"Jangan ganggu kaisar! Jangan mengganggu seujung rambutnya. Aku sendiri akan membunuh siapa yang berani mengganggunya!" Tiba-tiba kakek buta itu berseru. Para tokoh Cap-sha-kui yang sudah mengerti, tidak merasa heran, akan tetapi tidak demikian dengan para tokoh lain. Seorang yang bertubuh cebol dan berkepala botak, yang matanya merah dan sikapnya menjilat-jilat lalu maju bertanya.
"Maaf, lojin yang mulia. Akan tetapi kami sungguh belum mengerti. Apakah kita semua sekarang harus menjadi kaki tangan dan pembantu kaisar? Bukankah pekerjaan kita semua selalu bertentangan dengap pemerintah?"
"Remnwn, bodoh! Dengarkan kalian semua. Selama istana dikuasai oleh Liu-thaikam seperti sekarang ini, kita dapat hidup aman. Kita dapat bekerja sama dengan para pejabat di manapun juga asal kita mau membagi hasil kita dengan mereka. Dan selama Kaisar Ceng Tek yang muda ini menduduki tahta, Liu-thaikam dapat menguasainya. Kalau kaisar kita ganggu, berarti kita mengganggu Liu-thaikam, dan kalau sampai Liu-thaikam kehilangan kekuasaannya, kita tidak mempunyai sahabat lagi di pemerintahan, berarti kita menjadi orang yang selalu diburu-buru oleh para petugas pemerintah. Jadi, kita harus melindungi kaisar agar Liu-thaikam tetap dapat berkuasa dan kitapun tidak akan dimusuhi pemerintah, mengerti?"
Semua orang mengangguk. "Aihh, kalau begitu, kita harus menyelamatkan kaisar. Pada saat ini ada pihak lain yang mempunyai niatan buruk, menculik kaisar dalam penyamarannya."
Iblis Buta mengerutkan alianya. "Bukankah kaukatakan bahwa ada dua pangawal rahasia yang melindungi kaisar?"
"Akan tetapi, lojin. Sekali ini yang mengancam keselamatan kaisar adalah orang-orang Kang-jiu-pang (Perkumpulan Kepalan Baja)!" kata pula si cebol berkepala botak.
Iblis Buta mendengus. "Perkumpulan keras kepala yang tidak mau bergabung dengan kita! Heh, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo, sanggupkah kalian mengerahkan teman-teman di muara Huang-ho untuk melindungi kaisar dan mengenyahkan Kang-jiu-pang yang hendak merusak itu?"
Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo sudah tahu siapa adanya Perkumpulan Kepalan Baja itu, dan mereka merasa bangga mendapatkan kepercayaan Iblis Buta di depan para tokoh, maka mereka berdua serentak menyatakan sanggup.
"Bagus, setelah selesai urusan kita di sini, kalian harus dengan cepat pergi melakukan tugas dan keselamatan kaisar kuserahkan kepada kalian," kata pula kakek buta. Memang bagi kakek ini, keselamatan Kaisar Ceng Tek amatlah penting. Dia mengenal Liu Kim atau Liu-thaikam dengan baik, bahkan terjadi semacam kerja sama antara mereka. Beberapa kali thaikam itu minta bantuan Siangkoan-lojin untuk mengenyahkan musuh-musuh rahasianya, yaitu para pembesar yang menentangnya dan yang menghendaki kaisar terbebas dari kekuasaannya. Tugas itu dilaksanakan oleh Siangkoan-lojin yang menyuruh anak buahnya dengan mudah dan baik. Beberapa orang musuh itu lenyap secara aneh dan tak ditemukan mayat-mayat mereka. Tentu saja Iblis Buta memperoleh kepercayaan dan sebaliknya, iblis ini melalui kaki tangannya juga memperoleh restu berupa surat-surat ijin dari thaikam itu untuk membuka bermacam usaha seperti usaha rumah pelacuran, perjudian dan sebagainya lagi.
"Ada dua tugas yang agak berat namun penting sekali," sambungnya lagi. "Demi keamanan kita semua, ada dua orang pembesar yang harus dilenyapkan. Yang seorang adalah Menteri Liang, yaitu Menteri Kebudayaan yang istananya berada di kota raja. Kuserahkan tugas ini kepada Kiu-bwee Coa-li, tentu saja kalau nenek itu berani!"
Mendengar demikian, Kiu-bwee Coa-li membunyikan cambuknya. "Tar-tar-tarr..!". "Lojin anggap saja bahwa nyawa orang she Liang itu sudah berada di tanganku. Kapan aku harus membunuhnya, lojin? Sekarang juga aku berangkat!"
"Hemm, nenek sombong, jangan tergesa-gesa dan jangan terlalu membual. Kalau engkau gagal, aku akan menghukummu! Jangan sembrono, di samping menteri yang lemah itu terdapat seorang selirnya dan seorang anak perempuannya yang cukup lihai karena mereka itu murid-murid Shan-tung Sam-lo-eng."
"Heh-heh-heh, lojin. Jangankan baru murid-muridnya, biar mereka bertiga sendiri hadir, aku tidak akan takut," Kiu-bwee Coa-li yang memang berwatak sombong itu tertawa.
"Baik, akan tetapi tunggu sampai urusan kita selesai, baru kau boleh berangkat melaksanakan tugasmu. Sekarang pembesar kedua yang harus dienyahkan, dia adalah Ciang-goanswe (Jenderal Ciang), panglima nomor dua di kota raja. Siapa berani memegang tugas ini?"
Semua orang melongo, Ciang-goanswe adalah seorang jenderal besar. Sebagai panglima nomor dua, dia memimpin laksaan orang pasukan! "Akan tetapi... mana mungkin membunuh seorang panglima yang menguasai ratusan ribu orang pasukan? Siapa sanggup dan mungkin dapat berhasil melakukan tugas ini tanpa bantuan pasukan besar pula, lojin? Dan mengerahkan pasukan besar berarti pemberontakan dan perang..."
Pertanyaan ini keluar dari mulut seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang nampak gagah perkasa akan tetapi juga menyeramkan karena mukanya penuh dengan cambang bauk yang lebat dan hitam. Sepasang matanya besar dan gerak-geriknya kasar akan tetapi pada mulutnya terbayang sifat yang kejam dan suka mempergunakan kekerasan. Agaknya pertanyaan yang diajukan ini berkenan di hati semua orang, karena terdengar bisik-bisik dan suasana menjadi gaduh sampai Iblis Buta mengangkat tongkatnya ke atas. Suasana kembali tenang dan sunyi.
"Kalian semua bodoh kalau berpendirian demikian. Memang, Ciang-goanswe adalah seorang panglima yang memimpin ratusan ribu orang tentara. Akan tetapi, diapun seorang manusia biasa dan tidaklah mungkin kalau selamanya dia berada di antara ratusan ribu pasukannya! Sekali waktu tentu dia akan menyendiri, dengan keluarganya saja, dan penjagaan atas gedungnya tidak akan sekuat penjagaan di istana. Kalau orang berpikiran cerdik, tidak seperti kalian yang tolol, tentu akan dapat menemukan dia dalam keadaan jauh dari para pasukannya. Nah, karena pentingnya tugas ini, kuserahkan saja kepada sepasang Kui-kok Lo-mo dan Lo-bo. Sanggupkah kalian?"
Suami isteri tua itu saling pandang. "Kami sanggup." Akhirnya Kui-kok Lo-mo berkata.
"Bagus! Itulah tugas yang perlu kalian kerjakan. Setelah urusan kita di sini beres, kalian lakukan tugas-tugas itu dan kemudian hasilnya laporkan kepadaku. Sekarang, setelah selesai urusan yang menyangkut kaisar, siapa lagi yang ada laporan?" Dia berhenti sebentar, menengok ke kanan kiri, bukan untuk memandang melainkan untuk mendengarkan dan menyambung, "Bukankah kalian sebelum berkumpul di sini sudah menyelidiki tentang pertemuan para pendekar? Siapa saja yang akan hadir dan apakah kalian sudah bertemu dengan beberapa orang di antara mereka?"
Tiba-tiba kakek itu mengayunkan tongkatnya ke kiri. "Blarrrrr...!" Ujung batu karang yang menonjol di situ, yang tadi pernah diraba-rabanya, pecah berantakan dan melayang ke arah api unggun yang baru saja dibikin oleh seorang di antara mereka. Api unggun itu padam dan kayunya terlempar ke mana-mana, dan ada beberapa orang yang terkena kayu terbakar dan pecahan batu karang. Akan tetapi karena mereka semua adalah golongan orang yang pandai, tidak ada yang sampai terluka parah. Semua orang terkejut dan semakin kagum karena si buta itu ternyata hebat luar biasa, dapat mengetahui adanya api unggun dan dapat memadamkannya secara demikian luar biasa.
"Bodoh! Apa artinya pertemuan rahasia kalau kau menyalakan api unggun yang akan menciptakan sinar yang nampak dari jauh dan mengeluarkan bau yang dapat tercium dari tempat jauh?" bentaknya.
"Ampun, lojin, maksudkan hanya untuk mengusir nyamuk..."
"Kalau aku tidak tahu begitu, tentu batu itu menghancurkan benakmu dan bukan memadamkan api saja," kata pula Iblis Buta. "Nah, siapa membuat laporan?"
"Aku bertemu dengan seorang gadis remaja dan seorang pemuda yang amat lihai. Bahkan aku banyak kehilangan ular-ularku ketika melawan mereka. Sungguh, belum pernah seumur hidupku bertemu dengan gadis dan pemuda yang semuda itu namun selihai itu. Masing-masing dari mereka saja mampu menandingiku dan mungkin aku dapat mengalahkan mereka satu demi satu, akan tetapi menghadapi pengeroyokan mereka, terpaksa aku harus melarikan diri. Hebat, dan aku tidak sempat mengenal ilmu mereka, tidak pula tahu siapa mereka. Pasti mereka hendak menghadiri rapat pertemuan para pendekar."
Berita ini amat tidak menggembirakan Si Iblis Buta, juga para tokoh sesat di situ merasa gelisah. Kalau dua orang muda dapat menandingi Kiu-bwee Coa-li itu berarti bahwa di pihak para pendekar terdapat orang-orang lihai sekali, padahal mereka masih begitu muda!
"Aku sempat bertemu dengan suami-isteri setengah tua yang menjadi murid Bu-tong-pai, dan aku berhasil membunuh mereka yang juga hendak menghadiri pertemuan para pendekar," kata pula seorang tokoh lain yang suaranya mirip bunyi tikus, mencicit. Ada pula yang melapor telah berhasil melukai seorang peserta pertemuan para pendekar, ada lagi yang melaporkan telah membunuh beberapa orang calon peserta dengan cara meracuni mereka. Pendeknya, laporan-laporan itu amat menyenangkan si Iblis Buta dan dia mengangguk-angguk sambil berkali-kali menyatakan senang hatinya.
"Bagus, bagus... biarkan mereka tahu bahwa kita tidak tinggal diam dan kita bukanlah golongan lemah!"
Tiba-tiba si cebol botak yang tadi pernah bicara, maju ke depan sambil menyeret sebuah buntalan. "Lojin, semua yang dihasilkan kawan-kawan itu masih tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan yang kuhasilkan!" katanya menyombong dan dengan sikap menjilat.
Iblis Buta mengerutkan alisnya dan telinganya yang lebih lebar daripada telinga biasa itu nampak memperhatikan sekali. Kalau orang mau memperhatikan daun telinganya, di waktu dia mencurahkan pendengarannya itu, akan melihat betapa daun telinganya sedikit bergerak-gerak.
"Jangan banyak cakap, buat laporan singkat yang betul!" katanya.
"Lojin, dalam perjalanan ke sini, aku menghadang keluarga pelancong. Kubunuh ayah ibunya, kuperkosa anak gadisnya dan harta rampasan yang kuperoleh juga lumayan. Lalu muncul seorang pendekar dari selatan yang mengaku anak murid Kong-thong-pai. Jumlah mereka ada tiga orang. Aku berhasil melukai seorang, membunuh seorang dan menawan yang seorang lagi."
"Kenapa ditawan?"
"Ha-ha, ia seorang gadis cantik dan maksudku untuk mempersembahkannya kepadamu, lojin. Sayang, yang terluka dapat melarikan diri."
"Mana tawanan itu?"
Si cebol botak lalu melepaskan buntalan dan di dalamnya ternyata terdapat seorang gadis yang cukup cantik dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya. Gadis itu berpakaian pendekar dan ia segera menggulingkan tubuhnya dan biarpun kaki tangannya terbelenggu, ia berusaha untuk memberontak.
"Hemm, kiranya para iblis kaum sesat berkumpul di sini! Tunggu saja, kalian akan dihancurkan oleh para pendekar..." Tiba-tiba suaranya terhenti dan tubuhnya mengejang dan tewaslah wanita perkasa itu ketika Iblis Buta menggerakkan tongkatnya menuding ke arahnya. Tidak ada yang melihat bagaimana hanya dengan menudingkan tongkat ke arah wanita itu orangnya lalu mengejang dan mati. Akan tetapi para tokoh Cap-sha-kui dapat melihat sinar halus menyambar ke arah leher si gadis dan ternyata dari ujung tongkat itu menyambar senjata rahasia berupa jarum halus sekali yang menyambar tanpa bunyi, hanya mendatangkan cahaya berkilat halus dan hampir tak nampak.
Si cebol botak terkejut bukan main melihat betapa Iblis Buta membunuh korban yang dipersembahkannya itu. "Tapi... tapi... kenapa...?" teriaknya gagap.
"Manusia tolol! Engkau malah membuka rahasia kita dan membiarkan pihak musuh mengetahui segalanya? Gadis pendekar itu tadi mendengarkan semua percakapan kita! Dan siapa tahu ada temannya yang membayangimu sampai ke sini. Bukankah yang seorang kaubiarkan lolos?"
"Tapi dia terluka..."
"Apa kaukira tidak ada orang lain yang dapat mendengarkan pelaporannya? Tolol, engkau malah mengkhianati kami!" Tiba-tiba kakek itu menudingkan tongkatnya lagi. Si cebol botak itu cukup lihai. Melihat demikian, dia dapat menduga bahwa Iblis Buta hendak membunuhnya seperti yang telah dilakukannya terhadap gadis tadi, maka cepat meloncat ke belakang, bersembunyi di belakang tubuh Kiu-bwee Coa-li untuk kemudian melarikan diri.
Dan memang benar Iblis Buta tidak menyerangnya dengan jarum halus. Akan tetapi si cebol botak itu salah duga kalau dia akan dapat melarikan diri dengan mudah. Sebelum dia tahu apa yang akan terjadi, terdengar suara meledak dan cambuk di tangan Kui-bwee Coa-li bergerak melilit kakinya dan sekali menggerakkan cambuknya, tubuh si cebol botak itu terlempar ke depan kaki Iblis Buta.
"Brukkkk!" Si cebol terbanting dan dia terbelalak ketakutan. Akan tetapi sambil mendengus Iblis Buta menggerakkan tongkatnya. Hanya terdengar suara "tuk!" perlahan ketika ujung tongkat menyentuh tengkuk si cebol botak, akan tetapi akibatnya hebat sekali. Tubuh si cebol botak itu bergulingan, dari mulutnya terdengar suara merintih-rintih, kaki tangannya berkelojotan, dan dari mulut, hidung dan telinganya keluar darah segar! Akan tetapi yang lebih mengerikan lagi, semua orang yang berada di situ tertawa-tawa geli dan gembira, seolah-olah mereka sedang menonton pertunjukan lawak yang menyegarkan! Demikianlah watak mereka ini. Padahal yang sedang sekarat dan tersiksa oleh rasa nyeri hebat itu adalah seorang rekan mereka sendiri!
Kita dapat dengan mudah melihat betapa kejamnya hati mereka itu. Akan tetapi kalau kita mau bersikap waspada dan mengamati diri sendiri, sekali waktu kita akan terkejut dan mungkin juga merasa ngeri betapa di dalam batin kitapun bisa terdapat kekejaman seperti itu.
Betapa mudahnya bagi kita untuk mentertawakan dengan hati geli melihat orang yang sedang disiksa oleh kenyerian, bahkan sekali waktu kita seperti merasa terhibur dan diperingan penderitaan batin kita kalau melihat orang lain juga menderita! Namun, karena kita tidak pernah mau mengamati diri sendiri, kita tidak tahu akan sifat yang mengerikan dalam diri kita ini, yang tiada bedanya dengan apa yang diperlihatkan oleh para tokoh hitam itu! Dan, tanpa melakukan pengamatan kepada diri sendiri, tidak akan mungkin kita dapat melihat kekotoran diri sendiri. Dan, tanpa melihat kekotoran diri sendiri, tidak akan mungkin kita dapat merobahnya, tidak akan mungkin diri menjadi bebas daripada kekotoran itu.
Bahkan ketika si cebol botak masih berkelojotan dalam sekarat, percakapan mereka lanjutkan, seperti orang yang bercakap-cakap sambil melihat tontonan tari-tarian dan mendengarkan nyanyian.
"Sekarang kita harus melakukan persiapan. Kita mendekati Puncak Bukit Perahu dari selatan, dan kalau kita melihat bahwa kekuatan mereka itu tidak berapa besar, kita kurung dan serbu mereka! Kita hajar mereka habis-habisan biar mereka tahu diri! Coba sebutkan berapa jumlah pengikut kalian masing-masing yang sudah siap untuk dapat dipergunakan besok pagi?" kata pula Iblis Buta.
Mereka semua menyebutkan jumlah pengikut yang sudah siap dan ternyata jumlahnya tidak kurang dari dua ratus orang! Mendengar ini, wajah Iblis Buta berseri. "Cukup, lebih dari cukup. Tugas anak buah hanya untuk menyerbu dan mengacaukan saja, dan kita yang akan berpesta-pora membunuhi mereka. Besok pagi-pagi kita harus sudah siap bersembunyi di dalam hutan selatan puncak, membiarkan mereka berkumpul semua seperti tikus-tikus dalam sebuah lubang, tinggal membasmi saja!"
Tiba-tiba Iblis Buta itu mengangkat tongkatnya dan mengisyaratkan agar semua orang diam. Dia sendiri lalu melangkah ke kanan, mendekati tebing dari mana dapat kelihatan sungai yang liar itu Dia miringkan kepala, memasang telinga ke arah anak sungai itu. Semua orang ikut memandang dan tidak melihat sesuatu, juga yang mereka dengar hanya gemerciknya air sungai. Akan tetapi agaknya Iblis Buta itu mendengar sesuatu yang tidak terdengar oleh orang lain. Dan semua orang saling pandang dengan gelisah dan jantung berdebar karena memang benar, lapat-lapat kini merekapun mulai dapat mendengar suara yang-kim. Yang-kim adalah semacam siter yang memakai senar-senar kawat berbunyi nyaring me-lengking dan kini di antara gemercik suara air itu terdengar suara yang-kim dimainkan orang! Dan tak lama kemudian nampaklah pemain yang-kim itu! Di bawah sinar bulan purnama yang seperti perak, nampak sebuah perahu meluncur perlahan di atas air yong liar itu. Sungguh mengejutkan sekali bagaimana orang dapat naik perahu enak-enakan main yang-kim di atas air yang demikian liar dan banyak dihalangi batu-batu menonjol.
Dan pemain yang-kim itu adalah seorang kakek. Tidak nampak jelas bentuk mukanya, akan tetapi dari atas dapat dilihat bahwa jenggot kakek itu panjang sampai ke dada dan suara yang-kimnya demikian nyaring, tidak seperti yang-kim biasa sehingga suaranya dapat menusuk-nusuk anak telinga para tokoh hitam yang melihat dan mendengarkan dari atas tebing.
Mula-mula yang-kim itu memainkan lagu perlahan dan lambat, nada suaranya satu-satu memasuki telinga demikian nyaringnya sehinga lama-lama menjadi tajam menusuk. Makin lama nada-nada suara itu makin cepat berlomba dan akhirnya menyerbu ke dalam telinga seperti badai mengamuk. Beberapa orang tokoh sesat yang kurang kuat sin-kangnya sudah menjadi lemas dan mengeluh sambil menutupi telinga, akan tetapi suara itu seolah-olah dapat menembus tangan yang dipakai menutupi telinga. Bahkan tokoh-tokoh Cap-sha-kui seperti Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo sudah duduk bersila melakukan siulian (samadhi) untuk memperkuat sin-kangnya menahan daya serangan suara yang-kim itu.
Tokoh-tokoh seperti sepasang suami isteri dari Kui-san-kok dan juga si raksasa baju hijau yang sudah memiliki tingkat kepandaian dan tenaga sin-kang amat tinggi, tidak terpengaruh oleh suara itu. Apalagi si Iblis Buta sendiri, dia tidak terpengaruh dan tentu saja dia marah melihat betapa suara yang-kim itu telah membuat anak buahnya menderita. Akan tetapi, diapun tahu bahwa pemain yang-kim itu berada jauh di bawah tebing sehingga diapun tidak dapat mendekatinya. Akan tetapi, kakek buta ini memang hebat bukan main. Dari suara yang-kim itu dia dapat menentukan di mana letak perahu yang ditumpangi pemain yang-kim itu. Tiba-tiba dia menggerakkan tongkatnya bergerak ke kiri.
"Krakkk...!" Ujung sebongkah batu besar pecah dan patah, kemudian sekali dia menyontekkan ujung tongkatnya, pecahan batu yang besarnya satu meter persegi itu telah meluncur ke bawah tebing, dan tepat sekali mengarah perahu di mana kakek berjenggot panjang masih bermain yang-kim! Memang hebat sekali Siangkoan-lojin ini. Pendengarannya sedemikian tajamnya, tidak kalah oleh ketajaman pandang mata sehingga dalam keadaan buta itu dia tidak kalah "awas" dibandingkan orang yang tidak buta. Para tokoh Cap-sha-kui menjenguk ke bawah dan dengan mata terbelalak dan wajah berseri memandang ke arah bongkahan batu besar yang meluncur dengan cepatnya menuju ke arah perahu kecil itu. Mereka menduga bahwa tentu perahu itu bersama penghuninya akan hancur lebur tertimpa batu yang demikian besar dan beratnya dari tempat yang demikian tingginya.
Akan tetapi, kakek berjenggot itu agaknya sama sekali tidak menjadi gugup melihat datangnya bongkahan batu besar yang berupa tangan maut menjangkaunya itu. Dengan tenang saja dia menggerekkan tangan kirinya ke atas sedangkan tangan kanannya masih tetap memainkan yang-kim!
"Blarrrr...!" Nampak debu mengepul dan bongkahan batu karang itu pecah berantakan dan terpental jauh, menimpa air mengeluarkan suara gaduh. Perahu kecil meluncur terus dan suara yang-kim terus terdengar makin menjauh, seolah-olah tidak pernah terganggu.
Iblis Buta yang memperhatikan semua peristiwa itu dengan telinganya, menarik napas panjang. "Hemm, gara-gara si tolol ini!" ketanya sambil menggerakkan kaki menyepak dan tubuh penjahat cebol botak yang sudah tak bergerak lagi itupun kena ditendangnya dan melayang menuruni tebing yang curam! "Dia yang memancing datangnya orang pandai memata-matai tempat ini. Kita harus cepat bergerak menuju ke Puncak Bukit Perahu. Tunggu komandoku, jangan sembarangan bergerak. Kalau aku sudah turun tangan, barulah kalian boleh menyerbu. Sebelum aku turun tangan, jangan ada yang mendahuluiku. Mengerti?"
Bagaimanapun juga, peristiwa dengan penabuh yang-kim itu mengecutkan hati para tokoh hitam karena mereka maklum bahwa kakek berjenggot panjang itu benar-benar lihai. Kalau banyak yang seperti itu di antara para tokoh pendekar, berarti mereka akan menghadapi lawan yang tangguh. Bagaimanapun juga, mereka adalah orang-orang lihai yang biasanya mengandalkan kekuatan sendiri. Apalagi mereka mempunyai anak buah yang banyak dan di tengah mereka terdapat pula Iblis Buta yang mereka percaya. Maka, biarpun peristiwa tadi mengecutkan hati mereka, bukan berarti bahwa mereka menjadi takut.
Pada keesokan harinya, Puncak Bukit Perahu telah dikurung oleh kurang lebih dua ratus orang gerombolan kaum sesat yang dipimpin oleh orang-orang pandai yang semalam telah mengadakan pertemuan rahasia itu. Mereka semua telah mengurung dan bersembunyi, siap menyerbu dengan senjata masing-masing, dan mereka tinggal menanti komando atau munculnya Iblis Buta yang hendak turun tangan paling dulu.
Akan tetapi, Iblis Buta yang mereka tunggu-tunggu itu tidak muncul sampai matahari naik tinggi dan keadaan puncak itupun sunyi-sunyi saja. Akhirnya, mereka melihat bayangan kakek bertongkat itu di puncak dan mendengar suara kakek itu menyumpah-nyumpah! Karena melihat kakek itu sudah tiba, para gerombolan segera menyerbu ke atas dipimpin oleh kepala masing-masing, sambil berteriak-teriak buas. Akan tetapi, setelah mereka tiba di atas puncak, mereka termangu-mangu melihat kakek buta itu marah-marah dan mengamuk dengan tongkatnya, menumbangkan pohon-pohon dan meremukkan batu-batu. Ternyata puncak itu kosong dan tidak nampak seorangpun pendekar di situ! Tahulah Iblis Buta Siang-koan-lojin bahwa rahasia penyerbuan itu telah bocor, bahwa para pendekar telah tahu akan rencana penyerbuan sehingga mereka itu menghindarkan bentrokan dan tidak jadi berkumpul di puncak itu! Dan teringatlah dia akan kakek berjenggot paniang pemain yang-kim semalam. Teringat pula dia akan si cebol botak yang menjadi biang keladi kegagalan ini.
Kini para tokoh menghadap Siangkoan-lojin. "Sekarang, setelah kita gagal di sini karena rahasia telah dibocorkan orang, kita tidak boleh gagal dalam tugas lain yang semalam telah kuberikan kepada kalian. Kita turun dari sini dan berangkat melakukan tugas masing-masing. Semua yang tidak kuberi tugas khusus agar waspada di tempat masing-masing dan kalau ada gangguan dari para pendekar, agar dapat bersatu-padu menghadapi mereka. Jangan cekcok dan bentrok sendiri seperti yang sudah-sudah. Kalau terjadi peristiwa penting, laporkan kepadaku. Sementara itu, boleh kita berpencar dan kalau bertemu dengan para pendekar, hajar dan hadang mereka!"
Setelah menerima perintah ini, merekapun bubaran meninggalkan Puncak Bukit Perahu. Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo pergi bersama untuk melaksanakan tugas mereka ke Cin-an menghadapi perkumpulan Kang-jiu-pang yang kabarnya mempunyai niat buruk terhadap kaisar yang sedang melakukan perjalanan sendiri. Kiu-bwee Coa-li juga pergi sendirian untuk melaksanakan tugasnya yang berbahaya, yaitu pergi dalam usahanya membunuh Menteri Kebudayaan Liang di kota raja. Kemudian sepasang suami isteri kakek nenek dari Kui-sen-kok itupun pergi berdua untuk pergi membunuh Jenderal Ciang yang merupakan tugas paling berat.
Tokoh-tokoh yang lain juga bubaran dan sebentar saja puncak itu menjadi sunyi kembali. Memang tidak mengherankan kalau para tokoh itu menjadi bingung dan Iblis Buta menjadi marah-marah. Mereka sudah mendapatkan keterangan jelas bahwa pada hari itu para pendekar mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu, akan tetapi kenapa para pendekar itu tidak muncul dan tempat itu sunyi, tidak ada seorangpun pendekar datang ke tempat itu? Padahal, menurut penyelidikan beberapa orang anggauta gerombolan, sejak dua hari yang lalu sudah ada beberapa orang pendekar naik ke puncak.
Memang dugaan Iblis Buta itu tepat sekali. Para pendekar yang tadinya hendak menghadiri pertemuan para pendekar di puncak itu, malam tadi telah mendengar bahwa pertemuan itu dibatalkan dan semua orang diberi tahu bahwa golongan hitam, dipimpin oleh Cap-sha-kui sendiri bersama munculnya Iblis Buta, nama yang amat menggemparkan kalangan pendekar ketika disebut, telah mulai bergerak, bahkan bermaksud untuk mengepung dan menyerbu.
"Kita tidak menghendaki bentrokan secara terbuka," demikian pemberitahuan itu melalui anak buah perkumpulan Pek-ho-pai (Perkumpulan Bangau Putih) yang para anggautanya terdiri dari murid-mu-rid Siauw-lim-pai. "Apalagi jumlah mereka amat banyak dan kita sendiri tidak mengadakan persiapan untuk melakukan pertempuran massal. Maka terpaksa pertemuan dibatalkan dan hendaknya para sahabat, dengan kelompok masing-masing mengadakan usaha perorangan untuk menentang para penjahat dan membendung menjalarnya pengaruh mereka."
Pek-ho-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah para murid Siauw-lim-pai yang mempelopori pertemuan para pendekar itu. Nama Pek-ho-pai dikenal dan dihormati para pendekar maka undangan perkumpulan ini mendapatkan banyak sambutan. Pek-ho-pai dipimpin oleh Hwa Siong Hwesio, seorang tokoh tingkat tinggi dari Siauw-lim-pai dan karena dia seorang tokoh Siauw-lim-pai ahli Ilmu Silat Pek-ho-kun (Silat Bangau Putih), maka diapun mendirikan perkumpulan Pek-ho-pai itu melihat berkembangnya para muridnya dan untuk mengikat para murid itu ke dalam sebuah perkumpulan agar mudah diawasi dan dapat dikendalikan. Perkumpulan ini berada di kota Pao-ting dan karena Hwa Siong Hwesio sendiri sudah terlalu tua, sudah mendekati sembilan puluh tahun usianya, maka perkumpulan itu diserahkan kepengurusannya kepada murid-murid kepala. Akan tetapi ketika Hwa Siong Hwesio mendengar akan kekacauan yang terjadi di mana-mana, apalagi mendengar bahwa Cap-sha-kui gentayangan seperti iblis-iblis keluar dari neraka, dia merasa prihatin dan segera mengusulkan diadakannya pertemuan para pendekar untuk membicarakan urusan yang menyangkut keamanan rakyat jelata itu.
Akan tetapi, pada malam hari itu, perkumpulan Pek-ho-pai kedatangan seorang tamu, seorang kakek berjenggot panjang yang membawa yang-kim di punggungnya. Kakek inilah yang menyampaikan berita rencana para tokoh sesat yang mengadakan pertemuan rahasia, rencana untuk mengurung dan menyerbu Puncak Bukit Perahu pada saat para pendekar sedang berkumpul. Dan kakek berjenggot ini yang memberitahukan betapa kuatnya kedudukan para penjahat itu karena selain Cap-sha-kui yang diduga telah datang dengan lengkap, disertai anak buah mereka, juga muncul Iblis Buta yang amat tinggi ilmu kepandaiannya itu. Mendengar berita mengejutkan ini, para murid kepala Pek-ho-pai lalu menyebar murid-murid mereka untuk menghadang dan memberi tahu para pendekar yang berkunjung ke Puncak Bukit Perahu bahwa pertemuan dibatalkan dan membagi-bagikan selebaran mengenai pembatalan itu. Karena usaha ini, maka ketika para kaum sesat itu datang menyerbu, mereka mendapatkan tempat kosong!
Siapakah kakek berjenggot panjang membawa yang-kim itu? Kakek inilah yang nampak dari atas tebing oleh para datuk sesat, yang memainkan yang-kim di atas perahunya dan yang diserang oleh Iblis Buta dari atas tebing. Dia adalah seorang pendekar tua yang suka berkelana seorang diri, di antara para pendekar dia disebut Shantung Lo-kiam (Pendekar Pedang Tua Dari Shantung). Dia orang termuda dari Shantung Sam-lo-eng (Tiga Pendekar Tua Shantung), dua orang suhengnya telah meninggal dunia dan dia sendiri sudah berusia delapan puluh tahun. Setelah tinggal seorang diri, dia suka berkelana dan sudah bertahun-tahun tidak banyak lagi mencampuri urusan duniawi, bahkan menanggalkan pedangnya dan menggantikannya dengan yang-kim karena sejak dahulu, Shantung Sam-lo-eng selain terkenal ilmu pedang mereka, juga terkenal sebagai sasterawan-sasterawan.
Akan tetapi, ketika melihat betapa dunia kaum sesat bergolak dan penjahat-penjahat itu bangkit, mengancam keamanan dan keselamatan rakyat, Shantung Lo-kiam terpaksa keluar juga, dan biarpun masih membawa yang-kimnya, namun diam-diam pedangnya digantungnya lagi di balik jubahnya dan dialah yang mengikuti gerak-gerik para penjahat sehingga secara kebetulan dia dapat mengetahui tentang pertemuan rahasia para penjahat itu. Diapun mendengar akan undangan pertemuan para pendekar, maka setelah dia mengetahui rahasia para tokoh sesat, cepat-cepat dia mengunjungi Pek-ho-pai karena ketua Pek-ho-pai, yaitu Hwa Siong Hwesio, adalah seorang sahabat baiknya.
Demikianlah, pertemuan para pendekar dibatalkan demi keamanan, akan tetapi, para pendekar semakin waspada karena tahu bahwa Cap-sha-kui sudah bergerak, bahkan Iblis Buta yang tadinya hanya dikenal namanya saja, kini kabarnya turun tangan sendiri memimpin para gerombolan kaum sesat!
Seperti juga para pendekar lainnya yang berkunjung ke Puncak Bukit Perahu untuk menghadiri pertemuan para pendekar, Sui Cin yang sudah memisahkan diri dari Cia Sun, ketika berada di lereng bawah puncak, bertemu pula malam itu dengan seorang murid Pek-ho-pai. Ketika itu, Sui Cin sedang duduk seorang diri menanti datangnya pagi sambil membuat api unggun di bawah pohon, untuk mengusir nyamuk yang mengganggunya.
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan pendekar wanita ini tetap tenang saja. Ia tahu bahwa ada orang datang, akan tetapi karena ia tidak tahu siapa orang itu dan entah kawan atau lawan, maka ia bersikap tenang saja dan diam-diam mencurahkan seluruh kewaspadaannya berjaga diri.
"Nona, apakah nona seorang calon pengunjung pertemuan di Puncak Bukit Perahu?" tiba-tiba terdengar suara orang dan muncullah orang yang tadi bayangannya berkelebat itu dari balik batang pohon. Kiranya dia seorang laki-laki setengah tua, berusia empat puluhan tahun dan bersikap gagah, pakaiannya serba putih. Pertanyaannya diajukan dengan suara sopan akan tetapi sikapnya ragu-ragu karena dia masih belum yakin benar apakah gadis remaja ini juga hendak mengunjungi pertemuan para pendekar.
Di lain fihak, Sui Cin tidak mengaku begitu saja kepada orang yang belum dikenalnya. Ia harus berlaku hati-hati, karena siapa tahu kalau-kalau orang ini termasuk fihak lawan.
"Apakah hubungannya keadaan diriku dengan engkau?" ia balas bertanya, pandang matanya penuh selidik dan penuh tantangan.
Laki-laki itu menjura. "Kalau nona termasuk seorang calon pengunjung, kami datang membawa berita penting. Saya adalah anggauta Pek-ho-pai dan menerima perintah suhu untuk menyampaikan berita kepada para calon pengunjung."
"Berita apakah itu?" Sui Cin tertarik.
"Maaf, harap nona sudi memperkenalkan diri lebih dulu agar jangan sampai saya keliru melaksanakan tugas."
Sui Cin tersenyum. Dia dapat memaklumi keadaan orang yang menjadi utusan ini. Ia sudah mendengar bahwa Pek-ho-pai merupakan perkumpulan yang mempelopori pertemuan itu dan ia sudah mendengar pula bahwa Pek-ho-pai adalah perkumpulan yang merupakan cabang dari Siauw-lim-pai. "Akupun boleh meragukan dirimu!" katanya dan tiba-tiba saja gadis ini sudah meloncat dari belakang api unggun dan langsung mengirim serangan-serangan kilat kepada orang itu!
Orang berpakaian putih itu terkejut setengah mati melihat betapa hebatnya serangan Sui Cin. Maka diapun cepat melindungi dirinya, menggunakan ilmu silatnya untuk mengelak dan menangkis, juga balas menyerang karena tanpa balas menyerang dia dapat celaka menghadapi lawan yang gerakannya amat cepatnya ini. Akan tetapi, tentu saja Sui Cin tidak menyerang sungguh-sungguh, hanya memancing saja. Kalau ia sungguh-sungguh menyerang, tentu dengan mudah ia akan dapat merobohkan lawannya. Setelah ia melihat gerakan laki-laki itu yang membentuk kedua tangannya seperti paruh atau kepala burung bangau, menggunakan kelima ujung jari untuk mematuk atau menotok, baru ia percaya dan iapun melompat ke belakang.
"Engkau benar murid Siauw-lim-pai. Nah, ketahuilah bahwa aku hanya kebetulan lewat dan mendengar tentang pertemuan para pendekar itu, maka aku ingin nonton. Namaku Ceng Sui Cin dan aku sama sekali bukan pendekar, hanya gadis biasa saja."
Tentu saja omongan ini tidak diperdulikan oleh murid Pek-ho-pai itu karena dari beberapa jurus serangan tadi saja tahulah dia bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang hebat dan memiliki kecepatan gerak yang luar biasa. Diapun tidak mengenal nama itu, akan tetapi sebagai peninjau, gadis inipun perlu diberi tahu.
"Maaf, nona. Saya diberi tugas memberitahukan kepada semua pengunjung bahwa pertemuan para Pendekar dibatalkan dan semua tamu diharap suka meninggalkan tempat ini sekarang juga karena Cap-sha-kui dan gerombolannya yang berjumlah besar sekali, didampingi pula oleh si Iblis Buta, besok akan mengurung dan menyerbu tempat ini."
Tentu saja Sui Cin terkejut mendengar berita itu, apalagi mendengar disebutnya nama Si Iblis Buta. "Ah, kenapa tidak kita lawan saja?" teriaknya penasaran. "Yang datang berkumpul adalah para pendekar! Masa begitu mendengar bahwa tempat itu akan diserbu oleh golongan hitam, lalu para pendekar disuruh kabur begitu saja?"
"Saya tidak dapat menerangkan banyak, nona. Akan tetapi demikianlah perintah suhu. Katanya tidak dikehendaki bentrokan terbuka, dan pihak musuh yang sudah lebih dahulu mempersiapkan diri, tentu jauh lebih banyak dan lebih kuat. Nah, selamat tinggal, nona. Saya harus memberi tahu para calon pengunjung yang lain." Orang itu melompat dan meng hilang dalam gelap.
Untuk beberapa lamanya Sui Cin duduk kembali dan termenung. Ia tidak tahu persoalannya dan ia datang ke situ hanya untuk nonton saja. Ayah bundanya juga sudah memesan dengan keras agar tidak mencampuri urusan orang lain, dan jangan melibatkan diri ke dalam keributan. Kini, mendengar bahwa tempat ini hendak diserbu oleh para penjahat, tentu saja iapun tidak boleh mencampuri. Apalagi ia sendiri belum tahu tindakan yang akan diambil oleh para pendekar. Sayang bahwa ia telah berpisah dari Cia Sun sehingga tidak ada yang dapat diajak berunding.
Selagi ia termenung, tiba-tiba berkelebat bayangan orang lagi. Karena tadinya membayangkan betapa tempat itu akan diserbu musuh, maka sekali ini berkelebatnya bayangan orang membuat Sui Cin terkejut dan iapun otomatis meloncat berdiri dan siap melawan siapa saja yang akan menyerangnya.
Akan tetapi orang itu tertawa ramah. "Ha-ha, nona Ceng, apakah aku membuatmu terkejut? Maafkanlah kalau begitu, aku tidak sengaja mengejutkan hatimu."
Ceng Sui Cin memandang dengan hati lega. Wajah yang tampan itu berseri dan senyum itu ramah sekali. Iapun tersenyum dan seluruh urat syarat yang tadi sudah menegang kini kembali mengendur dan hatinya lega.
"Aih, kiranya engkau, saudara Sim Thian Bu." Lalu ia teringat akan berita dari murid Pek-ho-pai tadi. "Apakah engkau juga sudah mendengar akan berita yang dibawa murid Pek-ho-pai tadi?"
Pemuda yang baru datang itu adalah Sim Thian Bu. Wajahnya yang tadinya tersenyum berseri itu nampak terheran mendengar ucapan Sui Cin. "Murid Pek-ho-pai? Berita tentang apa? Aku belum mendengarnya, nona."
"Baru saja dia datang ke sini. Aku sudah mengujinya dan ternyata dia benar murid Pek-ho-pai karena dia mahir Ilmu Silat Bangau Putih. Dia membawa berita bahwa pertemuan para pendekar besok hari itu dibatalkan."
"Dibatalkan?" Sim Thian Bu nampak terkejut dan kecewa. "Aih, jauh-jauh aku datang untuk menghadiri pertemuan dan belajar kenal dengan para pendekar... wah, nona, kenapa dibatalkan?"
"Karena besok tempat ini akan dikurung dan diserbu oleh para penjahat..."
"Hemmm..."
"Kaum sesat itu berjumlah banyak sekali, dipimpin oleh Cap-sha-kui sendiri."
"Benarkah...?"
"Bukan itu saja. Malah kabarnya Iblis Buta akan datang pula."
"Hebat! Kenalkah nona kepada datuk-datuk itu?"
"Tidak, hanya namanya saja yang kukenal."
"Kalau begitu, nona juga akan pergi dari sini, tidak jadi menghadiri pertemuan para pendekar?"
"Ya, pertemuan itu tidak jadi, untuk apa dihadiri dan ditunggu?"
"Memang sebaiknya kalau kita pergi saja sekarang juga meninggalkan tempat ini, nona."
"Kita...?"
"Ya, kita. Apa salahnya kalau kita pergi bersama? Bukankah kita sudah saling berkenalan dan berarti kita adalah sahabat?"
Sui Cin tersenyum. "Hemm, tidak selalu kenalan berarti sahabat."
Sim Thian Bu juga tersenyum. "Akan tetapi aku ingin bersahabat denganmu, nona."
"Kenapa?"
"Karena engkau lihai..."
"Hemm, bagaimana engkau tahu aku lihai?"
"Mana mungkin engkau tidak lihai kalau engkau puteri Pendekar Sadis?"
Sui Cin diam sejenak, memandang wajah orang itu. Wajah yang tampan menarik, tubuh yang tegap dengan pakaian yang bersih dan rapi, seperti pakaian seorang sasterawan muda yang kaya. Untuk bercakap-cakap, pemuda ini lebih menarik daripada Cia Sun walaupun tentu saja terhadap Cia Sun ia sudah menaruh kepercayaan penuh yang agaknya terpengaruh oleh kenyataan bahwa Cia Sun adalah putera tunggal Cia Han Tiong, kakak angkat atau juga kakak seperguruan ayahnya. Sebaliknya, pemuda yang bernama Sim Thian Bu ini baru dikenalnya, belum diketahuinya benar keadaannya walaupun kelihatannya pantas menjadi seorang pendekar pula.
"Hati-hati berhadapan dengan manusia, anakku," demikian antara lain ibu kandungnya sering memberi nasihat. "Di dunia ini penuh dengan manusia yang palsu, yang pada lahirnya nampak baik dan dapat dipercaya, akan tetapi sesungguhnya adalah manusia jahat yang berbahaya, seperti harimau bertopeng domba." Ia tidak akan kehilangan kewaspadaan, pikirnya dan biarpun ia merasa suka bergaul dengan pemuda tampan yang berwajah gembira dan pandai bicara ini, namun ia belum menyerahkan seluruh kepercayaannya dan diam-diam bersikap waspada.
"Kalau kita pergi dari sini, ke mana tujuanmu?" Ia bertanya sambil mengemasi selimut yang tadi dipakainya untuk melewatkan malam di tempat itu dan membuntal semua pakaiannya.
"Ke Mana? Ha-ha, nona, sudah kuberitahukan bahwa aku adalah seorang perantau yang tidak mempunyai tujuan tertentu ke mana akan pergi. Ke mana saja, asal dapat meluaskan pengalaman memperlebar pengetahuan. Kabarnya, di sebelah selatan, hanya perjalanan satu hari, terdapat sebuah telaga yang amat indah. Bagaimana kalau kita melancong ke sana? Tentu saja kalau nona suka." Pemuda itu memang pandai mengatur kata-katanya sehingga menyenangkan hati Sui Cin. Di dalam ucapannya itu terkandung bujukan, akan tetapi jelas bukan paksaan dan menyerahkan keputusannya kepada Sui Cin dan mementingkan perasaan gadis itu.
"Baik, kita pergi ke sana," kata Sui Cin. Ia mengambil keputusan untuk bersenang-senang dahulu sebelum pulang ke Pulau Teratai Merah yang telah ditinggalkan selama berbulan-bulan itu.
Cin-an adalah sebuah kota besar yang terletak di Lembah Huang-ho di Propinsi Shantung. Daerah ini memiliki tempat-tempat peristirahatan atau tempat rekreasi yang indah-indah karena tanahnya memang subur. Di luar kota Cin-an, di pantai Sungai Huang-ho yang airnya berlimpah-limpah, terdapat sebuah kebun yang luas. Di sini selain terdapat pohon-pohon kembang yang beraneka ragam dan warna, juga terdapat gunung-gunungan dan sebuah telaga buatan yang kecil di tengah-tengah kebun di mana orang dapat berperahu, memancing ikan, berenang-renang dan sebagainya. Setiap hari ada saja orang mengunjungi kebun ini dan terutama sekali para pembesar dan orang kaya menggunakan tempat ini untuk pelesir dan menghibur hati di atas perahu mereka, minum-minum sambil mendengarkan musik, nyanyian dan menonton terian para penyanyi dan penari yang sengaja mereka bawa untuk bersenang-senang.
Akan tetapi pada hari itu, di kebun itu agak sepi. Hanya nampak beberapa orang berjalan-jalan di sana-sini, ada pula yang sedang duduk di perahunya memancing ikan, ada pula yang berjalan-jalan di sekeliling telaga. Beberapa buah perahu kecil yang didayung oleh dua orang hilir-mudik di atas permukaan air sambil bercakap-cakap dan minum arak. Seorang pelukis tua di atas gunung-gunungan asyik melukis telaga dengan perahu-perahunya dan seorang penyair sedang corat-coret dengan alis berkerut, menyatakan kesan dan perasaan hatinya berbentuk huruf-huruf tersusun indah. Agaknya sang penyair ini belum juga dapat menemukan rangkaian huruf yang memuaskan hatinya. Berkali-kali dia merobek lagi kertas yang ditulisnya dan akhirnya diapun bangkit berdiri, mulutnya berkemak-kemik menggulung sajak yang dikarangnya dan kakinya melangkah menaiki gunung-gunungan di mana sang pelukis tengah melukis dengan asyiknya. Tak lama kemudian, penyair itu telah berdiri di belakang sang pelukis, tanpa mengeluarkan suara gaduh agar tidak mengganggu pekerjaan orang, dia memandang lukisan yang mulai berbentuk itu. Tiba-tiba wajahnya berseri dan seperti tanpa disadarinya dia berkata lirih sambil memandang ke arah lukisan itu.
"... gerakan air dan awan
berobah setiap saat
tanpa bekas, tanpa tujuan..."
Penyair itu bertepuk tangan dengan girang. "Ah, benar sekali. Di dalam lukisan terkandung sajak, di dalam syair terkandung lukisan, keduanya tak dapat dipisahkan!" Akan tetapi setelah mengeluarkan ucapan yang nadanya gembira ini, dia berbisik, "Dua orang bercaping lebar yang sedang memancing ikan, itulah mereka."
Si pelukis memandang ke arah pemukaan telaga di mana terdapat dua orang setengah tua sedang sibuk memancing. Caping mereka yang lebar menyembunyikan muka mereka, dan dari bawah caping itu, mata mereka kadang-kadang ditujukan ke arah seorang pemuda yang sedang mendayung perahu seorang diri sambil minum arak! Dua orang bercaping lebar itu memiliki bentuk tubuh yang tegap, dan pandang mata mereka tajam, juga di balik jubah mereka terdapat sebatang pedang.
Kini pelukis itu membenahi barang-barangnya, menggulung lukisannya dan bersama si penyair lalu menuruni gunung-gunungan menuju ke tepi telaga. Mereka berjalan perlahan sambil bercakap-cakap dan keduanya nampak akrab sekali, mungkin karena keduanya seniman. Usia mereka sebaya, kurang lebih lima puluh tahun dan mereka mengenakan pakaian sasterawan yang sederhana. Orang-orang takkan mencurigai dua orang laki-laki ini karena tempat itu memang biasa dikunjungi para seniman. Akan tetapi kalau orang memandang kepada dua orang kakek sederhana itu dengan penuh perhatian dan melihat ke arah tangan mereka, orang itu akan terkejut karena ada sesuatu yang tidak wajar pada tangan mereka. Tangan seniman biasanya halus dan lembut, akan tetapi tangan kedua orang seniman tua ini, dari pergelangan sampai ke ujung jari-jari tangan, nampak kebiruan! Bagi ahli silat, hal ini menjadi tanda bahwa kakek kakek seniman ini pernah mempelajari ilmu pukulan yang ampuh!
Memang demikianlah. Dua orang kakek ini bukan orang-orang sembarangan melainkan tokoh-tokoh dari Kang-jiu-pang! Kang-jiu-pang (Perkumpulan Kepalan Baja) didirikan oleh seorang kakek gagah perkasa bernama Song Pak Lun dan perkumpulan itu berpusat di Cin-an. Song Pak Lun adalah bekas perwira tinggi yang ikut didepak keluar karena menentang kebijaksanaan Liu-thaikam. Dia tidak mendendam karena dikeluarkan, melainkan sebagai seorang patriot yang mencinta negaranya, dia merasa prihatin melihat betapa pemerintah dikendalikan oleh pembesar lalim seperti Liu-thaikam yang dapat menguasai kaisar muda yang belum berpengalaman. Maka diapun selalu bersikap menentang. Dalam usianya yang enam puluh tahun itu, Song Pak Lun masih penuh semangat dan dia memiliki banyak murid yang menjadi anggauta Kang-jiu-pang. Ketika dia mendengar bahwa kaisar dalam penyamaran sedang berpelesir meninggalkan istana dan diam-diam hanya dikawal oleh dua orang perwira pengawal, dia lalu mengerahkan para pembantu utamanya untuk bertindak. Kaisar harus ditawan, diculik, demikian keputusannya. Sebagai seorang bekas perwira, tentu saja Song Pak Lun hanya dapat mempergunakan cara militer untuk berusaha menolong pemerintah. Dia hendak menawan kaisar muda itu dan memaksa kaisar, kalau perlu dengan ancaman nyawa, agar kaisar suka menghukum atau memecat Liu-thaikam! Dan kini muncul kesempatan yang amat baik baginya untuk melaksanakan maksud itu. Kebetulan kaisar muda itu melakukan perjalanan ke daerah Cin-an, menyamar sebagai seorang pemuda biasa!
Dua orang pria bercaping lebar itu memang dua orang perwira pengawal pribadi kaisar. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan memperoleh kepercayaan Liu-thaikam yang diam-diam mengutus dua orang pengawal untuk melindungi keselamatan kaisar. Tentu saja Liu-thaikam amat setia kepida kaisar!
Memang, merupakan kenyataan pahit yang terpaksa harus kita telan sebagai kenyataan hidup betapa yang disebut kesetiaan sesungguhnya menyembunyikan sesuatu yang pada hakekatnya hanyalah usaha untuk mempertahankan kesenangan diri sendiri! Siapakah yang setia dan kepada siapa? Tentu yang setia itu adalah orang atau golongan yang menerima keuntungan atau kebaikan, pendeknya menerima sesuatu yang menyenangkan dan kesetiaan itu ditujukan kepada orang atau golongan yang mendatangkan kesenangan itu! Karena sebab yang gamblang inilah maka di dunia ini seringkali terjadi kesetiaan yang kemudian berobah menjadi pengkhianatan. Kalau kesenangan itu tidak diterimanya lagi, maka kesetiaanpun akan mengalami perobahan.
Liu-thaikam setia kepada kaisar, sebetulnya dia mempertahankan kesenangan yang diperolehnya dari kaisar. Karena kalau kaisar celaka, berarti dia sendiripun celaka! Dan bentuk kesenangan yang diperoleh seseorang bukan hanya terbatas pada kesenangan lahiriah berupa harta benda, pangkat tinggi dan kedudukan, melainkan dapat saja berupa kesenangan batiniah berupa nama terhormat dan sebagainya.
Kita kembali kepada pemuda yang sedang duduk seorang diri dalam perahunya sambil minum arak, menikmati pemandangan indah dan hawa yang sejuk bersih menyegarkan di pagi hari itu. Pemuda itu berpakaian seperti seorang sastrawan, berwajah tampan akan tetapi ada bayangan sifat manja dan malas di balik ketampanannya. Pemuda berusia sembilan belas tahun ini adalah Kaisar Ceng Tek!
Semenjak diangkat menjadi kaisar dalam usia lima belas tahun, empat tahun yang lalu, kaisar muda ini tidak pernah memperlihatkan minat yang besar terhadap pemerintahan. Dia lebih senang menghibur diri dengan permainan silat, atau membaca kitab kuno, bergaul dengan para seniman, dan setelah usianya makin dewasa mulailah dia suka bergaul dengan wanita. Liu-thaikam yang tahu akan kesukaan ini, dalam usahanya untuk menguasai hati kaisar, tentu saja menyediakan segala sesuatu yang diinginkan kaisar itu. Gadis-gadis cantik, seniman-seniman pandai, sehingga kaisar muda itu makin tenggelam ke dalam kesenangan tanpa memperdulikan urusan pemerintah. Dan satu di antara kesenangannya adalah merantau dan bertualang seperti seorang pemuda biasa, menanggalkan pakaian kebesaran dan mahkota yang berat itu, meninggalkan upacara-upacara kerajaan yang membosankan, meninggalkan urusan-urusan pemerintahan yang ruwet-ruwet, meninggalkan semua itu agar diurus oleh Liu-thaikam. Sedangkan dia sendiri bebas lepas di udara seperti burung, terbang melayang sekehendak hatinya!
Keadaan kaisar muda ini dapat terjadi demikian karena memang dia tidak mencintai pekerjaannya. Dan betapa banyaknya manusia di dunia ini yang bekerja atau mengerjakan sesuatu bukan karena mencintai pekerjaannya, melainkan karena terpaksa! Terpaksa oleh keadaan, terpaksa oleh cita-cita, terpaksa oleh dorongan orang tua, keluarga, masyarakat dan sebagainya. Banyak orang tua mengirim anaknya ke suatu pendidikan tertentu karena terdorong cita-cita muluk dan setelah kelak si anak berhasil lulus, dia terpaksa melakukan pekerjaan sesuai dengan pendidikannya, tanpa rasa cinta kepada pekerjaan itu sehingga dia merasa tersiksa batinnya selama hidup! Banyak pula yang melakukan suatu pekerjaan hanya karena ingin mencari uang. Uang didapat, akan tetapi di samping itu, juga siksaan didapat di waktu dia bekerja. Mengerjakan sesuatu yang tidak disukai mendatangkan rasa jemu dan kalau dilakukan setiap hari sepanjang masa, akan mendatangkan siksa. Kita hanya tinggal membuka mata untuk dapat melihat kenyataan ini, betapa manusia bekerja seperti robot tanpa gairah tanpa kegembiman karena memang pada hakekatnya dia tidak mencintai pekerjaannya, bahkan di bawah sadarnya dia membenci pekerjaannya yang membelenggu kaki tangannya selama hidup itu!
Kaisar Ceng Tek, sebagai seorang yang paling berkuasa tentu dapat melepaskan diri atau mencoba untuk melepaskan diri sewaktu-waktu dari belenggu itu. Akan tetapi apa yang dilakukannya bukanlah membebaskan diri dari belenggu melainkan hanya suatu pelarian sementara saja karena pada hakekatnya dia masih mempergunakan haknya sebagai kaisar, berarti masih ingin menikmati hasil dari kekuasaannya. Dan akibat dari pelarian ini adalah kekacauan! Roda pemerintahan dikendalikan oleh orang lain yang melakukannya demi ambisi pribadi, demi penumpukan harta benda.
Pada pagi hari itu, Kaisar Ceng Tek duduk dalam perahu kecil sambil tersenyum-senyum gembira, mengira bahwa tidak ada seorangpun yang mengetahui keadaan dirinya. Dia tidak tahu bahwa tidak jauh dari perahunya, dua orang tukang pancing setengah tua itu tak pernah melepaskannya dari pengamatan dan pengawalan. Juga dia tidak tahu bahwa ada beberapa pasang mata orang lain yang selalu memperhatikan gerak-geriknya dan bahwa pada saat itu dia menjadi pusat perhatian banyak orang dan berada dalam keadaan terancam.
Ketika itu, si penyair dan si pelukis yang sebetulnya adalah dua orang tokoh Kang-jiu-pang yang lihai, yang merupakan pembantu-pembantu utama dari ketua Kang-jiu-pang dan yang bertugas memimpin usaha penculikan kaisar, telah naik sebuah perahu kecil, mendayungnya sambil minum arak dan si penyair bernyanyi-nyanyi kecil membacakan sajaknya. Perahu mereka mendekati dua orang kakek yang sedang memancing ikan itu dan tiba-tiba perahu mereka itu menabrak perahu dua orang tukang pancing yang bercaping dan yang tidak menyangka-nyangka itu.
"Heiii...!" Seorang di antara mereka berteriak, akan tetapi tiba-tiba saja sikap dua orang kakek seniman itu berobah.
Mereka sudah meloncat dan menggunakan dayung mereka menghantami ke arah dua orang kakek bercaping.
"Heiiiittt!"
"Hyaaattt...!"
Dua orang bercaping itupun meloncat, mengelak dan mencabut pedang yang tersembunyi di balik jubahnya. Si pelukis menggunakan jangkar perahu untuk mengait perahu lawan dan kini dua perahu itu bergandeng dan mereka berempat mulai berkelahi dengan seru. Dua orang seniman itu menggunakan dayung, dibantu tangan yang melencarkan pukulan-pukulan ampuh dengan tangan baja mereka, sedangkan dua orang tukang pancing itu menggunakan pedang. Dua buah perahu yang digandeng dengan jangkar dan talinya itu bergoyang-goyang keras dan setiap saat perahu-perahu itu dapat saja terguling.
Kaisar Ceng Tek yang perahunya berada tak jauh dari situ terkejut mendengar suara gaduh dan makin kagetlah dia melihat empat orang laki-laki sedang saling serang dengan hebatnya. Dia adalah seorang pemuda yang suka bertualang. Karena tidak tahu persoalannya, mengira bahwa perkelahian itu tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya, sang kaisar bangkit berdiri di perahunya dan menonton dengan gembira! Satu di antara kesukannnya adalah menyaksikan pertandingan silat dan kini dia disuguhi pertandingan yang seru dan menarik di atas dua buah perahu yang digandeng menjadi satu, antara empat orang kakek yang agaknya memiliki ilmu silat yang hebat.
"Ceppp...!" Perahu kecil itu terguncang dan sang kaisar hampir saja terpelanting. Dia cepat duduk dan berpegang kepada tepi perahu sambil menggerakkan dayungnya mencegah agar perahunya tidak terguling. Kiranya setelah dia duduk, dia melihat betapa sebatang anak panah yang besar telah menancap di badan perahunya dan gagang anak panah itu diikat sehelai tali dan kini perahunya bergerak, ditarik oleh sebuah perahu lain di depan yang ditumpangi oleh dua orang laki-laki bertubuh tegap!
"Heiii, apa-apaan ini? Lepaskan perahuku!" Sang kaisar berteriak marah.
"Tenanglah saja, sri baginda!" Terdengar suara di belakangnya. Kaisar Ceng Tek cepat menengok dan ternyata di sebelah belakang perahunya terdapat tiga buah perahu lain yang masing-masing didayung oleh dua orang laki-laki tegap dan nampak gagah. Ternyata yang berusaha menculiknya ada empat perahu dengan delapan orang, tidak termasuk dua orang kakek yang sedang bertanding melawan dua orang bercaping itu.
Kaisar Ceng Tek bukanlah seorang anak kecil. Dia tahu bahwa dirinya sudah berada dalam kekuasaan para penculiknya. Tidak ada jalan meloloskan diri karena mereka itu sudah mengenal siapa dia. Untuk berteriak-teriak, selain belum tentu akan ada yang berani menolong, juga betapa mudahnya bagi para penculiknya itu untuk membunuhnya kalau mereka kehendaki. Jalan satu-satunya hanyalah menyerah saja sambil melihat bagaimana perkembangannya. Dia juga tahu bahwa mereka tentu tidak berniat membunuhnya, karena kalau demikian halnya, perlu apa mereka itu bersusah-susah hendak menawannya? Tidak nampak ada petugas jaga di tempat itu, maka tidak ada yang diharapkannya untuk dapat menolongnya dari orang-orang ini.
Kini perahu sang kaisar telah ditarik ke pinggir telaga dan dua orang meloncat ke dalam perahu kecil itu.
"Harap paduka menyerah saja dan menurut kehendak kami daripada paduka harus dipaksa dengan kekerasan," kata seorang di antara mereka yang tertua, berusia lima puluh tahun lebih dan memegang pedang. "Mari kita mendarat."
Kaisar Ceng Tek mengangkat bahu, bersikap tenang biarpun jantungnya berdebar penuh ketegangan, bahkan ada sedikit kegembiraan karena petualangannya ini sungguh amat menarik, lalu diapun melangkah keluar dari perahu dan mendarat. Akan tetapi, pada saat delapan orang itu mendarat semua, tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring.
"Tikus-tikus bosan hidup!" tiba-tiba saja, seperti setan, muncul seorang wanita yang mukanya berkedok hitam tipis, menyembunyikan bentuk mukanya dan yang tampak hanya sepasang mata yang liar, hidung kecil dan mulut lebar yang giginya besar-besar putih. Begitu muncul, tangan kirinya bergerak dan sinar-sinar halus menyambar ke arah orang-orang Kang-jiu-pang itu.
"Awas senjata rahasia!" teriak orang tertua. Para anggauta Kang-jiu-pang yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi itu cepat berloncatan mengelak. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa mengejek.
"Ha-ha-ha, orang-orang Kang-jiu-pang hendak berlagak!" Dan muncul pula seorang kakek tinggi besar bermuka hitam kasar dan penuh brewok. Kakek ini memegang sebatang pecut baja yang panjang dan pada ujungnya terdapat paku besar. Mata kakek ini bulat, hidungnya besar dan mulutnya lebar. Pakaiannya jorok dan kotor.
Melihat munculnya dua orang ini, delapan orang Kang-jiu-pang terkejut bukan main. Mereka segera mengenal kakek Koai-pian Hek-mo dan nenek Hwa-hwa Kui-bo, dua orang datuk kaum sesat di muara Huang-ho dan mereka juga merasa heran karena tidak biasa dua orang datuk sesat ini turun tangan mengacaukan dunia.
"Ji-wi locianpwe, harap jangan mencampuri urusan dalam Kang-jiu-pang. Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan ji-wi atau dengan golongan ji-wi!" kata orang tertua dari Kang-jiu-pang dengan sikap hormat untuk menghindarkan bentrokan dengan dua orang datuk kaum sesat ini. Dan memang, mereka sedang melaksanakan tugas yang tidak ada hubungannya dengan golongan manapun, sehingga tidak perlu menimbulkan perkelahian yang hanya akan menghalangi pekerjaan mereka.
"Ha-ha-ha!" Koai-pian Hek-mo tertawa mengejek, sehingga nampak giginya yang kuning kotor. "Kalian hendak menculik kaisar dan masih bilang urusan dalam? Ha-ha, kami memang tidak ada sangkut-pautnya, akan tetapi Liu-thaikam tentu tidak akan membiarkan begitu saja!"
Mendengar ucapan ini, terkejutlah orang-orang Kang-jiu-pang itu. Kiranya Liu-thaikam sudah bertindak sedemikian jauhnya sehingga berani mempergunakan datuk-datuk kaum sesat untuk menjadi antek-antek dan kaki tangannya! Maka, sambil mengeluarkan seruan marah, para murid Kang-jiu-pang lalu menerjang maju, menyerang kakek dan nenek iblis itu!
Dua orang kakek dan nenek iblis itu tertawa mengejek. Karena orang-orang Kang-jiu-pang itu, sesuai dengan nama perguruannya, sudah melatih kedua tangan mereka yang berwarna gelap, maka mereka biasanya berkelahi mengandalkan kedua tangan itu. Melihat ini, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo yang mempertahankan gengsi mereka sebagai datuk kaum sesat, tidak mempergunakan senjata mereka. Nenek itu tidak mencabut pedangnya, dan Koai-pian Hek-mo malah menyimpan cambuk bajanya dan mereka menyambut serangan tujuh orang murid Kang-jiu-pang dengan tangan kosong pula.
Para murid Kang-jiu-pang memiliki sepasang tangan yang terlatih, kuat dan antep pukulan mereka. Akan tetapi sekali ini mereka menghadapi dua orang lawan yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi, maka biarpun tujuh orang mengeroyok dua orang, tetap saja para murid Kang-jiu-pang itu kewalahan dan beberapa orang di antara mereka sudah beberapa kali jatuh bangun terkena serempetan tangan atau kaki dua orang iblis itu. Adapun murid tertua yang tadi menjadi wakil pembicara, tidak ikut mengeroyok, melainkan dengan pedang di tangan menjaga sang kaisar yang menonton dengan heran dan kagum. Dia merasa heran mengapa orang-orang yang kelihatannya seperti pendekar-pendekar ga-gah menculiknya, dan kini dua orang yang seperti iblis jahat malah melindunginya, dan dia kagum melihat kelihaian dua orang iblis itu.
Murid Kang-jiu-pang yang menjaga kaisar melihat kenyataan betapa para sutenya tidak akan menang menghadapi dua orang datuk kaum sesat itu. Dia adalah seorang yang cerdik. Begitu mendengar bahwa mereka berdua itu adalah kaki tangan Liu-thaikam, diapun maklum bahwa tentu saja mereka berusaha mati-matian melindungi kaisar. Kalau terjadi apa-apa dengan kaisar hal itu berarti akan amat merugikan thaikam itu, bahkan mungkin akan meruntuhkan kekuasaannya yang hanya sementara itu.
"Berhenti, atau kubunuh kaisar...!" Tiba-tiba dia membentak dan menodongkan pedangnya yang ditempel pada leher kaisar muda itu. Sang kaisar hanya terbelalak pucat karena kedua pergelangan tangannya sudah ditangkap oleh tangan kiri murid Kang-jiu-pang itu sedangkan lehernya ditempeli pedang yang tajam. Tak mungkin melepaskan diri dari cengkeraman tangan kiri yang amat kuat itu.
Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo terkejut dan mereka terpaksa meloncat mundur dan dengan mata terbelalak kehabisan akal mereka melihat betapa kaisar telah ditodong oleh seorang murid Kang-jiu-pang. Nekat menyerbu akan membahayakan nyawa kaisar dan kalau sampai terjadi sesuatu menimpa kaisar, mereka akan takut akan kemarahan Iblis Buta.
Akan tetapi pada saat itu murid Kang-jiu-pang yang menodong kaisar tiba-tiba mengeluh dan terguling pingsan, pedangnya terlepas dari pegangan. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu muncul seorang pemuda yang tadi melemparkan sebuah batu kerikil kecil yang tepat mengenai tengkuk murid Kang-jiu-pang dan membuatnya roboh pingsan itu dan pemuda ini sekarang berdiri di dekat kaisar dengan sikap hormat dan berkata lembut, "Harap paduka jangan khawatir, sri baginda."
Melihat betapa kaisar telah terlepas dari ancaman bahaya, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi girang sekali, dan mereka juga marah kepada para murid Kang-jiu-pang yang tadi sudah membuat mereka terkejut dan bingung. Keduanya lalu mencabut senjata masing-masing lalu mengamuk. Kasihan para murid Kang-jiu-pang itu. Melawan dua orang iblis ini dalam keadaan tangan kosong saja mereka sudah kewalahan, apalagi harus melawan mereka yang menggunakan senjata keistimewaan mereka. Koai-pian Hek-mo menggerakkan cambuk bajanya yang berujung paku itu dan dalam waktu belasan jurus saja empat orang pengeroyok roboh dan tewas dengan kepala berlubang tertusuk paku. Juga Hwa-hwa Kui-bo mengamuk dan tiga orang pengeroyok lainnya tewas oleh bacokan dan tusukan pedangnya. Nenek ini merasa tidak puas karena dalam perkelahian ini, korbannya kalah banyak oleh Koai-pian Hek-mo, maka tangan kirinya bergerak dan belasan batang jarum beracun meluncur dan menancap ke leher dan dada murid Kang-jiu-pang yang masih pingsan, yaitu yang tadi menodong kaisar dan dirobohkan oleh pemuda yang baru datang. Dengan demikian, mereka berdua telah membunuh delapan orang murid Kang-jiu-pang itu, seorang empat!
Kini dua orang kakek dan nenek iblis itu memandang kepada pemuda yang telah menyelamatkan kaisar dan keduanya tertegun kagum. Seorang pemuda yang tampan dan ganteng! Karena dua orang ini memang memiliki watak cabul dan keduanya suka kepada pemuda ganteng, maka wajah mereka berseri dan nenek berkedok itu tersenyum-senyum, mulutnya yang lebar terbuka dan nampaklah deretan gigi putih yang besar-besar.
Pemuda itu memang ganteng. Tubuhnya tinggi besar dan tegap, dengan dada bidang dan pinggang kecil, tubuh yang membayangkan kekuatan dahsyat, wajahnya yang tampan itu berseri dan cerah, agaknya gembira selalu. Bibirnya yang berbentuk bagus dan gagah itu selalu tersenyum dan sepasang mata yang jernih dan tajam itupun selalu berseri gembira. Akan tetapi pakaian pemuda ini sembarangan saja, kedodoran dan agaknya dia jauh daripada pesolek. Biarpun pakaiannya sederhana kedodoran, namun pakaian itu tidak dapat menyembunyikan tubuhnya yang padat berisi dan kuat. Pemuda berusia dua puluh satu tahun ini memang amat menarik, merupakan seorang pemuda tampan gagah yang agaknya selalu bergembira. Ketika tadi dia menyelamatkan kaisar dan melihat betapa sepasang iblis itu membunuhi delapan orang musuh, dia hanya mengerutkan alisnya yang hitam tebal tanpa menghilangkan senyumnya. Dia hanya berkewajiban menyelamatkan kaisar, dan urusan antara delapan orang itu dengan dua iblis ini bukanlah urusannya dan dia tidak ingin mencampuri.
Pada saat itu, dua orang pengawal rahasia kaisar, yaitu dua orang perwira yang tadi menyamar sebagai dua orang tukang pancing kemudian diserang oleh dua orang tokoh Kang-jiu-pang yang me-nyamar sebagai dua orang seniman, datang berlarian dengan pakaian basah kuyup. Mereka kelihatan gembira sekali melihat kaisar dalam keadaan selamat dan mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kaisar.
"Hamba berdua menghaturkan selamat kepada paduka yang telah terbebas dari ancaman bahaya berkat pertolongan orang-orang gagah ini," kata seorang di antara mereka.
Kaisar Ceng Tek merasa jengkel melihat penyamarannya dikenal orang. Rahasianya telah terbuka dan tidak ada gunanya lagi berpura-pura, maka diapun mengerutkan alisnya bertanya, "Kalian siapa?"
"Hamba berdua adalah perwira pengawal yang diutus oleh Liu-taijin untuk melindungi paduka. Ampunkan, hamba yang hampir gagal melindungi paduka."
"Sudahlah, ceritakan apa yang telah terjadi!" kata kaisar tak sabar.
"Hamba berdua menyamar sebagai tukang-tukang pancing melindungi paduka. Tiba-tiba ada dua orang, agaknya tokoh-tokoh yang menyamar pula, menabrakkan perahunya kepada perahu hamba dan terjadilah perkelahian. Ternyata mereka berdua itu hanya menghalangi hamba berdua agar tidak dapat mencegah ketika kawan-kawan mereka menculik paduka dan menarik perahu paduka. Hamba berdua melawan mati-matian sampai perahu kami semua terguling. Mereka lalu melarikan diri sambil berenang ketika melihat betapa usaha kawan-kawan mereka gagal. Dan hamba berdua sempat menyaksikan betapa paduka diselamatkan oleh tiga orang gagah ini."
Kaisar ini menghadapi kakek dan nenek itu dan diam-diam hatinya bergidik. Dua orang ini seperti iblis saja. "Siapakah kalian?" tanyanya singkat.
Biarpun dua orang itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang biasanya bersikap tidak acuh dan tidak memperdulikan sopan santun, kini setelah mereka tahu bahwa mereka berhadapan dengan kaisar, keduanya merasa canggung dan juga gentar. Mereka saling pandang, merasa tidak enak kalau harus memperkenalkan julukan mereka yang menyeramkan. Apaiagi nenek itu, merasa tidak sanggup untuk menjawab dan dengan pandang matanya di balik kedok, ia menyerahkan saja jawabannya kepada rekannya! Hampir saja Koai-pian Hek-mo memaki melihat kelicikan nenek itu, akan tetapi dia tidak berani sembrono lalu menjura.
"Kami berdua ingin membantu usaha Liu-thaikam yang hendak melindungi paduka dan mereka ini adalah orang-orang Kang-jiu-pang yang memberontak. Kami berdua sekarang juga akan menyerbu ke sarang Kang-jiu-pang dan akan kami basmi sampai habis semua anggautanya!"
Kaisar mengerutkan alisnya. Dia tidak senang dengan bunuh-bunuhan ini, dan tadipun melihat delapan orang itu terbunuh, dia sudah merasa muak, biarpun delapan orang itu tadi berusaha untuk menculiknya. Maka tanpa mengeluarkan komentar diapun lalu menoleh kepada pemuda tampan yang pakaiannya nyentrik itu.
"Dan engkau siapa?"
Pemuda itu menjura dengan sikap hormat. "Hamba adalah pelancong yang kebetulan lewat dan melihat paduka, yang tadinya tidak hamba sangka adalah sri baginda dan baru hamba ketahui setelah mendengarkan percekcokan mereka, terancam bahaya, hamba merasa berkewajiban untuk menyelamatkan paduka dari ancaman bahaya."
Kaisar semakin jengkel. Orang-orang ini adalah orang-orang kang-ouw yang dia tahu berwatak aneh-aneh. Orang-orang Kang-jiu-pang yang seperti pendekar-pendekar itu, ternyata malah menculiknya. Dua kakek dan nenek iblis yang kelihatan kejam ini malah menyelamatkannya, dan pemuda yang pakaiannya tidak karuan inipun agaknya enggan memperkenalkan nama. Ah, diapun tidak ingin berkenalan dengan segala macam petualang itu. Maka diapun berpaling kepada dua orang perwira pengawal, "Mari, antar aku pulang, aku lelah sekali!" Tanpa banyak cakap dan tanpa menoleh lagi kepada kakek dan nenek iblis, juga kepada pemuda tampan itu, kaisar lalu meninggalkan tempat itu, diiringkan oleh dua orang pengawalnya.
Setelah kaisar pergi, nenek itu terkekeh. "Huh-huh, begitu sajakah kaisar? Tak mengenal budi! Eh, orang muda, engkau tadi sudah membantu kami, sungguh engkau merupakan sahabat yang baik!"
"Kaisar tidak minta dilindungi, kenapa engkau mengomel?" Koai-pian Hek-mo mencela nenek itu, kemudian dilanjutkan kepada si pemuda, "Orang muda yang gagah, siapakah engkau dan dari perguruan mana? Aku suka sekali bersahabat denganmu!"
"Jangan percaya omongannya! Paling-paling engkau akan dijadikan teman tidurnya!" Hwa-hwa Kui-bo mengejek.
"Wah, masih jauh lebih baik daripada menjadi pacar nenek seperti tua bangka ini!" Koai-pian Hek-mo membalas dan keduanya berdiri berhadapan dengan sikap beringas.
Pemuda itu tersenyum. "Ha-ha, sungguh lucu sekali kalian ini. Kalau aku tidak salah, engkau tentulah Koai-pian Hek-mo dan engkau ini Hwa-hwa Kui-bo, dua orang datuk muara Huang-ho yang terkenal itu, bukan?"
"Bagus engkau sudah mengenal namaku, orang muda. Engkau ikutlah aku dan menjadi muridku yang terkasih!" kata Koai-pian Hek-mo sambil menatap wajah yang tampan itu.
"Engkau menjadi muridku saja, dan apapun yang kauminta tentu terlaksana."
"Wah, bingung aku. Kalian berdua sama-sama hebat, sama-sama lihai, berat hatiku memilih yang mana. Tentu aku akan senang sekali menjadi murid kalian. Bagaimana kalau kalian berebut saja? Bertanding untuk menentukan siapa yang berhak menjadi guruku? Yang menang itulah guruku!" kata si pemuda sambil tertawa.
"Bagus!" Hwa-hwa Kui-bo berseru dan nenek yang agaknya sudah ingin sekali segera dapat memiliki pemuda yang mengairahkan hatinya itu tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang Koai-pian Hek-mo dengan pedangnya! Kakek itupun menjadi marah dan cepat dia menangkis dengan pecut bajanya dan balas menyerang. Dua orang kakek dan nenek ini sudah saling serang dengan hebat dan mati-matian untuk memperebutkan pemuda tampan yang menarik hati itu tanpa menyelidiki lebih dulu siapa adanya pemuda yang baru saja mereka jumpai itu. Ada dua puluh jurus lewat mereka saling serang dan baru mereka melihat bahwa pemuda yang menjadi sebab perkelahian mereka itu ternyata sudah tidak ada lagi di situ, telah pergi dengan diam-diam tanpa mereka ketahui karena mereka hanya mencurahkan perhatian untuk mencari kemenangan!
"Celaka, kita tertipu!" bentak Koai-pian Hek-mo sambil meloncat mundur.
"Engkau tua bangka, kenapa tidak mau mengalah sampai dia pergi tanpa kuketahui siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya?"
"Bagaimanapun juga, dia tadi telah membantu kita. Tentu dia seorang di antara sahabat dan kelak kita tentu akan bertemu lagi. Mari kita lanjutkan tugas panting kita!"
"Tapi aku belum kalah!" tantang si nenek.
"Akupun belum!"
"Mari kita lanjutkan!"
"Hushhh! Ingin kulaporkan kepada lojin bahwa engkau tidak mentaati perintah?"
"Sialan! Mulut runcing!" si nenek mengomel, akan tetapi hatinya gentar juga. Paling ngeri kalau orang sudah menyebut lojin dan iapun tidak berani lagi banyak cakap. Mereka lalu mempergunakan ilmu berlari cepat menuju ke Cin-an untuk mengunjungi sarang Kang-jiu-pang.
Menjelang senja, kakek dan nenek iblis itu tiba di luar pintu gerbang sarang Kang-jiu-pang. Sebagai rumah perkumpulan persilatan, tempat itu dikelilingi tembok tebal seperti benteng dan di luar pintu gerbang yang besar itu terjaga oleh bebeapa orang pemuda anggauta Kang-jiu-pang. Ketika dua orang datuk kaum sesat itu tiba di situ, mereka tidak berani sembarangan bergerak. Keduanya sudah lama mengenal perkumpulan ini dan maklum bahwa perkumpulan itu dipimpin oleh Song Pak Lun yang lihai sekali, terutama sekali kedua "tangan baja" yang telah dilatihnya secara sempurna itu. Juga mereka tahu bahwa perkumpulan ini memiliki murid atau anggauta yang puluhan orang jumlahnya. Maka, keduanya lalu menghampiri pintu gerbang, hendak mengambil tindakan secara terbuka karena bagaimanapun juga, mereka merasa berada di pihak pemerintah yang menghadapi pemberontak, jadi tentu saja mereka berdua merasa mendapat angin.
Ternyata bahwa kedatangan mereka itu sudah dinanti oleh tuan rumah. Buktinya, ketika mereka tiba di depan pintu gerbang, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki tua, berusia kurang lebih enam puluh tahun, gagah perkasa dan bertubuh kokoh kuat dan sikapnya tenang dan angker. Inilah Song Pak Lun sendiri, ketua Kang-jiu-pang yang agaknya tidak ingin menerima tamu yang sudah membunuh delapan orang anak buahnya itu di dalam rumah, melainkan hendak menerimanya di luar tembok pintu gerbang! Di sampingnya berjalan dua orang kakek yang tadi menyamar sebagai pelukis dan penyair, yang berhasil menyelamatkan diri untuk membawa berita yang amat pahit itu, ialah bahwa bukan saja tugas anak buah Kang-jiu-pang untuk menculik kaisar itu gagal, bahkan delapan orang anak buah perkumpulan mereka tewas secara mengerikan dalam tangan dua orang datuk sesat.
Sejenak kedua pihak hanya saling pandang saja. Song Pak Lun tidak memperlihatkan kedukaan atau kemarahan berhubung dengan kematian murid-muridnya dan kegagalan usahanya.
"Sejak kapan Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi antek pembesar lalim Liu-thaikam?" demikian sambutan Song Pek Lun ketika kedua orang iblis itu nampaknya tidak sabar lagi.
Kakek dan nenek itu melirik ke depan dan kanan kiri, melihat betapa ketua Kang-jiu-pang itu diikuti oleh murid-murid kepala dan juga semua murid yang jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang. Semua murid atau anggauta Kang-jiu-pang itu kelihatan marah dan mendendam kepada mereka berdua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar