Serial Pedang Kayu Harum (7)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Sumber : http://goldyoceanta.wordpress.com
Pesta pernikahan yang dirayakan orang di dusun biasanya jauh lebih meriah dari pada pesta pernikahan yang dirayakan orang di kota itu. Meriah di sini bukan berarti mewahnya perayaan itu, melainkan kemeriahan yang terasa benar di dalam hati mereka yang hadir, tercermin dari wajah mereka yang berseri-seri. Pesta pernikahan di kota besar hanya merupakan pesta makan minum yang mewah dan berlebihan, kegembiraan yang timbul karena pengaruh arak yang terlalu banyak memenuhi perut sehingga arak itu menguap memenuhi benak membuat orang menjadi lupa diri.
Pesta di kota hanya merupakan perlombaan memamerkan kekayaan. Akan tetapi di dusun lebih terasa keakraban dan kegotongroyongan, sehinga para tamu itu seolah-olah merasa sebagai keluarga dan sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam perayaan itu, bahkan seperti keluarga yang merayakan, bukan sekedar tamu yang datang untuk makan minum. Pesta pernikahan antara Thio Siang Ci dan The Si Kun di dusun Ban-ceng itu sungguh amat meriah. Seluruh penghuni dusun Ban-ceng ikut merayakannya. Hal ini tidak mengherankan karena keluarga yang dikenal sebagai keluarga ramah dan baik, bahkan Thio Siang Ci dikenal sebagai kembangnya para gadis cantik di dusun itu. Bahkan banyak pemuda luar dusun, sampai di kota Tai-goan, mengenal dan mendengar akan kecantikan Siang Ci. Akan tetapi yang beruntung dan berhasil memetik kembang cantik ini adalah The Si Kun, putera seorang saudagar ikan yang cukup kaya di kota Tai-goan.
Seperti telah menjadi kebiasaan para penduduk Ban-ceng yang berdasarkan ketahyulan dan perhitungan, pertemuan pengantin juga dilakukan dengan dasar perhitungan dan menurut perhitungan para keluarga yang tua, pertemuan pada hari itu jatuh pada jam enam sore! Sore itu, rumah keluarga Thio sudah penuh dengan tamu dan suasana menjadi makin meriah dan gembira ketika sepasang mempelai dipertemukan di mana diadakan upacara sembahyang di depan meja leluhur.
Biarpun wajah pengantin perempuan tidak dapat dilihat jelas karena tertutup oleh rumbai-rumbai atau hiasan kepala yang berjuntaian ke depan muka, namun masih dapat dilihat bentuk tubuhnya yang langsing dan padat, sebagian dari kulit leher dan kulit tangannya yang putih halus. Pengantin laki-laki juga kelihatan ganteng, wajahnya yang muda dan tampan itu nampak berseri-seri, mulutnya mengulum senyum malu-malu karena banyak sahabatnya yang mengeluarkan suara atau membuat gerakan-gerakan yang menggodanya. Sepasang mempelai itu memang merupakan pasangan yang cocok dan manis sekali.
Thio Siang Ci adalah seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang cantik jelita, bagaikan bunga sedang mekar. Adapun The Si Kun adalah seorang pemuda yang usianya dua puluh tahun, tampan dan sehat dan pandai berdagang karena sejak kecil telah membantu ayahnya. Keluarganya adalah pedagang ikan, membeli ikan dari para nelayan di Sungai Fen-ho, mengumpulkan ikan-ikan itu, sebagian menjualnya ke kota Tai-goan dan sebagian pula dibuat menjadi ikan asin.
Setelah sepasang mempelai selesai melakukan upacara sembahyang lalu mohon doa restu dari para anggota keluarga yang lebih tua, kemudian sekali setelah lelah menjalankan semua upacara itu mereka baru diperbolehkan duduk bersanding di tempat yang sudah dipersiapkan, para tamu mulai dengan perjamuan makan. Hari telah mulai gelap dan para pelayan mulai menyalakan lilin dan lampu-lampu yang diatur indah dan nyeni untuk menambah meriahnya suasana pesta pernikahan itu. Api lilin yang bergerak-gerak tertiup angin semilir sungguh seperti penari-penari yang sedang bergembira menari-nari.
Suasana gembira ini menjadi agak bising karena para tamu kini bicara sendiri dan bermacam-macamlah yang mereka bicarakan, dari membicarakan cantik dan tampannya sepasang mempelai sampai ke urusan yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan pesta pernikahan itu. Tiba-tiba terdengar teriakan kaget dan seorang pelayan yang sedang memasang lilin di bagian luar melepaskan tempat lilin sambil berteriak tadi. Semua orang menengok dan Thio Ki, ayah mempelai wanita cepat berlari keluar. "Ada apa?" tanyanya kepada pelayannya dengan alis berkerut karena kecerobohan pelayan itu. Akan tetapi pelayan itu nampak tubuhnya menggigil dan hanya menunjuk ke arah dinding di depannya. Tuan rumah lalu mengambil sebuah tempat lilin dan mengangkat benda itu ke atas sambil mendekati dinding dan tiba-tiba mukanya pun berubah pucat ketika dia melihat sebuah gambar tengkorak merah dan agaknya, benda cair yang dipakai menggambar tengkorak itu adalah darah yang masih basah, tanda bahwa gambaran itu baru saja dibuat orang! Agaknya, pelayan tadi menyalakan lilin dekat dinding dan melihat lukisan itu, maka dia berseru kaget dan menjatuhkan tempat lilin. Thio Ki sendiripun terkejut.
"Aihh...!"
Para tamu berlari mendekat dan kini banyak orang mengerumuni tempat itu dan semua memandang kepada gambar tengkorak dari darah itu dengan muka pucat. Sudah ada tiga kali peristiwa seperti itu, ialah gambar-gambar tengkorak darah pada rumah-rumah orang, di pintu atau dinding depan dan akibatnya, pada malam harinya ada tiga orang gadis terculik! Dan sekarang, justru pada saat gadis tuan rumah merayakan hari pernikahannya, terdapat gambar pada dinding rumah itu!
"Siluman Guha Tengkorak...!" Terdengar bisikan seorang tamu dan semua orang menggigil ketakutan.
Nama ini, biarpun baru muncul beberapa kali, telah menjadi semacam momok yang menakutkan di daerah Tai-goan dan sekitarnya. Pengantin pria, The Si Kun yang juga tertarik dan sudah mendekati dinding itu, mengepal tinjunya. Dia bukan seorang pemuda yang penakut dan lemah. Sejak semula dia sudah menduga bahwa yang membuat gambar-gambar tengkorak dan menculik gadis-gadis itu adalah segerombolan penjahat. Dan dia tidak takut karena para nelayan yang menjadi anak buahnya adalah orang-orang yang sudah biasa menghadapi kekerasan-kekerasan para penjahat dan para bajak sungai. "Biarkan dia datang! Kami akan melawannya! Bukankah begitu, kawan-kawan?" teriaknya.
Belasan orang nelayan muda yang bertubuh tegap-tegap dan yang menjadi kawan-kawan pengantin pria, segera mengangkat kepalan tangan ke atas dan berteriak,
"Benar, kita akan lawan dia dan akan tangkap jahanam itu!"
Betapapun juga, para tamu sudah merasa ketakutan dan perjamuan itu dilanjutkan dalam suasana tegang. Para tamu lalu berpamit dan seorang demi seorang bangkit dari tempat duduk, lalu berbondong-bondong minta diri dan meninggalkan rumah keluarga Thio. Suasana menjadi sunyi setelah tempat itu tadinya bising dengan para tamu. Yang masih tinggal di situ hanya dua belas orang nelayan muda yang menjadi sahabat pengantin pria. Mereka ini masih tetap makan minum dengan gembira di tempat pesta yang sudah kosong itu. Sementara itu, sepasang mempelai telah meninggalkan ruangan dan mendapat kesempatan untuk mengaso dalam kamar mereka karena para tamu sudah tidak bernafsu lagi untuk menggoda sepasang mempelai di malam pertama itu. Seluruh keluarga Thio yang sudah memasuki kamar masing-masing tak dapat memejamkan mata karena hati mereka semua merasa tegang dan khawatir. Atas permintaan pihak tuan rumah, duabelas orang nelayan muda, teman-teman dari The Si Kun itu kini pindah ke ruangan yang berada di luar kamar pengantin. Mereka tetap dijamu di tempat itu, tempat yang berdekatan dengan kamar pengantin untuk menjaga kalau-kalau ada penjahat yang datang mengganggu. Setelah melihat dua belas orang laki-laki muda yang bertubuh kekar itu berada di depan kamar pengantin, barulah hati Thio Ki merasa lega dan diapun pergi ke dalam kamamya untuk mengaso.
Namun, di dalam kamar inipun dia dan isterinya rebah dengan hati gelisah dan tidak dapat pulas sama sekali. Malam semakin larut dan amat sunyi. Terdengar suara anjing menggonggong dari kejauhan, suara gonggongan yang menyedihkan yang kemudian berobah menjadi suara menyeramkan. Lolong anjing berkepanjangan ini biasanya dilakukan anjing-anjing sambil mengangkat muka tinggi-tinggi ke atas memandang bulan dan orang menjadi ketakutan karena katanya saat seperti itu adalah saatnya para iblis gentayangan di permukaan bumi! Dua belas orang nelayan muda itu sudah tidak lagi makan minum, melainkan duduk di ruangan depan pengantin dengan sikap siap siaga. Pengantin pria juga tidak dapat menikmati malam pengantinnya, bahkan terpaksa dia tadi meninggalkan isterinya untuk ikut berjaga bersama kawan-kawannya. Baru setelah kawan-kawannya mendesaknya dengan sikap setengah menggoda agar dia tidak membiarkan isterinya kedinginan seorang diri dalam kamar, pengantin pria memasuki kamarnya lagi. "Aku mengandalkan penjagaan kalian di luar, sedangkan aku sendiri akan berjaga di dalam kamar," katanya. Sebagian untuk menutupi rasa malunya kepada kawan-kawannya yang tentu sudah menggodanya pada malam pertama itu.
"Hayaaaa... kami mengerti, Si Kun!" kata seorang temannya.
"Sudahlah, nikmati malam pengantinmu, biar kami yang berjaga di sini dan menangkap siluman itu kalau benar dia berani muncul."
"Hushh!" cela seorang kawan lain. "Jangan bicara sembarangan di malam seperti ini. Dan masuklah Si Kun, engkau akan merasa aman dalam pelukan istrimu, ha-ha!"
Dua belas orang itu tersenyum.
"Aihh, kalian ini bisa saja menggoda orang. Siapa dapat bersenang dalam keadaan seperti ini?" The Si Kun lalu membuka pintu kamar dan masuk ke dalam, menutupkan kembali kamarnya.
Isterinya juga tidak tidur, melainkan duduk di tepi pembaringan sambil menundukkan muka karena malu. Muka yang cantik memang, dan kini setelah tidak tertutup kerudung, nampak betapa sepasang pipi itu halus kemerahan. Biarpun tadinya dia merasa tegang dan khawatir, kini melihat kecantikan istrinya, Si Kun tak dapat menahan hatinya dan duduklah dia disamping isterinya, tangannya merangkul dan dengan lembut dia menarik muka itu untuk diciumnya. Tiba-tiba lilin yang berada di atas meja kamar itu padam. Hal ini diketahui oleh para penjaga di luar kamar, maka merekapun tertawa-tawa karena padamnya lilin dalam kamar itu membuat mereka mengira bahwa sepasang pengantin baru itu tentu merasa malu, memadamkan penerangan agar dapat mencurahkan perasaan hati mereka berdua dengan leluasa. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa terkejut rasa hati dua belas orang itu ketika tiba-tiba terdengar teriakan The Si Kun disusul suara gedobrakan di dalam kamar dan tak lama kemudian terdengar jeritan pengantin wanita, akan tetapi jeritan itu terdengar jauh dari situ!
Dua belas orang itu segera menghampiri pintu kamar dan mendobraknya karena tidak ada jawaban dari dalam ketika mereka memanggil-manggil. Thio Ki dan isterinya dan seluruh penghuni rumah yang tadinya memang sudah gelisah itu keluar semua dari kamar masingmasing dan berlarian menuju ke kamar pengantin. Pintu kamar didobrak jebol dan mereka berebut masuk. Dari penerangan lampu yang dibawa oleh mereka yang masuk, nampak pemandangan yang mengerikan. The Si Kun, pengantin pria itu, dengan tubuh bagian atas telanjang, hanya menggunakan celana saja, rebah di lantai dengan leher hampir putus. Darah merah masih mengalir dari lehernya dan membasahi lantai. Pemuda ini sudah tewas, dan pengantin wanitanya tidak nampak bayangannya.
Langit-langit kamar itu terbuka dan berlubang. Maka tahulah semua orang bahwa penjahat telah masuk dari atas genteng dengan membobol langit-langit kamar. Para wanita menjerit-jerit dan riuh rendah suara orang menangis. Siluman Guha Teng-korak benar-benar telah datang, menculik pengantin wanita dan membunuh pengantin pria! Gegerlah dusun Ban-ceng! Mengapakah penjahat yang selama beberapa minggu ini mengacau di daerah Tai-goan dan sekitarnya dijuluki orang Siluman Guha Tengkorak? Pertama-tama adalah karena gambar itu. Setiap kali hendak melakukan kejahatan, terutama sekali mencuri perhiasan-perhiasan yang serba mahal dan menculik gadis-gadis cantik, penjahat itu pada siang atau sore harinya selalu tentu memberi tanda gambar tengkorak darah pada pintu atau dinding rumah yang akan didatangi! Inilah yang mula-mula membuat dia dinamakan Tengkorak. Kemudian, pernah dia dikejar-kejar dan penjahat itu dapat berlari cepat seperti iblis, dan larinya menuju daerah pegunungan yang gundul, dimana terdapat penuh batu-batu besar dan guha-guha. Tempat ini dikenal dengan sebutan Guha Tengkorak, karena memang di situ terdapat banyak sekali guha-guha besar dan diantaranya memang ada guha-guha yang bentuknya seperti tengkorak. Karena inilah, maka penjahat yang telah menggegerkan daerah Tai-goan itu dinamakan Siluman Guha Tengkorak. Pemerintah daerah yang dibantu oleh para pendekar setempat telah berusaha untuk mencari dan menangkap penjahat itu, namun hasilnya sia-sia.
Guha-guha itu telah diperiksa, namun tidak nampak sesuatu yang mencurigakan. Tempat itu memang berbahaya dan tandus, terdapat jurang-jurang dalam dan jalannya amat licin sehingga tidak ada orang yang pernah datang ke tempat yang tidak ada gunanya itu. Pembunuhan The Si Kun yang menjadi pengantin itu dan penculikan isterinya, yaitu Thio Siang Ci, merupakan kejahatan yang keempat selama hampir dua bulan penjahat itu muncul. Biarpun orang belum pernah dapat melihat wajahnya karena penjahat itu pandai bergerak cepat seperti menghilang saja, namun orang-orang tahu bahwa penculikan-penculikan wanita dan pencurian itu dilakukan oleh orang yamg sama, yang mereka juluki Siluman Guha Tengkorak karena cara-caranya yang sama, yaitu sebelum datang, telah memberi tanda gambar tengkorak darah dan caranya bekerja juga sama, amat cepat sehingga jarang dapat dilihat orang. Seperti terjadinya penculikan atas diri Thio Sang Ci, sungguh amat mengherankan dan menakutkan orang. Di luar kamar pengantin itu terdapat dua belas orang nelayan muda yang kuat-kuat dan yang masih berjaga, sama sekali tidak ada yang tidur. Namun, penjahat itu dapat memasuki kamar pengantin tanpa ada yang mengetahuinya-, membunuh pengantin pria yang mungkin melawan dan menculik pengantin wanita.
Peristiwa itu terjadi sedemikian cepatnya sehingga yang terdengar hanya teriakan pengantin pria dan ketika kamar didobrak, penjahatnya telah lenyap bersama pengantin wanita yang diculiknya. Daerah Guha Tengkorak terletak di luar kota Tai-goan, di sebelah selatan, di lereng Pegunungan Lu-liang-san di lembah Sungai Fen-ho. Guha-guha ini selain sukar dikunjungi dan tidak pernah didatangi manusia, juga angker dan menurut penduduk yang masih percaya akan cerita tahyul, kabarnya tempat itu menjadi sarang para iblis dan arwah-arwah yang penasaran. Ada yang mengabarkan dengan sumpah betapa mereka mendengar suara-suara aneh dan menyaksikan penglihatan-penglihatan menyeramkan di daerah itu di waktu malam. Tentu saja cerita-cerita ini membuat tempat itu menjadi angker dan membuat orang semakin tidak berani mendekati. Para pendekar dan juga para komandan penjaga keamanan tahu belaka bahwa tempat itupun menjadi tempat pelarian para buronan. Bagi para penjahat yang menjadi buronan pemerintah, memang daerah itu amat baik untuk menyembunyikan diri. Guha-guha itu mempunyai banyak terowonganterowongan di bawah gunung yang sambung-menyambung sehingga sekali sang buronan lari memasuki guha yang ada terowongannya, amat sukar untuk dapat ditemukan. Juga amat berbahaya bagi si pengejar karena tempat itu memang berbahaya sekali. Daerah Guha Siluman ini hanya indah dilihat dari jauh, dari kaki bbukit, dan dapat pula dilihat dari Sungai Fen-ho kalau orang naik perahu lewat di kaki bukit itu. Dari jauh nampaklah dinding bukit yang berbatu-batu dan berlubang-lubang dengan lubang-lubang berbentuk tengkorak, seolaholah dari jauh kelihatan tengkorak-tengkorak yang dipasang berderet-deret di dinding batu karang itu.
Akan tetapi, keindahan ini mengandung sesuatu yang menyeramkan, seolah-olah ada sesuatu yang mengancam mereka yang teralu lama memandang ke arah tempat itu. Para nelayan menganggap tempat ini sebagai tempat keramat dan mereka selalu menundukkan muka kalau melewati tempat ini dan tidak berani memandang langsung terlalu lama ke arah Guha-guha Tengkorak itu. Nama Siluman Guha Tengkorak menggegerkan kota Tai-goan dan daerahnya selama kurang lebih dua bulan ini karena sepak terjangnya yang amat mengerikan itu. Letak daerah Guha Tengkorak hanya tiga puluh li dari Tai-goan. Tentu saja para pendekar di kota Tai-goan merasa penasaran dan marah melihat betapa kota mereka dilanda malapetaka dengan munculnya seorang penjahat yang begitu beraninya. Perbuatan penjahat itu seolah-olah merupakan tamparan bagi mereka. Mereka, bersama pasukan penjaga keamanan kota, telah berusaha untuk mencari dan menangkap penjahat itu. Namun, penjahat itu benar-benar seperti siluman, kalau nampak bayangannya, sukar disusul dan ketika dicari di daerah Guha Tengkorak, tidak dapat ditemukan jejaknya. Sudah ada dua orang gadis cantik di kota Tai-goan diculiknya, dan beberapa orang hartawan telah dicuri barang-barang berharga berupa perhiasan-perhiasan mahal yang disimpan di dalam tempat-tempat rahasia.
Di antara para pendekar yang merasa penasaran terhadap Siluman Guha Tengkorak, terdapat seorang laki-laki bernama Cia Kok Heng. Dia bekerja sebagai ahli bangunan bagian pertulangan kayu dan nama Cia Kok Heng ini cukup terkenal di kota Tai-goan sebagai seorang ahli silat, bahkan seorang pendekar karena dia adalah seorang murid lulusan perguruan Hong-kiam-pai (Perkumpulan Pedang Angin) di Tai-goan. Hong-kiam-pai ini adalah sebuah perkumpulan silat pedang yang menjadi cabang dari persilatan besar Kun-lun-pai. Ilmu Pedang Hong-kiam-hoat (Ilmu Pedang Angin) adalah ilmu pedang dari Kun-lun-pai dan karena perguruan itu khusus mengajarkan ilmu pedang ini, maka tidak memakai nama Kun-lun-pai, melainkan Hong-kiam-pai. Yang menjadi anggota atau murid dari Hong-kiam-pai hanyalah orang-orang yang sudah memiliki dasar ilmu silat yang mahir dan boleh saja memiliki dasar ilmu silat dari partai lain asalkan tingkatnya sudah cukup untuk mempelajari Ilmu Pedang Hong-kiam-sut. Akan tetapi, Cia Kok Heng memang seorang murid Kun-lun-pai aseli sehingga dia memiliki dasar-dasar ilmu silat Kunlun-pai. Dengan adanya perkumpulan Hong-kiam-pai ini maka para pendekar dari semua aliran dapat bersatu dan menjadi murid atau anggota dan karena dia sendiri anggota Hong-kiam-pai, maka tentu saja Cia Kok Heng mengenal banyak pendekar yang juga menjadi anggauta perkumpulan itu. Kok Heng hidup rukun bersama isterinya dan dua orang anaknya. Dia sendiri berusia tiga puluh tahun dan isterinya berusia dua puluh tujuh tahun. Isterinya adalah seorang wanita yang amat cantik jelita dan biarpun kini telah mempunyai dua orang anak, namun kecantikannya tidak berkurang. Anak mereka, yang pertama laki-laki berusia sembilan tahun dan yang kedua perempuan berusia tujuh tahun.
Hidup mereka tidak dapat dikatakan kaya, namun penghasilan Kok Heng sebagai tukang kayu yang ahli cukup untuk hidup pantas bagi keluarga itu. Cia Kok Heng bukanlah seorang ahli silat biasa saja di kota Tai-goan. Dia adalah seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan! Dan biarpun di antara mereka bertujuh dia termasuk yang paling muda, namun bukan berarti bahwa kepandaiannya yang paling rendah. Biarpun tujuh orang pendekar itu belum pernah bentrok sendiri dengan siluman yang mengacau kota mereka namun mereka menaruh perhatian dan sudah sering mereka bertujuh itu berkumpul untuk membicarakan penjahat itu. Bahkan mereka saling berdebat, ada yang percaya akan desasdesus bahwa penjahat itu lihai seperti siluman dan pandai ilmu menghilang, ada pula yang tidak percaya. Percaya dan tidak percaya mempunyai dasar yang sama. Dasarnya adalah ketidaktahuan. Hanya orang yang tidak mengerti atau tidak tahu sendirilah yang bisa menjadi orang yang percaya atau yang tidak percaya. Oleh karena itu, orang yang percaya dan yang tidak percaya sesungguhnya tidak berhak membicarakan sesuatu yang mereka percaya atau tidak percaya itu, karena keduanya sama-sama tidak mengerti atau tidak tahu. Kalau sudah tahu, maka tidak mungkin timbul percaya atau tidak percaya lagi. Sebelum manusia mendarat di bulan, gambaran tentang bulan tentu menimbulkan percaya atau tidak percaya, tergantung dari siapa yang menceritakan dan siapa yang mendengarkan. Akan tetapi sekarang, hal itu tidak lagi membutuhkan percaya atau tidak percaya.
Bagaimanapun juga, anehnya, orang-orang yang percaya atau yang tidak percaya inilah, di dalam ketidaktahuan merupakan orang-orang yang paling suka untuk membicarakannya dan memperdebatkannya. Pagi hari itu, Kok Heng berangkat ke tempat pekerjaannya, di pusat kota di mana sedang diadakan pembangunan oleh kepala daerah, dengan hati agak kesal. Malam tadi isterinya berbelanja ke pasar, isterinya bertemu dengan Phang-kongcu, putera seorang pembesar yang kaya raya dan pemuda itu bersikap kurang ajar. Dengan lagak memikat, Phang-kongcu mengeluarkan kata-kata memuji kecantikannya dan mengatakan sayang bahwa wanita secantik itu hidup miskin. Demikian kata isterinya dan biarpun Kok Heng menganggap kekurangajaran mulut pemuda bangsawan dan hartawan itu merupakan pnyakit umum dan tidak begitu aneh, tetap saja hatinya diliputi rasa cemburu dan penasaran. Namun, se-bagai seorang pendekar dia mampu menenangkan batinnya dan berangkat kerja dengan wajah-agak muram. Siang hari itu dia pulang lebih pagi dari pada biasanya. Di depan rumah, dia melihat dua orang anaknya, Cia Liong dan Cia Ling, main-main dengan anak-anak tetangga. Akan tetapi, timbul keheranannya ketika melihat anak-anak itu berdiri berkerumun di depan dinding dekat pintu, memandang ke arah dinding dan menunjuk--nunjuk, nampak keheranan. Diapun cepat melangkah, mendekat dan tiba-tiba saja wajah pendekar-ini berubah merah lalu pucat, dan merah lagi. Matanya terbelalak memandang ke arah dinding yang dirubung anak-anak itu.
Di atas dinding putih itu nampak jelas gambar tengkorak dan dilukis dengan darah yang masih mengkilat basah! "Ayah, apakah itu?" tanya Cia Ling. Kok Heng menggandeng tangan kedua orang anaknya, membawa mereka masuk rumah setelah dia menyuruh anak-anak lain pulang ke rumah masing-masing. Jantungnya tergetar penuh ketegangan dan hatinya lega ketika dia melihat isterinya menyongsong kedatangannya dari dalam dapur. "Eh, ada apakah? Engkau kelihatan..." Isteri-nya bertanya khawatir melihat wajah suaminya. "Tidak apa, tenanglah. Mari kita bicarakan dalam kamar, ajak anak-anak," kata suaminya. Biarpun sikap suaminya tenang, namun istri pendekar itu dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu. Mereka memasuki kamar dan Kok Heng lalu menceritakan gambar tengkorak yang dilihatnya di dinding rumah mereka. "Siluman Guha Tengkorak...? Isterinya ber-bisik, bibirnya gemetar mukanya pucat. "Jangan khawatir. Siapapun adanya badut atau penjahat itu, dia akan ketemu batunya sekarang. Aku akan mempersiapkan saudara-saudaraku untuk menghadapinya. Sudah tiba saatnya Tujuh Pendekar Tai-goan bergerak dan membasmi siluman itu," kata Kok Heng dengan penuh semangat. Sikap dan ucapan suaminya ini membuat hati isterinya agak tenang, biarpun nyonya muda itu masih saja merasa khawatir. Kok Heng lalu menulis sepucuk surat dan minta kepada seorang tetangganya untuk mengantarkan surat itu ke alamatnya. Keluarga Cia lalu makan siang dan sikap tenang pendekar itu mempengaruhi isterinya yang juga merasa tenang.
Mereka melarang anak-anak mereka bermain-main di luar rumah dan karena kesal tidak boleh bermain di luar rumah Cia Liong dan Cia Ling yang mentaati kedua orang tuanya itu lalu tidur di kamar mereka pada siang hari itu. Kok Heng bercakap-cakap dengan isterinya di ruangan dalam, dan baru sekarang mereka memperoleh kesempatan untuk membicarakan ancaman itu setelah kedua orang anak mereka tertidur. Kok Heng mengambil pedangnya dan mengeluarkan pedang itu dari sarungnya untuk memeriksanya. Dia sudah bersiap dan kini dia meggantungkan pedangnya di punggung, siap setiap saat menghadapi siluman yang mengancam keluarganya itu.
"Akan tetapi mengapa kita...?" isterinya bertanya dengan wajah yang agak pucat. Kok Heng memegang lengan isterinya. "Tenanglah, mukamu begini pucat. Percayalah, kami bertujuh akan dapat menghadapinya, bahkan mungkin menangkap atau membunuh siluman itu."
"Tapi... mengapa kita yang diancamnya? Kita bukan orang kaya..." "Engkau tahu, isteriku. Siluman itu bukan hanya suka mencuri barang-barang berharga, bahkan suka pula menculik wanita..." Muka yang pucat itu berubah merah.
"Tapi... yang diculiknya selama ini adalah gadis-gadis cantik..." Kok Heng menatap wajah isterinya dan tersenyum bangga.
"Dan engkau adalah wanita yang amat cantik, yang tercantik di antara mereka."
"Ah, jangan bergurau, suamiku. Aku adalah seorang wanita yang sudah mempunyai dua orang anak..."
"Aku tidak bergurau. Biarpun engkau sudah menjadi ibu dari dua orang anak, akan tetapi engkau masih kelihatan amat muda dan cantik jelita. Ingat saja kekurangajaran pemuda bangsawan itu..." Tiba-tiba pendekar itu mengerutkan alisnya dan memandang wajah isterinya dengan aneh. Wajah itu menjadi semakin merah. "Si keparat itu... ah, mengapa engkau memandangku seperti itu...?"
"Pemuda she Phang itu... kemarin dia meng-godamu dan hari ini siluman itu memberi tanda-nya! Hem... ada hubungan apakah di antara kedua peristiwa ini...?"
"Hubungan bagaimana maksudmu?" tanya isterinya bingung. "Pemuda itu adalah putera seorang pembesar, sedangkan siluman itu... bukankah katamu dia itu seorang penjahat besar? Mana ada hubungannya...?"
"Akupun merasa heran, kenapa begini kebetulan ? Ah, biarlah akan kubicarakan dengan saudara-saudaraku."
Jauh lewat tengah hari, menjelang sore, datanglah enam orang di rumah Cia Kok Heng. Disambut oleh tuan rumah dengan hati gembira sekali dan juga penuh perasaan lega. Bahkan nyonya rumah juga kini dapat tersenyum dan wajahnya tidak pucat lagi. Bagaimanapun juga, dengan berkumpulnya Tujuh Pendekar Tai-goan, apa yang perlu ditakuti? Tujuh orang yang terkenal dengan sebutan Tujuh Pendekar Tai-goan itu memang bukan orangorang sembarangan. Pertama adalah Cia Kok Heng sendiri yang menjadi orang termuda namun bukan-lah yang paling rendah ilmunya. Orang kedua adalah yang dikirimi surat oleh Kok Heng dan dimintai tolong untuk mengumpulkan semua saudara mereka dan datang ke tempat pendekar she Cia itu. Orang ini bernama Kwee Siu berusia empat puluh lima tahun dan dia adalah murid per-guruan Siauw-lim-pai yang lihai, dan kemudian belajar ilmu pedang pula dari Hong-kiam-pai sehingga dia masih terhitung saudara seperkumpulan dengan Cia Kok Heng. Walaupun dalam hal ilmu pedang dia masih kalah lihai dari Kok Heng ka-rena Kok Heng memang murid Kun-lun-pai, akan tetapi Kwee Siu ini memiliki kelebihan lain, yaitu ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai. Orang ke tiga adalah Louw Ciang Su, berusia empat puluh tahun, murid Butong-pai yang lihai sekali dengan senjata rantai bajanya. Orang ke empat dan ke lima adalah kakak beradik she Ciok, yaitu Ciok Lun yang berusia lima puluh tahun dan Ciok Khim berusia empat puluh lima tahun, keduanya tokoh-tokoh dari Tiat-ciang-pai (Perkumpulan Tangan Besi) yang disegani dari kota raja.
Tentu saja keduanya memiliki tangan yang amnat kuat dan terlatih sehingga mahir dalam ilmu tangan besi, ha-nya bedanya kalau Ciok Lun biasa mempergunakan senjata toya, adiknya, Ciok Khim mempergunakan senjata golok. Orong ke enam adalah Siok Bu Ham, berusia empat puluh tabun, tidak berpartai dan murid seorang tosu perantau yang mahir mempergunakan senjata sepasang tombak pendek. Orang ke tujuh adalah Liu Ji, berusia empat puluh lima tahun, seorang tokoh Thian-kiam-pang, seorang ahli piauw dan pedang. Pendeknya, untuk Tai-goan dan sekitarnya, nama tujuh pendekar ini sudah terkenal sebagai orang-orang gagah yang menentang kejahatan dan seringkali membantu pmerintah untuk menghadapi penjahat lihai. Begitu enam orang saudaranya itu datang, Kok Heng lalu mengajak mereka ke depan dan mereka bertujuh memeriksa gambar tengkorak darah itu dengan teliti. Ciok Lun meraba lukisan itu dan mengerahkan sin-kangnya. Tangannya yang memiliki Ilmu Tiat-ciang (Tangan Besi) itu tergetar dan menjadi panas, lalu tercium bau amis. "Hem, darah tulen...!" gumamnya. "Mungkin bukan darah manusia," kata Kok Heng. "Setiap kali mengancam, siluman itu menggunakan lukisan tengkorak darah, dan agaknya dia menggunakan darah binatang." Louw Ciang Su, murid Bu-tong-pai, menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya. "Belum tentu. Aku pernah mendengar dahulu tentang seorang penjahat yang mempelajari ilmu hitam dan sering kali mempergunakan darah dalam surat ancamannya dan darah itu ternyata darah manusia. Entah dari mana diambilnya karena memang orang-orang macam itu sudah sedemikian jahat dan kejamnya seperti iblis." Para pendekar itu berdiam diri dan merasa ngeri juga. Yang mereka hadapi adalah seorang penjahat yang menurut kabar angin memiliki kepandaian seperti siluman, maka merekapun harus bersikap hati-hati. Mereka lalu dijamu oleh nyonya rumah dan ketika Kok Heng menceritakan tentang pemuda bangsawan Phang yang menggoda isterinya kemarin, enam orang pendekar itu mengerutkan alisnya.
Lalu terdengar Liu Ji berkata, "Tidak mungkin dia! Aku mengenal pemuda Phang itu. Memang, dia seorang pemuda mata keranjang, terkenal di dunia pelacuran dan tidak segansegan untuk mempergunakan kedudukan dan hartanya untuk bisa mendapatkan dan menguasai setiap wanita yang disukainya. Akan tetapi dia belum pernah menggunakan kekerasan, apa lagi olehnya sendiri karena dia tidak becus apa-apa, bahkan tubuhnya lemah karena terlalu banyak mengobral nafsunya." Cia Kong Heng mengangguk-angguk. "Akupun mencurigai dia karena kalau dia itu lihai tentu kita sudah mengetahuinya. Akan tetapi karena kemarin dia menggoda isteriku dan hari ini siluman itu muncul maka sungguh kebetulan sekali dan mau tidak mau, menimbulkan kecurigaan." Tiba-tiba Kwee Siu, murid Siauw-lim-pai, yang juga menjadi murid Hong-kiam-pai itu mengepal tinju dan memukul meja. "Bruk!" Semua orang memandang dan orang tinggi besar ini melotot dengan muka merah. "Siapaapun adanya iblis itu, harus kita hadapi dan malam ini kalau dia berani datang, kita akan menangkap atau membunuhnya!" Aku bersumpah, kalau dia berani menjamah sehelai rambut saja isteri Heng-te, aku akan mematahkan tangannya!" Ciok Lun, orang tertua diantara mereka, menarik napas panjang. "Menghadapi seorang penjahat yang dikenal licin seperti siluman itu, yang pernah diserbu oleh pasukan dan para pendekar namun tetap dapat meloloskan diri, kita harus bersikap tenang. Bagaimana juga, seperti kebiasaannya yang sudah-sudah, dia selalu memberi peringatan atau mengancam calon korban di waktu siang atau sore, kemudian baru dia turun tangan pada malam harinya.
Maka, kita masih memiliki waktu untuk bersiap siaga. Kita harus mengatur penjagaan, membagi-bagi tugas namun harus di-atur agar kita dapat saling membantu." Setelah malam tiba, Tujuh Pendekar Tai-goan itu telah mengatur siasat. Cia Kok Heng sendiri berjaga di dalam kamar, menjaga isteri dan dua orang anaknya dengan pedang tak pernah terpisah dari badannya. Kwee Siu yang tinggi besar dengan pedang di tangan menjaga di dalam ruangan di luar kamar, ditemani oleh Louw Ciang Su yang dililitkan di pinggang. Siok Bu Ham dengan sepasang tombak pendeknya menjaga di belakang rumah. Liu Ji tokoh Thian-kiam-pang itu menjaga di luar, di depan rumah sambil meronda. Adapun kedua saudara Ciok Lun dan Ciok Khim telah berada di atas. Rumah dan kamar keluarga Cia itu telah dijaga ketat, dikepung oleh para pendekar dan agaknya iblis sendiripun tidak akan mampu memasuki kamar itu tanpa diketahui dan mendapat rintangan yang amat ketat dan berat. Malam semakin larut dan suasana semakin sunyi menegangkan. Seluruh penghuni rumah itu, kecuali dua orang anak kecil yang sudah pulas, tidak seorangpun yang dapat memejamkan mata barang sejenak. Semua merasa tegang. Yang ada di dalam rumah itu hanyalah Cia Kok Heng bersama isteri dan dua anaknya, dan enam orang rekannya. Dua orang pelayan telah disuruh mengungsi sore tadi. Menjelang tengah malam, suasana sunyi itu menjadi makin lengang. Rumah keluarga Cia ini terletak agak di pinggir kota, perumahan di situ semua memiliki pekarangan dan kebun yang luas sehingga agak jauh dari tetangga. Tidak ada bulan di langit, dan cahaya laksaan bintang yang lemah mendatangkan cuaca yang remang-remang menyeramkan. Kesunyian yang mencekam itu kadang-kadang dipecahkan oleh bunyi burung malam yang mendatangkan suasana lebih menyeramkan, dan kadang-kadang terdengar bunyi lemah kelepak burung malam terbang lalu.
Gonggong anjing di kejauhan menambah dalamnya kesunyian yang mencekam di hati, mengingatkan orang akan sesuatu yang tidak mereka lihat dan tidak mereka ketahui, menimbulkan dugaan-dugaan yang mendatangkan rasa gelisah dan takut. Telah beberapa kali para pendekar itu saling mengunjungi tempat penjagaan masing-masing dan juga memeriksa keluarga Cia yang masih berada di kamar. Hati mereka terasa lega dan diamdiam hati yang tegang itu mengharapkan siluman itu menjadi jerih dan tidak berani muncul melihat persiapan Tujuh Pendekar Tai-goan. Akan tetapi ketika waktu menunjukkan tepat tengah malam, terdengar bunyi burung malam dan kelepak sayapnya seolah-olah rumah keluarga Cia itu didatangi oleh burung-burung malam. Dan para pendekar mulai merasa seolah-olah mereka atau tempat itu terkepung. Terdengar suara Siok Bu Ham yang berjaga di belakang rumah batuk-batuk, batuk buatan yang biasa dilakukan orang untuk mengusir rasa serem di hati. Suara batuk-batuk ini dibalas oleh Ciok Khim yang menjaga di atas wuwungan bersama kakaknya, Ciok Lun. Mendengar suara dua orang rekannya batuk-batuk itu, hati para pendekar yang lain menjadi agak lega. Namun mereka tetap waspada karena naluri mereka yang membuat mereka peka terhadap ancaman lawan tergetar oleh sesuatu yang membuat mereka lebih waspada dan siap siaga.
Tiba-tiba... "ngeonggg...!" terdengar suara nyaring disusul geraman-geraman dan gedobrakan di atas genteng rumah tetangga. Jantung mereka yang sedang tegang itu seperti copot rasanya, akan tetapi mereka segera mengenal suara itu dan di dalam batin menyumpah-nyumpah karena itu ada-lah suara dua ekor kucing yang sedang berkelahi atau sedang bercanda! Karena kebisingan dua ekor kucing yang sedang bermain cinta ini amat mmgejutkan dan tiba-tiba, perhatian para pendekar itu sejenak tertumpah kepada suara itu dan ketika perhatian dua saudara Ciok kembali kepada pen-jagaan mereka, dengan kaget mereka melihat sesosok bayangan orang tahu-tahu telah berdiri di atas wuwungan rumah keluarga Cia, hanya beberapa tombak jaraknya dari mereka! Tentu saja dua orang saudara Ciok itu terkejut dan sejenak mereka memandang bengong. Kini mereka dapat melihat jelas. Orang itu memakai pakaian dan jubah serba putih dari sutera mengkilap dan di bagian dadanya terdapat gambar tengkorak darah, yaitu lu-kisan tengkorak dari darah merah yang menetes-netes. "Iblis keparat!" Ciok Khim sudah membentak dan pendekar ini meloncat ke depan, dan menyerang orang itu dengan goloknya. Gerakannya ce-pat dan kuat, dan biarpun yang diinjaknya hanya wuwungan yang lebarnya tidak lebih dari satu kaki saja, namun Ciok Khim dapat meloncat dengan sigap dan menyerang dengan dahsyat. Akan tetapi, orang itu dengan tenang saja menggerakkan tangan menyambut ke depan. "Tringgg...!" Dan mata golok yang tajam itu telah ditangkis begitu saja oleh jari-jari tangan-ya yang memakai cincin. Ciok Khim merasa betapa tangan kanannya yang memegang golok tergetar hebat, tanda betapa kuatnya tangkisan itu. Orang itupun sudah meloncat ke kanan, ke atas wuwungan melintang dengan cepat. "Siluman jahat!" Ciok Lun sudah menerjang dengan toyanya. Mula-mula toyanya menyambar ke arah kepala lawan. Ketika dengan gerakan ri-ngan dan mudah toya itu dielakkan oleh lawan dan menyambar lewat, secepat kilat toya itu sudah dilanjutkannya dengan tusukan ke arah dada, tepat ke arah tengkorak merah itu.
Akan tetapi, hebat-nya, lawan itu sama sekali tidak menangkis, bah-kan seperti memasang dadanya untuk ditusuk toya yang digerakkan dengan amat kuat. "Dukk!" Toya itu tepat mengenai dada dan ternyata tusukan ini bahkan dipergunakan oleh lawan untuk meminjam tangannya dan kini tubuh itu terjengkang jauh ke belakang, membuat gerakan jungkir balik beberapa kali ketika melayang ke bawah. Sungguh gerakan yang indah, dan terutama sekali, menerima serangan tusukan toya dengan dada begitu saja menunjukkan bahwa orang itu benar-benar memiliki kekebalan yang amat kuat! "Keparat, mau lari ke mana kau?" Dua orang saudara Ciok ini mengejar dan melayang turun. Di bawah, lawan mereka itu sekali lagi berkelebat sudah lenyap! Selagi mereka kebingungan dan mencari dengan pandang matanya, mereka melihat lawan tadi sudah berada di belakang mereka, berdiri sambil bertolak pinggang! Diam-diam mereka terkejut. Lawan ini sungguh dapat bergerak seperti setan saja cepatnya. Dan kini, di bawah sinar penerangan lampu, mereka dapat melihat wajah lawan. Ternyata orang itu memakai kedok siluman tengkorak! Mereka berdua segera berteriak keras dan menyerang.
Teriakan itu mereka lakukan untuk memberi tahu temanteman mereka. Akan tetapi pada saat itu, teman-teman merekapun sedang sibuk! Siok Bu Ham yang sedang berjaga di bagian belakang rumah, ketika mendengar suara kucing tadipun terkejut sekali dan tentu saja perhatiannya juga tertuju ke genteng tetangga dari mana suara hiruk-pikuk itu datang. Dan ketika dia mengembalikan perhatiannya kepada tempat di sekelilingnya, tahu-tahu di belakangnya telah berdiri seorang yang memakai topeng tengkorak, berpakaian sutera putih dan di dadanya terdapat gambar tengkorak darah! "Siluman jahanam, berani engkau datang?" bentak Siok Bu Ham dan pendekar ini segera menerjang dengan sepasang siang-kek yang sejak tadi sudah dipersiapkan. Nampak dua sinar menyambar ketika sepasang tombak pendek itu meluncur dan membuat gerakan menggunting, menyerang dari kanan kiri. Akan tetapi, yang diserangnnya dengan ringan meloncat ke belakang dan serangan berganda itupun mengenai tempat kosong. Sebelum Siok Bu Ham menyerang lagi, orang itu sudah meloncat ke depan. "Bangsat, jangan lari kau!" Siok Bu Ham membentak sambil mengejar menuju ke depan rumah. Akan tetapi bayangan itu menghilang dan ketika dia tiba di depan rumah, dia melihat Liu Ji sudah bertanding dengan seorang yang serupa dengan orang yang dikejarnya tadi. Orang bertopeng tengkorak, bertangan kosong akan tetapi lihai bukan main sehingga Liu Ji yang bersenjatakan pedang itupun terdesak hebat. Pada saat Siok Bu Ham datang, Liu Ji yang terdesak itu terkena tamparan pada pundaknya dan pendekar itu jatuh, terus menggulingkan tubuhnya dan tangan kirinya bergerak.
Tahulah Siok Bu Ham bahwa rekannya itu tentu mempergunakan senjata rahasianya, yaitu piauw yang memang menjadi keahliannya. Tiga sinar menyambar ke arah perut, dada dan leher orang berkedok tengkorak itu. Akan tetapi orang itu tidak mengelak dan terdengar suara nyaring ketika tiga batang piauw itu mengenai sasaran, akan tetapi tiga batang piauw itu runtuh tanpa melukai siluman tengkorak itu. Melihat ini, Siok Bu Ham maklum bahwa orang itu memang kebal. Ketika melihat orang itu hendak mendesak Liu Ji yang belum sempat meloncat bangun, diapun membentak marah sambil menggerakkan sepasang tombaknya. "Siluman keparat, rasakan tombakku!" Dan diapun sudah menerjang dengan dahsyat. Siluman itu mengeluarkan suara dari hidungnya dan cepat mengelak. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liu Ji untuk meloncat bangun dan menerjang lagi dengan pedangnya, membantu Siok Bu Ham mengeroyok siluman yang lihai ini. Pundak kanannya tergores kuku dan bajunya robek, terluka sedikit akan tetapi rasanya panas dan perih sekali. Baru mengeroyok sebentar saja, dua orang pende-kar ini maklum bahwa lawan mereka sungguh amat lihai, maka mereka berduapun bersuit-suit memberi tanda kepada para teman mereka. Akan tetapi tidak ada seorangpun yang muncul. Mereka tidak tahu bahwa pada saat itu, Ciok Khim dan Ciok Lun juga sedang mengeroyok seorang siluman, dan bagaimana dengan Kwee Siu dan Siu Louw Ciang Su yang berjaga di ruangan dalam, di depan kamar keluarga Cia? Sama saja! Kedua orang ini tadi juga mendengar suara bising kucing di luar rumah itu, dan tiba-tiba muncul seorang bertopeng tengkorak berjubah putih yang bagian dadanya digambari tengkorak darah. Karena orang ini berdiri di bawah lampu, mereka berdua dapat melihat jelas. Tentu saja mereka berdua kaget sekali karena munculnya siluman ini sungguh secara tiba-tiba, berbareng dengan suara ribut kucing tadi, seperti setan yang pandai menghilang saja. Akan tetapi karena mereka maklum bahwa inilah musuh yang ditunggu-tunggu, keduanya lalu menerjang ke depan dengan marah. Kwee Siu menggunakan pedangaya sedangkan Louw Ciang Su menggerakkan sabuk atau rantai baja yang dipakai sebagai ikat pinggang.
Segera terjadi pertempuran seru ketika dua orang ini mengeroyok siluman itu. "Cia-hiante, hati-hati...!" Kwee Siu berseru untuk memperingatkan Cia Kok Heng. Akan tetapi Kok Heng sudah mendengar keributan di luar kamar. Diapun tidak mungkin tinggal diam saja. Dibukanya pintu kamar dan melihat betapa dua orang rekannya mengeroyok seorang bertopeng tengkorak yang gerakannya amat lihai, diapun menyuruh isterinya menjaga kedua anak mereka dan dia sendiri lalu melompat keluar dengan pedang di tangan. "Siluman keparat, engkau mengantar nyawa!" bentaknya dan diapun membantu kedua orang rekannya mengeroyok. Karena marah melihat musuh yang mengancam isterinya ini berani muncul di depannya, Cia Kok Heng segera menerjang dan menggunakan jurus paling ampuh dari Hongkiam-hoat, yaitu jurus Hui-hong-bu-liu (Angin Meniup Pohon Cemara). Jurus ini dilakukan dengan tu-sukan pada pinggang lawan, akan tetapi itu hanya merupakan gertakan betaka karena jurus itu dilanjutkan dengan sambaran pedang secara berputar mengarah kaki dan naik terus sampai ke leher. Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya. Akan tetapi, betapa kaget hati Kok Heng melihat lawan itu mengeluarkan suara mendengus dan agaknya tidak memperdulikan tusukan gertakan itu dan ketika pedang menyambar dengan gerakan memutar, orang itu telah meloncat tinggi di udara sehingga jurus itupun tidak ada gunanya sama sekali. Orang itu seolah-olah telah mengenal baik jurus itu dan menggunakan kesempatan selagi meloncat, bukan hanya untuk memunahkan jurus Hui-hong-bu-liu, melainkan loncatan itu langaung disambung dengan gerakon pok-sai (salto) jungkir balik dan tahu-tahu tubuh yang jangkung itu telah meluncur dan melayang ke dalam kamar melalui pintunya yang terbuka.
Tentu saja hal ini sama sekali tak pernah diduga oleh tiga orang pendekar itu yang sejenak memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi Cia Kok Heng sudah mengejar sambil membentak marah, "Siluman curang, mari hadapi pedangku!" Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tiba di dalam kamar, dia melihat isterinya telah dipanggul dalam keadaan lemas oleh siluman itu dan dua orang anaknya juga dicengkeram, kemudian siluman itu sambil tertawa mengejek meloncat keluar melalui jendela belakang! "Lepaskan isteri dan anak-anakku!" Kok Heng membentak dan mengejar, dan dua orang rekannya, Kwee Siu dan Louw Ciang Su juga membentak dan mengejar. Siluman itu tidak menemui perlawanan di belakang, karena Siok Bu Ham yang tadinya berjaga di belakang itu kini telah terlibat dalam perkelahian membantu Liu Ji di pekarangan depan rumah. Siluman itu masih menodong tubuh isteri Kok Heng dan mengempit dua tubuh anak itu ketika dia melompat naik ke atas wuwungan rumah "Lepaskan mereka!" Kok Heng yang merasa gelisah dan marah itu mengejar secepatnya. "Jahanam curang! Jangan lari!" Kwee Siu juga berteriak mengejar. "Kalau jantan lawanlah kami!" Louw Ciang Su membentak sambil meloncat pula mengejar ke atas genteng. "Kejar...!" Kok Heng berteriak lagi. "Ha-ha-ha!" Suara ketawa dari balik topeng itu terdengar menyeramkan sekali dan tiba-tiba siluman itu menggerakkan tangan kirinya yang men-cengkeram baju dua orang anak itu. Tubuh dua orang anak itu melayang ke arah Kwee Siu dan Louw Ciang Su! Tentu saja dua orang pendekar amat terkejut bukan main, juga Kok Heng lalu berteriak dengan gelisah. "Sambut anak-anakku itu...!" Untung bahwa dua orang pendekar itu benar-benar memiliki gerakan lincah. Melihat tubuh dua orang anak itu melayang ke bawah, mereka cepat-melempar senjata mereka dan membalik dan nyaris anak-anak itu terbanting remuk di atas tanah kalau tidak kedua orang pendekar itu berhasil menangkap tubuh mereka! Terdengar suara ketawa dan kini siluman itu sudah mengelak dari sambaran pedang di tangan Kok Heng yang membabat ke arah kedua kakinya. Dia meloncat ke atas, terus saja melompat jauh ke depan, turun dari atas wuwungan ke pekarangan belakang rumah tetang-ga.
Tentu saja Kok Heng melakukan pengejaran sambil membentak nyaring, "Lepaskan isteriku!" -Kwee Siu agak terpincang karena ketika dia tadi menangkap tubuh Cia Liong, putera Kok Heng, terpaksa dia harus mendahului anak itu, menangkapnya dan membiarkan dirinya lebih dulu menimpa tanah. Karena ini, kakinya agaknya salah urat. Melihat ini Louw Ciang Su berkata, "Kwee-twako, sebaiknya engkau menyelamatkan kedua orang anak ini dan aku akan membantu Cia-te mengejar siluman itu!" Louw Ciang Su sudah mengambil senjata rantai bajanya lagi yang tadi terpaksa dilepaskannya ketika dia menyelamatkan Cia Ling, anak perempuan itu. "Baik!" kata Kwee Siu yang sudah merangkul dua orang anak kecil yang masih menggigil dan menahan isak tangis itu. Louw Chang Su melompat ke atas genteng dan melakukan pengejaran ke arah larinya siluman yang menculik nyonya Cia. Sambil menggandeng dua orang anak itu, Kwee Siu mengambil lagi pedangnya yang tadi dilepaskannya dan dia merasa heran mengapa empat orang rekannya yang lain tidak muncul. Hatinya terasa tidak enak dan sambil menggandeng dua orang anak itu, dia menuju ke samping rumah. Hampir saja dia berteriak keras ketika dia melihat betapa dua orang rekannya, Siok Bu Ham dan Liu Ji telah menggeletak di situ dengan badan mandi darah. Ketika dia mendekat dan memeriksa, ternyata kedua orang rekannya ini telah tewas! Sebatang tombak pendek, senjata dari Siok Bu Ham sendiri, nampak menembus dadanya, sedangkan Liu Ji tewas dengan leher hampir putus oleh pedangnya sendiri yang terletak di dekatnya!
Dengan kedua kaki menggigil dan menahan tangisnya, Kwee Siu membawa Cia Liong dan Cia Ling keluar dan kembali dia mengalami guncangan batin hebat ketika melihat dua orang rekannya lagi, yaitu kakak beradik Ciok Lun dan Ciok Khim juga sudah menggeletak menjadi mayat di pekarangan depan. Dan seperti juga keadaan dua orang rekannya yang tewas di samping rumah dua orang saudara Ciok inipun tewas oleh senjata mereka sendiri. Agaknya lawan mereka yang kuat dan bertangan kosong itu telah merobohkan mereka dengan merampas senjata mereka dan mempergunakan senjata itu untuk membunuh tuannya sendiri. Melihat betapa empat orang rekan atau sahabat yang seolah-olah telah menjadi saudaranya sendiri itu tewas dalam keadaan yang demikian menyedihkan, hati Kwee Siu penuh dengan kedukaan dan kemarahan. Apa lagi dia mengingat bahwa masih ada dua orang rekannya lagi yang kini melakukan pengejaran terhadap siluman itu.
Dia harus membantu mereka! Maka, dia lalu membawa dua orang anak itu kepada seorang tetangga yang menjadi panik mendengar bahwa di rumah keluarga Cia terjadi pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh Siluman Guha Tengkorak dan tetangga ini memberitahukan kepada semua penghuni rumah di sekitar tempat itu. Sebentar saja gegerlah keadaan di perkampungan itu. Akan tetapi setelah menitipkan dua orang anak she Cia itu, Kwee Siu sendiri sudah berloncatan untuk menyusul ke arah perginya siluman yang tadi dikejar oleh Cia Kok Heng dan Louw Ciang Su. Hatinya penuh dengan kekhawatiran dan juga dendam terhadap siluman yang telah membunuh empat orang saudaranya. Akan tetapi Kwee Siu tidak perlu menyusul terlalu jauh. Di dekat tembok kota dia melihat bayangan berlari terhuyung-huyung,dan ketika dia mendekati, ternyata bayangan itu adalah Cia Kok Heng yang berlari sambil terhuyung dan kedua mendekap lehernya karena dari situ bercucuran darah segar dari sebuah luka yang menganga! "Cia-hiante...! Kau kenapa...?" Kwee Siu meloncat dan menubruk sahabatnya, juga saudara seperguruan di Hong-kiam-pai. Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri hatinya melihat luka di le-her pendekar she Cia itu sungguh hebat sekali dan amat mengherankan kalau Cia Kok Heng masih dapat berlari. Dan begitu melihat Kwee Siu, Cia Kok Heng sudah roboh terguling dan tubuhnya di-sambar dan dipeluk oleh Kwee Siu. "Anak-anakku... anak-anakku..." Cia Kok Heng berbisik dalam rangkulan sahabatnya itu. "Mereka sudah kuselamatkan di tetangga..." kata Kwee Siu. "Mana Louw-te...?" "Louw-twako... su... dah tewas... ahhh... Kwee-twako, bawa anak-anakku kepada suhu... cepat... ahhh..." Cia Kok Heng berbisik-bisik akan tetapi dari leherya terdengar suara mengorok. "Apa katamu, hiante? Kau bilang apa...?"
Kwee Siu yang hatinya menjadi hancur itu mendekatkan telinganya ke mulut itu yang masih bergerak-gerak dan berbisik lemah sekali. Kwee Siu mendengarkan dan tiba-tiba mukanya menjadi pucat sekali, sepucat muka Cia Kok Heng yang tiba-tiba terkulai dan tewas pula! Kwee Siu tidak dapat menahan lagi tangisnya. Air matanya menetes-netes ketika dia memandang tubuh rekannya ini dan sambil menangis diapun lalu memondong tubuh yang telah menjadi mayat itu dan berlari kembali ke rumah keluarga Cia yang telah dipenuhi orang, yaitu para tetangga yang datang melayat. Mereka semua yang sudah merasa ngeri menyaksikan empat mayat di dalam rumah itu, menjadi semakin ngeri dan ketakutan katika melihat Kwee Siu datang membawa mayat Cia Kok Heng! Suasana menjadi semakin geger dan menyedihkan. Sebelum malam terganti pagi, telah tersebarlah berita yang mengejutkan itu, bahwa enam orang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan telah tewas oleh Siluman Guha Tengkorak dan isteri pendekar Cia Kok Heng telah diculik oleh siluman itu! Tentu saja berita ini menggegerkan bukan hanya seluruh Tai-goan, akan tetapi bahkan jauh di luar Tai-goan dan sebentar saja menjadi berita yang menggegerkan di dunia kang-ouw.
"Kita pergi ke tempat kakek gurumu, ke Kuil Thian-hong-bio. Ayahmu berpesan agar aku mengantar kalian ke sana dan untuk sementara kalian tinggal di sana bersama sukong kalian..." "Aku tidak mau..." Tiba-tiba Cia Ling berkata merengek. "Aku mau tinggal di rumah bersama ibu!" Kwee Siu merangkul anak perempuan berusia tujuh tahun itu, menghiburnya. "Tentu saja, kalau ibumu sudah pulang, engkau akan tinggal di rumah bersama ibumu. Sementara kami mencari ibumu, engkau tinggal dulu bersama kakek gurumu. Ayahmu berpasan demikian, kalian harus menurut pesan ayah kalian." Akhirya dua orang itu dapat dibujuk dan dengan membawa pakaian dan barang berharga yang terdapat dalam rumah itu, Kwe Siu lalu mengantar dua orang anak itu pagi-pagi buta berangkat meninggalkan Tai-goan menuju ke kuil yang letaknya di luar kota, kira-kira tiga puluh li dari kota Tai-goan. Setelah meninggalkan kota sejauh kurang lebih sepuluh li, terpaksa Kwee Siu memperlambat jalannya kereta karena jalan itu mulai memasuki hutan dan menjadi buruk, tidak rata dan becek. Pagi itu sunyi sekali, dalam arti kata tidak ada seorangpun manusia nampak di sekeliling tempat itu. Akan tetapi suara burung-burung hutan menyambut pagi mengusir kesunyian dan mendatangkan suasana yang cerah gembira, walaupun kegembiraan itu sama sekali tidak dapat menyentuh hati Kwee Siu yang sedang dirundung kedukaan dan juga dendam membara. Diapun seorang murid Hong-kiam-pai, oleh karena itu, malapetaka yang menimpa diri Cia Kok Heng itu sungguh terasa olehnya sebagai dendam pribadi.
Apalagi, seluruh saudaranya, enam orang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan, telah tewas dalam keadaan mengenaskan. Jenazah Louw Ciang Supun telah ditemukan dan dibawa dari tepi jalan itu ke rumahnya. Jenazah enam orang pendekar itu kini telah berada di dalam peti, di rumah masing-masing dan ditangisi keluarga masing-masing, kecuali jenazah Cia Kok Heng karena isteri dan anak-anaknya tidak ada di dekat peti mati. "Aku harus membalas dendam ini!" Kwee Siu memegang cambuknya erat-erat dan sinar matanya berkilat. Dia akan mohon bantuan gurunya, ketua Hong-kiam-pai. Kalau para tokoh Hong-kiam-pai mendengar akan hal ini, tentu mereka takkan tinggal diam saja. Tiba-tiba Kwee Siu mengerutkan alisnya. Teringat dia akan bisikan-bisikan yang didengarnya sebagai pesan terakhir Cia Kok Heng dan hatinya menjadi bimbang dan bingung. Jalan itu makin buruk dan masuk ke bagian hutan yang makin lebat, makin gelap karena sinar matahari pagi tidak dapat menembus sepenuhnya. Tiba-tiba dua ekor kuda itu meringkik-ringkik dan nampak panik. Kwee Siu memegang kendali kuda erat-erat untuk menguasainya Kuda, seperti juga binatang-binatang lain memiliki naluri yang amat kuat. Kepekaan ini terdapat dalam diri semua makhluk hidup, sebagai pelengkap bawaan untuk memiliki kepekaan ini, namun sayang, oleh nafsu-nafsu mengejar kesenangan, oleh kesenangan-kesenangan itu sendiri yang tak pernah memuaskan hati dan selalu kurang, manusia telah merusak kepekaan diri sendiri lahir batin. Kesenangan-kesenangan untuk memenuhi nafsu keinginan sebagian besar merusak kepekaan diri lahir batin dan hal ini tidak diperdulikan manusia. Makanan-makanan yang tidak baik bagi kesehatan badanpun dimakan saja karena enak. Kebiasaan-kebiasaan yang sebenarnya merusak diri dilakukan saja karena enak dan menyenangkan. Hukum-hukum kesehatan lahir batin dilanggar demi memperoleh kepuasan nafsu keinginan. Tidak mengherankan apabila manusia kehilangan kepekaan nalurinya. Badan dan batin menjadi bebal dan dungu, hanya menjadi alat pemuas nafsu belaka. Kwee Siu masih belum curiga, hanya mengira bahwa hutan itu mungkin menakutkan dua ekor kudanya dan mungkin saja kudanya mencium bau binatang buas.
Tentu saja dia tidak merasa takut dan dengan hati-hati dia mengendarai kereta itu dan menahan kendali untuk menguasai dua ekor kudanya. Tiba-tiba kedua ekor kuda itu meringkik lagi bahkan mereka mencoba mengangkat kaki depan. Kwee Siu menarik kendali kuda dan tiba-tiba seekor di antara kuda itu mengeluarkan suara memekik dan roboh. Di lehernya menancap sebatang tombak sampai menembus dan kedua kuda itu tewas seketika, berkelojotan sebentar saja. Barulah Kwee Siu terkejut dan dengan cekatan diapun meloncat turun sambil mencabut pedangnya. Matanya menatap ke depan dan bulu tengkuknya meremang ketika dia melihat sesosok tubuh melangkah perlahan-lahan menghampirinya dari depan. Seorang laki-laki jangkung yang berpakaian jubah putih dengan gambar tengkorak darah di dadanya, juga mukanya tertutup topeng tengkorak! Siluman Guha Tengkorak! Rasa takutnya lenyap ketika dia membayangkan kematian enam orang saudaranya. Dengan suara penuh dendam Kwee Siu melangkah maju menyambut siluman itu sambil memutar pedangnya. "Siluman keparat, sekarang aku akan mengadu nyawa denganmu!" Dan Kwee Siu lalu menerjang ke depan, menyerang dengan pedangnya.
Siluman itu mengeluarkan suara ketawa panjang dan segera menyambut serangan itu dengan gerakan-gerakannya yang lincah dan aneh. Namun, Kwe Siu yang dikuasai dendam dan kemarahan, menerjang dengan dahsyat dan mati-matian. Sementara itu, Cia Liong dan Cia Ling, yang berada di dalam kereta, terkejut ketika kereta berhenti dan kuda meringkik-ringkik. Mereka membuka tirai dan melihat ke depan. Melihat Kwee Siu berkelahi dengan seorang berjubah putih yang mukanya menakutkan, Cia Ling menangis. Akan tetapi Cia Liong merangkulnya dan mendekap mulut adiknya. "Diam... jangan menangis, kita harus pergi dari sini..." bisik anak laki-laki itu dan mereka berdua lalu diam-diam keluar dari dalam kereta itu, berindap-indap mereka menyelinap ke belakang sambil memandang ke arah Kwee Siu yang masih berkelahi didesak hebat oleh orang bertopeng tengkorak. Kwee Siu melawan mati-matian, namun siluman itu sungguh amat lihai, terlalu lihai baginya. Apa lagi karena semua serangannya agaknya telah dikenal baik oleh lawan sehingga lawan dapat menghindarkan semua serangannya itu dengan amat mudahnya dan balasan serangan lawan itu membuat Kwee Siu terdesak dan kewalahan. Bagaimanapun juga, pendekar yang merasa dendam, marah dan penasaran ini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk melawan dengan tekad bulat melawan sampai mati. Sementara itu, di lain bagian dari hutan itu, hanya dua tiga li dari tempat itu, terdapat dua orang yang sedang berburu kelinci dengan naik kuda. Mereka berdua itu nampak gembira sekali, berburu kelinci sambil bersendau gurau dengan si-kap amat mesra. Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis, dan melihat sikap mereka, se-nyum mereka, pandang mata dan kata-kata diketahui bahwa mereka adalah sepasang orang muda yang saling mencinta.
Dan mereka merupakan pasangan yang amat setimpal, yang pria masih muda, antara dua puluh satu atau dua puluh dua tahun, berwajah tampan sekali, ganteng dan gagah, pakaiannya rapi, indah mewah walaupun dia bukan seorang pesolek tanpa merias muka, akan tetapi mukanya terawat baik-baik, sisiran rambutnya rapi, gelung rambutnya dihias dengan hiasan rambut terbuat dari batu kemala, pakaiannya terbuat dari pada sutera halus, sepatunya masih baru. Pendeknya, dia seorang pemuda yang amat ganteng dan gagah, pantasnya seorang pemuda terpelajar yang kaya, dan melihat cara dia menunggang kuda mengejar kelinci, dapat pula diketahui bahwa dia adalah-seorang ahli menunggang kuda. Seorang pemuda yang akan membuat setiap orang gadis yang bersua dengannya menengok sampai beberapa kali dengan pandang mata kagum! Akan tetapi, temannya yang gadis, juga merupakan seorang wanita pilihan. Usianya sebaya dengan pemuda itu, wajahnya sungguh amat cantik jelita dan gagah perkasa dengan raut muka sempurna, dengan kulit halus kemerahan tanda sehat, dengan mata yang indah berkilauan seperti mata burung hong keramat, senyumnya yang semanis madu dan suaranya yang bening merdu. Juga gadis ini memakai pakaian sutera halus yang indah, gerakannya ketika mengejar kelinci juga amat cekatan dan gagah.
Seorang gadis yang cantik jelita dan gagah pula! Sungguh merupakan pasangan yang amat setimpal dan seimbang. Kalau orang mengenal siapa kedua orang muda ini, dia tentu takkan heran melihat kegagahan mereka dan mungkin orang itu akan memandang kagum atau juga mungkin lari menyembunyikan diri. Pemuda yang bertubuh tegap sedang dan berwajah tampan ini bukan lain adalah seorang pendekar yang namanya pernah menggemparkan kota raja, bahkan pernah menggegerkan seluruh dunia persilatan. Dia adalah Pendekar Sadis! Dia adalah seorang pemuda berdarah bangsawan, karena ayah kandungnya adalah seorang pangeran. Pendekar Sadis ini bernama Ceng Thian Sin, putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw. Ayahnya itu adalah putera kandung dari mendiang Kaisar Ceng Tung dan ibunya adalah Puteri Khamila isteri Raja Sabutai. Ayahnya itu, selain pangeran, juga terkenal sebagai seorang ahli silat yang pernah menggegerkan dunia persi-latan dengan usahanya untuk menjadi Jagoan No-mor Satu Di Dunia. Yang sudah mengenal Pendekar Sadis tentu te-lah mengetahui bahwa dalam hal ilmu silat Ceng Thian Sin si Pendekar Sadis ini tidak kalah lihai dibandingkan mendiang ayahnya. Semenjak kecil dia telah digembleng oleh ayah kandungnya sendiri, bahkan kemudian dia digembleng oleh ketua Cin-ling-pai, mewarisi ilmu silat yang hebat dan Cin-ling-pai.
Bukan hanya itu, dia malah mewarisi pula ilmu-ilmu mujijat dari pendekar-pendekar sakti yang masih keluarga dari Cin-ling-pai, yaitu dari pendekar sakti Yap Kun Liong dan isterinya, yaitu Cia Giok Keng. Kakek dan nenek ini menurunkan ilmu mereka kepadanya. Juga Pendekar Lem-bah Naga berkenan menurunkan ilmu-ilmu mujijat kepadanya. Di samping itu, dia masih mewarisi ilmu-ilmu peninggalan ayahnya, ilmu-ilmu aneh pe-ninggalan Bu Beng Hud-couw. Pendeknya, Ceng Thian Sin merupakan seorang pemuda gemblengan yang sukar dicari tandingannya untuk masa itu. Temannya itu, dara yang cantik jelita dan ga-gah itu, bukan pula seorang wanita sembarangan. Jauh daripada itu! Ia bahkan memiliki tingkat yang tidak jauh bedanya dengan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin. Wanita ini bernama Toan Kim Hong, juga berdarah bangsawan karena ia adalah puteri kandung dari mendiang Pangeran Toan Su Ong, seorang pangeran pemberontak yang memiliki ilmu silat yang tinggi, dan ibunya adalah seorang wanita yang telah mewarisi ilmu peninggalan Menteri Sakti The Hoo, yang bernama Ouwyang Ci.
Dengan ilmu kepandaian warisan ayah bundanya yang tinggi, Toan Kim Hong pernah menjagoi dunia selatan, bahkan gadis ini menyamar sebagai seorang nenek tua, menaklukkan semua tokoh kang-ouw dan lioklim, kemudian ia sebagai seorang nenek tua diangkat dan diakuin oleh semua tokoh dunia persilatan sebagai seorang datuk selatan yang disebut Lam-sin (Malaikat Selatan). Ilmu silatnya amat hebat dan ketika ia untuk pertama kalinya bertemu dengan Pendekar Sadis, mereka mengadu ilmu dan terjadi pertandingan yang luar biasa hebatnya. Hanya dengan amat susah payah sajalah Pendekar Sadis mampu mengalahkan "nenek" itu yang kemudian menanggalkan penyamarannya, berubah menjadi seorang dara yang amat cantik jelita. Karena sumpahnya bahwa ia akan menyerahkan dirinya kepada pria yang dapat mengalahkannya, juga karena merasa saling tertarik, Kim Hong menyerahkan diri kepada Thian Sin. Keduanya semenjak itu lalu hidup bersama, merantau ke mana-mana, hidup sebagai suami istri tanpa pernikahan yang sah. Keduanya memang tidak mau saling mengikat, namun di dalam hati mereka itu terdapat ikatan cinta kasih yang amat mendalam. Dua orang ini pernah ditentang oleh para pendekar, bahkan oleh keluarga Cin-ling-pai karena sepak terjang Thian Sin yang terkenal sebagai Pendekar Sadis.
Sepak terjangnya dianggap terlalu kejam dan para pendekar menentangnya. Karena berhadapan dengan keluarga Cin-lingpai, terutama sekali dengan ayah angkatnya, yaitu Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong, maka Thian Sin mengalah dan tidak berani melawan. Akhirnya dia dan kekasihnya diampuni dan diapun berjanji akan membuang jauh-jauh sifatnya yang kejam terhadap para penjahat itu dan mereka berdua lalu pergi ke tempat yang terasing, yaitu di Pulau Teratai Merah. Tempat ini adalah tempat di mana dahulu mendiang Pangeran Toan Su Ong, ayah kandung Kim Hong, hidup bersama anak isterinya ketika dia menjadi buronan pemerintah karena sikapnya yang suka memberontak dan menentang kaisar. Demikianlah perkenalan kita secara singkat dengan sepasang muda-mudi yang hebat ini. Pada waktu-waktu tertentu kedua orang ini sering kali meninggalkan pulau mereka dan melakukan perjalanan di daratan besar, merantau dan melakukan petualangan bersama-sama, menikmati hidup dan bersama-sama menghadapi segala peristiwa dengan sikap sebagai sepasang pendekar yang menentang kejahatan.
Pada hari itu, kebetulan sekali mereka yang hendak melakukan pejalanan pesiar ke kota Taigoan, pada waktu melewati hutan itu, timbul kegembiraan mereka untuk menangkap kelinci ketika mereka melihat beberapa ekor kelinci yang gemuk dan sehat. "Lihat kelinci di sana itu!" Mula-mula Kim Hong berseru sambil menunjuk ke depan dan mereka melihat seekor kelinci putih yang muda dan gemuk muncul dari semak-semak. "Gemuknya! Ihh, basah mulutku membayangkan dagingnya dipanggang. Tentu lezat dan sedaaappp!" Thian Sin tertawa. Mendengar suara ketawa yang tidak wajar itu, Kim Hong yang sudah menghentikan kudanya menengok dan menatap wajah kekasihnya dengan sinar mata menyelidik dan menuntut. "Kenapa kau ketawa seperti itu? Menertawakan aku?" Thian Sin tertawa makin geli. "Kim Hong, membayangkan dagingnya yang putih mulus dipanggang, menimbulkan selera seperti kalau membayangkan tubuhmu... aih, seperti ada persamaannya membayangkan antara kalian berdua..." "Tarrr...!" Pecut kuda di tangan Kim Hong meledak di dekat kepala kuda yang ditunggangi Thian Sin, membuat kuda itu meringkik kaget dan mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi. Kalau bukan Pendekar Sadis yang berada di punggungnya, tentu gerakan tiba-tiba ini akan membuat penunggangnya terlempar dari atas punggung kuda! "Porno kau! Cabul kau!" Kim Hong memaki akan tetapi Tian Sin hanya tertawa. Mereka lalu berlumba untuk berburu kelinci. "Yang dapat lebih dulu bagian makan, yang lain bagian membersihkan dan memanggang dagingnya!" kata Kim Hong akan tetapi sambil berkata demikian, kudanya sudah meloncat ke depan dan ia sudah mengejar seekor kelinci putih yang berlari-larian ketakutan setengah mati dikejar kuda besar. Thian Sin tertawa dan tidak mau kalah.
Lalu diapun membedal kudanya mengejar kelinci. Mereka berdua adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi, bahkan dapat dinamakan orang-orang sakti, akan tetapi pada waktu-waktu tertentu mereka kadang-kadang bersikap seperti kanak-kanak dan juga mereka bersikap jujur sekali. Kalau mereka menghendaki, dengan sekali gerakan tangan saja, tentu mereka akan merobohkan seekor kelinci.
Akan tetapi, pikiran ini sama sekali jauh meninggalkan benak mereka yang sedang bergembira dan begurau itu dan mereka kini sungguh-sungguh mempergunakan kelincahan kuda mereka untuk berburu kelinci dan berlomba secara wajar dan jujur, sama sekali tidak berniat untuk mempergunakan ilmu kepandaian mereka. Justru di sinilah letak kegembiraannya. Mempergunakan kelincahan kuda saja berburu kelinci tanpa mengandalkan senjata atau kepandaian, sungguh bukan merupakan hal yang mudah. Kelinci-kelinci itu terlampau gesit untuk kuda yang bertubuh besar dan beberapa kali kelinci-kelinci itu menyelinap dan lenyap di dalam semak-semak atau lenyap di dalam lubang. Mereka tertawa-tawa, berebut hendak menangkap kelinci sampai mereka tidak tahu kemana kuda mereka menuju. Tiba-tiba mereka mendengar suara anak menahan tangis. Keduanya terkejut, menghentikan kuda mereka dan melihat ke depan. Di situ, seorang anak laki-laki sedang merangkul seorang anak perempuan dan berusaha mendekap mulut anak perempuan itu agar jangan menjerit atau terisak. Akan tetapi, dua pasang mata mereka itu menatap kepada dua orang penunggang kuda dengan terbelalak dan penuh rasa takut. Mereka itu adalah Cia Liong dan Cia Ling, dua orang anak yang melarikan diri dari dalam kereta yang dihadang oleh siluman itu. Ketika mereka tiba di situ dan mendengar suara dua orang penunggang kuda yang tertawa-tawa dan mengejar-ngejar kelinci, kemudian melihat mereka muncul, dua orang anak itu menjadi ketakutan, mengira bahwa yang muncul itu tentulah orang-orang jahat pula. Cia Ling sudah hampir menjerit dan menangis, akan tetapi mulutnya didekap oleh kakaknya dan kini mereka berdiri terbelalak memandang kepada dua orang penunggang kuda itu dengan ketakutan. Melihat dua orang anak kecil yang ketakutan di dalam hutan ini, sekali melompat Kim Hong sudah berada di depan mereka. Loncatannya itu memang luar biasa dan akan membuat seorang ahli silat dan seorang ahli gin-kang melongo dan kagum disertai ketakjuban. Tidak mudah meloncat dari atas punggung kuda seperti itu, tanpa mem-buat kuda itu terkejut, dan di udara membuat pok-sai (salto) sampai dua kali dan tahu-tahu meluncur turun di dekat dua orang anak itu. Seperti seekor burung terbang saja. Dan ini memang merupakan satu di antara keistimewaan gadis itu, yakni gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang amat hebat. Kim Hong sudah berjongkok di depan dua orang anak itu, tersenyum dan memandang manis agar mereka tidak menjadi ketakutan. "Eh, siapakah kalian adik-adik kecil ini? Dan kenapa berdua saja di dalam hutan dan kelihatan ketakutan? Jangan takut kepadaku, aku akan menolong kalian!" Dalam keadaan seperti itu, batin anak-anak kecil lebih peka dari pada orang tua. Cia Ling memandang wajah yang cantik kemudian tiba-tiba merangkul dan menangis di atas pundak Kim Hong yang lalu memondongnya, "Ceritakan, apa yang telah terjadi? Kami akan menolongmu," kata Thian Sin yang juga sudah turun dari atas kudanya dan menghampiri dua orang anak itu. Agaknya Cia Liong juga sudah dapat mempercayai kedua orang ini yang sama sekali tidak kelihatan seperti orang-orang jahat, "Ayah kami dibunuh siluman..." "Apa...?" Thian Sin terkejut sekali dan berseru keras, membuat Cia Liong terkejut. Kim Hong mengerutkan alisnya dan merengut. "Kasarmu ini!" celanya dan iapun mendekati anak laki-laki itu, "Kenapa ayahmu dibunuh siluman dan di mana? Ceritakan, jangan takut. Kami akan melawan siluman itu!" katanya.
"Ayah kami dibunuh malam tadi... dan ibu kami diculik siluman..."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar