08 Asmara Berdarah

"Wuuuttt...! Ayaaaa... aduuuhh...!" Kiu-bwe Coa-li berteriak kesakitan. Tali pancing yang panjang itu menangkis dan membelit cambuk, membuat sembilan ekor cambuk itu lumpuh dan ujung tali kail masih menyambar dan mengait pangkal lengan kiri nenek iblis itu, masuk ke dalam daging tua! Bukan main nyerinya, kiut-miut rasanya dan nenek itu cepat mencengkeram dan membikin putus tali pancing sehingga mata kail itu tertinggal di daging pangkal lengannya. Pembesar itu sudah bangkit berdiri dan membalikkan tubuh. Kiranya dia seorang pemuda tampan yang tertawa gembira, dengan nada mengejek.

"Wah, tak kusangka pancingku mendapat seekor ikan siluman ekor sembilan!"

Kiu-bwe Coa-li memandang dengan mata mendelik dan kemarahannya memuncak ketika ia melihat bahwa orang yang memakai pakaian pembesar ini adalah seorang pemuda, sama sekali bukan Menteri Kebudayaan Liang. Ia dan teman-temannya telah tertipu dan terjebak. Ada orang yang sengaja menyamar dan menggantikan pembesar itu untuk menyambut serangan mereka.

"Kita tertipu!" teriaknya mengingatkan dua orang kawannya. "Dia bukan Menteri Liang!" Kemudian ia menggerakkan senjatanya dan menyerang pemuda itu dengan ganas.

Pemuda itu adalah Hui Song. Seperti kita ketahui, pemuda ini membagi tugas dengan Sui Cin. Dia sendiri mengunjungi Menteri Liang dan melaporkan bahaya yang mengancam keselamatan menteri itu. Lalu diatur jebakan. Hui Song menyamar dan menggantikan sang menteri dalam kereta menuju ke perahu di telaga, dikawal oleh enam orang jagoan yang menyamar sebagai perajurit-perajurit biasa. Padahal mereka adalah perwira-perwira pilihan!

Akan tetapi enam orang pengawal itu masih kewalahan menghadapi amukan kakek dan nenek Kui-kok-pang, sedangkan Hui Song sendiri mendapat kenyataan betapa lihainya nenek bercambuk ekor sembilan ini. Dia dapat menduga bahwa nenek ini tentulah seorang tokoh Cap-sha-kui yang berjuluk Kiu-bwe Coa-li. Diam-diam dia harus mengakui kelihaian nenek ini. Masih untung mereka berkelahi di atas perahu, bukan di darat. Kabarnya nenek ini pandai memanggil dan mengerahkan ular-ular untuk mengeroyok lawan.

Kedua pihak yang berkelahi mengharapkan bantuan masing-masing. Para penyerbu tentu saja merasa heran sekali mengapa dua orang kawan yang boleh mereka andalkan itu tidak juga muncul. Mereka telah bertemu dengan Sim Thian Bu yang sudah berjanji membantu, bahkan pemuda cabul itu hendak melakukan pengamatan bersama seorang tokoh Hwa-i Kai-pang yang bernama Bhe Hok itu. Tentu saja para ibli Cap-sha-kui tidak tahu bahwa Bhe Hok tidak kuat menandingi Shan-tung Lo-kiam sehingga melarikan diri sedangkan Sim Thian Bu setelah memperoleh mangsa, lupa akan janjinya.

Di lain pihak, Hui Song juga terheran-heran mengapa pemuda jembel yang menjadi sahabatnya itu, Sui Cin, tak kunjung muncul untuk membantunya. Tiba-tiba terdengar suara yang-kim dan muncullah seorang kakek lihai yang bukan lain adalah Shan-tung Lo-kiam. Begitu naik ke atas perahu di mana sedang terjadi perkelahian itu, kakek ini segera membentu enam orang pengawal yang terdesak.

Melihat betapa para penjahat itu terjebak oleh seorang pemuda perkasa yang menyamar sebagai Menteri Liang yang dibantu oleh enam orang pengawal pilihan, kakek ini tertawa. "Ha-ha-ha! Para tokoh Cap-sha-kui terjebak seperti tiga ekor tikus dalam perangkap, ha-ha-ha." Dan diapun menggerakkan senjatanya yang sesungguhnya, yaitu sebatang pedang sedangkan yang-kim di tangan kirinya hanya dipergunakan sebagai perisai. Dan ternyata, sesuai dengan julukannya, yaitu Lo-kiam (Pedang Tua), begitu memainkan pedangnya, kakek ini memperlihatkan kelihaiannya.

Tiga orang tokoh Cap-sha-kui merasa terkejut bukan main melihat munculnya Shan-tung Lo-kiam yang sudah mereka ketahui kelihaiannya. Munculnya kakek ini tentu saja menambah kekuatan lawan dan membahayakan diri mereka. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara berdesir nyaring dan segera terasa getaran perahu disusul teriakan para anak buah perahu besar, "Perahu terbakar...!"

Hui Song, enam orang pengawal dan Shan-tung Lo-kiam terkejut melihat betapa ujung perahu terbakar. Mereka meloncat ke tepi dan melihat sebuah perahu kecil tak jauh dari situ. Ada dua orang yang berada di dalam perahu itu, seorang kakek kurus memegang tongkat dan seorang pemuda remaja yang berdiri tegak di atas perahu. Pemuda ini memegang sebuah busur dan dialah yang tadi melepaskan anak panah berapi yang membakar perahu besar.

Melihat peristiwa ini, tiga orang datuk Cap-sha-kui bergerak cepat. Merekapun meloncat meninggalkan lawan dan melihat perahu kecil itu mereka lalu berlompatan turun dari perahu besar menuju ke perahu kecil itu. Kui-kok Lo-mo dan Lo-bo dapat hinggap di atas perahu kecil itu. Perahu terguncang dan lompatan Kiu-bwe Coa-li tidak tepat. Nenek ini tentu terjatuh ke air kalau saja pemuda itu tidak cepat mengulur tangan kiri menyambar ujung baju si nenek dan sekali tarik dengan sentakan, tubuh nenek itu tertahan dan dapat turun ke atas perahu dengan selamat! Gerakan pemuda yang memegang busur ini sungguh cekatan dan amat kuatnya sehingga diam-diam Hui Song harus mengakui bahwa pemuda itu merupakan lawan yang amat tangguh.

Ketika para pengawal dan Hui Song hendak mengejar, tiba-tiba pemuda di atas perahu kecil itu kembali meluncurkan dua buah anak panah berapi yang tepat mengenai layar dan bilik perahu besar sehingga terjadi kebakaran besar. Sementara itu tiga orang tokoh Cap-sha-kui sudah bergerak mendayung perahu tanpa diperintah lagi sehingga perahu kecil itu meluncur pergi dengan cepatnya.

Terpaksa Hui Song, para pengawal dan Shan-tung Lo-kiam sibuk membantu para anak buah perahu memadamkan api dan membiarkan perahu kecil yang membawa lima orang sesat itu melarikan diri. Dengan kecepatan luar biasa, perahu kecil yang didayung oleh orang-orang kuat itu sebentar saja lenyap. Hui Song kecewa sekali. Dia tadinya mengharapkan untuk dapat menangkap seorang di antara mereka agar rahasia kejahatan Liu-thaikam dapat terbongkar. Tanpa adanya bukti, sukar untuk menjatuhkan pembesar korup yang amat dipercaya oleh kaisar itu. Kalau ada bukti dan saksi, barulah kejahatan pembesar itu dapat terbongkar dan diketahui oleh kaisar.

Para pengawal dan anak buah perahu besar ternyata sudah mengenal baik kakek pembawa yang-kim itu dan mereka semua bersikap hormat. Memang kakek ini tidak asing bagi para pembantu dan keluarga Menteri Liang yang menjadi sahabat baiknya. Hui Song segera maju memberi hormat kepada Shan-tung Lo-kiam.

"Terima kasih atas bantuan locianpwe."

Kakek itu tersenyum dan memandang kagum kepada pemuda itu. "Orang muda, aku Shan-tung Lo-kiam, sejak dahulu adalah sahabat baik Menteri Liang maka tidak aneh kalau aku membela beliau. Akan tetapi engkau seorang muda sudah berani menghadapi para datuk sesat dari Cap-sha-kui, sungguh amat mengagumkan. Siapakah engkau, orang muda?"

Mendengar bahwa kakek ini adalah Shan-tung Lo-kiam yang terkenal sebagai seorang pendekar angkatan tua, Hui Song menjadi kagum. Dia menjura dan memperkenalkan diri, "Saya bernama Cia Hui Song, locianpwe."

"She (marga) Cia? Adakah hubungannya dengan keluarga Cia dari Cin-ling-pai?"

Hui Song agak meragu. Akan tetapi ketika dia menghadap Menteri Liang, terpaksa dia memperkenalkan diri sehingga enam orang pengawal itu telah mengetahui keadaan dirinya. Kini seorang dari mereka menyela, "Locianpwe, Cia-tai-hiap ini adalah putera ketua Cin-ling-pai."

"Ah, pantas begini gagah perkasa!" kakek itu memuji kagum, kemudian dia menarik napas panjang. "Sayang para penjahat itu dapat melarikan diri..."

"Siapakah pemuda yang melepas anak panah dan kakek bertongkat dalam perahu kecil tadi, locianpwe? Saya melihat pemuda itu lihai sekali," tanya Hui Song.

"Aku sendiri belum pernah bertemu dengan kakek itu, akan tetapi aku yakin bahwa tentu dia yang kini memimpin para tokoh sesat dan dialah agaknya yang bernama Siangkoan Lojin dan berjuluk Si Iblis Buta."

"Ahhh...!" Enam orang perwira pengawal itu terkejut mendengar nama ini. Akan tetapi Hui Song tidak mengenalnya.

"Dan pemuda itu?" tanyanya.

"Entahlah," jawab Shan-tung Lo-kiam, "Akan tetapi aku pernah mendengar bahwa dia mempunyai seorang putera yang kabarnya telah mewarisi semua kepandaiannya. Mungkin juga pemuda tadi puteranya. Sayang, kalau kita tadi dapat menawan seorang saja di antara mereka, tentu akan memperoleh banyak keterangan."

Hui Song teringat akan sahabatnya yang tidak pernah muncul. "Locianpwe, saya mempunyai seorang kawan, seorang pemuda jembel yang berada di sini terlebih dulu untuk mengamati. Dia cukup lihai, dan kalau dia tadi membantu, mungkin kita berhasil. Akan tetapi saya merasa heran sekali mengapa dia tidak muncul. Apakah barangkali locianpwe tadi ada melihatnya?"

Kakek itu mengingat-ingat lalu menggeleng kepala. "Seorang pemuda jembel? Tidak ada aku melihatnya. Pagi tadi di sini aku hanya melihat seorang gadis cantik berkelahi melawan seorang pemuda dan seorang tokoh Hwa-i Kai-pang gendut. Aku turun tangan membantunya, akan tetapi iblis Hwa-i Kai-pang itu melarikan diri dan nona itu ditawan dan dilarikan si pemuda. Sayang aku tidak dapat mengejar, karena aku harus menanti datangnya Menteri Liang."

"Siapakah pemuda itu dan siapa pula gadis yang dilarikannya itu, locianpwe?" tanya Hui Song dengan alis berkerut dan hati terasa tidak enak.

"Aku tidak mengenal mereka akan tetapi harus diakui bahwa mereka berdua bukan orang muda sembarangan. Gadis itu lihai dan roboh karena dibokong dan dikeroyok. Pemuda itupun lihai sekali dan melihat gerak-geriknya, sepatutnya dia seorang pendekar. Akan tetapi pandang matanya cabul. Aku sedang menanti Menteri Liang untuk melindunginya, maka menyesal sekali aku tidak sempat melakukan pengejaran terhadap pemuda yang melarikan gadis itu."

Hui Song merasa semakin tidak enak hatinya. Dia teringat akan enci dari Sui Cin. Dia sendiri tidak tahu mengapa dia menghubungkan peristiwa itu dengan encinya Sui Cin. Akan tetapi ketidakmunculan pemuda jembel itu membuat hatinya merasa gelisah.

"Biar saya yang akan mencarinya, locianpwe," katanya sambil menanggalkan jubah menteri yang menutupi pakaiannya sendiri, kemudian diapun meloncat ke atas sebuah perahu nelayan yang berdekatan dan minta kepada nelayan itu untuk mengantarnya ke pantai. Kini banyak perahu mendekati perahu pembesar itu dan Shan-tung Lo-kiam bersama enam orang perwira pengawal tadi tidak berani menahan Hui Song karena mereka maklum bahwa sudah menjadi kewajiban seorang pendekar seperti puteri ketua Cin-ling-pai itu untuk menolong gadis yang diculik penjahat.

***

Bagaimana dengan nasib Sui Cin? Apakah yang menimpa diri gadis pendekar itu? Ia tidak pingsan ketika roboh tertotok oleh tongkat Bhe Hok tokoh baru Hwa-i Kai-pang, hanya lemas dan ia sama sekali tidak dapat meronta ketika dirinya dipanggul dan dilarikan Sim Thian Bu. Baru sekarang terbukti bahwa pemuda ini sama sekali bukan seorang pendekar gagah perkasa seperti yang disangkanya dalam pertemuan pertama mereka di Bukit Perahu. Sim Thian Bu ini seorang penjahat, seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang cabul dan keji. Sui Cin sejak kecil digembleng ayah bundanya menjadi seorang gadis yang selain berilmu tinggi, gagah perkasa juga tidak pernah mengenal rasa takut. Akan tetapi sekali ini ia merasa ngeri juga terjatuh ke dalam tangan seorang jai-hwa-cat dalam keadaan tak berdaya sama sekali. Ia pernah mendengar dari ibunya tentang jai-hwa-cat yang suka memperkosa wanita. Akan tetapi iapun teringat akan pesan dan nasihat ibunya bagaimana harus menghadapi bahaya seperti itu. Pertama ia harus tenang dan tidak panik. Dalam keadaan tidak berdaya melakukan perlawanan dengan kekerasan ia harus pura-pura menyerah. Menurut ibunya, jai-hwa-cat akan menjadi lunak hatinya apabila korbannya menyerah dan dalam cengeraman nafsu, penjahat itu akan menjadi lengah. Saat itulah paling tepat untuk tiba-tiba menyerangya. Ia pernah bertanya kepada ibunya bagaimana kalau ia diperkosa dalam keadaan tertotok atau terbelenggu.

Ibunya menjawab bahwa kalau tiada jalan lain menghindarkan malapetaka itu, satu-satunya jalan hanya mematikan rasa dan menutup pikiran. Kelak masih banyak kesempatan untuk membalas perbuatan terkutuk itu berikut bunganya yang berlipat ganda. Bagaimanapun juga, membayangkan betapa ia harus membiarkan dirinya diperkosa orang tanpa dapat melawan, hampir membuat Sui Cin menungis.

Ia diam-diam menghimpun hawa murni. Kalau saja totokan itu dapat ia punahkan, tentu sekali pukul kepala pemuda yang memondongnya ini akan pecah dan ia akan dapat membunuhnya dengan mudah. Sekali ini, ia akan melanggar pesan ayahnya. Ia takkan segan-segan membunuh jai-hwa-cat ini!

Akan tetapi tiba-tiba pemuda itu berhenti berlari, menurunkannya ke atas tanah, kemudian menotok jalan darah di punggungnya, membuat ia terkulai kembali dengan lemas dan pemuda itu sambil tersenyum-senyum bahkan membelenggu kaki tangannya dengan tali sutera halus yang amat ulet dan tidak akan mungkin terputuskan. Agaknya jai-hwa-cat ini sudah berpengelaman dan sudah mempersiapkan segalanya.

"Ha-ha-ha! Menghadapi seorang gadis lihai sepertimu harus berhati-hati!" kata pemuda itu sambil mencolek dagu Sui Cin yang hanya dapat memandang dengan mata mendelik. Tapi mata itu tak basah dengan air mata. Pemuda itu kini memondongnya dan membawa dirinya lari dengan amat cepatnya.

Sambil melarikan gadis itu, di dalam otak pemuda itupun terjadi kesibukan. Sim Thian Bu bukan seorang pemuda ceroboh dan bodoh yang hanya menurutkan dorongan nafsunya saja. Tidak, dia tidak bodoh karena dia adalah murid utama dari Siang-koan Lojin alias Si Iblis Buta! Karena kecerdikannya itulah dia merupakan satu-satunya murid datuk itu yang dapat mewarisi hampir semua ilmu kepandaian Si Iblis Buta. Dan karena kecerdikannya dia diberi tugas untuk menyusup sebagai seorang pendekar ke Bukit Perahu. Dia begitu cerdik sehingga selama ini, biarpun dia mempunyai kesukaan memperkosa wanita dan membunuhnya, dia tidak dicurigai dan tidak dikenal kejahatannya. Bahkan dalam pertemuannya yang pertama dengan Sui Cin dan Cia Sun, Sim Thian Bu begitu cerdiknya mengelabuhi mata mereka. Yang membunuh tiga orang muda dan seorang gadis yang lebih dulu diperkosanya adalah dia sendiri. Akan tetapi dengan cerdik dia mampu memaksa seorang laki-laki kasar, seorang penjahat rendahan biasa, untuk mengakui perbuatan itu lalu membunuh diri. Dengan demikian, di dalam pandangan Sui Cin dan Cia Sun dalam pertemuan iiu, dia bukan saja bebas dari tuduhan, bahkan dia menjadi seorang pendekar!

Ketika bertemu Sui Cin yang cantik jelita, jenaka dan segar, tentu saja jai-hwa-cat ini merasa tertarik sekali dan bangkitlah nafsunya. Andaikata Sui Cin adalah seorang gadis biasa, tentu pada saat itu juga dia kerjakan! Akan tetapi Sui Cin adelah seorang gadis yang amat lihai, apalagi puteri Pendekar Sadis! Maka Sim Thian Bu mempergunakan siasat lain. Mula-mula dia hendak menjatuhkan hati dara itu dengan rayuannya untuk memikat hatinya, mengandalkan ketampanan wajahnya dan kematangan pengalamannya menghadapi wanita. Akan tetapi Sui Cin adalah seorang dara pendekar yang tidak mudah terpikat rayuan. Usahanya gagal sama sekali ketika dara itu meninggalkannya begitu saja pada suatu malam. Hatinya kecewa, penasaran dan juga marah.

Kedatangannya di Telaga Emas sehubungan dengan tugas rahasia yang diterima dari suhunya untuk melakukan pengintaian di telaga itu, bersama seorang tokoh Hwa-i Kai-pang. Maka, bukan main girang hatinya ketika dia melihat Sui Cin di situ. Pertemuan yang sama sekali tidak disengaja, bahkan tidak disangka-sangkanya. Dan diapun tidak mau membuang kesempatan baik itu untuk menjumpainya, sampai terjadi perkelahian dan akhirnya, dengan bantuan Bhe Hok tokoh gendut Hwa-i Kai-pang, dia berhasil merobohkan dan melarikan Sui Cin.

Tentu saja dia sudah lupa sama sekali akan tugasnya membantu suhunya setelah dia berhasil melarikan dara yang membuatnya tergila-gila itu. Dan kini dia memutar otak mencari akal. Dia tahu ke mana harus membawa gadis itu. Ke dalam sebuah guha rahasia yang menjadi satu di antara tempat-tempat persembunyian suhunya. Tempat itu kosong dan di situ dia takkan terganggu oleh siapapun. Tempat sepi terpencil yang aman baginya.

Dia tidak mungkin memperlakukan gadis ini seperti para korban lainnya, yaitu memperkosa dan mempermainkannya sampai puas lalu membunuhnya untuk merahasiakan perbuatannya. Tidak! Gadis ini terlalu penting untuk sekedar dinikmati lalu dibunuh. Dia harus dapat memanfaatkan gadis ini, memperoleh keuntungan sebanyaknya. Gadis ini adalah puteri Pendekar Sadis! Baru mengingat nama ini saja dia sudah merasa ngeri. Kalau dia memperkosa lalu membunuh Sui Cin seperti yang dilakukannya terhadap wanita-wanita lain, kemudian hal itu terdengar oleh Pendekar Sadis, dia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya. Terlalu mengerikan! Akan tetapi, kalau dia bisa menjadi suami Sui Cin, mantu Pendekar Sadis? Amboi...! Betapa hebatnya! Dia akan menjadi terkenal, ditakuti, dan lebih lagi, dia mendengar bahwa keluarga Pendekar Sadis amat kaya raya, hidup di Pulau Teratai Merah.

Ketika Sim Thian Bu tiba di lembah sunyi itu, di mana guha tempat persembunyian gurunya berada, hari sudah menjelang senja. Dia berhenti di tepi jurang, merebahkan tubuh Sui Cin di atas tanah berumput, lalu membebaskan totokannya. Sui Cin dapat bergerak kembali akan tetapi karena kedua kaki tangannya terbelenggu kuat, tetap saja ia tidak berdaya. Ia hanya memandang marah, lalu memaki, "Jahanam busuk!"

Thian Bu tersenyum. "Nona Ceng, kenapa engkau tidak mau melihat kenyataan? Aku cinta padamu, nona. Sungguh, sejak pertemuan kita yang pertama, aku sudah jatuh hati dan tergila-gila kepadamu. Aku sungguh-sungguh, bukan main-main dan hidupku baru akan berbahagia kalau engkau dapat menjadi isteriku yang sah."

"Lebih baik aku mati!" Sui Cin membentak marah.

"Nona, pikirlah baik-baik. Sekali aku melemparmu ke jurang ini, engkau akan tewas dengan tubuh hancur dan tidak seorangpun akan dapat menemukanmu. Atau engkau lebih suka diperkosa dan dihina lalu dibunuh? Ingatlah, engkau masih muda. Tidakkah lebih baik engkau menjadi isteriku yang terhormat? Kurang apakah diriku? Masih muda dan cukup tampan, memiliki ilmu silat yang cukup, dan amat mencintamu."

Pura-pura menyerah mencari kelengahannya, pikir Sui Cin. Biarpun dadanya seperti mau meledak saking marahnya, ia menekan kemarahannya dan berkata halus, "Tentu saja aku tidak ingin begitu, akan tetapi beginikah sikapmu yang katanya mencinta? Lepaskan dulu belenggu-belenggu ini, baru kita bicara dan kupertimbangkan usulmu."

Akan tetapi Thian Bu tersenyum dan menggeleng kepala. "Hemm, lihat, bukankah di samping semua kelebihanku, masih ditambah kenyataan bahwa aku cerdik sekali dan tidak tertipu muslihatmu? Kecerdikanku membikin aku semakin berharga untuk menjadi suamimu. Nona, engkau bersumpahlah dulu bahwa engkau takkan melawan dan menentangku, bahwa engkau akan suka menjadi isteriku, kemudian kita akan bersatu badan sebagai suami isteri, barulah aku akan melepaskan belenggu. Maaf, semua itu hanya untuk menjamin dan meyakinkan hatiku."

Sui Cin membuang muka, menahan mulutnya yang ingin memaki-maki. Melihat sikap gadis itu, Thian Bu melakukan siasatnya yang pertama, yaitu membujuknya dnegan jalan menakut-nakutinya. "Nona, benarkah engkau begitu tega, memilih mati dan menghancurkan hatiku daripada hidup berbahagia bersamaku?"

"Jahanam keparat, tidak perlu banyak cerewet lagi. Mati jauh lebih mulia daripada hidup bersama seorang manusia berwatak iblis macammu ini. Bunuhlah, siapa takut mati?"

"Hemm, perempuan sombong. Hendak kulihat sampai di mana keberanianmu!" Dia lalu memondong tubuh Sui Cin dan dibawanya ke tepi jurang. "Lihat, lihat dasar jurang tak terukur dalamnya yang akan menerima tubuhmu ini!" Dan tiba-tiba dia melepaskan tubuh Sui Cin dengan kepala lebih dulu ke dalam jurang! Tubuh itu melayang ke bawah dan Sui Cin memejamkan mata, menutup mulutnya rapat-rapat agar jangan menjerit. Tiba-tiba tubuhnya berhenti meluncur dan ternyata pemuda itu telah menangkap kedua kakinya sehingga tubuhnya tergantung dengan kepala di bawah. Keadaan ini mengingatkan ia akan latihan samadhi sambil berjungkir balik ketika ia mempelajari ilmu menghimpun tenaga istimewa dari ayahnya. Maka, begitu tubuhnya tergantung membalik seperti itu, dari pusarnya terhimpun hawa panas dan sebentar saja aliran darahnya sudah menjadi lancar dan normal kembali, bekas totokan pemuda jahat itu lenyap sama sekali. Ia percaya bahwa kalau saat itu ia mengerahkan tenaga dan melakukan ilmu Hok-te Sin-kun, tenaganya akan mampu mematahkan belenggu sutera dan sekalian menendang lawan. Akan tetapi, biarpun berhasil, tidak urung tubuhnya akan terjatuh ke dalam jurang dan ini berarti bunuh diri! Tidak, ia tidak sebodoh dan senekat itu.

"Bagaimana, nona? Apakah engkau memilih aku melepaskan kakimu dan tubuhmu meluncur ke bawah, kepalamu menimpa batu di dasar jurang itu sampai remuk-remuk?" Suara Sim Thian Bu penuh ejekan dan ancaman.

Sui Cin juga searang yang cerdik. Ia tahu bahwa semua ini dilakukan jai-hwa-cat itu hanya untuk menggertaknya. Satu-satunya cara untuk menghentikan siksaan ini hanya memperlihatkan bahwa ia tidak takut.

"Pengecut busuk! Kaukira aku takut? Lepaskan dan aku akan terbebas dari binatang busuk macam kamu ini!"

Thian Bu merasa mendongkol sekali. Kalau dia tidak merasa sayang akan kecantikan gadis ini dan mempunyai rencana yang amat menguntungkan dirinya terhadap Sui Cin, tentu sudah dilemparkannya tubuh itu ke dalam jurang. Belum pernah selama hidupnya ada wanita berani menolaknya, bahkan sebagian besar wanita atau gadis yang diculiknya, dapat ditundukkan dengan rayuan dan ketampanannya. Akan tetapi, gadis puteri Pendekar Sadis ini tidak mempan dengan dirayu, dan tidak takut diancam, membuat dia kehilangan akal. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu meloncat dan membawa Sui Cin ke dalam sebuah guha besar yang tertutup semak-semak belukar. Diam-diam Sui Cin memperhatikan tempat ini. Sebuah guha tersembunyi. Tidak mungkin akan ditemukan orang luar karena mulut guha yang tidak berapa besar itu tersembunyi di balik semak-semak belukar yang penuh duri dan pantasnya hanya menjadi sarang ular-ular dan binatang-binatang buas.

Setelah menguak semak-semak belukar dan nampak mulut guha, pemuda itu membawa Sui Cin memasuki guha dan menutupkan kembali semak-semak di depan guha. Setelah masuk ke dalam guha, ternyata guha itu berlorong lebar yang membawanya ke dalam ruangan yang cukup luas. Akan tetapi keadaan di situ kotor dan tidak terawat, tanda bahwa tempat itu sudah lama tidak didatangi orang. Ruangan dalam guha itu seperti ruangan rumah saja, di mana terdapat meja-meja tua, bangku-bangku dan juga sebuah dipan kayu yang masih kokoh kuat. Sim Thian Bu menurunkan tubuh Sui Cin dan mengikat kaki dan tangan dara itu, menelentangkannya di atas dipan.

"Ha-ha-ha, nona manis. Dengar baik-baik, aku mengajakmu hidup bersama sebagai suami isteri, akan tetapi engkau selalu monolak. Dan engkau bahkan memilih mati daripada hidup sebagai isteriku yang terhormat dan tercinta. Kebandelanmu ini membuat aku bingung dan sebaiknya kalau engkau kupaksa menjadi isteriku, baru kita bicara lagi, ha-ha-ha!"

Sim Thian Bu tersenyum-senyum dan memandang penuh nafsu kepada tubuh gadis yang sudah ditelentangkan di atas dipan dalam keadaan kaki tangan terikat itu. Dia menanggalkan bajunya dan nampaklah dadanya yang bidang. Pemuda ini memang selain memiliki wajah tampan pesolek, juga memiliki bentuk tubuh yang baik. Sayangnya bahwa tubuh yang demikian baik dihuni oleh batin yang bobrok dan kejam.

Melihat betapa pemuda itu mulai membuka baju, Sui Cin menjadi pucat dan ia merasa betapa tengkuknya dingin sekali saking ngeri dan takutnya. Ia dapat menduga apa yang akan dilakukan pemuda bejat ahlak ini kepada dirinya dan mulailah ia meronta-ronta, mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri dari ikatan kaki tangannya. Gerakannya ini membuat dipan itu bergoyang-goyang dan keempat kakinya berdetak-detak. Akan tetapi, pada saat itu sambil terkekeh Sim Thian Bu yang menanggalkan bajunya itu menubruk dan memeluknya.

"Aih, jmtung hatiku, engkau hendak lari ke mana sekarang?" Melihat pemuda itu sudah menindihnya dan wajah pemuda itu demikian dekat dengan wajahnya, Sui Cin terbelalak dan menjerit.

"Jangan...! Kau bunuh saja aku...!"

"Ha-ha, bunuh engkau? Aih, sayang dong...! Engkau cantik manis..." Sim Thian Bu hendak mencium akan tetapi Sui Cin mengelak dan miringkan mulutnya, kemudian ia teringat akan akal yang pernah didengarnya dari ibunya. Suaranya terdengar gemetar ketika ia berkata lirih.

"Akan tetapi jangan begini... ah, kalau tiada jalan lain... aku bersedia... tapi jangan begini... lepaskan dulu belenggu ini agar kita dapat melakukannya secara wajar..."

Sim Thian Bu menjadi girang sekali. "Engkau... engkau mau...?" Dia bertanya sambil menatap wajah dara itu. Sui Cin mengeraskan hatinya dan mengangguk.

"Tapi, lepaskan belenggu-belenggu ini... sungguh tidak enak dalam keadaan terbelenggu begini..." Ia sudah siap. Begitu belenggu dibuka, ia akan mengirim serangan kilat yang mematikan kepada pemuda jahanam itu.

"Baik..." kata Sim Thian Bu dengan girang dan pemuda itu turun dari atas tubuh Sui Cin yang ditindihnya. Tangannya meraih ke arah belenggu kaki, dan Sui Cin sudah menanti dengan jantung berdebar tegang. Akan tetapi, jari-jari tangan pemuda itu tidak melepaskan belenggu, melainkan meraba kaki dan kini wajah pemuda itu menoleh, memandangnya dangan tersenyum mengejek. Jari tangan itu kini malah membuka sepatu dari kaki Sui Cin, dan melihat gelagatnya, pemuda itu bukan hendak membuka tali belenggu, melainken hendak melucuti pakaian gadis itu.

"Heh-heh, engkau puteri Pendekar Sadis, sungguh cardik dan licik. Kaukira aku tidak dapat merasakan betapa tubuhmu menegang penuh kekuatan dan betapa engkau akan menyerbu begitu aku membuka kaki tanganmu? Heh-heh, memang hendak kulepaskan, akan tetapi bukan belenggu kaki tanganmu, melainkan saluruh pakaianmu, ha-ha-ha!"

Tangan pemuda itu kini sudah mencengkeram kain celana Bui Cin. "Jangan... ah, jangan...!" Kini gadis itu memohon dengan suara lemah karena hilanglah harapannya dan dia hampir pingsan menghadapi bayangan yang amat mengerikan dari malapetaka yang akan menimpa dirinya.

"Sim Thian Bu! Mundur kau! Apa yang hendak kaulakukan ini?" Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras den tahu-tahu di ambang pintu telah muncul seorang pemuda bertubuh tinggi tegap yang melihat wajahnya masih muda sekali, paling banyak berusia delapan belas tahun, akan tetapi wajah itu nampak dingin dan sepasang mata mencorong, sedangkan tubuhnya tinggi tegap melebihi orang dewasa umumnya.

Sim Thian Bu yang tadinya sudah siap untuk merobek dan merenggut pakaian Sui Cin, terkejut dan menoleh lalu mundur dua langkah, matanya terbelalak nampak ketakutan akan tetapi mulutnya tersenyum membujuk.

"Ah, kiranya suheng yang datang. Suheng, maafkan aku dan biarkan aku menyelesaikan urusan pribadiku ini dulu, nanti akan kulayani suheng bicara kalau memang suheng datang membewa keperluan yang harus kubantu."

"Sim Thian Bu, aku bertanya tadi. Apa yang akan kaulakukan ini?"

Sim Thian Bu memandang pemuda remaja itu dengan sinar mata mengandung kemarahan, akan tetapi agaknya dia merasa jerih terhadap pemuda remaja itu, dan diapun tersenyum lebar. "Aih, engkau masih terlalu muda untuk mengetahui urusan ini, suheng. Dia ini seorang kekasihku dan kami hendak main-main sebentar. Apakah suheng ingin melihat kami bermain cinta?"

Sui Cin sudah ingin memaki untuk menyangkal ucapan jai-hwa-cat itu, akan tetapi ia diam saja dan memandang heran. Sungguh mengherankan memang keadaan pemuda remaja yang baru tiba. Usianya paling banyak delapan belas tahun, akan tetapi mengapa jai-hwa-cat yang usianya dua puluh lima tahun ini menyebutnya suheng dan bersikap jerih terhadap pemuda remaja itu? Ah, kalau pemuda remaja itu benar suheng dari Sim Thian Bu, tentu ia akan lebih celaka lagi dan tidak mempunyai harapan sama sekeli untuk dapat lolos. Menghadapi Sim Thian Bu yang lihai dan cerdik itu saja ia sudah tidak berdaya dan kini berada di ambang malapetaka yang mengerikan, apalagi kalau kini datang suheng si jahanam itu yang tentu saja lebih jahat dan lebih lihai, walaupun usianya jelas lebih muda. Ia memandang dan mendengarkan penuh perhatian, ingin melihat perkembangan kemunculan pemuda remaja itu dengan waspada. Siapa tahu kemunculan ini bahkan menolongnya.

"Kekasihmu? Dibelenggu?" Pemuda itu berkata dan kulit di antara kedua alisnya yang tebal berkerut, pandang matanya yang tajam mencorong itu ditujukan ke arah tubuh Sui Cin, penuh selidik. Kemudian dia berkata lagi, suaranya bernada memerintah, "Lepaskan belenggu kaki tagannya!"

Sim Thian Bu nampak terkejut dan marah. "Akan tetapi, suheng, ia itu punyaku, dan aku berhak melakukan apa saja terhadap dirinya. Aku belum mau membebaskannya, hendak main-main dulu dengan gadis ini..."

"Lepaskan kataku!" Suara itu mengandung wibawa yang amat besar dan terasa pula oleh Sui Cin betapa kuatnya khi-kang terkandung dalam suara itu.

Sim Thian Bu juga merasakan ini, akan tetapi agaknya dia masih penasaran. "Suheng, engkau keterlaluan mendesakku..."

Sim Thian Bu terpaksa menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba saja pemuda itu sudah menerjangnya. Luar biasa cepatnya gerakan pemuda remaja itu. Seperti terbang saja tubuhnya tahu-tahu menyambar dan meluncur ke arah Sim Thian Bu dan tangannya menampar. Melihat ini Sim Thian Bu terkejut dan cepat mengelak sambil menggerakkan tangan untuk menangkis.

"Plakk!" Entah bagaimana. Walaupun jai-hwa-cat yang tangguh itu sudah mengelak dan menangkis, tetap saja pundaknya terkena tamparan dan tubuhnya terpelanting seperti disambar pukulan yang amat kuat.

"Suheng...!" teriaknya dan diapun meloncat bangun, lalu hendak balas menyerang pemuda remaja itu.

"Plak! Plak!" Kembali tubuh Sim Thian Bu terjengkang, kini lebih keras lagi. Sui Cin memandang heran dan kagum. Dara ini dapat melihat betapa pemuda remaja itu menguasai gerakan jai-hwa-cat, sehingga biarpun Thian Bu yang menyerang, akan tetapi sebaliknya dia yang roboh karena serangannya telah dihadang di tengah jalan dan sebaliknya, balasan pemuda remaja itu tidak mampu dihindarkannya.

Kini pemuda remaja itu agaknya sudah marah. Sejak tadi dia tidak mengeluarkan kata-kata lagi, akan tetapi sinar mata yang mencorong itu kini berapi. Dengan gerakan ringan sekali kedua kakinya melakukan gerakan srat-sret-srat-sret, tubuhnya tahu-tahu sudah berada dekat Thian Bu dan kini kaki tangannya bergerak secara aneh. Hebatnya, setiap sambaran tangan atau kakinya tentu mengenai sasaran! Terdengarlah suara plak-plok dan bak-buk ketika tubuh Thian Bu menjadi sasaran pukulan dan tendangan pemuda remaja itu sehingga tubuh Thian Bu terguling-guling dan tidak sempat bangun karena setiap kali merangkak hendak bangun sudah disambut oleh tamparan atau pukulan lain! Akhirnya terdengar Thian Bu mengeluh.

"Suheng... ampunkan aku..."

Pemuda remaja itu berhenti bergerak, menatap wajah jai-hwa-cat yang sudah bengkak-bengkak dan matang biru itu.

"Kau tahu, aku benci laki-laki yang memperkosa wanita. Lain kali kubunuh kau!" Hanya itu kata-katanya dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke dekat dipan dan dua kali dia menggerakkan tangannya dan Sui Cin merasa betapa belenggu kaki tangannya putus semua dan ia dapat bergerak lagi! Tentu saja begitu dapat bergerak, meledaklah semua kemarahan dan ketakutan yang tadi menghimpit di dada dara itu.

"Haiiiiittt...!" Ia mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya sudah meluncur ke depan. Dengan pengerahan sin-kang sekuatnya ia sudah menggerakkan tangannya, menghantam ke arah kepala Sim Thian Bu dalam serangan maut!

"Dukk!" Sim Thian Bu sendiri tidak mampu menghindarkan diri karena tubuhnya masih nyeri semua dan kepalanya pening, akan tetapi tiba-tiba pemuda remaja itu bergerak dan pemuda inilah yang menangkis pukulan Sui Cin tadi.

Tangkisan itu kuat bukan main, terasa oleh Sui Cin dan lengannya tergetar hebat. Ia terdorong mundur tiga langkah dan matanya menatap tajam kepada wajah pemuda remaja yang menangkis pukulannya tadi. Ia menjadi serba salah. Mau marah teringat bahwa pemuda inilah yang telah menyelamatkannya dari malapetaka yang nyaris menimpanya. Tidak marah, ia kecewa dan penasaran karena niatnya membunuh atau setidaknya menghukum Thian Bu dihalangi. Sejenak mereka saling pandang dan di dalam pandang mata pemuda remaja itu kini terdapat kekaguman. Agaknya baru dia tahu bahwa dara yang tadi hendak diperkosa Thian Bu itu adalah seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Hal ini dapat dirasakan ketika dia menangkis dan ternyata pukulan gadis itu mengandung sin-kang yang amat hebat sehingga lengannya sendiri tergetar dalam pertemuan tenaga itu. Jelas bukan gadis sembarangan!

"Aku... aku harus menghajar jahanam busuk itu!" Sui Cin akhirnya berteriak marah.

Pemuda itu menggeleng kepala, sikapnya tenang dan pandang matanya tetap dingin.

"Suteku sudah kuhajar sendiri." katanya singkat saja.

"Tapi... tapi dia hendak memperkosaku, dia penjahat jai-hwa-cat terkutuk!"

Kembali pemuda itu menggeleng kepalanya. "Baru hendak, tapi belum. Pergilah, nona."

Sui Cin menjadi bingung, seperti kehilangan akal menghadapi pemuda remaja yang tidak banyak cakap dan bersikap dingin serius ini. Kalau dia berkeras dan sampai ia bentrok dengan pemuda ini, berarti ia yang bo-ceng-li (tak tahu aturan). Bukankah ia baru saja diselamatkan dari bencana yang bahkan melebihi maut? Dan kalau pemuda ini membela Thian Bu, hal itu wajar saja karena memang Thian Bu itu sutenya! Bagaimana ada sute seperti itu dan suheng seperti ini? Bumi dan langit bedanya. Sui Cin mengepal tinju, kehilangan akal, akhirnya ia mendengus dan menyambar sepasang sepatunya, kemudian sekali berkelebat ia sudah meloncat keluar dari dalam guha itu!

Kini pemuda remaja itu menghadapi Thian Bu yang sudah merangkak bangun dan duduk di atas dipan di mana dia tadi hendak memperkosa Sui Cin. Dia menyusuti darah dari ujung bibirnya dan kelihatan takut walaupun pada sinar matanya terdapat rasa marah dan dendam yang disembunyikan.

"Sute, kuulangi. Sekali lagi aku melihatmu memperkosa wanita, kubunuh engkau! Ada urusan penting engkau tinggalkan di telaga, malah engkau sibuk hendak melakukan perbuatan memalukan. Pergilah!" Pemuda itu menundingkan telunjuknya ke pintu guha dengan nada dan sikap mengusir.

Sim Thian Bu mengangkat muka memandang sejenak, lalu bangkit dan tertatih-tatih berjalan keluar tanpa berani membantah. Setelah Thian Bu pergi, pemuda remaja itu menjatuhkan dirinya di atas dipan, duduk termangu-mangu dan mengepal kedua tangannya. Dia seperti orang berpikir mendalam penuh rasa penasaran, lalu memukulkan tinju kanannya pada telapak tangan kiri sendiri sampai terdengar bunyi nyaring, kemudian dia menutupi muka dengan kedua tangan penuh penyesalan. Siapakah pemuda remaja ini?

Dia adalah pemuda yang muncul di telaga, berperahu bersama seorang kakek kurus bertongkat. Dialah pemuda lihai yang melepas anak panah berapi membakar perahu besar di mana terjadi perkelahian dan dia yang monolong sehingga tiga orang tokoh Cap-sha-kui dapat lolos. Dialah pemuda yang dikagumi Hui Song yang dapat menduga bahwa pemuda itu amatlah tangguh dan lihai. Dan tepat seperti dugaan Shan-tung Lo-kiam ketika dia bercerita kepada Hui Song, pemuda ini adalah putera tunggal Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta.

Siangkoan Lo-jin mempunyai riwayat yang cukup menarik. Sejak muda, orang she Siangkoan ini memang hidup di kalangan sesat. Akan tetapi di waktu dia masih muda, dia yang sudah merasa tidak suka akan perbuatan jahat yang kejam. Seringkali dia menentang para paman gurunya, bahkan gurunya sendiri sehingga akhirnya dia dianggap murtad. Sebagai hukuman kaum sesat yang kejam, kedua matanya dibikin buta oleh guru dan para paman gurunya sendiri dengan jalan meracuninya. Semenjak itu, baru berusia dua puluh tahun, dia telah menjadi seorang buta. Biarpun matanya tidak cacat dan masih terbuka seperti orang biasa, namun dia tidak dapat melihat apa-apa lagi.

Hukuman yang membuat cacat ini diterima dengan sabar dan tabah. Akan tetapi, di dalam hatinya terkandung rasa penasaran yang amat hebat. Dia berlatih silat terus dengan tekun sehingga kepandaiannya menonjol, bahkan setelah berusia kurang lebih lima puluh tahun, kepandaiannya sudah melampaui para paman gurunya! Sementara itu, suhunya telah meninggal dunia dan pada suatu hari, dendam yang terpendam selama puluhan tahun itu baru memperoleh pelepasan, Siangkoan Lojin memberontak dan lima orang paman gurunya yang dahulu ikut membutakan matanya dibunuhnya semua satu demi satu! Dan di kalangan kaum sesat, siapapun yang berani menentangnya lalu dibunuhnya. Mulailah nama Siangkoan Lojin si kakek buta ini ditakuti orang. Dan terjadi perobahan pada diri kakek ini. Kalau di waktu mudanya dia menentang kejahatan para gurunya, setelah kini cacat, dia malah ingin menjadi pemimpin kaum sesat! Hal ini mungkin timbul karena derita batinnya. Dia menentang kejahatan dan matanya menjadi buta, maka kini dia bahkan hendak menjadi kepala semua penjahat!

Setelah berusla setengah abad dan diakui sebagai seorang jagoan yang amat ditakuti di antara golongan sesat, dia lalu mengambil seorang gadis dari kalangan sesat pula untuk menyambung keturunan. Dan isterinya itu ternyata dapat memberi keturunan padanya, seorang anak laki--laki yang diberi nama Siangkoan Ci Kang. Tentu saja hati kakek buta ini menjadi girang bukan main. Semenjak lahir, Ci Kang digemblengnya. Bahkan untuk mandi bayi itupun dia beri ramuan obat agar jasmani anak itu menjadi kuat dan kebal. Dan gemblengan penuh ketekunan dari Siangkoan Lo-jin tidak sia-sia. Anak itu ternyata memiliki bakat yang amat hebat dan setelah berusia delapan belas tahun, anak itu telah mewarisi seluruh ilmu kepandaian ayahnya! Dia bahkan lebih lihai daripada ayahnya karena dia lebih muda, menang kuat dan menang daya tahannya, menang cepat.

Ternyata Siangkoan Ci Kang bukan hanya menuruni ilmu kepandaian ayahnya, melainkan juga menuruni wataknya! Sejak kecil, sejak dia belajar membaca dan mulai membaca kitab-kitab kuno, Ci Kang menumbuhkan pendiriannya di batinnya yang berlawanan dengan kenyataan yang ada pada keluarganya. Dia, seperti para pendekar dan para budiman dalam kitab-kitab yang dibacanya, tidak suka akan kejahatan! Dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang tokoh kaum sesat yang ditakuti dan disegani, dan hal inilah yang membuatnya seringkali termenung dan merasa penasaran. Bahkan setelah dewasa, dia berani pada suatu hari menyerang ayahnya dengan kata-kata mencela mengapa ayahnya terjun ke dalam dunia hitam dan menjadi pemimpin kaum sesat.

"Hemm, kau tahu apa?" ayahnya menjawab dengan senyum kecut. "Engkau tahu mengapa mata ayahmu menjadi buta? Karena akupun ingin menjadi orang bersih macam engkau sekarang ini! Aku ingin menentang kejahatan dan akibatnya aku kehilangan kedua mataku! Kuharap engkau dapat mengerti bahwa menjadi orang baik hanya mengundang datangnya malapetaka dan kerugian saja. Semenjak kehilangan mata, aku mengambil keputusan untuk menjadi tokoh sesat, akan tetapi tidak kepalang tanggung dan harus menjadi nomor satunya!"

Ci Kang merasa tidak puas akan keterangan ayahnya ini. Dia menyelidiki di antara tokoh sesat dan mendengar bahwa ayahnya dibikin buta oleh guru dan para paman gurunya sendiri karena menentang kaum sesat. Akhirnya setelah lihai, ayahnya membalas dendam, membunuh lima orang susioknya sendiri, kemudian bangkit menjadi pemimpin kaum sesat. Hal ini membuat hati Ci Kang kadang-kadang berduka. Terjadi konflik dalam batinnya antara pendirian dan perasaan hatinya yang menentang kejahatan, terutama sekali kekejaman-kekejaman, dan kenyataan bahwa ayahnya adalah tokoh utama kaum setat! Tentu saja, sebagai putera Siangkoan Lo-jin, dia tidak dapat lari dari kenyataan ini dan beberapa kali dia harus turun tangan membantu ayahnya kalau ayahnya atau teman-teman sekaum bertemu dengan lawan atau kalau sedang melaksanakan tugas, seperti yang dilakukannya di Telaga Emas itu. Akan tetapi selamanya dia sendiri tidak pernah melakukan perbuatan jahat yang berupa kekejaman kepada orang lain. Konflik-konflik batin yang dideritanya sejak dia mengerti itu membentuk suatu watak yang aneh pada Ci Kang. Dia menjadi seorang pemuda yang pendiam, dingin, keras seperti baja dan kadang-kadang membawa mau sendiri, tak perduli, dan aneh!

Ketika Ci Kang diajak ayahnya ke telaga itu dan dengan kegagahannya dia berhasil membebaskan tiga orang tokoh Cap-sha-kui, ayahnya memarahi tiga orang tokoh itu yang gagal membunuh panglima Liang.

"Kalian sungguh tolol dan harus malu menjadi tokoh Cap-sha-kui kalau melaksanakan pekerjaan membunuh seorang menteri saja gagal, bahkan digagalkan oleh seorang pemuda yang menyamar sebagai menteri itu." Demikian Siangkoan Lo-jin mengomel setelah mereka semua berhasil melarikan diri dan berada di tempat persembunyian. "Bukankah seharusnya lebih dulu melakukan pengamatan dan pengintaian?"

"Maaf, Lo-jin. Sesungguhnya, kami bertiga sama sekali tidak tahu bahwa Menteri Liang telah diganti oleh seorang pemuda lihai, dan semua ini adalah kesalahan jembel gendut ini yang bertugas sebagai pengamat. Kami telah dijanji oleh Hwa-i Kai-pang yang hendak membantu dengan penyelidikan, dan perkumpulan jembel itu telah mengutus si gendut yang tidak teliti ini!" kata Kui-kok Lo-mo dengan nada suara jengkel sambil menuding ke arah Bhe Hok, tokoh Hwa-i Kai-pang yang gendut itu.

Siangkoan Lo-jin mengerutkan alisnya yang putih. Tentu saja dia tidak dapat melihat tudingan telunjuk Kui-kok Lo-mo ke arah orang gendut itu, akan tetapi dia dapat mengerti bahwa orang itu hadir pula di situ.

"Hemm, siapakah engkau utusan Hwa-i Kai-pang?" bentaknya.

Bhe Hok adalah seorang bekas penjahat yang kejam dan tabah, akan tetapi berhadapan dengan kakek buta itu dia merasa gentar sekali. Dia sudah mendengar bahwa kakek buta ini amat lihai dan juga tidak segan-segan membunuh pembantu yang bersalah. Maka, biarpun orang itu tidak dapat melihat, dia segera memberi hormat.

"Saya bernama Bhe Hok, Lo-jin. Dan sayalah yang diutus oleh para pimpinan Hwa-i Kai-pang untuk membantu dalam usaha penyergapan di telaga itu. Saya bertugas mengamati dan memata-matai telaga itu sampai Menteri Liang muncul. Akan tetapi, sebelum menteri itu muncul, secara tak disangka-sangka, saya terlibat dalam perkelahian yang disebabkan oleh... oleh murid Lo-jin sendiri."

Iblis buta itu mendengus. "Hemm, kau maksudkan Thian Sin Bu?"

"Benar, Lo-jin. Ketika saya sedang melakukan pengintaian, di pantai telaga saya melihat Sim-sicu sedang berkelahi melawan seorang gadis yang amat lihai. Karena saya melihat murid Lo-jin itu terdesak, saya lalu muncul dan membantunya, menotok roboh gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba muncul Shan-tung Lo-kiam dan saya lalu berkelahi melawan jago pedang itu sedangkan murid Lo-jin pergi melarikan gadis yang sudah roboh tertotok itu! Karena ditinggal sendiri, terpaksa saya juga melarikan diri karena Lo-kiam itu lihai sekali. Kalau saja Sim-sicu tidak muncul berkelahi dengan gadis itu, atau kalau saja dia tidak pergi meninggalkan saya dan melarikan gadis itu, tentu kami berdua akan dapat menjatuhkan Shan-tung Lo-kiam dan keadaan akan menjadi lain."

"Hemmm...!" Terpaksa Siangkoan Lo-jin tidak jadi marah kepada orang Hwa-i Kai-pang itu karena ternyata muridnya sendiri yang menjadi biang keladi kegagalan usaha itu. "Ci Kang, engkau hendak ke mana?" Tiba-tiba kakek buta itu menegur ketika telinganya menangkap gerakan orang ke pintu. Dia mengenal gerakan puteranya yang ringan dan menegur.

Akan tetapi Ci Kang sudah tiba di luar tempat itu dan terdengar jawabannya dari luar, "Ayah, aku mau mencari angin segar." Dan diapun sudah jauh sekali sehingga ayahnya tidak sempat lagi untuk mencegahnya. Siangkoan Lo-jin mengenal keanehan watak puteranya maka diapun lalu melanjutkan percakapannya dengan tiga orang tokoh Cap-sha-kui itu.

"Sudahlah, kegagalan membunuh Menteri Liang biar menjadi pelajaran baik bagi kalian semua. Lain kali kita dapat mencari jalan lain untuk melenyapkannya. Sekarang yang penting bagaimana melaksanakan tugas kedua. Lo-mo dan Lo-bo, bukankah kalian sudah mempunyai rencana untuk membunuh jenderal itu?"

"Sudahlah, Lo-jin. Kami akan melaksanakannya sebaik mungkin, dibantu oleh Ular Betina ini."

"Dalam melaksanakan tugasku, biarpun kalian membantu, telah mengalami kegagalan. Kalau aku membantu kalian sampai berhasil, lain kali kalian harus membantuku pula sampai aku berhasil membunuh menteri itu." Kiu-bwe Coa-li mengomel.

Demikianlah, seperti diceritakan di bagian depan, Siangkoan Ci Kang ternyata melakukan pengejaran terhadap murid ayahnya. Biarpun murid ayahnya itu jauh lebih tua dari padanya, namun Sim Thian Bu termasuk murid terakhir sehingga menyebut suheng kepadanya. Dia sudah tahu akan kejahatan Thian Bu, sudah mendengar bahwa sutenya itu adalah seorang jai-hwa-cat keji. Ingin dia mempergoki sutenya dan menghajarnya, akan tetapi Thian Bu yang cerdik itu selalu dapat lolos dan merahasiakan kejahatannya. Kini, mendengar betapa sutenya telah melarikan seorang gadis, dia menjadi marah dan segera melakukan pengejaran. Dia tentu saja dapat menduga ke mana sutenya membawa pergi gadis culikannya itu. Ke mana lagi kalau bukan ke dalam guha rahasia tempat persembunyian ayahnya? Hanya di sanalah tempat aman bagi sutenya itu untuk melakukan segala macam kejahatan tanpa diketahui orang!

Dan ternyata dugaannya memang benar. Dan dia datang pada saat yang tepat. Kalau Sim Thian Bu tidak berniat memperisteri Sui Cin dan melakukan bujukan-bujukan dan ancaman-ancaman, melainkan langsung saja diperksanya seperti yang biasa dia lakukan, tentu kedatangan Ci Kang terlambat dan gadis itu telah ternoda, mungkin jejaknya telah disingkirkan oleh Thian Bu yang licik. Kemudian, setelah menyelamatkan Sui Cin dan mengusir sutenya sehabis menghajarnya babak belur, Ci Kang duduk sendirian di dalam guha itu sambil termenung. Hatinya semakin sakit dan menyesal sekali. Perbuatan keji dari sutenya tadi mengingatkan dia bahwa pria amat cabul dan keji itu adalah sutenya, murid ayahnya dan bahwa ayahnya adalah seorang gembong penjahat yang kini menjadi antek pemerintah yang lalim. Sedih hatinya. Dia sudah banyak membaca tentang pembesar-pembesar lalim yang mempergunakan penjahat-penjahat, dan dia selalu menganggap, betapa jahatnya pembesar seperti itu dan betapa rendah dan hinanya penjahat yang menjadi anteknya. Akan tetapi kini dia dihadapkan kenyataan bahwa ayah kandungnya sendiri menjadi penjahat antek pembesar lalim! Siapa yang takkan hancur dan sedih hatinya?

Baru setelah guha itu mulai gelap, tanda bahwa senja telah mendatang, Ci Kang keluar dari dalam guha, menutupi lagi mulut guha dengan semak belukar, kemudian melangkah pergi dengan gontai dan hilang semangat. Pemuda ini semakin murung dan wajahnya semakin dingin.

***

"Haiii... nona...! Perlahan dulu, nona...!"

Sui Cin sudah tahu bahwa ada seorang pemuda berlari-lari mengejarnya, bahkan dara ini sudah tahu pula siapa pemuda itu. Akan tetapi ia pura-pura tidak dengar atau tidak perduli, melainkan melanjutkan perjalanannya menunggang kuda kecilnya dengan santai. Ia bahkan tidak memegang kendali kuda, dibiarkan kudanya berjalan seenaknya dan ia melindungi kepalanya dengan sebuah payung yang dikembangkan dan dipanggulnya. Iapun duduk miring di atas punggung kudanya, seenaknya sambil menikmati keindahan pemandangan alam pegunungan di sekitarnya. Jalan itu kasar dan sunyi, sinar matahari membakar panas, maka terasa nyaman berlindung di bawah payung.

"Prak-plok-prak-plok-prak...!" Suara kaki kuda berirama dan nyaring karena kuda itu mengenakan sepatu atau tapal kaki baru.

Hui Song merasa penasaran sekali. Dari jauh dia mengenal gadis berpayung menunggang kuda itu. Siapa lagi kalau bukan gadis yang pernah membuatnya tak mampu tidur nyenyak, gadis yang membuatnya tergila-gila, gadis perkasa yang pernah membantunya ketika dia dikeroyok oleh tiga orang tokoh Cap-sha-kui yang bernama Tho-tee-kui, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo? Maka dia lalu lari mengejar dan bukan main girangnya melihat kenyataan bahwa dugaannya memang benar, terutama sekali karena sekarang gadis itu tidak membalapkan kuda kecil yang lihai itu untuk meninggalkannya.

Seperti kita ketahui, Sui Cin telah terlepas dari malapetaka ketika ia terculik Sim Thian Bu dan tortolong oleh Siangkoan Ci Kang. Setelah pergi, ia lalu kembali ke dusun di mana ia menitipkan kudanya, dan kini ia melakukan perjalanan berkuda dengan niat pulang ke selatan, ke tempat tinggal orang tuanya di Pulau Teratai Merah. Sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa ia bertemu dengan Hui Song di tengah perjalanan, atau lebih tepat tersusul oleh pemuda itu. Ia sengaja membiarkan kudanya berjalan terus dan kini dengan napas agak terengah-engah Hui Song berjalan di sebelah kanan kuda itu sambil tersenyum menoleh dan memandang wajah di bawah payung itu. Sejenak kedua mata pemuda itu terbelalak keheranan, akan tetapi dia lalu tersenyum lagi dan nampak gembira sekali.

"Huh, apa maksudmu teriak-teriak seperti orang kesurupan dan lari-lari seperti orang dikejar setan?" Sui Cin menegur sambil tersenyum mengejek.

"Aku tidak kesurupan, memang gila, tergila-gila dan aku bukan dikejar setan melainkan dikejar ketakjuban. Sungguh tak pernah kusangka sebelumnya bahwa yang bernama Sui Cin adalah seorang gadis yang cantik jelitanya melebihi semua bidadari di kahyangan!"

Kedua pipi itu menjadi merah, dan mata itu mengeluarkan sinar berapi. Entah mana yang lebih besar dan yang lebih memerahkan pipi, kemarahan ataukah kebanggaan mendengar pujian itu. Juga ia merasa terkejut karena ternyata Hui Song dapat menduga bahwa ia adalah Sui Cin si "pemuda jembel" itu. Kini tidak perlu berpura-pura lagi.

"Hemm, baru sekarang engkau tahu?" pancingnya. Ia tidak menghentiken kudanya dan terpaksa Hui Song berjalan-jalan di samping kuda itu yang kelihatan tidak senang kerena ada orang yang mengganggu ketenangannya di tempat sunyi indah itu.

"Memang baru sekarang! Wah, kalau aku tahu sejak dulu..."

"Lalu mau apa?"

"Tidak apa-apa. Sungguh engkau pandai sekali menyamar dan kau bilang mempunyai seorang cici."

"Akulah cicinya!"

"Ha-ha, dan engkau adiknya pula, pemuda jembel yang membagi-bagi uang kepada para jembel lain. Sungguh luar biasa! Dan engkau menjanjikan kepadaku untuk memperkenalkan aku kepada cicimu. Nah, sekarang perkenalkan. Kau tahu namaku, akan tetapi apakah namamu juga masih sama? Sui Cin?"

Sui Cin mengangguk. "Eh, bagaimana engkau tiba-tiba saja dapat menduga bahwa aku adalah pemuda jembel itu pula?"

"Nanti dulu, apakah engkau begitu kejam membiarkan aku berjalan-jalan bersama kudamu yang mempunyai empat kaki sedangkan aku hanya mempunyai dua kaki?"

"Hemm, engkaupun boleh menggunakan kedua tanganmu sebagai kaki!"

"Sialan! Kau suruh aku merangkak?"

"Kalau kau mau!"

"Sudahlah, kasihanilah padaku. Aku capek dan kepanasan, mari kita berhenti dulu di bawah pohon sana itu, tempatnya teduh dan di situ banyak rumput. Kalau engkau tidak kesihan padaku, sedikitnya engkau kasihan kepada kudamu dan membiarkan dia istirahat dan makan rumput."

Sui Cin tak membantah lagi, lalu menepuk bahu kudanya yang segera membelok ke kiri menuju ke arah pohon rindang. Di sini ia turun, menutup payungnya dan membiarkan kudanya makan rumput sedangkan ia sendiri duduk di atas akar pohon yang menonjol di atas tanah, berhadapan dengan pemuda itu. Sejenak mereka saling berpandangan dan sekali ini Hui Song yang menundukkan mukanya karena malu akan tetapi juga girang sekali.

"Nah, engkau belum menjawab pertanyaanku tadi."

"Mengenalimu? Mudah sekali. Ketika aku melihatmu dari jauh, aku segera teringat akan encinya Sui Cin, gadis yang pernah membantuku melawan tiga orang tokoh Cap-sha-kui itu, maka aku mengejarnya. Begitu tiba di dekat kuda dan melihat wajahmu, aku terkejut dan segera timbul keyakinan di hatiku bahwa engkau adalah Sui Cin pemuda jembel itu."

"Hemm, mengapa begitu yakin? Bagaimana kalau aku encinya?"

"Memang mungkin ada persamaan antara seorang enci dan seorang adiknya, akan tetapi sinar mata dan senyum bibir itu tidak mungkin ada keduanya di dunia ini... eh, maaf, maksudku... aku sudah mengenal benar sinar mata dan senyum itu, jadi begitu melihatnya aku segera mengenalmu, Sui Cin. Maaf, rasanya janggal menyebutmu nona, setelah sekian lamanya menyebutmu Cin-te! Sekarang, agaknya tidak mungkin lagi menyebut Cin-te (adik laki-laki Cin), maka kusebut saja namamu."

"Memang benar, Song-ko. Aku bernama Sui Cin dan tidak mempunyai adik maupun kakak. Memang sudah menjadi kebiasaanku di waktu merantau, aku suka menyamar sebagai seorang pemuda. Kebetulan aku bertemu denganmu dalam penyamaran itu dan berkenalan, tentu saja aku terpaksa menyamar terus."

Tiba-tiba Hui Song tertawa bergelak. Sui Cin mengerutkan alisnya, merasa ditertawakan dan ia menjadi marah. "Mau apa kau tertawa-tawa seperti gila?"

Hui Song menahan ketawanya. "Aku teringat akan ceritamu tentang banci itu... ha-ha, bisa saja engkau mencari alasan mengapa engkau marah-marah ketika aku mendekatimu. Ingat ketika aku merangkulmu karena kuanggap biasa antara laki-laki dan kau marah-marah dan..."

Wajah dara itu menjadi merah sekali. "Sudahlah, tak perlu diungkit-ungkit kembali. Sekarang, mau apa sih engkau mengejarku?"

Hui Song bersikap sungguh-sungguh walaupun kini wajahnya cerah dan gembira sekali.

Memang harus diakuinya bahwa sejak berpisah dari Sui Cin si pemuda jembel, dia merasa kehilangan dan kesepian. "Sebenarnya aku tidak mengejarmu, melainkan mencari jejak Sui Cin pemuda itu."

"Mau apa?"

Hui Song tersenyum malu-malu. "Pertama... eh, untuk bertanya bagaimana dia tidak muncul di pantai telaga, dan kedua... anu... aku ingin menagih janji karena dia berjanji hendak memperkenalkan aku kepada encinya."

"Mata keranjang!"

"Bukan begitu, Sui Cin. Janji tetap janji! Sekarang katakanlah, mengapa engkau tidak muncul di pantai? Aku mendengar penuturan Shantung Lo-Kiam bahwa ada seorang gadis diculik penjahat. Entah bagaimana, aku teringat akan encinya Sui Cin, maka akupun lalu melakukan pengejaran dan pencarian. Dan ternyata aku beruntung sekali, menemukan Sui Cin sahabatku bersama encinya sekaligus. Sui Cin, benarkah engkau yang dikabarkan oleh Shantung Lo-kiam itu?"

Sui Cin mengangguk. "Benar. Aku melakukan pengamatan di pantai seperti yang telah kita rencanakan, dan karena aku sudah berpisah darimu, aku mengenakan pakaian wanita kembali agar lebih mudah mengamati. Di situ aku bertemu dengan Sim Thian Bu yang tadinya tidak kusangka seorang penjahat karena dia pernah mau ikut menghadiri pertemuan antara para pendekar tempo hari. Kiranya dia seorang jai-hwa-cat dan kami segera berkelahi. Aku lengah ketika muncul seorang di antara tokoh Hwa-i Kai-pang itu, yang perutnya gendut, dan aku tertotok roboh. Lalu muncul kakek itu, yang membawa yang-kim..."

"Shan-tung Lo-kiam..."

"Kakek itu menyerang si gendut dan mereka berkelahi. Aku yang sudah tertotok lalu dilarikan oleh jahanam Sim Thian Bu. Aku dilarikan menuju ke sebuah guha tersembunyi dan... dan... si jahanam keparat itu hampir saja menggangguku!"

Hui Song mengepal tinju. "Keparat! Lalu bagaimana?"

"Untung muncul seorang pemuda... anehnya, pemuda itu adalah suheng dari Sim Thian Bu walaupun usianya paling banyak delapan belas tahun sedangkan Sim Thian Bu sudah dua puluh lima tahun lebih. Pemuda itu melarang, akan tetapi jahanam itu membantah dan akhirnya jahanam itu dihajar babak-belur oleh pemuda yang amat lihai itu. Kemudian aku dibebaskan dan begitu kaki tanganku bebas, tentu saja aku menyerang Sim Thian Bu yang sudah dihajar parah. Akan tetapi pemuda itu menangkit dan ternyata dia amat kuat..."

Hui Song terbelalak heran. "Nanti dulu, apakah pemuda itu wajahnya masih amat muda akan tetapi matanya mencorong, pakaiannya sederhana dan tubuhnya tinggi tegap?"

"Benar jubahnya kasar belang-belang agaknya dari kulit harimau..."

"Ah, benar dia! Menurut dugaan Shan-tung Lo-kiam, dia tentu putera Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta!"

"Apa? Datuk itu?" Sui Cin bertanya kaget. "Kalau begitu, Sim Thian Bu adalah murid Si Iblis Buta?"

"Mungkin sekali, dan itulah sebabnya dia menyebut suheng kepada pemuda itu, karena kalah tingkat."

"Tapi kalau pemuda itu putera Iblis Buta, kenapa dia menolongku dan menghajar sutenya sendiri?"

Hui Song termenung. "Entahlah, sungguh teka-teki yang membingungkan."

Hening sejenak. Kemudian Sui Sin yang mulai merasa biasa berhadapan dengan Hui Song sebagai seorang wanita, bertanya, "Bagaimana dengan usahamu menyelamatkan Menteri Liang?"

"Berhasil dengan baik," katanya dan diapun lalu menceritakan bahwa dia telah menemui Menteri Liang, menceritakan semua rencana kaum penjahat dan betapa dia lalu pada saat yang ditentukan menyamar sebagai Menteri Liang dan menggantikan menteri itu pergi ke telaga. Diceritakan betapa yang muncul adalah Kui-kok Lo-mo, Kui-kok Lo-bo dan Kiu-bwe Coa-li yang menyerangnya akan tetapi dia dan para pengawal istimewa dapat menanggulangi, bahkan sudah hampir berhasil dibantu oleh Shan-tung Lo-kiam untuk mengalahkan mereka.

"Sayang muncul pemuda aneh itu bersama kakek kurus yang menurut dugaan Shan-tung Lo-kiam adalah Si Iblis Buta bersama puteranya. Pemuda itu lihai sekali, menggunakan panah api membakar perahu dan dia berhasil menyelamatkan tiga tokoh Cap-sha-kui itu sehingga kami tidak berhasil mencegah mereka meloloskan diri."

Sui Cin mendengarkan dengan heran dan kagum. Sungguh tokoh muda yang menolongnya itu amat aneh. Membantu para penjahat, akan tetapi juga menentang kejahatan sute sendiri.

"Dan selanjutnya, apa yang akan keulakukan, Song-ko?"

"Masih banyak yang hendak kulaksanakan, akan tetapi aku ingin melakukannya bersamamu, Sui Cin, karena itulah maka aku mengejar dan mencarimu."

"Aku baru saja terlepas dari bencana dan aku ingin pulang, sudah terlalu lama meninggalkan ayah ibu."

"Ah, betapa inginku ikut bersamamu pergi menghadap dan berkenalan dengan orang tuamu, secara langsung bertemu muka dengan Pendekar Sadis yang namanya sudah kukenal sejak kecil! Akan tetapi, tugas masih mengikatku, Sui Cin. Engkau tentu tahu bahwa keselamatan Menteri Liang masih terancam..."

"Engkau bukan pegawai negeri dan perlindungan terhadap seorang menteri dapat dilakukan oleh pasukan keamanan!"

"Engkau benar. Akan tetapi kita tahu bahwa juga Jenderal Ciang terancam. Kalau kita tidak membantu, padahal sumber keterangan itu dari kita, tentu pihak pemerintah aken merasa curiga akan kebenaran berita itu. Apalagi kalau di belakang para penjahat itu terdapat pembesar yang amat berpengaruh dan berkuasa. Kita harus membongkar semua kejahatan itu dan menentang kelaliman, barulah tidak percuma kita belajar silat sejak kecil dan menjadi keturunan para pendekar."

"Uwaahhh! Agaknya engkau hendak membanggakan kedudukanmu sebagai putera pendekar, putera ketua Cin-ling-pai, ya?" Sui Cin mengejek sambil tersenyum. "Tidak demikian, adikku yang baik. Akan tetapi, kalau orang tua kita sudah berjuang sebagai pendekar dan memperoleh nama harum, bukankah sudah menjadi kewajiban kita anak-anak mereka untuk menjunjung tinggi nama itu dengan perbuatan gagah dan baik pula? Selain itu, bukankah di lubuk hati kite sudah terdapat perasaan menentang kejahatan?"

Sui Cin mengibaskan tangan kirinya. "Sudahlah, cukup dengan kuliahmu itu. Sekarang apa kehendakmu setelah engkau bertemu denganku di sini?"

"Cin-moi, aku merasa berbahagia sekali bertemu denganmu di sini, baik sebagai pemuda jembel maupun sebagai seorang gadis. Bagaimanapun juga, di antara kita masih terdapat ikatan yang amat dekat, setidaknya ikatan saudara seperguruan. Ingat bahwa ayahmu juga merupakan seorang murid Cin-ling-pai yang amat membanggakan, dan engkaupun menguasai banyak ilmu-ilmu tingkat tinggi dari Cin-ling-pai."

"Sudahlah jangan memuji-muji, maksudmu bagaimana?"

"Kita masih saudara seperguruan, dan kita bardua sudah mengalami bersama kejahatan yang dilakukan oleh komplotan busuk antek-antek pembesar lalim itu. Maka, jika engkau tidak keberatan, Cin-moi-, marilah kita lanjutkan kerja sama ini untuk menentang mereka. Setidaknya, sampai urusan ini selesai dan aku akan menemanimu kembali ke tempat tinggal orang tuamu, memberi kesempatan kepadaku untuk belajar kenal dengan mereka."

Sui Cin termenung. Bagaimanapun juga, ia merasa suka kepada pemuda ini dan sudah menikmati perjalanan bersama yang penuh petualangan itu. Rasanya tidak enak juga kalau kini membiarkan Hui Song bekerja sendiri menempuh bahaya besar menghadapi komplotan yang lihai itu.

Akhirnya ia mengangguk. "Baiklah, aku akan membantumu sampai usaha pembunuhan terhadap Jenderal Ciang itu digagalkan."

Wajah yang cerah itu makin berseri dan sepasang mata pemuda itu bersinar-sinar ketika dia meloncat bangun dengan girang. "Wah, terima kasih, Cin-moi! Aku memang tahu bahwa engkau adalah seorang pendekar wanita sejati!"

"Simpan pujian-pujianmu untuk lain kali, jangan dihabiskan sekarang. Yang penting, sekarang apa yang harus kita lakukan?"

"Untuk sementara ini, Menteri Liang sudah dapat diselamatkan dan tentu akan selalu dikawal ketat."

"Dan kalau engkau memberi tahu kepada Jenderal Ciang lalu pembesar itu selalu dikawal pasukan-pasukan yang kuat, penjahat-penjahat itu mampu berbuat apakah? Perlu apa kita harus bersusah payah lagi, Song-ko?"

"Engkau tahu, urusan ini bukan sekedar kejahatan biasa, melainkan komplotan yang menjadi antek dari Liu-thaikam, pembesar dalam istana yang korup dan jahat itu. Aku sudah menemui Jenderal Ciang dan beliau tidak merasa heran mendengar beritaku bahwa ada tokoh-tokoh sesat yang hendak membunuhnya, karena dia tahu betapa Liu-thaikam membencinya. Liu-thaikam harus ditumbangkan kekuasaannya, demikian kata Jenderal Ciang. Kalau tidak, pembesar keji itu akan semakin berani dan mungkin saja keselamatan kaisar sendiri kelak akan terancam oleh kejahatan Liu-thaikam dan antek-anteknya."

"Apa susahnya? Laporkan saja kejahatan Liu-thaikam kepada sri baginda kaisar agar dia ditangkap dan dihukum, habir perkara."

"Enak saja kau bicara, Cin-moi! Ketahuilah, menurut penuturan Jenderal Ciang, kedudukan thaikam itu amat tinggi dan celakanya, kaisar amat percaya kepadanya. Bahkan dia merupakan orang pertama yang dipercaya sri baginda kaisar. Melaporkannya begitu saja kepada kaisar bahkan akan mencelakakan si pelapor karena kaisar tidak akan percaya. Karena itulah, maka Ciang-goanswe minta bantuan dan kerja samaku untuk menghadapi para penjahat itu, memancing mereka agar turun tangan dan kita akan menghadapi mereka sehingga tidak sampai gagal seperti ketika para penjahat menyerbu Menteri Liang. Kita harus dapat menangkap hidup-hidup agar para penjahat itu dapat membuat pengakuan di depan kaisar sebagai saksi. Hanya dengan demikian maka kaisar akan percaya betapa jahat dan palsunya kepala thaikam itu dan dapat menjatuhkan hukuman. Nah, maukah engkau membantu agar usaha penting ini berhasil?"

"Bagaimana rencana jenderal itu?"

"Ciang-goanswe diam-diam memerintahkan agar seorang sahabatnya yang menjadi guru silat di kota Pao-fan, merayakan hari ulang tahunnya dan mengundangnya, juga mengundang para tokoh persilatan, baik dari golongan sesat maupun dari golongan bersih. Sebagai seorang bekas piauwsu dan juga sebagai guru silat, tidak terlalu menyolok kalau dia memberi kesempatan kepada para tokoh silat untuk menghadiri pestanya. Akan disiarkan berita bahwa pesta itu dihadiri oleh Jenderal Ciang sehingga komplotan itu tentu akan mendengarnya dan dapat dipastikan bahwa mereka akan turun tangan menyerang Jenderal itu di tempat pesta. Nah, di sinilah kita turun tangan pula menentang dan menangkap mereka, bersama dengan pada pengawal yang diam-diam diselundupkan ke tempat itu."

"Bagus sekali, mari kita berangkat!" kata Sui Cin penuh semangat. Gadis ini memang sejak kecil suka berkelahi, apalagi berkelahi menghadapi para penjahat dan dalam urusan menentang kejahatan, ia tidak pernah mengenal takut.

Sui Cin menunggang kudanya lagi, memakai payung karena panas matahari masih menyengat. Hui Song berjalan di samping kuda, wajahnya berseri dan semangatnya berkobar. Setelah kini didampingi Sui Cin, semangat pemuda ini semakin besar dan diapun tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada gadis ini, bahkan mungkin cintanya itu sudah bersemi ketika dia menganggap gadis ini seorang pemuda jembel.

***

Ang-kauwsu (guru silat Ang) memang mempunyai banyak kenalan. Sebelum menjadi guru silat yang tinggal di kota Pao-fan, di waktu mudanya dia pernah bakerja sebagai kepala piauwau (pengawal barang) yang cukup terkenal di kota raja. Sebagai piauwau, tentu saja dia banyak mengenal dunia hitam, mengenal para penjahat karena hal ini amat penting bagi pekerjaannya. Karena bersahabat dan suka memberi hadiah, maka para penjahat tidak akan mengganggu kiriman barang-barang di bawah bendera piauw-kiok yang dipimpinnya. Kini usianya sudah enam puluh tahun dan ketika dia diundang oleh Jenderal Ciang yang sudah dikenalnya dan diberitahu tentang komplotan yang hendak membunuhi para pembesar yang setia, dia segera menyatakan kesetiaannya untuk membantu jenderal itu menumpas para penjahat. Tentu saja hanya dengan cara mengadakan pesta ulang tahun ke enam puluh dan mengundang semua golongan sebagai pancingan agar para penjahat itu melihat kesempatan hadirnya Ciang-goanswe di situ dan berani turun tangan. Dia sendiri tidak berani mencampuri karena begitu mendengar bahwa komplotan itu terdiri dari orang-orang Cap-sha-kui, nyali guru silat ini sudah terbang dan mukanya menjadi pucat ketakutan. Siapa orangnya takkan ngeri mendengar nama Cap-sha-kui?

Berita tentang pesta ulang tahun Ang-kauwsu telah tersiar luas. Diberikan bahwa Ang-kauwsu mengadakan pesta besar-besaran dan meriah, bahkan mengundang orang-orang penting, juga Jenderal Ciang dari kota raja akan hadir dalam pesta itu. Juga diberitakan bahwa Ang-kauwsu membuka kesempatan kepada semua kawan di rimba raya untuk datang tanpa adanya surat undangan karena sukar menyampaikan surat undangan kepada mereka. Berita ini cukup bagi kaum sesat bahwa Ang-kauwsu tidak melupakan mereka dan bahwa semua orang tokoh sesat akan diterima sebagai tamu terhormat kalau menghadiri pesta itu. Tentu saja yang dimaksudkan dengan tokoh adalah mereka yang memiliki kepandaian cukup tinggi untuk menjadi tamu kehormatan Ang-kauwsu.

Sejak pagi pada hari yang ditentukan, ruangan besar yang merupakan tempat darurat, yaitu halaman depan rumah yang dibangun untuk tempat pesta, mulai dibanjiri tamu dari berbagai golongan. Tidaklah sukar untuk menduga siapakah tamu-tamu dari golongan bersih dan siapa pula tamu dari golongan sesat karena sebagian besar dari para kaum sesat itu bersikap kasar dan congkak, juga aneh-aneh pakaian dan sikap mereka. Karena para undangan itu terdiri dari orang-orang dari kaum persilatan, maka tidak diadakan penggolongan tempat duduk bagi wanita dan pria.

Biarpun wanita, kalau wanita kang-ouw, tidak merasa canggung duduk di antara kaum pria. Ada belasan orang wanita di antara para undangan itu yang duduknya berpencaran. Di antara mereka terdapat seorang gadis yang sikapnya menonjol karena selain wajahnya angker dan galak, juga dara ini amat cantik dan datangnya sendirian saja ke dalam pesta itu. Akan tetapi ketika ia memperkenalkan diri kepada tuan rumah sebagai seorang murid yang mewakili Cin-ling-pai, ia menjadi pusat perhatian orang di sekitarnya. Cin-ling-pai, nama yang sudah amat terkenal. Akan tetapi banyak pula yang merasa heran mengapa Cin-ling-pai diwakili oleh seorang gadis yang masih begitu muda, cantik jelita dan halus pula gerak-geriknya. Yang dapat menunjukkan bahwa ia seorang ahli silat hanyalah sepasang pedang yang tergantung di punggung dan wajahnya yang angker itu.

Dara itu berusia sembilan belas tahun, pakaiannya ringkas namun cukup mewah dan bersih, sepatunya mengkilap, wajahnya manis sekali, dengan mulut yang kecil dan dagu yang meruncing, matanya tajam galak dan rambutnya hitam dan lebat sekali, digelung ke atas merupakan sanggul yang besar dan diikat sutera kuning. Kalau rambut itu dilepas sanggulnya, mungkin panjangnya sampai ke lutut. Sepasang pedang panjang tipis melintang di kanan kiri pundak, tergantung pada punggung dan ini menambah kegagahannya. Ketika Ang-kauwsu mendengar bahwa gadis cantik ini adalah wakil Cin-ling-pai yang memberi selamat kepadanya, dia lalu mengantar tamu ini ke sebuah meja di mana telah duduk tiga orang tamu lain, dua wanita dan seorang pria yang menjadi kenalan baiknya karena mereka itu adalah keluarga piauwsu di kota Pao-fan. Dara Cin-ling-pai itu dipersilakan duduk dan gadis itu nampak lega karena memperoleh teman duduk yang cukup sopan dan yang usianya sekitar tiga puluhan, belum tua benar. Ia memperkenalkan diri sebagai Tan Siang Wi dan segera bercakap-cakap dengan tiga orang semeja itu.

Tak jauh dari meja di mana Tan Siang Wi duduk, terdapat pula tiga orang pria sedang duduk bercakap-cakap. Sukar dikatakan apakah mereka itu golongan sesat ataukan golongan bersih. Pakaian mereka cukup rapi, dan jelas menunjukkan pakaian ahli-ahli silat karena ringkas dan sikap merekapun gagah. Seorang di antara mereka sudah tua, jenggot kumis dan alisnya sudah putih namun tubuhnya masih tegap dan nampak kuat. Dua orang lainnya yang duduk di kanan kirinya berusia empat puluh tahun lebih, rambut mereka dikuncir tebal dan wajah mereka nampak gagah dengan jenggot terpelihara rapi. Akan tetapi, sikap tiga orang ini agak congkak dan hal ini dapat nampak pada pandang mata mereka yang ditujukan kepada para tamu yang hadir. Bahkan setiap kali ada tamu datang, terutama tamu yang menunjukkan bahwa mereka ini datang dari golongan hitam, mereka bertiga bicara dan tertawa-tawa. Pandang mata mereka yang ditujukan kepada tamu baru itu ketika tertawa-tawa menunjukkan bahwa tentu tamu baru itu yang menjadi bahan ketawa mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar