11 Asmara Berdarah

Biarpun sudah lama suami isteri pendekar ini tidak mencampuri urusan dunia kang-ouw, melainkan hidup makmur dan tenteram di Pulau Teratai Merah, namun hal ini bukan berarti mereka mengasingkan diri dari pergaulan. Sama sekali tidak, karena keluarga Ceng ini mengadakan hubungan dengan kota Ning-po, kota pelabuhan terbesar di daratan yang terdekat dengan Pulau Teratai Merah. Para penghuni kota Ning-po, dari pembesar sampai kepada para pelayannya, tahu di mana letaknya pulau itu dan siapa keluarga yang tinggal di sana. Bahkan Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur di Propinsi Ce-kiang dan daerah selatan, berkenan datang berkunjung beberapa hari ke pulau indah itu dan menjadi tamu kehormatan keluarga Ceng. Terjalin persahabatan antara keluarga Ceng dan keluarga Can, apalagi setelah pangeran yang masih berdarah keluarga kaisar di kota raja itu mengetahui bahwa isteri Pendekar Sadis adalah keturunan Pangeran Toan Su-ong yang amat terkenal itu. Bagaimanapun juga, masih ada hubungan keluarga, biarpun jauh, antara keluarga Can Seng Ong dan isteri Pendekar Sadis. Selain itu, sudah beberapa kali suami isteri majikan Pulau Teratai Merah itu berjasa dengan beberapa kali mengusir dan membasmi penjahat-penjahat yang berani merajalela di Ning-po dan sekitarnya, yang tidak dapat ditanggulangi oleh para petugas keamanan.

Pada suatu siang yang panas, sebuah perahu kecil meluncur meninggalkan Pantai Ning-po menuju ke timur, ke arah pulau-pulau kecil yang nampak seperti titik-titik hitam itu. Perahu itu didayung gadis berpakaian sederhana dan setelah agak ke tengah, gadis itu mengembangkan layar yang segera menangkap angin dan meluncurlah perahu itu dengan lajunya, dikemudikan tangan-tangan kecil halus dengan sikap cekatan. Jelaslah bahwa gadis ini tidak asing dengan lautan dan perahu. Hal ini bukanlah aneh kalau diketahui bahwa gadis itu lahir dan dibesarkan di Pulau Teratai Merah. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin!

Setelah peristiwa pembongkaran rahasia Liu-thaikam di istana selesai dan pembesar korup itu tertangkap dan dihukum mati, Sui Cin bersama Cia Hui Song meninggalkan kota raja. Tadinya Hui Song hendak mengantar Sui Cin sampai ke Pulau Teratai Merah karena pemuda yang sudah jatuh cinta ini selain ingin memperpanjang perjalanannya bersama dara itu, juga ingin berkunjung ke pulau itu bertemu dengan Pendekar Sadis dan isterinya yang sudah lama dia kagumi namanya itu. Akan tetapi Sui Cin mencegahnya.

"Twako, harap kau jangan dulu berkunjung ke rumah kami. Ayah ibuku akan marah kepadaku kalau membawa teman tanpa memberi tahu lebih dahulu. Tidak begitu mudah untuk mendatangi Pulau Teratai Merah tanpa mendapat perkenan ayah ibu. Aku sudah lama merantau meninggalkan mereka. Kalau aku pulang membawa teman tanpa lebih dahulu mendapat ijin, aku tentu akan kena marah. Lain kali saja engkau datang kalau aku sudah menceritakan tentang dirimu kepada mereka."

Hui Song merasa kecewa akan tetapi tidak berani memaksa. "Cin-moi, akupun tidak berani lancang mengunjungi Pulau Teratai Merah tanpa ijin orang tuamu. Biarlah aku mengantarmu sampai ke pantai dan engkau lebih dahulu menyeberang ke pulau dan melaporkan kepada orang tuamu. Kalau mereka setuju, baru aku akan ke sana. Bagaimana?"

Tentu saja tidak ada alasan bagi Sui Cin untuk menolak. Apalagi ia memang suka kepada pemuda yang jenaka dan lincah akan tetapi gagah perkasa dan berbudi ini. Ia tahu benar bahwa Hui Song mencintanya dan hal ini mendatangkan rasa senang di dalam hatinya, walaupun ia sendiri tidak tahu pasti apakah iapun mencinta pemuda ini. Ia suka kepada Hui Song, sebagai seorang sahabat, hal ini sudah jelas. Senang bekerja sama dengan pemuda yang gagah perkasa itu, melakukan perjalanan bersama, bersendau-gurau dan bicara tentang ilmu silat. Dan bagaimanapun juga harus diakuinya bahwa cintanya pemuda itu kepadanya mendatangkan semacam rasa bangga dalam hatinya.

Mereka lalu melakukan perjalanan ke selatan dan setelah mereka tiba di kota Ning-po, Sui Cin berkata, "Song-twako, harap engkau suka menanti di kota ini lebih dulu. Paling lambat tiga hari aku pasti akan memberi kabar kepadamu, entah aku datang sendiri atau menyuruh pelayan, mengabarkan kepadamu apakah engkau sudah boleh menyeberang ke pulau ataukah tidak."

"Baik, Cin-moi. Aku menanti di penginapan ini, mudah-mudahan orang tuamu berkenan menerima kunjunganku. Selamat jalan, Cin-moi."

"Selamat tinggal, sampai jumpa kembali."

Sui Cin meninggalkan pemuda itu dan berlayar seorang diri menuju ke Pulau Teratai Merah. Wajahnya gembira sekali, berseri-seri dan senyum menghias bibirnya. Hatinya terasa nyaman dan gembira karena begitu ia berlayar menuju ke pulaunya, barulah terasa betapa sebetulnya ia merasa amat rindu kepada ayah bundanya, kepada pulaunya, bahkan rindu kepada air laut di mana ia biasa bermain-main semenjak ia kecil. Kini, setelah ia mangemudikan perahunya yang ngebut menuju ke timur, hatinya riang sekali. Dalam keriangannya itu teringatlah ia akan sajak yang dibuat ibunya dan yang dihafalnya ketika ia masih kecil. Kini, tak terasa lagi bibirnya bergerak dan terdengarlah alunan suaranya yang nyaring merdu di antara suara percikan air pecah dibelah ujung perahunya.

"Laut! Hidupmu penuh rahasia
airmu luas tak terjangkau mata
bergerak berobah tiada hentinya
tak berdaya namun penuh kuasa!
Kadang marah liar mengganas
kadang lembut halus dan lemas
kadang riang gembira penuh tawa
kadang meraung menangis penuh duka!
Laut! Penuh segala
kemungkinan rahasia
cermin batin setiap manusia!

Dahulu, di waktu ia masih kecil, biarpun ia hafal akan kata-kata nyanyian itu, namun ia tidak mengerti apa yang termaksud dalam sajak itu. Memang penggambaran lautan itu dapat dimengerti. Lautan selalu berobah. Kalau sedang tenang halus, amat mentakjubkan karena indahnya, bagaikan sutera biru terhampar, atau bagaikan padang rumput segar tertiup angin, seolah-olah melambai mengajak orang menikmati keindahannya. Akan tetapi ada kalanya laut membuat ia berlari menjauh, bersembunyi aman di dalam rumah karena laut mengamuk, mengganas, mengeluarkan suara yang mengerikan, gelombang menderu meraung-raung, kadang-kadang menangis mendesis-desis, menggelegar menghantam batu karang di pantai, demikian perkasa dan menyeramkan. Akan tetapi hanya sampai di situ saja batas kemampuannya untuk menyelami arti sajak buatan ibunya itu. Bahkan setahun yang lalu ketika ia meninggalkan pulau, ia masih tidak perduli akan isi sajak itu, tidak berminat untuk menyelami artinya lebih mendalam. Akan tetapi sekarang, pada saat ia bernyanyi, artinya meresap ke dalam kalbu dan ia mengerti sepenuhnya akan isi kalimat terakhir dari sajak itu. "Laut! Penuh segala kemungkinan rahasia, cermin batin setiap manusia!"

Memang ada gerakan tiada hentinya dalam batin manusia, seperti lautan. Kadang-kadang manusia dapat bersikap lembut, terkadang ganas dan kejam, dan selama ini ia sudah melihat betapa banyaknya manusia melakukan kekejaman-kekejaman dan kebuasan yang lebih mengerikan daripada kebuasan lautan!

Baru saja Sui Cin menghentikan nyanyiannya, perhatiannya tertarik oleh beberapa buah perahu yang agaknya baru saja meninggalkan Pulau Teratai Merah. Sebuah perahu besar mewah dikawal oleh empat buah perahu kecil. Begitu melihat perahu besar itu, Sui Cin tersenyum. Tentu saja ia mengenal perahu mewah yang berbendera besar itu. Perahu siapa lagi kalau bukan perahu Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur atau Raja Muda dan mempunyai rumah di Ning-po itu! Ia mengenal keluarga itu, juga mengenal putera tunggal raja muda itu, seorang yang usianya lima enam tahun lebih tua daripada usianya dan yang disukainya karena pemuda bangsawan yang bernama Can Koan Ti itu wataknya ceriwis, suka menggodanya dengan sikap yang kurang ajar! Akan tetapi dalam pergaulan biasa, tentu saja ia tidak menyatakan sikap tidak senang itu, karena ia maklum bahwa orang tuanya adalah sahabat baik keluarga Can. Agaknya yang membuat ia tidak suka adalah kemewahan yang terlalu berlebihan itu. Ibunya sendiri seorang wanita cantik jelita yang pesolek dan suka mengenakan pakaian-pakaian indah, demikian pula ayahnya. Dan keluarga Can itu seolah-olah berlomba dalam menonjolkan kekayaan mereka. Hal-hal inilah yang tidak disukai Sui Cin. Entah bagaimana, ia tidak suka bersolek, tidak suka menonjolkan kekayaan dan kadang-kadang selagi ia kecil, ia ngambek kalau oleh ibunya dipaksa mengenakan pakaian-pakaian indah. Ia lebih mengutamakan keenakan pakaian yang menempel di tubuh daripada keindahannya. Karena inilah maka Sui Cin seringkali memakai pakaian yang aneh-aneh dan nyentrik, semata-mata dilakukan bukan untuk menarik perhatian, melainkan karena ia mengutamakan keenakan pada pakaian yang dipakainya itu.

"Haiii... Ceng Siocia...!" Tiba-tiba terdengar seruan dari perahu besar dan seorang laki-laki menjenguk dari atas pagar besi di tepi geladak perahu. Orang itu berusia kurang lebih dua puluh dua tahun. Wajahnya tidak berapa tampan akan tetapi karena dia pesolek, dengan kulit muka biasa dibedaki, rambut tersisir rapi dan mengkilat karena minyak, pakaiannya mewah sekali, maka dia nampak sebagai seorang pria yang ganteng. Sui Cin segera mengenalnya karena pemuda itu bukan lain adalah Can Koan Ti, putera tunggal Raja Muda Can Seng Ong atau gubernur Ce-kiang itu. Bertemu dengan orang yang sudah dikenalnya setelah lebih dari setahun berpisah mendatangkan kegembiraan. Sui Cin segera melupakan sifat-sifat yang tidak disukanya pada diri putera pembesar itu dan iapun melambaikan tangan.

"Heiii, Cong-kongcu... selamat berjumpa!" teriaknya riang.

Pemuda itu melambaikan tangan dengan gembira, lalu terdengar suaranya nyaring dan sengaja dinyaringkan karena perahu mereka sudah meluncur berpapasan, "Haiii... engkau semakin cantik saja..."

Sui Cin cemberut. Kiranya belum sembuh juga penyakit laki-laki itu, pikirnya. Ia hendak memaki dan sudah mengerahkan khi-kang untuk berteriak agar terdengar dari perahu besar yang sudah jauh, akan tetapi pada saat itu, banyak kepala nongol di tepi perahu itu sehingga ia melirihkan suaranya agar tidak terdengar banyak orang, "Engkau... ceriwis dan brengsek...!"

Karena gadis itu tidak mempergunakan khi-kang ketika berteriak, tentu saja suaranya tidak dapat mencapai perahu besar yang sudah lewat agak jauh. Can Koan Ti merasa penasaran tidak mendengar apa yang diucapkan dara jelita itu, maka diapun berteriak, "Apaaaa...? Kau bicara apa, nona...?"

Akan tetapi Sui Cin hanya memoncongkan mulut mencibirkan bibir saja. Melihat ini, pemuda bangsawan itu menjadi gemas. Awas kau, pikirnya, kalau sudah menjadi milikku, kugigit bibirmu itu!

Sui Cin tertawa-tawa kecil, senang hatinya sudah dapat menggoda pemuda bangsawan itu. Aneh, kenapa aku menjadi marah karena dipuji cantik? Ah, bukan pujiannya yang membuatnya marah, melainkan sikap pemuda itu, dan mungkin juga tergantung dari siapa yang memujinya. Kalau memang hati sudah tidak suka, biar dipujipun mungkin saja dianggap melakukan kekurangajaran. Sebaliknya kalau hati suka, biar dikurangajari sekalipun mungkin akan dianggap sebagai pujian yang menyenangkan!

Sui Cin sengaja memutar perahunya dan menghampiri Pulau Teratai Merah dari arah selatan karena di bagian selatan dari pulau itu terdapat sebuah taman laut yang amat indah. Di waktu air laut sedang tenang, dari atas perahu dapat nampak ikan-ikan di bawah permukaan air yang tidak begitu dalam dan dasar laut itupun penuh dengan batu dan bunga karang yang amat indah dan beraneka warna. Ketika tiba di tempat ini, Sui Cin tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk menikmati tempat itu. Ia menoleh ke kanan kiri. Sunyi. Memang tidak ada nelayan berani mendekat Pulau Teratai Merah tanpa seijin orang tuanya, dan ayah bundanya melarang para nelayan mendatangi taman laut itu. Setelah merasa yakin bahwa di situ tidak terdapat orang lain, Sui Cin lalu membuang jangkar, menggulung layar, menanggalkan pakaian luarnya kemudian juga pakaian dalamnya. Dengan bertelanjang bulat ia mengikat rambutnya di atas kepala dan terjunlah ia ke dalam air. Ia menyelam dan segera ia memasuki keadaan yang hanya dapat dibayangkan dalam mimpi. Sebuah alam yang amat indah, beraneka warna, ada bintang-bintang berwarna, ada bunga-bunga raksasa dengan warna menyolok, ada ikan-ikan yang warnanya berkilauan dan bentuknya beraneka macam, ada yang teramat aneh dan menyeramkan. Ia menyelam, hanya timbul untuk berganti napas dan menyedot hawa murni sebanyaknya, menyelam lagi dan tanpa dirasakan telah satu jam lebih ia bermain-main di tempat itu, suatu kebiasaan yang dahulu menjadi kesukaannya sebelum ia pergi merantau. Setelah ia merasa lelah dan puas, baru ia naik ke perahunya, mengeringkan tubuh dan rambut, lalu mengenakan lagi pakaiannya. Dan hatinya kini menjadi semakin riang, wajahnya semakin cerah ketika ia mengemudikan perahunya menuju ke Pulau Teratai Merah.

Biarpun Pulau Teratai Merah tidak pernah dijaga ketat karena keluarga Ceng tidak takut akan ancaman bahaya, namun para pelayan mereka yang rata-rata memiliki kepandaian silat lumayan itu selalu bersikap waspada. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila mereka sudah tahu akan kedatanan nona mereka dan hal ini segera mereka laporkan kepada majikan mereka. Itulah sebabnya ketika Sui Cin muncul di ruangan depan rumah gedung keluarganya, ayah ibunya telah berdiri menyambut dengan senyum gembira.

"Ayah...!" Sui Cin berlari dan memeluk ayahnya, sejenak menempelkan mukanya di dada yang bidang itu. Jari-jari tangan ayahnya mengelus rambutnya, mendatangkan rasa senang dan tenteram di hati. Ia lalu mengangkat mukanya, memandang wajah ayahnya yang masih ganteng itu sambil tersenyum.

"Engkau baik saja, bukan?" Ayahnya bertanya halus.

Sui Cin mengangguk, lalu melepaskan dirinya dan menghampiri ibunya, terus merangkulnya, "Ibu...!"

Toan Kim Hong memeluk anaknya dan menciumi pipinya. "Anak bengal, terlalu lama kau pergi, membuat kami merasa rindu sekali."

Sui Cin juga menciumi muka ibunya yang amat cantik itu.

"Ihh, rembutmu basah! Bau air laut pula! Dan pakaianmu... hemm, kenapa engkau memakai pakaian seperti... seperti jembel...!" Wanita itu menegur dan alisnya berkerut. Sebagai seorang ibu yang suka akan pakaian indah, tentu saja hati nyonya ini merasa kecewa melihat puteri tunggalnya berpakaian yang dianggapnya jorok dan terlalu sederhana, pantasnya pakaian wanita petani miskin.

Sui Cin melepaskan rangkulannya, melangkah mundur tiga tindak dan memandang ayah ibunya. Baru sekarang ia melihat betapa pakaian orang tuanya amat mewah, lebih indah daripada biasanya dan teringatlah ia bahwa tentu ayah ibunya belum berganti pakaian setelah tadi menerima tamu agung, yaitu keluarga Raja Muda Can itu. Timbul rasa tidak senangnya akan kemewahan ayah bundanya dan ia berkata dengan nada mengejek dan senyum dibuat-buat.

"Wah, pakaian ibu dan ayah indah sekali, baru dan mewah seperti pakaian kaum bangsawan saja!" Memang pakaian yang dikenakan suami isteri itu indah dan mewah. Ceng Thian Sin yang telah berusia empat puluh enam tahun itu masih nampak muda dan gagah, tubuhnya tegap dan sehat, wajahnya berseri dan kepalanya memakai sebuah topi yang bagus, dihias bulu. Pakaiannya dari sutera halus biru dan putih, rapi dan mewah seperti pakaian seorang hartawan aseli, sepatunya mengkilap dan baru. Toan Kim Hong lebih mewah lagi. Rambutnya disanggul di atas, dihias emas dan permata berbentuk sebuah mainan naga kecil, kedua telinganya dihias anting-anting mutiara besar, juga kalung batu-batu permata tergantung di luar bejunya yang amat indah. Gaun itu disulam gambar seekor burung hong dari benang emas, sesuai dengan namanya "Kim Hong" yang berarti burung hong emas! Wajah wanita yang sebetulnya dua tahun lebih tua dari suaminya ini masih nampak seperti wanita tiga puluh tahunan saja, cantik manis dan kulitnya putih halus. Sungguh sukar dipercaya bahwa wanita yang begini cantik jelita pernah menjadi Lam-sin, datuk selatan yang ditakuti semua golongan hitam.

Toan Kim Hong merasakan nada suara mengandung ejekan itu. Sepasang alisnya berkerut ketika ia berkata, "Sui Cin! Tidak pantas engkau mengejek orang tuamu! Tidak pantas pula engkau mengenakan pakaian semacam ini! Engkau tentu tahu siapa ayahmu, dan dari mana datangnya nama keluarga Ceng. Ayahmu masih berdarah keluarga kaisar! Kakek ayahmu adalah mendiang Kaisar Ceng Tung, maka memang sudah sepatutnya kalau keluarga kita adalah keluarga bangsawan. Dan ayahku sendiri adalah seorang pangeran yang tidak rendah kedudukannya. Keluarga Toan adalah keluarga bangsawan pula. Maka, tidak perlu engkau mengejek."

Thian Sin memegang lengan isterinya dan merangkul pundak puterinya. "Sudahlah, masa anak baru datang dimarahi. Dan engkau, Cin, tidak baik bersikap seperti itu kepada ibumu. Mari kita bicara di dalam. Kami ingin menyampaikan berita penting sekali mengenai dirimu."

Mereka bertiga lalu berjalan masuk dan suasana antara ibu dan anak itu sudah pulih kembali. Mereka masuk ke ruangan dalam di mana tidak ada pelayan yang berani masuk tanpa dipanggil dan duduklah keluarga yang terdiri dari tiga orang itu.

"Dalam perjalanan pulang tadi, di tengah lautan aku bertemu dengen perahu Raja Muda Can. Agaknya dia berkunjung ke sini, benarkah, ayah?" Sui Cin bertanya, teringat akan perjalanannya tadi.

"Benar," jawab ayahnya. "Memang keluarga Can tadi berkunjung ke sini dan justeru urusan dengan mereka itu yang ingin kami ceritaken kepadamu!"

Sui Cin mengerutkan alis. "Tadi ayah bilang akan menyampaikan berita penting mengenai diriku...?"

"Ada hubungannya dengan kunjungan keluarga Raja Muda Can..." kata ibunya.

Sui Cin memandang kepada ayah ibunya yang kelihatannya ragu-ragu untuk bicara. "Apakah yang terjadi? Apa hubunganku dengan keluarga Can? Ayah, katakanlah!"

Suami isteri itu saling pandang dan dalam pertemuan pandang mata itu tahulah Pendekar Sadis bahwa isterinya dalam keadaan terharu dan menghendaki agar dia yang menyampaikan berita itu kepada anak mereka.

"Anakku, tahukah engkau berapa usiamu tahun ini?" tanyanya, ingin menyampaikan berita itu secara halus dan memutar.

"Usiaku?" Sui Cin memandang heran. "Ayah tentu tahu, usiaku hampir enam belas tahun..."

"Hemmp, sudah dewasa anakku sekarang," Toan Kim Hong berkata.

"Apa hubungannya aku dan usiaku dengan keluarga Raja Muda Can? Ahhh... aku tahu... ahh, si keparat, agaknya mereka datang untuk meminang aku, begitukah ayah dan ibu?"

"Sui Cin, hati-hati dengan mulutmu itu!" Ibunya menghardik. "Keluarga Can adalah keluarga bangsawan dan pembesar yang terhormat dan mereka datang meminangmu merupakan suatu kehormatan besar bagi kita, bagaimana engkau berani mengeluarkan kata makian?"

"Sui Cin, bersikaplah tenang dan hadapi segalanya dengan pikiran yang matang, jangan terlalu mudah menurutkan perasaan suka atau tidak suka dan dengarkan kata-kata kami." Suara Pendekar Sadis terdengar tegas dan Sui Cin menunduk.

"Maafkan, ayah." Iapun insyaf bahwa sikapnya memang tidak sepatutnya. Ia sudah dewasa, bukan anak kecil lagi dan ia harus dapat menghadapi segala sesuatu dengan tenang seperti yang dimaksudkan ayahnya.

"Sui Cin, keluarga Can memang datang berkunjung untuk mengajukan pinangan atas dirimu. Engkau tahu bahwa keluarga itu adalah keluarga yang terhormat, seorang wakil kaisar untuk daerah selatan, seorang pangeran yang menjadi raja muda, selain berdarah bangsawan tinggi, juga kaya-raya dan kedudukannya tinggi terhormat. Dan puteranya, Can-kongcu adalah seorang pemuda yang terpelajar dan halus budi. Tak perlu kuceritakan banyak karena engkaupun sudah mengenalnya."

"Dan ayah ibu sudah menerimanya?" tanya Sui Cin, jantungnya berdebar tegang.

"Kami menyambutnya dengan baik dan biarpun di dalam hati kami merasa setuju sekali, akan tetapi kami ingin menanti sampai engkau pulang, jadi kami belum mengambil keputusan menerimanya. Keluarga Can yang bijaksana mengerti keadaan kami karena engkau tidak berada di rumah dan mereka menanti sampai engkau pulang."

"Terima kasih, ayah dan ibu, dan memang tidak perlu diterima pinangan itu karena aku tidak mau."

"Apa?" Ceng Thian Sin bangkit berdiri. "Engkau tidak mau? Mengapa?"

Sui Cin menentang pandang mata ayahnya yang kelihatan tidak senang. "Tidak apa-apa, hanya aku tidak suka dan tidak disuka menjadi isteri Can Koan Ti yang ceriwis itu!"

"Sui Cin, jangan sesombong itu engkau!" Kini ibunya bangkit berdiri dengan sikap marah. "Can-kongcu orangnya baik hati dan ramah, dan engkau memakinya ceriwis! Kami hendak mengangkatmu menjadi seorang yang terhormat dan mulia, akan tetapi engkau menolaknya mentah-mentah! Apakah engkau ingin menjadi perawan tua? Apakah engkau ingin membikin malu orang tua dengan penolakan ini, padahal kami sudah bersikap menerima dan setuju terhadap mereka?"

Melihat ayah ibunya bangkit berdiri dengan sikap marah, Sui Cin juga bangkit berdiri menghadapi mereka. Hatinya terasa panas dan ia merasa dipojokkan. "Ibu sekarang sudah berusia empat puluh tahun lebih dan aku baru enam belas tahun, berarti bahwa ibupun tentu bukan berusia muda ketika menikah dengan ayah. Mengapa hendak memaksa menikah dalam usia enam belas tahun dan khawatir aku menjadi perawan tua?"

"Jangan bawa-bawa masa muda ibumu!" Kini Toan Kim Hong menudingkan telunjuknya dengan sikap marah. "Memang aku telah berusia dua puluh tiga tahun ketika menjadi isteri ayahmu, akan tetapi justeru kami tidak ingin melihat engkau seperti kami di masa muda. Kami ingin melihat engkau kembali kepada kedudukan yang wajar dan pantas bagi seorang keturunan bangsawan seperti engkau, menjadi orang terhormat dan mulia. Dan menjadi mantu Raja Muda Can adalah kedudukan yang paling baik yang akan pernah dapat kaumiliki, kecuali kalau engkau dapat menjadi mantu kaisar yang takkan mungkin terjadi!"

Sui Cin menjadi semakin tak senang. Perut dan dadanya terasa panas dan darahnya bergolak. Iapun bertolak pinggang dan alisnya berkerut ketika ia memandang ayah ibunya. "Jadi... ayah dan ibu hendak memaksaku?"

Melihat ketegangan memuncak, Thian Sin melerai. "Bukan sekali-kali kami hendak memaksamu, anakku. Kami hanya minta agar engkau suka memikirkan secara mendalam semua kata-kataku dan kata-kata ibumu. Engkau tentu tahu betapa besar cinta kami terhadap dirimu, dan kami hanya berusaha untuk membuatmu berbahagia," kata-katanya halus menghibur, membuat Sui Cin rasanya ingin menangis.

"Kalau ayah dan ibu ingin melihat aku berbahagia, janganlah memaksaku kawin dengan siapapun juga. Tunggu sampai aku berusia dua puluh tahun lebih, seperti ibu dahulu. Aku tidak suka, ayah, aku tidak mau menikah dengan orang she Can itu. Pendeknya, aku tidak suka menikah dengan orang bangsawan."

"Ehh...?" Toan Kim Hong berseru marah. Ia sendiri adalah puteri seorang pangeran, walaupun pangeran buangan atau pengasingan, dan sejak kecil ia sudah merindukan kemuliaan itu yang kini hampir tercapai kalau puterinya menjadi mantu Raja Muda Can. Dan kini puterinya itu malah mengatakan tidak suka menikah dengan orang bangsawan! "Kenapa engkau tidak suka menikah dengan orang bangsawan? Kenapa? Hayo jawab, tentu ada alasannya."

"Karena aku benci! Aku benci pada orang-orang bangsawan. Mereka itu tinggi hati, sombong dan korup! Aku benci kepada pembesar-pembesar yang korup, macam Liu-thaikam sehingga aku membantu para penentangnya sampai akhirnya dia jatuh."

"Hemm, jadi engkaukah satu di antara mereka yang berhasil menjatuhkan orang she Liu itu?" Toan Kim Hong yang tadinya marah-marah kini berkata lunak karena hatinya merasa girang dan bangga sekali. Berita tentang kejatuhan Liu-thaikam sudah mereka dengar dari keluarga Can yang memuji-muji para pendekar yang membantu pemerintah membongkar persekutuan jahat yang dipimpin Liu-thaikam dan kini ternyata bahwa satu di antara orang-orang gagah itu adalah Sui Cin.

"Sui Cin, tidak semua bangsawan tinggi hati dan sombong. Engkau tidak boleh menilai orang dari keadaan atau kedudukannya. Keadaan apapun juga tentu ada kecualinya. Banyak saja bangsawan tinggi yang rendah hati dan orang-orang biasa yang tinggi hati. Juga banyak orang-orang hartawan yang berwatak pendekar sebaliknya orang-orang miskin yang berwatak penjahat. Sudahlah, nanti kita bicarakan lagi. Engkau baru saja pulang dari kepergianmu yang setahun lebih itu."

"Benar ayahmu, Cin. Mari kita beristirahat dulu dan berganti pakaian. Engkau harus ceritakan semua pengalamanmu, terutama perjuanganmu meruntuhkan Liu-thaikam yang menggemparkan itu," kata Toan Kim Hong yang kini sudah memperoleh kembali kesabarannya, merangkul puterinya dan mengajaknya masuk ke dalam kamar.

Kepada ayah ibunya Sui Cin menceritakan semua pengalamannya, juga pertemuannya dengan tokoh-tokoh sesat Cap-sha-kui, dengan Cia Sun dan Cia Hui Song. Semua diceritakan dengan jelas kecuali bahwa saat ini Hui Song menanti di kota Ning-po, menanti "lampu hijau" darinya agar pemuda itu diperbolehkan mengunjungi Pulau Teratai Merah untuk berkenalan dengan orang tuanya.

Ketika Sui Cin bercerita tentang murid Cin-ling-pai yang bernama Tan Siang Wi yang tinggi hati, angkuh dan galak, ibunya mengerutkan alis. "Ah, ketua Cin-ling-pai itu bernama Cia Kong Liang dan memang wataknya angkuh dan memandang rendah semua orang. Pantas kalau dia memiliki seorang murid seperti itu. Terus terang saja, aku tidak suka kepada Cin-ling-pai!"

"Memang wataknya agak tinggi hati, akan tetapi harus diakui bahwa keluarga Cin-ling-pai adalah keluarga gagah perkasa yang selalu menjunjung tinggi kebenaran. Bagaimanapun juga, aku sendiripun terhitung murid Cin-ling-pai."

"Memang benar ayah," kata Sui Cin. "Biarpun Tan Siang Wi itu berwatak angkuh, akan tetapi Cia Hui Song, putera ketua Cin-ling-pai itu sama sekali tidak sombong, bahkan ramah dan baik sekali di samping ilmu silatnya yang tinggi. Dialah yang berkeras menentang kelaliman Liu-thaikam dan aku membantunya." Lalu diceritakannya semua tentang pemuda itu, tentu saja sambil mencari jalan untuk menyampaikan keinginan pemuda itu yang masih menanti di Ning-po.

"Cia Hui Song juga menyatakan kekagumannya terhadap ayah, dan dia ingin sekali menghadap dan berkenalan dengan ayah dan ibu." Akhirnya ia memancing.

"Hemm, tidak usah ke sini... aku sudah merasa tidak suka kepada keluarga itu, lebih baik tidak ada hubungan sama sekali," kata Kim Hong dan mendengar ucapan ibunya itu, tentu saja Sui Cin tidak berani lagi mendesak. Munculnya urusan dengan keluarga Can tentu saja merupakan halangan besar baginya untuk memperkenalkan Hui Song. Ia menolak pinangan keluarga Can dan hal itu tentu mengesalkan hati ayah ibunya yang sudah setuju menerima, maka kalau ia membawa Hui Song ke pulau tentu hanya akan makin menjengkelkan hati orang tuanya. Tidak, saatnya tidak tepat bagi Hui Song untuk datang berkunjung dan ia harus segera memberi tahu kepada pemuda itu agar tidak menunggu dengan sia-sia di Ning-po.

Pada keesokan harinya, selagi Sui Cin termenung di taman belakang gedung, masih bingung memikirkan tentang Hui Song yang menantinya di seberang, ibunya datang menghampiri, memeluk dan duduk di sampingnya, di atas sebuah bangku batu di taman itu.

"Anakku, maafkan sikap ibu kemarin. Aku telah marah-marah kepadamu, aku menyesal sekali menyambut pulangmu yang sudah amat kurindukan dengan kemarahan." Ibu itu dengan sikap lembut dan sayang mencium pipi anaknya.

Sui Cin balas mencium dan merangkul ibunya. "Tidak, ibu. Akulah yang minta maaf karena setelah lama meninggalkan ibu, aku pulang tidak membawa oleh-oleh yang menyenangkan, malah mendatangkan kejengkelan di hati ibu dan ayah saja. Kalau aku tahu begini, aku tidak akan pulang dulu dan melanjutkan perantauanku."

"Hushhh, sudahlah. Kita lupakan saja peristiwa kemarin dan mari kita bicara dengan hati terbuka. Sui Cin, katakanlah terus terang, engkau menolak keras lamaran putera Raja Muda Can, apakah dalam perantauanmu itu engkau bertemu dengan pemuda yang telah menjatuhkan hatimu?"

Dara itu memandang wajah ibunya dengan mata terbelalak. Kim Hong menatap sepasang mata yang bening itu, penuh selidik, akan tetapi ia tidak melihat sesuatu pada sepasang mata itu dan memang anaknya benar-benar heran dan terkejut, tidak menyembunyikan sesuatu. Kim Hong adalah seorang wanita yang amat tinggi ilmunya, luas pengalamannya dan amat cerdik, maka andaikata Sui Cin menyembunyikan sesuatu perasaan tertentu sudah pasti ibunya akan dapat mengetahuinya atau setidaknya mencurigainya.

"Ibu, apa yang kaumaksudkan? Menjatuhkan hatiku?" Pertanyaan yang polos dan jujur karena memang Sui Cin belum paham akan lika-liku dan istilah tentang cinta.

"Maksudku, apakah ada pemuda yang menarik hatimu dan kausuka?"

Sui Cin masih bersikap biasa saja dan keheranan pada pandang matanya lenyap setelah ia mengerti pengertian yang tanpa diketahuinya keliru. "Ah, itukah yang ibu maksudkan? Tentu saja ada dan banyak. Banyak kujumpai orang-orang pandai dan lihai, gagah perkasa dan menyenangkan. Terutama sekali Cia Sun dan Cia Hui Song. Mereka adalah pemuda-pemuda gagah perkasa yang mengagumkan sekali."

"Bukan begitu maksudku."

"Lalu bagaimana?" Kembali keheranan membayang di mata dara itu.

"Maksudku, apakah ada pemuda yang... eh, kepada siapa engkau jatuh cinta?"

"Ohh...!" Wajah Sui Cin berobah merah dan sejenak ia termangu-mangu, akan tetapi ia segera menggeleng kepala. "Aku tidak mengerti apa yang ibu maksudkan. Aku... aku tidak tahu apakah aku mencinta seseorang, kurasa aku hanya suka saja, ibu, suka bersahabat, terutama kepada... Cia Hui Song."

"Hemm, terutama kepada putera ketua Cin-ling-pai itu? Hati-hati, Sui Cin, jangan kau jatuh cinta kepadanya. Aku tidak suka mempunyai mantu putera Cin-ling-pai!"

Sudah menjadi watak Sui Cin tidak bisa dikeras. Kalau dihadapi dengan kekerasan, ia akan menentang. Maka kini mendengar ucapan ibunya, ia berkata, "Ibu, terus terang saja, aku suka kepada Hui Song, akan tetapi aku tidak tahu apakah aku mencintanya. Andaikata aku mencinta, siapapun juga tidak akan dapat melarangku!"

Wajah ibunya berubah dan matanya terbelalak, akan tetapi melihat sikap puterinya yang begitu tegas dan keras, tiba-tiba nyonya ini tersenyum, teringat akan kekerasan hatinya sendiri. Ia mengangguk dan merangkul puterinya. "Baiklah, akan tetapi engkau tidak cinta kepadanya, bukan?"

Sui Cin menggeleng kepala. "Aku suka kepadanya karena dia gagah perkasa, ramah dan baik budi, ibu. Akan tetapi aku... aku tidak tahu apakah aku cinta kepadanya atau kepada siapapun juga. Aku masih suka hidup bersama ayah ibu, atau hidup seorang diri, merantau dan memperluas pengalaman. Aku tidak ingin terikat oleh pernikahan dan menggantungkan hidupku pada seseorang, mengurung diriku dalam sebuah rumah tangga. Ngeri aku membayangkan betapa aku menjadl nyonya rumah yang tidak pernah meninggalkan rumahnya, seperti seekor anjing yang dirantai di dalam kandangnya. Aku masih ingin bebas, ibu, seperti burung di udara..."

Ibunya mengangguk. "Aku mengerti perasaanmu, anakku. Agaknya, jiwa petualangan ayah ibu menurun kepadamu. Akan tetapi ingat, anakku. Usiamu sudah enam belas tahun dan sudah sepatutnya engkau mempunyai ikatan dengan seseorang yang kelak akan menjadi suamimu. Kulihat Can-kongcu merupakan calon yang paling baik dan tepat untukmu. Kelak dia tentu akan menduduki pangkat yang tinggi dan hidupmu terjamin, mulia, terhormat dan bahagia. Soal pernikahan dapat saja diundur, akan tetapi asal engkau setuju, ikatan perjodohan dapat diadakan lebih dulu."

"Tidak, ibu, aku tidak mau! Aku tidak cinta pada orang itu, aku tidak suka, bahkan aku benci padanya!"

Wajah Toan Kim Hong menjadi keruh dan ia bangkit berdiri. "Engkau hanya mengecewakan hati orang tua saja, Sui Cin." Dan ibu yang kecewa ini meninggalkan anaknya yang duduk termenung dengan muka berubah merah dan hampir menangis. Akan tetapi Sui Cin tidak menangis, walaupun ingin ia melepaskan kemarahan dan kejengkelan hatinya melalui tumpahan air mata. Tidak, ia tidak akan menangis. Ia akan menentang kalau harus dijodohkan dengan pemuda bangsawan she Can yang ceriwis itu! Ia sudah dapat membayangkan kalau menjadi isteri bangsawan. Mengenakan pakaian indah-indah dan tebal tidak enak dipakai, harus bersikap agung-agungan menerima penghormatan orang, harus bersopan-sopan dan berpatut-patut di depan orang banyak, kemudian akan merenungi nasib sendiri di dalam kamar karena suaminya sang bangsawan pergi ke kamar selir-selir yang tak terhitung banyaknya! Tidak, ia tidak mau. Kalau ia menjadi isteri bangsawan, tentu ia akan menjadi pembunuh, membunuh suaminya dan selir-selir suaminya. Ia ingin bebas, biarpun bersuami, akan tetapi bebas bersama suaminya menjelajahi hutan dan gunung, tidak menjadi boneka-boneka hidup di dalam gedung besar dan pengap! Dan ia teringat akan kesenangan ketika melakukan perjalanan bersama Hui Song. Menentang orang-orang jahat, menggoda dan menumpas mereka, menghadapi bahaya-bahaya yang menegangkan, mengatasi ancaman-ancaman bahaya maut, tidur di alam terbuka. Bebas! Alangkah senangnya. Itulah hidup dan itulah kehidupan yang disenanginya. Bukan menjadi boneka hidup di samping seorang bangsawan yang menjadi suaminya, juga majikannya.

Hui Song! Dia masih menanti di Ning-po. Sui Cin lalu bangkit berdiri dan meninggalkan taman itu, menuju ke pantai dan tak lama kemudian iapun sudah melayarkan perahu kecil itu menuju ke seberang, ke daratan besar.

Hari telah senja ketika ia meninggalkan pulau tanpa setahu ayah ibunya dan ketika perahunya mendarat di pantai, cuaca sudah mulai gelap. Akan tetapi ketika ia meloncat ke daratan dan menarik pcrahunya, tiba-tiba muncul sesosok bayangan hitam menghampirinya.

"Cin-moi...! Ah, betapa girang hatiku melihatmu!"

"Song-twako, engkau di sini?" tanya Sui Cin ketika mendengar suara pemuda itu.

"Aku tidak pernah meninggalkan pantai ini sejak kita saling berpisah..."

"Eh? Engkau... tidak kembali ke penginapan?"

Pemuda itu membantunya menarik perahu ke darat dan mengikatkan tali pada tonggak. Wajahnya berseri dan nampaknya gembira bukan main dapat melihat kembali gadis itu.

"Tidak, Cin-moi. Aku... aku tidak berani meninggalkan pantai ini, takut kalau-kalau tidak melihat engkau kembali."

Sui Cin menahan tawanya. "Ihh, engkau ini aneh sekali, twako. Seperti anak kecil. Masa aku tidak kembali? Bukankah aku sudah berjanji akan memberi kabar kepadamu?"

"Lalu bagaimana, Cin-moi? Bolehkah aku menyeberang? Apakah engkau datang ini untuk mengabarkan bahwa aku boleh menghadap orang tuamu?"

Wajah yang cantik manis itu berubah muram dan ia menggeleng kepala.

"Ah, orang tuamu... menolak kunjunganku?"

Sui Cin merasa rikuh dan serba salah. Ia adalah seorang gadis yang sejak kecil biasa bersikap terbuka, jujur. Akan tetapi kini ia merasa serba salah untuk mengaku bahwa ayah ibunya tidak suka kepada Cin-ling-pai, dan bukan hanya berkeberatan menerima putera ketua Cin-ling-pai datang berkunjung, bahkan tidak suka kalau ia bergaul dengan pemuda itu.

"Maafkan, twako. Pada waktu ini, ayah dan ibu tidak suka menerima tamu, jadi... lebih baik lain kali saja kalau engkau ingin berkenalan dengan mereka."

"Ah, sayang sekali..." Pemuda itu kelihatan kecewa bukan main. Sesungguhnya, dia ingin sekali berkenalan dengan orang tua gadis ini, Pendekas Sadis yang sudah sejak kecil dia dengar namanya itu. Bukan hanya sekedar berkenalan biasa, akan tetapi dia sudah yakin akan cintanya terhadap Sui Cin dan pada suatu hari dia tentu akan datang bersama orang tuanya untuk meminang gadis itu. Alangkah baiknya kalau sebelumnya dia sudah berkenalan dengan orang tua Sui Cin.

Melihat betapa Hui Song nampak kecewa bukan main, Sui Cin merasa kasihan dan cepat ia berkata, "Bagaimanapun juga, aku sendiri tidak akan kembali ke sana, twako."

Tentu saja perkataan ini mengherankan hati Hui Song. "Apa? Apa maksudmu? Engkau tidak akan pulang?"

Sui Cin menggeleng. "Tidak, aku akan pergi lagi merantau."

Hui Song mengerutkan alisnya. "Eh, kenapa begitu, Cin-moi? Bukankah engkau baru saja pulang dari perantauan? Baru dua hari pulang, masa hendak pergi lagi? Tentu orang tuamu akan melarangmu."

"Aku tidak perlu minta ijin mereka, aku memang pergi tanpa pamit!" kata Sui Cin dengan nada suara tak senang.

Hui Song memandang khawatir. "Cin-moi... maaf, bukan aku ingin mencampuri urusan keluargamu, akan tetapi apakah yang telah terjadi? Engkau nampaknya tidak senang dan marah. Kalau hanya karena aku tidak boleh menyeberang, hal itu tidak ada artinya, Cin-moi dan membuatmu marah, apalagi kepada orang tuamu sendiri."

"Bukan hanya itu, twako. Yang membuat hatiku kesal dan mendorongku pergi lagi meninggalkan rumah adalah karena aku... mau dijodohkan dengan putera gubernur!"

Hati Hui Song berdebar setelah terasa nyeri seperti tertusuk. Dia memaksa senyum dan menjura. "Wah, selamat, Cin-moi."

"Selamat hidungmu!" Sui Cin membentak jengkel. "Engkau malah ingin menambah kejengkelan hatiku? Aku tidak sudi! Aku tidak sudi menjadi isteri bangsawan ceriwis itu!"

Hui Song merasa betapa suatu kelegaan dan kegembiraan luar biasa menyelinap di hatinya mendengar kata-kata setengah teriakan dari gadis itu. Akan tetapi dia pura-pura terkejut dan bersikap serius. "Ah, kalau begitu maafkan aku, Cin-moi. Akan tetapi... mengapa engkau begitu marah dan menolak? Bukankah putera seorang gubernur itu merupakan calon suami yang amat baik, terpelajar, kaya raya dan berkedudukan tinggi? Hemm, aku tahu, Cin-moi. Aku tahu mengapa engkau menolaknya."

Sui Cin memang mudah marah dan mudah bergembira. Orang seperti ia tidak dapat marah terlalu lama. Wataknya terlalu lincah gembira untuk dapat bertahan marah terlalu lama. Kini ia memandang pemuda itu dengan wajah berseri dan mulut tersenyum. "Hemm, engkau seperti peramal saja, twako. Coba ingin kudengar tebakanmu, kalau memang engkau tahu mengapa aku menolaknya."

"Apalagi kalau bukan karena engkau sudah mempunyai pilihan hati sendiri? Engkau tentu sudah mempunyai seorang calon dalam hatimu."

Wajah yang manis itu menjadi merah, akan tetapi bibirnya berjebi mengejek. "Ihh, engkau hanya ngawur saja! Tidak, aku tidak mempunyai calon seperti yang kauterka itu. Sedikitpun aku belum memikirkan tentang itu. Cih, memalukan saja! Aku menolak karena memang aku tidak suka kepada pemuda bangsawan yang ceriwis itu, dan juga karena aku sama sekali belum mau terikat menjadi isteri orarg. Aku masih ingin bebas seperti burung di udara, merdeka beterbangan ke manapun yang kukehendaki."

Sui Cin tidak menyadari betapa Hui Song telah memancing untuk mengetahui isi hatinya dan tentu saja pemuda ini meran girang sekali karena kini dia tahu bahwa gedis ini masih kosong hatinya dan dia mengharapkan untuk mengisinya.

"Kalau engkau tidak mau pulang, lalu engkau hendak pergi ke mana, Cin-moi?"

"Ke mana saja asal tidak pulang, asal tidak mendengarkan bujukan orang tuaku untuk menerima tikus itu sebagai calon suamiku!"

"Kalau begitu, marilah ikut bersamaku, Cin-moi. Aku hendak pulang ke Cin-ling-pai dan mari kuperkenalkan engkau kepada orang tuaku."

Sui Cin mengangguk. "Aku tidak mempunyai tujuan tertentu, boleh saja kalau pergi ke sana. Sudah lama aku mendengar tentang Cin-ling-pai dan akupun ingin berkunjung ke Pegunungan Cin-ling-san yang katanya amat indah. Akan tetapi, jangan mengambil jalan darat. Lebih baik mempergunakan perahu menyusuri pantai ke utara dan mendarat di Hang-couw, baru kita melanjutkan perjalanan melalui daratan."

"Kenapa begitu?"

"Engkau tidak tahu kelihaian orang tuaku. Kalau mereka tahu aku pergi, tentu mereka akan melakukan pengejaran dan kalau aku mengambil jalan darat, jangan harap dapat lolos dari kejaran mereka. Akan tetapi kalau mengambil jalan laut dari sini, tentu tidak meninggalkan jejak dan betapapun lihainya ayah, tentu dia tidak akan dapat mengikuti kepergianku."

Hui Song menyetujui dengan kagum dan tak lama kemudian merekapun sudah berlayar lagi menempuh gelombang menuju ke utara. Sementara itu, malam telah tiba dan pelayaran mereka diterangi bintang-bintang di langit.

"Song-twako, sekali ini aku benar-benar menjadi seorang kelana miskin. Aku pergi tanpa pamit, tidak membawa bekal pakaian, apalagi uang. Perantauanku yang dahulu direstui orang tuaku dan aku membawa bekal banyak emas. Akan tetapi sekarang... aku benar-benar miskin."

"Kita bukan orang-orang hartawan yang sedang pelesir, Cin-moi. Perlu apa bekal uang banyak? Asal engkau tidak menyebar dan membagi-bagikan uang kepada para jembel di pasar, aku masih mempunyai bekal cukup kalau hanya untuk biaya di perjalanan saja."

"Kalau hanya untuk biaya perjalanan, apa sih sukarnya? Kalau memang kita memerlukan, mudah saja mengambil dari peti-peti uang orang lain!"

"Wah, engkau hendak mencuri? Dari para hartawan?"

Sui Cin menggeleng kepala. "Ayah dan ibu akan marah kalau aku mencuri milik siapapun. Akan tetapi kalau aku mengambilnya dari tempat judi misalnya, mereka tentu tidak akan marah." Keduanya tersenyum dan perahu meluncur dengan laju. Indah bukan main pemandangan di malam hari itu. Bintang-bintang bercermin di permukaan air laut dan kadang-kadang orang akan terlupa dan mengira bahwa benda-benda bercahaya yaeg jutaan banyaknya itu bukan berada di atas kepala, melainkan di bawah jauh tak berdasar.

***

Dusun Lok-cun di luar kota Sin-yang di tepi Sungai Huai pada pagi hari itu nampak ramai dan gembira. Para penghuni dusun yang tidak berapa besar itu nampak merayakan sesuatu dan nampak sibuk sejak pagi tadi. Memang, pada hari itu mereka semua merayakan pernikahan anak perempuan dari kepala dusun mereka. Seperti di dusun-dusun lainnya pada jaman itu, seorang kepala dusun merupakan seorang raja kecil yang amat dihormati oleh para penghuni dusun yang merupakan rakyatnya. Maka, ketika kepala dusun Coa dari dusun Lok-cun itu merayakan pernikahan puterinya, seluruh penghuni dusun itu sibuk merayakannya.

Lurah Coa hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu anak perempuan yang kini sedang dirayakan hari pernikahannya. Seluruh keluarga Coa nampak gembira ria. Mereka merasa terhormat sekali karena puteri lurah itu akan menikah dengan jaksa di kota Sin-yang! Walaupun jaksa itu usianya sudah hampir enam puluh tahun dan gadis itu menjadi isteri ke lima, akan tetapi semua orang tahu bahwa jaksa itu memiliki kekuasaan yang amat besar di kota Sin-yang, bahkan mempunyai pengaruh dan kawan-kawan di kota raja. Maka, kalau gadis itu menjadi isterinya, walaupun isteri kelima, bukan hanya gadis itu akan terjamin hidupnya dan menjadi nyonya jaksa yang terhormat, akan tetapi juga kepala dusun itu akan naik derajatnya dan mungkin akan mudah naik pangkat!

Akan tetapi, kalau semua orang bergembira, sebaliknya Coa Lan Kim, gadis puteri kepala dusun itu sendiri, sejak beberapa hari yang lalu menangis saja di dalam kamarnya. Gadis ini selalu membayangkan seorang pemuda sederhana yang selama ini menjadi kekasihnya, seorang pemuda petani yang dahulu menjadi pembantu ayahnya, mengurus sawah ladang ayahnya. Pemuda ini bahkan sudah disetujui oleh keluarga lurah Coa sendiri untuk menjadi calon mantu karena memang pemuda itu cukup tampan, rajin bekerja dan berbadan sehat. Akan tetapi, begitu datang lamaran dari jaksa itu, si pemuda dilupakan, bahkan didepak keluar oleh lurah Coa.

Betapa hati Lan Kim tidak akan berduka kalau ia memikirkan nasibnya dan nasib kekasihnya yang bernama Lo Seng itu? Ia dipaksa untuk menjadi isteri orang lain, padahal sejak dahulu ia sudah membayangkan kehidupan yang berbahagia bersama pemuda itu. Kini ia harus menurut untuk dibawa pergi dari rumahnya, tidak akan dapat bertemu kembali dengan Lo Seng dan yang membuat ia amat berduka adalah karena ia mendengar bahwa selain dipecat, juga Lo Seng dipukuli karena hendak menentang pernikahannya dengan jaksa itu. Dan ia tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan kekasihnya itu.

Pagi hari itu, selagi semua penghuni dusun sibuk membantu keluarga lurah Coa, Lan Kim menangis dalam kamarnya, tidak mendengarkan bujukan-bujukan dan hiburan-hiburan ibunya dan beberapa orang wanita yang bertugas menemaninya.

"Sudahlah, Lan Kim. Mengapa menangis terus? Nasibmu baik sekali, engkau akan menjadi nyonya jaksa yang dihormati orang banyak, bergelimang kemewahan, kenapa menangis? Nanti matamu akan bengkak-bengkak dan memalukan kalau pengantin matanya bengkak-bengkak. Pula, sebentar lagi engkau mulai dirias dengan pakaian pengantin dan nanti menjelang sore engkau akan dijemput dan dibawa ke Sin-yang," demikian antara lain ibunya membujuk.

"Ibu, aku tidak suka... aku tidak mau..."

"Ahhhh... engkau memang keras kepala, Lan Kim! Apakah engkau ingin ayahmu marah? Aku tahu, engkau menolak hanya karena di sana ada Lo Sang, bukan?"

"Ibu... bagaimana dengan dia? Ibu, kasihan dia..."

"Hemm, sikapmu ini sama sekali tidak menolongnya. Bahkan akan mencelakakan Lo Seng karena engkau tetap bersikap keras seperti ini. Kau tahu, kalau ayahmu mengetahui bahwa engkau menolak karena Lo Seng, banyak kemungkinan Lo Seng akan dijebloskan penjara atau dibunuh!"

"Ibu...!"

"Karena itu, engkau menurut saja. Dan kalau engkau sudah menjadi isteri jaksa, aku akan membujuk ayahmu agar Lo Seng dipekerjakan lagi. Bukankah dengan demikian berarti engkau menolong dan menyelamatkannya?"

Demikianlah sang ibu membujuk puterinya yang kini hanya terisak perlahan. "Ambil pakaian pengantin itu, akan kucobakan dahulu, kalau ada yang kurang pas masih ada waktu untuk dibetulkan," kata nyonya Coa.

Akan tetapi, terdengar jeritan kaget dan tukang rias itu kini datang membawa sebuah peti dengan mata terbelalak dan muka pucat. "Nyonya... celaka... pakaiannya hilang...!"

Wanita itu terkejut bukan main dan bangkit sambil membelalakkan matanya. "Apa? Hilang bagaimana maksudmu?"

"Hilang, nyonya. Peti tempat pakaian pengantin ini kosong!"

Keadaan menjadi geger. Ketika lurah Coa diberi tahu, dia marah-marah dan mengerahkan semua orangnya untuk mencari siapa pencuri pakaian pengantin. Akan tetapi, isterinya lebih cerdik dan cepat-cepat memanggil tukang jahit untuk secara kilat membuatkan pakaian pengantin baru, walaupun pakaian yang dibuat tergesa-gesa ini tentu saja tidak seindah pakaian pengantin yang hilang.

Ketika keadaan menjadi kacau dan tak seorangpun memperhatikan pengantin wanita, tiba-tiba terjadi keributan lain yang lebih menggegerkan lagi. Tiba-tiba saja, seperti juga hilangnya pakaian pengantin tadi, Coa Lan Kim juga lenyap begitu saja dari dalam kamarnya! Tidak ada seorangpun yang melihat bagaimana lenyapnya, juga tidak ada yang mendengar sesuatu. Tentu saja kini keadaan menjadi benar-benar kalut. Lurah Coa semakin marah dan seluruh pasukan keamanan dikerahkan, bahkan semua penduduk menjadi ikut gelisah dan ikut mencari-cari ke mana perginya pengantin wanita.

Kegembiraan yang berganti dengan kegelisahan dan kekacauan itu amat menarik perhatian Sui Cin dan Hui Song yang kebetulan sekali pada pagi hari itu tiba di situ, memasuki dusun Lok-cun dalam perjalanan mereka menuju ke barat, ke Pegunungan Cin-ling-san. Tentu saja hati mereka tertarik melihat betapa penduduk nampak begitu gelisah ketakutan, orang-orang mencari-cari sesuatu ke sana-sini sedangkan rumah kepala dusun terhias indah, akan tetapi kini orang-orang tidak ada lagi yang melanjutkan pekerjaan merias rumah yang belum selesai sepenuhnya itu. Juga adanya para penjaga berkeliaran dengan sikap cemas itu menarik sekali. Rasa heran mereka bertambah ketika tiba-tiba saja ada belasan orang penjaga keamanan mengepung mereka dengan senjata tajam di tangan.

"Hemm, kalian ini mau apakah mengepung kami?" Sui Cin bertanya dengan alis berkerut.

"Kalian adalah orang-orang asing yang baru memasuki dusun kami. Menyerahlah. Karena kami yakin bahwa kalian yang kami cari-cari. Siapa lagi yang mengacau dusun kami kecuali dua orang asing?" bentak seorang yang bermata lebar dan bersikap bengis.

"Sabar dulu, sobat," kata Hui Song, mencoba untuk tersenyum ramah. "Apa yang terjadi dan mengapa kalian menuduh kami secara membabi-buta? Kami tidak tahu apa-apa. Kami baru saja tiba di sini dan melihat kekacauan ini, malah kami bertanya-tanya mengapa kalian begini gelisah dan apa yang terjadi...?"

"Cukup! Ikut kami menghadap kepala dusun, tak perlu membela diri di sini!" bentak si muka bengis dan dia sudah maju untuk menangkap lengan Sui Cin. Akan tetapi gadis itu menarik tangannya dan sekali kakinya bergerak, ujung sepatunya mencium lutut si mata lebar dan orang ini mengaduh dan jatuh berlutut.

"Nah, bagus! Minta ampun dahulu baru kita bicara," Sui Cin mengejek.

Melihat betapa seorang kawan mereka roboh oleh gadis itu, kecurigaan mereka semakin kuat bahwa dua orang muda mudi inilah tentu yang telah mengacaukan dusun mereka. Maka serentak mereka maju menerjang dengan senjata mereka. Hui Song dapat menduga bahwa tentu terjadi sesuatu dan orang-orang dustin ini salah duga. Kalau dilanjutkan sikap Sui Cin, tentu mereka akan semakin curiga lagi. Maka diapun cepat merggunakan kepandaiannya, menyambut serangan itu dengan merampas semua golok dan pedang. Gerakannya memang cepat bukan main karena dia menggunakan jurus Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Menyerbu Ratusan Golok) sehingga para pengeroyok itu tidak tahu apa yang terjadi karena tiba-tiba saja senjata mereka terlepas dan terampas. Kiranya pemuda itu sudah merampas semua senjata mereka dan kini golok dan pedang itu telah ditumpuk di depan kaki si pemuda tampan.

"Tenanglah saudera-saudara. Kami bukan orang jahat dan kalau ada urusan, beritahukanlah kami. Siapa tahu kami dapat membantu kalian," kata Hui Song. Pada saat itu, lurah Coa sudah tiba di situ dan lurah inipun tadi melihat betapa dengan mudahnya pemuda tampan itu merampasi senjata orang-orangnya. Dia dapat menduga bahwa pemuda ini tentu seorang pendekar, maka diapun cepat maju menjura.

"Harap taihiap sudi memaafkan orang-orang kami yang kurang ajar. Dusun kami sedang dilanda kekacauan karena munculnya iblis yang mencuri calon pengantin wanita..."

"Eh? Ada pengantin dicuri?" Sui Cin berseru kaget dan tertarik sekali.

"Pengantin itu adalah anak saya sendiri, baru saja lenyap tanpa bekas setelah lebih dahulu pakaian pengantin yang lenyap." Lurah Coa lalu menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi.

Hui Song dan Sui Cin mendengarkan penuh perhatian. "Kami akan mencoba untuk mencari penculiknya," kata Hui Song. "Mudah-mudahan kami dapat menemukan kembali puterimu itu." Setelah mendengarkan penuturan itu, Hui Song dan Sui Cin mempergunakan kepandaian mereka berloncatan pergi meninggalkan dusun. Mereka mengambil keputusan untuk mencari penculik gadis itu dan tentu saja mereka tidak mengharapkan akan dapat menemukan penculik itu di dalam dusun. Mereka mencari keluar dusun, mengelilingi dusun itu dan akhirnya mereka mendaki sebuah bukit tak jauh dari dusun itu karena bukit itu penuh dengan hutan, tempat yang baik sekali bagi para penjahat untuk menyembunyikan diri.

Dengan cepat sekali mereka mendaki bukit dan tibalah mereka di deerah berbatu di luar hutan dan dari jauh mereka sudah melihat seorang kakek duduk bersila di depan sebuah guha yang besar. Tentu saja mereka menjadi curiga dan tertarik sekali katena keadaan kakek itu sudah amat mengherankan hati. Seorang kakek tua renta yang kepalanya gundul tak ditumbuhi rambut lagi, alisnya amat lebat dan panjang, demikian pula jenggot dan kumisnya yang semua telah berwarna putih. Sukar ditaksir berapa usia kakek ini, mungkin sudah seratus tahun. Akan tetapi tubuh kakek itu pendek kecil, seorang kakek katai yang pakaiannya juga aneh. Kakek katai jenggot panjang sampai ke perut ini memakai jubah yang mewah! Jubah yang sepatutnya dipakai seorang pembesar atau seorang hartawan!

Dan di punggungnya tergantung guci arak yang besar, sebesar kepalanya yang gundul, diikatkan dengan tali ke pundaknya. Sepatunya dari kulit, juga bagus dan baru.

Ketika Hui Song dan Sui Cin tiba di depan kakek itu, si kakek katai yang tadinya seperti orang bersamadhi itu kini membuka kedua matanya dan begitu sepasang mata itu dibuka, mau tidak mau Sui Cin menahan ketawanya. Dari sepasang matanya ini saja sudah dapat diketahui bahwa kokek ini adalah seorang aneh yang berwatak riang gembira, terbukti dari sepasang mata yang bersinar-sinar dan wajah yang berseri-seri lucu itu.

"Heh-heh-heh!" Kakek katai itu mendahului mereka, terkekeh geli. "Apakah kalian ini sepasang pendekar muda yang hendak mencari penculik pengantin wanita? Heh-heh!"

Tentu saja Hui Song dan Sui Cin terkejut, merasa ditodong ketika kakek itu mendadak saja bertanya seperti itu, Hui Song hanya dapat mengangguk dan Sui Cin melangkah maju dan dialah yang menjawab, "Benar, kek. Engkau ini kakek pendek lucu bagaimana bisa tahu bahwa kami mencari penculik pengantin?"

Sejenak kakek itu memandang wajah Sui Cin, matanya semakin bersinar dan wajahnya semakin berseri "Heh-heh, nona manis, apa sukarnya? Kalian berlari-lari mendaki bukit dengan mempergunakan ilmu berlari cepat seperti dua orang pendekar, berkeliaran ke sini mau apalagi kalau bukan mencari penculik pengantin? Heh-heh-heh."

Kini Hui Song sudah dapat menduga bahwa kakek ini tentulah memiliki kepandaian tinggi, maka dia bersikap hormat dan menjura. "Maaf kalau kami mengganggumu, locianpwe. Kami berdua bukanlah pendekar, akan tetapi dugaan locianpwe benar bahwa kami sedang mencari pengantin wanita yang lenyap diculik orang. Dapatkah kiranya locianpwe membantu kami..."

"Membantu apa?" kakek itu memotong.

"Hi-hik, engkau ini aneh, kek. Tentu saja membantu kami memberi tahu apakah engkau tahu di mana adanya pengantin wanita yang diculik itu," kata Sui Cin, tidak mau bersikap terlalu hormat dan menyebut locianpwe kepada kakek lucu ini.

Anehnya, menghadapi sikap Sui Cin yang bebas dan seenaknya itu, si kakek katai kelihatan lebih senang dan diapun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Nona manis, engkau sungguh menyenangkan hati. Tentu saja aku tahu di mana adanya pengantip wanita itu karena akulah orangnya yang telah menculiknya!"

"Uhh...! Heiiiittt...!" Hui Song demikian kaget mendengar pengakuan langsung seperti itu dan diapun sudah meloncat ke belakang sambil memasang kuda-kuda karena ketika bicara tadi si kakek botak mengakhiri pengakuannya sambil menggerakkan kedua tangan ke depan yang disangkanya sebagai gerakan hendak menyerang.

Melihat ini, kakek itu memandang kepada Hui Song dengan mata terbelalak, lalu dia tertawa bergelak sambil menepuk-nepuk perut. "Hua-ha-ha, orang muda, apakah engkau hendak menari monyet? Ha-ha-ha!"

Wajah Hui Song menjadi merah karena malu. Dia sendiri adalah seorang pemuda jenaka dan periang, suka menggoda orang, akan tetapi sekali ini dia bertemu batunya dan sebaliknya malah digoda dan menjadi bahan ejekan orang.

Akan tetapi Sui Cin yang sejak semula sudah merasa suka dan menganggap kakek itu lucu, segera mencela. "Wah, siapa percaya omonganmu, kek? Engkau tentu hanya membual saja. Mana bisa orang tua renta lemah sepertimu ini mampu melarikan seorang gadis pengantin? Dan pula, untuk apa bagimu? Engkau membual dan aku tidak percaya kentut itu!"

Kakek itu bangkit berdiri dan melihat betapa kakek itu tingginya hanya sampai ke dadanya, Sui Cin merasa semakin geli. "Wah, kau ini anak kecil beruban ataukah kakek bertubuh kecil?" Ia menggoda.

"Kentut! Siapa yang kentut? Yang bertelur itulah yang berkotek, dan tentu engkau yang kentut, bukan aku, karena mana mungkin aku menjadi ayam biang? Aku jantan, dan engkau betina, maka engkaulah yang menjadi ayam biang dan engkau yang kentut berbau busuk!"

Mendengar omongan yang tidak karuan dan ugal-ugalan itu, Sui Cin terkekeh dan terpingkal-pingkal, membuat kakek itu semakin penasaran lagi. "Eh, nona, berani engkau mentertawakan aku dan mengira aku membual, ya? Nah, lihat sendiri itulah mempelai wanita yang kuculik dari rumah lurah Coa. Hei, anak-anak, keluarlah dan perlihatkan diri kalian kepada nona tukang kentut dan penari monyet ini!"

Sui Cin dan Hui Song memandang ke dalam guha dan mereka terbelalak heran ketika melihat munculnya seorang gadis manis yang bergandeng tangan dengan seorang pemuda yang bajunya robek-robek dan kulit tubuhnya juga memperlihatkan bekas-bekas cambukan. Sui Cin yang tadinya mengira kakek itu membual, kini memandang penuh perhatian. Inikah mempelai wanita yang dikabarkan hilang diculik orang itu? Dan kakek ini penculiknya? Lalu siapa pemuda yang kelihatan jujur, seperti kebanyakan pemuda dusun atau petani itu?

"Eh, enci, benarkah engkau puteri lurah Coa, yang akan menjadi pergantin lalu diculik kakek ini? Dan siapa temanmu itu?" Sui Cin bertanya.

Gadis itu memang benar Lan Kim adanya, dan pemuda itu adalah kekasihnya yang bernama Lo Sang. Mendengar pertanyaan Sui Cin, ia mengangguk. "Aku adalah Coa Lan Kim, puteri lurah Coa yang akan menjadi pengantin, dan memang aku diculik oleh locianpwe ini dan dia ini adalah Lo Seng, calon suamiku," katanya dengan tabah dan sikap menentang. Memang kini ia akan menentang siapa saja yang hendak menghalangi niatnya hidup bersama Lo Seng yang dicintainya.

"Suamimu? Calon suamimu? Bagaimana pula ini? Kalau engkau mau dikawinkan dengan pemuda ini, kenapa engkau diculik ke sini dan bersama calon suamimu..." Sui Cin berkata bingung.

"Aku bukan akan dikawinkan dengan dia!" Lan Kim berkata. "Aku hendak dikawinkan menjadi isteri kelima seorang pembesar di Sin-yang, dan aku tidak mau. Dia ini... pilihan hatiku dan aku ingin hidup bersama dia..."

"Ah, jadi engkau penculiknya!" Hui Song menudingkan telunjuknya kepada Lo Seng, "Engkau menculik pengantin untuk kaukawini sendiri? Sungguh berani dan..."

"Hushh, penari monyet ini benar-benar menjengkelkan!" Kakek katai ikut bicara. "Dengarkan dulu penuturan pengantin wanita dan jangan cerewet dulu seperti perempuan!"

"Wah, kek, jangan gitu! Tidak semua perempuan cerewet!" Sui Cin menegur, agak tak senang karena Hui Song dipermainkan.

"Aku tidak perduli kalau perempuan cerewet, memang sudah pembawaannya. Akan tetapi kalau laki-laki cerewet, aku tidak suka."

Lan Kim mengerti bahwa dua orang muda yang kelihatannya pantas itu tentu bukan orang jahat dan agaknya terjadi kesalahpahaman tentang penculikannya, maka iapun sambil menggandeng tangan kekasihnya, maju melangkah lagi. "Harap ji-wi suka mendengarkan penuturanku agar jangan salah sangka. Sejak dahulu antara aku dan Lo Seng ini terjalin hubungan akrab dan kami mengharapkan kelak menjadi suami isteri. Apalagi orang tuaku juga sudah setuju mengambil Lo Seng sebagai mantu, setelah Lo Seng membantu mengurus sawah ladang ayah selama beberapa tahun. Akan tetapi pada suatu hari datanglah pinangan pembesar di kota Sin-yang terhadap diriku. Ayah tidak berani menolak, bahkan merasa beruntung menerimanya. Dan Lo Seng yang menentang lalu dipecat, bahkan dicambuki. Nah, dalam keadaan seperti itu, selagi aku putus asa, muncul locianpwe ini membawa aku lari dari rumah dan mempertemukan aku dengan kekasihku di guha ini."

Kini terdengar Lo Seng bercerita. "Aku sudah hampir putus asa dan mengambil keputusan membunuh diri saja daripada melihat kekasihku menikah dengan orang lain dan aku sendiri kehilangan pekerjaan dan dimusuhi. Tapi muncul locianpwe ini menyelamatkan aku dan ketika aku bercerita tentang keadaanku, locianpwe ini membawaku ke sini, menyuruh aku menunggu di dalam guha ini dan tak lama kemudian dia sudah kembali membawa Lan Kim. Kini kami berdua sepakat untuk hidup bersama atau mati berdua. Harap ji-wi dapat mengerti keadaan kami dan tidak memaksa kami untuk kembali."

Hui Song dan Sui Cin saling pandang dan hati mereka merasa terharu. Kiranya kakek katai itu sama sekali bukan orang jahat, melainkan seorang penolong budiman.

"Aah, kiranya engkau benar-benar seorang yang baik, kakek tua," kata Sui Cin gembira dan Hui Song menjura.

"Harap locianpwe maafkan kalau kami menyangka buruk."

"Heh-heh, orang-orang muda baru mempunyai kepandaian sedikit saja sudah tekebur dan ingin berlagak pendekar-pendekar jagoan. Orang-orang muda, andaikata aku benar-benar menculik gadis itu untukku sendiri, dengan niat busuk, habis apa yang hendak kalian lakukan?"

"Tentu saya akan menentangnya!" kata Hui Song.

"Kau akan kugempur dan gadis itu kurampas untuk kukembalikan kepada orang tuanya, kek," sambung Sui Cin.

"Bagus, nah, kalau begitu kalian majulah, hendak kulihat sampai di mana kelihaian kalian."

"Tapi, locianpwe tidak berniat buruk dan tidak bersalah...!" Hui Song membantah.

"Hemm, andaikata aku penjahat, apakah engkau juga masih ragu-ragu. Nah, majulah dan anggap saja aku pencuilk gadis. Ingin kulihat sampai di mana kelihaian kalian. Atau, aku sebagai penjahat medahului kalian karena tidak ingin diganggu!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja kakek itu sudah maju dan ketika tangannya bergerak, tangan itu sudah menampar ke arah dada Hui Song.

"Eeiiitt...!" Hui Song mengelak dengan mundur selangkah, akan tetapi tamparan yang luput itu sudah disambung dengan totokan ke arah pundak. Gerakan kakek itu cepat sekali sehingga mengejutkan hati Hui Song yang kini menggunakan tangan menangkis totokan.

"Dukk!" Tubuh Hui Song terhuyung ke belakang. Pemuda ini terkejut bukan main karena tadi ia hanya mempergunakan sebagian sinkangnya, khawatir akan melukai kakek tua renta itu, akan tetapi akibatnya, dia terhuyung dan lengannya tergetar hebat. Kiranya kakek ini memiliki sin-kang yang hebat. Akan tetapi, sambil terkekeh-kekeh kakek itu sudah menyerangnya lagi dan gerakannya cepat bukan main. Tubuh yang kecil itu berkelebat seperti terbang saja dan tahu-tahu dia sudah mencengkeram ke arah pundak Hui Song.

"Lihat seranganku!" Tiba-tiba terdengar Sui Cin membentak dari samping dan ia sudah menggerakkan tangan kirinya menotok ke arah iga bawah ketiak dari lengan kakek yang mencengkeram itu. Totokan ini hebat dan cepat datangnya, membuat kakek itu terpaksa membatalkan cengkeramannya pada pundak Hui Song, lalu menekuk lengan untuk menangkis sekalian menangkap pergelangan tangan gadis itu. Namun Sui Cin sudah menarik pulang tangan kirinya dan kini tangan kanannya menampar dan dari telapak tangan itu keluarlah uap putih tipis. Itulah Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih), sebuah ilmu pukulan yang amat ampuh, satu di antera ilmu-ilmu ampuh yang diajarkan Pendekar Sadis kepada puteri tunggalnya itu.

"Ehh...!" Kakek itu terkejut sekali menyaksikan ilmu pukulan yang hebat ini dan begitu dia berkelebat, Sui Cin yang menjadi bengong karena orang yang diserangnya itu tiba-tiba saja lenyap dan tahu-tahu sudah berada di belakang tubuhnya dan sambil terkekeh kakek itu kini menotok ke arah tengkuknya. Sui Cin merasa adanya angin menyambar ini, maka iapun mempergunakan gin-kangnya dan tubuhnya mencelat ke depan untuk mengelak. Akan tetapi pada saat itu, Hui Song yang sudah tahu betapa lihainya kakek itu, sudah menerjang ke depan pada saat Sui Cin diserang sehingga andaikata Sui Cin tidak mempergunakan kecepatan gerakannya mengelak sekalipun, serangan kakek itu akan depat digagalkannya karena kini Hui Song juga tidak sungkan-sungkan lagi. Begitu menyerang, pemuda ini telah mempergunakan jurus Thai-kek Sin-kun dan mengerahkan tenaga sakti Thian-te Sin-kang!

Kembali kakek itu terkejut. Diapun agaknya tidak mengira bahwa dua orang muda itu sungguh merupakan dua orang muda yang berilmu tinggi, dua orang pendekar muda tulen! Apalagi ketika dia melihat betapa ilmu-ilmu yang dipergunakan dua orang muda ini bukanlah ilmu-ilmu silat biasa saja, melainkan ilmu-ilmu yang amat tinggi mutunya.

"Nanti dulu, tahan dulu...!" Tiba-tiba kakek itu berhenti dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke belakang menjauhi dua orang muda itu.

"Kek, kami belum kalah kenapa berhenti?" Sui Cin yang sudah merasa gembira dengan pertandingan itu, mencela. Bagaimanapun juga, gadis ini merasa benar dalam hatinya bahwa kakek itu bukan orang jahat dan pertandingan itu hanya merupakan pengujian kepandaian saja. Ia bahkan merasa suka kepada kakek itu yang memiliki wajah jenaka dan gembira.

"Heh-heh-heh, akupun belum kalah. Aku hanya minta berhenti sebentar untuk bicara. Agaknya kalian berdua memiliki sedikit ilmu silat, pantas saja kalian begitu tekebur hendak berperan sebagai pendekar-pendekar. Sekarang begini. Kalian melawan aku, dan kalau dalam waktu dua puluh jurus aku masih belum dapat mengalahkan kalian, anggap saja aku kalah dan aku akan menyebut kalian suhu dan subo!"

Sui Cin tertawa geli. "Wah, kalau engkau menyebut subo kepadaku, berarti usiaku tentu sudah seratus tahun lebih. Tapi itu merupakan penghormatan besar. Baik, aku setuju!"

Hui Song diam-diam merasa terkejut. Begini tekeburkah kakek ini? Dia tahu akan kemampuan diri sendiri dan diapun sudah tahu betapa tinggi ilmu gadis puteri Pendekar Sadis itu. Menandingi mereka satu lawan satu saja jarang dapat ditemukan orangnya, dan kakek ini menantang mereka berdua maju mengeroyok dan bertaruh dapat mengalahkan mereka dalam waktu dua puluh jurus! Tentu saja hatinya merasa penasaran karena dia merasa dipandang rendah.

"Baik, locianpwe, kami setuju. Akan tetapi bagaimana kalau... kalau kami yang kalah dalam dua puluh jurus itu?"

"Ha-ha-ha, orang muda yang berhati-hati, tentu engkau sudah menyangka buruk lagi kepadaku, ya? Dengarlah, kalau aku kalah, aku menyebut kalian suhu dan subo, akan tetapi kalau sebelum dua puluh jurus kalian yang kalah, kalian harus membantuku menolong pengantin ini."

"Menolong dengan cara bagaimana?" tanya Sui Cin.

"Kita harus menggagalkan pernikahan itu dan menghajar pembesar mata keranjang itu agar kapok. Akan tetapi, kalian harus menurut semua rencana siasat yang kuatur dan sama sekali tidak boleh menolak."

Tentu saja Sui Cin dan Hui Song menyetujui karena apa salahnya kalau hanya itu taruhannya? Tanpa bertaruh sekalipun, mereka berdua bukankah sekarang juga sudah berusaha menolong pengantin wanita yang tadinya mereka cari karena menyangka diculik penjahat?

"Baik, baik, kami berjanji," kata mereka dengan gembira.

"Nah, bersiaplah. Jurus pertama!" kakek itu berseru dan tubuhnya bergerak secara aneh, tahu-tahu dalam satu jurus saja dia sudah menendang ke arah lutut Hui Song dan tangan kirinya menyambar ke arah pundak Sui Cin. Gerakannya selain aneh dan kuat, juga cepat sekali, mendatangkan angin bersuitan mengejutkan dua orang muda yang cepat menghindarkan diri.

Hui Song adalah seorang pemuda cerdik. Dia maklum bahwa kakek ini memang lihai bukan main, akan tetapi kalau dalam waktu dua puluh jurus saja, mana mungkin mengalahkan dia dan Sui Cin, apalagi kalau mereka berdua mengerahkan seluruh daya untuk melindungi diri? Kalau mereka membagi perhatian untuk menyerang, mungkin mereka akan terlengah dan dapat dikalahkan.

"Cin-moi, pergunakanlah daya tahan Thai-kek Sin-kun!"

Gadis itupun cerdik dan ia mengerti apa yang dimaksudkan Hui Song, maka seperti juga pemuda itu, ia segera mainkan Thai-kek Sin-kun, mencurahkan segala perhatian untuk mempertahankan atau melindungi dirinya. Keadaan kedua orang muda itu tiada ubahnya dua buah benteng baja yang amat kuat dan tidak ada bagian lemah yang akan dapat ditembus!

Kakek itu sejenak terbelalak, kemudian mengeluarkan seruan keras dan sampai beberapa jurus lamanya dia berusaha mendobrak benteng pertahanan itu dengan berbagai macam serangan yang aneh-aneh. Namun semua serangannya kandas dan tidak mampu membobolkan benteng-benteng pertahanan dari Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun itu.

"Wah, hebat, hebat... Thai-kek Sin-kun yang hebat sekali...!" Berkali-kali kakek itu berseru dengan suara mengeluh ketika ke manapun juga dia menyerang, dia selalu gagal karena yang diserang itu pasti bisa mengelak atau menangkis. Padahal, dia sudah menyerang selama dua belas jurus, tinggal delapan jurus lagi!

Dia termangu-mangu sejenak dan Sui Cin mengejek.

"Hi-hik, kakek lucu, bersiap-siaplah menyebut subo kepadaku. Sudah dua belas jurus, tinggal delapan jurus lagi, jangan mengurangi hitungan!"

"Heh-heh-heh, siapa mengurangi hitungan? Masih ada delapan jurus, cukup untuk mengalahkan kalian!" Tanpa menanti jawaban, tiba-tiba saja kakek itu mengeluarkan suara melengking nyaring. Dua orang muda itu terkejut karena suara melengking itu mengandung khi-kang yang amat kuat, yang masuk dengan tajam menusuk jantung melalui telinga. Cepat mereka memasang kuda-kuda dan mengerahkan sin-kang melindungi tubuh bagian dalam dari serangan suara penuh khi-kang ini. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh kakek itu melesat dan lenyap, yang nampak kini hanya bayangan berkelebatan mengitari mereka, makin lama makin cepat sehingga tidak lagi nampak jelas bayangannya, menjadi kabur! Inilah berbahaya, pikir mereka. Tanpa dapat mengikuti gerak-gerik kakek itu yang ternyata mempergunakan gin-kang yang sukar dipercaya kalau tidak melihat sendiri, begitu cepat seperti terbang, bahkan seperti menghilang saja, mereka takkan percaya ada gin-kang sehebat itu. Maka, merekapun bersikap waspada, tidak berani berkedip karena sekali berkedip cukuplah bagi kakek itu untuk memasukkan serangannya dengan tepat.

Benar saja, dua kali kakek itu menerjang sambil berputar, akan tetapi karena dua orang muda itu sudah bersiap-siap dengan kuda-kuda yanig amat kuat, mereka berdua mampu menangkis. Kakek itu agaknya merasa penasaran dan menyerang lagi sampai empat jurus, akan tetapi semua serangannnya gagal.

"Hi-hik, tinggal dua jurus lagi dan engkau menyebutku subo!" Sui Cin tak dapat menahan kegembiraan hatinya mengejek.

Tiba-tiba bayangan yang berputaran itu mengeluarkan uap putih dan terciumlah bau arak wangi. Kiranya kakek itu sambil berputar semakin cepat telah menyerang dengan menggunakan semburan arak yang agaknya diminumnya sambil berlari berputar-putar itu. Sui Cin dan Hui Song terkejut. Sambaran arak itu mengenai kulit mereka seperti jarum-jarum halus saja, dan yang membuat mereka repot adalah semburan yang mengarah muka mereka! Tentu saja mereka gelagapan dan melindungi muka, akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba saja mereka merasakan lutut mereka lemas kehilangan tenaga dan betapapun mereka bertahan, tetap saja kaki mereka tertekuk dan keduanya roboh berlutut!

"Hoa-ha-ha-ha, tepat dua puluh jurus dan kalian mengaku kalah. Akan tetapi tak perlu berlutut, jangan sungkan-sungkan, aku tidak bisa menerima penghormatan berlebihan ini, ha-ha-ha!"

Sui Cin dan Hui Song saling berpandangan. Lutut mereka tadi tertotok, akan tetapi tidak parah, hanya cukup membuat mereka terpaksa berlutut saja. Kini pengaruh totokan sudah lenyap lagi dan mereka bangkit berdiri. Tahulah mereka bahwa kakek itu selain amat lihai juga tidak berniat buruk, hanya ingin menang tanpa berniat mencelakakan mereka. Akan tetapi Sui Cin cemberut.

"Kakek buruk, engkau telah menang dengan menggunakan akal busuk!"

"Ha-ha-ha, anak manis, akal dan siasat memang diperlukan dalam pertandingmu. Siapa kalah kuat harus menggunakan akal. Nah, kalian sudah kalah dan sekarang kalian harus membantuku. Waktunya hanya tinggal setengah hari. Sore hari nanti pengantin wanita she Coa ini akan dijemput dan dibawa ke Sin-yang, ke rumah calon suaminya, si bangsawan keparat itu. Siapakah nama kalian?"

"Saya bernama Cia Hui Song, locianpwe."

"Namaku Ceng Sui Cin."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar