07 Asmara Berdarah

"Hemm, puluhan tahun kami melatih diri, hidup sengsara agar dapat berbakti, kemudian melakukan perjalanan yang amat jauh dari selatan, apakah semua itu harus sia-sia saja karena kematian ayahmu? Ayahmu boleh mati, akan tetapi masih ada puteranya dan cucu-cucu muridnya!"

Cia Han Tiong mengerutkan alisnya. Hatinya diliputi penyesalan besar. Mendiang ayahnya tidak pernah bercerita tentang musuh-musuhnya di waktu dahulu, akan tetapi dia merasa yakin bahwa memang benar ayahnya tentu dahulu pernah menewaskan nenek guru dari dua orang ini. Dan diapun yakin pula bahwa nenek guru mereka yang memakai julukan Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Darah Hitam) tentulah bukan orang baik-baik dan tidak mengherankan kalau ayahnya membunuhnya dalam perkelahian. Makin terasa olehnya betapa buruknya hidup dalam kekerasan. Sampai turun-temurun, dendam masih mengikatnya! Dia menarik napas panjang. Harus diakhiri ikatan karma ini. Manusia selalu dikejar ikatan karma karena ulah sendiri. Kini, saatnya untuk menentukan apakah karma itu akan terus mengejarnya dan anak cucunya, sepenuhnya berada di telapak tangannya. Akan tetapi, apakah dia harus menyerahkan saja nyawanya? Kakek dan nenek ini memiliki sinar mata penuh kebencian, tentu mereka tidak akan puas kalau hanya dia yang menyerahkan diri. Mereka tentu akan membunuh pula isterinya, semua muridnya, bahkan putera tunggalnya tentu akan mereka cari untuk dibunuh! Tidak, dia harus mempertahankan keluarganya. Dia harus membela diri dan melindungi keluarga dan para muridnya.

"Orang yang dibebani dendam terkutuk! Siapakah namamu?" Akhirnya Han Tiong bertanya, suaranya penuh wibawa.

Kakek itu tertawa. "Nama kami tidak ada gunanya kauketahui. Akan tetepi agar engkau ingat bahwa kami datang untuk membalas dendam nenek kami Hek-hiat Mo-li, biarlah engkau dan dunia kang-ouw mengenal kami sebagai Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo! Ha-ha-ha, akan tetapi apa gunanya? Sebentar lagi kalian semua akan menyusul mereka yang sudah mampus lebih dahulu!"

Cia Han Tiong melangkah maju. "Hek-hiat Lo-mo, marilah kita bereskan perhitungan lama secara jantan. Marilah engkau dan aku menentukan dengan nyawa kita dan urusan dendam ini kita habiskan di sini, tidak perlu menyangkut orang lain."

"Enak saja engkau hendak menyelamatkan keluarga dan murid-muridmu. Tidak, kalian semua harus mampus di tangan kami, barulah kami merasa puas dan terlepas dari beban batin selama puluhan tahun!" Nenek yang diberi nama Hek-hiat Lo-bo itu berkata dengan suara melengking-lengking.

Ciu Lian Hong yang sejak tadi diam saja, kini melangkah maju mendekati suaminya dan berkata, "Marilah kita hadapi mereka!" dengan sikap gagah nyonya ini pun mempersiapkan diri. Akan tetapi suaminya menggeleng kepala dan menyuruhnya mundur dengan sikap halus.

"Jangan engkau mencampuri, biarkan aku saja yang membereskan persoalan ini," katanya.

"Ha-ha-ha, ketua Pek-liong-pang. Tidak perlu sungkan dan malu. Kami datang berdua dan kami sudah mempersiapkan segalanya, termasuk pengeroyokan murid-muridmu. Nah, kerahkanlah semua tenagamu di sini, kami tidak akan takut, tidak akan mencelamu kalau kau melakukan pengeroyokan!" kata Hek-hiat Lo-mo.

Akan tetapi Cia Han Tiong adalah seorang pendekar lengkap, seorang yang menjunjung tinggi kehormatan. "Kami bukan pengecut yang suka main keroyokan mengandalkan banyak orang. Kalian hanya datang berdua, kelau setuju, biarlah kulayani kalian satu demi satu."

"Kami datang berdua dan kami maju bersama. Kau boleh mengerahkan semua keluarga dan muridmu!" Hek-hiat Lo-bo membentak dan nenek ini sudah menerjang dahsyat menggunakan tongkatnya yaug meluncur ke arah dada ketua Pek-liong-pang itu. Suaminya, Hek-hiat Lo-mo, juga menyerang dengan tongkatnya.

Menghadapi serangan beruntun yang dilakukan dua orang itu secara dahsyat dan susul menyusul, Han Tiong mengebutkan kedua lengan bajunya menangkis ujung tongkat sambil meloncat ke belakang.

"Plak-plak... brettt!" Ujung lengan bajunya dapat menyampok terpental kedua senjata lawan, akan tetapi ujung lengan baju kiri yang menangkis senjata di tangan Hek-hiat Lo-mo itu terobek.

Kedua pihak terkejut. Kakek dan nenek itu dapat merasakan betapa kuat tangkisan ujung lengan baju tadi. Mereka bergerak dengan hati-hati dan kini mengambil posisi di kanan kiri lawan dan tongkat mereka membuat gerakan-gerakan aneh dan mengeluarkan suara berdesing seperti senjata tajam saja. Melihat gerakan mereka yang teratur, Han Tiong dapat menduga bahwa kedua orang ini memang telah mempelajari cara bersilat berdua merupakan semacam ilmu silat berpasangan. Ilmu ini amat kuat karena keduanya dapat bekerja sama secara teratur dan rapi, dapat saling bantu dan saling melindungi secara otomatis. Mengertilah dia mengapa mereka tidak mau maju satu demi satu, melainkan ingin maju bersama.

"Sing...!" Cia Han Tiong memang pantang membunuh, akan tetapi menghadapi lawan-lawan tangguh itu, untuk dapat membela diri dengan baik diapun mencabut pedangnya. Sebetulnya pendekar ini tidak pernah mempergunakan pedang dan pedang yang dibawanya itu lebih merupakan hiasan saja. Akan tetapi, sekali ini dia membutuhkannya.

"Hiaaaat...!" Hek-hiat Lo-mo sudah menusukkan tongkatnya dari kanan.

"Ihhh...!" Hek-hiat Lo-bo juga menyerang dari kiri dengan totokan ke arah leher.

"Wuuutt... sing... trang-trang...!" pedang berkelebat membentuk sinar terang dan menangkis kedua tongkat. Akan tetapi, begitu kedua tongkat terpental, kakek dan nenek itu menggerakkan tangan kiri dan ternyata serangan tangan kiri mereka yang menyambar itu tidak kalah ampuhnya dibandingkan tongkat mereka!

Han Tiong cepat menggeser kaki dua kali, mengelak dan menggunakan ujung lengan baju kiri untuk menangkis. Kini tahulah dia bahwa yang paling berbahaya adalah tangan kiri kedua lawan itu. Inti penyerangan mereka terletak di kedua tangan kiri sedangkan tongkat-tongkat itu lebih bertugas mengacau kedudukan lawan dan mengalihkan perhatian agar tangan kiri mereka lebih banyak memperoleh kesempatan untuk "mencuri" kelengahan lawan. Maka diapun segera mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat kuat di tangan kirinya untuk menjaga diri dan balas menyerang. Terjadilah sebuah pertandingan yang amat seru.

Akan tetapi, dua orang kakek dan nenek itu memiliki gerakan silat yang luar biasa dan asing bagi Han Tiong. Yang berbahaya sekali dan tak terduga-duga datangnya adalah serangan kaki mereka. Kaki mereka itu dapat menyelingi serangan tongkat dan tangan dengan tendangan-tendangan aneh yang dilakuken dalam berbagai posisi. Tendangan langsung, miring ke belakang, bahkan tendangan lutut. Cara menendang gaya Sailan ini tidak dikenal Han Tiong. Berbeda dengan gaya tendangan dari selatan yang menggunakan sepanjang kaki dengan pengerahan kekuatan dan dilakukan dengan cepat dari jarak agak jauh, tendangan kakek dan nenek ini dapat dilakukan dari jarak dekat, menggunakan lutut dan tiba-tiba datangnya. Betapapun juga, kematangan Han Tiong dalam ilmu silatnya membuat dia selalu dapat mengelak dan membalas dengan serangan-serangan dahsyat pula sehingga sering membuat kedua lawannya terkejut dan kesatuan gerakan mereka membuyar.

Ciu Lian Hong merasa penasaran ketika suaminya menyuruhnya mundur tadi. Apalagi kini melihat suaminya dikeroyok dua dan nampak terdesak, ia merasa semakin penasaran. Karena merasa khawatir akan keselamatan suaminya, akhirnya Ciu Lian Hong tak dapat lagi menahan kemarahannya.

"Kakek nenek iblis curang!" bentaknya dan nyonya itupun meloncat ke depas, sambil menyerang Hek-hiat Lo-bo dengan tamparan tangan kanannya.

"Plakk...!" Tubuh nyonya itu nyaris terpelanting ketika tamparannya ditangkis oleh Hek-hiat Lo-bo dengan amat kuatnya.

"Heh-heh, bagus engkau datang menyerahkan nyawamu!" nenek itu terkekeh lalu menyerang Ciu Lian Hong dengan tongkatnya. Nyonya ini mengelak dan berloncatan ke sana-sini, akan tetapi ujung tongkat itu terus mengejarnya."

"Tranggg...!" Sinar pedang berkelebat dan ternyata Han Tiong telah menangkis tongkat yang mengancam keselamatan isterinya itu.

"Hong-moi, mundurlah! Biar kuhadapi sendiri..."

"Tidak! Aku harus membantumu!" teriak Lian Hong.

Han Tiong khawatir akan keselamatan isterinya, maklum bahwa tidak mungkin Lian Hong dicegah. Dia menyerahkan pedang di tangannya kepada isterinya lalu berbisik cepat, "Pergunakan pedang ini dan mainkan Thai-kek Sin-kun hanya untuk membela diri saja!"

Dua orang musuh mereka itu tertawa, lalu menyerang lagi, si kakek menyerang Han Tiong yang bertangan kosong sedangkan nenek itu memutar tongkatnya lalu menyerang Lian Hong.

Nyonya ini maklum akan kelihaian lawan. Maka iapun cepat menggerakkan pedangnya dan bersilat dengan Ilmu Thai-kek Sin-kun, sesuai dengan pesan suaminya. Ilmu ini dapat dimainkan dengan pedang dan ilmu silat ini memang mengandung daya tahan yang amat hebat. Ketika Lian Hong memutar pedangnya memainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun, tongkat lawannya tidak mampu menembus benteng pertahanan yang kokoh kuat itu.

Betapapun juga tenaga lawan lebih besar dan ilmu kepandaian nenek itu memang jauh lebih tinggi tingkatnya, maka biarpun Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun amat kokoh kuat, tetap saja Lian Hong terdesak dan tangannya yang memegang pedang terasa panas dan nyeri setiap kali pedangnya bertemu tongkat. Sejak tadi Lian Hong hanya membela diri saja, sesuai dengan petunjuk suaminya, tidak pernah membalas karena ia mencurahkan seluruh perhatian dan tenaganya untuk bertahan. Akan tetapi, lama kelamaan nyonya ini merasa penasaran. Ia didesak dan dihimpit dan biarpun ilmu silat itu ternyata mampu melindunginya sehingga selama hampir lima puluh jurus ia belum pernah terpukul, akan tetapi kalau hanya bertahan terus, akhirnya pasti ia akan kalah juga. Rasa penasaran membuat Lian Hong kini menyelingi pertahanannya dengan serangan balasan. Dan inilah kesalahannya!

Tadi Han Tiong melihat betapa tingkat kepandaian isterinya masih kalah jauh dibandingkan lawan, maka dia sengaja memberikan pedangnya dengan pesan agar isterinya memainkan Thai-kek Sin-kun untuk melindungi dirinya. Dengan demikian, walaupun isterinya takkan menang, setidaknya isterinya akan dapat melindungi diri sendiri sampai dia berhasil mengalahkan Hek-hiat Lo-mo kemudian membantu Lian Hong. Akan tetapi tak disangkanya sama sekali bahwa kakek itu benar-benar amat lihai. Kini, tanpa memegang pedang, sebetulnya Han Tiong dapat mengeluarkan ilmu-ilmunya yang sakti. Sayang, hatinya yang bersih sama sekali tak menghendaki membunuh lawan. Dia merasa bahwa pihaknya yang berhutang. Maka dia hanya membela diri dan balasan serangannya mempergunakan batas-batas agar jangan sampai dia membunuh lawan. Hal ini mengurangi daya serangannya dan sedemikian jauhnya dia masih belum mampu mengalahkan lawan. Dan tiba-tiba saja Lian Hong yang sudah penasaran itu mulai membalas dengan serangan hebat kepada Hek-hiat Lo-bo!

"Haiiittt...!" Lian Hong menusukkan pedangnya dengan cepat dan kuat ke arah perut nenek itu.

"Iiihhh...!" Nenek itu meloncat dan terhuyung ke belakang. Nenek yang sudah berpengalaman ini memang licik sekali. Tadi ia sudah hampir putus asa menghadapi daya tahan yang kokoh kuat dari ilmu silat lawannya. Ia merasa penasaran dan kehabisan akal. Ia tahu bahwa ia menang segala-galanya dari lawan, akan tetapi semua ilmu sudah ia keluarkan namun belum juga ia mampu membobolkan sinar pedang yang membentuk benteng pertahanan lawan itu. Ketika ia melihat lawan tiba-tiba mulai menyerang, ia menjadi girang sekali. Begitu lawan menyerang, ia melihat lubang terbuka dalam benteng pertahanan itu! Akan tetapi ia tidak tergesa-gesa, bahkan memancing lawan agar menyerang terus sehingga akan terbuka lubang dan kesempatan yang lebih besar. Maka ia pura-pura terkejut, berseru sambil terhuyung ke belakang seolah-olah ia terdesak hebat oleh serangan lawan tadi. Dan Lian Hong terkena jebakan ini!

Melihat betapa nenek itu terhuyung oleh serangannya, Lian Hong menjadi girang sekali, mengira bahwa serangannya ini berhasil. Ia lalu mendesak dan mengirimkan serangan susulan dengan pedangnya, menubruk ke depan dan menyabetkan pedangnya ke arah leher nenek itu dari samping.

"Hong-moi, mundur...!" Tiba-tiba terdengar Han Tiong berseru keras sekali dan dia hendak meloncat ke depan mencegah isterinya. Akan tetapi, Hek-hiat Lo-mo menghadang dengan totokan tongkatnya. Dan juga, seruannya sudah terlambat karena isterinya yang sudah merasa girang melihat kemenangannya di depan mata itu tidak mau menahan serangannya.

"Wuuuttt... srettt...!" Pedang itu menyambar leher Hek-hiat Lo-bo yang mengelak dan ketika ia menggerakkan kepala, ikatan rambutnya yang penuh uban itu terlepas dan gumpalan rambutnya bergerak seperti hidup, tahu-tahu sudah membelit dan menangkap pedang lawan. Lian Hong mengerahkan tenaga untuk menarik pedangnya, namun sukar sekali dan selagi ia bersitegang, mendadak tongkat di tangan nenek itu meluncur di bawah lengan Lian Hong dan menotok dada, tepat di dekat ketiak.

"Tukkk...!" Nyonya itu mengeluh lirih, terkulai dan roboh tak dapat berkutik lagi.

Han Tiong mengeluarkan geraman yang menggetarkan seluruh tempat itu, menerjang kakek yang menghalang dengan tongkat. Karena marah dan khawatir melihat isterinya roboh, dia kini mengeluarkan ilmu simpanannya yang disebut Keng-lun Tai-pun, melakukan sebuah jurus aneh, tubuhnya melayang ke depan, kedua lengannya dikembangkan dan dari dua tangannya keluar hawa panas menyambar-nyambar.

"Tukk! Desss...!" Tubuh Hek-hiat Lo-mo terjengkang dan Han Tiong terguncang tubuhnya terkena totokan tongkat. Akan tetapi dia menerjang terus dan meloncat ke arah isterinya yang rebah miring. Hek-hiat Lo-bo yang melihat suaminya terjengkang, mengeluarkan suara pekik melengking dan menyambut Han Tiong dengan tusukan tongkat dibarengi hantaman telapak tangan kiri. Hebat bukan main serangan nenek yang tingkat kepandaiannya tidak di bawah suaminya ini.

"Tukk! Plak! Desss...!" Tubuh Hek-hiat Lo-bo juga terpelanting dan terguling-guling ke dekat tubuh suaminya. Keduanya dengan susah payah bangkit duduk, muka mereka pucat sekali, napas mereka memburu dan dari mulut dan hidung mereka keluar darah. Maklum bahwa mereka telah terluka parah dalam pertemuen tenaga sakti melawan ketua Pek-liong-pang tadi, keduanya lalu duduk bersila menghimpun hawa murni dan menanti datangnya pukulan maut dari lawan. Mereka tahu bahwa dalam keadaan seperti itu, melarikan diri tidak mungkin, apalagi melawan!

Han Tiong sendiripun terluka, akan tetapi untung baginya bahwa tenaga Thian-te Sin-ciang yang ampuh melindungi tubuhnya sehingga biarpun dalam tubuhnya terguncang hebat dan dari mulutnya mengalir darah segar pula, namun totokan-totokan dan hantaman tangan kiri lawan yang amat ampuh tadi tidak sampai mengakibatkan luka parah. Dia tidak memperdulikan lagi kedua orang lawannya, melainkan berlutut di dekat tubuh isterinya. Dia mengangkat dan memangku tubuh yang lunglai itu dan biarpun tubuh itu masih hangat, dia tahu bahwa isterinya telah tewas!

"Hong-moi... aihhh, Hong-moi... engkau menjadi korban kekerasan keluargaku..." dia meratap dan mengeluh, penuh rasa duka dan terharu.

Kalau tadi para murid Pek-liong-pai tidak berani turun tangan menghadapi musuh tanpa perintah suhu mereka, kini melihat subo mereka tewas dan kedua orang musuh itu agaknya sudah terluka parah tinggal menyusulkan pukulan maut saja, mereka lalu bergerak menyerang kakek dan nenek itu untuk membalaskan kematian subo dan lima belas orang saudara seperguruan mereka. Tentu saja sebagai dua orang yang pandai, kakek dan nenek itu tahu akan bahaya yang mengancam diri mereka. Mereka sudah terluka parah dan mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawan berarti membunuh diri sendiri. Akan tetapi, sebelum mati lebih baik mereka merobohkan lagi beberapa orang lawan yang tingkat kepandaiannya belum tinggi. Mereka lalu bangkit berdiri, terengah-engah menyeringai, bertopang pada tongkat mereka.

"Hah, majulah kalian, heh-heh...!" Hek-hiat Lo-mo menantang. Isterinya juga siap di sebelahnya, tidak berani dan tidak kuat lagi membuka suara. Para murid Pek-liong-pang terkejut dan menjadi agak gentar, menunda serangan mereka dan kini maju mengepung, siap dengan senjata mereka.

"Tahan...!" tiba-tiba untuk kedua kalinya, Han Tiong membentak. Semua muridnya terkejut, menahan senjata dan menoleh ke arah pendekar itu.

Dengan lembut Han Tiong menurunkan tubuh isterinya, merebahkan mayat yang masih hangat itu di atas tanah, lalu dia bangkit berdiri, mengusap darah dari tepi bibirnya, lalu melangkah maju menghampiri kakek dan nenek itu, sejak tadi matanya menatap wajah mereka dengan tajam.

Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo memandang dengan muka pucat, maklum bahwa nyawa mereka berada di tangan pendekar ini karena melawan pendekar ini tidak mungkin lagi bagi mereka yang sudah terluka parah.

Tiba-tiba Hek-hiat Lo-mo terkekeh. Dia tertawa untuk menutupi rasa ngeri dan takutnya. "Heh-heh-heh, orang she Cia! Kami sudah kalah olehmu. Mau bunuh lekaslah lakukan itu. Kami tidak merasa rugi, nyawa kami ditukar nyawa isterimu dan lima belas orang muridmu!"

Sinar berapi-api penuh kemarahan memancar dari sepasang mata pendekar ini, dan kedua tangannya mengepal tinju. Terdengar bunyi berkerotokan ketika dia mengerahkan tenaga dan dua orang tua itu merasa semakin serem. Mereka tahu betapa dahsyatnya tenaga yang tersembunyi di dalam kedua tangan itu sehingga sekali saja tangan itu bergerak, mereka takkan mampu mempertahankan nyawa mereka lagi. Juga para murid Pek-liong-pang memandang terbelalak, ingin sekali melihat guru mereka menurunkan tangan maut membunuh dua orang musuh besar itu.

Akan tetapi pukulan yang dinanti-nantikan itu tak kunjung datang. Bahkan pendekar itu menoleh ke arah mayat isterinya, membalik memandang kakek dan nenek itu, lalu bicara, suaranya menggetar penuh duka.

"Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo, setelah kalian membunuh isteriku dan lima belas orang muridku, keuntungan apakah yang kalian peroleh dari kematian mereka? Dan apakah dengan kematian mereka itu nenek guru kalian yang tewas oleh mendiang ayahku itu dapat hidup kembali?"

Mendengar pertanyaan aneh ini, kakek dan nenek itu saling berpandangan dengan bimbang, kemudian kakek itu yang menjawab, "Tentu saja nenek guru kami tidak dapat hidup kembali, dan keuntungan yang kami dapat adalah rasa puas bahwa dendam kami sudah terbalas sebagian!"

"Benarkah itu? Benarkah kalian merasa puas? Ataukah akan timbul dendam lain karena kalian gagal membunuhku dan dengan sekali pukul aku akan dapat membunuh kalian?"

"Sudahlah, kami sudah kalah dan gagal, engkau boleh membunuh kami, kami tidak merasa takut!"

Akan tetapi Han Tiong menggeleng kepala dan menarik napas panjang lalu menundukkan mukanya. "Tidak, aku tidak akan mau memperpanjang dan menyambung karma buruk ini. Biarlah isteriku dan lima belas orang muridku menjadi penebus hutang mendiang ayahku dan kubikin putus rantai karma yang membelenggu diriku. Harap kalian dapat menghabiskan permusuhan sampai di sini saja."

Kakek dan nenek itu kembali saling pandang seperti tidak percaya akan apa yang mereka dengar.

"Kau... kau tidak akan membunuh kami...?" Nenek itu bertanya, suaranya mengandung isak tertahan karena ia terlepas dari ketegangan hati seorang yang menghadapi maut yang nampaknya tak terelakkan lagi mengancam dirinya tadi.

Han Tiong mengangguk dan menarik napas panjang. "Benar, kalian boleh pergi..."

Kakek dan nenek itu merasa terharu sekali. Baru saja mereka membunuh isteri dan lima belas orang murid pendekar ini, akan tetapi pendekar ini mengampuni mereka! Selama hidup mereka belum pernah mendengar yang seganjil ini, apalagi mengalaminya. Jantung mereka seperti ditusuk-tusuk rasanya dan sekarangpun mereka mulai merasa menyesal sekali. Peristiwa pembunuhan ini akan menghantui mereka selama hidup dengan penyesalan. Kalau pendekar ini merasa dendam dan hendak membalas atas pembunuhan-pembunuhan itu, tentu tidak akan terdapat penyesalan di hati mereka. Akan tetapi kini sikap pendekar itu akan membuat mereka selama hidup menyesal sekali telah melakukan pembunuhan di hari ini. Mereka lebih suka kalau dibunuh saja.

Keduanya menjura dengan muka pucat dan mata basah. "Cia-taihiap, kami berhadapan dengan seorang mulia, kami takluk dan merasa menyesal sekali..." kata kakek itu.

"Pergilah kalian... pergilah...!" kata Han Tiong, lalu dia menghampiri mayat isterinya, dipondongnya jenazah itu dan dibawanya pulang. Para muridnya juga mengangkat mayat saudara-saudara mereka mengikuti suhu mereka dari belakang.

Kakek dan nenek itu mengikuti iring-iringan jenazah yang amat menyedihkan itu dengan muka pucat dan pandang mata sayu, kemudian tertatih-tatih mereka pun pergi meninggalkan Lembah Naga.

Setelah belasan jenazah itu dimasukkan peti dan para murid Pek-liong-pang berkumpul dan berkabung, suasana menjadi amat menyedihkan. Sisa para murid cepat memberi kabar kepada saudara-saudara seperguruan mereka dan setiap kali ada murid Pek-liong-pang datang, meledaklah ratap tangis di antara mereka.

Hampir tiga puluh orang murid Pek-liong-pang berkumpul di malam terakhir itu. Besok pagi, enam belas peti mati itu akan dikebumikan. Dalam kesempatan ini, para murid kepala menyatakan rasa penasaran hati mereka terhadap sikap suhu mereka kepada kakek dan nenek yang memusuhi Pek-liong-pang dan yang menyebar maut itu.

"Suhu, teecu sekalian tetap merasa penasaran mengapa suhu membiarkan kakek dan nenek iblis itu pergi. Sepatutnya mereka dibunuh untuk membalaskan kematian subo dan enam belas murid Pek-liong-pang. Karena suhu mengampuni dan membebaskan dua iblis itu, apakah arwah subo dan sute tidak penasaran?" demikian seorang murid tua yang sudah lulus dan baru saja tiba, mewakili saudara-saudara seperguruannya menyampaikan rasa penasaran hati mereka. Para murid lainnya mengangguk setuju dan semua mata ditujukan kepada pendekar itu. Dalam beberapa hari ini, Cia Han Tiong seolah-olah bertambah tua sepuluh tahun. Dia memandang para muridnya yang duduk bersila di depannya, dekat dengan peti-peti jenazah yang berjajar.

"Subo kalian dan para murid Pek-liong-pang tewas dalam perkelahian, bahkan pihak kita yang melakukan pengeroyokan. Mereka, juga subo kalian, tewas karena memang kalah pandai. Bukankah kalah menang adalah wajar saja dalam perkelahian? Juga luka atau tewas merupakan rangkaian dan akibat dari kekerasan yang dilakukan kedua pihak. Apa yang harus dibuat penasaran lagi?"

"Akan tetapi, suhu. Mereka yang datang menyerang, bukan kita yang mulai perkelahian itu."

"Mereka datang bukan tanpa sebab. Mereka datang sebagai akibat dari sebab lama, yaitu terbunuhnya nenek guru mereka oleh mendiang sukong kalian."

"Tapi, suhu. Mereka datang menyebar maut membunuh! Setelah suhu mengalahkan mereka, mengapa suhu melarang teecu sekalian membunuh mereka untuk membalas dendam, malah suhu membebaskan mereka. Sungguh bisa membuat orang mati penasaran!" kata seorang murid yang berwatak keras.

Han Tiong tersenyum duka dan timbul niatnya untuk mengajak para muridnya membuka mata melihat betapa pahit kadang-kadang kenyataan hidup itu adanya.

"Kalian dengar dan camkanlah baik-baik. Kalian bilang bahwa mereka datang membalas dendam dan membunuh, dan kalian menganggap mereka itu jahat. Akan tetapi kalian juga ingin membunuh mereka untuk membalas dendam. Lalu apa bedanya antara mereka dengan kita kalau kita juga ingin membunuh karena dendam? Membunuh adalah perbuatan jahat, apapun alasannya, apalagi membunuh dengan dasar dendam dan kebencian. Andaikata kita membunuh mereka berdua apakah enam belas jenazah ini akan dapat hidup kembali? Tidak, tidak ada gunanya sama sekali kalau kita membunuh mereka, bahkan kita menanam lagi bibit permusuhan baru. Mungkin bibit ini kelak berbuah dengan datangnya keturunan mereka yang akan membalas dendam kepada kita atau keturunan kita."

Hening sejenak. Semua kata-kata itu meresap di dalam hati sanubari para murid Pek-liong-pang karena mata mereka kini terbuka dan baru melihat kenyataan yang hebat.

"Lihatlah," ketua Pek-liong-pang itu melanjutkan, "bukankah setiap peristiwa yang menimpa diri kita hanya merupakan pemetikan buah saja dari pohon yang kita tanam sendiri, sedangkan setiap perbuatan kita seperti menanam bibit yang kelak menjadi pohon dan berbuah yang harus kita petik sendiri pula? Karena itu, kita tidak perlu penasaran memetik buah pohon tanaman sendiri, dan kalau menanam bibit, tanamlah yang baik! Kalau aku menerima malapetaka ini sebagai pemetikan buah dari pohon lama tanaman ayah, kemudian aku tidak menanam bibit baru, berarti aku telah mamatahkan belenggu mata rantai karma yang akan mengikat aku dan keluargaku."

"Akan tetapi suhu, dapatkah manusia hidup bebas dari karma?" tanya seorang murid.

"Setiap perbuatan yang didorong oleh nafsu dan pamrih, tentu mengikatkan diri kita kepada karma. Karma adalah hukum rangkaian sebab-akibat. Harus diketahui bahwa sebabnya berada di telapak tangan kita sendiri. Jadi, terputus atau bersambungnya karmapun berada di tangan kita sendiri. Dendam-mendendam, hutang-pihutang budi atau dendam, menciptakan mata rantai karma yang amat kuat. Kalau setiap tindakan atau perbuatan kita dilandasi cinta kasih yang berarti wajar tanpa pamrih, perbuatan itu akan habis sampai di situ saja, bukan merupakan akibat maupun sebab, tanpa dipengaruhi karma. Pamrih timbul karena kita mengharapkan jasa bagi kita dan kutuk bagi orang lain yang merugikan diri kita. Maka, murid-muridku, hiduplah bebas dari dendam dan hutang-pihutang budi, dan kalian akan bebas dari karma."

Malam sudah larut. Tengah malam baru lewat dan para murid mengganti lilin yang tinggal sedikit dengan lilin-lilin baru. Han Tiong sendiri menyalakan hio (dupa lidi) harum sehingga ruangan itu dipenuhi asap dupa harum. Keadaan menjadi amat hening ketika mereka tidak bicara lagi, keheningan yang mencekam, penuh duka dan keseraman.

Tiba-tiba terjadi hal aneh yang membuat mereka semua merasa terkejut sekali. Ada angin bertiup dari arah kiri ruangan sehingga api lilin-lilin besar di atas meja sembahyang bergoyang seperti hendak padam, menimbulkan banyak bayangan hitam menari-nari di atas dinding putih. Juga asap dupa beterbangan ke arah kanan. Ini bukan angin biasa, pikir mereka. Sebelum mereka sempat bertanya-tanya, tiba-tiba saja ada angin bertiup dari arah yang berlawanan. Kini api lilin tenang kembali, seperti dihimpit dua tenaga atau tertiup dari dua arah, membuat api tergetar-getar. Asap dupa yang tertiup dari dua arah menjadi berputaran seperti anak-anak domba kebingungan diancam dua ekor harimau dari dua jurusan.

Han Tiong tahu akan hal ini, akan tetapi dia bersikap tenang, bahkan lalu menggeser duduknya di belakang peti jenazah isterinya, tepat di belakang menghadap ke meja sembahyang. Pendekar ini dapat menduga bahwa tentu akan muncul orang-orang pandai yang belum diketahuinya siapa dan apa maksud kunjungan mereka di saat seperti itu. Dia tidak mengharapkan tamu luar. Para muridnya sudah dipesan agar mengundang murid-murid Pek-liong-pang saja dan kalau mungkin mencari Cia Sun puteranya, dan agar peristiwa itu tidak dikabarkan kepada orang luar. Dia tidak ingin malapetaka yang menimpanya itu diketahui dunia kang-ouw. Dan rahasia ini mungkin saja dipegang rapat mengingat bahwa Lembah Naga adalah sebuah tempat terpencil yang jarang dikunjungi orang luar. Akan tetapi, mengapa kini muncul orang-orang pandai?

Para murid Pek-liong-pang tidak ada yang mengira bahwa peristiwa angin ganjil itu dilakukan orang pandai. Mereka saling pandang dan merasa ngeri, menyangka bahwa hal itu tentu dilakukan oleh mahluk-mahluk halus, atau mungkin oleh arwah-arwah yang mati penasaran itu. Mereka merasa ngeri dan bulu tengkuk mereka meremang.

Tiba-tiba saja ada suara terkekeh. Para murid Pek-liong-pang tersentak kaget dan memandang terbelalak kepada seorang kakek yang tiba-tiba saja muncul di depan meja sembahyang. Kakek itu usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih. Tubuhnya tinggi besar dan mukanya hitam kasar, matanya bundar besar. Seorang kakek dengan wajah angker, mengingatkan orang akan tokoh jaman Sam-kok yang bernama Thio Hwi! Mukanya penuh cambang bauk yang terpelihara rapi sehingga dia nampak bersih, dan pakaiannya seperti jubah pendeta, akan tetapi cukup mewah dan mahal. Sepatunya baru mengkilap.

"Ha-ha-ha...! Menyembunyikan rasa takut di balik filsafat dan kebajikan, itu namanya pengecut. Si jembel membela si pengecut, itu namanya berhati lemah. Aku ikut berduka cita atas malapetaka yang menimpa keluarga Cia!" Berkata demikian, kakek ini lalu menjura ke arah meja sembahyang.

Han Tiong sudah cepat bangkit berdiri. Selama beberapa hari ini dia telah minum obat dan merawat diri sehingga luka tidak parah yang dideritanya dalam perkelahian melawan Hek-hiat Lo-mo dan Lo-bo itu sudah sembuh. Kini dia melihat munculnya orang aneh dan mendengar kata-kata tadi, dapat menduga bahwa kekek ini muncul bukan sebagai sahabat. Ketika kakek itu menjura ke arahnya, dia terkejut dan cepat mengerahkan sin-kang dan balas menjura untuk menangkis serangan jarak jauh itu. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia merasa kehebatan tenaga sakti yang menyambar kepadanya. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, akan tetapi tetap saja tidak mampu menahan dorongan kuat yang membuatnya merasa dadanya terhimpit sesak!

Selagi Han Tiong hendak menghentikan adu tenaga ini dengan jalan menghindar dengan loncatan ke samping, tiba-tiba terdengar suara terkekeh lain lagi di sebelah belakangnya. Para murid Pek-liong-pang juga melihat seorang kakek lain yang tahu-tahu sudah berada di belakang suhu mereka. Kakek inipun sudah tua, sudah enam puluh tahun lebih usianya. Tubuhnya tinggi kurus, tangan kirinya memegang sebuah tongkat bambu dan di punggungnya tergantung sebuah ciu-ouw (guci arak).

"Heh-heh-heh...! Dasar orang hutan liar! Mana tahu akan filstafat yang indah? Tahunya hanya mengandalkan kekuatan memaksakan kehendaknya. Keluarga Cia yang gagah perkasa dan budiman, mana bisa dibandingkan dengan orang gunung yang buta huruf?"

Sambil berkata demikian, kakek tinggi kurus yang bajunya penuh tambalan inipun menjura dari belakang Han Tiong dan pendekar ini merasa betapa ada tenaga mujijat mendorong kekuatannya sendiri dari belakang dan menolak tenaga dorongan kakek tinggi besar itu.

Sementara itu, seorang murid Pek-liong-pang yang tidak tahu akan adanya adu tenaga sakti itu, mengira bahwa dua orang kakek itu memang tamu yang hendak bersembahyang, lalu menyalakan beberapa batang hio dan dengan sikap hormat menyerahkan dupa lidi membara itu kepada kedua orang kakek, masing-masing tiga batang. Agaknya murid yang tak tahu gelagat ini menganggap bahwa dua orang kakek itu adalah sahabat-sahabat suhunya, kerena dia memang tahu bahwa di dunia kang-ouw terdapat banyak sekali orang-orang yang berwatak aneh. Dia tidak menyadari bahwa di antara kedua orang kakek itu diam-diam telah terjadi adu tenaga sakti yang seru!

Dua orang kakek itu tersenyum-senyum menerima tiga batang hio. Kakek bercambang bauk lalu bersembahyang di depan meja dan asap dari tiga batang hio yang dipegangnya itu tiba-tiba meluncur ke depan dan mengeluarkan suara mendesis seperti tiga ekor ular yang hendak menyerang Han Tiong dan kakek jembel! Barulah para murid Pek-liong-pang terkejut. Juga Han Tiong terkejut sekali, dan dia siap mengelak atau menangkis serangan asap hio itu. Akan tetapi pada saat itu, asap dari tiga batang hio di tangan kakek jembel juga meluncur ke depan, menyambut tiga jalur asap pertama. Terjadilah pemandangan yang amat yang amat menarik, aneh dan menegangkan. Dari satu pihak terdapat tiga jalur asap dan kini enam jalur asap itu bergulung, saling belit, saling dorong, seperti enam ekor ular sakti bermain-main di angkasa! Pengendalinya adalah dua orang kakek itu yang berdiri memegangi tiga batang hio. Anehnya, bara api pada hio-hio itu amat besar nyalanya seperti ditiup terus-menerus sehingga tak lama kemudian hio-hio itupun habis terbakar dan padam. Ular-ular asap itupun membuyar dan pertandingan berhenti.

"Ha-ha-ha! Si jembel pemabok ternyata semakin kuat saja!" kakek tinggi besar tertawa gembira.

"Dan engkau orang gunung liar semakin binal saja!" kakek jembel itupun tertawa.

"Kau masih menganggap kelemahan orang she Cia ini benar?" tanya kakek tinggi besar.

"Tentu saja! Hidup haruslah bebas, baru dapat menikmati hidupnya!" kata kakek jembel.

"Huh! Hidup tanpa adanya sesuatu yang mengikat, lalu apa artinya? Tiada isi, hampa belaka!" kata kakek tinggi besar.

"Itu pendapatmu! Hidup harus bebas dari pendapat..."

"Ha-ha, jembel mabok! Ucapanmu itu pun merupakan suatu pendapat, bukan?"

Wajah kakek jembel itu berobah merah dan sejenak dia seperti kebingungan. "Sudahlah!" dia mengetukkan tongkat bambunya di atas lantai. "Kita bukan nenek-nenek bawel yang suka berdebat. Kalau engkau ingin mengadu kepandaian, hayoh! Di manapun dan kapanpun akan kulayani. Sudah lama tongkatku tidak pernah menggebuk anjing tinggi besar dari gunung!"

Akan tetapi kakek tinggi besar yang disindir itu hanya tertawa. "Engkau tahu bahwa ucapanmu itu hanya gertak sambal! Akupun tahu bahwa aku takkan mudah mengalahkan engkau jembel busuk. Kita sudah semakin tua, tiada gunanya membuang tenaga sia-sia. Mari kita berlomba membuktikan kebenaran filsafat lemah pengecut dari orang she Cia ini!"

"Baik, bagaimana caranya?"

"Kita didik murid menurut cara masing-masing, engkau boleh mencontoh filsafatnya dan aku sebaliknya. Tiga tahun kemudian kita adu murid kita!"

"Baik!"

Kedua orang kakek itu lalu berkelebat lenyap! Cia Han Tiong cepat menjura dan mencoba menahan. "Ji-wi locianpwe, harap duduk dulu...!"

"Ha-ha!" Terdengar suara kakek jembel. "Kau mau tahu. Aku hanya jembel tua Ciu-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Arak)!"

"Dan aku adalah Go-bi San-jin (Orang Gunung Gobi)!" terdengar suara kakek tinggi besar. Suara mereka terdengar dari jauh sekali, dan dari dua jurusan!

Cia Han Tiong duduk kembali, menarik napas panjang dan menghapus keringatnya.

"Suhu, siapakah dua orang aneh itu?" tanya seorang murid.

Han Tiong menarik napas panjang dan mengerutkan alisnya. "Sungguh aku seorang yang harus malu melihat kepandaian sendiri tiada artinya dibandingkan mereka itu. Melihat sin-kang mereka, agaknya mereka memiliki tingkat yang tak kalah tingginya dibandingkan tingkat mendiang ayahku sendiri! Dan mereka itu jauh lebih lihai daripada Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo! Namun, baik kedua Lo-mo dan Lo-bo maupun kedua kakek tadi, sama sekali tak terkenal di dunia kang-ouw! Terbuktilah kini bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai, jauh lebih pandai daripada orang yang terke-nal!"

"Apakah maksud kedatangan mereka itu, suhu?"

"Entahlah. Entah ada hubungannya dengan kemunculan Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo itu atau tidak. Akan tetapi, kalau orang-orang sakti seperti mereka muncul, biasanya tentu akan terjadi hal-hal yang penting."

Setelah mengubur peti-peti jenazah itu, Han Tiong lalu membubarkan Pek-liong-pang! Dia mengambil keputusan untuk mengundurkan diri. Peristiwa yang terjadi baru-baru ini membuka matanya bahwa memperkuat diri sendiri dan kelompoknya berarti mengundang datangnya lawan yang tak mau kalah kuat.

"Kalian jalanlah sendiri-sendiri dan peganglah teguh semua ajaran yang telah kalian peroleh di sini. Akan teetapi jangan lagi sebut-sebut namaku atau Pek-liong-pang. Pek-liong-pang sudah bubar dan segala perbuatan kalian adalah urusan pribadi yang harus kalian pertanggungkan sendiri. Kalau ada yang bertemu dengan Cia Sun, beritahukan segalanya dan suruh dia pulang. Selanjutnya, aku tak mau diganggu dengan persoalan-persoalan dunia lagi."

Tentu saja para murid menjadi berduka. Akan tetapi mereka mengenal watak suhu mereka yang keras. Beberapa hari kemudian, Lembah Naga menjadi sunyi ditinggalkan semua murid Pek-liong-pang. Cia Han Tiong hidup menyendiri sebagai seorang pertapa!

***

Sui Cin yang menyamar sebagai seorang pemuda jembel, merasa cocok dan senang sekali melakukan perjalanan bersama Hui Song. Pemuda ini berandalan, jenaka, gembira dan nakal, suatu sifat yang cocok dengan wataknya sendiri. Ketika ia melakukan perjalanan bersama Sim Thian Bu menuju ke telaga setelah gagal nonton pertemuan para pendekar yang urung diadakan, mula-mula iapun merasa cocok. Sim Thian Bu seorang pemuda ganteng pesolek yang pandai memikat hati. Akan tetapi, baru sehari melakukan perjalanan bersama, ia sudah melihat bahwa keramahan pemuda itu pura-pura dan pandang matanya, tutur sapanya, semakin berani mengarah cabul. Maka, pada malam harinya ketika mereka bermalam di rumah penginapan, diam-diam Sui Cin meninggalkan tanpa pamit. Ia lalu menyamar sebagai pemuda jembel yang merantau sendirian, bebas gembira sampai ia bertemu dengan Hui Song.

Seperti telah kita ketahui, Sui Cin yang menyamar sebagai pemuda jembel melakukan perjalanan dengan Hui Song menuju ke kota raja. Ia mengatakan hendak mencari encinya! Dan Hui Song juga pergi ke kota raja dengan dalih hendak menyelidiki Hwa-i Kai-pang yang bekerja sama dengan pasukan pemerintah. Padahal sesungguhnya dia ingin sekali berkenalan dengan enci dari pemuda jembel itu yang ternyata adalah dara yang pernah dijumpainya dan yang amat menarik hatinya itu.

Di sepanjang perjalanan, keduanya merasa cocok sekali. Akan tetapi setiap kali malam tiba, Sui Cin tidak pernah mau diajak bermalam di rumah penginapan, melainkan mengajak bermalam di kolong-kolong jembatan atau di emper-emper toko! Ketika Hui Song memprotes, Sui Cin menjawab.

"Song-twako, engkau tahu bahwa aku sudah biasa hidup sebagai pengemis. Maka, akupun lebih leluasa tidur di kolong jembatan daripada di kamar hotel. Kalau engkau mau tidur di hotel, silakan. Aku di emper toko sini saja."

Hui Song terpaksa menurut biarpun dia mengomel karena dia tahu bahwa pemuda ini bukan jembel aseli melainkan putera Pendekar Sadis yang kaya raya dan suka membagi-bagi uang pada para jembel! Dia tidak tahu bahwa Sui Cin sendiri jarang tidur di tempat kotor itu. Kalau sekarang ia memilih tidur di emper adalah untuk menghindari tidur sekamar dan seranjang dengan Hui Song!

Pada suatu malam mereka terpaksa tidur di bawah pohon dalam sebuah hutan. Kota raja sudah dekat dan hawa udara malam itu dingin sekali. Melihat betapa pemuda jembel itu tidur meringkuk kedinginan, Hui Song membesarkan api unggun. Akan tetapi agaknya masih belum cukup dapat mengusir dingin, bahkan dalam tidurnya Sui Cin agak menggigil. Karena khawatir kalau-kalau pemuda jembel itu jatuh sakit, Hui Song melepaskan jubahnya dan menyelimuti tubuh Sui Cin yang sudah tidur nyenyak.

Akan tetapi, pemuda jembel itu masih kelihatan meringkuk kedinginan sedangkan Hui Song sendiri setelah menanggalkan jubahnya juga merasa dingin sekali. Maka dia lalu merebahkan dirinya dekat Sui Cin dan untuk mengurangi rasa dingin bagi mereka berdua, dia lalu merangkul tubuh Sui Cin merapatkan diri. Benar saja, dia merasa hangat dan nyaman. Juga Sui Cin mengeluarkan suara lega. Akan tetapi hanya sebentar saja karena tiba-tiba Sui Cin meronta dan siku lengannya menyodok ke belakang.

"Hekk...!" Hui Song merasa dadanya sesak karena tersodok siku dan dia memandang terbelalak kepada Sui Cin yang sudah meloncat berdiri. Pemuda jembel itu bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan marah sekali.

"Apa... apa yang kaulakukan tadi?" bentaknya.

Hui Song bangkit duduk termangu-mangu, keheranan. "Apa...? Mengapa...? Aku tidak apa-apa..." jawabnya bingung.

"Kenapa engkau... memelukku tadi?"

Hui Song mengangkat alis dan pundaknya. "Agar kita berdua tidak kedinginan. Cin-te, engkau sungguh aneh, apa salahnya kalau aku memelukmu?"

Baru Sui Cin sadar akan keadaannya, akan penyamarannya. Iapun duduk dekat api unggun. "Maaf, Song-twako. Engkau mengagetkan aku yang sedang tidur dan... dan engkau mengingatkan aku akan pengalaman tidak enak beberapa bulan yang lalu ketika tadi engkau merangkul aku."

"Pengalaman apakah, Cin-te? Kurasa tidak ada salahnya dua orang laki-laki yang sudah bersahabat saling merangkul." Hui Song mengomel karena dadanya masih terasa memar.

"Ada seorang pria yang juga merangkulku... ihh, aku masih jijik dan ngeri membayangkan perbuatannya itu!"

"Aih, engkau seperti wanita saja, Cin-te. Apa salahnya laki-laki itu merangkulmu kalau memang dia sahabatmu?"

"Dia bukan hanya merangkul, akan tetapi... hendak... mencium dan mengajakku melakukan... hal yang tidak senonoh..." Sui Cin tidak membohong ketika menceritakan ini karena memang dalam penyamarannya sebagai seorang pemuda jembel, pernah ada seorang jembel pria lainnya yang berbuat seperti itu kepadanya sehingga ia menjadi marah, menghajar jembel itu sampai babak belur dan pingsan baru meninggalkannya.

"Ahh...!" Kini Hui Song terbelalak, kemudian menepuk pahanya sambil tertawa geli. Sui Cin melirik dengan hati mendongkol.

"Kenapa kau mentertawakan aku?" bentaknya.

"Aku tidak mentertawakan kau, Cin-te. Aku hanya merase geli sendiri. Aku sudah pernah mendengar tentang pria yang suka berjina dengan pria lain, juga tentang wanita yang lebih suka bercinta dengan sesama wanita. Akan tetapi, wah, sialan benar! Apakah engkau menyamakan aku dengan pria itu?"

"Bukan begitu, akan tetapi pengalaman itu membuat aku merasa geli setiap kali ada pria memelukku. Itulah sebabnya mengapa aku tadi terkejut sekali."

"Maaf... maaf... aku tidak tahu dan tidak sengaja..."

"Sudahlah, asal mulai sekarang engkau jangan sekali-kali lagi mengulang perbuatan itu."

"Aku tidak berani...!" Hui Song tertawa.

"Awas kalau kauulangi lagi, aku akan bilang kepada enciku bahwa engkau adalah soorang pemuda kurang ajar yang sukanya kepada sesama pria."

"Wah, gawat! Sungguh mati, aku tidak berani lagi. Eh, Cin-te, siapakah nama encimu itu?"

Sui Cin tidak segera menjawab, membesarkan nyala api unggun. "Enci akan marah kalau aku lancang memperkenalkan namanya. Engkau tanya sendiri saja kalau sudah bertemu dengannya."

Pada keesokan harinya, mereka memasuki pintu gerbang kota raja. Ketika Hui Song bertanya di mana adanya enci sahabatnya itu, Sui Cin menjawab, "Soal enciku mudah. Akan tetapi aku ingin sekali mengikutimu dan melihat bagaimana caranya engkau menyelidiki Hwa-i Kai-pang itu."

Terpaksa Hui Song mengajak Sui Cin melakukan penyelidikan. Setelah mereka mendapat keterangan di mana adanya gedung perkumpulan Hwa-i Kai-pang, mereka segera menuju ke sana. Gedung itu besar dan megah, sungguh tidak pantas menjadi pusat perkumpulan para pengemis. Dan di pintu gerbang nampak pengemis-pengemis muda yang bertampang serem melakukan penjagaan dengan lagak seperti pasukan tentara menjaga pintu gerbang saja. Dan nampak pula beberapa kali orang-orang berpakaian seperti pejabat pemerintah naik kereta memasuki halaman gedung itu sebagai tamu.

Sui Cin sudah tidak sabar dan hendak menyerbu saja, akan tetapi Hui Song mencegahnya. "Kita datang bukan untuk menyerbu, melainkan untuk menyelidiki rahasia mereka. Nanti malam saja kita kembali dan melakukan pengintaian."

Malam itu sunyi dan dingin. Setelah makan malam Hui Song dan Sui Cin berangkat menuju ke gedung perkumpulan pengemis Hwa-i Kai-pang. Gedung itu megah dan besar, dikelilingi tembok tinggi dan satu-satunya pintu masuk pekarangan hanya pintu gerbang yang terjaga ketat siang malam itu. Akan tetapi, tidak sukar bagi Hui Song dan Sui Cin untuk memasuki pekarangan belakang dengan meloncati pagar tembok bagian belakang. Agaknya Hwa-i Kai-pang begitu percaya akan kebesaran nama dan pengaruh mereka sehingga menganggap mustahil ada orang yang bosan hidup berani memasuki pekarangan mereka tanpa ijin, maka bagian belakang tidak dijaga.

Bagaikan dua ekor kucing, Hui Song dan Sui Cin menyelinap dan naik ke atas genteng bangunan bersembunyi di balik wuwungan. Tak lama kemudian mereka sudah membuka genteng mengintai ke bawah, ke dalam sebuah ruangan di bagian belakang gedung itu. Ruangan itu luas dan melihat gambar-gambar orang bersilat yang berada di atas dinding, juga adanya rak penuh bermacam senjata di sudut, mudah diduga bahwa ruangan itu tentu sebuah lian-bu-thia (ruangan berlatih silat). Di sebuah sudut ruangan nampak empat orang duduk seenaknya di atas lantai. Keadaan empat orang kakek itu menyeramkan. Keempatnya mengenakan baju tambal-tambalan dan berkembang-kembang seperti baju pengemis akan tetapi kainnya masih baru. Yang menyeramkan adalah wajah dan sikap mereka. Seorang yang duduk hampir rebah bertubuh gendut dengan perut seperti gentong, kepala botak dan rambutnya dikuncir lucu seperti ekor babi. Alisnya tebal, mata hidung dan mulutnya besar-besar. Orang kedua di sebelah kirinya adalah seorang kakek tinggi kurus yang rambutnya panjang riap-riapan, kepalanya memakai kopyah pendeta, tangan kanan memegang pipa tembakau berbentuk ular. Dia nampak kurus sekali bersanding kakek pertama yang kegerahan membuka bajunya, atau mungkin juga karena perutnya terlalu gendut, kancing bajunya tak dapat ditutup. Orang ketiga lebih menyeramkan lagi. Tubuhnya tinggi besar nampak kuat. Mata kirinya ditutup dengan penutup mata berwarna hitam. Rambutuya sedikit, hampir gundul dan wajah yang bermata satu ini membayangkan kebengisan yang kejam. Orang keempat berwajah buruk, dengan mulut yang moncong bentuknya, punggungnya bongkok dan dia memegang sebatang tongkat bulat. Agaknya mereka sedang bercakap-cakap dengan santai, menghadapi arak wangi dan sepiring ayam panggang utuh berada di antara mereka.

Hui Song dan Sui Cin yang mengintai merasa heran. Melihat pakaian mereka berempat itu, agaknya tak salah lagi bahwa empat orang itu tentu tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang. Akan tetapi sikap dan wajah mereka sama sekali tidak pantas menjadi tokoh jembel. Lebih patut kalau menjadi kepala-kepala rampok!

"Kurang ajar sekali, kini di Cin-an muncul dua orang muda yang berani menentang kita!" si perut gendut, berkata sambil mengembangkan lengan kanan.

"Kalau mereka tidak lari dan kuketahui tempatnya, tentu keduanya takkan kuampuni lagi, akan kupatahkan kaki tangan mereka dan kukeluarkan isi perut mereka!" kata si mata satu dengan suara penuh geram.

Kakek yang mengisap huncwenya mengepulkan asap sehingga tercium bau yang harum memuakkan. "Hemm, sebaliknya diselidiki benar-benar siapa pemuda jembel yang membagi-bagi uang itu. Sungguh kedengaran aneh sekali."

"Kalian tak perlu khawatir," kini kakek buruk rupa yang memegang tongkat berkata. "Kewajiban kita hanyalah menjaga kota raja dan sekitarnya, bekerjasama dengan pasukan pemerintah, mencegah pengaruh buruk mendekati sri baginda. Peristiwa di Cin-an itu membuktikan adanya kerja sama yang baik antara anak buah kita dengan pasukan pemerintah. Itu sudah cukup menguntungkan kita. Rakyat melihatnya dan kita tentu semakin ditaati sebagai pembantu pemerintah."

"Akan tetapi, Lo-eng (Pendekar Tua), dua pemuda itu kabarnya lihai sekali. Kalau tidak dicari dan dibasmi, bisa berbahaya, kelak hanya akan mendatangkan kesulitan," kata si gendut.

Mendengar percakapan itu, Sui Cin mengepal tinju. Ingin ia turun dan mengamuk, menghajar mereka, terutama si perut gendut. Akan tetapi agaknya Hui Song dapat merasakan gerakannya. Pemuda itu menyentuh tangannya dan berbisik, "Hati-hati ada orang datang!"

Tiba-tiba ada dua bayangan berkelebat. Sui Cin terkejut bukan main karena bayangan itu memiliki gerakan yang amat cepat dan ringan, tanda bahwa mereka mempunyai kepandaian yang cukup tinggi. Untung Hui Song telah mengetahui kedaaan mereka lebih dulu sehingga ia tak jadi turun tangan.

Bagaikan dua ekor burung, bayangan dua orang itu sudah melayang turun memasuki ruangan itu. Empat orang yang sedang bercakap-cakap itu terkejut dan berlompatan bardiri, siap menggempur musuh. Sepasang orang muda yang mengintai di atas melihat betapa gerakan mereka hebat, membayangkan kepandaian tinggi. Akan tetapi ketika empat orang itu mengenal kakek dan nenek yang muncul seperti iblis itu, wajah mereka menjadi girang. Kakek bertongkat yang menjadi ketua Hek-i Kai-pang, yaitu yang menamakan diri Hwa-i Lo-eng, cepat menjura dengan hormat.

"Aih, kiranya Kui-kok Pang-cu berdua yang datang berkunjung! Selamat datang dan silakan duduk!" Juga tiga orang kakek yang menjadi pembantu-pembantunya memberi hormat.

Kakek dan nenek itu adalah Kui-kok Lo-mo dan isterinya Kui-kok Lo-bo, sepasang suami isteri yang berpakaian putih-putih dan bermuka pucat seperti mayat itu. Mereka adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui dan karena Cap-sha-kui juga sudah diperalat oleh Liu-thaikam, seperti halnya Hwa-i Kai-pang, maka tentu saja mereka terhitung rekan dan saling mengenal.

Melihat betapa kakek dan nenek yang bermuka putih pucat itu masih berdiri saja, ketua Hwa-i Kai-pang kembali mempersilakan mereka duduk. "Ji-wi, silakan duduk."

"Nanti dulu, Kai-pang-cu, kami menanti munculnya tamu lain!" Lalu Kui-kok Lo-bo melambaikan tangan ke atas sambil membentak, "Apakah kau masih juga belum mau turun?"

Sui Cin terkejut sekali, mengira bahwa ialah yang disuruh turun karena nenek bermuka pucat itu memandang ke arah tempat ia bersembunyi. Tentu saja ia tidak takut dan hendak turun. Akan tetapi kembali Hui Song mencegahnya dan memegang lengannya. Dan pada saat itu terdengarlah bunyi ledakan cambuk disusul melayangnya seorang nenek bongkok kurus ke dalam ruangan itu. Kiranya Kui-bwe Coa-li, satu di antara Cap-sha-kui yang dimaksudkan oleh kakek dan nenek iblis itu!

"Hi-hik, matamu masih tajam sekali Lo-bo?" Kui-bwe Coa-li berkata dengan nada mengejek.

"Coa-li, untuk mengetahui kehadiranmu, tak memerlukan ketajaman mata, cukup mencium bau yang amis seperti ular itupun cukuplah, ha-ha-ha!" Kui-kok Lo-mo mengejek.

"Huh! Hidung kerbau ini masih besar kepala juga!" Nenek iblis itu balas memaki. Tidaklah aneh sikap antara para iblis Cap-sha-kui ini. Memang mereka adalah datuk-datuk sesat yang kasar.

Akan tetapi Hwa-i Lo-eng girang sekali kedatangan tamu-tamu lihai ini. dengan hormat dia mempersilakan mereka duduk di ruangan tanpa kursi itu. Lantai mengkilap bersih, maka mereka lalu duduk di lantai begitu saja. Ketua pengemis itu membunyikan genta kecil dan muncullah lima orang gadis cantik menyuguhkan arak dan daging.

"Ha-ha! Para pelayanmu cantik-cantik, Lo-eng!" kata Kui-kok Lo-mo sambil mencolek pinggul seorang di antara mereka.

Hui Song dan Sui Cin memandang dengan heran. Perkumpulan pengemis akan tetapi mempunyai pelayan-pelayan yang terdiri dari gadis-gadis cantik yang berpakaian indah seperti perkumpulan orang-orang bangsawan atau hartawan saja! Akan tetapi sepasang orang muda ini tetap mengintai dengan hati-hati karena mereka kini maklum bahwa datuk-datuk sesat dari Cap-sha-kui ternyata bersekongkol dengan Hwa-i Kai-pang dan agaknya mereka diperalat oleh pemerintah! Betapapun aneh kedengarannya, namun agaknya kenyataannya begitulah karena bukankah tadi ketua Hwa-i Kai-pang menyebut tentang adanya kerja sama antare mereka dan pemerintah?

Sambil makan minum, Kui-kok Lo-mo menceritakan maksud kedatangannya. "Sebagai sesama rekan, kami membuka rahasia kami. Kami menerima tugas untuk membunuh Jenderal Ciang."

"Ah...! Beliau adalah panglima kedua di kota raja! Bukan hal mudah untuk mendekatinya, apalagi membunuhnya!" kata kakek yang mengisap pipa tembakau.

Hui Song dan Sui Cin juga kaget bukan main! Dan mereka merasa bingung. Para datuk sesat int bekerja sama dengan pemerintah, akan tetapi mengapa iblis muka pucat mendapat tugas membunuh Jenderal Ciang, panglima kedua dari kerajaan? Sungguh sukar dimengerti. Akan tetapi mereka mendengarkan terus.

"Kami mengerti akan beratnya tugas kami, karena itulah kami datang ke sini mengharapkan bantuan kawan-kawan yang tentu lebih tahu akan kebiasaan-kebiasaan panglima itu sehingga kami dapat turun tangan pada saat yang tepat," kata Kui-kok Lo-bo.

"Sebaiknya, kalau kita bekerja sama!" Tiba-tiba Kui-bwe Coa-li berseru. "Kalian membantuku menyingkirkan Menteri Kebudayaan Liang, baru kemudian aku membantu kalian menyingkirkan Ciang-goanswe. Dengan majunya kita bertiga, mustahil kita takkan berhasil membunuh jenderal itu!"

Suami isteri itu saling pandang dan mengangguk setuju. Membunuh Menteri Liang merupakan pekerjaan amat mudah kalau dibandingkan dengan tugas mereka membunuh Jenderal Ciang. Dan bantuan Kiu-bwe Coa-li tentu saja amat berharga.

"Bagus, kami setuju dengan kerja sama itu," kata Kui-kok Lo-mo.

"Nah, sekarang kita minta bantuan kawan-kawan dari Hwa-i Kai-pang bagaimana sebaiknya untuk dapat menyerang Menteri Liang!" kata Kui-bwe Coa-li.

"Mencari kesempatan baik untuk menyerang Menteri Liang jauh lebih mudah daripada Jenderal Ciang!" kata Hwa-i Lo-eng yang tentu saja lebih banyak mengenal keadaan para pembesar di kota raja. Apalagi dia sudah banyak menerima tugas mengamati dan memata-matai para pembesar yang menjadi lawan Liu-thaikam termasuk Jenderal Ciang dan Menteri Liang.

"Ceritakan yang jelas, pang-cu," kata Kiu-bwe Coa-li dengan girang karena merasa betapa tugasnya akan menjadi ringan setelah mendapat bantuan rekan-rekannya.

"Begini : Menteri Liang mempunyai suatu kegemaran, yaitu berlayar dan memancing ikan di Telaga Emas di sebelah selatan kota raja. Sebulan dua tiga kali dia pergi ke telaga itu dan saat itulah terbaik untuk turun tangan. Pertama, dia berada di luar kota raja dan kedua, biasanya dia tidak disertai banyak pengawal. Nah, cu-wi tinggal bersiap-siap saja, kalau dia pergi ke telaga itu, cu-wi turun tangan. Kami sendiri sudah banyak dikenal, tentu saja tidak mungkin dapat membantu turun tangan sendiri. Akan tetapi, di sini ada saudara Bhe Hok ini yang merupakan tokoh baru dan belum banyak dikenal di daerah telaga itu, maka dialah yang akan membantu cu-wi mengamati dan memata-matai lebih dahulu sehingga akan tahu keadaan pembesar itu kalau sampai di telaga." Ketua perkumpulan pengemis itu menunjuk kepada kakek berperut gendut yang ikut hadir di situ dan kakek gendut ini mengangguk-angguk sambil terkekeh girang menerima tugas penting ini.

Ketua Hwa-i Kai-pang itu bicara lirih ketika mengatur siasatnya, sama sekali tidak tahu bahwa semua percakapan itu didengarkan oleh Hui Song dan Sui Cin!

***

Pagi itu amat indahnya di tepi telaga. Masih sunyi karena hari masih amat pagi, belum ada orang datang ke tempat itu. Sui Cin sejak tadi sudah berada di tepi telaga seorang diri dan ia terpesona oleh keindahan pemandangan pagi hari itu. Pagi yang cerah. Sinar matahari masih lemah, kuning emas membentuk garis-garis mengkilap di permukaan air telaga yang tenang dan halus seperti sutera kehijauan berkeriput. Kicau burung-burung di antara daun-daun pohon menambah meriahnya suasana. Langit bersih, hanya ada awan putih berkelompok-kelompok membentuk beraneka macam mahluk khayali. Indah sekali awan-awan itu, tak pernah diam mati melainkan setiap detik berobah dengan halus, seperti permukaan air telega yang selalu bergerak menimbulkan perobahan-perobahan. Seperti mengalirnya air kehidupan yang setiap saat berobah.

Hening sekali. Keheningan yang agung menyelimuti seluruh telaga dan sekitarnya, keheningan total di mana Sui Cin juga termasuk. Keheningan yang terasa benar pada saat itu oleh Sui Cin. Keheningan yang menenteramkan, sama sekeli bukan rasa kesepian yang menggelisahkan. Dara itu sejak tadi berdiri tak bergerak, seperti patung, memiliki keindahan tersendiri walaupun ia menjadi bagian dari keindahan total itu. Seorang dara yang menjelang dewasa, cantik jelita dan manis dalam kesederhanaannya. Pakaiannya sederhana, bersahaja dan lebih diutamakan sebagai pelindung tubuh daripada sebagai hiasan seperti kebanyakan wanita. Rambutnya yang hitam panjang itu terurai ke belakang hanya diikat sutera hijau, agak awut-awutan karena tak diminyaki dan kurang sisiran, juga karena dipermainkan angin pagi sejak tadi. Anak rambut terjuntai di dahi dan pelipis menjadi penambah manis. Wajah yang berkulit halus dan berbentuk ayu itu tidak dilapisi bedak. Akan tetapi kulit muka itu sudah halus putih dan kedua pipinya segar kemerahan.

Tiba-tiba patung cantik jelita itu bergerak, menggerakkan kepalanya dan dua gumpalan rambut itu bergerak pula, yang satu pindah dari punggung ke dada. Terdengar tawa kecil dan sekilat deretan gigi rapi berkilauan tertimpa cahaya matahari, mata yang jelita itu agak menyipit ketika ia tertawa kecil. Yang memancingnya tertawa kecil sehingga sadar dari lamunannya adalah tingkah dua ekor burung gereja yang sedang berkasih-kasihan. Yang jantan selalu mengejar, yang betina lari, jinak-jinak merpati seperti menggoda tapi akhirnya menyerah dan ketika yang jantan hinggap di atas punggungnya, yang betina terpeleset sehingga keduanya jatuh tunggang-langgang ke bawah. Akan tetapi sebagai burung yang memiliki sayap dengan indahnya mereka dapat menghindarkan diri dari kejatuhan itu dan di lain saat sudah berkejaran lagi sambil berteriak-teriak bersendau-gurau dalam bahwa mereka.

Sui Cin sama sekali tidak tahu bahwa selagi ia terpesona oleh keindahan pemandangan di telaga, ada sepasang mata orang lain juga terpesona, bukan oleh keindahan telaga melainkan keindahan dirinya. Seorang pria yang sejak tadi menyembunyikan diri di balik semak-semak sambil mengamati setiap gerak-geriknya.

Setelah memperoleh banyak keterangan penting dalam pengintaian mereka di Hwa-i Kai-pang, Hui Song dan Sui Cin lalu mengadakan perundingan. Mereka bersepakat untuk mencegah usaha jahat kaum sesat yang hendak membunuh Menteri Liang dan Jenderal Ciang. Juga dalam percakapan rahasia antara para datuk sesat itu mereka tahu bahwa para kaum sesat itu diperalat oleh Liu-thaikam. Dua orang pembesar yang hendak dibunuh adalah musuh-musuh Liu-thaikam karena mereka merupakan pembesar-pembesar jujur yang dapat membahayakan kedudukannya. Juga kini Hui Song dan Sui Cin tahu mengapa kaum sesat melindungi kaisar. Bukan karena kesetiaan Liu-thaikam, melainkan karena pembesar korup ini merasa aman dengan berkuasanya kaisar muda yang mempercayanya itu. Melindungi dan mempertahankan kaisar muda ini berarti melindungi dan mempertahankan kedudukannya sendiri. Semua ini mereka ketahui dari percakapan antara para datuk sesat malam itu.

Hui Song lalu membagi pekerjaan. Dia minta agar Sui Cin yang dikenalnya sebagai pemuda jembel lihai itu melakukan pengamatan di telaga yang disebut Telaga Emas, sedangkan Hui Song sendiri akan menghubungi Menteri Liang dan Jenderal Ciang. Mereka lalu berpisah. Sui Cin yang sudah merasa bosan menyamar sebagai pemuda jembel setelah kini berpisah dari Hui Song lalu berganti pakaian menjadi dara cantik sederhana seperti biasa dan pagi itu ia sudah menikmati keindahan alam di tepi telaga. Kini ia mengerti mengapa telaga itu dinamakan Telaga Emas. Memang tiap pagi sinar matahari merobah air telaga menjadi keemasan. Ia tidak perlu melakukan pengamatan sambil bersembunyi. Kini ia merupakan seorang gadis perantau yang sedang berkelana dan melancong ke telaga ini. Cukup wajar dan ia dapat pesiar sambil memasang mata. Andaikata Kiu-bwe Coa-li muncul dan nenek iblis ini menyerangnya, iapun tidak takut!

Akan tetapi ketika pagi itu ia datang ke tepi telaga, keadaan di situ amat sepi dan yang muncul bukan Kiu-bwe Coa-li atau tokoh sesat lainnya, melainkan seorang pemuda tampan pesolek yang sudah dikenalnya, yaitu Sim Thian Bu! Ia sama sekali tidak tahu bahwa pemuda ini sejak tadi telah mengamati semua gerak-geriknya dari tempat tersembunyi.

Sim Thian Bu tiba-tiba muncul dan dengan ramah berseru gembira, "Nona Ceng! Aih, akhirnya kita saling berjumpa juga. Memang kita ada jodoh! Aku memang tempo hari mengajakmu pesiar ke telaga ini, akan tetapi di tengah perjalanan engkau pergi. Tak kusangka kita justeru saling jumpa di Telaga Emas ini. Bukankah ini jodoh namanya?"

Tentu saja Sui Cin merasa kaget melihat munculnya pemuda ini dan iapun agak tertegun mengingat bahwa ia pernah meninggalkan pemuda ini malam-malam tanpa pamit. Akan tetapi iapun teringat akan sikap kurang ajar pemuda ini, bahkan sekarangpun pemuda ini berkali-kali bicara tentang jodoh!

"Saudara Sim, pergilah dan jangan ganggu, aku ingin sendirian," katanya singkat.

Akan tetapi pemuda tampan pesolek itu tersenyum dan memandang ke kanan kiri. Tempat itu sangat sepi pada saat itu. Permukaan telagapun masih sunyi, hanya ada sebuah perahu kecil nampak jauh di tengah telaga dengan seorang saja di dalamnya, agaknya seorang nelayan yang kesiangan. Sim Thian Bu sama sekali tidak memperdulikan nelayan dengan perahunya yang jauh itu.

"Nona Ceng, kenapa sikapmu begitu terhadapku? Bukankah kita sudah berkenalan dan menjadi sahabat baik? Pertemuan yang tidak kita sangka-sangka ini tandanya bahwa kita berjodoh. Marilah kita pelesir dan bersenang-senang berdua, nona. Jangan kautinggalkan aku lagi. Aku... sejak pertemuan pertama itu, aku sudah tergila-gila padamu, nona..."

"Tutup mulutmu!" Sui Cin membentak marah.

"Ahhh...! Salahkah kalau seorang pemuda seperti aku tergila-gila dan jatuh cinta kepada seorang gadis sepertimu? Engkau yang salah, siapa suruh engkau begini cantik manis menggairahkan?"

Wajah Sui Cin yang putih halus itu menjadi merah. Belum pernah selama hidupnya ada laki-laki bicara seperti itu kepadanya. Rasa malu dan marah, membuatnya sukar bicara. Akan tetapi sebagai seorang gadis bebas yang jujur, harus diakuinya bahwa ucapan pemuda itu tak dapat disebut kurang ajar. Bukankah Sim Thian Bu mengeluarkan isi hatinya secara jujur? Pendapat ini menyabarkan hatinya dan iapun tersenyum.

"Saudara Sim, pergilah dan jangan menggangguku kalau kau tidak ingin kuanggap sebagai musuh."

Thian Bu tersenyum lebar, dan matanya dipicingkan, memandang dengan gaya lucu memikat, kemudian dia bertepuk tangan tertawa. "Ha-ha! Aku mengerti sekarang. Engkau belum dapat menerima cintaku karena engkau belum mengenal kepandaianku, bukan? Seorang dara pendekar tentu hanya mau bergaul dengan seorang pemuda yang lihai pula ilmu silatnya. Nah, di sini merupakan tempat yang baik sekali untuk menguji kepandaian, nona Ceng. Silakan!" Pemuda itu memasang kuda-kuda dengan gaya dibuat-buat.

Sui Cin tersenyum mengejek. Bagaimanapun juga, terasa olehnya ketidakwajaran dalam sikap Thian Bu. Hui Song juga nakal dan jenaka, akan tetapi selalu menjaga kesopanan dan tidak pernah menyinggung perasaan. Sebaliknya, dalam kata-kata, pandang mata dan senyum Sim Thian Bu terkandung suatu sikap cabul dan kurang ajar yang membuat Sui Cin merasa ngeri dan juga marah.

"Aku tidak ingin mengujimu melainkan menghajarmu!" hardiknya dan Sui Cin sudah menerjang maju dengan tamparan-tamparan kedua tangannya.

"Heiittt... perlahan dulu...! Wah, jangan galak-galak, nona manis!" Thian Bu mengelak, bahkan berusaha menangkap pergelangan tangan Sui Cin.

Tentu saja Sui Cin tidak sudi ditangkap dan ia menarik kembali tangannya lalu menerjang dengan dahsyat mempergunakan pukulan dan tendangan.

"Aih, engkau bersungguh-sungguh, manis?" Thian Bu mengejek dan diapun mengelak, menangkis dan membalas tak kalah dahsyatnya.

Sim Thian Bu sudah tahu bahwa dia berhadapan dengan puteri Pendekar Sadis yang lihai sekali, maka dia tidak berani memandang ringan dan segera mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Sebaliknya, baru sekarang Sui Cin benar-benar berkenalan dengan ilmu kepandaian pemuda itu dan diam-diam ia terkejut karena ternyata Thian Bu amat lihai! Melihat ketangguhan lawan, Sui Cin lalu mainkan Ilmu Silat Hok-mo Sin-kun (Silat Sakti Penakluk Iblis) dari ibunya. Ilmu silat ini amat cepat dan ganas dan jarang ada orang mampu menandinginya. Akan tetapi ternyata Thian Bu dapat melawan dengan baik, bahkan keceriwisan pemuda itu membuat Sui Cin merasa malu, kikuk dan gugup.

"Ha-ha, manis. Bagaimanapun, engkau harus menyerahkan diri padaku!" Pemuda itu menyerang sambil main colek ke arah dada dan dagu Sui Cin secara kurang ajar sekali.

Kini barulah dara itu sadar dengan orang macam apa ia berhadapan. Seorang pemuda cabul yang agaknya biasa menggoda, mempermainkan dan menghina wanita. Ia sudah mendengar tentang seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) dan kini ia menduga bahwa tentu pemuda yang disangkanya pendekar ini sebetulnya adalah seorang penjahat cabul!

"Bangsat jai-hwa-cat!" Sui Cin memaki.

"Heh-heh, baru sekarang engkau tahu? Ha-ha-ha!" Thian Bu tidak marah dimaki begitu, malah tertawa-tawa dan mempercepat gerakannya.

Kini Sui Cin benar-benar kaget. Kiranya pemuda tampan yang tadinya dianggap seorang pendekar yang berkunjung pada pertemuan para pendekar di Bukit Perahu itu, ternyata benar seorang jai-hwa-cat seperti pengakuannya tadi. Seorang penjahat cabul! Berarti kaki tangan kaum sesat yang menyusup dan kini muncul pula di tepi telaga. Tentu ada hubungannya dengan usaha pembunuhan Menteri Liang.

"Jahanam busuk, manusia palsu! Engkau tentu kaki tangan kaum sesat!" bentaknya dan dengan tenaga sakti Thian-te Sin-ciang ia menerjang. Kemarahan membuat tenaga dara ini menjadi berlipat ganda. Sim Thian Bu memang berwatak sombong dan selalu memandang rendah orang lain. Maka dia kurang waspada dan terjangan dahsyat Sui Cin itu ditangkis seenaknya saja.

"Dess...!" Akibatnya, tenaga Thian-te Sin-ciang yang dahsyat itu melanda ke arah Thian Bu dan membuatnya terlempar ke belakang dan terbanting keras!

Akan tetapi pada saat Sui Cin berhasil membuat lawan terjengkang, pada saat itu ada angin keras menyambar dari arah kiri. Sui Cin yang tadinya siap menyusulkan pukulan pada Thian Bu, cepat memutar tubuh hendak menangkis.

"Plakk!" Tongkat itu tertangkis, akan tetapi bukan mental malah meluncur ke samping dan menotok punggung Sui Cin.

"Tukk!" Dara itu merasa betapa tubuhnya menjadi lemas dan iapun roboh terkulai.

Sejak tadi, perahu kecil yang nampak dari jauh tadi sudah bergerak menuju ke pantai itu. Kakek sendirian yang duduk di perahu kecil itu bukan nelayan karena dia duduk sambil memainkan sebuah alat yang-kim (semacam siter). Ketika kakek itu melihat robohnya Sui Cin, dia menghentikan permainan musiknya.

Kakek penabuh yang-kim ini adalah Shan-tung Lo-kiam. Seperti telah kita ketahui, kakek sasterawan pendekar ini pernah muncul pula dalam pertemuan antara para datuk sesat. Dia ikut mendengar rencana kaum sesat untuk membunuh Menteri Liang yang sejak lama menjadi sahabat baiknya, maka dia selalu mengamati. Hari itu dia mendengar bahwa Menteri Liang akan pesiar di Telaga Emas. Oleh karena itulah maka dia menanti di situ untuk ikut melindunginya. Ketika pagi hari itu dia melihat seorang gadis yang tidak dikenalnya dirobohkan orang, tentu saja pendekar tua ini tidak tinggal diam dan segera mendayung perahunya ke pantai.

"Siancai...! Di tempat hening seperti ini masih saja ada kejahatan!" Shan-tung Lo-kiam meloncat naik ke darat sambil membawa alat musik yang-kim yang tadi ditabuhnya.

Melihat munculnya seorang kakek tua renta membawa yang-kim, orang yang merobohkan Sui Cin dengan totokan itu memandang galak. Dia adalah seorang kakek yang perutnya gendut sekali. Dan kakek ini pernah dilihat oleh Sui Cin ketika ia mengintai di gedung Hwa-i Kai-pang bersama Hui Song. Kakek inilah yang bernama Bhe Hok, tokoh Hwa-i Kai-pang baru yang menjadi pembantu ketua perkumpulan pengemis ini. Dia cukup lihai dengan tongkatnya dan juga licik sehingga ketika Sui Cin lengah tadi karena berhasil membuat Sim Thian Bu terjengkang, dara itu berhasil ditotoknya.

"Hemm, tua bangka bosan hidup dari mana berani mencampuri urusan kami?" bentak kakek berperut gendut itu.

"Bhe-lopek, dia adalah Shan-tung Lo-kiam, musuh kita!" Tiba-tiba Sim Thian Bu berseru. Ternyata pemuda ini tidak terluka parah, tadi hanya terjengkang karena dahsyatnya tenaga dara itu.

Mendengar nama ini, kakek perut gendut terkejut dan cepat dia menyerang dengan tongkatnya, menghantam ke arah kepala lawan. Shan-tung Lo-kiam mengangkat alat musiknya menangkis.

"Trang... cringg...!" Terdengar suara nyaring ketika tongkat bertemu yang-kim. Dua orang kakek itu lalu berkelahi dengan seru. Sementara itu, sambil tersenyum licik, Sim Thian Bu menyambar tubuh Sui Cin yang lemas, memanggulnya dan membawanya lari dari situ.

Perkelahian antara dua orang kakek itu terjadi cepat dan seru, akan tetapi si gendut segera mengerti bahwa kakek yang menjadi lawannya itu terlalu kuat baginya. Melihat Sim Thian Bu sudah melarikan gadis tadi, diapun meloncat dan melarikan diri memasuki hutan di tepi telaga. Kakek pemegang yang-kim itu tidak mengejar, melainkan mencari-cari dengan pandang matanya. Ketika dia tidak melihat ke mana dara tadi dilarikan, dia hanya menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang, kemudian diapun melompat kembali ke dalam perahunya dan mendayung perahunya ke tengah telaga. Dia memiliki tugas yang dianggapnya lebih penting daripada mencari dara yang dilarikan orang itu.

Orang-orang mulai berdatangan ke tepi telaga. Nelayan dan pelancong. Keadaan tenang dan biasa saja seolah-olah tidak pernah dan tidak akan terjadi sesuatu yang luar biasa di tempat itu.

Kemudian, saat yang ditunggu-tunggu dengan hati tegang oleh orang-orang yang bersembunyi, tibalah. Sebuah kereta yang dikawal enam orang perajurit datang ke tepi telaga. Dengan pengawalan ketat, seorang laki-laki berpakaian pembesar bergegas menuruni kereta dan masuk ke dalam sebuah perahu besar yang memang sudah siap di pantai itu. Itulah Menteri Kebudayaan Liang, pejabat tinggi yang gemar memancing ikan di telaga itu. Perahu itu berlayar ke tengah telaga. Peristiwa ini tidak menarik perhatian orang yang asyik dengan kesibukan masing-masing dan sebentar saja perahu besar yang kini berada di tengah telaga itu sudah dilupakan orang.

Sementara itu, kesibukan-kesibukan rahasia terjadi di sekitar tempat itu. Sebuah perahu hitam dengan bilik tertutup didayung cepat oleh dua orang, meluncur ke tengah telaga menuju perahu besar Menteri Liang. Setelah perahu hitam tiba dekat perahu besar, mendadak tiga orang berlompatan naik ke atas perahu besar dengan kecepatan luar biasa. Mereka itu adalah Kiu-bwe Coa-li, Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo! Serentak mereka menyerbu pembesar yang asyik duduk memegang tangkai pancing itu.

"Tar-tar-tar...! Pembesar Liang, bersiaplah engkau untuk mampus!" Kiu-bwe Coa-li yang memegang tugas membunuh pembesar itu menerjang sambil menggerakkan cambuknya yang berekor sembilan. Sinar hitam menyambar ke arah pembesar itu dari belakang. Kakek dan nenek Kui-kok itupun sudah berhantam melawan enam orang perajurit pengawal dan terkejutlah mereka ketika mendapatkan kenyataan bahwa pera pengawal itu ternyata rata-rata memiliki ilmu silat tinggi. Dan terjadilah perkelahian hebat antara suami isteri Kui-kok-pang itu melawan pengeroyokan enam orang pengawal istimewa.

Akan tetapi yang paling kaget adalah Kiu-bwe Coa-li. Ketika cambuknya menyambar, tiba-tiba Menteri Kebudayaan Liang itu menggerakkan tangkai pancingnya ke belakang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar