Demikianlah keadaan para anggauta Hwa-i Kai-pang yang mudah dikenal dari pakaian, tongkat dan gaya mereka. Maka, tidaklah mengherankan apabila orang-orang melarikan diri ketakutan ketika ada dua orang anggauta Hwa-i Kai-pang muncul di pasar itu. Biasanya, para tokoh kai-pang ini hanya menyuruh anak buah mereka saja yang masih muda-muda. Kalau kini ada dua orang tokoh tua maju sendiri, tentu akan terjadi hal-hal yang mengerikan, setidaknya tentu akan ada orang terbunuh.
Hui Song belum pernah mendengar tentang Hwa-i Kai-pang, maka diapun merasa heran dan tidak tahu mengapa dua orang kakek pengemis ini ditakuti orang dan apa yang akan dilakukan kakek itu. Pada saat itu, ada seorang pengemis muda, paling banyak tiga belas tahun usianya, agaknya anak jembel ini tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk memperoleh pembagian uang. Dia berlari menghampiri pemuda jembel yang membagi-bagikan uang itu, lalu mengulurkan tangan memberi isyarat minta-minta. Pemuda remaja itu memandang heran, tersenyum gembira dan memberikan uang logam segenggam sambil berkata, suaranya lantang gembira.
"Bagus, nih kuberi banyak sebagai hadiah keberanianmu. Engkau tidak seperti mereka yang pengecut dan penakut."
Mata anak itu terbelalak ketika melihat segenggam uang logam di tangannya. Belum pernah dia mempunyai uang sebanyak itu! Dia bergembira dan lupa akan kemunculan dua orang kakek pengemis tadi, sambil tersenyum lebar dia menjura berkali-kali kepada pemuda remaja jembel itu sambil berkata, "Terima kasih, kak, terima kasih, kak!" Lalu dia lari dengan wajah berseri.
Akan tetapi, tiba-tiba larinya terhenti karena ada tubuh orang menghadang di depannya. Anak itu mengangkat mukanya memandang dan tiba-tiba mukanya menjadi pucat ketakutan ketika dia melihat bahwa yang menghadangnya adalah seorang di antara dua kakek pengemis baju kembang tadi.
"Aku... aku tidak mencuri... aku tidak melakukan kesalahan..." Anak itu membela diri ketika melihat pandang mata kakek yang bengis itu.
"Plakkk!" Tangan kakek itu bergerak dan tubuh anak jembel itu terpelanting, uang yang digenggamnya terlempar ke mana-mana dan iapun menangis sambil memegangi kepalanya yang terasa nyeri seperti akan pecah rasanya. Pipi kirinya bengkak dan matang biru karena tamparan yang amat keras tadi.
"Masih kecil sudah menjadi tukang tadah, kelak hanya akan menjadi maling atau perampok saja. Lebih baik kupatahkan dulu kedua lenganmu!" kata si kakek pengemis. Banyak orang menonton peristiwa itu dan kakek pengemis kedua berdiri dengan tongkat melintang dan pandang mata menantang seolah-olah ingin sekali melihat siapa yang akan berani menghalangi mereka berdua.
"Ampun... aku tidak berani lagi, ampun...!" Anak itu meratap ketakutan ketika kakek pengemis yang memiliki tahi lalat besar pada dagunya itu melangkah maju menghampirinya dengan air muka bengis dan sadis.
"Ulurkan lenganmu! Cepat!" bentaknya.
"Tidak... tidak... ampunkan aku..." Anak itu meratap. Dia sudah mendengar akan kekejaman pengemis-pengemis baju kembang ini dan mendengar bahwa kedua lengannya aken dipatahkan, tentu saja anak itu menjadi ketakutan.
"Apa? Engkau berani membantah? Apakah engkau ingin kupatahkan lehermu sebaiknya daripada kedua lenganmu?"
"Ohhh... ampunkan aku...!" Karena diancam hendak dipatahkan lehernya, anak itu menjadi semakin ketakutan dan tiba-tiba melarikan diri.
"Berani engkau melarikan diri? Engkau layak dibunuh!" Kakek itu membentak sehingga si anak jembel menjadi semakin panik. Larinya dipercepat dan tiba-tiba dia menabrak seseorang yang cepat memegang pundaknya.
"Aduh, ampun...!" Anak itu menggigil dan mengangkat muka memandang. Akan tetapi ternyata yang ditabraknya itu bukanlah kakek pengemis, melainkan seorang pemuda tinggi besar yang memandang kepadanya sambil tersenyum.
"Jangan takut, pergilah dari sini!" kata pemuda itu yang bukan lain adalah Hui Song! Anak jembel itu pulih kembali semangatnya dan diapun cepat melarikan diri meninggalkan tempat berbahaya itu, hampir tidak percaya bahwa kedua lengannya masih utuh. Dia dapat lolos demikian mudahnya.
Tentu saja dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang itu menjadi marah bukan main. Belum pernah ada orang berani mencampuri urusan mereka, apalagi menentang mereka. Pemuda berbaju kedodoran itu sungguh lancang sekali. Menyuruh bocah itu pergi sama saja dengan menantang mereka, maka mereka berdua berloncatan ke depan pemuda itu dengan tongkat melintang di depan dada dan pandang mata penuh ancaman.
"Siapakah engkau, begini berani mampus menentang kami?" bentak kakek pengemis yang bertahi lalat di dagunya itu.
Hui Song tersenyum mengejek. "Siapa adanya aku tidaklah penting, karena aku hanya orang biasa saja. Akan tetapi kalian inilah yang aneh luar biasa. Kalian ini jelas dua orang kakek, akan tetapi memakai pakaian kembang-kembang, begitu penuh aksi mengalahkan pemuda-pemuda remaja, dan kalian hendak mematahkan lengan anak kecil. Sungguh luar biasa sekali, tidak lumrah manusia. Siapakah kalian?"
Dua orang kakek itu saling pandang dengan muka merah. Belum pernah ada manusia sekurang ajar ini terhadap Hwa-i Kai-pang. Kakek kedua yang mukanya hitam melotot dan membentak, "Bocah kurang ajar! Apakah matamu sudah buta? Engkau berhadapan dengan dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang!" Agaknya kakek ini hendak menggertak dengan menggunakan nama perkumpulannya yang tersohor ditakuti orang.
Akan tetapi, pemuda tinggi besar yang berwajah cerah itu hanya tersenyum, sedikitpun tidak nampak kaget mendengar nama Hwa-i Kai-pang. "Hemmmm, kalau namanya seperti perkumpulan pengemis, akan tetapi kalau melihat tindakannya, patutnya perkumpulan tukang pukul. Apakah kalian ini pengemis merangkap tukang pukul?"
"Lancang mulut! Kami adalah pembantu pemerintah, menjaga keamanan!" bentak si tahi lalat.
"Menjaga keamanan dengan mematah-matahkan lengan anak kecil?" Hui Song mengejek.
"Anak itu telah menjadi tukang tadah. Jembel muda itu telah mencuri uang sedemikian banyaknya maka dibagi-baginya dan siapa yang menerima pembagiannya berarti tukang tadah barang curian."
"Wah, wah, baru sekarang aku melihat pengemis berlagak menjadi jaksa dan sekaligus hakimnya!" Tiba-tiba pengemis muda yang tadi membagi-bagi uang, berkata dengan suara nyaring sekali, "Hayaaa... ceriwis dan cerewet amat sih seperti tiga nenek-nenek tua bertengkar saja. Kenapa tidak genjot saja dan habis perkara?" Ucapan ini entah ditujukan kepada pihak pengemis ataukah kepada Hui Song, atau kepada ketiganya. Akan tetapi, ucapan itu agaknya mengenai sasaran karena dua orang pengemis itu sudah berteriak marah dan tongkat di tangan mereka bergerak menyerang Hui Song dengan gerakan cepat dan kuat.
"Hemm, kalian adalah orang-orang jahat, tak salah lagi!" Hui Song berkata sambil mengelak dengan sigapnya, kemudian balas menyerang dengan tamparan-tamparan tangannya. Dua orang kakek itu menangkis dengan tongkat mereka dan Hui Song membiarkan lengannya tertangkis tongkat-tongkat itu.
"Plak! Plak!" Dua orang kakek pengemis itu terhuyung dan mereka merasa terkejut sekali mendapat kenyataan betapa pemuda itu memiliki kekuatan sin-kang yang amat besar, jauh lebih kuat daripada mereka. Merekapun mendesak lagi dengan permainan tongkat mereka yang cukup hebat. Namun kini Hui Song melayani mereka sambil tersenyum-senyum mengejek.
"Kalian berdua tukang pukul jembel tentu sudah banyak memukul orang, maka biarlah sekarang aku membalaskan mereka yang pernah kaupukul!" Hui Song berkata dan tangan kirinya bergerak secepat kilat, disusul tangan kanannya.
"Takk! Takk!" Kepala dua orang pengemis itu tak terhindarkan lagi terkena jitakan jari-jari tangannya. Dua orang kakek ini terhuyung dan mengelus kepala mereka yang menjadi benjol-benjol itu sambil meringis kesakitan. Hui Song memang mempermainkan mereka. Kalau jitakan di kepala tadi dia lakukan dengan pengerahan sin-kang, tentu kepala dua orang itu sudah retak dan mereka akan tewas seketika. Akan tetapi dia hanya menggunakan tenaga biasa saja, cukup membuat kepala yang dilindungi itu menjadi benjol sebesar telur ayam.
"Bagus... bagus... hantam terus...!" Terdengar suara orang bersorak dan ternyata yang bersorak itu adalah Sui Cin yang menyamar sebagai jembel muda yang membagi-bagi uang tadi. Siapa lagi jembel muda yang membagi-bagi uang itu kalau bukan Ceng Sui Cin? Biarpun ia selalu menyamar sebagai jembel muda atau gadis perantau yang tidak mewah, namun sesungguhnya dara ini kaya raya. Orang tuanya, Pendekar Sadis yang tinggal di Pulau Teratai Merah, adalah orang yang memiliki harta benda amat besar, terutama setelah pendekar sakti ini menjadi ahli waris dari Harta Karun Jenghis Khan. Maka, sesungguhnya tidaklah terlalu mengherankan kalau Sui Cin dapat menghambur-hamburkan uang receh itu seperti orang membuang pasir saja. Ketika Hui Song muncul, seketika Sui Cin mengenal pemuda tinggi besar lihai yang menjadi putera ketua Cin-ling-pai ini dan hatinya merasa gembira. Terutama sekali karena ia sudah menyamar sebagai seorang jembel muda dan ia merasa yakin bahwa putera Cin-ling-pai itu tidak akan mengenalnya dalam penyamaran. Kini, melihat betapa pemuda yang lincah jenaka itu menghadapi dua orang kakek pengemis galak dan mempermainkan mereka, hatinya menjadi gembira dan iapun bersorak. Orang-orang di depan pasar itu lari menjauhkan diri melihat perkelahian yang dilakukan oleh dua orang kakek Hwa-i Kai-pang, takut terlibat dan terseret. Akan tetapi bagaimana mungkin jembel muda yang menjadi biang keladi kemarahan orang-orang Hwa-i Kai-pang itu malah bersorak-sorak melihat dua orang tokoh pengemis itu terkena pukulan lawan? Ini sama dengan mencari mati namanya!
Mendengar sorakan pemuda jembel itu, Hui Song tertawa. Kembali dia bertemu dengan seorang muda yang hebat, pikirnya. Seorang jembel yang bukan saja menghamburkan uang untuk memberi sedekah seperti menghamburkan pasir, akan tetapi juga yang memiliki nyali cukup besar untuk berani mentertawakan dan mengejek dua orang kakek pengemis yang galak dan yang agaknya ditakuti semua orang itu. Memperoleh dukungan jembel muda itu, Hui Song makin hebat mempermainkan dua orang kakek pengemis itu. Jitakan pertama masih terasa oleh mereka berdua ketika tendangannya membuat mereka roboh dan karena yang ditendang itu pinggul mereka, maka akibatnya tidak membuat mereka lumpuh melainkan hanya nyeri yang memaksa mereka meringis kesakitan lagi. Tentu saja mereka menjadi semakin marah karena merasa dipermainkan. Sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka mengenal orang pandai, dan mereka juga maklum bahwa mereka bukanlah lawan pemuda itu. Akan tetapi tentu saja mereka merasa malu untuk mundur atau mengaku kalah. dengan kemarahan meluap merekapun me-nyerang lagi, kini serangan mereka yang didorong luapan amarah menjadi memba-bi-buta. Dan tentu saja lebih mudah lagi bagi Hui Song untuk melayani dan mem-permainkan mereka. Beberapa kali kaki atau tangannya membuat dua orang lawan itu jatuh bangun dengan muka matang biru dan tubuh babak bundas.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh dan dari luar masuklah banyak orang ke dalam lapangan depan pasar. Orang-orang yang tadinya masih berani nonton perkelahian itu dari jarak jauh, kini pergi untuk tidak kembali. Mereka ketakutan melihat munculnya belasan orang anggauta Hwa-i Kai-pang bersama sepasukan penjaga keamanan kota yang terdiri dari dua puluh orang lebih dan pasukan ini bersenjata lengkap, golok dan tombak! Tanpa banyak cakap lagi, tiga puluh orang lebih itu dengan kacau-balau mengurung, menyerbu dan menyerang Hui Song!
Tentu saja Hui Song harus mempergunakan semua kelincahannya untuk meng-hadapi pengeroyokan orang yang demikian banyaknya. Di dalam hatinya, dia merasa penasaran dan juga heran. Ka-wanan pengemis Hwa-i Kai-pang ini jelas bukanlah golongan baik-baik, terlalu kejam dan sewenang-wenang terhadap rakyat. Orang-orang seperti ini biasanya digolongkan penjahat-penjahat, akan tetapi mengapa kini pasukan pemerintah malah membantu mereka? Dua kali sudah dia menemui hal-hal yang aneh. Pertama kali, datuk-datuk sesat macam Cap-sha-kui melindungi kaisar, dan kedua kalinya, kini pasukan pemerintah membantu gerombolan seperti orang-orang Hwa-i Kai-pang dan menyerang rakyat baik-baik! Dia merasa penasaran sekali dan biarpun dia tidak ingin membunuh orang, kini dia menambah tenaga dalam tamparan-tamparannya sehingga dalam waktu singkat, enam orang sudah dia robohkan dengan tulang lengan, kaki atau pundak patah-patah, membuat mereka tidak mampu melakukan pengeroyokan lagi.
Bagaimanapun juga, jumlah pengeroyok itu teramat banyak dan para anggauta Hwa-i Kai-pang itu rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi maka Hui Song merasa repot juga. Kalau dia mau melarikan diri, tentu tidak begitu sukar baginya karena sekali mempergunakan gin-kang dan meloncat keluar lalu lari, kiranya mereka itu tidak akan mampu menyusulnya. Akan tetapi, yang membuat dia merasa malu untuk lari adalah sorakan dan teriakan pemuda jembel tadi.
"Hayo, gasak saja tikus-tikus itu! Ha-ha-ha, robohkan mereka semua satu demi satu, baru gagah namanya!" Teriakan-teriakan ini membuat hati Hui Song mendongkol. Kurang ajar, pikirnya, enak saja pemuda jembel itu membikin dia menjadi tontonan tanpa bayar. Dan kata-katanya membuat dia merasa malu kalau harus melarikan diri, takut dianggap penakut dan tidak gagah!
Teriakan Sui Cin itu tidak hanya membuat Hui Song mendongkol, akan tetapi juga membuat para pengeroyok menjadi marah. Mereka yang tidak dapat ikut mengeroyok pemuda itu karena jumlah mereka yang terlalu banyak, kini membalik dan mengepung Sui Cin sambil mengacung-acungkan senjata, siap untuk mangeroyoknya. Melihat ini, Hui Song tertawa.
"Rasakan kamu sekarang!" teriaknya ke arah pemuda jembel itu, akan tetapi diam-diam dia mendekati dan siap untuk melindunginya kalau ternyata pemuda jembel itu hanya baik hati dan bengal saja akan tetapi tidak becus menjaga diri dari serangan banyak orang bersenjata.
Akan tetapi, pemuda ini terbelalak kaget ketika melihat si pemuda jembel, sambil tersenyum mengejek, menggerak-gerakkan kedua tangannya dan uang-uang logam yang digenggamnya beterbangan ke depan, meluncur seperti peluru-peluru ke arah orang-orang yang datang hendak mengeroyoknya. Terdengar teriakan-teriakan mengaduh dan empat orang melemparkan senjata mereka, terpincang-pincang berusaha mencabut uang logam yang menancap hampir lenyap ke dalam paha atau betis mereka.
"Aduh... aduhh... kakiku...!" Mereka berteriak-teriak dan berloncatan. Darah mengalir membasahi celana mereka.
Sui Cin tertawa-tawa dan bertepuk tangan gembira. "Ha-ha-hi-hi-hi, kalian seperti sekumpulan monyet menari-nari... heh-heh!"
Para perajurit lainnya marah dan menyerbu. Akan tetapi mereka disambut oleh hujan uang logam yang kalau mengenai tubuh mereka amat tajam dan runcing seperti senjata rahasia piauw saja. Uang logam itu menembus pakaian dan kulit, menyusup ke dalam tulang. Tentu saja mereka yang terkena sambaran senjata rahasia yang istimewa itu.
Melihat kelihaian pemuda jembel itu, Hui Song menjadi girang bukan main. Tak disangkanya pemuda jembel bengal seperti itu ternyata lihai sekali. Sui Cin sendiri girang melihat hasil sambitan-sambitannya. "Ha-ha-ha, uang ini benar-benar serba guna, dapat diberikan orang-orang baik untuk membeli makanan penahan kelaparan, dapat pula dipergunakan untuk menghajar orang-orang jahat."
Ketika tanpa disengaja sebuah di antara uang logam yang disambit-sambitkan itu tepat mengenai tulang kering seorang pengeroyok sehingga orang itu berjingkrak-jingkrak saking nyeri dan kiut-miut rasa tulang keringnya, Sui Cin menjadi gembira bukan main dan sambil masih tertawa-tawa dara inipun kini membidikkan sambit-sambitannya ke arah tulang kering kaki para pengeroyok itu. Makin banyak yang terkena sambaran uang logam tulang kering kakinya, makin banyak pula yang berjingkrak seperti orang-orang menari dengan gaya yang lucu dan makin terbahaklah Sui Cin. Akan tetapi kini pasukan pemerintah datang semakin banyak dan karena banyaknya pengeroyok, Sui Cin tidak dapat mengandalkan lagi uang-uang logam itu dan diserbu dari belakang, terpaksa iapun berloncatan dan melakukan perlawanan seperti Hui Song, dengan tangan kosong. Setiap kali menyamar sebagai pemuda jembel, ia selalu meninggalkan payungnya. Payung dan kuda cebolnya itu hanya dipergunakan kalau ia berpakaian sebagai wanita saja. Dan sekarang kuda dan payungnya itu dititipkannya di tempat yang aman.
Hui Song menjadi semakin kagum melihat betapa selain pandai mempergunakan uang logam sebagai senjata rahasia yang ampuh, ternyata pemuda jembel itu pun lihai sekali ilmu silatnya sehingga dengan tangan kosong berani menyerbu banyak pengeroyok yang mempergunakan senjata tajam. Akan tetapi kekagumannya kini bercampur dengan keheranan karena dia segera mengenal gerakan-gerakan jurus ilmu silat yang dimainkan pemuda itu. Lagi-lagi seorang ahli silat keluarga Cin-ling-pai, pikirnya. Hatinya penasaran sekali dan tiba-tiba saja diapun teringat. Pantas dia merasa pernah bertemu dengan pemuda ini. Mata itu! Senyum itu! Kebengalan itu dan akhirnya ilmu silat itu. Sama benar dengan dara remajan nyentrik yang pernah dijumpainya! Akan tetapi jembel ini adalah seorang pemuda. Tentu saudaranya! Ataukah saudara seperguruan?
"Heii, sobat muda yang baik, tidak benar melanjutkan perlawanan terhadap pasukan pemerintah. Hayo kita pergi!" kata Hui Song ketika melihat betapa pasukan pemerintah semakin banyak berdatangan dan melakukan pengeroyokan.
Sui Cin juga merasa tidak enak kalau melanjutkan amukannya melihat betapa kini tempat itu penuh dengan perajurit pemerintah. Ayahnya tentu akan marah bukan main kalau mendengar bahwa ia bermusuhan dengan pasukan pemerintah karena hal ini hanya dapat diartikan bahwa ia telah menjadi pemberontak! Maka, mendengar ucapan Hui Song, iapun tertawa dan meloncat sambil membawa dua genggam uang logam. Hui Song juga meloncat jauh dan ketika para pengeroyok melakukan pengejaran, Sui Cin melempar-lemparkan uang logam dua genggam itu sehingga para pengeroyok dan pengejar menjadi jerih. Dengan mudah mereka berdua lari meninggalkan kota Cin-an dan keluar dari pintu gerbang sebelah utara.
Hui Song mengerahkan ilmunya berlari cepat, akan tetapi dengan kagum dan heran dia mendapat kenyataan betapa jembel muda itu dapat mengimbangi kecepatannya! Perkelahian dikeroyok banyak lawan itu membuat keduanya puas benar. Kedua orang itu memang suka sekali bersilat, apalagi menghadapi pengeroyokan banyak orang di mana mereka berdua dapat melampiaskan hati sepuasnya dengan menghajar para lawannya. Dan mengingat akan kelucuan pemuda jembel itu mero-bohkan lawan dengan melempar-lemparkan uang logam, keduanya berlari sambil tertawa-tawa. Setelah mereka tiba di de-kat hutan jauh di luar kota, dan tidak melihat adanya pengejar, berhentilah mereka terengah-engah akan tetapi masih tertawa gembira. Begitu melihat wajah pemuda jembel itu yang tertawa-tawa, hati Hui Song sudah tertarik sekali dan dia merasa amat suka kepada pemuda itu. Mereka berdua merasa lelah, bukan hanya karena perkelahian tadi, akan tetapi juga karena berlari cepat dan ditambah lagi karena tertawa-tawa dan mereka berdua menjatuhkan diri di atas rumput tebal di bawah pohon. Sui Cin menurunkan buntalannya dari atas pung-gungnya dan berkata sambil tersenyum, "Aah, perkelahian yang amat menyenangkan!"
"Dan engkau hebat sekali, sobat muda!" kata Hui Song dengan sungguh-sungguh. "Engkau masih begini muda, akan tetapi engkau telah memiliki kedermawanan besar dan memiliki kepandaian yang amat mengagumkan, terutama... eh, ilmu menyambit dengan uang logam tadi!"
"Hemm, kebisaanku apa artinya kalau dibandingkan dengan kelihaianmu?" Sui Cin berkata sejujurnya karena iapun kagum akan kepandaian pemuda putera ketua Cin-ling-pai ini. Ia sudah banyak mendengar tentang ketua Cin-ling-pai dari ayahnya. Menurut penuturan ayahnya, ketua Cin-ling-pai bernama Cia Kong Liang, pendekar yang telah mewarisi ilmu silat keluarga Cin-ling-pai, seorang yang menurut ayahnya berwatak keras dan agak tinggi hati. Dari penuturan ayahnya, ia dapat menduga bahwa ayahnya tidak begitu suka kepada ketua Cin-ling-pai yang tinggi hati itu. Dan Cia Kong Liang ini menikah dengan puteri bekas datuk sesat. Mungkin karena pengaruh cerita ayahnya itulah hati Sui Cin masih belum percaya bahwa Hui Song dan sedang meraba-raba apakah pemuda ini juga tinggi hati seperti ayahnya.
"Sobat muda, aku tidak hanya memuji kosong saja. Jarang aku memuji orang, akan tetapi aku sungguh kagum kepadamu. Engkau mengingatkan aku akan..."
"Nanti saja kita lanjutkan percakapan kita. Sekarang perutku lapar, apakah engkau mau makan bersamaku?"
Hui Song tertegun karena pembicaraannya diputus seperti itu. "Lapar? Makan? Ah... tentu saja, akupun lapar," katanya gembira karena melihat kelucuan ini.
Sui Cin membuka buntalan pakaiannya, akan tetapi tidak dibukanya semua, hanya sedikit saja untuk mengambil bungkusan kertas tebal dari dalamnya, lalu menutup kembali buntalan pakaiannya, seolah-olah ia tidak ingin Hui Song melihat isi buntalannya. Dan memang tentu saja ia tidak menginginkan pemuda itu melihat bekal pakaian wanita yang disimpan di dalam buntalannya itu. Untuk mengalihkan perhatian pemuda itu yang mengamati gerak-geriknya, Sui Cin bertanya, "Sobat, makanan apakah yang paling kausukai?"
"Aku...?" Hul Song tersenyum sehingga wajahnya yang gagah itu berseri. "Aku suka makan... kodok!"
"Hah? Katak? Katak buduk?" Sui Cin menggoda, berlagak kaget dan membelalakkan matanya. Sejenak Hui Song terpesona. Mata itu demikian lebar dan indahnya, mengingatkan dia kepada dara yang galak tempo hari.
"Ha-ha-ha, tentu saja bukan katak buduk yang beracun. Melainkan katak swike yang terdapat di sawah, atau katak hijau, atau kalau ada sih katak batu yang besar-besar dan lembut dagingnya itu!"
Sui Cin tersenyum mengejek. "Di hutan begini, mana ada yang menjual swike? Bahkan restoranpun harus yang besar kalau mau mencari makanan itu. Nih, adanya hanya nasi cap-jai, kalau engkau lapar boleh makan bersama aku. Boleh saja makan sambil membayangkan kodok batu, atau kalau tidak ada kodoknya, batunya juga boleh kan?"
"Ha-ha-ha-ha! Engkau sungguh lucu sekali!" Hui Song tertawa bergelak. Sui Cin membuka bungkusan kertas dan ternyata di dalamnya terdapat bungkusan dengan daun lebar yang ketika dibuka terisi cap-jai dan nasi.
"Nah, silakan makan," kata Sui Cin.
"Tapi... tidak ada mangkok tidak ada sumpit, bagaimana harus makan?" Hui Song bertanya.
"Alaaaa, aksi dan genit amat sih! Tidak ada mangkok, kan ada daun ini? Tidak ada sumpit katamu? Sumpit hanya dua batang, sedangkan kita mempunyai lima batang sumpit alam, untuk apa kalau tidak dipergunakan?" Berkata demikian, langsung saja Sui Cin menggunakan lima sumpit alam alias lima jari tangan kanannya untuk menjumput nasi dan sayur lalu dimakannya dengan lahap.
Melihat ini, Hui Song terbelalak, memandang tangannya. Ingin dia mengatakan bahwa tangannya harus dicuci dulu, akan tetapi karena malu dikatakan aksi dan genit, diapun nekat dan menggunakan tangannya itu, tanpa dicuci atau dibersihkan, untuk menjumput makanan dengan kaku dan makan. Mereka berdua makan dengan tangan begitu saja dengan makanannyapun berada di atas daun, seperti dua orang dusun yang amat bersahaja. Diam-diam Hui Song semakin kagum kepada pemuda remaja jembel ini yang agaknya sudah terbiasa hidup serba kekurangan dan dapat menyesuaikan diri dengan kesederhanaan yang begitu polos dan tidak dibuat-buat. Dan mengingat bahwa pemuda ini tadi menghamburkan uang sedemikian banyaknya seperti pasir! Padahal, kalau dia mau mempergunakan uang sekarung itu untuk diri sendiri, tentu dia akan dapat makan enak di restoran, dengan mangkok perak dan sumpit gading sekalipun! Makin kagumlah dia. Dia sendiripun suka hidup ugal-ugalan atau tidak berbasa-basi, biasa berkelana dan suka akan kebebasan hidup sederhana, akan tetapi belum pernah dia makan menggunakan lima sumpit alamnya, maka makannyapun tidak kelihatan selahap dan seenak pemuda jembel itu. Tiba-tiba dia teringat akan sesuatu dan makanan itu berhenti di tenggorokannya.
"Ada apa?" Sui Cin bertanya sambil memandang wajah Hui Song yang tiba-tiba berobah itu. "Apakah ada tulang me-lintang di kerongkonganmu?"
Pertanyaan itu lucu dan mengundang kembali kegembiraan hati Hui Song akan tetapi tidak dapat mengusir dugaan yang menyelinap di dalam pikirannya. Bahkan pertanyaan yang tiba-tiba itu membuat mulutnya mengucapkan isi hatinya. "Apakah... apakah makanan ini sisa makanan yang kaudapatkan dari rumah makan?"
Dugaan itu timbul ketika dia teringat bahwa pemuda remaja itu seorang pengemis dan bukankah sudah menjadi kebiasaan para pengemis untuk mengemis sisa makanan dari restoran-restoran? Teringat bahwa yang ditelannya adalah sisa makanan yang dikumpulkan dari restoran itulah yang membuat lehernya seperti tercekik tadi.
Mendengar pertanyaan itu, seketika wajah Sui Cin menjadi merah. Dengan gerakan marah ia lalu membuang bungkusan makanan yang sedang mereka makan itu sehingga isinya tumpah berserakan di atas tanah. Hampir Sui Cin menangis, akan tetapi ditahannya karena ia teringat bahwa ia sedang menyamar sebagai seorang pemuda sehingga akan janggallah kalau menangis. Hui Song terkejut bukan main.
"Ada apakah? Mengapa... ah, maafkan aku, bukan maksudku untuk menghina." katanya gagap setelah dia sadar bahwa dia telah salah bicara tadi. Sungguh watak yang aneh sekali, pikirnya. Seorang jembel muda membagi-bagi uang dan kini marah-marah ketika ditanyakan apakah makanannya didapat dari mengemis sisa makanan. Di mana bisa didapatkan seorang jembel seperti ini? Dan pakaiannya memang jembel, mukanya penuh debu.
"Aku bukan pengemis!" Sui Cin berkata dengan suara agak ketus.
Hui Song mengangguk-angguk. "Aku lupa bahwa engkau pernah membagi-bagi banyak uang. Tentu engkau seorang Sin-touw (Maling Sakti)..."
"Aku bukan maling!" Bentakan Sui Cin lebih keras lagi, mengejutkan hati Hui Song. Keduanya diam dan termenung sambil memandang makanan yang berserakan di atas tanah. Tentu saja makanan itu kotor dan tidak dapat dimakan lagi, padahal perut mereka masih lapar. Jelas nampak kekecewaan membayang di wajah kedua orang muda itu.
Tiba-tiba, agaknya melihat masakan itu tidak dapat diraih padahal demikian dekatnya, terdengar bunyi perut berkeruyuk saling sahut. Keduanya mengangkat muka saling pandang dan seketika kebe-kuan di antara mereka mencair.
"Perutmu berkeruyuk!" Hui Song berkata menahan senyum geli.
"Perutmu juga!" jawab Sui Cin dan keduanya tertawa geli. "Salahmu!" Sui Cin mengomel akan tetapi wajahnya kini berseri kembali. "Dugaanmu yang keji membuat aku marah dan membuang makanan kita. Sekarang kita lapar dan aku hanya tinggal mempunyai roti tawar kering saja."
"Roti tawar amat enak dimakan ketika perut lapar."
"Memang."
"Dan dapat mengenyangkan perut," kata pula Hui Song.
"Memang."
Biarpun membenarkan ucapan pemuda itu, namun Sui Cin belum juga mengeluarkan roti tawar yang tersimpan dalam buntalannya dan ia nampak termenung.
Hui Song memandang heran. "Kalau kita lapar sekali... dan roti tawar itu cukup enak..."
Tiba-tiba Sui Cin mengangkat mukanya dan memotong. "Engkau suka swike...?"
Tentu saja Hui Song terkejut mendapat pertanyaan mendadak seperti serangan pedang runcing ditusukkan ke jantungnya itu. "Apa...?"
"Engkau suka swike, terutama kodok batu...?" Kembali Sui Cin bertanya dan ia menoleh ke kiri, memandang ke puncak bukit di mana nampak beberapa ekor burung pipit beterbangan. Hui Song memandang dengan mata terbelalak kepada wajah yang kotor berdebu itu, alisnya berkerut, takut kalau-kalau pemuda jembel ini mempunyai keistimewaan lain lagi yang tidak menguntungkan, yaitu otaknya miring!
Orang yang tidak beres ingatannya harus disetujui saja kata-katanya, tidak boleh dibantah, demikian pikirnya. Maka diapun mengangguk pasti. "Ya, ya... aku suka sekali."
"Kalau begitu tunggu di sini sebentar, jangan pergi ke mana-mana!" Dan sebelum Hui Song sempat menjawab, Sui Cin telah meloncat dan berkelebat lenyap dari situ, seperti terbang cepatnya ia berlari ke arah puncak bukit yang sejak tadi dipandanginya itu. Hui Song bengong saja mengikuti bayangan itu sampai lenyap ditelan rimbunnya pohon-pohon dan semak-semak.
Tak lama kemudian, sambil tertawa-tawa pemuda jembel itu datang lagi. Kedua tangannya memegang kaki belakang empat ekor katak yang besar-besar dan gemuk-gemuk! Keempat katak itu bergantung tak bergerak, dan dari kaki belakang sampai kepala, panjangnya tidak kurang hampir dua kaki! Seperti katak raksasa saja! Kulitnya hitam-hitam kehijauan, lorek-lorek indah.
Sui Cin melemparkan empat ekor katak yang sudah mati itu ke atas tanah di depan Hui Song sambil tertawa gembira. Hui Song juga tertawa.
"Wah, engkau pintar sekali menangkap katak-katak raksasa ini," katanya sejujurnya.
"Engkau tidak tahu katak apa ini? Bukan katak raksasa. Inilah katak batu yang tulen! Terpaksa kupecahkan kepalanya dengan batu karena kodok batu ini liar dan ganas sekali!"
"Tapi yang biasa kubeli di restoran dagingnya lunak."
"Memang dagingnya lunak, akan tetapi kodok-kodok ini liar dan ganas. Hayo bantu aku membersihkannya. Potong kepalanya, ujung keempat kakinya. Akan tetapi jangan buang kulitnya. Kodok batu kulitnya tipis dan tidak ulet, enak dimakan bersama dagingnya. Bahkan kalau kulitnya dilepas, dagingnya yang terlalu lunak itu akan hancur kalau dimasak. Nah, begitu. Mari kita cuci di sumber air sana. Aku melihatnya tadi ketika kembali ke sini."
Sui Cin membawa buntalannya dan dibantu oleh Hui Song, mereka berdua menuju ke sumber air untuk mencuci empat ekor katak besar itu. Mereka melakukan kerjaan ini sambil bercakap-cakap gembira, seolah-olah mereka telah menjadi sahabat baik sejak lama, padahal mereka bahkan belum saling berkenalan!
"Kenapa kodok batu yang dagingnya lunak kaunamakan kodok liar dan ganas?" Hui Song bertanya.
"Kodok batu termasuk kodok yang cerdik dan ganas. Engkau tahu apa yang dimakannya?"
"Tentu nyamuk, serangga lain atau lumut dan ujung daun..."
"Salah sama sekali! Engkau melihat burung-burung yang beterbangan di atas itu? Nah, itulah makanannya!"
"Tak mungkin! Mana bisa kodok yang berada di darat makan burung yang terbang di atas?"
"Kodok batu adalah pengail yang amat pandai dan sabar. Dia memancing burung itu untuk turun dan menyambar umpannya."
"Apa umpannya dan bagaimana cara memancing burung?"
"Umpannya dirinya sendiri. Seekor kodok batu yang kelaparan dan ingin makan burung, sengaja rebah terlentang di atas batu, kalau perlu sampai berjam-jam, tanpa bergerak sehingga siapapun akan menyangka dia sudah mati. Bangkai kodok itu menarik perhatian burung yang terbang turun untuk menyantapnya, akan tetapi begitu burung itu mematuk perutnya, seperti ikan menyambar umpan di mata kail, kodok batu itu akan menyergap dan menangkapnya dengan empat kaki dan menggigitnya. Nah, bukankah kodok batu itu liar dan ganas?"
Hui Song mendengarkan dengan penuh kagum. Ternyata pemuda jembel ini banyak sekali pengetahuannya. Ketika membersihkan tubuh katak itu, dia mendapat kenyataan bahwa kulit yang lorek-lorek itu memang tipis dan halus.
"Heran, kodok yang liar dan ganas pemakan burung tapi kulitnya demikian tipis," katanya.
"Ya, dan kulitnya enak untuk dimakan, maka kodok batu selalu dimasak berikut kulitnya. Kulit katak hijau, biarpun lebih kecil dan pemakan nyamuk dan serangga, lebih ulet dan karena itu, kulit katak hijau tidak ikut dimasak. Mudah saja mengupas kulit katak. Kalau kepalanya sudah dipotong, sekali pencet saja tubuhnya akan keluar dari kulitnya. Tapi bodoh kalau membuang kulit katak hijau, karena kalau digoreng, rasanya enak sekali, tidak kalah oleh goreng kulit atau usus ayam!"
"Ha-ha-ha, sobat muda, agaknya engkau juga ahli tentang masakan!"
"Ahli makan sudah jelas, kalau ahli masak... hemm, harus dibuktikan lebih dulu. Sayang kita tidak mempunyai alat untuk masak, tidak mempunyai bumbu kecuali garam yang selalu kubawa dalam buntalan pakaian. Daging kodok batu ini kalau dimasak dengan tao-co, wah, gurih sekali. Kalau dimasak dengan jahe, hemm, sedap! Dan kalau dimasak dengan tape beras atau sedikit arak merah, lezat sekali."
Hui Song makin kagum dan mulutnya menjadi basah karena bangkit seleranya oleh keterangan tentang masakan-masakan sedap itu. "Dan bagaimana kalau digoreng?"
"Kurang tepat. Daging kodok batu terlalu lunak kalau digoreng bisa hancur. Untuk gorengan, lebih enak daging kodok hijau biasa. Dan daging katak ini terpaksa kita panggang saja, dengan diberi sedikit garam. Habis tidak mempunyai alat masak dan bumbunya sih."
"Panggang daging kodok batu dimakan dengan roti tawar... hemm, enak sekali!" kata Hui Song.
"Memang! Akan tetapi daging ini takkan matang kalau kita hanya omong-omong saja. Hayo cepat kumpulkan kayu bakar dan bikin api untuk panggang daging kodok ini!"
Tak lama kemudian, tercium bau panggang yang gurih dan segera mereka makan lagi, roti tawar dengan panggang kodok. Ternyata memang lezat dan mereka makan lebih lahap dan gembira daripada tadi.
"Hemm, belum pernah aku makan selezat ini!" Hui Song mengaku sejujurnya sambil mengelus perutnya setelah mereka selesai makan dan minum air tawar yang segar. "Bukan main sedapnya! Sobat, engkau sungguh luar biasa sekali. Pandai engkau membuat masakan, seperti seorang wanita saja engkau!"
Sui Cin sedang mencuci kedua tangannya maka kepalanya menunduk sehingga Hui Song tidak melihat betapa muka yang kotor berdebu itu berobah merah sekali. "Biarpun lezat, daging kodok batu ini cukup amis. Kalau diberi air jeruk di waktu makan amisnya akan berkurang. Maka tangan harus dicuci bersih betul, baru hilang bau amisnya. Aku memang mempelajari ilmu memasak."
"Ah, pantas kalau begitu? Siapa gurumu memasak?"
"Guruku...? Ia... enciku sendiri."
Tiba-tiba Hui Song meloncat bangkit dan memandang pemuda jembel itu dengan sepasang mata tajam penuh selidik akan tetapi mulutnya tersenyum. "Ha! Aku tahu siapa encimu!"
"Eh?" Pemuda jembel itu memandang heran. "Benarkah? Kalau tahu, siapa nama enciku dan dari mana ia datang?"
"Wah, itu aku belum tahu. Akan tetapi, maksudku, aku sudah mengenalnya, sudah pernah bertemu dengannya. Malah ia telah menyelamatkan aku, membantuku ketika aku dikeroyok oleh tiga orang dari Cap-sha-kui. Dan tadi di pasar engkaupun membantuku, jadi kalian adik dan enci selalu membantuku. Sungguh aku patut untuk berterima kasih kepada kalian. Adik yang baik, ketika aku bertemu dengan encimu, ia tidak sempat memperkenalkan diri. Maukah engkau memberi tahu, siapa nama encimu dan siapa pula orang tua atau gurunya? Aku melihat betapa ilmu silatmu dan ilmu silat encimu sesumber dengan ilmu silatku."
Sui Cin diam-diam merasa geli dan wataknya yang bengal membuat ia ingin mempermainkan pemuda ini. "Mana aku tahu bahwa engkau benar-benar pernah bertemu dengan enciku? Kalau benar pernah bertemu, hayo ceritakan bagaimana wajahnya dan apa keistimewaannya?"
"Ah, mudah sekali itu. Mana bisa aku melupakannya?" kata Hui Song sambil menatap tajam wajah pemuda jembel itu. "Rambutnya hitam sekali, gemuk dan panjang, dengan anak rambut halus menutupi bagian atas dahinya yang halus. Wajahnya bulat telur dengan dagu agak meruncing, potongan wajahnya manis, sepasang matanya lebar dan jeli, kedua ujungnya agak naik dan seperti ditambah guratan hitam, bulu matanya lentik panjang, hidungnya kecil mancung dan bibirnya merah basah, bentuknya manis sekali, kalau tertawa ada lesung pipit di pipi kirinya, kulit mukanya putih halus seperti salju..."
"Eh, kau ini menggambarkan wajah enciku akan tetapi kenapa matamu terbelalak memandang aku?" pemuda jembel itu menegur, merasa sungkan dan tidak enak sekali melihat sepasang mata itu tanpa berkedip terus-menerus memandanginya.
"Habis, wajah encimu itu seperti pinang dibelah dua dengan wajahmu!" kata Hui Song sambil tersenyum lebar.
"Teruskan, teruskan...!"
"Pendeknya, encimu itu seorang dara remaja yang belum pernah kulihat keduanya di dunia ini. Tubuhnya ramping padat, pakaiannya aneh-aneh dan nyentrik, selalu membawa payung butut yang dapat menjadi senjata yang ampuh, naik seekor keledai... eh, kuda yang mirip keledai karena kecil dan pendeknya..."
"Cukup, engkau memang sudah mengenalnya." kata pemuda jembel itu, menyembunyikan perasaan girang dan juga malu di hatinya. Bagaimana ia tidak akan merasa girang akan tetapi juga jengah mendengar orang memuji-muji kecantikannya di depannya secara begitu terbuka sehingga kecantikannya diperinci?
"Memang aku sudah mengenalnya, bahkan kami sudah berkelahi bahu-membahu melawan tiga orang tokoh Cap-sha-kui! Sayang aku belum mengenal namanya. Maka, sobat muda yang baik, kauberitahukanlah aku siapa nama encimu dan bagaimana pula keadaan keluargamu."
"Nanti dulu, sobat. Engkau sendiri belum memperkenalkan diri. Terus terang saja, aku dan enciku tidak biasa memperkenalkan diri kepada orang lain. Maka, sebaiknya engkau bercerita tentang dirimu sebelum aku memperkenalkan enciku."
Hui Song adalah seorang pemuda yang lincah jenaka, bahkan suka sekali menggoda orang, wataknya agak berandalan. Akan tetapi diapun cerdik dan dia tahu bahwa dia berhadapan dengan putera atau murid orang pandai yang masih ada hubungannya dengan Cin-ling-pai, maka diapun tidak segan-segan untuk bersikap hormat dan mengalah, walaupun dia merasa jauh lebih tua daripada jembel muda ini.
"Baiklah, sobat muda. Aku bernama Cia Hui Song. Ayahku adalah ketua Cin-ling-pai dan aku adalah putera tunggal. Tadinya aku mewakili Cin-ling-pai untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang diadakan di Puncak Bukit Perahu. Pertemuan itu gagal dan tidak jadi, maka aku hendak kembali ke Cin-ling-pai. Di tengah perjalanan aku bertemu dengan tokoh-tokoh Cap-sha-kui dan aku dikeroyok, nyaris celaka kalau tidak muncul encimu yang lihai dan yang membantuku sehingga kami berhasil mengusir tiga orang iblis itu. Nah, itulah keadaanku."
Sui Cin mengangguk-angguk. "Aih, kiranya putera ketua Cin-ling-pai! Pantas saja demikian lihainya. Siapa tidak mengenal pendekar sakti Cia Kong Liang yang berilmu tinggi, kedudukannya setinggi langit menjadi ketua perkumpulan besar yang amat terkenal di seluruh dunia, yaitu Cin-ling-pai? Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagiku untuk dapat mengenalmu, Cia-taihiap!" Sui Cin yang mendengar dari ayahnya tentang ketinggian hati ketua Cin-ling-pai, lalu berdiri dan memberi hormat, sengaja menyebut taihiap kepada pemuda itu untuk menguji apakah pemuda itupun memiliki kecongkakan seperti ayahnya.
"Aihh, adik yang baik, minta ampun jangan menyebutku taihiap!"
"Kenapa? Bukankah engkau seorang pendekar besar, putera tunggal ketua Cin-ling-pai yang dihormati dan disegani orang-orang gagah di seluruh dunia?"
"Wah, tidak kuat aku menerima sebutan itu. Selama hidup belum pernah aku disebut orang taihiap, dan aku tidak pernah merasa menjadi taihiap. Apalagi pendekar besar, menjadi pendekar yang paling kecilpun aku bukan! Karena engkau jauh lebih muda dari aku, sebut saja aku kakak atau paman juga boleh!"
Sui Cin tertawa. Hatinya senang sekali. Pemuda ini sama sekali tidak congkak. Apakah berita tentang ketinggian hati ketua Cin-ling-pai itu tidak benar? Kalau benar bapaknya berhati congkak, mengapa putera tunggalnya demikian ramah, polos, jenaka dan rendah hati malah?
"Baiklah, aku akan menyebutmu kakek. Bagaimanapun, engkau hanya lebih tua beberapa tahun saja daripada aku."
"Beberapa tahun? Engkau paling banyak berusia empat belas tahun!"
"Aku sudah enam belas tahun... eh, hampir! Song-twako, engkau paling banyak berusia dua puluh empat tahun."
"Aku baru dua puluh satu tahun, karena tinggi besar, mungkin nampak lebih tua," kata Hut Song. "Dan sekarang ceritakanlah keadaan kalian..."
"Nanti dulu, Song-twako. Aku belum tahu benar akan keadaanmu. Apakah... apakah engkau sudah menikah?"
Hui Song tertawa. "Ha-ha-ha, apakah aku kelihatan seperti orang yang sudah menikah? Belum, adik yang baik. Aku belum menikah dan mungkin takkan menikah!"
"Eh, kenapa? Semua orang menikah kalau sudah berusia dua puluh tahun lebih."
"Apakah itu suatu keharusan? Aku tidak mau kalau dipaksa menikah, kecuali kalau memang hatiku ingin."
"Sebagai putera tunggal ketua Cin-ling-pai, tentu sejak kecil engkau sudah ditunangkan dengan puteri seorang yang berkedudukan tinggi dan terkenal pula."
Hui Song tersenyum lebar dan menggeleng kepala. "Tidak, aku belum bertunangan dan tidak akan ditunangkan di luar keinginanku. Nah, sekarang ceritakanlah, siapa nama encimu?"
"Hei, Song-twako. Engkau berhadapan dan berkenalan dengan aku, kenapa yang kautanyakan hanya enciku melulu?"
Hui Song tertawa menutupi rasa malunya. "Baiklah, aku tanyakan namamu dahulu. Siapa namamu, adik yang baik?"
"Namaku Ceng Sui Cin..."
Hui Song bangkit berdiri dan matanya terbelalak, wajahnya berseri. "She Ceng? Ah, sudah kuduga dalam hatiku. Engkau putera Pendekar Sadis Ceng Thian Sin yang amat terkenal itu!"
"Hemmm... engkau sudah tahu banyak tentang ayahku?" Sui Cin bertanya, matanya memandang penuh selidik. Kalau benar pemuda ini sudah banyak mengetahui tentang keadaan ayahnya, tiada gunanya lagi permainannya menyamar sebagai adik Sui Cin yang bernama Sui Cin itu!
Akan tetapi hatinya lega ketika melihat pemuda itu menggeleng kepala. "Tentu saja aku tahu tentang ayahmu dari penuturan ayahku. Akan tetapi yang kuketahui hanya bahwa ayahmu Ceng Thian Sin berjuluk Pendekar Sadis dan memiliki kepandaian amat hebat. Selanjutnya aku tidak tahu apa-apa tentang beliau karena ayah tidak menceritakan lebih banyak lagi, agaknya ayah memang tidak tahu banyak tentang ayahmu."
Memang tinggi hati ketua Cin-ling-pai itu, pikir Sui Cin. Bagaimanapun juga, ayahnya mempunyai hubungan dekat sekali dengan Cin-ling-pai, akan tetapi ketua Cin-ling-pai itu tidak banyak bercerita tentang ayahnya kepada puteranya.
Hal ini saja sudah membuktikan bahwa ketua Cin-ling-pai itu adalah seorang yang congkak, tinggi hati. Akan tetapi, begaimanapun juga, keadaan ini melegakan hatinya. Ia lebih senang keadaan keluarganya tidak diketahui oleh Hui Song karena dengan demikian ia boleh mempermainkan pemuda itu sesuka hatinya.
"Sekarang ceritakan, siapa nama encimu itu, Cin-te (adik Cin)?"
Sui Cin tersenyum. "Song-twako, terus terang saja, aku tidak berani melanggar pantangan enci. Kalau aku menceritakan tentu aku akan ditamparnya. Ia galak sekali lho. Sebaiknya kelak saja kalau engkau berjumpa lagi dengannya, tanyakan sendiri, Song-twako."
Hui Song mengerutkan alisnya, akan tetapi dia sendiri sudah pernah berjumpa dengan dara itu dan tahu akan watak yang aneh dan keras, maka diapun tidak terlalu menyalahkan Sui Cin kalau takut dengan encinya yang galak itu. Karena memang wataknya terbuka dan ramah, Hui Song dapat membuang kekecewaannya. Bagaimanapun juga dia telah berkenalan dan bersahabat dengan adik dara itu, inipun sudah merupakan suatu hal yang amat menguntungkan. Dan kalau dia sudah berkenalan dan bersahabat dengan adiknya, maka jalan menuju ke arah perkenalan dengan encinya tentu saja jauh lebih dekat dan mudah. Dan bagaimanapun juga, dia merasa bangga hati dapat berkenalan dengan seorang putera dari Pendekar Sadis yang amat terkenal dan sudah lama dikaguminya itu.
"Cin-te, apakah sekarang engkau hendak pulang ke rumah orang tuamu? Di manakah mereka tinggal?" tanyanya.
"Kami tinggal jauh di selatan, di Pulau Teratai Merah. Akan tetapi aku belum mau pulang, aku hendak pergi ke kota raja untuk... eh, untuk mencari enciku di sana."
"Ah, bagus sekali! Aku hendak pergi ke kota raja. Kita dapat jalan bersama kalau begitu." Hui Song berseru gembira.
Sui Cin tersenyum menggoda. "Eh, katanya tadi bilang hendak ke Cin-ling-pai? Mengapa sekarang tiba-tiba hendak pergi ke kota raja?"
Mendengar nada suara yang mentertawakan ini, Hui Song tertawa. "Wah, terus terang saja, memang aku ingin sekali dapat segera bertemu dan berkenalan dengan encimu. Akan tetapi, sesungguhnya, selain keinginanku berkenalan dengan encimu, juga ada hal-hal penting yang mendorong aku pergi ke kota raja melakukan penyelidikan."
Sui Cin merasa tertarik. "Hal-hal penting apakah, twako?"
"Aku mengalami dua hal yang amat aneh di Cin-an. Pertama kali ketika aku melihat kaisar dalam penyamaran dilindungi oleh datuk-datuk Cap-sha-kui, dan kedua kalinya melihat gerombolan ganas seperti Hwa-i Kai-pang itu bekerja sama dengan pasukan pemerintah. Bukankah hal itu penting dan aneh sekali? Aku ingin menyelidiki keanehan itu di kota raja. Pasti terjadi apa-apa yang luar biasa di kota raja, kalau tidak demikian, tidak mungkin para penjahat keji bersekutu dengan pemerintah."
Sui Cin mengangguk-angguk. "Engkau benar. Tidak terpikirkan olehku tentang keanehan kerja sama antara penjahat dan petugas keamanan itu. Kalau begitu, mari kita berangkat dan kita selidiki bersama, twako."
"Baiklah, dan akupun akan membantumu mencari encimu di kota raja," kata Hui Song dan Sui Cin hanya tertawa saja.
Istana tua di Lembah Naga itu dahulu merupakan tempat yang amat sunyi, akan tetapi semenjak pendekar sakti Cia Han Tiong mendirikan perkumpulan Pek-liong-pai (Partai Naga Putih), tempat terpencil itu tidaklah begitu sunyi lagi. Di kanan kiri gedung istana tua itu kini didirikan bangunan-bangunan pondok di mana murid-murid Pek-liong-pai tinggal dan tempat itu kini terawat baik dan bersih. Para murid atau anggauta Pek-liong-pai selain belajar ilmu silat di tempat itu, juga mereka bekerja dengan rajin, menjaga baik-baik tempat itu dan ada pula yang bertani, memelihara ternak dan sebagainya.
Banyak sudah murid yang tamat belajar lalu meninggalkan Lembah Naga, terjun ke dunia ramai sebagai pendekar-pendekar budiman sehingga mereka inilah yang memperkenalkan dan mengharumkan nama Pek-liong-pai di dunia kang-ouw. Karena sepak terjang para murid lulusan Pek-liong-pai yang gagah perkasa, apalagi mendengar bahwa Pek-liong-pai didirikan oleh putera Pendekar Lembah Naga yang namanya pernah menggemparkan dunia persilatan, maka nama perkumpulan itupun mendatangkan rasa hormat dan segan di hati para pendekar, dan ditakuti oleh para penjahat.
Dalam mengajarkan ilmu-ilmunya, Cia Han Tiong ketua Pek-liong-pai bersikap sangat keras dan berdisiplin. Setiap orang murid yang mengajukan permohonan belajar di situ akan mengalami ujian dulu, diteliti watak dan bakatnya. Setelah belajar, sebelum dinyatakan tamat, murid ini sama sekali tidak boleh meninggalkan lembah. Pendekar ini maklum bahwa pelajar silat masih mentah sajalah yang tidak mampu menguasai dirinya dan suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan ilmu silatnya dan hal ini selain amat berbahaya, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, juga akan menyeret nama Pek-liong-pai ke dalam lumpur.
Ketika dia mendirikan Pek-liong-pai, belasan tahun yang lalu, ayah ibunya masih hidup. Ayahnya, mendiang Cia Sin Liong adalah seorang pendekar sakti yang pernah menggegerkan dunia kang-ouw dan berjuluk Pendekar Lembah Naga, juga mendiang ibunya adalah seorang pendekar wanita yang lihai. Menjelang hari akhirnya, Cia Sin Liong dan isterinya hidup tenang di lembah itu, lebih banyak bersamadhi dan menyendiri. Akan tetapi pendekar sakti ini merestui niat puteranya untuk mendirikan perkumpulan agar ilmu keluarga mereka tidak musnah, bahkan pendekar sakti Cia Sin Liong membantu puteranya untuk memberi gemblengan ahlak kepada para murid Pek-liong-pai, dengan mempelajari budi pekerti dan ilmu kesusasteraan. Setelah kemudian suami isteri Pendekar Lembah Naga meninggal dunia dalam usia tua, Han Tiong melanjutkan pendidikan budi pekerti itu dengan tekun dan berdisiplin. Semua anak murid Pek-liong-pai diharuskan bersumpah untuk tidak membunuh orang lain.
"Tiada gading yang tidak retak, tidak ada manusia tanpa cacad di dunia ini," demikian antara lain dia menasihatkan murid-murid Pek-liong-pai. "Dan kita sendiripun adalah manusia, maka kitapun tidak terlepas daripada cacad-cacad itu. Setiap orang manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, memiliki kebaikannya dan keburukannya masing-masing. Orang yang sedang tersesat atau melakukan perbuatan yang kita sebut jahat, hanyalah merupakan manusia yang sedang dihinggapi penyakit. Bukan jasmaninya yang sakit, melainkan batinnya. Akan tetapi, seperti juga penyakit badan, maka penyakit batin inipun dapat sembuh. Orang yang hari ini sakit, besok atau lusa bisa sembuh, orang yang ini hari melakukan peebuatan sesat, besok atau lusa bisa bertobat. Sebaliknya orang yang sedang sehat, jangan sekali-kali tekebur karena sewaktu-waktu bisa saja dia dihinggapi penyakit batin itu. Jadi, sebagai seorang pendekar yang mengetahui ini semua, yakin bahwa diri sendiripun sewaktu-waktu bisa saja sakit, kita tidak boleh meremehkan dan memandang rendah kepada orang-orang yang sedang sakit batinnya. Yang kita berantas adalah penyakit batinnya itu, bukan orangnya. Sebaliknya kita menyadarkan mereka, dan itu berarti mengusahakan pengobatan. Kalau perlu memang kita dapat menggunakan ilmu silat kita untuk menundukkannya, menghajarnya, agar dia jera. Akan tetapi ingat, seorang yang bagaimana jahatnyapun adalah seorang manusia, sama dengan kita, maka tidak berhaklah kita untuk membunuhnya."
"Akan tetapi, suhu," ada seorang murid yang memberanikan diri untuk membantah, "bagaimana kalau ada orang jahat yang sesudah dihajar berkali-kali, belum juga mau bertobat dan masih saja melanjutkan kejahatannya?"
Cia Han Tiong tersenyum lebar. "Ada juga penyakit badan yang sukar diobati. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kita lalu boleh membunuh saja orang sakit yang tidak mudah diobati itu! Cepat atau lambatnya dia bertobat tergantung dari keadaan badannya, tergantung dari berat ringannya penyakitnya. Tidak ada istilah bosan dalam usaha pengobatan, baik pengobatan terhadap penyakit badan maupun penyakit batin."
"Maaf, suhu," seorang murid lain membantah. "bagaimana kalau kita bertemu dengan orang jahat, atau yang suhu sebut sebagai orang yang sedang sakit batinnya, dan orang itu menyerang dan hendak membunuh kita? Apakah kita harus membiarkan diri sendiri terbunuh olehnya karena kita tidak boleh membunuhnya?"
"Jangan kalian salah paham," Han Tiong menjawab. "yang dinamakan membunuh hanyalah perbuatan yang kita sengaja lakukan karena kebencian di hati. Menjaga dan melindungi diri sendiri dari kehancuran dan kematian merupakan suatu keharusan dalam hidup. Kalau untuk membela diri, untuk melindungi diri, baik terhadap ancaman maut di tangan binatang atau manusia, terpaksa kita merobohkan penyerang itu sampai dia tewas, bukan pembunuhan yang kita lakukan dengan sengaja, maka hal itu tidaklah buruk. Aku tidak melarang perbuatan tidak disengaja seperti itu. Akan tetapi, sedapat mungkin, cegahlah serangan yang dapat mematikan lawan."
Demikianlah antara lain gemblengan batin yang diberikan oleh Cia Hen Tiong terhadap murid-muridnya. Oleh karena itu, para murid yang dinyatakan lulus kemudian terjun ke dalam dunia ramai sebagai seorang pendekar Pek-liong-pai, dengan pakaian putih mereka, selalu mendatangkan kagum di dunia kang-ouw. Para pendekar menghormati nama Pek-liong-pai yang menentang kejahatan tanpa rasa benci perorangan kepada pelaku-pelaku kejahatan itu sendiri. Jarang sekali terjadi seorang penjahat tewas di tangan murid Pek-liong-pai, walaupun dengan ilmu silatnya yang tinggi murid Pek-liong-pai itu menekan si penjahat untuk menghentikan kejahatannya.
Cia Han Tiong dan isterinya hanya mempunyai seorang putera, yaitu Cia Sun. Seperti juga para murid lain dari Pek-liong-pai, Cia Sun juga digembleng oleh ayahnya, bahkan penggemblengan terhadap dirinya lebih hebat tentu saja sehingga dalam usia dua puluh tahun saja Cia Sun telah mewarisi semua ilmu kepandaian ayahnya. Juga dia mewarisi watak ayahnya yang pendiam, halus penuh perasaan, berwibawa, jujur dan setia, seorang kuncu atau budiman lahir batin seperti yang dimaksudkan dalam pelajaran Nabi Khong Cu.
Pada pagi hari yang cerah itu, Cia Han Tiong dan isterinya bercakap-cakap sambil duduk di serambi depan istana kuno yang menjadi tempat tinggal mereka. Pagi itu cerah sekali dan hawanya segar, membuat orang merasa tubuhnya sehat dan batinnya tenteram. Cia Han Tiong sudah berusia empat puluh tujuh tahun kurang sedikit, akan tetapi dia masih kelihatan gagah perkasa dan wajahnya membayangkan watak yang budiman, halus peramah. Tubuhnya yang tegap membayangkan tenaga yang kuat dan patutlah kalau dia menjadi ketua Pek-liong-pai yang gagah perkasa. Isterinya, Ciu Lian Hong, sudah berusia empat puluh dua tahun, masih nampak muda dan cantik. Mereka bercakap-cakap dan membicarakan putera mereka yang pergi mewakili Pek-liong-pai menghadiri pertemuan para pendekar di Puncak Bukit Perahu.
"Mudah-mudahan tidak terjadi keributan di selatan sana," kata Cia Han Tiong kepada isterinya. "Aku tidak ingin melihat Cia Sun terlibat dalam permusuhan yang tiada hentinya antara golongan hitam dan golongan putih. Kalau dia terlibat, berarti seluruh Pek-liong-pai akan terlibat pula."
Isterinya menarik napas panjang. "Aku selalu menghargai pendirianmu, suamiku, dan memang aku dapat melihat bahwa kekerasan tidak mungkin dapat melenyapkan kekerasan. Akan tetapi, golongan hitam dan golongan putih merupakan dua golongan yang berdiri saling berhadapan dan saling bertentangan. Mana mungkin mencegah kedua golongan yang saling bertentangan itu untuk tidak bentrok dan bermusuhan?"
"Aaah, itulah yang kadang-kadang menyedihkan hati sekali. Golongan hitam dianggap melakukan kejahatan dengan menggunakan kekerasan. Kemudian golongan putih menentang mereka dengan kekerasan pula. Kalau keduanya sudah menggunakan kekerasan, maka sukarlah untuk dinilai siapa yang lebih baik dan siapa yang lebih buruk. Seyogianya mereka yang menamakan dirinya golongan putih itu melenyapkan dulu perasaan dendam dan benci dari hati mereka sehingga tindakan mereka bukan dilandasi kebencian melainkan dilandasi cinta kasih..."
"Cinta kasih? Cinta kasih terhadap kaum sesat yang jahat seperti iblis...?" Isterinya bertanya, kaget sendiri akan kenyataan sikap suaminya yang dianggap tak masuk akal ini.
Suaminya menggeleng kepala. "Bukan terhadap golongan tertentu. Melainkan cinta kasih antara manusia. Dan manusia itu siapa saja, tidak memilih golongan. Dengan dasar ini, maka mereka yang merasa bersih itu bertindak dengan dasar menyadarkan, membersihkan, membimbing ke arah yang benar."
Ciu Lian Hong bangkit berdiri. Pusing ia kalau sudah bicara tentang kehidupan dengan suaminya. Pandangan suaminya berbeda dengan umum, karena itu kadang-kadang membingungkannya. "Ah, kalau saja Cia Sun pulang..." katanya dan iapun berdiri di depan serambi, memandang ke depan, jauh ke arah hutan yang membentang luas di depan istana Lembah Naga. Suaminya juga bangkit lalu menghampiri isterinya, berdiri di samping isterinya.
"Hong-moi, aku tahu bahwa engkau ingin sekali melihat Sun-ji menikah dan engkau ingin sekali menimang cucu. Biarlah kalau dia pulang aku akan bicara mengenai hal itu dan secepatnya aku akan mencari adik Ceng Thian Sin di Pulau Teratai Merah..."
Ciu Lian Hong menoleh kepada suaminya, "Jangan dulu, suamiku. Biarkanlah anak kita itu meluaskan pengalamannya. Siapa tahu dia akan bertemu sendiri dengan calon jodohnya. Dalam perjodohan, kita tidak boleh memaksa dan memperkosa hatinya. Biarkan dia memilih jodohnya sendiri. Setujukah engkau, suamiku?" Berkata demikian, isteri yang mencinta suaminya itu menaruh tangannya di pundak suaminya, menggelendot dan bersandar pada pundak suaminya yang kuat dengan sikap manja dan mesra.
Han Tiong menahan senyumnya dan menarik napas panjang sambil merangkul isterinya yang tercinta. Selalu isterinya mengatakan demikian kalau dia bicara tentang niat hatinya menjodohkan Cia Sun dengan puteri Ceng Thian Sin. Siapa lagi nama anak perempuan Ceng Thian Sin, anak perempuan yang ketika kecilnya sudah nampak bengal dan berwatak keras itu? Ceng Sui Cin, ya, begitulah namanya. Pernah anak itu ikut ayahnya ketika berkunjung kira-kira sepuluh tehun yang lalu! Dan dia tahu betul mengapa isterinya kelihatan tidak setuju dan tidak rela menjodohkan Cia Sun dengan Ceng Sui Sin. Bukan karena anak perempuan itu sendiri karena mereka berdua belum tahu bagaimana keadaan anak perempuan itu sekarang setelah dewasa. Akan tetapi, isterinya itu terutama sekali merasa enggan untuk berbesan dengan Pendekar Sadis! Hal ini tidaklah aneh karena di waktu masih gadis dulu, hubungan antara Lian Hong dan Thian Sin erat sekali. Bahkan dia tahu benar betapa Thian Sin pernah mencinta Lian Hong setengah mati, dan seolah-olah terjadi perebutan di dalam hatinya antara dia dan Thian Sin terhadap Lian Hong. Dia bersedia mengalah, akan tetapi akhirnya ternyata bahwa Lian Hong memilih dia dan menjadi isterinya, sedangkan Ceng Thian Sin menikah, atau lebih tepat, hidup bersama sebagai suami isteri dengan Toan Kim Hong. Satu di antara sebab yang membuat Lian Hong memilihnya adalah karena Thian Sin berwatak kejam, bahkan menjadi Pendekar Sadis yang ditakuti orang. Hubungan itulah, dan watak Thian Sin yang kejam sebagai pendekar yang berjuluk Pendekar Sadis itulah yang membuat Lian Hong kini berkeberatan untuk menjodohkan puteranya dengan puteri Pendekar Sadis. Jadi, bukan gadis itu yang memberatkan hatinya, melainkan ia tidak mau berbesan dengan Thian Sin!
Pada pagi hari itu, dari luar hutan yang menjadi batas terakhir dari Lembah Naga, nampak seorang kakek dan seorang nenek berjalan memasuki hutan. Kakek dan nenek itu tentu sudah berusia enam puluh tahun lebih dan melihat keadaannya, mereka itu seperti seorang kakek dan seorang nenek petani biasa saja. Keduanya berjalan dibantu oleh tongkat mereka. Kakek itu bertongkat hitam dan si nenek bertongkat putih. Baju mereka longgar dan kepala mereka dilindungi caping lebar dari kulit bambu. Ketika mereka tiba di tengah hutan itu dan melihat ada gundukan besar dari tiga batu bertumpuk, mereka berhenti, termenung sejenak.
"Benar di sinilah tempat itu, kanda?" tanya si nenek dengan suara halus dan penuh kemesraan sambil memandang gundukan tiga bongkah batu bertumpuk itu. Kelau menggunakan tenaga orang biasa, agaknya akan dibutuhkan puluhan orang untuk mengangkat dan menumpuk tiga buah batu besar yang amat berat itu.
"Benar, adinda. Di sinilah. Lihat di permukaan batu paling bawah, bukankah di situ masih ada tulisannya?" jawab si kakek. Mereka berdua memandang tulisan huruf asing di atas permukaan batu paling bawah.
TEMPAT GUGURNYA BIBI GURU
HEK-HIAT MO-LI
"Tidak salah lagi, suhu kita yang menumpuk tiga bongkah batu ini untuk memperingati kematian nenek guru Hek-hiat Mo-li. Ahh, tenaga suhu sudah begini hebat akan tetapi tidak mampu mengalahkan musuh," kata lagi si nenek.
"Jangan keliru. Pada waktu itu, suhu hanya memiliki tenaga yang kuat saja akan tetapi belum menyempurnakan Ilmu Im-kan Sin-hoat (Ilmu Sakti Akhirat), dan sekarang setelah berhasil menyempurnakan ilmu itu, suhu kehabisan tenaga dan meninggal dunia sebelum dapat mencari ke sini."
"Engkau benar, kanda. Untunglah bahwa dia telah mewariskan ilmu itu kepada kita dan setelah kita melatih diri dengan sempurna, kini tiba saatnya bagi kita untuk membalas dendam kepada Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong!"
"Mau keturunannya, atau muridnya, akan kita gempur dan basmi sampai habis seakar-akarnya!"
Mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan tumpukan tiga bongkah batu itu memberi hormat, kemudian sejenak mereka bersamadhi di tempat itu seperti orang mohon berkah. Ketika akhirnya mereka bangkit berdiri, wajah mereka penuh semangat dan dengan langkah tegap mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Istana Lembah Naga.
Ketika mereka keluar dari hutan dan melihat bangunan kuno menjulang tinggi di depan, mereka berhenti lagi. Bagaimanapun juga, wajah mereka nampak tegang dan agaknya mereka gentar juga melihat istana tua yang kokoh itu, seolah-olah melambangkan kekokohan dan kekuatan para penghuninya. Kemunculan mereka itu bukan dari depan istana, melainkan dari samping kanan, maka mereka tidak melihat bahwa pada saat itu ketua Pek-liong-pai dan isterinya sedang berdiri di serambi depan. Sebaliknya, empat anggauta Pek-liong-pang yang bertugas di sebelah kanan istana itu, melihat kemunculan kakek dan nenek yang berpakaian sederhana berwarna kuning itu. Tentu saja mereka merasa heran dan cepat mereka menunda pekerjaan mereka. Dua orang di antara mereka menghampiri dan melihat bahwa yang datang adalah dua orang tua, dua murid Pek-liong-pai cepat memberi hormat. Itulah satu di antara ajaran yang mereka dapatkan di perguru-an Pek-liong-pai, yaitu menghormat orang yang lebih tua.
"Maaf, lopek berdua hendak mencari siapakah?" tanya seorang di antara dua murid Pek-liong-pai itu.
Kakek dan nenek itu memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, kemudian si kakek bertanya, suaranya terdengar asing dan kaku, tanda bahwa dia adalah seorang asing, "Kami mencari Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong!"
Dua orang murid tingkat tiga dari Pek-liong-pai itu saling pandang dengan kaget dan heran. Kakek dan nenek ini mencari kakek guru mereka yang telah meninggal dunia!
"Tapi... beliau telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu..."
Kini kakek dan nenek itu saling pandang dengan wajah membayangkan kekecewaan. Kakek itu lalu menoleh ke arah istana tua dan bertanya, "Lalu, siapa yang tinggal di dalam istana itu?"
"Yang tinggal di situ adalah suhu dan subo..."
"Siapakah mereka?" tanya si nenek dengan cepat.
"Suhu adalah ketua Pek-liong-pai, perkumpulan kami..."
"Apa hubungannya dengan Pendekar Lembah Naga?"
Diberondong pertanyaan-pertanyaan itu, dua orang murid Pek-liong-pai mengerutkan alisnya. Kakek dan nenek ini jelas orang asing, akan tetapi sungguh tidak sopan mengajukan pertanyaan bertubi-tubi seperti hakim memeriksa pesakitan saja. Akan tetapi demi kesopanan terhadap orang yang jauh lebih tua, mereka menjawab juga.
"Suhu adalah putera beliau."
Dua pasang mata tua itu memancarkan sinar yang mengejutkan hati dua orang murid Pek-liong-pai itu. "Jadi kalian adalah cucu murid Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong si jahanam?" teriak si nenek marah.
Dua orang laki-laki yang usianya mendekati tiga puluh tahun itu terkejut akan tetapi mengangguk. Tiba-tiba nampak sinar berkelebat ketika kakek dan nenek itu menggerakkan tongkat mereka ke depan. Dua orang murid Pek-liong-pai terkejut sekali dan berusaha menghindarkan diri dari serangan kilat itu. Namun, gerakan mereka jauh kalah cepat.
"Kekkk! Kekk!" Dua orang murid Pek-liong-pai itu terjengkang roboh dan tewas seketika dengan lubang tepat di tenggorokan mereka yang mengucurkan darah hitam! Mereka roboh dan tewas tanpa berkelojotan lagi. Sungguh mengerikan dan hebat bukan main serangan kakek dan nenek itu.
Dua orang murid lain yang melihat betapa dua orang saudara seperguruan mereka roboh dan tidak bangkit kembali, menjadi kaget dan merekapun cepat lari menghampiri ke tempat itu. Ketika mereka melihat kenyataan yang mengejutkan bahwa dua orang saudara mereka itu telah tewas dengan mata mendelik dan leher berlubang, tentu saja keduanya marah bukan main.
"Kenapa kalian membunuh dua orang sute kami?" bentak seorang di antara mereka.
"Mampuslah!" Kakek itu membentak dan kembali dua batang tongkat kakek dan nenek itu menyambar ke depan. Akan tetapi, dua orang murid Pek-liong-pai itu selain lebih tangkas daripada dua orang sute mereka yang tewas, juga mereka telah siap sedia karena sudah tahu bahwa kakek dan nenek itu adalah orang orang yang memusuhi mereka, maka sambaran tongkat itu dapat mereka elakkan dengan cara melempar tubuh ke belakang.
Akan tetapi kakek dan nenek itu menyerang terus dengan gerakan yang amat dahsyat. Mereka hanya mampu mengelak beberapa kali dan ketika terpaksa mereka menangkis, terdengar suara nyaring dan tulang lengan mereka patah bertemu tongkat. Seorang di antara mereka sempat mengeluarkan pekik melengking untuk memperingatkan semua murid Pek-liong-pai sebelum mereka berdua roboh, sekali ini bukan oleh tusukan ujung tongkat, melainkan karena tamparan tangan kiri kakek dan nenek itu. Tamparan itu hebat bukan main karena sama sekali tidak dapat dielakkan lagi dan robohlah mereka dengan tubuh utuh. Kepala mereka yang kena ditampar dan tanpa kelihatan terluka, mereka roboh dan tewas seketika. Hanya nampak tanda menghitam di pelipis mereka bekas tangan kakek dan nenek itu. Ternyata isi kepala mereka telah terguncang dan rusak oleh tenaga tamparan yang amat ampuh itu!
Akan tetapi pekik melengking yang dikeluarkan oleh seorang di antara dua murid Pek-liong-pai sebelum mereka tewas tadi, mengejutkan semua murid Pek-liong-pai. Pada waktu itu, di Lembah Naga terdapat tidak kurang dari empat puluh orang murid, terdiri dari tingkat pertama, kedua dan ketiga. Akan tetapi pada saat itu, sebagian dari mereka bekerja di sawah ladang, ada pula yang berburu binatang sehingga pada pagi hari itu, yang berada di sekitar istana hanya ada dua puluh lima orang termasuk empat yang tewas itu. Dan di antara dua puluh lima orang ini, yang tingkat satu dan hanya menanti dinyatakan lulus hanya ada tiga orang, selebihnya adalah murid-murid tingkat dua dan tiga.
Kakek dan nenek itu menyeringai penuh ejekan ketika mereka melihat dua puluh orang murid Pek-liong-pai yang rata-rata mengenakan pakaian putih itu berdatangan dari segenap penjuru ada yang masih membawa cangkul, sapu dan lain-lain. Biarpun sudah melihat bahwa empat orang saudara mereka tewas dan pembunuhnya tentu kakek dan nenek itu, namun mentaati ajaran dan perintah guru mereka, dua puluh orang lebih murid-murid Pek-liong-pai itu tidak sembrono turun tangan mengeroyok, melainkan mengepung saja agar kakek dan nenek pemhunuh itu tidak dapat melarikan diri. Tiga orang murid tingkat pertama yang berada di situ bertindak sebagai pemimpin. Mereka berdiri menghadapi kakek dan nenek itu, dan seorang di antara mereka yang usianya sudah hampir empat puluh tahun, melangkah maju dan memberi hormat.
"Siapakah locianpwe berdua dan apa kesalahan adik-adik seperguruan kami maka ji-wi locianpwe (dua orang gagah) turun tangan membunuh mereka dan kami terpaksa menuntut agar ji-wi suka menyerah dan menghadap ketua kami?"
Kakek dan nenek itu saling pandang dan mereka kelihatan bergembira! Kakek itu tertawa bergelak sambil mengelus jenggotnya yang jarang akan tetapi cukup panjang, tangan kanan memegang tongkat yang didirikan di depan kakinya, sedangkan nenek itupun tersenyum dan tangan kirinya bertolak pinggang.
"Ha-ha-ha, adinda yang baik, lihat, mereka ini semua sudah mengenakan pakaian berkabung, seolah-olah mereka sudah tahu bahwa hari ini mereka akan mati semua! Hayo kita berlomba, siapa yang dapat membunuh musuh paling banyak!" Setelah berkata demikian, nampak dua sinar berkelebat dan dua batang tongkat itu telah menyambar secepat kilat ke arah dua orang murid pertama Pek-liong-pai! Hebat bukan main serangan itu, akan tetapi kini yang diserang adalah murid-murid Pek-liong-pai yang sudah hampir tamat. Tentu saja dua orang itu sudah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, dan biarpun mereka kaget sekali, mereka berhasil menghindarkan diri dengan loncatan ke belakang.
Maklum bahwa kakek dan nenek itu memiliki kepandaian yang amat tinggi, maka tiga orang murid pertama itu mencabut pedang mereka dan seorang di an-tara mereka memberi komando, "Kurung dan tangkap mereka untuk dihadapkan kepada suhu!" Suheng ini masih memperingatkan para sutenya agar jangan sembarangan turun tangan, membunuh kakek dan nenek itu!
Terjadilah perkelahian yang amat hebat. Kakek dan nenek itu mengamuk dengan tongkat dan tangan kiri mereka. Entah mana yang lebih ampuh. Tongkat itu tidak dapat ditangkis. Senjata penangkis tentu patah dan kalau ujungnya me-ngenai tubuh, tentu tembus dan yang terkena tewas seketika. Akan tetapi tangan kiri mereka juga hebat bukan main, membawa getaran aneh yang tidak dapat ditangkis, hanya dapat dialakkan saja, itupun oleh para murid Pek-liong-pai yang cukup gesit. Para murid itu mempergunakan senjata seadanya. Yang memegang cangkul mempergunakan alat ini untuk senjata, ada yang menggunakan pedang mereka, ada pula yang terpaksa mengeroyok dengan tangan kosong. Dan akibatnya sungguh mengerikan. Kakek dan nenek itu menyebar maut sehingga dalam waktu singkat saja, di antara dua puluh lima orang murid, dikurangi empat orang yang tewas terlebih dahulu, kini tinggal sepuluh orang lagi saja! Lima belas orang murid sudah menggeletak tanpa nyawa, berserakan di tempat itu, termasuk seorang murid pertama!
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Tahan senjata...!" Bentakan ini demikian penuh wibawa dan memiliki getaran khi-kang yang amat kuat sehingga kakek dan nenek itu terkejut dan mereka meloncat ke belakang, melintangkan tongkat di depan dada lalu menatap ke depan.
Cia Han Tiong dan isterinya, Ciu Lian Hong, telah berdiri di situ dengan muka pucat dan mata terbelalak. Ketua Pek-liong-pai itu merasa ngeri melihat belasan orang muridnya telah tewas dan mayat mereka malang-melintang memenuhi tempat itu, sedangkan yang sepuluh orang lagi kelihaten pucat dan gentar. Diapun memandang ke arah kakek dan nenek itu yang juga memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Mereka menduga-duga siapa adanya laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang gagah perkasa dan mempunyai wibawa yang amat kuat ini.
"Apakah engkau ketua Pek-liong-pai?" Kakek itu bertanya, matanya mengeluarkan sinar berapi.
Sinar mata yang penuh kebencian, pikir Han Tiong. Dia mengangguk. "Benar, dan siapakah ji-wi locianpwe? Andaikata ada murid kami yang bersalah, mengapa ji-wi begitu tega untuk membunuh begini banyak orang? Permusuhan apakah yang ada antara ji-wi dengan Pek-liong-pai?" Pertanyaennya tidak mengandung kemarahan, akan tetapi tegas dan penuh nada teguran.
"Ha-ha-ha, masih begini muda sudah menjadi ketua. Siapakah namamu dan benarkah engkau putera mendiang Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong?" kakek itu bertanya lagi.
Han Tiong mengerutkan alisnya. "Benar, locianpwe. Nama saya adalah Cia Han Tiong dan Pendekar Lembah Naga adalah mendiang ayah saya."
"Bagus! Cia Han Tiong, jangan salahkan murid-muridmu dan kami tidak mempunyai permusuhan apapun dengan Pek-liong-pai. Salahkan saja nenek moyangmu dan terutama ayahmu yang dahulu membunuh nenek guru kami, yaitu bibi dari guru kami. Nama nenek guru kami itu adalah Hek-hiat Mo-li, pendatang dari Sailan. Kami sebagai keturunan perguruannya melanjutkan usaha guru kami untuk mencari Pendekar Lembah Naga dan membalas dendam."
"Akan tetapi, ayah telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu! Kenapa ji-wi lalu membunuhi murid-murid kami yang tidak berdosa...?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar