05 Asmara Berdarah

Dengan sikap tenang mengejek Koai-pian Hek-mo melolos pecut bajanya dan memutar-mutar senjata itu dengan sikap menantang sekali, lalu dia berkata, "Dan sejak kapan Kang-jiu-pang menjadi gerombolan pemberontak?"

"Hemm, sejak kapan datuk-datuk kaum sesat bersikap sebagai patriot sejati?" Kembali Song Pak Lun bertanya.

"Orang she Song, tidak usah banyak membuka mulutmu yang busuk!" Tiba-tiba Hwa-hwa Kui-bo yang memang wataknya galak itu memaki, "Engkau memusuhi kaisar atau tidak, itu bukan urusan kami. Akan tetapi ketahuilah, kami menerima tugas dari Siangkoan-lojin untuk melindungi kaisar dan untuk membasmi Kang-jiu-pang. Nah, sekarang terserah kepadamu, hendak menyerahkan nyawa dengan baik-baik ataukah kami harus menggunakan kekerasan!" Sambil berkata demikian, nenek itu mencabut pedangnya.

Wajah Song Pak Lun menjadi pucat sebentar, lalu berobah merah sekali, sepasang matanya lebar terbelalak dan seperti mengeluarkan api. Tadi dia terkejut mendengar disebutnya nama Siang-koan-lojin. Kiranya Iblis Buta itu benar-benar telah keluar dari sarangnya untuk mengacau dunia? Dan dia marah mendengar kesombongan nenek itu.

"Kami adalah orang-orang gagah dan sampai matipun kami menjunjung kegagahan. Kalau kami mengandalkan banyak orang mengeroyok kalian, kami akan merasa malu walaupun memperoleh kemenangan. Hek-mo dan Kui-bo, majulah hadapi aku satu lawan satu, kalau aku kalah, aku akan menyerahkan nyawa dan akan membubarkan Kang-jiu-pang, akan tetapi kalau kalian kalah, kami akan menggunakan kepala kalian untuk menyembahyangi arwah delapan orang murid kami."

Koai-pian Hek-mo tertawa mengejek, akan tetapi Hwa-hwa Kui-bo yang lebih cerdik dan sudah tahu akan kelihaian ketua perkumpulan ini, berseru, "Kami datang berdua sebagai utusan, mati hidup harus kami lakukan berdua. Karena itu, kami berdua akan maju bersama, dan engkau boleh memilih seorang jagoan lagi dari perkumpulan pemberontak ini untuk membantumu melawan kami berdua!"

Diam-diam Koai-pian Hek-mo meraaa girang karena kecerdikan temannya ini menempatkan mereka di atas. Diapun tahu bahwa orang paling lihai dari Kang-jiu-pang adalah ketua itu sendiri. Melawan ketua itulah yang berat. Kalau mereka berdua maju bersama, tentu terpaksa ketua itu memilih seorang muridnya untuk membantu. Dan kepandaian seorang murid tidak ada artinya bagi mereka berdua. Kalau pembantu itu sudah roboh maka berarti mereka berdua akan mengeroyok sang ketua dan tentu mereka akan dapat menang!

Song Pak Lun juga merasa tersudut dengan alasan Hwa-hwa Kui-bo yang bukan tidak masuk akal ini. Seorang di antara dua seniman tua tadi melangkah maju dan berkata, "Pangcu, biarlah saya yang membantu pangcu menandingi mereka."

Akan tetapi Song Pak Lun menggeleng kepala. Dua orang seniman itu adalah murid-murid pertama yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi di antara murid-muridnya. Akan tetapi tingkat mereka belum ada tiga perempatnya dan diapun tahu bahwa kalau dia membiarkan seorang di antara mereka maju, hal itu hanya berarti membiarkan mereka maju mengantar nyawa saja. Tidak, usahanya telah gagal dan dia harus menghadapi kegagalannya secara jantan. Kalau perlu dia akan mengorbankan nyawa. Tidak boleh dia membiarkan seorang murid lain terbunuh lagi sesudah ada delapan orang yang tewas.

"Aku akan maju sendiri menghadapi Hek-mo dan Kui-bo!" katanya dengan tegas.

"Tidak adil seorang melawan dua orang! Akulah yang akan membantu ketua Kang-jiu-pang!" Tiba-tiba terdengar suara orang disusul berkelebatnya bayangan orang dan dua orang iblis itu terkejut ketika mengenal yang datang ini adalah pemuda tampan yang pernah mereka perebutkan!

Pemuda itu dengan pakaiannya yang sederhana kedodoran sehingga nampak aneh, dengan senyumnya yang ramah dan sepasang matanya yang bersinar tajam telah berdiri di situ sambil memandang kepada dua orang datuk sesat.

"Kau... ah, jangan lancang, orang muda, bukankah engkau ingin menjadi muridku?" Hwa-hwa Kui-bo yang agaknya sudah tergila-gila kepada pemuda itu membujuk dengan suara merayu. "Tunggulah, aku membasmi Kang-jiu-pang ini lebih dulu, baru engkau ikut denganku bersenang-senang!"

Pemuda itu tertawa. "Sayang seribu sayang, Kui-bo, tapi kedokmu amat mengerikan hatiku. Bukalah dulu kedokmu agar aku dapat melihat bagaimana macamnya mukamu."

Pemuda itu agaknya sengaja mengeluarkan ucapan ini untuk menggoda dan mengejek, karena tidak ada yang lebih memanaskan hati Hwa-hwa Kui-bo daripada kalau orang bicara tentang mukanya dan kedoknya.

"Bocah keparat, kucabut lidahmu!" bentak nenek itu dengan marah.

Sementara itu, Song Pak Lun memandang tajam kepada pemuda yang baru datang, dan ketika murid kepala di belakangnya membisikkan bahwa perwida inilah yang pernah membantu dua orang iblis itu menyelamatkan kaisar dan merobohkan seorang murid Kang-jiu-pang, tentu saja hatinya penuh curiga dan kemarahan. Tidak mungkin pemuda yang sudah membantu dua orang iblis itu kini bendak membantu Kang-jiu-pang menghadapi mereka. Ini tentu pura-pura, atau siasat pihak lawan. Kaum sesat terkenal curang dan tidak segan mempergunakan akal-akal licik.

"Kang-jiu-pang tidak pernah mengharapkan bantuan orang luar, dan engkau orang muda malah masih ada perhitungan yang belum beres dengan kami!" bentaknya.

Pemuda itu menoleh kepadanya dan menarik napas lalu menjura. "Maaf, pangcu. Aku pernah merobohkan muridmu karena melihat murid-muridmu hendak mengganggu kaisar. Akan tetapi setelah kuselidiki tadi, baru aku tahu apa dasarnya. Walaupun aku sendiri tidak menyetujui caramu, akan tetapi baru kuketahui bahwa Kang-jiu-pang bukan golongan jahat. Maka, untuk menebus kesalahanku, aku hendak membantu Kang-jiu-pang."

"Hemm!" Ketua yang keras hati itu mencela. "Kalau tidak ada campur tanganmu, tentu usaha kami telah berhasil dan murid-murid kami tidak ada yang tewas. Kami tidak dapat menerima bantuan orang yang telah mencelakakan kami!"

Pemuda itu agaknya maklum bahwa dalam saat seperti itu, banyak bicara tidak ada gunanya. Ketua Kang-jiu-pang itu agaknya bukan hanya bertangan baja, akan tetapi juga berwatak baja yang keras. Diapun menggerakkan kedua pundaknya.

"Terserah, kalau tidak boleh membantu akupun tidak akan membantu kalian. Akan tetapi, aku sendiri masih mempunyai perhitungan dengan dua iblis ini yang harus kubereskan sekarang juga. Hei, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo, kutantang kalian untuk maju melawan aku. Kalau kalian tidak berani, akan kusudahi perkara ini kalau kalian suka membuntungi lengan kanan masing-masing dan memberikannya kepadaku!"

Mendengar ucapan yang nadanya memandang rendah sekali ini, ketua Kang-jiu-pang dan semua anak buahnya terkejut. Bahkan kakek dan nenek iblis itu sendiri terbelalak, lebih kaget daripada marah. Ada seorang muda berani mengeluarkan ucapan seperti itu! Sungguh kurang ajar, terlalu menghina. Pemuda itu memang sengaja mengeluarkan kata-kata yang nadanya memandang rendah untuk memaksa dua orang iblis itu menandinginya, atau setidaknya seorang di antara mereka agar lawan ketua Kang-jiu-pang menjadi ringan. Dan usahanya ini berhasil baik. Dua orang datuk sesat itu marah sekali, merasa amat dipandang rendah. Terdengar suara menggereng keras seperti seekor harimau terluka dan terdengar suara meledak nyaring ketika pecut baja di tangan Koai-pian Hek-mo menyambar dahsyat ke arah kepala pemuda itu. Ujung pecut baja yang panjang itu dipasangi paku besar dan kini paku itu meluncur ke arah pelipis si pemuda yang dianggap sombong dan bermulut besar.

"Eh, luput...!" Pemuda itu mengejek sambil menggerakkan kepalanya mengelak.

"Wuuuuttt... singgg...!" Paku di ujung pecut itu lewat beberapa senti saja di pinggir kepala pemuda yang kelihatannya begitu tenang dan menghadapi kakek iblis itu sambil tersenyum-senyum.

"Tar-tar-tar-tarrr...!" Pecut itu meledak-ledak dan menyambar-nyambar, akan tetapi pemuda itu tetap tenang saja, menghindar ke kanan kiri dengan gerakan yang indah dan mantap. Demikian yakin dia akan dirinya sendiri sehingga gerakannya tidak nampak gugup, namun ujung pecut yang kelihatannya seperti akan mengenai dirinya itu selalu luput.

"Wah, tidak kena lagi, Hek-mo!" dia berulang-ulang mengejek.

Song Pak Lun bukanlah seorang yang bodoh. Biarpun dia keras hati dan memiliki harga diri yang tinggi, namun dia cukup cerdik. Dia tadi telah menolak bantuan pemuda itu, dan kalau kini pemuda itu berkelahi melawan Koai-pian Hek-mo, hal itu adalah urusan mereka berdua sendiri, tidak ada sangkut-pautnya dengan Kang-jiu-pang. Akan tetapi tentu saja hal ini amat menguntungkan dirinya karena dengan terlibatnya Hek-mo dalam perkelahian melawan pemuda itu yang dia lihat memiliki gerakan cukup hebat, maka kini dia hanya tinggal menghadapi Hwa-hwa Kui-bo seorang, jadi tidaklah begitu berat jika dibandingkan dengan melawan dua orang datuk sesat itu bersama.

"Hwa-hwa Kui-bo, lihat seranganku!" bentaknya dan diapun sudah menerjang maju dengan tamparan tangannya. Kedua tangan ketua Kang-jiu-pang ini, dari siku ke bawah, telah berobah warnanya menjadi persis warna besi baja dan mengkilat pula. Ketika tangan kiri itu menampar, bunyinya berdesing dan amat panas ketika menyambar ke arah muka Hwa-hwa Kui-bo. Nenek ini maklum akan ampuhnya tangan baja ketua Kang-jiu-pang itu, maka iapun cepat mengelak dan membalas dengan tusukan pedangnya ke arah lambung lawan.

"Tranggg...!"

Nenek berkedok itu terkejut bukan main. Ternyata ketua Kang-jiu-pang itu berani menangkis pedangnya dengan tangan kosong dan ketika pedang itu bertemu dengan tangan kanan Song Pak Lun, terdengar bunyi nyaring seolah-olah pedangnya bertemu dengan logam dan mengeluarkan percikan bunga api, bahkan tangan kanan yang memegang pedang itu terasa tergetar hebat! Barulah ia tahu sekarang bahwa nama Song Pak Lun sebagai ketua perkumpulan Tangan Baja sungguh bukan nama kosong belaka dan nenek inipun lalu memutar pedangnya dan mengeluarkan semua ilmunya untuk menghadapi lawan yang tangguh ini. Terjadi perkelahian yang amat seru dan mati-matian di antara mereka, ditonton oleh para anggauta Kang-jiu-pang dengan hati tegang.

Akan tetapi, ketegangan karena perkelahian antara ketua Kang-jiu-pang melawan Hwa-hwa Kui-bo mengendur banyak ketika mereka itu menyaksikan perkelahian antara Koai-pian Hek-mo dan pemuda tampan yang tersenyum-senyum itu. Bahkan, para anggauta Kang-jiu-pang kadang-kadang tak dapat menahan gelak tawa mereka melihat kelucuan pemuda itu menghadapi lawannya di samping mereka menjadi terheran-heran, bahkan demikian kagum sampai bengong.

Pemuda itu benar-benar memiliki gerakan yang amat lincah. Dia tidak mengandalkan kecepatan ketika menghadapi pecut baja lawan, melainkan mengandalkan gerak kaki yang demikian indah dan mantap, kedua kakinya bergerak ke depan belakang, kanan dan kiri demikian indah dan mantapnya sehingga tubuhnya dapat selalu menghindar dari sambaran ujung pecut baja. Kadang-kadang dia mentertawakan lawannya.

"Wah, luput lagi, Hek-mo. Pakumu sudah usang, ganti saja dengan yang baru."

"Sing...! Wirrr... singgg...!"

"Nah, tidak kena lagi! Gerakanmu terlalu lemah! Apa kau belum makan? Kalau lapar jangan bertanding silat, nanti masuk angin...!"

"Wuuuuttt... sing...!"

"Apa kubilang, luput lagi...!"

"Keparat!" Kakek itu memaki dan memutar cambuk bajanya lebih cepat lagi. Cambuk itu sendiri lenyap bentuknya, berobah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu membentak, suaranya demikian keras mengejutkan.

"Perlahan dulu!"

Kakek itupun terkejut dan rasa kaget ini mengurangi kecepatan gerakannya dan tahu-tahu ujung cambuknya yang dipasangi paku itu telah tertahan dan terjepit oleh dua jari tangan kiri pemuda itu, yaitu ibu jari dan telunjuknya! Semua orang memandang kagum. Sungguh amat berani perbuatan pemuda ini, menjepit ujung cambuk yang demikian ampuhnya dengan jari tangan! Akan tetapi Koai-pian Hek-mo sendiri kaget dan marah, juga diam-diam maklum bahwa biarpun masih muda, lawannya ini benar-benar tak boleh dipandang ringan! Dia mengerahkan tenaga membetot untuk melepaskan ujung cambuknya dari jepitan tangan pemuda itu, namun ujung cambuk itu tertahan kuat-kuat di dalam jepitan! Sin-kang yang amat kuat, pikir Hek-mo. Pantas saja pemuda ini tadi berani mengeluarkan kata-kata sombong, kiranya bukan bual belaka dan memang pemuda ini "berisi". Dia mengerahkan tenaga lagi sambil menarik dan tiba-tiba "Singggg...!" pemuda itu melepaskan jepitan jarinya! Tentu saja paku di ujung cambuk itu meluncur amat cepatnya ke arah orang yang menariknya.

"Uhhh...!" Hampir saja muka Hek-mo termakan oleh paku di ujung cambuknya sendiri kalau dia tidak cepat mengangkat tangannya ke atas dan mengelak. Mukanya yang hitam berobah agak pucat. Nyaris dia menjadi korban senjatanya sendiri.

"Nah, apa kubilang? Jangan main-main dengan segala pecut dan paku yang tiada gunanya, salah-salah hidungmu sendiri terpaku!" pemuda itu mengejek dan beberapa orang anggauta Kang-jiu-pang bersorak.

Kini wajah Hek-mo berubah merah. Baru belasan jurus saja dan dia hampir celaka. Hatinya menjadi penasaran sekali. "Orang muda, beritahukan namamu agar aku tahu dengan siapa aku bertanding!"

Pemuda itu tersenyum. "Eh, kenapa tanya-tanya nama segala? Apakah kau hendak menarik aku sebagai mantu? Wah, jelas kutolak kalau mukanya seperti mukamu, Hek-mo. Tapi, biarlah agar engkau tidak mati penasaran dan tahu siapa yang mengalahkanmu, aku she Cia bernama Hui Song!"

"Dari perguruan mana?"

"Cerewet! Memangnya kita ini kong-kauw (ngobrol) atau sedang bertanding? Hayo lanjutkan permainan cambuk bajamu yang jelek itu!" Pemuda yang bernama Cia Hui Song itu mengejek.

"Bocah sombong!" Koai-pian Hek-mo memaki dan memutar cambuknya. "Tar-tar-tarrr!" lalu cambuk meluncur ke bawah, mengarah ubun-ubun kepala Cia Hui Song.

Akan tetapi, sekali ini Hui Song tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kirinya ke atas kepala dan ketika paku di ujung cambuk itu meluncur turun, dia menggunakan jari tangannya untuk menjentik.

"Tringgg...!" Dan paku itu terpental ke arah penyerangnya!

Tentu saja Koai-pian Hek-mo terkejut sekali dan menghujankan serangan. Akan tetapi terdengar suara nyaring tang-ting-tang-ting ketika Hui Song menyambut paku itu dengan jentikan jari-jari tangan bahkan diapun lalu membalas dengan tamparan-tamparan yang sedemikian kuatnya sehingga angin pukulannya saja membuat rambut dan baju lawannya berkibar-kibar dan dalam beberapa gebrakan saja Hek-mo terhuyung dan terdesak.

Kini baru benar-benar Hek-mo terkejut dan maklum bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya dia akan celaka di tangan bocah yang menjadi lawannya itu. Tentu saja dia merasa amat penasaran dan malu. Dia memperebutkan bocah ini dengan Hwa-hwa Kui-bo untuk menjadi muridnya dan siapa kira, bocah ini malah memiliki kepandaian sedemikian hebatnya sehingga dia hanya ingin menjadi gurunyapun tidak mampu menandinginya!

Sementara itu, Hwa-hwa Kui-bo dengan pedangnya juga kewalahan dan kerepotan menghadapi sepak terjang ketua Kang-jiu-pang dengan sepasang tangan bajanya itu. Tangan kanannya yang memegang pedang juga terasa lelah sekali karena setiap kali bertemu dengan tangan baja lawan, pedangnya terpental dan tangannya tergetar. Maka, ketika Koai-pian Hek-mo berteriak, "Kui-bo, mari kita pergi!" iapun tidak menanti sampai ajakan itu diulang dua kali. Iapun tahu bahwa kalau dilanjutkan perkelahian ini, lambat laun ia akan kalah melawan ketua Kang-jiu-pang. Cepat tangan kirinya mengebut dan jarum beracun menyambar ke arah lawan. Song Pek Lun maklum akan bahayanya jarum-jarum itu, maka diapun cepat mengelak mundur sambil menggunakan kedua tangannya yang kebal seperti besi baja itu untuk menyampoki jarum-jarum sehingga senjata-senjata rahasia itu runtuh semua ke atas tanah. Kesempatan itu dipergunakan oleh Hwa-hwa Kui-bo untuk meloncat dan melarikan diri, mengejar Koai-pian Hek-mo yang sudah lari terlebih dahulu tanpa dikejar oleh Cia Hui Song yang hanya berdiri bertolak pinggang sambil tertawa melihat lawannya mengambil langkah seribu.

Pemuda itu lalu menghadapi Song Pak Lun dan menjura. "Song-pangcu, sekali lagi maafkan salah duga yang membuat aku pernah merobohkan muridmu karena aku hanya bermaksud menolong kaisar yang terancam dan ditodong oleh muridmu. Dan kuharap saja pangcu cepat-cepat bersama seluruh anggauta Kang-jiu-pang meninggalkan tempat ini. Perbuatan para anggauta Kang-jiu-pang dianggap sebagai pemberontak. Aku tidak akan merasa heran kalau sebentar lagi datang pasukan untuk menangkap atau membasmi Kang-jiu-pang."

Song Pak Lun menarik napas panjang. "Kami mengerti dan bagaimanapun juga, terima kasih atas bantuanmu. Orang muda, engkau she Cia dan ilmu silatmu tinggi. Entah apa hubunganmu dengan Cia-taihiap, ketua Cin-ling-pai?"

Hui Song tersenyum dan mukanya menjadi merah. "Aku tidak pernah memamerkan dan memperkenalkan orang tuaku, akan tetapi baiklah kepadamu aku berterus terang bahwa dia adalah ayahku."

"Ahh...!" Para anggauta Kang-jiu-pang berseru kaget. Kiranya pemuda ini adalah putera ketua Cin-ling-pai! Pantas saja demikian lihai!

"Aku mengerti bahwa kami tidak akan menyebut dan menyeret namamu ke dalam urusan kami, Cia-taihiap," kata ketua Kang-jiu-pang itu.

"Terima kasih, aku yakin akan kebijaksanaan pangcu. Aku sendiri tidak takut terseret, hanya ayah tentu akan marah sekali kalau sampai Cin-ling-pai terlibat. Nah, selamat berpisah, pangcu, harap saja engkau dan semua anggautamu dapat meloloskan diri dari kejaran pasukan pemerintah!"

Cia Hui Song lalu pergi dan Song Pak Lun dengan tergesa-gesa lalu berkemas. Tak lama kemudian, pada hari itu juga, seluruh anggauta Kang-jiu-pang pergi meninggalkan Cin-an berikut keluarga mereka. Ketika pasukan pemerintah datang menyerbu, mereka hanya menemukan sarang yang kosong karena semua burungnya telah terbang pergi entah ke mana.

Cia Hui Song adalah putera ketua Cin-ling-pai. Pada waktu itu, yang menjadi ketua Cin-ling-pai adalah seorang pendekar gagah perkasa bernama Cia Kong Liang yang telah berusia lima puluh tahun.

Para pembaca kisah Pendekar Sadis tentu telah mengenal nama Cia Kong Liang ini. Pendekar ini menikah dengan seorang gadis gagah perkasa putera seorang datuk sesat yang sudah mencuci tangan dan merobah jalan hidupnya di atas jalan bersih. Ayah mertuanya adalah Tung-hai-sian Bin Mo To yang tinggal di Ceng-tao di Propinsi Shantung. Julukannya ketika masih menjadi datuk adalah Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur) dan dia adalah seorang Bangsa Jepang yang nama aselinya Minamoto. Tung-hai-sian hanya mempunyai seorang anak perempuan yang berjiwa gagah dan tidak suka melihat ayahnya menjadi datuk kaum sesat. Puterinya ini yang bernama Biauw dan memakai she Bin, akhirnya menikah dengan Cia Kong Liang yang pada waktu itu adalah putera ketua Cin-ling-pai. Cia Kong Liang hidup rukun dan saling mencinta dengan Bin Biauw dan mereka mempunyai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Cia Hui Song ini sudah berusia dua puluh satu tahun. Setelah ayahnya meninggal dunia, Cia Kong Liang membangun kembali Cin-ling-pai sebagai ketuanya dan semenjak itu, di bawah pimpinannya dan dibantu oleh isterinya, Cin-ling-pai menjadi semakin kuat dan terkenal. Dalam mendidik dan melatih murid-murid Cin-ling-pai, Cia Kong Liang bersikap keras sehingga di antara murid-muridnya banyak yang jadi. Tentu saja puteranya sendiri digemblengnya dengan tekun sehingga Cia Hui Siong telah mewarisi ilmu-ilmu Cin-ling-pai dari ayahnya, bahkan mewarisi juga ilmu-ilmu dari ibunya yang memiliki ciri khas. Pemuda ini sejak kecil berada di Cin-ling-pai yang berpusat di Pegunungan Cin-ling-san, dan memiliki watak yang lincah gembira sekali, jauh berbeda dengan ayahnya yang sejak mudanya berwatak keras, pendiam dan serius, bahkan agak angkuh dan tinggi hati. Agaknya Hui Song menuruni watak ibunya yang lincah gembira, dan memiliki jiwa petualang karena sejak kecil anak ini suka bermain-main sendiri di tempat-tempat sepi dan berbahaya sehingga seringkali mendapat teguran dan hukuman keras dari ayahnya. Akan tetapi dia tidak pernah merasa jera, apalagi karena dilindungi ibunya sehingga akhirnya ayahnya merasa bosan sendiri dan membiarkan puteranya tumbuh menjadi seorang pemuda yang wataknya riang gembira, bengal dan juga aneh, mengenakan pakaian seenaknya saja tak pernah kelihatan rapi.

Kehadirannya di Puncak Bukit Perahu adalah untuk mewakili ayahnya dan Cin-ling-pai. Akan tetapi seperti juga para pendekar lain yang mendengar berita dari para murid Pek-ho-pai bahwa pertemuan itu dibatalkan, diapun meninggalkan tempat itu dan sebelum pulang ke Cin-ling-pai dia melancong dulu sampai ke Cin-an di mana secara kebetulan dia dapat menyelamatkan kaisar kemudian berbalik membantu Kang-jiu-pang menghadapi dua orang kakek dan nenek iblis.

Setelah memberi nasihat kepada Kang-jiu-pang agar cepat-cepat meninggalkan Cin-an, Hui Song sendiri segera pergi dari kota itu. Diapun merasa khawatir kalau-kalau pihak pemerintah tahu bahwa dia adalah putera ketua Cin-ling-pai. Bantuannya terhadap Kang-jiu-pang tadi sungguh berbahaya kalau diingat dua orang iblis itu ternyata adalah kaki tangan pemerintah pula! Dia sendiri masih merasa bingung akan segala peristiwa yang dialaminya. Kaisar akan diculik oleh kumpulan pendekar Kang-jiu-pang, sedangkan orang-orang macam Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo malah melindungi kaisar. Apakah dunia ini sudah terbalik? Apakah kini para pendekar memusuhi kaisar dan para penjahat malah membelanya? Memang pemuda ini tidak begitu memperdulikan urusan pemerintahan, maka diapun tidak tahu akan apa yang terjadi di istana, tidak tahu bahwa para datuk sesat itu sebetulnya bukan mengabdi kepada kaisar melainkan kepada pembesar lalim yang memperoleh kesempatan menguasai pemerintahan melalui kaisar muda yang lemah.

Pada keesokan harinya, Hui Song telah pergi jauh dari Cin-an menuju ke selatan. Dia harus pulang ke Cin-ling-san untuk melaporkan kepada ayahnya tentang kegagalan atau pembatalan pertemuan para pendekar itu, juga tentang keanehan yang dialaminya di Cin-an. Sebelum dia turun tangan membantu Kang-jiu-pang, dia telah melakukan penyelidikan kilat di Cin-an tentang perkumpulan itu dan mendapat kenyataan bahwa Kang-jiu-pang adalah perkumpulan pendekar yang dihormati dan dipuji oleh rakyat. Itulah mengapa dia tanpa ragu-ragu cepat pergi ke Kang-jiu-pang dan melihat perkumpulan itu didatangi oleh dua iblis, diapun segera membantu.

Siang hari itu matahari amat terik dan semalam Hui Song telah melakukan perjalanan tanpa berhenti, maka dia merasa lelah dan duduklah pemuda ini mengaso di luar sebuah hutan. Melibat adanya sebuah gubuk di tepi jalan, diapun lalu naik ke gubuk kecil itu untuk berteduh. Di bawah naungan daun-daun pohon dan atap gubuk sederhana, yang menciptakan tempat teduh dan sejuk dengan adanya semilirnya angin, membuat mata mengantuk sekali. Hui Song segera tertidur setelah dia merebahkan diri terlentang di atas anyaman bambu di gubuk itu. Dia tertidur amat nyenyak dan nikmatnya.

Kita condong beranggapan bahwa segala kenikmatan yang dapat kita rasakan dalam kehidupan ini haruslah diadakan dan sarananya berada di luar diri kita. Kalau mau makan enak haruslah membeli masakan-masakan yang mahal harganya, kalau mau tidur nyenyak haruslah berada di dalam kamar yang lengkap dan dengan perabot serba halus dan mahal, dan sebagainya. Pendeknya syarat mutlak untuk menikmati hidup adalah adanya benda-benda berharga yang hanya bisa didapatkan dengan uang. Akan tetapi, benarkah demikian adanya? Kita melihat petani sederhana yang sehabis bekerja keras di ladang dapat menikmati makanannya yang sederhana, dengan kenikmatan yang tidak dibuat-buat. Mengapa demikian? Karena badannya sehat dan batinnya tenteram, karena dia sehat lahir batin. Kesehatannya bekerja dengan wajar, membuat perutnya lapar setelah dia kelelahan dan ini menciptakan selera dan nafsu makan yang membuat apa saja menjadi nikmat terasa olehnya. Kita melihat petani yang sama pada waktunya akan dapat tidur nyenyak, hanya bertilamkan tikar atau bahkan rumput saja, juga hal ini dapat terjadi karena dia sehat lahir batinnya. Sebaliknya, kitapun dapat melihat orang yang kaya raya tanpa banyak kerja menjadi malas, makan tidak terasa enak biarpun menghadapi hidangan yang mahal-mahal dan banyak macamnya. Kita melihat orang kaya yang sama gelisah di atas tempat tidurnya yang empuk dan bertilamkan sutera di dalam sebuah kamar seperti istana, sukar dapat memejamkan mata dan tidak dapat lagi menikmati rasanya tidur nyenyak.

Jelaslah bahwa sumber kenikmatan hidup berada di dalam diri kita sendiri lahir batin. Kalau lahir batin kita sehat kita akan dapat menikmati hidup. Badan sehat berarti tidak ada gangguan penyakit. Batin sehat berarti tidak ada gangguan pikiran. Namun sungguh teramat sayang. Kita lebih senang MENGOBATI gangguan lahir batin itu daripada MENJAGANYA. Kita hidup tidak sehat, makan minum tanpa ingat akan kesehatan, setiap hari ada gangguan kesehatan badan yang kita atasi dengan pengobatan-pengobatan. Lalu kita membiarkan hati dan pikiran terganggu setiap hari, yang ingin kita atasi pula dengan hiburan-hiburan!

Biarpun hanya di dalam gubuk reyot bertilamkan anyaman bambu yang kasar, di tepi sebuah hutan yang sunyi, namun Hui Song dapat tidur dengan nyenyak, benar-benar nyenyak, tidak perlu membutuhkan waktu tidur lama. Tidur dua tiga jam saja rasanya sudah kekenyangan dan puas sekali, sudah dapat melenyapkan segala letih dan kantuk.

Tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh menimpa dahinya. "tuk!" hanya sebuah benda kecil menimpa dahi, akan tetapi cukuplah untuk menggugah Hui Song dari tidurnya. Sebagai seorang pendekar yang terlatih, begitu terbangun diapun sudah waspada dan siap menghadapi bahaya yang mengancam. Badannya sudah peka seperti badan binatang liar yang hidup di hutan, seperti burung yang selalu waspada biarpun dalam keadaan sedang tidur. Suara tidak wajar dari belakang gubuk itu cukup membuat Hui Song sadar sepenuhnya.

"Brakkkkk...!" Gubuk itu jebol, ambrol dan runtuh dan seperti seekor burung saja, Hui Song berhasil melesat ke luar dari dalam gubuk sebelum dia ikut terbanting dan tertindih. Ketika dia turun ke atas tanah dan membalikkan tubuhnya, dia melihat di situ telah berdiri tiga orang tua yang tertawa-tawa. Mereka ini bukan lain adalah Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo dan seorang kakek lagi yang tubuhnya amat menyeramkan. Seorang kakek yang tinggi besar seperti raksasa, dan melihat perawakan ini, biarpun baru satu kali bertemu dengan makhluk ini, Hui Song yang sudah banyak mendengar tentang para iblis di dunia sesat, segera dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang pentolan Cap-sha-kui yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian amat mengerikan, yaitu Tho-tee-kui! Maka, diapun bersikap waspada walaupun mulutnya bergerak membuat senyum mengejek ke arah Hek-mo dan Kui-bo yang tertawa-tawa itu.

"Wah, kiranya Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo. Apakah kalian belum puas mendapat hajaran tempo hari dan sekarang datang mencariku untuk minta tambahan?"

Mendengar ejekan ini Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi marah sekali.

"Bocah sombong, kami datang menagih hutang berikut bunganya!" kata Hwa-hwa Kui-bo sambil menubruk maju dan menggerakkan tangan kiri mencengkeram ke arah kepala Hui Song.

"Plakk!" Hui Song menangkis sambil tertawa.

"Tak tahu malu! Engkau yang hutang belum bayar memutarbalikkan fakta!" Tangkisan itu dilakukan dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dan akibatnya nenek bertopeng itu terpelanting. Akan tetapi dari samping, kakek Koai-pian Hek-mo sudah menyerangnya. Kakek inipun tidak menggunakan pecut bajanya. Agaknya mereka berdua memang sudah sepakat untuk maju mengeroyok Hui Song dan karena pemuda itu tidak bersenjata, merekapun merasa lebih leluasa untuk mengeroyok pemuda itu dengan tangan kosong agar mereka merasa lebih puas memberi hajaran kepada pemuda ini. Serangan Hek-mo dari samping cukup dahsyat, dengan pukulan keras ke arah lambung. Namun dengan mudah Hui Song dapat mengelak.

"Memang sudah lama aku tahu kalian ini tua bangka-tua bangka yang curang dan pengecut! Tapi jangan kira aku takut menghadapi pengeroyokan kalian berdua. Nah, terimalah ini untuk penyegar!" Berkata demikian, Hui Song menggerakkan kedua lengannya dengan cepat sekali. Kedua lengan itu membuat gerakan yang berlawanan, yang kiri mengandung tenaga keras dan yang kanan mengandung tenaga lemas, kedua tangannya berbareng menyambar ke arah Hek-mo dan Kui-bo dengan jurus sakti dari Im-yang Sin-kun!

"Plakk! Plakk...! Ihhh...!" Kakek dan nenek itu terhuyung dan hampir terpelanting ketika menangkis pukulan sakti ini dan mereka terkejut bukan main. Akan tetapi karena mereka maju berbareng, hati mereka besar. Mereka merasa penasaran sekali kalau secara maju bersama tidak mampu mengalahkan pemuda ini, maka mereka mengerahkan semua tenaga dan kepandaian mereka.

Tidak percuma Hui Song menjadi putera tunggal ketua Cin-ling-pai yang telah digembleng dengan keras sejak dia masih kecil dan sekarang dia sudah mewarisi semua ilmu ayah dan ibunya sehingga tingkat kepandaiannya hanya berselisih sedikit saja dibandingkan dengan ayahnya sendiri. Maka tentu saja dia dapat bergerak dengan amat sigapnya dan biarpun dikeroyok oleh dua orang tokoh Cap-sha-kui, pemuda ini dapat mengimbangi permainan mereka, bahkan dia nampak lebih unggul karena selain menang tenaga sin-kang, juga ilmu silatnya yang banyak macamnya, aneh-aneh dan terdiri dari ilmu-ilmu yang tinggi itu membingungkan kedua orang pengeroyoknya.

Melihat betapa dua orang rekannya itu sampai lima puluh jurus belum juga mampu mengalahkan lawan yang masih begitu muda, si raksasa berjubah hijau compang-camping menjadi tidak sabar lagi. Tadinya dia nonton sambil duduk di atas batu besar di dekat pohon. Kini dia bangkit berdiri dan sekali dia menggerakkan kakinya, terdengar suara hiruk-pikuk dan batu sebesar perut kerbau itu sudah ditendangnya sampai terlempar cukup jauh!

"Kalian berdua mundurlah dan biarkan aku merobek tubuhnya menjadi dua potong!" katanya. Dua orang rekannya merasa girang dan cepat meloncat ke belakang. Mereka berdua merasa kehilangan muka kalau sampai mereka tidak dapat mengalahkan pemuda itu, apalagi kalau sampai mereka harus mengeluarkan senjata. Kini, Tho-tee-kui sudah menyuruh mereka mundur, berarti mereka berdua belum sampai kalah!

Hui Song berdiri tegak memandang kepada raksasa yang sudah berdiri di depannya. Memang hebat sekali kakek itu. Dia sendiri bukan seorang yang kecil pendek, sebaliknya dia termasuk seorang pemuda yang memiliki tubuh cukup tinggi besar. Akan tetapi, berhadapan dengan Tho-tee-kwi, tingginya hanya sampai di bawah pundak raksasa itu dan lengan raksasa itu besarnya sama dengan betisnya! Tho-tee-kwi menyeringai sambil memandang pemuda itu. "Orang muda, engkau boleh juga dapat dapat menandingi mereka berdua. Sayang engkau harus mampus di tangan Tho-tee-kong!"

"Hemm, kiranya inikah yang berjuluk Setan Bumi? Tho-tee-kwi, aku mendengar bahwa engkau adalah seorang datuk sesat yang tidak pernah turun tangan sendiri mencampuri urusan dunia ramai, apakah sekarang engkaupun sudah ikut-ikutan menjadi kaki tangan golongan tertentu untuk mengacau dunia?" Hui Song mengejek, tidak tahu siapa sebenarnya yang mempergunakan tenaga para datuk sesat ini sehingga kini Cap-sha-kui yang terkenal datuk-datuk besar yang tidak pernah turun tangan sendiri itu nampak berkeliaran di mana-mana.

"Ha-ha, orang muda, menurut keterangan dua orang rekanku, engkau pernah membantu mereka dan menyelamatkan kaisar, akan tetapi sekarang engkau membalik menentang kami. Mengingat engkau pernah berjasa, aku memberi kesempatan kepadamu untuk bersatu dengan kami dan menjadi sahabat kami. Akan tetapi, kesempatan ini hanya kuberikan satu kali saja," kata Tho-tee-kwi yang sebenarnya lebih suka kalau dapat bersahabat dan bekerja sama dengan pemuda yang dia sudah lihat memiliki kepandaian yang tinggi itu.

"Bekerja sama dengan datuk-datuk kaum sesat? Dengan Cap-sha-kui? Wah, engkau hendak menarikku sehingga Tiga Belas Setan akan menjadi Empat Belas Setan? Tak usah, ya! Terima kasih. Penawaranmu kutolak dan kalian menjemukan hatiku. Pergilah agar aku bisa tidur lagi, kalian mengganggu tidurku saja." Berkata demikian, Hui Song teringat bahwa kalau tadi tidak ada tahi tikus menjatuhi dahinya, tentu dia sudah celaka ketika gubuk itu ditendang runtuh oleh raksasa ini.

"Engkau sia-siakan kesempatan baik dan engkau memilih tidur selamanya? Baiklah, kucabut saja nyawamu!" Berkata demikian, kedua lengan yang besar itu menyambar ke depan, kaki kanan dihentakkan dan bumipun tergetar hebat. Seperti terjadi gempa bumi saja ketika raksasa itu menghentakkan kakinya dan pada saat itu, kedua tangannya yang besar-besar telah menyambar dengan serangan pertamanya, yang kanan mencengkeram ke arah kepala Hui Song, sedangkan yang kiri menyambar ke arah perut. Serangan itu dilakukan oleh kedua tangan yang mengandung kekuatan dahsyat.

Hui Song mengenal serangan berbahaya. Dia tahu bahwa kakek raksasa yang menjadi lawannya ini adalah seorang yang memiliki tenaga kasar yang kuat sekali sehingga mengadu tenaga kasar dengan orang ini sama saja dengan mencari penyakit. Maka diapun bersikap cerdik, mengandalkan kegesitannya dan mengelak sambil menusukkan jari tangannya untuk menotok ke arah jalan darah dekat siku ketika lengan itu meluncur lewat. Akan tetapi, ternyata di samping kekuatannya yang dahsyat, raksasa itupun memiliki gerakan cepat. Sikunya telah ditekuk dan lengan itu menebas ke bawah untuk membabat tangan lawan, dilanjutkan dengan cengkeraman untuk menangkap pergelangan tangan pemuda itu dan tiba-tiba kakinya dibanting lagi dibarengi dengan tamparan dahsyat ke arah kepala Hui Song! Bantingan kaki itu sungguh membuat Hui Song terkejut dan kehilangan keseimbangan sehingga ketika tangan yang besar menampar, elakannya agak lambat dan pundaknya kena serempet tangan yang lebar dan kuat itu.

"Desss...!" Tubuh Hui Song terpelanting, akan tetapi karena pemuda ini tadi dengan cepat telah mengerahkan ilmu Tiat-po-san, semacam ilmu kebal yang dipelajarinya dari ayahnya, maka tamparan yang menyerempet pundaknya itu tidak mendatangkan luka. Hanya saking kerasnya tenaga tamparan, tubuhnya terpelanting dan Hui Song cepat mengerahkan keringanan tubuh untuk menjaga tubuhnya agar tidak sampai terbanting jatuh. Dengan jungkir balik dia dapat turun lagi ke atas tanah menghadapi lawannya yang tangguh itu sambil mengatur langkah-langkah Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun. Ilmu ini ampuh sekali untuk melawan musuh yang pandai dan dengan ilmu ini berarti Hui Song tidak memandang rendah lawannya. Lawannya adalah seorang di antara pentolan-pentolan Cap-sha-kui yang amat lihai maka diapun harus bersikap hati-hati sekali. Ketika lawannya membanting kaki lagi, diapun mengerahkan sin-kang dan dari dalam perutnya keluar tenaga melalui mulut dan dia berseru, "Hehh!" dan lenyaplah pengaruh bantingan kaki yang tadi menggetarkan tubuhnya itu sehingga dia dapat menghadapi serangan lawan dengan tenang dan balas menyerang dengan pukulan-pukulan Thian-te Sin-ciang. Dia harus menyelingi Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang dipergunakan untuk melindungi tubuhnya itu dengan jurus-jurus ampuh dari Ilmu Silat San-in Kun-hoat dan Im-yang Sin-kun dan setiap kali memukul dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang karena maklum bahwa tubuh lawan yang seperti raksasa itu amat kuat dan kebal.

Terjadilah perkelahian yang amat seru dan hebat dan biarpun pemuda itu lebih banyak bertahan daripada menyerangp namun tidak mudah bagi si raksaaa untuk mendesaknya. Diam-diam Tho-tee-kui terkejut dan penasaran sekali, sebaliknya Hui Song mengeluh di dalam hatinya karena dia harus mengakui bahwa baru sekali ini dia bertemu dengan lawan yang benar-benar tangguh sekali.

Kakek dan nenek iblis yang melihat betapa rekannya yang lebih lihai daripada mereka itupun sekian lamanya belum juga mampu merobohkan pomuda itu, menjadi semakin penasaran dan marah. Tak disangka oleh mereka bahwa pemuda yang tadinya mereka perebutkan untuk menjadi murid dan kekasih, ternyata memiliki tingkat kepandaian yang demikian hebatnya sehingga rekan mereka yang amat lihai seperti Tho-tee-kui pun tidak mampu mengalahkannya. Seperti telah bersepakat lebih dulu, keduanya lalu menerjang memasuki arena perkelahian itu dan mengeroyok Hui Song. Dasar watak penjahat, Tho-tee-kwi yang disohorkan sebagai pentolan Cap-sha-kui itupun diam-diam enak-enak saja melihat dua orang rekannya membantu dan mereka bertiga yang terkenal sebagai datuk-datuk besar kaum sesat tidak merasa sungkan atau malu mengeroyok seorang pemuda yang sama sekali belum terkenal di dunia persilatan!

"Ihh, bangkotan-bangkotan tebal muka, main keroyokan seperti bajingan-bajingan kecil saja!" tiba-tiba terdengar bentakan dan muncullah seorang dara remaja yang segera terjun pula ke dalam arena perkelahian itu, membantu Hui Song dan mengamuk dengan menggunakan senjata aneh, yakni sebuah payung butut! Akan tetapi jangan dipandang rendah payung butut itu karena gagangnya terbuat dari baja dan payung butut hanyalah kainnya saja akan tetapi rangkanya yang baja itu masih utuh dan ujungnya runcing-runcing! Begitu terjun, gadis ini menyerang Hwa-hwa Kui-bo dan Koai-pian Hek-mo dengan ganas dan kalang-kabut!

"Eh, engkau...?" teriak Hwa-hwa Kui-bo dengan kaget dan Koai-pian Hek-mo juga terkejut sekali. Mereka berdua mengenal gadis yang pernah menghalangi mereka dan nyaris merobohkan mereka di kuil Dewi Laut! Gadis itu memang Ceng Sui Cin, siapa lagi kalau bukan ia yang mengamuk dengan payung butut itu?

"Ya, aku!" kata Sui Cin tertawa mengejek. "Aku akan menyelesaikan pekerjaanku yang belum selesai ketika kita saling bertemu di kuil Dewi Laut itu. Sekarang, jangan harap kalian akan dapat lolos dari jari-jari payung bututku, hi-hi!"

Tho-tee-kui juga kaget bukan main melihat munculnya seorang dara remaja dengan payungnya yang begitu mengamuk membuat dua orang rekannya kalang-kabut dan dua orang rekannya itu cepat-cepat mengeluarkan senjata mereka, Hek-mo mengeluarkan pecut bajanya dan Kui-bo mencabut pedangnya.

Tentu saja di samping merasa kaget dan juga heran menyaksikan munculnya seorang gadis yang aneh pakaiannya dan lihai ilmu silatnya itu, Hui Song juga merasa girang sekali. Apalagi mendengar ucapan-ucapan gadis itu yang jenaka dan mempermainkan lawan, dia merasa gembira.

"Benar, nona manis. Hajar mereka! Lutung muka hitam itu kurang ajar sekali, hadiahi pukulan payungmu pada ubun-ubun kepalanya dan nenek topeng tikus itu lucuti saja topengnya dan tusuk telinganya sampai tembus!"

Sepasang mata Sui Cin berkilat dan iapun menahan senyum geli. Tapi dengan galak ia menghardik. "Kurang ajar, apa maksudmu menyebutku nona manis segala? Mau ceriwis dan kurang ajar engkau, ya?"

"Lhoh! Disebut nona manis kok marah, bagaimana sih? Apa lebih suka kelau kusebut engkau nona jelek dan galak?"

"Plak-plak... dukkkk!" Nyaris Hui Song terkena pukulan ketika dia bicara lalu kesempatan itu dipergunakan oleh Tho-tee-kwi untuk mendesak hebat.

"Rasakan kau hampir mampus!" Sui Cin mengejek. "Aku tidak sudi disebut nona manis, juga tidak mau disebut nona jelek dan galak!" Pada saat ia bicara tentu saja perhatiannya kurang tercurah kepada dua orang lawannya sehingga seperti juga Hui Song, ia terdesak oleh pecut baja dan pedang lawan. Akan tetapi karena ilmu silatnya memang hebat dan jauh lebih lihai dibandingkan dua orang pengeroyoknya, begitu memutar payungnya, ia mampu menggagalkan semua serangan itu dan balas mendesak lagi.

Hati Hui Song semakin gembira. Dia melirik dan melihat bahwa gadis itu masih muda sekali, baru sekitar lima belas atau enam belas tahun usianya, pakaiannya seperti gelandangan akan tetapi bersih, wajahnya manis dan gerakannya lincah, mulutnya selalu tersenyum dan sinar matanya bengal. Seorang gadis yang panas dan hidup, cocok dengan dia, pikirnya.

"Wah, lalu menyebut apa? Baiklah, kusebut nona yang setengah manis setengah galak... wuuuuttt...!" Dia terpaksa melempar tubuh ke belakang dan tidak berani banyak cakap lagi karena kakek raksasa itu telah mendesaknya lagi dan tentu akan selalu menggunakan kesempatan selagi dia bicara untuk merobohkannya.

Setelah kini kedua orang muda itu tidak lagi bicara, mereka dapat menghadapi lawan dengan baik dan tiga orang datuk sesat itupun maklum bahwa keadaan tidak menguntungkan bagi mereka. Selain itu, kini mereka sudah dapat mengenal dengan samar-samar ilmu silat mereka dan diam-diam mereka bertiga merasa gentar. Mereka mengenal gerakan-gerakan ilmu silat tinggi dari Cin-ling-pai!

"Kita pergi!" tiba-tiba raksasa itu berseru dan dia mengeluarkan gerengan hebat sambil menghentakkan kakinya. Sui Cin sendiri sampai kaget setengah mati dan tergetar kaki dan hatinya, maka iapun meloncat ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan oleh dua orang pengeroyoknya untuk meloncat jauh dan melarikan diri bersama raksasa itu yang kini agaknya menyimpan kekuatannya sehingga ketika melarikan diri tidak terdengar derap kakinya yang biasanya berat itu.

Hui Song tidak mengejar lawannya. Selain tidak mempunyai permusuhan pribadi, juga dia tahu betapa besar bahayanya mengejar seorang datuk sesat seperti Tho-tee-kwi itu yang tentu untuk menyelamatkan diri tidak segan-segan mempergunakan cara-cara yang keji dan curang. Sui Cin juga tidak mengejar karena ia ingin mengenal pemuda itu lebih lanjut. Ia merasa tertarik sekali karena dalam perkelahian tadi iapun mengenal dasar-dasar gerakan ilmu silat pemuda itu yang mengingatkan ia kepada Cia Sun. Seingatnya, paman gurunya, Cia Han Tiong, hanya mempunyai seorang putera saja. Akan tetapi pemuda ini agaknya lihai sekali, tidak kalah oleh putera ketua Pek-liong-pai itu. Ah, tidak salah lagi, tentu pemuda ini murid utama Pek-liong-pai dan saudara seperguruan Cia Sun!

Di lain fihak, Hui Song juga memandang kepada Sui Cin dengan penuh kagum. Diapun tadi melihat gerakan-gerakan ilmu silat dara itu dan banyak mengenal jurus-jurusnya. Betapa mengagumkan bahwa seorang dara remaja semuda ini telah mampu menandingi dan bahkan mengungguli pengeroyokan dua orang datuk seperti Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo! Diapun menduga-duga. Dia tahu bahwa ilmu-ilmu silat dari Cin-ling-pai diwarisi banyak orang dan tersebar luas, terutama sekali di antara murid-murid Cin-ling-pai sendiri dan murid-murid Pek-liong-pai di Lembah Naga. Juga banyak para locianpwe bekas tokoh besar Cin-ling-pai telah hidup terpisah dari Cin-ling-pai dan mereka tentu telah menurunkan ilmu-ilmu itu kepada murid-murid dan cucu-cucu murid mereka. Tidak aneh kalau ada orang dapat memainkan ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai, akan tetapi melihat kehebatan gadis remaja ini, jelas bahwa ia bukanlah seorang murid sembarangan. Siapakah gadis ini?

Mereka berdiri berhadapan, dalam jarak tiga meter, saling pandang penuh selidik tanpa malu-malu atau sungkan-sungkan karena keduanya memiliki keterbukaan yang sama. Dua pasang mata yang sama tajamnya, sama kocak dan bersinar gembira, saling pandang seperti pedagang kuda menaksir kuda yang hendak dibelinya, dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki, kemudian dua pasang mata itu saling bertaut pandang. Pandang mata pemuda itu penuh kagum dan agaknya dia merasa sayang untuk mengedipkan matanya, seolah-olah tidak mau lagi melepaskan pemandangan yang amat indah itu sebentarpun juga. Sui Cin cemberut, menganggap pemuda itu tidak mau kalah dan ingin beradu kekuatan mata, maka iapun tidak mau berkedip dan sepasang matanya terbelalak tajam. Sebagai seorang ahli silat, sejak kecil ia sudah digembleng oleh ayah bundanya untuk mempertajam panca inderanya, terutama sekali mata. Dengan air garam yang dicampur ramuan lain setiap pagi ia memercikkan air ke matanya yang terbuka tanpa berkedip dan dengan latihan seperti itu, pandang matanya menjadi tajam. Ia mampu mengikuti gerakan senjata lawan, dan ia mampu bertahan tidak berkedip sampai berjam-jam!

Akan tetapi, pandang mata pemuda yang penuh kagum itu, yang mengandung kejenakaan, seperti menggelitiknya dan membuatnya tidak mungkin dapat bertahan lebih lama lagi, apa pula setelah ia merasa darahnya naik dan api kemarahannya berkobar. Jari tangannya menuding ke arah mata pemuda itu dan mulutnya membentak, "Kau melihat apa? Matamu melotot seperti mata iblis!"

Dibentak demikian, Hui Song baru sadar bahwa sejak tadi dia memandang dengan bengong. Dia dapat merasakan keadaan yang lucu di antara mereka, maka diapun tersenyum lebar.

"Masih cengar-cengir lagi, seperti monyet!" Sui Cin makin marah karena merasa ditertawakan. Orang yang sedang dikuasai nafsu amarah memang penuh prasangka buruk. Orang cemberut disangka menentang, orang bicara disangka menantang, orang diam disangka tidak mengacuhkan, orang tertawa dianggap mengejek. Serba susahlah kalau hati diracuni nafsu amarah.

Akan tetapi, karena Hui Song sudah tertarik sekali kepada dara remaja yang amat cantik manis dan tinggi ilmu silatnya ini, kemarahan Sui Cin itu baginya malah membuat dara itu nampak lebih manis dan lucu. Makian Sui Cin membuatnya tertawa bergelak!

"Ha-ha-ha, sungguh lucu engkau, nona. Siapa yang menyuruh engkau begini.... eh, hebat? Bukan salahku kalau aku memandang sampai melotot mengagumi kehebatanmu!" Dia tidak mau mengucapkan sebutan cantik jelita yang sudah berada di ujung lidahnya, takut kalau-kalau dara itu lebih marah lagi kepadanya dan menganggapnya ceriwis.

"Apa hebat? Apa maksudmu dengan kata hebat itu?" tanya Sui Cin, akan tetapi suaranya masih marah.

Kini terpaksa Hui Song berterus terang. "Engkau hebat... karena engkau begini cantik jelita dan ilmu-ilmumu tinggi sekali. Dan aku melolot seperti mata iblis karena engkau juga melotot memandangku, akan tetapi matamu melotot jernih seperti mata... bidadari."

"Engkau laki-laki... cabul...!" Sui Cin membentak dan payungnya sudah bergerak cepat, menusuk ke arah perut pemuda itu!

"Wuuutt... singgg...! Heeiiittt...!" Hui Song cepat melempar dirinya ke belakang, berjungkir balik tiga kali baru berdiri kembali dan matanya semakin terbelalak.

"Wah, tahan dulu, nona. Engkau ini bagaimana, sih? Tadi engkau membantuku menghadapi iblis-iblis Cap-sha-kui sehingga boleh dibilang engkau menyelamatkan nyawaku, akan tetapi kenapa sekarang engkau malah hendak membikin aku menjadi... sate, kautusuk perutku dengan payung ajaibmu itu?"

"Manusia ceriwis, cabul, sialan!" Sui Cin menyerang terus dan kini Hui Song mendapatkan kegembiraan lain, yaitu dia memperoleh kesempatan untuk menguji kepandaian orang yang dikagumi ini dan yang juga mengherankan hatinya melihat jurus-jurus yang amat dikenalnya sebagai jurus-jurus keluarga Cin-ling-pai. Akan tetapi, karena dia tahu benar betapa hebat dan berbahayanya ilmu silat dara itu, dan bahwa watak keras dara itu membuat serangan-serangannya tidak main-main lagi, diapun tidak berani memandang rendah dan terpaksa dia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menandingi Sui Cin. Dengan hati penuh kagum dan heran pemuda ini segera memperoleh kenyataan bahwa dara itu sedemikian lihainya sehingga tidak mungkin dia bertahan terus tanpa balas menyerang, karena hal itu amat berbahaya. Maka diapun cepat mainkan Thai-kek Sin-kun untuk bertahan diri dan kadang-kadang membalas serangan lawan dengan tamparan-tamparan Thian-te Sin-ciang.

Di lain plhak, Sui Cin terkejut melihat betapa pemuda ini benar-benar amat mahir dalam dua ilmu silat keluarganya itu, bahkan mungkin sekali lebih mahir daripada ia sendiri. Sampai lima puluh jurus mereka berkelahi dan belum juga ujung payungnya dapat menyentuh pemuda yang lincah itu.

"Tahan dulu...!" Tiba-tiba Hui Song berseru sambil meloncat ke belakang. Sui Cin menghentikan gerakannya, akan tetapi payungnya masih melintang di dada, siap untuk menyerang lagi. Mukanya merah, dahi dan lehernya agak basah oleh peluhnya dan matanya bersinar-sinar.

"Belum ada yang kalah kenapa berhenti?" bentak Sui Cin penasaran.

Hui Song tersenyum dan wajahnya bersungguh-sungguh. "Terus terang saja, selama hidupku baru tadi aku bertemu lawan tangguh ketika iblis-iblis Cap-sha-kui mengeroyokku, dan sekarang ternyata engkau merupakan lawan yang lebih tangguh lagi daripada mereka. Nona, kita sama-sama mengetahui bahwa kita berdua adalah saudara seperguruan, sama-sama menjadi murid Cin-ling-pai..."

"Aku bukan murid Cin-ling-pai!" bentak Sui Cin. "Apa kaukira hanya putera ketua Cin-ling-pai saja yang mampu bersilat?"

Sepasang mata pemuda itu berseri gembira dan senyumnya melebar, sinar kebengalan kembali membuat matanya bersinar-sinar dan wajahnya berseri, mulutnya tersenyum. Sui Cin sendiri tersenyum di dalam hati dan mengaku bahwa tidak mungkin marah-marah terlalu lama kepada wajah yang begitu gembira.

"Wah, aku mengaku kalah satu nol. Engkau ternyata mengenalku sebagai putera ketua Cin-ling-pai sedangkan aku sama sekali tidak pernah dapat menduga siapa adanya dirimu. Bagaimanapun juga, aku merasa yakin bahwa orang tuamu mempunyai hubungan dengan Cin-ling-pai. Nona yang baik, aku memang putera tunggal ketua Cin-ling-pai, namaku Cia Hui Song, usiaku dua puluh satu tahun dan aku belum bertunangan, apalagi menikah!"

Geli juga hati Sui Cin mendengar kata-kata ini. Mulutnya yang tadinya cemberut itu kini membentuk senyum, walaupun senyum itu masih merupakan senyum mengejek.

"Siapa perduli apakah engkau masih perjaka ataukah sudah duda, sudah kakek berusia dua puluh satu atau lima puluh satu!" jawabnya, kemudian ia meninggalkan pemuda itu tanpa berkata apa-apa lagi.

Melihat dara yang dikaguminya itu pergi, Hui Song terkejut. "Eh, nanti dulu nona, aku belum berkenalan..."

Akan tetapi Sui Cin mempercepat langkahnya dan kini ia mengerahkan gin-kangnya berlari cepat seperti terbang. Melihat ini, Hui Song penasaran dan diapun mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, mengejar sekuat tenaga. Dua orang muda itu berkejaran seperti sedang berlomba lari. Kembali keduanya merasa kagum karena ternyata dalam hal ilmu ber-lari cepat merekapun memiliki tingkat yang seimbang! Sui Cin mulai merasa lelah dan iapun cepat mengambil jalan memutar menuju ke tempat di mana tadi ia meninggalkan kudanya. Melihat kudanya yang kecil itu masih enak-enak makan rumput di bawah pohon, ia lalu mencengklaknya dan membalapkan kudanya!

"Heiii, tunggu...!" Hui Song penasaran sekali dan terus mengejar. Tadinya dia memandang rendah ketika melihat gadis yang dikejarnya itu menyambung larinya dengan naik kuda. Kuda sekecil itu, mana mampu lari cepat, pikirnya. Akan tetapi dia menjadi kaget dan penasaran sekali ketika melihat betapa kuda katai itu ternyata dapat berlari cepat dan kuat sekali, bahkan tidak kalah ketimbang larinya kuda besar! Dan kuda itu napasnya kuat sekali sehingga ketika napasnya sendiri sudah senin-kemis, kuda itu masih terus membalap. Akhirnya Hui Song terpaksa mengalah, berhenti berlari kalau dia tidak mau napasnya putus. Dia berhenti dan mengamang-amangkan tinjunya dengan gemas ketika melihat Sui Cin menoleh dan mentertawakannya dengan suara ketawa nyaring memanaskan hati!

Cinta asmara memang sesuatu yang amat aneh. Pada dasarnya memang ada daya tarik yang amat kuat antar lawan jenis, antara pria dan wanita dan daya tarik ini adalah alamiah, sesuai dengan kekuatan Im dan Yang, dua kekuatan yang saling berlawanan, saling tarik, yang membuat bumi berputar, yang membuat segala sesuatu menjadi hidup berkembang. Seorang pria, setelah memasuki masa remaja dan akil balikh, akan tertarik melihat seorang wanita, atau sebaliknya. Hal ini sudah wajar. Kelenjar-kelenjar dalam tubuh bekerja, otak yang penuh ingatan bekerja, dan tentu saja, rasa tertarik itu diperkuat dengan adanya selera sehingga menimbulkan pilihan-pilihan menurut selera masing-masing. Dan ini tentu saja penting sekali karena kalau selera kaum pria serupa, tentu setiap orang wanita akan diperebutkan oleh banyak pria, atau juga sebaliknya.

Pertemuan pertama antara pria dan wanita, terutama yang cocok dengan se-lera masing-masing, menimbulkan kesan pertama. Akan tetapi, hal ini tidak atau jarang sekali berarti timbulnya rasa cinta asmara. Rasa cinta asmara biasanya timbul setelah masing-masing bergaul dan berdekatan, setelah masing-masing mengenal keadaan satu sama lain. Betapapun juga, pertemuan pertama merupakan goresan awal yang bukan tidak mungkin berlanjut dengan perkenalan dan saling mencinta. Bunga-bunga api asmara suka berpijar di sudut kerling mata dan di ujung senyum bibir, dan apabila memperoleh bahan bakarnya, bunga api yang berpijar itu akan membakar hati. Dan kalau dua hati sudah saling mencinta, tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang akan dapat mengalahkannya. Dengan kekerasan, badan boleh dipisah, akan tetapi terikatnya dua hati yang saling mencinta akan dibawa sampai mati.

Setelah kuda kecil yang membawa pergi Sui Cin lenyap tak dapat diikuti pandang mata lagi, Hui Song menjatuhkan diri di bawah pohon, di atas rumput gemuk, melepaskan lelah. Peluhnya membasahi badan dan dengan hati mengkal dia menyusut peluh dari muka dan lehernya. Hatinya mendongkol dan kecewa sekali. Tentu saja dia tidak dapat mengatakan apakah dia suka kepada dara itu, apalagi mencinta. Tidak, belum sejauh itu lamunannya. Dia hanya merasa amat tertarik dan ingin sekali mengenal dara itu, ingin tahu siapa adanya dara remaja yang usianya tentu paling banyak enam belas tahun itu, yang demikian lihainya, demikian manisnya, dan demikian bengalnya! Dia merasa tertarik melihat kesederhanaan dara itu, dengan pakaiannya yang bersahaja namun bersih, pakaian yang agak nyentrik dengan payung bututnya yang dapat dijadikan senjata ampuh. Dia menduga-duga siapa gerangan dara itu, anak atau murid siapa? Dia pernah mendengar dari ayahnya bahwa banyaklah pendekar-pendekar sakti yang masih ada hubungan dengan Cin-ling-pai, di antaranya yang amat terkenal adalah ketua Pek-liong-pai di Lembah Naga jauh di utara sana, kemudian Pendekar Sadis yang tinggal di Pulau Teratai Merah. Hanya itu yang diketahuinya, dan dia tidak pernah mendengar tentang keadaan mereka, apalagi tokoh-tokoh lain yang tidak diceritakan oleh ayahnya, akan tetapi yang menurut ayahnya banyak terdapat di dunia ini. Tidaklah mengherankan kalau ada ahli ilmu silat keluarga Cin-ling-pai, akan tetapi kalau yang menguasai ilmu itu seorang dara yang masih demikian muda akan tetapi sudah sedemikian mahirnya, tidak kalah oleh dia sendiri sebagai putera tunggal ketua Cin-ling-pai, maka hal itu tentu saja membuat dia penasaran dan harus dia ketahui siapa gerangan dara itu!

"Bocah bengal! Awas kalau aku bertemu lagi denganmu!" Dia mengepal tinju dan cemberut, akan tetapi lalu dia tersenyum lebar. Kalau bertemu, apa yang akan dilakukannya? Dan mana mungkin dia marah-marah kepada dara selucu itu? Dan bagaimanapun juga, kalau tidak muncul dara itu yang membantu, bukan tidak mungkin dia celaka di tangan tiga orang iblis Cap-sha-kui tadi. Kalau bertemu lagi, apa yang akan dilakukannya terhadap dara itu?

"Aku akan mengucapkan terima kasihku!" Akhirnya dia menjawab pertanyaan dalam hatinya sendiri.

Hui Song bangkit berdiri dan melanjutkan perjalanannya dan tiba-tiba saja, secara aneh sekali, dia merasakan suatu kelainan pada dirinya. Lain dari biasanya. Ada apa dengan hati ini, pikirnya. Dia merasa kesepian! Dunia nampak begini kosong dan sunyi sekali, tidak menggembirakan lagi. Mengapa begini? Dia mengepal tinju dan alisnya berkerut, suatu hal yang hampir tidak pernah terjadi pada dirinya yang selalu bergembira.

Hidup kita adalah urusan kita sendiri, tidak ada sangkut-pautnya dengan orang lain, dengan siapapun juga. Hidup dan mati kita adalah urusan kita, kita sendiri yang akan menanggung, kita sendiri yang berhak menikmati, kita sendiri pula yang akan menderita, kita sendiri yang membuat kehidupan kita sendirt ini menjadi sorga atau neraka! Kita hidup ini berarti kita sendirian, walaupun secara lahiriah kita saling bergantung dan saling bersandar dengan orang-orang lain. Akan tetapi kehidupan kita adalah urusan kita sendiri. Kita harus berani menghadapi kenyataan ini, ialah bahwa kita ini sendirian! Bukan berarti kita kesepian! Sekali kita bergantung kepada orang lain secara batiniah, akan muncullah rasa kesepian itu kalau kita berpisah dari orang kepada siapa kita bergantung atau bersandar! Dan perpisahan selalu menjadi akhir daripada pertemuan. Ketergantungan kepada orang lain ini yang menimbulkan rasa takut dan rasa kesepian, rasa sengsara. Juga ketergantungan kepada benda, kepada ajaran-ajaran, gagasan, kelompok dan sebagainya. Ketergantungan berarti suatu ikatan. Secara lahiriah, sebagai manusia yang hidup di dalam masyarakat seperti sekarang ini, tentu saja kita mempunyai hak untuk mempunyai yang dilindungi oleh hukum. Akan tetapi, lahiriah boleh saja kita mempunyai sesuatu, mempunyal isteri, anak, keluarga, sahabat, harta benda, kedudukan dan sebagainya. Namun, sekali kita memilikinya secara batiniah, kita akan terikat. Apa yang kita miliki secara batiniah itu akan mengakar di dalam hati sehingga kalau sewaktu-waktu dicabut, hati ini akan terluka dan menderita! Bukan berarti bahwa acuh tak acuh terhadap segala yang kita punyai termasuk anak isteri dan keluarga. Cinta kasih akan mendatangkan perhatian, rasa sayang, iba hati, namun cinta bukan berarti ikatan batin. Sebaliknya, kalau batin terikat, yang mengikat itu adalah nafsu ingin senang, nafsu ini yang ingin memiliki secara batiniah, ingin menguasai, dan dari sini timbullah benih-benih penderitaan.

Betapa kita selalu ingin memiliki ini dan itu, bahkan ingin memiliki segala-galanya yang menyenangkan hati kita! Keinginan memiliki ini tidak ada batasnya, dan nafsu keinginan memiliki inilah yang mendorong kita ke arah perbuatan-perbuatan yang kadang-kadang menjurus ke arah kejahatan. Padahal, apakah yang dapat kita miliki sesungguhnya? Apakah yang abadi di dunia ini? Bahkan tubuh kita sendiripun tidak dapat kita miliki selamanya! Semuanya akan musnah pada saatnya. Karena itu, keinginan memiliki sudah pasti menjadi sumber segala derita.

Hati Hui Song murung karena kecewa oleh ulah Sui Cin yang meninggalkannya begitu saja tanpa memberi kesempatan untuk saling berkenalan. Yang membuat hatinya semakin penasaran adalah bahwa dara itu sudah mengenalnya sebagai putera ketua Cin-ling-pai sedangkan dia sendiri, mendugapun belum dapat siapa adanya dara itu!

Dengan murung dia melanjutkan perjalanan, bermaksud untuk pulang ke Cin-ling-san dan menemui orang tuanya, bukan hanya untuk melaporkan tentang pertemuan yang gagal di Puncak Bukit Perahu, akan tetapi terutama sekali dia hendak mencari keterangan dari ayahnya tentang tokoh-tokoh kang-ouw yang ada hubungannya dengan keluarga Cin-ling-pai, yang menguasai ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai agar dia dapat menduga siapa adanya gadis manis itu.

Pada keesokan harinya, tibalah dia di kota Cin-an yang besar dan ramai. Kota ini ramai sekali terutama karena letaknya di tepi sungai Huang-ho. Dari kota ini, melalui sungai, orang dapat mengunjungi kota-kota besar, bahkan sampai di kota raja. Para saudagar dan pelancong hilir mudik mengunjungi kota Cin-an sehingga kota ini menjadi makmur dan toko-toko serba lengkap dan besar.

Tidak ada orang menaruh terlalu banyak perhatian terhadap diri Hui Song, seorang pemuda biasa yang pakaiannya bersahaja, kebesaran dan ada tambalan di sana-sini walaupun cukup bersih. Tidak ada seorangpun dapat menyangka bahwa pemuda tinggi besar yang berwajah gembira ini adalah seorang pendekar muda yang berilmu tinggi, putera tunggal ketua Cin-ling-pai, nama yang pernah menggemparkan dunia persilatan puluhan tahun yang lalu. Hui Song adalah seorang pemuda yang berjiwa sederhana dan gembira. Biarpun dia putera ketua Cin-ling-pai dan dalam melakukan perjalanan itu dia membawa bekal uang secukupnya, namun dia selalu makan di pasar, di warung-warung kecil dan tidurnya pun kebanyakan di kuil-kuil kosong atau di hutan, dan kalau terpaksa tidur di rumah penginapan, diapun memilih rumah penginapan yang kecil sederhana dan tidak banyak tamunya.

Hari telah siang ketika dia memasuki Cin-an. Pertama-tama yang dilakukannya adalah melakukan penyelidikan tentang Kang-jiu-pang. Dia mendengar bahwa pasukan pemerintah menyerbu pusat perkumpulan itu dengan tuduhan memberontak, akan tetapi tidak ada seorangpun anggauta Kam-jiu-pang yang tertangkap karena sarang itu sudah kosong tak tampak seorangpun anggauta Kang-jiu-pang. Mendengar ini, Hui Song tersenyum gembira. Dia bersimpati kepada perkumpulan orang-orang gagah ini yang dengan cara mereka sendiri hendak membersihkan pemerintah dari tangan pembesar korup. Sayang usaha mereka itu terlalu kasar, hendak mengganggu kaisar sehingga usaha mereka gagal dan mereka bahkan kehilangan beberapa orang anggauta yang tewas oleh amukan iblis-iblis Cap-sha-kui. Hatinya gembira mendengar betapa orang-orang Kang-jiu-pang mentaati nasihatnya dan semua telah melarikan diri sebelum pasukan pemerintah menyerbu. Dengan langkah ringan dan hati senang diapun memasuki pasar di kota itu untuk mencari pengisi perutnya yang sudah terasa lapar.

Begitu memasuki pasar, Hui Song tertarik oleh suara ribut-ribut di lapangan terbuka di luar pasar yang ramai pula dengan orang-orang berjualan dan orang-orang yang datang berbelanja. Di luar pasar ini dijual sayur-mayur yang diletakkan di dalam keranjang-keranjang atau diletakkan di atas tikar-tikar yang dibentangkan di atas tanah begitu saja. Keramaian yang terjadi di luar pasar ini bukan keramaian biasa karena Hui Song melihat banyak orang berpakaian jembel berlari-larian dengan wajah gembira sekali. Hatinya tertarik dan diapun melangkah mendekat ke tempat di mana para jembel itu berkerumun merubung sesuatu. Dan diapun terheran melihat seorang pemuda remaja yang juga berpakaian tambal-tambalan berdiri di tengah-tengah rubungan para jembel itu. Pemuda ini berwajah kotor penuh debu sehingga sukar dikenali wajahnya, penuh keringat pula, akan tetapi sepasang matanya bersinar-sinar gembira. Di sebelahnya terdapat sebuah karung yang terisi logam penuh! Dan pemuda remaja ini sedang membagi-bagikan uang kepingan itu kepada para jembel, begitu royalnya dia menyebar uang seperti orang membuang pasir saja! Tentu saja hal ini menggegerkan orang sepasar karena sungguh merupakan penglihatan luar biasa jika seorang pemuda remaja jembel membagi-bagikan uang yang sedemikian banyaknya kepada kaum jembel dengan sikap seorang hartawan besar yang sudah kebanyakan uang rupanya. Kini bukan hanya para jembel yang antri untuk menerima bagian pemberian, bahkan mereka yang miskin dan kebetulan berada di pasar, baik untuk berjualan maupun untuk berbelanja, tidak malu-malu untuk ikut pula antri. Pemuda remaja itu kelihatan gembira sekali, membagi-bagikan uang sambil tertawa-tawa.

Akan tetapi, tiba-tiba semua orang yang sedang antri itu nampak ketakutan dan mereka bubaran meninggalkan tempat itu. Juga para jembel cepat-cepat meninggalkan tempat itu walaupun mereka belum memperoleh bagian. Agaknya semua orang merasa ketakutan secara tiba-tiba seperti ada bahaya yang mengancam keselamatan mereka.

Sejak tadi, Hui Song berdiri dengan mata terbelalak penuh kekaguman. Juga di dalam hatinya timbul rasa heran dan juga terharu melihat seorang pemuda jembel membagi-bagikan uang secara begitu royalnya. Sungguh penglihatan itu amat tidak lumrah dan seperti dunia sudah terbalik. Orang-orang kaya paling sayang uang dan amat pelit mengeluarkan uangnya, sebaliknya seorang jembel malah membagi-bagikan uang seperti orang membuang pasir saja. Tentu saja hal inipun menimbulkan kecurigaan hatinya. Benarkah pemuda itu seorang jembel? Kalau benar demikian, apakah benar uang yang dibagi-bagikan itu uangnya sendiri ataukah uang curian? Biar bagaimanapun juga, hati Hui Song tertarik sekali dan sudah timbul semacam rasa suka di hatinya terhadap pemuda jembel itu. Diapun melihat betapa semua orang bubaran dan melarikan diri dengan wajah seperti dicekam rasa takut. Lapangan depan pasar itu menjadi berkurang ramainya. Hanya mereka yang berjualan dan berbelanja saja yang masih berada di situ, akan tetapi wajah merekapun membayangkan rasa takut. Sebaliknya, pemuda jembel yang membagi-bagikan uang itu nampak kecewa. Uangnya di dalam karung masih ada cukup banyak, masih seperempat karung dan orang-orang yang antri dan belum kebagian sudah keburu pergi bubaran. Diapun mengangkat muka memandang dan mencari-cari dengan pandang matanya. Ketika mencari-cari ini, tiba-tiba saja, tanpa disengaja, sepasang mata jembel muda itu bertemu dengan pandang mata Hui Song. Hui Song terkejut sekali. Dia merasa seperti pernah mengenal pemuda jembel itu, akan tetapi dia sudah lupa lagi kapan dan di mana. Akan tetapi, begitu bertemu pandang, dia merasa yakin bahwa dia pernah mengenal jembel muda itu! Dia mengingat-ingat, akan tetapi sementara itu, jembel muda itu membuang muka dan memandang ke arah jalan masuk ke lapangan depan pasar itu. Hui Song juga memandang ke sana dan tahulah dia sebab daripada bubarnya semua orang tadi.

Dua orang kakek itu usianya tentu sudah ada enam puluh tahun. Pakaian mereka jelas menunjukkan bahwa mereka adalah dua orang pengemis karena pakaian itu penuh dengan tambal-tambalan, hanya lucunya, baju penuh tambalan itu masih baru, bahkan kain kembang yang dipakai untuk menambal juga masih baru! Keduanya memegang tongkat dan biarpun mereka itu jelas berpakaian pengemis, akan tetapi sikap mereka ketika melangkah memasuki lapangan terbuka di depan pasar itu tiada ubahnya dua orang pembesar tinggi atau dua orang perwira tinggi yang sedang berjalan. Kepala diangkat tinggi lurus, dada membusung dan langkahnya jelas dibuat-buat agar supaya nampak gagah! Tongkat itu dipegang seperti pembesar memegang tongkat komando saja. Sungguh aneh, akan tetapi amat lucu dalam pandangan Hui Song sehingga dia tersenyum lebar menahan tawa. Baginya, dua orang itu lebih mirip dua orang badut yang sedang berlagak di atas panggung. Akan tetapi, jelaslah bahwa semua orang yang bubaran tadi adalah karena munculnya dua orang kakek pengemis ini. Sekarangpun, mereka berjalan seperti orang-orang yang berkuasa, dan pandang mata semua orang di situ yang ditujukan kepada mereka mengandung bayangan rasa takut, seperti orang-orang yang memandang dua ekor harimau ganas yang dilepas di tempat umum.

Siapakah adanya dua orang kakek pengemis yang begitu besar pengaruhnya sehingga semua orang menyingkir ketakutan begitu mereka muncul? Mereka itu adalah dua orang tokoh perkumpulan Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang). Dahulu, ketika Hwa-i Kai-pang masih dipimpin oleh orang gagah perkasa yang budiman, perkumpulan int terkenal sebagai perkumpulan yang bersih. Dahulu perkumpulan ini hanya bertujuan untuk mendidik para pengemis, mengajarkan kepandaian tertentu agar mereka itu dapat terjun ke dalam masyarakat dengan bekerja dan meninggalkan kebiasaan mereka mengemis. Juga mereka yang memiliki ilmu silat tentu bertujuan untuk membela kepentingan kaum lemah yang tertindas. Akan tetapi akhir-akhir ini, setelah dipimpin oleh seorang lihai yang berambisi dan dipengaruhi oleh kaki tangan Liu-thaikam, berubah pulalah keadaan perkumpulan itu.

Hwa-i Kai-pang kini dipimpin oleh seorang tokoh yang berjuluk Hwa-i Lo-eng (Pendekar Tua Baju Kembang). Julukannya saja pendekar, akan tetapi sepak terjangnya sama sekali tidak depat dinamakan bijaksana atau budiman. Apalagi setelah dia dapat dibujuk oleh orang-orangnya Liu-thaikam, maka keadaan perkumpulan itu berobah sama sekali. Liu Kim atau Liu-thaikam adalah seorang yang amat cerdik. Dia tahu bahwa dia sendiri tidak memiliki kekuatan apapun. Kalau dia dapat memiliki kekuasaan dan pengaruh, hal itu adalah karena kaisar yang muda itu amat percaya kepadanya dan memang dia seorang yang pandai melaksanakan pekerjaan. Segala perintah pekerjaan yang diserahkan kepadanya tentu terlaksana dengan beres dan baik. Akan tetapi, diapun seorang yang suka sekali menumpuk harta sehingga untuk memuaskan nafsu yang tak kunjung padam itu dia melakukan korupsi besar-besaran. Hal ini tentu saja menimbulkan tentangan dari panyak pembesar yang setia dan jujur. Untuk melindungi dirinya, kekayaan dan kedudukannya, maka Liu-thaikam sengaja menyuruh kaki tangannya untuk menghubungi orang-orang pandai di luar istana. Dengan menggunakan kekayaannya yang amat besar, dia berhasil menarik orang-orang pandai dari golongan hitam untuk menjadi antek-anteknya. Bahkan akhir-akhir ini dia berhasil memperalat Cap-sha-kui. dan tentu saja dia secara mati-matian melindungi kaisar karena kaisar muda itulah yang menjadi pohon emasnya! Kalau sampai kaisar muda itu diganti, berarti dia akan kehilangan kedudukannya, dan mungkin kekayaannya akan dirampas, juga mungkin saja nyawanya pula! Itulah sebabnya mengapa dia mati-matian menjaga keselamatan kaisar dan hal ini bahkan menambah rasa sayang kaisar kepadanya karena perlindungan yang diberikannya itu hanya diartikan sebagai suatu kesetiaan besar dari kepala thaikam itu kepada kaisar.

Bukan hanya Cap-sha-kui yang terkena bujukan dan dapat dibeli oleh Liu-thaikam, akan tetapi juga perkumpulan-perkumpulan kuat lainnya. Satu diantaranya adalah Hwa-i Kai-pang yang kini berpusat di Cin-an dan sebagian membuka cabang di kota raja. Karena mendengar bahwa perkumpulan pengemis ini amat kuatnya, dan memiliki pengaruh yang luas di kalangan para pengemis, Liu-thaikam lalu menyuruh kaki tangannya untuk menghubungi ketuanya, yaitu Hwa-i Lo-eng dan dengan pengaruh harta dan juga kedudukan, ketua yang julukannya gagah ini terjatuh dan dia membawa seluruh anggauta perkumpulan untuk menjadi kaki tangan yang setia dari Liu-thaikam.

Kepercayaan dari orang penting berarti kekuasaan dan kekuasaan merupakan milik yang amat berbahaya. Sudah banyak terbukti dalam sejarah sejak jaman dahulu sampai kini, kebanyakan orang setelah memiliki kekuasaan menjadi mabok kekuasaan dan menyalahgunakan kekuasaannya. Kekuasaan biasanya membuat orang menjadi tinggi hati, sombong dan ingin memamerkan kekuasaannya dan kalau hal ini teriadi, maka timbullah perbuatan sewenang-wenang dari orang yang mengumbar kekuasaannya. Dan orang-orang yang mabok kekuasaan ini menunjukkan bahwa dia adalah orang yang lemah batinnya, hilang perikemanusiaannya, bahkan bukan seperti manusia lagi melainkan hanya merupakan alat pelampiasan nafsu yang memperhambanya.

Demikian pula keadaan para anggauta Hwa-i Kai-pang. Semenjak mereka menjadi kaki tangan Liu-thaikam, kurang lebih setahun yang lalu, mereka semua merasa seolah-olah mereka telah menjadi pasukan khusus pembesar itu yang besar sekali kekuasaannya dan mereka hendak memaksakan segala macam keinginan hati mereka kepada rakyat tanpa ada rakyat berani melawan karena kepandaian mereka yang tinggi. Juga tidak ada pembesar berani menentang mereka setelah mengetahui bahwa para pengemis baju kembang itu adalah antek-antek Liu-thaikam! Makin besar kepala sajalah mereka ini, terutama sekali di Cin-an, mereka seolah-olah lebih berkuasa dari para petugas keamanan kota sendiri. Menyiksa dan membunuh orang mudah saja mereka lakukan tanpa tuntutan, dengan dalih bahwa yang mereka siksa atau bunuh itu adalah orang-orang yang bermaksud memberontak terhadap pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar