02 Siluman Goa Tengkorak

[1] [2] [3] [4] [5] [6]

"Ahh...!" Kim Hong juga terkejut "Dan bagaimana kalian bisa berada di sini?" "Kami dibawa lari oleh paman Kwee Siu, naik kereta akan tetapi di jalan... di jalan... siluman itu menghadang dan sekarang berkelahi dengan paman Kwee Siu... dan kami melarikan diri..." "Di mana pamanmu itu sekarang?" Thian Sin bertanya. "Di sana..." Cia Liong menuding ke belakang. "Kim Hong, bawa mereka, aku akan ke sana!" Belum habis kata-katanya, orangnya sudah lenyap ketika Thian Sin melompat dan tubuhnya berkelebat lenyap. Kim Hong menuntun dua ekor kuda dan mendudukkan dua orang anak itu di atas punggung kuda, dan iapun menyusul ke arah larinya Thian Sin. Ketika Kim Hong tiba di tempat perkelahian itu, ia melihat Thian Sin sedang berjongkok di de-kat sesosok tubuh yang nampaknya sudah menjadi mayat. Thian Sin sedang berusaha membuat orang yang belum tewas benar itu memperoleh kekuatan dengan jalan menotok sana-sini. Iapun menurun-kan dua orang anak itu dan cepat menghampiri. "Paman Kwee..." Dua orang anak itu menangis dan mengertilah Thian Sin dan Kim Hong bahwa korban ini adalah paman yang melarikan dua orang anak itu, agaknya hendak menyelamatkan mereka dan melarikan dari bahaya, namun tetap saja bahaya maut itu datang menjemput. Akhirnya usaha Thian Sin berhasil. Orang yang dadanya luka oleh tusukan pedangnya sendiri dan pelipisnya retak karena pukulan itu menggerakkan mata dan bibirnya, kemudian dia mengeluh panjang, lalu terdengar suaranya berbisik lemah, "Si... siluman... guha... tengkorak... ahhhh... tewas semua... su... susiok..." Kwee Siu tak mampu melanjutkan kata-katanya karena lehernya terkulai dan nyawanya melayang. "Paman...!" Dua orang anak itu yang dapat menduga apa yang telah terjadi, menangis. Akan tetapi Kim Hong dapat membujuk dan menghibur mereka, membawa mereka ke dalam kereta. Ke-mudian wanita perkasa ini membantu Thian Sin untuk mengubur jenazah Kwee Siu di dalam hutan itu. Mereka berdua maklum bahwa di balik semua ini tentu terdapat rahasia, dan mereka dapat me-rasakan bahaya maut mengancam dua orang anak itu. Oleh karena itulah maka mereka tidak mau ribut-ribut, melainkan diam-diam mengubur jenazah Kwee Siu dan mengambil keputusan untuk menye-lidiki urusan ini dan selain menghukum penjahat--penjahatnya, juga berusaha menolong ibu anak--anak itu yang katanya diculik "siluman". Apa lagi mereka mendengar pesan terakhir paman dua orang anak itu tentang Siluman Guha Tengkorak! Mereka belum pernah mendengar nama ini namun mudah diduga bahwa penjahat-penjahat itu tentulah yang memakai nama Siluman Guha Tengkorak. Setelah selesai mengubur jenazah itu secara sederhana, mereka lalu menghampiri Cia Liong dan Cia Ling yang masih terisak-isak dan nampak bingung. "Anak-anak, jangan kalian khawatir. Kami akan mencari ibu kalian kami akan melindungi kalian. Sebaiknya sekarang ceritakan semuanya agar kami tahu ke mana kami harus mencari ibumu itu," kata Kim Hong dengan suara membujuk. "Sebaiknya katakan dulu, siapakah nama kalian dan siapa ayah kalian?" Thian Sin ikut bertanya sambil mengelus rambut kepala Cia Ling. Cia Liong mengusap air matanya dengan punggung tangannya.

"Nama saya Cia Liong dan adik saya ini Cia Ling, ayah kami bernama Cia Kok Heng..." "She Cia...?" Thian Sin membelalak dan di dalam hatinya timbul perasaan mesra terhadap mereka. Hal ini tidaklah mengherankan. Nama keturunan Cia merupakan nama keturunan yang amat dekat di hatinya. Orang-orang she Cia dari keluarga Cia, yaitu keluarga Cia Sin Liong Pendekar Lembah Naga merupakan orang-orang yang paling dicintainya di dalam dunia semenjak dia masih kecil. Oleh karena itu, begitu mendengar bahwa dua orang anak inipun she Cia, timbul perasaan mesra terhadap mereka, walaupun dia tahu bahwa belum tentu persamaan she itu menunjukkan bahwa mereka berdua itu masih keluarga dekat dengan Pendekar Lembah Naga. Apa yang dirasakan oleh Pendekar Sadis Ceng Thian Sin ini juga dirasakan oleh kebanyakan dari kita. Timbulnya karena pengembangan dari si aku. Pementingan diri atau perhatian yang dipusatkan kepada si aku inilah yang menimbulkan rasa suka tidak suka. Si aku tidak hanya terbatas kepada pribadi belaka, melainkan dapat berkembang dan meluas menjadi keluargaku, milikku, sahabatku, golonganku, bangsaku, agamaku dan sebagainya. Jadi, sesungguhnya, si akulah yang dipentingkan atau apapun juga yang menguntungkan atau merugikan aku. Kedua orang anak kecil itupun sudah mempunyai arti yang lain bagi Thian Sin begitu dia mengetahui bahwa mereka itu bermarga Cia! Tentu sikap dan perlakuannya akan jauh berbeda andaikata mereka itu tidak bermarga Cia. Di sini sudah timbul penilaian yang membedakan, timbul pilih kasih, timbul ketidakadilan. Dan segala seuatu yang bersumber kepada pementingan si aku, baik aku sebagai diri pribadi maupun si aku yang telah berkembang, sudah pasti menimbulkan konflik dengan akunya orang lain pula. Biarpun dia sendiri tidak mengetahui dengan jelas duduk persoalannya, namun Cia Liong dapat menceritakan dengan cukup jelas. Bahwa ayahnya menerima ancaman gambar dari Siluman Guha Tengkorak di dinding luar rumah mereka, kemudian ayahnya dan lima orang sahabat ayahnya tewas oleh penyerbuan siluman itu. Kemudian bahwa mereka dibawa lari oleh Kwee Siu akan tetapi di dalam hutan itu dihadang oleh siluman.

"Jadi ibumu diculik penjahat malam tadi?" tanya Kim Hong sambil mengerutkan alisnya. Sayang, anak ini tidak tahu mengapa penjahat yang dise-but Siluman Guha Tengkorak itu melakukan perbuatan yang demikian kejamnya. Ia tidak tahu apakah ia menghadapi peristiwa kejahatan biasa ataukah ada sebab-sebab permusuhan di antara si penjahat dan orang tua anak-anak ini. "Ibu dan kami dibawa terbang oleh siluman ke atas genteng, dan kami berdua lalu dilempar ke bawah, untung ada paman-paman yang menyelamat-kan kami. Akan tetapi ibu dilarikan entah ke mana," kata Cia Liong. Anak inipun menceritakan bahwa ayahnya dan enam orang paman itu adalah Tujuh Pendekar Tai-goan. "Kim Hong, kita membagi tugas sekarang. Kau bawalah mereka ini pergi dari sini, sebaiknya kautitipkan kepada keluarga yang boleh dipercaya di luar kota Tai-goan saja. Aku sendiri akan mencoba untuk mencari jejak penjahat itu, siapa tahu dia belum pergi jauh." Kim Hong mengangguk.

"Baik, aku akan memakai kereta ini. Dan di mana kita akan bertemu dan kapan?"

"Lewat tengah hari di tempat ini. Kita saling menanti sampai sore."

Kim Hong mengangguk. Dua orang yang tadinya bersendau-gurau seperti kanak-kanak itu kini sama sekali telah merubah sikap. Mereka bicara singkat, bersungguh-sungguh dan agaknya hanya dengan gerak-gerik dan pandang mata saja, mereka telah mampu untuk saling mengerti. Memang, kedua orang yang saling mencinta ini selain perasaan cinta kasih yang mendalam satu sama lain, juga memiliki pengertian yang mendalam pula, yang membuat mereka dapat bekerja sama dengan baik dan kadang-kadang bahkan mereka merasa seolah--olah mereka terdiri dari dua badan namun satu perasaan. Kim Hong lalu mengikat kudanya di belakang kereta, kemudian membawa dua orang anak itu pergi meninggalkan hutan, menuju ke kota Tai-goan dengan maksud untuk mencari dusun di luar kota untuk memilih keluarga yang hendak dititipi dua orang anak itu untuk sementara. Sedangkan Thian Sin juga lalu meloncat ke atas punggung kudanya dan mencari-cari jejak di sekeliling tempat itu. Kadang-kadang dia meloncat dari atas kudanya, memeriksa tanah dan rumput dan akhirnya dia menemukan jejak kaki, yaitu ujung sepatu yang menginjak tanah meningalkan bekas atau jejak yang ringan sekali. Dia tahu bahwa pemakai sepatu itu adalah seorang yang memiliki gin-kang yang amat tinggi, walaupun tidak sehebat gin-kang yang dikuasai Kim Hong, namun cukup jelas menyatakan bahwa orang ini merupakan lawan yang tangguh. Maka diapun berhati-hati dan mulai mengikuti jejak itu. Sementara itu, Kim Hong telah menemukan keluarga yang dianggapnya cukup dapat dipercaya untuk dititipi dua orang anak itu. Keluarga petani itu sendiri mempunyai seorang anak kecil berusia lima tahun dan di dusun itu dia dianggap sebagai orang yang dihormati karena dia cukup pandai menulis dan terkenal sebagai orang yang jujur. Kim Hong memberinya uang, bahkan menyerahkan kereta berikut kudanya kepada petani itu dan menitipkan dua orang anak she Cia untuk selama beberapa pekan lamanya. "Jaga mereka baik-baik dan jangan biarkan mereka bermain terlalu jauh, sebaiknya bermain di dalam rumah saja. Setelah urusanku selesai, aku akan datang menjemput mereka," katanya dan kepada dua orang anak itu, Kim Hong berpesan agar mereka itu menutup mulut dan jangan menceritakan kepada siapa juga tentang urusan mereka. "Aku akan mencari ibu kalian sampai dapat." demikian ia menjanjikan. Tentu saja dua orang anak itu merasa girang dan terhibur.

* * *
Menanti merupakan pekerjaan yang paling me-ngesalkan hati dan juga melelahkan. Waktu rasanya berhenti berjalan atau berjalan juga dengan mera-yap perlahan seperti gerak maju seekor siput. Apalagi kalau di balik penantian itu terdapat urusan yang menggelisahkan hati seperti halnya Kim Hong ketika ia menanti datangnya Thian Sin di dalam hutan, di tempat yang telah dijanjikan tadi. Kim Hong membiarkan kudanya makan rumput dan ia sendiri duduk di atas batu besar di tepi jalan. Kadang-kadang matanya ditujukan ke arah gundukan tanah yang menjdi kuburan Kwee Siu, seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan. Berada seorang diri di dekat kuburan baru itu menimbulkan rasa kesepian yang mencekam, menimbulkan bayangan pikiran yang bukan-bukan. Orang yang dikubur itu adalah seorang pendekar, yang agaknya tewas dalam tugasnya sebagai seorang pendekar, dalam usahanya menyelamatkan dua orang anak itu. Begitukah saat terakhir seorang pendekar? Tewas di tempat sunyi, tanpa ada yang mengetahui, bahkan mungkin orang she Kwee ini meninggalkan keluarga yang masih belum tahu akan kematiannya. Betapa menyedihkan! Akan seperti itu jugakah nasibnya? Nasib Thian Sin? Betapa menyedihkan. Tiba-tiba gadis itu menepuk mati seekor semut yang merayap dan menggigit punggung tangannya. Ah, kenapa ia tiba-tiba menjadi selemah itu? Kalau perlu, mati seperti yang dialami oleh orang she Kwee itu boleh saja! Kematian takkan mungkin dapat dihindarkan oleh siapapun juga, soal kapan waktunya merupakan rahasia yang tak terpecahkan dari manusia. Dan mati seperti yang dialami oleh orang she Kwe ini cukup terhormat! Sebagai seorang pendekar yang sedang melaksanakan tugasnya sebagai pendekar, yaitu menolong orang lain, melindungi yang lemah tertindas dan menentang yang kuat menindas. Kalah atau menang dengan akibat mati atau hidup hanyalah akibat dari pada perjuangan dan bukankah hidup ini perjuangan juga? Bukankah kematian mengelilingi kita setiap saat? Bukan kematian yang penting untuk direnungkan, melainkan cara dari kematian itu. Mati dalam kebenaran, mati sebagai seorang pendekar perkasa penentang kejahatan seperti orang she Kwee itu adalah kematian yang patut dibang-gakan dan dikagumi orang. Kematian itu sendiri bukan soal, melainkan suatu kewajaran. Akan tetapi dalam keadaan bagaimana seseorang mati, itulah yang penting. Andai kata yang menanti datangnya Thian Sin di tempat seperti itu bukan seorang wanita seperti Kim Hong, tentu hati wanita itu sudah menjadi kesal bukan main dan tentu akan marah-marah kepada orang yang dinanti-nantinya. Akan tetapi Kim Hong bukanlah seorang wanita cengeng. Sama sekali bukan, bahkan sebaliknya dari pada itu ia seorang pendekar wanita yang gagah perkasa yang biasa mempergunakan akal budinya dan sama sekali tidak menuruti perasaannya dalam menghadapi urusan penting dan gawat. Maka, biarpun ia telah menanti sampai matahari condong ke barat dan Thian Sin belum muncul, ia sama sekali tidak pernah mempunyai perasaan menyalahkan pemuda itu. Kepercayaannya terhadap Thian Sin sudah penuh dan tidak dapat diragukan lagi seperti juga kepercayaan pemuda itu terhadap dirinya. Ia merasa yakin bahwa kalu Thian Sin belum muncul, hal itu hanya berarti bahwa pemuda itu memang belum sempat dapat datang, dan ini berarti bahwa kekasihnya itu telah menemukan sesuatu dalam penyelidikannya! Dan, biarpun kecil sekali kemungkinannya karena ia tahu dan mengenal benar orang macam apa adanya Thian Sin, bisa saja terjadi bahwa kekasihnya itu mendapatkan halangan! Hal inilah yang dipikirkan dan setelah hari mulai gelap, kekhawatiran mulai menyelubungi hatinya. Satu-satunya jalan baginya hanya menyelidiki dan menyusul! Akan tetapi, menyelidiki jejak kaki kuda yang ditunggangi Thian Sin tidak mungkin dilakukan di malam hari, maka tidak ada jalan baginya kecuali menanti sampai terlewatnya malam itu.

Malam yang tidak menyedapkan hati! Malam sunyi sepi, di dekat kuburan baru, menanti datangnya orang yang tak kunjung muncul. Untung masih ada kudanya, setidaknya merupakan makhluk yang membuktikan adanya kehidupan yang dapat bergerak, Kim Hong membuat api unggun, mencoba untuk tidur akan tetapi bayangan tentang Thian Sin tertimpa bencana menggoda pikirannya sehingga harapan satu-satunya hanyalah agar malam itu cepat berlalu dan ia dapat segera mulai menyusul kekasihnya. Malam seperti itu tentu menjadi malam yang menyeramkan dan menakutkan bagi orang lain, apalagi bagi seorang wanita yang berada di tempat sunyi seorang diri saja. Orang mudah dihinggapi rasa takut di tempat sunyi, apalagi di malam hari yang amat gelap seperti itu, lebih-lebih pula kalau di situ terdapat sebuah kuburan yang baru siang tadi diisi jenazah yang mandi darah, pula kalau diketahui bahwa ada musuh yang amat tangguh dan berbahaya yang mungkin saja mengancam diri. Namun, seorang pendekar seperti Toan Kim Hong sudah dapat mengatasi rasa takut ini. Seperti para pendekar lainnya, dara ini sudah maklum apa yang menimbulkan rasa takut, maka iapun dapat meniadakan sebab timbulnya rasa takut ini. Setiap orang biar yang tidak memiliki ilmu silat seperti Kim Hong, tidak memiliki andalan untuk melindungi diri sebaiknya, dapat saja menjadi orang yang memiliki ketabahan dan ketenangan hati seperti Kim Hong! Yang perlu diselidiki adalah rasa takut itu sendiri. Apakah rasa takut itu? Dan dari mana timbulnya? Rasa takut tidak terpisah dari pada batin, karena rasa takut adalah keadaan batin itu sendiri pada saat itu. Rasa takut timbul karena ingatan membayangkan sesuatu yang akan amat tidak menyenangkan diri. Rasa takut tidak pernah terpisah dari bayangan yang diciptakan oleh pikiran yang mengingat-ingat hal-hal yang lalu dan bayangkan hal-hal yang mungkin terjadi di masa depan. Rasa takut sudah pasti merupakan pengintaian atau penjengukan masa depan yang dibayangkan itu, atau rasa takut itu tentu takut akan sesuatu yang tidak ada atau belum ada! Yang takut akan setan belum melihat setan itu sendiri, takutnya timbul karena pikiran membayangkan kemungkinan munculnya setan. Demikian pula yang takut akan bencana tentu belum tertimpa bencana itu, takut akan kematian tentu karena hal yang ditakutkan itu belum ada maka timbullah bayangan-bayangan yang mengerikan. Orang yang tidak membayangkan setan tak mungkin takut akan setan, yang tidak membayangkan kematian tak mungkin takut kematian dan sebagainya. Hal ini merupakan kenyatan yang dapat kita selidiki sendiri. Jadi jelaslah bahwa rasa takut adalah bayangan pikiran yang dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, baik pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain, kemudian pikiran menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang tidak menguntungkan diri. Timbullah rasa takut. Dan rasa takut ini sama sekali tidak ada manfaatnya bagi hidup. Bahkan rasa takut ini membuat kita kehilangan kewaspadaan, segala tindakan kita terpengaruh olehnya. Biasanya kita menghadapi rasa takut sebagai sesuatu yang terpisah dari pada batin kita. Kita ingin menghindari rasa takut, maka muncullah hiburan-hiburan untuk melupakan hal-hal yang mendatangkan rasa takut itu. Akan tetapi hal ini hanya merupakan pelarian yang sia-sia belaka. Rasa takut akan setan umpamanya, tidak mungkin lenyap hanya dengan melarikan diri dari rasa takut, dengan jalan menghiburnya, mencari teman, pergi ke tempat ramai dan sebagainya. Lain saat rasa takut itu akan muncul lagi setiap kali pikiran kita membayangkan tentang kengerian-kengerian bertemu setan. Mengapa tidak kita hadapi saja rasa takut itu? Kita amati saja kalau rasa takut itu sewaktu-waktu muncul dan ini merupakan sesuatu yang teramat menarik dan teramat berharga untuk diselami dan dihayati sendiri. Kalau rasa takut muncul, baik rasa takut akan setan, rasa takut akan bencana, malapetaka, maupun rasa takut akan kematian, mengapa tidak kita hadapi saja rasa takut itu tanpa ingin melarikan diri darinya? Hadapi saja, amati saja penuh perhatian sehingga kita dapat melihat dengan sepenuhnya, dapat mengerti sepenuhnya, apa sesungguhnya rasa takut itu sehingga bukan kita yang menghindarkan diri dari rasa takut melainkan rasa takut itu sendiri yang lenyap dari lubuk hati kita? Mengapa kita tidak membebaskan diri saja dari rasa takut yang dapat menimbulkan berbagai macam akibat dalam sikap dan tindakan dalam hidup kita?

Semalam suntuk Kim Hong hanya duduk bersila di dekat api unggun, tak pernah bergerak seperti patung. Hanya kadang-kadang saja kalau harus menambah kayu bakar, ia bergerak sebentar kemudian duduk lagi. Suara api membakar kayu menimbulkan suara dan menarik perhatiannya sehingga tidak mendengar suara lain dan tidak tahu bahwa ada sosok tubuh orang menyelinap di antara pohon-pohon di sekelilingnya dan ada sepasang mata mengintainya sejak tadi. Ketika itu, malam telah hampir habis dan fajar telah menyingsing di ufuk timur. Akan tetapi karena nyamuk masih belum meninggalkan tempat yang masih gelap itu, Kim Hong masih terus menyalakan api unggun dan duduk dengan tenangnya, hatinya mulai gembira melihat bahwa di sebelah timur telah mulai nampak sinar kemerahan. Ringkik kudanya yang mula-mula membuatnya waspada. Cepat ia mencurahkan perhatiannya ke sekeliling dan pandang matanya yang tajam itu menangkap berkelebatnya bayangan di balik pohon di sebelah kirinya. Kudanya mendengus-dengus dan Kim Hong mengambil sikap tenang, pura-pura tidak tahu bahwa waktu itu ada orang yang mengintainya. Mengapa orang itu mengintai saja dan tidak turun tangan sejak tadi, pikirnya. Apa-kah munculnya orang ini ada hubungannya dengan penjahat yang menculik ibu dua orang anak itu? Ataukah ada hubungannya dengan menghilangnya Thian Sin? Kalau orang itu adalah si penjahat yang suka menculik wanita, mungkin sekali dia mengintaiku untuk kemudian turun tangan menangkap dan menculikku. Akan tetapi kalau ada hubungannya dengan menghilangnya Thian Sin, kalau orang itu sudah tahu akan kelihaian Thian Sin, mungkin sekali diapun berhati-hati kepadanya. Sungguh tidak enak menanti dan menduga-duga seperti ini. Lebih baik memberi kesempatan dan memancing agar orang itu bergerak turun tangan. Api unggun mulai padam, sengaja dibiarkan saja oleh Kim Hong dan dalam duduknya, dara itu kelihatan melenggut. Kemudian ia membiarkan dirinya, diserang hawa dingin pagi, menggigil sedi-kit lalu menguap, menutupkan punggung tangan depan mulut, lalu merebahkan dirinya bersandar pada batang pohon dan tidur. Sikap dan gerakannya demikian wajar sehingga siapapun juga tentu akan menduga bahwa gadis ini merasa kedinginan dan mengantuk dan dengan mudahnya jatuh pulas ketika merebahkan diri dan bersandar pada batang pohon itu. Dan agaknya, orang yang mengintainya dari balik batang pohon itupun menduga demikian. Dia membiarkan sampai gadis itu tertidur selama setengah jam, barulah dengan gerakan kaki yang amat ringan dia keluar dari balik pohon dan menghampiri. Sejenak dia berdiri memandang wajah dan tubuh yang terlentang di depannya itu dan sepasang mata itu mengeluarkan sinar kagum. Memang, melihat Kim Hong rebah terlen-tang setengah duduk bersandar batang pohon di pagi hari itu merupakan pemandangan yang indah menarik. Hati siapa takkan tergerak melihat tubuh yang padat dan matang itu setengah terlentang, dan melihat wajah yang luar biasa cantiknya itu, sedikit tertutup uraian rambut, dengan mata terpejam dilindungi bulu mata yang lentik, bibirnya kemerahan mengulum senyum, lehernya yang panjang itu nampak terbuka sehingga kulit leher putih mulus itu menantang pandang mata? Adapun Kim Hong sejak tadi sudah melihat orang dan jantungnya berdebar tegang. Orang itu adalah seorang laki-laki yang memakai sutera putih dan di dadanya terdapat lukisan tengkorak dari tinta merah atau darah, dan muka orang itu memakai topeng tengkorak pula! Sungguh mengerikan dan tentu akan menakutkan orang melihat siluman ini muncul di pagi hari buta dan di tempat sunyi seperti itu. Akan tetapi, di dalam hatinya, Kim Hong memasa geli, akan tetapi juga marah. Inikah orangnya yang telah membunuh Tujuh Pendekar Tai-goan, dan sudah menculik ibu dua orang anak itu? Apakah dia ini berhasil menghindarkan diri dari pencarian Thian Sin, kemudian malah datang ke sini untuk menculiknya? Orang bertopeng itu agaknya puas memandang Kim Hong dan diapun mengangguk-angguk, lalu mengeluarkan sebuah bungkusan kertas dari dalam saku bajunya. Dia melangkah dekat, lalu kertas dari dalam itu dibukanya dan begitu dia mengebutkan kertas itu, bubukan berwarna merah berhamburan ke arah muka Kim Hong! Akan tetapi, pada saat itu, Kim Hong sudah bergerak dengan amat cepatnya, meloncat dan menggunakan kakinya untuk menendang.

"Wuuuttt...! Dukkk!" Tubuh orang bertopeng itu terpelanting dan terlempar ke belakang. Tentu saja siluman itu terkejut setengah mati. Sama sekali tidak pernah diduganya bahwa dara yabg cantik jelita itu, yang nampak tidur pulas, tahu-tahu dapat mengirim tendangan yang demikian cepat dan hebatnya. Dia tadi masih mampu menangkis, akan tetapi karena kurang cepat dan kurang mengerahkan tenaga, tendangan yang luar biasa kuatnya itu membuat tubuhnya terpelanting bahkan terlempar ke belakang. Akan tetapi, begitu tubuhnya terbanting, cepat orang itu sudah mampu meloncat bangun kembali! Dan dia menjadi semakin heran melihat betapa gadis itu tidak terpengaruh oleh bubuk obat biusnya! Padahal bubuk obat bius merah itu amat kuat dan sukar dilawan oleh orang yang pandai sekalipun. Dia tadi tidak melihat betapa dengan sehelai saputangan, Kim Houg mengebut bubuk merah itu dengan pengerahan sin-kang sehingga bubuk merah itu tertiup pergi dan tidak ada yang mengenai mukanya. Karena kecelik, siluman itu agaknya merasa penasaran sekali. Dia mengeluarkan gerengan marah dan tiba-tiba tubuhnya meluncur ke depan dan diapun sudah menyerang Kim Hong dengan dahsyat. Tangan kananya meraih ke arah leher seperti hendak mencengkeram, sedangkan jari tangan kirinya meluncur dan menotok ke arah jalan darah di pundak. Totokan ke arah pundak inilah yang bahaya karena selain "tertutup" oleh cengkeraman tangan kanan, juga yang diarah itu jalan darah yang penting dan yang akan membuat orang yang kena ditotoknya menjadi lemas takkan mampu bergerak lagi! Akan tetapi, tentu saja serangan mnacam itu bukan apa-apa bagi Kim Hong. Gadis ini sudah dapat mengukur dalam tendangannya tadi bahwa walaupun siluman ini memiliki kepandaian lumayan dan lebih dari pada penjahat-penjahat biasa, yang memiliki tubuh yang kuat, namun bukan merupakan lawan yang terlalu tangguh baginya. Oleh karena itu, Kim Hong menjadi marah dan ingin mempermainkan lawan, ingin menghajarnya, baru kemudian ia akan melucuti kedoknya dan akan memaksanya mengaku tentang peran Siluman Guha Tengkorak dan ibu anak-anak yang telah diculiknya itu. Maka, begitu serangan itu datang, ia menyambutnya dengan mudah sekali tanpa mengerahkan banyak tenaga dan kecepatan, ia telah dapat menghindarkan diri dari dua serangan itu. Ia sengaja tidak mau membalas dan membiarkan siluman itu menyerangnya secara bertubi-tubi untuk mengukur sampai di mana tingkat kepandaian lawan. Setelah ia membiarkan lawannya menyerangnya sampai belasan jurus, iapun mengerti bahwa lawan ini memiliki dasar ilmu silat campuran dan tidak dapat digolongkan sebagai seorang ahli yang sudah matang. Maka, iapun ingin menghentikan perkelahian itu dan ketika orang itu menyerangnya lagi dengan tangan kanan mencengkeram ke arah dada, serangan yang sungguh tak tahu malu dari seorang lawan pria terhadap seorang wanita, Kim Hong sudah menyelinap ke samping dan begitu kakinya melayang, ia telah menendang perut orang itu dengan keras.

"Desss...!" Tubuh orang itu melayang untuk kedua kalinya, sekali ini melayang jauh dan terbanting jatuh dekat dengan kuda tunggangan Kim Hong yang menjadi kaget dan meringkik. Tendangan tadi amat keras dan biarpun Kim Hong tidak bermaksud membunuhnya, atau belum lagi, namun tendangan itu cukup hebat untuk membuat orang itu memuntahkan darah segar dari mulutnya. Akan tetapi, memang orang itu memiliki tubuh yang kuat dan tahan uji, karena begitu terbanting jatuh, dengan mulut mengeluarkan darah, dia sudah meloncat dan tahu-tahu dia sudah berada di atas punggung kuda tunggangan Kim Hong. Kuda itu-pun dibedalkannya dengan cepat sekali meninggalkan tempat itu.

"Hei, badut keparat! Hendak lari ke mana engkau?" Kim Hong terkejut dan marah sekali, lalu menggerakkan kedua kakinya mengejar. Dara ini seorang ahli gin-kang dan gerakannya luar biasa cepatnya, larinya tidak kalah oleh larinya kuda. Akan tetapi karena siluman itu nampaknya jerih sekali dan tidak mau tersusul, kuda itu dibalapkannya dan dipukulinya dengan tangan terbuka sehingga kuda itu berlari amat cepat. Kim Hong terus mengejar, bukan saja hendak menangkap si penjahat melainkan juga untuk mendapatkan kembali kudanya. Kini kuda itu meninggalkan jalan dan memasuki hutan. Kim Hong tetap mengejarnya sampai si penunggang kuda itu tiba di tepi jurang, jurang yang menganga lebar dan dalam, selebar kurang lebih empat tombak. Dan Kim Hong melihat siluman itu terus saja membedalkan kudanya, bahkan membawa kudanya meloncati jurang!

"Heii, jangan...!" Kim Hong berteriak karena dari jauh saja ia sudah melihat bahwa perbuatan itu merupakan tindakan nekat dan mempertaruh-kan nyawa dengan sia-sia. Jurang itu terlalu lebar untuk dapat diloncati oleh kudanya. Kuda itu kini "terbang" di atas jurang dan dengan mata terbelalak Kim Hong berhenti dan memandang, melihat betapa kaki depan kuda itu memang telah menca-pai tepi jurang di seberang, akan tetapi karena sebagian besar badannya yang belakang belum sampai, maka kuda itu terjengkang dan bersa-ma dengan penunggangnya meluncur jatuh ke da-lam jurang yang amat dalam itu! Kim Hong me-ngepal tinju dan lari ke tepi jurang, menjenguk ke bawah dan ia melihat betapa kuda dan penunggangnya terbanting-banting ke lereng bukit yang berbatu-batu, kemudian berhenti dan tidak bergerak--gerak lagi.

"Keparat!" Kim Hong mendesis dan ia merasa kecewa sekali dan menyesal mengapa tidak dari tadi ia merobohkan saja orang itu agar dapat dikorek keterangan darinya. Sekarang, bukan saja penjahat itu telah mati dan tidak ada gunanya lagi, juga kudanya ikut mati. Terpaksa ia kembali ke tempat tadi dan mulailah ia mencari jejak kuda yang ditunggangi Thian Sin kemarin siang. Tidak mudah mencari jejak kuda yang sudah lewat sehari semalam. Rumput yang diinjak kuda sudah berdiri lagi dan menutupi jejak pada tanah. Untung baginya, tanah di hutan itu lembab dan hal ini membuat jejak kaki kuda itu agak tahan lama. Dengan hati-hati ia mencari, menemukan jejak kaki kuda itu dan mengikutinya dengan jalan kaki. Ia harus menemukan Thian Sin. Ia tidak percaya bahwa riwayat Siluman Guha Tongkorak akan habis begitu saja bersama jatuhnya orang tadi dengan kudanya ke dalam jurang. Kalau siluman atau penjahat itu hanya seorang seperti itu kepandaiannya, tidak mungkin orang-orang yang sudah dijuluki Tujuh Pendekar Tai-goan begitu mudah dibunuhnya. Apa lagi, tidak mungkin kalau Thian Sin sampai tidak mampu menemukannya setelah pemuda itu mencari selama sehari semalam. Tentu ada apa-apa di balik semua ini, ada kekuatan yang jauh lebih hebat dari pada sekedar penjahat bertopeng tengkorak tadi. Tanpa setahu Kim Hong, jejak kuda yang ditunggangi Thian Sin itu membawanya kepada daerah Guha Tongkorak! Ia tidak menyadari hal ini karena memang ia tidak mengenal daerah itu. Tidak ada kesempatan baginya dan juga bagi Thian Sin untuk menyelidiki keadaan Siluman Guha Tengkorak yang baru pertama kali mereka dengar dari mulut Kwee Siu ketika pendekar itu dalam keadaan sekarat. Peristiwa demi peristiwa terjadi susul menyusul demikian cepatnya. Mula-mula pertemuan mereka dengan dua orang anak-anak yang mengatakan bahwa ayah dan pamanpaman mereka terbunuh siluman dan bahwa ibu mereka terculik. Kemudian pertemuan mereka dengan Kwee Siu yang menghadapi maut. Lalu menghilangnya Thian Sin yang mengikuti jejak siluman dan tak kunjung kembali ke dalam hutan seperti yang telah mereka janjikan. Dan munculnya siluman yang mencoba untuk membiusnya, kemudian berakhir dengan kematian mengerikan bagi siluman itu sebelum Kim Hong sempat membuka rahasianya. Semua itu terjadi dalam waktu semalam saja dan kini ia telah mengikuti jejak kekasihnya. Melihat keadaan yang liar dan sunyi dari tempat ke mana jejak itu membawanya, Kim Hong mulai merasa khawatir. Agaknya ia dibawa ke tempat yang berbahaya, karena makin lama tempat itu semakin sunyi. Tak nampak ada seorangpun manusia dan ketika jejak itu tiba di tepi Sungai Fen-ho yang berbatubatu karang, jejak itupun lenyap. Tentu Thian Sin melanjutkannya dengan jalan kaki, pikirnya. Jalan itu mendaki tebing dan amat sukar dilalui manusia, apalagi kuda. Kim Hong tidak melanjutkan perjalanannya. Ia meragu, karena tidak tahu ke mana ia harus melanjutkan perjalanan. Yang berada di depannya itu merupakan jalan pendakian ke sebuah tebing yang curam dan ia tidak tahu ada apa di balik tebing atau di sebelah atas itu. Ia tidak tahu ke mana Thian Sin melanjutkan perjalanannya dan tidak dapat menduga apa yang telah terjadi setelah kekasihnya itu tiba di tempat ini. Tiba-tiba ketika ia memeriksa keadaan sekeliling dan melihat-lihat, di atas bukit kecil di sebelah kiri terdapat sebuah bangunan kuil kecil kuno yang berdiri terpencil. Agaknya sebuah kuil yang tidak dipergunakan lagi, dan mungkin saja untuk tempat tinggal seorang pertapa atau bukan tidak mungkin tempat terpencil itu menjadi tempat persembunyian penjahat! Timbul semangatnya karena ia berpendapat bahwa kalau Thian Sin tiba di sini dan melihat kuil itu tentu kekasihnya itupun akan mengunjungi dan memeriksa tempat itu sebagai langkah pertama dalam penyelidikan mengenai Siluman Guha Tengkorak itu. Kim Hong lalu mulai mendaki tebing yang amat sukar itu. Akan tetapi karena ia memiliki gin-kang yang amat hebat, ia dapat mendaki tempat itu dengan cepat dan tak lama kemudian, tanpa banyak kesukaran ia telah tiba di pekarangan kuil kuno. Akan tetapi, pekarangan itu ada bersih ada bekas sapuan di situ. Hal ini menandakan bahwa tempat itu berpenghuni! Siapa tahu penghuninya adalah penjahat yang dicari-carinya. Pikiran ini membuat Kim Hong bersikap hatihati dan iapun menyelinap dan menghampiri kuil kuno itu dari belakang. Ketika ia melihat seekor kuda ditambatkan di bagian belakang dari kuil itu, jantungnya berdebar tegang dan girang. Ia mengenal kuda itu, kuda tunggangan Thian Sin! Dihampirinya kuda itu dan ditepuk-tepuk punggungnya. Kuda itupun mengenal Kim Hong dan membelai tangan dara itu dengan mukanya. Ah, kalau saja kuda ini mampu bicara, tentu banyak yang diceritakannya dan ia tidak perlu bingung-bingung mencari tahu apa yang telah terjadi dengan Thian Sin sehingga pemuda itu tidak kembali ke hutan.

"Hei, siapa yang berani mencoba mencuri kuda?" Kim Hong terkejut dan cepat membalikkan tu-buhnya. Kiranya yang menegurnya itu adalah seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun, berpakaian seperti seorang tosu, tubuhnya kurus dan kedua pipinya cekung sehingga tanpa kedok tengkorak sekalipun muka itu sudah hampir mendekati bentuk tengkorak. Tapi kakek itu jelas orang tosu, bukan orang penjahat yang memakai jubah putih bergambar tengkorak, tidak pula memakai kedok. Akan tetapi Kim Hong bermaksud mengejutkan hati pendeta itu dengan pertanyaan yang tiba-tiba datangnya.

"Totiang, ke mana perginya pemilik kuda ini?" Tosu itu berjalan menghampiri dan sejenak memandang Kim Hong penuh perhatian.

"Pemilik kuda ini? Ahh, apakah nona yang menjadi sahabatnya dan yang malam tadi menunggunya di dalam hutan?" Kim Hong mengangguk dan memandang tajam.

"Totiang, ke mana perginya sahabatku itu? Mengapa dia tidak kembali ke hutan?"

"Ah, ah, pinto telah menanti-nantimu, nona. Pinto merasa khawatir sekali akan nasib kongcu itu..."

"Ada apakah, totiang? Harap suka cepat ceritakan!" Kim Hong tertarik sekali dan juga merasa khawatir.

"Kemarin siang kongcu yang menjadi sahabatmu itu datang ke sini dan menitipkan kudanya ini. Kemarin dia menanyakan jalan menuju ke Guha Tengkorak." Dia berhenti sebentar dan memandang jauh ke depan dengan sinar mata kosong akan tetapi mengandung rasa takut.

"Lanjutkanlah, totiang." Kim Hong mendesak tak sabar.

"Pinto sudah memperingatkan bahwa tempat itu bukan merupakan tempat pesiar melainkan tempat berbahaya sekali yang tidak pernah dikunjungi orang. Akan tetapi dia membujuk pinto dan akhirnya pinto mengantarnya ke daerah itu. Ketika kami tiba di sana, pinto sudah mengajaknya untuk segera pulang saja, akan tetapi kongcu itu memaksa hendak memasuki sebuah guha besar di sana. Pinto memperingatkan dan mencegahnya, akan tetapi kongcu itu nekat memaksa, bahkan meninggalkan pesan kepada pinto bahwa dia mempunyai seorang teman wanita yang menanti di dalam hutan, dan kalau pinto bertemu dengan nona agar pinto memberitahukan semuanya. Nah, pinto tidak berhasil membujuknya dan diapun memasuki guha. Pinto menunggu di luar guha sampai malam dan dia belum juga keluar. Terpaksa pinto pulang sendirian..." Kim Hong mengerutkan alisnya.

"Apakah totiang tidak menyusul dan memanggilnya?" Tosu itu nampak terkejut.

"Ah, nona belum tahu rupanya. Tempat itu amat keramat dan juga berbahaya. Kalau pinto tahu bahwa kongcu itu hendak memasuki guha, tentu pinto tidak berani dan tidak mau mengantarnya. Guha-guha itu merupakan guha-guha keramat yang tak pernah di datangi manusia dan kabarnya siapa yang berani masuk guha takkan dapat keluar kembali. Mana pinto tidak berani memasukinya untuk menyusul kongcu."

"Hemm, apakah totiang pernah mendengar tentang Siluman Guha Tengkorak? Di situkah sarangnya?" Tosu itu menggeleng kepala.

"Pinto hanya tahu bahwa tempat seperti itu sudah pasti menjadi sarang para siluman dan iblis. Ah, pinto khawatir kalau-kalau kongcu telah mengalami hal-hal yang tidak baik dan tertimpa malapetaka di dalam guha itu..."

"Totiang, kalau begitu tolong antar saya ke tempat itu!" Kim Hong yang merasa khawatir sekali itu mendesaknya.

"Apa...? Nona... nona hendak menyusul ke sana?"

"Benar, akan saya susul dia ke dalam guha! Habis, kalau tidak ada yang berani memasuki guha menyusulnya, bagaimana dapat menemukannya?"

"Tapi itu berbahaya sekali, nona! Pinto tidak berani!"

"Totiang tidak usah masuk, biar aku sendiri yang masuk!" kata Kim Hong agak jengkel melihat pendeta itu ketakutan, padahal dari gerak-gerik pendeta ini dapat menduga bahwa pendeta ini bukanlah orang sembarangan, bukan orang yang lemah.

"Tapi itupun berbahaya sekali, nona. Lihat, kongcu masuk ke dalam guha dan tidak keluar lagi. Kalau sekarang nona juga masuk ke sana dan terjadi apa-apa, bukankah pinto yang menerima dosanya? Sebaiknya kalau nona minta bantuan susiok..."

"Susiok? Siapa dia?"

"Pinto mempunyai seorang susiok (paman guru) yang pandai melihat hal-hal jauh, pandai melihat hal-hal yang telah lampau. Susiok tentu akan dapat membantu kita memberi tahu bagaimana keadaan kongcu sekarang dan di mana dia berada." Kim Hong tidak mau mempercaya segala macam ketahyulan dan segala macam ilmu ramalan ini. Yang penting ia harus turun tangan mencari dan kalau perlu menolong Thian Sin. Tentu telah terjadi sesuatu dengan pemuda itu.

"Tidak, totiang, aku mau mencarinya sendiri. Mari totiang tunjukkan di mana tempatnya. Totiang tidak usah mencampuri, aku akan mencarinya sendiri." Kakek itu menarik napas panjang dan setelah menggeleng-geleng kepalanya diapun berkata, "Siancai... orang-orang muda sekarang sungguh mem-punyai hati yang keras dan berani. Selama ini pinto hidup tenteram di sini, akan tetapi sekarang pinto melihat orang-orang muda seperti kongcu dan nona berani menempuh bahaya. Sungguh membuat hati pinto berduka dan penasaran. Marilah, nona, pinto antarkan ke daerah Guha Tengkorak." Berangkatlah mereka dan ternyata jalan yang mereka lalui sekarang jauh lebih sukar dari pada jalan menuju ke kuil kuno yang dilalui Kim Hong seorang diri tadi. Dan di sini dara perkasa itu mendapatkan kenyataan bahwa dugaannya memang benar, tosu itu bukan seorang lemah karena dapat berjalan melalui jalan yang sukar, terjal dan licin, dan untuk dapat melalui jalan seperti ini membutuhkan gin-kang yang lumayan. Maka, di tengah perjalanan mendaki tebing iapun tidak dapat menahan keinginan tahunya.

"Kulihat totiang bukan seorang lemah dan juga memiliki ilmu kepandaian, kenapa totiang begitu ketakutan terhadap Guha Tengkorak? Ada apanya sih di sana?" Pendeta itu berhenti dan berpegang pada batu karang yang menonjol.

"Aih, apa, sih artinya kepandaian manusia kalau harus berhadapan dengan para siluman?" Lalu dia berjalan lagi dan sekali ini dia bergerak lebih cepat, agaknya hendak meninggalkan Kim Hong atau menurut persangkaan dara itu, si tosu sengaja memperlihatkan kepandaian atau sengaja hendak mencoba dan mengujinya. Kim Hong tentu saja menganggap perjalanan itu mudah saja dan kalau ia mau, ia dapat bergerak cepat, jauh lebih cepat dari pada si tosu. Akan tetapi ia tidak mau memamerkan kepandaian dan iapun bergerak mengikuti tosu itu saja. Akhirnya, tibalah mereka di daerah berbatu-batu, di depan mereka terbentang dinding batu karang yang tinggi dan penuh dengan guha-guha yang bentuknya menyeramkan, karena banyak di antara guha guha itu yang bentuknya seperti tengkorak manusia.

"Inikah Guha Tengkorak...?" Kim Hong ber-tanya, seperti kepada diri sendiri ketika melihat kakek itu berhenti bergerak dan memandang ke arah dinding karang yang tinggi dan panjang itu. Memang tempat itu amat sunyi dan kering kerontang, tempat yang terpencil dan sukar sekali didatangi. Tempat yang patut menjadi tempat sembunyi sebangsa siluman atau setidaknya para penjahat besar yang hendak menghindarkan diri dari pengejaran.

"Lalu di guha yang manakah temanku itu masuk?"

"Di guha yang sana itu, nona. Tapi... tapi nona jangan masuk... ah, berbahaya sekali, nona."

"Bagaimana totiang tahu bahwa masuk ke sana berbahaya?" Kim Hong bertanya secara tiba-tiba dan menatap tajam wajah kakek itu.

"Bukankah kongcu masuk ke sana dan tidak keluar lagi? Bagaimana kalau nona juga tidak keluar lagi?"

"Sudahlah, lebih baik totiang kembali saja dan biarkan aku sendiri mencari temanku. Jadi, di guha itu masuknya?"

"Benar, nona. Dan pinto akan menanti di sini..." Kim Hong sudah berloncatan menuju ke guha yang ditunjukkan oleh kakek itu. Sebuah guha yang bentuknya seperti tengkorak dan keli-hatan hitam gelap karena sinar matahari tidak dapat memasukinya. Ia bersikap waspada, mengerahkan sin-kangnya dan memasuki guha itu dengan seluruh urat syaraf tubuhnya siap siaga mengha-dapi segala kemungkinan. Di tempat seperti ini mungkin saja dipasangi alat-alat rahasia dan jebakan-jebakan, pikirnya. Akan tetapi kkhawatirannya itu tidak terbukti. Di dalam guha itu ti-dak ditemukan apa-apa. Guha yang lebar dan dalam, akan tetapi kosong dan penyelidikannya terbentur pada dinding-dinding batu guha itu. Tidak terdapat terowangan atau pintu rahasia, tidak terdapat jebakan-jebakan dan di situ ia tidak menemukan jejak Thian Sin. Dengan kecewa iapun keluar lagi dan ternyata tosu itu masih menanti di tempat yang tadi. Melihat ia muncul kembali, tosu itu cepat menghampiri. Siancai... siancai... sungguh gembira sekali hati pinto melihat nona keluar dalam keadaan selamat!"

"Totiang, benarkah temanku itu masuk ke dalam guha ini?"

"Benar, nona."

"Tapi, tidak kutemukan apa-apa di dalamnya. Guha biasa dan tidak ada jalan tembusan. Bagaimana mungkin temanku itu lenyap begitu saja di dalamnya?"

"Aih, nona, di tempat seperti ini... apakah yang tidak mungkin? Siapa tahu akan rahasianya. Yang dapat membantu dan menerangkan nona pinto rasa hanyalah susiok pinto itu seorang. Kalau nona mau, mari pinto antarkan nona ke sana menjumpainya." Hati Kim Hong mulai tertarik. Kalau ia sendiri harus mencari tanpa adanya jejak sama sekali, mana mungkin? Tempat ini penuh dengan guha-guha dan daerah ini berbatu-batu, tidak nampak sedikitpun jejak Thian Sin. Pemuda itu lenyap secara aneh di dalam guha yang biasa saja. Ataukah kakek ini yang berbohong kepadanya? Dan kakek ini menjanjikan bantuan melalui seorang susioknya yang pandai ilmu sihir. Hemm, sungguh mencurigakan, dan menarik. Ada dua kemungkinan yang menguntungkan baginya, pertama, siapa tahu kalau-kalau paman guru dari pendeta ini benar--benar sakti dan dapat memberitahu di mana ada-nya Thian Sin, ke dua, andaikata pendeta ini ber-bohong, tentu ada sebabnya dan tentu ada hubung-annya dengan lenyapnya Thin Sin. Inilah agaknya jejak satu-satunya yang harus ditelusurinya dan di-hadapinya, walaupun bukan tidak mungkin ia akan menghadapi bahaya. Untuk menolong Thian Sin, ia sanggup manghadapi bahaya yang bagaimana-pun juga besarnya.

"Baiklah, totiang. Tentu saja aku mau memperoleh bantuan untuk dapat menemukan sahabatku itu. Akan tetapi aku belum mengenal totiang dan susiok dari totiang itu..."

"Nama pinto Siok Cin Cu dan sudah bertahun-tahun pinto bertapa di kuil itu, hidup tenteram sampai munculnya kongcu dan nona. Adapun susiok pinto itu adalah seorang pertapa tua yang tidak lagi mau dikenal namanya, akan tetapi tentu saja nona boleh mencoba untuk bertanya kepada beliau kalau berhadapan sendiri. Beliau tidak lagi mau berurusan dengan orang luar, akan tetapi kalau pinto yang membawa nona menghadap, tentu beliau akan mau menolong nona. Hanya susiok sajalah yang akan dapat mengetahui di mana adanya teman nona itu. Marilah, nona." Kim Hong mengikutinya dan diam-diam ia berpikir. Mengapa tosu ini tidak pernah menanyakan namanya atau nama Thian Sin? Sikap ini menunjukkan sikap tidak perduli, akan tetapi di lain pihak, kakek ini mau bersusah payah mengantar mereka ke guha dan juga kini berusaha untuk menolong dengan membawanya kepada susioknya. Ini menunjukkan sikap yang sangat perduli. Dan bilamana ada sikap yang amat bertentangan ini, tentu ada apa-apanya! Atau tosu ini memang orang aneh sekali atau memang bermain sandiwara. Dan sebaiknya kalau iapun ikut saja bermain sandiwara agar dapat melihat apa yang sedang terjadi di balik layar.

* * *
Gubuk kecil itu berada di atas bukit di balik dinding batu karang. Letaknya mengingatkan Kim Hong pada kuil tempat tinggal Siok Cin Cu, yaitu di puncak bukit dari mana dapat nampak pemandangan di bawah, sampai ke permukaan Sungai Fen-ho dengan jelasnya. Sebuah tempat penjagaan yang amat baik, seperti juga di kuil itu, pikir Kim Hong. Mereka tiba di depan gubuk kecil panjang itu menjelang sore. "Harap nona menanti sebentar di luar, pinto hendak menghadap dan membujuk susiok agar suka menerima nona. Kim Hong mengangguk, akan tetapi ketika tosu itu memasuki pintu depan pondok, ia cepat mempergunakan gin-kangnya untuk menyelinap mendekati pondok dan memasukinya dari belakang. Pondok itu kecil akan tetapi panjang dan ketika ia mendengar suara orang bercakapcakap dari ruangan dalam, ia cepat mengintai dari balik jendela. Ia melihat sebuah ruangan panjang yang gelap, dan Siok Cin Cu telah berada di situ, berlutut di atas lantai di depan seorang pendeta lain yang duduk di tempat yang gelap, hanya nampak bentuk tubuhnya saja yang jangkung dan sepasang matanya yang seperti mencorong di dalam gelap. Pendeta itu, yang dapat dikenal dari pakaiannya yang seperti jubah kebesaran, duduk bersila di atas bantalan bundar, tidak bergerak seperti arca yang menyeramkan karena matanya seperti mata harimau, atau seperti mata setan.

"Susiok, harap susiok memaafkan teecu yang lancang datang menghadap. Teecu mengantar seorang nona yang sedang menghadapi kegelisahan besar karena ia kehilangan seorang sahabatnya. Teecu mohon kerelaan hati susiok untuk memberi petunjuk kepadanya."

"Siancai... siancai... siancai...! Orang-orang muda yang ceroboh, terlalu mengandalkan kepandaian sendiri untuk mencampuri urusan orang lain. Sungguh berani sekali mereka itu menentang si-luman-siluman Guha Tengkorak... siancai...! Akan tetapi karena engkau telah mengajak nona itu ke sini, Siok Cin Cu, biarlah akan kucoba menolongnya. Suruh ia masuk." Setelah melibat dan mendengar ini, cepat Kim Hong meloncat keluar lagi dan jantungnya berdebar heran. Bagaimana kakek itu dapat mengetahui bahwa ia dan Thian Sin menentang siluman-siluman Guha Tengkorak? Melihat sikap Siok Cin Cu ketika menghadap tadi, keraguannya bahwa pendeta itu menipunya mulai berkurang dan mulailah ia percaya bahwa susiok dari pendeta itu boleh jadi memang memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Ketika tosu itu muncul, Kim Hong berlagak se-perti sedang melihat-lihat keadaan di bawah bukit. Ia mendapat kenyataan bahwa dari bukit itu, seperti juga dari kuil si tosu, bagian bawah dari daerah Guha Siluman dapat nampak sehingga setiap ada orang yang mendaki menuju ke tempat itu, tentu dapat terlihat dari kedua tempat ini.

"Nona, sungguh beruntung sekali. Susiok mau menerimamu. Mari, nona, silakan masuk." Kim Hong mengangguk dan mengikuti tosu itu masuk ke dalam pintu depan dan begitu masuk, ia melihat betapa rumah itu di sebelah dalamnya gelap karena semua jendela tertutup. Hanya ada sedikit sinar yang menerobos masuk melalui celah-celah dinding, membuat cuaca di dalam ruangan dalam rumah itu remang-remang.

"Silahkan, nona," bisik Siok Cin Cu yang memberi isyarat kepada dara itu untuk maju ketika mereka tiba di ruangan yang tadi diintai oleh Kim Hong, Kim Hong masih bersikap waspada. Seorang pendekar harus tidak pernah meninggalkan kecurigaan dan kewaspadaannya, demikianlah pelajaran yang ditekankan di dalam hatinnya sejak dahulu oleh orang tuanya. Maka, biarpun ia mulai percaya kepada Siok Cin Cu yang dianggapnya tidak mempunyai iktikad buruk, tetap saja dara perkasa ini bersikap waspada dan selalu siap menghadapi bahaya dari manapun juga datangnya. Ia memandang kepada sosok tubuh yang duduk bersila di sudut ruangan, lalu menjura kepada sosok tubuh itu.

"Ah, selamat datang, nona. Silahkan duduk dan maafkan, di sini pinto tidak mempunyai kursi dan meja, terpaksa duduk diatas lantai saja. Silahkan." Sosok tubuh itu berkata tanpa bergerak.

"Terima kasih, locianpwe," jawab Kim Hong yang duduk duduk bersimpuh di atas lantai dan mempergunakan tangannnya menekan lantai sambil mengerahkan sin-kangnya untuk melihat apakah lantai itu aseli ataukah ada rahasianya dan merupakan perangkap. Akan tetapi hatinya merasa lega ketika mendapatkan kenyataan bahwa lantai itu merupakan lantai batu yang tidak mongandung sesuatu yang mencurigakan.

"Sekarang katakan, apakah yang dapat pinto lakukan untuk membantumu, nona?" Diam-diam Kim Hong memuji kakek itu. Biarpun ia tidak akan melihat dengan jelas, ia dapat menduga bahwa orang itu tentulah seorang pria yang sudah tua, apa lagi bukankah pria ini merupakan paman guru dari tosu Siok Cin Cu? Bagaimanapun juga, kakek ini tidak sombong, biarpun sudah jelas tahu apa yang menjadi kesulitannya, namun kakek itu masih bertanya dan tidak mendahuluinya menyombongkan pengetahuannya.

"Locianpwe, saya mencari seorang sahabat saya yang hilang ketika dia memasuki sebuah guha dan saya tidak lagi menemukan jejaknya. Mohon pertolongan locianpwe untuk memberi petunjuk di mana adanya sahabat saya itu." Hening sejenak dan Kim Hong mencurahkan perhatiannya untuk mendengarkan jawaban dari sosok tubuh yang masih bersila tanpa tergerak itu. Akhirnya, setelah menanti agak lama, kakek itu menjawab.

"Hemm, bukankah sahabatmu itu seorang pemuda perkasa dan berdarah bangsawan tinggi, she-nya Ceng?" Diam-diam Kim Hong terkejut. Ternyata orang ini benar-benar hebat!

"Dan engkau sendiri juga berdarah bangsawan tinggi she Toan, bukan?" Kim Hong makin terkejut dan makin tertarik.

"Benar, locianpwe," jawabnya dan kini ia mulai percaya bahwa ia memang berhadapan dengan seorang tua yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bahkan ia mulai memelihara harapan bahwa kakek ini benar-benar akan dapat menolongnya dan dapat memberitahukan di mana adanya Thian Sin.

"Kalau begitu, engkau pandanglah ke sini, nona. Lihatlah baik-baik dan apa yang dapat nampak olehmu?" Kim Hong mengangkat mukanya memandang. Matanya terbelalak melihat sebuah wajah yang remang-remang, akan tetapi di atas kepala itu nampak sebuah sinar seperti lampu yang amat terang dan menyilaukan mata.

"Engkau merasa silau, nona? Kalau silau, pejamkan matamu sejenak. Nah... begiulah, pejamkan mata dan terasa enak bukan? Enak untuk tidur. Engkau mulai mengantuk, maka tidurlah, nona. Di sini aman, aku akan melindungimu, tidurlah, nona, tidurlah dengan nyenyak." Kim Hong tadinya tidak tahu bahwa ia telah terseret oleh kekuatan yang luar biasa dan begitu ia menuruti permintaan suara itu tadi untuk memandang dan menjadi silau melihat sinar menyilaukan, ia seakan-akan telah membiarkan semangatnya dikuasai orang yang memiliki ilmu sihir! Ketika suara itu dengan lembutnya menyuruhnya memejamkan mata, otomatis iapun memejamkan matanya dan mendengar suara menyuruhnya tidur, ia seperti tidak dapat lagi menahah rasa kantuknya yang membuat matanya berat dan tak dapat dibukanya lagi. Ia ingin tidur, sungguh ingin sekali untuk tidur dan betapa nikmatnya kalau dapat tidur pulas pada saat itu! Akan tetapi, Kim Hong bukanlah seorang dara biasa. Selain memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan tenaga sin-kang amat kuat, juga ia telah hidup berdua bersama Ceng Thian Sin selama beberapa tahun ini sehingga dalam percakapan mereka kadang-kadang Ceng Thian Sin membuka rahasia tentang kekuatan sihir. Biarpun ia tidak mempelajari ilmu itu, akan tetapi ia sudah mulai mengerti akan seluk-beluknya. Oleh karena itu, ketika kekuatan sihir dari kakek itu mulai mempengaruhinya dan membelenggunya, ia terkejut dan teringat lalu mengerahkan sinkangnya untuk memberontak! Kim Hong berhasil meronta, bahkan lalu meloncat berdiri. Akan tetapi, saat ia masih sedang bersitegang melepas diri dari keadaan tidak sadar itu, tiba-tiba saja ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu kedua pundak Kim Hong telah ditotok orang. Dara perkasa ini baru dalam keadaan setengah sadar, masih terpengaruh oleh kekuatan sihir, maka biarpun nalurinya yang amat kuat itu membuat ia berusaha mengelak, namun tetap saja totokan pada pundak kirinya mengenai sasaran dan tubuhnya yang sebelah kiri seketika menjadi kehilangan tenaga seperti lumpuh. Pada saat itu, ia sudah diringkus dan dibelenggu kaki tangannya, kemudian jari tangan yang kuat menekan pundak kanannya dan habislah kekuatannya. Ia tertotok dan tidak mampu bergerak lagi!

"Bagus!" katanya menekan kemarahannya.

"Ternyata engkau adalah Siluman Guha Tengkorak!" Akan tetapi yang menjawabnya hanya suara ketawa saja dan tanpa dapat melawannya, Kim Hong melihat dirinya dimasukkan ke dalam sebuah karung hitam dan kemudian ia dipondong orang dan dibawa pergi dari situ. Ia tahu bahwa yang memondongnya bukan Siok Cin Cu, karena orang ini memiliki gin-kang yang jauh lebih lihai dari pada tosu itu. Kim Hong tidak tahu ke mana ia dibawa. Dari dalam karung hitam itu ia tidak dapat melihat sesuatu dan ia hanya merasa dibawa naik turun dengan cepat. Setelah lewat waktu cukup lama, akhirnya ia dikeluarkan dari dalam karung dan dilemparkan ke dalam sebuah kamar, di atas dipan, dalam keadaan tertotok dan terbelenggu kaki tangannya! Ternyata kamar itu hanya sebuah kamar yang tidak begitu besar, dari tembok tebal dan pintunya dari besi, ada lubanglubang angin di bawah dan di atas. Sebuah kamar tahanan yang amat kuat. Pintu itu sudah dikunci, akan tetapi dari jeruji yang terdapat di bagian atas pintu besi, ia dapat melihat ada orang di luar pintu. Seorang laki-laki yang berjubah sutera putih, dengan gambar tengkorak darah di dadanya dan mukanya tertutup topeng tengkorak! Tentu saja Kim Hong merasa ngeri. Bukankah siluman itu telah tewas bersama kudanya di dasar jurang? Akan tetapi, ia dapat menenangkan dirinya dan mengertilah ia bahwa Siluman Guha Tengkorak bukan hanya terdiri dari seorang penjahat saja. Hari telah menjadi malam dan kamar itu ha-nya menerima cahaya lampu yang berada di luar kamar, melalui lubang-lubang angin dan jeruji pin-tu besi. Kim Hong mengumpulkan kekuatannya dan menjelang tengah hari ia berhasil membebaskan diri dari pengaruh totokan. Setelah pengaruh totokan itu punah, dengan pengerahan sin-kang ia dapat mematahkan belenggu kaki tangannya. Akan tetapi, baru saja ia bangkit dan hendak mencari jalan keluar, terdengarlah suara mendesis-desis dan ia melihat asap putih menyembur-nyembur masuk dari lubang-lubang angin. Begitu mencium asap ini tahulah ia bahwa asap itu adalah asap yang me-ngandung racun bius! Maka iapun cepat bertiarap di atas lantai, akan tetapi tindakan ini hanya mem-perpanjang sedikit waktu saja karena akhirnya ia terpaksa menyedot asap itu dan jatuh pingsan. Malam telah larut ketika ia siuman kembali. Kamar telah bersih dari asap dan ia merasakan kepalanya agak pening, dan kaki tangannya sudah terbelenggu lagi, bahkan kini tubuhnya sudah diletakkan orang di atas dipan. Ada suara di pintu dan ketika ia menengok, ia melihat orang bertopeng tengkorak di luar pintu.

"Nona, sekali lagi engkau melepaskan belenggu dan mencoba lari, hukumannya tentu berat. Asap bius itu tak mungkin nona lawan. Sebaiknya nona menyerah saja dan kami akan memperlakukan nona dengan baik-baik." Setelah berkata demikian, orang itu meninggalkan pintu. Kim Hong maklum bahwa ia terjatuh ke dalam tangan gerombolan yang lihai sekali dan iapun tahu bahwa pada saat itu ia tidak berdaya dan tidak mungkin meloloskan diri dengan kekerasan. Asap bius yang sewaktu-waktu dapat masuk melalui lubang-lubang angin itu memang tak mungkin dapat dilawan dan dihindarkan, dan biarpun tidak nampak adanya penjaga, ia tahu bahwa ada penjaga-penjaga bersembunyi dan selalu mengamati gerak-geriknya. Celaka, pikirnya. Tentu Thian Sin juga sudah tertawan oleh mereka. Tenang, ia mencela diri sendiri. Tenang! Hanya ketenangan batin sajalah satu-satunya hal yang mungkin akan dapat menolongnya dan juga menolong Thian Sin. Maka iapun lalu memejamkan mata untuk tidur agar kekuatannya dapat pulih kembali.

* * *
Ke manakah perginya Ceng Thian Sin? Apa yang dikhawatirkan oleh Kim Hong memang benar. Pemuda itu sudah pasti akan kembali ke dalam hutan seperti yang telah dijanjikannya kepada Kim Hong kalau tidak ada hal yang membuatnya tidak mungkin melakukan hal itu. Seperti telah kita ketahui, setelah bertemu dengan Cia Liong dan Cia Ling kemudian mendengar pesan terakhir dari Kwee Siu, setelah mengubur jenazah pendekar itu, Thian Sin lalu membagi tugas dengan kekasihnya. Dia menyuruh Kim Hong menyelamatkan dua orang anak itu dan menitipkannya kepada orang di tempat aman, kemudian dia sendiri lalu mencari jejak siluman yang telah membunuh Kwee Sin. Jejak itu membawanya ke daerah Guha Tengkorak. Akan tetapi setelah tiba di kaki bukit di mana terdapat tebing Guha Tengkorak, seperti juga Kim Hong, dia melihat kuil kuno itu dan hatinya tentu saja tertarik sekali. Dia sendiri belum tahu di mana adanya Guha Tengkorak, tidak tahu bahwa daerah guha itu terdapat di atas tebing, maka diapun lalu turun dari atas punggung kudanya dan menuntun kuda itu mendaki bukit menuju ke kuil yang berdiri di puncak bukit. Ketika dia tiba di depan kuil, dia melihat seorang tosu sedang menyapu pelataran depan kuil itu. Tosu itu berhenti menyapu dan menyambut kedatangan pemuda itu dengan pandang mata heran.

"Maaf totiang kalau saya mengganggu ketenteraman tempat ini," kata Thian Sin sambil menjura dengan hormat. Tosu itu membalas dengan anggukan dan kedua tangan dirangkap di depan dada.

"Siancai...! Sungguh merupakan hal yang amat mengherankan melihat tempat ini kedatangan tamu seperti kongcu!" jawab tosu itu yang bukan lain adalah tosu yang kemudian mengaku bernama Siok Cin Cu kepada Kim Hong.

"Bagaimanakah kongcu dapat tiba di tempat yang terasing ini dan ap-akah gerangan keperluan kongcu bersusah payah mendaki tempat ini?"

"Maaf, totiang. Saya mohon petunjuk totiang tentang tempat yang dinamakan Guha Tengkorak. Saya mencari tempat itu." Tosu itu tidak memperhatikan perobahan pada wajahnya, namun pandang matanya bersinar dan tentu saja sedikit hal ini tidak terlewat dari ketajaman pandang mata Thian Sin.

"Guha Tengkorak...?"

"Benar, apakah totiang mengetahui tempat itu?" Kakek itu mengangguk lalu memandang kepada wajah pemuda itu dengan ragu-ragu.

"Tapi... ada keperluan apakah kongcu datang ke tempat seperti itu?"

"Tempat seperti itu? Apa yang totiang maksudkan? Ada apakah dengan tempat itu?" Thian Sin balas bertanya. Tosu itu nampak bingung oleh serangan kata-kata Thian Sin ini, lalu menggeleng kepala.

"Tidak apa-apa, hanya... selama bertahun-tahun ini belum pernah pinto melihat ada orang mencari tempat itu, maka pinto merasa terkejut dan heran ketika tiba-tiba kongcu muncul dan mencari tempat itu." Jawaban yang teratur sekali, pikir Thian Sin. Menghadapi tosu yang pintar ini tidak ada gunanya berputar lidah, maka diapun lalu berkata,

"Sesungguhnya saya hendak menyelidiki Guha Tengkorak dan hendak mencari Siluman Guha Tengkorak, totiang." Kini tosu itu nampak terkejut dan agaknya dia tidak menyembunyikan rasa kagetnya mendengar disebutnya Siluman Guha Tengkorak. Akan tetapi dia menentang pandang mata Thian Sin yang tajam penuh selidik itu, lalu menarik napas panjang.

"Siancai... jangan-jangan kongcu menyangka bahwa pintolah orangnya yang terkenal dengan sebutan Siluman Guha Tengkorak!" Thian Sin diam-diam kagum akan kecerdikan orang ini dan dia semakin waspada. Dia tersenyum ramah dan berkata,

"Baru saja aku mendengar nama itu, totiang, tentu saja aku tidak berani menuduh dan menduga sembarangan. Dan karena totiang juga mengenal nama itu, maka aku mohon petunjuk totiang di mana kiranya aku bisa menemukan siluman itu. Di mana dia tinggal? Apakah di Guha Tengkorak dan di mana letak guha itu?" Kakek itu kembali menghela napas.

"Siapa yang tidak mendengar namanya, kongcu? Akan tetapi siapa pula yang tahu di mana tempat tinggalnya? Baru kurang lebih sebulan lamanya, pasukan kea-manan bersama banyak pendekar telah datang ke sini dan mereka mencari di daerah tebing Gu-ha Tengkorak akan tetapi tidak berhasil menemu-kan apa-apa." Thian Sin mengangguk-angguk.

"Ah, jadi nama itu sudah terkenal sekali dan dicari oleh pasukan keamanan dan para pendekar, totiang?" Kakek itu mengangguk-angguk.

"Mungkin begitu. Pinto sendiri yang selamanya bertapa di sini tidak tahu menahu akan hal itu. Baru setelah pasukan itu mencari di daerah ini pinto tahu bahwa semenjak dua tiga bulan ini nama itu dikenal orang. Akan tetapi apakah benar dia berada di sini, tidak seorangpun tahu. Maka, pinto rasa akan percuma saja kalau kongcu mencarinya, dan pula, amat berbahaya, kongcu." Thian Sin memandang tajam.

"Kenapa berba-haya, totiang?"

"Pinto sudah mendengar berita dari pasukan itu bahwa orang ini amat lihai, ilmu kepandaiannya seperti dewa... dan guha-guha itu merupakan tem-pat berbahaya, kabarnya keramat dan siapa berani memasukinya takkan dapat keluar lagi."

"Aku tidak takut, totiang. Harap totiang suka menunjukkan di mana tempatnya dan kalau memang benar Siluman Guha Tengkorak berada di situ, totiang tidak usah ikut campur, biarlah aku sendiri yang akan menghadapinya." Kakek itu memandang kepada Thian Sin dari kepala sampai ke kaki, kemudian menganggukangguk.

"Ah, kiranya kongcu adalah seorang pendekar muda yang gagah berani. Baiklah kalau begitu, mari pinto antar sampai di tempatnya. Akan tetapi tak mungkin membawa kuda mendaki tempat itu dan setelah tiba di sana, pinto akan segera kembali."

"Terima kasih, totiang," Thian Sin berkata girang dan tosu itu menyuruh dia menambatkan kuda di belakang kuil. Berangkatlah mereka mendaki tebing yang curam itu dan akhirya Thian Sin berdiri memandang dinding batu karang yang penuh dengan guha yang menyeramkan, guha-guha yang sebagian besar berbentuk tengkorak manusia. Tempat yang amat sunyi dan tidak ada tanda-tanda bahwa di tempat itu ada manusianya.

"Guha-guha itu telah diperiksa oleh pasukan akan tetapi tidak ada hasilnya," kata tosu itu dengan suara datar dan terdengar dingin.

"Lalu kenapa mereka mengejar dan mencari ke tempat ini, totiang?"

"Itulah, mungkin karena desas-desus bahwa orang yang mereka cari-cari itu kelihatan memasuki gua itu," kakek itu menudingkan telunjuknya ke arah sebuah guha, nomor tiga dari kiri yang juga mirip tengkorak bentuknya.

"Nomor tiga dari kiri itu?"

"Betul. Nah, sudahlah, pinto terpaksa harus meninggalkan kongcu seorang diri di sini. Ataukah kongcu sudah berbalik pikir dan hendak ikut turun kembali bersama pinto?" Thian Sin memaksa tersenyum.

"Kalau totiang mengira bahwa aku menjadi jerih atau takut setelah mendengar cerita totiang atau setelah melihat tempat ini, totiang salah duga. Tidak, aku akan mencari Siluman Guha Tengkorak dan aku yakin pasti akan dapat menemukan dia di sini kalau memang benar di sini tempat tinggalnya." Pemuda perkasa itu melihat betapa pandang tosu itu sinar seperti orang tersinggung, akan tetapi tosu itu segera menundukkan mukanya.

"Siancai, semoga kongcu tidak menemui halangan apapun." Dan tosu itupun lalu membalikkan tubuhnya dan turun kembali dari atas tebing. Setelah tosu itu lenyap di tikungan tebing yang curam itu, Thian Sin lalu berloncatan cepat sekali menghampiri guha-guha di sebelah kiri. Dia memeriksa guha-guha itu, dari guha pertama sampai lima buah guha banyaknya dan mendapatkan kenyataan bahwa guha ke tiga itu memang yang terbesar dan dalam. Dia lalu memasuki guha ke tiga ini, sebuah guha yang dalamnya tidak kurang dari duapuluh meter dan lebarnya ada empat meter. Guha ini merupakan ruangan yang cukup luas akan tetapi tentu saja tidak enak untuk dijadikan tempat tinggal karena lantainya terdiri dari batu-batu yang tidak rata dan bahkan makin mendalam makin menurun, merupakan lereng dan juga tajam-tajam seperti batu karang di lautan. Dengan amat waspada dan hati-hati sekali, Thian Sin memeriksa guha ini. Dipandang sepintas lalu saja, tidak mungkin ada yang bersembunyi di sini, karena walaupun guha itu merupakan tempat yang terasing akan tetapi sungguh amat tidak enak untuk dijadikan tempat tinggal. Akan tetapi Thian Sin memeriksa ruangan yang gelap itu dan tiba-tiba dia menemukan sebuah terowongan di sudut kanan, tempat yang paling gelap. Kalau tidak mendekat dan meraba, sukar untuk menemukan terowongan ini. Dia tidak segera masuk, melainkan memeriksa dengap seksama. Kalau memang tempat ini pernah diperiksa pasukan, tidak mungkin kalau pa-sukan tidak menemukan terowongan ini. Ketika dia memeriksa dengan meraba-raba di bagian ambang pintu terowongan jantungnya berdebar meraba papan besi di balik batu yang agaknya tadinya menutup terowongan itu. Jelaslah bahwa te-rowongan ini merupakan pintu rahasia yang belum lama dibuka orang. Kalau pintu itu dikembalikan di tempatnya, maka akan lenyap dan dinding di sudut itu akan lenyap dan dinding di balik batu itu ada terowongannya. Dan tentu saja, sedikitpun tidak orang yang nampaknya menjadi satu dengan dinding guha. Penemuan yang kebetulan saja? Ataukah umpan jebakan? Apapun juga, inikah jalan satusatunya, pikir Thian Sin dan aku akan mencari siluman itu sampai dapat! Setelah mengambil keputusan ini, dengan tabah Thian Sin lalu memasuki terowongan yang gelap itu. Terowongan itu cukup besar walaupun dia harus memasukinya dengan tubuh agak membungkuk. Akan tetapi ternyata lantainya lebih rata dari pada lantai di ruangan depan guha itu. Hal ini mendatangkan dugaan bahwa tempat ini memang sengaja dibuat orang. Ketika dia me-langkah maju dengan hati-hati di tempat yang re-mang-remang dan semakin gelap itu, kurang lebih duapuluh langkah, tiba-tiba terdengar suara keras di belakangnya! Thian Sin cepat membalikkan tubuhnya dan siap siaga menghadapi serangan, akan tetapi tidak terjadi sesuatu kepada dirinya. Suara keras itu diikuti kegelapan yang menelan dirinya dan tahulah Thian Sin bahwa ada alat rahasia menggerakkan batu yang kini menutup lubang terowongan! Dia menahan senyum dan tidak mau memperlihatkan kepanikan dengan kembali ke mulut terowongan mencoba membuka pintu itu. Tidak, biarpun dia telah terjebak, dia harus terus ke dalam dan menghadapi bahaya apapun juga! Maka Thian Sin dengan sikap tenang sekali melanjutkan perjalanannya, melalui jalan terowongan yang gelap itu, melaju terus dan mencurahkan seluruh panca inderanya untuk menghadapi kalau-kalau ada bahaya serangan dari sekelilingnya. Lantai terowongan itu tetap rata, bahkan kalau turun ada anak tangganya yang rapi. Terowongan itu berbelak-belok dan menurut perhitungan Thian Sin, jarak yang ditempuhnya semenjak dia memasuki terowongan tidak kurang dari satu li! Akan tetapi diapun maklum bahwa tempat itu masih berada di dalam daerah Guha Tengkorak, karena biarpun jauh, terowongan itu berlika-liku. Dengan merentangkan kedua lengahnya, dia dapat mengukur lebar sempitnya terowongan itu, juga tinggi rendahnya langitlangit karena dia harus selalu menjaga agar jangan sampai kepalanya terbentur batu karang yang bergantungan dari langit-langit. Ketika dia tiba di sebuah ruangan persegi empat, dia berhenti, meraba-raba dengan kedua tangannya karena dia merasa bahwa dia tiba di tempat yang lebih lebar dan luas. Dan tiba-tiba terdengar suara seperti besi bertemu dengan batu. Karena keadaan tetap gelap, Thian Sin tidak berani sembarangan bergerak, melainkan berdiri dan siap siaga untuk melindungi tubuhnya. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu pada dirinya, tidak ada serangan yang datang walaupun tadi dia merasakan ada sambaran angin dari benda-benda yang bergerak cepat dan kuat. Dan suara hiruk-pikuk tadipun sudah berhenti lagi. Thian Sin menduga bahwa tentu terjadi pergerakan yang merupakan jebakan seperti ketika pintu batu terowongan tadi menutup. Dengan hati-hati kakinya meraba-raba ke depan, demikian pula jari tangan kirinya sedangkan tangan kanannya siap siaga untuk menangkis atau menyerang. Dan kaki serta tangan kirinya itu menemukan kenyataan bahwa kini dirinya telah terkurung! Kanan dan kirinya adalah dinding batu yang dingin dan dan keras, sedangkan di sebelah depannya adalah dinding besi atau baja yang setebal lengan manusia. Dia telah terkurung! Mendadak tempat itu menjadi terang sekali dan ternyata ada bagian dinding di luar jeruji besi itu yang terbuka. Sebuah pintu besi tiba-tiba saja muncul dan terbuka dan dari situlah datangnya cahaya terang itu. Agaknya sinar matahari dapat memasuki tempat yang diduganya tentu berada di bawah tanah ini. Agak silau juga mata Thian Sin sehingga terpaksa memejamkan kedua matanya tanpa mengurangi kewaspadaannya dan kini dia menjaga diri dengan mengandalkan ketajaman pendengaran telinganya. Biarpun dia memejamkan kedua matanya, namun dia mengetahui dari pengaruh bahwa di luar jeruji besi itu terdapat sedikitnya sepuluh orang yang kesemuanya memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, terbukti dari gerakan kaki mereka yang gesit dan ringan ketika mereka itu datang mendekat. Ketika dia membuka kedua matanya, dia melihat bahwa di luar jeruji itu berdiri dua belas orang. Semua orang itu memakai jubah sutera putih dengan gambar tengkorak merah di dada mereka dan muka mereka semua memakai topeng tengkorak! Dengan sekilas pandang saja tahulah pemuda perkasa itu bahwa keadaannya sungguh terjepit dan tidak ada harapan baginya untuk dapat meloloskan diri mempergunakan kekerasan. Dia benar-benar berada di dalam bahaya, terjebak di dalam terowongan bawah tanah dan menghadapi banyak musuh yang agaknya tangguh juga. Akan tetapi, bukan watak Pendekar Sadis Ceng Thian Sin untuk berkecil hati dalam keadaan bagaimanapun juga. Dia berdiri di tengah ruangan itu, menghadapi dua belas orang siluman sambil tersenyum lebar.

"Ha-ha, kiranya Siluman Guha Tongkorak yang disohorkan orang itu tiada lain, hanyalah sekumpulan tikus gunung yang hebatnya cuma mengandalkan lubang-lubang tikus jebakan dan pengeroyokan belaka!" Belasan pasang mata di balik topeng-topeng tengkorak itu mengeluarkan sinar berkilat tanda bahwa mereka marah mendengar ucapan ini yang amat merendahkan dan menghina mereka. Seorang dari mereka yang berdiri di pinggir, berkata, suaranya halus namun penuh mengandung ancaman.

"Orang muda, engkau sudah tertawan dan nya-wamu berada di telapak tangan kami, akan tetapi masih berani bersikap berani dan menghina. Engkau sungguh seorang muda yang gagah perkasa akan tetapi juga bodoh dan bosan hidup. Siapapun orangnya yang berani lancang memasuki daerah kami tanpa ijin, tentu mati. Akan tetapi karena Sian-su (Guru Dewa) ingin bertemu dan bicara denganmu, maka engkau selamat. Sekarang menyerahlah untuk kami bawa menghadap Sian-su, siapa tahu engkau akan diampuni. Akan tetapi kalau engkau melawan, tentu nanti akan dibunuh. "Orang itu memberi isyarat dengan tangannya dan sepuluh orang temannya tiba-tiba mengeluarkan busur dan anak panah, menodongkan anak panah ke arah Thian Sin. Lain orang di antara mereka melangkah maju, dan jeruji besi itu tiba-tiba saja tertarik ke atas, tentu digerakkan oleh alat rahasia yang tersembunyi. Orang yang bicara itu sendiri sudah mengeluarkan sebatang pedang, agaknya mereka bersiap-siap menyerang kalau Thian Sin menggunakan kekerasan. Thian Sin tidak berpikir panjang untuk mengambil keputusan. Kalau dia menghendaki, kiranya dia akan mampu merobohkan dua belas orang ini dan lolos dari dalam kurungan pada saat kurungan itu dibuka. Akan tetapi dia tahu bahwa perbuatan ini tidaklah bijaksana. Mereka ini hanyalah anak buah saja dan dia perlu bertemu dan berhadapan muka dengan pemimpinnya, yang disebut Sian-su oleh orang yang bicara tadi. Diapun dapat menduga bahwa yang bicara itu adalah tosu yang mengantarnya ke tempat itu. Hal ini dapat dikenalnya dari kedudukan kepala orang itu yang agak miring ke kiri. Kepala yang agak miring ke kiri itu dicatatnya sebagai tanda atau ciri dari tosu yang mengantarnya dan orang bertopeng inipun kepalanya agak miring ke kiri! Dan andaikata dia bisa lolos dari sini, belum tentu dia akan dapat lolos dari terowongan ini. Mungkin banyak dipasang alat-alat jebakan yang berbahaya, dan dia sendiri belum tahu berapa banyaknya anak buah mereka dan sampai di mana kelihaian Sian-su mereka itu. Pula, dia ingin mengetahui sampai sedalamnya dan ingin menolong pula ibu dari dua orang anak. Kalau sekarang dia mengamuk, mungkin saja dia akan menggagalkan semua usahanya.

"Kepala kalian ingin bicara denganku? Baiklah, akupun ingin bicara dengan dia!" katanya dan dia membiarkan saja orang bertopeng yang masuk ke dalam ruangan tahanan itu membelenggu kedua pergelangan tangannya ke belakang. Belenggu itu berupa rantai baja yang cukup kuat. Orang yang bertugas membelenggunya itu agaknya tahu akan tugasnya. Setelah membelenggu kedua pergelangan tangannya, dia lalu menggerakkan tangannya, menggunakan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya untuk monotok jalan darah tiong-cu-hiat di tengkuk Thian Sin. Pendekar Sadis melihat dia tahu akan hal ini, akan tetapi dia tidak bergerak dan pura-pura tidak tahu saja.

[1] [2] [3] [4] [5] [6]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar