22 Asmara Berdarah

"Mari kita susul Hui Cu!" Cia Sun berkata. Dengan cerdik dia hendak mempergunakan Hui Cu sebagai pelindung atau perisai. Kalau mereka merayap di bawah Hui Cu, tentu ibu gadis itu tidak dapat menyerang mereka dan ibu itu kiranya tidak akan mau mencelakai anak sendiri. Ci Kang mengerti apa maksud kawannya, maka diapun cepat merayap kembali bersama Cia Sun mengejar Hui Cu yang sudah merayap lebih dulu. Benar saja, nenek yang berada di luar sumur itu menjenguk ke bawah dan mengeluarkan teriakan-teriakan yang tidak jelas, agaknya menyuruh puterinya itu turun kembali. Akan tetapi Hui Cu tidak perduli dan terus merayap naik. Ketika gadis itu akhirnya meloncat keluar sumur, ibunya hendak menyerang Cia Sun dan Ci Kang yang masih belum tiba di atas.

"Ibu, jangan...!" Hui Cu berseru dan menubruk ibunya, memeluk pinggang ibunya untuk menahan ibunya yang hendak mendekati sumur.

"Lepaskan aku, biar kubunuh mereka...!" Nenek itu berseru dan meronta-ronta. Akan tetapi Hui Cu tetap tidak mau melepaskan rangkulannya dari pinggang ibunya dan kedua orang ini bersitegang. Keributan itu memberi cukup waktu bagi Cia Sun dan Ci Kang untuk berloncatan keluar dari sumur dan kini mereka berdiri terbelalak. Kiranya nenek yang kini berusaha melepaskan rangkulan Hui Cu adalah seorang nenek berambut dan berpakaian putih, dan mereka berdua segera mengenalnya sebagai Ratu Iblis!

Nenek itu kinipun mengenal Ci Kang dan Cia Sun. Sejenak matanya yang kehijauan itu terbelalak, seolah-olah tidak percaya pandang matanya sendiri dan ia nampak kaget seperti melihat orang-orang yang sudah mati hidup kembali! Akan tetapi otaknya yang amat cerdik segera dapat membuat perhitungan dan ia men-jadi kagum bukan main. Ia dapat mendu-ga bahwa tentu dua orang muda itu ber-hasil menjebol lantai kamar jebakan yang dialiri air dari atas itu! Dua orang pe-muda ini, yang menjadi musuh besar ke-luarganya, telah mengetahui rahasianya, rahasia puterinya!

Gadis itu, Toan Hui Cu, adalah puteri Ratu Iblis yang ketika lahir dahulu ditu-kar dengan bayi seorang penghuni dusun. Puteri inilah yang diselamatkan itu dengan mengorbankan nyawa bayi puteri penghuni dusun yang sama sekali tidak berdosa. Ratu Iblis membunuh seorang bayi untuk menyelamatkan puterinya da-ri ancaman suaminya. Kemudian, setelah anak itu berusia lima enam tahun, dia menculiknya dari suami isteri penghuni dusun itu dan mengurung anak yang di-beri nama Hui Cu, Toan Hui Cu itu, ke dalam guha bawah tanah yang merupakan tempat rahasia yang hanya diketahuinya sendiri. Raja Iblis tentu saja tahu akan tempat ini, akan tetapi tempat ini meru-pakan kuburan atau tempat terakhir dari seorang gurunya dan menjadi tempat ke-ramat, maka dia sendiripun tidak pernah dan tidak mau menjenguk tempat itu. Sama sekali dia tidak mengira bahwa isterinya mempunyai rahasia, bahwa tempat itu menjadi tempat persembunyian pute-rinya sendiri!

Ratu iblis merahasiakan segalanya dan bersikap hati-hati sekali. Bahkan ia tidak pernah memperkenalkan namanya sendiri atau nama suaminya kepada Hui Cu, dan menakut-nakuti gadis itu agar membunuh setiap orang yang berani masuk, juga memberi tahu bahwa ayah gadis itu tentu akan membunuhnya kalau sampai melihatnya. Hal ini membuat Hui Cu keta-kutan dan ia mentaati pesan ibunya, sampai belasan tahun lamanya ia menjadi penghuni guha bawah tanah itu sampai akhirnya, tanpa tersangka-sangka, nasib mempertemukan ia dengan Cia Sun dan Ci Kang!

Ketika Ratu Iblis mengenal dua orang pemuda itu, selain terkejut dan heran, ia juga marah dan khawatir sekali. Dua orang muda ini harus dibunuhnya, kalau tidak, rahasianya tidak akan dapat dipertahankannya lagi dan suaminya tentu akan marah kalau tahu bahwa ia mempunyai seorang puteri, yang disembunyikan sampai belasan tahun lamanya. Entah apa yang akan diperbuat suaminya terhadap dirinya dan terhadap Hui Cu, ia tidak sanggup membayangkan.

"Lepaskan, aku harus bunuh mereka!" Tiba-tiba ia menggerakkan tubuhnya dengan kuat dan Hui Cu terpelanting jauh. Melihat puterinya terpelanting jatuh, Ratu Iblis tidak jadi menyerang dua orang muda itu melainkan mendekati puterinya, merangkulnya dan bertanya dengan suara penuh kasih sayang, "Anakku, engkau tidak terluka...?"

Diam-diam dua orang pemuda yang memperhatikan gerak-gerik Ratu Iblis merasa heran. Lenyaplah sifat liar dan ganas dari nenek itu, terganti sifat yang menimbulkan rasa haru, karena sikapnya ketika merangkul dan mengelus rambut Hui Cu, dan juga suaranya menggetarkan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya!

"Ibu, jangan bunuh mereka... jangan serang Sun-koko...!"

Nenek itu melepaskan rangkulannya dan mengerutkan alianya. "Sun-koko...? Siapa itu?"

"Seorang dari mereka... mereka tidak sengaja memasuki guha bawah tanah, ibu, jangan serang mereka, mereka itu orang-orang yang amat baik..."

"Setan! Mereka adalah musuh-musuh kita, kalau tidak dibunuh hanya akan mendatangkan bencana di kemudian hari!" Dan tiba-tiba saja sikap nenek itu berobah lagi dan tubuhnya melesat ke depan, kedua tangannya sudah mendorong ke arah Cia Sun dan Ci Kang.

Akan tetapi kini dua orang pemuda itu sudah siap menghadapi serangan lawan. Mereka berdua tahu bahwa nenek itu lihai bukan main. Serangannya tadi saja mengeluarkan hawa yang amat kuat dan panas dan sebelum tangan itu menyentuh mereka, telah ada angin pukulan dahsyat yang menyerang. Mereka cepat mengelak dan balas menyerang sambil mengerahkan tenaga mereka.

Ratu Iblis menggereng marah melihat betapa tamparan-tamparannya dapat dielakkan oleh dua orang lawan itu, bahkan kini mereka membalas dengan pukulan-pukulan yang keras. Ia masih memandang rendah mereka dan menggunakan kedua lengannya untuk menangkis, dengan maksud tangkisan itu akan dilanjutkan dengan cengkeraman untuk menangkap lengan mereka.

"Dukk! Dukk...!"

Nenek itu kembali mengeluarkan suara geraman aneh ketika ia merasa betapa benturan lengan itu membuat tubuhnya tergetar hebat, jangankan merobah tangkisan menjadi cengkeraman, bahkan ia terhuyung ke belakang oleh benturan-benturan itu. Sedangkan Cia Sun dan Ci Kang juga terhuyung ke belakang karena nenek itu memang memiliki tenaga kuat yang aneh sekali. Mulailah nenek itu memandang mereka dengan mata lain, tidak lagi berani memandang rendah. Dan iapun mulai mengerti bahwa dua orang pemuda itu memang memiliki ilmu kepandaian hebat. Tadinya memang Siang Hwa melaporkan bahwa mereka itu lihai, akan tetapi ia masih belum percaya. Sekarang baru ia tahu bahwa memang tingkat kepandaian mereka ini lebih lihai daripada tingkat Siang Hwa. Pantas saja muridnya itu terpaksa mempergunakan siasat untuk menjebak mereka. Karena tidak memandang rendah lagi, nenek itu menggerakkan tangan kanannya dan nampaklah sinar berkilat ketika ia tahu-tahu sudah mencabut pedangnya. Dicabutnya pedang ini membuktikan bahwa Ratu Iblis benar-benar tidak memandang rendah lawan. Jarang ia mempergunakan pedangnya kalau bertanding karena jarang pula ada orang mampu menandinginya walaupun ia tidak mencabut pedang.

Ci Kang maklum akan kelihaian lawan, maka diapun cepat mematahkan sebuah cabang pohon yang sebesar lengannya dan panjangnya satu tombak. Menghadapi pedang seorang datuk sesat seperti nenek itu dia harus berhati-hati. Cia Sun juga berhati-hati dan untung bahwa suling yang terselip di pinggangnya, di balik bajunya, masih ada, maka iapun mencabut sulingnya itu. Benda ini telah menjadi senjata yang ampuh semenjak dia di digembleng oleh Go-bi San-jin. Bukan hanya suling ini, bahkan kini dia pandai mempergunakan ujung lengan baju atau benda apa saja sebagai senjata. Dengan cerdiknya, kedua orang muda itu lalu berpencar, menghadapi nenek itu dari kanan kiri. Mereka bersikap hati-hati dan hanya menanti dengan waspada, tidak mau menyerang lebih dulu.

Sejenak tiga orang itu berdiri tegak seperti patung, hanya mata nenek itu yang melirik ke kanan kiri untuk mengikuti gerakan dua orang lawannya. Pedang di tangan kanannya itu diangkat tinggi-tinggi dan melintang di atas kepala, sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka, diletakkan di depan dada, rambutnya yang putih panjang itu tergantung di depan.

"Ibu, jangan serang mereka...! Sun-ko, jangan berkelahi dengan ibuku..."

Akan tetapi nenek itu tentu saja tidak memperdulikan teriakan puterinya, bahkan membentak marah, "Diam kau...!"

"Siauw-moi, aku hanya membela diri...!" Cia Sun menjawab. Akan tetapi begitu dia bicara, nenek itu sudah menggerakkan pedangnya menyerang dengan amat hebatnya. Pedang itu menyambar dari atas seperti halilintar dan mengeluarkan hawa dingin.

Cia Sun cepat mengelak. Pedang menyambar lewat akan tetapi cepat membalik dan meluncur turun, kalau tadi membacok kini berbalik menusuk! Demikian cepatnya datangnya serangan lanjutan itu sehingga Cia Sun terpaksa harus mengangkat sulingnya menangkis.

"Trakkk...!" Kembali keduanya mendapat kenyataan bahwa lawan memang me-miliki tenaga sin-kang yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan.

Pada saat itu, Ci Kang sudah menyerang dengan tongkatnya yang dibuat secara darurat, yaitu kayu cabang pohon tadi. Serangannya hebat sekali, sampai mengeluarkan angin dan suara bersuitan. Tongkat itu menyambar ke arah kepala nenek itu yang sedang menyerang Cia Sun.

Ratu Iblis itu sungguh lihai bukan main. Menghadapi serahgan tongkat yang datang dari samping agak belakang ini, ia bersikap tenang saja. kepalanya digerakkan mengelak dan tiba-tiba saja gumpalan rambut putihnya menyambar dan menangkis batang kayu itu. Hebatnya, kini gumpalan rambut itu tiba-tiba saja berobah menjadi kaku dan keras seperti besi.

"Takkk...!" Tongkat di tangan Ci Kang tertangkis dan mendadak tangan kiri nenek itu mendorong ke depan dan serangkum hawa panas yang amat hebat menyambar dada Ci Kang sebagai balasan serangannya.

"Ehhh...!" Ci Kang berseru kaget dan terpaksa dia meloncat jauh ke belakang karena serangan itu sungguh amat berbahaya.

Dua orang muda itu kini bersikap hati-hati sekali. Mereka semakin tahu betapa hebatnya lawan mereka yang memiliki tiga macam senjata ampuh itu, yakni pedangnya, rambutnya, dan tangan kirinya. Belum lagi diperhitungkan kedua kakinya kalau mengirim tendangan karena mereka melihat betapa sepatu nenek itu berlapis beja!

Nenek itu sendiri juga menjadi terkejut. Belum pernah ia menghadapi lawan yang begini tangguhnya. Andaikata dua orang pemuda itu maju satu demi satu saja, agaknya ia masih akan dapat mengatasi mereka, bahkan mengungguli mereka. Akan tetapi pemuda itu maju bersama dan setelah kini mereka bersikap hati-hati, gerakan mereka amat kuat dan terpusatkan sehingga ia segera terdesak hebat! Juga pertemuan-pertemuan tenaga antara ia dan dua orang muda itu membuat ia lelah karena ia harus mengerahkan seluruh tenaganya kalau tidak mau celaka dilanda gelombang tenaga yang dahsyat dari mereka.

"Anakku, cepat maju dan gunakan kebutanmu! Bantulah aku!" Akhirnya setelah terdesak hebat, nenek itu berseru minta bantuan puterinya yang sejak tadi hanya nonton saja dengan mata terbelalak penuh kegelisahan. Kini, mendengar seruan ibunya, ia menjadi semakin bingung.

"Tidak, ibu! Kata ibu semua orang terutama laki-laki jahat, akan tetapi mereka ini tidak jahat, aku tidak bisa menyerang mereka. Ibu jangan memusuhi mereka!" Gadis itu menjawab dengan suara yang tegas.

"Desss...!" Tubuh nenek itu terhuyung akan tetapi ia dapat menguasai dirinya dan tidak sampai roboh walaupun tongkat cabang pohon di tangan Ci Kang yang menyerempet pinggangnya tadi kuat bukan main. Karena puterinya tidak mau membantunya dan maklum bahwa dua orang lawannya sungguh merupakan lawan tangguh yang dapat membahayakan keselamatannya, Ratu Iblis mengeluarkan pekik melengking yang sejenak membuat kedua orang pemuda itu tercengang dan mereka harus mengerahkan sin-kang untuk melawan pengaruh suara itu dan kesempatan itu dipergunakan oleh nenek itu untuk meloncat ke arah puterinya, memegang lengan puterinya dan melarikan diri sambil menarik Hui Cu bersamanya.

"Kurasa tidak perlu dikejar, terlalu berbahaya...!" Cia Sun berkata ketika melihat temannya hendak mengejar. Mendengar suara Cia Sun, Ci Kang menahan kakinya dan melangkah kembali menghampiri temannya yang sedang memeriksa tangan kirinya yang ternyata kulitnya berwarna hitam kehijauan dari jari-jari tangan sampai ke pergelangan.

"Cia Sun, engkau keracunan!" kata Ci Kang mendekat.

"Nenek itu memiliki banyak pukulan beracun yang jahat. Sungguh berbahaya sekali!" keta Cia Sun. "Karena itu aku mencegahmu melakukan pengejaran. Aku tidak dapat membantumu dan kalau sampai ia dibantu kawan-kawannya, tentu engkau terancam bahaya. Aku harus menggunakan waktu beberapa hari untuk membersihkan racun ini."

"Tidak perlu begitu lama, Cia Sun. Aku telah mempelajari ilmu membersihkan hawa beracun itu dan dengan bantuanku, tanganmu akan sembuh dengan cepat."

Tak lama kemudian Ci Kang sudah mengobati tangan kiri temannya itu. Cia Sun duduk bersila, mengerahkan sin-kang dan dengan hawa murni dia mendorong-kan tenaga ke arah tangan kirinya. Kalau dia melakukan pengobatan ini sendiri saja, tentu akan memakan waktu sedikitnya sepekan baru hawa beracun dalam tangan kirinya itu dapat terusir bersih. Akan tetapi, kini Ci Kang menempelkan kedua telapak tangannya di siku dan pundak kirinya dan teman ini membantunya dengan mengerahkan sin-kang. Hawa panas memasuki lengan kirinya itu dan dengan kekuatan disatukan, dengan mudah mere-ka depat mengusir racun dari tangan ki-ri. Tak lama kemudian, kulit tangan itu berobah warnanya. Warna hitam kehijau-an itu perlahan-lahan surut dan akhirnya lenyap melalui kuku-kuku jari tangan.

"Terima kasih, Ci Kang, engkau telah menolongku," kata Cia Sun dengan girang dan kagum.

Ci Kang menggeleng kepala. "Tidak ada terima kasih, Cia Sun. Ketika aku terjatuh kembali ke dalam sumur tadi, engkaupun telah menolongku. Sikapmu yang baik terhadap diriku saja sudah membuat aku bersyukur sekali."

"Ci Kang, sampai kini aku masih me-rasa heran mengingat bahwa engkau, se-perti pengakuanmu, adalah putera Siang-koan Lo-jin! Dan engkau memusuhi datuk-datuk sesat! Sebetulnya, kalau aku boleh bertanya mengingat bahwa nasib telah mempertemukan kita yang menjadi saha-bat senasib sependeritaan, apakah yang kaucari di sini?"

"Sama dengan engkau, Cia Sun. Bukankah engkau datang ini untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang hendak bangkit menentang Raja dan Ratu Iblis yang kabarnya dibantu oleh para datuk sesat termasuk Cap-sha-kui?"

Cia Sun mengangguk lalu bertanya, "Apa maksudmu ingin menghadiri perte-muan itu?"

Ci Kang tersenyum pahit. "Aku yang tolol ini hendak menipu diri sendiri. A-yahku seorang datuk sesat, begaimana mungkin aku diterima di antara para pendekar? Tadinya kusangka..."

Melihat Ci Kang tidak melanjutkan kata-katanya dan wajahnya menjadi muram, Cia Sun memegang lengan yang kokoh kuat itu. "Sahabatku, jangan kau persalahkan sikap para pendekar. Andaikata aku sendiri belum mengalami bahaya-bahaya itu bersamamu dan telah mengenalmu benar bahwa engkau adalah seorang gagah yang menentang para datuk sesat, mungkin akupun akan curiga kepadamu. Bayangkan saja. Engkau, putera Siangkoan Lo-jin, berkeliaran di sini, padahal para pendekar hendak mengadakan pertemuan untuk menentang golongan sesat! Tentu saja orang yang tidak mengenal keadaan dirimu akan menyangka engkau memata-matai pertemuan para pendekar itu. Akan tetapi jangan takut. Ada aku di sini yang akan menjelaskan segalanya kepada para pendekar. Tapi katakan dulu, apa sesungguhnya niat hatimu datang ke sini?"

"Aku hendak menyumbangkan tenaga menentang para datuk yang hendak melakukan pemberontakan."

"Bagus! Kalau begitu kita sehaluan. Mari kita pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menemui para pendekar, Ci Kang."

Akan tetapi pemuda yang tinggi besar itu menggeleng kepala. "Cia Sun, sejak kecil aku selalu ingin berusaha sendiri. Usaha apapun yang kuhadapi, kalau berhasil hanya karena bantuan orang lain, tidak akan memuaskan hatiku. Biarlah, aku akan hadapi sendiri para pendekar, apapun akibatnya. Aku girang sekali telah dapat bertemu dan berkenalan denganmu, Cia Sun. Selamat berpisah!" Setelah berkata demikian, Ci Kang lalu meloncat lari meninggalkan Cia Sun yang berdiri termenung, hatinya kagum melihat pemuda perkasa yang memiliki ilmu kepandaian yang dapat menandinginya. Diapun lalu meninggalkan tempat berbahaya itu.

***

Semenjak Bangsa Mongol yang pernah menjajah dan menguasai Tiongkok terusir dan terbasmi sehingga sisa-sisa bangsa itu kembali ke utara, maka Bangsa Mongol menjadi bangsa yang lemah. Lenyaplah kebesarannya seperti ketika mereka masih menguasai Kerajaan Goan yang menjajah seluruh Tiongkok itu. Kini sisa bangsa itu terpecah-pecah, bercampur baur dengan Bangsa Mancu dan Bangsa Khin. Jumlah suku bangsa mereka amat banyak, terpecah-pecah oleh berbagai aliran, tradisi, dan agama. Mereka tinggal berkelompok-kelompok di luar Tembok Besar, dan hidup kembali sebagai suku-suku Nomad yang berpindah-pindah sesuai dengan situasi dan kondisi iklim dan tanah.

Karena terpecah-pecah menjadi kelompok itulah maka Bangsa Mongol, Mancu dan Khin ini menjadi lemah. Di antara mereka sendiri terjadilah persaingan, bahkan kadang-kadang persaingan itu menjadi permusuhan dan pertempuran karena memperebutkan tanah, air dan sebagainya. Mereka adalah bangsa yang sudah terbiasa dengan kekerasan, karena sifat hidup mereka memang keras, selalu berhadapan dengan kesukaran yang ditimbulkan oleh keadaan alam di daerah itu yang tidak menguntungkan manusia.

Masing-masing suku atau kelompok memiliki kepala sendiri, dan seperti bia-sa terjadi di seluruh dunia ini di antara manusia, kepala-kepala inilah yang me-nimbulkan permusuhan dan pertentangan karena ambisi masing-masing yang menyeret kelompok atau pengikut mereka ke dalam permusuhan. Tidak pernah lagi la-hir seorang Jenghis Khan baru yang memiliki kekuatan sedemikian hebatnya untuk menundukkan semua kepala suku itu sehingga terdapat persatuan seperti di jaman Jenghis Khan dahulu yang akan membuat Bangsa Mongol menjadi bangsa yang kuat.

Nenek Yelu Kim yang sudah tua itu memang cukup berpengaruh di antara suku bangsa utara ini. Akan tetapi peranan nenek Yelu Kim bukanlah sebagai pemimpin dan pembangkit semangat mereka, melainkan sebagai penengah. Nenek ini ditakuti karena memang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak pernah nenek Yelu Kim bangkit untuk memimpin mereka, hanya turun tangan kalau terjadi pertempuran-pertempuran antara kelompok atau suku. Dan setiap kali, nenek ini harus memperlihatkan kepandaiannya untuk dapat melerai dan memadamkan api permusuhan di antara mereka.

Akan tetapi pergolakan di utara yang dipimpin oleh pemberontakan para datuk sesat yang bersekongkol dengan Panglima Ji Sun Ki di San-hai-koan, menimbulkan guncangan hebat di kalangan para suku Nomad di utara itu, membangkitkan se-suatu di dalam hati mereka yang selama ini tidak pernah lagi memikirkan kekua-saan yang sudah hilang di selatan. Juga Yelu Kim seperti baru terbangun dari ti-durnya. Mengapa tidak, demikian pikirnya. Kalau para datuk sesat saja berani mengadakan pemberontakan, mengapa ia tidak bisa memimpin suku-suku bangsa yang kuat dan terkenal sebagai ahli-ahli perang itu untuk mencoba membangkit-kan kembali kekuasaan Bangsa Mongol dan sekutunya, meraih kembali mahkota yang pernah dikuasai oleh Bangsa Mo-ngol?

Akan tetapi, api semangat yang mulai membakar dada orang-orang yang menjadi kepala kelompok atau suku itu kembali menimbulkan pertentangan di antara mereka sendiri. Masing-masing ingin menjadi pemimpin kalau sampai mereka bersatu dan melakukan penyerbuan ke se-latan selagi keadaan kacau oleh adanya pemberontakan. Masing-masing ingin menjadi pemimpin, tentu saja dengan ambisi bahwa kalau gerakan mereka kelak ber-hasil, sang pemimpin itulah yang akan menjadi kaisar sampai ke anak cucu keturunannya!

Hal inilah yang membuat prihatin dan menyesal di hati nenek Yelu Kim sampai ia bertemu dengan Sui Cin. Dalam diri gadis ini ia melihat bakat dan kepandai-an yang depat ia pergunakan untuk men-capai hasil baik dalam rencananya meng-hadapi pertikaian baru di antara para kepala suku itu. Nenek itu berhasil mem-bawa pergi Sui Cin dengan bantuan hari-mau peliharaannya, dan mengobati Sui Cin yang tertipu oleh Kiu-bwe Coa-li dan minum racun pembius. Akan tetapi selain keracunan, nenek itu mendapat kenyatan bahwa gadis itupun kehilangan ingatannya, maka iapun berusaha dengan sepenuh perhatian dan kepandaiannya untuk mengobati Sui Cin sehingga gadis itu akan sembuh sama sekali, juga dari pe-nyakit kehilangan ingatan itu.

Nenek Yelu Kim memang ahli dalam hal pengobatan dan akhirnya ia berhasil mengobati Sui Cin sehingga gadis itu memperoleh kembali ingatannya! Ingatan itu kembali kepadanya ketika pada suatu pagi ia terbangun dan melihat nenek itu telah duduk di dekat pembaringannya. Nenek itu memegang sebatang jarum e-mas dan agaknya nenek itu tadi telah mengerjakan jarumnya ketika ia sedang tidur dan berhasil "membuka" kembali ingatannya.

"Aihhh...!" Sui Cin meloncat dan bangkit duduk, memandang nenek itu dengan mata terbelalak. "Aihh, semuanya terjadi seperti dalam mimpi saja...! Tapi aku tidak bermimpi!" Ia menengok ke arah pintu kamar itu dan memanggil girang ketika melihat seekor harimau besar menjenguk ke dalam. "Houw-cu, engkaupun kenyataan, bukan mimpi! Dan nenek Yelu Kim, yang telah menolongku!"

Nenek itu tersenyum dan wajahnya nampak cantik ketika ia tersenyum. "A-nak baik, engkau sudah ingat semua, juga akan keadaan dirimu? Tadinya engkau lu-pa sama sekali akan keadaan dirimu dan asal-usulmu."

Sui Cin membelalakkan matanya. "Be-narkah itu? Ah, ya, teringat olehku se-karang. Tentu timpukan batu yang me-ngenai belakang kepalaku itu yang membuatku lupa segalanya. Dan bagaimana nasib Hui Song...?"

Nenek itu menggeleng kepala. "Aku tidak tahu. Apakah dia pemuda yang me-nolongmu dari Kiu-bwe Coa-li itu?"

"Bukan! Pemuda itu adalah Cia Sun-twako. Ah, tentu locianpwe tidak tahu. Betapa hebat dan mengerikan semua pe-ngalamanku selama ini dan akhirnya lo-cianpwe yang dapat menyembuhkanku. Sungguh besar sekali budi locianpwe kepadaku."

"Hushh, sudahlah. Di antara guru dan murid mana ada budi? Ingat, sesuai dengan janjimu, engkau telah menjadi murid juga pembantuku. Sekarang, ceritakan keadaan dirimu dengan singkat."

"Namaku Ceng Sui Cin dan ayahku..." Sui Cin teringat bahwa ia tidak boleh membawa-bawa nama orang tuanya, maka ia meragu. Bagaimanapun juga, ia belum mengenal benar siapa sesungguhnya nenek Yelu Kim yang telah menolongnya ini.

AKAN tetapi nenek itu tersenyum setelah tadinya sepasang matanya terbelalak mendengar gadis itu memperkenalkan diri. Lalu tangannya yang kurus memegang lengan Sui Cin dan matanya yang tajam itu menatap wajah gadis itu, mulutnya tersenyum ramah. "Sungguh para dewa telah mempertemukan kita! Tepat suara hatiku bahwa engkaulah yang akan dapat membantuku dan menolong bangsa dan golongan kita. Kiranya engkau adalah keturunan Puteri Khamila, engkau masih berdarah bangsa kami, anak baik!"

Sui Cin terkejut dan merasa heran. Benarkah nenek ini dapat mengenal keluarganya hanya dengan namanya? Padahal, sebelum ini belum pernah ia mengenal nenek Yelu Kim.

"Apa maksud locianpwe?" tanyanya sambil memandang tajam.

Senyum nenek ini melebar. "Tidak sukar mengenalmu, Sui Cin. Ilmu silatmu lihai dan selama engkau berada di sini, di dalam latihan engkau memainkan be-berapa ilmu silat yang kukenal bersumber pada ilmu-ilmu Cin-ling-pai. Tadinya ku-kira engkau murid Cin-ling-pai, akan tetapi setelah kini aku tahu bahwa engkau she Ceng, mudah saja menduga siapa adanya dirimu. Bukankah ayahmu adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin?"

Sui Cin mengangguk. "Locianpwe sungguh cerdik sekali." Ia memuji.

"Dan ayahmu itu adalah putera Ceng Han Houw atau Pangeran Oguthai. Kakekmu itu adalah putera mendiang Kaisar Ceng Tung dan Puteri Khamila, dengan sendirinya antara engkau dan aku masih ada hubungan yang dekat sekali, Sui Cin." Dan kata-kata itu diakhiri dengan suara ketawa girang bukan main dari nenek i-tu. Sui Cin memandang bengong ketika melihat nenek itu tiba-tiba bangkit dan menari-nari di dalam kamar itu, menari-nari sambil bernyanyi lagu Mongol dan bertepuk tangan! Harus diakuinya bahwa biarpun di situ tidak ada iringan musik, akan tetapi tarian itu indah sekali dan suara nyanyian nenek itupun merdu.

"Locianpwe..."

"Aku sudah menjadi gurumu dan kau masih menyebutku locianpwe?" Nenek yang sudah selesai menari itu menegur.

"Subo," akhirnya Sui Cin berkata dengan nada agak terpaksa. Sebenarnya, kalau ia berada dalam keadann sadar, ia tidak akan mau begitu saja berjanji men-jadi murid dan pembantu nenek itu tanpa lebih dahulu mengenal keadaannya. Akan tetapi ia sudah berjanji dan ia tidak akan menarik kembali apa yang telah di-janjikan. "Subo, hubungan dekat apakah yang ada antara kita?"

"Tidak dapatkah engkau menduganya? Nama keturunanku Yelu! Tidak tahukah engkau apa artinya nama itu?"

Sui Cin menggeleng kepala dan me-nyesal mengapa ia tidak tahu akan hal i-tu karena ia melihat betapa wajah nenek itu nampak kecewa sekali.

"Aih, agaknya Ceng Thian Sin tidak pernah menceritakan kepadamu tentang kebesaran bangsa kita di utara."

"Ayah memang tidak suka menceritakan riwayat nenek moyang kami," kata Sui Cin.

"Sayang sekali. Nah, dengarlah baik-baik. Ketika Kaisar Jenghis Khan, raja terbesar di seluruh dunia, masih bertahta dan menguasai seluruh daratan sampai ke lautan selatan, beliau mempunyai seorang pembantu dan penasihat yang amat arif bijaksana, bernama Yelu Ce-tai. Siapakah orangnya yang tidak mengenal nama besar Yelu Ce-tai di samping nama besar Jenghis Khan? Yelu Ce-tai inilah peng-atur semua siasat yang membuat peme-rintahan Jenghis Khan berhasil dengan baik."

"Dan subo tentulah keturunan Yelu Ce-tai itu," kata Sui Cin karena memang mudah saja menduganya sekarang.

Nenek itu mengangguk dan wajahnya yang agung itu nampak diangkat penuh kebanggaan. "Dan beliau tidak malu mempunyai keturunan seperti aku! Kerajaan Mongol yang menguasai seluruh daratan selatan sudah hancur, keturunan Jenghis Khan yang besar itu telah lenyap tidak ada sisanya lagi, akan tetapi kebesaran Yelu Ce-tai masih belum kabur! Lihat a-ku ini, aku keturunannya, walaupun aku hanya seorang wanita, akan tetapi aku masih dipandang dan diakui oleh semua kelompok suku bangsa di utara sebagai penasihat agung yang selalu mereka se-gani dan taati!"

Kini mengertilah Sui Cin mengapa nenek ini nampak begitu agung dan penuh bangga diri. Kiranya memiliki kedudukan tinggi di antara suku bangsa utara.

"Subo telah menyelamatkan aku, dan aku telah berjanji untuk membantu subo, sebenarnya bantuan apakah yang dapat kulakukan? Bukankah sebagai seorang pe-nasihat agung, subo memiliki banyak pembantu dan tidak membutuhkan lagi bantuanku?"

"Engkau tidak tahu betapa aku mengalami banyak kepusingan karena sifat yang liar dan keras dari orang-orang suku utara ini. Terutama sekali suku Khin yang amat ganas. Mereka itu menghormati aku, akan tetapi kadang-kadang memperlihatkan kekerasan mereka dan agaknya mereka itu akan mudah sekali memberontak. Baiknya selama ini aku mampu mengendalikan mereka. Kini timbul keguncangan di kalangan kami karena adanya pergerakan kaum sesat di selatan yang hendak memberontak."

Sui Cin terkejut. Betapa pandainya nenek ini, sehingga urusan di selatan tentang gerakan para datuk sesat yang hendak memberontakpun diketahuinya! "Apa-kah yang subo ketahui tentang hal itu?"

Nenek itu tersenyum bangga. "Tentu saja aku tahu semuanya! Ha, jangan dikira bahwa kami orang-orang Mongol sudah melupakan kekalahan kami! Orang-orang kasar itu mungkin sudah menerima kekalahan mereka dan sudah putus asa. Akan tetapi aku tidak! Aku selalu memperhatikan perobahan dan pergolakan di selatan. Aku tahu bahwa seorang pangeran she Toan yang kini menjadi datuk sesat dengan julukan Raja Iblis, dibantu oleh Cap-sha-kui dan para datuk sesat lainnya, sedang berusaba untuk memberontak. Bahkan mereka sudah berhasil mengadakan persekutuan dengan panglima San-hai-koan dan merampas benteng itu!"

"Selain itu?" Sui Cin mendessk.

"Tidak cukupkah itu? Kami melihat kesempatan yang baik sekali untuk bergerak selagi keadaan pemerintah Beng-tiauw kacau. Saatnya tiba bagi kami untuk bergerak ke selatan, menegakkan kembali kekuasaan utara atas daerah selatan. Akan tetapi orang-orang kasar itu, orang-orang liar itu, mereka bahkan saling berebut, saling bertentangan sendiri memperebutkan kedudukan pimpinan seperti anjing memperebutkan bungkusan kosong! Sungguh memuakkan!"

Nenek itu mengepal tinju dan kelihatan marah sekali. Sui Cin menduga bahwa nenek itu agaknya belum tahu akan gerakan para pendekar yang hendak mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang.

"Lalu apa hubungannya semua itu dengan bantuan yang subo harapkan dariku?"

"Orang-orang gila itu makin menjadi-jadi dalam nafsu mereka untuk memperebutkan kedudukan sebagai pemimpin gerakan kami. Bahkan setiap kelompok mengajukan usul agar masing-masing mengeluarkan jagoan dan diadakan pertandingan-pertandingan. Siapa yang jagonya menang berarti berhak menjadi pemimpin gerakan ke selatan. Dan aku ingin engkau membantuku, mewakili aku maju sebagai penghukum yang menaklukkan semua jagoan itu, atau menundukkan jagoan yang paling kuat dan yang keluar sebagai pemenang."

"Ahh...!" Sui Cin terkejut. "Mengingat betapa kepandaian subo sendiri sudah amat tinggi, tentu di antara kelompok itu terdapat orang-orang pandai. Bagaimana aku akan dapat mengalahkan jagoan yang paling pandai? Jangan-jangan subo akan menyesal dan kecelik, aku malah yang akan kalah oleh jagoan itu sehingga nama dan wibawa subo menjadi turun."

"Tidak, tidak mungkin! Mereka itu hanya orang-orang kasar yang hanya menggunakan kekuatan dan kelincahan menunggang kuda disertai keberanian. Mana mungkin ada yang mampu mengalahkanmu? Sui Cin, aku sudah tahu akan keli-haianmu. Dalam ilmu berkelahi, aku sendiri tidak menang melawanmu. Pula, kalau engkau maju sambil menunggang Houw-cu, siapa yang akan mampu mengalahkan? Di samping itu, masih ada yang membantumu dari belakang dengan kekuatan sihir. Kami pasti menang dan kemenanganmu akan membuat semua orang tunduk akan keputusanku!"

"Aih, jadi subo bercita-cita untuk memperebutkan kedudukan pemimpin i-tu"

"Jangan salah sangka! Seorang nenek setua aku ini tidak butuh lagi kedudukan dan kemuliaan, akan tetapi aku ingin melihat bangsaku memperoleh kembali ke-kuasaannya sebelum aku mati, apalagi kalau kekuasaan itu diperoleh karena bantuan dan jasaku! Aku ingin kelak kalau mati, dapat menghadap nenek moyang Yelu Ce-tai dengan hati bangga. Biar semua orang melihat bahwa sampai kini Yelu Kim tetap menjadi orang yang menurunkan keluarga yang bahkan lebih besar daripada keturunan Jenghis Khan sendiri! Aku harus memimpin kelompok-kelompok liar itu agar berhasil menyerbu ke selatan. Kemudian, untuk pemilihan kaisar, harus dilakukan dengan bijaksana dan adil, di bawah bimbinganku pula!"

Sui Cin merasa heran dan diam-diam merasa khawatir kalau-kalau orang yang menjadi gurunya ini bukan hanya seorang yang mempunyai cita-cita besar, akan tetapi juga merupakan orang yang miring otaknya!

"Kalau aku sudah melakukan tugasku mengalahkan jagoan itu, lalu bagaimana dengan aku, subo?"

"Janjimu itu hanya terikat oleh bantuanmu memenangkan sayembara itu. Selanjutnya aku serahkan kepadamu. Kalau engkau mau membantu kami dalam perjuangan kami, tentu saja aku akan merasa gembira dan bersyukur sekali. Andaikata tidak dan engkau ingin meninggalkan aku, silakan."

Tentu saja, setelah kini semua ingatannya pulih, diam-diam Sui Cin merasa tidak setuju dengan rencana nenek yang telah menjadi gurunva ini. Nenek ini bersama bangsa dan kelompoknya merenca-nakan pemberontakan! Padahal, sudah menjadi tugasnya untuk menentang pemberontakan, untuk membela negara dan mencegah terjadinya perang agar rakyat tidak akan menderita. Bahkan ia kini teringat bahwa ia berada di utara adalah karena ditugaskan oleh gurunya, Wu-yi Lo-jin, untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang hendak menentang Raja dan Ratu Iblis yang hendak mengerahkan kaum sesat untuk memberontak. Mana mungkin kini ia harus membantu pembe-rontakan nenek ini terhadap pemerintah? Akan tetapi iapun tahu bahwa nenek ini bukan orang jahat, bahkan telah menye-lamatkannya dan menolongnya dari keadaan yang amat menyedihkan, yaitu kehi-langan ingatannya. Bagi nenek ini tentu saja gerakan memberontak itu merupakan suatu perjuangan untuk memulihkan kem-bali kekuasaan bangsanya, Bangsa Mongol yang pernah menjajah Tiongkok.

"Subo, apakah subo kira mudah saja melakukan pemberontakan? Mana mung-kin kelompok-kelompok suku di sini akan mampu nmnandingi kekuatan balatentara kerajaan? Sebelum dapat berbuat banyak, tentu subo dan teman-teman subo sudah akan dihancurkan oleh kekuatan balaten-tara kerajaan yang amat bamyak jumlah-nya dan kuat."

Nenek itu tersenyum. "Ucapanmu memang benar. Akan tetapi seperti sudah kukatakan tadi, kini tiba saatnya yang amat baik, terbuka kesempatan besar ka-rena kaum sesat telah bergerak. Biarlah mereka yang akan menandingi balatenta-ra pemerintah dan kami akan memukul mereka dari belakang dan merampas semua kota yang sudah mereka duduki. Dengan menghadapi perlawanan pasukan pemerintah dari depan, tentu mereka akan lemah dan tidak akan mampu bertahan kalau kami pukul dari belakang. Mereka itulah yang akan menjadi pelopor kami dan kami tinggal merampas hasil-hasil mereka dari belakang saja."

Diam-diam Sui Cin terkejut juga. Nenek ini sungguh cerdik dan kalau berhasil semua siasat nenek itu, sungguh berbaha-ya keadaannya bagi pemerintah. Berarti pemerintah akan menghadapi dua gelom-bang serangan musuh, dan menurut seja-rah yang pernah dibacanya, suku Bangsa Mongol di utara merupakan orang-orang yang amat gagah perkasa, berani mati dan tangkas dalam pertempuran.

"Akan tetapi, subo. Hal itu akan me-nyalakan api peperangan besar dan untuk menggerakkan banyak orang bertempur, membutuhkan biaya yang amat besar. Kalau subo tidak mempunyai harta benda yang banyak untuk itu..."

"Jangan khawatir. Aku selalu membiasakan diri berpikir sampai matang dan membuat persiapan selengkapnya sebelum bergerak. Kalau aku tidak memiliki harta pusaka yang amat besar jumlahnya, mana berani aku merencanakan gerakan perjuangan?"

Tiba-tiba terdengar suara mengaum dan harimau besar itu mendekati Sui Cin dan mengelus-elus punggung gadis itu dengan kepalanya. Itulah tandanya bahwa si harimau itu mengajaknya bermain-main.

"Houw-cu, bersabarlah, nanti kita main-main," katanya dan tiba-tiba melihat harimau ini, Sui Cin teringat akan sesuatu. Terbayanglah semua peristiwa di dalam guha. Guha Iblis Neraka! Ketika ia menyelidiki guha itu, sebelum muncul Hui Song bersama Siang Hwa dan dua orang kakek, ia melihat bayangan lima orang yang dengan amat cepatnya berkelebatan memasuki guha. Kemudian ia melihat mereka keluar lagi sambil memikul sebuah peti yang nampaknya berat. Ia teringat akan harta pusaka di dalam guha itu. Agaknya Hui Song bersama wanita cantik dan dua orang kakek itu memasuki guha untuk mencari harta pusaka, akan tetapi kedahuluan oleh lima bayangan itu. Dan kini teringatlah ia bahwa pada dada mereka itu nampak gambar harimau, tersulam pada baju mereka.

"Subo, aku pernah mendengar tentang pusaka di Guha Iblis Neraka..." Ia memancing.

Nenek itu membelalakkan matanya. "Aha! Engkaupun tahu akan hal itu? Tak perlu kusembunyikan lagi. Kami telah mendapatkan harta pusaka itu. Untung, karena harta pusaka itu telah diincar oleh Raja dan Ratu Iblis!"

"Kalau begitu, subo mempunyai banyak anak buah? Kukira, tadinya subo hanya bertiga dengan aku dan Houw-cu ini..."

"Jangan bodoh. Mana mungkin kalau hanya sendirian saja aku dapat mempertahankan kedudukanku? Pernahkah engkau mendengar tentang Perkumpulan Harimau Terbang?"

Sui Cin menggeleng kepala, hanya diam-diam menduga bahwa tentu lima orang yang memakai baju bersulam gambar harimau itu merupakan anggauta-anggauta Perkumpulan Harimau Terbang.

"Harimau Terbang adalah nama perkumpulan rahasia yang kudirikan di daerah Mongol ini. Sebetulnya pendirinya adalah nenek moyangku, sejak Yelu Ce-tai dan merupakan perkumpulan yang anggautanya terdiri dari orang-orang pandai. Dengan bantuan para anggauta perkumpulan itu, aku dapat menguasai para kepala kelompok dan kepala suku sehingga sampai kini persatuan di antara mereka dapat kupertahankan."

Diam-diam Sui Cin merasa semakin kagum kepada nenek ini. Seorang nenek yang selain memiliki kepandaian tinggi, pandai sihir, juga cerdik bukan main, bahkan menjadi kepala dari sebuah perkumpulan rahasia yang agaknya bergerak secara rahasia pula dan disegani oleh semua kepala suku dan kepala kelompok yang liar di daerah Mongol dan Mancu. Iapun melihat betapa para pendekar akan sukar untuk dapat menentang Raja dan Ratu Iblis yang ternyata bukan hanya dibantu oleh kaum sesat, akan tetapi bahkan telah bersekutu dengan pasukan pemberontak yang besar jumlahnya dan kini bahkan telah berhasil merampas dan menduduki benteng pertama San-hai-koan. Kalau begini, untuk menghadapi mereka dibutuhkan pasukan yang kuat pula, bukan hanya sekedar beberapa puluh orang pendekar saja. Maka, iapun mengambil keputusan untuk menentang pemberontakan yang dipimpin Raja dan Ratu Ibils itu dengan cara membantu orang-orang Mongol ini. Bukan membantu untuk membe-rontak, melainkan membantu mereka untuk menentang pasukan pemberontak Ra-ja Iblis.

"Subo sudah mempunyai banyak anggauta Perkumpulan Harimau Terbang yang terdiri dari orang-orang berilmu tinggi, kenapa subo masih membutuhkan bantuanku untuk menghadapi jagoan dari para kelompok itu?"

"Tidak, Sui Cin. Mereka itu lihai akan tetapi kelihaian mereka dalam hal ilmu silat jauh di bawah tingkatmu. Mereka itu hanya menguasai ilmu yang mereka pelajari dariku saja, jadi tidak dapat ter-lalu diandalkan untuk menghadapi jagoan yang tentu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi kalau engkau dengan ilmu silatmu yang tinggi maju, dibantu oleh Houw-ji yang menjadi binatang tunggang-anmu, kubantu pula dari belakang dengan kekuatan sihirku, aku yakin engkau pasti akan menang dan kemenanganmu akan membuat mereka semua tunduk padaku."

"Baiklah, subo. Aku akan membantu subo, bahkan aku akan membantu pula kalau subo menentang pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Raja Iblis. Akan tetapi aku tidak mungkin dapat membantu kalau subo melawan pemerintah. Tentu subo tahu bahwa tidak mungkin aku menjadi pemberontak."

Nenek itu mengangguk-angguk. "Aku mengerti, Sui Cin. Kita sama-sama me-rupakan orang yang setia kepada negara dan bangsa, hanya sayang sekali kita terlahir sebagai bangsa yang berlainan."

Demikianlah, Sui Cin lalu diberi pe-tunjuk oleh Yelu Kim untuk dapat ber-tanding sambil menunggang harimau besar itu dan karena gadis ini memang me-miliki gin-kang dan ilmu silat yang hebat, ditambah lagi bahwa ia telah akrab dengan harimau itu, sebentar saja ia sudah mahir menunggang harimau itu sambil menggerakkan sebatang tongkat baja se-bagai pengganti senjata payungnya.

Yelu Kim juga sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi sayembara meng-adu jagoan untuk memilih pimpinan per-juangan itu. Anak buahnya, yaitu para anggauta Perkumpulan Harimau Terbang, yang jumlahnya ada seratus orang telah dipersiapkan, akan tetapi seperti biasa, mereka ini tidak muncul di depan umum melainkan bergerak secara rahasia, me-nyelinap di antara para anggauta kelom-pok berbagai suku bangsa itu, menutupi baju sulaman gambar harimau dengan ju-bah masing-masing kelompok.

Sejak pagi mereka sudah berkumpul di padang tandus itu. Sebuah tanah datar luas yang kering. Puluhan kelompok suku bangsa yang bermacam-macam, akan tetapi berasal dari tiga suku bangsa, yaitu Mongol, Mancu, dan Khin, telah berkum-pul di situ. Mereka masing-masing mendirikan tenda besar dan dari dandanan pakaian dan bendera masing-masing dapat dibedakan antara mereka walaupun ben-tuk tubuh dan wajah mereka tidak banyak berbeda, bahkan banyak sekali yang serupa. Mereka adalah tukang-tukang berkelahi, orang-orang yang sudah terbiasa sejak kecil hidup di alam liar dan selalu menghadapi tantangan hidup yang keras dan sukar. Kepala kelompok atau kepala suku mengenakan pakaian yang bermacam-macam, akan tetapi semuanya serba indah dan gagah. Ada pula yang mengena-kan pakaian seragam panglima, mungkin peninggalan nenek moyang mereka ketika masih menjajah Tiongkok. Ada pula yang berkepala gundul berjubah pendeta, me-nunjukkan bahwa kepala kelompok ini se-orang pendeta Buddha. Para kepala ke-lompok yang jumlahnya sampai tiga pu-luh orang lebih karena banyak di antara mereka mempunyai wakil, berkumpul di tengah lapangan luas itu untuk berunding tentang pelaksanaan adu jago di antara mereka. Nampak Yelu Kim hadir pula dan kedudukan nenek ini jelas nampak karena kalau para kepala kelompok itu duduk bersila di atas tanah yang memben-tuk sebuah lingkaran, adalah nenek Yelu Kim sendiri yang duduk di atas sebuah tandu. Ia tidak memimpin perundingan itu, namun bertindak sebagai penasihat dan selalu nenek inilah yang memecahkan persoalan yang mereka hadapi dan meru-pakan jalan buntu.

Setelah mengadakan perundingan yang ramai dan kadang-kadang diselingi pembantahan yang nyaris menjadi perkelahian kalau tidak dilerai oleh Yelu Kim, akhir-nya diambil keputusan bahwa masing-ma-sing kelompok yang hadir hanya diperbolehkan mengajukan seorang jagoan saja. Masing-masing jagoan hanya dipertandingkan dalam pertandingan satu kali, secara bebas, boleh naik kuda atau tidak, boleh menggunakan senjata apa saja. Jagoan dianggap kalah kalau dia menyatakan tak berani melawan lagi atau kalau dia roboh tak mampu bangun lagi. Kematian atau luka parah yang terjadi dalam pertandingan ini dianggap wajar dan tidak akan dijadikan alasan untuk menaruh dendam atau membalas. Untuk menentukan siapa yang maju lebih dahulu, diadakan undian dan jagoan yang menang satu kali diper-kenankan beristirahat, tidak diharuskan menghadapi lawan secara beruntun. Per-aturan pertandingan diadakan sedemikian adilnya sehingga Sui Cin yang diam-diam menyaksikan perundingan itu sebagai pengawal nenek Yelu Kim merasa kagum dan merasakan benar betapa orang-orang yang kasar ini sesungguhnya memiliki kegagahan dan sama sekali tidak mau memper-gunakan kecurangan dalam memperebut-kan kedudukan itu. Tidak seorangpun memperdulikannya karena ia dianggap se-bagai pengawal atau pembantu Yelu Kim dan Sui Cin merasa aman bersembunyi di balik punggung nenek Yelu Kim. Betapa-pun juga, ia merasa ngeri juga. Pertan-dingan itu, walaupun dilaksanakan di an-tara sahabat-gahabat seperjuangan, namun jelaslah bahwa jagoan masing-masing tidak akan mau saling mengalah. Dan melihat sikap dan watak mereka, agaknya dapat dibayangkan bahwa setiap orang jagoan agaknya akan mempertahankan nama dan kehormatan sampai saat ter-akhir! Pertandingan yang keras dan ke-jam dan sudah dapat ia bayangkan bahwa tempat itu nanti tentu akan menjadi merah oleh darah!

Tak lama kemudian, perundingan itu-pun berakhir dan masing-masing kepala kelompok mengajukan jagoan masing-ma-sing. Bahkan ada kepala kelompok yang maju sendiri karena dia tidak puas dengan wakil seorang yang dianggapnya kurang tangguh. Nenek Yelu Kim lalu memberi tanda kepada empat orang pemikul tandu untuk mengundurkan diri, diikuti oleh Sui Cin dan nonton dari satu pinggiran yang terpisah. Ternyata, tidak semua kelompok mengajukan jagoan. Agaknya ada pula di antara mereka yang tidak berhasil menemukan jago yang mereka anggap cukup tangguh, maka mereka hanya menjadi tontonan saja. Mereka ini kebanyakan terdiri dari kelompok-kelompok yang kecil. Karena itu, setelah semua jagoan maju, dari dua puluh orang lebih kelompok itu yang muncul hanya sembilan orang jagoan saja. Di antara sembilan orang jagoan ini hanya ada tiga orang yang tidak menunggang kuda, sedangkan enam orang yang lain menunggang seekor kuda yang besar dan tangkas. Memang satu di antara keahlian orang-orang utara ini adalah menunggang kuda.

Sui Cin hampir mengeluarkan seruan kaget dan heran ketika dia mengenal seorang di antara sembilan jagoan itu. Seorang pemuda tinggi tegap yang amat gagah, dengah memakai jubah kulit harimau, menunggang seekor kuda putih dan bersenjata sebatang tombak kongce yang bercabang dan bergagang panjang. Pemuda ini nampak pendiam dan tidak bersikap sombong seperti para jagoan lain yang membusungkan dada dan tersenyum-senyum bangga. Pemuda ini hanya menundukkan muka dan bersikap acuh tak acuh. Tentu saja Sui Cin merasa terkejut dan heran karena pemuda ini bukan lain adalah Siangkoan Ci Kang! Mau apa putera Si Iblis Buta ini berada di situ, bahkan menjadi jagoan dari satu di antara kelompok suku dari utara? Biairpun Sui Cin tahu bahwa Ci Kang adalah seorang pemuda gagah perkasa yang tak dapat dikatakan jahat, akan tetapi bagaimanapun juga dia adalah putera seorang datuk sesat yang ditakuti seperti iblis! Mengapa pemuda ini tidak berada bersama sekutu Raja Iblis dan berada di situ? Sungguh merupakan hal yang amat mengherankan dan juga mencurigakan. Sui Con lupa bahwa kehadirannya sendiri di tempat itupun merupakan hal yang amat aneh, mungkin lebih aneh daripada kehadiran Ci Kang sendiri. Ia adalah dari golongan pendekar dan kini ia berada di situ sebagai pengawal atau murid Yelu Kim, orang yang paling tinggi kedudukannya di antara kepala suku yang sedang memilih pimpinan untuk memberontak!

Sui Cin tidak tahu bahwa kehadirannya di situ yang agaknya tidak terlihat oleh Ci Kang, membuat seorang yang menyelinap di antara kelompok Suku Bangsa Mancu Timur hampir saja berteriak pula. Orang ini juga seorang pemuda yang mengenakan pakaian seperti teman-temannya, pakaian orang Mancu Timur yang kehidupannya sebagai pemburu dan nelayan di pantai timur. Dia seorang pemuda tampan yang berwajah gembira. Ketika pemuda ini melihat Sui Cin, matanya terbelalak dan hampir saja mulutnya berteriak. Akan tetapi dia menahan diri dan alisnya berkerut. Dia merasa heran bukan main melihat Sui Cin berada di situ, apalagi setelah dia memperoleh keterangan dari teman-teman di kanan kirinya yang menceritakan siapa adanya nenek itu! Dan orang ini bukan lain adalah Hui Song!

Dapat dibayangkan betapa besar rasa girang, kaget dan heran bercampur aduk di dalam hati Hui Song ketika tiba-tiba dia melihat Sui Cin di antara orang-orang liar dari utara ini. Dan diapun merasa curiga apalagi mendengar bahwa nenek itu adalah Yelu Kim yang merupakan orang paling ditakuti di antara para kepala suku! Dan Sui Cin, menurut keterangan orang-orang di kanan kirinya, adalah pengawal nenek itu! Sui Cin menjadi pengawal tokoh dari suku-suku bangsa yang hendak mengadakan pemberontakan?

Memang merupakan suatu kebetulan yang amat mengherankan melihat tiga orang muda itu berada di situ, di antara suku-suku bangsa utara. Kita sudah mengetahui mengapa Sui Cin dapat hadir di situ, akan tetapi bagaimana dengan Ci Kang dan Hui Song dapat pula berada di situ dalam keadaan terpisah-pisah, bahkan Ci Kang menjadi seorang di antara jagoan yang terpilih?

Seperti kita ketahui, Ci Kang telah terhindar dari malapetaka bersama Cia Sun ketika mereka berdua terjebak oleh Ciang Hwa ke dalam guha bawah tanah. Akan tetapi akhirnya mereka berhasil ke luar atas pertolongan Toan Hui Cu, puteri Raja dan Ratu Iblis. Setelah kedua orang muda ini saling berpisah, Ci Kang tidak mau lagi menuju ke Jeng-hwa-pang di mana dia pernah disambut dengan serangan oleh para pendekar dan diapun melakukan perjalanan di sekitar daerah itu dengan hati murung. Dia akan berusaha mencari gurunya di antara para pendekar, karena hanya dengan perantaraan gurunya dia akan dapat diterima sebagai rekan oleh para pendekar.

Pada suatu hari dia tiba di sebuah hutan dan dari jauh dia sudah mendengar suara ribut-ribut di dalam hutan itu, teriakan-teriakan manusia dan kadang-kadang suara gerengan yang seolah-olah menggetarkan seluruh hutan. Ci Kang yang masih bertelanjang dada itu cepat berlari memasuki hutan dan segera dia melihat keadaan yang mengerikan. Seorang anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun berada dalam cengkeraman seekor biruang hitam yang besar sekali dan belasan orang laki-laki Suku Bangsa Khin mengurung binatang itu dan berte-riak-teriak dalam usaha mereka menye-rang biruang itu dan menyelamatkan a-nak laki-laki itu. Akan tetapi biruang itu sungguh kuat. Dengan kaki depan kiri yang bergerak seperti lengan binatang itu merangkul dan mencengkeram tubuh anak kecil tadi, sedangkan tangan kanannya mencengkeram dan menangkis semua se-rangan tombak atau pedang yang ditusukkan kepadanya. Karena anak itu masih dicengkeram dan dipeluknya, maka para pembantu itupun berhati-hati sekali da-lam penyerangan mereka, khawatir kalau kalau senjata mereka mengenai anak itu sendiri. Dan mereka sama sekali tidak berani mempergunakan anak panah.

Melihat keadaan anak yang berada dalam ancaman maut itu, dengan pundak yang sudah robek terluka, Ci Kang tidak sempat menyelidiki lagi siapa adanya orang-orang itu dan siapa pula anak itu. Dia sudah marah sekali melihat keganasan biruang itu dan melihat pula sudah ada dua orang yang terluka parah, mungkin terkena cengkeraman kuku kaki depan kanan biruang itu. Ci Kang mengeluarkan suara melengking nyaring, mengejutkan para pemburu bangsa Khin itu dan dapat dibayangkan, betapa heran dan kagum rasa hati mereka ketika melihat pemuda yang bertelanjang dada dan mengeluarkan bunyi melengking seperti binatang buas itu meloncat dan tahu-tahu sudah menusukkan jari tangannya menotok pundak kiri biruang itu. Binatang itu mengeluarkan auman marah dan kesakitan, akan tetapi totokan yang mengenai urat besar di pundaknya itu sejenak melumpuhkan lengan kirinya sehingga ketika Ci Kang menyambar tubuh anak itu, dia tidak mampu mempertahankan.

Ci Kang cepat melemparkan tubuh anak itu kepada seorang di antara para pemburu, dan dia sendiri cepat menghadapi biruang yang kini menjadi semakin marah. Biruang itu sudah menerjang dan menubruk ke depan, kedua kaki depan itu bergerak seperti lengan yang amat kuat, dengan kuku-kuku jari yang meruncing panjang, menerkam dari kanan kiri ke arah tubuh Ci Kang. Akan tetapi, Ci Kang sudah siap siaga. Dengan gerak-an yang amat gesit tubuhnya menyelinap ke bawah kaki yang menerkam itu, dan begitu dia terhindar, dia membalik dan tangan kanannya menyambar.

"Dukkk...!" Betapapun kuatnya kepala biruang itu, begitu terkena tamparan tangan Ci Kang yang amat kuatnya, biruang itu mengeluarkan suara pekik he-bat dan tubuhnya terpelanting dan terbanting keras sampai bergulingan. Akan tetapi, binatang itu memang kuat sekali. Kulitnya yang tebal melindungi kepalanya sehingga tidak sampai pecah terpukul dan biarpun binatang itu menjadi pening ka-rena guncangan hebat pada kepalanya, ia masih dapat meloncat bangun dan me-nerkam lagi, kini gerakannya ngawur ka-rena matanya masih berkunang.

Ci Kang meloncat ke samping, kemudian dari samping dia memukul. Kini dia mengerahkan tenaga pada telapak tangan kanannya itu menghantam ke arah dada kiri biruang.

"Krakkk!" Jelas sekali terdengar tulang-tulang patah ketika tangan yang ampuh itu menghantam tulang-tulang iga di balik kulit tebal. Biruang itu mengaum dan terjengkang. Ci Kang meloncat de-kat dan sekali tangannya bergerak memukul, kini terkepal, terdengar lagi pecahnya tulang dan kepala biruang itupun retak. Binatang itupun tewas dengan mata, hidung, mulut dan telinga mengeluar-kan darah!

Terdengar sorak-sorai memuji dan bahkan ada yang bertepuk tangan, dan ada pula yang menari-nari mengelilingi bangkai biruang itu. Seorang di antara mereka yang agaknya menjadi pemimpin rombongan, memegang lengan Ci Kang dan mengguncang-guncangkan lalu memeluk Ci Kang dengan sikap ramah bersahabat.

"Orang muda, engkau telah menyela-matkan putera kepala suku kami," kata orang itu dalam bahasa Han yang cukup lancer. Kiranya orang ini adalah seorang bangsa Khin yang sudah sering berhubungan dengan orang-orang Han di perbatasan untuk menjual kulit-kulit harimau hasil buruan rombongannya.

Ci Kang melihat bahwa luka di pun-dak anak itu sudah dibalut dan bahwa anak itu tidak terancam bahaya. Dia mengangguk. "Aku tidak perduli dia anak siapa, akan tetapi aku girang kalau dia selamat," jawabnya sederhana. Jawaban ini agaknya membuat semua orang ber-gembira dan kagum dan satu demi satu mereka menyalami Ci Kang. Orang-orang ini sudah hagitu biasa dengan sikap ga-gah dan jujur, sehingga pernyataan Ci Kang itu menambah rasa kagum di hati mereka. Biasanya orang-orang Han selalu merupakan penjilat-penjilat kepada atasan dan penindas-penindas kepada bawahan, pikir mereka.

"Orang muda, mari ikut bersama ka-mi pergi menemui kepala suku kami," kala si brewok yang menjadi pimpinan rombongan itu.

Ci Kang memandang orang itu dan mengerutkan alisnya. "Aku tidak butuh hadiah!" setelah berkata demikian, dia membalikkan tubuhnya hendak pergi dari situ. Akan tetapi, dengan langkah lebar si brewok itu mengejarnya dan mendahu-luinya lalu menghadang di depannya.

"Kau mau apa?" bentak Ci Kang sambil mengepal tinju. Hatinya yang sedang kesal membuatnya murung dan mudah marah.

Tiba-tiba orang brewok itu menjatuhkan diri berlutut, "Orang muda, aku hanya minta agar engkau suka menyelamatkan nyawaku."

Tentu saja Ci Kang menjadi heran dan terkejut. "Apa maksudmu?"

"Orang muda, anak yang kauselamat-kan tadi adalah putera kepala suku kami. Kalau engkau tidak mau ikut bersama kami menemuinya, bukan untuk minta pahala melainkan untuk menjadi saksi, tentu aku dianggap mempunyai dua kesalahan dan akan dihukum mati. Pertama, aku membiarkan puteranya sampai terlu-ka dan kedua, aku membiarkan penolongnya tanpa memperkenalkannya kepada kepala kami."

Ci Kang mengerutkan alisnya. Dia percaya bahwa orang-orang yang kasar ini, orang-orang yang mempunyai pekerjaan yang sama dengannya, yaitu pemburu-pemburu binatang, tidak pernah membo-hong, dan kebiasaan yang kasar dan ke-ras dari kapala suku itu mungkin benar. Dan apa salahnya kalau dia berkenalan dengan orang-orang ini? Berada di antara orang-orang kasar jujur pekerjaannya memburu binatang ini dia merasa tidak asing.

"Jauhkah tempat kepala suku itu?"

"Tidak, orang muda, tidak sampai seperempat hari perjalanan. Siang nanti kita sudah akan tiba di sana."

"Baiklah. Mari kita berangkat."

Dan orang brewok itu memang tidak berbohong. Setelah matahari naik tinggi, tibalah mereka di perkampungan Suku Bangsa Khin itu dan andaikata Ci Kang tidak ikut datang, tentu si brewok ini mengalami hukuman berat. Kepala suku itu orangnya tinggi besar dan kasar, sepasang matanya yang lebar itu keras dan terbuka. Dia mendengarkan penuturan si brewok dengan alis berkerut. Akan tetapi setelah memeriksa pundak puteranya yang terluka dan mendapat kenyataan bahwa keadaan puteranya tidak berbahaya, apelagi mendengar bahwa pemuda yang tak berbaju ini telah membunuh biruang hitam besar hanya dengan pukulan tangan kosong, dia lupa akan kemarahannya. Sejenak dia memandang Ci Kang dengan sepasang mata penuh selidik dan agaknya dia tidak percaya ketika mendengar penuturan si brewok dan kawan-kawannya bahwa Ci Kang telah membunuh biruang itu hanya dengan tiga kali pukulan saja!

Kepala suku itu menggeleng kepala dan dia memandang kepada kedua lengannya yang berotot dan besar. "Mana mungkin membunuh biruang hitam dewasa dengan tiga kali pukulan saja? Kedua tangan inipun tidak sanggup menandingi kekuatan biruang hitam. Mungkin dalam perkelahian mati-matian akhirnya aku akan dapat membunuhnya, akan tetapi dengan tiga kali pukulan? Tak mungkin! Orang muda, benarkah engkau tadi telah membunuh seekor biruang hitam dewasa dengan tiga kali pukulan?"

Ci Kang sudah menyukai sikap terbuka itu. Orang-orang ini mengagumkan, pikirnya dan cocok sekali dengan wataknya. Dia sejak kecil suka sekali berburu binatang dan walaupun ayahnya dan rekan-rekan ayahnya suka mencemoohkannya, namun dia menganggap berburu binatang untuk dimakan dagingnya dan dimanfaatkan kulitnya merupakan pekerjaan yang gagah. Mencari makan dengan cara yang perkasa!

"Benar, dan kalau aku mau, aku dapat membunuh binatang itu dengan satu kali pukulan saja!" Ucapan Ci Kang ini timbul dari hati yang sejujurnya, bukan untuk menyombongkan diri.

Kepala suku itu mengerutkan alisnya dan menganggap ucapan ini sebagai tanda ketinggian hati. "Orang muda, kalau engkau tidak dapat membuktikan ucapanmu itu, terus terang saja engkau mengecewakan hatiku dan aku menjadi tidak suka kepadamu walaupun engkau telah menolong puteraku."

"Aku tidak berbohong dan perlu apa aku membuktikan omonganku? Andaikata engkau mempunyai seekor biruang hitam di sini, akupun tidak mau membunuhnya tanpa sebab, hanya untuk membuktikan omonganku."

"Orang muda, kekuatanku lima kali seekor biruang hitam. Kalau engkau mampu mengalahkan seekor biruang dengan satu kali pukulan saja, berarti bahwa engkau akan mampu mengalahkan aku dengan lima kali pukulan. Betapa tidak masuk di akal! Nah, aku akan melihat buktinya. Kalau engkau dapat mengalahkan aku dalam sepuluh jurus, berarti omonganmu memang benar."

"Kalau tidak dapat?"

"Berarti engkau bohong dan perkenalan kita hanya sampai di sini saja. Nah, bersiaplah engkau, kecuali kalau engkau takut!"

Harga diri Ci Kang tersentuh dengan ucapan itu. "Aku tidak butuh membuktikan kemampuanku, akan tetapi kalau engkau memaksaku, jangan dikira aku takut!"

Sepasang mata yang lebar itu berseri. "Bagus, nah, mari kita mulai, orang muda!" Dia lalu mengajak Ci Kang keluar dari dalam rumahnya dan mereka sudah saling berhadapan di depan rumah itu, di halaman yang luas di mana tumbuh rum-put hijau yang subur. Orang-orang Khin ini selain merupakan pemburu-pemburu yang ulung, juga beternak domba dan mereka menanam semacam rumput yang amat gemuk dan baik sekali untuk makanan ternak mereka. Kini dua orang laki--laki itu berdiri berhadapan dan banyak sekali orang Khin yang mendengar akan kedatangan pemuda yang gagah perkasa penolong putera kepala suku mereka, su-dah berada di situ dan kini dengan wajah berseri mereka melihat betapa kepala suku mereka akan menguji pemuda itu! Melihat Ci Kang bertelanjang dada, ke-tua itupun menanggalkan baju atasnya dan Ci Kang melihat tubuh seorang laki-laki yang jantan dan amat tegap, kokoh dan kuat. Akan tetapi dia dapat menduga bahwa kepala suku itu hanya memiliki tenaga otot yang amat besar saja, dan dia tidak merasa gentar. Akan tetapi diapun tidak memandang rendah dan mengambil keputusan untuk mengalahkan rak-sasa ini kurang dari sepuluh jurus karena diapun tidak ingin kehilangan persahabat-an dengan orang-orang yang menyenang-kan hatinya. Bahkan orang-orang wanitanya yang berada di situ kelihatan gagah-gagah, sama sekali berbeda dengan wani-ta-wanita Han yang kebanyakan lemah. Tentu saja ada kecualinya, pikirnya, ter-utama sekali gadis-gadis seperti Sui Cin dan Hui Cu, puteri Ratu Iblis itu!

"Aku sudah siap!" katanya ketika melihat ketua itu melangkah maju dengan kedua lengan panjang itu tergantung ke sisi, dengan jari-jari tangan terbuka dan agak melengkung. Sikap ini mirip sikap biruang hitam tadi, pikir Ci Kang dan diapun bersikap waspada, dapat menduga bahwa orang ini tentu ahli dalam ilmu gulat dan karenanya amat berbahaya kalau sampai kedua lengan panjang dengan jari-jari tangan kuat itu sampai dapat menangkapnya.

Akan tetapi ketika kepala suku itu menerjang dengan amat cepatnya, dia su-dah mengambil keputusan untuk memperlihatkan kepandaiannya dan menundukkan raksasa ini secepat mungkin. Ci Kang mempergunakan perhitungan yang matang dan berani. Ketika dua tangan yang besar itu menyambar dari kanan kiri, dia sengaja berlaku lengah atau lambat, akan tetapi untuk menjaga kecepatan gerak tangannya, dia tidak membiarkan pundak atau lengannya tersentuh, apalagi tertangkap. Dengan mengembangkan kedua lengannya, dia membiarkan batang leher dan pangkal lengan kirinya kena dicengkeram, sedangkan secepat kilat, begitu merasa kedua tangan lawan menyentuhnya, jari tangan kanannya bergerak dua kali menotok ke arah jalan darah di kedua pundak lawan. Saking cepatnya, gerakan ini sampai tidak nampak oleh kepala suku itu sendiri yang tiba-tiba merasa betapa dua buah lengannya kehilangan tenaga sama sekali dan menjadi seperti lumpuh. Biarpun kelumpuhan itu hanya terjadi untuk beberapa detik saja lamanya, namun cukup bagi Ci Kang untuk menggerakkan kakinya dan ujung sepatunya menyentuh kedua lutut lawan. Kedua kaki yang besar dan kuat itu se-ketika kehilangan tenaga dan tubuh itu-pun terkulai dan roboh miring!

Kepala suku itu merasa kaget, heran dan penasaran sekali ketika mendapat kenyataan betapa dalam segebrakan saja dia sudah roboh dan kini kedua lengannya dicengkeram oleh lawan yang sudah berlutut di belakangnya. Dia mengerahkan tenaga raksasanya, akan tetapi tiba-tibe dia mengeluh dan tubuhnya mengejang, tenaganya hilang. Tiap kali dia mengerahkan tenaga, rasa nyeri yang amat hebat naik ke dalam dadanya dari kedua lengan yang dicengkeram Ci Kang. Belum pernah selama hidupnya kepala suku itu mengalami hal seperti ini. Cengkeraman rahasia dari lawan itu membuat dia menderita nyeri hebat setiap kali dia menge-rahkan tenaga!

Melihat betapa kepala suku itu kini sama sekali tidak meronta lagi, Ci Kang melepaskan cengkeraman kedua lengannya dan melompat bangun, berdiri dengan si-kap tenang. Semua orang yang menonton pertandingan itu melongo, tak dapat percaya betapa kepala suku itu tak berdaya dan dikalahkan hanya dalam satu gebrakan saja! Hal seperti ini mereka ang-gap sama sekali tidak mungkin! Kepala suku mereka itu mempunyai kekuatan le-bih dari sepuluh orang biasa!

Akan tetapi kepala suku bangsa Khin itu sendiri adulah seorang gagah yang tentu saja cerdik. Kalau tidak demikian, tak mungkin dia bisa menjadi kepala suku bangsa yang kasar dan gagah berani, juga sukar diatur. Dia tahu apabila dia kalah dan menghadapi orang-orang yang jauh lebih kuat darinya. Oleh karena itu, diapun bangkit, memijit-mijit kedua lengannya bergantian, memandang kepada Ci Kang dengan wajah berseri, lalu mengulurkan kedua tangannya dan merangkul Ci Kang! Pemuda ini sudah siap membela diri kalau kepala suku itu akan bertindak curang, akan tetapi ternyata rangkulan itu adalah pelukan persahabatan biasa saja.

"Orang muda, sungguh engkau hebat dan aku sendiri akan memukul orang yang tidak percaya bahwa dengan satu pukulan, engkau akan mampu merobohkan seekor biruang hitam dewasa! Engkau hebat dan aku, Moghu Khali, mengaku kalah!" Ke-pala suku itu tertawa gembira dan sikap ini makin mengagumkan hati Ci Kang.

"EngkKau memiliki tenaga yang amat kuat!" Dia memuji dengan sejujurnya. "Kalau hanya mempergunakan tenaga badan saja melawanmu, aku tentu akan kalah."

Kedudukan Moghu Khali yang tinggi di antara suku bangsanya itu sama sekali tidak membuat kepala suku ini sombong atau tinggi hati. Dia tertawa dan girang sekali mendengar ucapan yang jujur itu. "Orang muda, siapakah namamu?"

"Siangkoan Ci Kang."

"Saudara Siangkoan, kita sudah saling mengenal nama dan saling mengenal tenaga dan kepandaian. Ilmu kepandaianmu dalam perkelahian memang hebat dan kalau engkau suka mengajarku tentang cengkeraman rahasia yang membuat aku tidak mampu mengerahkan tenaga tadi, sung-guh aku akan merasa gembira sekali."

Ci Kang memang merasa kagum dan suka kepada kepala suku ini, maka diapun mengangguk. "Baiklah, saudara Moghu, akan kuajarkan cara mencengkeram seperti tadi."

Moghu Khali girang sekali dan sambil menggandeng tangan Ci Kang, dia lalu mengajak pemuda itu masuk ke dalam rumah. Sejak saat itu Ci Kang menjadi seorang tamu yang amat dihormat dan disuka. Karena sikap ini, Ci Kang menjadi semakin akrab dengan mereka. Melihat betapa kepala suku itu mempunyai banyak bulu binatang liar yang bagus, diapun lalu minta dibuatkan sebuah jubah bulu harimau yang menjadi kesukaannya. Kemudian, dalam percakapan mereka, dia mendengar bahwa di antara kepala suku akan diadakan pemilihan ketua atau pimpinan.

"Di selatan terjadi pergolakan dan pemberontakan," demikian antara lain Moghu Khali berkata. "Kota benteng San-hai-koan telah diduduki pemberontak yang kabarnya didukung oleh orang-orang pandai. Kami, bangsa Mongol, Khin dan Mancu harus bersatu untuk menghadapi pemberontak itu dan rencana kami adalah merampas kota-kota yang telah mereka duduki untuk dijadikan benteng-benteng kami di perbatasan. Dan untuk itu, kami akan mengadakan pemilihan pimpinan dan kalau engkau sudi membantu, dan suka menjadi jago kami, aku yakin bahwa tentu aku yang akan terpilih menjadi pimpinan."

"Menjadi jago? Apa yang kaumaksudkan, saudara Moghu Khali?" tanya Ci Kang, di dalam hatinya terkejut mendengar betapa para pemberontak yang dipimpin oleh Raja Iblis itu ternyata telah merampas dan menduduki benteng kota San-hai-koan.

Moghu Khali lalu menceritakan kepada pemuda itu tentang rencana para suku bangsa untuk mengadakan pemilihan pimpinan melalui adu jago, seperti yang diusulkan oleh nenek Yelu Kim dan diterima oleh mereka semua.

Biarpun kepala suku itu tidak membuka semua rencana para suku bangsa utara, Ci Kang sudah dapat menduga bahwa tentu para suku bangsa itu tidak memusuhi para pemberontak karena setia kawan kepada pemerintah Kerajaan Beng, melainkan karena mereka itu juga ingin membangun kembali kekuatan mereka yang telah hancur berantakan akibat jatuhnya Kerajaan Mongol. Akan tetapi baginya, yang penting sekarang adalah menghadapi para pemberontak, dan kalau Raja Iblis sudah bersekutu dengan pasukan, bahkan telah merampas kota benteng San-hai-koan, sebaiknya kalau dia mempergunakan suku bangsa Khin ini untuk menentang para pemberontak.

"Baik, saudara Moghu, aku akan membantumu dan suka menjadi jagoanmu untuk mengalahkan para jagoan lain. Tentu saja aku tidak yakin akan menang karena suku-suku bangsa itu tentu akan mengajukan jago-jago yang tangguh."

"Ha-ha-ha! Kesanggupanmu sudah merupakan kemenangan, saudara Siangkoan. Andaikata nasib tidak mempertemukan aku dan engkau, tentu aku sendiri yang maju. Akan tetapi walaupun tidak ada kulihat jagoan di utara yang dapat mudah mengalahkan aku, namun aku masih ragu-ragu karena memang banyak orang-orang kuat yang memiliki tenaga besar dan ilmu gulat yang hebat di daerah ini. Akan tetapi, tak mungkin ada di antara mereka yang akan dapat mengalahkanmu. Ha-ha-ha, aku sendiri kalah dalam segebrakan, siapa mampu mengalahkan seorang seperti engkau? Terima kasih, saudaraku. Kita harus mengadakan persiapan sekarang."

Demikiahlah, ketika sayembera adu jago untuk menentukan pemenang bagi calon pemimpin suku-suku di utara, Ci Kang muncul dengan gagahnya, mewakili Bangsa Khin, menunggang seekor kuda putih dan memegang sebatang tombak kong-ce.

Akan tetapi bagaimana Hui Song tiba-tiba dapat menyelinap di antara banyak orang, dan berpakaian sebagai seorang anggauta romborgan Mancu Timur? Untuk mengetahui jawabannya, mari kita mengikuti perjalanan Hui Song, pemuda jenaka yang biasa bergembira dan yang kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi berkat gemblengan selama kurang lebih tiga tahun oleh Siang-kiang Lo-jin Si Dewa Kipas.

Seperti telah kita ketahui, Cia Hui Song hanya berhasil menyelamatkan Kok Hui Lian, anak perempuan berusia sepuluh tahun, puteri gubernur San-hai-koan yang telah tewas bersama semua keluar-ganya itu. Ketika melarikan anak perem-puan itu, dia bertemu dengan sebagian dari Cap-sha-kui dan dikeroyok. Untung ketika anak perempuan itu terancam, muncul Ciang Su Kiat murid Cin-ling-pai yang buntung lengan kirinya itu dan orang ini melarikan Hui Lian.

Karena San-hai-koan telah jatuh ke dalam tangan pemberontak dan dia tidak mampu melakukan suatu untuk menentang para pemberontak, Hui Song lalu pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menghadiri pertemuan para pende-kar. Pertemuan itu menjadi semakin pen-ting saja setelah kini Raja Iblis dan ka-wan-kawannya sudah membuktikan pelak-sanaan rencana mereka untuk memberontak dengan direbutnya San-hai-koan. Di tempat ini dia bertemu dengan beberapa orang pendekar yang sudah datang terlebih dahulu. Akan tetapi karena memang hari yang ditentukan belum tiba, dia bersama para pendekar menanti di sekitar tempat itu. Tak disangkanya Siangkoan Ci Kang yang dianggap sebagai seorang tokoh muda kaum sesat yang amat berbahaya itu muncul di situ. Tentu saja Hui Song menjadi curiga. Dia tahu benar sia-pa adanya pemuda ini dan betapapun ga-gah pemuda itu, kenyataan bahwa dia adalah putera tunggal Si Iblis Buta tentu saja menimbulkan kecurigaan bahwa Ci Kang tentu datang untuk menjadi mata-mata kaum hitam. Itulah sebabnya tanpa ragu-ragu lagi Hui Song menyerangnya dan para pendekar juga menjadi marah kepada Siangkoan Ci Kang.

Pada hari itu juga girang Hui Song melihat kedatangan gurunya, yaitu Si Dewa Kipas. Murid dan guru ini segera bercakap-cakap dan ternyata kakek gendut itupun sudah mendengar tentang jatuhnya San-hai-koan ke tangan para pemberon-tak.

"Mereka telah benar-benar bergerak," kata kakek itu sambil menarik napas panjang. "Kini tidak mungkin lagi kita mela-wan mereka begitu saja. Raja dan Ratu Iblis bersama para datuk kaum sesat, be-tapapun sakti mereka itu, dapat kita ha-dapi bersama. Kalau para pendekar bersatu, agaknya fihak kita tidak akan ka-lah kuat. Akan tetapi setelah mereka itu mempunyai pasukan besar sebagai sekutu, tentu saja tak mungkin bagi kita mela-wan pasukan yang beribu-ribu banyaknya. Jalan satu-satunya bagi kita hanyalah berpencar dan membantu pasukan pemerin-tah kalau bertempur dengan mereka, di manapun juga."

Hui Song lalu bercerita tentang putera Si Iblis Buta yang baru pagi tadi datang ke tempat itu dan melarikan diri setelah mereka serang. "Dia itu tentu mata-mata musuh, suhu. Sayang kami tidak dapat menangkapnya. Dia sungguh lihai."

Kakek gendut itu mengerutkan alis-nya. Kakek yang biasanya tertawa-tawa gembira itu kini kehilangan kegembiraan-nya melihat betapa kaum pemberontak telah bergerak sebelum mereka mampu mencegahnya. "Aku tidak dapat menduga bagaimana sesungguhnya mereka itu. Aku tidak yakin apakah putera Iblis Buta itu juga bekerja untuk mereka."

"Tentu saja, suhu. Bagaimana tidak? Sejak dahulu dia itu merupakan tokoh ja-hat yang berbahaya sekali."

"Akan tetapi engkau harus ingat bah-wa ayahnya dibunuh oleh Raja Iblis," bantah kakek gendut itu.

"Sekali jahat tetap jahat!" Hui Song berkata lagi. "Putera seorang datuk se-perti Iblis Buta itu, tentu menjadi seorang tokoh sesat yang luar biasa. Biarpun ayahnya terbunuh oleh Raja dan Ratu I-blis, mana mungkin dia lalu berubah menjadi orang baik-baik, bahkan hendak mendekati kaum pendekar? Dia tentu mata-mata, suhu."

Kakek itu mengangguk-angguk. "Mungkin ada perebutan kekuasaan di antara mereka, Hui Song. Akan tetapi ada yang lebih penting lagi. Biarlah aku yang menghadiri pertemuan dan engkau kuberi tu-gas baru yang amat penting."

Girang rasa hati Hui Song. Dia gelisah memikirkan Sui Cin dan duduk menganggur sambil menanti hari pertemuan itu di bekas benteng Jeng-hwa-pang sungguh tidak menyenangkan hatinya. "Tugas apakah itu, suhu?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar