Demikian pula ketika Tan Siang Wi muncul, mereka berbisik-bisik dan melirik ke arah gadis itu, tersenyum-senyum menyeringai dengan sikap kurang ajar sekali. Karena Siang Wi tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, dara inipun tidak perduli. Akan tetapi setelah ia duduk bersama tiga orang tamu dan kebetulan duduknya menghadap ke arah meja tiga orang itu, mulailah Siang Wi mengerutkan alisnya. Ia melihat betapa tiga orang itu, terutama dua orang termuda, selalu memandang kepadanya dan sengaja mainkan mata mereka seperti lagak laki-laki yang hendak menggoda wanita. Tentu saja Siang Wi menjadi mendongkol dan mula-mula ia memang membuang muka saja dan tidak mau balas memandang. Akan tetapi, telinganya mulai dapat menangkap percakapan mereka itu di antara berisiknya suara para tamu lain. Marahlah gadis ini.
Tan Siang Wi adalah murid tunggal dari Bin Biauw, isteri ketua Cin-ling-pai. Seperti kita ketahui, Bin Biauw atau nyonya Cia Kong Liang ini adalah puteri bekas datuk sesat Tung-hai-sian, seorang Bangsa Jepang. Setelah berbesan dengan ketua Cin-ling-pai, Tung-hai-sian mencuci tangan dan tidak lagi berkecimpung di dalam dunia sesat. Puterinya, Bin Biauw, biarpun puteri seorang datuk sesat, adalah seorang gadis yang baik sehingga dapat menjatuhkan hati Cia Kong Liang. Akan tetapi setelah kini mempunyai seorang murid, ternyata muridnya ini sedikit banyak mewarisi watak Tung-hai-sian. Tan Siang Wi ini berwatak keras sekali, tidak pernah mau mengalah, agak tinggi hati dan angkuh walaupun ia selalu bertindak gagah dan menentang kejahatan. Selain mewarisi ilmu dari Bin Biauw, ia juga menerima petunjuk-petunjuk dan ilmu silat dari ketua Cin-ling-pai sendiri maka dapat dibayangkan betapa lihainya Siang Wi. Kelihaiannya membuat dara ini semakin tinggi hati, terutama terhadap golongan sesat yang dianggap musuhnya. Tangannya berobah ganas kalau ia berurusan dengan kaum sesat dan sedikitpun ia tidak mau mengalah atau memberi hati. Maka, selama satu dua tahun saja memasuki dunia kang-ouw, gadis ini telah dijuluki orang Toat-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa) karena ganasnya terhadap musuh-musuhnya. Agaknya karena kenyataan yang sudah didengarnya bahwa sukongnya, yaitu Bin Mo To di Ceng-to, adalah seorang bekas datuk sesat, gadis ini hendak membuktikan kepada semua orang di dunia bahwa dia adalah murid isteri ketua Cin-ling-pai, jadi seorang pendekar, bukan orang sesat!
Terdapat kecondongan hati kita untuk selalu menutupi kekurangan dan menonjolkan kelebihan kita. Kita selalu ingin disebut baik. Keinginan seperti ini selalu timbul karena kenyataan yang kita lihat bahwa keadaan kita adalah sebaliknya daripada baik. Hanya orang yang berkulit hitam sajalah yang selalu ingin disebut putih. Hanya orang yang bodoh sajalah yang selalu ingin dianggap pintar, dan hanya orang yang melihat betapa kotor dirinya sajalah yang selalu ingin dianggap bersih dan baik. Kita lupa bahwa justeru keinginan-keinginan untuk dianggap lain daripada kenyataan ini yang seringkali mendorong kita untuk melakukan hal-hal yang buruk dan bodoh. Kalau kita sadar akan kekotoran kita, maka kita akan berusaha membersihkannya, bukan dengan cara menyembunyikan atau menutupinya. Kalau kita sadar bahwa kita bersih, maka kita akan menjaga agar kebersihan itu tidak ternoda kekotoran, bukan lalu menjadi tinggi hati dan merasa bersih dan baik sendiri karena perasaan demikian itu sudah menodai kebersihan itu sendiri. Mengapa kita kadang-kadang merasa ngeri untuk menghadapi dan melihat kenyataan apa adanya, betapa buruk dan kotor sekalipun kenyataan itu? Menutupi kenyataan, melarikan diri dari kenyataan, jelas tidak akan dapat merobah keadaan itu.
"Ha-ha-ha!" Seorang di antara tiga pria itu tertawa lagi sambil menyumpit dan makan kue yang mulai dihidangkan. Wajah mereka mulai merah oleh arak. "Agaknya Cin-ling-pai sudah kehabisan jago jantan maka mengeluarkan jago betina, heh-heh!"
Ucapan itu sebenarnya lebih merupakan kelakar di antara mereka sendiri karena diucapkan perlahan dan dimaksudkan untuk mereka dengar sendiri, dan ketiganya tertawa bergelak sambil melontarkan pandang ke arah meja Siang Wi. Akan tetapi karena mencurahkan perhatian ke arah mereka, Siang Wi dapat menangkap kata-kata itu dan marahlah gadis ini. Ia tidak mampu lagi mengendalikan dirinya dan sekali melompat, ia telah meloncati mejanya dan tahu-tahu, seperti seekor burung saja ia sudah hinggap di atas lantai dekat meja tiga orang itu!
"Kalian tadi bilang apa?" bentaknya sambil berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang dan mata tajam penuh kemarahan menatap mereka.
Tiga orang itu terkejut. Tak mereka sangka bahwa gadis itu akan dapat mendengar ucapan yang menghina Cin-ling-pai tadi, juga mereka terkejut melihat gadis itu demikian gesitnya meloncati meja dan kini berdiri di depan mereka dengan sikap mengancam.
"Eh, kami bilang apa? Tidak ada sangkut-pautnya denganmu!" seorang di antara mereka menjawab dan melanjutkan jepitan sumpitnya pada kue di atas piring.
"Bagus! Kalian menghina Cin-ling-pai dan masih berani bilang tidak ada sangkut-pautnya denganku? Biarpun Cin-ling-pai diwakili seorang wanita setidaknya jauh lebih gagah daripada kalian ini banci-banci pengecut yang tidak berani mengakui perbuatannya!"
Para tamu yang duduk di sekitar tempat itu menjadi kaget dan merekapun menoleh dengan penuh perhatian dan wajah mereka tertarik sekali. Dalam pertemuan antara para orang-orang kang-ouw sudah lumrah apabila terjadi keributan dan perkelahian. Mereka bahkan sebagian besar mengharapkan terjadinya hal ini, karena dalam pertemuan para ahli persilatan, terasa kurang sedap dan kurang bumbu kalau tidak terjadi keributan dan perkelahian.
Tiga orang itu sebenarnya bukan orang-orang sembarangan. Kakek yang berjenggot putih itu adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal yang berjuluk Huang-ho Lo-eng (Pendekar Tua Sungai Kuning) bernama Pui Tek. Adapun dua orang laki-laki gagah di sampingnya adalah dua orang muridnya, juga amat terkenal sebagai Huang-ho Siang-houw (Sepasang Harimau Sungai Kuning). Mereka bukan penjahat dalam arti kata memiliki pekerjaan jahat seperti perampok atau bajak, akan tetapi karena orang-orang takut kepada mereka, maka dengan mudah mereka memperoleh hasil dari hadiah yang mereka terima dari para peda-gang demi keselamatan dan keamanan. Mereka adalah semacam tukang-tukang pukul yang disegani. Guru mereka, Huang-ho Lo-eng Pui Tek pernah dalam suatu perkelahian dikalahkan oleh Cia Kong Liang ketua Cin-ling-pai. Walaupun bukan merupakan permusuhan pribadi dan tidak ada dendam secara terbuka, namun kekalahan itu membuat Pui Tek mendongkol dan tidak suka kepada Cin-ling-pai, menganggap ketua Cin-ling-pai yang memang keras wataknya itu terlalu sombong. Dengan sendirinya, kedua orang muridnya juga tidak suka kepada Cin-ling-pai, maka tidak heranlah kalau mereka tadi mengeluarkan kata-kata yang nadanya tidak bersahabat terhadap Cin-ling-pai sehingga membuat Siang Wi menjadi marah sekali.
Kini, di depan meja mereka berdiri seorang gadis Cin-ling-pai yang bertolak pinggang dan memaki mereka banci pengecut di depan begitu banyak orang. Tentu saja wajah tiga orang itu menjadi merah sekali dan kemarahan mulai memenuhi hati mereka. Akan tetapi, bagaimanapun juga mengingat akan julukan Pui Tek yang masih memakai Lo-eng (Pendekar Tua), dua orang harimau itu tentu saja lebih condong merasa diri mereka pendekar dari golongan bersih daripada sebagai golongan hitam, maka ada rasa harga diri pada mereka yang membuat mereka merasa malu kalau harus ribut-ribut dan berkelahi melawan seorang gadis yang masih remaja, yang usianya tentu belum ada dua puluh tahun. Mereka adalah jagoan-jagoan di sepanjang Sungai Kuning, tentu memalukan kalau harus berkelahi melawan seorang dara remaja. Akan tetapi didiamkan sajapun tidak mungkin setelah gadis itu memaki mereka sebagai banci pengecut.
"Bocah perempuan kurang ajar, makanlah ini!" Bentak orang yang menyumpit kue itu dan sekali tangan kanan yang memegang sumpit bergerak, kue sepotong yang disumpitnya itu meluncur ke arah muka Siang Wi dengan kecepatan kilat!
"Capp!" Dara itu menggerakkan tangan kanan dan menjepit ke arah kueh itu. Dengan tepat sekali telunjuk dan jari tengah tangan kanannya telah menjepit kueh itu dan ia melakukan ini sambil tersenyum mengejek.
"Makanlah sendiri!" Dara itu membentak dan tiba-tiba tangannya bergerak. Kueh itu meluncur cepat ke arah muka orang yang menyambit tadi. Orang itu cepat menggerakkan sumpit untuk menjepit kembali, akan tetapi begitu bertemu sumpit, kue itu hancur dan tentu saja hancuran kue itu menyambar dan mengenai muka orang itu. Ternyata sebelum membalas dengan timpukan, Siang Wi telah lebih dulu menggunakan tenaga jari tangan membikin kue itu remuk bagian dalamnya. Hancurnya kue menyerang mata, hidung dan mulut, membuat orang itu repot membersihkan mukanya sambil memaki-maki!
Orang kedua yang melihat saudaranya mendapat malu, sudah bangkit dan membentak marah, "Bocah perempuan, berani kau menghina orang?" Dan sekali kepalanya bergerak, rambut yang dikuncir tebal itu menyambar ke depan, mengeluarkan suara bersuitan dan memukul ke arah leher Siang Wi. Sungguh merupakan serangan yang aneh akan tetapi juga berbahaya karena thouw-cang (kuncir) yang digerakkan dengan tenaga sin-kang ini tak kalah ampuhnya dibandingkan dengan senjata keras.
Orang itu sungguh terlalu memandang rendah kepada Siang Wi maka dia berani selancang itu menyerang dengan kuncirnya. Kalau tidak begitu tentu dia tidak berani bergerak secara sembrono seperti itu.
"Wuuuuttt...!" Kuncir itu meluncur lewat ketika Siang Wi merendahkan tubuh mengelak dan begitu kuncir menyambar lewat, tangan kiri Siang Wi mencuat dan tahu-tahu kuncir itu sudah dapat dicengkeramnya! Sekali sentakan, terpaksa kepala orang itu tertunduk dan Siang Wi sudah mengangkat lututnya untuk menghajar muka orang! Tentu sedikitnya hidung orang itu akan berdarah kalau saja saudaranya tidak cepat menubruk dengan pukulan tangan ke arah punggung Siang Wi.
"Huh, pengecut curang!" bentak Siang Wi yang terpaksa melepaskan orang pertama dengan mendorongnya mundur, kemudian sambil meloncat dara itu membalik dan menangkis pukulan orang kedua.
"Dukk!" Dua tenaga besar bertemu dan akibatnya, orang berjenggot itu menyeringai kesakitan dan meloncat ke belakang. Tak disangkanya pertemuan lengan itu membuat lengannya kesakitan dan seperti lumpuh saking kuatnya lengan kecil milik nona itu. Kini tahulah dua orang Harimau Sungai Kuning itu bahwa lawannya, biarpun wanita, biarpun masih muda sekali, ternyata memiliki ilmu kepandaian yang cukup hebat.
Kini para tamu menjadi semakin gembira, dan tuan rumah, yaitu Ang-kauwsu yang juga melihat pertikaian itu diam saja karena diapun ingin melihat kesudahannya. Guru silat ini juga memiliki penyakit yang sama dengan orang-orang dari kalangan persilatan, yaitu suka melihat adu silat. Pula, diam-diam diapun merasa tidak senang melihat sikap para jagoan Huang-ho yang terkenal kasar dan banyak lagak itu tadi menghina utusan Cin-ling-pai. Dia mengharapkan jagoan-jagoan sombong itu menemui batunya walaupun hatinya khawatir melihat bahwa di situ terdapat pula Huang-ho Lo-eng yang dia tahu amat lihai sekali.
"Budak perempuan kurang ajar! Berani engkau menghina kami di tempat umum? Hayo cepat berlutut minta maaf kalau tidak ingin menerima hajaran kami!" bentak seorang di antara dua jagoan yang mukanya terkena hancuran kue tadi. Bagaimanapun juga, dia dan kawannya masih sungkan melawan seorang gadis, apalagi sekarang mereka berdua telah memegang senjata andalan mereka, yaitu sebatang tombak besar gagang panjang. Kalau dara itu mau minta maaf, berarti muka mereka telah tercuci, atau kalau dara itu tetap hendak melawan, berarti mereka sudah memberi kesempatan kepadanya untuk minta maaf.
Seorang seperti Siang Wi, mana mengenal minta maaf? Hatinya terlalu keras untuk mau mengalah, apalagi terhadap orang-orang yang sudah berani menghinanya dan menghina Cin-ling-pai.
Ia tersenyum mengejek dan mukanya menjadi semakin dingin, sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat. "Dua monyet busuk, dengarlah baik-baik. Kalian yang telah menghina Cin-ling-pai dan kalau kalian kini berlutut minta ampun, barulah nonamu hendak mempertimbangkan apakah kalian dapat diampunkan. kalau tidak, aku akan menghajar kalian!"
Ucapan ini sungguh amat hebat. Bukan hanya menantang terang-terangan di depan orang banyak itu, bahkan menghina. Mana bisa Huang-ho Siang-houw, dua jagoan itu mau menerima begitu saja?
"Bocah setan, engkau bosan hidup!" teriak seorang di antara mereka dan golok besar bergagang panjang itu menyambar dahsyat ke leher Siang Wi. Tentu saja dara perkasa itu tidak sudi lehernya dibabat begitu saja. Ia cepat mengelak sambil membalikkan tubuh menendang meja di depannya. Kakek Huang-ho Lo-eng yang duduk di belakang meja itu cepat menghindar dengan loncatan gesit ke kanan sehingga dia tidak sampai terkena tumpahan makanan dan arak. Akan tetapi dia bukan hanya meloncat begitu saja, melainkan cepat meraih dan dia sudah berhasil menangkap kaki meja dan menaruh meja itu di samping. Gerakan ini saja membuktikan kecepatan dan kelihaian jago tua ini. Kini terdapat ruang agak luas bagi Siang Wi yang menghadapi dua orang lawannya. Dua orang harimau itu mulai menyerang dengan golok gagang panjang mereka. Semua orang memandang dengan tegang dan juga agak khawatir karena Siang Wi tidak mau mempergunakan pedangnya. Dara ini tadi memang melolos sepasang pedangnya, akan tetapi bukan dicabut untuk melawan, melainkan ia letakkan di atas mejanya sendiri agar sepasang senjata itu tidak mengganggu gerakannya, kemudian ia kembali ke hadapan dua orang lawannya, melawan dengan tangan kosong.
"Anak itu terlalu sembrono!"
"Terlalu sombong bisa merugikannya."
"Tapi, ia kelihatan lihai sekali."
Demikianlah para penonton saling berbisik melihat betapa dara itu menghadapi Huang-ho Siang-houw dengan tangan kosong, padahal kedua orang lawan itu menggunakan senjata tajam yang bergagang panjang. Dua orang jagoan itu sendiri merasa kikuk dan sungkan.
"Bocah gila, hayo pergunakan pedangmu!" bentak mereka.
"Melawan dua ekor monyet tua macam kalian tidak perlu pakai pedang!" jawab Siang Wi yang memang tinggi hati.
Dua orang itu tak dapat lagi menahan kemarahan hati mereka. Keduanya lalu menyerang dengan golok mereka. Senjata itu mengeluarkan suara bercuitan dan berdesing-desing, dan terbentuk dua gulungan sinar lebar yang menyambar-nyambar. Akan tetapi, para tamu menjadi bengong ketika mereka melihat betapa dara itu menggerakkan tubuhnya dan seperti seekor burung walet saja gesitnya beterbangan di antara sambaran kedua golok itu! Bukan main indahnya gerakan dara itu dan tak terasa lagi keluar pujian dari mulut para tamu yang sudah tinggi ilmunya.
Hui Song dan Sui Cin baru saja menyelinap ke dalam rombongan tamu, memilih tempat di sudut. Mereka mempergunakan kesempatan selagi keadaan menjadi kacau karena perkelahian itu, di mana semua tamu mencurahkan perhatiannya ke arah perkelahian untuk menyelinap masuk dan tanpa menemui tuan rumah mereka sudah mengambil tempat duduk di sudut yang agak tersembunyi oleh satu di antara tiang-tiang penyangga bangunan darurat itu. Mereka juga tertarik menonton ke arah perkelahian.
"Hemm, berani benar gadis itu menghadapi pengeroyokan dua orang lawan yang bersenjata panjang dengan tangan kosong saja." kata Sui Cin setelah melihat dengan teliti dan mendapat kenyataan bahwa dua orang bersenjata golok panjang itu tak boleh dipandang ringan.
"Sumoi takkan kalah," kata Hui Song lirih dan Sui Cin terkejut.
"Sumoimu...?" Ia memandang lebih teliti dan kini iapun mengenal gerakan kaki dan tangan gadis itu, walaupun kadang-kadang gerakan itu berobah aneh. Masih ada dasar-dasar ilmu silat Cin-ling-pai dalam gerakan silat gadis itu, akan tetapi sudah bercampur dengan ilmu silat lain yang tidak dikenalnya. Memang sesungguhnyalah. Setelah menikah dengan Cia Kong Liang, Bin Biauw mendapat banyak petunjuk dari suaminya dan iapun mempelajari dasar-dasar ilmu silat Cin-ling-pai yang kokoh kuat. Maka, ketika ia melatih Siang Wi, tentu saja dasar-dasar ilmu silat Cin-ling-pai juga diajarkan, bahkan Siang Wi juga menerima gemblengan dari ketua Cin-ling-pai sendiri.
"Ya, namanya Tan Siang Wi," jawab Hui Song sederhana. Dia tidak merasa girang bertemu dengan sumoinya. Pemuda ini tahu benar bahwa sumoinya itu sudah sejak lama sekali menaruh perhatian kepadanya dan dalam sikap dan gerak-gerik dara yang pendiam itu terdapat tanda-tanda bahwa Siang Wi mencintanya. Hal inilah yang membuat dia merasa tidak enak kalau bertemu dengan sumoinya. Diapun menyayang sumoinya ini, akan tetapi sumoinya berwatak keras, terlalu berani dan agak angkuh. Dia tidak mencinta sumoinya, maka merasa semakin tidak enak setelah tahu bahwa sumoinya itu jatuh cinta kepadanya.
"Hemm, ia cantik dan gagah!" Sui Cin memuji. Memang gadis itu manis sekali, terutama pinggangnya amat ramping.
"Ya, tapi keras hati dan galak."
Sui Cin menahan senyum dan mengerling ke arah wajah pemuda itu, akan tetapi Hui Song tidak sedang bergurau melainkan memandang ke arah perkelahian dengan wajah serius dan tegang. Bagaimanapun juga, memang Sui Cin benar. Terlalu sembrono menghadapi dua lawan tangguh yang bersenjata panjang itu dengan tangan kosong.
"Haaaiiiittt...!" Tiba-tiba Siang Wi memekik, tangan kanan memukul gagang tombak lawan yang menyerang dari kanan sedangkan kaki kiri mendahului lawan kedua, menendang ke arah dada.
"Bukk... plakkk!" Lawan pertama terpental goloknya sedangkan lawan kedua tidak mampu menghindar. Serangan atau gerakan Siang Wi memang hebat, seperti seekor burung rajawali mementang sayap, kedua lengannya berkembang dan kaki kirinya menendang ke depan selagi tubuhnya masih melayang. Orang yang kena tendang dadanya itu terbanting roboh dan sebelum orang kedua hilang kagetnya, kaki kanan menggantikan kaki kiri yang turun untuk menyambar ke depan.
"Desss...!" Orang kedua juga terbanting karena perutnya dicium ujung sepatu Siang Wi.
Dua orang itu meringis kesakitan dan merayap bangun, sementara itu Huang-ho Lo-eng yang melihat betapa dua orang muridnya dirobohkan seorang gadis muda, mukanya berobah merah sekali. Dia sudah bangkit berdiri, mengebutkan ujung jubahnya dan melangkah maju menghampiri Siang Wi. Akan tetapi sebelum guru dan dua orang muridnya ini sempat bicara atau bergerak, tiba-tiba muncul seorang pemuda tampan yang segera menghadapi tiga orang itu sambil menjura.
"Sam-wi-eng-hiong, saya mewakili tuan rumah menyampaikan permohonan maaf, harap sam-wi menyudahi urusan ini sampai di sini agar tidak mengganggu jalannya pesta." Kemudian pemuda itu membalik dan menghadapi Siang Wi sambil menjura pula, "Nona, harap suka mundur dan mengakhiri keributan ini." Tanpa setahu orang, pemuda itu berkedip. Sejenak Siang Wi terbelalak. Tentu saja dia mengenal suhengnya! Akan tetapi sebelum dia menegur, Hui Song mengedipkan mata, dan Siang Wi yang cukup cerdik itu maklum bahwa suhengnya tidak ingin dikenal orang. Maka iapun mengangguk dan kembali ke mejanya, menggantung kembali siang-kiamnya di punggung dan duduk tenang, bersikap seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Tentu saja Huang-ho Lo-eng masih penasaran. Dua orang muridnya dirobohkan seorang anak perempuan di tempat pesta, hal ini sungguh amat menyakitkan hati dan menjatuhkan pula martabat dan nama besarnya, maka dia harus turun tangan membersihkan noda itu. Akan tetapi, kini muncul pemuda yang mewakili tuan rumah minta agar keributan jangan dilanjutkan. Selagi kakek ini merasa serba salah, tiba-tiba terdengar seruan di luar.
"Paduka Jenderal Ciang telah tiba...!"
Mendengar ini, semua orang menengok keluar dan Ang-kauwsu sendiri bersama beberapa orang penyambut bergegas lari keluar untuk menyambut datangnya tamu agung ini. Seorang jenderal adalah seorang perwira yang berpangkat tinggi, apa lagi datang dari kota raja, maka tentu saja merupakan seorang tamu agung yang paling terhormat.
Hui Song dan Sui Cin sudah duduk kembali dan mereka berdua menandang penuh kewaspadaan. Seperti sudah mereka rencanakan ketika keduanya pergi menghadap Jenderal Ciang, mereka berdua bersama belasan orang pengawal pilihan menyelundup ke tempat pesta dan akan berjaga-jaga kalau ada orang melakukan serangan gelap. Sementara itu sang jenderal sendiri datang dikawal enam orang pengawal pilihan yang dipercaya. Agaknya belum puas dengan semua ini, Jenderal Ciang juga mengenakan lapisan baja di balik baju kebesarannya sehingga tubuhnya akan kebal terhadap serangan senjata tajam.
Saat yang sudah dinanti-nantikan banyak orang ini tiba! Tentu saja terjadi ketegangan hebat di dalam dada mereka yang memiliki kepentingan dengan kedatangan jenderal ini. Seperti telah mereka sepakati, Sui Cin memasang mata memandang ke kiri dan Hui Song ke kanan, siap untuk turun tangan kalau melihat orang yang hendak melakukan serangan gelap kepada jenderal itu. Tadipun mereka sudah memasang mata mencari-cari, akan tetapi mereka tidak melihat adanya tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang mereka kenal, walaupun ada beberapa orang dari Hwa-i Kai-pang mereka lihat menyelinap dalam pakaian biasa atau menyamar sebagai orang biasa, bukan pengemis. Mereka merasa yakin bahwa di antara banyak tamu itu terdapat tokoh-tokoh kaum sesat yang lihai.
Akan tetapi, tidak terjadi sesuatu ketika jenderal itu datang sampai diantar oleh tuan rumah menuju ke kursi kehormatan di panggung yang agak tinggi. Sementara itu, Siang Wi yang tadi memandang ke arah suhengnya, merasa heran dan alisnya berkerut ketika ia melihat suhengnya berbisik-bisik dengan seorang gadis yang cantik jelita! Mereka berbisik-bisik demikian akrabnya dan perasaan tidak senang memenuhi hati gadis yang jatuh cinta ini. Perasaan cemburu membakar dadanya dan biarpun tadi ia mengerti akan isyarat suhengnya dan iapun berdiam diri, kini perasaan cemburu membuat ia cepat bangkit berdiri, meninggalkan teman-teman semeja dan langsung saja menghampiri Hui Song dan Sui Cin yang duduk di sudut, di belakang tiang.
"Suheng, siapakah ia ini?" tanyanya menuding ke arah muka Sui Cin dengan alis berkerut dan mulut cemberut mata menantang.
"Ssttt... diamlah, sumoi..." Hui Song berbisik kaget, lalu menarik tangan sumoinya sehingga gadis itu terduduk di kursi kosong dekatnya. "Kau ikut menjaga keselamatan jenderal itu, jangan banyak tanya..."
"Tapi... tapi siapa perempuan ini...?" Siang Wi masih berbisik dan matanya mengerling ke arah Sui Cin dengan wajah membayangkan ketidakpuasan.
"Diam kau, cerewet!" Sui Cin balas menghardik dengan suara berbisik. Siang Wi terkejut setengah mati dan mukanya menjadi pucat lalu merah seperti dibakar. Hatinya panas mendengar ada orang berani bersikap seperti itu menghardiknya dengan kasar. Tentu saja ia hendak membalas akan tetapi pada saat itu terdengar ledakan-ledakan keras dan apipun berkobar!
"Kebakaran! Kebakaran...!" Para tamu menjadi panik dan semua orang bangkit berdiri, ada yang mulai lari ke sana-sini, berdesak-desakan dan keadaan menjadi semakin kacau-balau ketika terjadi perkelahian di sana-sini.
Sui Cin dan Hui Song sudah meloncat ke tengah, mendekati Jenderal Chiang. Ternyata para pengawal sudah mulai berkelahi melawan beberapa orang di antara tamu dan kini dari luar bermunculan tokoh-tokoh Cap-sha-kui! Sui Cin mengenal Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwee Coa-li, Kui-kok Lo-mo, Kui-kok Lo-bo dan Tho-tee-kwi. Mereka ini tadi menerjang maju seperti berlomba hendak membunuh Jenderal Ciang. Akan tetapi para pengawal, baik yang enam orang maupun yang belasan orang yang penyamar, menyambut mereka. Betapapun juga, saking lihainya para penyerang, masih ada senjata rahasia menyambar dan mengenai dada sang jenderal, akan tetapi karena pembesar itu memakai perisai di balik bajunya, senjata itu mental kembali. Sebelum para penyerang yang jumlahnya ada dua puluh orang itu dapat mengepung sang jenderal, Hui Song, Sui Cin dan diikuti pula oleh Siang Wi sudah tiba di situ.
Hui Song dan Sui Cin yang bertangan kosong mengamuk melindungi Jenderal Ciang yang juga sudah mencabut pedang panjangnya.
"Goanswe, mari keluar!" Hui Song berteriak sambil menggandeng tangan jenderal itu dengan tangan kirinya. "Sui Cin, engkau di sebelah kirinya." Dara itupun menggamit tangan kiri jenderal itu dengan tangan kanannya.
"Sumoi, kaulindungi kami keluar!" teriak pula Hui Song kepada sumoinya. Siang Wi tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi dengan patuh ia mentaati perintah suhengnya. Ia mencabut sepasang pedangnya melindungi mereka berdua yang berusaha untuk membawa Jenderal Ciang keluar dari tempat itu.
Akan tetapi, Huang-ho Lo-eng sudah meloncat menghadapi Siang Wi. "Hemm, bocah sombong, sekarang tiba saatnya aku membalas kekalahan dua muridku!" katanya dan kakek ini menerjang ke depan.
Melihat ini, Hui Song menjadi marah. Kakek ini tidak perduli akan keributan dan hanya mengingat keperluan sendiri saja, keperluan dendam! Demikian pula Sui Cin juga marah melihat lagak kakek ini. Mereka berdua seperti telah bersepakat saja, tiba-tiba menerjang maju dan menampar ke arah Huang-ho Lo-eng. Kakek itu terkejut ketika merasa ada angin menyambar dari kanan kiri, maklum bahwa dia diserang oleh dua orang secara hebat sekali.
"Uhhhh!" Dia mengerahkan tenaga ke dalam dua lengannya dan menangkis sambil mendorong.
"Desss...!" Akibatnya, tubuh kakek itu terjengkang dan menimpa meja kursi. Dia memandang dengan bengong, melongo melihat bahwa yang merobohkan dia adalah seorang pemuda dan seorang gadis lain yang kini kembali menggamit Jenderal Ciang untuk keluar, dilindungi oleh Siang Wi yang memutar sepasang pedangnya. Beberapa orang penjahat, agaknya anggauta Hek-i Kai-pang karena di antaranya terdapat Bhe Hok si gendut, hendak mencegah Hui Song membawa jenderal itu keluar. Siang Wi menyerang mereka dan dara inipun dikeroyok.
Maklum akan besarnya bahaya bagi sang jenderal kalau tidak cepat-cepat keluar, Hui Song dan Sui Cin cepat menarik tangan jenderal itu menyelinap di antara banyak orang, menangkis semua serangan dan akhirnya merekapun berhasil keluar. Setelah tiba di luar, Jenderal Ciang mengeluarkan terompet dan ditiupnya terompet itu berkali-kali. Bagaikan datangnya air bah, bermunculanlah barisan pendam yang memang sudah sejak tadi dipasang oleh jenderal yang berpengalaman itu di sekeliling tempat itu dan tempat itupun sudah terkurung rapat!
Jenderal Ciang dengan dikawal oleh Hui Song dan Sui Cin, kini berdiri di atas batu besar, berteriak dengan suara lantang, "Hentikan semua perkelahian di dalam! Semua penyerbu agar menyerah!"
Akan tetapi, para penjahat yang tadi menyerbu dan hendak membunuh jenderal itu, malah semakin mengamuk karena mereka merasa penasaran sekali bahwa rencana yang sudah mereka atur dengan rapi itu menemui kegagalan. Dan karena tempat itu penuh dengan orang-orang dunia persilatan, maka begitu terjadi pertempuran, orang-orang itupun banyak pula yang terseret dan berkelahi sendiri! Tentu saja orang-orang dari golongan sesat membantu rekan-rekan mereka tanpa mereka ketahui sebab-sebab perkelahian, dan orang-orang yang merasa dirinya pendekar atau yang menentang kaum sesat segera pula melawan mereka. Hal ini membuat tokoh-tokoh lihai seperti Cap-sha-kui itu memperoleh kesempatan banyak untuk merobohkan dan membunuh orang.
"Kalian sudah dikepung ratusan orang pasukan! Kalau tidak menyerah dan melempar senjata, akan diambil tindakan kekerasan!" Kembali terdengar suara jenderal itu.
Ketika para tokoh sesat yang mengamuk di dalam itu tidak mau juga mentaati perintahnya, Jenderal Ciang lalu mengeluarkan aba-aba memerintahkan pasukannya menyerbu ke dalam. Hui Song, Sui Cin, dan Siang Wi juga ikut menyerbu bersama pasukan karena Hui Song ingin menangkap hidup-hidup beberapa orang tokoh sesat untuk dijadikan saksi tentang pengkhianatan Liu Kim atau Liu-thaikam.
Ketika para perajurit menyerbu, suasana menjadi semakin kacau dan geger. Dan pada saat itu, terdengar suara melengking panjang dari luar tempat pesta yang berobah menjadi tempat pertempuran itu. Suara lengkingan panjang dari luar ini disusul oleh ledakan-ledakan benda yang dilempar dari luar. Begitu meledak, benda-benda yang dilempar dari luar itu mengeluarkan asap hitam yang tebal sehingga suasana menjadi semakin kacau.
"Cepat lolos dari atas...!" Terdengar teriakan suara yang nyaring, mengatasi suara kegaduhan itu. Mendengar seruan ini, enam orang tokoh Cap-sha-kui berloncatan naik ke atas atap yang sudah dibuka dari atas.
Hui Song, Sui Cin dan Siang Wi melihat pula hal ini dan melihat bahwa di atas berdiri bayangan dua orang, seorang kakek tinggi kurus bertongkat dan seorang pemuda tinggi tegap. Pemuda itulah yang membantu enam orang Cap-sha-kui lolos dengan menyambar tangan mereka dan menariknya ke atas setelah mereka itu berloncatan dan hampir tidak mencapai tempat yang amat tinggi itu. Apalagi atap itu adalah atap darurat terbuat dari bambu sehingga tidak begitu kuat dan ada bahayanya mereka akan terjeblos lagi ke bawah. Untung ada pemuda itu yang menyambut mereka dan menarik mereka keluar.
"Kejar...!" Hui Song yang merasa penasaran itu lalu berlompatan keluar diiringkan sumoinya dan Sui Cin dan dari luar mereka lalu berloncatan naik ke atas atap, Hui Song tidak begitu bodoh untuk menyusul naik dari lubang atap itu selagi musuh-musuh yang lihai itu berada di luar lubang karena tentu mereka itu akan mudah menyambutnya dengan serangan berbahaya.
Ketika tiga orang muda perkasa itu tiba di atas atap, sebagian dari tokoh-tokoh Cap-sha-kui berloncatan ke atas genteng rumah-rumah lain, sedangkan di atas atap itu masih terdapat kekek kurus, pemuda itu dan Kiu-bwe Coa-li bersama ketua Kui-san-kok dan isterinya.
"Penjahat-penjahat keji, kalian hendak lari ke mana?" Hui Song membentak dan segera menyerang ke arah pemuda tinggi tegap itu.
"Kau...? Kau seorang tokoh sesat...?" Sui Cin juga berseru ketika ia mengenal pemuda itu sebagai pemuda yang pernah menyelamatkannya dari malapetaka ketika ia akan diperkosa Sim Thian Bu. Akan tetapi ia hanya meloncat mendekat, tidak berani menyerang seperti yang dilakukan Hui Song.
Sementara itu, Siang Wi juga sudah mencabut sepasang pedangnya kembali dan menyerang Kiu-bwe Coa-li. "Sing-... singg... tarrr...!" Sepasang pedang yang menyambar-nyambar itu tertahan oleh ledakan pecut ekor sembilan di tangan nenek ular yang lihai itu.
Sementara itu, pemuda yang ternyata adalah Siangkoan Ci Kang, menyambut serangan Hui Song dengan tenang, menangkisnya dari samping.
"Dukk!" Tangkisan itu tepat menyambut pukulan Hui Song dan akibatnya, keduanya terjeblos ke dalam atap yang menjadi jebol di bawah kaki mereka! Hui Song terkejut bukan main dan cepat melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali baru dia dapat mencegah tubuhnya terjatuh ke bawah, ke dalam ruangan di mana masih terjadi pertempuran. Dan ketika Siangkoan Ci Kang terjeblos dan tubuhnya terjatuh ke bawah, tiba-tiba saja kakek tinggi kurus itu menggerakkan tongkatnya dan tongkat itu dapat mengait kaki pemuda itu dan menempelnya sehingga pemuda itu terhindar dari jatuh ke bawah.
Bukan main cepatnya gerakan kakek tinggi kurus itu ketika tiba-tiba dia menggerakkan tongkat lagi. Tongkatnya menyelonong di antara Kiu-bwe Coa-li dan Siang Wi dan ketika sebatang pedang di tangan kiri Siang Wi bertemu tongkat, gadis ini berteriak kaget karena ada getaran hebat membuat tangannya hampir saja melepaskan pedang. Terpaksa iapun melangkah mundur dan kesempatan ini dipergunakan oleh kakek itu untuk berseru, "Kita pergi!"
Hui Song menahan napas dan tidak mau mengejar ketika melihat kakek tinggi kurus, pemuda perkasa, Kiu-bwe Coa-li dan sepasang suami isteri Kui-san-kok itu berloncatan pergi. Dia tahu betapa lihainya mereka itu, terutama pemuda dan kakek tinggi kurus. Mereka berdua itu ditambah tiga orang tokoh Cap-sha-kui sungguh merupakan lawan yang terlalu berat bagi dia, Sui Cin dan Siang Wi. Juga Sui Cin diam saja karena ia masih tertegun melihat betapa pemuda yang pernah menyelamatkannya itu ternyata adalah seorang tokoh sesat dan agaknya tepat seperti yang pernah diceritakan Hui Song kepadanya. Kakek tinggi kurus yang matanya terbuka tanpa berkedip itu tentulah yang bernama Siangkoan Lo-jin alias Si Iblis Buta dan pemuda itu tentulah puteranya.
Akan tetapi Siang Wi yang sudah hilang kagetnya, melihat mereka melarikan diri, segera berseru, "Iblis-iblis busuk, kalian hendak lari ke mana?" Dan iapun meloncat ke depan dan melakukan pengejaran.
"Sumoi, jangan kejar...!" Hui Song berseru sambil meloncat ke depan untuk mencegah sumoinya. Mendengar suara suhengnya yang setengah membentak, Siang Wi terkejut dan menahan kakinya. Pada saat itu, serombongan perajurit yang berada di bawah melepaskan anak panah ke arah para penjahat yang melarikan diri. Akan tetapi, mereka itu hanya mengebutkan tangan dan semua anak panah runtuh ke bawah! Sebentar saja, para penjahat itu telah berhasil meloloskan diri. Dengan bantuan pemuda itu dan ayahnya yang buta, kembali enam orang tokoh Cap-sha-kui dapat lolos dari kepungan pasukan yang kuat!
Hui Song merasa kecewa, akan tetapi dia teringat bahwa di bawah masih terdapat banyak penjahat, terutama orang-orang Hwa-i Kai-pang yang menyamar. Merekapun dapat dijadikan saksi, pikirnya, maka dia lalu mengajak Sui Cin dan Siang Wi untuk kembali ke dalam ruangan di mana masih terjadi pertempuran hebat.
Akan tetapi, tanpa adanya para tokoh Cap-sha-kui, akhirnya para penjahat itu dapat dirobohkan dan ditangkap. Sui Cin, Hui Song dan Siang Wi masing-masing berhasil menangkap seorang penjahat anggauta Hwa-i Kai-pang, bahkan Hui Song menotok roboh Bhe Hok, tokoh Hwa-i Kai-pang gendut bertongkat yang cukup lihai itu. Sui Cin juga menampar seorang anggauta Hwa-i Kai-pang sehingga roboh pingsan dan Siang Wi yang berpedang itu merobohkan seorang tokoh sesat dengan membacok pahanya sampai hampir buntung.
Jenderal Ciang memerintahkan agar semua tawanan itu dikumpulkan untuk dibawa ke kota raja. Gerobak-gerobak tawanan dipersiapkan dan semua tawanan, kecuali Bhe Hok si gendut, dijebloskan ke dalam gerobak-gerobak kerangkeng dengan dibelenggu kaki tangan mereka. Hui Song yang menemui Jenderal Ciang dan minta agar tawanan yang satu ini tidak dimasukkan gerobak kerangkeng, melainkan hendak dikawalnya sendiri ke kota raja. Usul ini timbul dalam hati Hui Song ketika membayangkan kemungkinan tokoh sesat akan berusaha membebaskan para tawanan. Padahal, para tawanan itu merupakan saksi-saksi penting sekali, terutama Bhe Hok yang tahu akan semua persekutuan busuk di istana, seperti yang pernah dia dengar bersama Sui Cin ketika di gedung Hwa-i Kai-pang diadakan pertemuan dan percakapan antara para tokohnya, termasuk Bhe Hok itu.
"Sumoi, kalau engkau lebih dahulu pergi ke Cin-ling-san, tolong beritahukan ayah bahwa setelah selesai urusan di kota raja, aku akan pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah, baru akan pulang ke Cin-ling-san." Hui Song berkata kepada sumoinya. Wajah yang manis itu nampak semakin keruh dan matanya mengerling ke arah Sui Cin. Ia belum tahu siapa adanya dara yang bersama suhengnya ini, akan tetapi dari pertempuran tadi ia melihat bahwa Sui Cin adalah seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi pula.
"Akan tetapi, aku..." Ia merasa sungkan dan malu untuk menyatakan keinginannya agar dapat selalu bersama suhengnya.
"Engkau pergilah lebih dulu dan aku akan menyelesaikan tugas kami berdua yang sudah melibatkan diri kami sejak lama."
Kembali Siang Wi memandang kepada Sui Cin dengan alis berkerut. Hui Song cukup mengenal watak sumoinya dan ia kini tahu pula betapa hati sumoinya tidak senang karena dia melakukan perjalanan berdua dengan seorang gadis lain.
"Sumoi, engkau belum berkenalan. Nona ini adalah nona Ceng Sui Cin, puteri dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin."
Sepasang mata itu terbelalak, akan tetapi lalu menyipit kembali dan sang alisnya berkerut lebih dalam, wajahnya dibayangi kekhawatiran yang lebih besar. Kiranya gadis cantik dan lihai ini adalah puteri pendekar yang namanya sudah amat dikenalnya itu. Sungguh merupakan saingan yang amat kuat! Akan tetapi, sebagai murid isteri ketua Cin-ling-pai, iapun cukup tahu akan peraturan, maka cepat ia menjura ke arah Sui Cin.
"Kiranya enci adalah puteri Ceng-locianpwe yang terkenal itu. Maaf kalau aku bersikap kurang hormat karena belum mengenalmu."
Sui Cin tertawa geli dan mengibaskan tangannya. "Wah, sudahlah, di antara kita tidak perlu banyak memakai sungkan-sungkan lagi."
Hui Song juga tersenyum, lega melihat sikap Siang Wi yang menghormat dan geli melihat sikap wajar Sui Cin. Diapun tertawa. "Sumoi, nona Ceng ini baru berusia enam belas tahun, jadi, sebaiknya kalau engkau menyebutnya adik, bukan enci."
Setelah berpamit dari sumoinya dan juga dari Jenderal Ciang yang sibuk mengatur sendiri pasukannya membawa para tawanan, Hui Song lalu mengajak Sui Cin pergi sambil menggiring si gendut Bhe Hok pergi ke kota raja melalui jalan memotong. Sui Cin tetap menunggang kudanya, Bhe Hok berjalan di belakang kuda dan Hui Song berjalan di belakangnya. Sui Cin dan Hui Song tidak merasa khawatir kalau-kalau tawanan itu akan lari atau akan memberontak karena Hui Song sudah monotok jalan darah di kedua pundaknya yang membuat kedua lengan si gendut itu tidak dapat digerakkan lagi, tergantung lumpuh di kanan kiri tubuhnya.
Hui Song dan Sui Cin membawa tawanan itu ke markas Jenderal Ciang begitu mereka tiba di kota raja dengan selamat. Para perwira di markas itu sudah mengenal Hui Song, maka mereka menyambut pemuda itu dan dengan gembira mendengarkan penuturan Hui Song tentang peristiwa pertempuran di rumah Ang-kauwsu. Si gendut Bhe Hok dimasukkan delam kamar tahanan dan dijaga dengan ketat. Sesuai dengan permintaan Hui Song, si gendut yang menjadi tawanan penting ini diperlakukan dengan baik. Hui Song sendiri mengancam bahwa kalau si gendut tidak mau membuat pengakuan di depan kaisar nanti apabila dibutuhkan, dia akan disiksa. "Terutama, engkau akan dibiarkan kelaparan sampai satu bulan lamanya, akan tetapi kalau engkau mengaku, aku akan mintakan ampun untukmu, dan engkau akan mendapatkan makan enak, mungkin dibebaskan."
Tidak ada siksaan yang lebih menakutkan bagi si gendut Bhe Hok daripada kelaparan! Baginya, makan enak sekenyangnya merupakan kenikmatan nomor satu di dunia dan tanpa itu, hidup tidak ada artinya lagi. Maka, mendengar ancaman Hui Song itu, dia sudah mengangguk-angguk seperti burung kakak tua diberi hidangan.
Kemudian, tepat seperti yang sudah dikhawatirkan oleh Hui Song, datang berita mengejutkan bahwa pasukan Jenderal Ciang yang membawa rombongan tawanan menuju ke kota raja, di tengah perjalanan pada senja hari itu telah dihadang dan diserang oleh gerombolan penjahat, namun sebagian besar para tawanan dapat dibebaskan oleh para penyerang, sedangkan yang tidak dapat dibebaskan, telah kedapatan mati di dalam gerobak masing-masing! Tidak ada sisa seorangpun! Ternyata para penjahat yang lihai itu telah membunuh teman-teman sendiri yang tertawan, tentu dengan maksud agar tawanan-tawanan itu tidak sampai membocorkan rahasia. Rahasia besar bahwa Liu-thaikam yang berada di balik semua kejahatan ini!
Begitu memasuki benteng dengan wajah muram, Jenderal Ciang lalu menemui Hui Song dan hatinya menjadi lega mendengar bahwa Bhe Hok, satu-satunya tawanan yang tinggal, kini sudah aman berada di dalam kamar tahanan.
"Harus dijaga keras agar dia jangan sampai mendengar bahwa tidak ada tawanan lain kecuali dia, bahwa dialah satu-satunya saksi di depan sri baginda kaisar." kata jenderal itu kepada Hui Song. "Kalau dia mendengar akan nasib para tawanan yang tidak sempat dibebaskan, tentu dia akan ketakutan dan tidak mau mengaku."
Hui Song lalu mendatangi Bhe Hok. Dengan sikap tenang dan wajar dia menanyakan bagaimana perlakuan para penjaga tahanan terhadap dirinya. "Engkau adalah tawananku, maka akulah yang bertanggung jawab atas dirimu. Tawanan-tawanan lain yang ditawan oleh pasukan dipisahkan dan keadaan mereka tidaklah begitu menyenangkan dibandingkan dengan keadaanmu."
"Apakah... apakah Hwa-i Lo-eng juga... tertangkap?" Bhe Hok bertanya dengan penuh keinginan tahu.
Hui Song sudah mendengar berita mengejutkan lain bahwa ketua Hwa-i Kai-pang itu ternyata telah kedapatan tewas di dalam gedung perkumpulan itu, tidak lama setelah rombongan Jenderal Ciang tiba. Dan dia tahu apa artinya itu. Agaknya para tokoh jahat, tentu saja atas perintah Liu-thaikam, telah melakukan persiapan agar rahasianya tidak terbuka, dengan jalan membunuhi semua tawanan, juga ketua Hwa-i Kai-pang dibunuh agar pemerintah tidak akan menangkap dan memaksanya mengaku!
"Dia? Tentu saja dia ditangkap karena anak buahnya banyak yang terlibat. Akan tetapi, pemeriksaan akan dilakukan secara terpisah dan satu-satu. Maka engkau tidak perlu khawatir, mengakulah saja seperti apa adanya. Kalau engkau menyesali pengkhianatanmu dan mengaku terus terang tentang persekongkolan di bawah pimpinan Liu-thaikam, tentu engkau akan mendapat keringanan."
"Apa? Apa... Liu-thaikam...? Aku tidak... tidak mengerti..."
Hui Song tersenyum. "Ah, tidak perlu engkau berpura-pura lagi. Kami sudah mendengar semua tentang persekutuan itu, tentang bagaimana Hwa-i Kai-pang dipergunakan oleh Liu-thaikam, juga tentang Cap-sha-kui menjadi antek-antek pembesar itu di bawah pimpinan seorang datuk yang bernama Siangkoan Lo-jin berjuluk Iblis Buta. Kami sudah tahu semua, dan engkau hanya tinggal membuat pengakuan saja sejujurnya. Ingat, kalau engkau membohong dan tidak mau mengaku, kamipun sudah mengetahui persoalannya dan akibatnya engkau akan disiksa."
Bhe Hok mengangguk-angguk meyakinkan sehingga legalah hati Hui Song. Pengakuan si gendut ini di depan sri baginda kaisar berarti berhasilnya tugasnya membongkar persekutuan jahat di dalam istana yang dikepalai oleh Liu-thaikam.
Sementara itu, Jenderal Ciang mengadakan hubungan dengan dua orang menteri yang pandai dan yang termasuk sebagai menteri-menteri setia yang juga dianggap sebagai saingan dan ditentang oleh Liu-thaikam. Mereka adalah Menteri Ting Hoo dan Cang Ku Ceng. Di dalam sejarah tercatat bahwa dua orang menteri ini kelak akan menjadi pembantu-pembantu yang amat setia dan pandai dari Kaisar Cia Ceng pengganti Kaisar Ceng Tek. Jenderal Ciang mengadakan perundingan dengan dua orang menteri ini dan pada keesokan harinya, dengan usaha kedua orang menteri ini, sri baginda kaisar berkenan menerima Jenderal Ciang yang diikuti pula oleh Menteri Liang dan kedua orang menteri Ting dan Cang itu.
Tentu saja sri baginda kaisar menjadi terkejut sekali ketika mendengar pelaporan Jenderal Ciang tentang persekutuan yang hendak membunuh Menteri Liang dan Jenderal Ciang apalagi ketika dengan terus terang jenderal itu mengatakan bahwa persekutuan itu dipimpin oleh Liu-thaikam sendiri!
"Mustahil!" Sri baginda kaisar berseru sambil menepuk lengan kursi. "Dia adalah seorang pembantuku yang paling setia. Dan apa sebabnya dia hendak membunuh kalian berdua? Tentu ada permusuhan pribadi!"
Ketika mendengar betapa kaisar agaknya malah berpihak kepada thaikam itu, Jenderal Ciang menjadi pucat wajahnya. Menteri Liang yang berlutut itu lalu berkata, "Mohon beribu ampun, sri baginda. Sesungguhnya, tidak terdapat permusuhan apapun antara hamba dan Liu-thaikam, akan tetapi sebenarnya dia menganggap hamba dan Jenderal Ciang dan banyak hamba paduka yang lain sebagai saingannya karena hamba sekalian tidak mau tunduk kepadanya. Itulah sebabnya mengapa dia hendak membunuh hamba."
"Dan sudah banyak pembesar dibunuhnya, sri baginda. Dia tidak segan-segan mempergunakan para penjahat sebagai antek-anteknya. Ketika hendak membunuh Menteri Liang dan hamba, dia malah memperalat datuk-datuk sesat seperti Cap-sha-kui, dan juga mempergunakan orang-orang Hwa-i Kai-pang yang juga ikut bersekongkol dan menjadi anteknya."
Alis Sri Baginda Kaisar Ceng Tek berkerut, hatinya tidak senang. "Jenderal Ciang, kami tahu bahwa engkau adalah seorang jenderal yang gagah dan setia, dan juga Menteri Liang adalah seorang menteri lama yang setia. Tahukah kalian betapa hebat dan berbahayanya semua cerita kalian ini? Kalau tidak benar, ini merupakan fitnah yang akan dapat membuat kalian terpaksa harus dihukum seberat-beratnya!"
"Hamba bersedia dihukum kalau pelaporan hamba tidak benar, sri baginda!" kata sang jenderal.
"Hamba juga bersedia menyerahkan nyawa kalau hamba menjatuhkan fitnah kepada siapapun juga," sambung Menteri Liang dengan suara tegas. Mulailah Kaisar Ceng Tek merasa bimbang. Sebetulnya, sudah lama banyak pembesar yang mencoba untuk menyadarkannya akan kepalsuan Liu-thaikam, akan tetapi karena thaikam itu selalu bersikap baik dan menyenangkan hatinya, juga karena tidak pernah ada bukti penyelewengannya, kaisar merasa terlalu sayang kepada pembantu itu untuk melakukan penyelidikan secara mendalam. Pula, kaisar yang masih amat muda itu, baru sembilan belas tahun usianya, merasa banyak dibantu oleh Liu-thaikam. Sewaktu dia melakukan perjalanan keluar dari istana secara diam-diam, thaikam itulah yang membantunya, dan urusan dalam istana dapat diselesaikan semua oleh thaikam itu dengan baik, "Bagaimana kalian dapat memastikan bahwa laporan kalian ini bukan fitnah belaka?" kaisar mendesak.
"Penyerangan terhadap Menteri Liang di telaga disaksikan banyak orang, dan penyerangan terhadap hamba di dalam pesta Ang-kauwsu lebih banyak saksinya," jawab Jenderal Ciang.
"Kalian adalah pejabat-pejabat pemerintah. Tidak aneh kalau dimusuhi oleh kaum penjahat. Akan tetapi apa buktinya bahwa Liu-thaikam yang berdiri di belakang semua itu?"
Inilah pertanyaan yang dinanti-nanti o-leh Jenderal Ciang. Dengan suara lantang namun tetap hormat dia menjawab. "Sri baginda, hamba telah menangkapi sebagian dari para penjahat, akan tetapi ketika hamba menggiring para penjahat itu ke kota raja, di tengah perjalanan para datuk sesat menghadang, merampas tawanan dan membunuh mereka yang tidak dapat mereka rampas. Akan tetapi, masih ada seorang tokoh Hwa-i Kai-pang yang berhasil hamba bawa sebagai saksi. Kalau paduka berkenan, hamba dapat menyuruhnya membuat pengakuan di depan paduka." Jenderal itu berhenti sebentar, kemudian menyambung, "Selain itu, juga hamba dibantu oleh seorang pendekar muda yang pernah menyelamatkan paduka ketika paduka diserang oleh orang-orang Kang-jiu-pang, yaitu putera ketua Cin-ling-pai bersama seorang temannya, pendekar wanita Ceng Sui Cin."
"Hemm, bawa mereka semua menghadap!" Kaisar memerintah, Jenderal Ciang lalu memberi isyarat kepada para penjaga di luar dan tak lama kemudian muncul Hui Song dan Sui Cin mengiringkan Bhe Hok sebagai tawanan. Mereka menjatuhkan diri berlutut dan tubuh Bhe Hok gemetar ketakutan.
Jenderal Ciang memperkenalkan dua orang muda pendekar itu dan kaisar masih ingat kepada Hui Song yang gagah. "Hai, engkau orang muda yang gagah perkasa itu! Urusan apalagi yang membawamu terlibat dan kini dihadapkan di sini?" Kaisar menegur, suaranya ramah.
"Ampun, sri baginda. Hamba melihat persekutuan busuk mengancam para pembesar setia, dan kerena persekutuan itu membahayakan pula keselamatan paduka, maka hamba berdua nona Ceng ini membantu Jenderal Ciang untuk membuka rahasia ini dan menghaturkannya kepada paduka."
Kaisar teringat lagi akan tuduhan terhadap thaikam yang disayangnya, maka alisnya berkerut lagi, hatinya kesal dan diapun berkata kepada Jenderal Ciang. "Nah, suruhlah saksi bercerita. Awas, kalau dia berbohong, kalian semua takkan bebas dari hukuman!"
Ucapan kaisar itu untuk mengancam mereka yang memusuhi Liu-thaikam, akan tetapi malah membuat si gendut Bhe Hok semakin ketakutan dan tidak berani berbohong. Dia berlutut dan tidak berani berkutik sampai dihardik oleh Jenderal Ciang.
"Penjahat Bhe, lekas membuat pengakuan apa adanya dan jangan berbohong."
"Hamba... hamba bernama Bhe Hok dan hamba menjadi seorang di antara para pembantu Hwa-i Lo-eng ketua Hwa-i Kai-pang. Bersama rekan-rekan dari Cap-sha-kui, hamba menjadi anggauta kelompok yang dipimpin oleh Siangkoan Lo-jin dan hamba semua bekerja untuk Liu-taijin. Hamba menerima tugas untuk membantu tokoh-tokoh Cap-sha-kui, pertama-tama untuk membunuh Menteri Liang, kemudian membunuh Jenderal Ciang. Hamba membuat pengakuan sebenarnya, berani disumpah dan berani mempertanggungjawabkan kebenaran pengakuan hamba."
Wajah kaisar sudah menjadi merah sekali. Haruskah dia mempercaya pengakuan seorang penjahat macam ini? "Tangkap dan seret ketua Hwa-i Kai-pang ke sini!" bentaknya.
"Ampun sri baginda. Hwa-i Lo-eng telah dibunuh oleh tokoh-tokoh sesat, mungkin karena mereka takut kalau-kalau ketua Hwa-i Kai-pang itu akan membuat pengakuan dan membuka rahasia kejahatan Liu-thaikam."
"Hemm, kalau begitu tangkap dan bawa Liu-thaikam ke sini!" perintah kaisar.
"Hamba akan melaksanakan perintah paduka. Akan tetapi tanpa adanya leng-ki (bendera tanda utusan kaisar), tentu dia tidak akan percaya dan akan melawan."
"Nih, bawa tanda dari kami!" Berkata demikian kaisar muda itu melepaskan pedangnya dan menyerahkan pedang itu kepada Jenderal Ciang. Benda itu adalah pusaka tanda kekuasaan kaisar, maka tentu saja sudah merupakan bukti kekuasaan yang cukup. Dengan girang sekali Jenderal Ciang menerima pedang, kemudian membawa pasukan pengawal pergi menuju ke gedung tempat tinggal Liu-thaikam dan menangkapnya. Melihat pedang di tangan jenderal itu, Liu-thaikam tidak berkutik lagi dan dengan muka pucat tak lama kemudian dia sudah menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki kaisar.
"Mohon paduka sudi mengampuni semua kesalahan hamba, akan tetapi sungguh hamba merasa terkejut sekali menerima panggilan paduka seperti ini. Apakah yang telah terjadi? Apakah yang dapat hamba lakukan untuk paduka?" Thaikam kami itu hanya pura-pura saja tentunya. Dia sudah mendengar akan semua yang telah terjadi, akan kegagalan-kegagalan para anteknya dan dialah yang memerintahkan agar semua tokoh Hwa-i Kai-pang dibunuh, dan para tawanan yang tidak sempat dibebaskan juga dibunuh. Biarpun demikian, hatinya masih selalu dalam keadaan was-was maka dia sudah bersiap untuk melarikan diri, walaupun dia masih percaya akan pengaruhnya terhadap kaisar. Kedatangan Jenderal Ciang yang menangkapnya sama sekali tidak disangkanya.
"Orang she Liu, apakah yang telah kaulakukan selama ini? Mengapa engkau memperalat orang-orang jahat dan menyuruh orang-orang jahat mencoba untuk membunuh Menteri Liang dan Jenderal Ciang?" Kaisar membentak.
Dengan mimik muka yang pandai, thaikam itu terbelalak dan memprotes dengan sikap wajar orang yang merasa difitnah. "Ampun, sri baginda! Itu sama sekali tidak benar! Hamba telah difitnah orang! Banyak sekali orang yang merasa iri dan ingin menjatuhkan hamba karena paduka telah melimpahkan kepercayaan yang besar kepada hamba. Ini merupakan fitnah penasaran! Hamba berani bersumpah bahwa hamba setia terhadap paduka sampai mati!"
"Hemm, setia dan memelihara penjahat-penjahat sebagai kaki tanganmu?"
"Tidak, sama sekali tidak benar. Hamba bersumpah..."
"Apakah persekutuan penjahat-penjahat Hwa-i Kai-pang dan Cap-sha-kui yang dipimpin oleh datuk bernama Siangkoan Lo-jin itu bukan antek-antekmu?"
"Tidak, hamba sama sekali tidak pernah mendengar nama-nama itu, hamba tidak mengenalnya. Memang hamba merasa tidak suka kepada Menteri Liang dan Jenderal Ciang karena hamba melihat bahwa mereka itu menentang paduka, tidak taat..."
Kaisar menghardiknya dan berkata kepada Bhe Hok. "Hai, kamu! Katakan apakah ini orangnya yang memimpin seluruh persekutuan busuk itu!"
Bhe Hok memandang kepada Liu-thaikam dengan muka pucat. Tadi dia mendengar betapa Hwa-i Lo-eng sudah dibunuh dan sekarang tinggal dia agaknya yang harus berani menjadi saksi. Akan tetapi dia tadi sudah mengucapkan pengakuannya, tidak mungkin mengingkarinya kembali, maka diapun berkata dengan suara gemetar, "Benar, sri baginda. Dia adalah Liu-taijin yang dibantu oleh kelompok hamba semua..."
Liu-thaikam menengok dan begitu melihat wajah Bhe Hok, dia terkejut dan marah bukan main. "Kau... kau...!" Bentaknya sambil menudingkan telunjuknya. "Engkau pengkhianat busuk! Berani engkau membawa-bawa namaku di sini? Akan kusuruh cincang hancur kepalamu..."
"Cukup!" Kaisar membentak. "Tangkap pengkhianat ini dan seret ke pengadilan tinggi!"
Para pengawal maju dan menangkap Liu-thaikam yang berteriak-teriak dan meronta-ronta, memaki-maki Bhe Hok, Menteri Liang, Jenderal Ciang dan akhirnya memaki-maki kaisar pula sehingga para pengawal membungkam mulutnya dan menyeretnya keluar.
Dengan wajah murung lalu mengucapkan terima kasihnya kepada Jenderal Ciang, Menteri Liang, juga kepada Hui Song dan Sui Cin, kemudian kaisar membubarkan persidangan darurat itu.
Pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada Liu-thaikam dan ketika diadakan pemeriksaan dan penggeledahan, kaisar sendiri tertegun melihat tumpukan harta hasil korupsi dan penindasan yang dilakukan bekas pembantunya yang tadinya amat disayang dan dipercayanya itu. Harta benda yang ditumpuk oleh Liu Kim atau Liu-thaikam itu sungguh amat besar jumlahnya. Menurut catatan sejarah, emas dan perak yang didapatkan sebanyak 251.583.600 tail, batu permata sebanyak sepuluh kilo lebih, dua stel pakaian perang dari emas, 500 piring emas, 300 pasang gelang dan cincin emas, 4000 ikat pinggang emas permata. Dan istananya di kota raja bahkan melebihi kemewahan istana kaisar sendiri! Memang luar biasa sekali penumpukan harta yang dilakukan oleh Liu-thaikam melalui korupsi dan penindasannya itu. Tiada keduanya dalam sejarah. Kerakusannya dalam hal menumpuk harta sukar dicari bandingannya dan menjadi buah bibir rakyat sampai sepanjang sejarah. Padahal, sebelum menjadi thaikam, Liu Kim adalah seorang anak dari keluarga yang miskin dan rendah.
Setelah komplotan itu berhasil dibongkar, barulah Kaisar Ceng Tek menjadi panik dan kaisar ini lalu melakukan pembersihan di antara para pejabat tinggi. Juga dia memerintahkan Jenderal Ciang untuk mengerahkan pasukan membasmi para penjahat yang tadinya menjadi antek Liu-thaikam. Hwa-i Kai-pang diserbu, para anggautanya ditangkap dan dihukum, gedungnya dirampas pemerintah. Akan tetapi tidak mudah bagi Jenderal Ciang untuk dapat mencari tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang bergerak seperti setan. Dengan tertangkapnya Liu-thaikam dan hancurnya komplotan itu, berulah pemerintahan Kaisar Ceng Tek yang muda itu menjadi bersih dan barulah kaisar muda itu mulai memperhatikan roda pemerintahan.
Pemuda itu menangis sampai tersedu-sedu sambil berlutut. Dia mengepal tinju dan ingin dia meraung-raung, akan tetapi ditahannya sehingga dia hanya tersedu dan terisak. Laki-laki setengah tua yang duduk bersila di depannya membuka mata memandang dan menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara halus namun mengandung wibawa.
"Hentikan tangismu, hapus air matamu. Tidak layak membiarkan perasaan dipengaruhi pikiran menimbulkan kelemahan. Tidak ada gunanya semua itu."
Pemuda itu berhenti terisak dan mengusap air matanya dengan ujung lengan baju, lalu dia memandang wajah ayahnya dengan sinar mata penuh tanya dan penasaran. Pemuda itu adalah Cia Sun, sedangkan yang bersila di depannya adalah ayahnya, Cia Han Tiong. Baru saja Cia Sun pulang ke Lembah Naga setelah melakukan perantauan ke selatan. Ketika pagi hari itu dia tiba di lembah, dia merasa heran mengapa keadaan demikian sunyinya dan mengapa pula pandang mata para petani gunung kepadanya demikian ganjil dan penuh rasa iba. Hatinya merasa tidak enak dan dia menghampiri seorang kakek petani dan bertanya mengapa mereka memandangnya seperti itu.
"Kakek Phoa, aku adalah Cia Sun, apakah kakek dan saudara sekalian telah lupa? Ha-ha, baru saja aku pergi merantau setahun dan kalian memandangku seperti aku ini orang asing bagi kalian."
Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat beberapa orang petani wanita menangis dan pergi meninggalkannya. Juga kakek itu memandang kepadanya dengan mata basah air mata.
"Kakek Phoa, apakah yang telah terjadi?" Dia memegang lengan kakek itu dan bertanya dengan mata terbelalak, hatinya gelisah sekali.
Dan kakek itulah yang bercerita. Betapa orang tuanya didatangi penjahat, betapa banyak murid Pek-liong-pai tewas oleh para penjahat, juga ibunya tewas. Ibunya! Tewas di tangan orang jahat! Mendengar ibunya tewas, Cia Sun tidak menanti sampai kakek itu melanjutkan ceritanya. Dia sudah meloncat dan lari menuju ke pondok orang tuanya. Didapatkannya rumah itu sunyi dan kotor dan ketika dia masuk, ayahnya duduk bersila di dalam kamar. Ayahnya nampak menjadi tua dan kurus. Maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis sampai ayahnya menyuruhnya berhenti menangis.
"Ayah, siapakah yang membunuh ibu?" Hanya itu yang dapat dikatakan setelah tangisnya dihentikannya.
Ayahnya tidak menjawab, hanya memandang kepadanya. Sejenak ayah dan anak ini saling pandang.
"Anakku, apakah maksudmu dengan pertanyaan itu? Hanya sekedar ingin tahu, apakah di baliknya tersembunyi dendam sakit hati?"
Cia Sun sudah mengenal watak ayahnya, bahkan sejak kecil dia bukan hanya digembleng ilmu silat dan sastera, akan tetapi juga tentang filsafat kehidupan. Akan tetapi pada saat itu hatinya terlampau sakit dan sedih mendengar bahwa ibunya tewas oleh musuh, maka dia tidak mampu lagi mengendalikan perasaannya.
"Akan tetapi, ayah. Sebagai seorang anak, aku mendengar bahwa ibuku dibunuh orang. Apakah aku harus diam saja menerima nasib? Lalu menjadi anak macam apakah aku ini? Mana kebaktianku terhadap ibu kandungku, ayah?"
"Hemm, dengan lain kata-kata, engkau menanyakan pembunuh ibumu untuk dapat mencarinya lalu membalas dendam, membunuhnya untuk membalas sakit hatimu?"
"Bukankah hal itu sudah wajar saja, ayah? Kalau sebagai anak ibu aku tidak mencari pembunuhnya dan membalas sakit hatinya, apakah ibu tidak akan menjadi setan penasaran?"
"Cia Sun!" Ayahnya membentak dan dalam suara pendekar ini terkandung wibawa yang kuat. Nadanya bukan kemarahan, melainkan memperingatkan dan tegas sekali. "Dengarlah baik-baik, buang dulu semua nafsu yang memenuhi batinmu. Cia Sun, bukalah mata dan lihatlah. Apakah engkau mengira bahwa ibumu yang telah meninggal dunia itu kini menjadi setan penasaran yang haus darah, yang akan menyeringai kegirangan melihat anak kandungnya menjadi pembunuh? Serendah itukah engkau menilai ibumu?"
Tentu saja Cia Sun terkejut sekali dan dia mengangkat muka memandang wajah ayahnya dengan mata terbelalak. "Tidak...! Tentu saja tidak! Bukan begitu maksudku, ayah!"
"Kalau bukan begitu maksudmu, maka jangan membawa-bawa nama ibumu jika engkau berniat membunuh orang! Apa yang akan kaulakukan itu tidak ada sangkut-pautnya dengan ibumu, melainkan keluar dari gejolak batinmu yang diracuni dendam kebencian! Engkau hanya akan menodai dan mengotorkan jiwa ibumu kalau engkau menyeret ibumu ke dalam alam pikiranmu yang penuh dendam kebencian itu."
Getaran dalam suara ayahnya meredakan kemarahan yang tadi berkobar di dalam batin Cia Sun. Sejenak dia termenung, diam-diam mengakui bahwa memang kemarahannya itu timbul karena dia merasa kehilangan ibunya yang tercinta, jadi dialah yang sakit hati, dialah yang mendendam karena orang merenggutkan sesuatu yang mendatangkan rasa senang di hatinya.
"Baiklah, ayah. Akan kucoba untuk mengerti apa yang ayah maksudkan. Akan tetapi apakah yang telah terjadi? Apakah kesalahan ibu maka ia sampai dibunuh orang?"
Cia Han Tiong menarik napas panjang. "Dendam... dendam... balas-membalas, baik membalas budi maupun membalas sakit hati, dendam dan kebencian telah mengotorkan batin manusia dan membuat dunia menjadi sekeruh ini. Mereka datang karena dendam kepada keluarga kita, dendam kepada kakekmu dan kamilah yang menerima akibatnya. Mereka datang menyebar maut karena dendam, ibumu dan belasan orang muridku menjadi korban. Nah, bagaimana pendapatmu tentang mereka itu, anakku? Bukankah mereka itu merupakan orang-orang tersesat yang mabok dendam kebencian yang hanya ingin memuaskan nafsu kebencian hati mereka saja dengan melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang sama sekali tidak mereka kenal?"
Cia Sun mengepal tinju dan mengangguk. "Mereka itu orang-orang jahat!" jawabnya.
"Bagus!" kata ayahnya. "Dan sekarang engkaupun ingin menjadi seperti mereka, hendak mencari orang-orang yang tidak kaukenal untuk kaubunuh hanya untuk memuaskan nafsu kebencianmu?"
Cia Sun terkejut, tak mengira bahwa ke situ maksud ayahnya. "Tapi, ibu telah mereka bunuh, juga para suheng!"
"Rasa penasaran dalam pemikiran seperti itulah yang menimbulkan dendam mendendam dan bunuh-membunuh, menciptakan lingkaran setan dari mata rantai karma. Apakah engkau menghendaki dirimu terikat oleh rantai itu, sampai ke cucumu, terbelenggu rantai karma, terus-menerus dicekam dendam balas-membelas tiada akhirnya? Mata rantai itu kini berada di tanganmu, mau kaupatahkan ataukah mau kausambung, terserah kepadamu. Kalau engkau hendak menyambungnya, engkau mendendam, mencari pembunuh ibu dan para suhengmu, kemudian engkau membunuh mereka. Apakah kaukira sudah selesai sampai di situ saja? Kalau murid atau keturunan mereka mempunyai batin yang sama denganmu, merekapun akan mendendam dan akhirnya mencarimu untuk membalas dendam kepada muridmu atau keturunanmu. Terus-menerus begitu, tiada habisnya. Sebaliknya, kalau engkau hendak membebaskan diri dari lingkaran setan karma itu, engkau diam dan menghapus dendam sekarang juga dan rantai belenggu itupun patah."
Cia Sun termenung, lalu menarik napas panjang. "Ayah, dari ajaran ayah yang lalu, aku dapat mengerti akan penjelasan ayah tadi. Akan tetapi bagaimanapun juga, aku yang masih muda ini, hanyalah seorang manusia biasa ayah, yang tidak terlepas dari perasaan senang susah malu marah dan takut. Menghadapi kematian ibu dan para suheng seperti ini, melihat orang-orang menyebar maut di dalam keluarga kita, bagaimana mungkin aku melupakannya dan mendiamkannya begitu saja?"
"Andaikata engkau berada di sini ketika peristiwa itu terjadi dan engkau membela ibumu dan suheng-suhengmu, seperti yang kulakukan juga, hal itu adalah wajar. Akan tetapi, menanam kebencian dalam hati merupakan racun bagi batin sendiri, anakku."
"Biarkan aku melihat kenyataan yang tumbuh dalam batin sendiri, ayah. Harap ayah suka menceritakan bagaimana peristiwa ini dapat terjadi, bagaimana asal mulanya."
"Mereka yang datang menyerbu itu berjuluk Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. Mereka adalah cucu murid dari mendiang mendiang Hek-hiat Mo-li, seorang datuk sesat yang dahulu tewas di tangan kakekmu. Mereka berdua datang jauh dari negeri Sailan untuk mencari mendiang ayah Cia Sin Liong, untuk membalas den-dam. Akan tetapi karena ayah yang mereka cari-cari telah meninggal dunia, mereka lalu menimpakan dendam mereka kepada keturunan ayah yaitu aku seke-luarga. Dan dalam perkelahian itu, para suhengmu dan ibumu jatuh sebagai kor-ban dan tewas."
"Dan kedua iblis itu?"
"Mereka telah pergi dalam keadaan luka."
"Tapi kenapa mereka tidak membunuh ayah? Bukankah ayah merupakan musuh utama, sebagai putera kong-kong? Mengapa mereka hanya membunuh ibu dan para suheng, dan melepaskan ayah?"
Cia Han Tiong menghela napas. "Mereka tidak mampu melakukan hal itu karena mereka terluka olehku dan tidak mampu melawan lagi."
Cia Sun memandang dengan mata terbelalak. "Ayah telah mengalahkan mereka?"
Ayahnya mengangguk. "Mereka itu lihai bukan main akan tetapi aku berhasil mengalahkan mereka."
"Dan melukai mereka?"
"Kalau mereka kalah dan terluka... bagaimana mereka dapat lolos dan pergi dari sini?"
"Aku telah melepaskan mereka dan membiarkan mereka pergi."
"Apa?" Cia Sun terlonjak berdiri, memandang kepada ayahnya dengan muka pucat. "Ayah telah mengalahkan dan melukai mereka, akan tetapi ayah... membiarkan mereka pergi begitu saja selagi jenazah ibu dan para suheng masih menggeletak di depan kaki ayah?"
Ayahnya mengangguk. "Aku sendiripun hanya seorang manusia biasa, anakku, dan akupun tidak luput daripada nafsu amarah dan sakit hati. Akan tetapi aku melihat dengan jelas betapa aku sekeluarge akan terperosok semakin dalam kalau aku menuruti nafsu kebencian, maka aku sengaja membiarkan mereka pergi."
"Dan dengan perbuatan itu ayah merasa yakin bahwa ikatan dendam itu akan putus? Bagaimana kalau dua iblis itu masih penasaran karena ayah dan aku masih belum tewas dan mereka berusaha untuk membunuh kita? Apakah kitapun harus diam saja menyerahkan nyawa untuk dibunuh?" Dalam pertanyaan pemuda ini masih terkandung rasa penasaran yang amat besar.
Mendengar pertanyaan puteranya itu, Cia Han Tiong menahan senyum, menghela napas dan menggeleng kepala. "Aku percaya bahwa merekapun telah insyaf akan kebodohan mereka dan merasa menyesal sekali. Dan andaikata benar seperti yang kaukatakan tadi, andaikata mereka itu pada suatu hari datang dan berusaha untuk menyerang dan membunuh kita tentu saja kita akan melawan mereka."
"Hemm, bukankah itu sama saja namanya, ayah? Kitapun akan menggunakan kekerasan apabila diserang dan kalau mereka itu lihai, berarti mereka atau kita yang akan tewas dalam perkelahian itu?"
"Tidak, anakku. Hal itu sudah menjadi berbeda dan lain lagi. Kalau kita diserang orang, berarti kita terancam bahaya dan sudah menjadi hak dan kewajiban kita untuk melindungi dan membela diri berusaha melepaskan diri daripada ancaman bahaya. Dalam pembelaan diri ini tidak terkandung kebencian."
Han Tiong menatap tajam wajah puteranya dan merasa prihatin karena dia dapat melihat betapa rasa penasaran yang amat besar mencekam hati puteranya dan bahwa dendam masih meracuni hati puteranya.
"Ingat, anakku. Kegagahan sejati berarti mengalahkan cengkeraman hawa nafsu diri sendiri yang meracuni batin. Tidak ada orang lain yang akan dapat membersihkan batin sendiri dari cengkeraman beracun nafsu dendam kalau bukan kewaspadaan dan kesadaran sendiri."
Cia Sun tidak membantah lagi, akan tetapi dia masih merasa penasaran dan untuk melapangkan hatinya, dia lalu barpamit dan meninggalkan ayahnya untuk menghirup udara segar di luar rumah yang kini kehilangan keindahan dan daya tariknya baginya itu. Dia pergi ke kuburan ibunya dan di depan kuburan yang masih baru itu dia tidak dapat menahan lagi kesedihannya dan menangislah pemuda yang biasanya tabah ini tersedu-sedu. Mengingat betapa ibunya masih segar bugar dan bergembira ketika dia meninggalkannya setahun yang lalu dan kini telah tiada, apalagi mengingat betapa ibunya yang dianggapnya sebagai seorang wanita paling lembut, paling baik dan paling mulia di dunia ini tewas terbunuh oleh orang jahat, hatinya terasa sakit sekali dan dendam semakin tumbuh dalam hatinya.
Memang, kedukaan, kemarahan yang menimbulkan kebencian, semua itu muncul dalam batin apabila pikiran mengingat-ingat segala hal yang telah lewat, menghidupkan segala peristiwa dan pengalaman yang lalu itu dalam ingatan, memperbesar rasa iba diri melalui penonjolan si aku yang dibikin susah atau tidak disenangkan. Makin mendalam pikiran mengingat-ingat, makin berkobarlah nafsu kedukaan dan amarah, membuat kebencian menjadi semakin subur pula. Kebencian timbul dari ingatan. Kebencian adalah ingatan itu sendiri yang disalahgunakan oleh si aku. Tanpa adanya ingatan, tanpa adanya si aku yang mengingat-ingat, takkan ada kebencian.
Sampai hari berganti malam, Cia Sun belum meninggalkan makam ibunya dan para suhengnya yang tewas dalam tangan musuh. Dia duduk bersila, tidak menangis lagi akan tetapi hatinya diliputi penuh duka dan dendam. Makin dia membayangkan kehidupan yang lalu di samping ibunya, makin dia mengingat akan kematian orang yang disayangnya, semakin besar pula penderitaan batinnya. Dia tidah tahu bahwa sore tadi ayahnya menjenguknya dan memandangya dari jauh tanpa mengganggunya. Orang tua itu hanya memandang dengan sinar mata terharu, kemudian Cia Han Tiong meninggalkan puteranya, kembali ke dalam kamarnya di mana diapun duduk bersamadhi dengan tenang. Dia harus membiarkan puteranya itu sadar sendiri dan dia dapat menduga bahwa pada saat itu sedang terjadi perang batin dalam diri puteranya.
Malam itu langit tak berbintang, akan tetapi bulan purnama menerangi permukaan bumi dengan cahayanya yang lembut. Cia Sun masih tetap duduk di depan makam ibunya. Hatinya terasa seperti ditusuk ketika secara tiba-tiba dia teringat akan Sui Cin, gadis yang telah menjatuhkan hatinya, membuatnya mengalami perasaan cinta untuk pertama kali dalam hidupnya. Ketika dia melakukan perjalanan pulang, sudah terkandung rencana dalam hatinya bahwa ibunya akan merupakan orang pertama yang akan diberi tahu tentang rahasia hatinya itu. Dia hendak menceritakan tentang Sui Cin kepada ibunya dan minta nasihat ibunya, bahkan mengharapkan ibunya akan dapat mengatur dan menyampaikan kepada ayahnya tentang hasrat hatinya terhadap puteri Pendekar Sadis. Dia percaya bahwa ayah ibunya akan merasa girang dan akan menyetujui kalau dia minta dilamarkan Sui Cin. Bukankah di antara ayahnya dan Pendekar Sadis terdapat pertalian batin yang amat erat? Teringat akan semua itu, hatinya menjadi hancur. Kini ibunya telah tiada dan dia merasa malu kalau harus bicara tentang gadis itu kepada ayahnya. Dengan kematian ibunya, dia kehilangan banyak sekali.
Selagi Cia Sun tenggelam ke dalam lamunannya sendiri, tiba-tiba terdengar suara orang di belakangnya, "Uh-uhh, membiarkan diri tenggelam dalam duka hanya dilakukan oleh orang-orang lemah. Kalau seorang pemuda selemah ini batinnya, tidak dapat diharapkan lagi!"
Cia Sun melompat berdiri sambil membalikkan tubuhnya. Dia terkejut sekali mendengar suara orang itu dan kini dia terbelalak memandang kepada seorang kakek yang tahu-tahu telah berdiri di depannya. Seorang kakek yang menyeramkan, dengan tubuhnya yang tinggi besar, mukanya hitam penuh cambang bauk dan matanya melotot galak, pakaiannya jubah pendeta yang nampak bersih bahkan mewah, sepatunya baru mengkilap. Diam-diam Cia Sun merasa heran melihat betapa kakek tinggi besar ini tahu-tahu berada di belakangnya tanpa dia mendengar sama sekali. Hal ini saja membuktikan bahwa tentu kakek ini memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi keheranannya tidak mengurangi kemarahannya. Hatinya sedang dipenuhi kemarahan dan dendam, maka kemunculan orang asing yang begitu saja mencelanya membuat pandang mata pemuda ini mengandung api berkilat.
"Iblis dari mana berani datang mengganggu ketenteramku?" bentaknya marah.
"Ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa mengejek. "Kiranya masih ada juga sisa api dalam hatimu. Siapa mengganggu ketenteramanmu? Hatimu jelas tidak tenteram. Apakah kalau engkau menangis seperti itu yang mati akan dapat bangkit kembali? Biar engkau menangis sampai mengeluarkan air mata darah sekalipun, ibumu tetap saja akan tinggal di dalam kuburnya, tidak akan dapat bangkit hidup kembali, ha-ha-ha!"
Tentu saja Cia Sun menjadi marah mendengar kata-kata yang kasar dan nadanya mengejek ini. Andaikata dia tidak sedang diracuni kemarahan dan kebencian, tentu kata-kata ini masih dapat diterimanya. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ucapan kakek ini membuatnya marah sekali.
"Orang asing, pergilah dan jangan ganggu aku. Apa hubunganmu dengan urusan kematian ibuku?"
"Ha-ha, engkau belum tahu siapa pembunuh ibumu, hanya mendengar nama saja. Siapa tahu pembunuhnya itu adalah orang macam aku, ha-ha!"
Cia Sun terbelalak. Menurut ayahnya, pembunuh ibunya ada dua orang yang berjuluk Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. "Apakah engkau berjuluk Hek-hiat Lo-mo?" tanyanya dengan suara membentak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar