"Orang she Kwee!" terdengar Siangkoan Leng berseru. "Ingat, ia adalah tawanan kami!"
Mendengar ucapan itu, Pek Eng mendapat akal dan ia pun melangkah maju mendekati kakek dan nenek yang baru datang. "Bohong! Aku bukan tawanannya, buktinya sekarang aku bebas, dan akulah yang menentukan dengan siapa Kakakku dapat bertemu. Kakakku adalah seorang gagah perkasa yang sakti, oleh karena itu tidak dapat bertemu dengan orang sembarangan. Siapa diantara kalian yang lebih lihai, barulah pantas kupertemukan dengan Kakakku!"
Perlu diingat bahwa dua pasang suami isteri ini sejak belasan tahun yang lalu pernah bermusuhan. Dengan mati-matian mereka memperebutkan Sin-tong yang dianggap akan mendatangkan keuntungan besar. Biarpun kemudian mereka bersatu dan bekerja sama, namun kini mereka dihadapkan pada perebutan kembali.
"Hemm, Lam-hai Siang-mo selalu tamak!" kata Tong Ci Ki marah. "Kalian mendengar sendiri kata-kata adik dari Sin-tong ini. Kamilah yang lebih pantas bertemu dengan kakaknya!"
"Tong Ci Ki perempuan iblis bermuka mayat! Engkau lebih percaya kepada bocah ini dan berani menghina kami?" bentak Ma Kim Li dengan marah. "Gadis itu kami yang tangkap, ia milik kami dan kalian tidak boleh mencampuri!"
"Enak saja engkau membuka mulut, Ma Kim Li. Perlu diselidiki lebih dulu siapa diantara kita yang lebih patut bertemu dengan Sin-tong, seperti yang diucapkan gadis itu."
"Benar begitu!" Pek Eng berseru, "Lam-hai Siang-mo memang pengecut, beraninya hanya kepada aku, seorang yang masih amat muda, sekali berhadapan dengan pasangan yang lebih lihai, nyali mereka mengecil dan mereka hanya berani mengandalkan lebarnya mulut saja!"
Lam-hai Siang-mo marah sekali mendengar ucapan itu. mereka berdua mengeluarkan gerengan seperti dua ekor binatang buas, kemudian mereka menerjang ke depan untuk menyerang dan membunuh Pek Eng. Gadis itu cepat meloncat dan menyelinap ke belakang Kwee Siong dan Tong Ci Ki dan suami isteri ini maju menyambut serangan Lam-hai Siang-mo!
"Lam-hai Siang-mo, gadis ini berada dalam lindungan kami!" kata Kwee Siong.
"Bagus! Kalian hendak merampas tawanan kami?" bentak Siangkoan Leng dan dua pasang suami isteri itu sudah saling terjang dan saling serang dengan hebatnya. Tingkat kepandaian mereka memang tidak banyak selisihnya, maka segera terjadi perkelahian yang seru sekali, yang membuat debu mengepul tinggi dan empat ekor kuda meringkik ketakutan.
Melihat betapa siasatnya mengadu domba berhasil dengan baik, Pek Eng lalu melompat dan melarikan diri. Ia tidak berani mempergunakan kuda, karena selain hal ini memakan banyak waktu dan akan lebih mudah mereka lihat, juga di situ masih terdapat tiga ekor kuda lainnya sehingga mereka tetap saja akan dapat mengejarnya dengan berkuda.
Akan tetapi perasaan girang di hati Pek Eng hanya sebentar saja. Belum ada satu li ia melarikan diri, tiba-tiba empat bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu dua pasang suami isteri yang tadinya saling serang itu telah berdiri di depannya! Hal ini amat mengejutkan hati Pek Eng dan dengan mata terbelalak ia memandang mereka, lalu berkata gagap. "Eh... lalu bagaimana hasilnya? Siapa diantara kalian yang... menang....?"
Empat orang itu cemberut! Untung mereka tadi menyadari bahwa mereka telah diadu domba ketika mereka melihat betapa gadis itu melarikan diri. Betapa mereka telah dibodohi oleh seorang gadis muda!
"Bocah setan! Kalau tidak mengingat bahwa engkau adik Sin-tong, sekarang juga engkau sudah kusiksa dan kucabut nyawamu!" bentak Ma Kim Li, marah sekali.
Pek Eng adalah seorang gadis yang tidak saja tabah, akan tetapi juga cerdik sekali. Kini ia yakin bahwa empat orang itu tidak akan membunuhnya, maka ia pun tersenyum dan berkata, "Kalau kalian hendak membunuh pun, aku tidak menyesal. Mati di tangan empat orang kakek nenek yang amat lihai, tidak menjadi penasaran. Akan tetapi, kalian yang akan menyesal karena tanpa aku, jangan harap dapat bertemu dengan Sin-tong!"
"Sudahlah, Lam-hai Siang-mo, tidak perlu banyak cakap dengan bocah setan ini. Kita bawa saja ia menghadap Lam-hai Giam-lo!" kata Tong Ci Ki.
"Menghadap Lam-hai Giam-lo?" Pek Eng berseru dengan wajah menunjukkan kegembiraan. "Bagus sekali! Semenjak mendengar namanya, aku sudah ingin sekali bertemu dengan orang tua itu. Agaknya hanya dia seoranglah yang cukup berharga untuk bertemu dengan Kakakku!" Ia lalu melangkah untuk kembali ke kereta sambil berkata, "Nah, marilah kita berangkat sekarang juga. Mau tunggu apa lagi?"
Empat orang itu saling pandang, tak tahu harus berbuat apa terhadap gadis ini. Kalau saja bukan adik Sin-tong, tentu mereka sudah membunuhnya. Perlu apa susah-susah membawanya menghadap Lam-hai Giam-lo? Akan tetapi, kalau mereka mempersembahkan gadis ini kepada Lam-hai Giam-lo, tentu pimpinan itu akan girang sekali dan mereka akan mendapat pujian dan dianggap berjasa. Kini, tidak perlu lagi mempergunakan kekerasan karena kalau gadis ini mengadukan perlakuan yang tidak patut terhadap dirinya kepada Lam-hai Giam-lo, siapa tahu orang tua itu akan marah kepada mereka dan hal ini sungguh mengerikan.
Demikianlah, Pek Eng tertolong dan terbebas dari siksaan dan perlakuan kasar oleh sikapnya yang penuh ketabahan dan kecerdikan itu. Ia duduk di dalam kereta bersama Ma Kim Li karena Siangkoan Leng mengusiri kereta, sedangkan kakek dan nenek berpakaian hitam itu mengawasi di belakang kereta, di atas kuda mereka.
Sungai Yang-ce merupakan sungai ke dua sesudah Huang-ho yang mengalir jauh dari barat ke timur, melalui puluhan ribu li dan makin lama menjadi semakin lebar. Air sungai Yang-ce membuat lembah Yang-ce, apalagi di bagian timur, menjadi daerah yang subur sekali. Akan tetapi air sungai itu pula yang kadang-kadang mengamuk dengan hebat, membanjiri sawah ladang dan perkampungan merenggut banyak nyawa manusia dan menghancurkan banyak pertanian.
Di dataran tinggi Yunan, di antara bukit-bukit yang tak terhitung banyaknya, Sungai Yang-ce mengalir dengan tenang dan indahnya. Airnya masih belum begitu keruh, juga belum terlalu banyak, melalui celah-celah antara bukit, kadang-kadang melalui jurang-jurang yang amat curam.
Di lereng sebuah bukit di Lembah Yang-ce inilah tinggal Lam-hai Giam-lo yang terkenal sebagai seorang di antara datuk-datuk besar kaum sesat. Seperti telah kita ketahui di bagian depan kisah ini, Lam-hai Giam-lo pernah terpaksa harus melarikan diri dan bersembunyi, menyamar sebagai seorang hwesio di dalam kuil Siauw-lim-si karena dia dikejar-kejar dua orang musuhnya yang amat ditakuti, yaitu Ciang Su Kiat Si Pendekar Buntung lengan kirinya dan Kok Hui Lian. Kedua orang yang pernah nyaris dibunuhnya itu kemudian muncul dengan kepandaian yang mengejutkan dan beberapa kali hampir saja Lam-hai Giam-lo tewas di tangan mereka. Namun, penyamarannya di kuil itu ketahuan oleh sepasang pendekar Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu sehingga terpaksa dia melarikan diri lagi.
Lam-hai Giam-lo adalah seorang datuk sesat yang banyak pengalamannya di dunia kang-ouw, dan memiliki banyak sahabat di dunia golongan hitam. Maka dia pun cepat dapat berhubungan bahkan menarik kaum sesat untuk bersekutu dengan dia. Setelah mengumpulkan banyak harta dari hasi pencurian-pencurian yang dilakukannya sendiri di dalam gedung-gedung para bangsawan di kota raja, Lam-hai Giam-lo lalu tinggal di lembah Yang-ce-kiang ini, di mana dia membangun sebuah rumah besar dan hidup sebagai seorang hartawan dan juga pimpinan golongan hitam. Banyak sudah orang-orang golongan sesat yang berkepandaian tinggi bergabung dengannya, bahkan menjadi pembantu-pembantunya. Di antara mereka itu terdapat suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, suami isteri Lam-hai Siang-mo, bahkan juga Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi yang amat lihai telah menjadi pembantunya pula. Kemudian bahkan Sim Ki Liong yang pernah menyelundup menjadi murid Pendekar Sadis, dibawa oleh Ji Sun Bi dan menggabungkan diri dengan Lam-hai Giam-lo, menjadi tangan kanannya yang dipercaya! Belum lagi datuk-datuk lain, termasuk tokoh-tokoh perkumpulan Pek-lian-kauw. Pengaruh Lam-hai Giam-lo semakin luas bahkan dia mulai mempengaruhi para pembesar di daerah selatan karena setelah menjadi seorang yang menuntut di sebut "bengcu" (pemimpin rakyat), kakek ini bercita-cita untuk menentang kekuasaan kerajaan!
Keinginan manusia untuk memperbesar dirinya menambah semua kemuliaan dan kesenangan dirinya, merupakan penyakit yang tak pernah sembuh sampai manusia mati. Keinginan untuk menjadi lebih daripada keadaan sekarang, merupakan nafsu yang menghanyutkan, makin dituruti semakin membesar dan semakin tamak. Seperti orang kehausan minum-minuman yang terlampau manis, makin banyak minum menjadi semakin haus. Sekali membiarkan nafsu mencengkeram batin, nafsu keinginan memperoleh segala yang belum dimilikinya, maka penyakit itu akan mendarah daging dan terus mencengkeramnya sampai akhir hayat! Kecuali kalau ada kesadaran yang timbul dari pengamatan waspada sehingga kita melihat akan kenyataan diri sendiri, dan kesadaran ini akan secara seketika membuang jauh-jauh nafsu keinginan atau penyakit itu. Bukan berarti kita lalu menjadi mati semangat atau lumpuh, bukan berarti menjadi bosa hidup dan seperti patung atau seperti pohon saja, menerima segala sesuatu tanpa ikhtiar. Ikhtiar untuk memelihara diri adalah wajib, menjaga diri, menempatkan diri, sebaiknya, mencari kebutuhan hidup ini, sandang pangan sewajarnya. Menikmati kesenangan hidup adalah hak kita, karena kita diperlengkapi alat-alat yang sempurna untuk menikmati hidup melalui panca indrya kita. Akan tetapi, ini bukan berarti kita mengejar kesenangan itu, bukan berarti kita dicengkeram penyakit nafsu keinginan mengejar segala keadaan yang belum kita miliki.
Nafsu keinginan mengejar kesenangan ini dapat saja bersembunyi di balik kata-kata yang muluk dan indah, misalnya gagasan-gagasan, cita-cita, harapan-harapan yang dapat saja kita pulas sehingga warnanya menjadi putih dan menamakannya cita-cita mulia, ide-ide sempurna, dan sebagainya. Namun, kesemuanya itu tidak ada bedanya dengan ambisi, keinginan untuk mencapai suatu keadaan atau memperoleh sesuatu yang kita anggap akan lebih menyenangkan daripada yang ada sekarang ini! Penyakit ini, yaitu nafsu keinginan mengejar sesuatu, dapat saja menimbulkan penyelewengan-penyelewengan. Kalau yang dikejar itu kesenangan melalui uang, maka dapat menimbulkan pencurian, penipuan, kecurangan, korupsi dan sebagainya lagi. Kalau yang dikejar itu pahala batiniah, maka akan muncul kemunafikan, kepura-puraan. Kalau yang dikejar itu kedudukan, akan timbul persaingan. Kalau yang di kejar itu kesenangan melalui sex, akan timbul pelacuran, perkosaan, perjinaan dan sebagainya.
Gejala yang nampak pada orang yang dihinggapi penyakit itu adlaah kekecewaan yang terus menerus karena dia tidak akan pernah merasa puas. Kepuasan yang dirasakannya hanyalah sekelumit, selewatnya seperti angin lalu saja karena kepuasan sekelumit itu segera sirna lagi di buru penyakit yang ingin mengejar labih lagi. Orang yang berpenyakit seperti ini akan selalu mengejar yang tidak ada, sehingga tidak akan mampu menikmati apa yang ada. Pandang mata batinnya tak pernah ditujukan untuk mengamati keindahan apa yang ada, melainkan menerawang selalu ke arah bayangan apa yang dinginkannya, yang selalu membesar, membengkak, dan menjauh. Berbahagialah orang yang bebas dari penyakit ini, dan hidup di saat ini, menikmati apa yang ada dengan segala kewajarannya.
Lam-hai Giam-lo, murid mendiang Lam-kwi-ong, seorang diantara datuk yang terkenal dengan sebutan Empat Setan, kini bercita-cita untuk menjadi pimpinan golongan sesat, membangun dunia hitam kembali seperti yang pernah dilakukan Cap-sha-kwi (Tiga Belas Setan) yang kemudian kekuasaannya di rebut oleh Raja Iblis dan Ratu Iblis (baca Asmara Berdarah). Dia ingin mengikuti jejak Empat Setan, yaitu empat orang datuk sesat di empat penjuru, dan dengan kekuatan baru dari kaum sesat ini dia bercita-cita untuk bersekutu dengan para pemberontak, menjatuhkan kaisar dan cita-citanya yang paling muluk adalah mengangkat dirinya sebagai kaisar baru
Untuk memperluas kekuasaan dan pengaruhnya, Lam-hai Giam-lo mengutus para datuk yang menjadi pembantunya untuk membujuk tokoh-tokoh dunia kang-ouw agar suka datang menggabungkan diri atau setidaknya mengakui kepemimpinannya. Dia tidak sayang menghamburkan uang untuk menarik hati para tokoh itu, seperti yang dilakukan oleh dua pasang suami isteri iblis dari selatan dengan hasil baik.
Para utusan lainnya belum kembali ketika Sepasang Iblis Laut Selatan dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan tiba bersama Pek Eng di tempat tinggal Lam-hai Giam-lo. Pek Eng diam-diam memperhatikan keadaan rumah besar itu dan sekelilingnya. Rumah itu berdiri di lereng bukit, di tepi Sungai Yang-ce-kiang dengan aman karena berada jauh di atas sungai itu sehingga tidak khawatir dilanda banjir. Rumah besar itu berdiri sendiri tanpa tetangga, di tengah hutan dan pemandangan di daerah itu sungguh indah. Ketika dengan halus namun memerintah para penawannya menyuruh ia turun dan mengikuti mereka memasuki beranda rumah, Pek Eng melihat betapa rumah itu dilengkapi dengan perabot-perabot rumah yang serba mewah, dan ketika mereka memasuki pintu gerbang depan tadi, ia melihat belasan orang penjaga yang nampaknya galak dan kuat, akan tetapi yang segera memberi hormat ketika dua pasang suami isteri iblis itu masuk. Kini, di beranda depan mereka disambut oleh lima orang gadis pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik. Diam-diam Pek Eng merasa kagum dan heran. Melihat para penjaga itu, perabot rumah yang mewah, dan para pelayan ini, sepantasnya orang yang berjuluk Lam-hai Giam-lo adalah seorang bangsawan tinggi, seorang pembesar tinggi atau seorang yang kaya raya!
"Ngo-wi, (Anda Berlima) diminta untuk menanti Bengcu di kamar tunggu." Kata seorang di antara lima gadis pelayan itu. Lam-hai Giam-lo memang cerdik. Diam menyuruh semua pelayan dan anak buahnya untuk menyebut bengcu (pemimpin rakyat) kepadanya agar sebutan ini melekat pada dirinya dan siap pun akan menganggap dia seorang pemimpin besar rakyat yang kelak tentu saja pantas kalau menjadi kaisar apabila gerakannya berhasil. Dua pasang suami isteri iblis itu tidak merasa heran mendengar ucapan gadis pelayan itu, akan tetapi Pek Eng merasa kagum. Hebat juga orang yang menjadi pimpinan itu, lebih dahulu sudah mengetahui akan kedatangan mereka berlima. Ia tidak tahu bahwa memang Lam-hai Giam-lo memasang banyak sekali mata-mata dan penyelidik sehingga begitu memasuki daerah itu, mereka berlima telah diketahui orang dan telah dilaporkan kepada Lam-hai Giam-lo bahwa dua pasang suami isteri iblis yang menjadi pembantu-pembantunya itu datang berkunjung bersama seorang gadis yang tidak dikenal.
Ruangan tamu itu luas sekali. Terdapat banyak kursi di situ, mepet di dinding yang dihiasi lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan indah. Di sudut ruangan itu terdapat pot-pot tanaman yang menyegarkan. Ruangan tamu itu tentu akan dapat menampung ratusan orang tamu.
Dua orang pelayan wanita keluar membawa arak dan air teh, dihidangkan di atas meja depan lima orang tamu yang menunggu itu. Dari gerakan mereka yang cekatan dan gesit, Pek Eng dapat menduga bahwa para pelayan itu tentu memiliki ilmu silat yang cukup baik. Mereka menghidangkan minuman tanpa kata, lalu pergi lagi meninggalkan ruangan yang kembali menjadi sunyi. Tak lama kemudian, muncul seorang pelayan lain di pintu tembusan dan berseru dengan suaranya yang halus.
"Bengcu datang!"
Dan dengan sikap hormat pelayan itu berdiri di samping sambil membungkuk.
Dua pasang suami isteri bengkit berdiri dan melihat ini, tanpa disuruh lagi Pek Eng juga bangkit berdiri. Bukan sekedar ikut menghormat, akan tetapi terutama sekali untuk dapat melihat dengan jelas bagaimana keadaan orang yang agaknya amat penting dan berkuasa itu.
Ketika Lam-hai Giam-lo muncul di pintu tembusan itu, Pek Eng memandang penuh perhatian dan ia tidak dapat menahan ketawanya karena hatinya merasa geli sekali, seperti digelitik. Orang yang disebut Malaikat Elmaut Laut Selatan itu, yang demikian ditakuti dan dihormati oleh orang-orang sakti seperti dua pasang suami isteri iblis ini, yang memiliki rumah besar seperti istana pembesar tinggi, ternyata hanyalah seorang kakek yang lucu sekali. Usianya tentu kurang lebih enam puluh tahun, mukanya lucu seperti muka kuda, dan matanya sipit seperti terpejam telinganya berdaun lebar dan tubuhnya tinggi kurus, ditambah lagi ketika melangkah, kakinya agak terpincang! Melihat bentuk wajah dan tubuhnya orang ini lebih pantas menjadi seorang pengemis yang cacat tubuhnya. Akan tetapi pakaiannya mewah sekali, berkembang-kembang, dan kepalanya yang rambut hanya sedikit itu memaki sebuah topi sutera yang berhias bulu burung amat indahnya.
Melihat gadis yang tidak dikenalnya itu tertawa walaupun ditahannya, Lam hai Giam-lo yang sudah berjalan menghampiri itu tiba-tiba menggerakkan tangan kanannya dan... lengan itu mulur dan sekali jari tangannya bergerak, dia sudah menangkap leher baju Pek Eng di bagian tengkuk dan gadis itu tiba-tiba merasa betapa tubuhnya terangkat ke atas! Pek Eng yang tadinya tertawa geli itu terkejut bukan main. Orang yang wajahnya seperti kuda itu dapat menangkapnya semudah itu, hanya ibu jari dan jari telunjuk menjepit leher bajunya di tengkuk dan mengangkatnya, padahal orang itu berdiri dalam jarak dua meter darinya. Lengan itu dapat mulur panjang!
"Mengapa engkau tertawa?"
Terdengar suara Lam-hai Giam-lo dan Pek Eng yang sudah terkejut itu menjadi semakin ngeri mendengar suara kakek ini seperti ringkik kuda, pecah dan parau!
Pek Eng memang cerdik. Walaupun ia terkejut bukan main dan merasa ngeri ketika tubuhnya yang diangkat itu kini didekatkan sehingga ia dapat memandang wajah aneh itu dari jarak dekat, namun ia dapat menekan rasa takutnya dan ia malah tesenyum.
"Kakek yang baik, engkaukah bengcu yang dijuluki Lam-hai Giam-lo? Ketika dua pasang suami isteri iblis itu membawaku ke sini dan mendengar namamu, aku merasa takut setengah mati, mengira bahwa sesuai dengan julukanmu, engkau tentulah seorang kakek yang bertubuh raksasa dan berwajah menakutkan dan kejam sekali. Akan tetapi, apa yang kulihat? Engkau sama sekali tidak menakutkan, tidak kelihatan kejam, bahkan kelihatan berhati baik walaupun berbeda dengan orang-orang biasa, aku tertawa karena hatiku lega."
Mendegar ini Lam-hai Giam-lo tersenyum dan lenyaplah sinar mencorong dari matanya. Kalau saja Pek Eng keliru bicara sedikit saja, tentu sekali banting gadis itu akan tewas seketika! Lengan itu mulur kembali dan Pek Eng mendapatkan dirinya diturunkan di tempat tadi, diantara dua pasang suami istri yang masih berdiri dengan ikap hormat itu.
"Siapa yang membawa gadis ini ke sini dan siapa ia?" Suaranya yang parau dan pecah itu pendek-pendek saja namun mengandung wibawa menakutkan.
Kini Siangkoan Leng yang menjawab dan sungguh aneh sekali terdengar oleh Pek Eng karena suara kakek yang amat lihai ini terdengar agak gemetar dan sikapnya seperti orang yang ketakutan.
"Kami berdua yang membawanya ke sini. Harap Bengcu ketahui bahwa gadis ini adalah adik dari Pek Han Siong, dan ia bernama Pek Eng...."
"Aku tidak mengenai dan tidak peduli akan nama-nama itu!"
Lam-hai Giam-lo memotong singkat dan ketus. Memang, beberapa tahun yang lalu dia adalah seorang laki-laki yang memiliki kelemahan terhadap wania muda dan cantik, akan tetapi sekarang, setelah dia memiliki ambisi yang lebih tinggi dan setiap hari dikelilingi para pelayan wanita yang muda dan cantik dan setiap saat siap untuk melayani dan menyenangkan hatinya, dia tidak tertarik kepada Pek Eng wapaupun gadis ini cukup muda dan cukup cantik manis.
Mendenganr ucapan ini dan melihat sikap pemimpin mereka yang nampak kurang senang, Siangkoan Leng menjadi semakin gelisah. Isterinya, Ma Kim Li lalu menyambung untuk membantu suaminya. "Bengcu, tadinya kami juga hendak membunuh gadis ini, akan tetapi kami dicegah oleh suami isteri Guha Iblis, dan mereka menganjurkan agar gadis ini kami haturkan kepada Bengcu."
Dengan matanya yang sipit akan tetapi kadang-kadang dari garis yang sempit itu keluar sinar mencorong seperti mata kucing di kegelapan, Lam-hai Giam-lo kini memandang kepada suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan. Tanpa bertanya pun sikapnya sudah jelas, minta penjelasan dari meraka.
Tong Ci Ki mewakili suaminya berkata, "Harap Bengcu tidak mendengarkan ucapan Ma Kim Li yang hendak menimpakan kesalahan kepada kami. Adalah menjadi keinginan kami berempat bahwa gadis ini dihadapkan kepada Bengcu, gadis ini dihadapkan kepada Bengcu, walaupun yang menangkapnya adalah Lam-hai Siang-mo. Kami mengira bahwa Bengcu tentu akan tertarik, mengingat bahwa gadis ini adalah adik dari Pek Han Siong yang terkenal sebagai Sin-tong yang pernah diperebutkan, bahkan dicari oleh para pendeta Lama di Tibet."
Lam-hai Giam-lo mengerukan alisnya dan sepasang matanya agak melebar sehingga makin nampak biji mata yang mengeluarkan sinar kehijauan itu, "Kita bukan anak-anak kecil yang mempercayai ketahyulan para pendeta Lama. Kita memiliki cita-cita yang lebih tinggi! Aku tidak peduli dengan segala macam Sin-tong!"
"Bagus sekali!" Tiba-tiba Pek Eng berseru sambil mengangkat kedua tangan ke atas. "Sudah kuduga bahwa Bengcu adalah seorang yang bijaksana, pandai dan tidak tahyul atau bodoh seperti dua pasang suami isteri iblis ini! Kakakku Pek Han Siong adalah orang biasa, bagaimana disebut Sin-tong? Sin-tong atau orang-orang besar lainnya adalah orang-orang yang diciptakan Tuhan untuk menjadi lain daripada orang biasa, maka tentu juga memiliki kelainan dalam bentuknya. Akan tetapi Kakakku orang biasa saja pemuda biasa yang tiada bedanya dengan orang lain. Berbeda dengan Bengcu, misalnya. Bengcu telah diciptakan oleh Tuhan dalam bentuk yang lain dari pada manusia umumnya, oleh karena itu dapat menjadi Bengcu, bahkan pantas untuk menjadi kaisar sekalipun!" Gadis ini memang asal bicara saja untuk menyenangkan hati pemimpin kaum sesat yang mengerikan itu, juga agar kakek itu tidak tertarik kepada kakaknya. Ia pun kagum sekali akan kepandaian Lam-hai Giam-lo yang luar biasa. Walaupun belum melihat seluruh kepandaiannya, baru melihat cara kakek itu tadi menangkapnya saja sudah membuktikan bahwa kakek itu memang sakti bukan main. Juga sikap empat orang datuk itu membuktikan bahwa Bengcu itu amat ditakuti, maka dapat dibayangkan betapa hebat kepandaiannya. Mendadak saja timbul suatu keinginan di hati Pek Eng. Kalau saja ia dapat menjadi murid kakek sakti ini!
Ucapan yang hanya ngawur itu ternyata amat mengena di hati Lam-hai Giam-lo. Dia amat terkesan ketika mendengar bahwa gadis itu menganggap dia seorang manusia luar biasa, yang secara istimewa diciptakan Tuhan untuk menjadi kaisar!
"Nona kecil, siapakah namamu tadi?" Tiba-tiba Bengcu itu bertanya, suaranya terdengar ramah sehingga dua pasang suami isteri itu terkejut, heran dan juga merasa lega. Suara itu menunjukkan bahwa pemimpin mereka itu tidak merah lagi.
"Bengcu, namaku adalah Pek Eng."
Pek Eng, keberanianmu menyenangkan hatiku. Sekarang engkau telah berada di sini, sebelum engkau kubebaskan dan boleh pergi, engkau dapat mengajukan sebuah permintaan kepadaku, tentu akan kupenuhi."
Mendengar ini, dua pasang suami isteri itu terkejut dan heran. Mereka memang merasa lega, akan tetapi terheran-heran karena belum pernah mereka melihat Lam-hai Giam-lo begini ramah dan pemurah terhadap seorang yang sama sekali asing, kecuali terhadap para pembantunya.
Pertanyaan yang tidak diduga-duga oleh Pek Eng itu membuat gadis ini merasa terkejut dan heran pula. Akan tetapi tanpa ragu-ragu lagi ia pun lalu menjawab, "Bengcu, aku percaya sepenuh hatiku bahwa seorang yang hebat seperti engkau ini, seorang Bengcu yang berkedudukan tinggi...."
"...... juga seorang calon kaisar ....." kata bengcu itu dengan gembira.
Tanpa memperlihatkan keheranannya karena ia kini mengerti bahwa kebaikan sikap bengcu itu adalah karena kata-katanya tadi, maka ia pun melanjutkan,
".....ya, sebagai seorang calon kaisar, tentu engkau akan memegang teguh kata-kata yang sudah dikeluarkan. Bengcu, ada sebuah permintaanku yang kuajaukan kepadamu, yaitu, aku minta agar engkau menerima aku menjadi muridmu!"
Kembali dua pasang suami isteri iblis itu terkejut melihat keberanian anak perempuan itu. Sudah diberi kebebasan sudah untung sekali anak ini, pikir mereka. Masa masih minta lagi agar diterima sebagai murid? Mereka tahu bahwa bengcu itu tidak pernah menerima murid.
Kini sepasang mata yang sipit itu membuka dan mulut yang bentuknya maju ke depan seperti mulut kuda itu pun mengeluarkan suara ketawa yang mirip bunyi ringkik seekor kuda. "Heih-he-he! Engkau memang anak yang pintar sekali, Eng Eng! Mulai sekarang, engkau adalah muridku dan engkau tidak akan kecewa karena akan kuturunkan ilmu-ilmu pilihan untuk kaupelajari, bahkan engkau kuanggap sebagai puteriku sendiri!"
"Terima kasih atas kebaikan hati Bengcu!" kata Pek Eng dan ia pun cepat memberi hormat.
"Ha-ha-ha, peruntungan bagus sekali, Nona!" kata Siangkoan Leng, gembira juga karena pemimpin itu tidak jadi marah kepadanya.
"Engkau membuat kami merasa iri, Nona." Kata pula Kwee Sing. "Akan tetapi kenapa engkau tidak menyebut Suhu atau Ayah kepada Bengcu?"
Dengan sikap bersungguh-sungguh Pek Eng berkata, "Bengcu akan merasa lebih senang kalau dipanggil Bengcu, karena memang dia seorang pimimpin besar rakyat yang kelak akan menjadi kaisar. Kalau kupanggil Ayah, aku sendiri masih mempunyai seorang Ayah kandung, jadi seolah-olah membangdingkan dia sederajat dengan orang lain. Kalau Suhu, kiranya tidak patut seorang calon kaisar disebut Suhu! Bukankah begitu, Bengcu?"
Lam-hai Giam-lo mengangguk-angguk dan kembali dia berkata kepada dua pasang suami isteri itu. "Kalian berempat boleh memberi laporan sekarang. Dan engkau, Eng Eng, engkau duduk di sini di samping Ayah!"
Dua pasang suami isteri iblis itu lalu membari laporan tentang hasil tugas mereka dan Lam-hai Giam-lo mengangguk-angguk gembira ketika mendengar betapa meraka berhasil membujuk orang-orang kang-ouw untuk mengakuinya sebagai bengcu. Setelah mereka selesai dengan laporan mereka, dia pun berkata,
"Kalian tunggu di sini. Yang lain-lain belum pulang dari tugas, dan pada pertengahan bulan nanti, di waktu bulan purnama, akan berkunjung orang-orang penting. Buatlah persiapan untuk sebuah pesta besar dan kalau mereka datang semua, sedikitnya akan hadir lima belas orang. Mari, Eng Eng, mari ikut aku ke kebun belakang, aku sudah ingin sekali menguji kepandaianmu agar aku tahu sampai di mana tingkatmu."
Gadis itu mengikuti kakek itu dengan hati girang. Tak disangkanya bahwa nasibnya berubah demikian baiknya. Setelah menjadi tawanan Lam-hai Siang-mo yang nyaris membunuhnya dan dibawa kepada datuk besar pemimpin para tokoh sesat yang amat lihai, ia tidak diganggu, tidak dibunuh bahkan diangkat menajadi murid dan anak angkat!
Kebun itu luas sekali, ditanami pohon-pohon buah, sayur-sayuran, dan juga sebagaian dijadikan taman bunga. Di tengah kebun itu terdapat petak rumput yang luas dan memang enak sekali dipakai untuk berlatih silat. Setelah tiba di situ, Lam-hai Giam-lo duduk bersila di atas batu hitam yang bentuknya seperti piring, dan berkata, "Nah, sekarang perlihatkan kepandaianmu!"
"Bengcu, aku hanya mempelajari ilmu silat yang dangkal saja, harap jangan diketawai dan suka memberi petunjuk!" kata Pek Eng, sikapnya tetap lincah namun menghormat tidak berlebihan, nampak sikapnya itu akrab seolah-olah memang sudah bertahuntahun ia menajdi murid dan anak angkat iblis itu.
Pek Eng lalu bersilat dan ia mengeluarkan semua kepandaiannya, mengerahkan tenaganya sehingga tubuhnya berkelabatan cepat sekali, pukulan dan tendangan kakinya mengeluarkan suara angin menyambar-nyambar. Setelah ia selesai bersilat tangan kosong, lalu ia mengambil ranting dan mempergunakannya sebagai pedang, bersilat pedang.
Lam-hai Giam-lo mengangguk-angguk,
"Hemm, ilmu silatmu sudah lumayan, akan tetapi masih jauh kalau dibandingkan dengan tingkat para pembantuku. Aku akan menurunkan beberapa ilmu silat pilihanku saja dan kalau engkau sudah menguasai ilmu-ilmu itu, kiranya para pembantuku sendiri akan sukar untuk mengalahkanmu."
"Bengcu, menghadapi seorang diantara dua pasang suami isteri itu saja aku tidak mampu berbuat banyak!"
"Heh-heh, tentu saja dalam keadaanmu sekarang. Akan tetapi, tunggu paling lama setahun saja engkau sudah akan mampu mengalahkan seorang di antara mereka. Eng Eng, sekarang ceritakan, mengapa engkau meninggalkan rumah orang tuamu sampai engkau tertawan oleh Lam-hai Siang-mo?"
Ditanya demikian secara tiba-tiba Pek Eng terkejut. Akan tetapi ia tidak mejadi gugup, bahkan tiba-tiba saja ia mampu memaksa perasaanya sehingga kedua matanya menjadi basah denga air mata! Tidak sukar baginya untuk membuat hatinya berduka. Bagitu ia mengingat akan keputusan orang tuanya bahwa ia dijodohkan dengan Song Bu Hok, hatinya seperti ditusuk dan air mata pun amat mudah keluar membasahi matanya.
"Eh engkau menangis?" tanya Lam-hai Giam-lo.
Pertanyaan ini mendorong keluar air mata Pek Eng semakin banyak lagi dan sekali ini ia benar menangis, bukan bersandiwara lagi karena ia teringat betapa usahanya mencari Pek Han Siong dan juga Hay Hay mengalami kegagalan dan ia teringat akan pertunangan yang tidak disetujuinya itu sehingga ia tidak ingin kembali ke rumah orang tuanya.
"Bengcu," katanya setelah ia dapat menahan tangisnya, memandang kepada kakek itu dengan mata agak kemerahan dan kedua pipi basah. Kini, setelah ia merasa menjadi murid kakek itu, wajah yang bentuknya aneh menakutkan itu tidak lagi kelihatan menyeramkan.
"Sesungguhnya, aku meninggalkan rumah orang tuaku tanpa pamit."
Kakek itu tertawa, agaknya senang mendengar ulah muridnya. Bagi dia, sikap ugal-ugalan itu malah menarik dan menyenangkan!
"Kenapa engkau minggat?"
"Aku dipaksa untuk dijodohkan dengan seorang pemuda yang tidak kusukai, orang tuaku telah menerima lamaran keluarga Song. Aku lalu lari meninggalkan rumah untuk mencari Kakak kandungku yang bernama Pek Han Siong."
"Di mana adanya Kakakmu itu?"
Pek Eng sudah merasa menyesal menyebut nama kakaknya. Kalau sampai gurunya ini tertarik pula kepada Sing-tong, jangan-jangan kakaknya akan terancam bahaya. "Aku tidak tahu, Bengcu. Aku mencarinya dengan ngawur saja. Akan tetapi ...." Ia teringat akan suatu kesempatan yang baik dan juga untuk mengalihkan percakapan, "....maukah Bengcu mendatangi keluarga Song itu dan membatalkan perjodohan itu? Sebagai guru dan Ayah angkatku, tentu Bengcu barhak mengurus diriku dan membatalkan ikatan jodoh itu!"
"Di mana tinggalnya keluarga Song itu?"
"Ayah pemuda itu adalah Ketua Kan-jiu-pang di Cin-an, bernama Song Un Tek dan pemuda itu bernama Song Bu Hok. Bengcu, marilah kita ke sana dan kaubatalkan ikatan jodoh itu!"
Lan-hai Giam-lo tersenyum menyeringai dan suara ringgkik kuda itu menunjukkan bahwa dia tertawa. "Tidak perlu aku sendiri yang ke sana. Cin-an tidak dekat dan kalau aku yang pergi ke sana, akan makan waktu lama dan pekerjaan di sini dapat terbengkelai....."
"Aih, kalau begitu Bengcu hanya pura-pura saja suka kepadaku, mengangkatku sebagai murid dan bahkan anak!" Pek Eng berkata sambil cemberut dan memperlihatkan muka kecewa."Heh-heh, bukan begitu, muridku yang baik! Aku sendiri tidak dapat pergi ke Cin-an, akan tetapi apa sih sukarnya membatalkan ikatan perdojohan yang tidak kausukai itu? Pembantuku cukup banyak, dan Kang-jiu-pang, kalau mau selamat, harus mentaati perintahku. Jangan khawatir, muridku, anakku, ikatan perjodohan itu batal sudah, heh-heh!"
Ucapan Lam-hai Giam-lo ini bukan sekedar membual belaka, karena pada hari itu juga dia mengutus Lam-hai Sing-mo, suami isteri yang menjadi orang-orang kepercayaanya itu untuk pergi ke Cian-an, berkunjng ke perkumpulan Kang-jiu-pang dan menemui ketuanya untuk membatalkan ikatan jodoh antara Pek Eng dan Song Bu Hok.
Giranglah hati Pek Eng karena ia percaya bahwa suami isteri iblis yang amat lihai itu tentu akan mampu memaksa keluarga Song untuk membatalkan atau memutuskan ikatan jodoh yang tidak dikehendakinya itu. Ia pun semakin suka kepada gurunya dan mulailah ia melatih diri dengan tekun di bawah bimbingan Lam-hai Giam-lo. Gadis ini pandai sekali mambawa diri sehingga Lam-hai Giam-lo yang tidak pernah mempunyai isteri atau anak itu menjadi semakin sayang dan menganggap Pek Eng seperti anaknya sendiri.
Pertengahan bulan itu tiba dengan cepatnya dan suami isteri Guha Iblis Panai Selatan yang bertugas jaga di luar, segera melihat munculnya para rekannya yaitu tokoh-tokoh yang membantu gerakan Lam-hai Giam-lo. Berturut-turut datang Min-son Mo-ko, Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi, Sim Ki Liong yang kini selalu berdua denga Ji Sun Bi, dan beberapa orang tosu Pek-lian-kauw. Kemudian, bermunculan pula para tamu yang dinanti-nanti oleh Lam-hai Giam-lo.
Karena waktu yang ditentukan masih kurang sehari lagi, maka ramailah keadaan di tempat itu. Para tamu memperoleh kamar-kamar tamu yang banyak terdapat di rumah besar itu dan dalam hal melayani para tamu itu, Lam-hai Giam-lo bersikap royal sekali. Bukan hanya hidangan yang lezat dikirimkan kepada mereka di kamar masing-masing, akan tetapi segala kebutuhan para tamu dipenuhi, dan mereka itu dilayani seperti tamu-tamu agung saja sehingga para tamu itu merasa puas dan gembira. Malam harinya disediakan hiburan berupa pertunjukan tarian dan nyanyian yang berlangsung sampai jauh malam.
Pek Eng yang kini menjadi murid, bahkan anak angkat Lam-hai Giam-lo, tidak ikut menyambut para tamu, bahkan tidak mencampuri kesibukan para pembantu gurunya itu. Ia bersumbunyi saja di kamarnya karena merasa tidak suka melihat sikap para pembantu gurunya, dan ketika ia diperkenalkan kepada semua pembantu gurunya, dan ketika diperkenalkan kepada Sim Ki Liong, diam-diam ia terkejut dan merasa heran bagaimana seorang pemuda yang kelihatan demikian tampan, halus dan sama sekali tidak mencerminkan watak jahat, dapat menjadi pembantu gurunya yang mengepalai para tokoh sesat. Pek Eng tahu bahwa ia hidup di antara para datuk sesat, bahwa gurunya adalah seorang tokoh besar golongan hitam. Namun ia tidak mempedulikan hal ini. Ia berada di situ hanya ingin mempelajari ilmu silat tinggi dari Lam-hai Giam-lo dan ia tidak akan mau mencampuri urusan persekutuan yang sedang dikerjakan oleh gurunya dan para pembantunya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali muncullah Lam-hai Sing-mo, di sambut oleh Lam-hai Giam-lo dan Pek Eng dan mereka bercakap-cakap di ruangan dalam, berempat saja. Lam-hai Siang-mo, suami isteri iblis itu lalu menceritakan pelaksanaan tugas mereka pergi berkunjung ke Cin-an, mencari perkumpulan Kang-jiu-pang yang diketuai oleh Song Un Tek untuk membatalkan ikatan tali perjodohan antara Pek Eng dan puteranya, Song Bu Hok.
Kedatangan Lam-hai Siang-mo disambut oleh keluarga itu dengan heran karena mereka belum pernah bertemu dengan suami isteri iblis itu walaupun tentu saja mereka pernah mendengar nama besar mereka. Song Un Tek, Ketua Kang-jiu-pang keluar bersama adiknya, Song Un Sui dan puteranya Song Bu Hok, diikuti pula oleh dua puluh orang lebih anggota Kang-jiu-pang. Dengan heran Song Un Tek menyambut suami isteri itu yang tadi memperkenalkan diri kepada penjaga dan minta agar Ketua Kan-jiu-pang keluar untuk bicara dengan mereka.
Biarpun dia seorang ketua perkumpulan yang cukup terkenal, Song Un Tek yang sudah mendengar bahwa yang datang adalah suami isteri yang amat terkenal di dunia kang-ouw, segera memberi hormat kepada mereka.
"Kami merasa terhormat sekali menerima kunjugan Ji-wi (Anda Berdua) yang nama besarnya sudah kami dengar akan tetapi, mari silakan masuk ke dalam dan duduk di ruangan tamu agar kita dapat bicara dengan enak."
Suami isteri itu tidak membalas penghormatan tuan rumah dan dengan sikap dingin dan angkuh Singkoan Leng berkata. "Tidak usah masuk, di sinipun dapat kita bicara!"
Melihat sikap ini, keluarga Song sudah merasa tidak suka, juga para anggota Kang-jiu-pang menganggap bahwa dua orang tamu ini kasar dan tidak menghargai sopan santun sebagai tamu. Akan tetapi, Song-pangcu masih bersabar hati.
"Terserah kepada Ji-wi kalau hendak bicara di sini saja. Nah, keperluan apakah yang Ji-wi bawa sehingga memberi kehormatan kepada kami dengan kunjungan ini?"
"Song-pangcu." Kata pula Songkoan Leng sambil memandang tajam,
"Benarkah engkau mempunyai seorang putera yang bernama Song Bu Hok, kalau benar demikian, man dia?"
Melihat sikap kedua orang tamu ini yang sama sekali tidak menghormati ayahnya, Song Bu Hok berseru galak, "Akulah Song Bu Hok, kalian mau apa mencariku?"
Siangkoan Leng dan Ma Kim Li menoleh dan kini Siangkoan Leng tersenyum mengejek.
"Ah, kiranya engkau! Song-pangcu, apakah engkau masih sayang kepada puteramu?"
Kembali dia menghadapai Ketua Kang-jiu-pang yang mengerukan alisnya denga heran, akan tetapi juga khawatir karena melihat sikap dua orang tamunya, jelas bahwa mereka datang tidak membawa niat yang baik.
"Sesungguhnya, apakah yang Ji-wi maksudkan? Kami tidak merasa mempunyai urusan dengan Ji-wi. Harap memberitahukan apa keperluan Jiwi datang berkunjung ini." Kata Song-pangcu, masih bersikap hormat walaupun dia waspada terhadap kedua orang tamunya.
"Song-pangcu tidak merasa mempunyai urusan dengan kami, akan tetapi kami mempunyai urusan dengan keluargamu. Kami datang unuk bicara tentang ikatan perjodohan antara puteramu Song Bu Hok dengan Nona Pek Eng. Benarkah ada ikatan perdojohan itu?"
"Benar, akan tetapi ada apakah?" Song Un Tek bertanya heran.
Singkoan Leng tersenyum.
"Bagus! Kami datang untuk minta kepada keluarga Song agar membatalkan atau memutuskan tali perjodohan itu!"
"Ahhh....!" Seruan ini keluar dari mulut keluarga Song, juga dari beberapa orang anggauta Kang-jiu-pang yang merasa terkejut sekali. Wajah Song Un Tek, menjadi merah karena kemarahan membakar hati mereka. Keraguan memenuhi hati Song-pangcu ketika dia bertanya.
"Apakah Ji-wi menjadi utusan dari keluarga Pek?"
Siangkoan Leng menggeleng kepalanya. "Kami adalah utusan dari Bengcu kami, yaitu Lam-hai Giam-lo!"
Makin kagetlah Song Un Tek dan Song Un Sui mendengar ini karena mereka sudah mendengar akan nama Lam-hai Giam-lo yang akhir-akhir ini menggemparkan dunia persilatan di bagian selatan.
"Apakah hubungan antara Lam-hai Giam-lo dengan perjodohan putera kami?" kini Song Un Sui yang galak bertanya dengan nada suara yang keras.
"Tidak ada hubungannya dengan perjodohan anakmu, akan tetapi Bengcu kami tidak menghendaki Nona Pek Eng berjodoh dengan Song Bu Hok!"
"Akan tetapi, kami sudah menjalin ikatan perjodohan itu dengan keluarga Pek ....!"
"Tidak peduli! Sekarang Nona Pek telah menjadi murid dan anak angkat Bengcu, dan Bengcu menghendaki agar pertalian ini batalkan dan diputuskan!"
Marahlah Song Un Sui. "Hemm, Ji-wi sungguh terlalu. Kalau kami tidak mau membatalkan, bagaimana?"
"Uuhhh! Siap berani menentang perintah Bengcu akan kuhajar!" Tiba-tiba Ma Kim Li sudah meloncat dan menerjang Song Un Sui dengan gerakan yang amat cepat. Song Un Sui yang bertubuh gendut itu, menangkis kedua tangan lawan yang mencengkeram ke arah kepala dan dadanya, sambil mengerahkan tenaga sin-kang.
"Dukk!" Dua pasang lengan bertemu dan akibatnya, tubuh yang bulat seperti bola itu terjengkang dan bergulingan. Melihat ini, Song Un Tek menjadi marah dan dia pun maju menyerang Siangkoan Leng, sedangkan Song Bu Hok menyerang Ma Kim Li. Para anggauta Kang Jiu-pang tanpa diperintah lagi juga sudah mencabut senjata mereka dan maju mengeroyok. Suami isteri itu mengamuk, dikeroyok oleh dua puluh orang lebih, namun mereka sama sekali tidak menjadi gentar. Dengan tangan kosong suami isteri itu berani menangkis senjata tajam, menampar, dan kedua kaki mereka bergerak cepat menendang, dan akibatnya, dalam waktu yang tidak terlalu lama, semua murid Kang-jiu-pang terlempar ke kanan kiri dan hanya mengaduh-ngaduh, tidak dapat bangkit lagi! Tinggal Song Un Tek yang melawan Singkoan Leng, sedangkan Ma Kim Li dikeroyok oleh Song Un Sui dan Song Bu Hok. Sesuai dengan nama perkumpulan yang dipimpinnya, Kang-jiu-pang (Perkumpulan Tangan Baja), tiga orang kelaurga Song ini hanya mengandalkan kekuatan kedua tangan mereka saja untuk menghadapai dua orang suami isteri yang amat lihai itu. Namun, hanya Ma Kim Li yang dapat ditahan oleh Song Un Sui dan Song Bu Hok, dengan pengeroyokan paman dan keponakan ini, Ma Kim Li bahkan agak terdesak. Akan tetapi di lain pihak, Song Un Tek terdesak hebat oleh Singkoan Leng karena memang tingkat kepandaiannya kalah jauh.
Tiba-tiba Ma Kim Li mengeluarkan lengking panjang dan sinar hitam kecil meluncur dari tangannya, disusul teriakan Song Bu Hok yang terpelanting roboh. Kiranya wanita ini, setelah merasa terdesak, lalu mempergunakan senjatanya yang paling diandalkan, yaitu Jarum beracun! Memang hebat dan berbahaya sekali jarum beracun in dan sekali lepas, sebatang jarum sudah menembus baju pemuda itu dan mengenai pundaknya, membuat dia seketika roboh dan pingsan! Song Un Sui terkejut dan kesempatan selagi dia menengok ke arah keponakannya yang roboh dipergunakan oleh Ma Kim Li untuk menghantam dadanya dan Si Gendut bulat ini pun terpelanting roboh. Hampir pada saat itu juga, Song Un Tek juga roboh oleh tendangan kaki Singkoan Leng!
Kini tidak seorang pun dari Kang-jiu-pang dapat melawan lagi. Song Un Tek dan Song Un Sui hanya dapat bangkit duduk dan mereka berdua memandang dengan mata melotot kapada Lam-hai Siang-mo. Ma Kim Li mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dan melemparkannya kepada Song Un Tek sambil berkata.
"Hanya obatku ini yang mampu mengembalikan nyawa anakmu, Pangcu. Kami hanya memberi peringatan kalau kalian masih membangkang terhadap perintah Bengcu kami dan tidak memutuskan ikatan perdojohan itu, lain kali aku datang mengambil nyawa kalian sekeluarga!" Setelah berkata demikian, suami isteri itu lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Demikianlah laporan Lam-hai Siang-mo kepada Lam-hai Giam-lo dan Pek Eng yang mendengarkan dengan hati gembira. Ia percaya bahwa tentu keluarga Song itu segera membatalkan pertalian jodoh itu. Kalau saja ia tidak memesan kepada gurunya yang kemudian melanjutkan pesanan itu melalui perintahnya kepada Lam-hai Sing-mo, tentu keluarga Song sudah dibunuh dan dibasmi oleh suami isteri iblis itu! Ia memang sudah memesan kepada gurunya bahwa ia hanya menginginkan agar pertalian jodoh itu dibatalkan, dan tidak menghendaki terjadi pembunuhan atas diri keluarga Song.
Ruangan yang luas itu telah menampung para tamu yang sudah berdatangan sejak kemarin. Ada empat belas orang jumlah tamu yang datang memenuhi undangan Lam-hai Giam-lo. Mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw dan datuk-datuk golonga hitam yang sudah terkenal di dunia persilatan. Selain empat belas orang tamu ini, hadir pula di situ para pembantu Lam-hai Giam-lo yang diandalkan, yaitu Lam-hai Song-mo, sepasang suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, Min-san Mo-ko, Ji Sun Bi dan tidak ketinggalan pula Sim Ki Liong yang kini bahkan dianggap pembantu terpandai oleh Lam-hai Giam-lo. Tentu saja di antara para tamu itu terdapat tokoh-tokoh Pek-lian-kauw yang sudah lebih dulu bersekutu denga Lam-hai Giam-lo.
Setelah membuka rapat dan mengucapkan selamat datang, Lam-hai Giam lo lebih dahulu minta pendapat para temunya yang dihormati itu apakah mereka setuju kalau dia menjadi bengcu dan memimpin mereka semua dalam suatu kelompok yang kuat. Sebagaian besar yang sudah mengenai dan tahu akan kelihaian Lam-hai Giam-lo menyatakan setuju, akan tetapi ada beberapa orang yang merasa sangsi.
Seorang di antara mereka bangkit berdiri. "Nanti dulu, Lam-hai Giam-lo, sebelum kami dapa menerimamu sebagai Bengcu, lebih dulu aku ingin sekali mengetahui mengapa engkau mempersatukan kita semua dan mengangkat dirimu menjadi pemimpin."
Beberapa orang yang masih sangsi tadi mengangguk-angguk tanda setuju dengan pernyataan ini dan Lam-hai Giam-lo melihat pula hal ini. Biarpun hatinya merasa tak senang, namun melihat bahwa ada beberapa orang tokoh yang masih sangsi, dia pun bersikap ramah. Dia memandang kepada orang yang mengajukan pertanyaan tadi. Orang itu berusia kurang lebih lima puluh tahun dan bertubuh tinggai kurus. Akan tetapi yang amat mencolok adalah pakaiannya karena pakaian itu putih polos seperti pakaian orang yang sedang berkabung. Akan tetapi semua orang yang hadir tahu belaka bahwa dia bukanlah orang sembarangan. Dia bernama Kim San, Ketua dari Kui-kok-pang. Kui-kok-pang (Perkumpulan Lembah Iblis) adalah perkumpulan golongan hitam amat terkenal yang berada di Kui-san-kok, yaitu Lembah Iblis di Pegunungan Hong-san. Dia melanjutkan pekerjaan kedua orang gurunya yaitu kakek dan nenek Kui-kok Siang-mo (Sepasang Iblis dari Kui-kok) yang mendirikan Kui-kok-pang. Seperti diceritakan dalam kisah Asmara Berdarah, kakek dan nenek iblis ini tewas di tangan Ratu Iblis, dan kakek dan nenek itu adalah dua orang tokoh yang dikenal dalam gabungan tokoh Cap-sha-kwi (Tiga Belas Iblis)
Seperti juga mendiang kedua orang gurunya, selain berpakaian serba putih, juga Kim San atau Kui-kok-pangcu (Ketua Kui-kok-pang) ini memiliki wajah yang putih pucat seperti wajah mayat. Namun hal ini bukan menjadi tanda bahwa dia mengidap penyakit, melainkan karena dia telah menguasai ilmu sin-kang yang luar biasa, yang membuat wajahnya menjadi pucat dan putih.
"Keraguan Kui-kok-pangcu dan pertanyaan itu memang panas karena agaknya engkau belum mengerti akan maksud dia. Hendaknya para saudara yang juga masih bersangsi, mendengarkan baik-baik. Keadaan pemerintah kini kuat dan para pendekar menyembunyikan diri. Hal ini hanya menunjukkan bahwa golongan kita kini amatlah lemahnya dan dianggap tidak ada saja oleh para pendekar sombong. Bukankah ini amat merendahkan martabat kita yang terkenal sebagai golongan hitam? Kita pernah mengalami masa jaya ketika Empat Setan memimpin dunia hitam, dibantu oleh Tiga Belas Iblis. Kemudian muncul Raja dan Ratu Iblis yang mengambil alih kekuasaan, akan tetapi malah membawa kita ke dalam kehancuran."
Kui-kok-pangcu mengangguk-angguk. Kedua orang gurunya pun tewas di tangan Ratu Iblis.
"Kalian semua tentu tahu bahwa Empat Setan terdiri dari mendiang Guruku Lam Kwi Ong, mendiang Susiok (Paman Guru) See Kwi Ong dan masih ada lagi dua orang yaitu Susiok Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi. Kedua orang susiok ini sekarang entah berada di mana, kalau belum menginggal dunia tentu juga sudah amat tua sehingga tidak dapat diharapkan lagi. Nah, tinggal aku seorang yang menjadi penerus Empat Setani! Kini, banyak tersebut murid-murid Tiga Belas Iblis, di antaranya bahkan engkau sendiri, Kui-kok-pangcu, adalah murid dari mendiang Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, dua orang tokoh Cap-sha-kwi (Tiga Belas Iblis), sekarang kalau bukan aku yang memimpin, habis siapa lagi? Dan kalau bukan kita bersama yang bangkit untuk memperoleh kembali kejayaan masa dulu, siapa lagi?"
Pek Eng juga hadir, sejak tadi hanya duduk saja di belakang kursi Lam-hai Giam-lo dan tidak bicara, hanya mendengarkan saja dan ia merasa kagum kepada gurunya yang demikian berwibawa dan ditakuti para tokoh yang aneh-aneh ini. Hatinya lega dan girang bukan main mendengar laporan Lam-hai Siang-mo tadi bahwa ikatan jodoh antara ia dan Song Bu Hok telah dibikin putus! Ia tahu bahwa tentu orang tuanya akan marah sekali, akan tetapi hal itu akan dihadapinya kelak. yang penting, pihak keluarga Song sudah menerima pembatalan itu. Ia telah bebas kini!
Mendengar ucapan Lam-hai Giam-lo, Kui-kok-pangcu Kom San mengangguk-angguk setuju. Akan tetapi, laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun yang bertubuh cebol, hanya setinggi leher Pek Eng, kepalanya kecil akan tetapi tubuhnya besar dan nampak kokoh kuat, kini bangkit berdiri. Suaranya juga kecil seperti kepalanya ketika dia berkata lantang seperti tikus menjerit-jerit.
"Akan tetapi, apa maksudnya diadakan persekutuan ini? Apakah semua pekerjaan kita, perampokan, pencurian, pembajakan, penguasaan tempat perjudian dan pelacuran, semua itu harus dilakukan beramai-ramai? Tanpa tujuan yang jelas, tentu saja aku merasa ragu-ragu untuk menggabungkan diri. Harus dilihat dulu apakah penggabungan ini akan menguntungkan kita ataukah sebaliknya."
"Tentu saja menguntungkan!" kata Lam-hai Giam-lo sambil memandang orang cebol itu. Si Cebol ini pun bukan orang sembarangan karena dia terkenal dengan nama julukannya yang menyeramkan, He-hiat Mo-ko (Iblis Berdarah Hitam)! Belasan tahun yang lalu orang mengenal nama besar Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo, cucu keponakan murid dari iblis betina Hek-hiat Mo-li yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw puluhan tahun yang lalu. Dan kini keturunan terakhir yang mewarisi ilmu kepandaian mereka adalah Hek-hiat Mo-ko inilah. Akan tetapi jangan menganggap ringan tubuhnya yang cebol, karena orang ini telah mampu menguasai ilmu mujijat sehingga mengakibatkan darahnya benar-benar berwarna hitam, sesuai dengan julukannya.
"Tentu saja menguntungkan, Hek-hiat Mo-ko." Kemballi Lam-hai Giam-lo mengulang kata-katanya. "Kita masih masing-masing mengurus pekerjaan sendiri tanpa saling mengganggu, bahkan dengan adanya penggabungan ini, kita dapat saling bantu kalau menghadapi kesulitan. Juga kita dapat menampung dana yang dapat dipergunakan sewaktu-waktu untuk membantu saudara kita yang sedang dilanda kekurangan. Kalau kita bersatu dan memperlihatkan sikap tegas, memiliki kekuatan besar, tentu pemerintah tidak akan berani menekan kita, dan para pendekar pun tidak akan mampu berbuat seenaknya terhadap kita."
"Heh-heh-heh!" Hek-hiat Mo-ko terkekeh.
"Semua orang akan selalu mengatakan kekurangan. Apakah kekayaanmu akan cukup untuk membantu mereka semua, Lam-hai Gian-lo? Dan yang dibutuhkan akan amat besar untuk membantu saudara-saudara kita yang kekurangan!"
"Jangan khawatir!"
Kata Lam-hai Giam-lo dengan suaranya yang seperti ringkik kuda, "Sumbangan akan mengalir dari mereka yang merasa diuntungkan oleh persekutuan ini, dan pula, di sini hadir seorang tamu agung yang memiliki kekayaan cukup besar untuk menjadi tulang punggung kita dalam hal memperkuat dana. Perkenalkan, saudara sekalian, inilah Saudara Kulana, tamu agung kita itu!"
Seorang di antara para tamu yang tadi hanya duduk diam saja, kini bangkit berdiri. Dia seorang laki-laki yang usianya empat puluh tahun lebih, pakaiannya aneh namun indah, dengan kepala dibungkus kain kepala warna-warni, dihias emas permata yang berupa burung merak indah sekali. Tubuhnya sedang saja, namun sikapnya berwibawa seperti sikap seorang bangsawan tinggi dan wajahnya cukup anggun. Dia memang seorang bangsawan tinggi dari Birma dan karena kepandaiannya yang tinggi, dia pernah berjasa besar dan berkat kemampuannyalah maka berkali-kali tentara dari Tiongkok dapat dicegah menguasai Birma. Akan tetapi, akhirnya Kulana yang masih berpangkat pangeran, memiliki ambisi untuk merebut tahta kerajaan. Dia ketahuan dan terpaksa melarikan diri meninggalkan negerinya membawa harta kekayaan berupa emas permata yang tak ternilai saking banyaknya. Sejak tadi, Kulana hanya mendengarkan saja, karna tetapi matanya sering kali menyambar ke arah gadis manis yang duduk di belakang Lam-hai Giam-lo dengan pandang mata penuh kagum dan gairah seorang laki-laki mata keranjang. Kini Kulana bangkit dan membungkuk ke kanan kiri, lalu bekata, dengan suara agak asing namun cukup jelas, "Aku telah mendengar semua dan apa yang dikatakan oleh Bengcu Lam-hai Giam-lo memang benar. dia patut menjadi Bengcu kita dan aku sanggup membantu. Bukan hanya bersekutu untuk menjadikan kedudukan kita kuat. Bahkan lebih dari itu. Kita dapat mendirikan suatu pemerintahan tandingan untuk menentang pemerintah yang selalu menekan kita. Kalau perlu, dahsyatnya sudah masak kita rebut tahta kerajaan. Kita, semua anggauta persekutuan kita, yang akan duduk di kursi-kursi pemerintahan, menguasai seluruh negeri dan mengadakan peraturan-peraturan baru! Akan tetapi, aku harus lebih dulu melihat bukti kesetiaan kalian, baru aku mau membantu."
Semua orang terkejut, terbelalak memandang kepada orang asing itu. Demikian tinggi dan besar cita-citanya! Merampas tahta kerajaan dan mereka semua menjadi pembesar-pembesar tinggi! Macam-macam bayangan memasuki pikiran mereka. Ada yang membayangkan dia kelak menjadi menteri pajak, ada yang ingin menjadi menteri keuangan, tentu saja dengan harta yang belimpahan, ada yang ingin menjadi menteri pengadilan agar dia dapat menghukum mereka yang tak disukainya sesuka hati. Pendeknya ucapan Kulana tadi membuat mereka mengkhayal yang muluk-muluk dan otomatis mereka mengangguk-angguk dan merasa tertarik. Akan tetapi Kim San, Ketua Kui-kok-pang, masih merasa penasaran dan dia pun bangkit berdiri.
"Saudara Kulana boleh jadi seorang yang berpengetahuan luas dan kaya raya, akan tetapi kami semua hanyalah orang-orang kasar yang mengandalkan kekuatan dan ilmu silat. Bagaimana mungkin dapat terjalin kerja sama antara engkau dan kami?" Ucapan ini jelas menyatakan keraguan Ketua Kui-kok-pang itu terhadap diri Kulana yang hanya kaya saja akan tetapi kelihatan seperti orang yang lemah.
Mendengar ucapan ini, Lam-hai Giam-lo mengeluarkan suara ketawanya yang menyeramkan, persis suara kuda meringkik, "Hyeh-heh-heh! Kim-pangcu, engkau belum mengenal siapa adanya Saudara Kulana...."
Tiba-tiba dia menghentikan ucapannya karena terjadi kegaduhan di pintu masuk. Terdengar seruan-seruan dan nampak dua orang anggauta keamanan yang berjaga di depan pintu terlempar masuk ke kanan kiri dan seorang gadis melangkah masuk dengan tenangnya. Kiranya dua orang penjaga itu tadi hendak mencegah ia masuk dan sekali mendorong, gadis itu telah membuat mereka terpental dan bangkit dan memandang dengan kaget dan heran. Lam-hai Giam-lo sendiri mengerutkan alisnya dan memandang marah melihat adanya seorang gadis muda begitu berani untuk menggangu rapat penting itu.
"Bengcu ... lapor .... Ia ... ia memaksa untuk masuk biarpun sudah kami cegah dan halangi." Kata seorang di antara dua penjaga yang didorong roboh tadi.
"Hemm, Nona yang lancang, siapakah engkau?" bentak Lam-hai Giam-lo, akan tetapi dia pun masih merasa sungkan untuk turun tangan mengingat bahwa dia seorang bengcu dan pengganggu itu hanya seorang gadis muda yang usianya belum ada dua puluh tahun.
"Bengcu, biar aku yang menghajarnya!"
Pek Eng yang merasa marah juga melihat pengacau itu yang sama sekali tidak menghormati gurunya, sekali bergerak telah meloncat ke depan gadis itu. Gadis itu hanya melirik saja kepada Pek Eng, akan tetapi agaknya merasa heran menemukan seorang gadis seperti Pek Eng di antara para datuk sesat itu.
"Hemm, anak kecil, siapa engkau? Jangan mencampuri urusan ini dan pergilah." Kata gadis itu, sikapnya tenang dan memandang rendah. Pek Eng yang galak itu semakin penasaran karena disebut anak kecil.
"Namaku Pek Eng dan aku adalah murid Bengcu Lam-hai Giam-lo! Engkaulah yang harus minggat dari sini dan jangan membikin kacau. Hayo katakan siap engkau dan apa maksudmu menerobos masuk seperti ini!"
Gadis itu pun masih muda, sebaya Pek Eng, kulitnya putih mulus, rambutnya yang panjang itu digelung menjadi dua, tubuhnya ramping. Wajahnya cantik sekali; dengan muka bulat telur, mata tajam, hidung kecil mancung, bibirnya merah membasah dan setitik tahi lalat di dagunya menambah kemanisannya.
"Hemm, siapa adanya aku tidak perlu diketahui orang! Adapun kedatanganku ini tidak ada sangkut-pautnya dengan orang lain. Aku hanya minta agar suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan yang bernama Kwee Siong dan Tong Ci Ki, juga suami Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, Cepat maju ke ini!"
Mendengar nama mereka disebut, dua pasang suami isteri iblis itu menjadi marah dan mereka pun bangkit dari tempat duduk mereka.
"Kami adalah Lam-hai Siang-mo!" bentak Ma Kim Li.
"Kami sepasang suami iteri Guha Iblis Pantai Selatan, engkau mau apa menyebut nama kami?" bentak pula Tong Ci Ki.
Gadis itu bukan lain adalah Siangkoan Bi Lian, atau seperti yang dianggapnya sendiri, Cu Bi Lian karena sejak kecil ia dijadikan anak angkat oleh suami isteri Cu Pak Sin. Seperti telah diceritakan di bagian depan, ketika terjadi perkelahian antara dua kakek Iblis Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi melawan dua pasang suami isteri itu yang dibantu banyak anak buahnya, dua orang kakek itu mengamuk dan karena orang kampung dapat diajak oleh dua pasang suami isteri itu mengeroyok, maka banyak orang kampung, termasuk pula Cu Pak Sin dan isterinya, tewas di tangan dua orang kakek itu mengatakan bahwa mereka membunuh Cu Pak Sin karena orang itu ikut berpihak kepada dua pasang suami isteri iblis.
Dengan demikian, kematian Cu Pak Sin dan isterinya adalah akibat dari ulah Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Guah Iblis Pantai Selatan. Inilah sebabnya mengapa Bi Lian mencari dua pasang suami isteri ini untuk membalas kematian ayah ibunya, yang sesungguhnya bukanlah ayah ibu kandungnya. Ketika ia bertemu dengan Hay Hay, ia mendengar bahwa dua pasang suami isteri yang dianggapnya musuh besar itu berada di daerah selatan, maka ia pun mencari-cari dan akhirnya mendengar bahwa ia dapat menemukan mereka di tempat ini.
Ketika tadi ia tiba di depan pintu gerbang dan melihat banyak orang berjaga dengan ketat, ia tidak mau menimbulkan keributan dan dengan kepandaiannya yang tinggi, ia dapat melompati pagar tembok tanpa diketahui penjaga. Akan tetapi ketika ia tiba di depan pintu tempat diadakannya rapat dan hendak masuk, dua orang penjaga menghadangnya dan terpaksa ia mendorong mereka sampai terpelanting ke dalam ruangan itu.
Ketika dua pasang suami isteri itu bangkit memperkenalkan diri, Bi Lian memandang kepada mereka dengan sinar mata tajam. "Bagus, akhirnya dapat juga kutemukan kalian!"
"Hemm, setelah bertemu, engkau mau apakah?" bentak Siakoan Leng marah karena dia melihat betapa gadis muda itu sama sekali tidak menghormati mereka, bahkan memandang rendah.
"Masih kau tanya lagi mau apa? Mau membunuh kalian berempat tentu saja!" jawab Bi Lian.
"Bocah lancang mulut!" Ma Kim Li membentak dan ia pun meloncat ke depan dan langsung menyerang Bi Lian. Si Jarum Beracun ini meloncat ke atas dan menerkam dengan kedua tangan membentuk cakar. Suaminya, dan pasangan suami iseri yang lain hanya menonton saja karena mereka percaya bahwa Ma Kim Li tentu cukup tangguh untuk menghajar gadis muda itu. Agaknya memalukan kalau mereka harus maju mengeroyok seorang anak yang sepantasnya menjadi anak, bahkan cucu mereka.
Namun Bi Lian menghadapi serangan dahsyat ini dengan tenang saja. Ia hanya kelihatan mengangkat tangan kirinya dengan jari tangan terbuka, mendorong sambil mengeluarkan bentakan nyaring.
"Haiiik!" Dan akibatnya, tubuh Ma Kim Li yang masih terapung di udara itu, terdorong ke belakang dan terbanting ke atas lantai! Tentu saja Siankoan Leng terkejut bukan main dan tubuhnya sudah melayang ke atas, lalu dia menubruk ke arah kepala Bi Lian dengan serangan dahsyat dan mematikan karena yang diserangya adalah ubun-ubun kepala gadis itu.
Menghadapi serangan dahsyat yang jauh lebih berbahaya daripada serangan Ma Kim Li ini, Bi Lian menggeser kakinya ke kiri, kemudian tubuhnya membalik ke kanan dan kedua tanggannya mendorong. Dari posisi diserang, ia kini bahkan menjadi penyerang dari samping dan Siangkona Leng masih mencoba menangkis ke arah kanannya dari mana dorongan itu datang. Akan tetapi seperti juga apa yang dialami Ma Kim Li tadi, tubuhnya terdorong ke kiri dan terbanting jatuh ke atas lantai! Melihat ini, Kwee Siong dan Tong Ci Ki yang tadinya sudah siap menyerang, menjadi terkejut dan meragu. Tak disangka oleh mereka bahwa gadis muda yang muncul dan menyatakan hendak membunuh mereka berempat itu demikian lihainya!
"Biar aku yang menghadapi gadis ini!"
Tiba-tiba terdengar suara Kim San, dan Ketua Kui-kok-pang ini sudah meloncat ke depan Bi Lian.
"Akan tetapi kami yang ia cari, Kim-pangcu!" kata Kwee Siong.
"Sudahlah, kalian berempat adalah pihak tuan rumah, tidak enak kalau aku sebagai tamu mendiamkan saja ada orang membikin kacau di sini. Hei, Nona Muda, siapa engkau dan mengapa pula engkau datang-datang hendak membunuh dua pasang suami isteri itu?" Sebagai Ketua Kui-kok-pang, Kim San sudah mempunyai banyak pengalaman, akan tetapi dia merasa heran melihat gerakan gadis itu tadi ketika merobohkan Lam-hai Siang-mo sedemikian mudahnya walaupun suami isteri itu tidak sampai terluka parah. Akan tetapi dia pun maklum bahwa di dunia para pendekar banyak bermunculan pendekar-pendekar muda yang tidak dikenalnya.
Bi Lian memandang orang tinggi kurus yang mukanya pucat seperti mayat hidup itu, tersenyum mengejek dan menjawab. "Mayat hidup, aku tidak mempunyai urusan dengan kamu, oleh karena itu aku tidak mau memperkenalkan namaku. Sebaliknya, siapakah engkau ini yang begini lancang berani mencampuri urusan pribadiku?"
Ketua Kui-kok-pang itu memiliki watak yang tinggai hati dan melihat seorang gadis muda seperti Bi Lian, tentu saja dia memandang rendah. Biarpun gadis itu tadi telah merobohkan Lam-hai Siang-mo, dia menganggap bahwa hal itu terjadi karena suami isteri itu kurang hati-hati dan terburu nafsu, juga karena tingkat kepandaian meraka memang belum mencapai tingkat tinggai seperti dia. Kini, mendengar pertanyaan Bi Lian, dia berkata dengan mulut menyeringai.
"Ha-ha, engkau ini gadis muda agaknya baru saja keluar dari sarang dan belum banyak mengenai tokoh dunia! Aku bernama Kim San dan akulah Ketua Kui-kok-pang! Sebaiknya engkau batalkan saja niatmu itu dan ikut bersamaku ke Hong-san, menjadi anggauta Kui-kok-pang dan engkau akan hidup senang."
"Kui-kok-pangcu, kalau boleh aku menasihatimu, jangan engkau mencampuri urusan pribadiku dengan dua pasang suami isteri iblis itu. Minggirlah dan biarkan mereka berempat maju, atau engkau akan menyesal nanti!" kata Bi Lian dengan sinar mata tajam seperti kilat menyambar.
"Ha-ha, engkau memang anak bandel dan sombong. Nah, rasakan tanganku!" Kim San yang maklum bahwa gadis ini tidak mungkin dapat ditundukkan dengan halus, sudah menerjang ke depan. Gerakannya aneh, kaku seperti gerakan mayat setiap kali menggerakan kaki tangan, ada hawa panas menyambar.
Melihat lawan menggunakan tangan kanan menyerangya dengan cengkeraman ke arah leher dan tangan kiri yang sudah siap di atas kepala, Bi Lian menggeser kakinya ke belakang. Akan tetapi cepat sekali tangan kiri yang tadi mengancam di atas kepala itu menyambar turun, mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Bi Lian. Gerakan itu cepat sekali dan juga kaki mayat hidup itu sudah bergeser dan juga kaki mayat hidup itu sudah bergeser ke depan mengejarnya. Melihat keanehan dan kecepatan gerakan lawan tahulah Bi Lian bahwa lawan memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Lam-hai Sing-mo. Ia pun lalu mengerahkan tenaga sin-kangnya dan mengangkat tangan untuk menangkis ke atas. Dari telapak tangannya nampak uap mengepul!"
"Dukkk ....!" Kedua telapak tangan itu bertemu, keduanya mengandung hawa panas dan mereka berdua terdorong mundur dua langkah. Ternyata tenaga mereka seimbang dan tentu saja melihat kenyataan ini, Ketua Ku-kok-pang terkejut dan heran bukan main. Dia memiliki sin-kang yang amat kuat, bagaimana mungkin seorang gadis semuda itu mampu menahan tenaganya itu, bahkan dalam adu tenaga tadi sempat membuat dia terdorong sampai dua langkah? Dengan hati-hati dia pun kini menerjang lagi, lebih cepat dan lebih dahsyat daripada tadi.
Bi Lian sudah mengukur tenaga lawan, maka kini ia tahu bahwa dengan mengadalkan tenaga, sukar baginya untuk menang. Ia pun lalu mengerahkan ilmu gin-kang (meringankan tubuh) yang dipelajarinya dari Pak-kwi-ong. Begitu ia mengelak dan bergerak cepat, lawannya mengeluarkan seruan kaget. Tentu saja Kim San kaget setengah mati kalau melihat betapa gadis itu tiba-tiba lenyap dari depannya dan hanya nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu gadis itu telah membalas serangannya dari arah kirinya. Dia pun menangkis dan berusaha mendesak lawan dengan serangan bertubi-tubi. Namun, Bi Lian dapat pula mengelak dengan mudahnya, kemudian mempergunakan kegesitannya untuk menyelinap dan membalas dari berbagai jurusan. Menghadapi kecepatan gerakan gadis itu, Kim San merasa bingung juga. Dia megeluarkan suara menggereng dan mengamuk, namun serangan-serangannya itu hampir dapat dikatakna ngawur saja karena yang diserang hanyalah tempat kosong. Memang sukar bagi Ketua Kui-kok-pang itu menghadapi lawan yang memiliki gerakan jauh lebih cepat darinya. Dia hanya melihat bayangan berkelebatan dan menyerang bayangan itu dengan ngawur. Sebaliknya, setiap kali Bi Lian menyerang dari sudut yang sama sekali tidak diduganya, Kim San menjadi repot dan terdesak hebat.
Setelah lewat tiga puluh jurus, Ketua Kui-kok-pang itu menjadi pening juga. Gadis itu bergerak amat lincahnya, berputar-putar sekeliling dirinya, membuat Kim San terpaksa ikut berputaran dan hal ini membuatnya menjadi pusing dan ketika ujung kaki Bi Lian menyentuh sambungan lututnya, disusul tamparan pada pundak, Ketua Kui-kok-pang itu tidak dapat mempertahankan dirinya lagi dan dia pun roboh! Khawatir kalau lawannya terus menyerang yang akan membahayakan nyawanya, terpaksa Ketua Kui-kok-pang ini mengulingkan tubuhnya, bergulingan terus sampai ke tempat duduk para tamu baru dia meloncat berdiri, akan tetapi roboh lagi karena kaki yang tertendang itu masih setengah lumpuh! Dan ternyata gadis itu hanya berdiri bertolak pinggang sambil tersenyum mengejek, sama sekali tidak mengejarnya.
"Siangkoan Leng, Ma Kim Li, Kwee Siong dan Tong Ci Ki, kalian berempat majulah untuk meneriam kematian, dan tidak perlu melibatkan orang lain yang tidak mempunyai urusan denganku." Kata Bi Lian menantang empat orang itu. Lam-hai Siang-mo tadi roboh akan tetapi tidak terluka dan kini meraka berempat itu saling pandang, timbul keberanian karena ditantang berempat maju bersama.
"Siapakah engkau dan mengapa engkau memusuhi kami?" bentak Kwee Siong, kemarahan menutupi kegelisahannya.
"Biarlah kalain berempat mendengar agar tidak mati penasaran. Tentu kalian berempat masih ingat ketika kalian bersama anak buah kalian mengeroyok Pak-kwi-ong dan Tung-hek- kwi. Kalian menghasut orang-orang dusun itu untuk ukut mengeroyok sehingga banyak orang dusun tewas, di antaranya adalah Ayah Bundaku! Nah, kini kalian harus menebus kematian Ayah Ibuku itu dengan nyawa kalian!"
Tentu saja empat orang itu masih ingat akan peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu itu, mereka pernah memusuhi dua orang kakek iblis itu yang dahulu meninggalkan mereka memperolah Sing-tong. Bahkan dalam pengeroyokan itu pun mereka gagal, banyak anak buah mereka tewas di tangan dua orang kakek sakti itu.
Sebelum meraka membantah atau menjawab, tiba-tiba terdengar suara ketawa. Suara itu seperti tikus terjepit, mencicit tinggi. Hek-hiat Mo-ko itu telah maju menghadapi Bi Lian. Sejenak ia berdiri berhadapan dengan Bi Lian, memandang gadis itu dari kepala sampai ke kaki dan berkali-kali mengeluarkan suara memuji. Hek-hiat Mo-ko ini, biar pun cebol, memang terkenal pula mata keranjang dan cabul. Sejak tadi dia sudah tertarik sekali dengan kemunculan Bi Lian yang demikian jelita, manis dan gagah perkasa pula. Dia memandang kagum. Seorang gadis muda dan cantik mampu mengalahkan Kui-kok-pangcu, sungguh bukan main hebatnya dan pantas untuk menjadi isterinya! Dia memang belum mempunyai seorang isteri yang sah.
Melihat munculnya Si Cebol yang memandangnya seperti hendak menelannya dengan sinar matanya, Bi Lian mengerutkan alisnya. "Manusia sepotong siapakah engkau dan mau apa memandangku sambil cengar-cengir seperti tikus?" Bi Lian sengaja memanggilnya tikus mengingat suara ketawanya yang seperti bunyi tikus mencicit tadi.
Biarpun dimaki, Hek-hiat Mo-ko tidak marah, bahkan tertawa mencicit lalu menjawab. "Manis, engkau sungguh cantik jelita dan engakau patut sekali menjadi isteriku! Aku, biarpun begini, masih belum mempunyai isteri dan aku adalah Hek-hiat Mo-ko. Marilah, Nona manis, hentikan kemarahanmu dan kita menyongsong hidup baru penuh kenikmatan dan ..."
"Tutup mencongmu yang kotor!" Bi Lian membentak dan tanpa banyak cakap lagi ia sudah menyerang orang cebol itu. Marahlah gadis ini sehingga serangannya ganas dan juga amat cepat.
Namun, sebelum menghadapi gadis itu, Hek-hiat Mo-ko sudah mempelajari gerakan Bi Lian dan jagoan ini maklum bahwa gadis itu selain memiliki tenaga sin-kang yang dapat menandingi kekuatan Kui-kok-pangcu, juga memiliki gin-kang atau kecepatan gerakan yang luar biasa, seperti seekor burung yang menyambar-nyambar. Kaena itu, dia sudah bersiap-siap siaga dan begitu gadis itu bergerak cepat, dia pun mengerahkan tenaga sinkangnya dan kini kedua telapak tangannya berubah hitam dan tercium bau amis yang memuakkan! Bi Lian terkejut dan melangkah mundur menjauhi, akan tetapi Hek-hiat Mo-ko sudah menyerang dengan cepat, kedua tangannya dengan jari terbuka menghantam dada dan muka. Bi Lian mengelak dan meloncat ke samping, akan tetapi ada hawa busuk yang memuakkan menyambar sehingga hampir saja ia muntah, bau itu membuatnya pusing sekali dan tahulah ia bahwa lawan ini tentu memiliki ilmu pukulan beracun yang amat jahat! Ia pun lalu mempercepat gerakannya dan kini ia berkelebtan mengelilingi lawan, selalu mengelak dan menjauhi kedua tangan yang hitam itu, dan membalas dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan.
Hek-hiat Mo-ko memiliki tingkat ilmu kepandaian yang masih lebih tinggi dari Kui-kok-pangcu. Biarpun gadis itu berkelebatan di sekelilingnya dan mengirim balasan serangan yang mendadak, namun dirinya dengan kedua tangan hitam itu. Karena Bi Lian tidak berani terlalu dekat, takut kalau menjadi pening dan roboh oleh bau yang busuk, dan karena Hek-hit Mo-ko pandai melindungi dirinya, maka perkelahian itu berlangsung cukup lama. Bagi Hek-hiat Mo-ko sendiri, tidak mudah untuk dapat merobohkan lawan karena gerakan gedis itu memang terlampau cepat baginya, bagaikan menyerang bayang-bayang saja.
Setelah lewat hampir lima puluh jurus, tiba-tiba Hek-hiat Mo-ko mengeluarkan suara mencicit tinggi dan kini dari mulutnya juga keluar uap menghitam yang baunya lebih busuk lagi. Bi Lian terkejut ketika disambar oleh hawa busuk yang keluar dari kedua tangan dan dari mulut. Lawan itu sengaja meniupkan hawa busuk itu, mengarah mukanya sehingga repotlah gadis itu menyelamatkan diri dengan mengandalkan kelincahannya. Maklum bahwa ia terancam bahaya, tiba-tiba gadis itu mengeluarkan suara melengking yang bukan saja mengejutkan lawan, bahkan mengejutkan seluruh tamu yang hadir karena lengkingan itu mengandung getaran yang mengguncangkan jantung mereka. Cepat meraka mengerahkan sing-kang untuk melindungi tubuh bagian dalam. Tidak mengherankan kalau suara ini menggetarkan jantung karena gadis itu telah mengerahkan tenaga khikang yang disebut Pek-houw Ho-kang (Suara Gerengan Harimau Putih) yang dipelajarinya dari Tung-hek-kwi.
Yang paling hebat menderita karena gerengan ini adalah Hek-hiat Mo-ko sendiri yang diserang secara lagnsung! Seketika tubuhnya terhuyung dan cepat dia meloncat ke belakang ketiak Bi Lian menampar mukanya. Akan tetapi, kagetlah hati iblis ini ketika dia melihat tangan gadis itu tetap saja mengejarnya dan tak dapt dihindarkan lagi, dalam keadaan terhuyung oleh pengaruh suara, tangan gadis yang terus mengejarnya itu berhasil manampar pipinya. Lengan tangan itu dapat mulur dan terus mengejar sehingga tamparannya tepat mengenai sasaran.
"Plakk!"
Pipi itu menjadi matang biru karena tamparan yang keras dan Hek-hiat Mo-ko menyumpah-nyumpah sambil meludahkan dua buah gigi yang copot! Pada saat suara lengkingan gadis itu terhenti, terdengarlah suara melengking yang jauh lengkingan yang dikeluarkan Bil Lian akan tetapi lebih parau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar