20 Asmara Berdarah

Hui Song terkejut bukan main dan seperti kilat cepatnya dia sudah menerobos keluar dari dalam kolong tempat tidur. Namun terlambat. Dia mendengar jende-ral itu memekik keras dan tubuh yang tinggi besar itu terguling roboh di atas lantai tanpa nyawa lagi karena jari-jari tangan gadis iblis itu telah menusuk pe-lipisnya! Gui Siang Hwa telah menyambar segulung kertas dari atas meja, akan tetapi gadis itu terkejut setengah mati ketika tiba-tiba muncul seorang pemuda dari kolong tempat tidur, apalagi ketika di bawah sinar lampu ia melihat dan mengenal wajah pemuda itu.

"Kau... kau... Cia Hui Song...!" Serunya dengan suara gemetar dan muka berobah pucat.

"Perempuan jahat!" Hui Song memaki marah karena dia melihat betapa munculnya terlambat dan jenderal itu tidak dapat ditolong lagi. Maka diapun segera -langsung menyerang ke arah wanita itu dengan maksud untuk merobohkannya dan menangkapnya, apalagi dia melihat bahwa Siong Hwa mengambil gulungan kertas yang menurut dugaannya tentu merupakan benda penting.

Akan tetapi, tiba-tiba wanita itu tertawa dan tangan kirinya bergerak ke depan. Sinar hijau yang berbau harum menyambar ke arah muka Hui Song. Pemuda ini sudah mengenal kelicikan dan kelihaian wanita itu, maka diapun mengelak dengan lemparan diri ke kiri. Kesempat-an itu dipergunakan oleh Siang Hwa untuk melompat keluar dari dalam kamar terus melarikan diri dalam keadaan ma-sih memakai pakaian dalam dan kedua kakinya telanjang tanpa sepatu.

"Mau lari ke mana kau?" bentak Hui Song sambil mengejar.

Akan tetapi, suara ribut-ribut itu me-mancing datangnya serombongan penjaga dan Hui Song mendengar Siang Hwa berkata, "Tolong, pengawal...! Penjahat itu membunuh Lui-ciangkun...!"

Karena para pengawal mengenal Siang Hwa sebagai kekasih baru Jenderal Lui, mereka percaya dan serta merta mereka menghadang dan menyerang Hui Song dengan senjata mereka!

"Perempuan itulah pembunuhnya! Ia siluman jahat...!" Hui Song berseru, akan tetapi mana mungkin para penjaga percaya kepadanya? Mereka tidak mengenalnya, sebaliknya, wanita itu telah mereka kenal baik sebagai kekasih atasan mereka. Mereka mengurung sambil berteriak-teriak. Dengan gemas Hui Song tidak mau melayani mereka, mendorong mereka roboh terpelanting ke kanan kiri dan melanjutkan pengejarannya. Akan tetapi, serbuan para penjaga itu membuatnya terlambat dan dia sudah kehilangan jejak Siang Hwa yang sudah menghilang entah ke jurusan mana. Hui Song membanting-banting kaki dan diapun tidak mau melanjutkan pengejarannya. Keadean sudah a-mat gawat. Tidak perlu membuang waktu. Bagaimanapun juga, Jenderal Lui telah tewas dan dia harus menyerahkan surat dari Kok-taijin kepada wakil dari jenderal itu.

Dengan hati tabah Hui Song lalu kembali lagi ke benteng. Tentu saja dia disambut oleh para penjaga dengan tombak di tangan. Hui Song mengangkat tangan kanan ke atas dan berkata dengan suara nyaring, "Sobat-sobat harap jangan salah sangka. Aku adalah tamu dari San-hai-koan, membawa pesan dari Kok-taijin untuk Lui-ciangkun. Akan tetapi, kebetul-an sekali kedatanganku melihat betapa Lui-ciangkun dibunuh oleh perempuan iblis itu...!"

"Bohang! Wanita itu adalah selir Lui-ciangkun dan dia ini..."

"Tenang dulu, sobat! Pikirlah baik-baik. Di mana adanya perempuan itu sekarang? Kalau memang ia orang baik-baik, kenapa ia melarikan diri? Karena kalian menghadangku, maka aku sampai tidak berhasil menangkapnya. Lui-ciangkun telah di-bunuhnya, dan ketahuilah bahwa wanita itu adalah seorang tokoh pemberontak!"

Akan tetapi para penjaga tidak mau percaya begitu saja walaupun ada di an-tara mereka yang mencari-cari dan tidak dapat menemukan Siang Hwa. Di dalam gedung Lui-ciangkun sudah geger dan terdengar tangisan dari isteri-isterinya.

"Sebaliknya kalian bawa aku mengha-dap wakil dari Lui-ciangkun. Biar yang menentukan apakah aku bersalah atau tidak!"

Usul ini dapat diterima oleh para penjaga dan dengan pengawalan ketat, Hui Song digiring masuk ke dalam benteng dan dihadapkan kepada Bhe-ciangkun yang menjadi wakil dari Lui-ciangkun. Bhe-ciangkun adalah seorang panglima yang sudah berpengalaman dan usianya sudah lima puluh tahun lebih. Sekali pandang saja dia dapat menduga bahwa yang di-bawa menghadap padanya adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan memiliki kepandaian tinggi, juga sikapnya tabah dan gagah, sama sekali tidak membayangkan watak yang jahat.

Dengan jujur Hui Song membuat laporan di depan panglima itu. "Harap ciangkun maafkan bahwa saya telah menimbulkan keributan dan salah sangka. Saya adalah utusan pribadi dari Kok-taijin di San-hai-koan, membawa surat untuk Lui-goanswe. Karena tidak ingin membuang waktu, malam-malam saya langsung mema-suki benteng hendak menghadap Lui-goanswe. Akan tetapi, saya melihat seorang wanita yang saya kenal, yaitu Gui Siang Hwa. Ia adalah murid Raja Iblis yang sedang menghimpun para datuk sesat untuk memberontak, maka kehadirannya di Ceng-tek tentu saja membuat saya heran dan curiga. Demikianlah, saya melakukan pengintaian di kamar Lui-goanswe dan tak saya sangka-sangka, iblis perempuan itu membunuh Lui-goanswe ketika rayuan dan bujukannya terhadap panglima itu a-gar ikut memberontak ditolak oleh Lui-goanswe. Dan ia pergi membawa gulungan kertas dari dalam kamar. Saya mengejarnya, akan tetapi para penjaga salah sangka dan tertipu oleh perempuan jahat itu, sehingga ia dibiarkan pergi dan saya malah yang dikeroyok."

Dengan tenang Bhe-ciangkun mendengarkan pula laporan para penjaga dan mendengar bahwa memang ternyata wa-nita bernama Gui Siang Hwa itu telah lenyap dan wanita itu pergi dalam keadaan setengah telanjang.

Bhe-ciangkun menerima surat kiriman dari Kok-taijin. Begitu membaca surat i-tu, wajahnya berobah dan dia lalu meng-ajak Hui Song untuk masuk ke dalam sebuah kamar untuk diajak bicara empat mata. Tentu saja para penjaga merasa heran dan baru mereka tahu bahwa mereka tadi telah salah tangkap.

Sementara itu, setelah tiba di dalam kamarnya bersama Hui Song, Bhe-ciang-kun berkata, "Ah, kiranya pengkhianat Ji Sun Ki itu bersekongkol dengan pemberontak?"

Hui Song mengangguk. "Dia malah merencanakan dengan para pemberontak untuk membujuk Kok-taijin, akan tetapi tidak berhasil. Agaknya mereka akan menguasai San-hai-koan untuk dijadikan ba-sis gerakan pemberontakan mereka. Ka-rena itu, Kok-taijin mengharap bantuan pasukan dari sini, ciangkun." Hui Song lalu menceritakan semua tentang sayembara dan bagaimana dia memasuki sayembara karena curiga dan kemudian dia membantu Kok-taijin.

"Hemm, agaknya para tokoh pembe-rontak itu berusaha keras untuk mempe-ngaruhi pula Lui-goanswe dan ketika mereka tidak berhasil, Lui-goanswe dibunuh dan gulungan kertas itu adalah catatan keadaan kekuatan di benteng ini. Sungguh berbahaya sekali. Cia-sicu, jasamu besar sekali dan jangan khawatir, aku akan mempersiapkan pasukan besar untuk se-waktu-waktu menggempur pasukan Ji-ciangkun kalau dia benar-benar berani memberontak."

"Terima kasih, ciangkun. Tugas saya di sini sudah selesai. Saya mengkhawatir-kan keadaan di San-hai-koan, maka saya akan kembali ke sana secepatnya."

Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi Hui Song kembali ke San-hai-koan dan Bhe-ciangkun memberi seekor kuda yang baik, lengkap dengan satu stel busur dan anak panah yang memang di-minta oleh Hui Song sekedar untuk pen-jagaan diri karena dia maklum bahwa setelah dirinya terlihat oleh Siang Hwa, bukan tidak mungkin gadis itu mempersiapkan teman-temannya untuk menghadangnya apabila dia kembali ke San-hai-koan.

Kekhawatiran Hui Song itu sama se-kali tidak terbukti. Dia tidak tahu bahwa pada saat itu, Siang Hwa dan kawan-ka-wannya sedang sibuk untuk suatu urusan yang lebih penting lagi, yaitu persiapan untuk menguasai benteng San-hai-koan! Hal ini terjadi di luar sangkaan dan per-hitungan Hui Song. Tak disangkanya bah-wa secepat itu Ji-ciangkun akan bergerak untuk merampas dan menguasai benteng untuk kaum pemberontak.

Dipercepatnya pengambilalihan benteng San-hai-koan oleh para pemberontak ada hubungannya dengan pertemuan antara Hui Song dan Siang Hwa di dalam kamar Lui-ciangkun di Ceng-tek itu. Setelah bertemu dengan Hui Song dan menyampaikan berita ini secepatnya kepada gurunya dan Raja Iblis juga segera minta kepada Ji-ciangkun untuk bergerak pada hari itu juga! Raja Iblis dapat menduga bahwa munculnya Cia Hui Song di Ceng-tek itu tentu ada hubungannya dengan Kok-taijin, bahkan dia hampir yakin bahwa pemuda itu yang menjadi pengawal pribadi Kok-taijin itu tentu menjadi utusan gubernur San-hai-koan untuk minta bantuan kepada benteng Ceng-tek!

Karena desakan yang mendadak ini, Ji-ciangkun menjadi sibuk. Dia belum melaksanakan rencananya menculik Kok Hui Lien, anak perempuan dari Kok-taijin itu. Karena desakan Raja Iblis, mau tidak mau harus mempergunakan kekerasan. Demikianlah, pada hari itu juga dia mengerahkan pasukannya untuk mengepung gedung Kok-taijin. Gubernur ini yang sudah siap siapa menghadapi segala kemungkinan, segera mengumpulkan para pengawalnya. Pasukan pengawal yang berada di luar gedung segera berkumpul dan menjaga rumah majikan mereka dengan ketat.

Ji-ciangkun masih hendak mempergu-nakan bujukan. Setelah gedung dikepung, dia menyampaikan pesan kepada gubernur itu melalui para pengawal, agar sang gubernur menyerah saja daripada harus di-serbu dengan kekerasan. Akan tetapi Gu-bernur Kok membalas dengan makian dan semua pengawalnya juga siap untuk me-lindunginya. Terjadilah penyerbuan yang dilakukan oleh pasukan Ji-ciangkun. Akan tetapi, para pengawal melakukan perla-wanan dengan gagah perkasa sehingga terjatuhlah banyak korban di antara kedua pihak. Sampai sehari lamanya, gedung Kok-taijin masih dapat dipertahankan oleh para pengawal walaupun jumlah mereka sudah banyak berkurang dan gedung itu masih tetap dikurung.

Dalam keadaan seperti itulah Hui Song muncul. Dari para penghuni San-hai-koan yang lari mengungsi keluar kota, dia mendengar akan terjadinya pertempuran antara pasukan Ji-ciangkun melawan para pengawal Kok-taijin dan bahwa gedung gubernur telah dikepung pasukan Ji-ciangkun. Maka diapun membalapkan kudanya dan ketika dia memasuki pintu gerbang kota benteng itu, keadaan masih kacau-balau. Hui Song tidak perduli dan terus membedal kudanya menuju ke gedung Gubernur Kok. Dia menerjang semua perajurit yang berani menghalanginya dan ketika para pengawal Gubernur Kok mengenalnya, mereka membukakan pintu dan membiarkan Hui Song memasuki pintu gerbang yang mereka jaga ketat.

Sedih juga hati Hui Song melihat betapa mayat para pengawal sudah bertumpuk-tumpuk dan berserakan, dan betapa besar jumlah pasukan Panglima Ji yang mengepung rumah gedung itu. Melihat perbandingan jumlah pasukan, jelaslah bahwa tak mungkin pihak gubernur akan dapat bertahan lebih lama lagi. Dia segera menghadap Kok-taijin yang berkumpul di ruangan dalam bersama keluarganya. Keluarga gubernur itu sudah menangis dan nampak ketakutan, hanya sang gubemur yang masih bersikap tenang dan tabah, walaupun wajahnya juga pucat sekali.

"Cia-sicu...!" Gubemur itu girang sekali melihat Hui Song dan merangkulnya. "Ah, engkau dapat datang juga? Bagaimana dengan tugasmu?"

Dengan singkat dan cepat Hui Song menceritakan pengalamannya dan bahwa Bhe-ciangkun di Ceng-tek sudah menyanggupi untuk mengirim pasukan. Akan tetapi dia menambahkan bahwa dia dan mereka yang berada di Ceng-tek sama sekali tidak menduga bahwa pengkhianat Ji Sun Ki akan bertindak demikian cepatnya, sehingga tentu saja bantuan dari Ceng-tek tidak dapat diharapkan akan datang hari ini.

Mendengar ini, sang gubemur menarik napas panjang dan menjatuhkan diri di atas kursi dengan lemas. Para keluarga wanita makin keras menangis ketika mendengar bahwa tidak ada harapan datangnya pertolongan.

"Diam! Jangan menangis lagi!" bentak sang gubernur. Suara tangisan itu membuat dia semakin bingung. Kemudian dia menoleh kepada Hui Song dan berkata, "Biarlah, kalau mereka terlambat datang, aku akan memimpin semua pengawalku melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir!"

"Taijin, saya mempunyai usul. Bagaimana kalau taijin menyelamatkan diri keluar dari San-hai-koan? Biarlah saya yang akan mengawal taijin menyelamatkan diri, dibantu oleh pasukan pengawal."

Gubernur itu menggeleng kepala. "Tidak ada gunanya, sicu. Mana mungkin menyelamtkan seluruh keluarga yang begini besar keluar dengan selamat? Dan engkau tentu akan repot sekali, tidak mungkin dapat melindungi kami semua. Pula, sebagai seorang gubernur, mana aku ada muka untuk melarikan diri ketakutan seperti anjing mau disembelih? Tidak, aku akan tetap bersama kcluargaku di sini, akan kuhadapi semua dengan tabah. Lebih baik aku tewas sebagai seorang pejabat yang membela kehormatannya sampai akhir daripada harus lari terbirit-birit ketakutan. Hanya ada satu permintaanku kepadamu, sicu. Kauselamatkanlah Hui Lian, anakku satu-satunya ini." Dan gubemur itu menuntun tangan Hui Lian, ditariknya ke depan Hui Song.

Hui Song yang baru beberapa hari lamanya berdekatan dengan gubernur itu, sudah dapat mengenal wataknya yang gagah dan teguh, maka diapun tahu bahwa berbantah tidak akan ada gunanya. Di samping itu, diapun menyangsikan apakah dia dan para pengawalnya akan berhasil kalau hendak menyelamatkan gubemur itu sekeluarganya karena pihak musuh terlampau banyak dan kalau kereta yang membawa gubernur itu dihujani snak panah, bagaimana pula dia akan dapat melindungi mereka? Berbeda halnya kalau hanya menyelamatkan satu orang saja, apalagi yang bertubuh kecil seperti anak perempuan ini. Dan diapun tahu akan hati seorang ayah seperti Gubernur Kok, yang lebih senang melihat puterinya selamat daripada dirinya sendiri.

"Baik, taijin, akan saya coba untuk menyelamatkan adik ini," katanya sambil memegang tangan anak perempuan itu. Anak itu tidak nampak ketakutan karena agaknya ia belum mengerti benar apa se-betulnya yang sedang terjadi. Rambutnya yang hitam diikat menjadi dua di atas kepalanya, seperti sepasang sayap burung saja dan ia memakai pita merah. Ia ter-senyum ketika tangannya digandeng Hui Song yang biarpun belum dikenalnya be-nar, namun agaknya ia tahu bahwa orang ini adalah sahabat ayahnya. Akan tetapi ketika Hui Song menggandengnya dan mengajaknya keluar dari ruangen itu, a-nak itu menangis.

"Ayah...! Ibu...! Aku ikut ayah dan ibu...!"

Ibunya menangis, akan tetapi Kok-tai-jin memberi isyarat kepada Hui Song untuk membawa anak itu keluar. Hui Song lalu mengangkat dan memondongnya. A-nak itu meronta-ronta, akan tetapi tidak berdaya dalam pondongan Hui Song.

"Diamlah, adik yang manis, kita ke-luar untuk menyelamatkanmu. Marilah!" Hui Song membujuk dengan halus. Dia lalu berlari keluar dan meloncat ke atas punggung kudanya. "Adik yang manis, kau rangkullah leherku dan kugendong di be-lakangku. Jangan takut, aku akan menye-lamatkanmu," katanya dan diapun sudah mengambil busur dan mempersiapkan a-nak panahnya, lalu membedal kudanya keluar. Para pengawal sudah tahu bahwa pemuda ini bertugas menyelamatkan pu-teri sang gubernur, maka mereka melin-dunginya dengan anak panah yang mereka luncurkan ke depan.

Pertempuran sudah terjadi lagi dan kini Hui Song membalapkan kudanya di antara pertempuran. Dia dihujani anak panah, akan tetapi semua itu dapat dia runtuhkan dengan busurnya dan kadang-ka-dang diapun melepas anak panah merobohkan beberapa orang perajurit musuh yang berani menghadang. Kadang-kadang dia menggunakan tangan atau tendangan kakinya merobohkan musuh yang berani mendekat. Kebakaran-kebakaran terjadi ketika para perajurit Ji-ciangkun menghujankan panah api ke arah gedung. Hui Song melompati pagar-pagar yang terbakar dengan kudanya. Ketika ada beberapa batang anak panah menyambar dari atas, dia membalas dengan anak panahnya, dan robohlah dua orang perajurit yang menyerangnya dari atas benteng. Dan para petajurit agaknya gentar juga menyaksikan sepak terjangnya, karena siapapun yang menghalang di depannya, kalau tidak terpelanting ditabrak kuda pendekar itu, tentu roboh oleh tamparan tangan atau tendangan kakinya. Akhirnya, biarpun dengan susah payah, berhasillah Hui Song membawa anak perempuan itu keluar dari pintu gerbang San-hai-koan. Legalah hatinya dan dia terus membalapkan kudanya memasuki sebuah hutan.

Akan tetapi, tiba-tiba ada benda-benda berkilauan menyambarnya dengan kecepatan luar biasa. Hui Song terkejut sekali dan sambil memondong tubuh Hui Lian, dia meloncat turun dari atas pung-gung kudanya. Kuda itu ketakutan, sejak tadi memang kuda itu sudah panik di antara pertempuran yang terjadi di San-hai-koan, setelah dia terbebas dari beban penunggangnya, dia membalap melarikan di-ri.

Setelah meloncat turun dan menengok ke kanan dari mana pisau-pisau terbang tadi menyambar, tahulah dia siapa yang tadi menyerangnya. Si pisau terbang Hui-to Cin-jin sudah berdiri di situ, bersama Kang-thouw Lo-mo si gendut dan tak ke-tinggalan pula Gui Siang Hwa! Mereka bertiga berdiri di situ dan memandang kepadanya dengan senyum mengejek.

"Hemm, kembali si tampan gagah pu-tera ketua Cin-ling-pai mencampuri urus-an kita," kata Siang Hwa biarpun suara-nya mengandung ejekan, namun sinar matanya tidak dapat menyembunyikan pera-saan kagum dan sukanya kepada pende-kar yang tampan dan gagah itu.

"Ha-ha-ha, sekali ini kita tidak boleh membiarkan tikus ini terlepas!" Kang-thouw Lo-mo tertawa dan Hui-to Cin-jin yang merasa penasaran karena serangan pisau-pisau terbangnya tadipun gggal, kini sudah mencabut sepasang belatinya dan siap untuk menyerang dengan sikap mengancam.

Hui Lian yang berada dalam gendong-an Hui Song, ketakutan dan menangis. Anak itu mulai memanggil-manggil ayah ibunya dan kembali Siang Hwa tertawa.

"Hi-hik, kiranya Cia Hui Song yang gagah perkasa itu kini menjadi seorang pangasuh anak-anak." Dan kini wanita itu mengeluarkan sebatang pedang yang tadi terselip di punggungnya dan suaranya menjadi keren dan ganas ketika ia ber-kata, "Tidak, sekali ini dia tidak boleh lolos. Pekerjaanku di Ceng-tek hampir saja gagal karena campur tangannya."

Kang-thouw Lo-mo juga sudah meng-ambil guci araknya dan membuka tutup guci, minum araknya sambil menyeringai. Hui Song maklum bahwa dia kini meng-hadapi tiga orang musuh besarnya yang pernah hampir menewaskannya di dalam Guba Iblis Neraka. Selain maklum akan kelihaian dan kecurangan mereka, juga dia ingin sekali membalas kelicikan mereka ketika di dalam guha dahulu itu. Sekali ini dia harus dapat membasmi ti-ga orang iblis ini, karena kalau tidak, mereka ini hanya akan menimbulkan kekacauan-kekacauan saja di dalam dunia. Maka, diapun segera menurunkan anak perempuan itu, melepaskannya di bawah sebatang pohon tidak jauh dari situ. "A-dik yang baik, kau duduklah di sini dulu, dan jangan pergi ke manapun," katanya. Anak itu berhenti menangis dan duduk sambil memeluk batang pohon, seolah-o-lah hendak mencari perlindungan pada sebatang pohon yang kokoh kuat itu. Setelah melepaskan anak itu, Hui Song mera-sa lega dan dia lalu dengan senyum di bibir, sikapnya tenang dan tabah sekali, menghampiri tiga orang musuh yang su-dah siap mengeroyoknya itu.

"Hui-to Cin-jin, Kang-thouw Lo-mo dan Gui Siang Hwa, kalian ini tiga orang manusia berhati iblis, jangan harap akan dapat melakukan kecurangan lagi kepadaku. Sekali ini aku akan menghajar dan menghukum kalian yang sudah terlalu banyak melakukan dosa!" Pendekar ini me-mang tidak pernah membawa pedang dan sudah biasa menghadapi lawan yang tangguh dengan tangan kosong saja. Bagi se-orang pendekar seperti Hui Song yang sudah mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Cin-ling-pai, bertangan kosongpun tidak kurang berbahayanya daripada kalau dia bersenjata dan setiap benda bisa saja menjadi senjata baginya.

Tiga orang lawan yang sudah meme-gang senjata andalan mereka masing-masing itu melihat Hui Song melangkah maju tanpa senjata, diam-diam merasa gen-tar juga. Orang yang sudah berani maju bertangan kosong, apalagi dengan sikap sedemikian tenangnya, tentu memiliki il-mu silat yang amat tinggi. Dan mereka-pun sudah pernah menguji kehebatan ilmu silat pemuda ini, maka kini mereka bertiga bersikap hati-hati dan diam-diam mereka mempersiapkan senjata rahasia masing-masing. Namun, gerakan mereka itu sudah diketahui oleh Hui Song. Apa-lagi pemuda ini sudah mengenal kecurangan mereka. Kalau dia teringat kepada gadis yang menjadi pujaan hatinya, Sui Cin, yang sekarang entah berada di ma-na, yang mengalami gegar otak dan ke-hilangan ingatannya, bahkan nyaris tewas ketika terkena sambitan batu yang dilon-tarkan oleh Kang-thouw Lo-mo, dia me-rasa sakit hati sekali. Sekali ini dia harus mampu membalaskan penderitaan Sui Cin dan dia sendiri, juga melenyapkan tiga orang manusia jahat ini dari permu-kaan bumi berarti mengurangi terjadinya kejahatan yang timbul dari perbuatan mereka.

"Bocah sombong, bersiaplah untuk mampus!" Tiba-tiba Hui-to Cin-jin menyerang dengan kedua pisaunya. Gerakannya memang cepat dan lengannya yang pan-jang itu bergerak dari atas bawah dan kanan kiri, ujung pisaunya yang runcing tajam menyambar-nyambar seperti patuk-an maut. Namun, dengan lincahnya Hui Song mengelak dan menangkis hantaman Kang-thouw Lo-mo yang sudah menyusul pula dengan serangan hantaman ciu-ouw di tangannya.

"Dess...!" Tangkisan Hui Song membuat tubuh gendut itu terhuyung dan pa-da saat itu nampak sinar berkelebat dan tahu-tahu pedang di tangan Siang Hwa telah menyambar ke arah leher Hui Song.

"Mampuslah kau!" bentak Siang Hwa dan pedangnya mengeluarkan suara ber-desing ketika menyambar lewat karena dengan mudah saja Hui Song dapat meng-elak dengan merendahkan dirinya sedang-kan kaki kanan pemuda itu sudah melun-cur ke kanan, menghantam ke arah pe-rut gendut Kang-thouw Lo-mo. Kakek ini terkejut dan menangkis dengan tangan kirinya yang dimiringkan sambil menge-rahkan tenaganya.

"Dukkk...!" Kembali kakek itu terhuyung. Terkejutlah kakek gendut ini. Dia adalah seorang tokoh Cap-sha-kui, yang terkenal memiliki tenaga besar, akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja sudah dua kali dia terhuyung karena terdorong oleh kekuatan besar sekali dalam pertemuan tenaga itu. Hal ini tidaklah mengherankan. Hui Song telah mewarisi tenaga sakti Thian-te Sin-ciang dari ayahnya dan ketika dia digembleng selama tiga tahun oleh Dewa Kipas Siang-kiang Lo-jin, tenaganya itu bertambah kuat saja.

Terjadilah perkelahian yang amat seru antara Hui Song dengan ketiga orang pengeroyoknya. Biarpun tiga orang lawannya mempergunakan senjata, Hui Song sama sekali tidak nampak terdesak. Dengan mudahnya dia dapat mengelak dari semua seranan, atau kadang-kadang menangkis dengan lengannya yang tidak kalah kuatnya dibandingkan dengan senjata lawan. Bahkan jari-jari tangan pemuda ini berani menangkis pedang di tangan Siang Hwa, membuat gadis itu terpekik kagum dan kaget karena jari-jari tangan pemuda itu kalau menangkis pedang, membuat pedangya terpental dan mengeluarkan suara berdencing seolah-olah pedangnya bertemu dengan baja. Hui Song sama sekali tidak terdesak, bahkan diapun dapat membagi-bagi pukulan atau tendangan sebagai balasan. Badan pemuda itu kadang-kadang dilindungi ilmu kekebalan yang luar biasa kuatnya, yaitu ilmu kebal Tiat-po-san yang membuat kulitnya tidak tembus oleh bacokan senjata tajam. Karena ini, biarpun beberapa kali pisau atau pedang mengenai tubuhnya karena dia memang tidak merasa perlu untuk menghindarkan diri, senjata-senjata tajam itu bertemu dengan kulit dan membalik. Hanya baju pemuda itu saja yang robek oleh senjata-senjata tajam itu. Dan permainan ilmu silat sakti Thai-kek Sin-kun yang mempunyai daya tahan amat kuat itu membingungkan tiga orang la-wannya, membuat mereka sukar sekali mencari tempat lowong, seolah-olah selu-ruh tubuh pemuda itu dilindungi oleh bayangan lengan yang merupakan benteng yang kokoh kuat.

Hui-to Cin-jin menjadi penasaran dan tidak sabar. Dia mengeluarkan pekik nyaring dan ada tiga sinar berkelebat ter-bang ke arah Hui Song. Itulah tiga ba-tang pisau terbang yang dilepasnya kepa-da pemuda itu.

"Tring-tring-tringg...!" Jari-jari tangan Hui Song menyambut dengan sentilan-sentilan dan tiga batang pisau terbang itu membalik ke arah pemlliknya! Nyaris leher Hui-to Cin-jin terkena pisaunya sendiri kalau dia tidak cepat merendahkan tubuhnya. Akan tetapi pada saat dia merendahkan tubuh, tiba-tiba tubuh Hui Song berkelebat datang dan sebuah tendangan kaki kiri pendekar muda itu tidak mampu dihindarkan oleh si kakek yang berpakai-an tosu itu, walaupun dia mencoba meng-elak dengan miringkan tubuhnya.

"Dess...!" Pinggulnya disambar kaki Hui Song dan kakek ini terlempar dan terbanting jatuh. Dia menyeringai karena merasa pinggulnya nyeri sekali dan keti-ka dia bangkit bangun dan berjalan, langkahnya terpincang-pincang. Hanya kema-rahan dan rasa malu yang membuat dia nekat menyerang lagi dengan sepasang pisaunya.

Guci arak di tangan si gendut Kang-thouw Lo-mo menyambar ke arah dada Hui Song. Pemuda ini tidak ingin berke-lahi terlalu lama karena kalau dia tidak cepat merobohkan mereka ini mungkin teman-teman mereka akan datang atau andaipun tidak, dia akan berada dalam ancaman bahaya kalau sampai ada pengejaran dari pasukan anak buah Ji-ciangkun.

Maka, melihat datangnya guci arak yang menyambar ke dadanya, dia cepat mengerahkan tenaga Tiat-po-san melindungi da-danya. Pada saat guci itu menghantam dadanya, dia membarengi tamparan tangan kanannya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang ke arah perut gendut itu.

"Bunggg...!" Terdengar perut itu berdengung ketika terkena hantaman dan tubuh si gendut itu terjengkang dan terguling-guling sampai jauh. Akan tetapi, ternyata dia juga memiliki kekebalan bukan hanya di kepalanya, melainkan juga di perutnya. Perutnya itu kuat seperti bola karet yang penuh hawa, maka ketika kena hantaman Thian-te Sin-ciang, isi perut itu tidak terluka hanya tubuhnya saja yang terlempar dan hanya terasa nyeri karena babak-belur saja terguling-guling. Kakek berbaju hwesio ini bangkit dan mukanya berobah merah karena malu dan marah. Dia tertatih-tatih maju lagi mengayun-ayun guci araknya di atas kepala.

Sementara itu, melihat betapa dua orang pembantunya sempat dirobohkan Hui Song, Siang Hwa menjadi marah. Gerakan pedangnya semakin gencar dan ia mener-jang ke depan bagaikan kesetanan dan ti-ba-tiba tangan kirinya mengebutkan sa-putangan merah yang mengandung racun pembius itu. Akan tetapi sekali ini, Hui Song sudah bersiap-siap. Dia menahan napas dan meniup ke arah debu yang mengepul dari sapu tangan dan buyarlah debu itu, bahkan membalik ke arah Siang Hwa sendiri.

"Keparat!" Siang Hwa berteriak marah.

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring Hui-to Cin-jin, "Cia Hui Song, hentikan perlawananmu atau anak ini akan kusembelih!"

Hui Song terkejut bukan main. Dia meloncat mundur dan ketika menengok ke arah suara itu, mukanya berobah pucat. Kiranya Hui-to Cin-jin sudah menjambak rambut anak perempuan itu dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya yang memegang pisau tajam berkilauan itu ditempelkan di leher anak kecil yang mulai menangis ketakutan itu!

"Jahanam busuk! Lepaskan anak itu dan mari kita bertanding sampai satu di antara kita roboh tewas!" Hui Song membentak marah akan tetapi tosu itu menyeringai.

"Kau menyerah atau anak ini kusembelih lebih dulu... aihhhh...!" Tiba-tiba tosu itu menjerit dan terhuyung, dari lambungnya bercucuran darah segar dan diapun terguling roboh dan berkelojotan. Kiranya diam-diam muncul seorang pria yang menggunakan pedang menusuk lambung kakek berpakaian tosu itu. Gerakannya demikian aneh dan cepat sehingga tosu itu tidak sempat mengelak dan kini dia menyelipkan pedangnya di sarung pedang, kemudian menyambar tubuh Kok Hui Lian dengan lengan kanannya lalu dia melompat pergi dari situ tanpa mengeluarkan sepatahpun kata.

"Ciang-suheng...!" Hui Song berseru, kaget dan juga girang. Dia mengenal orang yang lengan kirinya buntung itu karena orang itu adalah Ciang Su Kiat, bekas murid Cin-ling-pai yang membuntungi lengan kiri sendiri karena dipersalahkan oleh ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi, laki-laki buntung sebelah lengannya itu tidak menjawab, menolehpun tidak, bahkan berlari semakin cepat. Larinya cepat sekali sehingga mengagetkah hati Hui Song yang dapat menduga bahwa bekas suhengnya itu kini memiliki kepandaian tinggi.

Tentu saja Kang-thouw Lo-mo dan Siang Hwa terkejut sekali melihat betapa kawan mereka tewas secara tidak terduga-duga, hanya karena serangan satu kali saja dari orang buntung tadi. Akan tetapi mendengar Hui Song menyebut "suheng" kepada orang itu, tentu saja mereka terkejut dan gentar. Baru Hui Song sudah begini lihai, apalagi suhengnya! 0rang-orang yang berwatak kejam biasanya berjiwa pengecut. Tanpa banyak kata lagi, dua orang itu lalu membalikkan tubuhnya dan lari!

Melihat ini, Hui Song mengejar, "Keparat, kalian hendak lari ke mana?" bentaknya dan diapun mengerahkan gin-kangnya melakukan pengejaran. Semenjak berlatih di bawah bimbingan Si Dewa Kipas, ilmu meringankan tubuh pemuda ini memang meningkat dengan hebat. Belum lama dia mengejar, dia sudah dapat menyusul Kang-thouw Lo-mo yang larinya tidak secepat Siang Hwa.

"Iblis tua, engkau hendak lari ke mana?" Hui Song membentak.

Karena maklum bahwa lari tiada gunanya, Kang-thouw Lo-mo menjadi nekat. Dia membalik dan menghantamkan guci araknya ke arah muka Hui Song. Pemuda yang sudah marah ini tidak mengelak, bahkan menggunakan tangan kanan yang terbuka memapaki pukulan itu dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang.

"Prokkk...!" Guci arak itu pecah berantakan dan isinya, setengahnya masih berisi arak, berhamburan memercik ke mana-mana dan terciumlah bau arak yang sangat menyengat hidung. Melihat senjatanya yang amat disayangnya itu pecah, Kang-thouw Lo-mo marah bukan main. Dia lalu melangkah mundur dan menundukkan kepalanya, tubuhnya direndahkan dan seperti seekor kerbau mengamuk, dia lalu lari ke depan, menggunakan kepalanya yang botak itu untuk menyeruduk ke arah perut Hui Song! Hebat bukan main serangan ini dan agaknya kakek yang sudah putus harapan dan nekat ini mempergunakan senjatanya yang terakhir, yaitu kepalanya. Kepalanya me-mang sudah terlatih, dapat membentur pecah batu karang, kuat bukan main.

Hui Song belum tahu sampai di mana kekuatan yang berada dalam kepala itu, maka diapun tidak mau sembrono mene-rima serudukan itu begitu saja. Cepat dia miringkan tubuhnya dan ketika kepala botak itu meluncur lewat dekat perutnya, dia menggerakkan tangan kanannya, me-ngerahkan Thian-te Sin-ciang dan tangan kanannya itu seperti sebatang golok atau sebuah palu godam menyambar turun dari atas, tepat ke arah tengkuk di bela-kang kepala botak besar itu.

"Ngekkk...!" Tengkuk itu besar dan kuat seperti tengkuk kerbau, akan tetapi kekuatan yang berada di tangan Hui Song amat hebat. Maka sekali pukul saja, kakek itu mengeluh dan terpelanting roboh dan matanya mendelik, nyawanya putus bersama dengan patahnya tulang tengkuknya! Tewaslah Kang-thouw Lo-mo.

Hui Song sejenak meragu. Siapakah yang harus dikejar? Siang Hwa ataukah bekas suhengnya? Siang Hwa sudah tidak nampak lagi dan dia tahu betapa lihai-nya wanita itu. Kalau sampai wanita itu mendahuluinya mencapai guru-gurunya, dia akan celaka. Bagaimanapun lihainya, dia masih ragu-ragu apakah dia akan dapat menandingi Raja dan Ratu Iblis yang dia tahu sakti bukan main itu. Dan diapun mengkhawatirkan keselamatan puteri gubernur, maka dia mengejar ke arah la-rinya Ciang Su Kiat. Akan tetapi, iapun kehilangan jejak bekas suhengnya ini dan akhirnya dia menghibur hatinya sendiri bahwa puteri gubernur itu tentu selamat berada di tangan Ciang Su Kiat yang dia yakin memiliki jiwa pendekar yang gagah perkasa. Maka diapun lalu kembali ke San-hai-koan untuk melihat bagaimana perkembangan di kota benteng itu. Akan tetapi, dia tidak dapat masuk. San-hai-koan sudah jatuh ke tangan pasukan Ji-ciangkun yang memberontak! Dan pintu gerbang dijaga ketat. Juga di atas tembok-tembok benteng terdapat barisan anak panah yang siap menyerang siapa saja yang berani naik.

Apa gunanya lagi memasuki San-hai-koan, pikirnya. Keluarga gubernur telah terbasmi dan dari para pengungsi dia mendengar bahwa gubernur sekeluarganya telah tewas dalam gedungnya yang terbakar habis. Sebagian dari pasukan pengawal menyerah kepada pasukan Ji-ciangkun dan pembersihan masih terus dilakukan. Siapapun juga yang mencurigakan ditangkap, dan yang condong memihak Kok-taijin dibunuh. Kekacauan terjadi di kota San-hai-koan dan karena dia sudah dikenal sebagai pengawal pribadi Kok-taijin, tentu saja Hui Song tidak begitu bodoh untuk memasuki kota itu. Dia lalu mengambil keputusan untuk kembali ke Ceng-tek dan mengabarkan jatuhnya San-hai-koan ke tangan pemberontak itu kepade Bhe-ciangkun yang kini menjadi komandan sementara di Ceng-tek menggantikan kepalanya yang telah tewas. Mendengar tentang jatuhnya San-hai-koan itu, Bhe-ciangkun tidak berani sembarangan turun tangan dan segera mengutus anak buahnya untuk cepat menunggang kuda ke kota raja dan mengirimkan berita ke kota raja, menanti keputusan dan perintah selanjutnya dari pusat pemerin-tahan mengenai pemberontakan Ji-ciangkun itu.

***

Pemuda yang berjalan seorang diri di luar Tembok Besar itu amatlah gagahnya. Usianya masih muda, paling banyak dua puluh dua tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi tegap dan wajahnya tenang serius sehingga dia nampak jauh lebih dewasa daripada usia yang sebenarnya. Rambutnya yang hitam dan lebat itu dikuncir tebal dan panjang, dikalungkan ke lehernya yang nampak kokoh kuat itu. Pakaiannya amat sederhana, terbuat dari kain kasar saja, namun bersih dan di sebelah luarnya dia mengenakan jubah pendek terbuat dari kulit harimau. Dandanan sederhana dan gagah ini memberi kesan bahwa dia adalah seorang pemuda yang gagah, seorang pendekar muda atau setidaknya seorang pemburu, atau orang yang biasa hidup menghadapi kesukaran dan kekeras-an. Sinar matanya tajam mencorong dan membayangkan kekerasan hati, walaupun terdapat kelembutan dan kejujuran, ter-utama pada bentuk dagu dan tarikan mulutnya.

Pemuda tinggi tegap yang gagah per-kasa ini adalah Siangkoan Ci Kang yang pada waktu itu sudah berusia dua puluh satu tahun. Seperti telah kita ketahui, pemuda ini adalah putera tunggal dari mendiang Siangkoan Lo-jin yang berjuluk Iblis Buta yang merupakan seorang datuk kaum sesat yang amat ditakuti. Akan tetapi, datuk sesat ini tewas di tangan Ra-tu Iblis. Dan sebelumnya, seperti telah diceritakan di bagian depan, Ci Kang melarikan diri dari ayahnya setelah antara anak dan ayah ini terdapat bentrokan pa-ham, bahkan oleh para tokoh Cap-sha-kui pemuda itu dianggap musuh yang harus ditangkap atau dibunuh. Kemudian, pemu-da ini bertemu dengan Ciu-sian Lo-kai, tokch sakti yang berpakaian pengemis i-tu, dan digembleng sebagai muridnya. Di bawah bimbingan Ciu-sian Lo-kai, bakat dan watak yang baik dan gagah pemuda ini berkembang, bahkan Ciu-sian Lo-kai, seperti telah diadakannya perjanjian dan perlombaan mendidik murid dengan Go-bi San-jin, telah menanamkan pandangan hidup Cia Han Tiong, ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga, kepada muridnya itu. Maka, biarpun Ci Kang terlahir di kalangan sesat dan sejak kecil bergaul dengan datuk-datuk sesat, melihat segala macam tindakan yang kejam, ganas dan curang, kini dapat melihat dengan jelas betapa buruknya kehidupan di antara te-man-teman ayahnya itu. Jiwa kependekerannya semakin bangkit dan biarpun dia tetap ingin menentang segala bentuk kejahatan, namun dia sudah berjanji kepada diri sendiri untuk meluruskan yang bengkok, menyadarkan yang sesat, dan bukan-nya mematahkannya atau membunuhnya, sesuai dengan pesan-pesan Ciu-sian Lo-kai yang mentrapkan pandangan hidup Cia Han Tiong kepada muridnya ini.

Setelah lewat tiga tahun, Ciu-sian Lo-kai menyuruh muridnya untuk pergi ke Benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar. Gurunya itu memberi tahu kepadanya bahwa di tempat ini akan diadakan pertemuan para pendekar untuk membicarakan tentang bangkitnya para datuk sesat yang hendak mengadakan gerakan bemberontakan dan pemuda itu ditugaskan oleh gurunya untuk ikut pula menentang usaha para datuk sesat.

Berangkatlah Ci Kang meninggalkan gurunya akan tetapi bagaimanapun juga, dia teringat akan ayahnya yang sudah tua dan buta. Biarpun ayahnya menjadi seorang datuk sesat, akan tetapi kasih sayangnya sebagai seorang anak terhadap ayahnya membuat Ci Kang lebih dahulu pergi mengunjungi ayahnya di Po-hai, Sen-si, sebelum dia melakukan perjalanan keluar Tembok Besar di utara. Akan tetapi, dia tidak dapat bertemu dengan ayahnya, bahkan dia mendengar berita bahwa ayahnya telah tewas di tangan Raja dan Ratu Iblis, datuk sesat baru yang kini menguasai seluruh datuk sesat ketika terjadi pertemuan antara para datuk di lereng Pegunungan Tapie-san. Dia hanya menarik napas panjang, tahu bahwa kematian ayahnya di tangan datuk sesat itu hanyalah akibat daripada sikap dan perbuatan ayahnya sendiri. Dia akan menentang para datuk sesat, terutama Raja Iblis, akan tetapi bukan karena dendam terhadap kematian ayahnya, melainkan karena sudah menjadi kewajiban seorang pendekar untuk menentang kejahatan. Andaikata ayahnya masih hidup sekalipun, dia akan menentang kejahatan yang dilakukan ayahnya dan anak buahnya.

Ketika pada pagi hari itu dia berjalan seorang diri di luar Tembok Besar di wilayah yang dahulu pernah dikuasai oleh Jeng-hwa-pang, tempat itu masih nampak sunyi. Pemuda ini tidak tahu bahwa dia datang terlalu pagi. Waktu yang ditentukan oleh para pendekar untuk mengadakan pertemuan di tempat itu masih satu bulan lagi. Akan tetapi, akhirnya dia tiba juga di bekas benteng Jeng-hwa-pang yang tembok-temboknya masih kokoh kuat akan tetapi kini hanya menjadi sebuah dusun kecil yang dihuni oleh orang-orang yang biasa melakukan pekerjaan sebagai pemburu dan juga menjadi tempat persinggahan para pedagang atau mereka yang sering berlalu-lalang melalui Tembok Besar.

Hatinya agak tegang dan berdebar karena dia merasa gembira. Biarpun dia dahulu selalu bergaul dengan datuk sesat, akan tetapi dia selalu menentang perbuatan-perbuatan mereka yang tidak baik dan dia merasa tidak pernah suka bergaul dengan mereka. Akan tetapi kini, dia da-tang ke tempat itu sebagai seorang pen-dekar yang menghadiri pertemuan antara kauni pendekar! Hatinya merasa gembira sekali karena dia akan bertemu dan berkenalan dengan orang-orang gagah yang menurut gurunya akan berkumpul di tempat ini dan di antara mereka terdapat orang-orang sakti yang berilmu tinggi. Sungguh merupakan pertemuan yang akan membuka matanya dan menambah penga-laman dan meluaskan pengetahuannya.

Ketika dia tiba di tempat itu, dia pertama-tama melihat serombongan orang gagah, terdiri dari tujuh orang lima pria dua wanita. Usia mereka antara dua puluh lima sampai tiga puluh lima tahun dan sikap mereka nampak gagah sekali dengan pedang di punggung mereka. Karena dari sikap mereka saja Ci Kang sudah dapat menduga bahwa mereka adalah pendekar-pendekar yang datang menghadiri pula pertemuan maka diapun menghampiri mereka. Mereka bertujuh sedang duduk di bawah pohon, di luar bekas benteng itu dan tujuh ekor kuda yang baik ditambatkan di batang pohon itu. Di atas sebuah di antara sela-sela kuda, dia melihat berkibarnya sebuah bendera kecil berwarna kuning yang bertuliskan tiga buah huruf Hoa-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Bunga) dan ada gambar sepasang pedang melintang. Ci Kang belum pernah mendengar tentang nama perkumpulan itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu ini nama sebuah perkumpulan pendekar pedang yang tangguh. Dia semakin gembira dan cepat menjura kepada mereka dengan sikap hormat dan wajah ramah.

"Selamat berjumpa, cu-wi-enghiong (para pendekar sekalian)! Cu-wi tentu tokoh-tokoh dari Hoa-kiam-pang yang terkenal."

Seorang di antara mereka, seorang laki-laki jangkung yang kurus dan paling tua di antara mereka, agaknya menjadi pemimpin rombongan, bersama yang lain membalas penghormatan itu dan si jangkung kurus menjawab, "Selamat bertemu, sobat. Kami hanyalah murid-murid Hoa-kiam-pang yang diutus oleh para pemimpin kami untuk melihat-lihat keadaan. Selamat berkenalan! Bolehkah kami mengenal siapa adanya sobat yang gagah ini?"

Ci Kang tersenyum ramah. "Saya bernama Siangkoan Ci Kang dan saya diutus oleh suhu untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang akan diadakan di tempat ini. Bukankah cu-wi juga datang untuk keperluan itu?"

Si jangkung kurus memandang tajam. "Pertemuan itu akan diadakan sebulan lagi. Engkau datang terlalu pagi, sobat. Kami sendiri datang hanya untuk melihat-lihat keadaan, apakah tempat ini aman untuk pertemuan itu dan selain kami, ada pula belasan orang sahabat dari berbagai perkumpulan pendekar yang juga datang, melihat keadaan."

"Benarkah? Ah, saya ingin sekali belajar kenal dengan para pendekar itu."

"Mereka berkumpul di sebelah dalam bekas benteng, di sebuah kedai arak kecil yang dibuka oleh penduduk tempat ini. Mari, saudara Siangkoan Ci Kang, mari kita perkenalkan." Tujuh orang itu lalu mengajak Siangkoan Ci Kang memasuki bekas benteng Jeng-hwa-pang dan ketika mereka menghampiri sebuah kedai arak, beberapa orang yang nampaknya gagah-gagah dan yang duduk minum arak di kedai itu memandang penuh perhatian.

"Cu-wi-enghiong!" kata murid Hoa-kiam-pang yang jangkung kurus itu memperkenalkan, "ini seorang pendatang baru, seorang pendekar muda bernama Siangkoan Ci Kang...!"

"Dia tokoh sesat!" Tiba-tiba terdengar suara orang dan seorang pemuda tampan gagah meloncat keluar kedai dan menghadapi Ci Kang dengan mata mencorong penuh kemarahan. Ci Sang terkejut dan memandang. Dia tidak lupa. Pemuda ini adalah seorang di antara para pendekar yang dahulu membela Jenderal Ciang di dalam perayaan pasta ulang tahun Ang-kauwsu di kota Pao-fan! Pemuda ini se-lalu bersama Ceng Sui Cin, gadis cantik gagah puteri Pendekar Sadis itu. Ah, be-nar. Pemuda ini adalah putera ketua Cin-ling-pai seperti yang diketahuihya dari para tokoh Cap-sha-kui!

Tentu saja seruan yang dikeluarkan oleh Hui Song ini mengejutkan semua pendekar yang berkumpul di situ. Seperti kita ketahui, Hui Song tidak depat kembali ke San-hai-koan yang sudah diduduki oleh pemberontak dan diapun pergi ke benteng Jeng-hwa-pang di mana dia ber-temu dengan beberapa orang pendekar dan dia bercerita tentang gerakan para pem-berontak kepada mereka. Ketika tujuh orang murid Hoa-kiam-pang itu muncul bersama Ci Kang, dia segera mengenal pemuda berbaju kulit harimau ini dan tentu saja dia menjadi marah.

"Dia ini tokoh pemberontak sesat, tentu datang untuk memata-matai kita!" Hui Song berseru lagi sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Ci Kang.

Ci Kang menjura dengan sikap hormat dan gagah, akan tetapi juga tenang, walaupun ucapan putera ketua Cin-ling-pai itu seperti pedang menusuk jantung. "Maaf, saya datang sebagai utusan suhu yang berjuluk Ciu-sian Lo-kai, harap cu-wi tidak salah sangka."

Nama Ciu-sian Lo-kai tidak terkenal di dunia kang-ouw karena memang kakek ini, seperti juga kakek-kakek sakti lain yang baru bermunculan setelah dunia kang-ouw dikacau oleh Cap-sha-kui dan terutama sekali karena munculnya Raja dan Ratu Iblis. Oleh karena itu, nama ini tidak mendatangkan kesan di hati pendekar muda yang berkumpul di situ. A-kan tetapi, Hui Song juga bukan seorang pemuda sembrono dan dia mau yakin du-lu apakah benar pemuda ini yang pernah dilihatnya membantu Cap-sha-kui lolos dari kepungan beberapa tahun yang lalu.

"Hemm, namamu Siangkoan Ci Kang, engkau putera tunggal dari datuk sesat Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta, bukan?"

"Benar, akan tetapi saya tidak pernah mencampuri semua perbuatan jahat dunia sesat," jawab Ci Kang dengan jujur dan gagah.

"Hemm, bukankah engkau pernah be-berapa kali menggunakan anak panah membantu para tokoh Cap-sha-kui lolos dari tangkapan?" Hui Song mendesak la-gi.

Siangkoan Ci Kang terlalu jujur dan gagah untuk menyangkal. Dia mengangguk. "Benar..."

"Nah, mau bicara apa lagi? Engkau mata-mata kaum sesat, terimalah ini!" Hui Song menerjang sambil mengirim tamparan dengan tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat dahsyat. Tamparannya itu mendatangkan angin bersiut menyam-bar ke arah muka Siangkoan Ci Kang. Pemuda ini tidak mempunyai kesempatan lagi untuk membantah dan melihat beta-pa serangan Hui Song demikian hebatnya, diapun menggerakkan lengan menangkis.

"Dukkk...!" Keduanya mengeluarkan seruan kaget karena pertemuan lengan itu membuat kedua orang pemuda itu terdorong ke belakang seolah-olah bertemu dengan gelombang tenaga yang amat kuat. Mereka saling pandang dan tahulah mereka bahwa keduanya menemukan lawan yang amat tangguh. Sementara itu, para pendekar yang berada di situ semua mengenal Hui Song sebagai putera ketua Cin-ling-pai yang berkepandaian tinggi. Tentu saja mereka lebih percaya kepada Hui Song. Apalagi, pemuda berjubah kulit harimau itu sudah mengaku sebagai pu-tera Si Iblis Buta. Hal ini saja sudah cu-kup membuat mereka semua memusuhi-nyai, dan serentak mereka lalu mencabut senjeta dan menerjang maju. Dihujani senjata, Ci Kang cepat berloncatan dengan amat gesitnya mengelak ke sana-sini. Dia tahu bahwa percuma saja mem-bantah dan bicara untuk membersihkan dirinya dan tidak baik kalau sampai dia bentrok dengan para pendekar ini, maka sambil mengeluh panjang dia lalu melon-cat dan melarikan diri dari tempat itu.

"Aku datang hendak membantu kalian menentang kejahatan, sayang kalian tidak percaya!" teriaknya dan tubuhnya sudah berkelebat cepat sakali meninggalkan benteng itu. Hui Song tidak melakukan pe-ngejaran dan para pendekar itupun tidAk karena mereka maklum betapa lihainya putera Si Iblis Buta itu. Hui Song sendiri tentu saja dapat mengimbangi kecepatan gerakan Ci Kang dan dapat melakukan pengejaran kalau dia mau, akan tetapi dia teringat bahwa bagaimanapun juga Siangkoan Ci Kang itu pernah menyela-matkan Sui Cin dan biarlah kini dia ber-laku murah untuk membalas budi Ci Kang terhadap gadis pujaan hatinya itu.

Ci Kang berlari cepat sekali dengan hati murung. Dia lari ke barat dan tidak tahu harus pergi ke mana. Dia telah datang terlalu pagi dan dia tidak dapat menghadiri pertemuan para pendekar itu tanpa adanya gurunya. Kalau ada Ciu-sian Lo-kai di situ, baru dia akan dapat hadir karena tentu gurunya yang akan dapat memberi kesaksian akan kebersihan dirinya. Dia tidak menyalahkan Cia Hui Song putere ketua Cin-ling-pai itu, melainkan hanya merasa mendongkol sekali. Bagaimanapun juga, memang pemuda Cin-ling-pai itu pernah melihat dia membantu dan menyelamatkan orang-orang Cap-sha-kui bersama ayahnya. Sudah tentu saja Hui Song curiga kepadanya. Dan satu-satunya orang yang akan dapat menanggung dirinya agar dipercaya oleh pa-ra pendekar hanyalah gurunya, Ciu-sian Lo-kai yang belum nampak ada di tempat itu.

Hatinya murung sekali dan ketika dia memasuki sebuah desa kecil di mana terdapat sebuah kedai arak, diapun mema-suki kedai itu. Kedai yang cukup besar, bahkan terlalu besar untuk sebuah dusun yang penghuninya sedikit dan agaknya hanya terdiri dari crang-orang miskin atau pemburu-pemburu. Agaknya kedai ini dibuka orang belum begitu lama dan agaknya dibuka untuk menjadi pemberhentian orang-orang yang melakukan per-jalanan dan lewat di tempat ttu. Bagai-manapun juga, bau arak yang sedap menarik perhatian Ci Kang dan diapun yang diganggu rasa mendongkol perlu beristi-rahat menenangkan hatinya.

Ci Kang mengambil tempat duduk di atas kursi yang kasar buatannya, meng-hadapi sebuah meja yang kasar pula. Seorang pelayan cepat menghampirinya dan dengan membungkuk-bungkuk penuh se-nyum menjilat pelayan itu menyapanya. "Selamat siang, tuan. Tuan hendak makan dan minum apakah?"

"Bawakan aku seguci besar arak!" kata Ci Kang. Pemuda ini setelah menjadi murid Ciu-sian Lo-kai, mewarisi kebiasaan gurunya, suka minum arak. Tentu saja dia tidak minum terlalu banyak walaupun banyaknya arak dapat dilawannya dengan kepandaiannya sehingga dia tidak akan terpengaruh, akan tetapi saat itu hatinya sedang mendongkol dan dia hendak minum sebanyaknya!

"Seguci besar...? Apakah tuan menunggu datangnya banyak teman?"

"Tidak, aku hanya seorang diri..."

"Tapi, arak seguci beser cukup untuk sepuluh orang..."

"Jangan cerewet! Bawa arak itu dan aku akan membayarnya!" bentak Ci Kang marah. Hatinya yang sedang kesal itu tidak sabar lagi mendengar kerewelan si pelayan. Pelayan itu membungkuk-bung-kuk pergi dan Ci Kang mendengar pela-yan itu berbisik-bisik dengan teman-temannya dalam bahasa sandi yang menge-jutkan hatinya. Bahasa rahasia seperti itu hanya dipergunakan orang-orang dari go-longan hitam! Dan pelayan itu berkata kepada teman-temannya agar berhati-hati karena tamu yang datang ini tentulah seorang pendekar. Ci Kang melirik sam-bil lalu dan dia melihat bchwa pelayan i-tu berbisik-bisik dengan teman-temannya. Jumlah mereka semua ada enam orang! Heran dan curigalah hatinya. Sebuah kedai arak begini besar di dalam sebuah dusun miskin kecil! Dan dibukanya tentu masih baru pula. Lebih lagi, dilayani oleh enam orang! Dan mereka mengguna-kan kata-kata sandi, bahasa rahasia dari golongan hitam.

Ci Kang duduk dengan wajah muram. Kenyataan bahwa dia duduk di warung golongan hitam membuat hatinya semakin kesal. Keadaan dirinya membuat dia me-raaa mendongkol dan juga murung dan sedih. Dia dilahirkan di tengah keluarga sesat, walaupun mendiang ayahnya dahulu bukanlah orang jahat. Dia dibesarkan di antara para datuk sesat. Dia tidak me-nyukai cara hidup demikiann sehingga dia menentang ayahnya sendiri, bahkan ham-pir dibunuh ayahnya karena tidek menu-ruti kehendak ayahnya. Di dunia golongan kotor, dia tidak dapat hidup dan dimusuhi. Kemudian, setelah digembleng se-lama tiga tahun oleh Ciu-sian Lo-kai dan dia mulai hidup baru, di antara golongan bersih, diapun dihina dan diserang, tidak diterima! Hati siapa takkan merasa murung?

Pada saat itu muncul tiga orang ber-pakaian seperti orang dusun. Tubuh mereka kurus-kurus dan melihat pakaian mereka yang kotor, mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang miskin yang kekurangan makan kekurangan pakaian. Melihat mereka, pemilik atau kua-sa kedai yang bertubuh gendut dan ber-muka ramah itu segera menghampiri dan menyambut ke depan pintu.

"Eh, kalian bertiga ada keperluan apakah?" tegur pemilik kedai dengan ramah.

"Maaf, twako, kami datang mengganggu lagi..." kata seorang di antara mereka.

"Kalian butuh apa lagi? Bukankah kemarin dulu kami sudah menyumbangkan tiga karung beras untuk dibagi-bagi antara kalian penduduk dusun ini? Apakah beras itu sudah habis?"

"Belum, toako dan terima kasih atas segala pertolongan twako yang dilimpahkankan kepada kami para penduduk dusun selama ini. Akan tetapi, kamipun bukan orang-orang yang hanya mengandalkan hi-dup dari minta-minta saja. Kemi ingin bercocok tanam, akan tetapi tanah itu perlu digarap dan kami tidak mempunyai alat-alatnya. Kalau twako sudi menolong kami untuk sekali ini dan kami dapat mengerjakan tanah, selanjutnya kami tentu akan mampu mencukupi diri sendiri..." Si gendut itu meraba jenggotnya yang agaknya baru beberapa pekan dicukur dan kini mulai tumbuh dengan liar. Dia mengangguk-angguk dan melirik ke arah para tamu yang kebetulan sedang duduk minum arak dan makan di kedal itu, seolah-olah dia ingin agar semua percakapan itu didengar oleh mereka. Dan memang, percakapan yang cukup keras itu didengarkan oleh mereka, juga Ci Kang memperhatikan.

"Baiklah, kami akan membantu dan membelikan alat-alat pertanian untuk kalian. Nah, pulanglah dulu, dan malam nanti saja kita rundingkan kembali kalau kedaiku sedang sepi."

"Baik, twako, dan terima kasih, twako, sungguh engkau merupakan tuan penolong kami." Dan tiga orang itu memberi hormat sampai hampir berlutut, kemudian pergi dengan wajah berseri-seri. Dari percakapan dan melihat sikap para penduduk dusun miskin itu saja mudah diketahui bahwa pemilik kedai ini adalah seorang yang dermawan dan baik hati. Akan tetapi sikap ini justeru membuat Ci Kang mengerutkan alisnya. Mereka itu jelas golongan hitam yang menggunakan kata-kata sandi, akan tetapi mengapa kini mereka bersikap begitu dermawan terhadap para penduduk miskin? Sungguh suatu keadaan yang amat aneh dan tidak sewajarnya!

Ketika pesanannya tiba, yaitu seguci besar arak, yang menggotongnya dua orang pelayan diantar pula oleh si kuasa kedai yang gendut dan ramah itu. Si gendut ini membungkuk-bungkuk dengan ra-mah, akan tetapi matanya yang tajam itu memandang wajah Ci Kang penuh perhatian, tersenyum-senyum dan berkata, "Harap sicu sudi memaafkan bahwa pela-yan kami agak terlambat karena ganggu-an para petani tadi. Kasihan sekali mereka itu, memang perlu dibantu dan di-bimbing."

Jelaslah bagi Ci Kang bahwa si gen-dut kuasa kedai ini memang sengaja me-mancing percakapan dengan dia. Dia tidak dapat menduga apa maunya, akan tetapi karena hatinya sedang kesal, dia tidak mau menanggapi, bahkan sama sekali tidak mengacuhkan dan segera me-nyambar guci arak dan minum langsung dari bibir guci tanpa cawan atau mang-kok lagi. Dia mau minum sepuasnya, biarpun dia bukan seorang pecandu arak, a-kan tetapi sekali ini dia ingin minum sampai mabok untuk mengusir kekesalan hatinya! Mengingat betapa dia dituduh mata-mata oleh para pendekar dan ham-pir dikeroyok, hatinya merasa panas dan penasaran sekali. Dia kini menjadi orang setengah matang, kepalang tanggung, ma-suk golongan hitam dimusuhi karena dia menentang mereka, masuk golongan pu-tih dimusuhi pula karena tidak diperca-ya.

"Sialan! Manusia tiada guna!" gerutu-nya dalam hati sambil menenggak lagi a-raknya. Melihat pemuda tinggi besar yang bertubuh tegap dan berpakaian seperti seorang pemburu dengan jubah kulit hari-mau, dan melihat caranya minum arak, semua orang yang berada di dalam kedai itu memandang dan mereka semua dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah se-orang yang gagah perkasa.

"Saya berani bertaruh apa saja bahwa sicu tentulah seorang pendekar yang me-miliki ilmu kepandaian tinggi dan amal terkenal." Kembali terdengar suara si gendut. Ci Kang merasa semakin kesal dan baru dia melihat bahwa si gendut itu masih berdiri di dekat mejanya. Dia hanya mengerling dengan alis berkerut tan-pa menjawab atau berkata sesuatu. kalau melihat kerut di antara alisnya, se-patutnya si gendut itu mengerti bahwa pemuda itu tidak suka diajak ngobrol. A-kan tetapi agaknya dia tidaklah secerdik itu.

"Tentu tidak salah lagi bahwa sicu a-dalah seorang di antara para pendekar yang hendak mengadakan pertemuan, bu-kan? Sicu, kapankah diadakannya perte-muan itu dan di mana? Saya ingin sekali mengetahui agar dapat membuat persiap-an dagangan saya. Pada hari itu tentu a-kan banyak para pendekar lewat di sini dan..."

"Plakk!" Tangan Ci Kang menyambar ke arah muka orang gendut itu. Si gen-dut ternyata memiliki gerakan cepat untuk ukurannya, dan berusaha mengelak, akan tetapi tangan itu mengejarnya dan akhirnya mengenai pipinya tanpa dia dapat menghindarkannya lagi.

"Aduhh...!" Si gendut terhuyung dan meraba pipinya yang menjadi merah sekali.

"Eh, kenapa kau memukul orang...?" Dua orang pelayan cepat menghampiri untuk melerai, akan tetapi tanpa bangkit dari kursinya, tangan kanan dan kakinya bergerak menyambut dua orang pelayan itu. Terdengar mereka mengaduh dan dua orang itupun terpelanting roboh. Kini si gendut menjadi marah dan dengan suara menggereng seperti harimau, diapun menubruk dengan kedua tangannya yang membentuk cakar harimau, menyerang ke arah kepala dan dada pemuda yang kini sudah menggerakkan tubuh memutar kursinya sehingga meja yang tadi berada di depannya kini berada di sebelah kirinya.

"Wuuuttt...!" Serangan si gendut itu cukup kuat, mendatangkan angin dan ini membuktikan bahwa dugaan Ci Kang memang benar. Si gendut itu yang nampaknya seorang pengurus kedai arak yang ramah dan murah hati, ternyata memiliki kepandaian silat yang cukup lihai. Akan tetapi, ketika Ci Kang mengangkat tangan kirinya menangkis, menyambut kedua lengan itu, terdengar suara "krekk!" dan lengan kanan si gendut itu patah. Sebelum si gendut sempat menghindar, secepat kilat kaki Ci Kang menendang lutut dan si gendut mengaduh, lalu jatuh berlutut. Tangan kanan Ci Kang mencengkeram rambut orang itu dan menekan kepala itu ke bawah.

Dua orang pelayan yang tadi dirobohkan, terkejut bukan main melihat kepala mereka sudah dikalahkan, dan mereka berdua itu dalam keadaan berlutut hanya dapat memandang penuh kekbawatiran. Juga tiga orang lain yang menjadi pengurus kedai itu, berdiri berkelompok di dekat pintu menuju dapur dengan muka ketakutan.

Tiba-tiba seorang di antara para tamu yang sedang duduk menghadapi hidangannya, menggebrak meja dan bangkit berdiri. Orang ini adalah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, pakaiannya sederhana namun bersih dan gerak-geriknya halus, wajahnya tampan dan dia sejak tadi duduk menghadapi hidangan di depan mejanya, makan dan minum sendirian saja. Pakaiannya serba putih dan dia lebih pantas menjadi seorang sasterawan daripada seorang ahli silat. Akan tetapi ketika dia menggebrak meja, mangkok piring di atas mejanya itu mencelat ke atas dan menimbulkan suara berisik ketika jatuh kembali ke atas mejanya. Pemuda berpakaian putih ini bangkit dan menoleh, memandang kepada Ci Kang yang masih menjambak rambut si gmdut yang hanya mengeluh panjang pendek. Dengan tangan kanan menekan sandaran kursi, pemuda baju putih itu menudingkan telunjuknya ke arah muka Ci Kang.

"Manusia sombong dan kasar! Berani kau menghina orang mengandalkan sedikit kepandaian?"

Sepasang alis hitam tebal yang seperti sayap burung geruda terbentang itu bergerak-gerak dan sepasang mata yang tajam itu mengeluarkan sinar berapi. Hati Ci Kang menjadi semakin panas. Orang berpakaian putih tentulah kawan golongan hitam yang menyamar menjadi pengurus-pengurus kedai ini, pikirnya.

"Habis, kau mau apa?" Diapun membentak sebagai jawaban ucapan pemuda baju putih itu.

Pemuda baju putih itu memandang tajam dan suaranya penuh wibawa. "Hayo lepaskan paman itu dan kau harus mohon maaf atas sikapmu yang kasar dan sombong, baru aku akan melupakan kesombonganmu!"

Ci Kang adalah seorang yang sejak kecil dididik dalam kekerasan. Dasar wataknya jujur dan keras, dan karena sejak kecil hidup di tengah golongan sesat, dia sudah terbiasa dengan sikap dan perbuatan keras dan kasar. Akan tetapi, dia selalu menentang kejahatan, dan setelah dia digembleng selama beberapa tahun oleh Ciu-sian Lo-kai, dia sudah dapat mengatasi kekerasan hatinya. Dia selalu bersikap mengalah dan sabar, sesuai dengan pelajaran yang diterimanya dari kakek Dewa Arak itu. Akan tetapi, penolakan dan penentangan para pendekar terhadap dirinya membuat hatinya kesal dan murung dan mudah marah. Kini, melihat sikap pemuda baju putih yang menentangnya pemuda baju putih yang dianggapnya tentulah kawan dari gerombolan penjahat yang membuka kedai arak ini, dia tidak lagi dapat menahan kemarahannya. Gerombolan penjahat ini harus dihajarnya, demikian dia mengambil keputusan.

"Kau mau membelanya? Nih, terimalah!" Dengan gerakan tangannya yang kuat, Ci Kang bangkit dan melontarkan tubuh gendut yang dicengkeram rambutnya itu ke depan. Tubuh gendut itu terlempar melayang ke arah pemuda baju putih! Kalau mengenai dan menubruk pemuda baju putih itu, tentu dia akan terpelanting pula.

Akan tetapi, pemuda baju putih itu dengan sikap tenang menyambut tubuh itu dengan dua tangannya dan dia sudah berhasil menangkap tubuh itu pada lengan dan pundaknya, lalu menurunkan tubuh gendut itu sehingga tidak sampai jatuh terbanting. Ketika dia memandang, ternyata Ci Kang sudah duduk lagi menghadapi meja dan mengangkat guci arak, menuangkan isinya ke mulut menggunakan tangan kiri, sedangkan lengan kanannya terletak di atas meja.

"Engkau sungguh manusia sombong yang patut dihajar!" Si beju putih itu dengan cepat melangkah maju dan menggerakkan tangannya menotok ke arah leher Ci Kang yang sedeng minum araknya.

Tiba-tiba Ci Kang menurunkan gucinya dan tanpa bangkit dari kursinya, dia menggerakkan tangan kanannya ke atas untuk menangkis tangan lawan. Gerakannya cepat mengandung tenaga amat kuat kerena memang dia mengerahkan sin-kangnya untuk menangkis dengan harapan sekali tangkis akan dapat mengalahkan lawan, sedikitnya mematahkan tulang lengan lawan.

"Dukkk...!"

Akibat benturan dua lengan itu membuat keduanya mengeluarkan teriakan tertahan saking kagetnya. Tubuh pemuda baju putih itu terdorong ke belakang sampai empat langkah, sedangkan sebaliknya, biarpun tubuh Ci Kang tidak terlempar karena dia sedang duduk, namun kursi yang didudukinya pecah berantakan!

Ci Kang sudah meloncat bangun dan alisnya berkerut semakin dalam. Kecurigaannya makin kuat. Orang ini tentu seorang tokoh sesat walaupun belum pernah dia melihatnya. Seorang tokoh muda yang entah datang dari mana dan agaknya diam-diam menjadi pelindung gerombolan penjahat yang menyamar menjadi pengusaha kedai arak. Teringatlah dia betapa si gendut tadi berusaha memancingnya agar dia suka bicara tentang pertemuan para pendekar dan kini diapun menduga bahwa tentu tokoh sesat ini bertugas menyelidiki pertemuan itu!

"Bagus, kiranya engkau seorang yang memiliki kepandaian juga. Sayang, kepandaian itu kaupergunakan untuk kejahatan!" Setelah berkata demikian, Ci Kang melompat ke depan dan menyerang dengan pukulan tangannya yang kuat.

Orang berbaju putih itu sudah mengenal kekuatan tangan lawan, maka diapun bersikap hati-hati sekali. Dengan mudah dia mengelak dari serangan Ci Kang lalu membalas dengan tendangan. Terjadilah perkelahian yang amat hebat dalam restoran itu antara Ci Kang dan pemuda baju putih. Dan para tamu segera meninggalkan meja masing-masing, menjauh akan tetapi menonton perkelahian itu. Dari sikap mereka, hampir semua berpihak kepada baju putih!

"Pemburu dari mana dia?" terdengar orang bertanya-tanya.

"Entah, dia baru datang, akan tetapi dia jahat sekali!"

"Dia telah memukuli Cou-twako, pengurus kedai yang baik hati!"

"Tentu dia penjahat!"

Demikianlah percakapan antara mereka yang sedang menonton perkelahian itu. Ci Kang menjadi semakin heran mendengar semua ini. Kenapa semua orang menganggapnya jahat? Akan tetapi dia tidak perduli karena dia maklum bahwa tentu semua orang telah tertipu oleh sikap penjahat-penjahat yang menyamar menjadi pemilik kedai arak ini. Hanya dia yang tahu bahwa mereka ini adalah orang-orang golongan hitam. Dan diapun merasa penasaran sekali. Pemuda baju putih ini hebat bukan main! Bukan hanya dalam kegesitan dan tenaga si baju putih ini dapat menandinginya, juga dalam ilmu silat pemuda ini agaknya dapat pula mengimbanginya. Gerakannya demikian kuat dan tenang, dan semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkisnya dengan baik. Ci Kang yang sedang murung itu masih dapat menenangkan hatinya dan menahan kemarahannya dan ini adalah berkat gemblengan dari Ciu-sian Lo-kai selama ini. Sebelum dia menjadi murid Si Dewa Arak, mungkin saja tadi dia telah membunuh para pengurus kedai itu, dan mungkin kini dia akan mengeluarkan serangan-serangan maut untuk membunuh pemuda baju putih yang disangkanya tentu juga seorang tokoh sesat yang membela para penjahat yang menyamar menjadi pengurus kedai.

"Manusia jahat! Terimalah ini...!" Tiba-tiba si baju putih itu membalas dengan serangan yang amat mengejutkan hati Ci Kang. Pemuda itu menyerangnya dengan pukulan aneh, dengan kedua tangan disilangkan dan didorongkan sambil merendahkan tubuhnya. Akan tetapi dari kedua tangannya itu menyambar hawa pukulan panas yang amat dahsyat, yang menyambar kepadanya seperti badai mengamuk! Tahulah Ci Kang bahwa pemuda itu ternyata memiliki pukulan sakti yang amat berbahaya dan kini menyerangnya dengan ganas sekali. Maka diapun cepat mengerahkan sin-kangnya dan mendorongkan kedua tangannya dengan telapakan terbuka ke depan.

Kembali dua tenaga raksasa saling bentur dan sekali ini sebelum dua pasang tangan bertemu, lebih dulu hawa pukulan itulah yang saling beradu. Dan sekali ini, Ci Kang merasakan betapa tubuhnya tergetar hebat oleh hawa panas itu dan biarpun dia tidak sampai terhuyung ke belakang, namun pasangan kuda-kuda kakinya tergeser. Terkejutlah dia. Tak disangkanya sama sekali bahwa lawannya sehebat itu. Dan dia yang sudah banyak pengalamannya tentang ilmu-ilmu kaum sesat, tidak dapat mengenal ilmu pukulan apa yang dipergunakan pemuda baju putih ini. Maka mulailah timbul keraguannya. Jangan-jangen pemuda baju putih ini bukan seorang tokoh sesat, melainkan seorang pendekar yang juga tertipu oleh para pengurus kedai dan menganggap para pengurus kedai itu orang baik-baik dan dermawan, dan mengira bahwa dialah yang jahat!

Pemuda baju putih itu agaknya juga terkejut ketika melihat betapa pukulannya yang ampuh tadi dapat ditahan oleh Ci Kang dan hanya membuat pemuda berpakaian pemburu itu bergeser sedikit saja kakinya.

"Seorang pemuda yang berilmu tinggi, akan tetapi mempergunakannya untuk kekejaman dan kejahatan! Orang macam engkau ini harus dibasmi agar tidak menyebar kekejaman lagi!" Pemuda beju putih itu berseru marah dan kini dia menyerang semakin hebat, dengan gerakan-gerakan aneh yang setiap gerakan mengandung daya serang mematikan! Ci Kang terkejut mendengar ucapan itu, apalagi melihat serangan bertubi-tubi yang amat hebatnya dan mendengar pula kata-kata para penonton yang jelas berpihak kepada si pemuda baju putih. Semua orang agaknya menganggap dia yang jahat!

Cepat dia mengelak beberapa kali lalu meloncat ke belakang sambil berteriak, "Kalian semua seperti orang buta saja! Tidak tahukah kalian siapa enam orang pengurus kedai ini? Mereka adalah orang-orang dari golongan hitam, kaum sesat atau penjahat-penjahat yang menyamar! Mereka hanya pura-pura saja dermawan, akan tetapi mereka adalah penjahat-penjahat keji yang memusuhi para pendekar!"

Pemuda baju putih itu agaknya tidak percaya, bahkan semakin marah. "Sudah busuk perbuatannya, busuk pula mulutnya melontarkan fitnah keji!" Dan diapun menyerang lagi dengan pukulan tangan kanan.

"Wuuuttt... dukk!" Kembali Ci Kang menangkis dan keduanya tergetar dan terpaksa melangkah mundur beberapa tindak.

"Sobat, engkau masih belum percaya? Lihat, ke manakah mereka itu? Mereka telah lari setelah aku membuka kedok mereka!" Ci Kang berseru dan pemuda baju putih itu menengok dan diapun tidak melihat seorangpun di antara enam pengurus kedai tadi.

"Kebakaran...! Kebakaran...!"

"Pembunuhan...! Rampok... rampok...!"

Di luar kedai terdengar suara gaduh dan tiba-tiba di bagian belakang kedai itupun dimakan api. Asap sudah masuk ke dalam ruangan itu dan semua orang sudah cerai-berai dalam keadaan panik dan sebentar saja yang tertinggal di da-lam kedai tinggal Ci Kang dan si pemu-da baju putih. Akan tetapi keduanya se-gera sadar bahwa di luar tentu terjadi hal-hal yang membutuhkan pertolongan mereka, maka seperti orang berlomba, ke dua orang muda itu meloncat keluar ke-dai. Dan memang keadaan di dusun kecil itu kacau balau. Kebakaran-kebakaran terjadi di sana-sini dan orang-orang ber-larian simpang siur dengan panik. Ci Kang melihat betapa enam orang pang-urus kedai tadi, dengan belasan orang lain yang jelas terdiri dari golongan se-sat, sedang membakari rumah dan merampoki barang-barang yang mereka angkut keluar. Tentu saja Ci Kang menjadi ma-rah bukan main. Akan tetapi dia sudah keduluan pemuda baju putih yang sudah meloncat dan menerjang orang-orang yang membakari rumah-rumah dan merampoki barang-barang itu. Di beberapa tempat terdapat mayat bergelimpangan, agaknya mayat dari mereka yang hendak melawan keganasan para perampok.

Ci Kang menerjang segerombolan orang yang sedang melakukan pembakaran rumah. Empat orang penjahat yang ber-tubuh tinggi besar dan berwajah kejam mengeroyoknya dengan senjata golok mereka. Akan tetapi, dengan mudah Ci Kang menyambut serangan mereka dengan tamparan dan tendangan yang membuat empat orang itu kocar-kacir dan ja-tuh bangun. Mereka merasa penasaran dan hendak melawan terus, akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja Ci Kang membuat mereka tak berdaya, mematah-kan tulang lengan atau kaki mereka dan akhirnya empat orang penjahat itu lari tunggang-langgang, yang patah tulang kakinya menyeret kaki itu terpincang-pin-cang. Ci Kang tidak mengejar mereka. Gurunya, Si Dewa Arak, selalu menekankan kepadanya betapa tidak baiknya me-lakukan pembunuhan-pembunuhan. Bahkan sedapat mungkin jangan melakukan kekerasan, kata gurunya itu. Andaikata ter-paksa harus menggunakan kekerasan ter-hadap penjahat, cukup kalau menunduk-kan dan sekedar memberi hukuman saja agar mereka tidak berani melanjutkan kejahatan mereka, akan tetapi sama se-kali tidak boleh dibunuh. Ajaran Si Dewa Arak ini sungguh berlawanan sekali dengan kebiasaan hidup di lingkungan kaum sesat, akan tetapi Ci Kang menerimanya dengan hati senang dan patuh karena memang cocok sekali dengan pendiriannya sendiri yang tidak suka akan kejahatan dan kekerasan karena dia sudah muak hi-dup di lingkungan yang penuh dengan ke-kerasan.

Tiba-tiba Ci Kang terkejut oleh suara teriakan-teriakan yang mengerikan. Dia cepat menoleh dan wajahnya berobah me-rah. Dia melihat pemuda baju putih itu mengamuk dan sepak terjangnya menggi-riskan sekali. Sudah ada tujuh atau dela-pan orang penjahat termasuk si gendut dari kedai arak dan anak buahnya, ber-serakan menjadi mayat. Pemuda itu me-nurunkan tangan mautnya dan tidak memberi ampun kepada para penjahat. Masih ada beberapa orang penjahat yang mengeroyoknya, akan tetapi Ci Kang maklum bahwa mereka semua itu tentu akan te-was di tangan si pemuda baju putih kalau dia tidak mencegahnya. Cepat dia meloncat dan ketika tangan pemuda baju putih itu menyambar dengan serangan maut kepada seorang penjahat yang go-loknya sudah terlempar, dia menubruk dan menangkis.

"Dukkk...!" Untuk ke sekian kalinya kembali dua lengan yang mengandung tenaga kuat itu saling bertemu, menggetarkan tubuh kedua pihak.

Pemuda baju putih itu mengerutkan alisnya dan matanya memandang terbela-lak kepada Ci Kang. "Gilakah kau?" ben-tak pemuda itu kepada Ci Kang. "Tadi engkau menyerang mereka dan aku yang tidak mengenal siapa mereka membela mereka. Sekarang, setelah mengetahui bahwa mereka ini adalah penjahat-penjahat terkutuk dan hendak membasmi mereka, engkau muncul melindungi mereka!" Pemuda baju putih itu benar-benar terkejut, heran dan penasaran melihat tingkah Ci Kang yang dianggapnya aneh sekali itu.

"Sobat, engkau memang gagah perkasa, akan tetapi terlalu kejam! Memang sudah menjadi kewajiban seorang pendekar untuk menentang kejahatan, akan tetapi bukan membunuh!"

Pemuda itu mengerutkan alisnya. "Kau perduli apa?" Dan diapun sudah menerjang lagi ke depan, merobohkan seorang penjahat dengan tamparan tangan kirinya yang ampuh. Sekali terkena tamparan itu, golok yang menangkisnya terlempar dan orang itu tidak mampu menghindarkan dirinya lagi, dadanya kena dihantam dan terdengar tulang-tulang iga yang patah-patah dan orang itu menjerit dan roboh berkelojotan.

"Kau kejam...!" Ci Kang menghardik dan ketika orang baju putih itu hendak mengejar para penjahat yang menjadi gentar dan melarikan diri, Ci Kang sudah menghadangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar