"Su Kiat, bangkitlah, dan engkau juga, Nona. Su Kiat, sudahlah, jangan membuat aku merasa semakin sedih dan menyesal. Sungguh, aku sudah merasa menyesal sekali karena sikap dan perbuatanku di masa lalu. Bahkan untuk menebus kesalahanku itu, aku tadi rela mati di ujung pedang Sumoimu yang lihai ini."
"Locianpwe, sama sekali tidak ada penyesalan. Yang sudah terjadi adalah peristiwa yang lalu, dan sudah dihendaki Thian. Bahkan saya telah merasakan berkah dan hikmat peristiwa itu. Sumoi terburu nafsu dan karena itu saya mohon maaf dan kami mohon diri. Mari, Sumoi, kita pergi." Sambil memegang tangan sumoinya, Su Kiat mengajaknya pergi dan sekali meloncat tubuh mereka berkelebat dan lenyap di tengah kegelapan malam! Semua orang tertegun dan kagum bukan main.
"Bukan main!" kakek Cia Kong Liang memuji. "Su Kiat kini telah menjadi seorang yang luar biasa lihainya...."
Hui Song lalu menepuk pahanya sendiri. "Aihhh... sekarang aku teringat! Gadis itu tentulah puteri Kok Taijin!"
Kui Hong yang juga kagum terhadap wanita muda yang lihai bukan main itu segera bertanya. "Ayah, siapakah itu Kok Taijin?"
"Dia adalah bekas gubernur San-hai-koan, seorang pembesar yang setia kepada pemerintah dan menjadi korban pemberontakan." Hui Song lalu menceritakan peristiwa yang terjadi dua puluh tahun yang lalu. Ketika itu, terjadi pemberontakan dari persekutuan orang jahat dan San-hai-koan di serbu pemberontak. Rumah Gubernur Kok diserbu penjahat dan keluarga itu tewas semua, kecuali seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun yang berhasil di selamatkan Hui Song. Akan tetapi, ketika dia melarikan anak perempuan itu, ditengah perjalanan dia dihadang oleh tokoh-tokoh sesat yang membantu pemberontakan, karena dikeroyok tiga orang sakti, terpaksa Hui Song melepaskan anak perempuan itu. Pada saat anak perempuan itu terancam bahaya karena di tangkap seorang di antara para datuk sesat, muncullah Ciang Su Kiat yang menyelamatkan dan membawa lari anak perempuan puteri Gubernur Kok itu.
"Nah, demikianlah. Tadi aku seperti merasa pernah mengenal gadis itu, akan tetapi lupa lagi. Kiranya ia anak perempuan dahulu itu sekarang telah menjadi Sumoi dari Suheng Ciang Su Kiat! Bukan main, memang mereka berdua telah memiliki kepandaian yang amat hebat!"
Kakek Cia Kong Liang kembali ke dalam kamarnya untuk bersamadhi dengan prihatin. Peristiwa tadi menggugah semua kenangan dan mendatangkan penyesalan yang lebih menekan hatinya. Sementara itu, Hui Song mengajak puterinya dan Ling Ling untuk bercakap-cakap, terutama sekali Kui Hong diminta untuk menceritakan semua pengalamannya dan keadaan ibunya yang berada di Pulau Teratai Merah. Juga antara Kui Hong dan Ling Ling segera terjalin hubungan yang akrab dan cocok. Dalam percakapan ini, Hui Song menyatakan bahwa dia akan segera mengunjungi tempat mertuanya di Pulau Teratai Merah, dan minta maaf kepada kedua orang mertuanya, juga kepada isterinya, dengan harapan mudah-mudahan setelah lewat tiga tahun lebih, kini isterinya itu sudah dingin hatinya, mau memaafkannya dan mau kembali ke Cin-ling-san.
Sementara itu, di malam yang hanya diterangi bintang-bintang di langit itu, Ciang Su Kiat berjalan bersama Kok Hui Lian, menuruni Pegunungan Cin-ling-san. Mereka tidak bicara sejak meninggalkan perkampungan Cin-ling-pai, dan setelah tiba di kaki gunung, barulah Su Kiat mengajak sumoinya memasuki sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan lagi. Malam tadi pun dia bermalam di kuil itu. Mereka membuat api unggun dan baru sekarang mereka berkesempatan untuk saling pandang dibawah sinar penerangan api unggun. Sejenak mereka saling pandang dan akhirnya Su Kiat menarik napas panjang. Hatinya yang penuh kerinduan terhadap sumoinya itu terobatilah setelah melihat sumoinya dalam keadaan sehat selamat.
"Sumoi, aku girang melihat engkau dalam keadaan sehat dan selamat," katanya sederhana.
"Suheng, engkau pun kelihatan sehat. Sungguh tak kusangka akan dapat bertemu denganmu di tempat ini, Suheng."
"Sumoi, kenapa engkau menyerbu Cin-ling-pai....?"
Wanita itu menatap wajah suhengnya dengan pandang mata penuh selidik, akan tetapi tidak nampak kemarahan pada wajah suhengnya itu.
"Suheng, harap maafkan aku..."
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sumoi, akan tetapi aku sungguh ingin sekali mengetahui mengapa engkau pergi ke Cin-ling-pai dan dengan nekat melakukan penyerangan terhadap bekas Guruku?"
Sejenak mereka saling tatap di bawah sinar api unggun, kemudian Hui Lian menunduk. "Suheng, salahkah aku? sudah sejak dahulu, setiap kali aku memandang lengan kirimu, hatiku seperti ditusuk rasanya dan tendapat perasaan dendam yang makin menebal terhadap orang yang menyebabkan lenganmu buntung. Karena itu, sejak dahulu aku sudah mempunyai niat untuk pada suatu hari mencari ketua Cin-ling-pai dan membalaskan dendam atas penderitaanmu."
Su Kiat tersenyum. "Sumoi, kita harus dapat menerima segala peristiwa dengan hati terbuka karena di dalam setiap peristiwa terdapat hikmatnya yang amat besar. Kalau saja tidak terjadi peristiwa di Cin-ling-pai itu, kalau saja lenganku tidak buntung, sekarang aku tentu masih menjadi seorang murid Cin-ling-pai. Aku tidak akan mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi, dan yang lebih dari segalanya, aku tentu tidak akan bertemu dengan engkau, Sumoi."
"Dan aku mungkin mati di tangan penjahat itu ketika pendekar Cia Hui Song dikeroyok," sambung Hui Lian.
"Nah, karena itu, tidak ada gunanya kita mendendam, apalagi bekas guruku nampaknya sudah demikian menyesal dan menderita batin. Akan tetapi, yang membuat aku penasaran, kenapa engkau.... engkau begini nekat dan bersusah payah menempuh bahaya pula, hendak membelaku, Sumoi?"
Kembali mereka saling pandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, kemudian Hui Lian menarik napas panjang. "Karena ... aku merasa berhutang budi kepadamu, Suheng, aku.... aku tidak mampu membalasnya dan aku ingin melakukan sesuatu yang besar untuk sekedar membalas budimu yang bertumpuk."
"Hemm, aku tidak merasa melepas budi, Sumoi. Aku.... sudah girang sekali melihat engkau selamat, aku.... aku selalu ingin melihat engkau dalam keadaan sehat dan berbahagia, Sumoi."
Mereka diam, kehabisan bahan percakapan. Entah mengapa, sebelum bertemu, mereka saling merasa rindu sekali, akan tetapi begitu bertemu, mereka merasa canggung dan salah tingkah. Karena keduanya diam, suasana menjadi hening sekali dan keduanya merenung sambil memandangi api unggun yang menari-nari. Kemudian, Hui Lian melirik dan memperhatikan wajah suhengnya dari samping, dan nampak olehnya betapa kurusnya wajah itu, dengan garis-garis muka yang membayangkan penderitaan batin. Ia merasa kasihan sekali.
"Suheng, engkau... engkau kenapakah?"
Su Kiat menoleh dan mereka berpandangan. "Mengapa? Tidak apa-apa, Sumoi."
"Tidak sakitkah, sehat sajakah engkau Suheng?"
"Tidak, aku tidak sakit dan sehat-sehat saja."
"Akan tetapi, engkau begini kurus, Suheng. Sungguh baru nampak sekarang olehku betapa kurusnya engkau, dan pandang matamu begitu sayu seperti orang bersedih."
Su Kiat memandang wajah sumoinya dengan alis berkerut, terjadi perang di dalam batinnya antara mengaku atau tidak. Akhirnya dia menggigit bibirnya dan memberanikan atinya karena dia tahu bahwa solanya sekarang adalah sekarang mengaku atau selamanya tidak akan ada kesempatan lagi!
"Sumoi, terus terang saja, memang ada kesedihan di dalam hatiku. Aku merasa kesepian sekali, Sumoi, sejak engkau pergi... bukan, bahkan sejak engkau menikah untuk pertama kalinya itu. Aku kesepian dan kehilangan, akan tetapi semua itu masih dapat kuhibur dengan membayangkan engkau hidup berbahagia bersama suamimu. Akan tetapi sungguh celaka, kenyataannya tidak demikian. Engkau menderita, engkau gagal, bahkan dua kali pernikahanmu berakhir dengan kegagalan. Melihat engkau tidak berbahagia, melihat engkau menderita, aku merasa betapa hancur hatiku, Sumoi. Aku berduka, aku bersedih, mungkin lebih sedih daripada perasaanmu sendiri. Aku ingin melihat engkau berbahagia selalu, Sumoi, aku .... aku......"
Sejak tadi, Hui Lian memandang dengan mata terbelalak, kemudian perlahan-lahan ada air menetes turun, dibiarkannya saja, wajahnya menjadi pucat.
"Tapi.... tapi kenapa, Suheng....? Kenapa engkau begitu memprihatinkan keadaanku....? Mengapa.....?" tanyanya, suaranya menggetar dalam bisikan bercampur isak tertahan.
"Karena.... karena..... demi Tuhan, biar aku berterus terang! Karena aku cinta padamu, Sumoi, sejak dahulu, sejak kita berada di dalam jurang...."
"Suheng.....!" Hui Lian menjerit dan menubruk kaki suhengnya menangis dengan mengguguk seperti anak kecil, merangkul kaki suhengnya.
Su Kiat terkejut sekali. Dirangkulnya Hui Lian, ditariknya supaya jangan berlutut merangkul kakinya, dan gadis itu lalu menubruknya dan menangis di atas dadanya! Tidak ada kata-kata yang keluar, karena setiap kali membuka mulut, yang keluar hanyalah "Suheng..." dan isak tangis.
"Sumoi... maafkan aku, ah, aku lancing mulut, tidak sepatutnya aku menyinggung perasaan hatimu, Sumoi..."
"Suheng, diam....!" Tiba-tiba wanita muda itu membentak sehingga mengejutkan suhengnya. Kini Hui Lian dapat menekan perasaannya dan ia pun kini mengangkat muka, memandang kepada suhengnya melalui genangan air mata. "Kenapa Suheng begitu rendah hati? Aih, Suheng.... Suheng.... kenapa tidak dari dulu engkau katakan itu? sudah sejak dahulu aku menanti-nanti keluarnya ucapan itu dari mulutmu!"
"Sumoi....?" Su Kiat berseru, kaget dan heran.
"Suheng, engkaulah satu-satunya orang yang kumiliki. Engkau menjadi pengganti orang tuaku, Guruku, saudaraku, sahabatku.... engkaulah segala-galanya bagiku. Tentu saja aku tidak berani mengharapkan yang lebih daripada semua budi yang telah kaulimpahkan kepadaku. Kemudian engkau minta aku menikah. Aku mencoba untuk membantah, akan tetapi engkau mendesak sehingga aku tidak berani lagi menolak. Aku mengira engkau tidak cinta kepadaku, Suheng. Dan aku... ah, aku bodoh... baru-baru ini saja aku tahu benar bahwa di dunia ini tidak mungkin ada orang lain yang akan kucinta lebih daripada perasaan cintaku padamu...."
"Sumoi....!" Mereka berangkulan dan kembali Hui Lian menangis di dada suhengnya. "Sumoi, mana aku berani? Aku jauh lebih tua darimu, dan aku seorang laki-laki yang cacat, buntung lenganku. Aku merasa rendah diri, dan baru sekarang... setelah engkau menjadi janda dua kali, setelah aku melihat pembelaanmu di Cin-ling-pai, aku memberanikan diri mengaku cintaku...."
"Suheng... ah, peluklah aku, Suheng, peluklah aku yang kuat, dan jangan kau lepaskan aku lagi... tanpa engkau, aku tidak berani hidup di dunia yang kejam ini...."
"Tidak, Sumoi, demi Tuhan, mulai sekarang aku tidak akan melepaskanmu lagi. Engkau milikku dan aku milikmu, aku akan mempertahankan engkau dengan taruhan nyawaku. Engkau calon isteriku..."
"Dang engkau suamiku... sampai aku mati, Suheng..."
Sungguh mesra dan mengharukan pertemuan antara dua hati yang sesungguhnya sudah saling cinta sejak dahulu. Kini segalanya terbuka bagi mereka, dan mereka merasa seolah-olah baru bangkit dari kematian untuk menyongsong sinar matahari pagi yang cerah dan penuh kebahagiaan. Mereka bercakap-cakap dengan mesra, seperti sepasang pengantin baru, membicarakan masa depan mereka dan rencana mereka. Mereka akan mencari pendeta dalam kuil yang mau menikahkan mereka, kemudian mereka akan hidup sebagai suami siteri dengan lembaran baru, di tempat yang jauh dari segala pertikaian dunia, membentuk rumah tangga, kalau mungkin melahirkan anak-anak. Alangkah indahnya semua itu!
Rumah tangga atau keluarga yang dibentuk oleh seorang pira dan seorang wanita yang menjadi suami isteri bukanlah hal yang remeh, bahkan amatlah rumit. Laki-laki dan wanita condong untuk saling tertarik atau yang diistilahkan sebagai "jatuh cinta" karena tertarik oleh keindahan wajah dan tubuh. Modal wajah tampan dan cantik, tubuh yang menarik sama sekali tidak dapat menjamin keutuhan dan keakraban antara suami isteri. Ketampanan dan kecantikan hanyalah merupakan warna bagian luar saja, dan dapat membosankan. Sebaliknya, untuk dapat hidup bersama selama puluhan tahun, bahkan sampai mati, antara seorang wanita dan seorang pria, modal yang utama adalah kecocokan dan keserasian watak. Dengan kecocokan watak ini maka perasaan yang dinamakan cinta itu makin terpupuk dan tersiram, tumbuh dengan sehat dan segarnya. Akan tetapi kalau watak dan selera bertentangan, akan tak tampak lagi ketampanan dan kecantikan, dan yang nampak hanyalah bagian-bagian yang buruk saja.
Pernikahan Hui Lian dengan suaminya yang pertama, yaitu Tee Sun, terjadi atas anjuran Ciang Su Kiat dan Hui Lian mau menjadi isteri Tee Sun hanya untuk mentaati permintaan suhengnya. Ternyata kemudian terdapat ketidakcocokan antara suami isteri ini, karena Tee Sun amat pencemburu dan memang tidak ada rasa cinta dalam hati Hui Lian terhadap suami pertama itu. Kemudian terjadi perceraian dan pernikahannya yang kedua, dengan Su Ta Touw, terjadi karena Hui Lian silau oleh bujuk rayu dari suami ke dua itu yang memang seorang perayu dan penakluk wanita. Pernikahan kedua hanya terdorong oleh nafsu ini tidak bertahan lama, karena setelah Su Ta Touw merasa bosan, nampaklah belangnya dan kembali terjadi perceraian. Kemudian Hui Lian merana dan barulah terasa benar olehnya betapa sesungguhnya dia memuja dan mencinta Su Kiat, suhengnya sendiri! Dan mereka berdua ini, yang sudah hidup bersama mengalami segala macam kesengsaraan berdua, mengalami suka duka berdua bahkan menghadapi maut yang mengerikan, memliki cinta yang didasari persamaan selera dan watak. Maka ketika dua hati itu bertemu, lengkaplah sudah pertemuan cinta antara mereka dan dengan penuh bahagia mereka menyongsong hari depan yang nampak cerah!
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Pek Han Siong, yang ketika kecilnya dianggap sebagai Sin Tong (Anak Ajaib) dan dijadikan perebutan karena oleh para Pendeta Lama di Tibet dia dicalonkan menjadi seorang Dalai Lama! Seperti kita ketahui, Pek Han Siong yang meninggalkan perguruan, berhasil bertemu dengan keluarga Pek di Kong-goan. Ketika dia mendengar bahwa adik kandungnya, Pek Eng, meninggalkan rumah karena hendak mencari dia, juga sebagai pernyataan tidak suka karena orang tuanya menerima pinangan keluarga Song dari Kang-jiu-pang.
Setelah melakukan pengelidikan dan mencari-cari, akhirnya Han Siong berhasil menemukan jejak adiknya itu yang menuju ke selatan. Dia sudah minta keterangan yang selengkapnya tentang adiknya itu dari keluarganya, dan sudah mempunyai gambaran bahwa adiknya itu seorang gadis berusia kurang lebih tujuh belas tahun, bertubuh tinggi ramping dengan kaki panjang. Wajahnya hitam manis, matanya agak sipit dan hidungnya yang kecil mancung itu agak berjungkat ujungnya, bibirnya merah dan ada lesung pipit di sebelah kiri mulutnya. Adiknya itu lincah jenaka, manja, pandai bicara, hatinya lembut dan suka mengenakan pakaian suku bangsa Yi, yaitu pakaian adat dan memakai topi sorban yang di hias bulu burung. Dari ciri-ciri inilah dia mendapatkan jejak adiknya yang menuju ke selatan.
Pada suatu hari tibalah dia di kota Kui-yang, di Propinsi Kui-couw. Dia mengharapkan untuk dapat memperoleh berita tentang adiknya di kota ini. Hari telah siang ketika dia memasuki kota itu dankarena sejak kemarin malam dia bekum makan apa-apa dan perutnya terasa lapar, dia lalu masuk ke sebuah rumah makan ketika kebetulan lewat di depannya. Tidak ada pelayan yang menyambutnya, akan tetapi Han Siong tidak peduli, dan dia pun masuk ke sebuah ruangan rumah makan yang sudah setengahnya diisi tamu. Tidak kurang dari tiga meja penuh tamu, setiap meja delapan orang dan sikap mereka itu kasar, dengan bercanda mereka makan minum, bicara keras dan tertawa bergelak.
Han Siong memillih meja kosong di sudut dan setelah duduk, barulah seorang pelayan menghampirinya. Pelayan ini sudah tua, dengan tubuh kurus dan muka membayangkan ketakutan, kain lap di pundak, dia menghampiri Han Siong dan terbongkok-bongkok, berkata dengan suara setengah berbisik.
"Kongcu, rumah makan kami sedang dipakai pesta, kalau Kongcu ingin makan, saya sarankan sebaiknya Kongcu pergi ke rumah makan lain di ujung jalan ini."
Han Siong mengerutkan alisnya memandang pelayan itu. baginya tidak menjadi persoalan kalau restoran ini tidak menerima tamu, akan tetapi dia melihat betapa wajah itu membayangkan ketakutan dan mata pelayan itu melirik-lirik ke arah tiga buah meja penuh tamu itu. Dia dapat menduga bahwa tentu pelayan ini tidak berani menerima tamu baru karena takut kepadaorang-orang kasar yang sedang berpesta pora itu.
"Akan tetapi, Paman, kalau engkau menerima mereka itu sebagai tamu, kenapa hendak menolak kehadiranku?"
"Sama sekali tidak menolak, Kongcu, hanya saran... ah, sudahlah, Kongcu hendak memesan apakah?"
"Nasi, tiga macam masak sayur, tidak pakai daging atau kalau pakai juga, sedikit saja. Aku lebih suka makan sayur daripada daging. Dan air teh."
"Arak?" tanya pelayan itu yang memandang heran.
Han Siong menggeleng kepalanya. Dia lama hidup di dalam kuil dan karena itu, dia tidak doyan arak dan tidak begitu suka makan daging. Pelayan itu meninggalkan Han Siong sambil menggeleng kepala dan mengomel perlahan.
Sementara itu, munculnya Han Siong di situ menarik perhatian beberapa orang tapu yang berpesta pora. Mereka adalah jagoan-jagoan dan tukang-tukang pukul kota Kui-yang dan sekitarnya. Pada siang hari itu, seorang kepala jagoan she Ciok yang bertempat tinggal di Kui-yang, amat terkenal sebagai seorang jagoan yang lihai, sedang mengadakan pesta untuk merayakan ulang tahunnya yang ke empat puluh. Pesta diadakan di rumah makan itu dan dia mengundang teman-temannya, dari dalam dan luar kota sehingga dua puluh orang lebih tukang pukul dan jagoan berkumpul di situ dan berpesta pora. Melihat mereka itu, tak seorang pun berani memasuki rumah makan. Para tamu yang datang begitu melihat mereka, segera keluar lagi dan tidak berani makan di situ. Hal ini diketahui oleh mereka dan mereka pun menjadi bangga. Akan tetapi, kemudian muncul seorang pemuda sederhana yang berani masuk ke rumah makan itu bahkan tidak menghiraukan anjuran pelayan agar pergi makan ke lain restoran saja. Keberanian pemuda ini membuat beberapa orang tamu merasa tidak senang dan menganggap bahwa pemuda itu tidak memandang kepada mereka. Apalagi ketika mereka mendengar betapa pemuda itu hanya memesan nasi, sayur tanpa daging dan air teh, membuat mereka memandang rendah dan menganggap pemuda ini tentu seorang pendatang dari luar kota yang miskin dan tidak mengenal mereka.
Di antara mereka yang merasa tidak senang dengan kehadiran Han Siong, terdapat dua orang kakak beradik yang bertubuh tinggi besar dan melihat otot-otot melingkar-lingkar pada lengan dan leher mereka, dapat diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang kuat. Mereka ini bernama Giam Hok dan Giam Kui, pembantu-pembantu yang dapat di andalkan dari kepala jagoan Ciok. Setelah kakak beradik ini saling berbisik sambil tersenyum-senyum, mereka lalu menghampiri meja Han Siong. Pelayan yang datang menghidangkan masakan dan air teh yang dipesan Han Siong, ketika melihat mereka datang, cepat-cepat pergi meninggalkan meja Han Siong dengan muka pucat.
Tentu saja Han Siong tahu akan sikap dua orang yang kini melangkah menghampirinya dengan lagak sombong itu. Dia pun sudah siap siaga dan mengerahkan tenaga untuk membela diri, namun pada lahirnya, dia bersikap biasa saja, bahkan pura-pura tidak melihat mereka dan mulai makan nasi dengan sayurnya.
Kini kakak beradik itu sudah tiba di meja Han Siong dan dengan sikap congkak sekali mereka mengangkat kaki kanan dan diletakkan kaki itu di atas kursi di dekat meja Han Siong. Mereka tertawa-tawa dan kini semua tamu yang sedang berpesta pora itu memandang sambil tertawa, mengharapkan pertunjukan yang lucu dan menggembirakan. Perlakuan kasar dan sewenang-wenang terhadap orang lain bagi mereka merupakan makanan sehari-hari dan melihat orang lain menderita oleh perlakuan mereka merupakan suatu kegembiraan. Melihat ulah kedua orang pembantunya, kepala jagoan Ciok hanya tersenyum saja sambil minum arak lagi yang sudah terlalu banyak memasuki perutnya yang gendut.
"Heii, lihat anak dusun ini! Makanannya seperti makanan kambing! Sayur-sayuran melulu!" kata Giam Hok yang hidungnya pesek.
"Ha-ha-ha, lihat minumnya juga air teh. Eh, kambing, engkau tentu suka sekali kalau disiram air dingin seperti kambing kehujanan, ha-ha!" kata pula Giam Kui yang pergi ke sudut di mana terdapat seember besar terisi air. Air ini disediakan di situ untuk mencuci tangan para tamu dan kini Giam Kui mengangkat ember itu. Melihat ulah adiknya, Giam Hok yang tahu apa maksudnya, sambil tertawa-tawa lalu membantu adiknya mengangkat ember besar berisi air kotor itu. Han Siong masih makan, akan tetapi kini dia memandang kepada dua orang kakak beradik yang menggotong ember kayu berisi air itu, sikapnya tetap tenang akan tetapi matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan amat berpengaruh dan kuat sekali.
Giam Hok dan Giam Kui mengangkat ember besar itu sambil tertawa-tawa, melangkah maju dan kemudian dengan pengerahan tenaga, mereka menggerakkan ember itu dan semua isinya mengguyur ke arah meja... kepala jagoan Ciok! Tentu saja, orang-orang yang tadinya menonton sambil tertawa-tawa, seketika menjadi geger dan menyumpah-nyumpah. Air kotor dari bak itu bukan hanya menyiram semua hidangan yang berada di atas meja pertama itu, akan tetapi juga mengguyur muka dan pakaian sebagian dari mereka! Semua orang berloncatan dibarengi makian-makian dan Ciok sendiri lalu meloncat bangkit dengan pakaian agak basah dan dia pun memaki.
"Apakah kalian sudah menjadi gila?" bentak Ciok dengan marah sekali.
Juga para jagoan lain menjadi marah, akan tetapi juga terheran-heran bagaimana dua orang kakak beradik itu berani melakukan kekurangajaran seperti itu terhadap mereka. Dan dua orang itu pun kini terbelalak dengan muka pucat ketika melihat kenyataan yang tidak masuk akal itu. Ternyata mereka telah menyiram isi air bak itu ke meja pimpinan mereka, padahal tadi sudah jelas bahwa mereka mengguyurkan air itu kepada bocah dusun yang sedang makan minum seorang diri di meja sudut itu. Mereka kini memutar tubuh memandang kepada pemuda itu yang masih enak-enak makan, seolah-olah tidak pernah tahu akan terjadinya peristiwa di meja lain itu!
"Tapi... tapi.... Ciok-toako, tadi kami mengguyur air itu ke meja bocah dusun itu!" kata Giam Hok sambil menudingkan telunjuknya ke arah Han Siong. Juga Giam Kui merasa heran dan juga ngeri membayangkan akibat perbuatan dia dan kakaknya. Dengan geram dia lalu melangkah menghampiri Han Siong dan melihat ini, Giam Hok juga cepat melangkah lebar menghampiri Han Siong.
"Bocah dusun ini yang membikin gara-gara, kita harus menghajarnya sampai mampus!" kata Giam Kui.
"Benar, dia harus mempertanggungjawabkan apa yang telah terjadi!" kata pula Giam Hok. Orang she Ciok yang tadinya marah-marah, kini memandang dengan heran. Dia pun tidak percaya bahwa dua orang kakak beradik yang menjadi pembantu-pembantunya itu sedemikian nekatnya untuk melakukan penghinaan kepadanya dan kepada teman-teman lain, menyiramkan seember air kotor kepada mereka seperti itu. Tentu ada apa-apa yang aneh dalam hal ini, pikirnya. Maka, seperti yang lain, dia pun kini memandang ke arah dua orang kakak beradik yang menghampiri pemuda itu dengan sikap mengancam dan pandang mata beringas sekali. Tentu pemuda dusun itu akan mereka hajar sampai mati, pikir mereka.
Akan tetapi agaknya pemuda itu tidak peduli, melanjutkan makan, hanya menoleh ke arah mereka berdua sejenak. Dan terjadilah keanehan ke dua yang oleh para jagoan itu dianggap tidak masuk akal. Giam Hok dan Giam Kui mulai menerjang dan memukul, akan tetapi sama sekali bukan kepada pemuda itu, melainkan saling menyerang sendiri! Kakak beradik itu berkelahi mati-matian, saling gebuk dan saling tendang.
"Keparat, kuhancurkan kepalamu!" bentak Giam Hok dan dia menjotos ke arah kepala Giam Kui yang cepat mengelak, akan tetapi tetap saja menyerempet pipinya. Dia terpelantinig dan pipinya bengkak. Marahlah Giam Kui.
"Jahanam, kupecahkan dadamu!" Dan dia pun balas menonjok ke arah dada kakaknya sendiri. Giam Hok menangkis, akan tetapi sebuah tendangan adiknya mengenai perutnya yang membuat dia terjungkal memegangi perut yang mendadak terasa mulas itu. Dia marah dan kembali mereka saling serang, saling pukul dan saling tending. Tentu saja kepala jagoan dan para tamunya memandang dengan mata terbelalak dan mulut melongo. Bagaimana mungkin ini? Pemuda itu masih enak-enak makan dan kakak beradik itu sudah saling hantam mati-matian.
"Giam Hok! Giam Kui! Apakah kalian sudah gila? Hentikan perkelahian itu!" bentak Ciok sambil meloncat dekat. Dua orang kakak beradik itu kini sudah saling cengkeram dan saling jambak. Tiba-tiba mereka sadar dan masing-masing mengeluarkan seruan heran ketika mendapatkan kenyataan bahwa mereka telah saling serang!
"Kui-te (Adik Kui), kenapa engkau menyerang aku?" bentak Giam Hok.
"Tapi... tapi.... bagaimana ini bisa terjadi? Aku tadi memukuli petani busuk itu!"
"Aku juga! Apa yang telah terjadi....?" Keduanya terbelalak dan kini menoleh kepada Han Siong yang sudah menyelesaikan makannya dan kini dengan sikap tenang bangkit dari duduknya menghadapi mereka.
Kepala jagoan Ciok adalah seorang yang berpengalaman di dunia persilatan. Kini dia mengerti apa yang telah terjadi. Pemuda yang tidak makan daging itu tentulah seorang ahli sihir! Seperti orang-orang Pek-lian-kauw!
"Celaka, kalian telah dipermainkan dengan sihir!" teriaknya.
Kedua orang kakak beradik itu marah sekali. "Bunuh tukang sihir!" bentak mereka dan dua puluh lebih orang yang terkenal sebagai jagoan-jagoan dan tukang-tukang pukul itu kini serentak maju mengepung dan menyerang Han Siong yang berdiri dengan tenang. Dan kembali terjadi hal yang luar biasa anehnya, dan sekali ini, para pelayan rumah makan yang bersembunyi di balik pintu dan tiang, menjadi penonton yang keheranan melihat betapa para tukang pukul itu kini saling berkelahi dengan mati-matian! Sedangkan pemuda itu masih tetap berdiri di sudut, sama sekali tidak di ganggu dan nampaknya tenang saja.
Bahkan kini Han Siong menghampiri meja kasir dan melihat semua pelayan bersembunyi, dia tersenyum. "Mengapa kalian sembunyi? Hayo hitung berapa yang harus kubayar."
Karena kini Han Siong tidak lagi memperhatikan kepada para tukang pukul, dan tidak lagi mengerahkan kekuatan sihirnya, maka Ciok lebih dulu sadar dan dia terkejut melihat semua tamunya saling hantam.
"Tahan...! Kita berkelahi antara teman sendiri!" Bentakan ini menyadarkan mereka dan semua orang kini menghentikan perkelahian, mengusap-usap bagian tubuh yang terpukul dalam perkelahian kacau-balau tadi dan kini mereka semua memandang ke arah Han Siong yang sudah membayar harga makanan yang dipesannya tadi.
Han Siong menghadapi mereka dan melihat sikap Ciok, dia pun dapat menduga bahwa orang yang perutnya gendut dan kepalanya botak inilah agaknya yang menjadi pimpinan gerombolan orang kasar itu. "Sobat, engkau dan teman-temanmu telah merusak meja kursi dan mangkok piring, maka sudah sepatutnya kalau kalian mengganti kerugian yang diderita oleh pemilik rumah makan ini."
Ciok Cun, kepala jagoan itu, yang sudah menyadari bahwa pemuda ini yang telah mempermainkan mereka semua, kini melangkah maju. Mukanya merah sekali karena dia marah. "Bocah setan! Engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan. Engkau telah mempermainkan kami, akan tetapi aku tidak takut dan aku harus menghajarmu sendiri!" Orang yang perutnya gendut dan kepalanya botak ini sudah melangkah maju dan mengayun tangannya untuk menampar ke arah muka Han Siong yang sama sekali tidak mengelak atau menangkis, melainkan hanya memandang dengan matanya yang mencorong.
"Plakkk!" Pipi itu kena di tampar dan menjadi matang biru. Pipi Ciok Cun! Dia mengaduh-aduh dan mengusap pipinya yang ditamparnya tadi. Semua orang melihat betapa Ciok Cun menampar dengan kuatnya, akan tetapi anehnya, yang ditampar bukan muka pemuda itu, melainkan mukanya sendiri! Agaknya hal ini masih belum membuat kepala jagoan itu menjadi jera, dia menyerang lagi dengan hantaman ke arah dada lawan.
"Bukkk!" Ciok Cun terbatuk-batuk saking kerasnya pukulan tangan kananya menghantam dada sendiri. Dia masih nekat, beberapa kali masih menyerang akan tetapi selalu yang dipukul adalah tubuhnya sendiri dan ketika dia menyerang ke arah kepala, kepalan kirinya menghantam kepala sendiri dan dia pun roboh! Dia mencoba bangun, menggoyang-goyangkan kepalanya yang menjadi pening dan sepasang matanya menjadi juling karena segala sesuatu di sekelilingnya nampak berputaran!
Han Siong masih menghadapi mereka dan kini terdengar dia berkata, "Harap kalian sadar bahwa kalianlah yang mencari penyakit, suka mengganggu orang lain. Aku sekali ini mengampuni kalian asal saja kalian mau memberitahukan kepadaku tentang diri seorang gadis yang mungkin baru-baru ini lewat di kota ini. Dia seorang gadis berusia tujuh belas tahun, hitam manis, tinggi ramping, lesung pipit di sebelah kiri mulutnya, pakaiannya seperti pakaian wanita suku bangsa Yi, memakai topi sorbann berhias bulu burung, namanya Pek Eng. Apakah di antara kalian ada yang mengetahuinya?"
Kini Ciok Cun sudah bangkit kembali dan mendengar pertanyaan Han Siong itu, dia tertawa mengejek. "Ha-ha-ha-ha, kiranya engkau mencari gadis itu? Bocah setan, biar aku tahi sekalipun, takkan kuberitahukan kepadamu! Engkau telah menghina kami dengan ilmu iblismu, dan mengapa tak kaupergunakan ilmu iblismu untuk menemukan gadis itu? ha-ha-ha!" Karena tidak berdaya membalas kepada pemuda yang memiliki ilmu sihir itu, Ciok Cun mentertawakannya, dan teman-temannya yang juga tadi sudah kebagian, ada yang bengkak-bengkak ada yang babak belur karena saling hantam sendiri, kini membantu kepala jagoan itu mentertawakan Han Siong!
Pemuda sudah merasa girang sekali mendengar bahwa orang gendut botak didepannya ini tahu tentang adiknya. Maka dia pun cepat mengerahkan kekuatan sihirnya. "Baiklah, kalian tertawalah sepuasnya, kalau sudah puas dan ingin bercerita tentang gadis itu, bilang saja padaku. Aku masih sabar Menunggu." Dia pun duduk kembali dan terjadilah keanehan lagi. Ciok Cun dan teman-temannya masih tertawa-tawa, akan tetapi kini suara ketawa mereka itu makin menjadi-jadi, bergelak bahkan berkakakan. Dan biarpun mulut mereka terbuka mengeluarkan suara ketawa, namun ada sesuatu pada pandang mata mereka. Mata itu terbelalak dan membayangkan rasa kaget dan ketakutan, namun suara ketawa mereka semakin hebat saja. Mereka bahkan kini terpingkal-pingkal, memegangi perut mereka dan ada pula yang sudah jatuh bergulingan ke atas lantai sambin masih terus tertawa.
Melihat keadaan ini, seorang pelayan merasa geli dan dia pun tak dapat menahan ketawanya. Akan tetapi sekali dia tertawa, dia pun hanyut dn terus tertawa terpingkal-pingkla pula, sampi terguling dari atas bangkunya! Melihat ini, kawan-kawan mereka terkejut dan mereka tidak berani tertawa. Agaknya telah terjangkit penyakit aneh di tempat itu, penyakit tertawa!
Ciok Cun maklum bahwa ini bukan sewajarnya. Dia berusaha menahan diri, akan tetapi semakin ditahan, semakin kuatlah dorongan untuk tertawa sehingga akhirnya dia pun terjungkal dan bergulingan. Keringat dingin membasahi seluruh tubuh dan Ciok Cun merasa betapa napasnya sesak, perutnya sakit dan kepalanya pening, namun dia terus tertwa. Barulah dia ketakutan, apalagi melihat betapa di antara teman-temannya ada yang sudah jatuh pingsan! Dia lalu merangkak ke arah Han Siong, dan sambil bertiarap dan terus tertawa, dia berkata, "Orang.... ha-ha, orang muda.... heh-heh-heh... aku... aku menyerah... ha-ha-ha... aku mau memberi tahu.... Hoah-ha-ha... mengenai gadis itu.... ha-ha-ha!"
Han Siong sudah merasa cukup memberi hajaran kepada gerombolan orang kasar itu dan dia memang membutuhkan keterangan tentang adiknya, maka dia pun segera menyimpan kekuatan sihirnya yang menggelitik batin mereka sehingga mereka tertawa-tawa tanpa dapat dihentikan itu. begitu dia menarik kembali kekuatannya semua orang yang tadinya tertawa-tawa sampai ada yang bergulingan di lantai dengan napas hampir putus, tiba-tiba saja berhenti tertawa. Suasana menjadi aneh dan sunyi setelah tadi terdengar suara ketawa riuh rendah dan mereka hanya saling pandang dengan mata terbelalak, muka pucat dan napas terengah-engah, keringat bercucuran. Kini Ciok Cun menjadi jerih dan maklumlah dia dan kawan-kawannya takkan mampu menandingi pemuda yang luar biasa ini. Dia pun bangkit dan memberi hormat kepada Han Siong, diturut oleh kawan-kawannya.
"Harap Kongcu (Tuan Muda) suka memaafkan kami yang tidak mengenal orang pandai dan telah berani main-main." Katanya.
"Sudahlah, semua yang terjadi adalah akibat ulah kalian sendiri, mudah-mudahan menjadi pelajaran agar lain kali kalian tidak bersikap sewenang-wenang mengganggu orang lain. Nah, yang kuminta sekarang adalah keteranganmu tentang gadis yang kutanyakan tadi. Betulkah engkau pernah melihatnya dan tahu di mana ia berada?"
Melihat sikap Han Siong yang halus walaupun jelas pemuda itu telah mengalahkan mereka, Ciok Cun menjadi semakin tunduk dan dia tidak lagi berani main-main. Selain itu, juga dia melihat kesempatan untuk membalas kekalahannya terhadap pemuda itu melalui orang-orang yang jauh lebih lihai.
"Kami memang melihat gadis yang Kongcu maksudkan itu. Bukankah dia seorang gadis suku bangsa Yi, pakai topi sorban terhias bulu burung, berusia kurang lebih tujuh belas tahun, hitam manis, dengan lesung pipit di sebelah kiri mulutnya, jenaka, galak dan berani, juga memiliki ilmu silat yang tinggi, katanya dari Pek-sim-pang?"
"Benar sekali!" kata Han Siong gembira karena jelas bahwa yang dimaksudkan orang ini tentulah adik kandungnya itu!
"Kurang lebih dua pekan yang lalu ia berada di kota ini, akan tetapi ia bentrok dengan orang-orangnya Lam-hai giam-lo dan ia ditawan lalu diajak pergi ke selatan!"
Tentu saja berita ini mengejutkan Han Siong. "Lam-hai Giam-lo?" pikirnya dalam hati dan teringatlah dia akan hwesio tua bermuka kuda yang gagu dan tuli di kuil Siauw-lim-pai itu! Penjahat besar, datuk kaum sesat yang amat lihai sehingga kalau saja tidak ada kedua orang gurunya yang menjadi orang-orang hukuman di kuil itu, tentu semua hwesio di kuil itu akan tewas olehnya! Lam-hai Giam-lo setelah dikalahkan kedua orang gurunya lalu melarikan diri dan kini adik kandungnya tertawan dan dibawa pergi orang-orangnya yang menjadi anak buah Lam-hai Giam-lo? Tentu saja dia terkejut dan merasa khawatir sekali.
"Kemana ia dibawa dan di mana tinggalnya Lam-hai Giam-lo?" tanyanya dengan suara dan sikap tenang.
Kini Ciok Cun memandang wajah pemuda itu seperti orang yang keheranan. Pemuda ini memiliki ilmu tinggi dan aneh, akan tetapi tidak tahu di mana tempat tinggalnya Lam-hai Giam-lo! Akan tetapi dia tidak berani mencela atau mentertawakan. "Lam-hai Giam-lo berada di daerah pegunungan di Propinsi Yunan, di Lembah Yang-ce-kiang. Semua orang di daerah itu mengenal namanya dan tahu di mana tokoh itu tinggal."
Han Siong mengangguk. "Baik, terima kasih atas petunjukmu. Akan tetapi sekali lagi, kuharap kalian sadar bahwa mengganggu orang lain mengandalkan kekerasan dan kekuasaan hanya akan mencelakakan diri sendiri. Nah, selamat tinggal!" Dia lalu membayar harga makanan dan keluar dari restoran itu, diikuti pandang mata mereka yang tadi telah merasakan kelihaiannya.
Mari kita ikuti perjalanan Pek Eng yang sedang di cari jejaknya oleh Han Siong. Seperti kita ketahui, gadis ini meninggalkan rumah orang tuanya tanpa pamit dan hanya meninggalkan surat bahwa ia hendak pergi mencari kakak kandungnya, Pek Han Siong. Sesungguhnya, bukan untuk mencari kakaknya penyebab utama dari kepergiannya tanpa minta ijin orang tua itu. Ia merasa penasaran dan marah karena orang tuanya menerima pinangan keluarga Song. Ia sama sekali tidak mencinta pemuda she Song walaupun harus diakuinya bahwa Song Bu Hok adalah seorang pemuda yang gagah sekali, juga memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, putera Ketua Kang-jiu-pang yang amat terkenal pula. Ia tidak menganggap bahwa pilihan orang tuanya itu keliru karena memang sudah sepatutnya kalau ia berjodoh dengan Song Bu Hok, keduanya putera ketua perkumpulan besar dan di antara orang tua mereka terdapat pertalian persahabatan yang erat. Akan tetapi, ia sama sekali tidak mencinta Song Bu Hok. Hal ini terutama sekali dirasakannya setelah ia bertemu dengan Hay Hay! Ia amat tertarik dan jatuh cinta kepada pemuda yang ugal-ugalan itu, bukan karena ia pernah mencium Hay Hay karena ia mengira pemuda itu kakaknya, bukan pula karena tingkat kepandaian pemuda itu sedemikian tingginya sehingga ia merasa kagum. Atau mungkin juga ada sebagian dari kedua kenyataan itu yang memperkuat perasaan cintanya. Akan tetapi yang jelas, ia tidak lagi dapat melupakan Ha Hay!
Itulah sebabnya maka ia menjadi nekat untuk pergi tanpa pamit dan ingin mencari kakaknya kepada siapa ia akan membuka semua isi hatinya dan mengharapkan kakak kandungnya itu akan mau membelanya. Ia membawa bekal uang secukupnya, beberapa stel pakaian lengkap yang dibuntalnya dalam sebuah bungkusan kain tebal, tidak lupa membawa sebatang pedang dan dengan pakaian sebagai seorang gadis suku bangsa Yi, ia pun melakukan perjalanan menuju ke selatan.
Tidak aneh kalau di sepanjang perjalanannya, Pek Eng menjadi perhatian banyak orang, terutama sekali para pria yang melihatnya melakukan perjalanan seorang diri. Gadis ini cantik manis dan biarpun kulitnya agak gelap. Terutama sekali mata yang agak sipit itu bersinar tajam, dan hidungnya dapat mempesona hati seorang pria dengan bentuknya yang mungil, ujungnya agak naik sedikit. Bibirnya merah basah dan pipi kirinya terdapat sebuah lesung pipit yang nampak jelas kalau tersenyum. Bentuk tubuhnya yang tinggi ramping dengan kaki panjang juga memiliki daya tarik tersendiri, dengan lekuk-lengkung tubuh gadis yang mulai dewasa. Dari pandang mata dan bibir yang selalu di hias senyum itu dapat diketahui bahwa gadis ini lincah, jenaka dan gembira, akan tetapi juga memiliki ketabahan besar. Orang-orang yang melihat betapa gadis ini membawa pedang di punggungnya, agak segan untuk mengganggu dan biarpun ada pula pria yang merasa dirinya kuat dan sudah biasa mengganggu wanita mencoba untuk bersikap kurang ajar, namun Pek Eng dapat mengatasinya bahkan telah merobohkan beberapa orang pengganggu.
Pada suatu hari tibalah ia di kota Kui-yang. Seperti yang selalu dilakukan semenjak ia meninggalkan rumah, setiap kali ada kesempatan ia bertanya-tanya kepada orang tentang dua orang pemuda, yaitu Pek han Siong dan Hay Hay! Ia sendiri tidak tahu apa yang ia katakana atau ia lakukan kalau ia berhasil menemukan Hay Hay. Akan tetapi ia ingin sekali bertemu kembali dengan pemuda itu. Di kota Kui-yang, Pek Eng juga bertanya-tanya ketika ia berjalan-jalan dan melihat-lihat keadaan kota itu di waktu senja, setelah ia mendapatkan sebuah kamar di rumah penginapan. Ia hanya meninggalkan buntalan pakaiannya saja di kamar, dan semua uangnya ia bawa, demikian pula pedangnya.
Perhatian Pek Eng tertarik sekali melihat sebuah rumah makan besar yang dikelilingi pagar tembok tebal dan tinggi, dan di depan pintu gerbangnya terdapat papan yang bertuliskan huruf-huruf besar berbunyi "HUI-HOUW BU-KOAN" (Perguruan Silat Macan Terbang). Apalagi ketika dari pintu gerbang yang terbuka itu ia dapat melihat belasan orang sedang berlatih gerakan silat, dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar. Belasan orang itu, seperti pelatihnya, hanya mengenakan celana sampai ke bawah lutut dan tubuh bagian atasnya telanjang, memperlihatkan tubuh yang kokoh kuat penuh otot-otot melingkar-lingkar. Ah, perguruan silat, pikir Pek Eng. Mungkin di antara mereka itu ada yang mengenal kakaknya atau Hay Hay. Bukankah kakaknya, seperti yang diharapkan oleh keluarganya, memiliki ilmu silat tinggi dan Hay Hay tidak perlu diragukan lagi adalah seorang yang sakti? Orang-orang seperti kakaknya atau Hay Hay memang sepatutnya dikenal oleh golongan persilatan.
Dengan pikiran ini, tanpa ragu lagi Pek Eng lalu memasuki pintu gerbang yang terbuka dan tibalah ia dipelataran depan, di mana belasan orang itu sedang melatih gerakan pukulan sambil mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring. Ketika belasan orang yang rata-rata masih muda, berusia antara duapuluh sampai tiga puluh tahun itu melihat betapa tiba-tiba muncul seorang dara yang manis dari depan pintu, tentu saja mereka semua memandang dengan kagum dan gerakan mereka kacau, juga bentakan-bentakan itu tergagap dan tidak nyaring lagi, bahkan kini sebagian dari mereka menghentikan gerakan silat mereka dan berdiri bengong memandang ke arah Pek Eng, dengan senyum-senyum ceriwis! Melihat keadaan para murid itu, pelatihnya terheran dan dia pun menengok. Pelatih itu sudah lebih tua, kurang lebih empat puluh tahun usianya dan dia pun terkejut ketika melihat seorang gadis berdiri di situ, gadis yang tidak di kenal dan cantik manis.
"Aih, pantas kalian menjadi kacau. Kiranya ada seorang bidadari muncul di sini!" kata Si Pelatih yang ternyata lebih ceriwis lagi sikapnya dari para murid itu. Bahkan kini dengan langkah lebar dia menghampiri Pek Eng dan berdiri di depan Pek Eng. Karena pelatih itu berdiri terlalu dekat sehingga bau apak dan tidak enak dari tubuh setengah telanjang berkeringat itu menyerang hidung Pek Eng, gadis ini mundur dua langkah dan hidungnya yang mungil bergerak-gerak lucu.
"Hai, Nona manis, siapakah engkau dan apa keperluanmu masuk ke tempat latihan kami ini?" tegur Si Pelatih, menyeringai lebar seperti merasa lucu melihat pedang yang tergantung di punggung gadis pengunjung itu.
"Hati-hati, Toako. Lihat pedang di punggungnya itu! Jangan-jangan ia seorang pendekar pedang yang lihai sekali!" terdengar suara seorang diantara para murid, akan tetapi karena nada suaranya jelas mengandung ejekan, semua orang tertawa dan pelatih yang di sebut Toako (kakak) itu pun tertawa bergelak.
Melihat mereka berlagak dan memandang rendah kepadanya, sepasang alis Pek Eng berkerut dan ia sudah merasa menyesal memasuki tempat ini. Tak disangkanya bahwa mereka itu bukanlah calon-calon pendekar seperti para murid di Pek-sim-pang, melainkan sekelompok laki-laki yang ugal-ugalan dan bahkan kurang ajar terhadap wanita yang sama sekali belum mereka kenal.
"Ha-ha-ha!" Pelatih itu tertawa lebar. "Nona manis, benarkah engkau seorang pendekar pedang seperti kata ia tadi? Apakah kedatanganmu ini hendak memperlihatkan kepandaianmu atau hendak menguji kami?"
Karena sudah terlanjur masuk, Pek Eng yang tidak mau melayani kekurangajaran mereka, langsung saja bertanya. "Aku tertarik melihat papan nama Hui-houw Bu-koan di luar dan aku masuk untuk bertanya apakah di antara kalian ada yang mengenal dua orang pemuda yang bernama Pek Han Siong dan Hay Hay?"
Pelatih itu dan para anak buahnya sebenarnya tidak pernah mendengar dua buah nama yang disebut Pek Eng itu, akan tetapi pura-pura sudah mengenalnya. "Aahh, kiranya engkau mencari mereka?"
Bukan main girangnya hati Pek Eng. Tak disangkanya bahwa orang itu mengenal kakaknya dan Hay Hay. "Benar, tahukah engku di mana mereka?"
Pelatih itu mengangguk-angguk. "Tentu saja aku tahu, akan tetapi sebelum aku memberitahukan kepadamu, engkau harus memenuhi syarat yang kuajukan."
Pek Eng mengerutkan alisnya dan memandang penuh selidik. "Syarat? Syarat apa itu?"
Pelatih itu tertawa. "Ha-ha-ha, syaratnya engkau harus maju dan main-main dengan aku sebentar. Kalau engkau menang, tentu akan segera kuberitahukan di mana mereka, akan tetapi kalau engkau kalah, engkau harus menemani aku pelesir selama tiga hari tiga malam, baru engkau akan aku pertemukan dengan mereka. Bagaimana?"
Semua laki-laki yang berlatih silat, tersenyum-senyum mendengar ini, dan semua mata memandang kepada Pek Eng secara kurang ajar sekali. Hati Pek Eng sudah menjadi panas dan kini ia meragukan kebenaran pengakuan pelatih itu bahwa dia tahu di mana adanya dua orang pemuda yang dicarinya. Tentu hanya untuk mencari alasan agar dapat mempermainkannya, pikirnya dengan hati panas dan marah. Akan tetapi, ia tetap tersenyum, bahkan menangguk-angguk. Andaikata ia kalah, ia pun masih mempunyai akal untuk menghindarkan diri dari kekurangajaran orang ini, pikirnya. Akan tetapi melihat gerakan mereka tadi, ia yakin bahwa ia akan mampu mengalahkan orang tinggi besar ini, bahkan tidak merasa gentar untuk menghadapi pengeroyokan belasan orang yang tingkat kepandaiannya masih rendah dan hanya mengandalkan kekuatan otot belaka.
"Baik, akan tetapi kalau engkau kalah kemudian tidak dapat membawa aku kepada mereka, akan kuhancurkan mulutmu yang lancang itu!" katanya, tetap tenang dan mulutnya dihias senyum, sama sekali tidak kelihatan marah.
"Toako, biar aku menangkap gadis ini untukmu!" tiba-tiba terdengar seruan seorang di antara anak buah itu dan orang ini, berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, bertubuh kurus dan mukanya pucat seperti orang berpenyakitan, sudah meloncat maju ke depan Pek Eng dan langsung saja dia menubruk untuk merangkul dan menangkap gadis itu. Kesempatan yang amat baik, pikir pemuda itu. Dia akan dapat memeluk gadis manis ini, bahkan mungkin dapat mencuri satu dua kali ciuman sebelum menyerahkannya kepada pelatihnya. Tangan kanannya menyambar hendak memukul leher, sedangkan tangan kirinya secara kurang ajar sekali hendak mencengkeram ke arah dada!
Pek Eng melihat gerakan serangan yang kurang ajar akan tetapi juga amat lambat dan lemah baginya itu. ia menggerakkan kakinya memutar tubuh setengah lingkaran, membiarkan cengkeraman ke arah dada itu lewat, sedangkan tangan kanannya sendiri bergerak ke atas, menangkap pergelangan tangan kanan lawan yang hendak merangkulnya, kemudian cepat sekali ia menekuk lengan kanannya dan dengan tepat sekali siku kanannya menghantam muka orang itu.
"Crottt!" Ujung siku tepat menghantam hidung pemuda muka pucat itu dan tulang hidung itu patah, hidungnya menjadi hitam membengkak dan darah pun bercucuran keluar. Pek Eng mengangkat kakinya ketika pemuda itu tersentak ke belakang dan perutnya maju ke muka, dan lututnya sudah menghantam perut lawan.
"Ngekkkk!" Dan pemuda itu pun terjengkang, kedua tangannya sibuk memegangi hidung dan perut karena dalam keadaan hampir pingsan dia tidak dapat membandingkan mana yang lebih nyeri hidung remuk dan perut mulas itu. Dengan suara bindeng dia mengaduh-aduh sambil berlutut membungkuk-bungkuk
Pelatih itu marah. Sambil berseru keras dia pun menubruk ke depan. Namun Pek Eng tidak mau membuang banyak waktu lagi. Disambutnya serangan lawan itu dengan tamparan dari samping yang tepat mengenai pelipis pelatih tinggi besar itu.
"Plakkk!" Tubuh yang tinggi besar itu terputar karena dia merasa seolah-olah disambar petir, kepalanya nyeri, pandang matanya berkunang dan dia pun meloncat-loncat seperti monyet menari-nari di atas papan yang panas. Pek Eng menyusulkan dua kali gerakan kaki, ujung sepatunya menyentuh sambungan lutut dan orang tinggi besar itu pun terpelanting roboh. Kini, belasan orang murid itu maju mengeroyok Pek Eng, bahkan di antara mereka ada yang membawa senjata golok, pedang dan toya. Namun, mereka itu tidak ada artinya bagi Pek Eng. Gadis perkasa ini bergerak cepat seperti seekor burung walet yang menyambar-nyambar di antara sekelompok capung saja. Belasan orang itu pun satu demi satu roboh terpelanting roboh sambil mengaduh-aduh!
Pada saat itu, dari pintu tengah muncullah seorang kakek dan seorang nenek. Mereka terkejut sekali melihat betapa ada seorang dara muda merobohkan belasan orang anak murid Hui-houw Bu-koan. Kakek itu lalu memutar tubuhnya, dan berseru ke arah dalam rumah.
"Ciok Kauwsu (Guru Silat Ciok), keluarlah!"
Kini muncullah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, perutnya gendut dan kepalanya botak, matanya seperti mata burung elang, tajam dan lincah melirik ke sana-sini, dan sinarnya mengandung kelicikan. Laki-laki ini adalah Ciok Cun, pemilik Hui-houw Bu-koan, juga seorang kepala jagoan yang terkenal di kota Kui-yang dan sekitarnya. Hampir tidak ada orang berani menentang kepala jagoan ini, karena selain dia lihai, banyak anak buahnya, dan seluruh jagoan dan tukang pukul di daerah itu tunduk belaka kepadanya, juga dia terkenal mempunyai hubungan baik dan erat dengan para pembesar setempat. Dia pandai mengambil hati dan mendekati para pejabat yang berwenang dengan cara mengirim hadiah-hadiah barang berharga kepada mereka.
Pada waktu peristiwa keributan di pekarangan luar terjadi, Ciok Cun sedang menerima tamu yang agaknya amat penting karena tamu kakek dan nenek itu diterima di ruangan paling dalam dan mereka bertiga bicara dalam ruangan tertutup bahkan tak seorang pun pelayan atau murid boleh masuk tanpa di panggil. Dan tepat ketika dua orang tamu itu hendak pergi, mereka melihat kesibukan di luar, di mana belasan orang anak buah Hui-houw Bu-koan telah roboh berserakan oleh seorang gadis muda!
Tentu saja Ciok Cun terkejut dan marah bukan main melihat betapa belasan orang muridnya di hajar orang, apalagi pembantunya yang tinggi besar, yang merupakan murid tingkat atas, agaknya sudah tidak mampu bangkit, kedua kakinya seperti lumpuh dan sebelah mukanya matang biru!
"Heii, siapakah engkau anak perempuan yang datang mengacau? Aku adalah Ciok Cun, Kauwsu (guru silat) dan pemilik bu-koan (tempat belajar silat) ini! Siapakah engkau dan apa maksudmu membikin ribut di sini?" Sebagai seorang yang berpengalaman, tentu saja Ciok Cun dapat menduga bahwa gadis ini biarpun masih muda, tentu memiliki kepandaian tinggi, kalau tidak demikian, tak mungkin belasan orang murid itu roboh semua sedangkan gadis itu agaknya kusut pakaiannya pun tidak!
Mendengar pengakuan Ciok Cun, Pek Eng memandang tajam. Kalau anak buahnya mengenal kakaknya dan Hay hay, tentu gurunya lebih mengenal mereka lagi. Maka ia pun menjura ke arah laki-laki gendut botak itu.
"Harap suka maafkan aku, Ciok Kauwsu. Aku bernama Pek Eng dan tadinya aku sama sekali tidak pernah mengira akan berkelahi dengan anak buahmu di tempat ini. Aku kebetulan lewat dan tertarik bahwa di sini adalah sebuah perguruan silat, aku lalu masuk dan kepada mereka ini aku menanyakan nama dua orang pemuda, apakah mereka mengenalnya. Kemudian, orang tinggi besar ini memberitahu bahwa dia mengenal mereka dan akan memberitahukan di mana adanya mereka asal aku mampu mengalahkan dia. Kami bertanding dan semua anak buahmu maju mengeroyokku dan... beginilah jadinya." Pek Eng menggerakkan kedua tangannya ke arah mereka yang masih mengaduh-aduh dan sukar untuk bangkit berdiri.
Ciok Cun sendiri belum pernah mendengar dua nama itu, maka dia pun memandang kepada muridnya yang menjadi pelatih murid-murid tingkat rendahan dan bertanya, "Benarkah engkau mengenal dua orang yang di cari Nona ini?"
Si Tinggi Kurus terpaksa mengaku. "Kami tidak mengenal mereka, kami hanya membohongi Nona ini untuk main-main saja...."
Mendengar ini, Pek Eng merasa mendongkol bukan main. Dengan alis berkerut dia menyapu bekas lawan yang banyak itu dengan pandang matanya, kemudian ia mengomel. "Kalau kalian tidak tahu, kenapa harus pura-pura tahu? Kalau tadi kalian bilang tidak tahu, tidak perlu terjadi keributan ini. Sudahlah, kalau kalian tidak mengenal mereka, barangkali engkau sendiri mengenal mereka, Ciok Kauwsu dan kalau engkau dapat menunjukkan kepadaku di mana mereka, aku sungguh akan berterima kasih sekali."
Ciok Cun sudah merasa mendongkol melihat betapa para muridnya dihajar, akan tetapi karena dia maklum betapa lihainya gadis muda ini, diapun bertanya. "Siapakah mereka?"
"Yang seorang bernama Pek Han Siong, dan yang kedua dikenal dengan nama Hay Hay."
Ciok Cun mengerutkan alisnya mengingat-ingat, akan tetapi dia sendiri belum pernah bertemu dengan dua orang yang namanya seperti itu, maka dia pun menggeleng kepala. "Aku tidak mengenal mereka."
Pek Eng kecewa. "Kalau begitu, biar aku pergi saja dan sekali lagi maafkanlah aku!" Setelah berkata demikian, Pek Eng membalikkan tubuhnya dan hendak pergi dari pekarangan itu, keluar melalui pintu gerbang.
"Nona, tunggu dulu!" tiba-tiba terdengar bentakan orang dan Pek Eng membalikkan tubuhnya dan kini ia berhadapan dengan kakek dan nenek itu. melihat betapa kakek itu menghampirinya, maklumlah Pek Eng bahwa yang mengeluarkan suara menahannya tadi adalah kakek itu. Ia memperhatikan mereka sekarang. Kakek itu usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar dan pandang matanya mencorong tajam. Ada pun nenek itu hanya beberapa tahun lebih muda, kurang lebih enam puluh tahun, namun masih nampak cantik dan pesolek karena pipi dan bibirnya masih memakai pemerah kulit, bahkan mukanya yang bentuknya cantik itu dipulas bedak yang cukup tebal. Karena mereka adalah orang-orang tua, Pek Eng menghadapi mereka dengan sikap tenang dan hormat.
Engkaukah yang menahan aku pergi tadi, Paman Tua? Ada urusan apakah?" tanyanya sambil memandang kepada kakek itu.
"Benarkah yang kaucari itu adalah Pek Han Siong dan Hay Hay?" tanya kakek itu.
"Benar, apakah engkau mengenal mereka?"
Kakek itu saling pandang dengan Si Nenek dan mereka pun mengangguk, bahkan kakek itu berseru. "Mengenal mereka? Ah, mengenal baik sekali!"
Pek Eng memandang dengan penuh curiga. "Sekarang aku tidak akan mudah percaya kalau ada orang mengaku kenal dengan mereka, karena tadi pun aku sudah dibohongi orang," katanya sambil melirik ke arah pelatih silat tadi.
"Akan tetapi aku tidak berbohong!" kata pula kakek itu. "Bukankah yang bernama Hay Hay itu seorang pemuda berusia dua puluh satu tahun, lincah dan gembira, tubuhnya sedang dan dadanya bidang, matanya bersinar-sinar, mulutnya selalu tersenyum, dia memiliki ilmu silat yang amat lihai dan juga pandai sihir? Dan bukankah yang bernama Pek Han Siong itu adalah putera Ketua Pek-sim-pang, dan dahulu ketika kecil di sebut Sin-tong (Anak Ajaib)?"
Pek Eng hampir bersorak kegirangan. Wajahnya seketika berubah, berseri-seri dan sinar matanya penuh harapan di tujukan kepada orang tua itu. "Aih, benar sekali, Paman. Benar sekali, aku adalah adik dari Pek Han Siong!"
"Bagus!" tiba-tiba nenek itu yang sejak tadi hanya memandang wajah Pek Eng dengan penuh perhatian, kini membentak. "Nah, sekarang katakan di mana adanya Pek Han Siong itu!" Nenek itu bersikap mengancam sehingga diam-diam Pek Eng terkejut, juga merasa heran dan kecewa. Sialan, pikirnya. Ia tadi sudah kegirangan karena kakek dan nenek itu mengenal kakaknya dan Hay Hay, akan tetapi siapa kira mereka malah bertanya kepadanya di mana adanya kakaknya!
"Hemm, jadi kalian kakek dan nenek ini mengenal kakakku akan tetapi tidak tahu dimana dia berada? Kalau begitu, kalian pun tidak ada gunanya bagiku. Selamat tinggal!" Setelah berkata demikian, Pek Eng yang tidak mau lebih lama lagi tinggal di tempat itu, bergerak cepat hendak lari keluar dari pintu gerbang. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan berkelebat di sampingnya dan tahu-tahu nenek itu telah menghadang di ambang pintu gerbang, ke dua tangannya di palangkan seolah-oleh hendak melarang dan mencegah ia keluar! Diam-diam Pek Eng terkejut. Dari gerakan itu tadi saja ia sudah tahu bahwa nenek itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat. Ia menoleh dan kakek itu pun menghampirinya. Ia telah dikepung depan dan belakang oleh kakek dan nenek itu.
Pek Eng mengambil keputusan cepat. Ia harus keluar dari situ sebelum dikepung oleh lebih banyak orang lagi. Maka tiba-tiba, tanpa mengeluarkan suara, tubuhnya sudah meloncat ke depan dan menerjang nenek yang menghadang di ambang pintu. Kedua tangannya mendorong dengan maksud untuk mendorong nenek itu kesamping agar ia dapat menerobos keluar! Akan tetapi, nenek itu tidak mengelak, melainkan menyambut dorongan kedua tangan gadis itu dengan kedua tangannya sendiri. Dua tenaga bertemu dan akibatnya, tubuh Pek Eng terdorong mundur kembali ke dalam pekarangan! Gadis itu terkejut, merasa betapa kuatnya tenaga dorongan nenek itu.
"Engkau tidak boleh pergi sebelum menunjukkan kepada kami di mana adanya Sin-tong!" kata kakek itu dan tiba-tiba saja tubuh kakek itu meloncat tinggi dan dari atas dia menubruk dengan kedua tangan membentuk cakar seperti seekor burung garuda yang menyambar kelinci! Melihat ini, Pek Eng mengelak dengan loncatan ke samping sambil siap untuk membalas, akan tetapi, lengan kakek tinggi besar itu mengejarnya dari atas. Terpaksa Pek Eng menangkis dengan lengan kirinya dan membarengi dengan pukulan tangan kanan ke arah leher kakek itu.
"Dukk!" Pukulan itu mengenai leher yang terasa keras seperti baja, akan tetapi cengkeraman tangan kakek itu sudah dapat menangkap pundak Pek Eng dan gadis itu lalu roboh dengan kaki tangan terasa lemas kehilangan tenaga. Ternyata jalan darahnya telah dapat dicengkeram dan ia pun tidak mampu bangkit lagi.
Biarpun kaki tangannya sudah tidak dapat digerakkan lagi, namun Pek Eng yang roboh telentang itu memandang kepada kakek itu dengan kedua mata melotot, sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut.
Nenek itu sekali loncat sudah di dekat Pek Eng. "Hayo cepat katakana di mana adanya Pek Han Siong. Kalau engkau tidak mau mengaku, terpaksa aku akan menyiksamu dengan jarum beracun!"
Sementara itu, Ciok Cun yang sejak tadi menjadi penonton bersama anak buahnya, terbelalak kagum melihat betapa kakek dan nenek itu, dalam beberapa gebrakan saja telah mampu menangkap agdis gadis yang amat lihai itu!
"Hebat... hebat sekali... kepandaian Ji-wi sungguh seperti dewa!" Dia memuji. "Ah, tak dapat aku membayangkan betapa tinggi tingkat kepandaian Locianpwe Lam-hai Giam-lo, melihat betapa utusannya saja seperti Ji-wi memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!"
Nenek itu mendengus tak menjawab dan kakek itu berkata, "Tingkat kepandaian Lam-hai Giam-lo tak dapat diukur, karena itu, jangan engkau main-main, Ciok-kauwsu dan engkau harus mentaati semua yang telah diperintahkan."
"Kami taat... tentu saja kami taat, apalagi setelah Locianpwe itu demikian royal memberi pengganti biaya kami melalui kedatangan Ji-wi."
Nenek itu kini mengeluarkan sebatang jarum hitam dari kantung kecil di pinggangnya dan memeprlihatkan kepada Pek Eng. "Nona, kaulihat jarum ini. Karena benda inilah maka aku dijuluki orang kang-ouw sebagai Tok-ciam (Jarum Beracun). Jarum ini bukan hanya dapat membunuh, akan tetapi juga mampu mendatangkan siksaan yang amat hebat. Kalau engkau tidak mau menunjukkan kepada kami di mana adanya Sin-tong, engkau akan menderita siksaan yang akan membuat engkau rindu akan kematian yang tak kunjung tiba. Lihat!" Kebetulan seekor anjing lewat tak jauh dari mereka. Sekali menggerakkan tangannya, jarum itu meluncur dan terdengar anjing itu berkuik lalu roboh dan selanjutnya anjing itu melolong-lolong berkelojotan. Jarum itu mengenai kaki depan kanan dan kini jelas nampak betapa kaki yang terkena jarum itu membengkak dan menghitam dan agaknya mendatangkan rasa nyeri yang amat hebat melihat betapa anjing itu melolong-lolong amat menyedihkan. Diam-diam Pek Eng merasa ngeri juga melihat kekejaman itu dan maklum bahwa ancaman nenek itu bukanlah gertak kosong belaka. Ia maklum bahwa nenek dan kakek itu lihai bukan main dan ia tidak akan mampu mengalahkan mereka, maka kalau ia nekat melawan pun takkan ada gunanya. Diam-diam ia menduga-duga siapa adanya kakek dan nenek yang amat lihai ini dan siapa pula pimpinan mereka yang tadi di sebut berjuluk Lam-hai Giam-lo.
Kalau saja Pek Eng mengenal kakek dan nenek itu, tentu ia akan menjadi semakin kaget dan ngeri. Kakek dan nenek itu adalah suami isteri yang terkenal sebagai Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan)! Kita telah mengenalnya sebagai datuk-datuk sesat yang amat kejam dan lihai. Kakek itu bernama Siangkoan Leng dan nenek itu adalah isterinya yang bernama Ma Kim Li. Seperti telah diceritakan di bagian depan, suami isteri ini menculik bayi dari keluarga Pek dan mengira bahwa bayi yang bukan lain adalah Hay Hay itu sebagai Sin-tong (Anak Ajaib). Mereka kecelik karena ternya bayi keluarga Pek yang mereka culikitu bukan Sin-tong. Suami isteri ini sekarang telah bergabung dengan para datuk sesat lainnya, menjadi pembantu-pembantu yang diandalkan oleh Lam-hai Giam-lo, kakek sakti yang ingin menghimpun para datuk sesat dan memperkuat kembali golongan hitam.
Untuk memperkuat kedudukannya dan memperluas pengaruhnya. Lam-hai Giam-lo mengutus para pembantunya untuk mempengaruhi kaum sesat di daerah selatan, mengajak mereka untuk bergabung di bawah pimpinan Lam-hai Giam-lo dan untuk keperluan itu, Lam-hai Giam-lo tidak sayang untuk menyebarkan uang secara royal sekali. Suami isteri itu kini berada di Kui-yang juga dalam rangka membujuk Ciok Cun yang dianggap sebagai kepala jagoan di kota itu untuk mengumpulkan kawan-kawannya dan bergabung di bawah pimpinan Lam-hai Giam-lo.
"Nah, bagaimana, Nona?" kata Ma Kim Li sambil terenyum dingin. "Engkau memilih selamat dan menunjukkan kepada kami di mana adanya kakakmu, atau engkau ingin melolong-lolong seperti anjing itu dalam keadaan hidup tidak mati pun tidak?"
"Hemm, nenek yang berhati kejam! Kaukira aku seorang gila yang tak dapat memilih mana yang menguntungkan? Tentu saja aku memilih yang pertama. Akan tetapi sebelum kita bicara, aku ingin dibebaskan dari totokan ini, dan ingin mengenal siapa adanya kalian berdua."
Girang sekali hati suami isteri itu mendengar kesanggupan ini. Kalau mereka dapat menguasai Sin-tong dan menyerahkannya kepada Lam-hai Giam-lo, tentu mereka akan berjasa besar. Pemuda yang dulu diperebutkan itu tentu masih berharga sekali bagi para pendeta Lama di Tibet yang tentu akan suka menukarnya dengan emas permata yang banyak terdapat di negeri penuh rahasia itu.
Siangkoan Leng tentu saja tidak merasa khawatir gadis itu akan melarikan diri. Di bawah pengamatan dia dan isterinya, gadis itu tidak akan mampu melarikan diri. Maka dia pun melangkah maju dan dengan beberapa kali totokan pada pundak, dia sudah membebaskan Pek Eng. Gadis itu bangkit berdiri dan memijit-mijit pundaknya yang terasa nyeri dan kaku, kemudian memandang suami isteri itu sambil tersenyum.
"Terima kasih, kalian sungguh merupakan kakek dan nenek yang amat lihai dan membuat aku merasa kagum. Siapakah sebenarnya kalian?"
"Namaku Siangkoan Leng dan ini isteriku Ma Kim Li. Kami berdua di dunia kang-ouw di kenal sebagai Lam-hai Siang-mo," kata Siangkoan Leng, diam-diam dia pun kagum karena gadis itu, biarpun masih muda dan berada dalam kekuasaan atau tawanan mereka masih saja bersikap demikian tenangnya dan sedikit pun tidak memperlihatkan kekhawatiran.
"Sekarang katakanlah di mana kakakmu itu!" Ma Kim Li kembali mendesak.
Sejak tadi Pek Eng sudah memutar otak mencari akal untuk menjawab desakan ini dan ia lalu memandang ke kanan kiri seperti orang yang merasa rikuh untuk bicara. Ia lalu memandang wajah nenek itu dan berkata dengan suara lirih.
"Sudah tepatkah kalau kita bicara tentang itu di depan banyak orang?"
Suami isteri itu sadar bahwa mereka maish berada di antara Ciok Cun dan anak buahnya. Ma Kim Li lalu memegang tangan Pek Eng dan berkata kepada suaminya. "Mari kita berangkat!"
Dengan diantar oleh Ciok Cun sampai ke depan pintu gerbang, suami isteri itu keluar dan ternyata kini beberapa orang anak buah Ciok Cun telah mengeluarkan sebuah kereta berkuda dua yang tadinya di simpan di sebelah rumah, dan Ma Kim Li lalu mengajak Pek Eng masuk ke dalam kereta. Siangkoan Leng duduk di depan dan menjadi kusir. Kereta bergerak meninggalkan rumah itu, bahkan segera keluar dari pintu gerbang kota Kui-yang sebelah selatan.
Kereta berhenti di tempat sunyi di luar kota itu dan kembali suami isteri itu mendesak kepada Pek eng. "Hayo, katakan sekarang dimana adanya kakakmu Pek Han Siong itu!"
Pek Eng tersenyum memandang kepada mereka. "Kalian ini adalah dua orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga melihat usia kalian tentu telah memiliki banyak pengalaman, akan tetapi bagaimana dapat mengajukan pertanyaan yang demikian bodoh?"
"Apa kaubilang?" Siangkoan Leng membentak, heran melihat keberanian anak perempuan itu yang dalam keadaan tertawan bahkan berani mengatakan mereka bodoh!
"Hati-hati dengan mulutmu atau jarumku akan menyiksamu!" nenek itu pun mengancam.
Akan tetapi Pek Eng yang cerdik itu hanya tersenyum menghadapi kemarahan mereka. Ia sudah memperhitungkan benar semua sikap dan kata-katanya. Ia maklum bahwa dua orang ini merupakan orang-orang yang dahulu memperebutkan kakaknya sebagai Sin-tong, seperti yang sering di dengar dari orang tuanya. Mereka ingin sekali menemukan kakaknya, mereka hanya mengenal kakaknya dari namanya saja dan tidak tahu di mana kakaknya berada.
"Lam-hai Siang-mo," katanya dengan sikap seperti bicara dengan orang-orang yang setingkat saja. "Aku tidak bermaksud menghina kalian, akan tetapi kalian sendiri melihat bawha aku datang ke persilatan Macan Terbang itu untuk menanyakan mereka kalau-kalau mereka melihat kakakku Pek Han Siong. Jelas bahwa aku datang untuk mencari Kakakku, dan sekarang kalian memaksa aku mengaku di mana adanya Kakakku itu. Bukankah itu pertanyaan yang amat bodoh? Kalau aku mencari-cari Kakakku, jelas bahwa aku tidak tahu di mana saat ini dia berada."
Kakek dan nenek itu saling pandang sejenak. "Hemm, ceritakan bagaimana engkau berpisah dari Kakakmu itu agar kami dapat membantumu mencarinya!" kata Siangkoan Leng.
Pek Eng memang sudah mempersiapkan diri sejak tadi. "Aku dan Kakakku itu sedang melakukan perjalanan pesiar ke selatan. Ketika kami tiba di luar kota Kui-yang, muncul tiga orang pendeta berkepala gundul yang hendak menangkap Kakakku. Karena tiga orang pendeta itu lihai sekali, Kakakku menyuruh aku menyingkir. Mereka lalu berkelahi dengan seru dan berkejar-kejaran. Ketika aku mengejar, ternyata aku tertinggal jauh dan mereka semua telah menghilang. Aku lalu mencari-cari sampai ke kota Kui-yang dan bertanya di Hui-houw Bu-koan." Ia berhenti sebentar kemudian bertanya. "Apakah kalian mengenal Kakakku itu? Apa perlunya kalian hendak bertemu dengan dia?"
Suami isteri itu saling pandang. "Apakah tiga orang pendeta berkepala gundul itu mengenakan jubah mantel lebar berwarna merah dan kotak-kotak?" tanya Siangkoan Leng.
"Benar sekali!" jawab Pek Eng yang teringat akan para pendeta Lama yang pernah menyerbu rumah keluarganya.
Kembali suami isteri itu saling pandang. "Mereka adalah para pendeta Lama dari Tibet!" kata Ma Kim Li dengan hati khawatir, takut kalau-kalau ia dan suaminya kalah dulu oleh para pendeta itu. "Apakah Kakakmu itu kalah lalu ditangkap dan di bawa pergi?"
"Tidak mungkin Kakakku kalah!" Pek Eng berteriak seperti orang marah. "Tiga orang pendeta itu yang lari dan dikejar-kejar Kakakku. Sayang ginkang mereka terlampau tinggi sehingga aku tertinggal jauh, dan kehilangan mereka." Ketika dua orang itu saling pandang, ia melanjutkan. "Akan tetapi aku yakin bahwa Kakakku tentu akan mengalahkan mereka dan dia akan mencari aku sampai dapat."
"Lihai sekalikah Pek Han Siong itu?" Ma Kim Li bertanya.
"Kakakku? Wah, ilmu kepandaiannya seperti dewa! Karena itu, kalau kalian mengenalnya, harap jangan mengganggu aku agar dia tidak menjadi marah."
"Kami tidak mengganggumu," kata Siangkoan Leng sambil tersenyum mengejek. "Sudah lama kami ingin bertemu dengan Kakakmu, ada urusan penting yang ingin kami bicarakan dengan dia."
"Wah kalau begitu, biarlah aku yang akan memberitahukan dia kalau kami sudah saling bertemu. Katakan saja kemana dia harus pergi mencari kalian, bukankah itu mudah sekali?" Berkata demikian Pek Eng tersenyum manis sekali kepada mereka. Ia sengaja tersenyum untuk membuat dua orang itu lengah karena pada saat itu, ia mendengar derap kaki kuda menuju ke arah kereta yang dihentikan di tepi jalan itu. Siapa pun adanya para pemunggang kuda itu, ia akan mempergunakan kesempatan ini untuk melarikan diri dengan harapan para penunggang kuda itu akan membantunya kalau melihat seorang gadis diserang dan dikejar kakek dan nenek itu.
Pek Eng sama sekali tidak tahu bahwa sepasang iblis itu bukan tidak mendengar derap kaki kuda, bahkan mereka dapat menduga siapa adanya para penunggang kuda itu tanpa menengok. Tempat ini memang menjadi tempat yang sudah menjanjikan untuk menanti datangnya dua orang kawan mereka!
Ketika dua orang penunggang kuda sudah tiga dekat dengan kereta itu, dan sepasang suami isteri itu nampaknya masih termenung mendengar perkataan Pek Eng tadi, tiba-tiba gadis itu meloncat ke luar dari dalam kereta! Ia melihat bahwa dua orang penunggang kuda itu berpakaian hitam-hitam dan ia bermaksud untuk merampas seekor kuda mereka agar ia dapat melarikan diri menunggang kuda. Dengan beberapa kali lompatan saja ia telah tiba dekat dengan dua orang penunggang kuda itu.
"Tangkap gadis itu!" terdengar suara Siangkoan Leng berseru di belakangnya.
Mendengar ini dua orang yang berpakaian serba hitam itu meloncat turun dari kudanya. Pek Eng melihat bahwa mereka adalah dua orang kakek dan nenek juga, akan tetapi keadaan mereka membuat ia merasa terkejut dan ngeri. Kakek berpakaian hitam itu tinggi kurus dan biarpun mukanya nampak tampan akan tetapi muka itu seperti kedok mati saja. Juga nenek berpakaian hitam yang cantik itu mukanya seperti mayat. Pakaian hitam mereka membuat kepucatan wajah mereka semakin nyata dan Pek Eng merasa bulu tengkuknya meremang. Akan tetapi, karena ia tahu bahwa melawan dua orang kakek nenek yang berada di kereta ia takkan menang, maka ia lalu nekat dan cepat ia menubruk ke depan dan menerjang nenek pakaian hitam itu. Kalau ia dapat merampas seekor kuda, ia akan melarikan diri, pikirnya dan diantara kakek dan nenek berpakaian hitam itu, ia memilih Si Nenek. Serangannya cepat sekali dan ia mengerahkan kedua tangannya ke arah dada nenek itu.
Pek Eng tidak mengenal kedua orang itu dan kalau ia mengenal mereka tentu ia tidak akan nekat menyerang nenek itu. Kakek dan nenek itu bukan lain adalah suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan! Dalam hal ilmu kepandaian silat, sepasang iblis ini tidak kalah lihainya dibandingkan Lam-hai Siang-mo!
Melihat serangan gadis itu dan mendengar teriakan Siangkoan Leng, nenek yang bukan lain adalah Tong Ci Ki itu cepat menyambutnya. Ia pun menangkis dengan dorongan kedua tangannya dengan gerakan memutar dan akibatnya, tubuh Pek Eng terpelanting dan terpaksa ia mundur kembali sambil terhuyung karena ia harus mempertahankan diri agar tidak sampai jatuh! Kagetlah Pek Eng dan dengan mata terbalalak ia memandang kepada kakek dan nenek yang berdiri di depannya itu, Kwee Siong, kakek berpakaian hitam itu, mengeluarkan suara mendengus akan tetapi wajahnya sama sekali tidak bergerak.
Pek Eng membalikkan tubuhnya dan ia melihat Lam-hai Siang-mo sudah keluar dari kereta dan kini juga berdiri menghadangnya. Ia telah di kepung dua pasang kakek dan nenek yang amat lihai itu! Pikirannya bekerja cepat dan ia pun tersenyum menghadapi Siangkoan Leng dan Ma Kim Li.
"Apa lagi perlunya kalian menahan aku? Sudah kuceritakan dengan terus terang bahwa kau tidak tahu di mana adanya Kakakku Pek Han Siong, akan tetapi aku akan mencarinya dan akan kusampaikan kepadanya bahwa kalian mencarinya karena urusan penting. Kenapa kalian masih belum mau melepaskan aku, dan siapa pula kakek dan nenek ini yang juga menghalangi aku pergi?"
Mendengar disebutnya nama Pek Han Siong, suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan itu terkejut, dan juga girang sekali.
"Ah, Nona kecil. Kakakmu bernama Pek Han Siong, apakah Sin-tong putera Ketua Pek-sim-pang?" tanya Kwee Siong.
Diam-diam Pek Eng merasa semakin heran. Agaknya dua orang yang baru datang ini pun tertarik sekali mendengar nama kakaknya! Apakah mereka juga termasuk orang yang dahulu pernah memperebutkan Sin-tong, kakaknya yang dianggap anak ajaib oleh para pendeta Lama di Tibet itu?
Ia membalikkan tubuhnya dan menghadapi Kwee Siong dan Tong Ci Ki. "Benar." Katanya, "Apakah kalian juga ingin bertemu dengan Kakak Pek Han Siong?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar