"Kau kini membela mereka? Gila dan biar kubasmi sekalian!" Orang berbaju putih itu membentak dan menyerang Ci Kang. Tentu saja Ci Kang cepat mengelak dan untuk mencegah orang itu menyebar maut lebih banyak lagi, diapun membalas dan kini mereka kembali berkelahi dengan amat serunya. Kerena masing-masing kini sudah yakin akan kelihaian lawan, maka merekapun berkelahi lebih seru dan lebih hebat daripada tadi, masing-masing mengeluarkan ilmu-ilmu silat yang hebat. Kini para penjahat sudah lari semua dan juga para penghuni dusun sudah sejak tadi melarikan diri. Sebagian besar dari rumah-rumah dusun itu terbakar. Namun, dua orang muda itu agaknya lupa akan keadaan sekeliling karena mereka itu asyik berkelahi dan terpaksa harus mencurahkan seluruh perhatian, menggunakan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaga kalau tidak mau kalah! Dan kepandaian keduanya memang hebat, setingkat dan seimbang.
Entah berapa lama perkelahian itu akan berlangsung sampai ada yang kalah. Sudah hampir seratus jurus berlalu dan keduanya masih terus saling hantam dengan gigihnya. Tiba-tiba terdengar suara jerit minta tolong. Suara wanita yang ketakutan! Mendengar suara ini, seketika dua orang muda itu melupakan perkelahian mereka dan meloncat lalu berlari ke arah suara itu seperti orang berlomba. Jerit tangis itu kini semakin jelas, keluar dari sebuah rumah yang sudah terbakar bagian belakangnya.
"Tolong...! Toloooonggg... ahh, tolonglah aku...!" Demikianlah suara itu terdengar dari dalam rumah yang sedang terbakar.
"Brakkkkk...!" Dua tempat pada dinding rumah itu jebol ketika si pemuda baju putih dan Ci Kang secara berbareng menerjang tembok. Keduanya berlari memasuki rumah itu dan melihat seorang gadis yang terbelenggu kedua tangannya pada tiang rumah sedang meronta-ronta ketakutan melihat api mulai membakar dinding kamar itu! Seorang gadis yang cantik sekali, berpakaian sederhana akan tetapi justeru pakaian sederhana itulah yang membuat kecantikannya semakin menonjol. Karena kedua lengannya ditelikung ke belakang dan ia meronta-ronta, maka lekuk lengkung dan tonjolan-tonjolan pada tubuhnya nampak jelas dan amat menggairahkan! Melihat munculnya dua orang itu, sepasang mata yang jeli itu terbelalak ketakutan, akan tetapi agaknya ia dapat menduga bahwa mereka adalah orang orang yang hendak menolongnya, bukan orang-orang jahat yang menyerang dusun itu.
"Ah, tolonglah saya...!" Ia memohon.
Pada saat itu, dinding di bagian belakang kamar itu, yang mulai terbakar, runtuh ke bawah mengancam gadis itu yang tentu akan tertimpa runtuhan dinding tembok! Dua orang muda yang gagah perkasa itu bergerak cepat sekali. Pemuda baju putih itu sudah meloncat dan sekali sambar dia sudah merenggut putus tali yang mengikat gadis itu dengan tiang, lalu meloncat sambil memondong tubuh itu, sedangkan Ci Kang meloncat menggempur dinding yang runtuh itu dengan kedua tangannya.
"Braaakkkk...!" Runtuhan dinding itu pecah berantakan dan diapun cepat meloncat keluar menyusul. Di luar rumah yang terbakar itu, dia melihat pemuda beju putih sudah menutunkan gadis tadi yang kini berdiri kebingungan dan masih menangis. Ketika Ci Kang tiba pula di situ, gadis itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang pemuda itu sambil menangis.
"Sudahlah, jangan menangis dan ceritakan apa yang telah terjadi." kata Ci Kang sambil memandang kepada pemuda baju putih yang berdiri tenang dan menghadapi gadis itu dengan pandang mata penuh selidik.
Gadis itu menyusut air matanya. Usianya tidak sangat muda lagi, kurang lebih dua puluh lima tahun. Akan tetapi usia ini bagi seorang wanita merupakan usia yang sedang masaknya, bagaikan setangkai bunga sedang mekarnya. Pakaiannya sederhana namun rapi, wajahnya cantik dan terutama sekali mulutnya manis sekali.
"Saya menghaturkan terima kasih kepada ji-wi taihiap... yang sudah menyelamatkan nyawa saya yang tidak berharga..."
"Sudahlah," kata pemuda baju putih. "Tak perlu bicara tentang itu. Yang penting sekarang ceritakan apa yang telah terjadi maka kau beraaa dalam rumah terbakar itu dalam keadaan terbelenggu." Pada waktu itu, dusun kecil yang terbakar ini sudah ditinggalkan orang dan agaknya hanya mereka bertiga saja yang masih berada di situ, kecuali mayat-mayat yang menggeletak di sana-sini, korban kekejaman para perampok.
"Saya bernama Ji Hwa dan tinggal bersama ayah dan ibu di luar dusun, di lereng bukit sana itu... dan saya berada di sini karena mengunjungi paman dan bibi saya, pemilik rumah ini. Ketika tadi para penjahat datang, paman melawan dan bibi entah lari ke mana, dan saya... perampok ganas itu menawan saya, hendak dibawa pergi. Tapi ketika paman melawan, perampok itu mengikat saya di tiang tadi dan dia lalu berkelahi dengan paman di luar rumah... selanjutnya... saya tidak tahu apa yang terjadi, rumah terbakar dan saya ketakutan sekali..."
Ia menengok ke kiri di mana terdapat mayat-mayat bergelimpangan, membuat gadis itu bergidik ngeri.
"Siapakah pemimpin para perampok itu, nona?" Ci Kang bertanya. "Apakah engkau mengenal para pengurus kedai arak itu?" Dia menunjuk ke arah kedai arak yang sudah habis terbakar.
Gadis itu menggeleng kepala dan kelihatan ketakutan. "Saya tidak tahu... akan tetapi... saya merasa yakin bahwa ayah saya tahu akan semua itu. Pernah dia berkata kepada saya bahwa dusun ini terancam kekuasaan para penjahat..."
"Hemm, kalau begitu mari kuantar kau pulang, nona. Aku ingin bicara dengan ayahmu," kata Ci Kang.
"Akupun ingin bertemu dengan ayahmu, nona," kata pula pemuda baju putih itu.
Ci Kang memandang pemuda itu sambil tersenyum mengejek. "Agaknya dalam segala hal engkau tidak mau kalah, sobat. Perlu apa engkau ikut pula dengan kami?"
Pemuda itu tersenyum pahit. "Aku belum tahu benar siapa engkau dan orang macam apa adanya dirimu. Melihat engkau pergi berdua dengan seorang gadis yang tak berdaya ini, sungguh hatiku merasa tidak enak. Aku baru lega kalau melihat ia sudah berkumpul kembali dengan orang tuanya."
"Sialan!" Ci Kang membentak. "Engkau masih tidak percaya kepadaku? Nah, mari kita saling mengenal. Namaku Ci Kang."
"Shemu?" tanya pemuda itu, ingin tahu nama keluarga Ci Kang.
"Tidak perlu kuperkenalkan." Ci Kang memang tidak ingin memperkenalkan nama keluarga ayahnya yang terkenal sebagai Siangkoan Lo-jin atau Si Iblis Buta.
"Namaku Sun," kata pemuda baju putih itu, juga tidak mau menyebutkan shenya melihat betapa Ci Kang menyembunyikan shenya pula. Pemuda ini sesungguhnya she Cia. Ya, dia adalah Cia Sun, putera dari Cia Han Tiong yang tinggal di Lembah Naga! Seperti telah kita ke-tahui, pemuda ini merasa penasaran sekali akan sikap ayahnya. Ibunya tewas di tangan musuh dan ayahnya mengampuni musuh-musuh itu. Dalam keadaan penasaran dan penuh duka dan dendam ini, dia bertemu lalu diambil murid oleh Go-bi San-jin dan digembleng selama tiga ta-hun. Oleh gurunya ini, di dalam batinnya ditanam jiwa kependekaran yang tegas dan keras menentang kejahatan. Gemblengan ini, ditambah oleh rasa dendam atas kematian ibunya, membuat Cia Sun men-jadi seorang pendekar yang tidak mau mengampuni orang-orang jahat dan dia menganggap sebagai tugasnya untuk me-nentang kejahatan dan membasmi para penjahat, membunuh mereka tanpa mengenal ampun lagi!
Seperti juga Ci Kang yang disuruh oleh gurunya, Ciu-sian Lo-kai untuk pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar untuk mengadakan pertemuan dengan para pendekar, juga Cia Sun diutus oleh Go-bi San-jin untuk pergi ke tempat itu. Munculnya Raja dan Ratu Iblis yang dibantu oleh Cap-sha-kui dan para datuk kaum sesat membuat orang-orang sakti dan para pendekar ber-usaha menentangnya dan mereka akan mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang.
Setelah memperkenalkan nama masing-masing tanpa menyebut nama keturunan, dua orang muda itu lalu mengawal gadis yang bernama Ji Hwa itu pulang. Mereka keluar dari dusun kecil yang sudah sunyi itu dan menuju ke utara di mana terdapat sebuah bukit yang penuh dengan po-hon-pohon rindang.
"Jauhkah rumahmu dari sini, nona?" tanya Cia Sun yang masih belum percaya benar kepada gadis ini dan selalu tidak meninggalkan kewaspadaannya.
"Tidak jauh, di lereng bukit itu, taihiap. Akan tetapi harap jangan sebut no-na padaku, namaku Hwa dan biasa dise-but Hwa Hwa saja."
Cia Sun mengerutkan alis dan tidak menjawab. Gadis ini baru saja mengalami peristiwa yang menakutkan dan mengejutkan, baru saja terlepas dari maut dan nyaris terbakar hidup-hidup dalam rumah tadi. Akan tetapi sekarang sudah bicara sambil senyum-senyum dan kerling mata gadis ini membuat hatinya terasa tidak enak. Biarpun Cia Sun sampai saat itu belum pernah bergaul rapat dengan wani-ta, namun dia mengenal kerling yang ta-jam memikat, kerling yang membayang-kan kegenitan yang disembunyikan, sikap yang agaknya tidak wajar dan berpura-pura.
Rumah itu besar dan kuno sekali, terletak di lereng bukit. Rumah yang besar dan kuno, terpencil sendiri dan dari jauh tidak nampak karena tersembunyi di ba-lik pohon-pohon dan semak-semak belu-kar. Karena kuno, besar dan sudah rusak tak terpelihara, bangunan itu nampak menyeramkan, pantasnya hanya dihuni o-leh setan-setan dan iblis-iblis saja.
"Di sinikah engkau dan orang tuamu tinggal?" Ci Kang bertanya ketika mere-ka tiba di depan rumah. "Bekerja apakah orang tuamu?" Kiranya diapun, seperti Cia Sun, mulai merasa heran dan curiga melihat betapa gadis itu bersama orang tuanya tinggal di tempat yang serem se-perti ini.
Gadis yang minta disebut Hwa Hwa itu tersenyum memandang Ci Kang. "kalau melihat pakaian taihiap, agaknya pe-kerjaan ayah tidak asing bagi taihiap. Dia seorang pemburu dan karena itu ka-mi memilih tempat di bukit dekat hutan-hutan ini." Dengan sikap ramah dan lincah gadis itu mempersilakan dua orang pemuda itu untuk memasuki gedung ku-no. "Marilah, harap ji-wi taihiap sudi masuk dan menemui ayah dan ibu yang berada di dalam. Saya merasa yakin bah-wa ayah akan dapat bercerita banyak tentang penjahat-penjahat yang tadi menga-cau dusun."
Cia Sun dan Ci Kang saling pandang sejenak. Biarpun mereka masih merasa penasaran dan ada rasa tidak suka satu kepada yang lain, akan tetapi kini mere-ka berada dalam sebuah perahu yang sa-ma. Maka, biarpun hanya sedikit, terdapat suatu kepentingan bersama di antara mereka dan setelah saling pandang, tahulah mereka bahwa masing-masing tidak akan mau kalah dan merasa malu kalau mundur. Mereka lalu mengikuti gadis itu memasuki bangunan dan ternyata memang bangunan itu kuno dan tidak terawat. Banyak bagian yang sudah rusak, akan tetapi sebagian besar masih kokoh kuat karena memang bangunan kuno itu kuat buatannya.
"Mari silakan, ji-wi taihiap. Saya kira ayah dan ibu sedang bersamadhi di dalam kamar samadhi," kata gadis itu sambil mengajak mereka menuju ke sebuah ruangan yang pintunya kecil. Mendengar ini, kembali Cia Sun dan Ci Kang melirik. Kalau mereka sedang bersamadhi, tentu orang tua gadis ini termasuk orang-orang yang pandai ilmu silat, atau kalau tidak tentu orang-orang yang saleh.
Mereka melewati pintu kecil itu dan memasuki sebuah ruangan yang bentuknya aneh. Kamar itu tidak berjendela, dan bentuknya bundar. Lantainya tertutup babut tipis yang sudah lapuk, dan tidak terdapat perabot rumah, akan tetapi cukup bersih keadaannya. Di dekat dinding nampak seorang kakek dan seorang nenek sedang duduk bersila dalam keadaan bersamadhi. Dan melihat keadaan dua orang kakek dan nenek ini, dua orang pemuda itu merasa heran dan terkejut. Kakek itu berpakaian serba polos putih kuning, rambutnya putih semua riap-riapan, jenggot dan kumisnya pendek terpelihara baik-baik, tubuhnya jangkung dan wajahnya aneh menyeramkan. Wajah itu memang bagus bentuknya, membayangkan ketampanan, akan tetapi wajah itu nampak bekitu dingin, agak kehijauan kulitnya dan matanya terpejam. Sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi tentu sudah enam puluh tahun lebih. Adapun nenek itu juga mempunyai keadaan yang sama, baik pakaiannya yang sederhana kedodoran maupun rambutnya yang juga sudah putih semua dan riap-riapan. Rambutnya lebih panjang ketimbang rambut kakek itu, dan bentuk atau raut wajah wanita inipun menunjukkan bekas kecantikan, hanya nampak begitu dingin seperti topeng.
"Silakan duduk, ji-wi taihiap dan maaf, di sini tidak ada bangku atau kursi, terpaksa kita duduk di atas lantai," kata Hwa Hwa dengan ramahnya. Cia Sun dan Ci Kang yang sudah terlanjut masuk, la-lu duduk di atas lantai berbabut itu, bersila dengan sikap hormat karena mereka berdua meragu orang-orang macam apa adanya kakek dan nenek ini. Yang jelas, bukan orang-orang sembarangan saja, demikian mereka berpikir.
Setelah dua orang pemuda itu duduk, Hwa Hwa lalu keluar dari dalam kamar itu, sampai di ambang pintu menoleh dan berkata sambil tersenyum, "Maafkan, sa-ya akan mempersiapkan minuman untuk ji-wi..."
Sebelum dua orang muda itu menolak, pintu yang sempit itu tiba-tiba sudah di-tutup dari luar oleh Hwa Hwa dan baru nampak oleh dua orang muda itu bahwa pintu itu berbuat daripada besi yang ko-koh kuat! Akan tetapi karena di dalam ruangan itu masih terdapat kakek dan nenek tadi, Cia Sun dan Ci Kang bersi-kap tenang saja dan kini mereka berdua memandang kepada kakek dan nenek itu dengan penuh perhatian.
Tiba-tiba kakek dan nenek itu mem-buka matanya dan terkejutlah dua orang pendekar muda itu melihat betapa dua pasang mata itu amat tajam, mencorong seperti bukan mata manusia biasa! Mata kakek dan nenek itu mencorong dan ke-hijauan! Terkejutlah Cia Sun dan Ci Kang, tahu bahwa mereka itu ternyata bukan orang sembarangan, melainkan orang-orang yang memiliki tenaga sin-kang amat kuat, kalau tidak demikian, tak mungkin mereka memiliki sinar mata seperti itu. Akan tetapi keduanya tetap tenang saja dan menanti apa yang akan terjadi selan-jutnya, tentu saja dengan penuh kewaspadaan karena kini mereka mulai dapat menduga bahwa sikap gadis yang bernama Hwa Hwa tadi hanya pura-pura saja.
Tiba-tiba terdengar suara kakek itu yang bicara seolah-olah tanpa menggerakkan bibir. "Berlutut...!"
Dua orang pemuda itu terkejut dan heran, akan tetapi biarpun mereka men-duga bahwa kakek itu menyuruh mereka berlutut, tentu saja mereka tidak sudi melaksanakan perintah itu. Mereka hanya memandang tajam, menentang dua pasang mata hijau yang mencorong itu. Kini, nenek itulah yang bicara, suaranya lirih akan tetapi mendesis dan menusuk jantung.
"Kalau murid kami sudah membawa kalian ke sini, tentu kalian bukan orang-orang biasa dan ada harganya untuk menjadi pembantu-pembantu kami. Nah, orang-orang muda, berilah hormat kepada Ong-ya!"
Dua orang muda itu kini terkejut bukan main. Mereka berdua sudah mendengar dari guru masing-masing tentang Raja dan Ratu Iblis yang menganggap dirinya raja dan ratu, dan betapa semua tokoh sesat yang takluk kepada mereka menyebut Raja Iblis itu Ong-ya karena memang dia dahulunya seorang pangeran bernama Toan Jit-ong. Kini Cia Sun dan Ci Kang memandang penuh perhatian dan merekapun baru sadar bahwa mereka sebenarnya berhadapan dengan Raja dan Ratu Iblis yang amat ditakuti itu, yang kini kabarnya sedang menggerakkan para datuk kaum sesat termasuk Cap-sha-kui untuk menguasai dunia! Bahkan karena adanya gerakan mereka inilah maka para pendekar dan orang sakti hendak mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk merencanakan langkah-langkah untuk menentang gerakan berbahaya itu. Dan kini, tanpa mereka sangka-sangka, mereka telah dipancing oleh seorang gadis cantik yang ternyata murid iblis-iblis ini, dan telah berhadapan dengan mereka, berada di sebuah ruangan tertutup!
"Apakah ji-wi yang berjuluk Raja dan Ratu Iblis?" Dengan hati tabah, sedikitpun tidak gentar suaranya Ci Kang bertanya.
Nenek itu mengeluarkan suara seperti orang tertawa, walaupun mulutnya tidak tertawa.
"Kalau kalian sudah tahu, cepat memberi hormat!" katanya.
Akan tetapi, seperti dikomando saja, Cia Sun dan Ci Kang sudah meloncat berdiri. Mereka berdua sudah banyak mendengar tentang suami isteri iblis ini, dan mereka tahu bahwa sudah menjadi kewajiban mereka untuk menentang dua orang ini. Mereka sama sekali tidak merasa takut, walaupun mereka sudah mendengar betapa lihainya kakek dan nenek ini.
"Inilah penghormatanku!" kata Cia Sun yang sudah menyerang kakek yang duduk bersila itu.
"Dan ini bagianku!" bentak Ci Kang, secepat kilat diapun menyerang ke arah si nenek.
Serangan dua orang muda itu hebat sekali, mendatangkan angin pukulan dahsyat karena mereka berdua yang maklum akan kelihaian kakek dan nenek itu sudah mengerahkan sin-kang dan menyerang sekuat tenaga. Kakek dan nenek itu mendengus dan mengulur tangan menyambut. Mereka hanya mendorong tangan mereka ke depan dan segumpal uap menyambar dan menyambut serangan Cia Sun dan Ci Kang.
"Bresss...!" Tubuh dua orang muda itu terdorong ke belakang dan tanpa dapat mereka cegah lagi, keduanya terbanting pada dinding di belakang lalu terguling ke atas lantai!
Pada saat itu, lantai tertutup babut itu terbuka dan tentu saja dua orang pemuda yang baru saja terguling, cepat meloncat ke depan. Hanya bagian di mana kakek dan nenek itu duduk saja yang tidak terjeblos dan jalan satu-satunya hanyalah mencoba untuk menyerang lagi kakek dan nenek yang masih duduk bersila di atas lantai, bagian yang tidak terbuka.
"Desss...!" Kini empat pasang tangan itu bertemu langsung secara dahsyat sekali dan akibatnya, kakek dan nenek itu mengeluarkan seruan kaget bukan main. Benturan tangan mereka dengan tangan pemuda-pemuda itu membuat tubuh mereka tergetar dan terguncang hebat! Akan tetapi karena mereka duduk di atas lantai, sedangkan tubuh Cia Sun dan Ci Kang melayang, tentu saja kedua orang pemuda itu yang tidak mempunyai landasan, terdorong mundur dan tak dapat dihindarkan lagi tubuh mereka terjatuh ke dalam lubang di bawah mereka.
Mereka mempergunakan gin-kang dan tidak sampai terbanting, juga mereka tiba di dasar lubang itu dengan kaki lebih dulu, dalam keadaan berdiri. Akan tetapi tiba-tiba tempat di mana mereka terjatuh itu menjadi gelap gulita karena lantai dari kamar di atas tadi telah tertutup kembali!
Tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dan tercium bau harum yang menyengat hidung. "Asap beracun...!" Cia Sun berseru dan keduanya segera menahan napas dan meraba-raba mencari jalan keluar. Akan tetapi kamar di mana mereka tersekap itu ternyata terbuat dari besi dan tidak ada pintunya! Mereka lalu meloncat ke atas dan menghantam ke arah lantai kamar atas yang kini menjadi langit-langit bagi mereka itu.
"Bress! Bress!" Akan tetapi lantai itu terlalu kuat dan tubuh mereka terlempar lagi ke bawah. Mereka seperti dua ekor tikus memasuki perangkap dan kini kamar itu mulai penuh dengan asap wangi beracun. Mereka menahan napas sekuat mungkin, akan tetapi tentu saja kekuatan ini ada batasnya. Betapapun saktinya kedua orang muda itu, jantung mereka harus berdenyut terus dan untuk ini, jantung membutuhkan hawa murni melalui pernapasan.
Akhirnya Cia Sun dan Ci Kang tidak kuat bertahan lagi dan merekapun terpaksa menyedot asap itu dan tubuh mereka terguling dan mereka pingsan oleh asap pembius. Sebelum mereka kehilangen kesadaran, mereka mendengar suara ketawa merdu, suara dari Hwa Hwa yang sebetulnya adalah Gui Siang Hwa, murid terkasih dari Raja Iblis atau Pangeran Toan Jit-ong.
Ketika Cia Sun dan Ci Kang siuman kembali, mereka telah saling berpisah, Cia Sun yang siuman mendapatkan dirinya telah berada di atas pembaringan sebuah kamar dalam keadaan terbelenggu dan tertotok jalan darahnya! Dia berusaha membebaskan jalan darahnya ketika terpaksa usaha ini dihentikannya karena ada langkah kaki orang memasuki kamar. Kiranya yang masuk adalah gadis cantik yang telah menjebaknya itu! Tentu saja Cia Sun menjadi marah sekali dan memandang dengan mata melotot.
"Hemm, perempuan hina! Kiranya engkau adalah seorang penjahat betina yang sengaja menjebak kami! Engkau tentu kaki tangan perampok yang mengacau di dusun itu!" bentak Cia Sun.
Siang Hwa tersenyum manis dan menghampiri, lalu duduk di tepi pembaringan dan membelai pundak yang nampak karena baju di bagian pundak Cia Sun robek ketika dia meloncat dan mendobrak lantai atas. Cia Sun merasa betapa bulu-bulu tubuhnya meremang ketika jari-jari tangan yang berkulit halus itu menelusuri pundaknya dengan belaian sayang. Dia menggerakkan pundaknya untuk menolak, akan tetapi karena dia berada dalam keadaan tertotok, pundaknya hanya bergerak sedikit saja, membuat Siang Hwa tertawa geli.
"Hi-hik, pemuda yang gagah dan tampan. Sun-koko, dugaanmu itu terbalik. Bukan aku kaki tangan mereka, akan tetapi mereka adalah kaki tanganku, para pembantuku. Sun-koko, tahukah engkau kenapa suhu dan subo tidak langsung saja membunuhmu? Akulah yang minta ampun. Nyaris aku dibunuh karena mintakan ampun untukmu, koko. Akan tetapi, aku menangis dan meratap minta agar engkau tidak dibunuh..."
"Hemm, apa maksudmu?" Cia Sun bertanya, merasa heran mendengar bahwa murid kedua iblis itu mintakan ampun untuknya.
Tiba-tiba Siang Hwa merangkul leher pemuda yang masih rebah terlentang karena belum dapat bangun itu. Tentu saja Cia Sun terkejut bukan main akan tetapi dia tidak mampu meronta atau mengelak, apalagi memukul. Kedua tangannya ditelikung ke belakang, juga kedua kakinya terikat dan selain itu, kaki tangannya lumpuh oleh totokan.
"Sun-koko, tidak dapatkah engkau menebak? Aku cinta padamu...! Aku cinta padamu, karena itu mati-matian aku mempertahankan nyawamu. Kalau engkau mau membalas cintaku, kita akan hidup bahagia dan menjadi pembantu-pembantu suhu yang amat dipercaya. Ah, koko, marilah kita hidup bahagia bersamaku..."
Siang Hwa mendekatkan mukanya dan siap untuk mencium dengan sikap yang amat memikat. Bau harum semerbak keluar dari rambut dan leher gadis itu, akan tetapi hal ini sama sekali bukan membuat Cia Sun terpikat atau terangsang, sebaliknya mengingatkan dia akan bau harum asap beracun yang membuat dia dan Ci Kang terbius.
"Ci Kang... di mana dia?"
Gadis itu tersenyum manis dan karena mukanya sangat dekat, Cia Sun dapat melihat rongga mulut yang merah, lidah yang meruncing merah dan deretan gigi yang putih bersih. Mulut yang penuh daya pikat, akan tetapi yang mendatangkan rasa jijik dan marah kepadanya karena maklum bahwa di balik kecantikan ini tersembunyi kejahatan yang mengerikan.
"Sun-koko, temanmu itu sudah dibunuh, dan kalau tidak ada aku, engkau tentu dibunuh pula. Karena itu, marilah kita mengecap kebahiagiaan, mari kita menikmati hidup berdua..." Gadis itu kini menunduk dan mencium bibir Cia Sun. Akan tetapi ia terkejut dan mengeluh. "Aihhh...!" Ia merasa betapa bibir itu kaku dan dingin, betapa pemuda itu sama sekali tidak membalas perasaan cintanya, bahkan pemuda itu kini memandang marah.
"Iblis betina, perempuan tak tahu malu, jahanam busuk! Jangan harap aku akan dapat terbujuk olehmu. Bujuk rayumu tiada gunanya dan kalau mau membunuh aku, bunuhlah! Lebih baik seribu kali mati daripada harus tunduk kepada ular betina seperti kamu ini!"
Siang Hwa melepaskan rangkulannya dan memandang dengan alis berkerut. Pandang matanya membayangkan kekecewaan besar. "Sun-koko, pikirlah baik-baik... engkau masih muda, gagah perkasa, haruskah mati konyol begitu saja? Sun-koko, aku cinta padamu dan aku dapat membahagiakanmu..."
"Sudahlah! Sampai mati aku tidak mungkin dapat berbaik dengan iblis-iblis berwajah manusia macam engkau dan Raja Iblis! Kalau aku tidak dijatuhkan dengan kelicikan dan kecurangan, kalau aku bebas, pertama-tama yang akan kulakukan adalah mencekikmu sampai mampus baru kucari kakek dan nenek iblis untuk kubunuh! Jadi tidak perlu engkau membujuk rayu seperti itu. Bunuh saja kalau mau bunuh!"
Tiba-tiba terdengar suara lirih, terdengar dari jauh akan tetapi jelas sekali. "Nah, apa kubilang, Siang Hwa. Becah dari Lembah Naga itu mana mau diajak bekerja sama? Bunuh saja, akan teteipi siksa dulu!"
Itulah suara Ratu Iblis yang agaknya diam-diam mengikuti usaha muridaya untuk membujuk Cia Sun agar suka menjadi pembantu mereka dengan menggunakan kecantikan gadis itu.
"Baik, subo," kata Siang Hwa dengan suara gemas dan kini pandang matanya kepada Cia Sun berobah kelam, "Akan kusiksa mereka, kubikin mereka mati teng-gelam, mati perlahan-lahan!"
Setelah berkata demikian, kedua tangan gadis yang tadi membelai-belai Cia Sun dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, kini mencengkeram pundak pemu-da itu dan menariknya turun dari pemba-ringan, lalu menyeretnya keluar kamar itu. Cia Sun yang tidak berdaya itu melihat bahwa dia diseret keluar dari dalam bangunan induk menuju ke bangunan be-lakang yang berada di tempat yang agak tinggi, akan tetapi setelah gadis itu me-nyeretnya naik dan memasuki bangunan itu, ternyata di dalam bangunan terdapat sebuah anak tangga yang menurun. Ke-mudian, sesampainya di sebuah ruangan sempit, Siang Hwa melepaskan cengke-ramannya dan dengan pengerahan tenaga, ia memutar sebuah roda besi di sudut. Terdengar suara berkerotokan dan dua buah batu besar persegi empat yang ber-ada di atas lantai bergerak terbuka ke kanan kiri, memperlihatkan sebuah lu-bang.
"Nah, mampuslah kau di situ!" kata Siang Hwa sambil menendang tubuh Cia Sun yang tak mampu melawan dan tubuh pemuda itu terlempar masuk ke dalam sebuah kolam atau sumur yang sempit. Dia hanya mengangkat kepala agar tidak sampai terbanting menimpa dasar sumur. Untung bahwa yang menimpa dasar itu adalah pinggulnya lebih dulu.
"Bukk!" Agak nyeri rasanya akan tetapi dia tidak terluka. Kiranya sumur itu tidak sangat dalam, kurang lebih dua meter saja dan kejatuhannya itu disusul dengan menutupnya kembali dua buah batu persegi yang mengeluarkan suara gaduh.
"Ah, kau juga?" Tiba-tiba terdengar suara teguran. Cia Sun terkejut dan menengok. Matanya sudah agak terbiasa dengan keremangan tempat itu dan dia melihat behwa Ci Kang sudah berada di tempat itu pula, duduk di sudut bersandarkan dinding batu! Cia Sun tidak memperdulikan orang ini. Bagaimanapun juga, dia masih merasa mendongkol dan penasaran. Harus diakuinya bahwa rasa bersaing dengan pemuda inilah yang memaksa dia mengikuti Siang Hwa. Andaikata tidak ada perasaan itu, mungkin dia akan menolak ajakan Siang Hwa. Dia bangkit berdiri dan dengan kedua tangannya yang masih ditelikung ke belakang, dia meraba-raba dinding melakukan penyelidikan, dengan kedua kaki yang juga terbelenggu itu mcloncat-loncat.
"Sobat, tiada gunanya kau mencari jalan keluar. Sudah sejak tadi aku menyelidiki dan semua dinding ini terbuat dari besi kuat, dan lantai ini batu-batu gunung. Jalan keluar satu-satunya hanyalah batu penutup lubang di atas itu, akan tetapi sudah kucoba pula dan kuatnya bukan main."
Cia Sun menghentikan usahanya dan duduk di sudut, memandang pemuda di depannya itu. Ci Kang agaknya sudah kehilangan bajunya karena hanya tubuh bagian bawah sajalah yang tertutup celana. Tubuhnya yang kokoh kuat dengan otot yang melingkar-lingkar itu nampak besar menyeramkan. Dia sendiri masih untung, pikir Cia Sun, hanya robek saja bajunya, akan tetapi orang itu malah setengah telanjang!
"Kenapa mereka ingin membunuhmu juga?" akhirnya Ci Kang bertanya. Cia Sun mengerutkan alisnya.
"Karena mereka mangenalku."
"Hemm, kenapa engkau tidak tinggal di atas saja, hidup bahagia dengan perempuan cabul itu dan menjadi pembantu Raja dan Ratu Iblis?" Ci Kang mengejek.
"Aha, agaknya engkaupun telah dibujuk rayu oleh perempuan itu!" Cia Sun mengejek. "Agaknya lebih parah, sampai baju atasmu ditanggalkan. Kenapa engkau tidak memilih hidup enak di sana? Dan kenapa mereka juga ingin membunuhmu?"
"Karena merekapun mengenalku, mengenal keadaanku."
"Mengenal ayahmu?" Cia Sun mendesak.
Ci Kang mengangguk dan tiba-tiba wajahnya menjadi muram. "Mereka... telah membunuh ayahku! Dan untuk itu aku harus hidup, aku harus hidup untuk membuktikan kepada mendiang ayah, bahwa aku bukanlah seperti mereka!" Ci Kang berkata dengan suara gemetar penuh perasaan.
Cia Sun menjadi tertarik. "Sobat, kita senasib. Agaknya nasib yang mempertemukan kita dimulai dari kesalahpahaman. Dan ternyata akulah yang salah. Aku tertipu oleh penjahat-penjahat yang menyamar menjadi pengurus-pengurus kedai itu. Sobat, aku she Cia. Namaku Cia Sun dan ayahku tinggal di Lembah Naga, itulah yang menyebabkan mereka hendak membunuhku. Boleh aku mengetahui siapa ayahmu?"
"Aku she Siangkoan, ayahku... ayahku dikenal sebagai Siangkoan Lo-jin..."
"Ahhh...!" Cia Sun terkejut bukan main sampai memandang dengan mata terbelalak. "Maksudmu... maksudmu... yang dijuluki Iblis Buta...?"
Ci Kang mengangguk dan menarik na-pas panjang. "Benar, ayahku dijuluki Iblis Buta dan memang ayahku buta..."
"Tapi... tapi... bukankah ayahmu memimpin para penjahat, bahkan para datuk Cap-sha-kui juga menjadi sekutunya? Kenapa engkau dimusuhi Raja dan Ratu Iblis?"
"Ayah mereka bunuh karena menen-tang mereka, baru kuketahui tadi setelah aku menolak perempuan hina itu dan menghinanya."
"Hemm, jadi karena ayahmu dibunuh maka engkau memusuhi mereka? Akan tetapi mengapa di kedai arak itu engkau memusuhi pula para penjahat yang menyamar?" Kini tahulah Cia Sun mengapa pe-muda ini mengenal penjahat yang menyamar sedangkan ia sama sekali tidak mengenal mereka. Kiranya pemuda ini adalah putera seorang datuk penjahat!
"Sejak lama aku berpisah dari ayahku karena aku tidak cocok dengan cara hidupnya. Aku menentang kejahatan dan karenanya aku dibenci golongan sesat, akan tetapi golongan bersih juga menghina dan menentangku karena aku putera Siangkoan Lo-jin..."
"Kalau ada pendekar menentangmu karena engkau putera Siongkoan Lo-jin, maka dia itu sembrono, Ci Kang. Orang ditentang karena perbuatannya yang jahat, bukan karena keturunannya!"
Ci Kang mengangkat mukanya. Dalam cuaca remang-remang itu sepasang matanya mencorong ketika memandang wajah Cia Sun penuh selidik. "Orang she Cia, benarkah omonganmu itu? Aku baru saja dikecewakan oleh para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Ketika aku tiba di sana dan dikenal sebagai putera ayah, aku nyaris celaka karena dikeroyok mereka."
"Ah, mereka itu sembrono. Jadi itukah sebabnya mengapa engkau murung dan mengamuk di kedai arak itu ketika engkau melihat bahwa mereka adalah penjahat-penjahat yang menyamar?"
Ci Kang mengangguk dan diam-diam timbul rasa sukanya kepada Cia Sun, walaupun masih ada rasa tidak puas bahwa dia belum mampu mengalahkan pemuda gagah perkasa ini.
Tiba-tiba terdengar suara mengejek, suara ketawa Siang Hwa. "Hi-hi-hik, kalian ini dua orang laki-laki yang tak tahu diri, berlagak alim dan gagah. Rasakan kini pembalasanku. Kalian akan mampus sebagai dua ekor tikus tenggelam, hi-hik!" Dan tiba-tiba terdengar suara air gemercik dan dari atas, dari celah-celah batu yang menutupi lubang itu, turunlah air dengan derasnya!
"Kita harus dapat keluar dari sini!" kata Cia Sun yang segera mencoba untuk mengerahkan tengga agar ikatan kaki tangannya dapat dipatahkan. Akan tetapi totokan pada jalan darah di tubuhnya mesih menguasainya dan dia tidak memiliki tenaga otot terlalu besar untuk dapat melawan kuatnya tali pengikat itu. Ci Kang juga berusaha. Dia sendiripun baru saja dapat membebaskan totokannya karena memang dia lebih dahulu dilempar ke dalam lubang ini setelah dengan mati-matian Siang Hwa mencoba merayunya tanpa hasil! Kini dia mengerahkan tenaga dan putuslah tali yang membelenggu kaki tangannya! Dia lalu bangkit berdiri dan berusaha mendorong batu yang menutupi lubang dengan kedua tangannya. Otot-otot perut, dada, pundak dan kedua lengannya menggembung besar, akan tetapi ternyata batu penutup itu amat kuatnya sehingga semua usahanya untuk membukanya dari bawah sia-sia belaka! Apalagi batu penutup itu terlalu tinggi sehingga dia tidak dapat mengerahkan seluruh tenaga. Andaikata agak rendah, tentu tenaganya akan lebih besar. Sementara itu, dengan cepat air mulai menggenangi lubang itu, dan Cia Sun melihat betapa air telah mencapal setinggi paha dan terus naik dengan cepatnya.
"Ci Kang, cepat kaulepaskan tali pengikat tanganku agar aku dapat membantumu!" kata Cia Sun sambil menoleh kepada Ci Kang yang masih berusaha sekuat tenaga untuk membuka batu penutup lubang.
Akan tetapi Ci Kang tidak menjawab, menengokpun tidak, seolah-olah tidak perduli kepada Cia Sun dan masih terus berusaha menggunakan tenaganya untuk mendorong membuka batu penutup lubang jebakan itu ke atas. Namun, agaknya batu itu terlalu berat baginya dan air terus naik dengan cepatnya. Dua pendekar muda itu terancam maut dan keadaan mereka amat gawat!
Seperti telah kita ketahui, sudah beberapa pekan lamanya Raja dan Ratu Iblis berada di daerah utara. Daerah ini sama sekali bukan merupakan daerah asing bagi mereka. Sama sekali tidak. Bahkan ketika Raja Iblis masih menjadi Pangeran Toan Jit-ong, dalam pelariannya dari kota raja, dia bersembunyi di utara. Gedung itu adalah sebuah istana kuno yang dahulu dipergunakan kaisar untuk melepaskan lelah dan bermalam jika mengadakan perjalanan ke utara, yang amat jarang terjadi. Dan kaisar yang masih ingat akan pertalian kekeluargaan dengan Pangeran Toan Jit-ong, diam-diam mengutus orang untuk menyerahkan istana kuno itu kepada Pangeran Toan Jit-ong. Make pangeran pelarian itupun tinggal di dalam istana tua itu. Istana itu selain kokoh kuat juga mempunyai beberapa tempat untuk tahanan, karena para pengawal kaisar selalu siap dengan mereka yang menentang kaisar, mata-mata musuh ataupun pengacau-pengacau. Tempat-tempat ini oleh Pangeran Toan Jit-ong diperbaiki dan disempurnakan menjadi tempat-tempat jebakan yang berbahaya.
Ketika dia meninggalkan kota raja sebagai buronan, Toan Jit-ong sudah berusia tiga puluh tahun lebih, memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Dan ketika dia merantau ke utara dan tinggal di dalam istana kuno itu, dia memperdalam ilmu-ilmunya dengan menghubungi pertapa-pertapa dan orang-orang pandai. Pintar sekali pangeran ini mengambil hati orang-orang pandai sehingga dia berhasil mengumpulkan ilmu-ilmu kesaktian yang aneh-aneh. Di dalam perantauan inilah dia bertemu dengan seorang gadis puteri seorang pertapa di Pegunungan Go-bi-san, gadis Thio yang kini menjadi Ratu Iblis. Gadis itu selain cantik juga memiliki kepandaian tinggi dan setelah mereka menjadi suami isteri, mereka lalu mengadakan perjalanan ke seluruh negeri. Dengan kepandaian mereka yang tinggi, mereka mencoba dan menandingi semua datuk sesat dan tak seorangpun di antara para datuk itu ada yang mampu mengalahkannya!
Nama Raja dan Ratu Iblis, demikian mereka dijuluki oleh para datuk sesat, menjadi amat terkenal dan ditakuti di kalangan kaum sesat. Akan tetapi, pangeran ini tinggi hati dan tidak mau merendahkan dirinya untuk bergaul dengan kaum sesat walaupun dia membenci pemerintah dan kaum pendekar pula. Dia dan isterinya hidup terasing, hanya bertapa dan memperdalam ilmu kepandaian mereka di dalam perantauan mereka sampai jauh ke barat.
Dalam usia setengah tua, Raja dan Ratu Iblis baru kembali ke istana di utara itu dan tinggal di situ. Mungkin karena kini merasakan ketenteraman hati setelah tidak merantau lagi, Ratu Iblis yang setengah tua itu mengandung! Hal ini menggirangkan hati Raja Iblis yang kini hidup seperti raja kecil di tempat sunyi, dilayani belasan orang taklukan yang juga rata-rata berkepandaian tinggi. Akan tetapi dasar watak Pangeran Toan Jit-ong aneh dan jahat seperti iblis, bahkan mendekati kegilaan, dia mengatakan kepada isterinya bahwa dia ingin anak laki-laki.
"Awas kalau engkau melahirkan anak perempuan," katanya mengancam, "akan kubunuh anak itu, atau kalau tidak, akan kuambil ia sebagai selirku!"
Biarpun ia sendiri sudah biasa melakukan hal-hal yang menyeramkan dan juga memiliki dasar watak yang liar dan jahat, akan tetapi hati wanita itu khawatir sekali mendengar ucapan suaminya. Dan ia tahu betul bahwa suaminya itu bukan hanya mengancam kosong belaka, akan tetapi tentu akan melaksanakan apa yang diancamkannya. Kalau ia gagal melahirkan seorang putera, kalau yang terlahir itu seorang anak perempuan, tentu akan dibunuh suaminya atau lebih menyakitkan hati lagi, kelak akan menjadi selir suaminya!
Akan tetapi Ratu Iblis bukan seorang bodoh. Sebaliknya, ia cerdik sekali dan dalam keadaan terancam itu, jauh hari sebelumnya ia sudah mengatur siasat dan merencanakan penyelamatan bayinya andaikata bayinya itu lahir perempuan. Ia telah memperoleh seorang pembantu yang akan melaksanakan segala rencananya itu andaikata bayinya terlahir perempuan.
Saat yang dinanti-nantikan itupun tibalah. Dan untung bagi Ratu Iblis, kelahiran itu terjadi tengah malam sehingga amat memudahkan pelaksanaan siasatnya. Siasat yang amat keji karena pembantunya itu telah menyingkirkan bayinya yang ternyata terlahir perempuan dan menaruhkan seorang bayi lain, juga bayi perempuan yang diperolehnya dari dalam dusun yang berdekatan. Menculik bayi itu dan menukarnya dengan bayi yang baru dilahirkan oleh Ratu Iblis! Dan ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Raja Iblis datang menjenguk, dia hanya mendapatkan seorang bayi perempuan yang sudah mati!
"Ia lahir perempuan dan... mati?" ta-nyanya.
"Ya, aku membunuhnya. Lebih baik mati di tanganku daripada di tanganmu," jawab Ratu Iblis sederhana.
Beberapa hari kemudian, setelah Ratu Iblis pulih kembali kesehatannya, secara aneh pembantu itupun tewas pada suatu malam. Tentu saja yang membunuhnya a-dalah Ratu Iblis yang merasa khawatir kalau-kalau rahasianya terbongkar. Setelah ia menyelidiki di mana adanya anak yang ditukarkan itu, ia lalu membunuh si pembantu sehingga rahasia itu hanya di-ketahui oleh dirinya sendiri saja.
Demikian besarlah "aku"nya Ratu I-blis yang selalu mementingkan diri sen-diri saja. Demi menyelamatkan nyawa bayinya, ia tidak segan-segan untuk mem-bunuh lain bayi secara kejam sekali! A-kan tetapi, penyakit seperti yang men-cengkeram batin Ratu Iblis inipun agak-nya diderita oleh kita semua pada umumnya. Keakuan yang amat kuat menceng-keram batin kita masing-masing sehingga demi kepentingan sang aku, kita tidak segan-segan melakukan apa saja, kalau perlu merugikan orang lain. Kalau orang dengan mati-matian, dengan memperta-ruhkan nyawa, membela negara, agama, keluarga atau harta dan apapun juga, maka yang dibela dan dipentingkan itu se-sungguhnya adalah aku-nya. Negara-Ku yang kubela, agama-Ku yang kubela, keluarga-Ku, harta-Ku dan selanjutnya. Bu-kan negara yang penting, bukan agama-nya dan sebagainya, melainkan AKU-nya. Negara orang lain? Masa bodoh kalau mau dijajah orang lain! Masa bodoh kalau mau dihina, asal jangan agama-Ku. Demikian selanjutnya, yang menunjukkan bahwa semua itu hanyalah merupakan perluasan daripada si aku belaka. Si aku yang penting. Milikku!
Demikian pula dengan Ratu Iblis itu. Ia melindungi bayi, bukan bayi pada umumnya, melainkan bayi-NYA, dengan cara membunuh bayi lain! Demikian pula ter-jadi di seluruh dunia. Untuk membela a-gama-NYA, orang rela menyerang agama lain. Untuk membela bangsa-NYA, orang rela membunuhi bangsa lain. Untuk membela keluarga-NYA, orang rela menghan-curkan keluarga lain.
Akan tetapi, setelah isterinya mela-hirkan seorang anak perempuan yang di-bunuhnya sendiri, Raja Iblis menjadi se-makin menggila. Dia ingin sekali mem-peroleh keturunan terutama seorang pu-tera.
"Kalau kelak aku menjadi kaisar, lalu siapa yang akan menggantikan aku? Aku tidak rela kalau digantikan oleh orang lain!" Mulailah dia mengambil selir-selir, bahkan Siang Hwa yang menjadi murid-nya juga tidak terlepas dari gangguannya, dengan harapan agar dia dapat memper-oleh keturunan, terutama keturunan laki-laki dari para selirnya itu. Akan tetapi, Ratu Iblis yang merasa betapa kedudukannya sebagai "permaisuri" akan terancam kalau ada selir yang melahirkan seorang anak laki-laki, diam-diam mengancam mereka agar mereka itu suka makan ramu-an obat yang dibuatnya khusus untuk mencegah kehamilan, dengan ancaman akan membunuh mereka kalau tidak me-nurut. Juga Siang Hwa diancam dan di-paksa minum obat itu. Sebagai balas ja-sa, juga sebagai penyimpan rahasia ini, Siang Hwa selalu dilindungi oleh Ratu I-blis, bahkan dilindungi dan diperbolehkan pula murid itu berbuat cabul dengan pria mana saja yang disukainya.
Seperti telah kita ketahui, Siang Hwa gagal membujuk Lui Siong Tek, koman-dan kota Ceng-tek sehingga ia membunuh komandan itu dan melarikan dokumen penting mengenai keadaan benteng Ceng-tek. Ia melarikan diri menemui gurunya dan sementara itu pasukan Ji-ciangkun yang dibantu oleh para tokoh sesat telah berhasil menguasai benteng San-hai-koan. Siang Hwa melaporkan peristiwa di Ceng-tek dan Raja Iblis girang mendengar bahwa komandan kota Ceng-tek yang setia terhadap pemerintah itu telah tewas. Siang Hwa lalu diberi tugas untuk mela-kukan penyelidikan tentang berita bahwa para pendekar hendak mengadakan perte-muan di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Gadis yang cerdik ini lalu memasang banyak pembantunya untuk menjadi mata-mata, di antara mereka adalah enam orang yang membuka kedai arak itu. Dan ketika muncul Cia Sun dan Ci Kang yang lihai, hati Siang Hwa menjadi tertarik sekali. Dengan cepat gadis ini dapat menyelidiki siapa adanya dua orang muda yang tampan dan gagah perkasa itu. Terkejut-lah ia mendengar bahwa mereka itu adalah putera penghuni Lembah Naga dan putera mendiang Iblis Buta. Timbul niatnya untuk menaklukkan dua orang pemuda itu agar suka menjadi pembantu-pembantu gurunya, dan terutama sekali tentu saja, menarik dua orang pemuda itu menjadi kekasihnya! Diaturlah siasat yang amat kejam, mengorbankan penghuni dusun yang dirampok dan dibunuh, hanya untuk membuat dua orang itu mudah percaya kepa-danya. Dan akhirnya iapun berhasil menjebak Cia Sun dan Ci Kang sehingga dua orang muda itu terperangkap dan karena mereka berdua menolak bujuk rayu Siang Hwa, kini gadis itu mencari kesenangan dengan jalan menghukum dan menyiksa mereka berdua sampai mati. Ia merasa yakin bahwa kedua orang pemuda itu su-dah pasti akan menemui kematian seperti dua ekor tikus yang tenggelam karena ia tahu bahwa tidak mudah membuka batu-batu penutup lubang yang digerakkan dengan alat rahasia, tidak mungkin pula membobol dinding yang terbuat dari besi yang melapisi batu gunung!
Dan, direbutnya San-hai-koan juga mengharuskan Raja dan Ratu Iblis, bersama murid mereka itu untuk cepat-cepat memasuki San-hai-koan dan menyusun kekuatan di benteng pertama yang berhasil direbut itu. Oleh karena itu, yakin bahwa dua orang muda itu tentu akan tewas tenggelam dalam lubang yang dialiri air, kakek dan nenek itu bersama Siang Hwa lalu bergegas pergi meninggalkan istana kuno itu yang hanya disuruh jaga beberapa orang anak buah. Mereka pergi menuju ke San-hai-koan.
Ada kekuasaan rahasia yang mujijat, yang mengatur segala sesuatu di alam mayapada ini. Kekuasaan mutlak yang tak dapat dilawan oleh siapa atau oleh apapun juga. Kekuasaan tertinggi yang meliputi seluruh jagat raya. Kekuasaan ini tidak dapat dipercaya atau tidak dipercaya lagi, karena terjadi dan dapat kita dengar, cium, lihat, dan rasakan sendiri, menjadi kenyataan yang terjadi di sekeliling kita, bahkan di dalam diri kita. Kekuasaan yang mengatur arah angin, mengatur alam semesta, perederan bintang-bintang, kekuasaan yang memberi kehidupan di angkasa, di atas bumi, di dalam air, dari makhluk-makhluk hidup bergerak yang paling kecil tak dapat dilihat mata sampai kepada makhluk yang paling besar. Kekuasaan yang menciptakan ketertiban dalam kehidupan di bagian tanah paling dalam, di dasar laut yang paling dalam, ataupun di angkasa yang paling tinggi. Kekuasaan yang membuat jantung kita berdenyut di luar kemampuan kita untuk mengaturnya, kekuasaan yang membuat kuku dan setiap helai rambut bartumbuh di luar kekuasaan kita untuk mengaturnya, kekuasaan yang menciptakan kelahiran dan kematian!
Satu di antara hal-hal yang tidak dapat dikuasai oleh kita adalah kematian. Kalau memang sudah tiba saatnya, ke manapun juga kita bersembunyi, maut tentu akan datang menjemput. Sebaliknya, kalau memang belum semestinya kita mati, seribu ancaman mautpun akan luput. Siapapun adanya Dia yang mengatur semua itu, disebut dengan apapun juga menurut istilah dan kebiasaan dari bangsa, bahasa, dan agama masing-masing, namun kita manusia tidak mungkin dapat menyangkal akan adanya kenyataan itu, bahwa kekuasaan rahasia yang mujihat itu memang ada terjadi di sekitar kita, di alam dan bahkan di dalam diri kita sendiri. Pikiran kita terlalu dangkal untuk dapat menyelidiki tentang ada atau tidaknya Pengatur itu yang terlalu agung dan tinggi bagi kita, namun, pikiran dan tubuh kita dengan jelas dapat melihat adanya kenyataan akan kekuasaan yang mujijat itu. Di sini tidak ada masalah percaya atau tidak percaya, karena kita dapat melihatnya, merasakannya, segalanya terjadi pada diri kita sendiri masing-masing.
Agaknya memang belum tiba saatnya bagi Cia Sun dan Ci Kang untuk mati sebagai dua ekor tikus yang tenggelam. Dua kali sudah Cia Sun yang masih terbelenggu itu minta kepada Ci Kang untuk melepaskan belenggunya.
"Bantulah aku melepaskan diri, Ci Kang, agar aku depat membantumu membongkar penutup lubang itu!" untuk ketiga kalinya Cia Sun berseru setelah air sudah mencapai dada.
"Hemm, melepaskan diri dari belenggu sendiri saja tidak mampu, apa artinya bantuanmu mendorong batu ini?" Ci Kang berkata dengan pandang mata merendahkan dan hatinya menjadi semakin penasaran. Dia belum dapat mengalahkan pemuda yang begini lemah, yang tidak mampu membikin putus belenggu macam itu saja!
Cia Sun menjadi tidak sabar lagi. Pemuda itu sungguh terlalu memandang rendah dirinya.
"Ci Kang, apakah kau sudah siap mati seperti tikus tenggelam?" bentaknya. "kalau kau tidak mau melepaskan belengguku, tolong kaubebaskan totokanku. Jangan dikira aku tidak mampu membebaskan diri kalau pengaruh totokan sudah punah. Kau lebih banyak mempunyai waktu untuk membebaskan totokanmu daripada aku, maka jangan kau tekebur dan sombong!"
Ci Kang menoleh dan baru dia teringat bahwa adanya Cia Sun tidak mampu melepaskan belenggu itu adalah karena jalan darahnya tertotok. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu menghampiri Cia Sun dan menotok kedua pundak pemuda itu. Cia Sun memperoleh lagi tenaga sin-kangnya setelah jalan darahnya lancar.
"Mari kita cepat menyatukan tenaga!" katanya karena air sudah mencapal leher. Sentar lagi mereka akan mati tenggelam kalau tidak cepat memperoleh jalan keluar.
"Mari!" kata Ci Kang dan mereka berdua kini berdiri dengan kaki kokoh kuat di atas lantai dan dua lengan mereka menyangga batu penutup lubang, lalu mereka mengerahkan sin-kang sekuat tenaga untuk mendorong batu ke atas. Hebat bukan main tenaga kedua orang pemuda itu. Batu itu bukan hanya amat berat, akan tetapi juga diikat rantai baja yang dihubungkan dengan alat rahasia yang menggerakkannya. Akan tetapi kekuatan kedua orang muda itu membuat batu itu mulai bergerak terangkat! Akan tetapi, ketika batu itu terangkat sedikit, air yang masuk dari celah-celah batu semakin banyak sehingga sebentar saja air sudah sampai ke mulut mereka! Mereka mengerahkan seluruh tenaga terakhir.
"Brakkkk...!" Bukan batu di atas itu yang terangkat, melainkan lantai yang menjadi landasan kaki mereka yang tentu tertekan dengan hebatnya ke bawah, kini jebol ke bawah! Dan kedua orang muda itu terjatuh ke dalam lubang baru yang timbul karena jebolnya lantai yang mereka injak, terbawa bersama air yang membanjir ke bawah. Cepat mereka mengerahkan gin-kang dan menyalurkan tenaga ke kulit mereka melindungi diri. Mereka terjatuh dan terbanting ke atas batu lantai yang jebol tadi, dan kalau bukan mereka berdua yang memiliki kekebalan dan ilmu yang tinggi, tentu setidaknya akan menderita patah tulang atau babak belur. Mereka cepat berloncatan dan menjauhi air yang masih terjun ke bawah itu. Dengan tubuh basah kuyup keduanya kini berdiri di dalam ruangan yang amat luas itu, siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka saling pandang dan tidaklah mengherankan kalau ada rasa haru di lubuk hati mereka. Terharu karena baru saja mereka terlepas dari cengkeraman maut. Air tadi sudah mencapai mulut dan terlambat satu menit lagi saja mereka akan tewas.
"Siangkoan Ci Kang, kita masih hidup?" seru Cia Sun.
Ci Kang mengangguk. Kalau dia tadi tidak cepat-cepat membebaskan totokan pada tubuh Cia Sun, belum tentu sekarang mereka masih hidup. "Cia Sun, engkau hebat!" Dia memuji karena bagaimanapun juga, tanpa bantuan tenaga Cia Sun, tak mungkin lantai itu dapat jebol.
"Sudahlah, tak perlu saling puji. Mari kita selidiki tempat ini!" kata Cia Sun sambil memeras air dari rambut dan bajunya. Mereka lalu menjauhi tempat yang jebol bagian atasnya itu dan tempat itu merupakan ruangan batu yang luas sekali.
"Ssttt... lihat...!" Tiba-tiba Ci Kang berbisik. Cia Sun cepat membalikkan tubuhnya dan matanya terbelalak. Tak jauh dari situ dia melihat orang yang melihat pakaian dan tata rambutnya adalah seorang tosu, duduk bersila di atas sebuah batu datar tinggi yang mepet pada dinding batu. Dilihat dari tempat mereka, tosu yang nampak dari sisi itu berambut panjang, sudah putih semua, pakaiannya juga serba putih dan dia memegang sebuah kebutan berbulu putih pula.
Tentu saja dua orang muda itu siap siaga karena di tempat seperti ini, mereka dapat menduga bahwa tentu tosu itupun merupakan sekutu dari Raja Iblis dan merupakan lawan yang amat berbahaya. Dengan hati-hati keduanya lalu melangkah menghampiri batu datar itu dan ketika mereka tiba di depan tosu itu, mereka memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan. Kiranya tosu itu telah menjadi tulang-tulang manusia yang masih duduk bersila, masih berpakaian lengkap! Mukanya merupakan tengkorak yang menyeramkan, juga kedua tangan yang terjulur keluar dari lengan baju itu merupakan tulang-tulang rangka yang panjang-panjang dengan kuku panjang pula. Akan tetapi rambut putih panjang itu masih utuh, demikian pula pakaian putih dan kebutan berbulu putih! Menyeramkan sekali keadaan kerangka manusia berpakaian lengkap itu.
"Ah, hanya kerangka..." kata Cia Sun dan suaranya hanya bisikan yang agak gemetar karena dia masih dipengaruhi rasa kaget dan heran, juga serem.
"Ssst, lihat...!" Ci Kang berbisik dan suaranya juga gemetar. Keduanya terbelalak dengan muka berobah agak pucat ketika melihat betapa tiba-tiba saja kebutan berbulu putih itu bergerak-gerak ke atas! Ini tandanya bahwa kerangka itu masih hidup dan dapat menggerakkan kebutan! Bukan itu saja, bahkan tiba-tiba terdengar suara keluar dari dalam tengkorak itu, suara yang melengking tinggi dan terdengar menyeramkan penuh wibawa, bergema di seluruh ruangan luas itu.
"Kalian ini orang-orang lancang dari mana berani mati memasuki dan mengotori tempat ini?"
Cia Sun dan Ci Kang yang terkejut setengah mati itu sejenak saling pandang dengan muka masih pucat. Mereka sungguh hampir tidak dapat percaya kepada telinga sendiri. Jelaslah bahwa kerangka manusia itu bukan topeng, melainkan kerangka yang benar-benar terbungkus pakaian. Akan tetapi kenapa kerangka itu dapat menggerakkan kebutan dan dapat mengeluarkan suara seperti masih hidup?
Karena suara ini jelas adalah suara wanita, mereka lalu menduga bahwa pendeta yang sudah menjadi kerangka ini dahulunya adalah seorang pendeta wanita. Maka Cia Sun segera menjura dengan sikap hormat. "Harap locianpwe sudi me-maafkan karena tanpa sengaja kami ber-dua telah memasuki tempat ini..."
"Tiada maaf! Cepat kalian pergi dari sini, kalau tidak akan kucabut nyawa ka-lian!" kerangka itu memotong dan suara-nya terdengar galak sekali.
"Heeii!" Tiba-tiba Ci Kang berseru sambil menudingkan telunjuknya ke arah kerangka itu. "Lihat, mulutnya tidak bergerak dan kebutan itu gagangnya tidak dipegang oleh tangannya!" Setelah berka-ta demikian, dengan cekatan Ci Kang melompat naik melalui lantai tangga yang menuju ke atas batu datar tinggi di ma-na tengkorak berpakaian itu duduk. Kira-nya selagi Cia Sun tadi bicara kepada kerangka itu, diam-diam Ci Kang memper-hatikan dan pandang matanya yang tajam melihat kejanggalan-kejanggalan itu yang membuatnya berteriak dan cepat melon-cat ke atas untuk mendekati kerangka i-tu. Pada saat itu, dari belakang kerangka itu berkelebatan bayangan putih yang melesat dengan cepatnya sehingga sukar bagi pandang mata untuk mengikutinya. Akan tetapi Cia Sun dan Ci Kang adalah dua orang muda yang terlatih sejak kecil, dengan pandang mata mereka yang terlatih, mereka dapat melihat bahwa yang berke-lebat dari belakang kerangka itu adalah seorang gadis muda yang gerakannya lin-cah bukan main. Mereka teringat akan Siang Hwa yang telah memperdayakan mereka, maka dengan marah mereka lalu mengejar dengan gerakan yang tidak ka-lah cepatnya.
Gadis yang berpakaian serba putih itu menyelinap ke sudut ruangan yang luas itu, bersembunyi di balik batu yang me-nonjol. Ketika dia melihat betapa dua orang pemuda itu melakukan pengejaran dengan gerakan yang cepat, ia lalu me-ngeluarkan teriakan nyaring. "Laki-laki kurang ajar dan tidak sopan, jangan de-kati aku!"
Tentu saja Cia Sun dan Ci Kang tidak takut oleh gertakan ini. Mereka menduga bahwa wanita itu Siang Hwa, maka dengan marah mereka mengejar terus hendak menghadapi wanita jahat yang mencelakakan mereka itu. Akan tetapi, begitu mereka tiba di situ, gadis itu meloncat keluar dari balik batu menonjol dan sinar putih yang amat cepat menyambar ke arah leher Cia Sun dan Ci Kang. Dua orang pemuda itu terkejut bukan main. Serangan ini sungguh amat cepat dan tidak terduga sehingga nyaris leher mereka kena totokan ujung kebutan putih yang bertubi-tubi menyerang ke arah leher mereka bergantian. Untung keduanya cepat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan ketika mereka turun lagi ke atas lantai, mereka berhadapan dengan seorang gadis yang sama sekali bukan Siang Hwa!
Dara itu bertubuh kecil ramping, wajahnya agak pucat seperti wajah orang yang kurang memperoleh sinar matahari, akan tetapi sepasang mata itu amat tajam mencorong seperti mata seekor harimau, agaknya mata yang terlatih dalam gelap. Rambutnya hitam panjang digelung sederhana, wajahnya manis sekali, terutama mulutnya yang kecil dengan bibir yang kelihatan amat merah dengan latar belakang kulit mukanya yang putih agak pucat. Pakaiannya putih bersih namun potongannya sederhana, seperti pakaian pertapa saja, juga bulu kebutan yang dipegangnya putih bersih, seperti kebutan yang berada di pangkuan kerangka berpakaian itu. Melihat wajah yang manis itu, agaknya dara ini paling banyak delapan belas tahun usianya, masih amat muda dan bahkan sikapnya masih kekanak-kanakan ketika ia berdiri menghadapi dua orang pemuda itu dengan mata terbelalak, marah dan juga takut atau ngeri melihat tubuh Ci Kang yang telanjang dada itu, suatu penglihatan yang belum pernah dialaminya sebelumnya. Ia tidak berani memandang dada itu lama-lama dan menundukkan muka, akan tetapi sepasang matanya mengerling penuh kewaspadaan, memperhatikan gerak-gerik dua orang pemuda itu.
Ci Kang dan Cia Sun berdiri memandang, sejenak seperti kehilangan akal karena mereka sungguh tidak mengira bahwa wanita itu bukan Siang Hwa, melainkan seorang gadis muda yang sama sekali tidak mereka kenal. Akan tetapi, karena gadis ini berada di tempat yang mereka anggap sebagai sarang dari Raja Iblis, tentu saja merekapun menaruh curiga kepada gadis ini. Apalagi setelah mereka mengalami malapetaka dan nyaris tewas akibat seorang gadis cantik pula. Dan gadis inipun tadi menyerang mereka dengan amat hebatnya, serangan maut yang kalau tidak cepat mereka elakkan, mungkin dapat membunuh mereka.
Betapapun juga, karena yang mereka hadapi hanya seorang gadis remaja yang kini nampak bingung dan ketakutan seperti seekor harimau yang terkurung, dua orang pemuda itu sendiripun tidak tahu harus berbuat apa. Tentu saja mereka tidak sudi menyeran gadis yang tidak mereka kenal ini.
"Nona, kenapa engkau menakut-nakuti kami kemudian menyerang kami dengan kebutanmu itu?" tanya Cia Sun.
"Karena demikian pesan ibuku..." jawab gadis itu, suaranya mardu akan tetapi agak kaku seperti orang yang jarang sekali bicara.
"Pesan ibumu? Untuk membunuh kami?"
"Ya, kalian atau siapa saja yang berani masuk ke sini, terutama laki-laki. Aku... aku tadi tidak tega untuk menyerang kalian, maka hendak mengusir kalian dengan menakut-nakuti, akan tetapi kalian tidak takut..."
Cia Sun dan Ci Kang saling pandang. Mereka mengerutken alis. Gadis ini masih seperti anak-anak saja. Akan tetapi bagaimanapun juga, ketika mengatakan bahwa ia tidak tega menyerang mereka, menunjukkan bahwa gadis ini tidaklah sejahat Siang Hwa.
"Siapakah ibumu, nona?"
"Ibuku... ya, ibuku, satu-satunya orang yang baik kepadaku, yang kadang-kadang mengunjungi dan yang melatih ilmu silat, mengajarku membaca dan menulis. Sayang, ibu kini hanya jarang saja dapat mengunjungiku..."
"Akan tetapi, kenapa engkau berada di tempat ini? Dan bagaimana dapat keluar dari sini?" Cia Sun mendesak.
"Aku berada di sini sejak kecil, aku sudah lupa lagi berapa lamanya... sejak kecil, dan yang menemani aku hanya ke-rangka itu... dan ibu yang kadang-kadeng datang menjengukku."
"Engkau tidak pernah keluar dari sini?" tanya Ci Kang yang juga terheran-heran.
Gadis itu menggeleng kepala. "Tidak diperkenankan ibu. Katanya, kalau aku keluar, aku tentu akan dibunuh orang. Aku hanya dapat mandi cahaya matahari selama beberapa jam saja setiap hari ketika sinar matahari memasuki ruangan belakang melalui sebuah lubang."
"Bagaimana engkau makan? Minum? Dan mandi atau mencuci pakaian?" Cia Sun bertanya, merasa heran dan kasihan.
"Aku masak sendiri, bahan makanan diberi ibu, banyak sekali." Gadis itu lalu berjalan perlahan, diikuti dua orang pe-muda itu. Ia memperlihatkan tumpukan bahan makanan di sebuah ruangan lain dan juga adanya sebuah sumber air. Ada beras, ada daging kering dan bumbu-bumbunya. Cukup untuk makan berbulan-bulan.
"Akan tetapi, kenapa engkau dikurung di sini? Siapa yang akan membunuhmu kalau kau keluar?"
"Entahlah, ibu hanya bilang bahwa a-ku tidak boleh bertemu dengan laki-laki. Kalau ada laki-laki masuk ke sini, aku harus membunuhnya. Akan tetapi aku tidak suka membunuh, dan aku sekarang merasa girang sekali dapat bertemu dan bercakap-cakap denganmu..." Gadis itu memandang wajah Cia Sun dengan mata bersinar-sinar. "Aku girang tadi tidak sampai membunuhmu!"
"Hemm, jangan dikira mudah membu-nuh dia atau aku, nona," kata Ci Kang.
"Aku tentu dapat kelau aku mau!" gadis itu berkata. "Kebutanku ini lihai se-kali, bahkan ibu sendiri bilang kebutanku akan sukar dilawan olehnya. Lihat...!" Gadis itu menggerakkan kebutannya.
"Tar-tar...!" Ujung batu di langit-langit ruangan itu terkena sambaran ujung kebutan dan hancur menjadi debu! Diam-diam dua orang pemuda itu kaget dan kagum. Gadis ini tidak main-main dan ilmu mempergunakan kebutan itu lihai dan berbahaya sekali.
"Siapa yang mengajarmu mainkan kebutan selihai itu?" Cia Sun bertanya. Kalau sampai ibu gadis itu sendiri yang katanya mengajarnya silat menyatakan tidak sanggup menandingi kebutan itu, berarti tentu bukan ibu gadis itu yang membimbingnya dalam ilmu menggunakan kebutan itu.
"Guruku dalam ilmu kebutan adalah dia!" Gadis itu menuding ke arah kerangka manusia berpakaian tosu itu. Dua orang pemuda itu terkejut dan kini mereka semua kembali, menghampirl kerangka yang masih duduk bersila. Kini mereka berdua dapat membayangkan betapa lihainya orang ini dahulu ketika masih hidup. Jelas bahwa orang itu mati dalam keadaan bersamadhi. Dan hebatnya, biarpun seluruh kulit dan dagingnya telah habis dimakan waktu dan hanya tinggal kerangkanya saja, akan ketapi kerangka itu tetap dalam keadaan duduk bersila dan tidak runtuh.
"Siapakah locianpwe ini...?" tanya Ci Kang dengan hati kagum.
"Dia adalah kakek guruku, dia adalah guru terakhir dari ibu dan ayahku." Gadis itu menjawab tanpa ragu-ragu dan dengan suara mengandung kebanggaan. Agaknya dara itu merasa bangga sekali kepada kerangka itu yang selain menjadi kakek gurunya, juga menjadi temannya hidup di dalam guha bawah tanah ini.
"Akan tetapi dia... mana bisa mengajarmu? Dia sudah mati lama sekali," kata Cia Sun.
Gadis itu tertawa dan wajahnya yang agak pucat itu nampak manis bukan main. Sepasang matanya memandang wajah Cia Sun dan berseri-seri. Agaknya ia dapat mendengar atau merasakan betapa di dalam suara pemuda itu terkandung perasaan iba dan kagum dan hal ini amat manyenangkan hatinya.
"Tentu saja tidak secara langsung. Dia sudah menjadi kerangka ketika aku dibawa ke sini untuk pertama kalinya. Akan tetapi atas petunjuk ibuku, aku mempelajari catatan-catatan dan gambar-gambar yang terukir di atas batu yang berada di belakangnya. Ilmu itu, kata ibu merupakan ilmu rahasia yang tidak pernah diajarkan kepada siapapun, juga tidak kepada ibu, sehingga kini menjadi milikku sendiri."
Dua orang pemuda itu kint dapat menduga bahwa gadis ini bukan orang jahat, dan agaknya tidak ada hubungannya dengan Raja Iblis, Ratu Iblis, maupun Siang Hwa. Akan tetapi Ci Kang masih belum puas.
"Apakah engkau mengenal seorang gadis bernama Siang Hwa?" tanyanya sam-bil memandang wajah dara remaja itu. Yang ditanya mengerutkan alisnya seperti orang mengingat-ingat, lalu menggeleng kepala.
"Tentu engkau mengenal Raja Iblis atau Ratu Iblis!" Ci Kang menyambung tiba-tiba dan pandang matanya penuh selidik mengamati wajah cantik manis itu. Akan tetapi gadis itu kelihatan geli dan menggeleng kepalanya lagi.
"Kaukira aku ini siapakah mengenal segala iblis? Aku hanya mengenal iblis dan setan dalam dongeng-dongeng ibuku atau cerita-cerita dalam buku-buku yang ditinggalkan ibu untukku."
Cia Sun dan Ci Kang saling pandang, kini yakin bahwa gadis ini memang tidak ada sangkut-pautnya dengan keluarga iblis itu.
"Siapakah nama ibumu dan ayahmu, nona?" Cia Sun bertanya, sikapnya halus dan sopan walaupun dia dapat menduga bahwa gadis ini sejak kecil tidak pernah bergaul dengan manusia lain.
Gadis itu memandang Cia Sun dan seperti tadi, wajahnya berseri dan jelas nampak dari pandang matanya bahwa ia suka dan kagum kepada pemuda itu. Lalu ia menggeleng kepala. "Aku tidak tahu, aku tidak pernah jumpa dengan ayah, dan ibuku tidak pernah memberitahukan nama. Tapi aku... aku benci ayah!"
Cia Sun mengerutkan alisnya. Seorang gadis yang begini manis dan yang keadaannya amat aneh, menarik perhatian dan rasa ibanya, tidak layak kalau mengeluarkan kata-kata keji seperti itu, kata-kata yang hanya patut keluar dari mulut seorang anak durhaka.
"Nona, tidak baik membenci ayah sendiri." dia menegur.
Mendengar nada suara teguran ini, dan melihat betapa pandang mata Cia Sun sedemikian marah dan tidak senang, tiba-tiba saja gadis itu menutupi muka dengan kedua tangan dan menangis! Tentu saja Cia Sun dan Ci Kang menjadi heran dan tidak tahu harus berbuat apa. Cia Sun yang merasa bersalah telah menegur orang padahal urusan pribadi nona itu sa-ma sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan dia, segera maju dan berkata dengan suara menyesal, "Maafkan aku, no-na. Bukan maksudku untuk menegurmu dan menyinggung hatimu, akan tetapi aku tadi hanya merasa heran begaimana seorang gadis seperti engkau ini dapat membenci ayah sendiri. Kenapa engkau membencinya? Kalau sampai engkau memben-cinya, tentu dia seorang ayah yang tidak baik!"
Gadis itu menurunkan kedua tangan-nya dan sejenak Cia Sun terpesona. setelah menangis, ada warna merah pada kedua pipi gadis itu dan kini ia nampak cantik manis sekali, amat menarik hati! Gadis itu mengusap air mata dari kedua pipinya dengan ujung lengan baju, kemu-dian memandang Cia Sun.
"Dia... dia mau membunuhku!"
"Apa...?" Cia Sun benar-benar terkejut mendengar ini. "Kenapa?"
"Aku tidak tahu. Aku tidak pernah berjumpa dengan dia, akan tetapi ibu mene-kankan kepadaku bahwa aku tidak boleh bertemu dengan orang lain, terutama dengan laki-laki dan lebih-lebih lagi dengan ayahku karena ayahku pasti akan membu-nuhku kalau bertemu denganku. Karena itulah maka aku dikurung di sini."
Hati Cia Sun tertarik sekali. Ayah dan ibu gadis ini sungguh merupakan ma-nusia-manusia aneh. Ibu gadis ini barang-kali gila, ataukah ayahnya yang gila? Ataukah gadis ini sendiri yang miring o-taknya?
"Engkau tidak tahu siapa nama ayah-mu atau ibumu?"
Gadis itu menggeleng kepalanya.
"Dan namamu sendiri? Siapakah namamu?"
"Ibu memanggil aku Hui Cu."
"She-mu...?"
"Apa itu she?"
"Nama keluargamu? Siapakah nama keluarga ayahmu?"
"Aku tidak tahu, tahuku hanya bahwa ibu memanggil aku Hui Cu dan kata ibu usiaku sekarang sudah hampir delapan belas tahun."
Sementara itu, Ci Kang kelihatan tidak sabar melihat betapa Cia Sun asyik bicara dengan gadis ini. Dia tahu bahwa Cia Sun hanya tertarik oleh riwayat gadis yang amat aneh itu, akan tetapi baginya, hal itu tidak ada sangkut-pautnya sama sekali.
"Sudahlah, mari kita cepat keluar da-ri sini. Nona, tunjukkanlah jalan keluar dari tempat ini untuk kami," katanya.
Baru teringat Cia Sun bahwa mereka terkurung di dalam guha bawah tanah. Diapun mengangguk kepada gadis berna-ma Hui Cu itu sambil berkata, "Benar, kami perlu cepat keluar dari sini, adik Hui Cu. Tolonglah kami keluar dari sini!"
Hui Cu kelihatan girang sekali dipanggil adik oleh Cia Sun. Ia tersenyum dan nampaklah giginya berderet putih. Agak-nya, ibu gadis ini tidak lupa untuk mem-beri pelajaran cara merawat dan membersihkan diri kepada gadis yang hidupnya terkurung dalam guha bawah tanah ini.
"Kau... siapakah namamu?" tiba-tiba ia bertanya kepada Cia Sun.
"Namaku Cia Sun dan dia bernama Siangkoan Ci Kang. Nah, adik Hui Cu, tunjukkanlah jalan keluar itu."
"Cia Sun... Cia Sun... kakak Sun, kenapa engkau mau keluar? Kenapa tidak tinggal saja di sini menemani aku?"
Keharuan menyelinap dalam hati Cia Sun. Sungguh patut dikasihani anak ini, pikirnya.
"Tidak mungkin, siauw-moi (adik kecil), tidak mungkin aku tinggal di sini. Aku harus keluar dari sini. Banyak urus-an yang harus kuselesaikan. Nah, tunjuk-kanlah jalan keluar bagi kami."
Gadis itu menggigit bibir, agaknya terjadi pertentangan dalam hatinya, akan tetapi ia mengangguk lalu melangkah menuju ke lorong samping, diikuti oleh Cia Sun dan Ci Kang dari belakang. Akhirnya gadis itu berhenti di depan sebuah pintu yang terbuat dari besi dan dicat hitam.
"Hanya dari sinilah jalan kcluar, dan ini merupakan rahasia. Kalau bukan untukmu, Sun-ko, aku tidak akan suka membuka rahasia ini. Kalau diketahui ibu, tentu aku akan mendapat kemarahan besar sekali." Berkata demikian, gadis itu me-raba dinding batu dekat pintu dan terdengar suara berderit ketika pintu besi itu bergerak masuk ke dalam dinding. Seke-tika Cia Sun dan Ci Kang memicingkan mata dan melindungi mata dengan tangan karena mereka menjadi silau ketika tiba-tiba berbareng dengan terbukanya daun pintu itu, nampak sinar matahari yang amat terang di balik pintu.
Mereka melewati ambang pintu dan berdiri di dalam cahaya matahari. "Di sinilah aku setiap pagi berjemur diri seperti yang diajarkan ibu. Kalau pintu ini terbuka, maka penutup sumur ini di bagian atas terbuka pula. Kalau pintu tertutup, penutup di atas itupun ikut tertutup sehingga tempat ini tidak pernah dapat di-ketahui orang dari atas," kata Hui Cu.
Dua orang pemuda itu memandang ke atas. Tempat itu merupakan dasar sebuah sumur yang dalam, agaknya tidak kurang dari seratus kaki dalamnya!
"Adik Hui Cu," kata Cia Sun meman-cing. "Apakah engkau pernah keluar dari lubang ini?"
Gadis itu mengangguk. "Beberapa ka-li aku keluar, biasanya di waktu malam saja kalau suasana sepi karena aku takut... kalau sampai ketahuan orang yang akan membunuhku. Dan juga pernah beberapa kali keluar siang bersama ibu, akan tetapi tidak lama dan sebelum bertemu orang lain aku sudah harus masuk lagi."
"Dan bagaimana caranya engkau keluar dari sini?"
Hui Cu memandang ke atas, lalu nampak kaget. "Aih, kenapa aku tidak ingat? Aku dapat naik dengan mudah, akan tetapi engkau, Sun-ko, kalian... mana bisa memanjat naik?"
"Kenapa tidak bisa?" Ci Kang berkata dan pemuda ini sudah cepat mengerahkan sin-kang dan menggunakan kedua tangan dan kakinya untuk memanjat naik. dengan menggunakan kedua tangan mencengkeram dinding sumur itu, dia dapat terus merayap naik seperti seekor cecak.
Hui Cu memandang dengan mata ter-belalak. "Wah, dia lebih pandai daripada aku!" Lalu ia membalikkan tubuhnya menghadapi Cia Sun. "Sun-ko, jangan kau pergi...!"
"Mana bisa? Tak mungkin aku tinggal terus di sini, adik Hui Cu."
"Sun-ko, jangan tinggalkan aku, Sun-ko. Maukah engkau menemani aku barang beberapa hari saja? Aku amat kesepian, Sun-ko, hampir tak tertahankan lagi... dan begitu bertemu denganmu, aku ingin lebih lama berkenalan denganmu, bercakap-cakap denganmu..."
Cia Sun memandang dengan hati ter-haru. Gadis ini masih separti kanak-ka-nak saja, polos dan bersih, dan menderi-ta. "Adik Hui Cu, tidak mungkin aku tinggal di sini. Engkau saja agar minta kepada ibumu, kalau benar ia mencintamu, supaya engkau dibawa keluar dari tempat ini. Kulihat kepandaianmu hebat, kiranya engkau akan dapat pergi jauh dari orang yang hendak membunubmu dan andaikata bertemu dengan aku, aku tentu akan siap melindungimu dari ancaman orang yang hendak membunuhmu."
Tiba-tiba Hui Cu memegang kedua tangan pemuda itu. Dengan kedua mata basah ia memandang wajah Cia Sun. "Benarkah, koko? Benarkah bahwa engkau a-kan suka melindungi aku? Menurut ibu, ayahku itu memiliki kepandaian tinggi, sukar dikalahkan siapapun juga..."
"Tentu, siauw-moi, tentu aku akan melindungimu. Nah, sekarang selamat tinggal. Lihat, kawanku sudah hampir sampai di atas!"
Akan tatapi, tiba-tiba saja terdengar Ci Kang mengeluarkan seruan kaget dan tubuhnya melayang turun ke bawah! Cia Sun terkejut bukan main dan cepat dis menyambut tubuh kawannya itu dengan kedua lengannya. Untung Ci Kang masih sempat mengerahkan gin-kangnya sehingga dibantu oleh Cia Sun, dia dapat tiba di dasar sumur itu dengan selamat.
"Ibu...!" Tiba-tiba Hui Cu berseru nyaring dan tubuhnya melesat ke atas. Cia Sun kagum melihat kehebatan gin-kang gadis itu. Sebentar saja tubuhnya sudah merayap naik dengan cepat sekali. Dari bawah, dia melihat bayangan orang di atas dan maklumlah dia bahwa yang berada di atas itu adalah ibu Hui Cu!
"Ia menyerangku dengan angin pukulan dahsyat!" kata Ci Kang dengan marah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar