04 Siluman Goa Tengkorak

[1] [2] [3] [4] [5] [6]

Para anak buah perkumpulan itupun sudah mengurung tempat itu dan bersiap-siaga, bahkan ada sepuluh orang yang berderet dengan busur dan anak panah siap diluncurkan. Semua ini tidak terlepas dari pandang mata Thian Sin. Dia maklum bahwa dia akan mengha-dapi pengeroyokan dan karena dia belum tahu sampai di mana kelihaian Sian-su, juga para pendekar yang mabok berahi itu, maka keadaannya cukup berbahaya. Apa lagi dia berada di pusat tempat rahasia itu yang banyak mengandung perangkap-perangkap. Maka diapun tidak mau menjatuhkan tangan maut. Tepat seperti yang diduga oleh Sian-su, kini Thian Sin memperlihatkan ke-pandaiannya dan lima orang itu, walaupun semua-nya bersenjata, terdesak hebat. Setiap tangkisan itu membuat mereka terhuyung dan semua serangan mereka tidak ada gunanya sama sekali, kalau tidak terpental oleh tangan pemuda itu, tentu hanya mengenai tempat kosong saja, se-baliknya setiap tamparan tangan pemuda itu, baru angin pukulannya saja membuat mereka kewalahan. Tiba-tiba Thian Sin berteriak, "Pergilah kalian!" Dan kaki tangannya bergerak cepat sekali. Terdenqar suara berkerontangan dan nampak lima ba-tang pedang terlempar ke sana-sini sedangkan lima orang itupun terjengkang dan terpelanting ke kanan kiri! Mereka tidak terluka parah, akan tetapi senjata mereka terlepas dari tangan dan tubuh mereka terpelanting, ini sudah merupakan bukti cukup bahwa mereka telah kalah! Sian-su, pendeta siluman itu, kini melepaskan rangkulan dari pinggang ramping kekasihnya, dan sekali melompat dia sudah berhadapan dengan Thian Sin.

"Siancai, siancai...! Pendekar Sadis memang benar tangguh, cukup pantas untuk menjadi lawan-ku! Mari kita main-main sebentar, taihiap!" Thian Sin melihat perobahan pada sikap para pengikut agama yang datang mendekat.

Melihat betapa Sian-su sendiri yang maju, agaknya mereka-pun merasa penasaran dan di antara mereka bah-kan ada yang sudah melepaskan rangkulan mereka kepada gadis pasangan mereka masing-masing dan mereka bersikap mengancam. Akan tetapi pada saat itu, pendeta siluman itu sudah menerjangnya dengan pukulan yang cukup dahsyat. Sebelum tangannya tiba, sudah ada angin pukulan yang dahsyat menyambar dan ini saja menunjukkan bahwa pendeta siluman itu memiliki tenaga sin-kang yang kuat sekali. Thian Sin juga tidak mau main-main lagi dan dia sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang untuk menangkis. Thian-te Sin-ciang (Tangan Sakti Langit Bumi) ini adalah penghimpunan sin-kang yang luar biasa kuatn-ya, yang membuat kedua tangan pemuda itu mampu menangkis senjata tajam tanpa terluka, me-rupakan satu di antara sekian banyak ilmu luar biasa yang dikuasainya. Kini, menghadapi lawan yang diketahuinya amat tangguh, Thian Sin tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan ilmunya ini untuk menandingi tenaga dalam lawannya. "Dukk!" Pertemuan dua tenaga sakti yang amat hebat itu terasa oleh semua orang yang menjadi penonton. Ada getaran hebat menyambar ke sekeliling tempat itu. Thian Sin sendiri merasa betapa tubuhnya terguncang yang memaksa dia melangkah mundur dua tindak, akan tetapi Siansu itu sendiri juga terhuyung ke belakang.

"Hebat...!" Sian-su memuji, bukan pujian kosong karena dia benar-benar merasa kagum dan semakin besar keinginannya untuk dapat menarik pemuda sehebat ini sebagai sekutunya atau pembantunya. Tentu kedudukannya akan menjadi ma-kin kuat kalau dia dapat menarik pemuda ini menjadi sekutunya. Kini dia menyerang lagi dan dia mengerahkan gin-kangnya. Diam-diam Thian Sin terkejut bukan main.

Kiranya siluman ini adalah seorang ahli gin-kang yang hebat! Kim Hong tentu tertarik sekali melihat ini, karena Kim Hong sendiri adalah orang ahli gin-kang yang sukar di-cari bandingnya. Dan agaknya, pendeta siluman ini benar-benar hebat sekali ilmunya meringankan tubuh sehingga tubuhnya berkelebatan sepert terbang saja. Thian Sin harus mengakui bahwa biarpun belum tentu siluman ini dapat menandingi Kim Hong dalam hal ilmu meringankan tubuh, namun dia sendiri masih kalah setingkat oleh pendeta siluman ini! Maka diapun lalu mainkan Ilmu Thai-kek Sin-kun, ilmu yang memiliki dasar amat kuat sehingga biarpun diserang dari jurusan manapun dengan kecepatan yang bagaimanapun, dengan ilmu ini dia dapat menjaga diri dan bahkan balas menyerang dengan tidak kalah hebatnya. Dengan ilmu silat ini, maka boleh dibilang kemenangan pendeta siluman itu dalam hal kecepatan dapat dipunahkan. Setelah lewat lima puluh jurus, agaknya pendeta siluman itu sudah puas dan kagum sekali. Dalam lima puluh jurus dia tidak mampu mengalahkan pemuda ini bahkan kalau dilanjutkan, belum tentu dia akan menang. Maka tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring dan tangannya menampar ke arah kepala Thian Sin. Pemuda itu menangkisnya.

"Plakk! Brettt...!" Ujung lengan baju Thian Sin terobek karena begitu tertangkis, pendeta si-luman itu merobah tangannya menjadi cengkeraman yang bergerak ke bawah mencengkeram pergelangan tangan Thian Sin, akan tetapi berkat tenaga Sin-ciang, cengkeraman itu meleset dan hanya merobek ujung lengan baju.

"Ha-ha-ha, lengan bajumu robek, taihiap!" Sian-su berkata sambil mengangkat robekan itu ke atas dan memandang penuh rasa puas karena robekan lengan baju itu dapat dijadikan bukti bahwa dia telah menang setingkat.

Akan tetapi, pandang mata Thian Sin ke arah jubahnya membuat dia menunduk dan melihat ke arah dadanya dan terkejutlah dia melihat betapa kain jubah di bagian dadanya berlubang dan kini robekan kain putih itu berada di tangan Thian Sin! Kalau saja tidak ada topeng tengkorak yang menutupi, tentu akan nampak wajah itu merah sekali. Saking merasa malu, pendeta siluman itu menjadi marah dan diapun sudah menyerang lagi dengan ganas. Thian Sin menyambutnya dengan tenang dan untuk kedua kalinya, ketika lengan mereka beradu, pendeta siluman itu terhuyung ke belakang sedangkan Thian Sin hanya terdorong mundur dua langkah saja. Hal ini membuat pendeta siluman itu mengambil keputusan untuk mempergunakan ilmu sihirnya. Dia berdiri tegak dan menggerakkan kedua tangan ke atas kepala, bertepuk tangan di atas kepalanya. Ketika kedua telapak tangan itu bertemu, terdengar suara seperti ledakan nyaring dan nampak asap mengepul dari kedua tangan itu. "Ceng Thian Sin, berani engkau melawanku? Lihat, siapakah sebenarnya aku? Aku adalah Thian-liong-ong (Raja Naga Langit)yang menjelma!" Memang hebat kekuatan sihir pendeta siluman itu. Biarpun sihirnya ditunjukkan kepada Thian Sin, akan tetapi semua orang yang berada di situ melihat betapa bentuk Sian-su kini telah berobah. Tubuhnya menjadi tinggi besar dan pakaiannya seperti pakaian raja, yang hebat adalah kepalanya karena kepala yang biasanya memakai topeng tengkorak itu kini berobah menjadi kepala naga! Benar-benar seperti gambar atau patung. Raja Naga Langit! Di antara mereka yang melihat ini segera menjatuhkan diri berlutut saking takutnya. Akan tetapi, Thian sin yang tadi merasa ada-nya kekuatan mujijat yang menyerang panca inderanya, cepat mengerahkan batin dan mempegunakan tenaga batin untuk melawan dan tentu saja dia sebagai orang yang pernah mempelajari ilmu sihir di Himalaya tidak terpengaruh setelah dia mengerahkan tenaga batinnya, dan bagi pandang matanya, pendeta siluman itu tetap sama saja dengan tadi! Ingin dia mentertawakan lawan dan menghinanya, mengatakan bahwa ilmu main sulap itu hanya dapat mengelabui kanak-kanak saja. Akan tetapi Thian Sin adalah seorang yang cerdik sekali.

Dia tahu bahwa banyak orang yang tidak berdosa d tempat ini, yang menurut semua kehen-dak pendeta siluman ini karena kekuatan sihir atau mungkin juga obat dalam minuman. Mereka ini tidak berdosa dan sepatutnya kalau dibebaskan dari pengaruh pendeta siluman ini. Akan tetapi, kalau dia mempergunakan kekerasan, mungkin dia akan gagal. Dia sudah mengukur ilmu silat lawan itu yang benar-benar tangguh. Dia yakin tidak akan kalah terhadap Sian-su, akan tetapi kalau para pembantunya maju mengeroyok, juga kalau para pendekar yang menjadi pengikut agama itu ikut pula turun tangan, mungkin sekali dia akan celaka. Apa lagi kalau diingat bahwa dia belum berhasil membebaskan orang-orang yang tidak berdosa, juga bahwa dia masih berada di pusat sarang musuh yang berbahaya, maka kekerasan bukanlah jalan untuk mencapai kemenangan.

Thian Sin lalu menunduk dan menjura seolah-olah memberi hormat kepada "dewa" itu, lalu berkata dengan suara membela diri, "Terpaksa saya harus melawan menghadapi siapapun juga kalau keselamatan dan nyawa saya terancam." "Ceng Thian Sin, siapa bilang bahwa nyawamu terancam? Sian-su bermaksud baik denganmu, berniat untuk mengajakmu bekerja sama!" berkata "Raja Naga Langit" itu dan bagi pendengaran semua orang kecuali Thian Sin, suara itupun berbeda dengan suara Sian-su.

Kembali Thian Sin menjura dengan hormat. "Kalau benar demikian, tentu saja saya bersedia untuk berdamai dan bicara."

"Bagus! Bagus sekali!" Manusia berkepala naga itu lalu bertepuk tangan, terdengar ledakan keras disusul asap mengepul dan ketika asap menghilang, di situ telah berdiri Sian-su dengan sikapnya yang tenang.

eng-taihiap, kami telah mendengar ucapanmu tadi dan kami merasa gembira sekali. Mari, silahkan duduk dan mari kita bicara dengan baik-baik." Dia mempersilahkan dan mengajak Thian Sin duduk kembali. Pesta dilanjutkan dan melihat betapa pemuda itu tidak suka menyaksikan adegan-adegan cabul di situ, Sian-su lalu mengajaknya menuruni anak tangga dan bicara di sebuah ruangan lain. Belasan orang anak buah Sian-su ikut pula mengawal, tentu dengan maksud untuk mengeroyok apa bila pemuda itu memberontak.

Setelah mereka duduk, Sian-su lalu memberi "kuliah" kepada Thian Sin tentang pelajaran di dalam agamanya yang baru, yang bendak membebaskan manusia dari pada rasa takut akan kematian, dan menjanjikannya kesenangan setelah mati nanti, juga menceritakan bahwa semua kecabulan yang dilihat pemuda itu adalah suatu cara untuk menundukkan nafsu dengan jalan membiarkan nafsu-nafsu itu menggelora dan kemudian mati sendiri. Thian Sin mendengarkan dengan setengah hati saja, akan tetapi dia pura-pura tertarik sekali dan menanggapinya sambil mengangguk-angguk.

"Kami memberikan kesenangan dunia akhirat kepada para pengikut kami," demikian pemimpin agama itu mengakhiri kuliah dan penjelasannya tentang agamanya.

"Dan imbalan apakah yang harus diberikan oleh para pengikut?" -Thian Sin bertanya dengan sikap seolah-olah dia tertarik sekali untuk menjadi pengikut pula.

"Siancai...! Untuk pekerjaan suci, kami tidak memiliki pamrih untuk kepentingan diri-sendiri. Kami tidak menuntut imbalan, kecuali kesetiaan. Kalu para pengikut hendak menyumbang demi kemajuan agama kita, dan untuk membuat pembangunan-pembangunan, hal itu adalah suka rela. Akan tetapi, walaupun kami tahu bahwa Ceng-taihiap adalah seorang yang kaya raya, buktinya melihat sumbanganmu tadi, namun kami bukan mengharapkan bantuan harta darimu."

"Habis, bantuan apa?"

"Bantuan kerja sama dalam bentuk tenaga dan kepandaian silat taihiap. Hendaknya taihiap ketahui bahwa usaha kami ini banyak mendapat tentangan dari agama-agama lain dan sudah sering kali kami mereka cari dan mereka bermaksud membasmi kami. Oleh karena itu, taihiap bukan kami anggap sebagai pengikut biasa, melainkan sekutu kami, sebagai seorang di antara kami dan kalau taihiap dapat memenuhi harapan kami ini, percayalah bahwa dengan segala kemampuanku, taihiap akan menjadi orang pertama sesudah aku untuk berkenalan secara langsung dengan Dewa Kematian."

"Ahhh...!" Thian Sin pura-pura merasa girang sekali. "Aku akan girang sekali!" "Akan tetapi, untuk itu kami harus benar-benar dapat dipercaya kepadamu, dan ini ada syaratnya."

"Syaratnya?"

"Menurut pelaporan anak buah kita, ada lima orang pendekar dari agama lain yang sedang menyelidiki tempat kita ini. Mereka merupakan bahaya bagi kita, maka aku minta kepadamu untuk menghadapi mereka dan membasmi mereka. Sanggupkah engkau, Ceng-taihiap?" Thian Sin mengangkat muka dan memandang tajam, bertemu dengan pandang mata lawan yang penuh selidik. Dia berhadapan dengan orang yang cerdik pula.

"Sian-su, aku masih dalam taraf percobaan, bagaimana engkau sudah begitu percaya kepadaku? Apakah engkau tidak khawatir kalau aku berkhianat setelah aku tiba di luar tempat ini?" Wajah di balik topeng tengkorak itu tertawa.

"Apa boleh buat kami harus menghadapi resiko itu! Kalau taihiap benar-benar mau bekerja sama dengan kami, kami merasa beruntung sekali. Sebaliknya, andaikata taihiap berbalik pikir, kamipun tidak bisa berbuat apa-apa. Akan tetapi belum tentu taihiap akan mampu menemukan kembali tempat rahasia kami, dan di sini banyak terdapat perangkap-perangkap rahasia yang akan mampu membendung serbuan ratusan orang. Selain itu, andaikata mereka mampu menyerbu masuk, kamipun dapat saja setiap waktu meloloskan diri, pin-dah mencari tempat lain, membawa semua barang suci dan berharga, dan terpaksa kami harus meninggalkan para wanita itu dalam keadaan sempurna."

Karena ada penekanan kata-kata aneh dalam kalimat terakhir, Thian Sin curiga. "Dalam keadaan sempurna bagaimana maksudmu?"

Pendeta siluman itu menggerakkan pundak. "Yaahh, menyerahkan mereka kepada Dewa Kematian sebagai korban, apa lagi? Kami terpaksa, karena membawa mereka yang lemah untuk melarikan diri tidaklah mungkin, dan membiarkan mereka hidup-hidup tertawan musuh juga amat berbahaya bagi kami."

"Engkau akan membunuh puluhan orang gadis itu?" Hampir Thian Sin berteriak.

"Ahhhh, nanti dulu, taihiap. Bukan membunuh, melainkan mengorbankan mereka kepada Dewa Kematian. Mereka akan mendapatkan kesenangan di sana, dan Dewa Kematian akan berterima kasih sekali kepada kami..." Thian Sin tidak bertanya lagi. Dia maklum apa artinya itu. Wanita-wanita itu merupakan sandera! Dengan lain kata-kata pendeta siluman ini hendak menyatakan kepadanya bahwa apa bila dia berbalik pikir dan kelak mengakibatkan perkumpulan agama itu diserbu, wanita-wanita itu akan dibunuhnya. Tentu saja ini merupakan ancaman kepadanya agar dia tidak mengkhianati Sian-su, dan dia tahu bahwa ancaman itu bukan hanya ancaman kosong belaka!

"Baiklah, Sian-su, aku akan membuktikan bahwa aku memang ingin bekerja sama karena aku mulai tertarik oleh agama baru ini."

Thian Sin menjadi tamu terhormat di sarang perkumpulan agama Jit-sian-kauw itu, mendapat sebuah kamar yang indah dan mewah. Dia menolak ketika ditawari gadis untuk menemaninya, dan malam itu dia tidur nyenyak untuk melepaskan lelah dan mengumpulkan tenaga. Dia tahu bahwa semua gerak-geriknya diamati dan diintai, maka diapun tidak mau melakukan sesuatu yang mencurigakan. Pada keesokan harinya, diapun sama kali tidak tahu bahwa Kim Hong telah menyusulnya dan mencarinya, bahkan kemudian gadis itu terjebak dan tertawan di dalam sarang rahasia Jit-sian-kauw itu. Pada sore harinya dia diberi tahu oleh Sian-su bahwa lima orang yang memusuhi Jit-sian-kauw itu telah tiba di dekat puncak bukit. Mereka itu tidak menyelidiki dari bagian depan tebing Guha Tengkorak, melainkan dari belakang dan karena sarang Jit-sian-kauw itu terkurung jurang yang dalam, maka lima orang pendekar itu tidak tahu bahwa tempat yang mereka cari-cari itu sebetulnya sudah amat dekat, hanya terhalang jurang, yaitu di puncak yang dikelilingi jurang itu. Tidak mungkin menyeberangi jurang itu, dan tidak mungkin pula menuruni jurang yang demikian dalam dan curamnya. Mereka berkeliaran di daerah itu, memeriksa dan mencari-cari.

Thian Sin melakukan pengintaian. Dia sendirian saja dan dia kini telah mengenakan pakaian dan topeng dari anggauta Jit-sian-kauw! Biarpun dia sendirian saja, namun dia mengerti bahwa Siansu dan kaki tangannya tentu membayanginya dan mungkin kini sedang mengintai pula dari tempat-tempat tersembunyi untuk mengikuti sepak terjangaya yang bertugas mengusir lima orang musuh perkumpulan ini. Akan tetapi jantung dalam dada Thian Sin berdebar tegang ketika dia mengenal siapa adanya tosu tua yang memimpin rombongan itu. Tosu berusia kurang lebih enam puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus dan berpakaian jubah kuning, dengan pedang di punggung, wajahnya putih itu, bukan lain adalah Liang Hi Tojin, seorang tokoh tingkat dua dari partai persilatan Bu-tong-pai! Liang Hi Tojin ini adalah orang ke dua dari Bu-tong-pai, terkenal sebagai seorang pendekar yang sejak mudanya menjadi pembela keadilan dan kebenaran, seorang ahli pedang yang amat lihai. Dan agaknya, empat orang lainnya itu, yang nampakaya gagah perkasa, tentulah murid-murid keponakannya. Tentu rombongan dari Bu-tong-pai yang datang menyelidiki Jit-sian-kauw ini, bukan semata-mata karena perbedaan paham keagamaan, melainkan tentu karena orang-orang Bu-tong-pai itu mendengar akan kejahatan yang dilakukan Siluman Guha Tengkorak dan kini didorong oleh jiwa kependekaran mereka datang untuk menentang Jit-sian-kauw. Tentu saja Thian Sin merasa serba salah. Bagaimana mungkin dia memusuhi Liang Hi Tojin, seorang pendekar tua Bu-tong-pai yang telah dikenalnya dengan baik? Akan tetapi, kalau dia mengkhianati Sian-su, lalu bagaimana nasib kurang lebih tiga puluh orang wanita yang berada di dalam cengkeraman siluman-siluman itu di di luar kehendak mereka, karena mereka telah dikuasai oleh sihir dan obat bius? Kalau dia memperkenalkan diri mengajak lima orang pendekar Bu-tong-pai ini membalik dan memberontak, apakah dia akan mampu? Memasuki terowongan itu saja sudah merupakan bahaya yang besar dan sebelum mereka berhasil, siluman-siluman itu dapat melarikan diri dari jalan rahasia tersendiri dan meninggalkan puluhan wanita itu dalam keadaan tewas. Tidak, dia harus bersandiwara, menuruti kehendak Sian-su dan menanti saatnya yang baik dan tepat untuk memberi pukulan besar-besaran.

Tosu tua tinggi kurus itu memang Liang Hi Tojin dari Bu-tong-pai, dan empat orang pria yang berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, yang nampak gagah perkasa itu adalah murid keponakannya, yaitu murid Bu-tong-pai yang termasuk sebagai murid-murid kepala. Biarpun tingkat kepandaian mereka masih dua tingkat di bawah tingkat Liang Hi Tojin, namun mereka itu sudah dapat digolongkan pendekar-pendekar yang lihai pada masa itu. Mereka itu turun gunung untuk mengunjungi Louw Ciang Su di Tai-goan, akan tetapi mereka hanya melihat peti matinya saja! Tentu saja para tokoh Bu-tong-pai ini menjadi terkejut dan marah ketika mendengar bahwa Louw Ciang Su, sebagai seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan, telah tewas oleh Siluman Guha Tengkorak. Itulah sebabnya, mereka langsung melakukan penyelidikan ke daerah Guha Tengkorak dan karena mereka sudah mendengear bahwa pasukan keamanan dari Tai-goan dan para pendekar telah gagal ketika mencari siluman itu dari depan tebing Guha Tengkorak, mereka lalu melakukan penyelidikan dan pencarian dari belakang tebing.

"Bagaimana mungkin ada manusia dapat bersembunyi di tempat seperti ini?" terdengar Liang Hi Tojin berkata kepada empat orang murid keponakannya setelah mereka melihat keadaan di belakang tebing Guha Tengkorak itu. "Bukit di depan itu merupakan puncak yang dikelilingi jurang yang tidak mungkin didatangi manusia." "Akan tetapi, susiok, teecu kira justeru karena sulitnya dicapai orang inilah maka merupakan tempat yang amat baik bagi penjahat untuk menyem-bunyikan diri," kata seorang murid keponakannya.

"Tentu ada suatu rahasia yang dapat membawa orang menyeberang ke puncak bukit itu," kata murid kedua. "Siancai, siancai, siancai...! Kalau memang ada, tentu tidak akan mudah mencarinya di tempat se-luas ini." Thian Sin memuji ketelitian mereka. Memang tidak akan mudah. Dia sendiri tiba di belakang tebing ini melalui jalan rahasia yang rumit, yang merupakan "lubang tikus" dan menembus di lereng jurang, tertutup pohon-pohon dan semak-semak, di dekat tepi jurang. Dia tadi merayap di lereng jurang itu melalui akar-akar pohon dan kini mengintai di balik pohon besar. Karena merasa sudah waktunya untuk turun tangan dan agar jangan sampai menimbulkan kecurigaan pada Sian-su yang dia tahu tentu sedang mengamatinya, dia lalu keluar dari tempat sembunyinya dan berlompatan ke depan lima orang itu! Dapat dibayangkan betapa kagetnya lima orang gagah dari Bu-tong-pai ketika mereka melihat munculnya seorang berjubah putih dengan gambar tengkorak merah darah di dada dan memakai topeng tengkorak yang menyeramkan. "Siancai...! Inikah Siluman Guha Tengkorak yang telah membunuh Tujuh Pendekar Tai-goan itu?" Liang Hi Tojin bertanya dan empat orang murid Bu-tong-pai itu telah mencabut pedang masing-masing dari punggung mereka dengan gerakan yang cepat dan indah.

Thian Sin tidak mengeluarkan suara. Apa yang dapat diucapkannya? Tugasnya hanyalah menge-nyahkan mereka, maka diapun lalu menerjang ke depan dan menyerang tosu tua itu dengan pukulan dari samping mengarah pelipisnya. Melihat pukulan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu, tahulah tokoh Bu-tong-pai ini bahwa siluman itu memang lihai sekali. "Siancai sungguh siluman jahat sekali!" Dan diapun cepat meloncat mundur untuk mengelak sambil mencabut pedangnya. Empat orang muridnya sudah menerjang dengan pedangnya masing-masing dan Thian Sin segera dikurung dan dikeroyok. Permainan pedang Bu-tong Kiam-sut memang hebat dan berbahaya sekali. Sinar pedang bergulung-gulung dan menyambar-nyambar dari pelbagai jurusan, menggulungnya dan kalau Thian Sin tidak memiliki gin-kang yang hebat dan langkah-langkah ajaib dari Thai-kek Sin-kun, tentu dia akan terancam bahaya dikeroyok oleh mereka. Terutama sekali pedang di tangan Liang Hi Tojin amat lihainya. Pedang itu mengeluarkan suara berdesing-desing dan sinarnya berkilauan menyambar-nyambar. Thian Sin tidak berani mencabut Gin-hwa-kiamnya karena mungkin pedang itu akan dikenal oleh Liang Hi Tojin. Maka terpaksa diapun mengerahkan Thian-te Sin-ciang untuk kadang-kadang menangkis kalau elakan-elakannya kurang cukup untuk dapat menyelamatkan diri dari sambaran lima batang pedang itu.

Liang Hi Tojin dan empat orang muridnya terkejut bukan main melihat betapa siluman itu menangkis pedang mereka dengan tangan kosong saja! Padahal, pedang mereka adalah pedang pilihan, terbuat dari baja yang amat keras dan baik. Tahulah mereka bahwa siluman ini benar-benar amat lihai sekali dan merekapun tidak merasa heran sekarang bahwa Tujuh Pendekar Tai-goan tewas di tangan siluman ini.

Liang Hi Tojin menyerang makin hebat karena marah dan karena dia beranggapan bahwa siluman selihai dan sejahat ini harus dilenyapkan dari permukaan bumi agar rakyat terbebas dari pada ancaman malapetaka yang ganas dan jahat. Thian Sin merasa kewalahan juga. Kalau dia mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya seperti Thikhi-i-beng misalnya, sin-kang yang dapat menyedot tenaga lawan, atau Thian-te Sin-ciang atau Thai-kek Sin-kun, tentu kakek Bu-tong-pai itu akan mengenal ilmu-ilmu dari Lembah Naga dan Cin-ling-pai itu. Kalau dia menggunakan ilmu peninggalan mendiang ayah kandungnya, yaitu ilmu-ilmu pukulan yang dahsyat Hok-liang Sin-ciang atau Hok-te Sin-kun, akibatnya bisa berbahaya sekali dan belum tentu lima orang itu akan mampu menahannya. Padahal, tentu saja dia tidak ingin membunuh lima orang tokoh Bu-tong-pai ini. Maka dia hanya mempergunakan Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun, ilmu yang dipelajarinya dari kakek sakti Yap Kun Liong dan mengerahkan tenaga Thian--te Sin-ciang untuk menangkisi pedang-pedang itu. Dia menanti saat yang baik dan tepat untuk me-lakukan serangan terakhir seperti yang sudah di-rencanakannya ketika dia mengintai mereka tadi. Perlahan-lahan dia mundur ke belakang menuju ke bawah sebatang pohon yang daunnya lebar, sele-bar tangan dengan ujung runcing dan daun itu kaku pula, cukup baik dijadikan senjata. Tiba-tiba dia meloncat, mencabut beberapa helai daun dari ranting yang terendah dan begitu tubuhnya turun, dia menyambitkan daun-daun itu ke depan sambil membentak dengan suara nyaring, "Pergilah!" Berturut-turut tangannya bergerak, dengan pengerahan sin-kang yang amat kuat, lima helai daun itu seperti anak panah saja meluncur secepat kilat menuju ke arah lima orang lawannya. Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan empat orang murid Bu-tong-pai itu melepaskan pedang mereka ketika sebatang daun menyambar dan menancap di pergelangan tangan kanan mereka sepert anak panah atau senjata piauw (pisau terbang) dengan kecepatan yang tak dapat dielakkan lagi. Sedangkan Liang Hi Tojin masih dapat menggunakan lengan kirinya menangkap daun yang menyambar pergelangan tangan kanannya itu, dan berbeda dengan empat daun yang lain, daun yang menyambar ke arah pergelangan tangan Liang Hi Tojin itu tidaklah begitu cepat dan kuat sehingga dengan mudah dapat ditangkap oleh tosu ini. Liang Hi Tojin memandang sekilas kepada daun di tangannya kemudian dia berkata, "Ambil pedang, mari kita pergi!" Empat orang murid itu cepat mengambil pedang masing-masing dengan tangan kiri, kemudian bersama tosu itu mereka berloncatan meninggalkan tempat itu. Thian Sin tertawa dan memandang sampai mereka lenyap di balik semak-semak. "Bagus, taihiap. Sungguh senang hatiku melihat engkau menghajar mereka, sayang tidak membunuh saja mereka itu agar kelak tidak mendatangkan penyakit." Thian Sin menoleh dan melihat pendeta siluman ketua Jit-sian-kauw telah berada di situ. Tentu saja dia tadi mendengar gerakannya, ketika orang ini muncul dengan ringan sekali akan tetapi dia pura-pura tidak tahu membiarkan orang itu merasa bangga bahwa gin-kangnya sedemikian hebatnya, terlalu hebat bagi Pendekar Sadis untuk dapat mengetahui kedatangannya. Kemudian dia menarik napas panjang dan berkata, "Sian-su, kalau mereka itu memusuhi kita, sudah cukup kalau kita hajar dan mereka akan jera untuk mengganggu kita lagi. Membunuh mereka, berarti hanya akan memperdalam permusuhan belaka, membuat kita semakin repot menghadapi usaha mereka untak balas dendam kelak." "Ha-ha-ha, engkau benar, taihiap. Ah, sungguh beruntung mempunyai seorang sahabat seperti engkau untuk bekerja sama," kata pula Sian-su dengan girang. Mereka lalu kembali ke sarang Jit-sian-kauw. Thian Sin merasa girang sekali bahwa dia dapat mengelabuhi pendeta siluman itu. Dia tadi telah melakukan siasatnya dengan baik sekali. Dia tahu bahwa biarpun di sana terdapat sekutunya yang paling baik, yaitu Kim Hong, akan tetapi belum tahu Kim Hong dapat mencari tempat rahasia-ini. Maka dia membutuhkan bantuan dan melihat lima orang Bu-tong-pai itu, dia melihat bantuan yang amat baik dan cukup kuat. Maka ketika dia mengintai tadi, diam-diam dia menggunakan sehelai daun untuk digurat-gurat dengan duri, membuat beberapa buah huruf di atas daun. Daun itu disimpannya dalam saku jubahnya dan ketika dia menyerang lima orang itu, daun yang ada huruf-hurufnya itu dia sambitkan ke arah Liang Hi Tojin dengan pengerahan tenaga yang sedikit saja. Untung bahwa tokoh Bu-tong-pai itu cukup cerdik untuk dapat melihat kejanggalan ini dan menerima daun itu lalu mengajak empat orang murid keponakannya yang telah terluka pergelangan tangannya. Tulisan di atas daun itu berbunyi demikian : SIAP MENYERBU BERSAMA, TUNGGU BERITA. ANG LIAN TO (PULAU TERATAI MERAH). Dia sengaja memakai nama Ang-lian-to yang tentu akan dikenal oleh Liang Hi Tojin yang sudah mengenalnya dan tahu bahwa dia dan Kim Hong tinggal di sebuah pulau kosong yang bernama Ang-lian-to (Pulau Teratai Merah). Dan agaknya tosu itu memang mengenalnya, buktinya tosu itu mengajak empat orang muridnya untuk mundur. Padahal, sesuai dengan watak pendekarnya, sebelum dia sendiri roboh, tidak mungkin tosu itu akan melarikan diri dari pertempuran. Thian Sin merasa lega dan gembira, merasa bahwa dia telah berhasil mengelabui ketua Jit-sian-kauw. Akan tetapi, pendekar ini sama sekali tidak tahu bahwa di balik topeng tengkorak itu, Sian-su tersenyum-senyum dan mentertawakannya. Dia tidak tahu bahwa ada kejutan yang amat tidak menyenangkan baginya. Biarpun dia melihat sendiri betapa Pendekar Sadis telah mengusir lima orang musuh itu dan melukai empat orang murid Bu-tong-pai dengan cara yang amat mengagumkan dan menggiriskan hatinya, yaitu hanya dengan mempergunakan daun, namun ketua Jit-sian-kauw itu belum yakin begitu saja. Dia masih belum mau percaya begitu saja. Dia masih belum yakin benar akan kesetiaan Thian Sin. Oleh karena itu, dia masih mempersiapkan suatu ujian yang amat berat bagi pemuda itu. Malam hari itu, ketika Thian Sin sudah merebahkan diri dan mencari akal untuk melihat kesempatan, tiba-tiba dia terbangun dengan kaget. Ada suara di telinganya, dekat sekali di telinganya, yang berbisik dengan suara dengan suara mengandung kekuatan mujijat. "Ceng Thian Sin, engkau telah berada dalam kekuasaan Sian-su. Engkau harus mentaati semua kehendaknya agar hatimu dapat merasa senang dan tenteram! Nah kau rebahlah, kau tidurlah, tidur yang nyenyak...!" Thian Sin yang sudah bangkit duduk itu perlahan-lahan merebahkan diri kembali, dan memejamkan matanya, lalu dia mengatur pernapasannya seperti orang tertidur. Tak lama kemudian, suara itu terdengar lagi, "Ceng Thian Sin, bangkitlah dan turunlah dari tempat tidurmu." Bagaikan patung hidup, Thian Sin lalu turun dari pembaringan. "Pergilah ke pintu kamar, bukakan daun pintu dan biarkan seorang sahabat masuk!" Thian Sin berjalan ke pintu dan membuka daun pintu. Di depan pintu itu telah berdiri seorang yang bertopeng tengkorak dan berjubah putih pakaian seragam para anggauta Jit-sian-kauw yang membawa sebuah baki terisi cawan arak. Thian Sin tidak tahu apakah orang ini sang ketua sendiri ataukah orang lain, akan tetapi dia percaya bahwa ketua itu tidak begitu ceroboh untuk membiarkan dirinya dekat dengan dia tanpa terlindung. Tentu ini hanya seorang anggauta biasa saja. "Taihiap, harap suka minum arak dalam cawan ini," kata orang itu sambil menyerahkan cawan arak. Thian Sin hendak menolaknya, akan tetapi dia segera teringat bahwa dia sedang berada da-lam keadaan "tersihir", maka diapun diam saja, hanya memandang dengan mata kosong dan ber-diri seperti patung. Suara itu lalu terdengar lagi, kini nadanya mengandung kelegaan hati, "Ceng Thian Sin, ambil cawan itu dan minum araknya sampai habis!" Kini Thian Sin mengambil cawan itu dan menempelkannya ke bibirnya. Dari baunya saja dia maklum bahwa arak itu dicampuri obat bius, akan tetapi tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menuangkan araknya ke dalam mulut sampai habis. Akan tetapi lebih dulu dia menggunakan kekuatan sihir dalam pandang matanya kepada sepasang mata di balik topeng itu dan melihat mata itu sejenak tercengang lalu melembut, tanda bahwa dia telah berhasil menguasai orang itu yang ternyata hanyalah seorang anggauta biasa saja. Dengan kekuatan sihirnya dia membisikkan bahwa orang itu telah melihat dia minum arak itu sampai habis ditelannya. Padahal arak itu hanya disimpan di mulutnya saja. "Sekarang kembalilah ke tempat tidur dan rebahkan dirimu," bisik suara di dekat telinganya yang dia tahu adalah suara Sian-su yang menggunakan ilmu mengirim suara dari jauh menggunakan tenaga khi-kang yang amat kuat. Angauta itupun lalu membawa pergi cawan kosong dan menutupkan pintu kamar, sedangkan Thian Sin merebahkan dirinya di atas pembaringan, diamdiam membuang arak di mulutnya yang dimuntahkan di dalam tangannya dan dibuang di atas lantai di belakang pembarirngan. Hal ini dilakukannya dengan cepat lalu dia merasa yakin bahwa tidak ada mata orang lain yang mengikuti gerak-geriknya. "Ceng Thian Sin, mulai saat ini engkau akan selalu percaya sepenuhnya taat, hormat dan tunduk kepadaku, kepada Sian-su, ketua dari Jit-sian-kauw yang akan mendatangkan kesenangan dunia akhirat bagimu! Camkan ini, harus selalu setia dan taat kepada Sian-su!" Kalimat terakhir itu diulangi sampai belasan kali dengan kekuatan yang amat hebat sehingga Thian Sin harus mengerahkan tenaga sin-kang pula untuk melawannya agar jangan sampai terpengaruh.-Tentu saja pengalaman itu membuat Thian Sin tidak dapat tidur pulas. Dia harus bertindak cepat karena kalau terlalu lama, keadaannya bisa semakin berbahaya. Dia tidak tahu bahwa malam itu, Sian-su telah mempersiapkan percobaan terakhir kepadanya, percobaan yang teramat berat dan di sini Sian-su hendak mengambil kepastian apakah pendekar itu akan dianggap kawan ataukah lawan. Setelah merasa yakin bahwa dia tidak diamati, Thian Sin lalu turun dari pembaringannya dan dengan langkah seperti langkah kucing, sama sekali tidak menimbulkan suara, dia mendekati jendela lalu pintu kamarnya untuk mengintai keluar. Ada dua orang penjaga di luar, seorang di luar jendela dan seorang lagi di luar pintu. Dengan hati-hati dia membuka daun pintu. Anggauta Jit-sian-kauw itu memandang dan Thian Sin menggapai, berkata lirih, "Twako, ke sinilah, aku mau bicara penting..." Karena ketika memandang dan menggapai, juga ketika mengeluarkan kata-kata Thian Sin sudah mempergunakan kekuatan sihir melalui mata, gerakan tangan dan suaranya, penjaga itu biarpun ragu-ragu, tidak dapat menahan kakinya melangkah dan memasuki kamar. Secepat kilat tangan kanan Thian Sin bergerak dan tanpa mampu mengeluarkan suara atau melawan, penjaga itu terkulai lemas karena dia telah pingsan tertotok. Dengan hati--hati Thian Sin merebahkan orang itu di atas lantai kamarnya, kemudian dengan berindap-indap dia keluar dari pintu kamar, memutar dan meyergap penjaga yang duduk di luar jendela. "Apa... uhhh...!" Penjaga itu tadinya terkejut dan hendak melawan, namun dalam ke-adaan seperti itu Thian Sin telah menggunakan kepandaiannya, maka mana mungkin penjaga itu mampu melawannya. Diapun roboh pingsan sebe-lum sempat berteriak dan Thian Sin sudah memondong tubuhnya dan membawanya masuk ke dalam kamar, melepaskannya di atas lantai bersama penjaga pertama. Kemudian, dengan cepat Thian Sin menelikung kedua orang itu, diikatnya dengan tali ikat pinggang mereka sendiri, dijadikan satu dan mulut merekapun disumbat dengan kain baju mereka sendiri. Karena dia tahu bahwa dua orang itu memiliki kepandaian yang lumayan, maka dia mengikat kaki tangan mereka kuatkuat, juga menyumbat mulut mereka dan menalikan kain sumbatan itu melilit kepala, dan menambahkan totokan pada beberapa bagian tubuh mereka. Dia merasa yakin bahwa sebelum pagi hari, mereka tidak akan siuman dan andaikata sudah siuman sekalipun, mereka takkan mampu bergerak dan tidak dapat mengeluarkan suara. Setelah melakukan ini, dia lalu mendorong tubuh yang sudah menjadi satu itu ke bawah pembaringannya sehingga tidak nampak dari luar. Kemudian dia bersiap-siap untuk melakukan penyelidikan sendiri dan dengan gesit dia menyelinap keluar dari dalam kamarnya, menutupkan daun pintu kamar dan keluar. Dia sudah tahu di mana adanya kamar-kamar para wanita penari. Dia bermaksud mencari isteri mendiang Cia Kok Heng dan hendak menyelidiki keadaan wanita itu karena dia merasa yakin bahwa ada sesuatu yang memaksa wanita itu berbohong kepadanya ketika ditanyainya. Dan dia akan menggunakan kekuatan sihirnya membuyarkan kekuatan sihir yang mencengkeram para wanita penari dan mengorek rahasia kejahatan Siluman Guha Tengkorak dari mereka. Akan tetapi, baru saja dia keluar dari kamarnya, terdengar suara canang bertalu-talu dan disusul suara hiruk-pikuk kaki orang-orang berlarian. Than Sin terkejut dan cepat dia kembali ke dalam kamarnya, menyangka bahwa tentu perbuatannya ketahuan dan dia harus bersiap siaga menghadapi pengeroyokan kalau perlu. Dia mengintai dari balik jendela dan melihat para anggauta perkumpulan itu berlari-lari dari segala jurusan menuju ke bangunan besar yang menjadi tempat tinggal Sian-su. Tak lama kemudian, suara canang itupun berhenti dan nampaklah Sian-su bersama serombongan anggautanya melangkah lebar menuju ke kamarnya! Thian Sin menanti dengan jantung berdebar. Jelaslah bahwa perbuatannya telah ketahuan! Akan tetapi dia pura-pura tidur miring di atas pembaringannya, dengan seluruh urat ayaraf menegang, siap menerjang keluar, menghadap ke pintu dan menutupi mukanya dengan lengan tangan, mengintai dari bawah lengan. Dapat dibayangkan betapa tegangnya hati pendekar itu ketika pintu kamarnya perlahanlahan terbuka dari luar! Dia sampai merasa seolah-olah jantungnya hendak meloncat keluar dan suara detak jantungnya seperti suara tambur. Akan tetapi, suara Sian-su tidak terdengar marah, bahkan ramah sekali ketika berkata, "Cengtaihiap, bangunlah!" Thian Sin sudah merasakan perobahan dalam suara itu, suara yang sifatnya memerintah. Akan tetapi dia pura-pura tidak merasakan hal ini, dan diapun menurunkan lengannya, dan membuka mata. Dilihatnya bahwa mata itu tidak memancarkan kekuatan sihir, maka diapun mengerti bahwa sekali ini Sian-su hendak menghadapi dia dalam keadaan sadar. Bukankah semalam suara Sian-su telah menanamkan pesan kepadanya bahwa dia harus setia dan taat? Baiklah, dia akan bersikap taat. "Ah, Sian-su, malam-malam begini ada apakah? Aku mendengar suara canang dan mendengar suara kaki berlari-lari, setelah suara canang berhenti akupun tidur lagi." "Canang itu dipukul untuk mengumpulkan anggauta karena ada laporan dari pengamat di luar bahwa ada serombongan orang yang menyerbu tempat kita." Reaksi Thian Sin cepat dan wajar, kewajaran sikap seorang yang setia! Dia sudah meloncat turun dari pembaringan dan mengepal tinju. "Kita harus basmi mereka!" Dilihatnya betapa sepasang mata di balik topeng itu memancarkan sinar puas dan gembira melihat sikapnya ini, dan Sian-su berkata, "Tidak perlu tergesa-gesa. Mereka itu tidak akan mampu menemukan tempat kita, taihiap." "Siapakah mereka?" "Ha-ha, mereka itu adalah orang-orang dari Hong-kiam-pai yang dipimpin oleh Im Yang Tosu." Diam-diam Thian Sin terkejut. Dia mengenal Im Yang Tosu, tokoh dari Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi. "Apakah taihiap belum mengenal Hong-kiam-pang?" Thian Sin menggeleng kepalanya. "Hong-kiam-pang atau Hong-kiam-pai adalah perkumpulan silat yang mengutamakan ilmu pedang mereka, berpusat di kuil Thian-hong-bio di lembah Fen-ho di luar kota Tai-goan. Mereka dipimpin oleh Im Yang Tosu dan Bu Beng Tojin. Ha-ha, mereka berani memusuhi kita, akan tetapi biarlah, tak mungkin mereka dapat menemukan tempat kita ini. Cukup dengan beberapa orang pengamat saja untuk mengamati gerak-gerik mereka di luar tebing Guha Tengkorak, sedangkan kita akan melanjutkan pesta pengangkatan seorang anggauta atau murid baru." Thian Sin merasa tidak senang, akan tetapi tidak diperlihatkannya pada wajahnya yag tetap tenang. Sinar matanya ketika memandang kepada Sian-su penuh dengan kekaguman, kehormatan dan kesetiaan, sesuai seperti apa yang dikehendaki oleh pendeta siluman itu. "Murid baru wanita?" Pendeta siluman itu tertawa. "Benar, seorang murid baru yang istimewa, taihiap dan terus terang saja, belum pernah kita mempunyai anggauta wanita seperti ini." Thian Sin merasa agak heran dan juga timbul kecurigaannya, ada perasaan tidak enak menyelinap dalam hatinya. Dia mencoba untuk menduga-duga, akan tetapi tidak berhasil memecahkan teka-teki ini. Siapakah wanita yang dimaksudkan oleh pendeta siluman ini? Hampir dia menduga bahwa jangan-jangan yang dimaksudkan adalah Kim Hong. Akan tetapi dia membantah sendiri dugaannya ini. Kim Hong terlampau cantik untuk dapat terjebak. Memang besar kemungkinan Kim Hong menyelidiki dan memasuki sarang ini untuk mencari dan menolongnya, akan tetapi Kim Hong tentu maklum akan besarnya bahaya kalau membiarkan dirinya terjebak. Tidak, Kim Hong tidak mungkin membiarkan dirinya dijebak seperti dirinya. "Marilah, taihiap, mari kita menemani mereka yang sudah sejak tadi mulai dengan pesta malam ini. Ada seorang pengikut baru, seorang pembesar yang memiliki kedudukan penting di kota raja. Dari dialah kita dapat mengharapkan sumbangan yang besar untuk menyelesaikan bangunan pondok suci untuk tujuh dewa yang mulia. Untuk menghormati kehadirannya dan untuk meresmikan pengangkatan anggauta baru yang juga akan menjadi pilihanku sebagai murid terbaik dan tersayang, taihiap." Thian Sin mengikuti pendeta siluman itu naik ke dataran puncak bukit di mana telah berkumpul para pengikut yang kemarin malam pernah dilihat oleh Thian Sin. Dan di antara mereka kini terdapat seorang pria berpakaian mewah yang bermuka merah, usianya sudah enam puluh tahun akan tetapi sikapnya masih genit. Ada tiga orang pelayan wanita yang bergaun tipis melayani orang ini dan Thian Sin dapat menduga bahwa orang inilah yang disebut oleh Sian-su tadi sebagai pengikut baru yang terhormat, seorang bangsawan tinggi dari kota raja. Seperti juga kemarin malam, para penari wanita melakukan upacara dan Lu Sui Hwa atau isteri Cia Kok Heng kini ikut pula di antara para penari, nampak cantik dan agung, paling menarik di antara mereka walaupun mukanya agak pucat dan matanya sayu. Thian Sin masih menghadapi semua ini dengan tenang. Akan tetapi ketika tiba giliran anggauta atau murid baru itu mendaki anak tangga menuju ke dataran itu, tiba-tiba Thian Sin mengepal tinjunya dan wajahnya berobah pucat. Dia mengenal Kim Hong yang kini menghampiri Sian-su, Kim Hong yang mengenakan pakaian gaun tipis putih! Dengan mata terbelalak Thian Sin melihat betapa Kim Hong melangkah seperti boneka berjalan menghampiri Sian-su. Dia masih meragukan apakah Kim Hong tidak bersandiwara? Akan tetapi kemudian dia teringat bahwa biarpun Kim Hong memiliki kepandaian ilmu silat yang tidak mungkin kalah dibandingkan dengan pendeta siluman itu, namun kalau pendeta siluman itu mempergunakan ilmu sihir, tentu Kim Hong akan celaka. Dan agaknya kini gadis itu sudah berada di bawah pengaruh sihir. Agaknya untuk upacara ini, ketua Jit-sian-kauw itu menggunakan cara lain. Mungkin saja karena tadi sudah mengatakan untuk mengangkat anggauta baru itu menjadi pilihannya sebagai murid tersayang, maka kini upacaranyapun berbeda dengan yang sudah-sudah. Setelah Kim Hong menjatuhkan diri berlutut di depan ketua agama itu, Sian-su lalu memberkahi gadis itu dengan kedua tangannya di atas kepala Kim Hong, kemudian dengan gerakan halus membangunkan gadis itu, memegang tangannya dan menuntunnya ke dekat pondok-pondok emas kecil. Akan tetapi di situ sekarang telah dihamparkan sebuah kasur dan kini Sian-su membimbingnya dan menyuruhnya terlentang di atas kasur. Kim Hong melakukannya tanpa ragu sedikitpun dan tubuh yang menggairahkan itu, dengan terbungkus gaun yang tipis sekali, kini telah terlentang di atas kasur dengan kedua kaki lurus dan kedua lengan disilangkan di depan perut. Tujuh orang wanita yang membawa kelinci, pisau dan lain-lain telah maju berlutut dan Sian-su kini dengan gerakan perlahan seolah-olah hendak memperlihatkan pertunjukan yang amat menarik, mulai membukai kancing depan gaun itu! Dan memang pertunjukan itu amat menarik karena para tamu yang hadir menghentikan minum dan memandang dengan mata melotot dan pandang mata penuh nafsu! Kalau pada murid biasa, darah kelinci hanya dikucurkan di atas kepala, maka pada murid pilihan ini, darah kelinci akan dikucurkan di atas badan yang telanjang! Ketika kancing bagian atas membuka gaun dan memperlihatkan dada kekasihnya, Thian Sin sudah tidak dapat menahan dirinya lagi. Dengan teriakan melengking panjang dia meloncat ke tempat itu, lalu mengeluarkan bentakan yang penuh dengan kekuatan sihir untuk membuyarkan pengaruh sihir atas diri Kim Hong, "Kim Hong sadarlah! Engkau berada di tangan musuh-musuh kita!" Teriakan ini memang hebat bukan main dan seketika Kim Hong terbelalak dan sadar. Akan tetapi ia masih bingung dan kepalanya terasa pening sehingga ketika pada saat itu Sian-su menggerakkan tangan menotoknya dari jarak yang dekat, ia tidak mampu mengelak dan Kim Hong yang sudah bangkit duduk itu roboh kembali dalam keadaan tertotok. Sementara itu, para anak buah Jit-sian-kauw sudah menerjang Thian Sin. Memang semua perlakuan terhadap Kim Hong tadi disengaja oleh Sian-su dalam usahanya unuk menguji kesetiaan Thian Sin. Ujian terakkir yang tentu saja amat berat bagi Thain Sin dan pendeta siluman yang amat cerdik itu tahu bahwa andaikata Pendekar Sadis berpura-pura, maka kepurapuraannya itu tentu akan terbongkar kalau menghadapi kekasihnya terancam. Bagaimanapun juga, ketua Jit-sian-kauw ini masih sangsi dan merasa ragu-ragu apakah benar Pendekar Sadis dapat ditundukkannya dengan kekuatan sihir karena diapun sudah mendengar bahwa selain memiliki kepandaian silat yang amat tangguh, juga pendekar itu kabarnya memiliki kepandaian ilmu sihir pula. Kalau pendekar itu tetap taat dan setia kepadanya ketika melihat keadaan Kim Hong, maka dia dapat merasa yakin bahwa dia telah benar-benar dapat menguasai Thian Sin dan dapat menarik pendekar itu menjadi pembantunya yang amat menguntungkan. Dan kalau pendekar itu hanya pura-pura, maka tentu rahasianya akan tebongkar, dan untuk itu dia sudah mempersiapkan anak buahnya yang telah berjaga di situ sejak tadi, mengamati gerak-gerik Pendekar Sadis. Itulah sebabnya, ketika Thian Sin mengeluarkan suara melengking dan membentak, belasan anak buah Jit-sian-kauw telah menghadang dan mengoroyoknya, didahului oleh sambaran beberapa batang anak panah dari samping. Lima batang anak panah yang dilepas oleh pasukan anak panah dari samping itu disusul pula oleh lima batang yang lain. Akan tetapi, lima batang anak panah pertama itu runtuh semua ketika Thian Sin menggerakkan tangan kiri dengan mengerahkan sin-kang sehingga ada hawa pukulan menyambar dan meruntuhkan lima batang anak panah itu sebelum senjata itu menyentuh tubuhnya, kemudian, sambil meloncat ke depan, dia memapaki lima batang yang lain dan kedua tangannya menangkapi lima batang anak panah ini dan langsung melontarkannya ke arah lima orang anggauta pasukan panah itu. Terdengar teriakan-teriakan kasakitan ketika tiga orang di antara mereka itu roboh dengan dada tertusuk anak panah mereka sendiri, sedangkan dua orang yang lain mampu menghindarkan diri dengan elakan. Akan tetapi, belum sempat Thian Sin menerjang ke arah Sian-su, dia telah dikepung dan dikeroyok oleh belasan orang anak buah Jit-sian-kauw yang bertopeng tengkorak. Mereka semua telah mengeluarkan bermacam senjata dan menyerang dari semua jurusan dengan maksud membunuh karena Sian-su telah memberi isyarat untuk membunuh lawan yang amat tangguh ini, yang ternyata sama sekali tidak pernah terpengaruh oleh sihirnya dan yang ternyata hanya purapura saja menyerah itu. Kini Thian Sin benar-benar mengamuk! Melihat kekasihnya terancam penghinaan seperti itu, kemarahannya memuncak dan Pendekar Sadis mem-perlihatkan kelihaiannya. Dia tidak mau mengeluar-kan pedangnya, melainkan menyambut hujan senjata itu dengan kedua tangan kosong saja. Akan tetapi tangan kosong yang bagaimana! Seperti sepasang naga mengamuk saja kedua tangan Thian Sin itu ketika dia menghadapi pengeroyokan anak buah Jit-sian-kauw. Dia mengeluarkan semua ilmu yang dikuasainya untuk menghajar para anggauta Jit-sian-kauw itu. Biarpun mereka itu terdiri dari orang-orang yang berkepandaian tinggi, namun di tangan Pendekar Sadis mereka itu tiada bedanya seperti segerombolan anak-anak kecil saja. Seorang anggauta yang agaknya memiliki dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, menggunakan sebatang toya. Ilmu toya Siauw-lim-pai terkenal kuat sekali, didasari dengan gerakan yang mengandung tenaga lwee-kang sehingga ujung toya itu tergetar dan kelihatan menjadi banyak. Dengan gerakan mantap dan penuh tenaga, sambil membentak nyaring, pemegang toya ini menusukkan toyanya ke arah dada Thian Sin. Akan tetapi karena ujung toya itu ter-getar sukarlah untuk diduga apakah benar dada yang diserang itu, ataukah tenggorokan atau pusar, atau juga lambung kanan kiri. Ada semua kemungkinan itu dan inilah lihainya permainan toya itu. Namun, Thian Sin menghadapinya dengan tenang saja, bahkan menanti sampai toya itu mencium tubuhnya dan ternyata ujung toya itu mendarat pada lambungnya yang kiri. Begitu ujung toya mencium bajunya di lambung, Thian Sin menggerakkan tangan kirinya yang dimiringkan dan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang sepenuhnya itu, membacok ke bawah ke arah toya. "Krakkk!" Dan toya itu patah-patah menjadi tiga potong, kemudian sebelum pemegang toya yang merasa betapa telapak tangannya berdarah dan terkupas kulitnya itu sempat menguasai keadaannya, kaki Thian Sin sudah menendang orang dan orang itupun terlempar dan terbanting roboh, tidak mampu bangkit kembali. Thian Sin masih ingat bahwa besar sekali kemungkinannya para anggauta Jit-sian-kauw ini bergerak di bawah pengaruh sihir atau setidaknya juga kepercayaan yang membuta terha-dap Sian-su sehingga mereka itu tidak sadar bahwa mereka telah membantu seorang yang amat jahat. Mungkin sekali para anggauta ini adalah orang baikbaik yang telah terseret karena pandainya Sian-su mengambil hati dan menundukkan mereka. Karena itu, maka Pendekar Sadis ini masih merasa kasihan untuk membunuh mereka dan tendangannya tadipun terarah dan terkendalikan sehingga biarpun orang itu tidak mampu bangkit lagi, namun tidak menderita luka yang dapat merenggut nyawaya, hanya patah tulang dan salah urat saja. Anggauta yang memegang toya itu terkenal di antara kawan-kawannya sebagai satu di antara lima murid utama dari Sian-su, maka melihat dia dalam segebrakan saja roboh, para pengeroyok itu menjadi gentar. Akan tetapi merekapun menyerbu dengan berbareng, tidak lagi berani maju satu-satu. Thian Sin mengerling dengan ujung matanya dan melihat betapa Sian-su masih berdiri, dan hanya nonton pertempuran itu, sedangkan Kim Hong sudah rebah miring tak bergerak, dalam keadaan tertotok. Hatinya menjadi gelisah. Ingin dia cepat-cepat menyerang Sian-su dan menyelamatkan Kim Hong, apapun juga yang terjadi. Hal ini membuat dia menjadi semakin marah kepada para anggauta yang mengepungnya. Ketika dia melihat tosu penghuni kuil, yang dikenalnya dari kebiasaannya memiringkan muka, kemarahannya memuncak. Dia tidak memperhatikan serangan yang datang bagaikan hujan itu, melainkan memutar tubuhnya dan melesat ke arah tosu itu sambil membentak, "Tosu palsu keparat!" Tubuhnya disambut oleh banyak senjata, akan tetapi gerakan tangannya yang mendorong dengan ilmu mujijat Hok-liong Sin-ciang itu sedemikian hebatnya sehingga lima orang yang senjatanya langsung bertemu dengannya itu terjengkang seperti dilanda angin ribut, tosu yang memakai topeng setan itu sudah menusukkan pedangnya ke arah dada Thian Sin. Akan tetapi sebelum ujung pedangnya mengenai dada lawan, angin pukulan dari Hok-liong Sin-ciang sudah lebih dulu menyambutnya dan tosu ini mengeluarkan pekik mengerikan ketika tubuhnya terjengkang dan terbanting sedemikian kerasnya sehingga diapun tak berkutik, pingsan dan hampir mati kalau saja tadi Thian Sin tidak menahan tenaganya! Gegerlah keadaan di ruangan atas itu. Beberapa orang tamu yang memiliki kepandaian silat sudah melangkah maju hendak membantu pihak tuan rumah, akan tetapi Sian-su memberi isyarat dan mereka itu hanya berkumpul di belakang Sian-su, dengan senjata di tangan. Sikap mereka sudah jelas hendak melindungi dan membantu Sian-su kalau Pendekar Sadis berusaha menyerang ketua agama ini! Mereka itu rata-rata telah berjanji setia kepada Sian-su, tentu saja dengan keyakinan sepenuhnya bahwa mereka akan menikmati kesenangan dunia akhirat! Pengeroyokan semakin ketat, akan tetapi Thian Sin kini sudah menjadi marah betul dia ingin segera menyerang Sian-su dan membebaskan Kim Hong, dan ulah para anggauta Jit-sian-kauw ini dengan menghalanginya, maka tiba-tiba dia mengeluarkan pekik nyaring dan membiarkan dirinya menjadi sasaran banyak senjata.

Akan tetapi, bukan dia yang terluka atau berteriak kesakitan, sebaliknya malah belasan orang itu kini terbelalak dan berteriak-teriak minta dilepaskan. "Lepaskan aku...! Lepaskan aku...!" "Lepaskan... aaahhh...!" Belasan orang itu membetot-betot senjata mereka yang menempel pada tubuh Pendekar Sadis, akan tetapi makin kuat mereka membetot, semakin kuat pula senjata itu melekat! Thian Sin telah mempergunakan ilmu mujijat Thi-khi-i-beng, yaitu ilmu sin-kang yang sudah sampai di puncak keku-atannya sehingga dapat menyedot tenaga sin-kang lawan melalui senjata atau tangan yang menempel di tubuhnya. Tenaga dalam mereka itu membanjir keluar melalui gagang senjata masing-masing dan terasa tersedot oleh kekuatan yang luar biasa besarnya!

Melihat keanehan ini, Sian-su dan para pengikutnya memandang dengan mata terbelalak dan pendeta siluman itu merasa tengkuknya meremang. Belum pernah selama hidupnya dia berhadapan dengan seorang yang seperti itu lihainya-. Dia pernah mendengar tentang ilmu menyedot te-naga lawan ini, akan tetapi menganggapnya ilmu itu hanya dibesar-besarkan saja dan semacam do-ngeng. Akan tetapi sekarang, walaupun tidak meng-alaminya sendiri, dia telah menyaksikan betapa anak buahnya menjadi korban ilmu mujijat itu. Dia sendiri mengerti bagaimana sebaiknya meng-hadapi ilmu menyedot yang berbahaya itu, akan tetapi dia melihat keadaan yang lebih baik dari pada harus mati-matian mencoba untuk menunduk-kan Pendekar Sadis dengan kekerasan. "Hyaaaattt...!" Tiba-tiba Pendekar Sadis me-mekik dan belasan orang yang tadinya tersedot olehnya dan yang mulai pucat mukanya dan lemah gerakan mereka untuk meronta terlempar ke kanan kiri dan jatuh terbanting di atas lantai, mengeluh dan tidak kuat untuk berdiri lagi. Mereka ini harus mengumpulkan tenaga dan hawa murni untuk memulihkan kekuatan. Dengan mata mencorong seperti mata seekor naga sakti, Thian Sin kini melangkah mnaju perlahan-lahan. Para anggauta Jit-sian-kauw yang belum roboh masih mengepungnya dan ikut bergerak melangkah, akan tetapi tidak berani terlalu dekat, muka mereka pucat dan jelas terbayang wajah mereka betapa hati mereka jerih menghadapi pendekar yang luar biasa ini. "Berhenti, Ceng Thian Sin!" Tiba-tiba Sian-su membentak. Thian Sin tersenyum mengejek. "Tidak perlu menggertakku dengan ilmu sihirmu yang tidak manjur, siluman!"

"Berhenti atau pedangku akan menembus jantungnya!" Tiba-tiba Sian-su menggerakkan sebatang pedang dengan ujung pedang itu sudah menempel pada kulit putih di dada Kim Hong yang terbuka, tepat di antara dua bukit dadanya. Melihat ini, seketika Thian Sin menghentikan langkahnya dan matanya mengeluarkan kilat. Topeng tengkorak itu tersenyum lebar, penuh ejekan. "Hemm, kau lihat, aku masih menguasaimu, Pendekar Sadis. Memang engkau hebat dan gagah perkasa, akan tetapi belum tentu aku kalah olehmu."

"Pendeta jahanam! Kalau memang engkau laki-laki sejati dan jantan tulen, jangan mengancam orang yang sudah tidak berdaya karena kecurang-anmu! Hayo lawan aku sebagai laki-laki, atau kaubebaskan Kim Hong lalu melawannya tanpa kecurangan!"

"Ha-ha-ha, menggunakan tenaga sedikit mungkin untuk mencapai kemenangan, itu adalah sikap cerdik dan bijaksana. Kalau engkau berkeras, aku akan bunuh wanita ini lebih dulu, berarti aku sudah menang separuh. Kecuali kalau engkau menyerah..."

"Hemm, engkau hendak memaksaku untuk mengancam nyawa Kim Hong. Baik, kalau aku menyerah lalu apa yang hendak kaulakukan? Tidak urung engkau akan membunuh kami berdua juga!" Thian Sin mengepal tinjunya.

"Dari pada melakukan kebodohan itu, menyerahkan diri untuk akhirnya kaubunuh juga bersama Kim Hong, lebih baik aku membiarkan kau membunuh Kim Hong lalu engkau... hemm.. Pendekar Sadis akan hidup lagi, akan menjadi paling sadis antara semua kesadisannya yang pernah dilakukannya untuk menyiksamu!" Tanpa disadarinya, pendeta siluman itu merasa betapa tengkuknya meremang dan jantungnya berdebar. Sungguh mengerikan mendengarkan ucapan dari pemuda tampan itu dan dia dapat merasakan bahwa ucapan itu bukanlah ancaman belaka. Orang ini harus dienyahkan, harus dibasmi. Kalau tidak, selama hidupnya akan terancam.

"Aku bukan orang bodoh, Pendekar Sadis. Aku berjanji, kalau engkau menyerahkan diri tanpa melawan, aku tidak akan membunuh kalian." "Katakan, apa yang hendak kaulakukan terha-dap kami kalau aku tidak melawanmu dengan kekerasan!"

[1] [2] [3] [4] [5] [6]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar