Pendekar Cia Hui Song berusia empat puluh dua tahun ketika dia diserahi tugas sebagai Ketua Cin-ling-pai oleh ayahnya. Biarpun di perguruan silat atau perkumpulan silat itu terdapat peraturan bahwa yang berhak menjadi ketua haruslah tokoh terlihai dari Cin-ling-pai, namun ketika Cia Kong Liang mengundurkan diri dan mengumumkan bahwa Cia Hui Song menjadi ketua baru, tidak ada yang berani maju untuk menguji kepandaian Cia Hui Song. Semua tokoh dan murid Cin-ling-pai tahu belaka siapa adanya Cia Hui Song. Dalam ilmu silat, pendekar ini bahkan jauh melampaui kelihaian ayahnya, maka siapakah yang berani mengujinya? Selain mewarisi semua ilmu silat Cin-ling-pai dengan baiknya, juga pendekar ini mewarisi banyak ilmu kesaktian dari mendiang Siang-kiang Lojin, seorang di antara tokoh atau datuk sakti yang terkenal sebagai Delapan Dewa! Maka, pengangkatan Cia Hui Song sebagai Ketua Cin-ling-pai disambut gembira oleh para murid, karena tentu ketua baru ini akan mengajarkan pula ilmu-ilmu silatnya yang tinggi demi kemajuan perkumpulan dan kemajuan para murid pula.
Pada waktu isterinya yang amat dicintanya, Ceng Sui Cin, pergi meninggalkan Cin-ling-san bersama puteri tunggal mereka, pendekar Cia Hui Song tenggelam dalam penyesalan dan kedukaan yang hebat, yang membuatnya jatuh sakit sampai lebih dari satu bulan lamanya. Namun, sebagai seorang anak tunggal yang berbakti, dia mentaati kehendak ayahnya dan dia pun tidak membantah ketika dinikahkan dengan Siok Bi Nio, seorang gadis muda yang usianya separuh usianya sendiri.
Duka dan penyesalan, seperti semua perasaah timbul dari pikiran dan apa yang timbul dari pikiran tidaklah bertahan lama. Sang Waktu akan melahapnya, akan menenggelamkannya. Demikianlah dengan kedukaan yang meliputi hati Cia Hui Song ketika dia ditinggal pergi oleh isterinya dan puterinya. Selama berbulan-bulan dia memang selalu nampak melamun dalam duka, akan tetapi lambat laun, apalagi setelah isteri barunya melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat, luka di hatinya oleh kepergian Ceng Sui Cin dan Cia Kui Hong menipis, mongering dan sembuh. Bahkan kini hanya kadang-kadang saja dia teringat kepada isteri dan anaknya itu, yang dia tahu tentu kembali ke Pulau Teratai Merah, dan kalau teringat dia nampak melamun. Akan tetapi, lebih sering dia kelihatan tenang. Satu-satunya perubahannya diketahui oleh orang yang mengenal sejak muda, yaitu bahwa kini dia kehilangan wataknya yang lincah gembira dan amat ramah, juga agak ugal-ugalan. Betapapun juga, kedukaannya lenyap dan yang tinggal hanyalah garis-garis di antara kedua alisnya, di tepi matanya dan di kanan kiri ujung bibirnya.
Duka selalu ditimbulkan oleh ikatan batin. Ikatan batin dengan keluarga, dengan orang yang dicinta, dengan harta benda, dengan kedudukan,dengan ketenaran, dengan kepandaian, dan dengan apa saja. Ikatan menimbulkan rasa takut pula, takut akan kehilangan dan setelah tiba saatnya ketika kehilangan sesuatu yang mengikat batin kita, timbullah duka. Tentu saja kita yang hidup di dalam masyarakat, tidak mungkin bebas sama sekali daripada segala macam kewajiban dengan keluarga, dengan masyarakat dan sarana-sarana hidup bermasyarakat. Namun, semua itu hanyalah urusan lahiriah, oleh karena itu ikatannya pun seharusnya lahiriah, bukan batiniah. Pada lahirnya, memang kita berkeluarga dan kita mempunyai keluarga, bekerja untuk kepentingan keluarga, membinanya, mendidik anak-anak dan sebagainya lagi. Akan tetapi, sekali batin kita terikat, maka timbullah rasa takut, takut akan masa depan keluarga, takut akan kehilangan dan takut akan masa depan, takut tidak akan memenuhi kebutuhan keluarga. Dan kalau semua yang kita takutkan itu terjadi, timbullah duka karena kehilangan. Ini bukan berarti bahwa kita harus acuh terhadap keluarga atau segala hal yang kita punyai, sama sekali tidak! Cinta kasih bukan berarti harus ada ikatan batin! Lahiriah kita boleh mempunyai apa saja, namun batin seharusnya bebas, batin tidak memiliki apa-apa! Mempunyai namun tidak memiliki! Lahiriah mempunyai, batiniah tidak memiliki atau bebas. Cinta kasih yang menimbulkan semua perbuatan seperti memelihara, membimbing dan sebagainya, bukan ikatan! Kalau batin terikat oleh sesuatu, maka yang sesuatu itu melekat dan berakar di dalam hati, tentu saja sekali waktu tiba saatnya harus berpisah, sesuatu itu seperti dicaput dan akarnya akan membuat hati berdarah dan terluka! Sekali lagi, bukan berarti acuh dan masa bodoh, bukan berarti tidak mencinta kalau tidak ada ikatan. Sebaliknya malah, cinta kasih tidak membutuhkan ikatan. Yang membutuhkan ikatan hanyalah si Aku, hanyalah nafsu, dan si-aku akan merasa takut dan kosong kalau tidak memiliki sesuatu. Memiliki sesuatu ini menambah "isi" dan arti dari si-aku, membesarkan si-aku
Kini Cia Hui Song, Ketua Cin-ling-pai, hidup bersama isteri barunya dan puteranya yang baru berusia dua tahun, nampaknya hidup dengan tenteram dan Cin-ling-pai menjadi semakin maju setelah dia menjadi ketuanya. Ayahnya Cia Kong Liang, yang usianya sudah mendekati tujuh puluh tahun, kini tidak mau mencampuri urusan dunia lagi melainkan setiap hari tekun bersamadhi di dalam sebuah kamar yang sunyi di belakang. Ketika masih dipegang ayahnya, Cin-ling-pai dikenal orang sebagai perkumpulan yang keras dan tanpa mengenal ampun terhadap kejahatan. Dan para murid Cin-ling-pai sendiri merasakan kekerasan yang menjadi sikap ketua mereka. Cia Kong Liang keras hati dan memegang teguh peraturan tanpa mengenal kebijaksanaan dan pertimbangan lagi, juga agak tinggi hati, terlalu mengangkat tinggi nama sendiri dan nama Cin-ling-pai. Akan tetapi kini, di bawah pimpinan Cia Hui Song, terjadi perubahan besar pada perkumpulan itu.
Cia Hui Song bersikap bijaksana, dapat lembut dan dapat pula tegas, mudah memaafkan dan menghargai pendapat orang lain. Dan seperti yang diharapkan oleh para murid Cin-ling-pai, Hui Song mulai mengajarkan ilmu-ilmu yang dianggapnya praktis untuk menambah ketangguhan para murid Cin-ling-pai.
Pada pagi hari itu, Cia Hui Song sedang duduk di beranda rumahnya ketika seorang murid datang menghadap dan memberitahukan bahwa di luar pintu gerbang yang mengelilingi perkampungan Cin-ling-pai muncul seorang wanita yang menyatakan ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai.
Untuk beberapa detik lamanya jantung dalam dada Hui Song berdebar tegang. Seorang wanita? Ceng Sui Cin, isterinya yang pertamakah yang datang? Ataukah Cia Kui Hong, puterinya? Akan tetapi tidak mungkin. Kalau seorang di antara mereka yang datang, tentu murid ini mengenal mereka. Dia lalu menyerahkan Cia Kui Bu yang tadinya dipangkunya, kepada ibu anak itu. "Siapa namanya dan ada keperluan apakah ia hendak bertemu dengan aku?" tanyanya.
"Ia tidak mau memperkenalkan namanya dan keperluannya, hanya berkeras mengatakan bahwa ia ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai." murid itu menerangkan.
Cia Hui Song mengerutkan alisnya dan hatinya tertarik sekali, akan tetapi, dia pun merasakan sesuatu yang tidak enak. Mudah diduga bahwa tentu ada urusan pribadi antara wanita itu dan dia, dan sukarlah menduga siapa orangnya, karena banyak sekali pengalaman sudah dilalui dalam hidupnya. Sebagai seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan, dia pun tahu bahwa banyak sekali terdapat orang dari golongan hitam yang menaruh dendam kepadanya, oleh karena itu, dia harus selalu siap siaga menghadapi segala bentuk ancaman. Akan tetapi, pengunjungnya adalah seorang wanita, dan sebagai seorang yang sopan dia harus menyambutnya dengan hormat.
"Baiklah, persilakan ia masuk dan menanti di ruang tamu."
"Aku sudah berada di sini, harap Pangcu (Ketua) suka keluar!" tiba-tiba terdengar suara nyaring dari luar beranda. Hui Song terkejut ketika mengangkat muka dan melihat seorang wanita cantik sudah berdiri di pekarangan. Empat orang murid Cin-ling-pai datang berlari-lari ke pekarangan itu.
"Heiii! Engkau tidak boleh masuk begitu saja!" teriak mereka dengan sikap marah.
Cia Hui Song memberi tanda kepada isterinya agar masuk. Siok Bi Nio, wanita muda yang menjadi isterinya itu, sambil menggendong anaknya, berjalan masuk. Hui Song lalu melangkah lebar keluar beranda, menghadapi wanita itu.
"Apa yang terjadi?" tanyanya kepada empat orang murid yang nampak hormat ketika melihat ketua mereka.
"Pangcu, wanita ini kami suruh menunggu karena belum ada keputusan Pangcu, akan tetapi tiba-tiba ia melompati pintu gerbang dan berlari masuk. Kami mengejarnya dan ......"
"Sudahlah, kalian kembali ke pintu gerbang dan berjaga baik-baik." kata Hui Song kepada para muridnya dan ketika mereka semua sudah pergi, dia menghadapi wanita itu, mengamati penuh perhatian. Seorang wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, berwajah cantik, dengan sepasang pipi kemerahan dan mulut indah yang membayangkan kemarahan, sepasang mata yang berkilat mengamatinya pula.
"Aku ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai!" Wanita itu berkata, suaranya tegas dan galak.
Hui Song tersenyum sabar dan menjiura. "Akulah Ketua Cin-ling-pai. Silakan masuk dan kita bicara di dalam."
Wanita itu terbelalak. Ia adalah Kok Hui Lian dan kini ia pun teringat. Seperti kilat menyambar ingatannya membayangkan peristiwa yang terjadi kurang lebih dua puluh tahun yang lalu. Ia baru berusia sepuluh tahun ketika gedung ayahnya, yaitu Kok Taijin yang menjadi gubernur kota San-hai-koan diserbu pemberontak. Orang tuanya terbunuh, gedungnya dibakar dan ia sendiri tentu telah tewas kalau tidak ditolong oleh seorang pendekar yang gagah perkasa. Ia digendong keluar dari keributan itu oleh penolongnya, kemudian penolongnya dikeroyok oleh musuh sehingga terpaksa ia dilepaskan. Kemudian ia ditangkap penjahat dan di saat itulah muncul suhengnya, Ciang Su Kiat yang kemudian menjadi gurunya, juga suhengnya, juga pengganti orang tuanya. Dan pendekar yang gagah perkasa itu bukan lain adalah pria yang kini berdiri di depannya dan mengaku sebagai Ketua Cin-ling-pai!
"Tidak, bukan engkau... aku ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai yang tua, yang bernama Cia Kong Liang."
"Ah, kiranya engkau ingin bertemu dengan Ayahku. Sayang, sudah sejak dua tahun lebih Ayah tidak lagi mencampuri urusan dunia, dan selalu bertapa. Kalau ada urusan, harap sampaikan saja kepadaku, karena akulah yang berkewajiban untuk menanganinya."
"Tidak, aku tidak ada urusan dengan engkau, aku hanya mau bertemu dan bicara dengan Cia Kong Liang!"
Hui Song menggeleng kepala, masih tersenyum ramah walaupun sinar matanya berkilat. "Tidak mungkin, Nyonya. Dia sedang bertapa dan tidak boleh diganggu siapa pun. Kalau ada urusan dengan Ayahku, biarlah aku yang akan membereskan semua perhitungan. Silakan."
"Tidak..... tidak......!" Hui Lian tentu saja tidak mau berurusan dengan orang yang pernah menyelamatkannya ini dan ia pun membalikkan tubuh dan dengan beberapa loncatan saja tubuhnya melayang ke atas pagar tembok dan lenyap. Diam-diam Hui Song terkejut bukan main melihat kecepatan gerakan wanita itu. Jelaslah bahwa wanita muda itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali, terutama memiliki ilmu ginkang (meringankan diri) yang hebat. Dia mengingat-ingat, akan tetapi tidak pernah mengenal wanita itu. Dia merasa khawatir, dan memerintahkan para murid untuk melakukan penjagaan yang lebih ketat.
Sementara itu, Kok Hui Lian meninggalkan perkampungan Cin-ling-pai dengan hati tegang. Ia harus menemui Cia Kong Liang, ketua lama Cin-ling-pai untuk menegurnya dan kalau mungkin membalaskan penderitaan suhengnya yang telah dibuntungi lengannya oleh ketua yang kejam itu! Akan tetapi, sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa pendekar yang dulu menyelamatkannya dari maut adalah putera ketua itu, bahkan kini telah menggantikan ayahnya menjadi Ketua Cin-ling-pai. Suhengnya, Ciang Su Kiat, tidak pernah menceritakan tentang putera ketua itu. Adanya kenyataan bahwa pendekar penolongnya itu berada di situ sebagai putera musuhnya, sebagai Ketua Cin-ling-pai, mendatangkan keraguan dan kebimbangan dalam hatinya. Bagaimana mungkin ia memusuhi pendekar itu? Ia sudah berhutang budi, bahkan berhutang nyawa! Akan tetapi, penderitaan suhengnya juga harus dibalas, walaupun hanya berupa teguran keras terhadap ayah pendekar itu yang telah bertindak kejam, membuat lengan suhengnya buntung sebagai hukuman. Malam nanti ia akan berusaha menyelundup, mencari tempat kakek itu bertapa, akan ditemuinya dan akan ditegurnya. Setelah menegur keras, tanpa menimbulkan hentrokan dengan pendekar penolongnya itu, baru akan puas hatinya.
Baru beberapa jam Kok Hui Lian meninggalkan perkampungan Cin-ling-pai ketika para murid yang berjaga di pintu gerbang, menyambut datangnya seorang wanita lain dengan pandang mata penuh kecurigaan. Baru saja pagi tadi datang seorang wanita cantik yang masuk dengan memperlihatkan kepandaiannya, dan setelah wanita itu pergi lagi, ketua mereka berpesan agar mereka berjaga lebih ketat dari biasanya. Dan kini muncul lagi seorang wanita lain. Wanita ini jauh lebih muda dibandingkan wanita pertama, seorang gadis yang berusia kurang lebih tujuh belas tahun, berpakaian sederhana sekali, namun wajahnya yang tidak memakai perhiasan, juga tidak memakai bedak itu nampak halus dan mengandung daya tarik yang amat kuat. Yang paling menarik adalah mata dan mulutnya yang membayangkan watak yang lembut, kesabaran dan ketenangan yang jarang terdapat pada diri seorang gadis yang demikian muda. Ia tidak dapat dinamakan gadis yang cantik, walaupun ia tidak buruk rupa pula, melainkan manis karena kelembutannya terutama sekali. Biarpun demikian, bagaikan sekelompok kijang yang baru saja dikejutkan oleh serangan harimau, para murid Cin-ling-pai yang masih merasa tegang itu segera menghadang di depan pintu gerbang dengan sikap galak.
"Berhenti! Siapakah engkau, Nona dan ada keperluan apa mengunjungi Cin-ling-pai?" tanya seorang di antara para murid itu dengan suara galak.
Akan tetapi gadis yang bermata lembut itu tersenyum, nampaknya girang biarpun ia dibentak orang. Ia memandang kepada enam orang murid Cin-ling-pai yang berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun itu dan berkata, "Ah, benar ini perkampungan Cin-ling-pai! Syukurlah, akhirnya dapat juga aku sampai ke sini. Namaku Ling Ling dan aku ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai."
Biarpun cara gadis itu memperkenalkan diri masih seperti seorang gadis remaja, akan tetapi mendengar ia ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai, para murid itu saling pandang dengan penuh arti. Sama benar keinginan gadis ini dengan wanita pagi tadi!
"Hemm, siapakah nama Ketua Cin-ling-pai yang kau ingin temui itu?" seorang murid bertanya lagi, memancing.
"Namanya... Kakek Cia Kong Liang. Bukankah beliau yang menjadi Ketua Cin-ling -pai?"
Kembali para murid itu saling pandang. Tepat, sungguh sama dengan wanita pagi tadi! Sekali ini mereka tidak ingin menerima teguran, mereka harus menghalangi gadis ini untuk mengacau ke dalam. Tidak perlu sampai ketua mereka yang turun tangan mengusir, seperti wanita pagi tadi.
"Hemm, engkau ini masih kanak-kanak berani hendak membikin ribut di sini. Pergilah sebelum kupukul kau!" kata murid yang memakai kumis tebal, bermaksud untuk menakut-nakuti agar gadis itu pergi tanpa banyak ribut lagi.
Gadis yang mengaku bernama Ling Ling itu mengerutkan alisnya.
"Aih, kenapa? Harap kalian tidak membikin susah padaku. Aku datang dari tempat yang jauh sekali, melakukan perjalanan sampai berbulan! Dan setelah tiba di tempat yang kutuju, kalian hendak menyuruh aku pergi begitu saja? Aku hanya ingin menghadap Kakek Cia Kong Liang, Ketua Cin-ling-pai, tidak membikin ribut."
"Sudahlah, tidak mudah untuk menghadap beliau. Setidaknya engkau harus melalui barisan tiga lapis dari Cin-ling-pai!" kata seorang murid kepala yang baru muncul dari dalam dan kini banyak murid Cin-ling-pai keluar dan ikut menghadang. Cin-ling-pai terkenal sebagai perkumpulan silat yang besar dan kuat, tentu saja terdapat peraturan-peraturan yang ketat dan tidak sembarang orang boleh masuk tanpa ijin. Karena itu, di situ memang terdapat tiga lapis barisan yang berjaga dan selama ini belum pernah ada orang dari luar yang mampu menembusnya! Jadi, ucapan mereka itu bukan sekadar menakut-nakuti saja. Kalau pagi tadi, mereka sama sekali tidak mengira bahwa seorang wanita yang cantik itu akan mempergunakan ilmu kepandaiannya, meloncati mereka dan meloncati tembok begitu saja! Kalau mereka mengetahui lebih dulu, tentu mereka akan menahannya dengan pasukan tiga lapis itu. Kini mereka sudah siap siaga, setelah mendapat peringatan dari ketua mereka untuk melakukan penjagaan ketat
Wajah yang lembut itu masih tersenyum, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan kilauan penuh semangat kegembiraan. Menghadapi tantangan itu, gadis ini merasa gembira untuk mencobanya! Ia bukan seorang gadis sembarangan walaupun usianya baru tujuh belas tahun. Gadis ini adalah puteri dan anak tunggal dari pendekar Cia Sun yang amat lihai karena Cia Sun adalah putera dari Pendekar Lembah Naga yang bernama Cia Han Tiong, seorang pendekar yang menjadi ketua perkumpulan Pek-liong-pang. Murid-murid Pek-liong-pang banyak yang kini menjadi pendekar-pendekar yang tersebar di mana-mana dan nama Pek-liong-pang amat terkenal sebagai pusat orang-orang gagah. Selain menerima ilmu-ilmu dari Pendekar Lembah Naga, juga Cia Sun menjadi murid dari Go-bi Sian-jin, seorang di antara Delapan Dewa yang juga disebut See-thian Lama. Adapun isteri dari Cia Sun juga seorang wanita sakti yang bernama Tan Siang Wi di waktu mudanya ia terkenal dengan julukan Toat-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa)!
Tentu saja sebagai puteri dan anak tunggal dari ayah ibu pendekar, gadis yang mengaku bernama Ling Ling itu telah digembleng sejak kecil dan kini telah mewarisi ilmu-ilmu yang paling hebat dari ayah ibunya. Dan sebagai seorang yang berangkat dewasa dalam gemblengan ilmu silat, menghadapi tantangan seperti sekarang, ia merasa gembira sekali. Ingin ia mencoba sampai di mana kehebatan Cin-ling-pai yang demikian disohorkan, dan ia pun ingin menguji kemampuan diri sendiri.
"Boleh kalian pasang barisan tiga lapis, aku ingin memasukinya!" katanya gembira, sedikit pun tidak memperlihatkan kemarahan karena di dalam hatinya pun tidak terdapat permusuhan terhadap Cin-ling-pai, melainkan kegembiraan untuk menguji kepandaian. Ayahnya sendiri memiliki hubungan yang amat dekat dengan Cin-ling-pai, bagaimana mungkin ia akan memusuhinya? Menurut ayahnya Cin-ling-pai masih merupakan perguruan yang menjadi sumber ilmu yang dimiliki kakeknya, bahkan ayah dan ibunya ketika melangsungkan pernikahan, dilakukan di Cin-ling-san ini, bersamaan waktunya dengan pernikahan antara putera Ketua Cin-ling-pai sendiri, yaitu paman Cia Hui Song dan Bibi Ceng Sui Cin yang belum pernah dijumpainya.
Mendengar ucapan itu dan melihat sikap Ling Ling seperti mentertawakan dan memandang rendah, para murid Cin-ling-pai menjadi penasaran. Seorang murid kepala cepat mengumpulkan teman-temannya dan pasukan tiga lapis itu pun disusunlah. Pasukan pertama terdiri dari lima orang dan mereka sudah membentuk barisan menghadapi gadis itu di luar pintu gerbang.
Ling Ling memandang penuh perhatian. Lima orang itu adalah murid yang lebih muda, berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun dan mereka berdiri di depannya, membentuk setengah lingkaran sehingga ia dihadapi lawan dar depan dan kanan kiri. Akan tetapi, walaupun lima orang itu membawa pedang di punggung masing-masing, mereka tidak mencabut pedang dan agaknya hendak menghadapinya dengan tangan kosong. Mereka bersikap gagah dan nampak kuat dan terlatih, bermata tajam dan tak seorang pun di antara mereka yang memperlihatkan sikap tidak sopan atau mata jalang seperti yang sering kali dilihatnya membayang pada mata laki-laki yang dijumpainya dalam perjalanannya. Juga semenjak ia meninggalkan rumah kediaman orang tuanya di dusun Ciang-si-bun dekat kota raja sampai ke Pegunungan Cin-ling-san, sudah seringkali ia digoda laki-laki tidak sopan sehingga beberapa kali ia harus turun tangan menghajar mereka.
Lima orang itu berdiri setengah mengepungnya dengan pasangan kuda-kuda yang kokoh kuat, dengan kedua kaki terpentang lebar, kuda-kuda Menunggang Kuda, dengan kedua lengan bersilang di depan dada.
"Aku akan menerobos masuk!" Tiba-tiba Ling Ling berseru dan ia pun melangkah maju, seolah-olah tidak peduli akan adanya lima orang yang menghadang di depannya. Ia ingin tahu apa reaksi mereka dan bagaimana cara mereka menyerang atau menghalanginya.
Akan tetapi belun juga ia mendekati orang yang menghadang di depannya, dari kiri datang serangan. Orang yang berdiri paling ujung sebelah kirinya telah mencengkeram ke arah pundaknya. Ia mengenal gerakan itu sebagai jurus Awan Berarak Tertiup Angin dari Ilmu Silat San-in Kun-hwat, maka dengan mudahnya ia mengelak dengan menggeser kaki ke kanan, bermaksud menerobos di antara orang ke dua dan ke tiga di depan arah kanannya. Akan tetapi, dari kanan datang pula serangan sebagai susulan serangan pertama tadi dan ia pun mengenal pukulan ke arah lambungnya itu, karena itu adalah jurus Awan Gunung Turun ke Bumi. Seperti serangan pertama, serangan ke dua ini pun dilakukan dengan cepat dan kuat. Akan tetapi Ling Ling ingin menguji tenaganya, maka sekali ini ia tidak mengelak, membiarkan kepalan lawan menyambar ke arah lambungnya, kemudian secara tiba-tiba dan cepat sekali, lengan kanannya bergerak ke bawah menangkis.
"Dukkk!" Tangkisan itu perlahan saja, akan tetapi Ling Ling telah mengerahkan sinkangnya dan lengan lawan itu pun terpental dan orangnya meringis kesakitan. Kesempatan ini dipergunakan oleh Ling Ling untuk menerobos ke depan. Kini, lima orang itu mulai mengeroyoknya dengan cepat, menggunakan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan untuk mencegah gadis itu menerobos barisan mereka. Dan tiba-tiba Ling Ling bergerak cepat sekali, mengelak dan menangkis dan terus menerobos. Lima orang itu terkejut melihat gadis itu hendak lolos ke dalam. Mereka menubruk dari kanan kiri, dan tiba-tiba Ling Ling mengeluarkan bentakan halus, kedua tangannya mendorong ke kanan kiri dan lima orang itu pun terpelanting seperti terdorong angin yang amat kuat. Tentu saja mereka tidak mampu lagi mencegah gadis itu meloncat memasuki pintu gerbang!
Akan tetapi kini ia berhadapan dengan tujuh orang yang sudah siap menantinya di belakang pintu gerbang! Dan tujuh orang itu kini bergerak mengepungnya, membuat lingkaran sambil terus melangkah maju, masing-masing dalam jarak dua meter darinya. Seperti pada barisan pertama, tujuh orang ini membawa pedang di punggung, namun mereka tidak mencabut pedang hanya bergerak membuat langkah-langkah maju mengelilinginya dengan sikap penuh kewaspadaan. Ling Ling dapat menduga bahwa tentu para anggauta barisan ke dua ini memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada barisan pertama, dan jumlah mereka juga lebih banyak. Ia seorang gadis yang cerdik dan biarpun ia tidak bergerak, matanya melirik ke kanan kiri mencari bagian yang lemah. Namun, tujuh orang itu membuat langkah-langkah yang rapi dan teratur, dan kedudukan tangan mereka siap siaga dan saling melindungi.
Setelah membuat perhitungan, Ling Ling membalikkan tubuhnya menghadap ke luar pintu gerbang dan ia pun mengeluarkan suara bentakan, lalu menyerang dua orang yang berada di depannya. Dua orang itu mengelak dan menangkis, dua orang lain di kanan kiri mereka siap membalas serangan. Akan tetapi Ling Ling sudah memperhitungkan ini dan tiba-tiba sekati ia membalik lagi dan kini menyerang bagian yang tadi berada di belakangnya sambil membentak nyaring.
"Biarkan aku masuk!" Kedua tangannya menampar dua orang untuk membuka jalan. Dua orang itu terkejut, tak menyangka bahwa gadis itu akan membalik dan mengirim serangan sedemikian cepatnya. Ketika mereka hendak menangkis, kedua tangan gadis itu berubah gerakannya, yang kiri menusukkan dua jari ke arah mata, yang kanan menyerang lawan ke dua dengan tusukan ke arah dada dengan tangan miring. Dua serangan yang amat berbahaya bagi dua orang lawannya, sehingga mereka itu dengan kaget melangkah mundur menghindarkan diri dari serangan, sambil memutar lengan ke depan bagian tubuh yang diserang untuk melindungi. Kesempatan ini yang sudah diperhitungkan Ling Ling dan ia pun cepat menerobos di antara dua orang yang melangkah mundur itu. Dan ia pun sudah berada di luar lingkaran!
Akan tetapi, betapa herannya ketika ia memandang, ternyata ia telah dikepung pula dan lingkaran tujuh orang itu pun kembali sudah mengelilinginya. Kiranya, lingkaran itu dapat bergerak dengan teratur sekali sehingga begitu ia menerobos keluar, lingkaran itu telah bergerak cepat membuat lingkaran lain sehingga ia tetap saja berada dalam kepungan tujuh orang. Kini, tujuh orang itu melakukan serangan dan bukan main hebatnya! Mereka bergerak menyerang susul-menyusul, bukan secara kacau melainkan dengan teratur sekali dan serangan susulan orang berikutnya merupakan lanjutan dari serangan orang pertama!
Orang pertama menghantam dari atas, turun ke arah kepalanya, ketika Ling Ling menangkis dari samping, orang ke dua menyerang ke lambung, ke bawah lengan kanannya yang terbuka untuk menangkis tadi dan pada saat ia mengelak, orang ke tiga sudah menendang ke arah lututnya dan begitu ia meloncat ke atas menghindar, orang ke empat menyambutnya dengan tusukan jari tangan ke arah jalan darah di punggung! Serangan itu susul-menyusul dan bertubi-tubi datangnya. Terpaksa Ling Ling menggerakkan tubuh dengan kelincahannya, menangkis kanan kiri sambil berlompatan menghindar, menyelinap di antara sambaran banyak kaki tangan tujuh orang lawannya. Dan setiap kali ia menerobos keluar, ia hanya memasuki lain lingkaran yang dibuat mereka secara otomatis.
Ling Ling terus menangkis dan mengelak sambil memutar otaknya. Kalau ia menghendaki, tentu saja dia dapat bertindak dengan kekerasan, merobohkan mereka. Akan tetapi ia tidak mau melakukan hal itu karena ia tidak ingin melukai murid-murid Cin-ling-pai yang kalau diingat hubungan antara ayahnya dan Cin-ling-pai, para murid ini masih terhitung saudara-saudaranya seperguruan pula. Baru melihat gerakan silat mereka saja sudah menjadi bukti bahwa ia dan mereka sealiran, memiliki dasar gerakan yang sama. Kalau tadi ia membuat lima orang dari pasukan pertama terpelanting, ia pun tidak melukai mereka dan hanya mempergunakan angin pukulannya saja membuat mereka terpelanting. Akan tetapi, ia tidak akan mampu merobohkan tujuh orang ini dengan cara seperti tadi karena mereka ini memiliki tingkat yang lebih tinggi dari pasukan pertama.
Tiba-tiba, setelah mendapatkan akal, Ling Ling mencabut pedangnya yang selalu tersembunyi di balik buntalan pakaian yang digendongnya dan dengan pedang itu, ia lalu membuat gerakan ke bawah menyerang ke sekelilingnya dengan babatan pedang! Tentu saja semua lawan menjadi terkejut dan untuk menyelamatkan kaki, mereka itu membuat gerakan mundur, memperlebar lingkaran. Akan tetapi, sungguh di luar dugaan Ling Ling, kini tujuh orang itu pun sudah mencabut pedang masing-masing dan mereka kini menyerang lagi seperti tadi, walaupun dalam lingkaran yang lebih lebar, menggunakan pedang secara susul-menyusul, menyerang gadis itu. Inilah peraturan dari pasukan Cin-ling-pai yang gagah. Mereka akan mengepung seorang dengan tangan kosong dan baru kalau orang itu mempergunakan senjata, mereka akan mencabut senjata mereka pula.
Tentu saja Ling Ling menjadi semakin repot! Tadinya, ia ingin para pengepungnya itu melonggarkan kepungan agar ia dapat menerobos keluar tanpa dapat terkepung lagi. Siapa kira, penggunaan pedang olehnya seperti memancing mereka mempergunakan pedang pula, dan kini ia dikeroyok dengan serangan-serangan pedang yang tentu saja lebih berbahaya daripada serangan kaki tangan mereka tadi. Akan tetapi kegembiraannya timbul karena kini ia dapat menguji dirinya dalam menghadapi pengeroyokan bersenjata. Ia memutar pedangnya dan nampaklah sinar putih bergulung-gulung yang amat rapat menyelimuti tubuhnya sehingga semua serangan lawan tertangkis begitu bertemu dengan gulungan sinar pedangnya. Akan tetapi, dengan sendirinya ia pun tidak sempat lagi untuk balas menyerang, apalagi karena ia tidak ingin melukai lawan dengan pedangnya, berbeda dengan tujuh orang itu yang menyerang dengan sungguh-sungguh dan kalau gadis itu tidak cepat dapat menangkis, tentu nyawanya terancam bahaya.
Tiba-tiba sekali, Ling Ling mengeluarkan jerit melengking tinggi yang menggetarkan jantung tujuh orang pengeroyoknya dan pada saat tujuh orang murid Cin-ling-pai itu terkejut dan mereka mengerahkan sinkang untuk melawan pengaruh lengkingan itu, tubuh gadis ini telah melayang tinggi dan berhasil keluar dari kepungan tujuh orang itu ketika ia melayang turun ke arah dalam, di pekarangan rumah induk perkampungan.
Akan tetapi begitu kedua kakinya sudah menginjak tanah, tahu-tahu ia telah dikepung oleh sembilan orang laki-laki yang sikapnya tenang akan tetapi berwibawa dan mereka telah membentuk barisan segi tiga yang mengepungnya. Di depannya bediri berjajar empat orang, di kanan kiri masing-masing dua orang dan di belakangnya satu orang. Mereka tidak membuat gerakan langkah seperti barisan kedua tadi. Teringat akan pengeroyokan dengan pedang, cepat ia menyimpan pedangnya karena menghadapi pengeroyokan dengan senjata ternyata lebih berbahaya baginya. Inilah pasukan ke tiga, pikirnya. Ia harus berhati-hati karena dari sikap mereka saja dapat diduga bahwa mereka tentulah murid-murid pilihan dari Cin-ling-pai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Usia mereka pun tentu lebih dari tiga puluh tahun. Maka, Ling Ling menjura dengan sikap hormat.
"Harap Cu-wi (Anda Sekalian) berbaik hati dan membiarkan aku masuk dan mengharap Ketua Cin-ling-pai."
"Nona, engkau masuk dengan kekerasan dan sudah dapat melampaui dua pasukan. Untuk dapat menghadap Pangcu (Ketua), engkau harus dapat lolos dari kepungan kami." kata seorang di antara mereka dengan suara tenang dan sikap yang sungguh-sungguh, sedikit pun mereka ini tidak memandang rendah kepada Ling Ling walaupun ia hanya seorang gadis remaja.
Ling Ling menarik napas panjang. "Apa boleh buat, terpaksa aku bersikap kurang ajar. Bukan aku takut, melainkan aku tidak ingin membikin ribut, akan tetapi kalian yang menghalangiku menghadap Ketua Cin-ling-pai!"
Setelah berkata demikian, ia menerjang di antara dua orang yang berada di depannya, untuk menerobos keluar dari kepungan. Akan tetapi, dua orang itu menyambutnya dengan tangkisan dan cengkeraman.
"Duk! Duk!" Kedua lengan Ling Ling bertemu dengan lengan dua orang lawan itu dan ia merasa betapa mereka itu memiliki sinkang yang kuat juga dan gerakan mereka dengan kedua tangan menyerang dan menangkis satu ke atas satu ke bawah membuat ia mengenal ilmu silat yang mereka pergunakan.
"Thian-te Sin-ciang ....!" katanya dan ia pun menerjang lagi dengan gembira, mempergunakan Thian-te Sin-ciang dan karena memang gadis ini memiliki simpanan tenaga sinkang yang amat kuat, maka terjangannya membuat dua orang pengepung lain terdesak mundur. Akan tetapi, segera teman-temannya sudah menerjang dari kanan kiri, membuat Ling Ling terpaksa menyambut mereka dengan kelincahan gerakannya. Kini, sembilan orang itu menyerangnya bergantian dan biarpun gerakan mereka nampak lambat, namun mengandung kekuatan dahsyat.
"Thai-kek Sin-kun ....!" Ling Ling berseru pula ketika mengenal gerakan mereka.
Pada saat itu, dari dalam rumah muncul Cia Hui Song, Ketua Cin-ling-pai. Dia tertarik mendengar betapa gadis itu mengenal ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai, apalagi ketika melihat bahwa gadis itu masih demikian muda dan ilmu silatnya demikian lihai.
"Tahan .....!" serunya dan mendengar suara ketua mereka, sembilan orang murid itu cepat berlompatan mundur dan berdiri di kanan kiri dengan sikap hormat.
Ling Ling mengangkat muka memandang. Laki-laki yang berdiri di depannya itu berusia empat puluh tahun lebih, tampan dan gagah, pakaiannya sederhana dan sepasang matanya amat tajam dan mencorong seperti mata ayahnya sendiri. Timbul perasaan hormat dalam hati Ling Ling karena dia dapat menduga bahwa tentu orang ini merupakan tokoh penting di Cin-ling-pai yang mampu membuat pasukan sembilan orang itu demikian taat. Ia pun lalu menjura dan berkata dengan suara sopan.
"Maafkan saya yang tidak sengaja hendak membikin ribut di Cin-ling-pai, akan tetapi saya mohon dapat bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai."
Cia Hui Song tersenyum. "Anak yang baik, akulah Ketua Cin-ling-pai."
Gadis itu memandang dengan mata terbelalak, tidak percaya. "Akan tetapi Ayah... Ayah bilang bahwa Ketua Cin-ling-pai sudah tua... ah, kalau begitu, apakah Ketua Cin-ling-pai sekarang bukan Kakek Cia Kong Liang lagi?"
Hui Song semakin tertarik. "Cia Kong Liang adalah Ayahku yang sudah mengundurkan diri dan aku sebagai penggantinya..."
"Kalau begitu engkau tentu Paman Cia Hui Song!" Ling Ling berseru girang.
"Dan engkau tentu puteri Cia Sun, dan namamu... Cia... eh, siapa aku lupa lagi..."
"Cia Ling, panggilan sehari-hari Ling Ling!"
"Benar, engkau masih kecil sekali ketika aku berkunjung ke rumah orang tuamu. Aih, engkau sudah begini besar dan lihai. Ling Ling, mari masuk dan kita bicara di dalam." ajak Hui Song dengan girang sekali. Gadis itu pun tersenyum, mengangguk dan melirik ke arah para murid Cin-ling-pai, lalu bersoja memberi horrnat.
"Kuharap kalian suka memaafkan aku!"
Para murid itu pun tersenyum dan membalas penghormatannya. "Nona masih begini muda sudah lihai bukan main!" kata seorang di antara mereka memuji.
Ling Ling lalu mengikuti Hui Song masuk ke dalam ruangan tamu. Mereka duduk berhadapan dan seorang Cin-ling-pai yang hari itu bertugas di dalam segera menyuguhkan air teh.
"Paman Cia Hui Song, di manakah adanya Kakek Cia Kong Liang dan di mana pula keluarga Paman?"
"Ayahku semenjak mengundurkan diri, lebih banyak bertapa di dalam kamarnya dan keluargaku... ah, nanti dulu, Ling Ling, engkau jangan menyebut aku paman. Apakah Ayahmu tidak pernah menceritakan tentang silsilah keluarga kita? Ayahmu itu masih terhitung keponakanku, maka seharusnya engkau menyebut kakek kepadaku."
Ling Ling mengangguk. "Pernah Ayah bercerita, akan tetapi saya sudah lupa lagi. Usia paman sebaya dengan Ayah, sudah sepantasnya kalau disebut Paman."
Cia Hui Song adalah seorang yang berbeda sekali sikap dan wataknya dibandingkan ayahnya, Cia Kong Liang yang selalu memegang teguh peraturan tradisi dan kuno. Mendengar kata-kata gadis remaja itu, dia pun tersenyum.
"Baik-baik saja kalau engkau hendak menyebut Paman, akan tetapi ketahuilah bahwa Ayahmu itu masih terhitung keponakanku dan silsilahnya seperti berikut. Kakekku, yaitu Cia Bun Houw, di masa mudanya telah mempunyai seorang putera, yaitu yang bernama Cia Sin Liong yang kemudian berjuluk Pendekar Lembah Naga. Setelah agak tua, beliau mempunyai seorang putera lagi, yaitu Cia Kong Liang, Ayahku. Uwa Cia Sin Liong mempunyai seorang putera, yaitu Kakak Cia Han Tiong yang hanya tiga tahun lebih muda dari Ayahku. Ayah mempunyai putera aku, maka Kakak Cia Han Tiong, yaitu Kakekmu, adalah kakak sepupuku. Dengan demikian, Ayahmu, Cia Sun, terhitung keponakanku dan engkau adalah cucu keponakanku!"
Ling Ling mengangguk-angguk. "Sekarang saya ingat, Paman... eh, Cek-kong (Kakek Paman) ...."
Melihat kekikukan gadis itu, Hui Song tertawa. "Sudahlah, engkau mau menyebut apa pun terserah. Paman pun baik saja bagiku."
"Akan janggal rasanya kalau saya menyebut kakek dan terima kasih kalau saya boleh menyebut Paman. Paman, di mana adanya Bibi? Bukankah Bibi bernama Ceng Sui Cin dan memiliki ilmu kepandaian lihai sekali? Menurut cerita Ayah, Bibi adalah puteri dari Pendekar Sadis! Dan kata Ayah, Paman mempunyai pula seorang puteri yang hanya sedikit lebih tua dari saya. Di mana mereka, Paman?"
Di dalam hatinya Hui Song mengeluh, akan tetapi tidak nampak perubahan pada wajahnya. "Mereka sedang pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah, ke rumah mertuaku. Yang berada di rumah sekarang adalah Bibi mudamu dan anak kami. Tunggulah, kupanggilkan mereka."
Hui Song keluar sebentar dari kamar itu dan tak lama kemudian dia pun sudah kembali bersama seorang wanita yang usianya baru sekitar dua puluh tahun, yang menggendong seorang anak laki-laki kecil berusia dua tahun. Diam-diam Ling Ling merasa heran, akan tetapi sebagai seorang gadis yang tahu sopan-santun, ia tidak banyak bertanya, melainkan memberi hormat ketika diperkenalkan kepada wanita muda yang menjadi isteri muda pamannya itu. Dengan ramah Siok Bi Nio, isteri ke dua dari Hui Song, menerima penghormatan Ling Ling dan mempersilakannya duduk lagi. Mereka lalu bercakap-cakap, di mana Ling Ling menceritakan bahwa ia datang atas perintah ayahnya, Cia Sun, yaitu menyuruh puterinya untuk melakukan perjalanan meluaskan pengalaman dan pergi berkunjung ke Cin-ling -pai.
"Saya mohon maaf kalau kedatangan saya ini mengganggu dan merepotkan Paman Cia Hui Song dan Bibi." Katanya menutup ceritanya. Hui Song merasa senang melihat kesopanan gadis ini.
"Ah, tidak sama sekali, Ling Ling. Kami merasa gembira sekali menerima kunjunganmu, tanda bahwa Ayahmu masih ingat kepadaku dan engkau boleh tinggal di sini selama yang engkau kehendaki dan anggaplah di sini sebagai rumahmu sendiri. Tentang peristiwa tadi, tidak mengapalah. Memang baru saja muncul seorang wanita yang agaknya membawa niat yang kurang baik, maka penjagaan diperketat dan engkau dicurigai. Akan tetapi, kulihat ilmu kepandaianmu sungguh hebat, engkau dengan mudah mampu melampaui dua lapisan pasukan penjaga. Ayahmu tidak menyia-nyiakan kepandaiannya dan telah mendidikmu dengan baik sekali."
"Ah, Paman terlalu memuji." Kata Ling Ling dengan muka agak merah, "Saya masih harus banyak belajar dan mengharapkan petunjuk Paman selama saya berada di sini." Kembali diam-diam Hui Song memuji dalam hatinya. Puteri Cia Sun ini sungguh seorang gadis yang pandai membawa diri, sopan dan rendah hati, kelihatan sudah matang dan berpemandangan luas walaupun usianya masih demikian muda.
Hui Song lalu menanyakan keadaan Cia Sun yang dijawab oleh gadis itu bahwa ayahnya dan ibunya dalam keadaan sehat. "Ayah selalu sibuk dengan pekerjaan bertani. Selain menggarap sawah ladang sendiri yang cukup luas dan mempergunakan banyak tenaga petani, juga Ayah suka membeli hasil pertanian dan menjualnya ke kota." Antara lain Ling Ling bercerita. Keluarga ayahnya memang selama ini hidup di dusun Ciang-si-bun dengan aman dan tenteram, dalam keadaan sederhana saja namun cukup makan pakai, bahkan keluarga ayahnya terkenal sebagai dermawan yang suka mengulurkan tangan membantu para penduduk yang miskin dan kekurangan. Sudah beberapa kali, di waktu musibah karena musim kering terlampau panjang atau musim hujan terlampau berat sehingga terjadi banjir, keluarga Cia ini tanpa ragu-ragu menguras semua tumpukan dan cadangan gandum dan beras di gudang mereka untuk membantu penduduk agar tidak sampai kelaparan. Karena itu, nama keluarga Cia ini terkenal sekali di sekitar daerah Ciang-si-bun, bahkan sampai jauh ke luar daerah itu. Apalagi, semua orang tahu belaka bahwa keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu dan puteri itu, kesemuanya merupakan pendekar-pendekar silat yang amat lihai sehingga daerah itu pun aman, tidak ada penjahat yang berani memperlihatkan aksinya.
Setelah menceritakan keadaan orang tuanya, Ling Ling lalu berkata, "Paman Cia Hui Song, saya ingin sekali menghadap Kakek Cia Kong Liang. Di manakah dia dan bolehkah saya menghadap untuk memberi hormat?"
Cia Kong Liang selain masih terhitung paman kakek buyutnya, juga sukong (kakek guru) karena ibunya, Tan Siang Wi, adalah murid dari kakek itu. Mendengar permintaan Ling Ling, wajah Hui Song berseri. Seorang gadis yang amat pandai membawa diri, pikirnya.
"Kakekmu itu kini lebih suka berada di dalam kamarnya, setiap hari hanya bersamadhi saja, tidak lagi mau mencampuri urusan dunia. Akan tetapi, dia tentu akan senang sekali melihatmu, puteri Cia Sun yang kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang amat lihai. Mari kuantar engkau menemuinya."
Kamar di mana Kakek Cia Kong Liang melewatkan sebagian besar waktunya untuk samadhi itu cukup luas, dengan dua buah jendela besar menghadap ke taman sehingga hawanya segar dan cukup menerima sinar matahari. Tidak banyak perabot kamar di situ, kecuali sebuah dipan dan dua buah kursi dengan meja kecil, juga sebuah rak kecil penuh dengan kitab-kitab kuno. Ketika Hui Song membawa Ling Ling masuk, kakek itu sedang duduk di atas kursi menghadapi sebuah kitab yang terbuka dan dibacanya, di atas meja. Dia menoleh ketika melihat puteranya masuk, dan mengerutkan alisnya ketika melihat seorang gadis. Tadinya, dengan penuh harap dia menyangka gadis itu Kui Hong, cucunya yang amat disayangnya dan sudah lama dirindukannya, akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa gadis itu bukan cucunya, dia memandang dengan heran mengapa puteranya mengajak seorang gadis asing memasuki kamarnya.
Akan tetapi Ling Ling sudah menjatuhkan dirinya berlutut menghadap kakek itu sambil berkata, "Sukong, teecu Cia Ling menghaturkan hormat."
Mendengar gadis itu menyebut sukong kepadanya, dan mengaku memiliki she (marga) Cia pula, kakek itu menjadi semakin heran. Dia bangkit berdiri, memandang kepada gadis itu, kemudian kepada puteranya yang berdiri dengan hormat, lalu bertanya, "Hui Song, siapakah gadis ini?"
"Ayah, dia bernama Cia Ling dan disebut Ling Ling, puteri dari Cia Sun dan Sumoi Tan Siang Wi."
Wajah kakek itu yang penuh dengan garis-garis penderitaan hidup dan yang dibayangi ketenangan mendalam, kini tiba-tiba saja mengeluarkan cahaya berseri, sepasang matanya bersinar-sinar dan pada mulutnya membayang senyum gembira. Dia memandang kepada gadis itu.
"Aha, kiranya engkau puteri mereka! Bangkitlah, Cucuku, dan duduklah di kursi ini. Engkau juga duduklah, Hui Song, dan ceritakan keadaan orang tuamu, Ling Ling."
Gadis itu pun bangkit setelah memberi hormat lagi, dan duduk di atas kursi dengan sikap sopan akan tetapi tidak malu-malu. Juga Hui Song duduk di kursi ke dua, bersama Ling Ling menghadap ke arah kakek itu yang kini duduk bersila di atas dipan.
Dengan suara halus namun jelas, Ling Ling menceritakan keadaan orang tuanya, mengulang kembali apa yang sudah diceritakannya tadi kepada Cia Hui Song. Kakek itu mendengarkan dengan gembira dan beberapa kali mengangguk-angguk ketika mendengar akan kebiasaan keluarga itu yang suka mengulurkan tangan membantu para penduduk dusun. Dia mengenal benar watak Cia Sun yang amat baik hati, dan girang bahwa muridnya yang disayangnya, Tan siang Wi, setelah menjadi isteri Cia Sun ternyata dapat merobah wataknya. Baru akhir-akhir ini dia menyadari betapa muridnya itu berwatak keras, angkuh dan tidak mau kalah. Untunglah Siang Wi mendapatkan seorang suami seperti Cia Sun yang sabar dan halus, pandai membimbingnya. Setelah gadis itu selesai bercerita, kakek itu bertanya. "Tentu engkau menerima latihan-latihan ilmu silat dari Ayah bundamu, bukan? Kalau belum cukup kepandaianmu, tidak mungkin orang tuamu menyuruh engkau seorang gadis yang belum dewasa benar melakukan perjalanan seorang diri."
"Sukong, teecu masih bodoh dan berpengetahuan dangkal, mohon banyak petunjuk dari Paman Cia Hui Song dan Sukong selama teecu berada di sini."
"Ayah, Ling Ling telah mendapatkan pendidikan ilmu silat yang cukup hebat sehingga ia mampu melewati lapisan pasukan penjaga dengan amat mudahnva. Hanya sebentar saja ia dapat lolos dari kepungan barisan pertama dan ke dua tanpa melukai seorang pun, dan agaknya lapisan ke tiga pun tentu akan dapat dilaluinya dengan baik. Ia hebat, Ayah dan sungguh tidak mengecewakan menjadi puteri Cia Sun dan Tan Siang Wi!" kata Hui Song dengan bangga.
Kakek itu mengangguk-angguk, akan tetapi kembali alisnya berkerut. "Hui Song, bagaimanakah sampai lapisan penjaga mengeroyok cucuku Cia Ling ini?"
Hui Song tersenyum. "Harap Ayah ketahui bahwa pagi tadi, sebelum Ling Ling tiba, di sini muncul seorang pengunjung yang aneh. Saya sama seklai tidak mengenalnya. Ia seorang wanita muda yang emmaksa hendak bertemu dengan Ayah. Karena belum mengenalnya, terpaksa saya menolaknya dan tanpa memperkenalkan diri atau memberitahukan kepentingannya, ia pergi begitu saja. Ketika masuk, ia pun melompati para penjaga yang menghadangnya, sikapnya mencurigakan sekali. Oleh karena itu, penjagaan diperketat dan ketika Ling Ling muncul, tentu saja ia di curigai dan dihalangi. Untung saya keluar dan mengenal gerakan-gerakannya."
"Bagus sekali, aku ikut bangga dengan kepandaianmu, Ling Ling. Akan tetapi, siapakah wanita muda yang mencariku itu?"
"Entahlah, saya belum pernah melihatnya dan sikapnya sungguh mencurigakan, dan melihat gerakannya, agaknya ia memiliki ilmu ginkang yang luar biasa sekali, Ayah. Saya merasa curiga melihat sikapnya, mungkin ia mempunyai niat yang buruk terhadap Ayah, oleh karena itu, saya menyuruh para murid melakukan penjagaan dengan ketat."
"Hemm, sudah setua ini, sudah mengundurkan diri, masih saja ada yang mencari dengan niat buruk. Mungkin itu merupakan buah dari pohon yang kutanam dahulu. Kalau ia datang lagi, biarlah kauberitahu aku, aku akan menemuinya," kata kakek itu setelah menarik napas panjang, wajahnya membayangkan penyesalan.
Malam itu Ling Ling tinggal di kamar yang dahulu ditinggali Kui Hong. Ling Ling melamun dan biarpun Hui Song tidak bercerita banyak tentang bibinya, Ceng Sui Cin dan Cia Kui Hong, hanya mengatakan bahwa ibu dan anak itu sedang pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah, ke tempat Pendekar Sadis, ayah bibinya itu, namun ia merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dari itu telah terjadi dalam keluarga pamannya ini. Kalau ia bertanya tentang bibinya atau tentang puterinya, selalu pamannya memberi jawaban singkat dan menyimpang. Bahkan tidak menjawab ketika ia bertanya kapan mereka kembali! Juga isteri muda pamannya itu selalu nampak gelisah dan tidak enak kalau mendengar ia bertanya tentang mereka. Apakah yang telah terjadi dalam keluarga pamannya?
Selagi ia termenung di dalam kamarnya, tiba-tiba ia mendengar suara wanita berkata keras di sebelah luar, arah ruangan dalam di mana dipergunakan sebagai ruangan duduk oleh keluarga itu. Ia tertarik sekali dan setelah membereskan pakaiannya, ia pun keluar dari dalam kamarnya, menuju ke ruangan itu. Dan ia melihat dan mendengar hal-hal yang sejak tadi menjadi renungannya. Ia berhenti di balik pintu dan memandang ke dalam.
Nampak Cia Hui Song berdiri di situ, di sampingnya duduk Kakek Cia Kong Liang. Pamannya itu berdiri sambil menundukkan mukanya, dan kakek Cia Kong Liang duduk dengan lemas dan mukanya agak pucat, berulang kali menarik napas panjang. Dan di depan mereka berdiri tegak dengan sepasang mata mencorong marah, seorang gadis yang berwajah manis dan cantik sedang marah-marah dan menegur dua orang itu dengan suara lantang!
"Ayah mau menang sendiri, mau enak sendiri saja! Apa kesalahan Ibu maka Ayah menyakiti hatinya dan menikah lagi, sehingga Ibu terpaksa meninggalkan tempat ini dan terlunta-lunta pulang ke Pulau Teratai Merah? Ibu menderita batin karena perbuatan Ayah itu, Ayah telah menghina Ibu, menyakiti hati Ibu dan menghancurkan kebahagiaan rumah tangga kita, berarti menghancurkan kebahagiaanku sendiri! Aku minta pertanggungan-jawab dari Ayah!"
Wajah Cia Hui Song sebentar merah sebentar pucat, kadang-kadang dia mengangkat muka memandang gadis itu, kemudian menunduk kembali dan agaknya sukar baginya untuk melakukan atau mengatakan sesuatu di bawah serangan kata-kata puterinya itu. Kakek Cia Kong Liang yang sejak tadi juga nampak sedih sekali, mencoba untuk membela puteranya.
"Kui Hong, cucuku yang baik, jangan engkau bersikap seperti itu terhadap Ayahmu sendiri! Dia tidak bersalah...."
"Aku tahu, kalau Ayah tidak bersalah, ini berarti Kong-kong yang bersalah! Ya, aku tahu bahwa Ayah menikah lagi karena dia dipaksa oleh Kong-kong! Kong-kong hanya mau menang sendiri saja, ingin cucu laki-laki alasannya! Apakah seorang cucu perempuan seperti aku ini tidak ada harganya? Kong-kong dan Ayah hanya ingin senang sendiri, di atas penderitaan Ibuku! Juga di atas penderitaan batinku! Kong-kong dan Ayah sungguh berdosa besar, melakukan kejahatan terhadap Ibuku dan aku. Akan tetapi aku datang ini bukan untuk membela diri sendiri, melainkan membela Ibuku! Ia telah menjadi sengsara, menderita karena perbuatan kalian! Karena itu, aku datang utuk menuntut pertanggungan jawab dari Kong-kong, terutama dari Ayah! Ayah adalah seorang laki-laki jantan, seorang pendekar, seorang Ketua Cin-ling-pai, pantaskah melakukan perbuatan seperti itu, menyakiti hati Ibuku, isterinya sendiri?"
Mendengar semua ini, melihat wajah kedua orang laki-laki itu pucat dan bingung, Ling Ling merasa penasaran sekali. Ia kini tahu siapa adanya gadis cantik itu. Tentulah Cia Kui Hong, puteri pamannya yang dikatakan pergi bersama ibunya berkunjung ke Pulau Teratai Merah itu. Kiranya bukan pergi berkunjung, melainkan Bibi Ceng Sui Cin pergi bersama Kui Hong ini karena pamannya Cia Hui Song menikah lagi dengan Bibi Siok Bi Nio! Kalau begitu, melihat usia Cia Kui Bu yang kini sudah dua tahun, tentu ibu dan anak itu telah pergi sedikitnya tiga tahun dari Cin-ling-san! Kini gadis itu agaknya pulang hanya untuk marah-marah dan menegur ayahnya dan kakeknya, dengan kata-kata keras yang dianggap oleh Ling Ling sudah melampaui batas. Mukanya menjadi merah mendengar semua ucapan Kui Hong yang mencela ayah sendiri dan kakek sendiri itu. Ling Ling lalu melangkah memasuki ruangan itu.
"Maaf, engkau tentu Enci Cia Kui Hong," katanya lembut dan mendengar ini gadis itu ternyata memang Cia Kui Hong, membalikkan tubuhnya menghadapi Ling Ling. Sebelum ia membuka mulut, Ling Ling sudah mendahului dan melanjutkan kata-katanya yang dikeluarkan dengan nada lembut dan sikap sabar dan ramah, mulutnya dihias senyuman.
"Enci Cia Kui Hong, aku mohon padamu, ingatlah siapa yang berada di depanmu, siapa yang kaucela dengan kata-kata keras itu. Enci, mereka itu adalah Ayah kandungmu sendiri dan Kakekmu sendiri. Engkau akan menyesal sendiri kelak, Enci, ingatlah bahwa tidak semestinya kita bersikap seperti itu terhadap Ayah sendiri dan Kakek sendiri. Segala persoalan dapat dirundingkan dengan hati dan kepala dingin, dengan kata-kata yang halus dan penuh damai......"
Sejak tadi alis Kui Hong sudah berkerut dan sinar matanya menyambar-nyambar marah. Sikap dan ucapan gadis yang tidak dikenalnya itu dianggap membela dan membenarkan ayah dan kakeknya, dan menyalahkannya! Tentu saia hal ini membuat hatinya menjadi semakin panas. Bagaimanapun juga, ia masih belum berani untuk menggunakan kekerasan menyerang ayahnya sendiri atau kakeknya. Akan tetapi gadis ini tidak dikenalnya dan berani menyalahkannya, maka semua kemarahannya kini ditumpahkan kepada gadis itu.
"Berani engkau mencampuri urusan antara aku dan Ayahku sendiri? Siapakah engkau begini lancang?" bentaknya sambil melangkah maju mendekati Ling Ling bagaikan seekor singa betina yang marah. Namun Ling Ling tetap tenang menghadapinya.
"Enci, aku adalah Cia Ling, Ayahku adalah Cia Sun dan Ibuku Tan Siang Wi. Aku baru datang siang tadi dari dusun Ciang-si-bun, tempat tinggal kami untuk berkunjung kepada keluarga Cin-ling-pai dan ..."
"Cukup! Kaukira karena itu engkau berhak mencampuri urusanku? Engkau manusia lancang patut dihajar!" bentak Kui Hong. Semua rasa penasaran dan kemarahan yang membakar dirinya, yang membuat ia ingin sekali menyerang orang dan ditahan-tahannya karena ia tadi berhadapan dengan ayahnya dan kakeknya, kini ditumpahkan kepada Ling Ling dan ia pun menerjang maju menyerang gadis itu!
Tentu saja Ling Ling cepat mengelak dan menangkis ketika melihat betapa Kui Hong menyerangnya dengan gerakan dahsyat sekali. Melihat ini, Cia Kong Liang diam saja dan menyerahkan saja urusan ini kepada puteranya, akan tetapi Cia Hui Song juga tidak segera melerai. Pendekar ini adalah seorang yang suka sekali akan ilmu silat, dan biarpun hatinya seperti ditusuk-tusuk oleh sikap puterinya tadi, bagaimanapun juga dia merasa gembira melihat munculnya Kui Hong dan kini dia ingin melihat sampai di mana pula kelihaian Ling Ling puteri Cia Sun! Maka dia pun diam saja, walaupun dengan penuh perhatian dia mengikuti setiap gerak perkelahian itu sambil berjaga-jaga agar jangan sampai seorang di antara mereka terluka parah.
Mula-mula Ling Ling, yang sama sekali tidak menghendaki adanya perkelahian di antara mereka, hanya membela diri saja dengan elakan dan tangkisan. Akan tetapi, ia terkejut sekali menghadapi serangan-serangan yang makin lama semakin dahsyat dan berbahaya. Apalagi karena di pihak Kui Hong, gadis ini merasa penasaran bukan main ketika beberapa kali serangannya dapat dihindarkan lawan dengan gesitnya. Penasaran mendatangkan kemarahan dan Kui Hong memperhebat serangannya dengan jurus-jurus pilihan. Harus diketahui bahwa Kui Hong telah digembleng oleh kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah selama beberapa tahun ini sehingga ia menjadi lihai bukan main. Dibandingkan dengan tingkat Ling Ling, ia jauh lebih lihai, bahkan kini ia tidak kalah lihai dibandingkan ibunya sendiri. Maka, ketika ia mendesak dengan jurus-jurus pilihan, Ling Ling menjadi repot dan terpaksa gadis ini pun selain mengelak, juga membalas untuk menghindarkan dirinya dari desakan.
Terjadilah perkelahian yang seru. Dua orang gadis yang sama gesitnya, kini saling serang dengan hebat di ruangan yang luas itu, hanya ditonton oleh Cia Hui Song dan Cia Kong Liang. Tidak ada murid Cin-ling-pai yang berani ikut menonton. Sejak tadi mereka tidak berani mendekat. Ketika Kui Hong muncul di depan pintu gerbang, para murid sudah terkejut dan girang bukan main. Mereka menyapa dengan hormat dan manis, bahkan segera memberitahukan ke dalam bahwa "Nona Kui Hong" telah pulang.
Mendengar ini, maka Cia Hui Song dan Cia Kong Liang keluar pula dari kamar mereka sehingga mereka bertemu dengan Kui Hong yang sudah memasuki ruangan itu. Tak seorang pun murid atau pelayan di situ berani mendekat, apalagi mendengar teriakan-teriakan Kui Hong yang marah-marah tadi. Mereka takkan muncul tanpa dipanggil.
Akhirnya ling Ling harus mengakui kelihaian Kui Hong. setelah dua puluh lima jurus, mulailah ia terdesak hebat oleh jurus-jurus aneh yang dipergunakan Kui Hong dalam penyerangannya, yaitu jurus-jurus yang dipelajarinya dari Pulau Teratai Merah. Gadis ini tentu akan roboh dan mungkin terluka hebat kalau perkelahian itu dilanjutkan. Melihat ini, diam-diam Hui Song terkejut, juga bangga akan kelihaian puterinya. Dia pun dapat menduga bahwa tentu puterinya itu menerima gemblengan dari kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah, maka dia pun cepat meloncat ke depan dan menengahi perkelahian itu.
"Sudah cukup, kalian tidak boleh berkelahi lagi!"
Melihat pamannya maju melerai, tentu saja Ling Ling cepat mundur. Akan tetapi Kui Hong menjadi semakin penasaran. Ia berdiri menghadapi ayahnya dengan mata mencorong.
"Hemm, agaknya Ayah bahkan hendak membela orang luar dan memusuhi aku?"
Cia Hui Song menarik napas panjang. Dia merasa berduka sekali melihat sikap puterinya ini, puteri yang amat dicintanya dan dia dapat mengerti akan sakit hati yang diderita dalam batin puterinya. Dia tidak menyalahkan sikap itu, melainkan menyesali nasib sendiri. Sejenak dia memandang wajah puterinya dan terbayanglah semua kebahagiaan dan kemesraan bersama dengan ibu gadis ini, terbayanglah dia betapa sayangnya ketika dia membelai dan menimang gadis ini di waktu kecilnya dahulu, betapa tekunnya dia melatih silat kepada Kui Hong. Anak yang amat mungil dan amat sayang kepada ayahnya pula. Dan sekarang? Anak ini berdiri bagaikan seekor singa kelaparan, dengan sinar mata mencorong penuh penasaran dan kebencian kepadanya. Tak terasa lagi, sepasang mata pendekar ini terasa panas dan menjadi basah.
"Kui Hong, engkau tentu sudah tahu mengapa ibumu meninggalkan aku. Karena aku menikah lagi. Dan engkau tentu tahu pula mengapa aku menikah. Karena Kakekmu menghendaki aku mempunyai keturunan seorang anak laki-laki. Kui Hong, di dalam kehidupan ini ada suatu kewajiban yang amat penting yang harus dilaksanakan laki-laki, yaitu memenuhi harapan utama seorang ayah. Ayahku menghendaki aku mempunyai keturunan laki-laki penyambung nama keturunan, hal itu adalah wajar. Hidup memang kadang-kadang pahit, dan seorang gagah harus berani mengorbankan diri sendiri demi kebaktiannya kepada orang tua. Kini, aku telah memenuhi kewajibanku, aku telah memperoleh seorang anak laki-laki seperti yang diharapkan Ayahku. Kewajibanku terhadap Ayahku telah kuselesaikan dengan baik. Aku menikah lagi bukan karena bosan kepada ibumu. Ah, aku mencinta Ibumu, Kui Hong, juga mencintamu, dan engkau dan Ibumu tentu saja tahu akan hal itu. Kalau engkau masih merasa penasaran, biarlah kutebus dengan nyawaku agar kalian puas. Nah, engkau bunuh saja aku kalau engkau anggap Ayahmu ini orang yang tidak pantas hidup di dunia ini!"
Hebat bukan main kata-kata yang dikeluarkan oleh mulut Cia Hui Song ini, seorang pendekar besar dan seorang ketua Cin-ling-pai, dan semua ucapannya itu sudah menunjukkan betapa tersiksa rasa hatinya menghadapi tuntutan puterinya. Ling Ling sampai menangis mendengar ucpan itu, dan Kakek Cia Kong Liang menjadi pucat wajahnya, diam-diam menyesal mengapa permintaannya yang sudah sepatutnya itu untuk memperoleh penyambung nama keluarga, ternyata mendatangkan akibat yang demikian pahit.
Kui Hong berdiri terbelalak, wajahnya yang tadinya merah berubah pucat, jantungnya seperti ditusuk-tusuk ketika didengarnya ucapan ayahnya itu, kata demi kata seperti meremas batinnya. Apalagi melihat Ling Ling menangis, tak dapat ditahannya lagi ia lalu lari ke depan dan menubruk ayahnya sambil menjerit. "Ayaaaahhh.....!" Dan menangislah gadis ini sesenggukan di dada ayahnya dengan pencurahan seluruh rasa rindunya. Cia Hui Song juga merangkul dan menciumi puterinya itu dengan air mata bercucuran! Selama hidupnya, baru kali ii menangis demikian sedihnya.
Cia Kong Liang merasa terharu juga, akan tetapi girang melihat betapa kekerasan hati cucunya sudah dapat mencair. Dia membiarkan ayah dan anak itu bertangisan sejenak, kemudian dia pun berbatuk-batuk dan berkata. "Ayahmu benar, cucuku Kui Hong. Dia hanya ingin menyenangkan hati Ayahnya. Akulah yang bersalah, kalau saja keinginan seorang kakek tua memperoleh cucu laki-laki penyambung nama keturunan dapat disalahkan. Kalau saja Ibumu tidak terlalu menurutkan kekerasan hatinya, kalau saja ia dapat menerima kenyataan hidup ini, tentu ia tidak akan pergi dan tidak terjadi keretakan dalam keluarga kita. Ah, betapa dalam usia tuaku ini aku selalu menyesali sebab daripada perbuatan-perbuatanku sendiri."
Kui Hong melepaskan rangkulannya pada ayahnya, lalu ia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakeknya. Ia teringat betapa orang tua ini sejak ia masih kecil amat menyayangnya dan setelah kini ia sadar akan segala hal yang terjadi, ia pun dapat melihat betapa ibunya juga terlalu keras hati. Ia pun merasa menyesal atas sikapnya terhadap kakeknya tadi.
"Kong-kong, maafkanlah aku, Kong-kong. Aku telah bersikap kurang ajar terhadap Kong-kong."
"Sudahlah, Cucuku yang manis. Bangkitlah, bukan kesalahanmu, melainkan Kakekmu ini yang bersalah, terlalu menuruti keinginannya sendiri."
Pada saat itu terdengar suara halus, "Bagus sekali, baru sekarang kakek tua Cia Kong Liang dapat melihat kesalahannya yang telah mendatangkan korban pada banyak orang!"
Semua orang terkejut dan memandang gadis yang tiba-tiba saja muncul dari ambang pintu itu. Hui Song segera mengenal gadis itu, gadis yang pagi tadi datang minta bertemu dengan ayahnya! Gadis itu memang Kok Hui Lian! Sudah sejak tadi ia mengintai ke dalam ruangan itu. Dengan ilmu ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang amat hebat, gadis ini berhasil meloncati pagar tembok tanpa diketahui oleh para anak murid Cin-ling-pai yang berjaga. Para murid itu memang agak lengah karena kedatangan Kui Hong yang membuat mereka merasa gembira dan mereka beramai-ramai membicarakan kemunculan Kui Hong yang kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita. Setelah berhasil memasuki gedung itu, Hui Lian menyelinap dan mencari kamar Cia Kong Liang, akan tetapi ia mendengar ribut-ribut di dalam ruangan itu maka ia pun mengintai dan melihat segala yang terjadi di situ. Melihat betapa cucu sendiri mencela ayah dan kakeknya, diam-diam ia merasa gembira dan menonton saja. Andaikata tadi Kui Hong kalah oleh Ling Ling, tentu ia akan turun tangan membantu Kui Hong yang memusuhi ayah dan kakek sendiri. Akan tetapi Kui Hong menang dan ia pun hanya mengintai saja. Tak disangkanya bahwa kemudian Kui Hong luluh oleh sikap ayahnya dan melihat ini, Hui Lian merasa tiba saatnya untuk keluar.
"Nona datang lagi secara menggelap, apa kehendakmu, Nona?" tanga Cia Hui Song, siap untuk bertindak.
Hui Lian tersenyum mengejek kepada Cia Kong Liang, akan tetapi ia menjura kepada Hui Song sambil berkata, "Harap Cia Pangcu (Ketua Cia) tidak mencampuri urusanku ini, karena aku hanya berurusan dengan Kakek Cia Kong Liang seorang."
"Tapi dia adalah ayahku!" bantah Hui Song.
"Hui Song, biarkan Nona ini bicara denganku dan jangan mencampuri," kata Cia Kong Liang dan dia sudah bangkit berdiri lalu melangkah maju menghadapi wanita muda yang baru datang ini. Biarpun usianya sudah enampuluh delapan tahun, namun ketika dia berdiri di depan Hui Lian, tubuhnya masih tegap dan tegak, nampak gagah berwibawa. Namun, sepasang matanya tidaklah angkuh dan keras lagi seperti dahulu, kini matanya bersinar lembut dan mulutnya yang dulu membayangkan kekerasan hatinya. Kini membayangkan kesabaran.
"Nona, akulah Cia Kong Liang. Siapakah Nona dan urusan apakah Nona berkeras hendak bertemu denganku?"
Sejenak Hui Lian mengamati kakek itu. melihat sikap dan ketegakan tubuhnya, masih ada bayangan ketinggian hati kakek itu, pikirnya, akan tetapi sinar matanya lembut dan suaranya halus ramah. Apalagi kalau diingat bahwa kakek ini adalah pendekar Cia Hui Song yang kini telah menjadi ketua Cin-ling-pai, timbul keraguan dalam hatinya untuk menganggap bahwa kakek ini seorang kejam yang telah menyebabkan buntungnya sebelah lengan dai suhengnya, Ciang Su Kiat. Teringat suhengnya yang buntung, kembali perasaan marah dan penasaran memenuhi hati Hui Lian dan sinar matanya kembali mencorong ketika ia memandang wajah kakek itu.
"Hemm, kiranya engkau Kakek Cia Kong Liang yang berhati kejam itu! Aku adalah adik seperguruan dari Suheng Ciang Su Kiat dan aku datang untuk menegur kelakuanmu yang jahat dan kejam terhadap suheng sehingga dia terpaksa hidup sebagai seorang manusia cacat, kehilangan sebelah lengannya! Sungguh sukar dipercaya bahwa seorang ketua perkumpulan besar Cin-ling-pai, yang mengaku gagah dan pendekar perkasa, dapat bertindak sekejam itu, tanpa perkemanusiaan, membikin buntung lengan muridnya sendiri! Aku datang bukan hanya untuk menegur, akan tetapi juga mewakili Suheng Ciang Su Kiat minta pertanggung jawab atas perbuatan kejam itu!"
Semua orang terkejut mendengar ini dan memandang kepada Kakek Cia Kong Liang. Kakek ini tidak kelihatan heran, hanya menarik napas panjang karena ia merasa sedih diingatkan tentang peristiwa yang terjadi selama kurang lebih dua puluh tahun itu. Selama ini, setelah wataknya berubah, tak pernah dia berhenti menyesali perbuatannya yang didasari kekerasan hatinya, terutama buntungnya lengan Ciang Su Kiat. Setelah dia sadar, barulah dia dapat membayangkan betapa kerasnya sikapnya pada waktu itu. Ciang Su Kiat adalah seorang murid Cin-ling-pai yang baik dan berbakat. Pada suatu hari, ayah dari Ciang Su Kiat mencuri perhiasan untuk dijual dan untuk mengobati isteri dan anak bungsunya yang sakit keras. Dia ditangkap dan disiksa oleh seorang pembesar, Coan Tihu, sehingga orang tua itu menemui ajalnya. Ciang Su Kiat mengamuk dan menyerbu gedung tihu untuk membunuh Coan Tihu, akan tetapi usahanya tidak berhasil dan dia dikeroyok para pengawal, melarikan diri dan menjadi buronan. Karena dia dikenal sebagai murid Cin-ling-pai maka tentu saja Coan Tihu lalu menegur pimpinan Cin-ling-pai dan menuntut diserahkannya Ciang Su Kiat. Ketika itu, sebagai Ketua Cin-ling-pai Cia Kong Liang bersikap keras dan tegas hendak menangkap dan menyerahkan Ciang Su Kiat kepada pembesar itu, tanpa mempedulikan alasan mengapa murid itu mengamuk. Su Kiat mencela peraturan Cin-ling-pai, dan di depan ketua yang juga menjadi gurunya itu, dia membuntungi lengan kirinya sendiri! Biarpun sudah demikian, tetap saja Cia Kong Liang hendak menyerahkannya kepada Coan Tihu! Karena putus asa, hampir saja Su Kiat membunuh diri. Akan tetapi pada saat itu, muncul Hui Song yang mencegah perbuatannya, bahkan Hui Song mengajak Su Kiat pergi ke gedung Coan Tihu, disana dia meninggalkan buntungan lengannya, kemudian Su Kiat disuruh melarikan diri oleh Hui Song.
Teringat akan semua ini, penyesalan besar muncul di dalam hati Kakek Cia Kong Liang. Setelah menarik napas panjang, Cia Kong Liang memandang wajah gadis itu dan terdengar dia berkata dengan suara halus. "Nona, tidak kusangkal bahwa kami pernah bersikap terlalu keras terhadap Ciang Su Kiat sehingga ia membuntungi lengannya sendiri. Percayalah bahwa selama ini aku telah merasa tersiksa oleh penyesalan. Akan tetapi, hal itu sudah terjadi dan disesalkan bagaimanapun juga, tidak ada artinya lagi. Kalau Nona merasa penasaran dan datang untuk memberi hukuman sebagai pembalasan ata kesengsaraan yang diderita oleh Ciang Su Kiat, nah, silakan!"
"Nanti dulu!" Tiba-tiba terdengar Cia Kui Hong membentak marah dan ia pun sudah meloncat ke depan kakeknya, melindungi kakeknya dari Hui Lian dan ia memandang kepada Hui Lian dengan alis berkerut dan mata berkliat. "Enak saja engkau datang menjual lagak dan hendak menghina Kakekku! Engkau tadi bilang bahwa engkau datang untuk membela Suhengmu, nah, sekarang aku berada disini untuk membela Kong-kongku! Engkau yang datang tanpa diundang, seperti maling mencari keributan, sambutlah seranganku ini!" Kui Hong sudah mencabut pedangnya dan sudah menyerang dengan dahsyatnya!
Hui Lian terkejut melihat serangan ini dan ia pun cepat kebelakang sambil mencabut pedang dari punggungnya. Sinar berkilat ketika pedang Kiok-hwa-kiam tercabut dan tertimpa sinar lampu dan lentera yang tergantung di ruangan itu. Kui Hong sudah menerjang lagi dan menyerang dengan pedangnya, gerakannya cepat dan mengandung tenaga yang cukup kuat. Hui Lian maklum akan kelihaian lawan maka ia pun menangkis. Terdengar suara berdencing nyaring ketika sepasang pedang bertemu dan nampak api berpijar. Dengan kaget sekali Kui Hong merasa betapa lengan kanannya tergetar hebat dan kesemutan, maka tahulah ia bahwa lawan ini memang lihai bukan main.
Cia Kong Liang dan Cia Hui Song terkejut melihat betapa Kui Hong menyerang gadis itu, akan tetapi diam-diam mereka pun ingin sekali melihat sampai dimana kelihaian gadis yang mengaku sumoi dari Ciang Su Kiat itu, maka mereka mendiamkannya saja. Dan mereka pun terkejut. Terjadilah perkelahian pedang yang amat hebat dan biarpun kini Kui Hong memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, namun gadis itu ternyata memiliki gerakan yang aneh dan hebat bukan main. Hui Song yang diam-diam memperhatikannya, merasa heran sekali karena dia yang sudah banyak pengalaman tetap tidak pernah melihat ilmu pedang seperti yang dimainkan oleh Hui Lian. Hal ini tidaklah aneh karena ilmu pedang itu adalah In-liong Kiam-sut, ilmu pedang peninggalan dari In Liong Nio Nio, seorang di antara Delapan Dewa! Yang membuat Kui Hong mulai terdesak dan kewalahan adalah kehebatan ginkang dari Hui Lian. Gadis ini dapat bergerak demikian ringan dan cepatnya, seperti seekor burung saja sehingga Kui Hong merasa kalah cepat padahal ia sudah menerima gemblengan dalam hal ilmu meringankan tubuh ini dari neneknya, yaitu Toan Kim Hong!
Tiba-tiba terdengar seruan keras. "Enci Hong, aku membantumu!" Dan kini Ling Ling juga sudah meloncat ke dalam kalangan pertempuran, dengan pedang di tangan gadis ini pun membantu Kui Hong menghadapi Hui Lian. Makin hebatlah perkelahian itu dan diam-diam Hui Song dan ayahnya merasa kagum bukan main karena biarpun dikeroyok dua, ternyata gadis itu sama sekali tidak terdesak dan bahkan beberapa kali sinar pedangnya mengancam Ling Ling dan Kui Hong.
Kakek Cia Kong Liang mengerutkan alisnya. Perkelahian itu demikian seru dan hebat. Tentu seorang di antara mereka akan terluka parah kalau dilanjutkan. Kalau sampai terjadi Ling Ling atau Kui Hong terluka, bahkan tewas, dia akan menyesal karena hal itu terjadi gara-gara dia! membayangkan hal ini Cia Kong Liang cepat meloncat ke depan sambil berseru nyaring. "Cukup, hentikan perkelahian itu! Kui Hong, Ling Ling, mundurlah kalian!"
Dua orang gadis itu terpaksa berloncatan ke belakang dan kini Cia Kong Liang menghadapi Hui Lian yang masih memegang pedangnya. Diam-diam gadis ini merasa kagum. Dua orang gadis muda itu sungguh lihai dan biarpun ia mampu menandingi mereka, akan tetapi agaknya tidak terlalu mudah baginya untuk menundukkan mereka. Belum lagi maju pendekar Cia Hui Song! Kalau keluarga itu maju, ia dapat celaka!
"Nona," kata kakek itu kepada Hui Lian. "Urusan antara aku dan Ciang Su Kiat yang sekarang kauwakili adalah urusan pribadi, aku tidak ingin keluargaku tersangkut. Karena itu, kalau engkau masih penasaran dan hendak menyelesaikan perkara ini dengan kekerasan, nah, akulah yang harus kauserang, bukan cucu-cucuku. Majulah dan lawanlah aku, Nona!" Nada suara Cia Kong Liang halus, namun menantang karena memang dia sengaja menantang agar gadis itu menyerang dia saja, walaupun dia maklum bahwa dia tidak akan menang dan tentu dia akan tewas di tangan gadis yang lihai ini. Dia rela menebus dengan nyawanya sebagai pembayar hutang.
Hui Lian memang sudah marah sekali. Dendamnya karena penderitaan suhengnya amat besar. Ia ingin melakukan sesuatu untuk suhengnya itu, ia memegangi pedangnya lebih erat lagi.
"Kakek Cia, keluarkan senjatamu!" bentaknya.
Cia Kong Liang tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Nona, sudah lama aku membersihkan batinku dari kekerasan, oleh karena itu, sudah pantang bagiku untuk membiarkan tangan ini memegang pendag. Kalau engkau hendak menyerangku, pergunakan pedangmu dan aku akan menghadapimu dengan tangan kosong saja."
Hati yang sedang dikeruhkan amarah membuat orang tidak waspada dan selalu salah terima akan maksud orang lain. Demikian pula dengan Hui Lian. Mendengar ucapan itu, ia salah paham, menganggap bahwa kakek itu memandang rendah kepadanya, menantangnya dengan tangan kosong! Maka mukanya menjadi semakin merah.
"Bagus! Kakek sombong, jangan salahkan pedangku ini!" Dania pun menerjang dan menusukkan pedangnya. Bukan main kaget hati Hui Lian ketika melihat betapa orang yang ditusuknya itu sama sekali tidak mengelak, menerima saja tusukan pedangnya yang meluncur ke arah dada! Cepat ia hendak menarik tangannya, namun terlambat karena pedang itu sudah meluncur terlalu cepat.
Pada saat itu nampak bayangan orang berkelebat, cepat sekali dan lengan kanan Hui Lian ditangkis orang sehingga tusukannya itu meleset dan tidak mengenai sasaran. Ketika Hui Lian meloncat ke belakang dan memandang, ia terkejut bukan main melihat suhengnya, Ciang Su Kiat, telah berdiri disitu dan kiranya suhengnya yang tadi menangkis dan menggagalkan serangannya.
"Sumoi, sarungkan kembali pedangmu!" kata Su Kiat dengan halus dan melihat sinar mata suhengnya yang mengandung penyesalan, Hui Lian cepat menyarungkan pedangnya kembali. Su Kiat lalu memegang tangan sumoinya dan ditariknya sumoinya itu diajaknya berlutut di depan kaki Cia Kong Liang!
"Locianpwe, sayalah yang memohonkan maaf bagi kelancangan Sumoi Kok Hui Lian. Kalau Locianpwe hendak menghukumnya, hukumlah saya sebagai penggantinya......"
Melihat bekas muridnya ini, hati kakek itu diliputi keharuan. Ternyata muridnya ini telah berubah sama sekali. Kini telah berusia lima puluh tahun lebih dan sikapnya demikian matang, demikian berwibawa namun suaranya halus dan tenang. Dia lalu membungkuk dan memegang kedua pundak Ciang Su Kiat sambil berkata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar