26 Pendekar Mata Keranjang

Kembali Mulana berhenti dan dua orang tamunya kini memandangnya penuh perhatian, mulai tertarik sekali. Memang Mulana pandai bercerita dan dia memiliki daya tarik yang mempesona.

"Akan tetapi, ah, sungguh kasihan sekali pria itu! Betapa pun besar cintanya, segala pengorbanan yang diberikan, bahkan dia telah mengusir semua selirnya, tak pernah lagi mau melirik wanita lain, menyerahkan seluruh kedudukannya, hartanya, kesehatannya, segala-galanya. Namun... isteri tercinta itu tetap saja dingin terhadapnya."

Bi Lian menundukkan mukanya dan kedua pipinya menjadi agak merah. Diam-diam ia marah. Tuan rumah ini sungguh tidak mengenal batas, mengapa menceritakan hal seperti itu kepadanya? Kalau dilanjutkan cerita yang tidak sepantasnya, tentu ia akan menegurnya!

Agaknya Mulana maklum akan isi hatinya. "Maafkan aku, Nona Cu. Maaf, bukan masksudku untuk menceritakan hal yang tidak pantas! Akan tetapi, semua ini untuk menyatakan betapa semua cinta dan pengorbanan pria itu sia-sia belaka. Hebatnya, biarpun puteri yang telah menjadi isterinya itu bersikap dingin, pria itu masih tetap memujanya. Dengan pria itu masih tetap memujanya. Dengan sabar dia merayu, dia membujuk, dengan hati-hati, dengan halus untuk membangkitkan perasaan cinta di hati isterinya, walaupun sedikit pun dia sudah akan menerimanya dengan perasaan amat berbahagia. Namun, sia-sia... puteri itu tetap dingin dan selalu memperlihatkan sikap tidak suka berdekatan..."

"Hemm, cerita itu semakin tidak menarik." Kata Bi Lian.

"Dongeng yang menyedihkan." Kata pula Han Siong sambil tersenyum kepada tuan rumah, untuk menghibur karena dia merasa tidak enak melihat sikap Bi Lian yang demikian jujur mencela dongeng tuan rumah.

Mulana tersenyum dan wajahnya yang tampan nampak berduka, senyumnya pahit sekali. "Memang menyedihkan, dan mungkin tidak menarik bagi Nona Cu, juga bagi wanita pada umumnya. Akan tetapi amat menyedihkan bagi seorang pria. Cinta kasih seorang pria, mendambakan balasan, walaupun sedikit saja, melalui sentuhan halus, melalui senyum, melalui pandang mata mesra, melalui senyum melalui pandang mata mesra, melalui apa saja, pria yagn merindukan kaish sayang isterinya itu, selama bertahun-tahun, hanya mampu berharap, berharap, dan berharap....! Dan pada suatu malalm, dunia kiamat baginya!" Dan tiba-tiba saja Mulana menangis!

Han siong dan Bi Lioan terkejut bukan main. Mereka saling pandang, dan kemudian memandang kepada tuan rumah yang menutupi muka dengan kedua tangannya dan terisak menangis. Ketika mereka melirik ke arah nyonya rumah, wanita cantik itu masih terus makan ketika sepasang matanya melirik ke arah suaminya, Bi Lian menangkap sinar mata yang mengandung ejekan dan hinaan!

Ingin sekali Han Siong bertanya, apa yang telah terjadi dengan pria yang mendambakan cinta isterinya itu, akan tetapi dia menahan diri dan bersabar, menanti sampai Mulana menghentikan tangisnya. Pria itu menurunkan kedua tangannya, menggunakan saputangan sutera untuk menghapus air mata yang membasahi mukanya, lalu tersenyum, senyum paksaan. "Maafkan aku. setia kali menceritakan hal itu, aku selalu tak dapat menahan keharuan dan kesedihan hatiku. Akan tetapi, seperti kukatakan tadi, malam itu memang terjadi sesuatu yang membuat pria itu merasa dunia kiamat baginya!"

"Apa yang terjadi?" Pek Han Siong tak dapat menahan lagi keinginan tahuannya.

"Apa yang terjadi? Pek-taihiap, tidakkah engkau dapat menduganya? Puteri yang cantik jelita itu, isteri yang teramat dicinta suaminya itu, yang suka menjilati telapak kakinya untuk menyatakan cintanya, wanita yang secantik bidadari itu, yang kecantikannya tanpa cacat cela, pada suatu malam jahanam itu... ketika pria yang menjadi suaminya itu terbangun dan tidak melihatnya tidur di pembaringan lalu mencarinya ke belakang, wanita itu, yang selalu dingin terhadap suaminya, yang tak pernah satukali pun membelai suaminya, bahkan tak pernah menyentuhnya dengan gairah, wanita itu... di dalam taman, di atas rumput begitu saja, di tempat terbuka, tanpa pakaian sama sekali, tak bermalu sedikitpun juga, bagaikan seekor binatang jalang yang panas dan penuh nafsu berahi, sambil mengerang seperti binatang dan dengan nafsu menggebu seperti kemasukan iblis, perempuan itu bergelut dan bermain cinta dengan tukang kebun!"

"Ahhh...!" Seruan ini keluar dari mulut Bi Lian dan Han Siong hampir berbareng karena mereka sungguh terkejut bukan main.

"Ha, kalian tentu kaget! Siapa orangnya yang tidak kaget! Dan pria itu, suami itu... dia bukan hanya kaget, akan tetapi dunia seperti kiamat baginya. Wanita yang dipujanya seperti dewi itu, yang didambakan cintanya, menyerahkan diri sebulatnya, lahir batin, kepada seorang laki-laki lain! Bukan pangeran bukan bangsawan, bukan hartawan, melainkan seorang tukang kebun biasa! Seorang hamba yang hina dina dan rendah, dan kotor! Apa yang selalu dijauhkannya dari suaminya yang mencintanya, yang memujanya, pada malam hari itu, mungkin juga malam-malam sebelumnya, telah diberikan sepenuhnya kepada seekor anjing!", setelah berkata demikian, Mulana memandang kepada isterinya, dengan sinar mata mengerikan, penuh penyesalan, penuh duka, penuh kebencian, akan tetapi juga penuh kasih sayang!

"Cukup!" Tiba-tiba wanita cantik jelita yang menjadi isteri Mulana itu berseru, suaranya seperti jerit yang keluar dari lubuk hatinya, dan muka yang amat cantik itu menjadi kemerahan. "Setelah semua dendam yang kaucurahkan, kenapa engkau malam ini melanggar janji dan menceritakan kepada orang lain, Mulana?"

"Aku terpaksa, Yasmina, aku tidak dapat bertahan lagi untuk menyimpannya sendiri. Dan dua orang ini bukan orang sembarangan, mereka adalah pendekar-pendekar yang telah berani menentang Kulana! Mereka patut mendengarkannya!"

"Bagus, engkau melanggar janji, aku pun tak perlu setia terhadap janji. Hai dua orang muda, dengarkan baik-baik. Akulah Yasmina, akulah isteri yang diceritakannya itu, wanita itu. Dialah yang membuat aku seperti itu. Mulana menganggap aku bukan seperti manusia, memujaku seperti benda keramat, seperti boneka kaca, melimpahkan semua cintanya seperti terhadap seorang dewi di kahyangan. Aku seorang perempuan, dari darah daging! Aku ingin diperlakukan sebagai seorang manusia, sebagai seorang perempuan darah daging yang haus akan belaian dan kasih sayang nyata seorang jantan! Dan aku menyerahkan diri sepenuhnya, sepuas hatiku kepadanya! Dan aku puas. Aku menyesal, akan tetapi aku puas. Dan Mulana, dia memenggal leher tukang kebun itu, membuat kepalanya menjadi tengkorak ini dan aku harus selalu minum anggur dari dalam tengkoraknya, melalui mulutnya! Aku menerima semua pelampiasan dendam ini untuk menebug dosaku. Dan dia setiap malam bermain cinta dengan para gadis pelayan yang cantik dan muda, di depan mataku, untuk membalas dendam. Aku hanya mentertawakannya dalam hati. Bagaimanapun juga, dia tak dapat disamakan dengan tukang kebunku itu! Tidak ada seperempatnya! Dan dia berjanji takkan membuka rahasia itu. Akan tetapi malam ini, dia melanggar janjinya...!" Wanita itu, Yasmina, kini mengangkat tengkorak yang sudah diisi anggur baru, kemudian mencium mulut tengkorak itu. "Engkau, tukang kebunku yang setia, engkau selama ini menemaniku, engkau kehilangan nyawa karena aku, sekarang tiba saatnya engkau menjemputku. Bawalah aku ke sana..." dan wanita itu lalu menggigit sebuah di antara gigi tengkorak itu, minum anggur dari dalamnya dan ia pun terkulai di atas meja. Tengkorak itu terlepas dan jatuh bergulingan di atas lantai, seperti hidup, sampai berhenti di dekat kaku Mulana.

"Yasmina...!" Mulana menendang tengkorak itu dan meloncat ke dekat isterinya. Dia mengangkat muka isterinya, mungkin sudah lama dipersiapkan wanita itu menyimpan racun di bawah sepotong gigi tengkorak yang tadi digigitnya, dan minum racun itu bersama anggur!

"Yasmina...!" Mulana mengguncang-guncang isterinya, didukungnya, dipondongnya dan dia pun menangis sambil kebingungan.

Melihat ini, Bi Liang bangkit dan memandang kepada Pek Han Siong. Alisnya berkerut dan gadis ini merasa betapa batinnya terguncang hebat oleh peristiwa yang terjadi antara suami isteri aneh itu.

"Mari kita pergi, aku menjadi muak dan mual!" katanya.

Pek Han Siong sendiri juga terguncang hebat perasaanya. Apalagi yang terjadi antara Mulana dan Yasmina itu terlalu hebat, sampai wajahnya menjadi berubah agak pucat. Ngeri dia membayangkan malapetaka dan kesengsaraan yang menimpa sepasang suami isteri yang seperti mereka itu. Kaya raya, bangsawan tinggi, keduanya tampan dan cantik!

"Mari!" katanya dan keduanya lalu meninggalkan ruangan itu tanpa pamit lagi karena tuan rumah tidak mungkin dapat diajak bicara. Dia sudah menjadi seperti gila, memondong mayat isterinya itu ke sana-sini, sambil menangis dan menciumi muka yang kebiruan itu. Pelayan yang berada di situ seperti berubah menjadi patung, terbelalak pucat tidak ada yang berani bergerak. Bahkan ketika Bi Lian dan Han Siong pergi meninggalkan perkampungan itu, tidak seorang pun penjaga mencoba untuk menghalangi mereka.

Ketika dua orang muda itu tiba diluar perkampungan, tiba-tiba nampak api besar bernyala di belakang mereka dan sayup-sayup terdengarlah tangis-tangis dan teriakan Mulana memanggil-manggil nama isterinya. Agaknya Mulana telah menjadi gila dan telah membakar istananya sendiri! Pria itu sesungguhnya amat mencinta isterinya akan tetapi dibikin gila oleh cemburu!

"Kasihan...!" Pek Han Siong yang berhenti dan memandang ke belakang mengeluh.

"Siapa yang kasihan?" Barulah Han Siong teringat bahwa Bi Lian berada di situ dan tadi suara hatinya dikeluarkan melalui mulut.

"Kedua-duanya..." jawab Han Siong. Mereka melanjutkan perjalanan, berjalan perlahan menuruni bukit itu. "Engkau benar, Saudara Pek. Kasihan keduanya. Keduanya telah bersalah dan keduanya patut dikasihani karena nasib mereka sungguh buruk sekali. Tak sangka orang-orang seperti mereka..." kata Bi Lian, kemudian disambungnya, lirih. "Cinta memang aneh..."

"Ya, cinta memang aneh..." Han Siong juga menggumam lalu keduanya tenggelam dalam lamunan, kata-kata mereka itu berdengung di telinga mereka. Kata-kata itu seperti menunjukkan bahwa mereka mengerti atau setidaknya pernah mengalami cinta! Sampai lama mereka melangkah, termenung, saling menduga, lalu tiba-tiba Bi Lian bertanya.

"Saudara Pek, pernahkah engkau jatuh cinta?"

Han Siong terkejut, memandang gadis itu, menggeleng kepala. "Belum, dan engkau?"

"Aku juga belum pernah."

"Kalau begitu, bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa cinta itu aneh?"

"Dan engkau pun membenarkan begitu saja." Dan keduanya saling pandang, lalu tertawa geli.

"Lihat saja mereka itu. Mulana dan Yasmina, bukankah mereka itu menjadi seperti orang gila karena cinta? Itulah yang membuat aku mengatakan cinta memang aneh tadi." Kata Bi Lian membela diri.

"Tapi itu bukan cinta, Nona Cu. Mulana tidak mencinta isterinya dengan sesungguhnya, atau cintanya berlandaskan kebanggaan karena di telah berhasil memenangkan puteri itu dalam perebutan. Dia memperlakukan Yasmina sebagai barang pusaka, dikeramatkan, disanjung, dipuja, dibanggakan dan dipamerkan! Dan cinta Yasmina juga hanya cinta nafsu. Karena itu keduanya lalu menyeleweng, dan baru terasa cinta itu setelah terlambat. Mulana lebih mementingkan kebanggaan dirinya dan Yasmina lebih mementingkan nafsu berahinya, dan keduanya merana..."

"Aihh, agaknya engkau seorang yang ahli dalam seni mencinta, Saudara Pek!" kata Bi Lian.

Wajah Han Siong berubah merah. "Sama sekali tidak, hanya aku melihat hal-hal yang aneh sekali dalam cinta ini. Ada suatu peristiwa yang tidak kalah anehnya, juga amat mengharukan antara dua orang yang saling mencinta. Akan tetapi biarlah lain kali saja kuceritakan kepadamu, Nona Cu."

"Siapakah mereka?" Bi Lian tertairk.

"Mereka... adalah kedua orang guruku, Suhu dan Suboku..."

"Ih, tentu menarik sekali. Ceritakan, Saudara Pek."

"Lain kali sajalah. Mari kita mencari tempat yang enak untuk melewatkan malam. Nah, di sana ada sungai kecil, bagaiman kalau kita melewatkan malam di tepi sungai itu?"

Mereka lalu mencari tepi sungai yang landai dan di situ terdapat banyak batu kali yang besar dan bersih. Mereka lalu mengumpulkan kayu kering, lalu membuat api unggun sambil duduk di atas batu kali yang besar, halus dan rata. Enak memang tempat itu. Sebelum pergi, mereka tadi sudah memasuki kamar masing-masing untuk membawa perbekalan mereka tanpa ada yang mengganggu mereka.

"Sekarang mengaso dan tidurlah, Nona. Biar aku yang berjaga di sini." Kata Pek Han Siong.

"Aku tidak mengantuk, Saudara Pek. Lebih baik kita bercakap-cakap. Pertemuan antara kita sungguh aneh sekali. Engkau muncul begitu saja ketika aku terancam bahaya, dikeroyok oleh Kulana dan Lam-hai Giam-lo yang amat lihai. Kemudian kita bertemu dengan Mulana dan isterinya yang lebih aneh lagi. Apalagi mendengar bahwa engkau adalah kakak kandung Adik Pek Eng yang baru saja kukenal dengan baik, bahwa engkau adalah Sing-tong yang sudah amat lama kukenal namanya sebagai Anak Ajaib. Saudara Pek, ceritakanlah tentang keadaan dirimu, keluargamu. Begitu aku bertemu dengan adikmu, Pek Eng, aku sudah merasa suka sekali padanya."

Han Siong menarik napas panjang. "Tidak ada sesuatu yang menarik tentang diriku, Nona. Akan tetapi, sesungguhnya adalah suatu hal yang amat penting, amat menarik tentang dirimu, Nona. Ketahuilah, sesungguhnya, ketika engkau memperkenalkan namamu, aku... aku telah menjadi terkejut sekali karena aku mengenal namamu dengan baik sekali, Nona Cu."

Bi Lian memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. "Pantas ketika mendengar namaku engkau kelihatan kaget. Di mana engkau pernah mendengar namaku, Saudara Pek Han Siong?"

Han Siog mengambil keputusan untuk berterus terang. Kalau dia tidak mengaku, kelak tentu gadis ini akan merasa tersinggung dan marah karena dia pura-pura tidak mengenalnya. Padahal, dialah yang mendapat tugas dari suhu dan subonya untuk mencari puteri meraka ini. Akan tetapi, tentu saja tak mungkin dia berani mengaku tentang ikatan jodoh itu, bahkan agaknya tidak bijaksan kalau dia membuka rahasia bahwa gadis ini bukan she Cu melainkan she Siangkoan. Dengan hati-hati dia lalu menjawab.

"Sebelumnya, ingin aku mendengar pengakuanmu, bukankah dahulu engkau tinggal di sebuah dusun di Ching-hai selatan, di Pegunungan Heng-tuan-san, tak jauh dari sebuah kuil Siauw-lim-si yang terletak di luar kota Yu-shu?"

Bi Lian memandang dengan sinar mata berseri. "Benar sekali! Bagaimana engkau bisa tahu akan hal itu, Saudara Pek? Ketika itu aku tinggal di sebuah dusun, bersama kedua orang tuaku. Akan tetapi datanglah malapetaka di dusun itu. Terjadi pertempuran antara para tokoh sesat dan banyak orang dusun tewas pula dalam pertempuran itu, termasuk kedua orang tuaku! Ayah Ibuku tewas dan aku terjatuh ke dalam tangan kedua orang Guruku itu, ialah mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi! Ketika itu, aku berusia sebelas tahun dan mulai saat itu, aku menjadi murid mereka dan diajak merantau sampai jauh. Akan tetapi, sekali lagi, bagaimana engkau bisa tahu akan keadaan diriku di dusun itu?"

"Ada satu hal lagi, Nona, harap kaujawab dengan sejujurnya. Sebelum engkau ikut dengan kedua orang Gurumu itu, yaitu mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, sebelum terjadi pertempuran antara tokoh sesat di dusunmu itu, yang mengakibatkan kematian Ayah Bundamu, sebelum itu, pernahkan engkau belajar ilmu silat?"

Bi lian kembali memandang tajam, penuh selidik dan ia mengingat-ingat. Masih teringat benar olehnya betapa ada dua orang yang selalu datang di malam hari, ketika ia masih kecil dan kedua orang itu secara bergiliran, laki-laki dan wanita, memberi petunjuk kepadanya akan dasar ilmu silat. Kedua orang itu dianggapnya sebagai guru-gurunya, disebutnya suhu dan subo dan mereka itu demikian sayang kepadanya. Terutama sekali subonya, kadang-kadang subonya itu memperlihatkan kasih sayang kepadanya secara mesra. Ia suka digedongnya dan ditimangnya, dan diciuminya! Kini terbayanglah wajah mereka itu. Subonya seorang wanita yang teramat cantik, mukanya agak pucat dan pendiam, namun pandang matanya kepadanya penuh dengan kemesraan dan kasih sayang. Masih ingat ia betapa subonya itu selalu mengenakan sabuk sutera putih, sikapnya lemah-lembut sekali. Adapun suhunya seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap, juga pendiam namun ramah dan baik sekali kepadanya, memberi petunjuk dengan tekun dan sabar. Yang tak mungkin dapat dilupakan dari suhunya itu adalah bahwa lengan kiri suhunya itu buntung sebatas siku. Lengan baju kirinya itu sebatas siku kosong. Hanya itulah yang teringat olehnya tentang suhu dan subonya, dan kini ia diingatkan dan ditanya oleh Pek Han Siong tentang kedua orang yang sudah hampir terlupa olehnya itu.

"Ya-ya-ya, aku tentu saja masih ingat kepada mereka. Suhu dan Subo yang demikian baik kepadaku! Ah, mereka suka datang secara bergilir di waktu malam, kata mereka itu, mereka tinggal di sebuah kuil Siauw-lim-si dan mereka membimbingku dengan dasar-dasar ilmu silat."

Girang sekali rasa hati Han Siong mendengar ini dan dia merasa betapa jantungnya berdebar tegang. "Nona Cu, tahukah engkau siapa nama mereka itu?"

"Suhu dan Subo?" Gadis itu menggeleng kepala. "Tahuku hanya Suhu dan Subo. Mereka tak pernah memperkenalkan nama, juga Ayah dan Ibu yang agaknya amat menghormati mereka, tidak pernah menceritakan siapa nama mereka, hanya menyuruh agar aku patuh dan mentaati mereka sebagai Guru-guruku. Eh, Saudara Pek, apakah engkau kenal dengan Suhu dan Subo itu?"

Han Siong mengangguk, sejenak dia termenung memandang ke arah api unggun sedangkan gadis itu mengamati wajahnya penuh perhatian. Pemuda itu lalu mengalihkan pandang matanya dan dua pasang sinar mata itu saling bertaut sampai beberapa lamanya, kemudian Han Siong berkata dengan sikap tenang.

"Aku mengenal mereka dengan baik, Nona, karena mereka itu adalah juga Guru-guruku! Suhu bernama Siangkoan Ci Kang, dan Subo bernama Toan Hui Cu."

Sepasang mata yang indah itu terbelalak dan diam-diam Han Siong memandang kagum. Gadis ini demikian mirip subonya! Akan tetapi jauh lebih cantik karena kalau subonya itu pendiam, gadis ini bermata tajam, sikapnya lincah, manis dan tahi lalat di dagu itu sungguh luar biasa manisnya, juga memiliki pembawaan yang gagah perkasa seperti suhunya!

"Aihhh..., kalau begitu engkau....... "

"Aku adalah...... saudara seperguruan denganmu, Sumoi."

"Engkau Suhengku! Ah, akan tetapi, aku baru mempelajari dasar-dasar gerakan ilmu silat saja dari Suhu dan Subo, dan aku selanjutnya digembleng oleh kedua orang Guruku, Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi!"

"Mereka itu merampasmu dari Suhu dan Subo."

"Tapi... tapi ilmu silat kita berbeda jauh, dan engkau... begitu lihai. Kalau begitu, Suhu dan Subo itu lihai bukan main, bahkan melebihi kedua orang Guruku yang sudah tewas!" Bi Lian kagum bukan main.

Han Siong menggeleng kepalanya. "Belum tentu, Sumoi. Kedua orang gurumu itu merupakan datuk-datuk persilatan yang sudah amat tinggi ilmunya, walaupun Suhu dan Subo juga merupakan orang-orang sakti. Ilmu silat kita memang berbeda, akan tetapi aku tidak berani mengatakan bahwa aku lebih lihai darimu. Kulihat engkau lihai bukan main, hanya karena engkau dipengaruhi sihir oleh Kulana, maka engkau hampir celaka."

"Dan engkau dapat melenyapkan pengaruh sihir! Kalau begitu, selain ilmu silat, Suhu dan Subo juga mengajarkan ilmu sihir kepadamu, Suheng, sehingga engkau mampu melawan Kulana?"

Han Siong menggeleng kepala. "Tidak, biarpun Suhu dan Subo lihai, namun bukan mereka yang mengajarkan ilmu sihir kepadaku. Sumoi, ketahuilah, ketika engkau memperkenalkan namamu, aku menjadi demikian gembira sampai merasa takut mengaku kepadamu. Baru sekarang aku mengaku karena sesungguhnya, Suhu dan Subo telah memberi tugas kepadaku untuk mencari engkau sampai dapat kutemukan!"

Bi Lian tersenyum memandang. Di bawah sinar api unggun, wajah pemuda ini nampak aneh dan menarik sekali, dan ia merasa betapa jantungnya berdebar. Entah karena senang mendapat kenyataan bahwa pemuda lihai ini suhengnya, atau mengapa ia sendiri tidak dapat mengerti. Yang jelas, diingatkan keadaannya ketika kecil mendatangkan kenangan yang aneh, ada pahitnya dan ada pula manisnya. Dan ia sama sekali tidak mengira bahwa suhu dan subonya yang dulu itu, ternyata masih ingat kepadanya, bahkan mengutus muridnya yang lihai ini untuk mencarinya sampai dapat!

"Dan ternyata engkau berhasil Suheng. Kita telah dapat saling bertemu, lalu apa yang akan kaulakukan terhadap aku, atau... apakah yang harus kulakukan sekarang?"

Han Siong juga tersenyum. Gadis ini memiliki pembawaan yang lincah gembira. "Kita saling bertemu, bahkan bersama telah menghadapi pengeroyokan lawan lihai, dan baru saja tadi mengalami hal yang amat aneh dan mengguncangkan batin. Tentu saja aku ingin menyampaikan pesan Suhu dan Subo bahwa... bahwa... engkau diminta untuk berkunjung kepada mereka, Sumoi. Mereka sangat rindu kepadamu dan merasa khawatir ketika mendengar bahwa engkau lenyap dari dalam dusun itu. Akan tetapi, sebelum itu, aku ingin mencari dulu adikku Pek Eng, untuk kuajak keluar dari tempat berbahaya itu."

"Engkau benar sekali, Suheng. Aku pun tadinya merasa heran dan juga tidak rela melihat seorang gadis seperti Eng-moi itu berada di antara mereka. Apalagi ia menjadi murid bahkan anak angkat seorang sejahat Lam-hai Giam-lo! Ada dua hal yang mendorong Adikmu menjadi muridnya. Pertama, karena tadinya ia tertawan oleh anak buah Lam-hai Giam-lo dan dengan kecerdikannya, Adikmu itu telah dapat menundukkan hati Giam-lo sehingga kakek iblis itu suka kepadanya dan bahkan mengambilnya sebagai murid dan anak angkat. Dan yang ke dua, Adikmu itu memang ingin mempelajari ilmu silat tinggi setelah ia minggat dari rumahnya karena tidak sudi dijodohkan dengan pemuda yang tidak dicintanya. Akan tetapi kalau bertemu denganmu, dan tahu bahwa engkaulah kakak kandungnya yang selama ini dicarinya, aku yakin engkau akan dapat membujuknya keluar dari sana. Aku pun hendak kembali ke sana, Suheng. Ada dua hal yang ingin kulakukan di sana."

"Apakah dua hal itu kalau aku boleh tahu, Sumoi?"

"Pertama, aku harus membalaskan kematian Ayah Ibuku, dan ke dua, akupun tidak akan tinggal diam saja karena kedua orang guruku sampai tewas di sana. Kulana harus bertanggung jawab karena ulah dia yang melamarku yang menjadi penyebab kematian kedua orang Guruku itu."

"Dan siapakah yang telah menewaskan Ayah Ibumu di dusun?"

"Ayah Ibuku tewas di tangan... mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi...."

"Aih??" Han Siong berseru kaget. "Lalu kepada siapa......"

"Begini, Suheng. Pada waktu itu kedua orang Guruku itu dikeroyok oleh Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, dan anak buah mereka. Mereka itu bahkan menghasut orang dusun agar memusuhi Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi. Kedua orang tua ini mengamuk dan membunuh banyak musuh, termasuk banyak orang dusun. Dengan demikian, biarpun orang tuaku tewas di tangan kedua orang Guruku itu, akan tetapi kedua orang Guruku itu tidak mempunyai permusuhan dengan orang tuaku. Yang bersalah adalah dua pasang suami isteri itulah yang menghasut penduduk untuk ikut mengeroyok dua orang tua itu. Nah, kuanggap bahwa merekalah yang telah menjerumuskan Ayah Ibuku sehingga menjadi korban."

Han Siong mengerutkan alisnya, teringat dia akan semua nasihat suhu dan subonya, juga semua wejangan dari gurunya yang ke dua, yaitu Ban Hok Lojin, seorang di antara Delapan Dewa. Setelah menarik napas panjang, semua nasihat dan petuah yang pernah didengarnya itu pun meluncur lewat mulutnya tanpa dapat ditahan dan bahkan di luar kesadarannya sendiri.

"Sumoi, dendam merupakan suatu penyakit yang amat merugikan diri sendiri dan dari dendam timbullah perbuatan-perbuatan kejam dan bahkan jahat. Apalagi dendam terhadap kematian. Semua orang di dunia ini pada saatnya tentu akan mati, Sumoi dan jangan dikira bahwa ada orang lain yang dapat menentukan kematian seseorang, walaupun orang itu bisa saja menjadi sebab daripada kematian orang lain. Kalau Thian tidak menghendaki, biar ada seribu pasang suami isteri seperti Lam-hal Siang-mo atau seribu orang seperti mendiang guru-gurumu itu, tak mungkin orang tuamu di dusun dapat tewas! Juga kalau Thian tidak menghendaki, biar ada seribu orang Kulana takkan mungkin dapat menyebabkan kedua orang gurumu saling serang sehingga akhirnya keduanya tewas! Tidak Sumoi, mendendam sungguh merupakan suatu penyakit yang keliru. Kematian berada pada tangan tuhan".

"Suheng...... !" Bi Lian berseru kaget dan heran karena baru sekarang ia mendengar pendapat seperti itu.

Han Siong tersenyum. "Untuk mengambil nyawa orang, Thian mempergunakan banyak macam cara, Sumoi. Ada yang melalui penyakit, melalui kecelakaan, melalui bencana alam dan sebagainya. Apakah kita juga harus mendendam kepada penyakit kalau keluarga kita mati karena penyakit? Mendendam kepada api kalau mati karena api, dan mendendam kepada air kalau seandainya mati tenggelam?"

"Tapi, Suheng! Apakah kita harus berdiam diri saja melihat orang-orang melakukan kejahatan seperti dua pasang suami isteri iblis itu, melihat seorang seperti Kulana yang mengandalkan pengaruh dan kekayaan hendak memaksakan kehendaknya?"

"Wah, itu lain lagi, Sumoi. Bukan persoalan dendam lagi, melainkan sikap seorang pendekar yang harus selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran. Kalau engkau hendak menentang Lam-hai Giam-lo dan kawan-kawannya karena engkau tahu benar bahwa mereka itu adalah sekelompok orang sesat yang hanya hendak mengancam kedamaian hidup orang lain, itulah panggilan jiwa kependekaranmu dan aku akan menemanimu ke sana. Sekarang, kita beristirahat lebih dulu, besok pagi-pagi kita melakukan penyelidikan ke sana. Akan tetapi ingat, bebas dari dendam, Sumoi."

Bi Lian tersenyum dan mengangguk. "Bebas dari dendam, Suheng." Ia masih tersenyum ketika akhirnya dapat tidur pulas sedangkan Pek Han Siong duduk bersila dekat api unggun, mengumpulka hawa murni dan berjaga karena dia tahu bahwa di tempat itu, dia tidak boleh lengah.

Kita biarkan dulu Pek Han Siong dan Cu Bi Lian yang sedang beristirahat di tepi anak sungai itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Hay Hay yang sudah terlalu lama kita tinggalkan.

Seperti kita ketahui, Hay Hay berjumpa dengan Kok Hui Lian, dan dengan janda muda yang selain cantik jelita, tubuhnya mengeluarkan keharuman, dan teramat lihai ilmu silatnya itu, hampir saja terjadi hubungan badan yang terdorong oleh berahi. Untung bahwa Hay Hay memiliki batin yang amat kuat walaupun dia sudah hampir lupa dan buta oleh gejolaknya nafsu. Mereka berdua dapat menguasai diri kembali, tidak terjadi suaiu pelanggaran walaupun mereka telah bermesraan. Setelah mereka saling berpisah, Hay Hay tidak pernah dapat melupakan wanita itu, seorang wanita yang memenuhi segala keindahan yang dapat dibayangkan pria mengenai diri seorang wanita.

Kini dia masih mempunyai sebuah tugas, yaitu mengembalikan pusaka batu giok milik Kwan-taijin, yaitu Jaksa Kwan yang terkenal adil dan dimusuhi kaum sesat itu. Batu giok mustika itu dirampas oleh Min-san Mo-ko dari tangan Jaksa Kwan ketika pembesar ini ditawan, akan tetapi berkat pertolongan Hay Hay dan Kok Hui Lian, para penjahat dapat diusir dani batu giok mustika dapat dirampas kembali. Bahkan tanpa disengaja, dengan batu giok itu luka-luka beracun mereka berdua dapat disembuhkan. Ketika berpisah, Hui Lian minta kepada Hay Hay untuk mehgembalikan batu giok mustika itu kepada Jaksa Kwan yang tinggal di kota Siang-tan.

Setelah berpisah dari Hui Lian, ada memang perasaan kehilangan dan kesepian di dalam hati Hay Hay. Namun, dia menghadapinya dengan senyum, mentertawakan diri sendiri dan perasaan kehilangan dan kesepian itu pun lenyap bagaikan tertiup angin pagi yang sejuk. Dia tahu benar mengapa ada perasaan kehilangan itu menyelinap di dalam hatinya. Itulah tuntutan nafsu badani, ikatan batin yang selalu menghendaki adanya kesenangan. Kalau ada sesuatu yang menye nangkan batin kita, baik yang menyenangkan itu orang lain, atau benda, atau bahkan gagasan saja, maka kita selalu menghendaki agar kesenangan itu tidak terpisah lagi dari diri kita. Pikiran kita selalu haus akan kesenangan, ingin mengulang kembali segala hal yang menyenangkan dan karena itulah, terjadi ikatan di dalam batin terhadap kesenangan-kesenangan itu. Dan sekarang. batin terikat, maka apabila saatnya tiba kesenangan itu harus berpisah dari kita, timbullah rasa kehilangan, kesepian, kecewa dan duka.

Hay Hay sering merenungkan kenyataan hidup ini, membuatnya waspada dan dapat melihat kenyataan dan kepalsuan di dalam kehidupan secara gamblang. Badan lahiriah memang harus mempunyai, demi kebutuhan badan sendiri, demi kehidupan badan sebagai anggautamasyarakat, memiliki keluarga, sahabat, benda-benda, ilmu pengetahuan, kepandain dan sebagainya lagi. Namun, batin haruslah bebas tidak memiliki apa-apa. Sekali batin ikut memlliki apa yang dipunyai badan, maka timbullah ikatan batin dan ikatan batin inilah penyebab timbulnya duka dan kesengsaraan batin. Batin harus kosong, bebas dan berdiri sendiri, tidak bersandar atau bergantung, juga tidak disandari atau digantungi. Pengamatan penuh kewaspadaan ini membuat Hay Hay sudah gembira kembali ketika dia melanjutkan perjalanannya, menuju ke kota Siang-tan karena dia ingin lebih dulu berkunjung ke tempat tinggal Jaksa Kwan untuk mengembalikan batu giok mustika milik pembesar itu.

Kota Siang-tan di Propinsi Hunan merupakan kota yang cukup besar dan ramai. Di sinilah tinggal Kwan-taijin, jaksa yang terkenal jujur dan keras memegang tegaknya hukum dan pembesar ini tidak pernah mau memaafkan perbuatan jahat, menghukum banyak sekali penjahat besar sehingga dia amat dibenci oleh para penjahat. Seperti telah diceritakan di bagian depan kisah ini, ketika Kwan-taijin bersama keluarganya melewatkan waktu libur di Telaga Tung-ting, hampir saja dia tewas di tangan para tokoh sesat yang mendendam kepadanya. Para penyerang itu adalah datuk-datuk sesat yang amat lihai sehingga Kwan-taijin sampai berhasil ditangkap. Namun, berkat pertolongan Hay Hay dan Kok Hui Lian, pembesar itu dapat diselamatkan dan diantar pulang bersama keluarganya oleh Hay Hay. Batu giok mustika terampas penjahat dan akhirnya Hay Hay dan Hui Lian dapat merampasnya kembali. Kini, setelah Hay Hay berpisah dari Hui Lian,

Dia harus kembali lagi ke Siang-tan untuk mengembalikan benda yang amat berharga itu kepada pemiliknya.

Kedatangan Hay Hay disambut dengan gembira dan ramah oleh Kwan-taijin. Melalui penjagaan yang ketat, akhirnya dia bertemu dengan pembesar itu di kamar tamu.

"Aih, kiranya Tai-hiap yang datang berkunjung!" kata pembesar itu menyongsong kedatangan Hay Hay yang merasa canggung melihat betapa pembesar yang amat terkenal itu menyebutnya Tai-hiap (Pendekar Besar). Dia membalas penghormatan tuan rumah dan Kwan-taijin segera menggandengnya, diajaknya masuk ke sebelah dalam dan barulah nampak oleh Hay Hay bahwa di dalam ruang yang besar itu terdapat seorang lain yang sedang duduk. Dia memperhatikan. Orang laki-laki itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, tubuhnya sedang saja dan melihat cara dia berpakaian, mudah diduga bahwa dia tentulah seorang pembesar tinggi. Wajahnya halus dan ramah, sepasang matanya membayangkan suatu kecerdikan dan mulut yang selalu tersenyum itu penuh kebijaksanaan. Agaknya, ketika pengawal melaporkan tentang kunjungannya, Jaksa Kwan sedang duduk bercakap-cakap dengan pembesar ini.

"Kebetulan sekali, kami baru menerima kunjungan Yang-taijin dan kami bahkan sedang bicara tentang dirimu,Tai-hiap. Mari silakan masuk dan kuperkenalkan kepada Yang-taijin!"

Hay Hay melangkah masuk dengan sikap hormat, tahu bahwa tentu orang itu pun seorang bangsawan tinggi walaupun sikapnya ramah dan sederhana. Ada kewibawaan besar terpancar dari pandang mata orang itu.

Kwan-taijin membungkuk dengan penuh hormat kepada orang itu dan berkata dengan suara gembira, "Yang-taijin, sungguh seperti dituntun oleh tangan Thian sendiri bahwa saat ini datang pendekar yang baru saja saya ceritakan kepada Paduka. Taihiap, beliau ini adalah seorang menteri yang amat bijaksana, yaitu Menteri Negara Yang Ting Hoo yang berkedudukan di kota raja dan hari ini melimpahkan kehormatan menjadi tamu kami yang terhormat."

Bukan main kagetnya rasa hati Hay Hay mendengar disebutnya nama Yang Ting Hoo ini. Dalam perantauannya selama ini, dia mendengar berita bahwa kemakmuran negara di bawah pemerintahan Kaisar Cia Ceng pada saat ini adalah berkat jasa dua orang menteri yang amat bijaksana dan pandai mengurus negara. Yang pertama bernama Menteri Yang Ting Hoo dan yang ke dua adalah Menteri Chang Ku Ceng. Dan kini, tiba-tiba saja dia berhadapan dengan Menteri Yang Ting Hoo ditempat kediaman Jaksa Kwan itu. Pertemuan yang sama sekali tak pernah disangkanya dan cepat dia lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap menteri itu.

"Hamba Hay Hay, karena tidak tahu telah bersikap tidak hormat kepada Paduka, mohon Paduka sudi memberi maaf yang sebesarnya."

Menteri Yang Ting Hoo menggerakkan tangannya. "Aih, Taihiap, bangkitlah dan mari duduk di sini. Kita bercakap-cakap seenaknya. Percayalah, hanya karena kebiasaan saja aku suka disembah orang, padahal di dalam hati aku merasa muak dengan semua kehormatan yang berlebihan itu. Karena itu, kalau benar engkau ingin menyenangkan hatiku dan ingin bicara dari hati ke hati, bangkitlah dan duduklah di sini!" Dia menunjuk ke arah sebuah kursi didepannya, terhalang meja.

Jaksa Kwan tertawa, hal yang tidak biasa pula dilakukan oleh seorang pembesar bawahan kepada pembesar atasan yang pangkatnya demikian tinggi. Hal ini juga menunjukkan betapa akrab hubungan antar keduanya.

"Taihiap, jangan heran akan sikap Yang-taijin. Begitulah beliau, lebih mementingkan hubungan antar manusia daripada antar kedudukan. Silakan duduk, Taihiap."

Hay Hay merasa kagum bukan main, juga gembira. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang pembesar yang lebih patut dinamakan pemimpin rakyat, karena pembesar itu selalu merasa dirinya lebih besar dari orang biasa, sebaliknya seorang pemimpin akan selalu bersikap sebagai seorang ayah, guru atau pemimpin, tidak merasa dirinya lebih besar. Dia pun mehghaturkan terima kasih, bangkit lalu duduk berhadapan dengan kedua orang pejabat yang duduk berdampingan itu.

Jaksa Kwan memberi isarat dengan tangannya memanggil seorang pelayan yang segera meletakkan sebuah cawan arak di depan Hay Hay dan juga mengambilkan tambahan seguci arak harum. Hidangan sekedarnya juga ditambah, kemudian Kwan-taijin memberi isarat agar semua pelayan dan pengawal meninggalkan ruangan itu hanya berjaga diluar pintu dan tidak ikut mendengarkan percakapan yang akan terjadi di dalam ruangan tamu itu.

"Engkau tadi mengaku bernama Hay Hay, Taihiap? Siapakah nama keluargamu?" tanya Menteri Yang Ting Hoo dengan sikap ramah.

Hay Hay tersenyum untuk menyembunyikan perasaan tidak enak di hatinya. Tak dapat disangkal lagi, menurut keterangan keluarga Pek, dia bernama keluarga Tang, putera dari seorang she Tang yang terkenal sebagai seorang penjahat keji, seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga, pemerkosa wanita) she Tang! Di dalam hati kecilnya, dia malu dan tidak suka menggunakan nama keluarga itu, akan tetapi kalau kenyataannya memang dia she Tang, mau bagaimana lagi?

"Hamba she Tang, akan tetapi sejak kecil hamba lebih sering disebut Hay Hay dan hamba lebih senang memakai nama itu saja." jawabannya sederhana.

Menteri itu tertawa dan mengangguk-angguk. "Taihiap tentu mengetahui bahwa untuk menilai seseorang, bukan tergantung daripada namanya, kedudukannya, kepintarannya maupun kekayaannya, melainkan dari sepak terjangnya di dalam kehidupan setiap harinya. Karena itu, mengapa risau tentang nama? Keluarga yang namanya Tang di dunia ini banyak, yang baik banyak yang jahat pun banyak, tergantung dari pribadi masing-masing."

Hay Hay terkejut dan barulah dia tahu mengapa orang ini terkenal sebagai seorang yang bijaksana. Pandangannya yang sederhana itu saja seolah-olah sudah berhasil membuka kedoknya! Dia memang merasa malu mempergunakan she Tang karena ayah kandungnya, orang she Tang itu adalah seorang penjahat. Bagaimana andaikata ayahnya itu seorang yang baik? Tentu dia akan bangga menyandang nama keluarga itu! Betapa palsunya sikap ini!

"Terima kasih atas peringatan Paduka. Hamba memang bernama Tang Hay," katanya kemudian dan sekali ini menyebut nama keluarga Tang terdengar ringan saja di lidahnya, seolah tidak ada apa-apanya.

Kini Kwan-taijin mempersilakan Hay Hay minum arak. Mereka bertiga minum arak dan makan hidangan dengan sikap terbuka. Hay Hay merasai gembira dan juga aneh. Dia duduk berhadapan dengan dua orang pembesar, bahkan yang seorang adalah seorang menteri negara, namun dia sama sekali tidak merasa rikuh atau rendah diri. Hal ini saja membuktikan betapa kedua orang itu memang merupakan orang-orang yang bijaksana dan dia merasa seperti duduk semeja dengan dua orang sahabat saja!

"Nah, sekarang ceritakan keadaanmu, Tang-taihiap. Bagaimana keadaanmu semenjak kita saling berpisah, setelah engkau menyelamatkan kami di Telaga Tung-ting, dan apakah kedatanganmu ini hanya untuk berkunjung, ataukah ada keperluan lain?"

Mendengar pertanyaan Jaksa Kwan itu, Hay Hay lalu mengeluarkan batu kemala mustika dari saku bajunya. Dia membuka bungkusan saputangan, mengambil batu giok itu dan menyerahkannya kepada Jaksa Kwan sambil berkata, "Saya datang untuk menyerahkan batu giok mustika ini kembali kepada Paduka, Kwan-taijin."

Sepasang mata pembesar itu bersinar dan wajahnya berseri gembira. "Ah! Jadi engkau bahkan berhasil merampas kembali mustika ini?" Dia menerima batu giok itu dan menyerahkannya kepada Yang-taijin. "Lihat, Taijin, pendekar perkasa ini bahkan telah berhasil merampas kembali mustika ini!" Menteri Yang menerima batu giok itu dan memandang kagum kepada Hay Hay. !

"Apakah seorang diri saja engkau merampas kembali mustika ini, ataukah dengan pendekar lainnya yang juga lihai itu, eh, siapa lagi namanya? Sayang sekali aku tidak sempat berkenalan dengannya."

"Ia she Kok......." kata Hay Hay dan dia teringat, lalu menahan kata-katanya karena bukankah pada waktu itu Hui Lian menyamar sebagai seorang pria?

"She Kok? Ah, mengingatkan aku akan seorang sahabatku yang baik sekali belasan tahun yang lalu, yaitu Gubernur Kok dari San-hai-koan. Kasihan sekali, keluarganya terbasmi oleh gerombolan pemberontak...... "

Mendengar ucapan Menteri Yang itu, diam-diam Hay Hay terkejut sekali sehingga dia mengeluarkan seruan tertahan.

"Ah, ada apakah, Tang-taihiap? Benarkah masih ada hubungan antara sahabatmu itu dengan mendiang Gubernur Kok di San-hai-koan?" tanya menteri itu dan Jaksa Kwan juga memandang kepadanya.

Hay Hay mengangguk-angguk. "Mungkin sekali...... ah, ia memang memiliki banyak keanehan yang dirahasiakan. Mungkin sekali ia puteri gubernur yang Paduka maksudkan itu."

"Puteri?" Jaksa Kwan berteriak kaget. "Kaumaksudkan ia... ia seorang wanita?"

Hay Hay mengangguk. Menghadapi dua orang pembesar yang amat bijaksana dan pandai ini, tidak perlu lagi dia berbohong. "Memang benar, ia adalah seorang gadis bernama Kok Hui Lian, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang teramat tinggi."

"Aduh sayang sekali! Kenapa ia tidak ikut bersamamu berkunjung ke sini, Tai-hiap? Pada saat ini kami membutuhkan orang-orang pandai seperti engkau dan gadis pendekar itu. Makin banyak semakin baik." kata Kwan-taijin.

"Akan tetapi, ada apakah, Taijin? Ada urusan penting apakah maka Taijin membutuhkan bantuan para pendekar?" Hay Hay bertanya, khawatir kalau-kalau para tokoh sesat kembali mengganggu pembesar yang mereka musuhi ini.

Kwan-taijin menoleh kepada Menteri Yang, lalu berkata kepada Hay Hay. "Sekali ini urusannya lebih gawat dan besar lagi, Tang-taihiap. Sebaiknya kalau engkau mendengar sendiri dari Paduka Menteri Yang, karena beliau inilah yang menangani masalah yang amat penting dan penuh rahasia, Taihiap. Oya, nanti dulu." kata pula jaksa itu sambil menyerahkan batu kemala mustika itu kepada Hay Hay sambil berkata. "Batu giok ini kuberikan kepadamu, Taihiap. Engkau seorang pendekar yang banyak merantau dan banyak bertemu dengan para penjahat, maka kiranya mustika seperti ini amat penting bagimu. Aku berada di kota dan dikelilingi banyak tabib, maka mustika seperti ini tidak begitu penting pagiku. Nah, terimalah, aku berikan kepadamu dengan setulus hatiku."

Tentu saja Hay Hay terkejut dan juga girang. Mustika itu memang amat berguna, dapat menghadapi penyerangan senjata beracun yang banyak dipergunakan orang-orang golongan hitam. Dia pun tidak pura-pura lagi dan menerima benda itu, dibungkusnya dengan saputangan dan disimpannya di dalam saku bajunya.

"Terima kasih atas budi kebaikan Taijin." katanya singkat, kemudian dia memandang kepada Menteri Yang, siap untuk mendengar tentang masalah yang dihadapi para pejabat tinggi itu.

"Begini, Tang-taihiap, sebetulnya kami menghadapi usaha pemberontakan yang berbahaya sekali dan kami ingin mengajakmu berbincang-bincang tentang hal ini, bahkan mengharapkan bantuan para pendekar seperti Taihiap." Menteri itu mulai. Hay Hay mengerutkan alisnya. Pemberontakan? Bukankah itu merupakan urusan pemerintah, persoalan negara dan sudah banyak pejabat yang berkewajiban untuk menanganinya?"

Melihat pandang mata ragu dari pendekar itu, Menteri Yang tersenyum maklum. "Taihiap, kalau pemberontakan itu merupakan pemberontakan dari pasukan, maka kami pun tidak ingin membicarakannya dengan para pendekar yang hanya merupakan sebagian daripada rakyat jelata. Kami tinggal mengerahkan pasukan besar untuk menumpas dan membasmi, seperti yang sudah sering kami lakukan. Akan tetapi, kami menghadapi pemberontakan berselubung, Taihiap."

"Pemberontakan berselubung?" Hay Hay bertanya, tidak mengerti.

"Golongan yang menjadi lawan dari golonganmu, yaitu kaum sesat, kini memperlihatkan gejala untuk memperkuat diri, mereka ingin bangkit kembali seperti ketika dunia hitam dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis yang terkenal itu. Untuk menghadapi para datuk sesat, kami tidak banyak berdaya, Taihiap, dan tentu para pendekar lebih mampu menghadapi mereka. Akan tetapi, pembangkitan para tokoh sesat ini, menurut bukti-bukti yang didapatkan para penyelidik kami, ada hubungannya dengan rencana pemberontakan terhadap pemerintah! Inilah yang berbahaya, Taihiap. Oleh karena itu, tadi telah kami bicarakan dengan Kwan taijin agar kami menghimpun dan minta bantuan para pendekar, demi keselamatan negara dan keamanan kehidupan rakyat. Engkau tentu tahu sendiri betapa menderitanya rakyat kalau sampai terjadi pemberontakan dan perang apalagi kalau di antara para pemberontak itu terdapat golongan sesat yang tentu akan selalu memancing di air keruh."

Hay Hay mengangguk-angguk. Kalau demikian halnya, tentu saja dia siap untuk menentang kaum sesat yang hendak bersekutu dengan para pemberontak itu.

"Siapakah datuk sesat yang memimpin gerakan gelap itu, Taijin?" tanyanya.

"Menurut penyelidikan, pemimpinnya ada beberapa orang di antaranya yang terpenting adalah seorang yang berjuluk Lam-hai Giam-lo. Dia bermarkas di Lembah Yang-ce, sekitar Pegunungan Yunan. Kabarnya dia mempunyai banyak sekali teman dari dunia hitam yang merupakan tokoh-tokoh yang berilmu tinggi, dan lebih berbahaya lagi, kabarnya dia pun bersekutu dengan tokoh Birma. Juga kabarnya gerombolan sesat Kui-kok-pang dari Lembah Iblis di Pegunungan Hong-san, dan entah siapa lagi namanya aku tidak tahu. Hebatnya, mereka itu berhasil menarik Pek-lian-kauw sebagai sekutu dan kini tengah membangun pasukan yang kuat."

Mendengar ini, Hay Hay mengangguk-angguk dan dia melihat betapa berbahaya gerakan seperti itu.

"Dan banyak di antara sekutu mereka yang sudah kaukenal, Taihiap." kini Jaksa Kwan berkata. "Mereka yang pernah mencoba untuk menculik aku di Telaga Tung-ting...."

"Ah, mereka pun terlibat?" Hay Hay berseru, teringat ada dua pasang suami isteri iblis yang lihai, juga Min-san Mo-ko dan muridnya, Ji Sun Bi, juga pemuda tampan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu. "Kalau begitu, lebih berbahaya lagi. Mereka adalah orang-orang yang amat lihai dan curang! Lalu apakah yang dapat saya lakukan untuk membantu Paduka?"

"Taihiap amat kami harapkan bantuannya untuk melakukan penyelidikan ke sarang mereka, seperti telah kami minta pula kepada beberapa orang pendekar yang mau membantu kami. Dan untuk semua biayanya, kami siap untuk menyediakan bagi Taihiap. Pendeknya, kami menawarkan kerja sama dengan Taihiap. Bagian kami tentu saja mempersiapkan pasukan untuk melawan pasukan pemberontak, dan bagi para pendekar untuk menghadapi para tokoh sesat itu. Bagaimana pendapatmu, Tang-taihiap?"

"Taijin, sudah menjadi tugas seorang yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan untuk selalu menghadapi dan menentang kejahatan, melawan yang jahat dan melindungi yang lemah dari penindasan. Oleh karena itu, tanpa diminta sekalipun, saya akan suka pergi menyelidiki mereka itu. Dan saya pun tidak mengharapkan upah. Saya akan mengusahakan sekuat kemampuan saya, Taijin. Sekali lagi terima kasih atas pemberian batu giok oleh Kwan-taijin, dan atas kepercayaan dan penyambutan yang amat terhormat ini. Sekarang saya mohon diri untuk segera memulai dengan tugas saya."

"Nanti dulu, Tang-taihiap." tiba-tiba Menteri Yang Ting Hoo berkata dan dia mengeluarkan sebuah benda bundar dari perak yang diberi tanda nama dan pangkat dari menteri itu. "Ini sebuah Tek-pai dari perak, merupakan tanda kuasa. Kalau engkau berada dalam kesulitan karena tidak dipercaya oleh petugas pemerintah, maka semua pembesar sipil atau militer akan mengenalnya dan engkau akan dianggap sebagai utusan pribadiku yang mempunyai tanda kuasa. Terimalah ini."

Hay Hay menerima benda itu dan memasukkannya ke dalam saku bajunya. "Masih ada satu hal lagi, Taihiap. Di antara beberapa orang gagah yang telah menyanggupi membantu kami, ada satu orang yang keadaannya sungguh masih meragukan sekali. Dia seorang pendekar yang berwatak aneh, Taihiap, dan kami ingin agar engkau lebih dahulu berkenalan dan menyelidikinya. Kalau sampai engkau dapat mengajaknya pergi bersama melakukan penyelidikan ke sarang Lam-hai Giam-lo, sungguh baik sekali karena dia adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, karena dia orang kota Siang-tan ini, agaknya Kwan-tajin akan lebih banyak mengetahui dan dapat memberi penjelasan kepadamu."

Kwan-taijin tersenyum. "Memang apa yang dikatakan Yang-taijin itu benar sekali, Tang-taihiap. Di kota ini tinggal seorang pemuda yang aneh dan menurut berita, dia memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Hanya wataknya amat aneh dan sukar sekali didekati. Bahkan dia tidak mau sama sekali mencampuri urusan pemerintah, ketika diberitahu tentang usaha pemberontakan kaum sesat, dia pun acuh saja. Pernah kami mempergunakan siasat memancing harimau keluar dari sarangnya, membiarkan seorang gadis cantik diganggu orang-orang jahat dan dia memang keluar menolong gadis itu. Agaknya sekarang dia bahkan bersahabat dengan gadis itu, akan tetapi selanjutnya, tetap saja dia acuh dan tidak mempedulikan permintaan yang pernah kami ajukan agar dia membantu kami menghadapi para datuk sesat. Bagaimana kalau engkau berkenalan dengan dia, Taihiap? Siapa tahu, pandanganmu dan perkenalannya denganmu akan mampu mengubah sikapnya itu."

Hay Hay tertarik sekali. "Siapakah dia, Taijin?"

"Dia sebenarnya keturunan bangsawan tinggi, masih putera pangeran. Kini tinggal menyendiri di istana tua warisan orang tuanya. Namanya Can Sun Hok, mungkin dua tiga tahun lebih tua darimu." Jaksa Kwan lalu memberitahu di mana tinggalnya pendekar bernama Can Sun Hok itu.

Hay Hay lalu berpamit dan dia berjanji akan menghubungi pendekar itu sebelum berangkat dengan penyelidikannya ke Lembah Yang-ce, di mana Lam-hai Giam-lo bersarang dan menghimpun kekuatan untuk memberontak.

Yang disinggung dalam percakapan antara Hay Hay dan kedua orang pejabat tinggi itu bukan lain adalah Can Sun Hok, pendekar muda yang pernah kita kenal ketika terjadi keributan di telaga Tung-ting. Dialah pemuda yang suka berperahu seorang diri, memainkan suling dan yang-kim. Kemudian dia bertemu dengan pendekar wanita Ceng Sui Cin dan puterinya, Cia Kui Hong, bahkan kemudian ibu dan anak ini bentrok dengan Nenek Wa Wa Lobo yang menjadi pengasuh dan guru Can Sun Hok sampai Nenek Wa Wa Lobo meninggal dunia.

Dua puluh tahun lebih yang lalu, nama Gui Siang Hwa yang berjuluk Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Harum) amat terkenal di dunia sesat karena ia adalah murid tunggal dari Raja dan Ratu Iblis! Ilmu kepandaiannya amat tinggi dan wataknya juga amat kejam dan jahat walaupun wajahnya cantik jelita dan menarik. Wanita itu adalah seorang ahli silat dan ahli mempergunakan segala macam racun. Akan tetapi wataknya cabul dan sudah banyak sekali pria yang terjatuh ke dalam tangannya, dibunuhnya setelah ia puas mempermainkannya.

Di dalam petualangannya itulah, Gui Siang Hwa bertemu dengan Can Koan Ti, seorang pangeran. Can Koan Ti ini putera seorang pangeran istana bernama Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur di Ning-po. Terjadilah hubungan antara pangeran yang kaya raya dan tinggi kedudukannya ini dengan Gui Siang Hwa. Dan terlahirlah Can Sun Hok. Akan tetapi wanita seperti Gui Siang Hwa bukankah wanita yang suka terikat menjadi seorang ibu rumah tangga. Ia seorang petualang dan akhirnya ia pun berpisah dari Pangeran Can Koan Ti. Ketika Can Sun Hok masih belum dewasa, ayahnya, Pangeran Can Koan Ti meninggal dunia karena sakit. Ibunya, Siang-tok Sian-li Gui Siang Hwa tidak suka repot-repot mengurus puteranya, bahkan ia pun melanjutkan petualangannya sampai akhirnya ia tewas dalam pertempuran ketika ia membantu gerakan para pemberontak. Kematian Siang Hwa adalah ketika ia bertanding melawan Ceng Sui Cin, roboh terluka dan tubuhnya hancur oleh pengeroyokan para perajurit.

Puteranya, Can Sun Hok, sudah dititipkannya kepada seorang pelayan, yaitu bekas pelayan Raja dan Ratu Iblis, guru-guru Gui Siang Hwa. Nenek ini, Wa Wa Lobo, tidak ikut dalam gerakan pemberontakan para majikannya, melainkan pergi menyelamatkan Can Sun Hok yang dirawatnya seperti cucu sendiri dan digemblengnya dengan ilmu-ilmu yang pernah diperolehnya dari Raja dan Ratu Iblis. Nenek Wa wa Lobo ini lihai bukan main, juga ahli dalam hal racun, walaupun kelihaiannya tidak sampai setingkat dengan kelihaian mendiang Gui Siang Hwa yang langsung menjadi murid terkasih Raja dan Ratu Iblis. Dan akhirnya, seperti telah diceritakan di bagian depan, Nenek Wa Wa Lobo ini dapat berhadapan muka dengan Ceng Sui Cin, yang dianggap musuh besar dan pembunuh Gui Siang Hwa.

Setelah Wa Wa Lobo tewas karena kalah oleh Ceng Sui Cin kemudian membunuh diri, Can Sun Hok menangisi mayat nenek itu yang dianggapnya sebagai pengganti ayah ibu, nenek dan juga pengasuh dan gurunya. Akan tetapi, agaknya darah yang jahat dari Gui Siang Hwa tidak mengalir ke dalam tubuh Can Sun Hok. Dia menjadi dewasa dengan watak yang gagah, walaupun kadang-kadang dia dapat bersikap keras dan dingin. Namun, sikap ini sama sekali bukan mencerminkan watak yang kejam dan jahat. Dia tidak suka mengganggu siapapun juga asalkan dia tidak diganggu. Dia tidak pernah pula memamerkan kepandaiannya, bahkan suka menyembunyikan kenyataan bahwa dia pandai ilmu silat. Karena ketika dilarikan oleh Wa Wa Lobo, nenek itu, membawa pula bekal harta benda yang amat banyak berupa emas permata dari ayahnya, maka kini Can Sun Hok menjadi seorang pemuda yang kaya raya dan tinggal di gedung besar di Siang-tan yang pernah menjadi tempat tinggal ayahnya. Setelah nenek Wa Wa Lobo meninggal, dia tinggal sendirian saja di dalam rumah itu, dengan hanya beberapa orang pelayan. Dia lebih suka merantau, membawa suling dan yang-kim, dua alat musik yang amat disukanya. Memang dia berbakat sekali dengan pemainan musik ini.

Can Sun Hok kini telah menjadi seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tiga tahun. Sudah tiga tahun nenek Wa Wa Lobo tewas membunuh diri ketika kalah bertanding melawan pendekar wanita Ceng Sui Cin dan selama tiga tahun ini, Can Sun Hok juga memperdalam ilmunya dengan tekun berlatih. Ada dua buah kitab peninggalan Raja dan Ratu Iblis yang disimpan neneknya, dan akhirnya, dengan bantuan seorang kakek ahli sastra kuno, dia pun dapat mengerti arti dari pelajaran itu dan dia berlatih diri dengan tekun. Maka, dia pun kini memperoleh kemajuan yang amat pesat.

Biarpun dia kaya raya, namun hidupnya sederhana, wajahnya tampan, tubuhnya tegap dan sepasang matanya mencorong, wajahnya cerah akan tetapi ada bayangan dingin dan keras pada mata dan dagunya.

Beberapa bulan yang lalu, Jaksa Kwan yang dulu pernah mengenal ayahnya, datang berkunjung. Jaksa ini bukan orang asing bagi can Sun Hok, walaupun dia jarang mengadakan hubungan. Tentu saja kunjungan itu mengejutkan hati Sun Hok, apalagi ketika jaksa jtu dengan terus terang mengharapkan bantuannya untuk ikut bersama para pendekar melakukan penyelidikan tentang gerakan para tokoh sesat yang kabarnya menghimpun tenaga untuk memperkuat diri dan membangun pasukan dengan maksud memberontak terhadap pemerintah.

"Kami tahu bahwa Can Kongcu (Tuan Muda Can) adalah seorang pemuda gagah perkasa yang berkepandaian tinggi. Oleh karena itu, mengingat bahwa mendiang Ayahmu adalah seorang pangeran, bahkan mendiang Kakekmu pernah menjadi seorang gubernur di Ning-po, maka kami mengharapkan bantuan Kongcu untuk berbakti kepada nusa dan bangsa."

Mendengar uluran tangan ini, Can Sun Hok mengerutkan alisnya. Selama ini dia tidak pernah mencampuri urusan orang lain, apalagi urusan pemerintah. Tentu saja penduduk Siang-tan, termasuk jaksanya ini, tahu bahwa dia pandai ilmu silat karena sudah sering kali dia menghajar orang-orang jahat yang hendak menjagoi di kota itu dan malang melintang dengan perbuatan mereka yang sewenang-wenang. Bahkan pernah dia seorang diri menghajar kocar-kacir dan membasmi sebuah perkumpulan orang jahat yang dipimpin oleh seorang perampok yang amat lihai. Akan tetapi, dia tidak pernah minta.

Diakui sebagai jagoan atau pendekar, bahkan tidak ingin bicara dengan orang lain tentang apa yang telah dilakukannya. Dan kini, karena sudah mendengar akan kepandaiannya itu Jaksa Kwan ini agaknya datang membujuknya untuk membantu pemerintah dalam menghadapi para tokoh sesat yang hendak memberontak!

"Kwan-taijin." katanya dengan sikap hormat karena dia pun sudah mengenal siapa ini Kwan-taijin, seorang jaksa yang amat adil dan bijaksana, dicinta rakyat jelata karena dia berani menentang para penjahat dan melindungi keamanan rakyat dalam kedudukannya sebagai jaksa. "Tidak saya sangkal bahwa saya pernah belajar ilmu silat. Akan tetapi apakah artinya tenaga seorang seperti saya kalau menghadapi para tokoh sesat yang bersekutu dan bergabung hendak melakukan pemberontakan? Kirim saja pasukan besar di bawah pimpinan panglima yang pandai dan persekutuan itu dapat ditumpas habis."

Kwan-taijin tersenyum. "Apa yang kauucapkan itu memang tepat, Can Kongcu. Akan tetapi, ketahuilah bahwa pasukan pemerintah hanya dilatih untuk berjuang dalam pertempuran melawan pasukan lain. Kalau sudah terjadi pemberontakan bersenjata, tentu pasukan pemerintah yang akan menanggulanginya. Akan tetapi keadaannya sekarang lain lagi. Para datuk kaum sesat, yang kabarnya dikepalai oleh seorang manusia iblis berjuluk Lam-hai Giam-lo, mengadakan persekutuan, mengumpulkan para datuk persilatan yang sesat untuk membangun kekuatan. Mereka bersarang di Lembah Yang-ce di Pegunungan Yunan. Dan ini berbahaya sekali. Kami tahu bahwa hanya para pendekar saja yang akan mampu menentang orang-orang seperti itu, maka saya sengaja datang mengharapkan bantuan Kongcu."

Can Sun Hok tersenyum, sebentar saja, senyum sinis. "Mungkin para pendekar, akan tetapi saya bukan pendekar,Taijin."

"Ah, tidak perlu merendahkan diri, Kongcu. Siapa pun di siang-tan ini tahu belaka siapa adanya Kongcu. Kongcu memiliki ilmu silat yang amat lihai, juga sudah terlalu sering mengulurkan tangan membela kebenaran dan menentang para penjahat yang keji dan berbahaya. Sekali ini, terdapat pekerjaan yang lebih penting dan mulia, saya harap Kongcu dapat mempertimbangkan permintaan kami ini, atas nama pemerintah dan atas nama rakyat."

Jaksa Kwan akhirnya pulang setelah meninggalkan pesan dan permintaannya dan pemuda ini menjawab hendak berpikir-pikir tentang hal itu. "Harap Taijin suka bersabar dan memberi waktu kepada saya untuk mengambil keputusan. Percayalah, Taijin, pada dasarnya saya suka sekali membantu karena memang sudah menjadi kewajiban saya untuk menentang kejahatan, akan tetapi saya belum pernah bekerja secara berkelompok, dan bekerja sama dengan para pendekar itu sungguh membuat saya berkecil hati dan malu."

Jaksa Kwan adalah seorang yang amat cerdik. Beberapa hari kemudian, dia menguji sikap dan watak Can Sun Hok, ingin melihat apakah benar pemuda itu berjiwa pendekar seperti yang diduganya. Didatangkannya seorang gadis cantik manis dari kota raja. Gadis ini sebenarnya adalah seorang dayang keluarga pangeran. Karena cantiknya, dia digauli oleh majikannya. Akan tetapi hal ini tidak disetujui isteri pangeran yang merasa cemburu karena gadis itu terlalu cantik sehingga terpaksa gadis itu dijual keluar. Karena kepandaiannya bermain musik, menari dan menyanyi, gadis itu lalu terkenal sebagai seorang gadis penari dan penyanyi yang amat disuka oleh para pembesar. Di dalam pergaulan dan pekerjaan seperti itu, tak dapat dihindarkan lagi bahwa gadis itu kadang-kadang tak dapat menahan diri lagi menjual diri dengan bayaran yang luar biasa tingginya, dari para pembesar yang mata keranjang dan yang uangnya sudah berlebihan.

Dengan bantuan para rekannya yang berada di kota raja, Jaksa Kwan dapat menugaskan gadis ini untuk niatnya "memancing keluar harimau dari sarangnya" yaitu menguji sikap dan watak Can Sun Hok sebagai seorang pendekar.

Demikianlah, beberapa pekan semenjak Jaksa Kwan datang berkunjung, pada suatu senja yang cerah, Sun Hok pergi seorang diri ke tepi Sungai Yang-ce yang sunyi. Dia duduk di atas batu besar di tepi sungai itu, sunyi sepi tempat itu karena jauh dari dusun. Dia membawa sebatang tangkai pancing karena sore itu dia merasa iseng ingin menangkap ikan dengan pancingnya. Pada waktu itu sedang musim ikan lee moncong putih yang banyak terdapat di dalam air di sekitar tempat itu dan daging ikan ini lezat bukan main. Dia duduk memegangi tangkai pancingnya, seperti telah berubah menjadi arca, bersatu dengan batu yang didudukinya dan seluruh perhatiannya berpusat pada tali yang ujungnya dipasangi pancing dan umpannya. Tali itu terbawa air dan agak bergoyang-goyang, akan tetapi bukan bergoyang karena disambar ikan. Kalau saatnya tiba, kalau umpannya itu disambar ikan, akan terasa oleh tangannya. Penantian sambaran ikan yang tidak nampak inilah yang mengasyikkan bagi seorang pengail, di situ terdapat suatu kejutan yang menggembirakan, disusul perjuangan untuk berhasil menaikkan ikan yang sudah berani menyambar umpan di pancingnya.

Akan tetapi Sun Hok bukanlah seorang ahli pengail ikan yang pandai. Kalau dia ahli tentu bukan di waktu senja itu dia mengail, melainkan malam nanti atau besok pagi-pagi. Pada waktu senja seperti itu, di waktu sinar matahari senja yang merah menimpa permukaan air menyilaukan mata, agaknya ikan-ikan bersembunyi di sarang masing-masing, atau masih merasa malas untuk mencari makan. Sudah sejam lebih dia duduk, namun tak seekor pun ikan mencium umpan di pancingnya.

Sun Hok menancapkan gagang tangkai pancingnya di atas tanah, lalu dia mencabut suling yang selalu berada di ikat pinggangnya. Sekali ini, dia tidak membawa alat musik yang-kim karena terlalu berabe, apalagi memang kepergiannya adalah untuk mengail ikan. Untuk menghilangkan kekesalan hatinya karena sejak tadi tak pernah berhasil, dia pun kini menempelkan lubang suling pada mulutnya dan tak lama kemudian, terdengarlah bunyi lagu merdu keluar dari sulingnya. Suara yang merdu itu mengalun naik turun, lirih saja karena dia tidak mau mengejutkan ikan-ikan, bahkan seolah-olah hendak mengundang ikan-ikan agar datang dan makan umpan di pancingnya dengan lagu yang ditiup dengan sulingnya.

"Tolooonggg.......!" Tiba-tiba dia mendengar jerit seorang wanita. Seketika Sun Hok menghentikan tiupan sulingnya, lalu memandang ke depan. Sebuah perahu meluncur lewat di tengah, dan ada seorang wanita muda dipegangi kedua tangannya oleh beberapa orang laki-laki secara kasar. Ada lima orang laki-laki di perahu itu. Tiba-tiba tali pancingnya bergerak. Sun Hok menyambar tangkai pancingnya, menarik dengan kejutan dan seekor ikan lee moncong putih sebesar lengannya tergantung di ujung tali pancingnya! Kalau saja tidak ada perahu di mana dia melihat seorang gadis agaknya ditawan oleh lima orang laki-laki itu, tentu saja Sun Hok akan merasa gembira sekali dengan hasil tangkapannya. Akan tetapi kini ada gangguan dan dia pun melepaskan pancing dan ikan itu menggelepar di atas tanah, kemudian dia berjalan mengikuti arah perahu sambil memperhatikan keadaan perahu itu. Ketika dia melihat sebuah perahu nelayan kecil, ditumpangi seorang nelayan tua, dia cepat memanggilnya.

"Paman Tua tukang perahu, boleh aku menyewa perahumu sebentar? Akan kuberi engkau uang ini!" katanya sambil mengacungkan sepotong perak yang beratnya satu tail. Tentu saja nelayan tua itu girang sekali. Uang sekian itu amat besat untuk menyewa perahunya, apalagi hanya sebentar. Dia pun sedang mengail ikan dan sejak tadi pun hasilnya baru beberapa ekor ikan yang kecil saja. Dia cepat meminggirkan perahunya.

"Ah, kiranya Can Kongcu!" kata tukang perahu girang ketika mengenal pemuda yang kaya raya ini. "Baiklah, kalau Kongcu hendak memakai perahu saya, marilah!"

Sun Hok menyuruh pemilik perahu turun dan dia pun cepat meloncat ke atas perahu kecil itu dan mendayung perahu dengan amat cepatnya meluncur dan mengejar perahu besar yang ditumpangi lima orang pria itu. Perahu itu sudah meluncur agak jauh, akan tetapi masih nampak dan jeritan itu tidak terdengar lagi, agaknya lima orang itu tentu membungkam mulut gadis tadi.

Dengan tenaganya yang luar biasa, tidak lumrah orang biasa, Sun Hok mendayung perahunya yang lebih kecil. Perahu meluncur cepat sekali sehingga tak lama kemudian dia pun sudah berhasil menyusul perahu di depan itu. Kini nampaklah olehnya bahwa gadis itu memang telah diikat kaki tangannya dan diikat saputangan pada mulutnya sehingga tidak mampu berkutik atau berteriak. Sedangkan lima orang itu agaknya sedang bersukaria sambil minum arak. Mereka nampak kaget ketika tiba-tiba ada perahu kecil menempel di perahu mereka dan seorang di antara mereka membentak kepada pemilik perahu kecil yang mereka kira seorang nelayan itu.

"Heiii! Apa engkau sudah bosan hidup berani menempel perahu kami?"

Empat orang kawannya juga marah dan mereka berlima menghunus golok dan dengan sikap mengancam mereka hendak menyerang Sun Hok. Akan tetapi, pemuda itu tidak menjadi takut, bahkan sekali tubuhnya bergerak, dia telah meloncat ke atas kepala perahu, bertolak pinggang dan menghardik mereka dengan suara nyaring. "Hemm, kalian ini lima orang laki-laki menangkap seorang gadis, ada urusan apakah? Apa kesalahannya dan apa yang hendak kaulakukan dengannya?"

"Hei, orang muda, jangan mencampuri urusan kami! Kami adalah orang-orang yang diutus oleh Bengcu. Pergilah engkau sebelum kami turun tangan membunuhmu di sini juga!"

Sun Hok tertarik. "Bengcu? Siapakah Bengcu kalian itu?"

Seorang di antara mereka yang bertubuh gendut membelalakkan matanya dan memaki. "Engkau tikus kecil mana mengenal Bengcu kami? Bengcu adalah Lam-hai Giam-lo...."

"Sudah, hajar saja dia!" teriak seorang temannya dan lima orang itu kini menerjang dengan golok mereka. Melihat gerakan mereka itu, Sun Hok dapat melihat bahwa mereka bukanlah orang sembarangan dan memiliki ilmu golok yang cukup tangguh, maka dia pun cepat mengeluarkan sulingnya. Tubuhnya bergerak cepat sekali, didahului sulingnya dan terdengarlah suara nyaring berkali-kali disusul tamparan tangan kiri atau tendangan yang membuat lima orang itu satu demi satu terjungkal ke dalam air! Tanpa banyak cakap lagi, Sun Hok menyambar tubuh gadis itu, dibawanya meloncat ke dalam perahu sewaannya dan ia pun mendayung perahu itu meninggalkan lima orang yang masih gelagapan di air dan mencoba untuk berenang ke perahu mereka kembali.

Dengan sebelah tangannya, Sun Hok membikin putus tali yang mengikat kaki dan tangan gadis itu, juga sekali renggut, saputangan yang menutupi mulut dan sebagian muka gadis itu terlepas. Senja masih cukup cerah sehingga dia dapat melihait wajah itu dengan jelas. Dan Sun Hok terpesona. Tak disangkanya bahwa gadis yang ditolongnya dari tangan lima orang penjahat itu ternyata adalah seorang yang luar biasa cantik manisnya! Sepasang mata yang lebar dan jeli itu memandang kepadanya, agak basah air mata, dan gadis itu pun segera berlutut di dalam perahu menghadap Sun Hok.

"Sungguh saya telah berhutang budi yang teramat besar kepada Kongcu. Kalau tidak ada Kongcu yang menolongku, entah apa yang akan terjadi dengan diriku, tentu lebih hebat daripada kematian. Aku tak mungkin dapat membalas budi kebaikan itu, maka biarlah setiap malam aku akan bersembahyang kepada Thian agar Kongcu diberi berkah selama hidupnya dan biarlah kelak dalam penjelmaan mendatang saya akan menjadi kuda atau anjing peliharaan Kongcu untuk membalas budi ini." Ucapan itu dilakukan dengan kata-kata yang merdu dan halus, menggetar bercampur tangis tertahan.

Sun Hok mengerutkan alisnya. memandang penuh perhatian, lalu berkata dengan halus. "Nona, tidak perlu bicara seperti itu. Yang penting, ceritakan siapa engkau, di mana rumahmu dan bagaimana engkau tadi terjatuh ke dalam tangan lima orang penjahat itu."

Gadis itu kini menangis dan menutupi muka dengan kedua tangannya, tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Sun Hok merasa iba sekali, akan tetapi dia membiarkan gadis itu menangis. Perahu mereka telah tiba kembali di tempat di mana nelayan tua tadi menunggu.

"Kita turun di sini, Nona dan nanti kuantar engkau pulang. Perahu ini harus dikembalikan kepada pemiliknya."

Tukang perahu itu merasa heran melihat penyewa perahunya kembali dengan seorang gadis cantik, akan tetapi dia mengenal Can Sun Hok sebagai seorang pemuda kaya raya yang mendiami istana tua dan yang seringkali mengail di sungai, maka dia pun tidak banyak bertanya melainkan menerima setail perak dengan girang. Dia menghaturkan terima kasih, lalu meluncurlah perahunya meninggalkan sepasang orang muda itu berada di pantai. Sun Hok mengajak gadis itu mengambil pancing dan ikan yang tadi ditangkapnya. Ikan itu sudah mati, akan tetapi masih segar.

"Aih, engkau mendapatkan ikan lee moncong putih yang besar dan segar Kongcu!" Gadis itu berseru dan agaknya sudah lupa akan kesedihannya. Melihat ini, Sun Hok menahan senyumnya. Gadis ini agaknya bukan seorang pemurung dan dia pun ikut bersenang hati. "Bagaimana kalau kupanggang ikan ini untukmu, Kongcu? Aku pandai memanggang ikan, akan tetapi sayang, tidak ada garam dan bumbu....."

"Aku selalu membawanya." kata Sun Hok dan dia pun mengeluarkan bungkusan garam, bawang dan bumbu yang lain.

"Aih, bagus sekali, Pernahkah engkau makan ikan panggang yang terbungkus tanah liat?" Gadis itu bertanya. Sun Hok menggeleng kepalanya dan gadis itu cepat menyingsingkan lengan bajunya sehingga nampak kedua lengannya yang halus dan putih mulus. "Kongcu, apakah engkau mempunyai pisau? Aku memerlukannya untuk membersihkan ikan ini, membuang isi perutnya...."

Sun Hok tersenyum dan menggeleng kepala. "Mari kubantu engkau." katanya dan dia pun mengambil ikan itu, dengan sepotong batu kecil yang runcing tajam dia membuka perut ikan itu, lalu menyerahkannya kembali kepada gadis itu. Kemudian, dia memasangkan umpan cacing kepada mata kailnya dan duduk lagi memancing, kini penuh perhatian dan harapan untuk menangkap sedikitnya seekor lagi yang agak besar agar cukup untuk mereka berdua. Entah mengapa, tiba-tiba saja bagi Sun Hok dunia ini seperti terjadi suatu perubahan luar biasa, dia merasa gembira dan penuh gairah. Senja yang mulai remang-remang itu nampak indah bukan main, dan tempat yang sunyi itu, di mana hanya ada mereka berdua, kelihatannya sama sekali tidak sepi lagi.

Tak lama kemudian, kembali umpannya disambar ikan, Sun Hok menariknya dan sekali ini dia benar-benar bersorak gembira ketika melihat seekor ikan yang lebih besar dari tadi tergantung di ujung pancingnya. "Horeee.....!" Dia berseru gembira dan seperti seorang anak kecil dia membawa tangkai pancing dengan ikan yang masih meronta-ronta itu kepada gadis yang sudah selesai membersihkan ikan pertama tadi. Gadis itu pun kini sama sekali tidak kelihatan murung lagi, ikut pula tertawa dan gembira, sehingga untuk kedua kalinya Sun Hok terpesona. Gadis ini ketika tertawa, nampak deretan gigi seperti mutiara dan di kedua ujung bibirnya nampak lesung pipit yang manis bukan kepalang

"Wah, malam ini kita akan kekenyangan ikan!" teriak gadis itu. Sun Hok lalu mengambil ikan itu, membuka perutnya dan menyerahkannya kepada Si Gadis yang dengan jari-jari tangan cekatan lalu membersihkan isi perutnya. Sun Hok melihat betapa dengan gerakan tangan seorang ahli, gadis itu menaruhkan bumbu setelah mencuci daging ikan, lalu menutupi ikan itu seluruhnya dengan tanah liat. Belum pernah selamanya dia melihat orang memanggang ikan seperti itu.

"Kita butuh api unggun!" kata gadis itu dan tanpa diperintah lagi, Sun Hok lalu mencari kayu kering, dan membuat api. Sebentar saja tempat itu menjadi terang dengan api unggun.

Dengan dua tangkai kayu yang dipergunakan sebagai sepasang sumpit besar, gadis itu lalu memanggang dua ekor ikan yang kini sudah berada di dalam tanah liat. Mereka duduk menghadapi api unggun, saling berhadapan, terhalang api unggun, akan tetapi bahkan dapat saling pandang karena wajah masing-masing tertimpa sinar api kemerahan. Beberapa kali sinar mata mereka bertaut dan selalu Sun Hok yang menundukkan pandang mata lebih dahulu. Biarpun usianya sudah dua puluh tiga, selama ini Sun Hok tidak pernah bergaul dengan wanita. Kesenangannya hanyalah memperdalam ilmu silat, menjelajah ke gunung-gunung dan sungai-sungai, mencari kesibukan dalam kesepian. Semenjak Wa Wa Lobo meninggal dunia, dia seperti kehilangan pegangan dan kadang-kadang terjadi perang di dalam batinnya. Apakah dia harus membalaskan kematian ibu kandungnya, juga kematian Wa Wa Lobo, kepada Ceng Sui Cin? Akan tetapi, kalau dia teringat kepada Ceng Sui Cin, apalagi kepada puterinya, Cia Kui Hong, dia merasa kagum dan bahkan semua petuah yang pernah didengarnya dari Ceng Sui Cin tak pernah dapat dilupakannya. Menurut ajuran Wa Wa Lobo, sebagai seorang anak berbakti dia harus membalaskan kematian ibunya. Akan tetapi, menurut nasihat Ceng Sui Cin, ibu kandungnya pernah melakukan penyelewengan, menjadi tokoh sesat dan memberontak dan bahwa satu-satunya cara baginya untuk berbakti kepada ibunya adalah dengan perbuatan-perbuatan baik untuk menebus semua dosa ibunya yang lalu!

Kini, dia bertemu dengan seorang wanita lagi yang secara mendadak telah menyita seluruh perhatiannya, membuat dia terpesona, padahal dia sama sekali tidak mengenal siapa wanita ini dan orang macam apa! Kecantikannya yang khas itukah yang membangkitkan rangsangan dalam hati mudanya? Ataukah sikap gadis itu demikian gembira? Juga, biar nampak masih amat muda, namun demikian pandai membawa diri, dapat menguasai diri, tenang dan yakin akan kemampuan diri sendiri? .

Tanah liat yang membungkus dua ekor ikan itu sudah mulai kering dan tidak tercium bau gurih seperti kalau Sun Hok memanggang ikan itu tanpa dibungkus tanah liat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar