya. Hay Hay, hayo cepat serang dia!"
Akan tetapi Hay Hay berkata kepada Hek-hiat-kwi Lauw Kin. "Locianpwe, harap lanjutkan keteranganmu tadi. Aku harus tahu sebab-sebabnya Locianpwe bermusuhan dengan Kiu-bwe Tok-li."
Kakek itu nampak bingung dan khawatir memandang Kui Hong, lalu menarik napas panjang. "Baiklah, akan kuceritakan semuanya. Justeru peristiwa yang terjadi di Lembah Naga itulah yang membuat aku mengambil keputusan untuk meninggalkan jalan sesat. Kedua orang guruku itu menyerang keluarga Lembah Naga dan berhasil menewaskan banyak murid, juga menewaskan isteri ketua Pek-liong-pang. Akan tetapi mereka berdua kalah oleh Ketua Pek-liong-pang, pendekar Cia Han Tiong. Mereka berdua sudah tidak berdaya dan pendekar itu hanya tinggal mengangkat tangan saja untuk membunuh mereka. Akan tetapi, pendekar itu tidak melakukannya! Tidak membunuh Suhu dan Subo bahkan mengampuni mereka, dan menasihati mereka tentang buruknya dendam! Ah, Suhu dan Subo menceritakan hal itu sambil menangis kepadaku, dan aku pun merasa terharu sekali dan seketika terbuka kesadaranku betapa selama itu kami semua hidup bergelimang kejahatan. Betapa mulianya pendekar Cia dari Lembah Naga itu. Nah, karena Suhu dan Subo juga merasa menyesal dan bertaubat, lalu kembali ke Sailan untuk menjadi hwesio dan nikouw, aku pun lalu mengajak isteriku untuk menebus dosa dan bertapa di tempat ini."
"Huh, menjemukan! Bilang saja nyali kalian guru dan murid menjadi sempit karena takut menghadapi pendekar Cia dari Lembah Naga itu!" teriak Si Nenek penasaran.
"Keputusanku itu agaknya membuat isteriku merasa kesal dan mulailah terjadi kerenggangan antara kami, isteriku bersikap dingin dan marah-marah dan sering kali meninggalkan aku seorang diri."
"Siapa sudi membusuk di dalam guha kotor itu?" nenek yang dahulu menjadi isterinya yang cantik dan tercinta itu mencela.
"Pada suatu hari, ia datang bersama seorang laki-laki." kakek itu melanjutkan tanpa mempedulikan celaan isterinya.
"Isteriku dan laki-laki tampan itu terang-terangan menyatakan kepadaku bahwa mereka saling mencinta. Aku mencinta isteriku dengan hati yang tulus dan setelah aku menjadi pertapa dan banyak merenungkan kehidupan, aku pun mengenal arti cinta yang sebenarnya. Oleh karena itu, aku merelakan isteriku kalau memang ia hendak meninggalkan aku dan hidup bersama laki-laki itu. Akan tetapi mereka berdua tidak mau pergi begitu saja dan berkeras hendak membunuhku lebih dahulu karena tidak percaya bahwa aku merelakan isteriku dan mereka takut kalau aku kelak akan mengejar dan menyusahkan mereka. Mereka lalu menyerangku dan berusaha membunuhku."
"Ihhh.....!" Kui Hong beerseru dan menurutkan kata hatinya yang menjadi marah sekali, ingin ia melemparkan tubuh nenek itu dari atas punggungnya. Akan tetapi, cengkeraman nenek itu kuat sekali dan begitu ia bergerak, tengkuknya terasa nyeri sekali sehingga terpaksa ia menghentikan penyaluran tenaganya.
"Heh-heh, dia tolol, bukan? Dan engkau pun akan mati konyol kalau engkau berani melakukan kebodohan!" Kiu-bwe Tok-li berkata di dekat telinga Kui Hong.
"Locianpwe, sungguh apa yang Locianpwe lakukan itu membutuhkan kesabaran dan kebesaran hati yang luar biasa." kata pula Hay Hay dengan kagum.
"Aih, orang muda. Aku hanya belajar dari pendekar Cia di Lembah Naga itu dengan perbuatannya terhadap kedua orang Guruku. Dibandingkan dia, sikapku ini bukan apa-apa. Aku dikeroyok oleh mereka dan terpaksa aku membela diri. Akhirnya, karena aku terancam maut oleh pukulan berbahaya dari laki-laki itu yang amat lihai, terpaksa aku pun mengeluarkan jurus simpanan untuk menandinginya. Dalam adu tenaga itulah, dia kalah dan terluka parah. Akan tetapi, aku tidak mau melukai isteriku sehingga aku terkena beberapa pukulannya yang beracun. Melihat kekasihnya pingsan dan terluka, ia lalu memondongnya pergi dengan cepat. Aku mengobati luka-lukaku dan setelah sembuh, aku mengkhawatirkan keadaan isteriku. Kucari ke mana-mana tanpa hasil, maka akhirnya aku kembali bertapa di sini dengan tekun. Dan ini hari ia muncul dalam keadaan lumpuh dan penuh dendam hendak membunuhku."
Mendengar cerita itu, Hay Hay mengerutkan alisnya dan menghadapi Kiu-bwe Tok-li. "Tok-li, benarkah apa yang diceritakan suamimu tadi?"
"Benar atau tidak benar, engkau harus menyerangnya. Engkau sudah berjanji dan kalau engkau melanggar janji, gadis ini tentu akan kubunuh lebih dahulu!"
"Akan tetapi, kalau yang dlceritakannya itu benar, bagaimana engkau kini menjadi lumpuh? Padahal, dalam perkelahian itu engkau tidak terluka oleh suamimu!" kata Hay Hay. "Kiu-bwe Tok-li, sebelum aku memenuhi permintaanmu, ceritakanlah dahulu bagaimana engkau menjadi lumpuh dan tinggal puluhan tahun dalam guha itu, dan mana pula adanya laki-laki kekasihmu itu?"
"Pertanyaan itu tepat, Kim Siu, apakah yang telah terjadi? Engkau tahu benar bahwa bukan aku yang membuat engkau menjadi lumpuh begini..."
"Sama saja! Engkaulah penyebabnya!" bentak nenek itu. "Engkau telah melukainya secara hebat. Aku membawanya pergi dan dia mengenal tempat rahasia itu, sumur yang mempunyai lorong dan tembus sampai ke dalam guha di tengah tebing itu. Dia menyuruh aku membawanya ke sana. Setelah tiba di dalam guha itu, aku berusaha merawat lukanya. Akan tetapi lukanya terlampau parah. Dia tahu bahwa dia tidak akan dapat sembuh. Dia tidak ingin aku meninggalkannya lagi, ingin agar aku selamanya menemaninya di dalam guha itu, maka tiba-tiba dia lalu menyerangku dengan pukulan dahsyat yang membuat kedua kakiku lumpuh sehingga aku tidak akan dapat keluar dari dalam guha itu tanpa bantuan orang lain."
"Ih, betapa kejamnya orang itu!" Kui Hong berseru, jijik.
"Bocah tolol! Dia melakukan itu karena cintanya kepadaku! Dia mengerahkan tenaga terakhir untuk membuat aku lumpuh agar aku tidak meninggalkannya lagi. Dia melumpuhkan kedua kakiku karena terlalu cinta padaku." Nenek itu lalu menangis! Hay Hay, Kui Hong dan Lauw Kin suami nenek itu tertegun dan tenggelam dalam perasaan masing-masing.
"Lalu, di mana dia? Ketika kami memasuki guha, kami tidak melihatnya." kata Hay Hay.
"Pengerahan tenaga dahsyat yang dipergunakannya untuk melumpuhkan kedua kakiku itu membuat lukanya semakin parah. Akhirnya, dalam waktu beberapa bulan saja dia meninggal dunia dalam pelukanku, dan aku hidup sendirian di sana, penuh dendam kepada keparat ini. Aku menghabiskan waktu puluhan tahun untuk memperdalam ilmu, dalam keadaan lumpuh tak mampu keluar, dan dendamku kepada keparat ini semakin berkobar."
"Semoga Tuhan mengampuni dosa kita semua..." Kakek itu mengeluh, "Sudahlah, Kim Siu, turunlah engkau dari punggung Nona itu. Bagaimanapun juga, engkau adalah isteriku dan aku tetap cinta kepadamu. Turunlah dan mari kuusahakan untuk mengobati kakimu sampai sembuh..."
Kui Hong dan Hay Hay saling pandang dan mereka semakin kagum kepada kakek itu. Tak dapat disangsikan lagi. Cinta kasih kakek itu sungguh murni! Akan tetapi, Kiu-bwe Tok-li Ma Kim Siu membentak. "Tidak! Engkau harus mampus di tanganku. Engkaulah yang menyebabkan aku kehilangan dia, dan menyebabkan aku selama puluhan tahun menderita sengsara! Hay Hay, cepat maju dan serang dia, tidak perlu banyak cakap lagi. Kalau engkau membantah, gadis ini akan mampus!" Dan tangannya yang mencengkeram tengkuk Kui Hong diperkuat, membuat gadis itu menyeringai karena nyeri.
Hay Hay tidak melihat jalan lain. "Baiklah! Locianpwe, terpaksa aku akan menyerangmu!" Hay Hay lalu maju, menyerang kakek itu yang cepat mengelak ketika melihat betapa cepat dan kuatnya gerakan pemuda yang menyerangnya. Tahulah dia bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan, akan tetapi dia pun maklum bahwa pemuda ini terpaksa menaati perintah Ma Kim Siu karena gadis puteri Ketua Cin-ling-pai itu telah ditawan dan dijadikan sandera. Perih rasa hatinya. Dia maklum karena dapat menduga bahwa tentu pemuda dan gadis itu telah menolong Ma Kim Siu keluar dari dalam guha, akan tetapi sebagai balas jasa, nenek itu malah menyandera dan memaksa mereka membantunya.
Bagaimanapun juga, puteri Ketua Cin-ling-pai itu harus diselamatkan, demikian pikir Hek-hiat-kwi Lauw Kin. Inilah kesempatan baginya untuk menebus dosa suhu dan subonya terhadap keluarga Cia! Suhu dan subo telah membunuh isteri Cia Han Tiong, dan kalau sekarang dia mengorbankan nyawanya untuk menyelamatka seorang gadis keturunan keluarga Cia, biarpun sedikit berarti dia telah mengurangi dosa suhu dan subonya. Dia harus berkorban, itulah satu-satunya jalan. Kalau dia kalah dan roboh terbunuh oleh pemuda ini, tentu gadis puteri Ketua Cin-ling-pai itu akan dibebaskan. Akan tetapi, dia tahu akan kecerdikan isterinya. Kalau isterinya mengetahui bahwa dia mengalah dan berkorban, belum tentu gadis itu dibebaskan. Untung baginya, pemuda itu lihai sekali, melihat dari gerakannya dan tenaganya, sehingga tidak akan terlalu sukar baginya untuk berpura-pura kalah sehingga menerima pukulan maut yang akan dapat menewaskannya tanpa menimbulkan kecurigaan. Maka, dia pun kini menangkis dan membalas serangan sehingga seolah-olah terjadi perkelahian sungguh-sungguh dan mati-matian antara Hek-hiat-kwi Lauw Kin dan Hay Hay! Bagaimanapun juga, Hek-hiat-kwi adalah seorang yang sejak mudanya berkecimpung dalam dunia persilatan, maka seperti para tokoh persilatan pada umumnya, dia pun memiliki satu kelemahan, yaitu ingin sekali melihat atau menguji ilmu silat apabila bertemu lawan yang pandai! Kini, berhadapan dengan Hay Hay dan melihat gerakan yang amat hebat dari pemuda ini, timbullah kegembiraan dalam hatinya dan biarpun dia sudah mengambil keputusan untuk mengorbankan diri dan menyerahkan nyawanya demi keselamatan puteri Ketua Cin-ling-pai, dia akan memuaskan hatinya lebih dulu dengan menguji kepandaian pemuda ini! Sebaliknya, penyakit yang serupa juga melanda watak Hay Hay. Ketika pemuda ini melihat gerakan kakek itu, merasakan kekuatan yang terkandung dalam kedua lengannya, dia pun merasa gembira dan ingin menguji sampai di mana kelihaian kakek itu. Inilah sebabnya maka kedua orang ini mengeluarkan kepandaian dan mengerahkan tenaga secara sungguh-sungguh dan nampak keduanya seperti terlibat dalam perkelahian yang mati-matian! Demikian hebat gerakan kedua orang ini sehingga Kui Hong sendiri, juga nenek iblis itu, dapat dikelabuhi!
Setelah bertanding dan merasa puas melihat betapa pemuda itu benar-benar hebat dan dia tahu bahwa tingkat kepandaian pemuda itu tidak kalah olehnya, Hek-hiat-kwi baru merasa puas dan dia pun kini ingin mengakhiri perkelahian dengan mengorbankan nyawanya. Hay Hay sedang melancarkan serangan dahsyat, dengan tangan kiri mencengkeram lambung dan tangan kanan menampar ke arah ubun-ubun kepala. Serangan ini dahsyat sekali, angin pukulannya menyambar ganas. Hek-hiat-kwi sengaja memppelambat gerakannya mengelak dan menangkis dan dia merasa yakin bahwa serangan itu tentu akan mengenai dirinya terutama bagian ubun-ubunnya agar dia dapat tewas dengan cepat. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa heran rasa hatinya ketika pada saat yang tepat, sama sekali tidak kentara, pemuda itu menyelewengkan serangannya sehingga meleset dan tidak mengenai sasaran, seolah-olah terelak atau tertangkis! Dan pada saat dia membalas dengan tendangan yang ringan saja, tendangannya itu mengenai pangkal paha pemuda itu yang membuat Hay Hay terhuyung ke belakang! Hampir saja Hek-hiat-kwi berseru heran. Ini tidak mungkin, pikirnya! Tadi dia mengeluarkan ilmu tendangan simpanannya yang amat dahsyat, dan semua tendangan dapat dihindarkan pemuda itu. Mana mungkin tendangan ringan saja dapat mengenai paha dan membuat pemuda itu terhuyung? Dan serangan pemuda tadi pun sengaja diselewengkan! Ini hanya berarti bahwa pemuda itu sengaja mengalah! Akan tetapi apa maksudnya? Ketika dia mengangkat muka memandang dengan tajam, dia melihat betapa pemuda itu berkedip kepadanya. Kiu-bwe Tok-li tidak melihat kedipan ini karena ia berada di punggung nona yang berdiri di belakang pemuda itu. Dan dia pun bukan orang bodoh. Pemuda ini sengaja mengalah tentu mempunyai maksud dan merupakan suatu siasat! Maka, biarpun dia belum dapat menduga dengan tepat apa maksudnya, dia mengambil keputusan untuk ikut bersandiwara!
"Engkau masih belum menyerah kalah?" bentaknya ketika melihat pemuda itu maju lagi menyerang. Kini dia bahkan mengeluarkan lagi ilmu-ilmunya yang paling dahsyat. Tadi, semua ilmu simpanannya dapat digagalkan oleh pemuda itu, akan tetapi sekarang, begitu dia membalas dan mendesak, pemuda itu segera kelihatan terdesak sekali dan beberapa kali terhuyung, dan main mundur saja! Kakek itu semakin yakin bahwa lawannya benar-benar bersandiwara, memainkan suatu siasat.
Melihat betapa Hay Hay terdesak hebat, Kui Hong berseru. "Nek, lihat! Hay Hay terdesak terus. Turunlah, biar aku yang membantunya menghadapi kakek itu!"
Mendengar teriakan gadis itu, mengertilah Hek-hiat-kwi apa maksud permaian sandiwara lawannya. Tentu untuk mengelabuhi Kiu-bwe Tok-li agar mau membebaskan gadis itu agar dapat membantu mengeroyoknya! Maka dia pun mendesak semakin hebat dan sebuah tamparan tangan kirinya diterima dengan sengaja namun tidak kentara oleh Hay Hay, membuat tubuh Hay Hay terpelanting, akan tetapi pemuda itu tidak sampai roboh. Dia menyusulkan tendangannya yang dapat dielakkan oleh Hay Hay.
"Tok-li, lihat, dia makin payah!" kata Kui Hong yang benar-benar merasa khawatir.
"Hemm, jangan ribut dan jangan bergerak! Dia belum kalah!" kata nenek itu, sepasang matanya dengan tajam dan cerdik mengamati gerakan kedua orang itu.
"Tapi, Nek. Kalau sampai dia benar-benar kalah dan tewas, tentu engkau dan aku akan tewas pula di tangan kakek itu!" Kui Hong membantah.
"Desss....!" pada saat itu, Hay Hay terkena pukulan pada pundaknya dan sekali ini tubuhnya terguling-guling dan terbanting keras sampai debu mengepul dan pemuda itu memuntahkan darah segar! Sejak tadi saja Hay Hay menaruh perhatian akan percakapan antara Kui Hong dan nenek itu. Melihat betapa nenek itu masih belum terpancing, dia sengaja menerima hantaman tadi dengan pundaknya dan dengan tingkat kepandaiannya yang tinggi, dia mampu berlagak seolah-olah dia terluka parah dan muntahkan darah segar.
Sekali ini Kiu-bwe Tok-li terjebak. Melihat keadaan pemuda itu memang parah, ia lalu berkata, "Kui Hong, majulah akan tetapi biar aku yang membantu Hay Hay!"
Dengan girang Kui Hong meloncat ke depan dan melihat gerakan yang amat ringan dari gadis itu, diam-diam Hek-hiat -kwi terkejut. Kiranya puteri Ketua Cin-ling-pai itu pun memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat sekali! Dia merasa kagum. Akan tetapi karena gadis itu telah berada di depannya dan isterinya telah menyerangnya dengan cambuk ekor sembilan yang amat berbahaya, dia pun meloncat ke belakang. Hay Hay bangkit dan mengerling ke arah nenek itu. Ternyata nenek itu tetap hanya mempergunakan tangan kanan untuk memainkan cambuknya, sedangkan tangan kiri masih mencengkeram tengkuk Kui Hong! Maka dia pun maju lagi dan membantu nenek itu mengcroyok Hek-hiat-kwi.
Hek-hiat-kwi segera terdesak hebat. Dengan kagum dia melihat betapa isterinya, walaupun kedua kakinya lumpuh, telah memperoleh kemajuan pesat dengan gerakan cambuknya, dan juga tenaga sin-kang yang terkandung dalam gerakan cambuk itu kuat bukan main. Biarpun lumpuh, karena digendong seorang gadis yang memiliki gin-kang sedemikian hebat, gerakannya tentu saja menjadi semakin lincah. Cambuk itu meledak-ledak dari sembilan penjuru karena cambuk sembilan ekor bergerak dengan aneh, masing-masing ekor seperti hidup tersendiri. Ada yang menotok, ada yang melecut, ada pula yang membabat, dan setiap ekor cambuk menyambar bagian tubuh yang berbahaya!
Hay Hay yang beraksi telah menderita luka itu, membantu dengan kacau sehingga seringkali dia malah menghalangi sambaran cambuk! Beberapa kali nenek itu memaki dan membentaknya agar minggir.
Hek-hiat-kwi kini melihat kesempatan bagaimana untuk menolong nona itu, tanpa mengorbankan nyawanya walaupun bukan tidak berbahaya. Dia harus dapat membuat nenek itu melepaskan cengkeramannya pada tengkuk gadis itu, dan satu-satunya jalan adalah membuat cambuk itu tak berdaya agar nenek itu terpaksa menggunakan tangan kirinya.
"Tar-tar-tarrr ...!" Kembali cambuk sembilan ekor itu meledak-ledak dan menari-nari. Hek-hiat-kwi sudah mengenal ilmu cambuk isterinya ini, maka begitu ujung-ujung cambuk menyambar, dia tidak mengelak, bahkan langsung menerjang ke depan. Hay Hay menyerang dari samping dengan kedua tangannya gencar memukul, akan tetapi pukulan-pukulan ini tidak mengenai tubuh lawan bahkan hawa pukulannya menangkis sedikitnya enam batang ujung cambuk yang seperti ditiup ke samping! Dan Hek-hiat-kwi sudah dapat menangkap yang tiga ujung lainnya, kemudian dengan sebelah tangan berhasil pula menangkap enam ujung yang menyeleweng oleh hawa pukulan Hay Hay tadi.
Nenek itu terkejut. Tak disangkanya bahwa bekas suaminya kini sedemikian lihainya sehingga cambuknya yang sembilan ekor itu telah dapat ditangkap oleh kedua tangan sehingga cambuk itu tidak berdaya lagi. Ia melihat betapa kepala bekas suaminya itu demikian dekat, tak terlindung karena kedua tangan suaminya mencengkeram sembilan ujung cambuk. Melihat ini, sejenak ia lupa diri, lupa bahwa ia harus selalu mengancam Kui Hong dengan cengkeraman tangan kiri pada tengkuk. Tangan kirinya melepaskan tengkuk Kui Hong dan menyambar ke arah kepala bekas suaminya!
Sejak tengkuknya dicengkeram nenek itu, tak pernah sedetik pun Kui Hong lengah. Ia selalu menanti datangnya kesempatan untuk membebaskan dirinya. Oleh karena itu, begitu merasa bahwa cengkeraman tangan nenek itu meninggalkan tengkuknya, ia mengeluarkan lengkingan panjang dan sambil mengerahkan tenaganya, tubuhnya diguncang dan ia pun meloncat ke samping. Tentu saja tubuh nenek yang hanya nongkrong di atas punggungnya tanpa daya, tanpa adanya kekuatan untuk melekat, dengan mudah terlepas. Pada saat yang sama, Hay Hay sudah membuat gerakan membalik dan melihat tangan kiri nenek itu menghantam ke arah kepala Hek-hiat-kwi, dia pun cepat menangkis dan tangan yang lain menotok. Maka robohlah tubuh nenek itu dengan mengeluarkan jeritan marah. Tubuh itu kini terpelanting dan tak mampu bergerak lagi, di atas tanah. Hanya sepasang matanya yang tajam itu saja yang masih melotot dengan penuh kebencian.
"Hay Hay, mari kita hajar suaminya yang tadi hampir mencelakaimu!" kata Kui Hong siap untuk menyerang Hek-hiat-kwi Lauw Kin.
"Tahan dulu, Kui Hong!" kata Hay Hay. "Dia tidak pernah mau mencelakaiku. Tadi kami hanya bermain sandiwara untuk mengelabuhi nenek ini. Aku pura-pura terdesak agar Kiu-bwe Tok-li maju, dan siasat kami berhasil baik."
"Ohhh...?" Kui Hong terkejut dan merasa malu sendiri. "Kalau begitu, biar kubunuh saja nenek iblis ini!"
"Nona... jangan....!" Hek-hiat-kwi Lauw Kin berseru sambil meloncat ke depan, melindungi tubuh isterinya. "Kalau ia sudah melakukan kesalahan terhadap Nona, biarlah aku sebagai suaminya yang mintakan ampun." Berkata demikian, kakek itu tanpa segan-segan lalu menjura berkali-kali kepada Kui Hong sebagai penghormatan sehingga gadis itu menjadi kikuk dan menyingkir.
"Kui Hong tidak sepatutnya kita membunuhnya. Biarpun ia telah berbuat jahat terhadap kita, menyanderamu dan memaksa kita membantunya, akan tetapi bagaimanapun juga, ia telah menyelamatkan kita dari pohon itu." Hay Hay lalu menceritakan apa yang mereka alami sampai dapat bertemu dengan nenek Kiu-bwe Tok-li di guha tebing yang amat curam itu.
Mendengar kisah yang diceritakan Hay Hay, kakek itu merasa kagum bukan main. "Ji-wi (kalian berdua) masih muda, akan tetapi telah memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Ingin aku bicara lebih banyak mengenai riwayat Ji-wi dan bicara tentang para pendekar, akan tetapi lebih dulu aku harus mencoba untuk mengobati kedua kaki isteriku ini dan juga berusaha mengobati batinnya yang rusak oleh dendam dan derita. Akan tetapi sedikitnya ingin aku mengetahui siapa guru Ji-wi. Nona ini puteri Ketua Cin-ling-pai, kiranya mudah diduga bahwa ilmu silatnya tentulah dari Cin-ling-pai yang sudah terkenal. Akan tetapi kalau boleh aku bertanya, siapakah guru Taihiap (Pendekar Besar) yang perkasa?"
Sebetulnya jarang sekali Hay Hay menyebut nama guru-gurunya, maka menghadapi pertanyaan ini, dia menjadi ragu-ragu. Melihat keraguan pemuda itu, Hek-hiat-kwi cepat berkata, "Biarlah kita bicara kelak saja, akan tetapi aku mohon sukalah Ji-wi menjadi tamuku dan makan bersamaku, agar aku mendapat kesempatan mengenal Ji-wi lebih baik dan untuk menunjukkan hormat dan terima kasihku."
"Terima kasih? Untuk apa Locianpwe harus berterima kasih kepada kami?" tanya Kui Hong yang telah mendapatkan kembali kelincahannya. Semenjak ia dan Hay Hay terjatuh ke dalam jurang, gadis ini mengalami peristiwa yang menegangkan, selalu terancam maut dan baru sekarang ia merasa memperoleh kernbali kebebasannya.
"Benar, Locianpwe tidak berhutang budi apa pun kepada kami, sebaliknya Lociapwe telah membantu sehingga Kui Hong dapat terlepas dari cengkeraman Kiu-bwe Tok-li. Kami yang sepatutnya berterima kasih." sambung Hay Hay.
Akan tetapi kakek itu menggeleng kepala dengan pasti. "Kalian orang-orang muda yang gagah perkasa telah menolong isteriku keluar dari tempat terasing dan telah berhasil mempertemukan kami suami isteri, dan tanpa bantuan Ji-wi kiranya tidak mudah bagiku untuk menundukkannya. Mari, sobat-sobat muda yang baik, silakan masuk ke dalam guha dan aku mempunyai semua bahan masakan untuk dapat kita masak dan makan bersama." Kakek itu lalu memondong tubuh ister inya yang masih lemas oleh totokan Hay Hay, dan setelah saling pandang, dua orang muda itu mengikutinya dari belakang. Tanpa mengeluarkan kata, dalam batin Hay Hay dan Kui Hong terdapat keinginan yang sama, tertarik oleh penawaran kakek itu, ialah ingin mengisi perut mereka yang kini terasa lapar bukan main!
Guha itu lebar dan dalam, juga bersih. Seperti ruangan dalam rumah saja, ada kamarnya. "Sobat-sobat muda, di sudut sana terdapat sayur-sayur, daging kering, beras, buah-buahan boleh kalian pilih untuk dimasak. Aku harus lebih dulu memberi pengobatan pertama kepada isteriku. Nah, silakan dan harap jangan sungkan. Nanti setelah aku mengobati isteriku, kita makan sambil bicara dengan leluasa." Hek-hiat-kwi membawa isterinya ke dalam kamarnya di bagian paling dalam dari guha itu.
Setelah kakek itu membawa isterinya ke dalam kamar guha, Kui Hong dan Hay Hay saling pandang dan Hay Hay tersenyum nakal sambil menuding ke arah sudut dan menepuk perutnya. Melihat sikap ini, Kui Hong menjadi geli dan tersenyum pula, bahkan menutup mulut agar suara tawanya jangan sampai terlepas. Keduanya lalu berindap ke sudut tadi dan dapat dibayangkan betapa girang hati mereka menemukan barang-barang yang amat dibutuhkan mereka saat itu. Daging dendeng kering asin dan manis, terbuat dari daging yang segar. Sayur-sayuran yang juga masih segar, bermacam-macam, ada pula lobak dan sawi kegemaran Kui Hong, juga terdapat buah-buahan yang manis segar itu. Di situ terdapat pula gandum, beras dan bumbu-bumbu masak yang serba lengkap!
"Heh-heh, makan besar kita sekali ini!" Hay Hay berbisik.
"Kita masak di luar guha saja, kita harus masak yang cukup banyak untuk kakek itu dan isterinya." bisik pula Kui Hong. Hay Hay merasa setuju dan mereka lalu mengangkut bahan-bahan masakan ke luar guha di mana terdapat batu-batu yang telah dlsusun sedemikian rupa untuk menjadi tempat perapian. Agaknya Hek-hiat-kwi juga kadang-kadang masak di luar guha. Hay Hay lalu mencari kayu bakar, Kui Hong memotong daging dan sayur, menanak nasi dan mulutnya tiada hentinya mengunyah buah segar. Banyak buah appel di situ, juga jeruk yang manis.
Tak lama kemudian, setelah kedua orang muda itu sibuk memasak beberapa macam masakan dan siap untuk mempersilakan tuan dan nyonya rumah untuk makan, tiba-tiba mereka mendengar jerit melengking dari dalam guha. Dua orang muda itu terkejut bukan main dan bagaikan terbang saja keduanya lari ke dalam guha dan langsung menghampiri kamar guha yang daun pintunya tertutup. Tanpa ragu lagi Hay Hay mendorong daun pintu itu sehingga terbuka dan penglihatan di dalam kamar membuat mereka berdua terbelalak. Kakek Hek-hiat-kwi duduk bersila, seperti tidak percaya menunduk dan memandang ke arah dadanya yang terluka parah. Bajunya robek dan darah merah membasahi seluruh dada, bahkan bercucuran keluar. Adapun nenek itu, dalam keadaan telanjang bulat dan rebah miring, mukanya menyeringai seperti iblis dan kini nenek itu tertawa, seperti suara tawa yang muncul dari balik kubur.
"Hi-hi-hi-heh-heh! Jahanam Lauw Kin, mampuslah engkau sekarang, mampuslah di tanganku... ha-ha, kita berjumpa lagi dengan dia di neraka.... aughhhhh...!" Dan tubuh itu terkulai tewas!
"Kim Siu.....!" Kakek itu mengeluh, seperti orang meratap.
"Locianpwe, apa yang telah terjadi?" Hay Hay berseru dan menghampiri, diikuti Kui Hong. Mereka bersiap siaga.
"Kim Siu..... ah, takkusangka ...ketika aku sedang mengobatinya dengan pengerahan sin-kang mencoba mengusir hawa dari pukulan beracun yang melumpuhkan kakinya, ia siuman dan tiba-tiba saja ia menyerangku dengan pukulan tangannya. Tangannya seperti sebatang golok menusuk dadaku... akan tetapi... sin-kang dari kedua tanganku tanpa terkendali lagi juga menyusup liar ke tubuhnya dan ia...ia terluka parah dan tewas dan...dan..."
"Tenanglah, Locianpwe, biar kuperiksa lukamu." kata Hay Hay yang cepat menghampiri kakek itu dan merobek bajunya. Kui Hong memandang ngeri. Dada itu seperti dibacok golok, robek dan parah.
"Lihat..." kakek itu terengah, "Lihat, darahku merah! Tidak hitam lagi... tanda bahwa aku... aku telah bersih..." kakek itu tertawa bergelak, kemudian terkulai dan ketika Hay Hay memeriksanya, dia pun sudah tewas seperti isterinya! Hay Hay menarik napas panjang. Memang luka di dada oleh pukulan Kiu-bwe Tok-li itu hebat, lebih parah daripada kalau nenek itu mempergunakan sebatang golok besar.
"Gila... sungguh gila..."
Hay Hay memandang gadis itu, akan tetapi dia diam saja walaupun dia merasa heran mengapa Kui Hong berkata demikian. "Mari kita keluar dari sini." ajaknya. Kui Hong dan Hay Hay keluar dari dalam kamar maut itu, dan Hay Hay mengangkat daun pintu yang tadi roboh oleh dorongannya, memasangnya kembali. "Aku akan mengganjalnya dengah batu besar agar tidak mudah dibuka orang."
"Hemm, mengapa kaulakukan itu?" tanya Kui Hong.
"Kita biarkan saja mereka di dalam kamar guha, karena tempat itu merupakan kuburan yang cukup baik. Mereka takkan diganggu binatang buas."
Kui Hong membantu Hay Hay mendorong masuk guha itu sebuah batu besar dan batu itu mereka dorong sampai menutupi pintu kamar dengan rapat. Tak seekor pun binatang buas akan dapat memasuki kamar itu dan mengganggu dua sosok mayat di dalamnya. Kemudian mereka keluar.
"Mari kita makan dulu sebelum pergi." kata pula Hay Hay. Peristiwa yang terjadi dalam kamar guha itu amat mengerikan dan mengesankan sehingga dua orang muda yang biasanya berwatak gembira itu kini seperti kehilangan kegembiraan mereka. Bahkan Kui Hong kehilangan nafsu makannya. Tadinya ia tidak mau makan karena biarpun perutnya amat lapar namun lenyap sama sekali nafsu makannya, akan tetapi Hay Hay membujuknya dan akhirnya mau juga dara itu makan sedikit nasi dengan sayur. Ia lebih banyak makan buah untuk mengisi perut yang kosong.
Setelah makan Hay Hay dan Kui Hong mengembalikan semua alat masak ke dalam guha dan membersihkan tempat itu, kemudian sebelum pergi, Hay Hay mengajak gadis itu berdiri di depan pintu kamar guha yang sudah tertutup batu besar.
"Locianpwe Lauw Kin, kami berterima kasih atas semua kebaikanmu. Kami hendak pergi dari sini dan semoga Locianpwe memperoleh kedamaian dan ketenteraman bersama isteri Locianpwe."
Kui Hong diam saja, hanya mendengarkan ucapan Hay Hay yang seperti berdoa itu. Mereka lalu keluar dari dalam guha, menuruni bukit itu tanpa banyak bicara, namun terasa kelegaan menyusup ke dalam hati setelah mereka meninggalkan tempat yang mengerikan itu.
Setelah mereka tiba di kaki bukit, tiba-tiba Kui Hong menghentikan langkahnya dan menjatuhkan diri di atas rumput dan.... menangis! Tentu saja Hay Hay terkejut bukan main. Sejenak dia hanya, dapat memandang dengan mata dilebarkan. Dia kaget dan heran. Semenjak bertemu dengan Kui Hong, berebutan bangkai kijang, sampai sama-sama menghadapi cengkeraman maut, dia mengenal Kui Hong sebagai seorang gadis yang tinggi ilmunya, gagah berani, tabah, dan galak di samping riang jenaka dan terbuka. Maka, melihat betapa gadis itu kini tiba-tlba saja menangis sambil menutupi mukanya, tentu saja dia merasa heran sekali.
"Kui Hong mengapa engkau menangis?" Akhirnya Hay Hay bertanya lembut setelah dia pun duduk di depan gadis itu. Tempat itu sunyi dan angin senja semilir dari barat. Dia baru berani bertanya setelah tangis Kui Hong mereda. Dia tidak tahu bahwa tangis gadis itu merupakan pelampiasan dari semua ketegangan yang menumpuk di dalam batin Kui Hong semenjak mereka terjatuh ke dalam jurang. Gadis ini seorang pendekar wanita yang tabah, namun selama hidupnya belum pernah mengalami hal-hal hebat secara beruntun seperti yang dialaminya bersama Hay Hay itu. Kengerian, ketakutan yang ditekan, kemarahan dan kebencian yang ditahan ketika ia merasa amat terhina oleh nenek iblis dan ketidak-berdayaan ketika disandera, semua itu kini terurai dan mengalir melalui air matanya.
Mendengar pertanyaan Hay Hay, Kui Hong mengusap sisa air matanya. Kemudian ia menurunkan kedua tangannya, mengangkat muka memandang kepada Hay Hay dan pemuda itu hampir terlonjak kaget. Sepasang mata itu, walau masih kemerahan dan agak membengkak oleh tangis, memandang dengan sinar yang bening mengandung kegembiraan, bibirnya tersenyum dan wajah itu berseri! Saking herannya, pemuda ini hanya memandang dengan mulut ternganga dan mata terbelalak, tak pernah berkedip menatap wajah gadis yang tersenyum manis itu.
"Ihh, Hay Hay! Kenapa engkau menjadi bengong seperti arca seorang yang tolol!" Dan Kui Hini tertawa, ketawanya lepas bebas dan tidak malu-malu seperti para gadis pada umumnya.
"Lho! Bagaimana pula ini?" kata Hay Hay yang sudah dapat menguasai diri yang tadi dicekam keheranan. "Sekarang engkau tertawa gembira dengan mata yang masih merah oleh bekas tangis. Engkau tadi menangis tanpa sebab lalu kini tertawa geli. Siapa orangnya yang tidak menjadi bengong keheranan melihat ulahmu, Kui Hong?"
Gadis itu tersenyum geli, lalu menggeleng kepala. "Entah, Hay Hay, aku sendiri pun tidak mengerti. Ketika tadi aku teringat akan semua peristiwa yang terjadi semenjak kita terjatuh ke dalam jurang itu, mendadak saja aku ingin menangis sepuas hatiku. Kemudian setelah tangisku berhenti, aku merasa demikian lega dan ringan hatiku sehingga aku ingin tertawa, bernyanyi dan bersorak!"
Kini mengertilah Hay Hay dan dia pun mengangguk-angguk. " Ah, engkau seorang yang beruntung, Kui Hong."
"Beruntung? Apa maksudmu?"
"Orang yang dapat melepaskan semua perasaan dalam batinnya melalui tawa dan tangis secara langsung seperti engkau, adalah orang yang beruntung. Tidak seperti mereka yang menyimpan semua perasaan dalam batin, tidak mampu melampiaskannya keluar sehingga tumpukan perasaan itu akan mendatangkan bermacam penyakit dan melemahkan badan. Semua pengalaman yang bertumpuk di dalam hatimu sejak kita terjatuh ke dalam jurang, tadi dapat mengalir keluar melalui tangismu karena engkau sudah terbebas dari semua itu, kemudian setelah semua himpitan perasaan itu mengalir keluar, tentu saja perasaanmu menjadi lega dan gembira sehingga engkau memperoleh kembali watakmu yang aseli, yaitu gembira dan lincah jenaka, juga galak..."
Sepasang mata itu melotot dan sepasang alis yang kecil hitam dengan bentuk indah melengkung itu berkerut. "Aku? Kau berani mengatakan aku galak?"
Hay Hay tertawa. "Nah... nah... baru dikatakan galak saja sudah marah. Apalagi sikap itu kalau bukan galak? Sudahlah, aku hanya main-main, kaumaafkan aku, Nona manis."
Akan tetapi Kui Hong sudah melupakan lagi hal itu dan kemarahannya sudah lenyap. Ia nampak termenung karena ia teringat akan peristiwa mengerikan yang terjadi di dalam kamar guha itu dan seperti orang mimpi saja mulutnya berka lirih, "Gila, sungguh gila....!"
Hay Hay teringat dan dia menatap wajah gadis itu. "Ah, sudah dua kali engkau mengatakan itu, Kui Hong!"
"Dua kali?" Gadis ini pun bertanya heran.
"Iya, ketika kita hendak meninggalkan guha, di depan kamar guha itu engkau pun mengatakan demikian, dan sekarang engkau mengulanginya. Apa dan siapa yang kaukatakan gila itu?"
"Mereka, kakek dan nenek itu. Mereka menjadi gila karena cinta." Kata Kui Hong, termenung dan memandang ke angkasa yang merah oleh sinar matahari senja.
Hay Hay tersenyum memandang wajah yang manis itu. Manis sekali puteri Ketua Cin-ling-pai ini, pikirnya, mengamati dan memperhatikan bagian muka itu satu demi satu. Mulut itu manis sekali biarpun ada tarikan keras pada kedua ujungnya. Dan hidung itu. Lucu sekali. Kecil mancung dan ujungnya seperti dapat bergerak-gerak, kelucuan yang menghapus kekerasan pada ujung kedua bibirnya.
"Gila karena cinta? Wah, agaknya engkau ahli dalam soal cinta sehingga tahu bahwa mereka menjadi gila karena cinta." pancing Hay Hay. Mata itu, biar agak kemerahan oleh bekas tangis dan agak membengkak, harus diakui amat indah, bening kalau mengerling tajam seperti gunting. Juga dengan bulu mata yang melengkung dan lentik panjang, dengan hiasan sepasang alis yang kecil hitam dengan bentuk indah pula. Seraut wajah yang amat manis, dengan dagu meruncing dan muka yang bulat telur. Daun telinganya pun menarik, sedang dan di depannya terhias rambut halus melingkar, juga di dahinya terhias sinom atau anak rambut yang halus dan kacau namun menarik sekali.
"Biarpun bukan ahli dalam soal cinta, mudah diketahui bahwa mereka itu menjadi gila karena cinta. Kakek itu menjadi gila karena cintanya kepada nenek iblis itu. Sudah tahu bahwa nenek itu demikian jahatnya, namun karena cinta, dia masih bersusah payah mau mengobati nenek itu, sehingga akibatnya dia terbunuh oleh nenek yang jahat itu. Bukankah itu suatu kegilaan namanya? Kegilaan yang membuat dia kehilangan kewaspadaan, padahal kakek itu berilmu tinggi, tidak semestinya dia demikian mudah diperdaya oleh Kiu-bwe Tok-li."
Hay Hay mendengarkan tanpa menanggalkan senyum dari bibirnya, matanya mengamati wajah itu dengan penuh perhatian dan kekaguman. "Menurut pendapatku, cinta kasih kakek itu terhadap isterinya amat murni dan suci. Biarpun isterinya telah melakukan penyelewengan dengan laki-lakl lain, bahkan isterinya itu bersama kekasihnya berusaha membunuhnya kemudian meninggalkannya sampai puluhan tahun, kemudian isterinya muncul lagi dan hendak membunuhnya, tetap saja dia tidak membenci isterinya. Bahkan dia berusaha mengobati isterinya dan mencegah ketika engkau hendak membunuh nenek itu. Nah, itulah cinta kasih yang suci murni dan kiranya di dunia ini sukar dicari seorang pria yang dapat mencinta seperti itu terhadap seorang wanita."
"Itu sebabnya kukatakan gila. Dia menjadi gila oleh cintanya! Cinta semacam itu tidak umum, tidak lumrah, tidak wajar. Cinta seperti itu hanya patut dimiliki seorang ibu atau ayah terhadap anak mereka, bukan seorang suami terhadap isterinya! Dan nenek itu pun sudah gila karena cintanya kepada kekasihnya. Kekasihnya itu telah dibelanya, bahkan diajak membunuh suaminya, akan tetapi kekasihnya kalah oleh Hek-hiat-kwi dan terluka. Nenek itu membelanya dan membawanya pergi ke guha, merawatnya. Akan tetapi kekasihnya itu memukul dan melumpuhkan kedua kakinya karena tidak ingin di tinggalkan. Dan nenek i tu masih tetap saja mencintanya, bahkan ingin membalaskan kematiannya kepada Hek-hiat-kwi. Apalagi namanya itu kalau tidak gila?"
"Wah, kalau menurut aku, cinta nenek itu terhadap kekasihnya adalah cinta berahi, cinta nafsu belaka! Mungkin pria yang menjadi kekasihnya itu amat tampan, amat menyenangkan hatinya sehingga ketika ia kehilangan kekasihya itu, ia merasa kecewa dan berduka, dan dendam kepada suaminya yang membuat kekasihnya itu tewas."
"Itulah, bukankah gila keduanya itu? Cinta antara suami isteri, antara pria dan wanita, tidak semestinya begitu!" kata pula Kui Hong penuh semangat dan dengan mata berapi-api karena ia teringat akan hubungan antara ayah dan ibunya sendiri.
Senyum di mulut Hay Hay melebar. Bukan main, pikirnya. Kalau yang bicara tentang cinta itu seorang wanita seperti Ji Sun Bi misalnya, hamba nafsu berahi yang sudah penuh dengan pengalaman, atau setidaknya Kok Hui Lian, yang sudah dua kali menikah dan gagal, tidak akan aneh terdengarnya. Akan tetapi keluar dari mulut gadis ini, yang agaknya baru saja melewati masa remaja, paling banyak delapan belas tahun usianya, sungguh terdengar lucu dan ganjil.
"Kui Hong, engkau hebat! Kalau menurut pendapatmu, semestinya bagaimanakah cinta antara pria dan wanita itu?" Hay Hay menyembunyikan senyumnya karena dia khawatir kalau gadis itu menjadi marah. Pandang mata Kui Hong menyambar dan sejenak gadis itu mengamatinya penuh selidik. Kemudian, dengan lagak seorang guru besar memberi kuliah kepada para mahasiswanya, ia berkata, "Cinta kasih antara pria dan wanita adalah cinta kasih yang khas, tentu saja mengandung berahi karena mereka menjadi dekat oleh nafsu yang amat diperlukan untuk perkembangbiakan manusia. Bayangkan saja kalau cinta antara suami isteri itu seperti cinta antara sahabat atau saudara atau orang tua kepada anaknya, tanpa berahi! Tentu takkan terbentuk keluarga dan keturunan! Setelah mengandung nafsu berahi, juga mengandung rasa persahabatan, saling menerima dan memberi, saling terikat dan saling memiliki maka terdapat pula cemburu, terdapat pula pengorbanan. Akan tetapi semua itu dalam batas tertentu sehingga ada keseimbangan antara semua perasaan itu. Jadi bukan sekedar berahi semata, atau persahabatan semata, atau pengorbanan semata, melainkan persatuan yang seimbang dari kesemuanya itu. Nah, barulah kehidupan suami isteri dapat berjalan dengan lancar dan kesetiaan pun dapat mereka pertahankan."
Hay Hay terbelalak. Bagaimana mungkin gadis yang kelihatan masih "hijau" ini dapat bicara demikian panjang lebar dan pasti tentang cinta antara suami isteri? Dia bertepuk tangan memuji.
"Hebat, engkau hebat, Nona! Engkau ternyata seorang guru besar soal cinta mencinta. Tentu sudah banyak pengalaman dalam bidang itu!"
Tiba-tiba Kui Hong meloncat berdiri dan bertolak pinggang. "Keparat, hayo bangkit dan kita selesaikan penghinaan ini dengan perkelahian!"
Tentu saja Hay Hay terkejut dan tidak mau bangkit berdiri. "Aduh tobat! Ada apa lagi, Nona manis? Apa kesalahan hamba sekali ini?"
"Masih bertanya lagi dan pura-pura tidak tahu ya? Jelas engkau menghinaku, mengatakan bahwa aklu sudah banyak pengalaman dalam bidang cinta! Apa kaukira aku ini petualang cinta?"
"Aduh, ampunkan hamba ini, yang mulia!" Hay Hay masih berkelakar, akan tetapi benar-benar dia bersoja (menghormat dengan kedua tangan dikepal depan dada) sambil membungkuk berkali-kali. "Aku tidak bermaksud menghina, hanya saja, bagaimana engkau tidak banyak pengalaman kalau pandai menguraikan soal cinta demikian jelas dan terperinci? Dari mana engkau memperoleh pengetahuan yang demikian luas tentang cinta?"
"Huh, orang bisa saja memperoleh pengetahuain dengan belajar!"
"Akan tetapi, bagaimana mungkin mengetahui tentang cinta hanya dengan belajar, tanpa mengalaminya sendiri?"
"Hay Hay, engkau ini memang tolol ataukah pura-pura tolol untuk mempermainkan aku?" bentak Kui Hong. "Tentu saja orang dapat memperoleh pengetahuan apa saja dengan belajar, tanpa harus mengalaminya sendiri. Kalau engkau mempelajari kehidupan seekor monyet, anjing atau babi, apakah engkau juga harus lebih dulu mengalami menjadi monyet, anjing atau babi?"
Hay Hay tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Kui Hong. Kalau engkau ingin memaki aku, makilah secara langsung saja, mengapa pula harus pakai berputar-putar segala?"
"Memang aku ingin memakimu. Engkau memualkan perutku!"
"Sudah dua kali engkau mengatakan kalimat itu. Mengapa, Kui Hong. Mengapa perutmu menjadi mual karena aku?"
"Habis engkau ini suka main-main, berpura-pura tolol. Pura-pura tidak tahu tentang cinta, padahal engkau ini seorang laki-laki perayu besar, dan aku yakin engkau tentu laki-laki hidung belang, mata keranjang dan kurang ajar! Dan Ibuku selalu memperingatkan aku agar berhati-hati terhadap laki-laki perayu!"
"Wah-wah, banyaknya tuduhan itu! Kaubilang aku hidung belang." dia mengelus hidungnya yang mancung dan sama sekali tidak belang, "akan tetapi aku yakin hidungku tidak pernah belang, dan mata keranjang? Mataku pun tidak sekeranjang, juga tidak selalu ditujukan ke ranjang saja. Tentang kurang ajar, mungkin aku kurang ajar karena sejak kecil tidak mengenal Ayah Ibu. Dan perayu? Wah, kapan aku pernah merayumu, Kui Hong?"
Kui Hong membanting kaki kanannya, lalu duduk lagi di atas rumput dan mengomel karena merasa kewalahan berdebat. "Huh, dasar pokrol bambu! Engkau berkali-kali memujiku, yang cantiklah, yang manislah, yang apalah... apakah itu bukan merayu namanya?"
"Tidak, aku tidak pernah merayu! Aku hanya jujur dan apa salahnya orang bicara jujur dan apa adanya? Apakah aku harus menipu dan berbohong mengatakan bahwa wajahmu yang amat manis itu menjadi amat buruk? Coba lihat saja sendiri. Matamu itu! Begitu indah bentuknya, jeli dan tajam, dengan bulu mata lentik dan alis melengkung indah, kerling matamu demikian tajam menyayat!" Wajah Kui Hong perlahan-lahan berubah kemerahan karena canggung dan malu, akan tetapi ia diam saja, hanya menundukkan mukanya, tidak berani menentang pandang mata pemuda itu.
"Dan hidungmu itu! Sungguh mati, belum pernah shidupku aku melihat hidung seindah itu. Kecil mancung dan ujungnya dapat bergerak-gerak lucu dan menarik sekali. Daun telingamu seperti gading terukir ahli yang amat pandai, kulit mukamu begitu halus sampai ke leher, putih mulus tanpa cacat " Kui Hong memejamkan matanya dan merasa betapa hatinya seperti dielus-elus, terasa nikmat dan bahagia sekali.
"Orang tuamu sungguh pandai memilih nama dengan memasukkan Hong karena matamu seperti mata burung Hong. Dan mulutmu! Ah, tidak mudah melukiskan keindahan mulutmu, Kui Hong. Heran aku, bagaimana ada sepasang bibir seperti bibirmu, dalam keadaan bagaimana pun tetap indah menarik. Kalau diam begitu anggun dan manis, kalau tersenyum seperti bunga mawar mekar merekah, kalau tertawa seperti sinar matahari siang yang panas, kalau cemberut juga bertambah manis, seperti bulan redup. Dan rambutmu kacau tak tersisir akan tetapi di dalam kekacauan itu terdapat sesuatu yang amat indah dan sempurna, seolah-olah kalau dibereskan malah berkurang keindahannya. Anak rambut di dahimu itu, di pelipismu, di lehermu, aduhai...!"
Kui Hong menggigit bibirnya. Belum pernah selama hidupnya ia merasakan kenikmatan dan kebahagiaan batin seperti itu. Pujian-pujian seperti itu berbeda sama sekali dengan pujian kurang ajar dari beberapa orang pria yang pernah dihajarnya hanya karena mereka memujinya dengan maksud kurang ajar. Akan tetapi pujian Hay Hay demikian jujur, demikian indah didengar, demikian mengelus hatinya, membuat ia seperti merasa mengantuk dan nyaman sekali. Ia menggigit bibir dan dengan mengeraskan hati ia berseru. "Cukup....!!" Bentakannya itu membuyarkan ayunan yang nikmat tadi dan ia menatap wajah Hay Hay dengan sepasang mata bersinar, penuh selidik. Akan tetapi ia tidak menemukan kekurangajaran di dalam pandang mata pemuda itu.
"Nah, Kui Hong. Demikianlah kira-kira keadaan wajahmu, yang kugambarkan secara canggung sekali karena bagaimana mungkin menggambarkan keindahan seperti itu. Aku bukan seorang seniman yang pandai. Kalau saja aku pandai melukis! Apakah itu namanya rayuan? Aku hanya menggambarkan dengan jujur, bukan sembarang memuji, bukan merayu dengan pamrih. Kalau engkau cantik, mana mungkin aku mengatakan buruk? Laki-laki yang menyembunyikan kecantikan wanita, tidak jujur dan menyimpan saja dalam hati agar dianggap sopan, maka dia adalah seorang munafik!"
Sejenak keduanya diam dan Kui Hong merasa senang sekali walaupun ia merasa malu dan canggung, Akhirnya ia mengangkat muka dan kedua orang itu beradu pandang. "Hay Hay, benar-benarkah engkau menganggap aku cantik?"
"Tentu saja. Kalau engkau buruk lalu kukatakan cantik, itu baru merayu namanya. Engkau seorang dara yang gagah perkasa, lihai, cantik dan lincah gembira, Kui Hong."
Kui Hong tidak cemberut kali ini, bahkan tersenyum manis, yakin akan kejujuran pemuda yang dianggapnya istimewa ini. Ia sudah banyak bertemu pria, akan tetapi belum pernah ada yang seperti Hay Hay, demikian pandai memuji dan menyenangkan hati dengan kata-kata yang indah seperti merayu, namun tidak memiliki pandang mata kurang ajar atau tidak sopan seperti pandang mata pria lain. Hatinya senang sekali.
"Dan engkau pun seorang pemuda yang tampan, sederhana namun memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, Hay Hay."
Hay Hay tertawa girang. Dia bangkit berdiri dan menjura dengan tubuh membungkuk sampai dalam. "Terima kasih, Nona manis, terima kasih atas pujianmu. Ternyata engkau mudah sekali belajar menjadi manusia yang jujur!" Dia lalu memandang ke sekeliling. "Akan tetapi senja telah larut dan malam hampir tiba. Tidakkah sebaiknya kita melanjutkan perjalanan mencari dusun agar kita mendapatkan rumah untuk melewatkan malam?"
Kui Hong menggeleng kepalanya. "Tidak, malam ini bulan muncul dan tempat ini pun cukup menyenangkan. Aku masih lelah dan biar kita melewatkan malam di sini saja. Akan tetapi, kalau engkau ingin mencari rumah penginapan di dusun, silakan pergi dan biarlah aku tinggal di sini sediri!" Kalimat terakhir mengandung kekerasan.
"Ha-ha-ha, engkau sungguh seperti sebutir batu mulia, Kui Hong!"
"Hemm? Apa artinya engkau menyamakan aku dengan batu?"
"Batu bukan sembarang batu, Nona, melainkan batu mulia seperti intan dan kemala, indah, bernilai tinggi, akan tetapi keras seperti baja. Baiklah, kalau engkau menghendaki bermalam di sini, aku pun suka sekali. Kita dapat bercakap-cakap agar perkenalan antara kita lebih akrab. Yang kuketahui darimu hanyalah bahwa engkau bernama Cia Kui Hong, puteri Ketua Cin-ling-pai. Tentu saja aku ingin mengetahui lebih banyak."
"Engkau harus bercerita lebih dulu." kata Kui Hong sambil menjulurkan kedua kakinya dan duduk bersandar batang pohon yang tumbuh di situ. Tempat itu memang enak sekali, rumputnya tebal dan bersih, ada pohon yang melindungi mereka dan agaknya tak jauh dari situ terdapat anak sungai karena terdengar suara gemericik air.
"Baiklah, akan tetapi karena memang tidak ada apa-apanya yang menarik tentang diriku, kau boleh bertanya apa saja dan aku akan menjawab."
"Hay Hay, tadi ketika engkau bertanding melawan Hek-hiat-kwi, engkau terdesak dan kemudian ternyata engkau bersiasat dan mengalah untuk menjebak nenek iblis. Andaikata engkau tidak mengalah, apakah engkau akan dapat mengalahkan Hek-hiat-kwi?"
"Locianpwe itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, ilmu silatnya aneh dan matang, tenaga saktinya juga amat kuat. Akan tetapi, aku yakin akan mampu mengatasinya kalau kami bertanding dengan sungguh-sungguh." jawab Hay Hay sejujurnya.
Gadis itu mengangguk-angguk tanpa melepaskan tatapan matanya kepada wajah pemuda itu dengan sinar mata kagum. "Aku pun menduga demikian Hay Hay, engkau begini lihai ilmu silatmu, jauh lebih tinggi daripada kepandaianku, bahkan engkau pandai ilmu sihir, dan engkau mengaku masih sute dari Toako (Kakak Besar) Cia Sun..."
"Eh? Engkau menyebut Toako kepada Suheng Cia Sun? Apa hubunganmu...."
"Nanti dulu. Ingat, kini giliran cerita tentang dirimu! Nah, siapakah gurumu yang membuat engkau demikian lihai?"
"Wah, Kui Hong, terus terang saja, selama ini aku tidak pernah menceritakan kepada siapa pun tentang guru-guruku. Akan tetapi karena aku sudah berjanji untuk menjawab, biarlah aku memberi pengecualian kepadamu. Engkau seorang gadis yang hebat, pantas mendapatkan keistimewaan itu. Nah, guru-guruku banyak. Yang mengajar ilmu silat adalah dua orang dari Delapan Dewa, yaitu. Ciu-sian Sin-kai, majikan Pulau Hiu di Pohai, dan See-thian Lama atau Go-bi Sian-jin, yaitu guru suheng Cia Sun. Yang mematangkan ilmu-ilmuku adalah suhu Song Lojin (Kakek Song) dan Guruku dalam ilmu sihir adalah mendiang Pek Mau san-jin."
Kui Hong memandang penun kagum. "Pantas engkau hebat. Kiranya yang menjadi guru-gurumu dalam ilmu silat adalah dua di antara Delapan Dewa. Aku pernah mendengar dari Kong-kong (Kakek) tentang kehebatan Delapan Dewa. Sekarang aku ingin tahu tentang keluargamu. Engkau tentu sudah beristeri..."
"Ah, jangan mengejek, Kui Hong! Siapa sudi kepada orang macam aku? Aku belum menikah, bertunangan pun belum, pacar pun tidak punya!"
"Hemm, benarkah? Engkau sudah begitu berpengalaman dan pandai menyenangkan hati wanita, dan usiamu juga tidak muda lagi."
"Aku baru berusia dua puluh satu, masih terlalu muda untuk memikirkan soal jodoh." "Begitu pendapatmu? Dan siapa nama Ayah Ibumu? Di mana mereka tinggal?"
Sekali ini, lenyaplah seri wajah Hay Hay. Untung bahwa malam mulai tiba, sinar senja mulai terganti keremangan menjelang malam sehingga gadis itu tidak melihat perubahan mukanya yang diliputi mendung.
"Ayahku she Tang, aku tidak tahu siapa namanya. Aku tidak tahu siapa nama Ibuku. Aku pun tidak pernah melihat Ayah Ibuku. Ibu meninggal dunia ketika aku masih kecil, dan Ayahku, aku tidak tahu dia berada di mana."
"Ohhhh...!" Seruan Kui Hong mengandung kekagetan dan juga iba. "Kasihan engkau, Hay Hay..."
Keriangan watak Hay Hay pulih kembali. "Tidak usah kasihan, Kui Hong, aku sendiri pun tidak kasihan kepada diriku sendiri. Kenapa mesti kasihan kalau memang sudah semestinya begitu keadaan hidupku?"
"Tapi... tapi, bagaimana sampai engkau tidak tahu dan tidak mengenal Ayah Ibumu? Apa yang telah terjadi dengan mereka?"
Hay Hay merasa canggung sekali, akan tetapi karena sudah berjanji, dia terpaksa menceritakan sebagian dari riwayatnya tanpa harus menceritakan keadaan ayah kandungnya seperti yang didengarnya dari keluarga Pek. "Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Ketika aku masih kecil sekali, agaknya Ibu mengajak aku bepergian dengan perahu. Perahu itu terguling, Ibu dan aku hanyut. Ibu tewas dan aku tertolong orang. Kemudian aku bertemu dengan kedua orang guruku dan menjadi murid mereka. Hanya begitulah. Nah, tidak ada yang menarik tentang diriku, bukan? Sekarang giliranmu, Kui Hong."
"Nanti dulu." bantah Kui Hong. "Engkau memiliki ilmu sihir, bahkan aku sendiri pun pernah kau permainkan dengan sihirmu ketika kita memperebutkan kijang itu. Akan tetapi kenapa nenek itu tidak dapat kaupengaruhi dengan ilmu sihirmu?"
"Ah, hal itu hanya menunjukkan bahwa nenek itu pernah mempelajari sihir atau memiliki kekuatan batin yang amat kuat untuk melindungi dirinya. Sekarang aku ingin tahu tentang dirimu, Kui Hong. Biarpun aku sudah tahu bahwa Ayahmu adalah Ketua Cin-ling-pai yang terkenal, akan tetapi aku belum tahu siapa nama kedua orang tuamu."
"Ayah bernama Cia Hui Song, keturunan dari para Ketua Cin-ling-pai, adapun Ibuku bernama Ceng Sui Cin, puteri Pendekar Sadis..."
"Ahh! Pendekar sadis yang amat terkenal itu adalah Kong-kongmu?" kata Hay Hay penuh kagum. "Dan semua ilmu silatmu tentu kaudapat dari orang tuamu."
"Benar, akan tetapi selama tiga tahun terakhir ini aku tinggal di Pulau Teratai Merah dan menerima petunjuk dari Kakek dan Nenekku."
"Pantas! Ilmu silatmu demikian lihai, Kui Hong. Apalagi dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh), sungguh aku kagum dan takluk."
"Sudahlah, jangan terlalu banyak memuji. Buktinya aku tidaklah selihai engkau." kata Kui Hong yang tidak ingin bicara lebih banyak tentang orang tuanya karena tidak mungkin baginya untuk menceritakan tentang keretakan rumah tangga orang tuanya. "Sekarang engkau sedang hendak pergi ke manakah?"
Hay Hay lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Menteri Yang Ting Hoo yang bijaksana di rumah Jaksa Kwan, dan tentang permintaan tolong Menteri Yang Ting Hoo kepadanya agar suka melakukan penyelidikan terhadap persekutuan di Lembah Yangce.
"Menurut keterangan kedua orang pejabat tinggi yang bijaksana dan setia itu, gerakan para pemberontak itu dipimpin oleh para datuk sesat, kabarnya diketuai oleh Lam-hai Giam-lo, bahkan Pek-lian-kauw juga bergabung dengan persekutuan itu. Nah, sekarang aku sedang menuju ke sana ketika perutku terasa lapar dan aku berburu kijang itu dan bertemu denganmu." Hay Hay tersenyum ketika teringat akan peristiwa itu. "Dan engkau sendiri, hendak pergi ke manakah?"
"Aku? Aku hanya ingin merantau, meluaskan pengalaman, juga mencari seorang pengkhianat keji, seorang murid murtad yang sudah sepatutnya dihancurkan karena dia dapat menjadi seorang yang amat berbahaya." Kui Hong mengepal tinju dan nampak marah sekali.
Hay Hay terkejut dan mengerutkan alisya. Tak nyaman rasa hatinya melihat gadis itu dicengkeram dendam yang demikian penuh kebencian terhadap seseorang. "Hemm, siapakah orang itu? Seorang murid Cin-ling-pai?"
"Kalau hanya murid Cin-ling-pai, kiranya tidaklah demikian membahayakan, tidak perlu aku bersusah payah mencarinya sendiri. Akan tetapi dia jauh lebih lihai dari hanya seorang murid Cin-ling-pai, karena dia adalah murid gemblengan dari Kakek dan Nenek di Pulau Teratai Merah."
"Ahhh...! Maksudmu, dia itu murid dari kakekmu Pendekar Sadis?"
"Benar. Namanya Ciang Ki Liong. Seperti juga engkau, dia seorang korban kecelakaan di laut yang sejak kecil ditolong oleh Kakek dan Nenekku, diambil murid dan digembleng. Aku sendiri ketika tiga tahun yang lalu berkunjung ke pulau itu, sama sekali tidak mampu menandinginya. Tiga tahun yang lalu, dia minggat dari pulau membawa banyak pusaka Pulau Teratai Merah, dan karena itulah Kakek dan Nenek lalu mengajarkan ilmu-ilmu kepadaku agar aku dapat menandinginya."
"Tapi... tapi sebagai murid Pendekar Sadis, tentu dia mempunyai ahlak yang baik. Mengapa dia sampai pergi meninggalkan pulau itu dan membawa banyak pusaka milik Kakekmu?"
"Menurut Kakek dan Nenek, sejak kecil dia memang kelihatan berwatak baik sekali, akan tetapi ketika aku berkunjung ke pulau itu, malam itu dia... dia mempunyai niat kotor dan kurang ajar terhadap diriku. Aku menolak dan menyerangnya, kami berkelahi dan begitulah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia minggat membawa barang-barang pusaka, termasuk pedang Kakek yang bernama Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak)."
"Aih, kiranya begitu?" Hay Hay mengangguk-angguk. "Terbuktilah sekarang bahwa aku tidak membohong ketika aku memuji-muii kecantikanmu, Kui Hong. Pantas saja Ciang Ki Liong itu tergila-gila kepadamu karena engkau memang cantik menggairahkan, hanya dia tidak mampu melawan nafsu berahinya sendiri sehingga melakukan hal yang buruk. Kecantikan, seperti semua keindahan, menjadi berbahaya sekali kalau ingin dimiliki dan dinikmati sebagai kesenangan,."
"Hemm, engkau sendiri seorang laki-laki mata keranjang yang suka akan kecantikan wanita. Tentu engkau pun sering kali tertarik oleh kecantikan wanita, bukan?"
"Tidak kusangkal, Kui Hong. Aku suka sekali dan tertarik akan kecantikan wanita seperti aku suka dan tertarik akan kecantikan bunga-bunga yang beraneka warna dan bentuk. Semuanya indah mengagumkan. Akan tetapi, aku tidak membiarkan diriku dikuasai nafsu untuk memetik bunga-bunga itu, karena hal itu berarti merusak dan merusak adalah perbuatan jahat. Aku hanya menikmati kecantikan wanita melalui pandang mataku, tanpa dipengaruhi berahi yang akan mendorongku ke arah perbuatan yang melanggar susila."
Hening sejenak dan malam pun tiba. Tanpa bicara keduanya lalu mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin. Api bernyala dengan indahnya karena kayu yang dimakannya sudah kering betul dan malam itu tidak ada angin. Kehangatan dan penerangan diciptakan api yang bernyala itu. Mereka duduk berhadapan, terhalang api unggun. Hay Hay mengagumi wajah yang tertimpa sinar api itu, mewarnai wajah cantik itu dengan warna kemerahan. Ketika gadis itu mengangkat muka dan menatapnya, dia tidak melepaskan pandang matanya, sehingga sejenak sinar mata mereka bertemu dan bertaut.
"Hay Hay, pernahkah engkau jatuh cinta?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar