25 Pendekar Mata Keranjang

"Hebat ... habat ....!" Tiba-tiba saja Kulana, bangsawan Birma yang tadi hanya menonton sambil tersenyum dan matanya memandang kagum kepada Bi Lian, kini sudah berada di depan gadis itu. Bi Lian memandang penuh perhatian dan dapat menduga bahwa tentu orang ini adalah seorang asing, dapat dilihat dari pakaiannya dan sorban di kepalanya.

"Pergilah engkau, orang asing! Aku tidak mempunyai urusan denganmu!" Bil Lian membentak. Hatinya marah bukan main karena tidak disangkanya, di tempat itu setelah berhasil menemukan empat orang musuh besarnya, ternyata terdapat banyak sekali orang pandai yang membela empat orang musuhnya itu.

Akan tetapi, orang asing yang anggun dan berwibawa itu hanya tersenyum, sepasang matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar aneh yang membuat Bi Lian merasa ngeri. "Nona, tidak baik menurutkan perasaan amarah. Mengapa kita tidak bersahabat saja dan bicara dengan baik-baik? Namaku Kulana, Nona, dan aku pernah menjadi seorang pangeran Kerajaan Birma, seorang bangsawan yang tidak suka akan kekerasan. Nona yang baik, bolehkah aku tahu siapa nama Nona yang terhormat?"

Terjadi keanehan pada diri Bi Lian. Tiba-tiba saja semua kemarahannya lenyap dan ia menjadi lemas, tertarik oleh sikap manis itu dan seperti di luar kesadarannya sendiri ia pun membalas penghormatan Kulana yang membungkuk kepadanya dan menjawab dengan suara halus.

"Aku bernama Cu Bi Lian."

"Cu Bi Lian, sebuah nama yang indah dan sungguh pantas kalau nama itu dirobah menjadi Nyonya Kulana. Tidakah kau juga berpendapat demikian, Nona Bi Lian?"

Terkejut hari Bi Lian mendenagr ucapan yang halus namun jelas bermaksud tidak sopan itu, akan tetapi lebih terkejut lagi ketika ia mendapatkan dirinya sendiri mengangguk membenarkan! Seketika ia pun dapat menduga bahwa ada kekuatan aneh yang memaksanya bersikap lunak, maka ia pun cepat mengeluarkan suara melengking, mengerahkan khi-kangnya dan kekuatan sihir yang dilakukan Kulana dan yang sudah mempengaruhi dirinya tadi seketika membuyar! Kulana adalah seorang yang pandai sihir, terutama dalam hal menguasai segala macam ular. Kekuatan sihirnya yagn tadi membuat Bi Lian menjadi lembut dan lemah, akan tetapi setelah kekuatan itu buyar oleh lengkingan Bi Lian, gadis ini sadar sepenuhnya bahwa ia tadi telah memperlihatkan sikap yang tidak sewajarnya! Marahlah ia karena sudah yakin bahwa orang Birma di depannya ini tadi mempergunakan sihir.

"Tak perlu banyak cakap, minggirlah!" bentaknya dan ia pun menerjang ke depan, mendorong dengan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya. Serangan ini hebat sekali dan angin besar menyambar ke arah Kulan. Akan tetapi, orang ini tenang-tenang saja, merendahkan tubuh dengan menekuk kedua lututnya sampai hampir berjongkok dan dia pun mendorongkan kedua tangannya ke depan, menyambut serangan Bi Lian.

"Desss ...!" Hebat sekali pertemuan tenaga ini karena Bi Lian mengerahkan sebagian besar tenaganya dan akibatnya, tubuh Kulana bergoyang-goyang akan tetapi Bi Lian terpaksa mundur dua langkah! Diam-diam gadis ini terkejut sekali. Tak disangkanya orang asing ini bahkan lebih kuat daripada semua lawannya tadi. Juga Kim San Ketua Kui-kok-pang yang tadi memandang rendah orang Birma itu, kini terbelalak kagum dan mukanya berubah merah. Baru dia tahu bahwa orang Birma itu selain kaya raya, juga ternyata memiliki ilmu kepandaian yang agaknya jauh lebih tinggi daripadanya.

Maklum akan kekuatan lawan, Bi Lian kini menerjang maju dan mengerahkan gin-kangnya yang istimewa sekali. Namun, lawannya bergerak degnan tenang sekali, bahkan gerakannya nampak lambat, namun anehnya, Bi Lian tidak melihat lowongan yang dapat diserang dan setiap kali ia menyerang, selalu dapat dielakkan atau bertemu dengan tangkisan. Bagaimanpun juga, karena kecepaan gadis itu, Kulana juga tidak berdaya, tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk balas menyerang melainkan hanya melindungi dirinya dengan ilmu ilat bertahan yang amat kokoh kuat dan rapat sekali. Akan tetapi, tiba-tiba Kulana mengeluarkan kata-kata aneh yang tidak dimengerti oleh Bi Lian, lalau disambung ucapan yang amat halus dan berwibawa.

"Nona, tidakkah engkau sudah lelah sekali? Mengasolah dan jangan memaksa diri mengerahkan kekuatan, aku tidak ingin menyusahkanmu...."

Sungguh aneh sekali, tiba-tiba saja Bi Lian merasa betapa tubuhnya lelah bukan main, matanya mengantuk dan ia membayangkan betapa akan nikmatnya kalau ia boleh mengaso! Akan tetapi, begitu gerakannya melambat, tiba-tiba saja jari tangan Kulana berhasil menyentuh dadanya. Ia terkejut dan mengeluarkan suara lengkingan panjang dan buyarlah semua pengaruh yagn membuatnya lelah dan mengantuk tadi. Wajah gadis itu menjadi merah sekali, merah karena malu dan marah. Orang asing itu secara kurang ajar telah menyentuh buah dadanya!

Tiba-tiba terdengar lengkingan nyaring menyambut lengkingan yang dikeluarkan Bi Lian dan tiba-tiba saja di situ muncul dua orang kakek yang sudah tua sekali. Seorang kakek yang perutnya gendut sekali sehingga tubuhnya seperti bola saja, kulitnya kuning mulus dan kepalanya botak. Bajunya di bagian dada terbuka, meperlihatkan dada dan sebagaian perutnya yang gendut. Dia nampak lebih dulu, tersenyum-senyum, memperlihatkan mulut yang sudah tidak bergigi lagi. Dia sungguh seperti seorang bayi montok yang besar! Orang ke dua, juga kakek yang usianya sudah delapan puluh tahun lebih, sebaliknya bertubuh tinggi besar menyeramkan, mukanya penuh brewok, kulitnya hitam seperti arang. Dia tidak tersenyum seperti kakek gendut, melainkan dengan sikap angker memandang ke arah Kulan, kemudian, tanpa mengeluarkan sepatahpun kata, tangannya mencengkeram ke arah orang Birma itu! Kulana terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi tangan itu terus mulur dan berhasil mencengkeram leher bajunya bagian belakang dan Kulana merasa tubuhnya terangkat naik! Orang Birma ini cukup lihai, mak dia pun menyerang dengan totokan jari tangannya ke arah siku lengan yang mencengkeram leher bajunya. Totokan ini kuat sekali. Hal ini agaknya disadari oleh kakek tinggi besar yang segera mengayun tubuh itu dan melepaskan pegangannya. Tubuh Kulana melayang ke atas dan tentu akan terbanting jatuh kalau saja dia tidak cepat menggerakkan tubuhnya dan tubuh itu berjungkir balik beberapa kali kemudian meluncur turun dan dia sudah jatuh dengan empuk, duduk kembali di ats kursinya yang tadi.

"Hemmm....!" Kakek tinggi besar mengangguk-angguk, tanda bahwa di mengagumi kepandaian orang Birma itu.

Sementara itu, melihat munculnya dua orang kakek ini, sebagian besar di antara mereka terkejut bukan main. Mereka mengenal dua orang kakek itu. Yang gundut bundar adalah Pak-kwi-ong, datuk sesat dari Utara, sedangkan orang tinggi besar berkulit hitam adalah Tung-hek-kwi, datuk sesat dari Timur. Meraka inilah Lam-hai Giam-lo sebagai susiok (paman guru) karena mereka adalah dua orang di antara Empat Setan, ada pun dua yang lain, Lam-kwi-ong Datuk Selatan guru Lam-hai Giam-lo, dan See-kwi-ong datuk Barat, keduanya sudah lama meninggal dunia. Melihat munculnya kedua orang susioknya itu, Lam-hai Giam-lo juga terkejut akan tetapi juga merasa girang. Cepat dia melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang kakek itu.

"Susiok Pak-kwi-ong dan Susiok Tung-hek-kwi, teecu (murid) Kin Cung menghaturkan hormat dan selamat datang!" Suaranya yang seperti tingkik kuda itu terdengar merendah, tidak seperti biasanya yang selalu terdengar angkuh. Kini semua orang terkejut. Mereka yang belum pernah bertemu dengan dua orang kakek itu, tentu saja pernah mendengar nama mereka sebagai dua orang di antara Empat Setan, datuk sesat yang tinggi tingkatnya. Mereka sudah merasa sungkan dan hormat kepada Lam-hai Giam-lo dan kini mereka melihat betapa bengcu itu begitu merendahkan diri terhadap dua orang kakek itu.

Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi memandang kepada orang yang berlutut di depan mereka itu, dan Pak-kwi-ong terkekeh. "Heh-heh-heh, sungguh lucu. Aku tidak pernah mengenal orang bernam Kin Cung. Engkau bagaimana, Setan Hitam (Hek Kwi), apakah engkau mempunyai seorang keponakan seperti kuda ini?"

Tung-hek-kwi tidak menjawab, hanya menggeleng kepala.

"Susiok, teecu adalah murid mendiang Suhu Lam Kwi Ong." Kata Lam-hai Giam-lo cepat-cepat.

Kembali dua orang kakek tua renta itu memandang kepadanya, sekali ini lebih memperhatikan. "Aha, kiranya engkau yang berjuluk Lam-hai Giam-lo itukah?" Tanya Pak-kwi-ong.

"Benar, Susiok."

"Dan engkau mengumpulkan orang-orang pandai di sini untuk apakah?" tanya pula Pak-kwi-ong sambil memandang kepada orang-orang yang duduk di tempat itu.

"Kebetulan sekali. Susiok. Kami sedang mengadakan rapat untuk membentuk suatu persekutuan antara golongan sendiri, untuk melanjutkan sepak terjang Suhu dan Susiok bertiga, mengangkat kembali derajat golongan kita, dan teecu mereka pilih sebagai Bengcu."

Dua orang kakek itu saling pandang dan bahkan Tung-hek-kwi yang selalu nampak galak itu mengangguk-angguk dan sinar matanya kelihatan senang. Pak-kwi-ong merasa gembira sekali mendengar itu. "Bagus sekali! Ah, senang hatiku mendengar ini, Lam-hai Giam-lo"

"Harap Ji-wi Susiok sudi mengambil tempat duduk dan ...."

"Suhu berdua ini bagaiman sih?" Tiba-tiba Bi Lian mencela kedua orang gurunya, berdiri di tanah antara mereka dan bertolak pinggang. "Aku sudah menemukan pembunuh-pembunuh orang tuaku. Lihat merekalah orangnya. Dua pasang suami isteri iblis, Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan! Tadi akan kubunuh, akan tetapi orang-orang di sana membela mereka dan Suhu kini beramah tamah dengan mereka!"

Mendengar teguran murid yang disayangnya itu, Tung-hek-kwi mengerukan alisnya dan matanya terbelalak, mendelik mencari-cari. "Mana orangnya yang berani mengganggumu, biar kuhancurkan kepalanya!" Semua orang menjadi gentar melihat sikap raksasa tua hitam itu. Akan tetapi Pak-kwi-ong tertawa dan suaranya terdengar lantang.

"Ha-ha-heh-heh. Setan Hitam, jangan begitu! Kita berda di antara orang-orang sendiri! Lihat betapa keponakan kita berusaha membangun kembali kukuasaan golongan kita yang sudah runtuh. Apa yang dialami murid kita hanyalah merupakan kesalahpahaman belaka. Akan tetapi, mengadu ilmu merupakan cara berkenalan yang amat biasa!"

"Suhu .....!" Bi Lian merajuk.

"Sssst, Bi Lian. Dengarlah baik-baik." Kata kakek gendut itu. "Lam-hai Giam-lo ini adalah murid Lam-kwi-ong, saudara tuaku. Dia masih terhitung Suhengmu sendiri dan kita berada di antara teman-teman sendiri."

"Akan tetapi dua pasang suami isteri itu...."

"Sudahlah. Mereka pun teman-teman dan orang-orang sendiri. Memang pernah mereka itu tidak tahu diri berani menentang kami berdua, akan tetapi mereka pun sudah merasakan pahitnya. Nah, urusan sudah habis sampai di sini saja."

"Tapi orang tuaku ....."

"Mereka tewas karena suatu pertepuran di mana mereka berada di tengahnya, anggap saja kecelakaan!" kata pula Pak Kwi Ong.

Lam-hai Giam-lo lalu menjura kepada Bi Lian. "Kiranya Nona ini adalah Sumoiku sendiri? Aih, Sumoi. Akulah yang memintakan maaf atas sikap teman-teman kita ini karena belum mengenalmu. Kalau aku tahu bahwa engkau murid kedua Sesiokku, mana kami berani bersikap kurang ajar?"

Lam-hai Sing-mo dan suami istri Guha Iblis Pantai Selatan juga merupakan orang-orang yang cerdik. Mereka tadi sudah ketakutan sekali melihat munculnya dua orang kakek itu, akan tetapi mendengar ucapan Pak Kwi Ong, lalu melihat sikap Lam-hai Giam-lo, mereka berempat segera maju dan menjura kepada Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi.

"Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Tua Gagah) memang benar. kami orang-orang bodoh telah melakukan kesalahan di masa lampau, dan sudah kami tebus dengan kematian banyak teman, harap Ji-wi sudi melupakan hal itu. Dan Nona Cu, kami bersumpah tidak pernah membunuh orang tuamu."

Bi Lian menjadi bingung. Memang empat orang ini tidak membunuh orang tuanya, yang membunuh adalah Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi yang sudah menjadi gurunya. Kematian orang tuanya memang terjadi karena adanya perkelahian antara mereka dan orang tuanya tewas di tangan kedua orang gurunya. Akan tetapi, kedua orang gurunya tidak sengaja membunuh orang tuanya karena urusan pribadi. Orang tuanya hanya terbawa saja dan menjadi korban. Ia menjadi bingung dan ketika tangannya ditarik oleh Pak Kwi Ong, ia pun menurut saja.

Lam-hai Giam-lo sibuk memperkenalkan para tamunya kepada dua orang kakek itu yang duduk di tempat kehormatan. Para tamu itu satu demi satu memberi hormat kepada Pak Kwi Ong dan Tng Hek Kwi sebagai orang dari tingkatan lebih tua, diterima oleh dua orang kakek itu dengan gembira karena mengingatkan mereka akan masa dahulu ketika mereka masih menjadi datuk yang dihormati dan disegani seluruh tokoh kang-ouw. Bi Lian yang duduk di sebelah Pak Kwi Ong, diam saja, hanya memperhatikan mereka yang diperkenalkan satu demi satu. Ketika Kulana yang lihai itu diperkenalkan, ia memandang penuh perhatian, akan tetapi ia menunduk ketika pria itu memandangnya dengan sinar mata yang haus.

"Dan ini adalah murid teecu, namanya Pek Eng." Kata Lam-hai Giam-lo memperkenalkan muridnya sebagai orang terakhir. Pek Eng berlutut memberi hormat kepada susiok-couwnya, kakek paman guru itu. Ketika diperkenalkan kepada Bi Lian, dua orang gadis itu saling pandang. Pek Eng memandang dengan kagum karena tadi ia sudah menyaksikan betapa lihainya gadis cantik itu yang mampu menandingi tokoh-tokoh lihai, sebaliknya Bi Lian memandang Pek Eng denga alis berkerut. Diam-diam menyayangkan bahwa seorang gadis seperti Pek Eng berada di antara orang-orang seperti itu. Akan tetapi, pikiran ini ditekannya sendiri ketika ia teringat bahwa ia dendiri pun menjadi murid dua orang datuk sesat!

Kulana minta bicara empat mata dengan Lam-hai Gaim-lo dan mereka berdua masuk ke kamar sebelah sedangkan dua orang kakek tua renta itu dijamu dengan hidangan-hidangan yang lezat dan arak yang harum. Bi Lian juga ikut makan, akan tetapi hanya makan sedikit, tidak selahap kedua orang gurunya.

Kulana lalu keluar dan dia pun minta diri, pamit hendak pulang lebih dulu. Kepada Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi yang duduk semeja dengan Bi Lian, dia memberi hormat dan berkata. "Saya mohon sudi kiranya kedua Locianpwe dan juga Nona Cu mengadakan waktu untuk berkunjung ke rumah saya." Bi Lian cemberut saja sedangkan dua orang gurunya mengangguk-angguk. Orang Birma itu pun pergi, membuat para tamu lainnya diam-diam merasa bingung. Pertemuan itu sedang berlangsung, hanya terganggu kemunculan Bi Lian dan dua orang gurunya, pembicaraan mereka belum selesai, akan tetapi mengapa orang Birma yang menjadi orang penting dalam persekutuan ini telah pulang terlebih dahulu?

Setelah mengajak para tamunya makan minum bersama dua orang paman gurunya, Lam-hai Giam-lo melanjutkan pembicaraan mereka yang terputus tadi. Lebih dulu dia menerangkan kepada dua orang kakek itu tentang apa yang beru saja mereka bicarakan, tentang persekutuan antara golongan yang mereka bentuk. "Untuk memudahkan mengatur persekutuan ini, kawan-kawan mengangkat teecu menjadi Bengcu." Demikian Lam-hai Giam-lo menghentikan keterangannya. "Ilmu kepandaian tinggi seperti dua pasang suami isteri itu, Min-san Mo-ko, Ji-Sun Bi, bahkan Saudara Sim Ki Liong ini yang biarpun masih muda akan tetapi telah memiliki ilmu kepandaian yang paling hebat diantara mereka, menjadi pembantu-pembantu teecu. Juga para tokoh Pek-lian-kauw menjadi pembantu-pembantu luar yang boleh diandalkan karena selain memiliki banyak orang pandai, juga memiliki anak buah yang banyak dan kuat. Para saudara yang hari ini menjadi tamu adalah tokoh-tokoh kang-ouw dari berbagai penjuru, dan mereka sudah menyatakan setuju. Adapaun Saudara Kulana tadi, adalah seorang yang amat pandai, baik ilmu silat maupun ilmu perangnya, selain itu juga amat kaya raya, dan dia pun menyatakan persetujuannya. Karena itu, setelah Ji-wi Susiok datang, kami mohon sudilah Ji-wi suka menjadi penasihat kami."

--306- (paragraf hilang)

Apalagi Bi Lian, karena ia yang telah memiliki tingkat yang tinggi dapat mengenal ilmu silat indah dan kuat, juga yang mengandung tenaga sin-kang, yang dahsyat! Setelah memainkan San-in Kun-hoat dengan tenaga Thian-te Sin-ciang selama belasan jurus, tiba-tiba saja Ki Liong mengubah geraknnya dan kini dia memainkan Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin). Sungguh jauh bedanya dengan ilmu silat San-in Kun-hoat (Silat Awan Gunung) tadi yang lambat dan mantap, kini Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun dimainkan dengan pengerahan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) sehingga tubuhnya berkelebatan dan berputaran seolah-olah dia menyerang dari delapan penjuru! Angin pun bertiup dan mengeluarkan suara riuh. Ketika pemuda itu mengerahkan Ilmu Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih) maka dari kedua telapak tangan ketika dia mendorong, keluarlah uap putih menyambar-nyambar.

Bi Lian makin kaget dan kagum. Bukan main, pikirnya. Pemuda ini ternyata tidak membual dan menghadapi seorang pemuda yang memiliki tingkat ilmu silat seperti itu, ia sendiri merasa sangsi apakah ia akan mampu menandinginya!

Pek Eng juga kagum sekali dan gadis ini bertepuk tangan memuji. "Hebat sekali ilmu silatmu, Sim-kongcu!" katanya. Ia ikut menyebut "kong-cu" karena gurunya, Lam-hai Giam-lo dan juga para pembantunya juga menyebut koncu kepada pemuda itu. Mendengar sebutan ini, Bi Lian mengerutkan alisnya dan Ki Liong juga merasa betapa sebutan itu terlalu menghormat untuknya.

"Aih, Nona Pek Eng, mengapa menyebut aku kongcu? Namaku Sim Ki Liong, dan aku lebih tua darimu. Bagaimana kalau menyebut aku kakak saja?" katanya.

Pek Eng tersenyum gembira. "Engkau sendiri menyebut aku Nona! Kalau aku menyebut Toako kepadamu, engkau pun harus menyebut aku adik!"

Ki Liong tersenyum, merasa bahwa dia telah mendapat kemenangan, dapat membuat Pek Eng bersikap ramah kepadanya. "Baiklah, Eng-moi (Adik Eng), dan jangan engkau terlalu memujiku, jangan-jangan kepalaku akan kemasukan angin dan mengembung lalu meledak oleh pujianmua!"

Mendengar ucapan ini, Pek Eng tertawa dan Bi Lian juga tersenyum. Bagaimanapun juga, pemuda ini amat menyenangkan memang, menarik hati sekali. Sopan, ramah, dan pandai membawa diri, halus dan rendah hati.

"Saudara Sim Ki Liong, engkau adalah murid pendekar sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi kenapa engkau bersekutu dengan orang-orang seperti.... Kita, dari golongan hitam?"

Ditanya demikian, Sim Ki Liong terkejut, akan tetapi hal ini tidak diperlihatkannya dan dengan cerdik dia pun menjawab. "Nona Cu Bi Lian, agaknya pertanyaan seperti itu dapat juga ditujukan kepadamu atau kepada Eng-Mpi, buakn? Kita masing-maisng memiliki alasan probadi untuk mengambil jalan hidup kita. Dan aku bersekutu dengan Lam-hai Giam-lo Bengcu karena selain aku mengagumi kepandaiannya, juga karena aku bermusuhan dengan seorang di antara para pendekar sehingga tak mungkin bagiku bergabung dengan mereka."

Percakapan sudah mulai akrab, akan tetapi tiba-tiba muncul Ji Sun Bi di tempat itu, melihat betapa Ki Liong bercakap-cakap dengan dua orang gadis cantik itu dengan sikap demikian akrabnya, tentu saja Ji Sun Bi merasa tidak senang dan cemburu. Ki Liong adalah kekasih barunya yang amat dicintainya karena pemuda itu adalah seorang jantan yang memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi darinya sehingga dapat mendatangkan kepuasan yang tak terbatas padanya. Kini melihat betapa kekasihnya itu bercakap-cakap dengan dua orang gadis muda yang cantik jelita, dalam suasan demikian akrabnya, tentu saja ia merasa khawatir dan cemburu.

"Sim-kongcu, teman-teman menunggu untuk merundingkan hal yang penting sekali. Marilah!" katanya tanpa memandang kepada dua orang gadis itu. Biarpun ia cemburu dan marah, namun tentu saja ia tidak berani memperlihatkan sikap tidak senang kepada dua orang gadis itu. Yang seorang adalah murid bengcu, sedangkan yang ke dua adalah sumoi bengcu, bahkan memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat! Melihat munculnya Ji Sun Bi dan mendengar ucapan itu, Ki Liong tidak ingin wanita itu membuat ribut, maka dia pun menjura dengan sikap hormat kepada Pek Eng dan Bi Lian.

"Eng-moi, Nona Cu, maafkan aku. Agaknya mereka itu ingin merundingkan sesuatu yang penting dengan aku. Sampai lain kau!" Sambil tersenyum manis dia pun pergi meninggalkan dua orang gadis itu, bersama Ji Sun Bi yang menunggunya.

Setelah pemuda itu pergi, Pek Eng menarik napas panjang. "Aihh, dia seorang pemuda yang hebat...."

Bi Lian menjebi. "Huh, berhati-hatilah terhadap seorang pria yang begitu halus budi dan manis tutur sapanya. Orang seperti itu pandai merayu dan siapa tahu hatinya palsu."

Pek Eng menarik napas panjang lagi. "Bagaiamanapun juga, dia sungguh pandai, dan sikapnya rendah hati, hemm, mengingatkan aku kepada Hay-ko..."

"Eh? Siapa itu Hay-ko (Kakak Hay)?"

Bi Lian bertanya.

"Hay-ko ya Hay-ko, namanya Hay Hay..."

"Hay Hay....? Tentu saja Bi Lian terkejut karena pemuda yang bernama Ha Hay itu pernah membuat ia tak dapat tidur karena selalu tekenang kepadanya.

"Ya, namanya Hay dan shenya kalau tidak salah, she Tang. Akan tetapi dia selalu mengaku bernama Hay Hay, tak pernah menyebutkan shenya. Apakah engkau pernah mengenalnya, Enci Lian?"

Bi Lian menggeleng kepala. "Tidak, mengapa?"

"Ah, sudah lama aku mencarinya. Juga mencari kakakku yang bernama Pek Han Siong, akan tetapi tak berhasil menemukan mereka dan akhirnya malah aku ditawan oleh Lam-hai Sing-mo dan akhirnya malah aku dibawa oleh Lam-hai Siang-mo dan dibawa kesini. Untung Bengcu baik dan mau menerimaku sebagai muridnya, Enci."

Bi Lian mengerutkan alisnya. Nasib gadis ini mirip dengan nasib dirinya. Tanpa disengaja terjatuh ke tangan golongan sesat. Ia sendiri kini menjadi murid dua orang datuk sesat yang paling tingi kedudukannya! Padahal dahulu, ia hanya puteri suami isteri dusun dan sudah mempunyai dua orang guru, yaitu sepasang suami isteri yang bertapa di dalam Kuil Siauw-lim-si dan kabarnya merupakan sepasang pendekar sakti. Ia masih ingat akan nama dua orang gurunya itu, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Dan anehnya, ia pernah bertemu dengan Hay Hay, juga gadis ini. Akan tetapi, pertemuannya itu tidak perlu ia beritahukan Pek Eng.

"Kakakmu itu, ke mana perginya,Adik Eng?"

Pek Eng menarik napas panjang. Begitu bertemu dengan Bi Lian, ia sudah tertarik, kagum dan suka sekali. Gadis ini demikian lihainya sehingga mampu mengalahkan hampir semua pembantu gurunya. Entah berapa kali lipat tingkat kepandaiannya sendiri!

"Aih, Kakakku itu semenjak kecilnya sudah dihebohkan orang, Enci Lian. Ketika baru terlahir, meurut penuturan orang tuaku, dia telah diperebutkan oleh orang-orang sakti di seluruh dunia...."

"Ehhh.....?

"Benar, Enci Lian. Kakakku itu sejak kecil, bahkan sejak dalam kandungan, sudah diramalkan oleh para pendeta La-ma di Tibet sebagai Sing-tong, seorang calon Dalai Lama Agung! Ketika dia terlahir, maka dia diperebutkan!"

"Ahh! Kiranya dia...?"

"Engkau tahu, Enci?"

"Pernah aku mendengar dari kedua orang Guruku. Lalu, sekarang dia berada di mana, Eng-moi?"

"Entahlah. Aku sedang mencarinya. Ketika aku dijodohkan dengan seorang pemuda yang tidak kusuka, aku lalu lari untuk mencari kakakku itu, dan mencari Hay-ko yang amat baik kepadaku."

Bi Lian menarik napas panjang. "Pengalamanmu sungguh aneh, Adik Eng. Mudah-mudahan engkau akan dapat bertemu dengan Kakakkmu atau dengan orang yang bernama Hay Hay itu. Oya, hubungan apakah antara engkau dan Hay Hay itu?" Pandang mata Bi Lian penuh selidik, dan ia merasa betapa hatinya tidak enak. Mengapa ia merasa cemburu?

"Dia pernah datang ke rumah kami, Enci, untuk mempertanyakan dirinya. Ketahuilah bahwa di waktu masih bayi, pernahh Kakakku disembunyikan oleh Kakek Buyut karena takut dicuri oleh para pendeta Lama dan sebagai gantinya, Hay Hay itulah yang dipelihara orang tuaku. Akan tetapi ketika masih bayi, dia pun diculik orang! Nah, setelah dewasa, dia datang untuk bertanya kepada keluarga kami, siapa dirinya yang sebenarnya. Wah, dia lihai bukan main, Enci. Ilmunya... wah, selangit deh!"

Makin tak enak rasa hati Bi Lian mendengar betapa gadis ini memuji-muji Hay Hay.

"Bagaimana kau bisa tahu?"

"Dia menghadapi para pendeta Lama yang menyerbu kami dan dia mempermainkan para pendeta Lama itu seperti anak kecil saja. Dan aku... aku telah mencium pipinya..."

"Ihh!" Hampir saja tangan Bi Lian menampar pipi Pek Eng, akan tetapi ditahannya dan sebaliknya ia memandang dengan mata terbelalak dan muka merah.

"Engkau tak tahu malu, mengaku begitu!" bentaknya

Pek Eng tersenyum. "Jangan salah sangka, Enci. Tadinya, karena dia mengaku sebagai Pek Han Siong di depan para pendeta Lama itu, tentu saja aku mengira dia kakak ... kandungku yang sudah lama kurindukan, maka saking girangnya aku mencium pipinya. Eh, ternyata kemudian dia bukan kakakku. Hati siapa tidak menjadi marah dan jengkel, juga malu?"

Mendengar ini, mau tidak mau Bi Lian tersenyum, akan tetapi tetap saja ia merasa tidak senang.

Pada saat itu muncul Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi. Kemunculan mereka mengejutkan Pek Eng karena tahu-tahu mereka telah berada di situ dan ia pun baru tahu mereka muncul ketika Bi Lian membalikkan tubuh menegur meraka.

"Suhu berdua mencari aku?" tanya Bi Lian sambil menoleh dan baru Pek Eng melihat mereka. Bergidik dara ini melihat dua orang aneh itu. Si Gendut Bulat kepala botak itu menyeringai terus, sedangkan raksasa tinggi besar brewok hitam itu cemberut terus. Mereka seperti bukan manusia melainkan iblis-iblis jahat. Gurunya sendiri, Si Muka Kuda, tidaklah begitu menyeramkan seperit dua orang guru dari Bi Lian ini.

"Bi Lian, mari ikut dengan kami. Kita memenuhi undangan Kulana, hendak kita lihat orang macam apa adanya dia." Kata Pak Kwi Ong.

Bi Lian mengerutkan alisnya. Ia tadi sudah merasakan kelihaian Kulana dan ia curiga kepada orang itu. Akan tetapi dua orang gurunya pasti akan mampu menghadapi meraka, dan ia pun ingin mengenal lebih dekat orang macam apa sebenarnya tokoh Birma yang aneh itu. Ia mengangguk dan meninggalkan Pek Eng, mengikuti kedua orang kakek itu keluar dari taman. Sekali berkelebat tiga orang guru dan murid itu pun lenyap dan Pek Eng menjadi bengong, kagum bukan main. Ia berjanji pada diri sendiri akan belajar dengan giat dari Lam-hai Giam-lo agar memiliki ilmu kepandaian setinggi Bi Lian.

Bukit itu tinggi dan termasuk deretan puncak-puncak pegunungan Yunan yang paling selatan. Tertutup sebagian oleh awan dan puncaknya penuh hutan sehingga tidak nampak dari jauh adanya sebuah bangunan yang amat indah dengan atapnya meruncing ke atas seperti kuil di Birma. Atap itu sendiri terbuat dari tembaga yang dihias emas. Ada kalanya, kalau hari cerah, nampak sinarnya mengkilap menyilaukan mata. Itulah nangunan yang menyerupai istana, milik dari Kulana, bangsawan Birma yang melarikan diri sari selatan.

Baru tiba di lereng saja dan melihat bangunan istana itu dari jauh, Pak Kwi Oang dan Tung Hek Kwi sudah merasa kagum. Juga Bi Lian kagum sekali. Bangunan itu megah dan indah. Apalagi ketika tiba-tiba muncul belasan orang menyambut dengan tiga buah joli, mempersilahkan tiga orang tamu agung itu naik joli dan digotong naik seperti orang-orang bangsawan. Pak Kwi dan Bi Lian terpaksa juga menerimanya.

Mereka digotong melalui pintu gerbang yang dijaga ketat dengan orang-orang berseragam dan bersenjata tombak. Kemudian, ketika tiga orang tamu agung itu digotong memasuki serambi depan, terdengarlah bunyi musik menyambut mereka. Tirai joli disingkap dan tiga orang itu melihat tujuh orang wanita penari yang cantik-cantik menyambut mereka dengan tarian yang lemah gemulau, mengiringkan tuan rumah yang kini mengenakan pakaian amat indahnya, pakaian seorang pangeran serba mewah dan kaki tangan dan kepalanya terhias emas permata!

"Selamat datang di istana kami!" kata Kulana dengan sikap yang anggun dan agung ketika mereka bertiga itu keluar dari joli yang sudah diturunkan.

Bi Lian turun dan memandang kagum. Istana itu memang indah. Di depannya terdapat sebuah taman yang teratur dan penuh dengan beraneka bunga. Pot-pot berukir indah memnuhi serambi, dan perabot rumahnya pun ukir-ukiran serba indah.

"Ha-ha-ha, mimpikak aku? Seperti berada di dalam istana saja!" kata Pak Kwi Ong ketika mereka bertiga dipersilakan masuk.

Di sebelah dalamnya lebih mewah lagi. Mereka dipersilakan masuk ke sebuah kamar tamu yang luas, dengan meja kursi berlapis emas. Suara musik berbunyi terus dan kini bermunculanlah gadis-gadis pemusik, penari dan penyanyi, belasan orang banyaknya, mengambil tempat duduk di lantai sudut dan mulai memainkan musik dengan lembut, diiringi nyanyian dan tarian lembut pula. Hawa di ruangan itu pun sejuk karena angin yang masuk semilir dari bagian samping yang terbuka menembus ke sebuah taman lain di mana terdapat air mancur.

"Selamat datang di istana kami, dan semoga para dewa melindungi perjalanan San-wi (Anda Bertiga)." Kata Kulana sambil mengangkat cawan anggur yang sudah penuh dengan anggur harum yang disuguhkan oleh gadis-gadis cantik berpakaian setengah telanjang sehingga nampak perut, paha dan bagian payudaranya.

Pak Kwi Ong, Tung Hek Kwi, dan Bi Lian minum anggur itu dan ternyata keluarkan oleh para gadis pelayan, banyak macamnya dan masih mengepul panas.

"Sebelum kita bicara, mari kita makan dulu dan kami mengharapkan puas dengan hidanga kami yang seadanya."

Ternyata "yang seadanya" itu amat berlebihan. Lebih dari tiga puluh macam banyaknya! Akan tetapi dasar tamunya Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, tidak satu pun dari tiga puluh macam masakan itu ada yang mereka lewatkan! Bi Lian hanya memilih yang menarik seleranya saja dan harus diakuinya bahwa selamanya belum pernah ia makan hidangan yang demikian lezatnya!

Setelah mereka selesai makan, tuan rumah mempersilakan mereka untuk melihat-lihat keadaan di dalam istananya. Bahkan semua kamar dibuka satu demi satu. Kamar perpustakaan penuh dengan kitab-kitab kuno, kamar senjata penuh dengan senjata pusaka yang serba aneh dan berharga. Bahkan kamar harta di mana bertumpuk peti-peti berisi emas permata yang menyilaukan mata. Dua orang kakek itu terpesona dan mereka tidak meragukan lagi bahwa Kulana adalah seorang pangeran, seorang bangsawan yang amat kaya-raya, hidupnya seperti raja saja dan tidaklah mengherankan kalau dia bercita-cita mendirikan sebuah kerajaan baru untuk menandingi kerajaan yang kini berkuasa. Kalau Bi Lian dapat menjadi jodohnya dan kelak orang ini menjadi kaisar, meraka berdua otomatis akan menjadi orang-orang mulia!

Setelah mereka kembali duduk di ruangan tamu, Kulana menghadapi tiga orang tamunya dan bertanyalah dia kepada dua orang kakek itu, sikapnya berwibawa. "Ji-wi Locianpwe tentu sudah mendapat tahu dari Bengcu akan pinangan kami terhadap Nona Cu Bi Lian. Kami harap, setelah Sam-wi melihat sendiri keadaan kami, dapat memberi jawaban yang pasti."

Terkejutlah Bi Lian mendengar ini. Wajahnya berubah merah sekali dan ia memandang kepada tuan rumah, lalu kepada dua orang gurunya.

Dua orang kakek itu saling pandang dan Pak Kwi Ong tertawa lebar sampai perutnya bergerak-gerak. "Ha-ha-ha, sungguh merupakan penghormatan besar sekali bagi kami, Pangeran!" Dia menyebut pangeran begitu saja tanpa ragu lagi. "Dan tentu saja pinangan itu kami terima dengan kedua tangan terbuka. Bukankah begitu, Setan Hitam?"

Tung Hek Kwi mengerutkan alisnya dan memandang kepada muridnya.

"Bagiku sih terserah kepada Bi Lian."

"Aih, sebenarnya apakah artinya ini semua, Suhu?" tanya Bi Lian penasaran.

"Begini, muridku. Pangeran Kulana ini begitu melihatmu langsung saja tergila-gila dan dia mengajukan pinangan melalui Suhengmu, Lam-hai Giam-lo, untuk mengambilmu sebagai isterinya dan kelak engkau akan menjadi permaisurinya, karena orang seperti dia ini kami yakin kelak akan menjadi seorang raja. Tentu saja kami setuju, dan engkau pun tentu setuju, bukan?"

Bi Lian mengerutkan alisnya dan teringatlah ia kepada Pek Eng. Celaka, nasibnya sungguh sama seperti Pek Eng, pikirnya. Akan tetapi ia tidak sudi menjadi boneka. Ia sama sekali tidak sudi menjadi boneka. Ia sama sekali tidak mencintai pria yang pongah ini, sedikit pun tidak suka walaupun ia kagum akan kelihaian dan kekayaannya. Akan tetapi, melihat betapa Pak Kwi Ong agaknya setuju benar, dan Tung Hek Kwi kelihatan masih meragu, ia pun tidak berani menolak begitu sasja.

"Suhu, pernikahan adalah suatu urusan besar bagi seorang wanita, yang akan menentukan keadaan hidupnya di masa mendatang. Oleh karena itu, bagaimana mungkin aku mengambil keputusan dalam sesaat saja? Biarlah kupikirkan dulu hal ini dan berilah waktu tiga hari kepadaku untuk mengambil keputusan dan memberi jawaban."Sikap Bi Lian tegas dan Kulana dapat menerima ini. Dia tersenyum dan memandang kagum. "Nona Cu memang bijaksana. Segala keputusan memang harus dipikirkan masak-masak agar tidak menyesal di kemudian hari."

Mereka bertiga lalu meninggalkan istana itu atas desakan Bi Lian dan setiba mereka di dalam hutan, sebelum sampai di rumah Lam-hai Giam-lo, Bi Lian menghentikan langkahnya.

"Suhu berdua sungguh terlalu!" tiba-tiba ia berkata sambil memandang mereka dengan muka merah.

"Wah, apa maksudmu, Bi Lian?" tanya Pak Kwi Ong tertawa.

"Terutama Suhu yang belum apa-apa sudah menyetujui pinangan itu. Aku ini bukan boneka, aku seorang manusia yang berhak menentukan pilihanku sendiri. Aku dilamar orang begitu saja dan Suhu menganggap aku ini seekor kucing atau anjing?"

"Bi Lian, apa katamu itu?" Pak Kwi Ong yang tak pernah marah, sekali ini membentak Bi Lian. "Engkau muridku, maka engkau harus mentaati aku, dan sekali ini, engkau harus taat, engkau harus menjadi isteri Kulana!"

"Tidak, Suhu. Aku tidak suka menjadi isterinya. Aku sama sekali tidak pernah memikirkan tentang jodoh, dan aku tidak cinta padanya."

"Tidak, engkau harus mau!" bentak Pak Kwi Ong.

"Hemmm, kalau begitu Suhu saja menjadi isterinya!" Bi Lian berkata nyaring.

"Aku tidak sudi!"

"Aku akan memaksamu."

"Aku akan melawan!"

"Murid murtad!" Pak Kwi Ong marah sekali dan secepat kilat menyambar dia sudah menyerang muridnya sendiri dengan pukulan maut. Tangannya mengeluarkan uap tebal. Akan tetapi Bi Lian sudah siap siaga dan ia pun mengelak. Ketika Pak Kwi Ong mendesak, tiba-tiga Tung Hek Kwi menggerakkan tangannya menangkis.

"Dukk!" Keduanya terpental ke belakang. Wajah Pak Kwi Ong berubah merah sekali.

"Setan Hitam, engkau berani membelanya?"

"Tentu saja! Muridku, ingat? Siapa yang mengganggunya berarti mengganggu aku!"

"Ia harus kawin dengan Kulana!"

"Tidak, ia boleh menentukan pilihannya sendiri!"

"Keparat!"

"Bedabah!"

Dua orang kakek yang usianya sudah delapan puluh tiga tahun itu kini saling hantam dan saling serang dengan hebatnya! Mereka adalah orang-orang yang sudah tua renta, kepandaian mereka sudah mencapai tingkat tertinggi akan tetapi tenaga mereka sudah banyak berkurang dimakan usia tua. Pukulan-pukulan mereka merupakan pukulan maut dan kini mereka sudah dipengaruhi amarah yang membuat mereka keduanya seperti buta. Bi Lian menjadi bingung, akan tetapi tidak dapat melerai. Berbahaya untuk menyelinap di antara keduanya dan ia hanya mampu berteriak mengingatkan mereka tanpa hasil.

Belum sampai tiga puluh jurus dua orang datuk sesat seperti iblis ini saling gempur, keduanya sudah kehabisan napas dan dalam pengerahan tenaga terakhir, keduanya mengadu kekuatan melaui kedua telapak tangan.

"Dess...!" keduanya terjengkang dan roboh terkulai, tak mampu bangkit kembali dengan napas empas-empis!

"Suhu....!" Bi Lian berlutut di antara keduanya, mejadi bingung juga melihat betapa kedua orang gurunya itu sam-sama luka parah sekali dan napasnya tinggal satu-satu. Keduanya telah saling hantam dan tidak mampu bertahan lagi. Setelah melihat keadan kedua orang tua itu, barulah ia teringat betapa sayangnya mereka itu kepadanya selama ini dan tak terasa lagi Bi Lian menangis!

Pak Kwi Ong mencoba untuk membuka matanya dan dia masih tersenyum menyeringai walaupun sudah mega-me-gap. "Kau... kau harus menjadi isteri Kulana... ahhh...."

"Tidak... kau boleh menolak..."

Dua orang kakek itu, dalam keadaan sekarat, masih saja mempertahankan pendirian mereka. Bahkan mereka kini berusaha meloncat bangun untuk melanjutkan perkelahian, namun mereka terkulai lagi dan roboh, kini tak dapat bergerak lagi karena nyawa mereka telah melayang!

"Suhu...!" Bi Lian menangisi mereka, tubruk sana-sini.

Bi Lian mendengar gerakan banyak orang. Ia melompat bangun dan berhadapan dengan Kulana yang diikuti oleh belasan orang pasukannya. Juga di situ sudah berdiri pula Lam-hai Giam-lo dan dua orang suami isteri Lam-hai Siang-mo!

"Nona Cu, sudahlah, tidak ada yang perlu ditangisi lagi. Marilah ikut bersamaku dan kita rawat dan urus dengan baik-baik jenazah kedua orang Gurumu." Kata Kulana dengan suara halus dan sikap peramah sekali.

Mendengar kata-kata yang dimikian halus penuh menghibur, Bi Lian kembali menangis.

"Guruku.... Kedua Guruku.... Mereka telah meninggal dunia..."

"Hal itu tidak dapat diperbaiki lagi, Nona. Marilah, bangkitlah dan biarkan aku membimbingmu..." kata pula Kulana dengan sikap lembut dan Bi Lian merasa betapa sikap lembut dan Bi Lian merasa betapa tangannya digandeng dengan halus oleh tangan pria itu.

Mendadak ia pun teringat bahwa kematian kedua orang gurunya adalah gara-gara pinangan orang ini, maka teringat pulalah ia bahwa orang ini pandai menggunakan sihir. Ia pun meronta dan melepaskan tangannya, melompat menjauh.

"Tidak, jangan sentuh aku!" teriaknya.

Di dalam hatinya, memang Bi Lian tidak pernah dekat atau suka kepada kaum sesat, bahkan sering kali ia menyesal melihat betapa dua orang gurunya adalah datuk-datuk sesat. Selama ini, biarpun ia bersikap keras dan ganas, namun belum pernah ia melakukan kejahatan, dan julukannya sebagai Tiat-sim Sin-li (Dewi Berhati Besi) bukan karena kejahatannya melainkan karena kekerasan hatinya menghadapi lawan yang biasanya terdiri dari orang-orang jahat. Kalau ia masih mau diajak bergaul dengan dunia hitam, hanyalah karena terpaksa oleh adanya dua orang gurunya. Kini, setelah kedua orang gurunya meninggal dunia, ia merasa terlepas sama sekali dari golongan hitam dan begitu ia meloncat, ia kini berdiri dengan sikap menentang semua orang yang kini memandangnya.

"Nona Cu," kata Kulana sambil mengerahkan kekuatan sihirnya, suaranya lemah lembut dan sikapnya ramah. "Kedua orang Gurumu menerima aku sebagai calon suamimu, karena itu aku bukanlah orang lain bagimu. Akulah yang akan mengurus jenazah kedua orang Gurumu, dan akulah yang akan melindungimu, membahagiakanmu..."

"Cukup!" Bi Lian membentak sambil mengerahkan kekuatan khi-kangnya untuk melawan pengaruh suara halus itu. "Justeru karena ulahmu itu, justeru karena pinanganmu, kedua guruku saling serang sampai keduanya tewas. Engkaulah yang telah membunuh meraka! Untuk itu, engkau harus menebusnya dengan nyawamu!"

Berkata demikian, Bi Lian sudah meloncat ke depan dan menyerang Kulana denga hebatnya. Kedua tangan gadis itu mengeluarkan uap putih dan karena ia mengerahkan tenaga sin-kang luar biasa, kedua tangan yang amat berbahaya itu menjadi semakin menggiriskan karena dapat mulur panjang. Hampir saja pelipis kiri Kulana terkena cengkeraman jari tangannya kalau saja orang Birma itu sambil berjungkir balik dan pada saat itu Lam-hai Giam-lo sudah meloncat ke depan menghadapi Bi Lian. Wajahnya nampak tidak senang dan alisnya berkerut.

"Sumoi, sikapmu ini sungguh tidak patut! Saudara Kulana bermaksud baik, kenapa engkau malah menyerangnya? Apakah engkau ingin membikin aku malu? Ingat, setelah kedua orang Susiok meninggal dunia, akulah yang menjadi pengganti mereka sebagai pelindungmu dan aku yang berhak mengurusmu. Hentikan sikapmu itu dan bersikaplah yang baik terhadap Saudara Kulana!"

Akan tetapi, sepasang mata Bi Lian mencorong marah karena ia dapat menduga bahwa tentu usul orang inilah yang membuat kedua orang gurunya menerima pinangan Kulana. Juga, kedua orang gurunya bahkan melarang ia membunuh dua pasang suami isteri yang sejak dahulu dianggap sebagai biang keladi kematian ayah ibunya. Sambil bertolak pinggang Bi Lian menghadapi Lam-hai Giam-lo dan berkata, suaranya lantang karena ia masih mengerahkan kekuatan ho-kang yang dipelajarinya dari mendiang Tung Hek Kwi untuk menolak pengaruh sihir Kulana. Suaranya melengking nyaring.

"Lam-hai Giam-lo! Sejak dahulu, tidak ada hubungan apa pun di antara kita! Kalau aku mau menerimamu sebagai Suheng, hal itu adalah karena permintaan kedua orang Guruku. Akan tetapi, mereka kini telah tewas di sini, gara-gara ulah orang bernama Kulana ini, jangan engkau mencampuri, karena aku bukanlah bawahanmu, dan engkau pun bukan pemimpinku!"

"Bocah sombong! Aku adalah Bengcu!" bentak Lam-hai Gam-lo, marah sekali karena merasa dipandang rendah.

"Sudahlah, Bengcu, biar aku yang mengurus calon isteriku ini!" kata Kulana dan orang ini pun segera meloncat ke depan untuk menangkap Bi Lian. Gadis ini mengelak dan membalas dengan tendangan yang dapat pula dielakkan Kulana. Mereka sudah saling serang dengan serunya. Bi Lian berusaha merobohkan, akan tetapi Kulana berusaha menangkapnya. Melihat betapa lincah dan gesitnya gerakan Bi Lian, Lam-hai Giam-lo meloncat dan membantu.

"Akan kubantu engkau menangkap calon mempelaimu, Saudara Kulana!" katanya.

Dikeroyok oleh dua orang yang amat lihai itu, Bi Lian menjadi repot juga. Baru tingkat kepandaian Kulana seorang saja, kiranya tidak mudah baginya untuk mengalahkannya karena orang Birma itu memperkuat ilmu silatnya denga kukuatan sihir. Apalagi tingkat kepandaian Lam-hai Giam-lo sudah amat tinggi, setingkat dengan gurunya, sehingga melawan Lam-hai Giam-lo saja ia takkan menang. Kini dua orang lihai itu mengeroyoknya, biarpun tidak bermaksud merobohkannya melainkan hanya ingin menangkapnya, tentu saja Bi Lian menjadi repot dan kewalahan. Namun, dengan semangat membaja gadis ini pantang mundur dan melawan terus, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu kepandaiannya. Para anak buah Lam-hai Giam-lo dan juga suami isteri Lam-hai Siang-mo menonton perkelahian itu dengan penuh kagum. Mereka hanya melihat tiga bayangan berkelebatan cepat sekali, bagaikan tiga ekor burung raksasa sedang berkelahai dan mereka itu sam sekali tidak dapat mengikuti gerakan mereka, tidak tahu siapa yang mendesak dan siapa terdesak. Mereka pun tidak berani membantu karena bukankah yang turun tangan sekarang adalah bengcu sendiri yang membantu Kulana?

"Cu Bi Lian, engkau masih belum juga mau menyerah?" tiba-tiba Lam-hai Giam-lo membentak dan tubuh kakek ini sekarang berputar seperti gasing. Memang hebat ilmu kepandaian Lam-hai Giam-lo ini. Begitu dia membuat gerakan berpusing, Bi Lian merasa seolah-olah tubuhnya tersedot dan terseret oleh arus air berpusing dan ia pun terhuyung, sukar untuk mempertahankan diri lagi. Pada saat itu, sukar untuk mempertahankan diri lagi. Pada saat itu, tangan Kulana berhasil menangkap pundaknya.

"Heiiiittt....!" Bi Lian memekik dan meronta sambil melempar tubuh ke atas tanah terus bergulingan. Ia berhasil melepaskan diri akan tetapi dua orang itu berloncatan mengejarnya dan tentu ia akan ditertawakan kalau saja pada saat itu terdengar suara berseru halus.

"Dua orang laki-laki menghina seorang gadis, sungguh tidak tahu malu seklai!" Dan tiba-tiba saja muncul seorang pemuda yang menghadang dua orang yang mengejar Bi Lian yang bergulingan itu. Begitu pemuda itu mengembangkan kedua lengannya dan membuat gerakan seperti mencegah dengan mendorong ke depan, gerakan Lam-hai Giam-lo dan Kulana terhenti seperti ada tenaga raksasa yang menghadang mereka! Mereka terkejut dan cepat memandang penuh perhatian.

Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh satu tahun. Tubuhnya sedang saja dan pakaiannya amat sederhana, seperti pakaian seorang petani saja. Mukanya berkulit puth, agak bulat dengan alis yang hitam lebat, matanya agak sipit dan bersinar lembut, sikapnya tenang sekali dan dibawah jubahnya yang panjang seperti jubah pendeta itu nampak ujung sarung sebatang pedang.

Melihat ada seorang pemuda yang asing dan berani membela Bi Lian menghadapi mereka, tentu saja Lam-hai Giam-lo dan Kulana marah bukan main. Terutama sekali Lam-hai Giam-lo yang merasa betapa kekuasaanya di situ di tentang orang asing, seorang yang masih muda dan tidak terkenal lagi.

"Keparat, apakah matamu buta maka berani engkau mencampuri urusan kami?" bentaknya sambil melangkah maju menghampiri pemuda itu.

Pemuda itu bersikap tenang, akan tetapi mata yang lembut itu kini mencorong ketika dia berkata, "Lam-hai Giam-lo, aku tidak buta dan dapat melihat betapa engkau dan orang ini tanpa malu-malu mengeroyok seorang gadis!"

Kulana juga marah sekali karena ada orang yang berani menghalangi niatnya menangkap calon isterinya. Diam-diam dia mengerahkan ilmu silatnya dan sambil memandang wajah pemuda itu, tiba-tiba dia maju dan membentak. "Orang muda, aku adalah junjunganmu! Berlututlah engkau!" Seruan ini berwibawa sekali mengandung kekuatan sihir yang amat kuat, bahkan Bi Lian sendiri merasa betapa kedua kakinya gemetar.

Akan tetapi, pemuda ini sama sekali tidak menjatuhkan diri berlutut seperti yang diperintahkan Kulana, sebaliknya dia malah tersenyum dan menghampiri Bi Lian yang kedua kakinya masih gemetar.

"Nona, sebaiknya kalau kita pergi saja dari tempat kotor di antara orang-orang busuk ini." Suara itu dimikian lembut dan biarpun Bi Lian belum mengenai siapa adanya pemuda ini, ia telah menyerahkan seluruh kepercayaan hatinya. Ia mengangguk dan menghampiri pemuda ini, ia telah menyerahkan seluruh kepercayaan hatinya. Ia mengangguk dan menghampiri pemuda itu. Lalu bersama pemuda itu melangkah pergi meninggalkan tempat itu!

Untuk beberapa detik lamanya, Kulana, Lam-hai Giam-lo, Lam-hai Siang-mo dan belasan orang anak buah itu bengong melihat dua orang muda itu membalikkan tubuh dan pergi, seolah-olah tidak percaya. Kemudian Kulana dan Lam-hai Giam-lo sadar dan keduanya bergerak hendak mengejar.

"Jangan pergi....!" Lam-hai Giam-lo berteriak.

"Berhenti!" Kulana juga membentak.

Pemuda itu membalikkan tubuhnya, diturut oleh Bi Lian yang siap menghadapi serangan mereka. Akan tetapi sambil membalik, pemuda itu tiba-tiba menghadapkan kedua tangannya ke arah meraka yang mengejar dan mulutnya mengeluarkan seruan yang menggeledek.

"Diam kalian!"

Luar biasa sekali kekuatan yang terkandung dalam bentakan ini. Dua orang sakti itu seketika terhenti dan diam seperti patung, bahkan terbelalak seperti orang kaget. Juga Lam-hai Siang-mo dan belasan orang anak buah itu pun diam tak bergerak seperti menjadi patung. Bi Lian sendiri merasa seolah-olah darah yang mengalir di tubuhnya terhenti dan ia pun tidak mampu bergerak akan tetapi pemuda itu memegang tangannya dan menariknya.

"Nona, mari kita pergi!" Dan ia pun dapat menggerakkan kaki dan mereka lalu melarikan diri dari tempat itu. Beru setelah mereka jauh menuruni lereng, terdengar ribut-ribut di belakang mereka, tanda bahwa semua orang itu telah sadar dan agaknya melakukan pengejaran.

Pemuda itu maklum betapa bahayanya kalau sampai mereka dapat dikejar oleh Lam-hai Giam-lo dan kawan-kawannya. Dia tahu bahwa tempat itu terdapat banyak sekali orang pandai, maka dia pun lalu mengajak gadis itu melanjutkan pelarian mereka memasuki hutan yang liar dan gelap diatas sebuah bukit. Setelah tidak lagi terdengar suara orang mengejar, barulah mereka berhenti berlari dan mereka berhenti di bawah sebatang pohon besar.

Karena tadi mereka terus berlarian, apalagi karena Bi Lian baru saja berkelahi melawan dua orang lawan tangguh, gadis itu merasa lelah dan ia pun menjatuhkan diri di atas rumput tebal, lalu duduk bersila mengatur pernapasan dan memulihkan tenaga. Pemuda itu pun tidak mengganggu, melainkan duduk agak jauh, di atas batu dan hanya memandang dengan kagum. Latihan pernapasan gadis itu adalah latihan ilmu yang biasa dilakukan golongan hitam, namun diam-diam dia kagum karena dari cara gadis itu berlatih pernapasan, dia tahu bahwa gadis itu telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi.

Akhirnya Bi Lian membuka matanya dan begitu ia sadar akan keadaan dirinya, pandang matanya mencari-cari dan ia pun melihat pemuda itu duduk agak jauh di atas batu dan memperhatikannya. Ia pun cepat meloncat berdiri dan teringatlah ia betapa pemuda sederhana itu telah menyelamatkannya secara aneh sekali. Ia masih bingung memikirkan bagaimana pemuda itu dapat membawanya lolos dari tangan orang-orang yang demikian lihainya seperti Lam-hai Giam-lo, Kulana dan anak buah mereka. Melihat gadis itu menghampirinya, pemuda itu tetap duduk dan tersenyum lembut.

"Engkau siapakah? Dan bagaimana engkau dapat meloloskan aku dari cengkeraman mereka?" tanya Bi Lian.

"Duduklah, Nona dan mari kita bicara." Jawab pemuda itu. Bi Lian lalu duduk di atas batu di dekat pemuda itu. Tempat itu terlindung pohon besar dan sekeliling mereka penuh dengan pohon dan semak belukar. Mereka berada di dalam sebuah hutan yang amat lebat dan liat.

Setelah gadis itu duduk, pemuda itu pun berkata dengan halus. "Sesungguhnya, hanya kebetulan saja kita bertemu. Aku memang sedang melakukan penyelidikan di tempat tinggal Lam-hai Giam-lo untuk mencari seseorang. Ketika aku melihat engkau dikeroyok oleh dua orang itu, tentu saja aku merasa penasaran dan menegur mereka. Untunglah bahwa kita masih dapat lolos, karena kalau terlambat, entah apa yang akan terjadi. Mereka adalah orang-orang yang amat sakti. Akan tetapi engkau sendiri, seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bagaimana sampai dapat terperangkap di sana, Nona?"

Bi Lian mengerutkan alisnya. Menurutkan wataknya yang keras, ia dapat marah mendengar pertanyaan ini. Pemuda ini ia tanya belum menjawab, belum memperkenalkan keadaan dirinya, sudah balas bertanya, seolah-olah tidak percaya kepadanya. Akan tetapi, ia menahan diri dan menahan kemarahannya karena bagaimanapun juga, harus diakuinya bahwa ia berhutang budi kepada pemuda ini."Hemm, agaknya karena engkau telah menolongku, maka akulah yang harus memperkenalkan diri lebih dulu. Begitukah?" Suaranya jelas mengandung nada ketus dan alisnya berkerut, sepasang matanya yang amat tajam itu seperti sepasang pedang menusuk.

Pemuda itu tersenyum sabar dan menggeleng kepala. "Maaf, bukan maksudku, Nona. Aku memang sungguh merasa tertarik dan heran sekali melihat seorang gadis seperti Nona berani menentang orang-orang seperti mereka itu, karena itulah aku tadi bertanya. Baiklah kalau Nona ingin mengetahui, namaku adalah Pek Han Siong...."

"Aihhh....!!" Bi Lian terbelalak.

Han Siong tersenyum. "Ada apa lagi Nona? Kenapa namaku mengejutkanmu?"

"Jadi engkau inikah Pek Han Siong ... engkau... Sing-tong itu? Kakak kandung Pek Eng?"

Kini pemuda itu yang terbelalak dan bahkan meloncat turun dari atas batu yang dudukinya. "Engkau tahu semuanya, Nona?"

Pemuda itu memang Pek Han Siong. Seperti kita ketahui, pemuda ini mencari jejak Pek Eng, adik kandungnya yang melarikan diri, minggat dari rumah keluarga Pek karena tidak suka dijodohkan dengan keluarga Song dari Kang-jiu-oang. Dia menemukan jejak adiknya itu dan mendengar bahwa adiknya di tawan oleh kaki tangan Lam-hai Giam-lo dan dibawa ke selatan, ke Pegunungan Yunan. Maka dia pun melakukan perjalanan ke sana dan mencari-cari di Pegunungan Yunan sampai akhirnya pada hari itu dia dapat menemukan tempat tinggal Lam-hai Giam-lo dan melihat Bi Lian dikeroyok dua orang lihai itu.

Bi Lian merasa gembira bukan main mendengar bahwa pemuda ini adalah kakak Pek Eng, gadis yang disukainya, gadis yang menjadi tawanan Lam-hai Giam-lo dan kemudian bahkan diambil menjadi murid dan anak angkat. Kiranya Pek Eng tidak bohong, kakaknya itu hebat!

"Sungguh kebetulan sekali!" katanya gembira. "Aku mendengar tentang dirimu dari Adik Eng yang baru saja kukenal. Ia juga berada di sana, kini ia menjadi murid bahkan anak angkat Lam-hai Giang-lo."

"Hehh...??" Tentu saja Han Sion terkejut dan heran bukan main mendengar keterangan itu. "Bagaimana pula ini? Apa saja yang telah terjadi dan engkau... siapakah engkau ini, Nona?"

"Aku Cu Bi Lian..."

Bi Lian berhenti bicara karena ia melihat betapa wajah pemuda itu berubah matanya terbelalak dan muka pemuda itu menjadi agak pucat. "Kau... kau kenapakah?"

"... Cu... Bi... Lian...?" Perlahan-lahan Han Siong mengulang nama ini matanya menatap wajah gadis itu penuh selidik.

"Benar. memangnya kenapa?" Bi Lian balas bertanya.

Han Siong menelan ludah sebelum menjawab, "Tidak apa-apa... rasanya aku seperti pernah mengenal nama itu..." katanya agak gugup. Tentu saja dia mengenalnya. Cu Bi Lian, atau Siangkoan Bi Lian, puteri dari suhu dan subonya! Inilah gadis itu, yang harus dicarinya, bahkan yang oleh suhu dan subonya telah ditunangkan dengan dia, menjadi calon isterinya! Inilah tunangannya. Siapa orangnya tidak menjadi tegang hatinya dihadapkan pada kenyataan yang begini, tiba-tiba dan tidak disangka-sangka?

"Ah, tidak mungkin. Baru sekarang kita saling bertemu." Jawab Bi Lian.

Han Siong masih memandang bengong. Bertemu dengan gadis itu, berhadapan, sadar sepenuhnya bahwa inilah gadis yang diperuntukkan dirinya, yang oleh ayah ibu kandung gadis ini sendiri ditunangkan kepadanya, membuat jantungnya berdebar. Dia menatap penuh perhatian dan harus diakuinya bahwa Bi Lian adalah seorang gadis yang amat cantik jelita dan gagah perkasa. Tubuhnya demikian padat dan ramping, penuh daya kekuatan tersembunyi. Rambutnya panjang dan hita, dikuncir tebal dan digelung di atas kepala. Matanya demikian tajam dan indah, bagaikan sepasang bintang dengan hidung kecil mancung dan mulutnya demikian manis, dengan bibir yang merah basah. Mukanya bulat telur dan tahi lalat di dagu itu. Manis bukan main! Gadis ini puteri suhu dan subonya, akan tetapi diserahkan kepada keluarga Cu sehingga gadis itu tidak tahu bahwa ia sebenarnya She Siangkoan. Menurut suhu dan subonya gadis ini ketika kecil pernah mendapat latihan ilmu dari suhu dan subonya, kemudian gadis itu lenyap. Bagaimana kini Bi Lian dapat menjadi seorang yang sedemikian lihainya?

"Heii! Kenapa engkau memandangku seperti itu?" Bi Lian menegur. Ia memang galak dan paling tidak suka kalau melihat pria memandangnya dengan sinar mata yang mengandung kekaguman, karena biasanya hal ini dianggap sebagai kekurangajaran.

"Ah, tidak, aku.... aku teringat kepada Adikku..."

"Adik Eng? Ia masih berada di sama. Tentu ia tidak tahu bahwa kakaknya telah muncul, bahkan menjadi lawan dari gurunya sendiri."

"Aku sungguh masih merasa bingung mendengar betapa adikku menjadi murid dan bahkan anak angkat orang seperti Lam-hai Giam-lo, dan juga heran melihat engkau berada di antara mereka, Nona."

"Menurut cerita adikmu, ia mencarimu akan tetapi bertemu dengan anak buah Lam-hai Giam-lo lalu ditawan, akan tetapi ia dapat membujuk Giam-lo sehingga ia diterima menjadi murid dan gurunya itu bahkan telah membatalkan ikatan perjodohannya dengan keluarga Kang-jiu-pang. Mengenai diriku, ah, panjang ceritanya dan baru saja kedua orang Guruku tewas di sana karena saling serang sendiri, gara-gara Kulana dan Lam-hai Giam-lo yang berhasil membujuk guruku agar aku mau menjadi calon isteri Kulana."

Han Siong terkejut. Dua orang guru gadis ini tewas karena saling serang sendiri? Orang-orang macam apakah guru-guru gadis ini? "Siapakah guru-gurumu, Nona?" tanyanya, teringat kepada suhu dan subonya.

"Guruku adalah Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi..."

Kembali Han Siong terkejut setengah mati. Dua nama itu adalah nama dua orang datuk sesat yang merupakan iblis-iblis, bahkan mereka adalah dua orang diantara Empat Setan yang tersohor itu. Pantas gadis ini lihai bukan main. Ngeri dia membayangkan bahwa puteri suhu dan subonya itu, yang telah dijodohkan dengannya, telah menjadi murid dua orang datuk sesat itu.

Melihat sikap Han Siong terkejut, Bi Lian tersenyum mengejek. "Memang aku murid mereka. Guru adalah dua orang di antara Empat Setan yang terkenal jahat seperti iblis! Lalu mengapa? Apa kaukira aku juga lalu menjadi jahat?"

"Ah, sama sekali tidak, Nona. Akan tetapi... kalau aku tidak salah dengar bukankah ada hubungan antara Lam-hai Giam-lo dan kedua orang tua itu?"

"Benar, kedua orang guruku masih Susiok dari Lam-hai Giam-lo."

"Kalau begitu Nona masih Sumoi dari Giam-lo."

"Begitu maunya, akan tetapi akau tidak merasa menjadi Sumoinya. Apalagi setelah kedua orang guruku tewas. Dia yang menjadi gara-gara, dia dan Kulana, si keparat! Aku harus membalas kematian dua orang guruku kepada meraka berdua!"

Tiba-tiba Han Siong memberi isarat kepada gadis itu yang agaknya juga sudah melihat berkelebatnya bayangan orang di kejauhan. Keduanya sudah menyelinap dan lenyap bersembunyi di balik batang pohon besar sambil mengintai bayangan itu bergerak cepat sekali dan tak lama kemudian mereka berdua melihat seorang laki-laki telah berada di situ. Melihat orang ini, Bi Lian marah sekali dan ia pun sudah melompat keluar dari balik pohon sambil membentak.

"Kulana jahanam, engkau datang mengantar nyawa!"

Bi Lian meloncat keluar dan langsung menyerang dengan tusukan kedua jari tangan kiri ke arah pelipis lawan, sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah lambung. Serangan ini cepat dan kuat, dahsyat bukan main karena dilakukan dalam keadaan marah dan penuh dendam. Han Siong terkejut melihat serangan itu dan hampir saja dia turun tangan mencegah kalau saja dia tidak melihat bahwa orang yang diserangnya itu pun bukan orang sembarangan. Laki-laki itu juga terkejut karena tidak menyangka bahwa di tempat itu dia akan diserang seorang gadis yang dimikian lihainya, apalagi serangan itu merupakan serangan maut. Namun, dia bersikap tengan dan sigap sekali. Dengan kecepatan seorang ahli, tubuhnya sudah merendah sehingga tusukan ke arah pelipis itu luput, sedangkan cengkeraman tangan kanan Bi Lian ke arah lambungnya ditangkis dengan gerakan memutar.

"Dukk!" Dua lengan bertemu dan akibatnya, kedua orang itu terdorong mundur dan merasa betapa lengan mereka masing-masing tergetar hebat, tanda bahwa keduanya memiliki tenaga sinkang yang amat kuat berimbang.

Bi Lian semakin marah, ia memang sudah tahu akan kelihaian Kulana, maka ia pun sudah siap untuk menyerang mati-matian. Akan tetapi pada saat itu terdengat Han Siong berseru kepadanya.

"Nona, tahan dulu, jangan serang dia!"

Bi Lian mengerutkan alisnya. Ia tidak mengharapkan bantuan Han Siong, akan tetapi ia pun tidak ingin pemuda itu mencegah niatnya. "Hemm, Pek Han Siong, engkau mau apa sih sebenarnyar?" ia membentak.

"Nona Cu, lihat baik-baik. Dia ini bukanlah Kulana!"

Barulah Bi Lian terkejut dan ia memandang penuh perhatian. Hemm, pemuda itu ada apakah? Jelas orang ini Kulana, mengapa berkata bahwa dia bukan Kulana? Bi Lian mengamati orang itu. Wajahnya yang anggun berwibawa, pakaiannya yang seperti pakaian bangsawan, mewah dan indah dengan kain kepala warna-warni dihias burungan merak emas permata, pandang matanya yang lembut namun mencorong dan sikapnya yang tenang dan halus. Siapa lagi kalau bukan Kulana?

Mulana tersenyum dan balas menjura.

"Akan tetapi Ji-wi belum mengenal betul siapa aku ini. Mungkin Ji-wi sudah mengenal Kulana. Ketahuilah bahwa aku bernama Mulana dan aku adalah saudara kembarnya dari Kulana. Tadinya kehidupan kami di Birma dapat dikata amat baik, kedudukan kami berdua terhormat sebagai penasehat raja, dan terutama sekali Kulana membuat jasa besar ketika terjadi penyerbuan paukan Tiongkok dengan mengatur barisan pertahanan yang berhasil memukul mundur musuh. Akan tetapi, dia masih belum puas dan dia melakukan usaha untuk merampas kedudukan raja. Ketika ketahuan, dia melarikan diri dan aku sebagai saudara kembarnya terpaksa ikut pula menjadi buruan. Karena kami berdua dalam hal pemberontakan itu tidak cocok, maka kami saling berpisah dan tidak lagi saling mencampuri urusan pribadi. Aku lalu hidup di bukit ini bersama isteriku yang akan saya perkenalkan nanti kepada Ji-wi. Nah, sekarang harap Ji-wi suka memperkenalkan diri sebagai tamu-tamu yang kami hormati!."

Bi Lian memperkenalkan diri, "Namaku Cu Bi Lian dan aku menjadi tamu dari Lam-hai Giam-lo, akan tetapi karena Kulana meminangku untuk mejadi isterinya dan aku menolak, maka terjadi bentrokan." Ia tidak menceritakan lebih jauh lagi karena ia sendiri tentu saja masih meragukan apakah saudara kembar dari Kulanan ini benar-benar tidak akan membantu saudaranya. "Aku dikeroyok dan mendapat bantuan Saudara Pek Han Siong ini, dan kami berhasil melarian diri sampai bertemu denganmu, Saudara Mulana. Kiranya tidak ada lagi yang dapat kuceritakan."

"Apa yang diceritakan Nona Cu memang benar, Saudara Mulana. Aku pun sedang mencari seorang adik kandungku yang jejaknya menuju ke tampat tinggal Lam-hai Giam-lo dan kebetulan aku melihat Nona Cu dikeroyok oleh Kulana dan Lam-hai Giam-lo, maka aku turun tangan membantunay dan kami melarikan diri ke dalam hutan itu."

Mulana mengangguk-angguk. "Kalian adalah dua orang muda yang luar biasa sekali dan aku senang dapat menjamu kalian sebagai tamu-tamu agung. Dua orang semuda kalian sudah berani bertentangan dengan Kulana dan Lam-hai Giam-lo, sungguh luar biasa sekali! Nah, kita sudah berkenalan, sekarang kita mulai berpesta dan sebaiknya kalau kuperkenalkan kepada isteriku yang tercinta!" Setelah berkata demikian, Mulana mengambil sebuah benda dari saku jubahnya dan ternyata itu adalah sebuah terompet kecil yang segera ditiupnya. Berbeda dengan suara tiupan ketika dia memberitahukan akan kedatangannya kepada para pengawalnya, kini benda itu mengeluarkan suara seperti seekor binatang yang mengeluh penuh duka, suaranya berat dan lirih, akan tetapi bergaung sampai jauh.

Semua pelayan yang sedang sibuk diruangan itu, begitu mendengar suara ini, kelihatan kikuk sekali dan meraka pun banyak yang terdiam. Tak lama kemudian, nampak ada orang muncul dari pintu dalam, diiringkan oleh lima orang gadis pelayan. Ketika Bi Lian dan Han Siong mengangkat muka memandang keduanya terpesona, bahkan Bi Lian sampai terbelalak memandang wanita yang demikian cantik jelitanya, yang keluar dari dalam dengan langkah halus seperti seorang bidadari melayang-layang saja, diikuti oleh lima orang pelayan.

Wanita itu berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, akan tetapi memiliki kecantikan yang amat hebat. Wajahnya demikian halus dengan raut yang demikian sempurna, cantik dan agung walaupun wajah itu terlalu pucat dan coba ditutupi dengan bedak tipis. Wajah itu pantasnya menjadi wajah seorang puteri agung di istana kaisar. Pakaiannya, gelung rambutnya, gerak-geriknya, semua menunjukkan dengan jelas bahwa ia bukan seorang wanita biasa, melainkan seorang wanita bangsawan agung yang memiliki gerak-gerik yang serba teratur. Kedua kaki yang tertutup gaun panjang itu tidak nampak melangkah sehingga kelihatannya ia melayang ketika menghampiri meja perjamuan itu dengan sikap agung, tidak menengok ke kanan kiri, dengan dada terangkat dan kepala tegak, menuju ke arah kursi di samping Mulana yang kosong. Diam-diam Han Siong merasakan sesuatu yang aneh. Wanita itu memang cantik sekali, terlalu cantik di tempat yang seperti itu, akan tetapi ada sesuatu pada pandang mata itu yang tidak wajar, seperti mata seorang yang tidak bersemangat lagi, seperti mata seorang yang berada di bawah pengaruh sihir! Juga dia melihat sinar duka yang teramat mendalam pada pandang mata itu sehingga diam-diam Han Siong mencurahkan perhatiannya dan timbul keinginan tahunya untuk menyelidiki rahasia aneh apa yang ada pada wanita itu.

Sambutan Mulana kepada isterinya itu pun luar biasa. Ketika wanita itu tiba dekat, dia pun bangkit dari tempat duduknya dan dengan senyum lebar dia menyongsong kedatangannya, membungkuk sambil berkata dalam bahasa yang dimengerti oleh dua orang tamunya. "Selamat malam, isteriku yang cantik jelita. Malam ini engkau semakin cantik saja. Silakan duduk dan mari kuperkenalkan kepada dua orang tamu kita yang terhormat."

Sikap Mulana itu seperti dibuat-buat dan Han Siong melihat pancaran yang mencorong aneh dan kejam dari pandang mata tuan rumah itu, yang membuatnya heran sekali. Wanita itu pun menekuk sebelah kakinya dengan sikap yang manis dan lembut sekali ketika diperkenalkan kepada Bi Lian. Kemudian ia mengambil tempat duduk di atas kursi sebelah suaminya dan ketika sinar api lampu dan lilin beraneka warna menimpa mukanya, dian-diam Bi Lian menahan napas saking kagumnya. Wanita ini memang hebat, cantik jelita dan pakaiannya, dari setiap untaian rambut hitam yang dilingkar-lingkar sampai kepada hiasan kuku dari emas, setiap lipatan pakaiannya yang indah, semua memperlihatkan keindahan dan keayuan seorang wanita yang lembut.

Kini para pelayan sibuk mengeluarkan hidangan. Bagaikan sekelompok kupu-kupu saja, gadis-gadis pelayan yang manis-manis itu seperti menari-nari, pergi datang membawa baki terisi masakan-masakan yang masih mengepulkan uap dan terciumlah bau yang sedap, yang membuat perut Bi Lian dan Han Siong yang memang sudah lapar itu mengeluarkan bunyi!

Wajah itu selain cantik juga agung, dengan bentuk wajah yang bulat telur dan kulit mukanya demikian halus dan biapun nampk pucat, namun kehalusannya sungguh jarang dimiliki wanita lain. Rambutnya hitam dan panjang tebal, digelung dengan model gelung puteri bangsawan, mengkilap karena bersih dan diminyaki, dengan anak rambut melingkar-lingkar di sekitar dahi dan pelipis. Alisnya hitam panjang melengkung seperti gambar, melindungi sepasang mata yang bentuknya indah, lebar dan jeli akan tetapi sinarnya redup seperti bulan terhalang awan tipis. Hidungnya mancung dengan cuping yang tipis dan hidup, mulutnya mengandung tantangan berahi yang panas, kedua pipinya kemerahan oleh bedak dan yanci sedangkan kulit lehernya demikian tipis dan halus mulus.

Setelah hidangan lengkap dikeluarkan di atas meja, tiba-tiba Mulana bertepuk tangan dan berkata halus kepada seorang pengawal. "Ambilkan cawan kehormatan dari Tuan Puteri!"

Mendengar ucapan ini, sepasang mata itu terbelalak dan Bi Lian, juga Han Siong, melihat betapa wanita cantik itu dengan kaget menoleh kepada suaminya, memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak, bibir gemetar dan kedua mata itu tiba-tiba menjadi agak basah, lalu terdengar suaranya. "Perlukah....?" Akan tetapi lalu disambung dengan bisikan-bisikan dalam bahasa Birma yang tidak dimengerti oleh dua orang tamu itu. Akan tetapi, dari sikap dan nada suaranya, Han Siong dapat menduga bahwa Sang Puteri itu mengajukan protes. Namun anehnya, Mulana sama sekali tidak menghiraukannya, bahkan memperkuat perintahnya dengan gerakan tangan sehingga kepala pengawal yang tadinya nampak ragu-ragu itu lalu melangkah cepat memasuki ruanga lain yang bersambung dengan ruangan itu.

Bi Lian dan Han Siong saling pandang dan mereka merasa betapa jantung mereka berdebar tegang. Keluarga tuan rumah ini memang aneh dan penuh rahasia yang menegangkan. Ketika kepala pengawal itu muncul kembali, mereka memandang dan keduanya harus mengerahkan sinkang untuk menekan perasaan mereka ketika kepala pengawal itu membawa sebuah benda yang membuat mereka terbelalak. Kepala pengawal itu meletakkan benda itu di atas meja, di sebelah kiri Sang Puteri yang memandang benda itu dengan mata sayu dan basah. Benda itu adalah sebuah tengkorak! Kepala manusia yang tinggal tulangnya saja, akan tetapi terawat baik, bahkan lubang kedua mata dan hidung ditutup denga emas, dan hanya tinggal rongga mulut saja yang terbuka ternganga dan agaknya tengkorak itu kini dipergunakan sebagai sebuah cawan! Cawan yang mengerikan sekali!

"Isi cawan dengan anggur harum untuk menghormati tamu!" Tiba-tiba Mulana berkata dan suaranya terkandung nada gembira sekali seolah-olah dia menikmati perintahnya itu.

Para gadis pelayan lalu membawa guci anggur yang terbuat dari perak dan emas, yang dengan gerak tubuh yang lemah gemulai mereka lalu mengisi cawan arak di depan Bi Lian, Han Siong dan Mulana. Mulana sendiri mengambil guci arak dari tangan pelayannya dan menuangkan anggur ke dalam cawan tengkorak dekat isterinya, melalui mulut tengkorak yang ternganga itu! Kemudian Mulana mengangkat cawan araknya sampai bangkit berdiri.

"Isteriku, mari kita memberi selamat kepada Tuan Pek Han Siong dan Nona Cu Bi Lian yang menjadi tamu agung kita, dengan minum anggur ini! Ji-wi, selamat datang di rumah kami!"

Bi Lian dan Han Siong melongo, memandang kepada nyonya rumah yang juga bangkit berdiri dan nyonya yang cantik itu mengangkat tengkorak itu dengan kedua tangan, diikuti pandang mata suaminya, ia lalu bersama suaminya, minum anggur dari... mulut tengkorak. Bi Lian bergidik ngeri. Nyonya cantik itu kelihatannya seperti berciuman denga tengkorak itu, beradu mulut, dan penglihatan ini sungguh amat menegangkan dan mengerikan hatinya. Juga Han Siong tergetar perasaanya dan jantungnya masih berdebar ketika mereka berempat duduk kembali. Nyonya itu dengan hati-hati meletakkan tengkorak yang sudah kosong itu ke depannya.

"Mari, mari kita menikmati hidangan, Ji-wi. Isteriku, temanilah dua orang tamu kita makan minum!" dengan sikap gembira sekali Mulana lalu mengajak isterinya dan dua orang tamunya makan hidangan yang serba mewah itu. Isterinya, dengan sikap lembut, pandang mata tak pernah ditujukan kepada tamunya ataupun suaminya, seperti seorang dalam mimpi, makan dengan cara yang sopan sekali.

"Ha, makan minum baru enak kalau diselingi cerita menarik. Pek-taihiap dan Cu-lihiap, bagaimana kalau aku menceritakan sebuah dongeng dari negeriku, dongeng yang amat indah dan menarik kepada Ji-wi?"

Bi Lian dan Han Siong saling pandang. Tuan rumah ini tiba-tiba saja menyebut mereka Tai-hiap (Pendekar Besar) dan Li-hiap (Pendekar Wanita), dan hendak mendongeng. Sebagai tamu, tentu daja mereka hanya dapat menyetujui dan mengangguk. Biarpun tempat itu indah dan hidangan yang disuguhkan serba mewah dan lezat, namun pengalaman melihat nyonya rumah minum anggur dari cawan tengkorak itu membuat mereka ingin cepat-cepat menyelesaikan makan malam itu agar mereka dapat segera mengundurkan diri, bahkan mereka mengambil keputusan di dalam hati masing-masing untuk segera pergi meninggalkan tempat itu pada keesokan harinya.

"Di negara kami, di Birma, terdapat seorang puteri yang teramat cantik." Mulana mulai dengan dongengnya. "Demikian cantiknya puteri itu sehingga banyak pria tergila-gila, di antaranya seorang pria bangsawan tergila-gila dan mengorbankan segalanya untuk dapat mempersunting puteri jelita itu. Di antara banyak sekali saingan, pria itu berhasil dan dapat dibayangkan betapa berbahagia rasa hatinya ketika akhirnya di berhasil memperisteri puteri jelita itu."

Mulana berhenti sebentar dan menarik napas panjang. Lalu menengadah, seolah-olah dia membayangkan peristiwa yang didongengkannya itu. Bi Lian dan Han Siong mendengarkan dengan penuh perhatian, dan ketika Bi Lian melirik ke arah nyonya rumah, wanita itu seperti acuh saja, masih melanjutkan makan dengan mempergunakan sumpitnya, mengambil potongan daging kecil-kecil dan memasukkannya dengan sopan ke dalam mulutnya yang kecil, mengunyahnya perlahan tenpa membuka bibir.

"Semua pria di negeri Birma merasa iri dan cemburu, bahkan Sang Raja sendiri pun merasa iri hati. Akan tetapi puteri jelita itu memilih pria yang berbahagia itu dan tak perlu diceritakan lagi betapa besar perasaan cinta kasih pria itu kepada isterinya. Dia mau mengorbankan apa saja, dia siap utuk mencium bekas kaki isterinya, menyembah segala benda yang pernah dijamah isterinya itu. Dan melayani sendiri isterinya seperti budak yang paling hina. Dia setiap minum mempergunakan sandal isterinya itu, setiap hari menulis sajak pujian untuknya menghujaninya dengan segala kemesraan, dengan segala pernyataan cinta yang mungkin dilakukan seorang pria terhadap wanita. Pria itu memujanya, mencintanya, bahkan siap mengorbankan nyawa setiap saat kalau dibutuhkan oleh wanita itu."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar