03 Asmara Berdarah

Akan tetapi Cia Sun tidak mau memusingkan hal ini pada saat itu. Bagaimanapun juga, dia merasa yakin bahwa tentu ada hubungan dekat antara gadis itu dengan keluarganya, atau setidaknya dengan Cin-ling-pai, maka tanpa banyak bicara lagi diapun sudah langsung menyerbu dengan senjata rantingnya. Kini dua batang ranting yang digerakkan dengan cepat dan kuat mengeroyok Kiu-bwee Coa-li yang segera terdesak hebat. Baru menghadapi dara remaja itu saja dia sudah merasa penasaran dan pusing karena sedemikian lamanya belum mampu merobohkannya, hanya mampu mendesak saja. Apalagi kalau pemuda yang lihai ini maju pula. Bisa berbahaya bagi dirinya. Bagi seorang tokoh sesat, tidak ada rasa malu bagi Kiu-bwee Coa-li. Yang penting dalam perkelahian, ia harus menang dan kalau berbahaya, ia tentu akan lari. Maka iapun mengeluarkan teriakan-teriakan panjang dan dari ujung cambuk itu meluncurlah jarum-jarum halus beracun. Sembilan batang jarum halus menyambar ke arah Cia Sun dan Sui Cin.

"Awas senjata rahasia beracun!" seru Cia Sun memperingatkan gadis itu. Akan tetapi, tidak perlu Sui Cin diperingatkan. Seorang gadis yang sudah memiliki tingkat kepandaian seperti Sui Cin akan selalu waspada dan serangan tiba-tiba itu tentu saja dapat dihindarkannya dengan baik. Rantingnya membentuk gulungan sinar hijau dan jarum-jarum yang menyambar ke arahnya tertangkis, bukan runtuh begitu saja melainkan langsung membalik dan meluncur, mengejar pemiliknya, yaitu Kiu-bwee Coa-li yang melarikan diri. Nenek itu dapat menghindar dengan lompatan dan terus melarikan diri. Sedangkan Cia Sun sudah meloncat ke samping menghindarkan diri dari jarum-jarum yang menyambar ke arahnya. Ketika mereka memandang ke depan, nenek itu telah lenyap, telah lari jauh sekali maka mereka berduapun tidak mengejar.

Kini mereka berdiri berhadapan dan saling pandang. Sui Cin tersenyum dan berkata, "Kita sudah lunas, ya? Engkau pernah menolongku satu kali dan kini akupun sudah membantumu satu kali. Jadi satu-satu, lunas, bukan?"

Cia Sun semakin tertarik. Jantungnya seperti disedot rasanya dan dia memandang wajah yang lucu itu dengan senyum kagum. Biasanya Cia Sun berwatak pendiam, serius, tidak suka berkelakar, dan sedikit bicara. Akan tetapi, berhadapan dengan gadis ini, dia merasa gembira sekali dan diapun menanggapi.

"Nona, ketika aku menolongmu, ternyata engkau hanya pura-pura saja bodoh sehingga hal itu bukan merupakan pertolongan. Akan tetapi sekarang, kalau engkau tidak muncul dan membantuku menghadapi nenek iblis itu, tentu akan terancam bahaya besar diriku. Maka, sudah sepatutnya kalau aku menghaturkan terima kasih atas budi pertolonganmu tadi."

"Hemm... siapa bicara tentang budi pertolongan? Engkau kebetulan melihat aku dalam kesukaran dan menolong tanpa sengaja, sekarang akupun tanpa disengaja melihat engkau dikeroyok ular lalu turun tangan membantu. Tidak ada budi. Aku tidak pernah hutang budi atau melepas budi."

Ucapan seorang pendekar sejati, pikir Cia Sun yang menjadi semakin kagum. Begitu kagum hatinya sampai dia tidak lagi mampu bicara, hanya memandang kepada wajah dara itu seperti orang terpesona. Melihat betapa pemuda itu memandangnya dengan bengong seperti orang bingung, Sui Cin tersenyum geli.

"He, apa yang kaupandang?" tanyanya tiba-tiba sehingga mengejutkan Cia Sun.

"Eh, tidak apa-apa... aku... hanya heran..."

"Mengapa heran? Apa rupaku tidak lumrah manusia?"

"Bukan begitu, tapi aku melihat nona mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun! Bagaimana nona dapat mempelajari ilmu itu?"

"Hemm, dan engkau, bagaimana engkau dapat mengenal Ilmu Thai-kek Sin-kun yang kumainkan?" Suara itu lebih heran dan lebih curiga.

"Karena aku heran sekali... ilmu itu adalah milik keturunan Cin-ling-pai..."

"Kalau begitu..."

"Siapakah nona yang pandai ilmu silat keluarga kami?"

"Dan siapa pula engkau ini yang mengaku-aku keluarga kami?"

"Ehh... jadi nona memang ada hubungan dengan Cin-ling-pai...? Siapakah namamu, nona?"

"Namamu dulu."

"Baiklah, namaku Sun, aku she Cia..."

"Haiii...! Engkau Cia Sun dari Lembah Naga? Wah, wah...! Aku... aku she Ceng..."

"Astaga... kau... kau ini Sui Cin anak yang bengal dulu itu?"

Sui Cin cemberut dan menghardik, "Siapa yang bengal?"

Cia Sun tersenyum lebar dan menjura. "Maaf, maaf... membayangkan engkau ketika masih kecil, sukarlah dipercaya engkau sekarang sudah menjadi begini... besar dan lihai!"

"Memangnya aku disuruh menjadi anak kecil selamanya? Dan jangan katakan aku bengal!"

"Ha-ha, siauw-moi, lupakah engkau kepada dahiku yang dahulu membenjol sebesar telur ayam karena kausambit dengan batu?"

Sui Cin tertawa dan menutupi mulutnya walaupun suara ketawanya lepas bebas. Lalu disambungnya dengan kata-kata, "Wah, tentu saja aku ingat. Ayah ibuku memarahiku dan hampir aku kena digebuk ayah! Gara-gara engkau. Kenapa dahimu membenjol baru kena batu begitu saja. Dan sekarang, Sun-ko, jangan kau melapor lagi kepada ayah ibu kalau bertemu dengan mereka, ya?"

"Melapor bahwa engkau menyamar sebagai jembel, bahkan sebagai pemuda jembel yang mencuri bakpao dan membiarkan dirimu ditangkap dan ditahan? Ah, tidak, Cin-moi. Kita bukan anak-anak lagi sekarang. Engkau sungguh telah menjadi seorang gadis yang..."

"... bengal...?"

"Tidak! Tidak...! Engkau sudah besar dan sungguh hebat kepandaianmu, bahkan Kiu-bwee Coa-li kewalahan menandingimu. Thai-kek Sin-kun tadi kaumainkan amat indah dan hebat."

"Sudah, jangan terlalu memuji. Bisa membengkak dan pecah kepala ini nanti. Kalau tidak kaubantu, apa kaukira aku dapat menang menghadapi nenek ular itu? Sungguh mengherankan sekali, apakah benar-benar Cap-sha-kui telah keluar dari sarangnya dem mengapa mereka bahkan datang ke tempat ini di mana para pendekar akan mengadakan pertemuan?"

"Bukankah baru seorang saja Kiu-bwee Coa-li tadi yang muncul?"

"Sudah tiga bersama nenek itu! Sebelumnya aku sudah bertemu dengan dua orang lain di antara mereka, di kuil Dewi Laut, yaitu Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo."

Cia Sun mengangguk-angguk. "Ah, kalau begitu agaknya benar mereka itu telah keluar dari sarang. Bahkan baik untuk memperingatkan para sahabat dalam pertemuan nanti."

"Kalau begitu engkau hendak pergi menghadiri pertemuan para pendekar itu, Sun-ko?" Sikap dan suara Sui Cin demikian akrab, seolah-olah selama ini Cia Sun selalu bergaul dengannya. Padahal, selama hidupnya, baru satu kali ia berjumpa dengan Cia Sun, yaitu ketika ia diajak ayah bundanya mengunjungi Lembah Naga, kira-kira sembilan tahun yang lalu. Ketika itu ia baru berusia enam tahun dan Cia Sun berusia tiga belas tahun. Ia bersama orang tuanya tinggal setengah bulan di Lembah Naga dan setelah mereka pulang, ia tidak pernah lagi berjumpa dengan Cia Sun. Akan tetapi, karena memang gadis ini memiliki pembawaan riang dan ramah jenaka, maka ia mudah akrab dengan siapa saja. Cia Sun sendiri yang biasanya pendiam dan serius, juga agak malu kalau berdekatan dengan wanita, sekali ini kehilangan rasa canggungnya berkat sikap Sui Cin yang ramah itu.

"Benar, dan engkau sendiri, Cin-moi?"

"Akupun hendak berkunjung ke sana."

"Mewakili orang tuamu?"

"Tidak. Sudah setengah tahun aku meninggalkan Pulau Teratai Merah. Hanya kebetulan dalam perjalanan aku mendengar tentang rencana pertemuan itu maka aku sengaja hendak menonton. Dan engkau?"

"Aku mewakili Pek-liong-pang, mewakili ayah."

"Kalau begitu, mari kita lanjutkan perjalanan. Tidak enak kalau kemalaman dalam hutan. Apalagi bau bangkai ular-ular itu amat busuk."

"Baiklah, Cin-moi. Kaunaiki saja kudamu, biar aku jalan kaki. Kita dapat bercakap-cakap di perjalanan."

Mereka melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap. Sui Cin menunggang kudanya dan Cia Sun berjalan di sebelahnya. Malam telah tiba dan cuaca mulai gelap ketika mereka keluar dari dalam hutan. Karena tidak nampak dusun di dekat situ, keduanya terpaksa melewatkan malam di tepi hutan. Mereka membuat api unggun dan Sui Cin mengeluarkan bekal roti dan daging keringnya, sedangkan Cia Sun mengeluarkan bekal araknya yang masih seguci penuh. Setelah makan sekedarnya untuk menghilangkan rasa lapar dan haus, keduanya duduk menghadapi api unggun dan melanjutkan percakapan mereka.

"Sun-ko, sudah banyak sekali aku mendengar tentang orang tuamu, terutama sekali tentang ayahmu. Ayahku tiada bosannya mengatakan bahwa ayahmu adalah pendekar terbesar di dunia ini dan ayahmulah satu-satunya orang yang amat dihormati ayahku."

Cia Sun menghela napas. "Di antara ayah kita berdua memang terjalin pertalian persaudaraan yang amat kuat, melebihi saudara sekandung. Ayahku juga tiada bosannya membicarakan ayahmu dan seringkali dia mengatakan bahwa ayahmu adalah pendekar yang paling lihai dan satu-satunya orang yang amat disayang oleh ayahku."

"Kalau begitu, orang tua kita memiliki pertalian persaudaraan yang amat erat, dengan sendirinya kitapun dapat dibilang masih keluarga sendiri, bukan?"

"Begitulah, siauw-moi."

"Ih, jangan sebuat aku siauw-moi (adik kecil), aku tidak kecil lagi, Sun-ko. Usiaku sudah lima belas tahun!"

"Lima belas tahun masih kecil namanya."

"Siapa bilang? Bagi seorang wanita, usia itu sudah berarti dewasa."

"Baiklah, maafkan aku. Aku akan menyebutmu Cin-moi saja."

"Maaf-maafan segala, engkau terlalu sungkan, Sun-ko. Kalau aku tidak salah ingat, engkau lebih tua lima tahun daripada aku."

"Tujuh tahun. Usiaku sekarang sudah dua puluh dua tahun."

"Engkau tentu sudah menikah..."

Perkataan ini membuat Cia Sun terkejut dan tertegung sejenak tak dapat menjawab karena bagi seorang pendiam dan sopan serta serius seperti dia, tak pernah terbayangkan akan menerima pertanyaan seperti itu dari seorang gadis yang pernah membuat dia tidak mampu tidur nyenyak semalam suntuk. Akan tetapi ketika dia memandang dan mereka bertemu pandang, dia tidak melihat sesuatu dalam sinar mata gadis itu melainkan kejujuran dan pertanyaan yang terbuka tanpa perasaan lain yang tersembunyi di balik kata-kata itu. Maka diapun menggeleng. "Kenapa engkau menyangka demikian?"

"Karena usiamu sudah dua puluh dua tahun."

"Siapa yang mau menjadi isteri orang seperti aku ini, Cin-moi?"

Sui Cin terbelalak memandang wajah pemuda itu, melihat betapa wajah itu tiba-tiba dibayangi kemurungan. Wajah yang gagah, walaupun tidak terlalu tampan, akan tetapi wajah yang berwibawa, gagah dan membayangkan kejujuran. Wajah seorang pendekar yang perkasa. Akan tetapi pada saat itu, kegagahannya tertutup awan mendung sehingga menggelikan hatinya dan tiba-tiba Sui Cin tertawa, sekali ini lupa menutupi mulutnya sehingga nampaklah deretan gigi putih dan rongga mulut yang merah sekali seperti dibakar warna api unggun, dan ujung lidahnya nampak sebentar. Mulut itu tertutup kembali dan Sui Cin memandang kepada api unggun.

Cia Sun kebingungan, merasa ditertawakan, mencari-cari kesalahan apa yang terkandung dalam ucapannya, kelucuan apa sehingga dare itu tertawa. Karena tidak dapat menemukan, diapun bertanya, "Cin-moi, kenapa engkau tertawa?"

Sui Cin masih nampak termenung sambil menatap api unggun, kemudian bicara, seperti bicara kepada api unggun, suaranya lirih, satu-satu dan jelas, "Dia seorang pendekar perkasa berkepandaian tinggi, putera ketua Pek-liong-pang penghuni Lembah Naga yang amat terkenal, disegani kawan ditakuti lawan dan dia bertanya siapa yang mau menjadi isteri seorang seperti dia! Padahal, gadis-gadis dari semua penjuru akan berbondong-bondong datang berlomba untuk dapat menjadi jodohnya."

Wajah pendekar itu berobah merah. "Ah, Cin-moi, harap jangan memperolok..."

"Siapa berolok-olok? Sun-ko, engkau seorang pendekar yang gagah perkasa, hanya ada yang tidak menyenangkan hatiku... yaitu... hemmm... engkau terlalu canggung, engkau terlalu sopan, terlalu halus dan lemah, hemm... sudahlah, aku mau tidur." Berkata demikian, dara itu lalu merebahkan diri di tempat yang sudah dipersiapkan sebelumnya, yaitu di bawah pohon bertilamkan rumput kering.

Dia rebah miring dan tidak bergerak lagi dan tak lama kemudian pernapasannya menunjukkan bahwa ia memang sudah pulas.

***

Malam itu kembali Cia Sun tidak dapat tidur. Kata-kata dan sikap Sui Cin yang membuat dia duduk bengong menghadapi api unggun dengan alis berkerut, juga dia harus berjaga. Siapa tahu nenek pawang ular itu muncul lagi dan setelah dia melakukan perjalanan bersama Sui Cin, dia merasa bertanggung jawab menjaga keselamatan dara ini. Dia sungguh bingung menghadapi sikap Sui Cin. Mengapa hatinya tidak senang karena dia... hemm, dianggap canggung, sopan, halus dan lemah? Apa maksudnya? Dia tidak marah disebut demikian, hanya dia ingin tahu sekali mengapa hati gadis itu menjadi tidak senang. Akan tetapi dia tidak berani bertanya, takut kalau-kalau pertanyaannya atau desakannya akan membuat Sui Cin menjadi makin marah. Padahal dia sama sekali tidak menghendaki gadis itu marah-marah. Sama sekali tidak, bahkan dia ingin sekali membuat gadis itu bergembira. Akan tetapi bagaimana? Ada sesuatu pada diri gadis ini yang membuatnya tertarik, untuk menyelidikinya, untuk mengenalnya lebih baik. Dan setelah ternyata bahwa gadis yang tadinya disangka gadis jembel aneh itu adalah puteri Pendekar Sadis, pamannya sendiri, kesan dalam batinnya menjadi semakin mendalam!

Ketika pada keesokan paginya mereka melanjutkan perjalanan, di sepanjang perjalanan Cia Sun dengan hati-hati menjaga diri agar jangan sampai membuat adik sepupu itu menjadi tidak senang hatinya. Hubungan antara dia dan Sui Cin memang dekat sekali. Dilihat dari sumber perguruan silat, mereka masih terhitung saudara seperguruan. Diingat akan hubungan antara ayah mereka yang mengangkat saudara, mereka masih terhitung saudara sepupu angkat.

Akan tetapi Cia Sun menemui kesulitan untuk depat menyesuaikan diri dengan gadis itu, atau mengikuti gerak-geriknya. Bagaikan seekor burung, Sui Cin adalah seekor burung walet yang amat gesit dan tidak pernah mau diam. Bagaikan bunga, ia mirip bunga hutan yang liar dan kuat, tidak takut akan badai dan panas, Wataknya lincah gembira, kadang-kadang seperti kanak-kanak, kadang-kadang sudah matang dewasa, ada kalanya bengal suka menggoda orang, pendeknya, amat berlawanan dengan watak Cia Sun yang pendiam, serius, dan tidak banyak cakap. Namun, suatu keanehan terjadi dalam batin pemuda itu. Walaupun watak mereka bertolak belakang, dia merasa amat tertarik, dan kalau biasanya dia tidak suka melihat seseorang dengan sikap seperti Sui Cin, namun pada diri gadis itu, baginya nampak demikian memikat dan menyenangkan!

Asmara memang merupakan suatu kekuasaan yang amat jahil dan suka menggoda hati manusia! Demikian kuatnya asmara sehingga tidak ada seorangpun manusia yang kebal atau dapat melawan kekuasaannya. Tanpa pandang bulu, kaya atau miskin, pintar atau bodoh, dari segala lapisan, setelah melampaui masa remaja, asmara mulai mengintai dan mencari korban di antara manusia. Dan sekali orang terkena panah asmara, dia akan menjadi seperti linglung dan terjadilah perobahan besar-besaran dalam dirinya. Hebatnya, asmara dapat mendatangkan sorga pada seseorang sehingga batinnya merasa bergembira, segalanya nampak indah, hidup penuh arti yang menyenangkan. Di lain saat, asmara dapat meruntuhkan kesemuanya itu dan menyulap sorga berobah menjadi neraka, penuh derita batin, penuh kekecewaan, penuh sengsara. Lebih mengherankan lagi, manusia amat jinak dan suka sekali menjadi korban asmara yang jahil!

Dan Cia Sun, untuk yang pertama kali selama hidupnya, terkena panah asmara tanpa dia sendiri menyadarinya! Dia jatuh hati kepada Sui Cin. Namun, karena pemuda ini semenjak kecil digembleng oleh orang tuanya menjadi seorang pendekar yang budiman, sopan dan memegang teguh peraturan, sesuai dengan sifat seorang kuncu (budiman) seperti yang disebutkan oleh para guru besar dan para cerdik pandai, maka diapun diam saja dan hanya menyimpan peraman itu di lubuk hatinya.

Pada suatu siang tibalah mereka di kaki bukit itu. Puncak Bukit Perahu telah nampak dari situ. Bukit itu memang berbentuk sebuah perahu yang terbalik, tertelungkup. Karena bentuknya itulah maka dinamakan Puncak Bukit Perahu. Puncaknya tidak runcing, melainkan seperti dasar perahu yang terbalik. Dari jauh nampak hutan-hutan yang amat subur karena bukit itu terletak di daerah lembah Sungai Huang-ho yang terkenal subur.

Selagi keduanya melanjutkan perjalanan, Sui Cin di atas punggung kudanya dan Cia Sun berjalan di sebelah kirinya, tiba-tiba gadis itu menunjuk ke depan. "Eh, siapa itu tidur di tepi jalan?"

Mereka berdua mempercepat jalan ke depan dan Sui Cin yang melihat bahwa yang menggeletak di tepi jalan itu adalah seorang wanita, cepat meloncat turun dan sebentar Saja ia sudah berlutut di dekat mayat itu. Mayat seorang gadis yang usianya sebaya dengannya, mayat yang setengah telanjang, mayat yang diperkosa dan dibunuh secara kejam. Kejam karena tubuh itu tidak terluka, akan tetapi setelah diperiksa, di pelipisnya ada tanda jari hitam. Tahulah Sui Cin bahwa gadis ini dibunuh oleh orang yang memiliki ilmu pukulan ganas dan kejam sekali, yang memiliki jari tangan yang mampu membunuh orang hanya dengan satu kali tusukan atau bahkan pijatan saja seperti yang dialami oleh gadis yang sudah mati itu. Dengan muka merah karena marah sekali Sui Cin menoleh ke arah Cia Sun dan melihat betapa pemuda itu sudah berdiri dekat akan tetapi pemuda itu membuang muka. Tentu saja karena melihat mayat setengah telanjang itu. Sui Cin lalu menutupi bagian-bagian yang biasanya tertutup dengan sisa pakaian yang masih ada sambil menarik napas panjang untuk menekan perasaannya yang dibakar api kemarahan.

"Kenapa ia?" tanya Cia Sun mendengar helaan napas gadis itu.

"Diperkosa lalu dibunuh. Lihatlah sendiri betapa kejamnya pembunuh itu. Tak perlu sungkan, tubuhnya sudah kututupi."

Sebenarnya, andaikata di situ tidak ada Sui Cin, tentu Cia Sun tidak begitu sungkan untuk memeriksa karena bagaimanapun juga, yang terbujur di atas tanah itu adalah tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi. Akan tetapi, dengan hadirnya gadis itu dia merasa tidak sampai hati untuk memandang ketika dilihatnya tubuh gadis itu terbuka telanjang.

Mendengar ucapan Sui Cin, Cia Sun berlutut dan atas petunjuk Sui Cin, dengan mudah dia menemukan sebab kematian. Totokan jari tangan yang amat ganas pada pelipis gadis itu merusak otak dan menghentikan aliran darah, mendatangkan kematian yang amat menyiksa karena gadis itu matinya perlahan-lahan setelah mengalami rasa nyeri yang hebat tanpa dapat berkutik!

"Bedebah! Seorang jai-hwa-cat yang amat jahat!" kata Cia Sun.

"Dan gadis inipun bukan seorang gadis biasa, melainkan seorang yang memiliki kepandaian silat. Lihat, di pinggangnya masih terdapat kantung piauw yang belum habis dipergunakan, dan lengan kirinya ada cacat goresan pedang yang sudah lama."

"Ah, ini berarti bahwa jai-hwa-cat itu adalah satu di antara golongan hitam yang sengaja hendak mengacau pertemuan para pendekar, seperti tiga orang iblis dari Cap-sha-kui yang kau telah jumpai itu, Cin-moi."

"Kurasa begitu. Kasihan gadis yang masih begini muda harus tewas dalam keadaan begini menyedihkan. Mengapa ia melakukan perjalanan seorang diri ke tempat berbahaya ini?"

"Ingat, Cin-moi, bukankah engkaupun seorang gadis muda yang melakukan perjalanan sendirian saja sebelum bertemu denganku? Kurasa iapun mengandalkan kepandaiannya maka berani melakukan perjalanan sendiri, sungguh kasihan sekali."

"Atau ia terpisah dari rombongannya, siapa tahu..."

"Mungkin juga. Mari kita cepat mengubur mayatnya."

Dua orang pendekar muda itu lalu menggali lubang dan mengubur jenazah itu secara sederhana sekali, memberi tanda di atas kuburan itu dengan sebongkah batu yang berbentuk tinggi lurus.

Setelah selesai mereka maju lagi dan mulai mendaki bukit. Ketika memasuki hutan pertama yang kecil, mereka dikejutkan oleh penemuan kedua. Sekali ini mereka melihat tiga orang laki-laki muda yang sudah menjadi mayat dan tubuh mereka berserakan di tepi jalan. Seperti mayat gadis pertama tadi, jenazah merekapun tidak terdapat cacat, tidak ada luka, hanya ada tanda satu jari hitam saja di bagian-bagian yang mematikan. Seorang di tengkuk, seorang lagi di ulu hati dan seorang lagi di kepala. Jelaslah bahwa mereka itu hanya terbunuh oleh satu kali serangan sebuah jari tangan saja yang meninggalkan bekas hitam!

"Jahanam, aku harus membasmi Si Jari Hitam yang kejam ini!" Cia Sun mengepal tjnju dan di dekat tiga mayat itu dia menemukan tiga batang pedang. Agaknya tentu senjata mereka yang terlepas dari tangan.

"Tentu ada hubungan dengan kematian gadis yang diperkosa," kata Sui Cin. "Engkau tadi menduga benar, Sun-ko. Gadis itu tadi tentu serombongan dengan mereka ini."

Kembali mereka menggali lubang, kini cukup besar untuk mengubur tiga buah mayat itu sekaligus. Mereka berkeringat juga setelah selesai meletakkan batu besar di atas makam baru ini dan matahari telah condong ke barat ketika mereka melanjutkan perjalanan dengan hati terasa semakin panas terhadap pelaku pembunuhan-pembunuhan kejam itu. Menjelang senja mereka tiba di lereng bukit itu dan tiba-tiba mereka melihat dua orang laki-laki sedang berkelahi dengan serunya. Cepat keduanya menghampiri dan Sul Cin segera meloncat turun dari atas kudanya. Bersama Cia Sun ia memperhatikan dua orang yang sedang berkelahi mati-matian itu.

Orang pertama yang melakukan serangan membabi-buta adalah seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun, bertubuh tinggi besar bercambang bauk dan jelas memiliki potongan penjahat yang serba kasar dan sudah biasa mempergunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya. Orang ini mempergunakan sebatang golok besar yang tebal dan berat untuk menyerang lawannya. Goloknya membentuk gulungan sinar yang berkilauan tertimpa cahaya matahari senja yang kemerahan. Orang kedua yang menjadi lawannya amat menarik perhatian Sui Cin dan Cia Sun. Orang itu masih muda, kurang lebih dua puluh lima tahun usianya. Wajahnya tampan dan lincah gembira karena menghadapi serangan bertubi-tubi dari lawannya itu dia masih dapat tersenyum-senyum! Pakaiannya rapi dan bahkan agak mewah dan indah, pantas sekali dengan tubuhnya yang tegap dan wajahnya yang tampan. Potongan seorang pendekar tulen, pendekar yang halus dan agaknya terpelajar, menilik dari pakaian dan gerak-geriknya. Pemuda ini bertangan kosong dan pada tubuhnya tidak nampak adanya senjata. Hanya di punggungnya terdapat sebuah buntalan pakaian dan rambutnya yang hitam lebat itu digelung ke atas, kemudian kepalanya dilindungi oleh sebuah caping bulat yang lebar sekali. Begitu seenaknya dia menghadapi lawan sehingga topi lebar itupun tidak dilepasnya dan caping itu mengangguk-angguk dan melambai-lambai mengikuti gerakan-gerakannya.

Sui Cin dan Cia Sun memperhatikan gerakan pemuda itu. Gerakannya indah dan cepat sekali. Biarpun sambaran golok itu cukup dahsyat, namun tubuh pemuda itu seperti kapas saja yang sukar disentuh golok, seolah-olah sambaran golok itu cukup membuat tubuhnya terdorong menghindar sehingga sebelum goloknya tiba, tubuhnya sudah lebih dulu menyingkir. Tentu saja Sui Cin dan Cia Sun kagum dan mengerti bahwa pemuda bercaping lebar itu adalah seorang ahli gin-kang yang hebat. Sui Cin sendiri telah mewarisi gin-kang yang hebat dari ibu kandungnya, akan tetapi melihat gerakan pemuda bercaping itu, iapun merasa kagum dan diam-diam ia ingin sekali mencoba gin-kangnya melawan pemuda itu! Karena mereka tidak tahu urusannya, maka tentu saja mereka hanya menonton dan tidak berani sembarangan turun tangan.

Sementara itu, pemuda bercaping agaknya tidak pernah melihat kedatangan Sui Cin dan Cia Sui, karena dia didesak dan diserang secara bertubi-tubi oleh lawannya. Namun semua serangan dapat dihindarkannya dengan baik dan tiba-tiba dia membuat gerakan cepat sekali dengan kakinya.

"Hyaaat! Robohlah!" Dan seperti mentaati perintah pemuda bercaping itu, tiba-tiba saja lawannya itu roboh terpelanting dan tidak mampu bangun lagi karena tendangan si pemuda telah membuat sambungan lutut kanannya terlepas. Tendangan yang hebat tadi dapat dilihat jelas oleh Cia Sun dan Sui Cin dan mereka kembali merasa kagum. Itu adalah semacam ilmu tendang yang amat berbahaya, pikir mereka. Kini pemuda itu melangkah maju menghampiri. Tiba-tiba Sui Cin hampir menjerit melihat betapa laki-laki tinggi besar yang sudah roboh itu secara mendadak menggerakkan goloknya membabat ke arah kaki dan serangan ini dilanjutkan dengan tusukan ke arah perut. Sungguh merupakan serangan amat berbahaya dan dilakukan dengan mendadak selagi pemuda itu menghampirinya dan sama sekali tidak menduganya. Namun, Sui Cin dan Cia Sun kembali terkejut kagum melihat betapa mudahnya pemuda itu menghadapi serangan yang cukup berbahaya itu. Ketika golok membabat kaki, tubuhnya meloncat ke atas dan ketika golok itu menyambar ke arah perutnya, enak saja tubuhnya miring dan dari samping, tangannya bergerak ke arah pundak kanan lawan yang berada dalam keadaan terbuka.

"Krekkk!" Golok terlepas jatuh ke dekat tubuh orang tinggi besar itu dan lengan kanannya terkulai karena tulang pundaknya patah. Si tinggi besar memandang beringas akan tetapi agaknya diapun maklum bahwa dia menghadapi lawan yang lebih kuat maka hanya menundukkan mukanya.

"Hemm, penjahat busuk dan hina! Engkau masih tidak mau mengaku bahwa engkau telah memperkosa dan membunuh wanita itu?"

"Aku... aku mengaku, tapi..."

"Hemm, tidak ada tapi lagi. Setelah engkau mengaku menjadi pemerkosa dan pembunuh, sekarang boleh kaupilih, hendak menamatkan riwayat hidupmu sendiri ataukan engkau ingin aku membantumu dan membiarkan engkau mati perlahan-lahan dengan menderita? Nah, itu golokmu masih di situ dan engkau harus berterima kasih kepadaku yang membiarkan engkau masih dapat memilih." Pemuda itu tersenyum di bawah capingnya. Dari jauh, yang nampak oleh Cia Sun hanya senyum itu dan dia merasa tidak suka dengan senyum ini. Senyum ini membayangkan kekejaman biarpun hanya sekilat saja.

Si tinggi besar menarik napas panjang. "Aku sudah kalah, siapa takut mati?" Dan tangan kirinya mengambil goloknya sendiri lalu dengan gerakan yang kuat, golok itu digerakkan menyambar leher sendiri. Cia Sun dan Sui Cin terkejut, hendak mencegah namun terlambat. Darah muncrat-muncrat dan orang tinggi besar yang tadinya duduk itu kini terjengkang dengan leher terkuak lebar hampir putus. Pemuda bercaping lebar itu masih berdiri dengan kedua kaki terbuka lebar, mengangguk-angguk melihat bekas lawannya tewas. Kemudian dengan tiba-tiba dia membalik, menghadapi Sui Cin dan Cia Sun. Wajahnya yang putih halus itu berseri dan mulutnva tersenyum manis dan ramah sekali. Bahkan dia lalu menjura dengan sikap hormat kepada Sui Cin dan Cia Sun yang tentu saja segera membalasnya.

"AH, kiranya ada dua orang gagah perkasa yang ikut menyaksikan tewasnya jai-hwa-cat yang kejam. Saya dapat menduga bahwa ji-wi (anda berdua) tentu hendak menghadiri pertemuan para pendekar seperti saya juga, bukan?"

Ucapan ini makin meyakinkan hati Sui Cin bahwa pemuda tampan dan perkasa ini adalah seorang pendekar, maka iapun cepat balas menjura dan memuji, "Caramu memaksa dia membunuh diri tadi sungguh cerdik sekali!"

"Begitukah, nona? Sesungguhnya orang macam dia layak mampus, akan tetapi aku selalu merasa tidak tega untuk membunuh orang, betapapun jahatnya. Kecuali kalau sangat terpaksa. Kalau bisa, aku lebih senang membiarkan dia membunuh diri sendiri."

"Maaf, saudara tadi mengatakan bahwa dia adalah seorang jai-hwa-cat. Apakah ada buktinya dia memperkosa wanita dan membunuh orang?" tiba-tiba Cia Sun bertanya dan matanya memandang penuh selidik.

Pemuda bercaping itu memandang kepadanya dan sejenak dua orang muda itu saling pandang dengan tajam. Akan tetapi, pemuda bercaping itu lalu tertawa, suara ketawanya bebas lepas dan nyaring, mendatangkan rasa suka di hati Sui Cin. Pemuda ini selain gagah juga jujur dan gembira, tentu lebih menyenangkan sebagai sahabat dan kawan seperjalanan daripada Cia Sun yang pendiam sekali itu.

"Ha-ha-ha, saudara berpakaian putih sederhana, pantas dijuluki Pek-i Taihiap (Pendekar Besar Baju Putih), dan perta-nyaanmu tadi menunjukkan betapa engkau adalah seorang yang teliti dan bijaksana. Memang, sebelum kita bersahabat, seyogianyalah kalau kalian berdua mengenal dulu orang macam apa aku yang hendak dijadikan kenalan, bukan?" Orang itu tersenyum dan melirik ke arah Sui Cin yang juga tersenyum karena ia menganggap bahwa orang ini pandai bicara Pandai pula membawa diri. "Namaku Thian Bu, she Sim. Sim Thian Bu, ya, itulah nama yang mudah diingat, bukan? Aku tidak datang dari satu golongan atau partai persilatan tertentu, hidupku sendirian dan suka merantau di dunia yang luas. Karena sejak kecil aku sudah mempelajari bermacam-macam ilmu silat, maka ketika mendengar akan diadakannya pertemuan para pendekar di Puncak Bukit Perahu, aku segera bermaksud menghadirinya untuk berkenalan dengan para pendekar dan meluaskan pengalaman. Ketika melewati hutan di bawah, aku melihat mayat seorang wanita diperkosa. Aku mengejar ke atas dan melihat tiga orang pendekar mengeroyok penjahat ini. Sayang aku terlambat sehingga tiga orang pendekar itu telah roboh. Aku lalu mengejar lagi dan akhirnya berhasil menyusulnya di tempat ini."

Mendengar cerita itu, Sui Cin tersenyum dan memuji, "Sungguh engkau dapat bergerak cepat hingga berhasil merobohkan penjahat keji itu, saudara Sim. Kamipun sedang mencari-carinya dan agaknya akan sukarlah mengetahui siapa pelaku kejahatan itu kalau dia dapat meloloskan diri."

"Nona terlalu memuji." Sim Thian Bu tersenyum dan menjura. "Setelah aku menceritakan semua tentang diriku, bolehkah aku mengenal nama ji-wi yang mulia?"

Sui Cin melihat betapa Cia Sun diam saja hanya memandang tajam kepada pemuda tampan itu, maka ia merasa tidak enak kalau tidak menjawab. "Namaku Ceng Sui Cin dan ini adalah kakak misanku bernama Cia Sun."

Mendengar nama kedua orang muda itu, Sim Thian Bu nampak tercengang, akan tetapi hanya sebentar saja dan hanya Cia Sun yang melihatnya karena memang sejak tadi dia memperhatikan orang itu.

"Di dalam dunia persilatan terdapat dua orang locianpwe yang memiliki she Ceng dan Cia yang paling terkenal, yaitu Ceng-locianpwe yang berjuluk Pendekar Sadis dan Cia-locianpwe sebagai ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga..."

"Mereka adalah ayah-ayah kami." Baru sekarang Cia Sun berkata, memotong ucapan pemuda she Sini itu.

"Ah, kiranya ji-wi adalah putera dan puteri dua orang locianpwe yang amat terkenal. Maafkan kalau aku bersikap kurang hormat. Maaf, aku tidak berani mengganggu lebih lama lagi. Sampai jumpa di tempat pertemuan!" Sim Thian Bu menjura dengan sikap hormat, kemudian dia menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya berkelebat cepat sekali, lenyap dari tempat itu, menyelinap di antara pohon-pohon. Gerakannya memang cepat sekali dan agaknya dia memang sengaja memamerkan ilmu gin-kangnya sehingga mau tidak mau, dua orang pendekar muda itupun merasa kagum.

"Dia lihai, sayang kita tidak dapat berkenalan lebih baik dan tahu siapa dia sebetulnya," kata Sui Cin.

Akan tetapi Cia Sun tidak memberi komentar dan pemuda ini segera menghampiri mayat penjahat tinggi besar tadi, memandang sejenak lalu mulal menggali tanah.

"Apa yang kaulakukan, Sun-ko?"

"Mengubur jenazah ini," jawabnya singkat.

"Wah, kita mengubur lagi?"

"Mayat-mayat yang tadipun kita kubur."

"Mereka adalah pendekar-pendekar, sedangkan yang ini adalah penjahat. Kalau kita harus mengubur setiap mayat termasuk mayat penjahat, kita bisa menjadi tukang pengubur jenazah!"

"Cin-moi, apa bedanya? Baik buruk, pandai bodoh, kaya miskin, mulia hina, kalau sudah menjadi jenazah begini apa bedanya?" Cia Sun bekerja terus. Sui Cin mengangkat pundak lalu membantu pekerjaan itu tanpa banyak cakap lagi. Mereka bekerja keras dan sebentar saja mereka sudah mengubur jenazah itu.

Sambil membersihkan kedua tangannya, Sui Cin mengomel kepada gundukan tanah kuburan itu, "Hemm, jai-hwa-cat, entah kebaikan apa yang pernah kaulakukan sewaktu hidupmu sehingga ketika mati engkau mendapat kehormatan dikubur oleh kami?"

"Cin-moi, aku masih belum percaya bahwa orang inilah yang membunuh dan memperkosa gadis yang kita kubur itu. Juga belum tentu dia yang membunuh tiga orang itu."

"Hemm, kenapa kau berkata demikian, Sun-ko? Bukankah sudah jelas..."

"Sama sekali belum jelas! Cin-moi, ingatlah engkau bagaimana matinya empat orang pendekar muda itu? Mereka semua mati karena pukulan atau totokan jari tangan yang amat dahsyat. Akan tetapi, orang yang kita kubur ini, dia berkelahi mempergunakan golok. Kenapa dia tidak mempergunakan jarinya yang lihai, seperti ketika dia membunuh empat orang itu?"

Sui Cin mengerutkan alisnya, terkejut karena baru sekarang ia teringat akan hal itu dan segera otaknya yang cerdik itu bekerja. "Memang aneh..." katanya, "akan tetapi, kita harus mengakui bahwa permainan goloknya hebat sehigga bukan tidak mungkin kalau dia menguasai pula ilmu totok yang jahat itu. Mungkin saja, karena pemuda she Sim itu memang lihai dan lebih pandai dari padanya, maka dia tidak lagi mengandalkan ilmu totoknya dan menggunakan golok."

Pemuda itu menggeleng kepala. "Meragukan sekali. Biarpun permainan goloknya tadi memang cukup lihai, akan tetapi kurasa tingkatnya belum mencapai tingkat Si Jari Hitam. Penjahat itu, kalau benar penjahat, adalah penjahat yang kasar dan belum tinggi tingkatnya."

"Akan tetapi, Sun-ko, bukankah dia sendiri sudah mengaku bahwa dia yang melakukan perkosaan dan pembunuhan? Kita mendengar sendiri pengakuannya tadi sebelum dia membunuh diri."

"Itulah yang amat membingungkan hatiku, Cin-moi. Akan tetapi, biarpun dia mengaku memperkosa dan membunuh, dia tidak pernah mengatakan siapa yang diperkosanya dan dibunuhnya itu. Apakah gadis yang kita temui dan tiga orang pendekar muda itu? Ataukah orang lain yang dia maksudkan? Sayang orang she Sim itu tergesa mendesaknya membunuh diri sehingga aku tidak sempat mencegah untuk menanyainya secara teliti."

"Sekarang akupun menjadi ragu, Sun-ko. Andaikata bukan dia yang melakukan perkosaan dan pembunuhan atas diri gadis dan tiga orang pemuda itu berarti..."

"Berarti bahwa seorang pemerkosa dan pembunuh yang amat lihai masih berkeliaran dan mengancam keselamatan banyak orang, terutama kaum pendekar."

Mereka melanjutkan perjalanan mendaki lereng bukit dan Sui Cin mengomel, "Sun-ko, kenapa engkau memperkenalkan aku sebagai puteri Pendekar Sadis?"

"Eh, apa salahnya karena memang kenyataannya begitu?"

"Aku tidak suka! Aku ingin hidup bebas, tidak mau membonceng nama besar ayahku. Kaulihat, aku suka menyamar, berarti aku hendak menyembunyikan keadaan diriku sebagai puteri Pendekar Sadis."

"Mengapa, Cin-moi? Seharusnya engkau bangga mempunyai ayah seperti paman Ceng Thian Sin."

"Hemm, ayahku Pendekar Sadis. Ibuku Lam-sin, keduanya adalah tokoh-tokoh besar yang namanya menjulang tinggi. Apakah hal itu harus kupergunakan untuk mengangkat diriku sendiri? Tidak, aku tidak suka. Kalau orang mengenalku, maka dia boleh mengenal pribadiku sendiri, bukan suka berkenalan denganku karena aku puteri ayah bundaku yang terkenal itu." Gadis itu cemberut dan kembali Cia Sun terheran-heran dan merasa bingung, semakin tidak dapat menyelami watak gadis ini.

Mereka terpaksa berhenti pada sebuah lereng di tengah malam itu untuk beristirahat dan pada keesokan harinya, tiba-tiba Sui Cin berkata, "Sun-ko, di sini terpaksa kita harus berpisah."

Ucapan ini sungguh tak pernah disangka oleh Cia Sun yang menjadi terkejut sekali. Dan di dalam terkejutnya itu dia merasa heran mengapa hatinya menjadi begini. Apa artinya perpisahan? Setiap pertemuan harus diakhiri dengan perpisahan dan biasanya, dia bertemu dan berpisah dari orang-orang tanpa kesan. Kenapa sekarang mendengar gadis itu mengusulkan perpisahan hatinya merasa seperti disayat?

"Akan tetapi kenapa, Cin-moi? Bukankah kita berdua sama-sama hendak pergi mengunjungi pertemuan para pendekar? Tujuan perjalanan kita sama dan puncak itu sudah nampak dari sini, juga hari inilah hari pertemuan itu."

"Sun-ko, engkau adalah wakil dari Lembah Naga, wakil Pek-liong-pang, sedangkan aku hanya seorang penonton saja. Biarlah kita bertemu saja di sana nanti. Selamat berpisah!" Tanpa menanti bantahan lagi, Sui Cin sudah membedal kudanya yang segera berlari congklang ke depan, kemudian membalap mendaki lereng terakhir. Cia Sun hanya dapat memandang dan menarik napas panjang. Semangatnya seperti terbawa pergi oleh gadis itu, dan kaki kuda yang bercongklang itu seperti menginjak-injak dan menyepak-nyepak hatinya.

***

Beberapa belas li jauhnya dari Puncak Bukit Perahu terdapat sebuah daerah liar yang jarang didatangi orang kerena tempat itu sukar dicapai dengan cara biasa. Tempat itu merupakan sebuah lereng yang penuh dengan jurang yang amat curam, juga merupakan daerah berbatu-batu, penuh dengan guha-guha gelap dan kabarnya tempat ini menjadi sarang binatang-binatang buas dan binatang-binatang beracun, juga penjahat-penjahat yang menjadi buruan banyak yang lenyap setelah memasuki daerah ini.

Akan tetapi, sehari sebelum pertemuan para pendekar di Puncak Bukit Perahu dimulai, di sebuah tanah datar yang dikelilingi batu-batu dan guha-guha nampak didatangi banyak orang. Melihat keadaan pakaian dan sikap orang-orang ini, juga wajah mereka yang rata-rata menyeramkan, mudah diduga bahwa mereka adalah golongan hitam. Para pendekar menamakan golongan ini sebagai kaum sesat. Memang amat menyedihkan melihat betapa manusia telah dipecah-pecah dan dipisah-pisahkan oleh segala macam golongan. Karena berpisah dan menjadi anggauta dari masing-masing golongan, tentu saja kepentingan masing-masing membuat mereka itu kadang-kadang saling bentrok dan setiap golongan membenarkan golongannya sendiri. Tidak ada manusia dilahirkan jahat! Setiap keadaan sudah pasti mengundang sebab dan kalau ada orang yang menjadi sesat dan melakukan hal-hal yang merugikan orang lain dan yang lajimnya disebut jahat, maka keadaannya itu bukanlah terbawa dari kelahiran, melainkan diakibatkan oleh sebab-sebab tertentu. Bahkan orang yang dilahirkan dalam keadaan cacat sekalipun, sudah pasti ada sebab-sebab yang terjadi sebelum dia dilahirkan, sehingga keadaannya ketika dilahirkan itupun menjadi akibat dari suatu sebab.

Banyaklah sebab yang menjadikan manusia seperti yang banyak kita lihat sekarang ini. Pada umumnya dinamakan jahat karena merugikan orang lain, berwatak buruk dan kejam dan sebagainya. Kebencian, keserakahan, pengejaran kesenangan, dendam iri hati, rasa takut, semua ini dapat membentuk watak yang kejam dan ganas. Dan setiap orang ma-nusia tentu pernah atau akan merasakan itu. Hubungannya erat sekali dengan kesenangan dan sekali orang melakukannya, tanpa adanya kesadaran, maka akan menjadi berlarut-larut dan menjadi semacam kebiasaan yang mendarah daging atau yang membuat orang mencandu dan condong untuk mengulang-ulang lagi.

Orang yang baru tersesat disebut penjahat dan dibenci, dimaki, dihindari. Ini yang akhirnya membuat mereka ini merasa terancam dan merekapun lalu memilih teman, berkelompok dan terjadilah penggolongan. Mereka dinamakan kaum sesat, golongan hitam atau kotor. Tentu saja golongan ini membalas kebencian yang dilontarkan oleh para pendekar kepada mereka. Mereka menganggap para pendekar sebagai golongan lawan yang mengancam keselamatan mereka dan sebagai balasan, merekapun menamakan golongan para pendekar itu sebagai golongan sombong, golongan besar kepala, bahkan ada yang menamakannya kaum munafik!

Demikianlah, ketika mendengar bahwa para pendekar hendak mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu, mereka yang dinamakan kaum sesat itupun segera bergerak dan mendahului pertemuan itu dengan mengadakan pertemuan rahasia di tempat liar itu, hanya belasan li jauhnya dari tempat yang akan dijadikan balai pertemuan para pendekar! Dan pertemuan rahasia ini tidak tanggung-tanggung karena pengundangnya adalah Cap-sha-kui. Berbondonglah mereka yang merasa dirinya sudah "tokoh" untuk menghadiri pertemuan rahasia itu. Dan memang sesungguhnyalah, kalau tidak memiliki kepandaian tinggi, jangan harap akan bisa mendatangi tempat pertemuan rahasia yang ditentukan itu dan agaknya dalam hal ini memang Cap-sha-kui hendak menguji dan menyaring para tokoh sesat. Mereka yang tidak tinggi tingkat kepandaiannya tidak akan berani atau dapat datang.

Para tokoh besar kaum sesat banyak yang memiliki kebiasaan dan watak yang aneh dan tidak lumrah manusia pada umumnya. Karena kepandaian mereka yang tinggi dan watak mereka yang ganas, mereka kadang-kadang bukan seperti manusia lagi. Biasanya, mereka tidak pernah memperdulikan orang lain, yang terpenting adalah diri sendiri. Akan tetapi agaknya sekali ini, karena tuntutan keadaan dan karena kekhawatiran terhadap keamanan diri sendiri, mereka berusaha untuk mengadakan pertemuan dan untuk bersatu. Demikian anehnya mereka sehingga pertemuan rahasia itupun diadakan di waktu tengah malam! Demikian bunyi undangannya dan pada malam yang ditentukan, ternyata tepat malam bulan purnama.

Malam itu bulan yang bulat amat terangnya. Tidak ada awan hitam yang gelap, yang ada hanyalah awan-awan putih tipis yang terbang lalu dengan lembutnya. Suasana di tanah lapang dekat dinding guha-guha itu sunyi sekali, tidak nampak ada benda hidup yang bergerak, tidak terdengar pula suara apapun, sepi dan lengang. Akan tetapi, menjelang tengah malam, terdengarlah suara. Suara yang menyeramkan, suara yang mengerikan karena terdengar di tempat sesunyi itu, di tengah malam bulan purnama pula. Suara yang mendirikan bulu roma. Tangis anak-anak! Tangis yang makin keras, menyayat hati seperti anak yang dalam kesakitan. Setelah tangis yang makin meninggi itu sampai di titik puncak, tiba-tiba saja tangis itu berhenti, suaranya lenyap sama sekali seolah-olah anak yang menangis dicekik lehernya. Kembali sunyi melengang, menegangkan dan menakutkan, sampai beberapa lamanya. Kemudian, seperti juga tadi ketika muncul dan ketika lenyap, tangis anak-anak terdengar lagi, kini merengek-rengek minta dikasihani seperti tangis anak manja! Seperti juga tadi, rengek tangis ini makin menjadi dan tiba-tiba saja tangis itupun terhenti tiba-tiba, seperti terputus, seperti tercekik dan mendadak terdengar jerit yang amat mengerikan, jerit anak kecil ketakutan atau kesakitan, lalu terhenti dan kembali lengang. Menegangkan dan mengerikan!

Dan di dalam suasana yang menegangkan itu, tiba-tiba saja nampak dua sosok tubuh manusia. Muncul begitu saja seolah-olah pandai menghilang. Sebenarnya bukan karena dua sosok tubuh manusia ini pandai ilmu menghilang seperti setan, hanya karena geraken mereka amat ringan dan cepat sehingga tahu-tahu saja mereka berada di situ. Pula, pakaian mereka yang serba putih itu membuat tubuh mereka tidak begitu nampak di bawah sinar bulan purnama. Kalau didekati, memang mereka itu amat menyeramkan. Bukan hanya pakaian mereka yang serba putih seperti pakaian orang berkabung, akan tetapi juga wajah mereka putih pucat seperti wajah mayat atau wajah orang yang menderita sakit berat kehabisan darah! Kalau dua orang ini rebah terlentang dan tidak bergerak, tentu disangka mayat-mayat. Akan tetapi sepasang mata mereka sama sekali tidak mati! Sepasang mata mereka bahkan amat hidup, bergerak-gerak ke kanan kiri dan karena manik mata mereka hitam sekali, maka mata itu seperti mencorong keluar apinya. Siapa yang berjumpa dengan mereka di malam itu, tentu akan ketakutan setengah mati dan menyangka bahwa mereka itu adalah iblis-iblis, bukan manusia.

Sesungguhnya mereka adalah sepasang kakek dan nenek yang sudah tua. Kakek itu bertubuh jangkung, kurus, semua rambutnya juga sudah berwarna putih dan mukanya penuh keriput, demikian kurus muka itu sehingga hanya kulit membungkus tengkorak saja, dari jauh mukanya kelihatan seperti tengkorak yang matanya hidup, bernyala! Orang kedua, nenek itu, masih memiliki raut wajah yang cantik. Jelas bahwa di waktu mudanya nenek ini seorang wanita cantik. Akan tetapi wajahnya pucat sekali, bahkan bibirnya agak kebiruan, dengan sepasang mata yang mencorong itu ia mirip siluman. Pantaslah kiranya kalau dua orang kakek dan nenek ini merupakan tokoh-tokoh atau datuk-datuk kaum sesat. Dan mereka itupun sesungguhnya demikian. Mereka adalah kakek dan nenek penghuni Kui-san-kok (Lembah Iblis) sebuah tempat di Pegunungan Hong-san yang amat berbahaya dan jarang ada orang, betapapun pandainya berani lancang memasuki daerah itu di mana kakek dan nenek ini menjadi penghuninya. Mereka tidak pernah memakai julukan, akan tetapi orang-orang kang-ouw menjuluki mereka Kui-kok Lo-mo (Setan Tua Lembah Iblis) dan Kui-kok Lo-bo (Biang Lembah Iblis). Mereka adalah sepasang suami isteri dan biasanya mereka tidak pernah keluar dari lembah itu, hidup sebagai raja dan ratu, mengepalai perkumpulan atau gerombolan mereka yang juga merupakan murid-murid mereka. Perkumpulan itupun dinamakan Kui-kok-pang (Perkumpulan Lembah Iblis) dan semua anggauta atau muridnya berpakaian putih berkabung.

"Hemm, belum nampak seorangpun datang," kata Kui-kok Lo-mo dengan suara mengomel.

"Mereka itu memang bermalas-malasan kalau ada tugas pekerjaan, coba diberitahukan bahwa ada rejeki yang dibagi-bagi, tentu mereka berebut duluan datang," omel isterinya yang di dunia kaum sesat amat ditakuti karena selain galak juga kejam dan ganas sekali. Suami-isteri ini adalah dua di antara tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang paling lihai dan pada malam hari ini, mereka merupakan sebagian dari tokoh Cap-sha-kui yang mengusahakan pertemuan rahasia itu.

Tiba-tiba terdengar kembali jerit seorang anak laki-laki disusul suara ketawa yang dalam. Terdengar dari jauh sekali dan suami isteri yang tua ini saling pandang dan wajah mereka yang seperti mayat itu tidak memperlihatkan perobahan apapun, akan tetapi mata mereka ber-sinar-sinar.

"Si raksasa rakus sudah datang," kata Lo-bo.

"Huh, memuakkan. Ke sini membawa korbannya, menjijikkan!" sambung Lo-mo.

Tiba-tiba tanah di sekitar tempat itu seperti bergoyang dan terdengar suara duk-duk langkah kaki yang amat berat. Muncullah dari balik guha seorang laki-laki yang tubuhnya amat tinggi besar, satu setengah kali tinggi besar manusia lumrah sehingga dia nampak seperti seorang raksasa dari dalam dongeng. Raksasa ini rambutnya panjang awut-awutan, pakaiannya juga tidak karuan dan robek di sana-sini. Melihat badan yang tak terpelihara dan pakaian seperti jembel, sepatutnya kalau dia hidup sebagai gelandangan miskin. Akan tetapi sungguh amat mengherankan melihat gelang-gelang emas yang menghias kedua pergelangan tangannya. Gelang-gelang dari emas murni yang besar dan tebal, yang jumlahnya kalau diuangkan cukup untuk dipakai modal berdagang! Kepalanya besar, matanya lebar terbelalak, hidungnya, mulutnya, segala-galanya besar dan tubuhnya nampak kokoh kuat seperti batu karang. Akan tetapi yang paling menyeramkan adalah melihat sepotong kaki anak-anak yang dipegang tangan kirinya dan dia berjalan sambil menggerogoti daging paha yang masih berlumuran darah itu. Dia makan daging anak-anak mentah-mentah! Sungguh keadaan raksasa ini amat berbeda dengan keadaan Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo. Kalau kakek dan nenek tadi datang seperti bayang-bayang setan, dengan gerakan yang ringan, maka kakek raksasa ini sebaliknya menunjukkan berat badan dan besarnya tenaga yang amat hebat. Langkah kakinya saja membuat tanah bergetar, maka dapat dibayangkan betapa besar tenaganya. Diam-diam kakek dan nenek itupun kagum dan harus mereka akui bahwa sahabat mereka atau lebih tepat lagi rekan mereka itu telah memperoleh kemajuan pesat sehingga mampu memperlihatkan tenaga gwa-kang (tenaga luar) yang demikian hebatnya.

Siapakah raksasa yang pakaiannya compang-camping berwarna serba hijau ini? Dia juga bukan orang sembarangan. Dia seorang datuk sesat yang hampir tidak pernah muncul di dunia ramai, akan tetapi di barat dia terkenal sebagai datuk yang ditakuti. Dia memakai julukan Tho-tee-kong (Malaikat Bumi), akan tetapi karena dia amat kejam dan amat ditakuti, maka di belakangnya, orang memberi julukan Tho-tee-kwi (Setan Bumi) kepadanya. Dan seperti juga kakek dan nenek itu, Tho-tee-kwi inipun merupakan tokoh-tokoh utama dari Cap-sha-kui yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dia peranakan Nepal dan di waktu mudanya pernah menjadi pendeta Lama. Karena murtad dia diusir dari lingkungan pendeta Lama dan akhirnya dia merantau ke Himalaya, mempelajari ilmu-ilmu sesat dan ilmu hitam dan akhirnya muncul sebagai datuk sesat yang amat lihai, bergabung dalam kelompok Cap-sha-kui.

Agaknya Tho-tee-kwi sudah kenyang. Sambil mengunyah daging terakhir yang dicabiknya dari kaki yang dipegang tadi dia membuang sisa kaki itu ke balik jurang, kemudian dia memandang kepada kakek dan nenek sambil menyeringai dan sepasang matanya yang lebar itu menjadi liar.

"Heh-heh, Lo-bo, apanya yang memuakkan dan menjijikkan?" tanyanya, suaranya besar parau.

"Apanya lagi kalau bukan engkau yang memuakkan?" Kui-kok Lo-bo mengejek. "Dan engkau pemakan mayat yang menjijikkan!" tambahnya.

"Ha-ha, Lo-mo, apakah engkau tidak bisa mengendalikan mulut binimu? Lo-bo, engkau pemakan bangkai, aku pemakan mayat, apa bedanya?" Raksasa itu tertawa dan perutnya yang besar bergerak-gerak seperti ada benda hidup berada di dalamnya.

"Apa? Aku pemakan bangkai? Jaga mulutmu!" bentak Lo-bo marah.

"Segala macam daging yang kaumakan itu apakah bukan bangkai? Bangkai binatang yang kaumakan, dan aku makan bangkai orang, heh-heh, aku lebih unggul!"

"Setan bangkotan, apakah engkau menantangku?" Lo-bo berteriak.

"Menantang sih tidak, akan tetapi jangan dikira aku takut padamu. Kita sama-sama setan dan masih harus membuktikan sampai di mana kemajuanmu selama bertahun-tahun kita tidak saling bertemu ini, walaupun kecantikanmu tidak pernah berkurang, Lo-bo."

Kui-kok Lo-bo menoleh kepada suaminya. Bagaimanapun juga galaknya, nenek ini masih menaruh rasa taat dan segan kepada suaminya. Lo-mo mengangguk dan berkata. "Karena yang lain belum datang, boleh saja engkau main-main melawan dia sebentar untuk melihat apakah dia masih patut menjadi sekutu kita." Kalau tidak melihat wajahnya yang seperti mayat hidup amat mengerikan itu, kalau hanya mendengar suaranya, tentu orang mengira bahwa Kui-kok Lo-mo adalah seorang kakek yang halus budi bahasanya.

Setelah mendapat persetujuan suaminya, dengan gerakan yang amat lincah nenek itu meloncat dan tahu-tahu ia sudah berada di depan raksasa itu. "Setan bangkotan, jangan besar omongan saja, buktikan kemampuanmu!" katanya dan secepat kilat nenek itu sudah menggerakkan tangannya ke depan. Terdengar suara mencicit seperti suara kelelawar ketika jari-jari tangan yang membentuk cakar itu menyambar ke depan.

"Hehh!" Tho-tee-kwi berseru kaget ketika merasa betapa hawa pukulan yang dahsyat sekali dan terasa panas menyambar ke arah perutnya. Itulah semacam ilmu pukulan aneh dan baru, pikirnya. Maka diapun tidak berani bersikap memandang rendah, dan biarpun tubuhnya amat besar dan berat, ternyata diapun dapat bergerak sigap. Dia meloncat ke belakang dan lengannya yang panjang dan besar itu menyapu ke depan untuk menangkis pukulan dahsyat tadi, kemudian tanpa membuang waktu, dia membarengi dengan uluran lengan kiri menghantam dari samping ke arah kepala si nenek. Seperti sebuah kipas besar, tangan yang terbuka itu menyambar, didahului angin besar yang membuat rambut nenek itu berkibar-kibar. Namun, gesit sekali gerakan Lobo yang sudah dapat menghindar pula.

Sebetulnya pertandingan itu hanyalah semacam ujian saja karena lama mereka tidak saling jumpa dan mereka ingin sekali mengukur kepandaian atau kemajuan masing-masing. Akan tetapi dasar watak mereka yang aneh dan ganas, biarpun hanya merupakan pertandingan dan bukan perkelahian karena dendam, keduanya tidak menahan gerakan mereka dalam menyerang, setiap serangan mereka adalah pukulan-pukulan maut dan begitu bergebrak mereka sudah mengeluarkan ilmu simpanan masing-masing. Hal ini adalah karena mereka tahu bahwa kalau mereka mengeluarkan ilmu-ilmu lama tentu akan percuma saja karena pihak lawan sudah mengenalnya dan akan dengan mudah mampu memecahkannya.

Menghadapi serangkaian pukulan nenek itu yang mengeluarkan suara mencicit dan mengandung hawa panas, juga hawa pukulan itu mampu merobek ujung bajunya, Tho-tee-kwi terkejut bukan main.

"Eh, eh, ilmu setan apakah itu?" bentaknya.

Nenek itu mendengus. "Ilmu untuk mengalahkanmu. Hayo lekas berlutut mengaku kalah kalau engkau tidak ingin perutmu yang penuh mayat itu terobek dan ususmu terburai keluar!"

Raksasa baju hijau itu tertawa besar. "Ha-ha-ha, enaknya buka mulut membual! Lihat ini!" Dan tiba-tiba kedua kakinya dihentakkan ke atas tanah sedemikian kerasnya sehingga tanah itu terguncang seperti ada gempa bumi. Tubuh nenek itu ikut pula tergetar dan dalam keadaan demikian, raksasa itu menyerang dan kini pukulannya sama antepnya dengan hentakan kakinya tadi, begitu penuh mengandung tenaga raksasa! Hebat memang ilmu ini dan agaknya ketika pertama muncul tadi, si raksasa juga sudah memamerkan ilmu barunya itu. Lo-bo cepat menggunakan kegesitan tubuhnya untuk menghindarkan diri dari rangkaian serangan pertama. Akan tetapi, si raksasa berkali-kali menghentakkan kakinya dan menyusuli serangan-serangan yang amat dahsyat hingga tempat itu dilanda angin-angin pukulannya membuat daun-daun pohon yang agak jauh tergoyang-goyang dan nenek itupun mulai terdesak! Ia tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk membalas serangan lawan. Akan tetapi, dengan mengandalkan gin-kang yang jauh lebih lihai, ia masih mampu menyelamatkan diri dari semua serangan ganas itu.

Melihat betapa isterinya terdesak dan kalau dilanjutkan agaknya isterinya akan kalah, Lo-mo lalu melompat ke depan. Dia sudah memperhatikan gerakan lawan tadi dan maklum bahwa tanpa mempelajari dulu ilmu baru itu dan menangkap intinya, akan sukarlah untuk mengatasinya.

"Mundurlah, biar aku yang mencoba ilmu baru Tho-tee-kong!" katanya. Nenek itupun tahu diri, akan tetapi ia tidak mengakui keunggulan lawannya, maka sambil meloncat mundur ia berseru mengejek.

"Mulut dan badanmu bau mayat, aku tidak tahan melayanimu lebih lama lagi!"

"Ha-ha-ha-ha!" kakek raksasa tertawa. Akan tetapi suara ketawanya berhenti ketika Lo-mo sudah menggeser kakinya ke depan.

"Tho-tee-kong, mari kita main-main sebentar!" Lagak kakek bermuka mayat ini memang berbeda dengan lagak isterinya atau raksasa itu, bahkan berbeda dengan lagak dan sifat para datuk sesat pada umumnya. Kalau para datuk sesat itu biasanya berlagak aneh, kasar dan tidak memperdulikan sopan santun, kakek ini sebaliknya bersikap halus dan berwibawa, lebih mendekati sikap seorang tokoh pendekar daripada seorang tokoh sesat. Hal ini adalah karena dia berasal dari keluarga terpelajar dan terhormat dan di waktu kecilnya, dia terdidik baik-baik. Maka, biarpun kini menjadi tokoh utama dari kaum sesat, dia tidak dapat melupakan sikap halus yang sudah ditanamkan pada dirinya sejak kecil.

"Ha-ha, Lo-mo, binimu maju pesat, engkau tentu lebih hebat lagi!" raksasa itu mengejek.

"Sambutlah!" kata Lo-mo dan diapun mulai menyerang. Serangannya nampak ringan saja, akan tetapi karena gerakannya amat cepat maka tahu-tahu telapak tangannya sudah menyambar ke arah leher Tho-tee-kwi. Raksasa ini melempar tubuh ke belakang dan terkejut sekali. Dari telapak tangan kakek mayat itu menyambar hawa panas yang disertai uap putih berbau amis! Kemudian kakek itu menyerang untuk kedua dan ketiga kalinya, dan maklumlah raksasa itu bahwa Lo-mo menggunakan ilmu yang sama dengan Lo-bo tadi, hanya tingkat Lo-mo sudah lebih tinggi sehingga telapak tangan itu bukan hanya mengeluarkan bunyi dan hawa panas, akan tetapi juga mengeluarkan uap putih yang berbau amis. Diapun cepat menggereng dan mengeluarkan ilmunya yang tadi. Kakinya dihentak-hentakkan sehingga bumi seperti terguncang-guncang dan kedua lengannya secara aneh menyambar ke depan, memukul, menampar, atau mencengkeram, akan tetapi di balik semua pukulannya itu terkandung tenaga yang benar-benar mengerikan sehingga baru angin pukulannya saja demikian kuat, seperti angin badai dan mengeluarkan suara bersuitan.

Pertandingan antara Kui-kok Lo-mo berjalan seru, lebih ramai daripada ketika kakek raksasa itu tadi melawan Kui-kok Lo-bo. Akan tetapi setelah lewat seratus jurus, dia mulai terdesak. Bagaimanapun juga, gerakan yang cepat dari Lo-mo tidak dapat diimbangi oleh Tho-tee-kwi, bahkan ilmu pukulannya yang ampuh itupun hanya membuat kakek mayat itu terguncang sedikit saja apabila terlanda anginnya. Akan tetapi, seperti juga Lo-bo, raksasa itu keras kepala dan tidak sudi menyerah kalah. Apalagi karena Tho-tee-kwi dan juga Lo-mo mengerti bahwa pada saat itu bermunculanlah rekan-rekan mereka dari dunia hitam. Memang di tengah malam itu bermunculan beberapa orang aneh yang menyeramkan seperti setan-setan bermunculan dari neraka dan mereka menonton pertandingan itu tanpa ada yang mau mencampuri. Bahkan mereka menikmati pertandingan itu, apalagi melihat betapa kedua orang itu agaknya bukan hanya main-main, melainkan berkelahi mati-matian.

Kiu-bwee Coa-li, nenek bongkok pawang ular itu juga sudah muncul dan nenek ini terkekeh girang menyaksikan pertandingan itu, diam-diam dia sebagai seorang tokoh besar yang berilmu tinggi, menikmati perkelahian ini karena ia dapat mencurahkan perhatian mengikuti setiap gerakan untuk mempelajari ilmu dua orang rekannya yang lebih tinggi tingkatnya dan masing-masing mengeluarkan ilmu simpanan baru itu.

Dua orang kakek dan nenek yang sudah kita kenal, yaitu Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwe Kui-bo, dua orang tokoh rendahan dari Cap-sha-kui, juga sudah hadir. Keduanya juga menonton dengan mata terbelalak penuh kagum akan kehebatan ilmu baru dari dua orang rekan mereka yang lebih tinggi tingkat kepandaiannya itu.

Tiba-tiba terdengar suara mengomel, "Hemm, tak tahu diri... tak tahu diri... dalam keadaan terancam musuh masih saja saling hantam sendiri... tua bangka-tua bangka yang bertindak seperti kanak-kanak, betapa tololnya!"

Suara itu lirih akan tetapi terdengar oleh semua orang, juga oleh dua orang tokoh yang sedang saling hantam itu. Mendengar suara ini, keduanya mengerahkan tenaga terakhir untuk merobohkan lawan sebelum pemilik suara itu muncul. Suara itu memang datang dari jauh, dikirim oleh seorang yang menguasai ilmu mengirim suara dari jauh. Akan tetapi, tiba-tiba saja berkelebat bayangan hitam dan seorang kakek sudah muncul di situ, tongkatnya berkelebatan cepat sekali sampai tidak nampak oleh mata. Yang kelihatan hanya sinar mencuat dua kali ke arah Lo-mo dan Tho-tee-kwi dibarengi seruan marah, "Kalian masih nekat dan tidak mau berhenti?"

Dua orang yang sedang bertanding itu mengeluarkan seruan kaget dan keduanya meloncat ke belakang, lalu meraba pundak masing-masing. Ternyata, dalam segebrakan tadi ujung tongkat yang dipegang kakek yang baru datang, telah mencium pundak mereka dan tentu saja mereka terkejut karena kalau dilanjutkan, tentu ujung tongkat itu tadi telah menotok dan melukai mereka. Memang, mereka tadi sedang terlibat dalam perkelahian yang seru dan andaikata tidak demikian, kiranya tidak mungkin tongkat itu dapat mengenai mereka dalam segebrakan saja. Biarpun demikian, dapat menghentikan perkelahian secara demikian membuktikan bahwa tingkat kepandaian kakek yang baru tiba ini ternyata lebih tinggi daripada tingkat dua orang tokoh utama Cap-sha-kui itu! Dan semua orang yang hadir di situ, para tokoh dan datuk kaum sesat, kini memandang kepada kakek pemegang tongkat itu dengan gentar. Setelah kini berdiri di bawah sinar bulan, kakek yang baru datang ini sebenarnya tidak sangat mengesankan dan tidak akan menimbulkan rasa takut kepada siapapun yang memandangnya. Tubuhnya jangkung kurus seperti tubuh Kui-kok Lo-mo, usianya juga sudah tujuh puluh tahun, pakaiannya serba hitam dan bentuknya seperti pakaian seorang petani biasa saja. Karena pakaiannya serba hitam, maka rambutnya yang putih itu nampak jelas sekali, juga matanya! Sepasang matanya kelihatan putih tanpa manik dan mata itu jarang sekali bergerak!

Kiranya kakek ini adalah seorang buta! Dia tidak dapat melihat sama sekali, akan tetapi mengapa semua orang yang hadir di situ, yang terdiri dari tokoh-tokoh kaum sesat yang berilmu tinggi dan tak mengenal takut, kini kelihatan gentar menghadapinya? Karena dia adalah Siangkoan-lojin (Kakek Siangkoan)! Dia tidak mempunyai julukan, dan tidak ada orang yang berani memberinya julukan walaupun kedua matanya buta karena takut akan hukumannya. Kakek ini bahkan tidak sudi ditarik masuk menjadi anggauta Cap-sha-kui, karena dia merasa lebih tinggi. Seorang kakek yang kelihatannya seperti petani biasa saja, namun yang memiliki pengaruh luar biasa besarnya dan seluruh tokoh kaum hitam itu takut belaka kepadanya! Karena kepandaiannya yang amat tinggi dan karena kekejaman dan keganasannya. Sekali orang dianggap bersalah kepadanya, ke manapun orang itu lari bersembunyi, akhirnya tentu akan terjatuh ke tangannya dan akan tewas dalam keadaan mengerikan. Nama Siangkoan-lojin saja sudah cukup membuat seorang penjahat yang paling sadis menjadi pucat mukanya.

Siangkoan-lojin adalah seorang aneh yang menyembunyikan dirinya di Pegunungan Kun-lun-san. Dia sendiri tidak pernah turun dari gunung. Kehidupannya mewah karena para tokoh sesat selalu memberinya semacam upeti yang amat berharga, hanya untuk menerima berkah dan petunjuknya sedikit saja. Baru setengah tahun lamanya dia turun gunung, tinggal di kota Pao-chi di Propinsi Shen-si sebagai seorang tuan tanah yang kaya raya walaupun pakaiannya sebagai seorang petani sederhana. Di dalam sebuah rumah yang mirip istana, dia tinggal bersama seorang putera tunggalnya dan belasan orang wanita muda cantik yang bertugas sebagai pelayan dan juga sebagai selir-selirnya. Isterinya sudah lama meninggal ketika putera tunggalnya masih kecil. Kakek ini mempunyai beberapa orang murid yang lihai, akan tetapi murid-muridnya itu hanya diberinya sebagian saja dari ilmu-ilmunya yang tinggi, yang semuanya hendak diwariskan kepada putera tunggalnya yang pada waktu itu berusia delapan belas tahun.

Demikianlah sedikit keadaan Siang-koan-lojin. Cap-sha-kui sendiri selalu memandang kakek buta ini sebagai seorang datuk yang mereka hormati. Dan sesungguhnya, pertemuan rahasia yang diadakan pada malam hari itu adalah atas kehendak Siangkoan-lojin akan tetapi dilaksanakan oleh Cap-sha-kui.

Siangkoan-lojin sendiri, setelah pindah dan bertempat tinggal di Pao-chi, hidup dalam dua dunia. Yang satu di dunia kaum sesat di mana dia didewa-dewakan dan ditakuti. Yang kedua di dunia biasa, di mana dia hidup sebagai seorang tuan tanah tua yang kaya raya dan royal menyogok para pejabat, juga terkenal dermawan, royal sekali mengeluarkan uang menolong mereka yang membutuhkan bantuan. Pendeknya, dalam pergaulan umum, dia adalah seorang tua renta yang buta akan tetapi kaya dan dermawan, dan tidak ada seorangpun yang pernah mengira bahwa dia adalah raja datuk kaum sesat! Bahkan para pendekar sudah mendengar berita angin tentang adanya datuk iblis yang bermata buta sehingga di antara para pendekar muncul sebutan Iblis Buta. Akan tetapi tidak ada seorangpun di antara para pendekar pernah melihatnya.

"Maafkan kami, lojin, kami hanya berlatih," kata Kui-kok Lo-mo dengan sikap hormat dan suara merendah.

"Benar, lojin, kami hanya main-main, aku hanya minta petunjuk dari Lo-mo," sambung Tho-tee-kwi sambil tersenyum menyeringai.

"Diam!" bentak kakek buta itu dan suaranya yang lirih itu ternyata mempunyai daya getaran yang menusuk jantung, membuat wajah kakek raksasa yang menyeringai tadi tiba-tiba saja berobah pucat. "Kalian sedang berusaha mati-matian untuk saling bunuh, betapa tololnya. Kalau memang bosan hidup, beritahu saja padaku dan aku akan mengantar kalian ke neraka!"

Sungguh pedas ucapan ini dan dua orang kakek itu mendengarkan dengan muka merah dan alis berkerut, namun mereka tidak berani berkutik. "Keadaan kita sedang diancam musuh dan kalian tidak bersatu malah bentrok sendiri, betapa menjemukan. Hayo semua berkumpul!" Seperti lagak seorang guru memanggil berkumpul semua anak-anak muridnya, Siangkoan-lojin melangkah maju ke tengah tanah datar itu, lalu berdiri dengan tongkat di tangan kiri, tak bergerak seperti patung batu. Kakek ini sekarang kelihatan mengerikan. Kayu cendana hitam yang dijadikan tongkat itu berkilap tertimpa sinar bulan purnama dan kedua matanya yang melek terus itu kelihatan putih menyeremkan. Rambutnya yang putih seperti benang-benang perak berkibar tertiup angin malam yang membuat hawa menjadi dingin sekali.

Kini bermunculanlah banyak orang dari tempat di mana tadi mereka setengah sembunyi begitu muncul kakek buta. Di antara mereka, banyak yang belum pernah bertemu dengan Siangkoan-lojin, baru mendengar namanya saja dan sepak terjangpya, maka kini mereka muncul dengan muka diliputi ketakutan setelah melihat betapa kakek buta itu dengan bengis memarahi dua orang datuk utama dari Cap-sha-kui itu. Ada dua puluh satu orang termasuk Siangkoan-lojin yang hadir. Mereka ini masing-masing mempunyai anak buah yang cukup banyak, akan tetapi anak buah mereka tidak diperbolehkan naik ke lereng itu, hanya menanti di bawah, di dalam hutan-hutan. Selain tidak berani membawa anak buah, juga anak buah mereka masih kurang pandai untuk dapat mencapai tempat yang amat sukar didatangi itu. Tempat itu dikelilingi jurang yang curam dan di sebelah utara terdapat sebatang sungai yang liar airnya dan banyak batu-batu karang sehingga amat berbahaya kalau naik perahu melewatinya. Pula, dari sungai yang agak ke bawah itu, tidak mudah pula untuk mendaki ke atas tebing walaupun sungai itu dan dataran ini tidak jauh lagi dan suara gemercik air bermain-main dengan batu-batu karang itu dapat terdengar dari tempat pertemuan rahasia itu. Dilihat dari atas, sungai yang ditimpa sinar bulan purnama nampak seperti jalan perak yang berkilauan.

"Hanya ada dua puluh dua orang semuanya?" Tiba-tiba Siangkoan-lojin bertanya dan pertanyaan ini membuat semua orang mulai menghitung-hitung dan merekapun tertegun ketika mendapat kenyataan bahwa jumlah mereka semua memang dua puluh dua orang. Bagaimana seorang buta dapat menghitung orang begitu banyak dengan tepat? Padahal, mereka yang dapat melihat saja tidak dapat menghitung dengan cepat dan mudah! Tentu saja, tokoh-tokoh seperti Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, apalagi tiga orang tokoh utama Cap-sha-kui seperti Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, juga Tho-tee-kwi, tidak merasa heran. Mereka sudah tahu bahwa kakek yang buta ini memiliki perasaan yang amat peka, pendengaran dan penciuman yang melebihi seekor kijang atau anjing. Dengan mengandalkan telinga dan hidungnya saja dia sudah dapat menghitung jumlah orang yang hadir, dengan mengikuti gerak-gerik mereka dengan telinganya, dan mencium bau yang berlainan dengan hidungnya. Bahkan dalam perkelahian, kakek yang tidak dapat melihat lagi itu dapat mengandalkan ketajaman pendengarannya sehingga setiap gerakan lawan dapat diketahuinya dengan seksama, bahkan lebih cepat daripada daya tangkap penglihatan mata yang kadang-kadang kabur.

"Benar, lojin. Yang hadir ada dua puluh dua orang." kata Kiu-bwee Coa-li.

"Hemm, dan berapa orang dari Cap-sha-kui?"

"Ada tujuh orang, lojin." Kui-kok Lo-bo yang kini ikut bicara karena iapun hendak memberitahukan raja datuk itu bahwa iapun hadir.

"Tujuh orang? Siapa dia?" Siangkoan-lojin bertanya, alisnya yang putih berkerut.

"Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwee Coa-li, Tho-tee-kwi, Kui-kok Lo-mo, aku sendiri dan lojin..."

Terdengar kakek itu mengeluarkan suara bentakan melengking dan semua orang terkejut. Kui-kok Lo-mo hendak memperingatkan isterinya, namun terlambat karena tahu-tahu kakek buta itu telah mencelat ke depan, tongkatnya menyambar dan Kui-kok Lo-bo menjerit lalu roboh terlentang, ujung tongkat menempel di lehernya. Kiranya kakek buta itu belum membunuhnya, baru merobohkan dan menempelkan ujung tongkat di leher nenek itu! "Mulut lancang! Kausamakan aku dengan cacing-cacing Cap-sha-kui?"

Kui-kok Lo-bo terkejut dan baru teringat akan kebodohannya, wajahnya yang sudah pucat sekali itu berobah menjadi kehijauan. "Lojin, ampunkan aku..." ia meratap.

"Lojin, harap maafkan ia," kata pula Kui-kok Lo-mo dengan kaget ketika melihat nyawa isterinya terancam maut tanpa dia dapat menolongnya itu.

Iblis buta itu mendengus dengan nada mengejek. "Kalau aku tidak mengampuninya, apakah sekarang ia masih tinggal hidup? Perempuan lancang, engkau menyesal telah bersalah kepadaku?"

"Aku menyesal," kata Lo-bo sambil bertunduk.

"Nyatakan penyesalanmu dengan mencium ujung sepatuku!" kata pula Iblis Buta. Semua orang terkejut dan memandang dengan hati tegang dan wajah pucat. Itulah penghinaan yang amat hebat! Akan tetapi, hampir mereka tidak percaya akan pandang mata mereka sendiri ketika melihat nenek berwajah mayat yang biasanya amat galak dan kejam itu kini berlutut dan mencium ujung kaki sepatu Si Iblis Buta!

"Sekali lagi!" bentak iblis itu dan Lo-bo dengan taat mencium satu kali lagi, membuat semua orang menahan napas saking herannya.

"Sudah, mundurlah dan mari kita lanjutkan pertemuan ini," kata kakek buta itu dengan sikap dan suara seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. "Kita berkumpul di sini untuk mengadakan pertemuan dan membicarakan keadaan yang menyangkut keamanan pekerjaan kita semua. Kalian tahu bahwa besok hari para pendekar mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu dengan acara pokok menentang dan berusaha menumpas kita semua."

Hening sejenak setelah Iblis Buta berhenti bicara, kemudian, bagaikan bendungan air yang bobol, mereka itu serentak berteriak-teriak, "Hancurkan manusia-manusia sombong itu!"

"Bunuh semua pendekar!"

"Serang mereka pada pertemuan itu!"

Si kakek buta mengangkat tongkatnya ke atas dan suara gaduh itu berhenti.

"Mengadakan perlawanan memang harus, akan tetapi menghadapi para pendekar kita harus berhati-hati karena di antara mereka terdapat orang-orang yang sakti. Tidak mungkin menggunakan kekerasan dan harus diatur sebaik-baiknya. Sekarang, sebelum kita mengatur siasat lebih lanjut, aku ingin mendengarkan pelaporan kalian masing-masing tentang keadaan di daerah kalian masing-masing dan tentang gerakan para pendekar."

Dengan suara yang dialeknya berbeda-beda, mereka yang hadir mulai bercerita satu demi satu, didengarkan penuh perhatian oleh Siangkoan-lojin. Seorang yang datang dari daerah kota raja melapor, "Lojin, anak buah kami membayangi kaisar yang sedang lolos dari istana melakukan perjalanan seorang diri menyamar sebagai orang biasa. Diam-diam dia dibayangi dan dilindungi oleh dua orang perwira istana yang juga menyamar sebagai orang biasa. Kami ragu-ragu untuk turun tangan. Harap lojin memberi petunjuk."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar