"Ha-ha, aku boleh saja disebut Lo-mo (Iblis Tua), akan tetapi apakah aku memiliki Hek-hiat (Darah Hitam) ataukah tidak, haruslah dibuktikan dulu. Akan tetapi aku tahu benar bahwa engkau adalah putera seorang pendeker yang berhati lemah, yang tidak memiliki kegagahan, membiarkan diri dihina dan diinjak-injak orang lain. Engkaupun seorang pemuda yang lemah dan tidak dapat diharapkan."
"Iblis tua, engkau terlalu menghina orang!" Cia Sun marah sekali dan dia sudah mengepal kedua tinjunya dan siap untuk menerjang.
"Ha-ha, engkau hendak menyerangku? Engkau memiliki keberanian itu? Cobalah, orang muda, memang aku ingin sekali melihat sampai di mana kehebatan keturunan Pendekar Lembah Naga!"
Mendengar ini, semakin besar kecurigaan hati Cia Sun. Siapa tahu kakek ini benar-benar musuh besar keluarganya yang datang lagi, untuk menyempurnakan pekerjaannya yang terkutuk itu, yakni membasmi habis keluarga Pendekar Lembah Naga. Maka dengan kemarahan meluap, Cia Sun sudah menerjang ke depan dan menyerang kakek berjubah pendeta itu. Karena dia sudah dapat menduga bahwa lawan ini tentu lihai sekali, diapun tidak bersikap sungkan lagi dan begitu menyerang, Cia Sun sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang dan begitu tangannya meluncur dia sudah meluruskan telunjuknya yang menjadi kaku seperti baja melakukan totokan bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah utama di bagian depan tubuh lawan. Terdengar bunyi bercuitan ketika tangannya bergerak dan totokan-totokan itu sungguh amat dahsyat!
Biarpun tubuhnya tinggi besar, namun ternyata kakek itu dapat bergerak dengan amat cepat. Tubuhnya bergerak ke sana-sini mengelak dari sambaran jari tangan Cia Sun dan mulutnya mengeluarkan kata-kata seruan, "Ah, inikah yang disebut totokan It-sin-ci (Satu Jari Sakti)? Hebat, akan tetapi masih mentah!" Dan ucapannya ini bukan hanya sekedar membual karena tujuh kali totokan itu lewat dan tidak satupun dapat mengenai tubuh kakek itu.
Diam-diam Cia Sun terkejut. Jurus-jurus serangannya tadi adalah jurus-jurus simpanan. Lawan mungkin dapat menangkisnya, akan tetapi menghindarkan diri dari tujuh kali totokan bertubi-tubi itu hanya dengan cara mengelak, sungguh amat luar biasa! Selain resikonya terlalu besar, juga gerakan tangannya amat cepat sehingga kalau tidak ada orang yang sudah matang ilmunya sehingga gerakannya sudah otomatis dan mendarah daging, kiranya tidak akan mungkin menghindarkan diri semudah itu dari serangkaian totokannya. Dia juga merasa penasaran dan kini mendesak dan menyerang lagi dengan Hok-mo Cap-sha-ciang! Inilah ilmu yang paling dirahasiakan dari ayahnya. Hok-mo Cap-sha-ciang (Tiga Belas Jurus Penakluk Iblis) adalah ilmu yang amat luar biasa dan mujijat. Biarpun hanya tiga belas jurus, akan tetapi setiap jurus mengandung kehebatan yang sukar ditahan atau ditandingi lawan. Kalau tidak berada dalam kesulitan, mendiang Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong sendiripun jarang mempergunakan ilmu dahsyat itu. Juga Cia Han Tiong hampir tidak pernah mempergunakannya dalam perkelahian. Sekali ini, Cia Sun yang berada dalam keadaan sedih dan sakit hati, tak dapat menahan dirinya dan sudah mempergunakan ilmu simpanan terakhir yang paling hebat di antara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari ayahnya.
"Wuuuttt... singgg...!" Angin yang amat kuat menyambar dan suara berdesing terdengar ketika tangan pemuda itu menyambar ke depan. Kakek itu mengeluarkan suara kaget dan tidak berani main-main lagi, segera mengerahkan tenaga dan menyambut dorongan kedua telapak tangan pemuda itu dengan kedua tangannya sendiri. Dia maklum bahwa serangan sedahsyat itu tidak mungkin dielakkan tanpa membahayakan nyawanya. Satu-satunya jalan adalah menyambu pukulan dahsyat itu.
"Plak! Plak!" Tubuh Cia Sun terdorong ke belakang dan dia merasa betapa tenaganya bertemu dengan sesuatu yang lembut, kedua tangannya bertemu dengan telapak tangan lawan yang amat lunak akan tetapi dia merasa seolah-olah semua tenaganya masuk ke dalam air sehingga hilang kekuatannya, namun ternyata di balik kelembutan itu ada tenaga yang sedemikian halus dan kuatnya sehingga tubuhnya yang terdorong ke belakang. Dan begitu dia berhasil menghentikan tubuhnya yang terdorong, tiba-tiba saja kedua kakinya gemetar dan lemas sehingga dia hampir terguling.
Sebaliknya, kakek itupun membelalakkan kedua matanya yang melotot lebar. "Ihh, ilmu setan apakah itu? Setahuku Pendekar Lembah Naga adalah seorang pendekar gagah yang tidak pernah tersesat, akan tetapi bagaimana cucunya mempunyai ilmu sesat macam itu tadi?" Berkata demikian, kakek itu lalu menubruk maju dan jubahnya yang lebar itu berkembang. Cia Sun merasa seolah-olah dia diserang oleh seekor kelelawar raksasa yang terbang den menyambar ke arahnya. Dia masih merasa lemas kedua kakinya, maka kini diapun mengerahkan Thian-te Sin-ciang untuk melindungi dirinya, menangkis ke depan dari samping sambil mengerahkan tenaga sin-kang.
"Desss...!" Dan kini, pertemuan antara lengan mereka membuat tubuh Cia Sun terpelanting! Belum hilang rasa kaget pemuda itu, kakek yang amat lihai itu sudah menubruk dengan cengkeraman kedua tangannya ke arah kepala dan dada Cia Sun.
"Heh!" Cia Sun yang masih terpelanting itu terkejut melihat dua buah lengan yang besar dan panjang menyambar dengah cengkeraman maut. Dia menggulingkan tubuhnya mengelak lalu meloncat bangun. Ternyata kedua tangan kakek itu masih melanjutkan serangannya secara aneh dan dahsyat. Akan tetapi Cia Sun cepat memainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-ciang untuk membela dan melindungi dirinya sehingga semua serangan kakek itu dapat dielakkan atau ditangkis!
"Bagus!" Kakek itu memuji. "Thai-kek Sin-ciang yang baik sekali!" Akan tetapi biarpun mulutnya memuji, kakek itu melanjutkan serangan-serangannya yang ternyata selain aneh sekali gerakannya, juga amat cepat dan kuat sehingga Cia Sun menjadi repot dibuatnya. Pemuda ini segera merobah gerakannya, berturut-turut dia memainkan San-in Kun-hoat dan semua ilmu yang pernah dipelajarinya. Akan tetapi kakek itu dapat mengenal semua gerakannya dan memuji-muji setengah mengejek!
"Ha-ha, ilmu-ilmu silat yang tinggi dan hebat, akan tetapi masih mentah. Mana Thi-khi-i-beng? Hayo keluarkan, biar kucoba kelihaiannya!"
Cia Sun kini merasa yakin bahwa lawannya benar-benar amat lihai dan telah mengenal ilmu-ilmunya, kecuali Hok-mo Cap-sha-ciang tadi. Hal ini membuatnya merasa gugup dan ketika kakek itu menerjangnya dengan tendangan- tendangan berputar yang amat dahsyat, pahanya kena tendangan dan diapun terguling lagi. Dan sekali ini, sebelum dia sempat bangun, tahu-tahu kakek itu telah menempelkan jari-jari tangannya ke ubun-ubun kepalanya! Cia Sun memejamkan mata, menanti datangnya maut karena dia yakin bahwa kalau kakek itu menggerakkan jari-jari tangannya, dia tidak akan tertolong lagi. Akan tetapi jari-jari tangan itu tak kunjung terasa oleh kepalanya dan diapun membuka mata. Dilihatnya bahwa jari-jari tangan itu masih menempel di ubun-ubunnya, akan tetapi kakek itu hanya memandang sambil menyeringai.
"Iblis busuk, kalau engkau hendak membasmi kelurga kami, lakukanlah. Bunuhlah, aku tidak takut mati!"
"Ha-ha-ha!" kakek itu menarik tangannya dan melangkah mundur. "Orang muda, kalau aku ini Hek-hiat Lo-mo, apa kaukira engkau masih hidup sekarang ini?"
Sadarlah Cia Sun bahwa kakek ini sesungguhnya bukanlah musuh, melainkan seorang aneh yang agaknya tadi sengaja hendak menguji ilmu kepandaiannya. Dia tahu bahwa banyak sekali orang pandai di dunia ini yang berwatak aneh dan agaknya kakek inipun seorang di antara orang-orang aneh itu yang tidak dikenalnya. Maka tanpa ragu-ragu lagi diapun lalu bangkit duduk dan berlutut menghadap kakek itu.
"Maaf kalau saya keliru menilai orang. Siapakah locianpwe sebenarnya?" tanyanya dengan sikap hormat.
"Orang muda, siapa adanya aku tidaklah begitu penting dan baru akan kujawab satelah engkau mau menjawab pertanyaan-pertanyaanku."
Kini sudah hilang rasa marah di hati Cia Sun terhadap orang aneh yang dia percaya adalah seorang sakti ini. "Silakan bertanya, locianpwe."
"Engkau adalah putera keluarga gagah perkasa yang selalu mengutamakan kebaikan. Ibumu adalah seorang wanita gagah yang berhati mulia, dan murid-murid Pek-liong-pai adalah pendekar-pendekar yang baik hati. Akan tetapi pada suatu hari, malapetaka datang menimpa. Dua orang manusia berhati iblis telah menyebar maut, membunuh ibumu dan para suhengmu, yang sama sekali tidak bersalah terhadap dua orang itu. Nah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu. Apakah engkau ingin membiarkan saja kejahatan itu, sama sekali tidak mendendam dan tidak ingin mencari dan membunuh kedua orang itu untuk membalas dan juga untuk membasmi orang-orang yang demikian jahatnya?"
Cia Sun mengepal tinju, hatinya terasa seperti api disiram minyak, semangatnya semakin berkobar. "Tentu saja, locianpwe! Saya akan berusaha mencari dan membunuh kedua iblis jahat itu!"
Kakek itu mengangguk-angguk. "Benarkah itu? Bukankah ayahmu, ketua Pek-liong-pai yang berhati mulia dan suka mengalah itu tidak menghendaki demikian?"
Diam-diam Cia Sun terkejut. Orang aneh ini agaknya tahu segala-galanya, bukan hanya yang menimpa keluarganya, akan tetapi juga tahu akan watak ayahnya. Tentu saja hatinya memberontak dan dia ingin mempertahankan kehormatan dan nama ayahnya, ingin membenarkan dan membela pendirian ayahnya. Akan tetapi, pada saat itu batinnya sudah terlalu panas oleh dendam sehingga pertanyaan itu bahkan membut dia melihat lebih jelas lagi akan kesalahan dalam pendapat ayahnya itu.
"Mungkin ayah berpendapat demikian, akan tetapi saya tidak! Saya tidak ingin menjadi orang selemah itu dan membiarkan kejahatan berlangsung tanpa memberi hukuman dan tanpa membalas!"
"Jadi engkau ingin membelas dendam? Tahukah engkau siapa pembunuh ibumu?"
"Mereka adalah Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo."
"Tahukah pula engkau di mana adanya mereka?"
Cia Sun memandang bingung dan menggeleng kepala. "Saya tidak tahu, locianpwe. Akan saya cari mereka sampai dapat!"
"Orang muda, semangatmu cukup besar, akan tetapi jangan mengira akan mudah saja mencari mereka. Mereka itu adalah pendatang dari Sailan dan kini menyembunyikan diri. Pula, andaikata dapat bertemu, belum tentu engkau dapat mengalahkan mereka. Sekarang begini. Aku tertarik kepadamu, kagum akan kelihaianmu dan kegagahanmu. Ilmu silatmu sudah hebat dan jarang ada yang akan dapat menandingimu kalau ilmu-ilmu yang kaumiliki itu sudah dapat kaukuasai sampai matang. Ibarat buah engkau masih belum matang benar, dan ibarat batu giok engkau belum digosok. Maukah engkau menjadi muridku dan membiarkan aku membimbingmu selama satu tahun kemudian kutunjukkan kepadamu di mana adanya dua orang musuh besarmu itu?"
Bukan main girangnya hati Cia Sun. Tanpa banyak sangsi lagi dia lalu memberi hormat sambil berlutut dan menjawab. "Saya bersedia dan saya mau, locianpwe!"
"Nah, kalau begitu, ketahuilah bahwa aku adalah Go-bi San-jin, seorang pertapa usil yang tidak terkenal dan mulai sekarang engkau harus ikut bersamaku tanpa memberi tahu ayahmu."
"Baik, suhu. Teecu mentaati perintah suhu," kata Cia Sun dan malam hari itu juga dari makam ibunya dia langsung saja pergi mengikuti gurunya tanpa memberitahukan ayahnya! Dendamnya sudah sedemikian besarnya sehingga dia bersedia melakukan apa saja untuk dapat membalas kematian ibunya dan para suhengnya.
Rumah besar di Ta-tung itu tentu akan dianggap sebagai rumah seorang hartawan atau setidaknya rumah bangsawan oleh orang-orang yang baru datang di kota itu. Penduduk Ta-tung juga hanya mengetahui bahwa rumah besar itu adalah milik seorang hartawan kaya-raya bershe (marga) Siangkoan. Akan tetapi hartawan yang kabarnya usianya sudah amat lanjut dan sakit-sakitan itu jarang kelihatan orang, kabarnya selalu bersembunyi di dalam kamarnya dan dilayani oleh belasan orang pelayan! Hanya kadang-kadang saja orang melihat kakek hartawan ini keluar rumah memasuki sebuah kereta yang mewah, entah pergi ke mana. Pendeknya, pemilik rumah besar itu diketahui orang sebagai Siangkoan-wangwe (Hartawan Siangkoan) yang sudah tidak kelihatan aktip berdagang lagi, agaknya seorang kakek pensiunan yang menghabiskan sisa hidupnya dengan harta kekayaannya. Akan tetapi kalau saja orang dapat melihat tembus tembok tebal itu dan menyaksikan apa yang seringkali terjadi di dalam rumah itu, orang akan terheran-heran dan terkejut bukan main. Kiranya kakek hartawan yang kabarnya sakit-sakitan ini sebetulnya adalah seorang datuk kaum sesat yang ditakuti hampir semua anggauta dunia hitam. Juga para pendekar di dunia kang-ouw merasa serem kalau mendengar namanya. Dia adalah Siangkoan Lo-jin (Kakek Siangkoan) yang lebih terkenal dengan julukan Iblis Buta! Dengan menyamar sebagai seorang hartawan tua renta yang sakit-sakitan, Siangkoan Lo-jin dapat terbebas dari gangguan, dan lolos dari pengamatan para pendekar dan juga dari pemerintah yang pada waktu itu sedang sibuk mencarinya sehubungan dengan aksi gerakan pembersihan yang dilakukan oleh para petugas pemerintah atas perintah dari kaisar sendiri. Siangkoan Lo-jin dikenal sebagai pemimpin semua gerakan rahasia, persekutuan yang bekerja untuk kepentingan Liu-thaikam yang sudah ditangkap dan dijatuhi hukuman mati itu. Akan tetapi, alat pemerintah tidak berhasil menemukannya, bahkan tidak berhasil pula menemukan para tokoh sesat Cap-sha-kui yang menjadi para pembantu utama dari Siangkoan Lo-jin. Pemerintah hanya mampu membasmi anak buah penjahat saja seperti perkumpulan pengemis Hwa-i Kai-pang dan lain-lain.
Pada suatu malam setelah gerakan pembersihan dari pasukan pemerintah agak mereda di kota Ta-tung yang dekat dengan kota raja, di sebelah dalam rumah besar itu terjadi kesibukan. Para komandan keamanan di kota Ta-tung bisa mati berdiri kalau tahu apa yang terjadi di dalam rumah besar itu. Kiranya pada malam hari itu, seluruh tokoh pemberontak yang dicari-cari pemerintah telah berkumpul di rumah itu. Di malam gelap itu, seperti iblis-iblis gentayangan, berturut-turut datang berkelebatan bayangan-bayangan hitam memasuki rumah besar. Mereka ini adalah tokoh-tokoh sesat dari Cap-sha-kui yang terilbat dalam pemberontakan di bawah pimpinan Liu-thaikam yang datang untuk memenuhi panggilan Siangkoan Lo-jin yang mereka anggap sebagai pemimpin mereka dalam persekutuan itu.
Menjelang tengah malam, di waktu kota Ta-tung menjadi sunyi dan sebagiab besar penduduknya sudah tidur nyenyak, lengkaplah para tamu aneh yang berdatangan ke rumah besar menghadap Siangkoan Lo-jin. Di dalam ruangan di belakang, sebuah ruangan luas, mereka berkumpul, duduk menghadapi meja besar panjang dengan berkeliling. Para pelayan Siangkoan Lo-jin yang sesungguhnya bukan orang-orang biasa melainkan anak buah yang rata-rata memiliki ilmu silat tangguh, kini mengadakan penjagaan ketat walaupun mereka yakin bahwa rumah itu aman dan tidak pernah dicurigai orang.
Ruangan itu luas dan terang sehingga nampak jelas wajah mereka yang duduk mengelilingi meja besar panjang. Di kepala meja duduk Siangkoan Lo-jin sendiri, seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus dengan pakaian hitam sederhana, pakaiannya sebagai Si Iblis Buta, berbeda dari pakaian hartawan yang dikenakannya kalau dia kebetulan keluar sebagai pemilik rumah. Kini pakaian hitamnya amat sederhana dan longgar. Kedua matanya mengerikan, nampak putihnya saja dan tak pernah berkedip. Di tangan kirinya terdapat sebuah tongkat kayu cendana hitam yang selain menjadi pembantunya dalam meraba-raba mencari jalan, juga merupakan sebuah senjatanya yang ampuh sekali. Sebetulnya kakek buta ini memiliki sebuah rumah di Pao-ci, di Propinsi Shen-si, akan tetapi semenjak kegagalan persekutuannya yang mengabdi kepada Liu-thaikam, terpaksa dia bersembunyi di Ta-tung ini, di mana dia dikenal sebagai seorang hartawan yang tidak melakukan kegiatan apa-apa lagi.
Di sebelah kirinya duduk seorang pemuda, yaitu Siangkoan Ci Kang, putera tunggalnya. Ci Kang tidak dapat mengingat ibu kandungnya dengan baik. Seingatnya, ketika masih kecil pernah dia diasuh oleh seorang wanita yang menurut ayahnya adalah ibunya yang tewas ketika dia masih kecil. Dia hidup bersama ayahnya, digembleng oleh ayahnya yang buta dan harus diakuinya bahwa ayahnya amat mencintanya, walaupun dengan caranya sendiri yang aneh. Seluruh ilmu kepandaian ayahnya diwariskan kepadanya dan karena memang dia amat berbakat, biarpun kini usianya baru delapan belas tahun lebih, namun dia telah dapat mewarisi kepandaian itu. Siangkoan Ci Kang duduk seperti arca, diam dan wajahnya membayangkan hati yang dingin dan tidak perdulian. Pakaiannya seperti ayahnya, amat sederhana, bahkan jubahnya terbuat dari kulit harimau yang kuat. Usianya baru delapan belas tahun, akan tetpi tubuhnya tinggi tegap. Pada saat itu dia duduk dengan sepasang alis berkerut seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal hatinya dan membuat dia merasa tidak gembira. Dan memang sesungguhnya demikianlah. Sejak semula, dia sudah tidak setuju mendengar ayahnya memimpin Cap-sha-kui dan para tokoh sesat untuk menjadi antek pembesar korup Liu-thaikam. Dia tidak setuju, akan tetapi betapapun juga, sebagai seorang anak yang mencinta ayahnya, dia selalu membantu ayahnya, walaupun bantuan itu lebih merupakan perlindungan karena dia tidak pernah mau membantu kalau teman-teman ayahnya melakukan kejahatan. Dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang datuk sesat, akan tetapi diapun tahu, bahkan merasa yakin, bahwa sesungguhnya ayahnya bukanlah orang jahat, melainkan orang yang diracuni dendam setelah kedua matanya menjadi buta. Ayahnya hanya ingin menonjol, ingin menjadi orang nomor satu dalam dunia sesat, dan dia merasa kasihan melihat ayahnya yang buta, juga kagum bahwa ayahnya yang buta itu ternyata masih mampu menguasai dan memimpin orang-orang sesat yang jahat seperti iblis macam gerombolan Cap-sha-kui itu.
Berturut-turut mereka datang dan kini sudah berkumpul di situ dengan lengkap. Semua tokoh Cap-sha-kui yang pernah bekerja sama dengan Siangkoan Lo-jin. Mereka adalah Koa-i Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwe Coa-li, Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, dan Tho-tee-kwi Si Setan Bumi. Memang hanya enam orang ini saja dari Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) yang tersangkut dalam gerakan membantu Liu-thaikam yang dipimpin oleh Siangkoan Lo-jin. Sebenarnya Cap-sha-kui bukan merupakan suatu gerombolan dari tiga belas orang datuk sesat, akan tetapi mereka itu masing-masing memiliki nama besar dan keistimewaan sehingga dunia kang-ouw mengenal mereka sebagai Tiga Belas Iblis. Karena nama sebutan ini maka mereka, tiga belas orang tokoh sesat, merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengikat mereka satu sama lain, yaitu nama itulah. Sedikit banyak nama sebutan Tiga Belas Iblis itu mendatangkan semacam perasaan setia-kawan dalam hati mereka. Akan tetapi, kecuali yang enam orang ini, yang lain dari mereka tidak tertarik dan tidak mau mencampuri urusan pemberontakan itu.
Mereka sedang bercakap-cakap dengan wajah muram dan lesu, membicarakan kegagalan mereka dan hancurnya persekutuan mereka dengan ditangkap dan dihukum matinya Liu-thaikam yang merupakan sumber uang dan harapan mereka untuk dapat meraih kedudukan. Terutama sekali Siangkoan Lo-jin menjadi kecewa dan penasaran sekali.
"Brakkk!" Dia menggebrak meja sampai ruangan itu tergetar oleh hawa pukulan yang keluar dari gerakannya. "Sungguh membuat orang bisa mati penasaran! Bagaimana untuk pekerjaan membunuh dua orang pejabat saja sampai gagal, bukan saja gagal, bahkan membuat usaha kita hancur dan Liu-thaikam sampai terhukum mati. Kegagalan itu sendiri tidaklah begitu menyedihkan, akan tetapi telah menyeret nama kita ke dalam lumpur. Masa kita, yang sudah dikenal sebagai tokoh-tokoh utama, sampai gagal dan hancur dalam usaha membunuh dua orang pejabat saja?"
Kui-kok Lo-mo yang mewakili teman-temannya berkata dengan suara lirih, jelas bahwa diapun jerih terhadap kakek buta itu. "Lo-jin, harap maafkan kami. Bukan sekali-kali karena kami kurang hati-hati. Semua rencana sudah kami atur sebaik-baiknya, bahkan kami dibantu oleh tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang. Akan tetapi sungguh menjemukan pemuda Cin-ling-pai itu! Dia pula yang menggagalkan rencana kita. Dia yang dahulu menyamar sebagai Menteri Liang, dan dia pula yang menylamatkan Jenderal Ciang dari dalam pesta Ang-kauwsu. Dan ternyata bahwa pesta itupun agaknya telah diatur oleh pemuda itu untuk menjebak dan memancing kami. Kalau tidak ada pemuda itu, tentu tugas kami telah berhasil dengan baik semua."
"Pemuda keparat itu pula yang telah menyelamatkan ketua Kang-jiu-pang Song Pak Lun ketika aku dan Hwa-hwa Kui-bo menyerbu!" kata Koai-pian Hek-mo dengan suara lantang dan marah.
"Bukan hanya pemuda putera ketua Cin-ling-pai, bahkan juga anak setan puteri Pendekar Sadis itu yang menghalangi pekerjaan kita!" Suara Kiu-bwe Coa-li melengking ketika ia ikut bicara. Semua orang menengok kepadanya dan ada yang terkejut.
"Anak Pendekar Sadis? Yang mana?" tanya Kui-kok Lo-bo, terkejut mendengar disebutnya nama Pendekar Sadis oleh rekannya itu. Juga suaminya nampak kaget.
"Hi-hik, sungguh lucu kalau sampai ketua Kui-kok-pang dapat dikibuli dah tidak mengenalnya. Aku sudah menyelidiki dan aku tahu rahasianya. Ia adalah puteri atau anak tunggal Pendekar Sadis, kadang-kadang ia memakai pakaian wanita biasa, kadang-kadang menyamar sebagai seorang pemuda jembel. Ilmu ke-pandaian gadis itu tinggi sekali, agaknya telah mewarisi semua kepandaian ayah ibunya," kata Kiu-bwe Coa-li, agaknya gembira karena suami isteri Kui-kok-san itu tidak tahu akan rahasia itu sehingga ia yang tahu berarti lebih waspada dan lebih cerdik daripada mereka.
"Aihh, perempuan setan itukah yang kaumaksudkan?" Hwa-hwa Kui-bo berseru kaget. "Apakah ia yang pernah kita jumpai di kuil Dewi Laut di Ceng-tao?" Ia memandang kepada rekannnya, Koai-pian Hek-mo dengan mata terbelalak dan rekannya itu mengangguk-angguk, merasa ngeri. Kakek iblis ini bersama Hwa-hwa Kui-bo pernah bertemu dan bertanding melawan seorang gadis yang luar biasa lihainya sehingga mereka berdua kalah. Kiranya gadis itu adalah puteri Pendekar Sadis! Memang, di antara para tokoh sesat yang dijuluki Cap-sha-kui, dua orang tokoh ini memiliki tingkat kepandaian yang paling rendah maka biarpun mengeroyok, mereka itu masih belum mampu menandingi Sui Cin.
"Brakkk!" kembali Siangkoan Lo-jin menggebrak meja. Diam-diam dia menyesal sekali mengapa kedua matanya buta sehingga biarpun dia lihai akan tetapi dia tidak dapat menyaksikan sendiri semua itu dan tidak dapat mengenal kedua orang muda yang telah menggagalkan semua usahanya. Kini Liu-thaikam telah dihukum mati semua hartanya telah disita dan ini berarti bahwa usahanya yang dipupuknya selama ini berantakan sama sekali. "Sungguh amat menjemukan! Campur tangan dua orang muda saja telah membuat semua usaha kita gagal. "Ci Kang, apakah engkau juga tidak mampu menandingi orang-orang muda itu?" tiba-tiba ayah itu menoleh ke kiri, bertanya kepada puteranya.
Sejak tadi Ci Kang mendengarkan percakapan mereka dengan alis berkerut. Mendengar pertanyaan ayahnya, diapun menarik napas panjang. "Aku sudah pernah bertemu dengan mereka, dan menurut penglihatanku, biarpun mereka itu merupakan dua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi, namun tidaklah luar biasa!"
"Kalau begitu, mengapa usaha kita sampai gagal?" bentak ayahnya.
"Karena mereka berada di pihak benar dan di belakang mereka terdapat pasukan pemerintah!" jawab pemuda itu dengan singkat.
"Keparat! Tanpa sebab Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis memusuhi kita. Kita tidak boleh tinggal diam saja. Kita harus membalas dendam atas gangguan mereka ini!"
Enam orang tokoh Cap-sha-kui itu mengangguk-angguk, akan tetapi, tiba-tiba Tho-tee-kwi yang sejak tadi diam saja mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya. Raksasa yang tinggi besar dengan ukuran satu setengah kali orang biasa ini biarpun kasar dan liar, akan tetapi cerdik dan cukup berpengalaman sehingga dia tidak mau melakukan hal-hal yang sembono tanpa perhitungan.
"Heh, bukan aku takut menghadapi mereka, akan tetapi memusuhi ketua Cin-ling-pai dan terutama sekali Pendekar Sadis tanpa perhitungan, bukankah itu sama saja dengan menabrak batu karang dan kita mencari mati konyol!" Suaranya itu membuat para rekannya saling pandang dengan muka berobah agak pucat. Memang, bagaimanapun juga mereka sudah mendengar akan kehebatan tokoh-tokoh yang hendak mereka gempur itu, dan terutama sekali nama besar Pendekar Sadis membuat mereka harus menghitung sampai seratus kali sebelum turun tangan memusuhinya.
"Dalam hal ini, nama Cap-sha-kui tersangkut. Kalau kalian semua sebanyak tiga belas orang maju, apakah masih takut juga? Dan aku sendiripun tidak akan tinggal diam. Setidaknya, anakku Ci Kang akan mewakili aku untuk menghadapi anak-anak ketua Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis."
"Tidak, ayah, aku tidak mau!"
Ucapan Ci Kang ini membuat semua orang terkejut dan para tokoh Cap-sha-kui memandang dengan mata terbelalak kepada pemuda yang berani membantah ayahnya itu. Suasana menjadi sunyi sekali selama beberapa detik setelah Ci Kang mengeluarkan bantahannya, kesunyian yang mendebarkan hati.
"Apa...? Apa kau bilang tadi, Ci Kang?" Akhirnya terdengar suara Siangkoan Lo-jin, lambat dan lirih, akan tetapi penuh dengan kemarahan yang ditahan-tahan.
Siangkoan Ci Kang tetap tenang saja walaupun dia tahu bahwa ayahnya dan sekutu ayahnya itu tentu akan marah menghadapi pembangkangannya. "Aku tidak mau mewakili ayah untuk memusuhi Cin-ling-pai dan keluarga Pendekar Sadis."
Terdengar suara keras disusul meluncurnya sinar hitam dan tahu-tahu dinding di belakang tempat Ci Kang duduk berlubang disambar ujung tongkat kayu cendana. Kalau bukan Ci Kang, agaknya bukan dinding yang berlubang, melainkan tubuh orang yang telah berani membantah dan membangkang terhadap kehendak Si Iblis Buta itu. Melihat betapa tongkat itu menyambar cepat sukar diikuti pandang mata dan betapa besar bahaya maut mengancam kalau diserang oleh kekek buta itu, enam orang Cap-sha-kui diam-diam bergidik. Hebat bukan main kepandaian kakek buta itu dan mereka merasa gentar untuk menghadapinya sebagai lawan, walaupun mereka juga tahu bahwa dengan majunya mereka berenam, apalagi kalau lengkap tiga belas orang, kakek buta itupun belum tentu akan mampu melawan mereka.
"Ci Kang, apa artinya ucapanmu itu? Apakah engkau akan menjadi anak durhaka, mengkhianati ayahmu sendiri?"
"Tidak, ayah. Akan tetapi sejak dahulupun aku sudah tidak setuju dengan persekutuan ini. Ayah bermain api terlalu besar dan berbahaya dan kegagalan yang sudah semestinya menjadi peringatan agar ayah menghentikan semua kegiatan yang tidak sehat itu. Aku tidak suka melihat ayah melakukan kejahatan dan mengumpulkan orang-orang jahat untuk bekerja sama."
"Brakkk!" Ujung tepi meja itu hancur luluh dicengkeram tangan Siangkoan Lo-jin, sedangkan tangan sebelah yang memegang tongkat nampak gemetar. Kakek buta ini marah bukan main.
"Ci Kang, aku sudah tua dan aku sudah mempunyai rencana untuk mengundurkan diri dan mengangkat engkau sebagai penggantiku, memimpin para rekan di dunia hitam. Engkau harus lebih berhasil daripada aku, anakku, dan..."
"Maaf, ayah. Aku tidak sanggup, dan aku tidak mau melumuri hidupku dengan kejahatan dalam bentuk apapun juga. Aku tidak mau mengganggu orang lain..."
"Tutup mulutmu! Kau kira selama ini engkau makan apa kalau tidak hasil pekerjaan ayahmu? Kaukira dari mana kita memperoleh semua harta kekayaan..." Kakek itu menahan diri karena baru dia teringat bahwa di situ terdapat orang-orang lain yang mendengarkan sehingga tidak semestinya dia membuka semua rahasia keluarganya.
"Ayah, aku tidak menghendaki semua harta itu. Aku lebih baik hidup miskin dan tidak mempunyai apa-apa daripada harus mendapatkan harta kekayaan melalui kejahatan."
"Sombong engkau! Katakan saja engkau jerih dan takut terhadap Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis, engkau takut menghadapi manusia-manusia sombong yang menamakan diri mereka kaum bersih, golongan putih atau para pendekar. Engkau pengecut, penakut..."
"Aku tidak takut kepada siapa juga, ayah. Akan tetapi kurasa penghidupan para pendekar itu jauh lebih bersih daripada penghidupan kaum sesat..."
"Anak durhaka...!" Tongkat hitam itu kini berkelebat menyambar ke arah kepala Ci Kang dengan pukulan maut yang amat dahsyat. Akan tetapi pemuda itu sudah mampu mengelak dan melempar diri ke belakang sehingga dia terjengkang, akan tetapi dengan berjungkir balik dia sudah meloncat bangun dan berdiri kembali. Akan tetapi ayahnya yang menjadi semakin marah karena serangannya gagal, telah menerjangnya lagi dengan tongkatnya, kini melakukan serangan yang lebih hebat lagi. Biarpun buta, namun Siangkoan Lo-jin memiliki pendengaran yang luar biasa tajamnya, jauh lebih tajam daripada orang lain, sehingga dalam menghadapi lawan, dia sepenuhnya bergantung kepada pendengarannya untuk mengikuti gerakan lawan dan mengetahui di mana lawan berada! Melihat ayahnya sudah nekat dan menyerangnya mati-matian, kembali Ci Kang mengelak dan meloncat agak jauh dekat pintu.
"Ayah!" teriak Ci Kang penasaran. "Ayah sendiri dahulu menentang kejahatan dan karena dibikin buta, ayah lalu berubah dan menjadi pemimpin para datuk sesat. Kalau ayah hendak memaksaku menjadi penjahat, tidak cukup ayah membikin buta, akan tetapi harus lebih dulu membunuhku!"
"Keparat, kalau begitu aku akan membunuhmu!" Siangkoan Lo-jin yang merasa kecewa dan menjadi marah sekali itu sudah meloncat ke arah puteranya dan menusukkan tongkatnya. Akan tetapi Ci Kang sudah menguasai semua ilmu ayahnya, maka diapun tahu akan kehebatan serangan itu, dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke kiri dan ketika dia turun ke atas lantai, kedua kakinya tidak mengeluarkan bunyi. Pemuda ini telah mempergunakan gin-kang yang paling hebat sehingga tubuhnya menjadi ringan sekali dan di situ dia berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak, bahkan pernapasannyapun ditahan dan diatur sehingga tidak mengeluarkan bunyi. Dia tahu akan kelemahan ayahnya yang hanya mengandalkan pendengaran, maka kini, setelah dia tidak mengeluarkan bunyi, ayahnya juga berdiri bingung, tidak tahu ke mana perginya Ci Kang!
"Anak durhaka, jangan lari kau! Di mana engkau? Kurang ajar! Heii, kalian ini apakah sudah berobah menjadi patung semua? Hayo bantu aku menangkap dan membunuh anak durhaka itu!" Teriakan ini ditujukan kepada enam orang Cap-sha-kui yang sejak tadi hanya duduk diam saja dengan penuh perhatian dan kegembiraan melihat bentrokan antara ayah dan anak itu. Kini, mendengar bentakan Siangkoan Lo-jin mereka serentak bangkit. Akan tetapi mereka merasa ragu-ragu. Mereka mengenal Ci Kang, dan selalu mereka segan kepada pemuda remaja putera Iblis Buta yang selain amat lihai juga pendiam dan tidak banyak cakap itu. Kini pemuda itu memandang kepada mereka dengan wajah dingin dan mata berkilat membuat mereka menjadi gentar juga. Kalau mereka maju, kemudian ayah dan anak itu bersatu, mereka tentu akan mati konyol.
"Lo-jin, puteramu berada di sebelah kananmu, dekat pintu keluar!" tiba-tiba Kui-kok Lo-mo berseru dan teman-temannya menjadi lega. Memang mereka tadi ragu-ragu dan kini mereka hendak melihat sikap anak dan ayah itu sebelum mereka turun tangan membantu Siangko-an Lo-jin. Begitu mendengar ucapan ini, tiba-tiba Siangkoan Lo-jin meloncat ke kanan dengan kecepatan luar biasa tongkatnya diputar dan dihantamkan ke arah kepala puteranya. Ketika Siangkoan Ci Kang mengelak, gerakannya terdengar oleh ayahnya dan ayah yang sudah marah ini lalu mengulur tangan kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala puteranya. Suatu serangan yang amat berbahaya dan cepat, mengandung maut! Mengelak dari serangan ini selagi tongkat itu mengancam dari lain jurusan, amat berbahaya dan jalan satu-satunya hanyalah menangkis, pikir Ci Kang. Dia sebetulnya tidak ingin menghadapi ayahnya dengan kekerasan, akan tetapi untuk melindungi dirinya dari tangan maut yang mencengkeram, terpaksa dia harus mengerahkan tenaganya menangkis.
"Dukk...!" Dua tenaga besar itu bertemu dan akibatnya, Siangkoan Lo-jin berusaha meloncat ke belakang untuk mematahkan tenaga yang membuat dia terdorong ke belakang, sedangkan Ci Kang sendiri terlempar keluar pintu ruangan itu! Melihat betapa Siangkoan Lo-jin benar-benar hendak membunuh puteranya, enam orang Cap-sha-kui itu menjadi berani dan merekapun melakukan pengejaran keluar ruangan.
"Orang muda, perlahan dulu!" teriak Kui-kok Lo-mo yang melompat paling depan sambil mengirim serangan dengan kedua tangannya. Angin keras menyambar disertai uap tipis putih keluar dari kedua telapak tangan ketua Kui-kok-pang ini ketika dia menyerang ke arah Ci Kang.
"Jangan kalian mencampuri urusan pribadiku!" bentak Ci Kang dan diapun mengerahkan tenaganya, membalik dan mendorong untuk menyambut serangan lawan.
"Desss...!" Keduanya terpental dan Kui-kok Lo-mo terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa tenaga pemuda remaja itu benar-benar amat hebat dan mampu membuat dirinya terpental. Juga isterinya yang datang menyusul di belakangnya, terkejut melihat suaminya sampai terpental. Karena suami isteri ini kelihatan tercengang dan ragu-ragu, para tokoh sesat lainnya yang memiliki tingkat lebih rendah, menjadi ragu-ragu sehingga Ci Kang memperoleh kesempatan untuk meloncat keluar rumah dan melarikan diri.
Marahlah hati Siangkoan Lo-jin ketika memperoleh kenyataan bahwa puteranya berhasil lolos. "Kalian ini sungguh sekelompok orang tak berguna. Kalian membiarkan anak durhaka itu lolos begitu saja, tanpa mengejar?"
"Jangan salah mengerti, Lo-jin. Kami masih ragu-ragu untuk mengejar, karena bagaimanapun juga, dia adalah putera tunggalmu, kami masih belum yakin benar apakah engkau hendak melihat dia terbunuh oleh kami," kata Kui-kok Lo-mo dengan cerdik.
"Bodoh! Siapa main-main! Daripada melihat anakku sendiri durhaka dan menentangku, lebih baik melihat dia mampus. Sekarang kuperintahkan kepada kalian, semua anggauta Cap-sha-kui, untuk selain memusuhi Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis, juga mencari dan menyeret anak durhaka itu ke depan kakiku agar aku dapat menghukumnya sendiri! Nah, pergilah kalian, aku tak ingin diganggu lagi!"
Enam orang itu lalu berkelebatan pergi dan kakek buta itu kini berada seorang diri di dalam ruangan. Dia berdiri seperti patung, termenung, dan dia membayangkan puteranya sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa, yang menentang kejahatan sehingga namanya dipuja dan dikagumi semua pendekar di dunia kang-ouw. Tak terasa lagi, bibirnya yang kering itu tersenyum. Teringatlah dia akan dirinya sendiri. Menjadi seorang gagah yang dikagumi seluruh dunia adalah cita-citanya, dan karena cita-cita itu tidak terlaksana melalui kebaikan, dia hendak mengejar nama besar itu melalui kejahatan dengan memimpin kaum sesat dan menjadi orang jahat nomor satu! Kalau puteranya bisa menjadi orang yang paling menonjol dan terkenal, tidak perduli sebagai penjahat nomor satu atau pendekar nomor satu, dia akan merasa bangga!
Akan tetapi dia telah memerintahkan Cap-sha-kui untuk memusuhi anaknya! tidak apa, memang seharusnya begitu. kalau anakku itu ingin menjadi pendekar nomor satu, dia harus mampu menghadapi Cap-sha-kui, bahkan dia harus mampu membasmi Cap-sha-kui! Kalau anaknya yang tidak mau menjadi penjahat nomor satu itu tidak bisa menjadi pendekar nomor satu, biar anaknya mati saja daripada menjadi manusia yang tidak terkenal sama sekali!
Pemikiran seperti yang berada dalam batin Siangkoan Lo-jin itu mungkin akan kita anggap gila dan tidak lumrah. Akan tatapi, kalau kita mau membuka mata mengamati kehidupan di sekeliling kita, akan kita temui bahwa hampir setiap orang tidak jauh bedanya dengan Siangkoan Lo-jin ini.
Kita semua ini haus akan kehormatan, haus akan penonjolan diri, bahkan watak ini sudah mendarah daging sehingga tidak terasa lagi oleh kita. Lihatlah betapa banyaknya orang yang dengan nada suara penuh kebanggaan menceritakan betapa kakeknya dahulu adalah seorang maling terbesar, seorang jagoan terbesar, seorang penjudi terbesar dan sebagainya? Mereka ini bercerita dengan nada suara sama bangganya dengan mereka yang menceritakan betapa kakek mereka dahulunya seorang yang paling terhormat, terkaya atau tertinggi kedudukannya. Juga, hampir semua orang menceritakan dengan bangga bahwa anaknya adalah yang paling nakal, paling bandel, dan sebagainya, sama bangganya dengan mereka yang menceritakan dengan suara malu-malu dan rendah hati bahwa anak mereka adalah yang paling patuh, paling pintar dan sebagainya. Kita sudah berwatak ingin menonjolkan diri, diri sendiri atau perkembangan dari diri sendiri yang menjadi anakku, keluargaku, bangsaku dan selanjutnya.
Membayangkan betapa puteranya akan menjadi seorang yang amat terkenal, kakek itu terkenang akan keadaan dirinya sendiri yang serba gagal, dan dia lalu meraba-raba dengan tongkatnya, menemukan sebuah kursi, menjatuhkan dirinya di atas kursi dan menutupi muka dengan kedua tangan untuk menyembunyikan dua tetes air mata yang jatuh ke atas pipi.
Restoran itu cukup ramai dan besar dan malam hari itu restoran ini dikunjungi banyak tamu. Restoran Ban Lok memang merupakan sebuah restoran yang terkenal mempunyai masakan enak, paling terkenal di seluruh kota Cin-an. Ketika Ci Kang memasuki restoran itu, untung baginya dia masih kebagian meja yang paling sudut. Dia memasuki restoran, tidak perduli akan pandangan orang kepadanya, memang agak menyolok pakaian pemuda ini, tidak mewah seperti pakaian para tamu lain. Pakaian Ci Kang yang sederhana, dengan jubah kulit harimau, membuatnya nampak sebagai seorang pemburu, tidak ada keduanya di restoran itu. Ketika dia melewati serombongan orang yang duduk mengelilingi meja bundar besar, ada empat pasang mata yang memandangnya dengan senyum mengejek dan hidung agak dikembang-kempiskan seperti orang mencium bau busuk, akan tetapi ada dua pasang mata halus yang memandang kepadanya, ke arah wajahnya, dengan pandang mata kagum. Empat pasang mata yang terutama memandang kepada bajunya itu adalah mata empat orang laki-laki berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Mereka berpakaian mewah, akan tetapi sekali pandang saja tahulah Ci Kang bahwa mereka adalah orang-orang yang tergolong penjahat yang suka melakukan hal-hal yang tidak baik untuk mencari uang. Dan dua pasang mata halus itu adalah mata dua orang wanita yang juga berpakaian mewah. Mereka itu adalah dua orang wanita muda yang usianya antara dua puluh tahun, cantik manis akan tetapi melihat sikap mereka yang genit dengan gaya yang dibuat-buat untuk memikat hati orang, Ci Kang juga mengenal sifat berandalan pada dua orang wanita itu dan dapat menduga bahwa mereka tentu pelacur-pelacur yang dibawa ke restoran untuk pesta oleh empat orang itu yang agaknya baru saja memperoleh hasil banyak dari pekerjaan kotor mereka. Akan tetapi Ci Kang tidak perduli dan duduk memesan nasi, sayur dan air teh panas. Sudah menjadi wataknya untuk tidak mencampuri urusan orang dan tidak memperhatikan orang lain. Sekali pandang saja dia sudah dapat melihat keadaan dan kalau tadi dia memandang ke arah enam orang itu hanyalah karena kewaspadaan saja, bukan karena ingin tahu.
Setelah hidangan yang dipesannya datang, diantar oleh seorang pelayan, pada saat Ci Kang mengangkat muka untuk menerima hidangan itu, kembali dia melihat betapa dua orang wanita cantik yang genit-genit itu memandang kepadanya sambil tersenyum-senyum dan melempar kerling. Bahkan keduanya cekikikan sambil saling berbisik dan memandang kepadanya, jelas sekali mereka itu sedang membicarakan dirinya. Melihat ini, Ci Kang cepat menundukkan muka dan menghindarkan pertemuan pandang mata dengan mereka. Hatinya sedang murung dan sikap kedua orang wanita cantik itu menambah kemurungan hatinya. Dia masih belum dapat melupakan peristiwa yang terjadi di dalam pertemuan antara ayahnya dengan para tokoh Cap-sha-kui itu. Dia sungguh menyesali sikap ayahnya yang demikian keras dan kejam, bahkan tega hendak membunuhnya. Dia yakin benar akan napsu membunuh ayahnya ketika ayahnya menyerang dalam keadaan marah dan hal ini sungguh amat menyakitkan hatinya. Dia merasa benar betapa ayahnya amat mencintanya, amat sayang kepadanya dan telah mencurahkan kasih sayangnya itu sejak dia kecil. Akan tetapi dia juga tahu bahwa ayahnya mengejar ambisi dan untuk itu, ayahnya dapat bersikap dan berbuat kejam, seperti yang telah diperlihatkannya dengan cara hendak membunuhnya, putera kandungnya sendiri.
"Heii, kalian melihat siapa sih? Kenapa lirak-lirik dan senyam-senyum saja kepada orang itu?" terdengar seorang di antara empat pria itu menegur. Ci Kang mendengar ini dan sudah dapat menduga bahwa yang ditegur tentulah dua orang pelacur itu dan yang dimaksudkan dengan "orang itu" tentulah dia sendiri. Akan tetapi dia terus makan minum dan tidak perduli.
"Percuma kami keluarkan banyak uang kalau kalian main mata dengan pria lain!" tegur suara kedua.
"Apakah pelacur-pelacur masih mata keranjang melihat orang muda dan tampan?" orang ketiga berkata.
"Uhh, biar muda dan tampan, kalau kotor seperti itu, sungguh menjijikkan. Agaknya tak pernah berganti pakaian dan siapa tahu makanan itu takkan dibayarnya!" ejek orang keempat dan mereka berempat tertawa-tawa. Dua orang pelacur itupun ikut tertawa walaupun suara ketawa mereka itu paksaan atau terdorong oleh kegenitan mereka.
Tentu saja Ci Kang mendengar itu semua dan tahu bahwa mereka molontarkan hinaan-hinaan kepada dirinya, bahkan mendengar suara mereka meludah-ludah ketika orang keempat mengatakan dia kotor dan menjijikkan. Akan tetapi di dalam batin Ci Kang tersenyum, mentertawakan orang-orang itu karena dari sikap mereka itu mereka seperti memperlihatkan kepada umum orang-orang macam apa adanya mereka. Dia tidak mau melayani dan melanjutkan makan nasi dan sayur dengan cepat, lalu minum sedikit arak dan teh. Setelah selesai, diapun cepat membayar harga makanan dan hendak meninggalkan restoran yang masih banyak pengunjungnya itu.
Empat orang itu memang jagoan-jagoan yang terkenal bengis dan ditakuti orang di Cin-an. Maka, biarpun semua orang juga mendengar ucapan-ucapan mereka yang menghina orang, tidak ada yang mau mencampuri karena mencampuri urusan empat orang itu berarti mencari penyakit. Sedangkan empat orang jagoan itu memang tadi sengaja melontarkan kata-kata untuk menghina dan memancing kemarahan Ci Kang. Pemuda itu makan di restoran tidak mengganggu siapapun juga, bahkan tidak pernah menoleh kepada mereka, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk mengganggu Ci Kang. Maka, karena hati mereka panas melihat betapa dua orang pelacur yang mereka bawa itu nampaknya tertarik kepada Ci Kang, mereka lalu melontarkan kata-kata hinaan untuk memancing agar pemuda itu marah-marah sehingga mereka mempunyai alasan untuk menghajarnya. Siapa kira, pemuda itu sama sekali tidak mau menyambut atau saking tolol atau takutnya tidak berani menjawab. Melihat betapa pemuda itu sudah bangkit dan hendak pergi, dan kini dua orang pelacur memperoleh kesempatan untuk memandang wajah pemuda itu dengan kagum, empat orang itu tidak dapat menahan kemarahan dan iri hati mereka. Setelah saling pandang dan mengangguk, mereka bangkit dari kursi mereka dan berloncatan menghadang Ci Kang yang hendak keluar dari restoran. Melihat ini, para tamu yang sudah mengenal empat orang jagoan itu menjadi ketakutan dan sebagian cepat menyingkir ke tempat yang agak jauh sambil memandang dengan hati khawatir.
Melihat empat orang itu berdiri menghadangnya, Ci Kang mengerutkan alisnya. Jelaslah bahwa empat orang yang menyeringai ini sengaja mencari keributan. Dia masih mencoba untuk menghindar dan mencari jalan keluar lain, akan tetapi gerakan ini oleh empat orang itu dianggap sebagai tanda takut, maka mereka lalu mengurungnya sambil tersenyum lebar. Ci Kang kehabisan jalan dan terpaksa dia mengangkat muka memandang mereka satu demi satu. Empat orang itu terkejut melihat sinar mata mencorong itu, akan tetapi karena sikap pemuda itu yang sejak tadi tidak pernah memperlihatkan perlawanan membuat hati mereka menjadi besar. Mereka sengaja hendak berlagak di depan dua orang pelacur itu dan ingin membikin malu kepada pemuda yang agaknya telah menarik hati dan dikagumi oleh dua orang pelecur yang mereka sewa.
"Ha-ha-ha, bocah petani busuk, bersihkan dulu sepatu kami baru engkau boleh pergi dari sini!" kata seorang di antara mereka yang berkumis lebat. Tiga orang temannya tertawa sambil bertolak pinggang dengan sikap angkuh dan memandang rendah.
Ci Kang tidak marah, hanya merasa muak dengan sikap mereka. Tanpa memperdulikan mereka, dia lalu melangkah maju dan ketika si kumis tebal yang berada di depannya itu mengangkat tangan hendak memukul, dia tidak perduli dan melangkah terus hendak menabrak tubuh si kumis tebal. Tentu saja si kumis tebal menjadi marah dan melanjutkan pukulannya ke arah kepala Ci Kang dan melihat ini, tiga orang kawannya juga sudah menggerakkan tangan menyerang Ci Kang dari kanan kiri dan belakang. Sekaligus, pemuda remaja itu diserang oleh empat orang dari empat jurusan, akan dipukuli begitu saja tanpa salah apa-apa.
Sejenak empat orang itu mengira bahwa pemuda itu takkan melawan dan akan mandah saja mereka pukuli karena tubuh Ci Kang sama sekali tidak nampak bergerak atau bersiap melawan. Akan tetapi, ketika tangan empat orang itu sudah tiba dekat tubuhnya, tiba-tiba Ci Kang menggerakkan tubuhnya, mengangkat kedua tangan sambil memutar tubuh menggeser kaki dan terdengarlah suara tulang patah berturut-turut dan empat orang itu mengaduh-aduh sambil terpelanting ke belakang, jatuh dan memegangi tangan yang dipakai menyerang tadi karena lengan tangan itu telah patah-patah tulangnya ketika disambar tangan pemuda itu. Ci Kang sama sekali tidak memperdulikan mereka lagi. Seperti tidak pernah terjadi sesuatu, pemuda ini dengan wajah dingin dan langkah tenang meninggalkan restoran itu, diikuti pandang mata semua orang yang terbelalak penuh keheranan dan kekaguman. Empat orang itu seperti empat orang anak kecil yang karena tololnya memukul benda keras sehingga tangan mereka sakit sendiri. Akan tetapi merekapun maklum bahwa pemuda berwajah dingin yang hendak mereka jadikan korban penghinaan mereka itu ternyata adalah seorang pemuda yang sakti, maka merekapun hanya berani memandang dengan muka pucat karena gentar dan karena menahan rasa nyeri dan tidak berani mengejar.
Peristiwa di dalam restoran itu tentu saja menjadi buah bibir para tamu setelah mereka meninggalkan restoran, akan tetapi karena Ci Kang tidak pernah memperkenalkan nama, bahkan tidak pernah mengeluarkan sepatahpun kata dalam peristiwa itu, orang-orang hanya dapat menduga-duga siapa gerangan pemuda remaja berwajah dingin yang amat lihai itu.
Sementara itu, Ci Kang terus melanjutkan perjalanannya meninggalkan Cin-an pada malam hari itu juga karena dia tidak ingin dirinya terlibat lagi dalam keributan lain sebagai lanjutan dari peristiwa dalam restoran tadi. Sebagai putera seorang datuk sesat yang sudah banyak mengenal watak para penjahat, Ci Kang mengerti bahwa orang-orang macam penjahat-penjahat kecil seperti yang beraksi di restoran tadi, tentu mempunyai kepala atau pemimpin dan orang-orang semacam itu tidak pernah mau mengenal kelemahan sendiri. Mereka tentu tidak mau sudah begitu saja, melapor kepada kepala mereka atau mengumpulkan kawan-kawan mereka kemudian mencarinya untuk melakukan pembalasan. Orang-orang seperti itu tidak memiliki kejantanan sedikitpun juga, tidak malu-malu untuk mengandalkan pengeroyokan dan kecurangan lain. Oleh karena dia tidak ingin direpotkan oleh urusan tetek bengek macam itu, maka lebih baik dia pergi meninggalkan Cin-an malam itu juga, bukan karena takut melainkan karena segan berurusan dengan penjahat-penjahat kecil itu.
Ci Kang tidak pernah menduga bahwa urusan kecil di rumah makan itu memang tidak berhenti sampai di situ saja, melainkan mendatangkan akibat yang amat besar. Peristiwa itu menjadi buah bibir orang di Cin-an karena disebar oleh para tamu restoran yang menyaksikan keributan itu dan terdengar pula oleh enam orang tokoh Cap-sha-kui yang kebetulan pada keesokan harinya tiba di kota itu.
"Heh, tak salah lagi, pemuda berjubah kulit harimau itu tentulah Siangkoan Ci Kang," kata Kiu-bwe Coa-li.
"Benar, dan kita harus cepat mengejarnya!" kata Kui-kok Lo-mo.
"Mengapa? Apa perlunya kita mengejarnya?" tanya Tho-tee-kwi dengan suara tak acuh. Yang lain-lain juga memandang kepada kakek jubah putih itu. Selain tingkat kepandaiannya paling tinggi, juga Kui-kok Lo-mo selain berdua dengan isterinya yang juga amat lihai sehingga suami isteri ini dianggap sebagai pemuka oleh empat orang rekannya.
"Apa perlunya? Tentu saja untuk menangkapnya dan menyeretnya kepada Siangkoan Lo-jin, hidup atau mati." jawab Kui-kok Lo-mo.
"Mengapa kita harus mencampuri urusan ayah dan anak itu?"
Kembali yang bertanya itu adalah Tho-tee-kwi. Di antara empat orang rekan suami isteri dari Kui-kok-san itu, hanya raksasa inilah yang kelihatan tidak gentar menentangnya dan sikapnya selalu kasar, liar dan tak acuh. Tiga orang rekan yang lain menanti jawaban pertanyaan ini yang mereka anggap mewakili keraguan hati mereka sendiri untuk mencampuri urusan keluarga Siangkoan.
"Begitu bodohkah engkau maka hal itu saja engkau tidak mengerti? Apakah kalian merasa senang selalu diperkuda oleh Siangkoan Lo-jin? Cap-sha-kui yang selama ini merajalela dan merajai dunia persilatan, kini harus tunduk kepada seorang kakek buta! Lihat, di antara kita tiga belas orang, hanya kita berenam saja yang tolol dan mau saja diperkuda olehnya. Kalau kita tempo hari merendahkan diri dan mau membantunya, hal itu adalah karena harapan imbalannya yang amat besar, selain harta benda juga mungkin kedudukan tinggi yang akan kita terima dari Liu-thaikam. Akan tetapi sekarang? Liu-thaikam sudah tidak ada, untuk apa kita masih terus merendahkan diri di bawah kekuasaan kakek buta itu lagi?"
"Nah, kalau begitu, mengapa sekarang kita masih harus mentaati perintahnya untuk menyeret pemuda itu ke depan kakinya?" Hwa-hwa Kui-bo bertanya heran.
"Kakek buta itu tentu tidak akan mengampuni kita kalau mendengar bahwa kita menentangnya. Dan kakek itu sendiri sebetulnya hanya seorang tua bangka buta, betapapun lihainya. Yang membuat dia kuat adalah puteranya itu. Kalau dia dan puteranya maju bersama sungguh sukar untuk ditundukkan. Sekarang mereka itu saling bentrok. Kita harus dapat mempergunakan kesempatan yang baik ini untuk menghancurkan kekuatan ayah dan anak itu. Kalau kita sudah dapat membunuh anaknya, apa sukarnya bagi kita untuk menghadapi tua bangka buta itu? Dia telah menyeret kita ke dalam persekutuan itu, berarti telah merugikan kita, dan sudah cukup lama dia meremehken dan merendahkan kita sebagai pembantu-pembantunya. Sekaranglah tiba saat pembalasan kita!"
Kehidupan para kaum sesat sepenuhnya dipengaruhi oleh nafsu angkara murka dan dendam kebencian, maka pendapat Kui-kok Lo-mo ini segera mendapatkan persetujuan para rekannya dan berangkatlah mereka bergegas untuk mencari jejak Siangkoan Ci Kang dan melakukan pengejaran.
Tidak mengherankan kalau pada keesokan harinya, selagi Ci Kang berjalan sendirian di luar sebuah dusun yang sunyi, di bawah terik matahari, tiba-tiba saja dia mendengar orang-orang berteriak memanggil namanya dan ketika dia berhenti, dia tersusul oleh enam orang tokoh Cap-sha-kui yang kini berdiri di depannya dan setengah mengepungnya.
Ci Kang memandang heran dan mengerutkan alisnya. Sejak pertama kali orang-orang ini membantu ayahnya, dia memang sudah tidak suka kepada mereka. Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo amat menjemukan hatinya karena kedua orang kakek dan nenek ini seakan-akan berlomba untuk memikatnya. Kiu-bwe Coa-li adalah seorang nenek kejam yang mengerikan dengan tubuh dan wajahnya yang buruk, ditambah lagi suka bermain-main dengan ular, menjijikkan. Suami isteri dari Kui-kok-san itupun menimbulkan rasa muak karena mereka berdua itu seperti mayat hidup saja. Adapun Tho-tee-kwi yang suka makan daging manusia itu menjemukan hatinya.
"Ada keperluan apakah cu-wi memanggil-manggil dan menyusulku?" tanyanya singkat.
Yang menjawab adalah Kui-kok Lo-mo, mewakili rekan-rekannya, "Siangkoan Ci Kang, kami disuruh ayahmu untuk membawamu pulang."
Ci Kang mengangkat muka memandang kakek itu dan tahu akan adanya perubahan karena kakek itu biasanya tidak memanggil namanya begitu saja. Biasanya, mereka itu menyebutnya Siangkoan kongcu atau Siangkoan sicu dengan sikap dan nada menghormat.
"Kalau aku tidak mau?" tanyanya sebagai jawaban.
"Kami telah diberi wewenang untuk memaksamu dan membawamu pulang, hidup atau mati. Kalau engkau menolak, kami akan menggunakan kekerasan!"
Tanpa menanti jawaban Ci Kang, begitu Kui-kok Lo-mo berkata demikian, isterinya telah menerjang pemuda itu dengan tamparan tangannya yang mengandung hawa panas. Serangan ini dilakukan oleh Kui-kok Lo-bo dari samping kiri dan tangan kanannya menyambar ke arah pelipis kiri Ci Kang. Pemuda ini maklum betapa ampuhnya tamparan nenek itu, maka cepat diapun mengelak, dengan menggeser kaki ke belakang dan menarik tubuh atasnya ke belakang. Tamparan itu luput dan lewat di depannya sehingga terasa hawa panas menyambar mukanya. Pada saat itu, Kui-kok Lo-mo yang melihat isterinya sudah mulai menyerang, juga menerjang ke depan dan melakukan serangan yang tidak kalah ampuhnya. Ci Kang menangkis dan segera pemuda itu dikeroyok dua oleh suami isteri dari Kui-kok-san itu. Terjadilah perkelahian yang amat seru.
Tak dapat disangkal lagi bahwa Siangkoan Ci Kang adalah seorang pemuda remaja yang istimewa, bakatnya menonjol sekali sehingga dalam usia delapan belas tahun dia telah berhasil menguasai semua ilmu ayahnya. Akan tetapi, dibandingkan dengan suami isteri itu tentu saja dia kalah pengalaman dan kalah latihan, kalah matang ilmu silatnya. Dan mengingat bahwa Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang tinggi ilmunya, tentu saja dikeroyok dua Ci Kang menjadi repot dan terdesak hebat. Andaikata suami isteri itu maju satu demi satu, agaknya tidak akan mudah bagi mereka untuk dapat mengalahkan Ci Kang. Akan tetapi begitu maju bersama, suami isteri yang tentu saja dapat bekerja sama dengan baik sekali dalam serangan-serangan mereka, Ci Kang terdesak hebat dan lewat lima puluh jurus saja dia sudah terus mundur dan hanya mampu mengelak ke sana-sini sambil kadang-kadang menangkis, tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Bahkan tubuhnya sudah menerima beberapa hantaman dan tendangan yang berkat kekebalannya membuat dia belum juga dapat dirobohkan. Ci Kang yang keras hati itu tidak pernah mengeluh dan sama sekali tidak berniat untuk melarikan diri. Dia bertekad untuk melawan sampai mati. Pula, apa gunanya lari? Di situ terdapat enam orang tokoh Cap-sha-kui sehingga laripun, dalam keadaan terluka-luka, akan percuma saja. Dan diapun tahu bahwa tidak ada harapan baginya untuk lolos. Baru suami isteri Kui-kok-san saja sudah begini hebat, apalagi kalau empat orang tokoh lain itu maju mengeroyok.
Melihat cara kedua orang suami isteri itu menyerang, dengan pukulan-pukulan maut, tahulah Ci Kang bahwa mereka itu menghendaki kematiannya, make diapun membela diri sebaik mungkin dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya, mengerahkan seluruh tenaganya. Hebat bukan main sepak terjang pemuda ini. Biarpun terdesak hebat, namun tidak mudah bagi suami isteri itu untuk merobohkannya. Lengah sedikit saja pemuda itu akan membalas serangan maut yang berbahaya.
Pada saat itu, entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja di belakang Ci Kang berdiri seorang kakek tinggi kurus. Kakek ini bajunya tambal-tambalan, tangan kanan memegang sebatang tongkat bambu kuning dan di punggungnya nampak sebuah ciu-ouw (guci arak). Kakek yang usianya kurang lebih enam puluh lima tahun ini memandang perkelahian sambil mengelus jenggotnya, lalu mengomel, "Terlalu, terlalu...! Suami isteri tua bangka mengeroyok seorang bocah ingusan. Sungguh terlalu...!"
Kemudian tiba-tiba dia menggerakkan tubuhnya sambil terus bicara, "Nah, anak baik, bagus begitu! Lawanlah, jangan mau kalah terhadap sepasang mayat itu. Pukul, nah, bagus, begitu haittt... begini... bagus!" Kakek jembel ini, seperti orang gila, lalu meniru-niru gerakan Ci Kang bersilat, akan tetapi karena tangannya memegang tongkat maka tongkatnya bergerak pula dengan lucunya. Dia bukan mengajari Ci Kang, melainkan menirukan gerakan Ci Kang yang berloncatan ke sana-sini mengelak dari serangan suami isteri itu.
Dan... terjadilah hal yang luar biasa sekali. Tiba-tiba saja suami isteri itu merasa betapa tangkisan tangan Ci Kang menjadi sedemikian kuatnya sehingga mereka merasa lengan mereka nyeri dan tubuh mereka terpelanting! Ada angin pukulan dahsyat keluar dari kedua tangan Ci Kang. Pemuda ini sendiri merasa heran, akan tetapi dia dapat menduga bahwa kakek jembel aneh itu telah membantunya dengan tenaga sakti yang luar biasa.
Sementara itu, empat orang tokoh Cap-sha-kui yang lain bukan orang-orang tolol. Kemunculan kakek jembel yang aneh ini dan terdesaknya suami isteri Kui-kok-san tentu ada hubungannya, pikir mereka. Tanpa banyak cakap lagi mereka berempat lalu maju menyerang kakek jembel yang masih mencak-mencak menirukan gerakan Ci Kang karena kini suami isteri itu sudah menyerang lagi.
Hwa-hwa Kui-bo menyerang dengan pedangnya yang beracun, ditemani Koai-pian Hek-mo yang menggerakkan senjatanya, yaitu sebatang pecut baja yang ujungnya berpaku. Kiu-bwe Coa-li meledakkan cambuk hitam ekor sembilan, menyerang dari depan bersama Thio-tee-kui yang menggerakkan kedua lengannya sehingga dua buah gelang emas yang berat di kedua lengannya itu saling beradu mengeluarkan bunyi nyaring. Dikepung empat orang tokoh sesat yang lihai ini, kakek jembel itu malah tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, bagus, bagus!" Dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah berkelebatan di antara sinar senjata empat orang pengeroyoknya yang bergulung-gulung itu. Tentu saja empat orang pengeroyok itu terkejut bukan main. Tak pernah mereka sangka bahwa kakek jembel itu sedemiklan lihainya dan seperti pandai menghilang saja saking cepatnya dan ringannya gerakan tubuhnya. Ternyata kakek ini bukan hanya mampu menghindarkan diri dari sambaran senjata-senjata ampuh itu, bahkan dengan gerakan-gerakannya seperti tadi masih dapat pula membantu Ci Kang sehingga kini pemuda itu dapat membalas serangan kedua orang pengeroyoknya karena setiap serangan kedua suami isteri itu selalu tertumbuk pada tenaga yang tidak nampak akan tetapi yang kuat sekali.
"Ha-ha-ha, menggembirakan sekali!" kakek itu menari-nari ketika senjata-senjata lawan berobah menjadi sinar bergulung-gulung dan menyambar-nyambar.
"Tar-tar-tarrr...!" Senjata cambuk hitam ekor sembilan dari Kiu-bwe Coa-li meledak-ledak, diselingi ledakan satu-satu dan nyaring dari cambuk baja di tangan Koai-pian Hek-mo.
"Singggg... tring-tringgg...!" Suara pedang di tangan Hwa-hwa Kui-bo dan sepasang gelang emas di lengan Tho-tee-kui juga terdengar nyaring membuat kakek jembel yang dikeroyok itu menjadi semakin girang seperti seorang anak kecil melihat permainan yang menarik.
"Tar-tar-tarr...!" Cambuk ekor sembilan di tangan Kiu-bwe Coa-li meledak-ledak di atas kepala kakek itu. Sembilan ekor cambuk itu seperti hidup, seperti sembilan ekor ular yang menyambar-nyambar turun. Akan tetapi kakek itu menggunakan jari tangannya menyentil setiap kali ujung cambuk menyambar. Tiga kali dia menggunakan telunjuk tangannya menyentil dan ekor cambuk itu menyeleweng dan melesat amat cepatnya ke arah tiga orang pengeroyok lain. Hal ini sama sekali tidak diduga-duga dan tahu-tahu Hwa-hwa Kui-bo, Koai-pian Hek-mo, dan Tho-tee-kwi berteriak kaget dan tubuh mereka terpelanting berturut-turut karena tahu-tahu tubuh mereka sudah tertotok oleh ujung cambuk Kiu-bwe Coa-li yang disentil menyeleweng tadi. Melihat robohnya tiga orang itu, kakek jembel tertawa dan mengangkat kedua tangan depan dada, menjura ke arah Kiu-bwe Coa-li.
"Terima kasih, engkau baik sekali telah menolongku dengan cambukmu!" Kiu-bwe Coa-li masih terbelalak saking kagetnya melihat betapa ujung cambuknya malah menotok dan merobohkan tiga orang kawannya sendiri, tiba-tiba merasa ada sambaran angin dari depan ketika kakek itu menjura. Dengan cepat ia hendak mengelak, akan tetapi tidak keburu dan ketika ia mengerahkan tenaga untuk melawan, tubuhnya terjengkang dan dadanya terasa sesak, seperti telah dipukul orang dengan keras! Empat orang itu merangkak bangun dengan mata terbelalak. Mereka adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui, bagaimana mungkin dapat dirobohkan semudah itu oleh kakek jembel ini? Si kakek jembel tertawa-tawa.
"Ha-ha-ha, kalian memang amat baik hati, pantas kusuguhi arak!" Dan diapun menurunkan guci araknya, mendekatkan bibir arak ke mulutnya, minum beberapa teguk kemudian dia menyemburkan arak di mulutnya itu ke arah empat orang bekas lawan. Empat orang datuk itu terkejut dan berusaha menghindar, akan tetapi masih terasa oleh mereka betapa kulit tubuh mereka yang terkena percikan air yang disemburkan terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum. Bahkan percikan arak itu menembus baju mereka dan mengenai kulit.
Sementara itu, memperoleh kenyataan bantuan rahasia dari kakek aneh, kini Ci Kang mendesak kedua lawannya dan akhirnya dialah yang berada di pihak menyerang. Tiba-tiba terdengar suara kakek itu, "Tendang pantat mereka! Tendeng pantat mereka!" Aneh sekali, di dalam suara itu seperti terkandung tenaga mujijat yang membuat Ci Kang tak dapat menahan diri lagi dan kakinyapun menyambar dan menendang berturut-turut ke arah pinggul dua orang lawannya. Hebatnya, dua orang suami isteri itu tidak kuasa mengelak seolah-olah tubuh mereka terhalang sesuatu.
"Bukk! Bukk!" Dua kali kaki Ci Kang menendang dan dua orang suami isteri itupun terbanting ke atas tanah. Mereka berloncatan bangun sambil meringis dan setelah saling pandang dengan rekan-rekannya, mereka lalu melarikan diri tanpa berani mengeluarkan kata-kata lagi. Peristiwa itu terlampau hebat bagi mereka. Belum pernah selama hidup mereka dikalahkan orang secara ini. Akan tetepi, ketika kakek tadi menyembur dengan arak, wajah mereka pucat karena mereka teringat akan nama seorang yang selama ini dikabarkan sudah mati atau telah menjadi dewa, yaitu Ciu-sian Lo-kai (Jembel Tua Dewa Arak). Memang orang sakti ini tidak pernah muncul di dunia kang-ouw, akan tetapi ada beberapa orang tokoh kang-ouw pernah melihat kesaktiannya sehingga namanya dikenal sebagai seorang di antara tokoh-tokoh rahasia yang amat sakti. Maka, enam orang datuk sesat itu segera mengambil langkah seribu. Biarpun mereka itu sudah menjadi datuk yang berkedudukan tinggi, akan tetapi karena mereka adalah golongan sesat, maka melarikan diri bukanlah hal yang dipantang oleh mereka.
Ci Kang berdiri memandang sambil bertolak pinggang, sama sekali tidak bergerak untuk melakukan pengejaran.
"Orang muda, kenapa engkau tidak mengejar mereka?"
Ci Kang menoleh kepada kakek jembel itu. "Kenapa aku harus mengejar mereka?" dia balas bertanya sambil memandang tajam kepada kakek jembel yang sakti itu, yang entah mengapa telah mencampuri urusannya dan membantunya. Harus diakuinya dalam hati bahwa kakek ini telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut dikeroyok orang-orang Cap-sha-kui tadi.
"Lhoh! Bukankah mereka tadi mati-matian hendak membunuhmu?"
"Benar, akan tetapi aku tidak ingin membunuh mereka."
Kakek jembel itu melangkah dekat dan memandang sambil tersenyum lebar, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar. "Orang muda, apakah engkau tidak menaruh dendam kepada mereka yang hendak membunuhmu?"
"Tidak, mereka suka kekerasan dan suka membunuh, aku tidak."
"Bagus! Andaikata mereka itu membunuh ayahmu, apakah engkau juga tidak sakit hati dan mendendam?"
Ci Kang teringat akan ayahnya yang hidup sebagai datuk sesat. Kalau ayahnya terbunuh orang, hal itu hanya terjadi karena kesalahan ayahnya sendiri. Orang yang suka bermain dengan api seperti ayahnya, kalau sekali waktu terbakar, tidak perlu penasaran lagi. Maka diapun menggeleng kepala.
Kakek jembel itu kelihatan semakin girang. "Wah, inilah orangnya yang kucari selama ini. Orang muda, engkau bernama Siangkoan Ci Kang, bukan? Engkau putera tunggal Siangkoan Lo-jin?"
Pemuda itu menjadi semakin heran dan dia mengangguk.
"Heh-heh, bagus! Ayahnya menjadi pimpinan kaum sesat mengumbar nafsu, puteranya malah bebas dari nafsu dendam. Siangkoan Ci Kang, baru saja kalau tidak ada aku, engkau tentu sudah mati di tangan badut-badut itu. Nah, untuk membalas budi itu, apa yang ingin kaulakukan untukku?"
Ci Kang mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Locianpwe, walaupun locianpwe telah mengusir orang-orang yang mengeroyokku dan menyelamatkan aku, hendaknya locianpwe ingat bahwa aku tidak pernah minta tolong kepadamu. Jadi aku tidak berhutang budi atau apapun kepada locianpwe."
Orang lain tentu akan merasa penasaran dan marah sekali mendengar jawaban orang yang pernah diselamatkan nyawanya seperti itu, akan tetapi sungguh kakek itu berwatak aneh. Dia malah tertawa senang! "Ha-ha-ha, cocok! Bagus! Tidak pernah hutang budi, tidak pernah menghutangkan budi, berarti tidak pula pernah mendendam. Ha-ha, orang muda, engkaulah orang yang kucari-cari!"
Ci Kang merasa semakin heran. Kakek ini sungguh luar biasa, tidak saja mengetahui keadaannya, akan tetapi juga omongannya aneh dan sikapnya luar biasa.
"Mengapa locianpwe berkata demikian? Mengapa locianpwe mencari-cari aku?"
"Aku mencari murid dan engkaulah orangnya yang paling cocok. Orang muda, tidak kusangkal bahwa engkau telah memiliki ilmu silat yang tinggi dan jarang ada orang dapat menandingimu. Akan tetapi sayang, ilmu-ilmumu masih mentah. Tadipun andaikata ilmumu sudah matang, tanpa kubantu sekalipun engkau akan menang menghadapi para pengeroyokmu."
Ci Kang menggeleng kepala. "Tidak mungkin, locianpwe. Mereka itu adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang berilmu tinggi. Bahkan ayah sendiripun agaknya tidak akan kuat kalau menghadapi pengeroyokan mereka."
"Ha-ha, engkau sudah melihat betapa dengan mudah aku menghadapi mereka. Siangkoan Ci Kang, mari kau ikut bersamaku setahun saja dan aku akan mamatangkan ilmumu."
Ci Kang mengerutkan alisnya, mempertimbangkan. Tentu saja dia yang sejak kecil belajar silat, merasa girang kalau sampai dapat menjadi murid kakek yang dia tahu memiliki kepandaian hebat ini. Akan tetapi diapun memiliki watak yang bebas, tidak mau terikat.
"Apakah locianpwe hendak mengambil murid kepadaku sebagai balas budi?"
"Ha-ha-ha, akupun seorang yang suka bebas dari pada segala macam hutang budi seperti engkau. Aku ingin mengambil murid karena kulihat engkau berbakat sekali, dan karena aku merasa cocok dengan watakmu."
Giranglah rasa hati Ci Kang mendengar ucapan ini. Tanpa ragu-ragu lagi diapun menjatuhkan diri berlutut di depan kakek jembel itu. "Baiklah, suhu, teecu terima dengan gembira sekali."
Kakek itu juga merasa gembira bukan main. Sambil tertawa-tawa dia lalu menarik tangan Ci Kang dan diajaklah pemuda itu pergi dari situ untuk mulai menggemblengnya sebagai murid. Kakek itu adalah Ciu-sian Lo-kai, tokoh sakti aneh yang tak pernah muncul di dunia kang-ouw dan yang pernah mengunjungi Lembah Naga tempo hari. Seperti kita ketahui, Ciu-sian Lo-kai berbeda pendapat dan berbantahan dengan Go-bi San-jin tentang sikap Pendekar Cia Han Tiong mengenai dendam dan ikatan. Dan karena mereka merasa sudah terlalu tua untuk saling gempur, keduanya lalu berjanji untuk mencari murid dan mendidik murid itu menurut pandangan hidup masing-masing, tentu saja dengan maksud untuk kemudian diuji siapa yang lebih berhasil. Go-bi San-jin lalu berhasil membujuk Cia Sun yang sedang dicekam dendam karena kematian ibu dan para suhengnya, sedangkan Ci Kang yang jemu dengan dunia hitam dan kejahatan, kini menjadi murid kakek jembel itu.
Pulau Teratai Marah merupakan sebuah di antara pulau-pulau kecil yang berada di Lautan Tiongkok Timur, beberapa li jauhnya dari pantai. Kalau dilihat dari pantai, hanya nampak bintik-bintik kecil di sebelah timur yang tidak menarik perhatian. Bahkan para nelayan hanya mengenal pulau-pulau kecil itu sebagai pulau-pulau kosong dan sebagian besar hanya merupakan pulau-pulau batu karang yang tiada gunanya karena tidak memiliki tanah subur, tidak memiliki air tawar. Akan tetapi ada beberapa buah pulau yang ditumbuhi pohon-pohon liar dan di antara pulau-pulau inilah yang dinamakan Pulau Teratai Merah. Pulau ini mempunyai tanah yang cukup subur, bahkan ada sumber airnya, dan ada bukit kecilnya. Dahulu, puluhan tahun yang lalu, pulau inipun hanya dilewati saja oleh para nelayan karena hanya terisi pohon-pohon liar dan binatang-binatang berbahaya. Akan tetapi, pulau ini telah dipilih oleh Pangeran Toan Su-ong, pangeran pelarian yang meninggalkan kota raja, seorang bangsawan yang menentang keluarga kaisar sendiri, dan seorang ahli silat yang amat pandai. Di pulau inilah Pangeran Toan Su-ong bersembunyi, hidup bersama isterinya yang tercinta, yang bernama Ouwyang Ci. Isterinya itu memiliki kitab pusaka peninggalan Panglima The Hoo yang terkenal dan di tempat sunyi ini, Pangeran Toan Su-ong dan Ouwyang Ci yang menjadi isterinya, tekun memperdalam ilmu silat, bahkan berhasil menciptakan Ilmu Hok-mo Sin-kun yang hebat. Di tempat itu pula mereka mempunyai seorang anak perempuan yang diberi nama Toan Kim Hong yang kemudian menjadi datuk selatan Lam-sin dan akhirnya menjadi isteri Pendekar Sadis (baca cerita Pendekar Sadis). Pangeran bersame isterinya itu membabat hutan di pulau itu, menanami tanah pulau itu dengan pohon-pohon yang berguna, sayur-sayuran, bahkan akhirnya mereka berdua menanam bunga-bunga, membuat telaga kecil dari air sumber yang dialirkan ke situ dan sebentar saja mereka dapat memperkembangbiakkan bunga teratai merah. Pulau itu berobah menjadi tempat yang indah dan subur dan mereka memberi nama Pulau Teratai Merah.
Demikianlah riwayat singkat Ang-lian-to (Pulau Teratai Merah) itu yang kini menjadi tempat tinggal Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya, Lam-sin Toan Kim Hong. Setelah Pendekar Sadis dan isterinya yang memang ahli waris pulau itu tinggal di situ, pulau itu menjadi semakin indah dan terawat baik. Apalagi karena pendekar ini mempergunakan belasan orang pelayan untuk merawat pulau, tempat itu menjadi sebuah pulau yang mewah. Ceng Thian Sin telah menjadi seorang yang kaya-raya, memiliki sebuah bangunan gedung seperti istana di atas pulau. Para pembaca cerita serial Pendekar Sadis tentu maklum, betapa suami isteri pendekar ini telah memperoleh harta karun Jenghis Khan yang amat besar nilainya dan yang membuat suami isteri itu menjadi kaya-raya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar